PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN JIGSAW II TERHADAP PRESTASI BELAJAR DITINJAU DARI MOTIVASI BERPRESTASI DAN SIKAP SOSIAL SISWA (Studi Kasus Pembelajaran Fisika Pokok Bahasan Listrik Statis Pada siswa kelas XII-IA semester 1 Tahun Ajaran 2008/2009 SMA Taruna Nusantara Magelang) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad Magister Program Studi Pendidikan Sains Minat Utama Pendidikan Fisika
Oleh Seran Daton Gregorius NIM. S830208019
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………………
ii
SURAT PERNYATAAN …. ……………………………………………
iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………..
v
MOTTO ……………………………………………………………………
vii
PERSEMBAHAN …………………………………………………………
viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….
ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
xii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
xv
ABSTRAK …………………………………………………………………
xvi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………
xvii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………..
1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………..
1
B. Identifikasi Masalah ………………………………………..
5
C. Pembatasan Masalah……………………………………………..
6
D. Perumusan Masalah ……………………………………………..
7
E. Tujuan Penelitian ………………………………………………..
8
F. Manfaat Penelitian………………………………………………..
8
BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS..10 A. Landasan Teori ………………………………………………….. 10 1. Belajar dan Pembelajaran ……………………………………
10
a. Pengertian Belajar ………………………………...............
10
b. Teori Belajar Konstruktivisme ……………………………
12
c. Pengertian Pembelajaran…………………………………….
18
d. Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran ………………….
19
2. Model Pembelajaran Kooperatif ………………………………. 20 a. Pengertian Model Pembelajaran ……………………………
20
b. Pembelajaran Kooperatif ……………………………………
22
3. Motivasi Berprestasi …………………………………………
30
a. Motif dan Motivasi …………………………………………
30
b. Motivasi Berprestasi ……..……………………………
31
4. Sikap …………………………………………………..
33
a. Pengertian Sikap …………………………………………
33
b. Sikap Sosial ……..……………………………………..
36
c. Mengukur Sikap Sosial ………………………………….
36
5. Prestasi Belajar ……………………………………………….
37
a. Pengertian Prestasi belajar ……………………………………. 37 b. Mengukur Prestasi Belajar …………………………………
38
5. Listrik Statis ……………………………………………………
39
B. Penelitian Yang Relevan …………………………………………
61
C. Kerangka Berpikir ………………………………………………
64
D. Perumusan Hipotesis ……………………………………………
70
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……………………………. A. Waktu Penelitian ……………………………………………… B. Tempat Penelitian ………………………………………………
72 72 72
C. Populasi……………………………………………………….
73
D. Sampel …………………………………………………………
73
E. Metode Penelitian ……………………………………………
73
F. Rancangan Penelitian …………………………………………….
76
G. Variabel Penelitian ………………………………………………
77
H. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………….
78
I. Instrumen Penelitian ……………………………………………
78
J. Uji Coba Instrumen Pengolahan Data……………………………
79
K. Teknik Analisis Data ……………………………………………. 84 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………….
89
A. Deskripsi Data ………………………………………………
89
B. Uji Prasyarat Analisis……………………………………………
93
C. Hasil Pengujian Hipotesis…………………………………….
98
D. Uji Lanjut Analisis Variansi dan Interaksi ………………..
101
E. Pembahasan Hasil Penelitian………………………………
104
E. Kelemahan dan Keterbatasan Penelitian ……………………
115
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN……………….
117
A. Kesimpulan …………………………………………… ……
117
B. Implikasi
119
……………………………………………… ….
C. Saran ……………………………………………………….
120
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………
122
LAMPIRAN ……………………………………………………………
126
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan kita sedang menghadapi kenyataan rendahnya mutu pendidikan dibandingkan dengan mutu pendidikan negara-negara lain di tingkat regional apalagi global. Setidaknya itu tercermin dari hasil tes Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) 2003. Berdasarkan hasil tes TIMSS, kemampuan matematika anak kelas dua sekolah menengah pertama (SMP) di Indonesia berada pada peringkat ke-34 dari 45 negara. Dan di bidang sains, Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 45 negara. Singapore berada di peringkat pertama untuk kemampuan matematika dan sains, Malaysia berada di peringkat ke-10 untuk matematika dan peringkat ke-20 untuk sains, dan Filipina berada di peringkat ke-41 untuk matematika dan peringkat ke-42 untuk sains (data dari National Center for Education Statistic yang diambil dari http://nces.ed.gov/ , Februari 2008). Secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Hal ini tentu menimbulkan keprihatinan banyak pihak, tidak hanya dalam negeri tetapi juga pihak luar negeri, seperti UNICEF. UNICEF mengharapkan Pemerintah Indonesia melaksanakan dengan sungguhsungguh aturan perundangan yang menyangkut peningkatan mutu pendidikan nasional (Media Indonesia Online, 8 Mei 2007). Dalam arti luas, pendidikan terjadi melalui tiga upaya utama, yaitu pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan ( Tonny D. Widiastono , 2004: xxv ).
1
Dari ketiga upaya tersebut, yang dilakukan secara intensif di sekolah adalah upaya pembelajaran. Unsur yang ada dalam pembelajaran yang baik adalah siswa yang belajar, guru yang mengajar, bahan pelajaran, dan hubungan antara guru dan siswa (Suparno Paul, 2007: 2). Dari unsur-unsur yang ada dalam pembelajaran tersebut, guru memiliki peranan yang sangat penting. Namun demikian, profesionalisme guru masih belum memadai. Banyak guru masih unqualified, underqualified, dan mismatch (Azyumardi Azra, 2002:xvii ). Untuk menjadi guru (fisika) yang sungguh bermutu dan profesional, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilatih oleh guru terus menerus, antara lain (Suparno Paul, 2007:2) : Penguasaan bahan fisika, mengerti tujuan pengajaran fisika, dapat mengorganisasi pengajaran fisika, mengerti situasi siswa, berkomunikasi dengan siswa, dan menguasai berbagai metode. Dalam kelas-kelas konvensional, guru hanya menggunakan pendekatan yang disukainya tanpa memperhatikan materi pelajaran dan keterlibatan siswa. Bagi guru yang penting bahan ajar tersampaikan. Walaupun banyak pelatihan dan penataran untuk meng-up grade para guru, tetapi kenyataan yang dijumpai di banyak sekolah adalah guru tetap kembali ke metode konvensional. Di dalam kelas konvensional siswa kurang mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapat. SMA Taruna Nusantara merupakan sekolah berasrama penuh. Siswanya memiliki latar belakang yang sangat beragam, ditinjau dari asal daerah, agama, ras, dan kemampuan akademik. Dalam pembelajaran fisika, beberapa hal yang masih perlu ditingkatkan dari aspek siswa antara lain semangat untuk mencapai
prestasi yang tinggi, komitmen terhadap tugas, dan kemampuan untuk bekerja sama dalam kelompok belajar untuk mendalami materi pelajaran. Permasalahan pembelajaran dari aspek guru yang perlu ditingkatkan adalah penggunaan metode pembelajaran agar lebih bervariasi disesuaikan dengan materi pembelajaran. Hasil prestasi belajar fisika di SMA Taruna Nusantara masih jauh dari standar ketuntasan minimal yang ditentukan sekolah. Walaupun dalam ajangajang lomba akademik beberapa siswa SMA Taruna Nusantara mampu mengukir prestasi. Mereka tidak hanya mengharumkan nama sekolah, tetapi juga nama bangsa dan negara, misalnya dalam ajang Olimpiade Fisika Asia, AphO, dan juga Olimpiade Fisika Internasional, IPhO. Namun demikian secara kesuluruhan dapat dikatakan bahwa prestasi belajar fisika siswa SMA Taruna nusantara masih kurang memuaskan.
Tabel 1 Rekap Nilai UH-2 KD 2.1 Kelas XII-IA Semester 1 TP 2007/2008 Kelas
Jumlah Siswa
Nilai Rata-rata
Nilai < 70*
Nilai Terendah
Nilai Tertinggi
XII-IA1
32
58,8
24
30
87
XII-IA2
33
59,5
19
13
93
XII-IA3
33
54,5
24
13
83
XII-IA4
32
64,1
19
30
100
XII-IA5
33
61,0
18
20
90
XII-IA6
33
56,4
25
20
83
XII-IA7
32
55,9
27
20
93
XII-IA8
34
60,6
23
13
93
Total
262
58,8
179
13
100
Sumber Data: Bagian Pengajaran SMA Taruna Nusantara
* Standar Ketuntasan Minimal (SKM) 70.
Hal ini dapat dilihat dari data hasil Ulangan Harian 2 Kelas XII-IA pada Semester 1 Tahun Pelajaran 2007/2008 mata pelajaran fisika KD.2.1 ( Listrik statis ) seperti pada tabel 1. Dari data pada tabel 1 untuk Standar Ketuntasan Minimum (SKM) 70, ada 68% siswa yang nilainya kurang dari SKM. Nilai tertinggi 100 jauh di atas nilai rata-rata kelas, namun nilai terendah 13 juga jauh di bawah rata-rata kelas. Nilai rata-rata keseluruhan 58,8 jauh di bawah SKM. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum pencapaian nilai fisika masih kurang bagus dan juga rentang nilainya yang tinggi menunjukkan keberagaman kemampuan akademik siswa. Pokok bahasan listrik statis merupakan salah satu materi pelajaran yang diberikan di SMA kelas XII semester 1. Sebagian materi listrik statis sudah diketahui siswa dari jenjang pendidikan sebelumnya maupun dari pengalaman keseharian. Pada dasa warsa terakhir, teori filsafat konstruktivisme banyak mempengaruhi pembelajaran fisika pada khususnya dan pembelajaran sains pada umumnya. Pembelajaran yang bernaung dalam teori konstruktivisme adalah kooperatif. Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah memahami konsep yang sulit jika mereka berdiskusi dengann temantemannya. Dalam kelompok yang terdiri dari 4-6 orang siswa lebih bebas mengemukakan pendapatnya. Di dalam kelompok kooperatif mereka akan saling membantu dan juga saling meneguhkan. Hasil yang didapat tidak hanya akademik, tetapi juga sosial. Pendekatan-pendekatan kooperatif, yaitu
dalam pembelajaran
Student Teams Achievement Division (STAD), Jigsaw
II,
Investigasi kelompok, Think Pair Share (TPS), dan Numbered Head Together (TGT). Keberhasilan kelompok kooperatif dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya interaksi antar anggota kelompok. Untuk dapat berinteraksi dengan baik maka anggota kelompok harus memiliki sikap yang baik terhadap kelompok kooperatif. Dalam kelompok kooperatif, keberhasilan seseorang akan mendukung keberhasilan teman-teman anggota kelompoknya. Dengan demikian mereka akan saling membantu. Setiap anggota kelompok yang sudah menguasai materi pelajaran membantu teman-temannya untuk menguasai materi tersebut. Dalam pembelajaran juga perlu diperhatikan unsur yang menggerakkan siswa atau kelompok siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Unsur yang menggerakkan/ mendorong siswa melakukan kegiatan belajar adalah motivasi. Motivasi seseorang untuk mencapai prestasi lebih dikenal sebagai motivasi berprestasi. Menurut David McCelland, seorang ahli psikologi sosial yang terkenal dengan pemikirannya mengenai kebutuhan untuk berprestasi (needs for achievement) dalam Alex Sobur (2003:284-286), bahwa untuk membuat suatu pekerjaan berhasil, yang paling penting adalah sikap terhadap pekerjaan itu. Hasil penelitian McCelland menunjukan bahwa jatuh bangunnya negara-negara besar beserta kebudayaannya berhubungan erat dengan perubahan pada kebutuhan berprestasi. Penelitian ini hanya dibatasi pada 3 aspek yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran yaitu : (1) model dan tipe pembelajaran, (2) motivasi berprestasi (achievement motivation), dan (3) sikap sosial siswa.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Prestasi belajar siswa Indonesia masih relatif rendah. 2. Siswa Indonesia masih sulit bersaing secara kompetitif pada tingkat global. 3. Profesionalisme guru masih belum memadai. 4. Masih
tingginya
kecenderungan
guru
untuk
menggunakan
metode
konvensional. 5. Kurangnya kesempatan siswa untuk mengemukakan pendapat. 6. Semangat siswa SMA Taruna Nusantara untuk mencapai prestasi yang tinggi masih perlu ditingkatkan. 7. Komitmen terhadap tugas
siswa SMA Taruna Nusantara masih perlu
ditingkatkan. 8. Kemampuan siswa SMA Taruna Nusantara untuk bekerja sama dalam belajar kelompok masih perlu ditingkatkan. 9. Prestasi belajar fisika siswa SMA Taruna Nusantara masih perlu ditingkatkan
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, agar penelitian lebih terfokus dan terarah, maka penelitian dibatasi pada masalah-masalah sebagai berikut: 1. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah siswa kelas XII-IA semester I Tahun Pelajaran
2008/2009 SMA Taruna Nusantara Magelang 2. Obyek Penelitian Obyek penelitian ini dibatasi pada permasalahan: 1. Metode pembelajaran yang digunakan dalam penelitian dibatasi pada STAD dan Jigsaw II. 2. Materi pembelajaran yang digunakan dibatasi pada pembelajaran listrik statis. 3. Prestasi belajar siswa SMA kelas XII-IA dibatasi pada kemampuan siswa dalam mengerjakan soal fisika pada materi listrik statis. 4.
Motivasi berprestasi siswa dibatasi pada motivasi siswa kelas XII-IA untuk mencapai prestasi yang diharapkan.
5. Sikap sosial siswa dibatasi pada sikap sosial siswa kelas XII-IA.
D. Perumusan Masalah Agar tujuan penelitian menjadi jelas dan terarah perlu ditetapkan terlebih dahulu perumusan masalahnya sebelum penelitian tersebut dilakukan. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini: 1. Apakah ada perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar siswa? 2. Apakah ada pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar siswa? 3. Apakah ada pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar siswa? 4. Apakah ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar siswa? 5. Apakah ada interaksi antara sikap sosial siswa dengan pembelajaran
kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar siswa? 6. Apakah ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar siswa? 7. Apakah ada interaksi antara motivasi berprestasi dan sikap sosial siswa dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar siswa?
E. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah dan pembatasan masalah yang dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 2. Untuk mengetahui pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar fisika. 3. Untuk mengetahui pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. 4. Untuk mengetahui interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 5. Untuk mengetahui interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 6. Untuk mengetahui interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. 7. Untuk mengetahui interaksi antara motivasi berprestasi dan sikap sosial
dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika.
F. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat yaitu: 1. Manfaat praktis: a. Memberikan masukan kepada guru fisika dalam rangka memilih metode pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan prestasi belajar fisika. b. Memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi sekolah dalam rangka perbaikan proses belajar mengajar mata pelajaran fisika khususnya dan mata pelajaran lain pada umumnya. 1. Manfaat teoritis: a. Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang perbedaan pengaruh pembelajaran fisika dengan metode STAD dan Jigsaw II ditinjau dari motivasi berprestasi dan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. b. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan serta acuan bagi penelitian selanjutnya.
BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori 1. Belajar dan Pembelajaran a. Pengertian Belajar Kata belajar nampaknya sangat familiar dalam keseharian kita, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Seorang bayi yang sedang menirukan ucapan lewat gerak bibir ibunya, seorang anak yang sedang menonton film kesayangannya di TV, seseorang anak yang sedang membaca komik, sebenarnya sedang melakukan proses belajar. Walaupun kita tidak bisa mendeteksi secara langsung proses yang berlangsung dalam diri orang yang melakuakan proses belajar tersebut. Menurut Gagne (1984) dalam Ratna Wilis D. (1989:11) “belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”. Jadi belajar menyangkut perubahan dalam suatu organisma, berarti belajar membutuhkan waktu. Untuk mengukur belajar, kita amati perilaku organisma sebelum dan sesudah
diberi suatu perlakuan atau
pengalaman tertentu. Jika ada perubahan perilaku, berarti organism itu telah belajar. Menurut Hilgard dan Bower (1975) dalam Ngalim Purwanto (1994:84), bahwa “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau
10
dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya)”. Belajar merupakan perubahan tingkah laku seseorang akibat pengalaman, dan perubahan itu tidak dapat dijelaskan. Bisa jadi pengalaman yang sama atau hampir sama dialami oleh beberapa orang tetapi perubahan tingkah laku pada masing-masing orang berbeda. Menurut Morgan (1978) dalam Ngalim Purwanto (1994:84) “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman”. Jadi, seperti dua pendapat sebelumnya bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari latihan atau pengalaman, tetapi Morgan menegaskan bahwa perubahan itu relatif menetap dan bukan sesaat saja. Good & Boophy (1977) dalam Alex Sobur (2003:220) mengartikan belajar sebagai “The development of new associations as a result of experience”. Belajar adalah perkembangan asosiasi-asosiasi (kecenderungan-kecenderungan dalam pikiran) sebagai hasil pengalaman. Jadi belajar adalah suatu proses yang tidak bisa dilihat dengan nyata. Proses itu terjadi dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar. Menurut mereka, belajar bukanlah suatu tingkah laku yang tampak, tetapi terutama prosesnya yang terjadi secara internal pada individu dalam usaha memperoleh berbagai hubungan baru. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikemukakan beberapa unsur penting yang menjadi ciri atas pengertian belajar, yaitu: (1) belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, di mana perubahan itu dapat mengarah ke
tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah ke tingkah laku yang lebih buruk; (2) belajar merupakan perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman; dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar; (3) untuk bisa disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang. Seberapa lama periode waktu itu berlangsung, sulit ditentukan dengan pasti, namun perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, ataupun bertahun-tahun. Ini berarti kita harus mengenyampingkan perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau kepekaan seseorang, yang hanya berlangsung sementara; (4) tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut aspek-aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berpikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap. (Bandingkan Alex Sobur (2003:223) dan Ngalim Purwanto (1994:85)). Jadi belajar didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku, baik fisik maupun psikis, yang relatif mantap yang diperoleh melalui latihan atau pengalaman. b. Teori Belajar Konstruktivisme Menurut Driver dan Bell dalam Suparno (1997:17),“ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau fakta”. Fakta yang sama yang diamati orang yang berbeda bisa menghasilkan konsep yang berbeda. “Ilmu pengetahuan, terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan
konsepnya yang ditemukan secara bebas”(Einstein & Infeld dalam Bettencourt, 1989
dalam Suparno (1997:17)). Dalam mempelajari pengetahuan selalu
dijumpai dua hal yang berbeda, yaitu kenyataan atau fakta dan gagasan atau pengertian. Untuk menjembatani keduanya, diperlukan proses konstruksi imajinatif. Menurut filsafat konstruktivisme, “pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) dari kita sendiri yang sedang menekuninya” (von Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989; Matthews,1994; Piaget, 1971 dalam Suparno (2007:8)). Bila yang sedang menekuni itu adalah siswa maka pengetahuan itu adalah bentukan dari siswa sendiri. Siswalah yang memberi makna terhadap realitas yang ada melalui kegiatan berpikir. Jadi pengetahuan bersifat non-objektif, temporer, dan selalu berubah. Proses pembentukan pengetahuan ini
berjalan terus-menerus
dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. Menurut paham konstruktivisme, orang yang belajar diharapkan dapat membangun pemahaman sendiri melalui proses asimilasi dan akomodasi. Kadang persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru yang dialami seseorang dapat diintegrasikan ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Proses ini dikenal dengan asimilasi. Akan tetapi tidak semua pengalaman baru dapat diasimilasikan dengan skema yang telah ia punyai. Pengalaman baru itu bisa jadi tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan ini orang tersebut dapat membentuk skema baru yang cocok dengan
pengalaman yang
baru atau memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan pengalaman itu.
Proses terakhir ini disebut akomodasi. Sedangkan skema diartikan sebagai struktur kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi ligkungan sekitarnya (Suparno, 1997:30). Jadi siswa sudah mempunyai skema sebagai akibat dari latihan atau pengalaman sebelumnya. Dengan
latihan
atau
pengalaman
baru
yang
didapatkan,
siswa
akan
mengkonstruksi sendiri dengan cara akomodasi atau asimilasi. Apakah pengetahuan itu tidak dapat ditransfer atau dipindahkan begitu saja? Ya, secara prinsip para konstruktivis menolak kemungkinan terjadi transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain. “Tidak ada kemungkinan mentransfer pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuannya pada dirinya sendiri. Demikian pendapat von Glasersfeld dalam Bettencourt dalam Suparno (2007:9). Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari guru ke siswa. Menurut
Matthews
dalam
Suparno
(1997:43)
bahwa
paham
konstruktivisme dibedakan menjadi dua, yaitu konstruktivisme psikologis dan sosiologis. Konstruktivisme psikologis, bertitik tolak dari perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu yang lebih personal (Piaget) dan yang lebih sosial (Vygotsky). 1) Konstruktivisme Psikologis Personal (Piaget) Piaget adalah psikolog pertama yang meneliti tentang bagaimana anakanak memperoleh pengetahuan. Dia sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan
itu dibangun dalam pikiran anak. Karena penelitiannya ini, maka Piaget dikenal sebagai konstruktivis pertama ( Ratna Wilis D., 1989:159; Suparno 1997:30). Dalam penelitiannya Piaget mengamati bagaimana seorang anak pelanpelan membentuk pengetahuannya sendiri. Anak itu pelan-pelan mulai membentuk skema, mengembangkan skema, dan mengubah skema. Piaget lebih menekankan bagaimana anak secara sendiri mengkonstruksi pengetahuan dari interaksinya dengan pengalaman dan objek yang dihadapi. Secara umum Piaget membedakan 4 tahap atau periode dalam perkembangan kognitif seseorang.Tahapan-tahapan atau periode tersebut terdapat pada tabel 2.
Tabel 2 : Periode-periode Perkembangan Secara Umum Periode I.
Kepandaian Sensori-Motorik (dari lahir – 2 tahun). Bayi mengorganisasikan skema tindakan fisik mereka seperti menghisap, menggenggam dan memukul untuk menghadapi dunia yang muncul di hadapannya. Periode II. Pikiran Pra-Operasional (2 – 7 tahun). Anak-anak belajar berpikir- pikiran mereka masih tidak sistematis dan tidak logis. Pikiran di titik ini sangat berbeda dengan pikiran orang dewasa. Periode III. Operasi-operasi Bepikir Konkret (7–11 tahun). Anak-anak mengembangkan kemampuan berpikir sistematis, namun hanya ketika mereka dapat mengacu kepada objek-objek dan aktivitas-aktivitas konkret. Periode IV. Operasi-operasi Berpikir Formal (11 tahun – dewasa). Orang muda mengembangkan kemampuan untuk berpikir sistematis menurut rancangan yang murni abstrak dan hipotetis.
(Crain W.,terjemahan Yudi Santoso, 2007:171)
Menurut Piaget (Suparno, 2001:104), urutan tahap atau periode itu mempunyai beberapa sifat. Sifat tersebut antara lain: (1) urutan perkembangan tahap-tahap itu tetap, meskipun umur rata-rata terjadinya dapat bervariasi secara individual menurut tingkat inteligensi atau lingkungan sosial seseorang; (2)
struktur keseluruhan itu tidak dapat saling ditukar; (3) setiap tahap yang lebih maju mempunyai pealaran yang secara kualitatif berbeda dengan penalaran tahap sebelumnya. Penalaran tahap berikutnya jauh lebih tinggi daripada yang sebelumnya; (4) setiap kemajuan dalam penalaran selalu dapat diterapkan secara lebih menyeluruh; dan (5) setiap kemajuan tahap baru selalu mengandung perluasan dari struktur yang sebelumnya. Struktur yang lama itu diubah melalui adaptasi, meskipun formulasi yang sebelumnya tidak pernah dihancurkan atau dihilangkan. Oleh karena itu, transformasi penalaran yang baru dari yang sebelumnya merupakan perkembangan. Unsur yang juga penting dalam memperkembangkan pemikiran seseorang adalah latihan dan pengalaman. Latihan berpikir, merumuskan masalah dan memecahkannya, serta mengambil kesimpulan akan membantu seseorang untuk mengembangkan pemikiran. Misalnya, seseorang anak perlu banyak latihan menggunakan logikanya dalam memecahkan persoalan fisika. Semakin banyak ia berlatih dalam memecahkan persoalan fisika, ia akan semakin mengerti dan mengembangkan cara berpikirnya. Pengetahuan dibentuk dalam proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema
pengetahuan
seseorang
sebelumnya.
Agar
proses
pembentukan
pengetahuan itu berkembang, pengalaman sangat menentukan. Semakin orang mempunyai banyak pengalaman mengenai pesoalan, lingkungan atau objek yang dihadapi, ia akan semakin mengembangkan pemikiran dan pengetahuannya. Dengan semakin banyak pengalaman, skema seseorang akan banyak ditantang dan mungkin dikembangkan.
2) Konstruktivisme Psikologis Sosial ( Vygotsky ) Vygotsky juga meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak secara psikologis. Namun Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik (Cobb dalam Suparno, 2007:11). Itulah sebabnya dalam pendidikan, siswa perlu berinteraksi dengan para ahli atau tokoh dan juga terlibat dengan situasi yang cocok dengan pengetahuan yang ingin digeluti. Misalnya, para siswa dipertemukan dengan ahli atau tokoh yang dapat bercerita tentang bidang tugas yang mereka geluti, pemikiran mereka tentang suatu masalah tertentu. Dalam interaksi ini, para siswa ditantang untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sesuai dengan konstruksi para ahli. Siswa juga bisa diajak ke laboratorium ataupun tempat-tempat lain yang dapat member inspirasi bagi siswa. Menurut Vygotsky pembelajaran terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Persisnya, dia mendefinisikan zona ini sebagai:”jarak antara tingkat perkembangan aktual yang ditentukan oleh pemecahan masalah secara independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasinya dengan rekan-rekan yang lebih mampu”. ( Crain W., terjemahan Yudi Santoso 2007:371). Tingkat perkembangan aktual adalah kemampuan anak memecahkan masalah secara mandiri sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah kemampuan memecahkan masalah di bawah bimbingan orang dewasa melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih
mampu. Zona perkembangan proksimal bagaikan secercah cahaya, namun tidak “sekokoh fungsi yang sudah dikuasai”-anak bisa berjalan dengan bantuan hari ini, namun akan sanggup melakukannya sendiri besok (Vygotsky, 1934 dalam Crain W., terjemahan Yudi Santoso ,2007:371). Ide penting lain yang diturunkan Vygotsky adalah scaffolding, yaitu memberikan bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal perkembangan, kemudian bantuan ini dikurangi untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah anak dapat melakukannya. Jika diterapkan dalam proses pembelajaran, ide scaffolding dapat berupa pertunjuk, peringatan, dorongan, dan menguraikan masalah pada awal pembelajaran.
c. Pengertian Pembelajaran Menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 1 yang dimaksud dengan “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”(UU Sistem Pendidikan Nasional, diakses tanggal 21 Juli 2008). Dalam pasal yang sama juga dijelaskan bahwa “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu” dan “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”. Menurut Zamroni (2007:70): “Proses belajar merupakan proses interaksi antara guru dan siswa berkaitan dengan materi pembelajaran yang bersifat kompleks dan penuh dengan ketidakpastian”. Dikatakan kompleks karena interaksi antara guru dan siswa yang nampak sederhana pada hakekatnya bersifat kompleks karena melibatkan pikiran, emosi, imajinasi, dan sikap yang berinteraksi secara simultan. Dikatakan penuh dengan ketidakpastian karena pikiran, emosi, dan imajinasi siswa tidaklah stabil dan tidak dapat ditebak. Dengan demikian hasil dari pembelajaran itu sendiri menjadi sangat subyektif. Ada juga definisi yang lain, yaitu: “Pembelajaran adalah usaha sistematis yang memungkinkan terciptanya pendidikan”(Seifert Kelvin, 1983 edisi terjemahan Yusuf Anas, 2007:5). Yang dimaksud dengan pendidikan menurut UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 1: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara”. Pembelajaran merupakan interaksi sistematis antara peserta didik dengan pendidik yang berkaitan dengan materi pembelajaran pada suatu lingkungan belajar. Kegiatan pembelajaran memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Dengan demikian kegiatan pembelajaran perlu berpusat pada peserta didik dengan menciptakan kondisi yang
menyenangkan dan menantang untuk mengembangkan kreativitas mereka, dan menyediakan pengalaman belajar yang beragam. Pembelajaran juga bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika ( Nurhadi, 2004:30). d. Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan atas dua kategori yaitu faktor internal siswa dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar siswa sehingga menentukan hasil belajar. Faktor-faktor internal meliputi: (1) faktor fisiologis, dan (2) faktor psikologis, yang terdiri atas kecerdasan / inteligensi siswa, motivasi, minat, sikap, dan bakat.
Faktor eksternal berupa lingkungan sosial yang meliputi: (1)
lingkungan sosial keluarga yang mencakup cara orang tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan; (2) lingkungan sosial sekolah yang mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, metode belajar, dan tugas rumah; ( 3 ) lingkungan sosial masyarakat yang mencakup kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat ( Baharuddin, 2008: 19-28 dan Slameto, 2003:54-72 ). 2. Model Pembelajaran Kooperatif a. Pengertian Model Pembelajaran Menurut Arends (1997:7) : “The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, syntax, environment,
and management system”. Istilah model pengajaran mengarah ke suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya. Selanjutnya menurut Arends, model pembelajaran mempunyai ciri-ciri :(1) rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana para siswa belajar ( tujuan pembelajaran yang direncanakan); (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model dapat dilaksanakan, dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Menurut Joyce dalam Trianto ( 2007:5) :” Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, computer, kurikulum, dan lain-lain”. Sedangkan menurut Soekamto, dkk. dalam Nurulwati (2000) dalam Trianto (2007:5), maksud dari model pembelajaran adalah “Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar” Jadi
model
pembelajaran merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Suatu model pembelajaran dikatakan baik jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Pertama, sahih (valid). Aspek validitas ini dikaitkan dengan dua hal yaitu apakah model yang dikembangkan didasarkan pada rasional teoririk yang kuat,
dan apakah terdapat konsistensi internal. Kedua, praktis. Aspek kepraktisan hanya dapat dipenuhi jika ahli dan praktisi yang berdasar pengalamannya menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan; dan kenyataan menunjukkan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan. Ketiga, efektif. Parameter efektivitas model adalah pendapat ahli dan praktisi yang berdasar pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut efektif dan secara operasional model tersebut memberkan hasil sesuai dengan yang diharapkan ( Nieveen (1999) dalam Trianto ( 2007:8)). Sedangkan menurut Khabibah (2006) dalam Trianto (2007:8) bahwa untuk melihat kelayakan suatu model dalam aspek validitas dibutuhkan ahli dan praktisi dalam menvalidasi model pembelajaran yang dikembangkan. Sedangkan untuk aspek kepraktisan dan efektivitas diperlukan suatu perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Jadi di samping memenuhi ciri-ciri tersebut di atas, suatu model pembelajaran juga harus mendapat legitimasi dari para pakar dan praktisi.
b. Pembelajaran Kooperatif 1). Landasan Pemikiran Pembelajaran kooperatif atau cooperative learning (CL) adalah model pembelajaran di mana siswa belajar dalam kelompok, saling menguatkan, mendalami, dan bekerja sama untuk semakin menguasai bahan (Suparno, 2007:134). Fokus dari pembelajaran kooperatif adalah kemajuan bidang akademik dan afektif melalui kerja sama (Kindsvatter, dkk. dalam Suparno, 2007:134).
Di dalam kelas kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 - 6 orang siswa sederajat tetapi heterogen. Heterogenitas ini ditinjau dari kemampuan akademik, suku/ras, jenis kelamin, agama, dan jika mungkin latar belakang sosial ekonomi keluarga. Makin beragamnya latar belakang siswa dalam kelompok akan semakin baik. Mengapa para siswa yang bekerja di dalam kelompok kooperatif bisa belajar lebih banyak daripada mereka yang belajar dalam kelas tradisional? Ada dua teori utama yang digunakan untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu teori motivasi dan teori kognitif (Slavin , 2005 terjemahan Nurulita Yusron, 2008: 34 40). Kedua teori itu dapat diringkas sebagai berikut: a). Teori Motivasi Perspektif
motivasional
pada
pembelajaran
kooperatif
terutama
memfokuskan pada penghargaan atau struktur tujuan di mana para siswa bekerja (Slavin, 1993). Deutsch (1949) mengidentifikasi tiga struktur tujuan: kooperatif, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan anggota yang lain; kompetitif, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya; dan individualistik, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu tidak memiliki konsekuensi apapun bagi pencapaian tujuan anggota lainnya. Struktur tujuan kooperatif menciptakan situasi di mana satu-satunya cara anggota kelompok bisa mencapai tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka bisa sukses. Oleh karena itu, anggota kelompok harus membantu teman satu timnya, dan mungkin yang lebih penting, mendorong anggota satu kelompoknya untuk melakukan
usaha maksimal. Penghargaan kelompok yang didasarkan pada kinerja kelompok (yang merupakan penjumlahan dari kinerja individual) menciptakan struktur penghargaan interpersonal di mana anggota kelompok akan memberikan atau menghalangi pemicu-pemicu sosial (seperti pujian dan dorongan) dalam merespons usaha-usaha yang berhubungan dengan tugas kelompok. Ketika para siswa bekerja bersama-sama untuk meraih sebuah tujuan kelompok, mereka mengekspresikan norma-norma yang baik dalam melakukan apapun untuk keberhasilan kelompok (Deutsch, 1949; Thomas, 1957 dalam Slavin , 2005 terjemahan Nurulita Yusron, 2008: 35). Di dalam kelas kooperatif murid berusaha keras untuk selalu hadir di kelas, dan membantu yang lainnya belajar akan dipuji dan didukung teman satu timnya. Para siswa di dalam kelas pembelajaran kooperatif merasa bahwa teman sekelas mereka ingin agar mereka belajar. b). Teori Kognitif Teori kognitif dalam pembelajaran kooperatif menekankan pada pengaruh dari kerja sama. Ada beberapa teori kognitif yang berbeda, namun bisa dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu teori perkembangan dan teori elaborasi kognitif. (1). Teori Perkembangan Asumsi dasar dari teori perkembangan adalah bahwa interaksi di antara para siswa berkaitan dengan tugas-tugas yang sesuai meningkatkan penguasaan mereka terhadap konsep kritis (Damon, 1984; Murray, 1982 dalam Slavin , 2005 terjemahan Nurulita Yusron, 2008: 36). Dalam pandangan Vygotsky (1978)
dengan zona perkembangan proksimalnya, kegiatan kolaboratif di antara anakanak mendorong pertumbuhan karena anak-anak yang usianya sebaya lebih suka bekerja di dalam wilayah perkembangan paling dekat satu sama lain. Dengan nada serupa, Piaget (1926 dalam Slavin, 2005 terjemahan Nurulita Yusron, 2008: 37) mengatakan bahwa pengetahuan tentang perangkat sosialbahasa, nilai-nilai, peraturan, moralitas, dan sistem simbol (seperti membaca dan matematika)-hanya dapat dipelajari dalam interaksi dengan orang lain. Selanjutnya masih menurut Piaget (1969 dalam Crain W., terjemahan Yudi Santoso ,2007:371), selama anak merasa didominasi oleh otoritas yang tahu jawaban “benar”, maka mereka akan mengalami kesulitan untuk mengapresiasi perbedaan-perbedaan perspektif. Sebaliknya di dalam diskusi-diskusi kelompok dengan anak-anak lain, mereka memiliki kesempatan lebih baik untuk menghadapi sudut pandang yang berbeda sebagai stimulan tantangan berpikir mereka sendiri. (2) Teori Elaborasi Kognitif Penelitian dalam bidang psikologi kognitif telah menemukan bahwa jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan informasi yang sudah ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi, dari materi (Wittock, 1987 dalam Slavin, 2005 terjemahan Nurulita Yusron, 2008:38). Salah satu cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materi yang dipelajari kepada orang lain. Dari sudut pandang teoritis di atas, menjadi jelas bahwa memang anak-
anak akan lebih banyak belajar dalam kelas kooperatif dibandingkan dengan kelas tradisional. 2). Tujuan Pembelajaran Kooperatif Menurut Kindsvatter dkk dalam Suparno (2007:135), belajar kooperatif mempunyai tujuan antara lain: a) meningkatkan hasil belajar lewat kerja sama kelompok yang memungkinkan siswa belajar satu sama lain; b) merupakan alternatif terhadap belajar kompetitif yang sering membuat siswa lemah menjadi minder; c) memajukan kerja sama kelompok antar manusia. Dengan belajar bersama, hubungan antarsiswa makin akrab dan kerja sama antara mereka akan lebih baik; dan d) bagi siswa-siswa yang mempunyai inteligensi interpersonal tinggi, cara belajar ini sangat cocok dalam memajukan. Mereka lebih mudah mengkonstruksi pengetahuan lewat bekerja sama dengan teman, daripada sendirian. 3). Lingkungan Belajar dan Sistem Pengelolaan Pendidikan dalam masyarakat yang demokratis seyogyanya mengajarkan proses demokrasi secara langsung (John Dewey dan Herbert Thelan dalam Ibrahim, 2000 dalam Trianto, 2007: 44). Tingkah laku kooperatif dipandang oleh Dewey dan Thelan sebagai dasar demokrasi, dan sekolah dipandang sebagai laboratorium untuk mengembangkan tingkah laku demokrasi. Peran aktif dan proses demokrasi menjadi ciri khas lingkungan pembelajaran kooperatif. Guru memang berperan aktif dalam pembentukan kelompok dan juga dalam mendefinisikan semua prosedur. Walaupun demikian, guru tidak dibenarkan mengelola tingkah laku siswa dalam kelompok secara ketat.
Siswa harus memiliki ruang dan peluang untuk secara bebas mengendalikan aktivitas-aktivitas di dalam kelompoknya. Dalam pembelajaran kooperatif siswa tidak hanya mempelajari materi, tetapi siswa juga mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan
kooperatif.
Keterampilan
kooperatif
ini
berfungsi
untuk
melancarkan hubungan kerja dan tugas. Keterampilan-keterampilan kooperatif tersebut meliputi keterampilan kooperatif tingkat awal, tingkat menengah dan tingkat mahir (Lungdren, 1994 dalam Isjoni, 2007: 46 - 48). Keterampilan kooperatif tingkat awal, meliputi: ( 1 ) menggunakan kesepakatan dalam menyamakan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubugan kerja dalam kelompok; ( 2 ) menghargai kontribusi anggota lain; ( 3 ) Setiap anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia mengemban tugas/tanggung jawab tertentu dalam kelompok; ( 4 ) Selama kegiatan berlangsung setiap anggota tetap berada dalam kelompok; ( 5 ) Setiap anggota meneruskan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan; ( 6 ) Mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok; ( 7 ) Mengundang orang lain untuk bebicara dan berpartisipasi terhadap tugas; dan ( 8 ) Bersikap menghormati terhadap budaya, suku, ras, atau pengalaman dari semua siswa atau peserta didik. Keterampilan
kooperatif
tingkat
menengah
meliputi
menunjukkan
penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima, mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi ketegangan. Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
4). Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Terdapat enam langkah utama atau tahapan dalam pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah tersebut ditunjukkan pada tabel 3 ( Langkah pembelajaran secara rinci dalam RPP pada lampiran 2.2 ).
Tabel 3: Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Fase
Tingkah Laku Guru
Fase-1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase-2 Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Fase-3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Fase-4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Fase-5 Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tenteng materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase-6 Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. Sumber: Ibrahim, dkk., 2000 dalam Trianto (2007: 48)
Menurut Roger dan David Johnson, bahwa tidak setiap belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif mempunyai unsur-unsur tertentu agar tujuan dapat tercapai. Unsur-unsur pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan adalah ( 1 ) saling ketergantungan positif; ( 2 ) tanggung jawab perseorangan; ( 3 ) tatap muka; ( 4 ) komunikasi antaranggota, dan ( 5 ) evaluasi proses kelompok ( Anita Lie, 2004:31; sejalan Abdurrahman & Bintoro, 2000 dalam Nurhadi, 2004: 112 ).
dengan
5). Student Teams Achievement Division ( STAD ) Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan satu tipe dari model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-6 orang. Langkah-langkah pembelajaran STAD sama dengan langkah-langkah pembelajaran kooperatif ( tabel 3 ). Setiap siswa memiliki skor awal yang diperoleh dari nilai sebelumnya. Skor awal ini mungkin berupa nilai ulangan harian atau nilai ulangan umum semester sebelumnya. Setelah tahap evaluasi di mana siswa menyelesaikan kuis perorangan, guru harus menghitung poin kemajuan tiap siswa. Perhitungan poin kemajuan terdapat pada tabel 4. Tabel 4: Perhitungan Poin Kemajuan Skor kuis Lebih dari 10 poin di bawah skor awal
Poin kemajuan 5
10 - 1 poin di bawah skor awal
10
Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal
20
Lebih dari 10 poin di atas skor awal
30
Kertas jawaban sempurna (terlepas dari skor awal)
30
Sumber: Slavin, 2005 terj. Nurulita Y., 2008:159
Selanjutnya guru juga harus menghitung poin kemajuan rata-rata tiap tim, yang merupakan jumlah poin kemajuan seluruh anggota tim dibagi jumlah anggota tim. Setelah itu guru menentukan tingkat penghargaan kelompok kepada masing-masing tim dan memberikan penghargaan kepada masing-masing tim. Tingkat penghargaan kelompok terdapat pada tabel 5.
Tabel 5: Tingkat Penghargaan Kelompok Rata-rata tim 0 ≤ x ≤ 5
Predikat -
5 ≤ x ≤ 15
Tim baik
15 ≤ x ≤ 25
Tim hebat
25 ≤ x ≤ 30
Tim super
Sumber: Ratumanan, 2002 dalam Trianto, 2007: 56
6). Jigsaw II (Tim Ahli) Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II merupakan satu tipe dari model pembelajaran kooperatif dengan denggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 5-6 orang. Langkah-langkah pembelajaran Jigsaw II mengikuti langkah-langkah pembelajaran kooperatif ( tabel 3 ). Jumlah anggota dalam satu kelompok ahli tidak lebih dari enan orang; kelompok ahli yang jumlahnya lebih dari enam berpotensi untuk tidak maksimal ( Slavin,2005 terj.Nurulita Y.,2008:241 ). Materi pembelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari sub bab yang ditugaskan kepadanya. Kemudian anggota dari kelompok lain yang mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam kelompok ahli untuk lebih mendalami sub bab yang menjadi tanggung jawab mereka. Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya bertugas mengajar teman-temannya. Pada pembelajaran tipe Jigsaw II ini, perhitungan poin kemajuan, rata-rata tim sama dengan STAD di atas. Selanjutnya guru memberikan penghargaan pada masing-masing tim sesuai dengan rata-rata tim.
3. Motivasi Berprestasi a. Motif dan Motivasi Motif adalah “segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu” (Ngalim Purwanto, 1994: 60). Jadi motif bukanlah sesuatu hal yang dapat diamati, tetapi sesuatu yang dapat disimpulkan adanya dari aktivitas seseorang. Motif selalu berhubungan dengan dorongan atau kebutuhan (need) dan tujuan (Handoko, 1992 dalam Alex Sobur, 2003 : 269). Menurut Woodworth dan Marquis (1955) dalam Sumadi Suryabrata (2005: 71), motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: ( 1 ) motif yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan organik, kebutuhan ini muncul akibat kebutuhan fisiologis, seperti: kebutuhan untuk makan, minum, bernafas, seksual, berbuat, dan beristirahat; ( 2 ) motif-motif darurat, motif ini muncul secara tiba-tiba karena adanya situasi yang menuntut untuk bertindak cepat, misalnya : dorongan untuk menyelamatkan diri, membalas, berusaha, dan memburu; dan ( 3 ) motif-motif objektif, motif ini timbul karena dorongan untuk menghadapi dunia luar, misalnya: kebutuhan untuk melakukan eksplorasi, manipulasi, dan menaruh minat. Motif menunjukkan suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan. Sedangkan motivasi adalah pendorongan; suatu usaha sadar untuk mempengaruhi seseorang agar dia tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu ( Ngalim Purwanto, 1994: 71 ). Menurut Duncan, seorang ahli administrasi, dalam Ngalim Purwanto ( 1994: 72 ), “motivasi berarti setiap usaha yang disadari untuk mempengaruhi
perilaku seseorang agar meningkatkan kemampuannya secara maksimal untuk mencapai tujuan organisasi”. Perilaku atau tingkah laku yang dilatarbelakangi oleh motif disebut “tingkah laku bermotivasi”, yang dirumuskan sebagai “Tingkah laku yang dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian suatu tujuan, agar suatu kebutuhan terpenuhi dan suatu kehendak terpuaskan” ( Dirgagunarsa, 1996 dalam Alex Sobur, 2003 : 270 ). Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan dan mengarahkan seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai tujuan tertentu. b. Motivasi Berprestasi Motivasi berprestasi atau kebutuhan untuk berprestasi (needs for achievement), pertama kali diperkenalkan oleh David McClelland. Menurut McClelland untuk membuat sebuah pekerjaan berhasil, maka yang terpenting adalah sikap terhadap pekerjaan tersebut. Dia melakukan penelitian yang sangat dalam mengenai motif dalam hubungan dengan kebutuhan untuk berprestasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jatuh bangunnya negara-negara beserta kebudayaannya berhubungan erat dengan perubahan pada kebutuhan untuk beprestasi warganya ( Alex Sobur, 2003 : 284). Dari hasil penelitiannya McClelland menunjukkan bahwa karakteristik umum dari orang yang memiliki motivasi berprestasi adalah: ( 1 ) mencapai keberhasilan lebih penting daripada materi atau imbalan finansial, ( 2 ) melaksanakan tugas dengan sukses memberikan kepuasan diri yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan, ( 3 ) keamanan dan kedudukan bukan
motivasi utama, ( 4 ) menginginkan umpan balik dari pekerjaannya, dan ( 5 ) Selalu mencari cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu pekerjaan ( David Mcclelland's motivational needs theory http://www.businessballs.com, diakses 13
Februari 2008). McClelland juga menemukan bahwa siswa dengan motivasi berprestasi rendah mempunyai kecenderungan berpikir lebih banyak tentang ketidakpastian, rintangan, hambatan, dan kemungkinan mendapatkan peristiwa yang tidak terduga (kebetulan) ketika dibangkitkan asosiasinya tentang keberhasilan daripada siswa dengan motivasi berprestasi tinggi ( McClelland et al.,1976: 252 ). Siswa dengan motivasi berprestasi tinggi lebih sering berpikir antisipatif dan general. Mereka ingin menghubungkan “sekarang” dan “nanti’, melihat kaitan antara apa yang sedang mereka pelajari dengan apa yang ingin mereka kerjakan nanti. Di lain pihak, siswa dengan motivasi berprestasi rendah kurang berpikir general dan lebih mencemaskan kesulitan-kesulitan dalam mencapai keberhasilan (McClelland et al.,1976: 254). Keinginan untuk mencapai prestasi tampak ketika siswa berusaha keras mempelajari subjek tertentu atau ketika mereka berjuang keras untuk meraih tujuan dari tugas tertentu (Arends Richard I, terjemahan Helly Prajitno 2008:145). McClelland dan Liberman (1949) menemukan bahwa kelompok siswa dengan motivasi berprestasi sedang (atribute), berpikir tentang jaminan atau keamanan dan terutama mengenai keinginan
cara menghindari kegagalan, atau dengan
minimal untuk mencapai
keberhasilan. Di lain pihak, kelompok
dengan motivasi berprestasi tinggi lebih berpikir tentang mencapai keberhasilan,
atau dengan keinginan kuat untuk mencapai keberhasilan (McClelland et al.,1976: 260). Perlu dicatat bahwa kebutuhan untuk berprestasi tidak selalu berkaitan dengan keberhasilan untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh, sebagian orang yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi memberi perhatian yang besar akan keberhasilan dan bekerja keras untuk memperolehnya, tetapi untuk sebagian orang tidak selalu seperti itu. Kesimpulannya, kebutuhan seseorang untuk mencapai prestasi merefleksikan kerja keras yang dilakukannya untuk mencapai tujuan yang telah ia tetapkan ( Cohen Louis, 1978: 10 ). Berdasarkan uraian di atas, maka motivasi berprestasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan dan mengarahkan seseorang untuk mencapai prestasi. 4. Sikap a. Pengertian Sikap Ketika terlibat dalam interaksi sosial, kita tidak pernah merasa betul-betul netral dan bereaksi tanpa rasa suka atau tidak suka terhadap mitra interaksi kita. Selalu saja ada mekanisme mental yang membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku kita terhadap orang atau situasi yang sedang kita hadapi. Itulah fenomena sikap. Menurut Krech dan Crutchfield dalam Neila Ramdhani (http:/ /neila.staff.ugm.ac.id, diakses tanggal 15 Oktober 2008), sikap adalah “An enduring organization of motivational, emotional, perceptual, and cognitive processes with respect to some aspects of the individual’s world”. Sikap adalah
pengorganisasian yang berlangsung relatif lama dari proses motivasi, persepsi dan kognitif yang relatif menetap pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek kehidupannya. Sikap individu ini dapat diketahui dari beberapa proses motivasi, emosi, persepsi, dan proses kognitif yang terjadi pada diri individu secara konsisten dalam berhubungan dengan obyek sikap. Jadi sikap merupakan sekumpulan respon yang konsisten terhadap obyek sikap. Free online dictionary (www.thefreedictionary.com diakses tanggal 15 Oktober 2008) mencantumkan sikap sebagai “a complex mental state involving beliefs and feelings and values and dispositions to act in certain ways”. Sikap adalah kondisi mental yang kompleks yang melibatkan keyakinan dan perasaan, serta disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu. Sikap terutama merupakan kondisi mental, dan bukan hanya perilaku yang mewujud. Thomas (1918) dan Thomas and Znaniecki (1974) dalam Neila Ramdhani (http://neila.staff.ugm.ac.id, diakses tanggal 15 Oktober 2008), mengemukakan mengenai sikap sebagai berikut:”By attitude we understand a process of individual consciousness which determines real or possible activity of the individual in the social world”. Melalui sikap, kita memahami proses kesadaran yang menentukan tindakan nyata dan tindakan yang mungkin dilakukan individu dalam kehidupan sosialnya. Tindakan yang mungkin dilakukan individu dalam kehidupan sosialnya sudah dapat diprediksi dari sikap. Dengan kata lain sikap merupakan sekumpulan respon terhadap obyek sosial. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kondisi mental yang kompleks yang berlangsung relatif lama dari proses motivasi,
persepsi dan kognitif yang memberikan disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu yang relatif menetap pada diri individu terhadap obyek sikap. Proses yang dapat membentuk sikap adalah proses kognitif, afektif, dan perilaku. Proses kognitif ini dapat berlangsung melalui pengalaman langsung misalnya pada saat individu melakukan belajar berkelompok. Apabila individu mendapatkan banyak keuntungan dari belajar kelompok ataupun dia melihat bahwa teman-teman kelompoknya juga merasakan kepuasan belajar berkelompok, maka individu ini akan bersikap positif terhadap belajar berkelompok. Tetapi apabila individu merasakan kebalikannya, maka sikapnya terhadap belajar berkelompok pasti negatif. Komponen afektif dari sikap mengacu pada emosi yang terkait dengan obyek sikap-apakah obyek itu menyenangkan atau tidak, disukai atau tidak. Bobot emosi inilah yang memberi karakter motivasi kepada sikap. Komponen kecenderungan tindakan dari suatu sikap mencakup semua kesiapan perilaku yang terkait dengan sikap. Jika seorang individu mempunyai sikap positif terhadap suatu obyek sikap, dia akan memiliki kecenderungan untuk mendukung atau membantu obyek itu; tetapi jika dia bersikap negatif maka dia akan cenderung menghancurkan atau mencelakai obyek itu. Menurut pendapat Bem (1972) dalam Neila Ramdhani bahwa perilaku sebelumnya dapat mempengaruhi sikap. Pendapat ini dikenal dengan self perception. Selanjutnya Bem dalam self perception theory berpendapat bahwa orang bersifat positif atau negatif terhadap sesuatu obyek sikap dibentuk melalui pengamatan pada perilaku dia sendiri. Sebagai contoh, orang mengatakan bahwa
sikapnya sangat positif terhadap satu jenis makanan, setelah dia melihat dirinya memakan begitu banyak makanan tersebut.
b. Sikap Sosial Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial megandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota kelompok. Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap sosial tertentu terhadap berbagai obyek psikologis yang dihadapinya. Dalam penelitian ini obyek sikap yang diambil adalah belajar dalam kelompok kooperatif. Faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap sosial siswa terhadap kelompok kooperatif antara lain pengalaman pribadi, kebudayaan sekolah, orang lain yang dianggap penting (misalnya guru ), dan media massa. Jadi sikap sosial dapat didefinisikan sebagai sikap yang terbentuk dari interaksi sosial yang dialami individu terhadap obyek sikap tertentu. c. Mengukur Sikap Sosial Dalam penelitian ini yang menjadi obyek sikap adalah kelompok kooperatif. Sikap sosial siswa yang diukur adalah sikap sosial siswa terhadap belajar dalam kelompok kooperatif. Oleh karena belajar dalam kelompok kooperatif
memerlukan interaksi antar siswa, maka perlu diketahui baik tidaknya hubungan sosial siswa dengan siswa lainnya dalam kelompok kelas. Baik buruknya seseorang dalam mengadakan interaksi dapat diketahui dari angket sosiometri (Bimo Walgito, 2007:34). Indeks popularitas (cs.rs A) diperoleh dari persamaan (1).
(1) Persamaan (1) menyatakan indeks popularitas A, cs.rs A yang merupakan choice status- rejection status dari siswa A. Choice Status artinya jumlah siswa yang memilih A dan rejection status artinya jumlah siswa yang menolak A untuk bergabung dalam kelompok belajar mereka. Jumlah siswa dalam kelompok kelas N. Rentang indeks popularitas dari -1 sampai 1. Jika indeks popularitasnya 1 berarti siswa itu paling popoler karena dipilih oleh semua teman dalam kelompok/kelasnya. Jika indeks popularitasnya -1, berarti siswa tersebut paling ditolak karena ditolak oleh semua siswa dalam kelompok/kelasnya. (Sosiometri dalam http://fransiscamudji.wimamadiun.com diakses 18 Agustus 2008) 5. Prestasi Belajar a. Pengertian Prestasi Belajar Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988:700), prestasi belajar adalah “penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata
pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru”. Jadi dengan adanya nilai dari guru dapat diketahui apakah prestasi belajar siswa itu baik atau tidak. Prestasi belajar diperoleh seseorang setelah melakukan kegiatan belajar atau pembelajaran, baik secara pribadi maupun kelompok. Jadi dapat dikatakan bahwa prestasi belajar merupakan hasil dari tingkah laku akhir pada kegiatan belajar siswa yang dapat diamati. Prestasi belajar menyangkut tiga aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Prestasi belajar merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam proses belajar mengajar yang didapatkan dari hasil evaluasi, baik berupa tes maupun non-tes, yang dilakukan selama atau setelah kegiatan belajar mengajar. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil aktivitas terbaik
yang dilakukan dalam memperoleh pengetahuan atau
keterampilan baik secara individu maupun kelompok pada mata pelajaran tertentu. b. Mengukur Prestasi Belajar Pengukuran dalam sekolah berkaitan dengan deskripsi kuantitatif mengenai tingkah laku siswa. Pengukuran hanya memberikan angka-angka tentang sesuatu berdasarkan
kriteria
tertentu.
Lord
dan
Novick
(1968)
dalam
Suke
Silverius(1991:6) mendefinisikan pengukuran sebagai “A procedure for assigning numbers (usually called score) to a specified attribute or characteristic of persons in such a manner as to maintain the real world relationships among the persons with regard to the attribute being measured”. Definisi ini diterjemahkan bebas oleh penulis: “Suatu prosedur untuk memberikan angka (biasanya disebut skor)
kepada suatu sifat atau karakteristik tertentu seseorang sedemikian sehingga mempertahankan hubungan senyatanya antara seseorang dengan orang lain sehubungan dengan sifat yang diukur itu”. Definisi ini menyiratkan bahwa angka-angka (skor) yang diberikan dalam pengukuran tetap mempertahankan hubungan antarsiswa seperti yang ada dalam kenyataannya. Siswa yang lebih pintar fisika mestinya mendapat nilai yang lebih tinggi daripada siswa yang kurang pintar fisika dalam pengukuran dengan obyek fisika. Secara umum pengukuran merupakan suatu proses pemberian angka pada seseorang berdasarkan kriteria tertentu. Hasil pengukuran dapat dipakai untuk membuat penilaian. Penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu (Nana Sudjana,2008:3). Jenis penilaian yang digunakan dalam penelitian ini berupa penilaian formatif, yang dilaksanakan pada akhir pembelajaran pada pokok bahasan listrik statis. Alat penilaian yang dalam bentuk tes maupun non-tes. Penilaian non-tes digunakan untuk mengukur keberhasilan siswa dalam aspek afektif dan psikomotor, sedangkan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam aspek kognitif umumnya dilakukan dengan tes. Alat penilaian dikatakan mempunyai kualitas yang baik apabila alat tersebut memenuhi dua hal, yakni ketepatannya atau validitasnya dan keajegannya atau reliabilitasnya (Nana Sudjana,2008:12). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui prestasi belajar dilakukan evaluasi atau penilaian. Bentuk penilian berupa tes maupun non-
tes. Tes yang baik harus memenuhi kriteria tertentu dan juga harus sesuai dengan tujuan peruntukannya. 6. Listrik Statis a. Hukum Coulomb 1). Gaya Coulomb Antara Dua Muatan Titik Muatan listrik yang sejenis tolak menolak dan tidak sejenis tarik menarik. Besarnya gaya tarik/tolak di antara dua muatan titik berbanding langsung dengan hasil kali muatan-muatan itu dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak di antara muatan-muatan itu. Pernyataan ini dikenal sebagai hukum Coulomb. Secara matematis pernyataan hukum Coulomb ditulis : F µ
q 1q 2 r2
(2) Untuk menghilangkan tanda sebanding (µ) pada persamaan (2) diberikan kosntanta pembanding k sehingga persamaan (2) menjadi:
F =k
q 1q 2 r2
(3) Persamaan (3) dikenal juga sebagai persamaan gaya Coulomb. Besar gaya Coulomb F bekerja pada masing-masing muatan, sebanding dengan hasil kali dua muatan q1 dan q2 dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak r antara kedua muatan. Konstanta pembanding k dalam sistem MKS setara dengan
1 , 4p Î0
sedangkan dalam CGS nilainya 1. Jika ada dua atau lebih gaya Coulomb bekerja pada sebuah muatan, maka gaya total pada muatan tersebut dihitung secara vektor. 2). Menggambar Vektor Gaya Coulomb Gaya Coulomb, baik berupa gaya tarik atau tolak terletak pada garis hubung kedua muatan seperti pada gambar 1 dan gambar 2. F12
q1
q2
+
+
F12
r12
Gambar 1: Gaya Coulomb antara dua muatan sejenis q3 F34
F34
-
q4
+
r34 Gambar 2: Gaya Coulomb antara dua muatan tidak sejenis
Gambar 1 menunjukkan gaya Coulomb F12, berupa gaya tolak menolak antara dua muatan sejenis, katakan saja q1 dan q2 yang berjarak r12 satu sama lain. Gambar 2 menunjukkan gaya Coulomb F34, berupa gaya tarik menarik antara dua muatan tidak sejenis, katakan saja q3 dan q4 yang berjarak r34 satu sama lain. b. Medan Listrik 1). Pengertian Medan Listrik Medan diartikan sebagai kawasan pengaruh suatu besaran fisis yang mengerjakan gaya pada besaran yang sesuai bila besaran ini berada di dalam kawasan itu. Jadi suatu muatan listrik Q menghasilkan medan listrik E di manapun di dalam ruang dan medan ini melakukan gaya pada muatan lain misalkan q’ yang berada pada jarak tertentu ketimbang pada muatan Q itu sendiri.
v Medan listrik E dari muatan listrik Q di titik di mana muatan uji q’ diletakkan,
didefinisikan sebagai gaya listrik pada muatan uji dibagi besarnya muatan uji.
v v F E= q' (4) v Persamaan (4) menyatakan medan listrik E sebagai perbandingan antara v v gaya Coulomb F dengan besar muatan uji q’. Gaya Coulomb F merupakan gaya
antara muatan Q dengan. v Medan listrik E merupakan vektor yang menggambarkan keadaan di dalam ruang yang disebabkan oleh muatan. Dengan menggerakkan muatan uji v dari satu titik ke titik lain, kita bisa memperoleh E pada semua titik di dalam ruang (kecuali di titik di mana Q berada ). Arah medan listrik di sekitar muatan positif ditunjukkan pada gambar 3 dan medan listrik di sekitar muatan negatif ditunjukkan pada gambar 4.
Q
+
E
Gambar 3: Medan Listrik E di sekitar muatan listrik Q Positif
Q
-
E
Gambar 4: Medan Listrik E di sekitar muatan listrik Q Negatif
v Dari persamaan (4) jika medan listrik E sudah diketahui, maka kita dapat menghitung gaya pada muatan uji. Gaya yang dilakukan pada muatan uji q’ pada setiap titik berhubungan dengan medan listrik:
r v F = q' E
(5) Persamaan (5) menyatakan bahwa semua muatan yang berada di dalam medan listrik akan mendapat gaya Coulomb. Besar gaya Coulomb sebanding dengan kuat medan listrik dan besar muatan listrik.
2). Kuat Medan Listrik a). Kuat Medan Listrik di Sekitar Muatan Titik Kuat medan listrik di sekitar satu muatan titik q, didapatkan dari persamaan (4), dinyatakan dalam persamaan (6): E=
1 q 4p Î0 r 2
(6) Persamaan (6) menyatakan kuat medan listrik E pada suatu titik berjarak r dari muatan q. Dari persamaan (6), kuat medan listrik sebanding dengan besar muatan dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak r. b). Kuat Medan Listrik di Suatu Titik Akibat Dua Muatan Jika satu titik berada di sekitar dua muatan listrik, maka ada dua medan listrik yang bekerja di titik itu. Kuat medan listrik total di titik itu merupakan resultan vektor dari kedua kuat medan listrik yang ada. Penggambaran vektor medan listrik di titik A akibat muatan Q1 dan Q2 ditunjukkan pada gambar 5 dan penggambaran resultan vektor medan listrik di titik A ditunjukkan pada gambar 6.
E2
+
Q1
A
θ
+
Q2
E1
Gambar 5: Medan Listrik di Titik A Akibat muatan Q1 yakni E1 dan Akibat muatan Q2 yakni E2
Q1
E2
+ A
Q2
+
θ
ER
E1
Gambar 6: Resultan Medan Listrik di Titik A
3). Garis-garis Medan Listrik v Medan listrik E dapat digambarkan dengan cara menggambarkan garisgaris medan listrik. Sebuah garis medan listrik adalah sebuah garis khayal yang digambarkan melalui sebuah ruang sedemikian rupa sehingga arah garis singgungnya di setiap titik sesuai arah medan listrik di titik itu. Untuk jelasnya perhatikan gambar 7.
EP P
·
· Q
EQ Garis medan listrik
Gambar 7. Arah Medan Listrik pada Garis Medan Listrik.
Gambar 7 menunjukkan garis medan listrik atau garis gaya. Arah medan listrik di suatu titik pada garis gaya merupakan garis singgung di titik itu. Sebagai contoh, Ep merupakan medan listrik di titik P dan EQ merupakan medan listrik di titik Q pada garis gaya. Garis-garis medan listrik juga disebut garis-garis gaya karena garis-garis tersebut menunjukkan arah dari gaya yang dilakukan pada muatan uji positif. Garis-garis gaya seolah-olah keluar dari muatan positif dan masuk ke muatan negatif. Garis-garis gaya di sekitar dua muatan positif yang berdekatan ditunjukkan pada gambar 8 dan garis-garis gaya di sekitar satu muatan positif dan satu muatan negatif yang berdekatan ditunjukkan pada gambar 9.
Gambar 8: Garis-garis Gaya di Sekitar Dua Muatan Positif yang Berdekatan
c. Hukum Gauss 1). Fluks Listrik
Gambar 9: Garis-garis Gaya di Sekitar Muatan Positif dan Negatif yang Berdekatan
Telah kita pelajari sebelumnya bahwa garis medan dapat digunakan untuk melukiskan kuat medan listrik. Garis-garis medan listrik yang rapat menunjukkan medan listrik yang kuat, sedangkan garis-garis yang terpisah jauh menunjukkan medan listrik yang lemah. Hukum Gauss dinyatakan dengan jumlah garis medan yang menembus suatu permukaan tertutup. Jumlah garis medan per satuan luas sebanding dengan kuat medan listrik E, sehingga jumlah garis medan yang menembus bidang seluas A sebanding dengan EA. Hasil kali antara kuat medan listrik E yang tegak lurus luasan A dengan luas bidang A dinamakan fluks listrik (f). Secara matematis persamaan fluks ditulis pada persamaan (7). Φ = EA (7) Persamaan (7) menyatakan fluks listrik yang sebanding dengan kuat medan listrik yang tegak lurus luasan dan juga sebanding dengan luasan. Fluks pada persamaan (7) juga dapat dinyatakan sebagai hasil kali antara kuat medan listrik dengan luasan yang tegak lurus terhadap kuat medan. Medan listrik E yang tegak lurus terhadap luasan A ditunjukkan pada gambar 10.
E
A
Gambar 10: Medan Listrik E Menembus Tegak Lurus Luasan A.
Jika medan listrik menembus bidang tidak secara tegak lurus bidang, maka fluks yang menembus luasan dihitung dengan persamaan (8).
Φ
=
EA
q
cos
(8) Persamaan (8) menyatakan fluks listrik di mana medan listrik membentuk sudut q terhadap normal bidang luasan. Medan listrik E yang membentuk sudut
q
terhadap normal luasan ditunjukkan pada gambar 11.
A
E
Gambar 11: Medan Listrik E Membentuk Sudut q Terhadap Normal Luasan
2). Perumusan Hukum Gauss Hukum Gauss merupakan sebuah alternatif dari hukum Coulomb untuk menyatakan hubungan antara muatan listrik dan medan listrik. Misalkan kita tempatkan sebuah muatan titik positif di pusat bola dengan jari-jari r sebagai permukaan Gauss seperti ditunjukkan pada gambar 12. Hukum Gauss menyatakan bahwa fluks listrik total yang melalui sebarang permukaan tertutup sebanding dengan muatan listrik total di dalam permukaan itu. Pernyataan hukum Gauss dirumuskan pada persamaan (9):
F = EA = (9)
qtercakup
e0
Persamaan (9) merupakan pernyataan persamaan Gauss yang menyatakan hubungan antara kuat medan listrik dengan muatan. Persamaan Gauss memberikan alternatif cara menentukan kuat medan listrik, selain dengan hukum Coulomb. Permukaan Gauss
r
dA +
E
q
Gambar 12: Muatan q Positif Diletakkan di Pusat Bola Sebagai Permukaan Gauss
3). Aplikasi Hukum Gauss Hukum Gauss berlaku untuk semua distribusi muatan dan untuk sebarang permukaan tertutup. Berikut ini akan kita pelajari beberapa aplikasi dari hukum Gauss. a). Medan Listrik pada Konduktor Dua Pelat Sejajar Medan listrik pada pelat konduktor bermuatan positif, negatif, dan dua pelat sejajar yang diberi muatan sama besar tetapi tidak sejenis yang didekatkan masing-masing ditunjukkan pada gambar 13a, 13b, dan 13c.
+ E
+
E
E
-
+
E
-
Gambar 13a: Medan Listrik Pada Pelat Konduktor Bermuatan Positif
Gambar 13b: Medan Listrik Pada Pelat Konduktor Bermuatan Negatif
+
-
E+
-
Dua pelat konduktor dengan luas tiap pelat A dan masing-masing pelat diberi muatan sama tetapi berlawanan jenisnya, yaitu +q dan -q. Pada pelat terdapat rapat muatan listrik s, yang didefinisikan sebagai muatan per satuan luas ditunjukkan pada persamaan (10).
s =
q A
(10) Persamaan (10) menyatakan rapat muatan sebagai perbandingan antara muatan dengan luas pelat. Selanjutnya masukkan persamaan (9) ke persamaan (10), maka kita dapatkan persamaan kuat medan listrik antara dua pelat seperti pada persamaan (11).
(11) Persamaan (11) menyatakan kuat medan listrik di antara dua pelat konduktor yang sebanding dengan rapat muatan dan berbanding terbalik dengan permitivitas
hampa ε0. Perhatikan bahwa persamaan (11) itu berlaku untuk ruang di antara kedua pelat berisi udara. b). Medan Listrik pada Konduktor Bola Berongga Bila sebuah bola konduktor berongga dengan jari-jari R diberi muatan listrik maka muatan listrik itu akan tersebar merata pada pemukaan bola. Bagaimana kuat medan listrik di dalam bola, di permukaan bola, dan di luar bola? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita cukup menggunakan persamaan (9). (1). Kuat Medan Listrik di Dalam Bola (r < R) Kita buat permukaan Gauss di dalam bola. Muatan yang dilingkupi oleh permukaan sama dengan nol sebab di dalam bola tidak ada muatan (q = 0), maka dengan menggunakan persamaan (9) kita dapatkan kuat medan listrik di dalam bola konduktor berongga sama dengan nol. (2). Kuat Medan Listrik di Luar Bola ( r > R ) Kita buat permukaan Gauss di luar bola (r > R). Muatan yang dilingkupi oleh permukaan Gauss ini sama dengan muatan bola, maka dengan menggunakan persamaan (9) kita dapatkan kuat medan listrik di luar bola pada persamaan (12). E=
1 q 4pe 0 r 2
(12) Persamaan (12) menyatakan kuat medan listrik pada jarak rdari pusat bola konduktor berongga denngan jari-jari R (r > R). Jika kita bandingkan persamaan (12) dengan persamaan (6), maka dapat disimpulkan bahwa kuat medan listrik di
luar bola konduktor berongga dapat diperoleh dengan menganggap konduktor bola berongga sebagai muatan titik yang terletak di pusat bola berjari-jari r. (3). Kuat Medan Listrik di Permukaan bola (r = R) Kita buat permukaan Gauss tepat di kulit bola. Muatan yang dilingkupi oleh permukaan Gauss ini sama dengan muatan bola. Dengan cara yang sama seperti pada bagian (2), kita dapatkan kuat medan listrik di permukaan bola pada persamaan (13). E=
1 q 4pe 0 R 2
(13) Persamaan (13) menyatakan kuat medan di permukaan bola sebanding dengan muatan bola dan berbanding terbalik dengan kuadrat jari-jari bola R. Jika kita bandingkan persamaan (13) dengan persamaan (6), maka dapat disimpulkan bahwa kuat medan listrik di permukaan konduktor bola berongga dapat diperoleh dengan menganggap konduktor bola berongga sebagai muatan titik yang terletak di pusat bola berjari-jari R. d. Energi Potensial Listrik dan Potensial Listrik 1). Energi Potensial Listrik Sebagaimana medan gravitasi bumi, medan listrik dari distribusi muatan yang statis juga bersifat kekal. Dengan demikian kerja yang diperlukan untuk memindahkan sebuah muatan titik di dalam medan listrik juga tidak tergantung pada lintasan. Medan seperti ini disebut sebagai medan konservatif. Karena gaya Coulomb merupakan gaya konservatif maka usaha yang dilakukan oleh gaya
Coulomb dapat dinyatakan dalam energi potensial. Bila muatan bergerak dari titik a yang energi potensialnya Epa ke titik b yang energi potensialnya Epb, maka perubahan energi potensial yang merupakan selisih antara energi potensial akhir dengan energi potensial awal seperti pada persamaan (14). DEp
=
Epb
–
Epa
(14) Persamaan (13) merupakan perubahan energi potensial yang terjadi ketika muatan bergerak/digerakkan dari titik a ke titik b. Usaha yang dilakukan dituliskan pada persamaan (15). W = Epa – Epb= - (Epb – Epa) W
=
-
DEp
(15) Persamaan (15) menyatakan bahwa usaha W untuk membawa muatan dari titik awal ke titik akhir sama dengan negatif perubahan energi potensial. Jika energi potensial bertambah berarti DEp >0, maka tanda W positif yang berarti lingkungan melakukan usaha pada sistem. Artinya diperlukan usaha untuk membawa muatan dari titik awal ke titik akhir. Sebaliknya jika energi potensial berkurang berarti DEp< 0, maka tanda W negatif yang berarti sistem melakukan usaha pada lingkungan. Artinya tidak diperlukan usaha (dari luar/lingkungan) untuk memindahkan muatan. Dalam rangka menghitung usaha untuk membawa muatan dalam medan listrik, pertama akan kita hitung usaha untuk membawa muatan uji q’ dari a ke b
pada arah radial dalam medan listrik yang ditimbulkan oleh q. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar 14. Gambar 14 menunjukkan muatan uji positif q’ dipindahkan secara radial dari titik a ke titik b di dalam medan listrik yang disebabkan oleh muatan Q. Q q’
●
+ a
● F
b
Gambar 14. Muatan Uji q’ Dipindahkan Dalam Medan Listrik Akibat Muatan Q
Selama perjalanan dari a ke b muatan q’ mendapat gaya Coulomb F (r) yang besarnya: F( r) =
1 qq ' 4pe 0 r 2
(16) Persamaan (16) menunjukkan gaya yang dialami muatan q’ pada suatu titik sepanjang perpindahannya dari a ke b. Gaya ini berupa gaya tolak menolak karena muatan Q dan q’ sejenis. Untuk menghitung usaha yang dilakukan kita gunakan teknik integral seperti pada persamaan (17)
(17)
Persamaan (17) menyatakan usaha W yang dilakukan untuk memindahkan muatan uji q’ dari titik a yang berjarak ra dari muatan Q ke titik b yang berjarak rb dari muatan Q. Ruas kanan persamaan (17) mengandung perkalian skalar antara dua vektor (dot product) yang hasilnya pada persamaan (18). F(r).dr = F(r) dr cos f (18) Ruas kanan persamaan (18) merupakan hasil perkalian titik (dot product) antara di v v mana f adalah sudut antara F (r ) dengan dr yang dalam kasus ini bernilai 0o, v v karena F (r ) // dr . Dengan memasukkan persamaan (18) ke persamaan (17), maka didapatkan persamaan (19). rb
W = ò F (r ) dr = ra
W =
Qq ' 4pe 0
rb
rb
1 Qq ' 1 é 1ù òr 4pe 0 r 2 dr = 4pe 0 Qq ' êë r úûr a a
æ 1 1ö ç - ÷ è rb ra ø
(19) Persamaan (19) menyatakan usaha yang dilakukan untuk membawa muatan q’ dari titik a ke titik b. Dengan membandingkan persamaan (19) dengan persamaan (15), maka kita dapat mendefinisikan Qq’/ 4pe0rb sebagai energi potensial di titik b yang berjarak rb dari Q dan Qq’/ 4pe0ra sebagai energi potensial di titik a yang berjarak ra dari Q.
Jadi secara umum energi potensial muatan q’ yang berada pada sembarang jarak r dari muatan Q dapat kita tuliskan seperti pada persamaan (19). Ep =
1 Qq ' 4pe 0 r
(20)
Persamaan (20) menyatakan energi potensial sistem dua muatan Q dan q’ yang berada pada jarak r satu sama lain. Jika muatan berada di takterhingga maka energi potensial di titik itu adalah nol. Jadi usaha untuk membawa muatan dari takterhingga ke suatu titik sama dengan energi potensial di titik itu. Jadi jelas bahwa usaha untuk membawa muatan dalam medan listrik tidak bergantung pada lintasan dan hanya bergantung pada letak titik awal dan akhir. Bagaimana dengan energi potensial sistem yang terdiri atas tiga muatan qA, qB, dan qC yang masing-masing diletakkan pada setiap titik sudur segitiga seperti pada gambar 15? Karena energi potensial merupakan besaran skalar, maka energi potensial sistem seperti pada gambar 15 dihitung dengan menjumlahkan energi potensial sistem dua muatan (persamaan (20)). qC
rAC
rBC
qA rAB
qB
Gambar 15: Sistem Tiga Muatan Pada Titik-titik Sudut Segitiga
Jadi energi potensial sistem tiga muatan seperti pada gambar 15 dihitung dengan persamaan (21).
Ep =
1 æ q A q B q B qC qC q A ö ç ÷ + + 4pe 0 çè rAB rBC rAC ÷ø
(21) Persamaan (21) menyatakan energi potensial sistem tiga muatan qA, qB, dan qC yang terletak di titik-titik sudut segitiga dengan sisi masing-masing rAB, rBC, dan rAC. 2). Potensial Listrik a). Potensial Listrik Akibat Sebuah Muatan Listrik Energi potensial listrik per satuan muatan uji positif (q’) disebut potensial listrik atau potensial V. Potensial listrik dirumuskan pada persamaan (22). V =
Ep q'
Dengan mengganti energi potensial dari persamaan (20), kita dapatkan (22) potensial listrik pada suatu titik sejauh r dari muatan sumber q seperti pada persamaan (23). V =k
q r
(23)
Persamaan (23) menyatakan potensial listrik pada suatu titik sejauh r dari muatan q. Energi potensial dapat ditulis ulang dengan memperhatikan persamaan (22), yang hasilnya pada persamaan (24). Ep = q 'V
(24)
Persamaan (23) menyatakan energi potensial sebagai perkalian antara muatan dengan potensial listrik di tempat muatan berada. Satuan energi potensial adalah joule dan satuan muatan listrik adalah coulomb, maka dari potensial listrik V adalah joule/coulomb atau volt. b). Beda Potensial Bila titik A sejauh rA dari muatan sumber q dengan potensial listrik VA dan titik B sejauh rB dari q dengan potensial listrik VB, maka beda potensial
antara
titik A dan B dirumuskan pada persamaan (25). VAB = VB - VA (25) Persamaan (25) menyatakan beda potensial sebagai selisih potensial dua titik. Beda potensial listrik disebut juga tegangan listrik atau tegangan saja. Bila sebuah partikel dengan muatan q’ bergerak dari sebuah titik A dengan potensial VA ke titik B dengan potensial VB, maka perubahan energi potensial dapat dihitung dengan memperhatikan persamaan (24) dan (25). Perubahan energi potensial sistem: DEp = EpB – EpA DEp = q’ VB – q’ VA DEp = q’ VAB (26)
Persamaan (26) menyatakan perubahan energi potensial sistem sebagai perkalian antara muatan yang dipindahkan q’ dengan beda potensial listrik dari titik akhir dengan titik awal. c). Potensial Listrik oleh Beberapa Muatan Sumber Potensial listrik merupakan besaran skalar. Oleh karena itu, potensial listrik di suatu titik akibat beberapa muatan sumber merupakan penjumlahan aljabar dari potensial listrik dari masing-masing muatan. Secara matematis dituliskan pada persamaan (27). V =
1 4pe 0
q
år
(27) Persamaan (27) menyatakan potensial sistem sebagai penjumlahan dari potensial akibat masing-masing muatan. d). Hukum Kekekalan Energi Mekanik dalam Medan Listrik Bila muatan yang berada di dalam medan listrik tidak dipengaruhi oleh gaya lain selain gaya listrik, maka pada muatan itu berlaku hukum kekekalan energi mekanik karena medan listrik merupakan medan konservatif. Persamaan kekekalan energi mekanik dituliskan seperti persaman (28a) dan (28b). Ep + Ek = konstan (28a) Ep 1 + Ek1 = Ep 2 + Ek 2
(28b)
Persamaan (28a) merupakan persamaan kekekalan energi mekanik sistem, yang jika diterapkan pada dua titik maka didapatkan persamaan (28b) dengan energi potensial dan energi kinetik masing-masing Ep = qV dan Ek =
1 mv 2 2
e). Bidang Ekipotensial Bidang ekipotensial adalah bidang yang mempunyai potensial listrik yang sama. Sebuah muatan titik akan menimbulkan potensial yang sama untuk jarak yang sama dari muatan tersebut. Jadi, sebuah muatan titik akan mempunyai bidang ekipotensial berupa kulit bola. Sifat-sifat bidang ekipotensial, yaitu (a) tidak diperlukan usaha untuk memindahkan muatan dalam satu bidang ekipotensial, (b) bidang ekipotensial tidak pernah berpotongan satu sama lain, dan (c) bidang ekipotensial selalu tegak lurus garis-garis medan listrik. e. Hubungan Antara Potensial dan Kuat Medan Listrik Efek distribusi muatan dapat dideskripsikan dengan medan listrik tau potensial listrik. Potensial listrik sering kali lebih mudah digunakan karena merupakan skalar, sementara medan listrik adalah vektor. Ada hubungan erat antara medan listrik dengan potensial listrik untuk kasus medan listrik seragam, seperti pada pelat sejajar. Kerja yang dilakukan untuk memindahkan muatan positif q melewati beda potensial V didapat dengan memperhatikan persamaan (15) dan (24). Hasilnya seperti pada persamaan (29). W (29)
=
qV
Persamaan (29) menyatakan kerja W untuk membawa muatan q melewati beda potensial V sebagai hasil perkalian antara muatan dengan beda potensial tersebut. Kita dapat juga menuliskan kerja yang dilakukan sebagai gaya dikalikan jarak. Dengan memperhatikan gaya pada muatan q dari persamaan (5), maka kerja yang dilakukan ditulis dalam persamaan (30). W
=
Fd
=
qEd.
(30) Persamaan (30) menyatakan kerja W untuk membawa muatan q dalam medan listrik homogen E sejauh d merupakan perkalian antara q, E, dan d. Dari persamaan (29) dan (30), kita dapatkan hubungan antara beda potensial dengan kuat medan listrik seperti pada persamaan (31). V
=
Ed
atau
E=
V/d.
(31) Persamaan (31) menyatakan beda potensial V antara dua titik yang berjarak d satu sama lain dalam medan listrik homogen E sebagai perkalian antara E dan d. Persamaan (31) hanya berlaku untuk medan listrik homogen. f. Kapasitor Keping Sejajar 1) Kapasitansi Kapasitor dengan luas penampang tiap keping A dan jarak antar keping d, maka kapasitansi kapasitor dirumuskan pada persamaan (32).
(32)
Persamaan (32) menyatakan kapasitansi kapasitor keping sejajar C sebanding dengan luas penampang keping A dan permitivitas hampa e0 dan berbanding terbalik dengan jarak antara kedua keping d. Permitivitas hampa e0 digunakan hanya jika ruang antara kedua keping terisi udara atau hampa. Jika ada bahan dielektrik antara kedua keping dengan
, maka
kapaitansi kapasitor menjadi:
C =
e A er e 0 A = d d
(33) Persamaan (33) menyatakan kapasitansi kapasitor untuk ruang di antara kedua keping diidi dengan bahan dielektrik. 2) Muatan dan Energi Pada Kapasitor Muatan yang disimpan kapasitor dirumuskan pada persmaan (34). q=CV (34) Persamaan (34) menyatakan muatan yang mampu ditampung oleh kapasitor yang mempunyai kapasitansi C dan beda potensial antar keping V. Energi yang tersimpan dalam kapasitor: W =
1 1 qV = CV 2 2 2
(35) Persamaan (35) menyatakan energi W yang disimpan dalam kapasitor sebanding dengan kapasitansi C dan kuadrat beda potensial antar keping. 3) Susunan Kapasitor
a) Susunan Seri C1, V1
C2, V2
Gambar 16. Susunan Seri Dua Kapasitor
Untuk kapasitor yang disusun seri seperti pada gambar 16, maka kapasitansi total, muatan pada masing-masing kapasitor, dan tegangan dirumuskan dalam persamaan (36a, 36b, dan 36c).
(36a) Q1 = Q2 (36b) V = V1 + V2 (36c) Persamaan (36a) menyatakan hubungan antara kapasitansi total Cs dengan kapasitansi kapasitor 1 dan 2 masing-masing C1 dan C2 yang dihubungkan secara seri. Jika ada n kapasitor yang dihubungkan seri maka ruas kanan persamaan (36a) ditambah sampai Cn. Persamaan (36b) menyatakan muatan pada kapasitor 1 dan 2 yang dihubungkan seri adalah sama. Hal ini juga berlaku untuk lebih dari dua kapasitor. Sedangkan persamaan (36c) menyatakan tegangan total V pada ujungujung kapasitor susunan seri yang merupakan jumlah tegangan pada kapasitor 1 dan 2 masing-masing V1 dan V2. Untuk n buah kapasitor yang disusun seri, ruas kanan persamaan (36c) ditambah hingga Vn . b) Susunan Paralel C1, V1
Untuk kapasitor yang disusun paralel seperti pada gambar 17, maka kapasitansi total, muatan pada masing-masing kapasitor, dan tegangan dirumuskan dalam persamaan (37a, 37b, dan 37c). Cp = C1 + C2 (37a) Qt = Q1 + Q2 (37b) V = V1 = V2 (37c) Persamaan (37a) menyatakan kapasitansi total susunan paralel Cp sama dengan jumlah kapasitansi masing-masing kapasitor C1 dan C2 yang disusun papralel. Jika ada n buah kapasitor yang disusun paralel, maka ruas kanan persamaan (37a) ditambah hingga Cn. Persamaan (37b) menyatakan muatan total Qt pada kapasitor yang disusun paralel sebagai jumlah muatan pada masingmasing kapasitor Q1 dan Q2 yang disusun paralel. Untuk ini buah kapasitor yang disusun paralel, maka ruas kanan persamaan (37b) ditambah hingga Qn. Persamaan (37b) menyatakan tegangan pada rangkaian paralel yang sama dengan
tegangan pada masing-masing kapasitor. Persamaan (37c) menyatakan tegangan pada ujung-ujung kapasitor yang disusun paralel adalah sama besar.
B. Penelitian Yang Relevan Sebagai bahan perbandingan, perlu dikemukakan penelitian-penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan, agar dapat memberikan gambaran yang jelas. Penelitian tersebut antara lain: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Fatimah (2005) dengan judul ”Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Direct Instruction dan Diskusi Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi Terhadap Prestasi Belajar fisika”. Hasil penelitian Siti Fatimah antara lain: (a) ada perbedaan pengaruh motivasi berprestasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah terhadap prestasi belajar fisika pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sragen tahun pelajaran 2004/2005, dan (2) ada interaksi antara motivasi berprestasi dan model pembelajaran DI dan diskusi dengan prestasi belajar fisika pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Sragen tahun pelajaran 2004/2005. Berdasarkan hasil penelitian Siti Fatimah bahwa untuk siswa kelas X SMA Negeri 1 Sragen, ada perbedaan pengaruh motivasi terhadap prestasi belajar. Karena motivasi berprestasi bersifat universal, maka timbul pertanyaan: Apakah hasil ini juga konsisten untuk populasi yang berbeda? Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar dengan populasi siswa kelas XII-IA SMA Taruna Nusantara.
Hasil lain dari penelitian Siti Fatimah adalah ada interaksi antara motivasi berprestasi dan model pembelajaran DI dan diskusi dengan prestasi belajar fisika. Untuk pembelajaran yang berpusat pada guru (model pembelajaran DI) dan pembelajaran yang berpusat pada siswa (model pembelajaran Diskusi), ternyata ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan model pembelajaran terhadap prestasi belajar. Oleh karena itu timbul pertanyaan, apakah untuk model pembelajaran yang semuanya berpusat pada siswa seperti pada pembelajaran kooperatif, juga terdapat interaksi antara motivasi berprestasi dengan model pembelajaran terhadap prestasi belajar? Oleh karena itu peneliti ingin meneliti interaksi antara motivasi berprestasi dengan model pembelajaran kooperatif ( STAD dan Jigsaw II ) terhadap prestasi belajar. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Maksum (2006) dengan judul “Perbandingan Efektivitas Pembelajaran Aljabar Linier Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Devision (STAD) dan Jigshaw pada Kelompok Belajar Model Baku dan Modifikasi (Studi Terhadap Mahasiswa Pendidikan Matematika Semester Ganjil 2005/2006). Perlu dijelaskan bahwa kelompok baku adalah kelompok yang dibentuk secara acak, sedangkan kelompok modifikasi adalah kelompok yang beranggotakan para sahabat ( orang-orang yang berteman dekat berada dalam satu kelompok ). Hasil penelitian Maksum dapat dirangkum sebagai berikut: (a) ada pengaruh yang signifikan dari pemilihan tipe pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran Aljabar Linier terhadap prestasi belajar mahasiswa; (b) pembelajaran kooperatif tipe Jigshaw pada kelompok modifikasi secara signifikan lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran
kooperatif tipe Jigshaw pada kelompok baku dan pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan kelompok baku maupun modifikasi; (c) pembelajaran kooperatif tipe Jigshaw pada kelompok baku secara signifikan tidak berbeda efektivitasnya dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada kelompok baku; dan (d) pembelajaran kooperatif tipe STAD pada kelompok modifikasi secara signifikan tidak lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada kelompok baku. Berdasarkan hasil penelitian Maksum dapat dilihat bahwa ada perbedaan efektivitas pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw pada Aljabar Linier ( Bidang Matematika) terhadap prestasi belajar mahasiswa. Pertanyaannya adalah apakah perbedaan efektivitas ini juga berlaku pada fisika? Pertanyan ini timbul karena pola pikir matematika lebih ke pola deduksi, sedangkan fisika lebih ke pola induksi. Pertanyaan kedua dari hasil ini adalah apakah perbedaan efektivitas ini juga dapat berlaku pada siswa SMA? Untuk kelompok baku ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan antara pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw. Dari penelitian Maksum tersirat bahwa sikap mempengaruhi efektivitas pembelajaran kooperatif. Sikap ini teramati secara tidak langsung pada kelompok modifikasi, di mana anggota kelompoknya merupakan para sahabat/teman dekat. Teman dekat ini tentu juga teman yang dipilih mahasiswa untuk masuk dalam kelompok kooperatif mereka.
C. Kerangka Berpikir
Menurut para ahli konstruktivis bahwa dalam mempelajari ilmu pengetahuan, siswa dihadapkan pada dua hal yang berbeda yaitu kenyataan atau fakta dan gagasan atau pengertian. Untuk menjembatani fakta yang konkret dengan gagasan yang abstrak diperlukan konstruksi imajinatif dari siswa. Hasil konstruksi imajinatif ini berupa pemahaman akan pengetahuan yang sedang dipelajari. Pemahaman dibentuk melalui proses asimilasi atau akomodasi. Menurut Vygotsky, pembelajaran terjadi saat siswa bekerja dalam zona perkembangan proksimal, yaitu zona antara tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Pada tingkat perkembangan aktual siswa memecahkan masalah secara mandiri, sedangkan pada tingkat perkembangan potensial siswa memecahkan masalah di bawah bimbingan guru (orang dewasa) melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. Siswa diberi bantuan pada tahap-tahap awal perkembangan, kemudian bantuan ini dikurangi untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil tanggung jawab atau dikenal dengan scaffolding. Berdasarkan penelitian dalam bidang psikologi kognitif bahwa jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori, maka orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi dari materi. Salah satu cara elaborasi yang palig efektif adalah menjelaskan materi yang dipelajari kepada orang lain. Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk membangun pemahaman, bekerja sama seluas-luasnya dengan teman sebaya, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan elaborasi adalah model
pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif yang akan diteliti yaitu model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II. Pada STAD guru menyajikan informasi materi pelajaran melaluipresentasi verbal atau teks. Kemudian siswa dibagi dalam kelompok kooperatif, yang diberi LKS untuk menguasai materi pelajaran kemudian secara individual maupun berpasangan. Setelah itu siswa dalam kelompok saling membantu melalui tutoring, saling memberikan pertanyaan atau melaksanakan diskusi kelompok. Pada Jigsaw II siswa ditempatkan dalam kelompok kooperatif. Materi pelajaran disajikan dalam bentuk teks, dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari satu porsi materinya. Para anggota dari kelompok yang
berbeda, tetapi membicarakan
materi yang sama (kelompok ahli) akan bertemu untuk belajar dan saling membantu dalam mempelajari materi tersebut. Setelah itu siswa kembali ke kelompok asalnya untuk membantu teman-teman di kelompok kooperatifnya untuk memahami materi yang telah dipelajari di kelompok ahli. Siswa di kelompok kooperatif juga diberi LKS sebagai panduan untuk menguasai materi. Secara umum keterampilan siswa SMA Taruna Nusantara untuk bekerja dalam kelompok kooperatif memang perlu ditingkatkan. Namun demikian, kemauan siswa untuk membantu teman-temannya dalam belajar cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kelompok tutor sebaya yang dilaksanakan oleh siswa di luar jam intra kurikuler. Materi pelajaran listrik statis sudah pernah dipelajari di SMP. Materi listrik statis juga banyak dijumpai dalam keseharian para siswa. Oleh karena itu siswa SMA sudah mencapai sebagian tingkat perkembangan aktual untuk materi
listrik statis. Tingkat perkembangan potensial siswa dalam pembelajaran listrik statis bisa dicapai dengan bantuan teman sebaya maupun guru. Dengan memperhatikan pandangan konstruktivis tentang belajar, ide Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal, ide tentang pengaturan kembali kognitif (elaborasi), ciri pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II, karakteristik materi pelajaran Listrik Statis, maka diduga ada perbedaan pengaruh model pembelajaran tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar dalam materi Listrik Statis. Motivasi
berprestasi
adalah
suatu
usaha
yang
disadari
untuk
menggerakkan dan mengarahkan seseorang untuk mencapai prestasi. Ciri-ciri siswa dengan motivasi berprestasi tinggi adalah: (1) mencapai keberhasilan lebih penting daripada materi atau imbalan finansial, (2) melaksanakan tugas dengan sukses memberikan kepuasan diri yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan, (3) selalu mencari cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu pekerjaan. Tentu saja kriteria ini merupakan kriteria yang berlaku umum karena motivasi berprestasi juga berlaku umum pada semua bagian pekerjaan. Jika diterapkan dalam konteks pembelajaran di kelas dapat dikatakan bahwa siswa dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan berusaha keras untuk menguasai bahan ajar. Sedangkan siswa dengan motivasi berprestasi sedang apalagi rendah tentunya kurang berusaha untuk menguasai bahan ajar. Dengan demikian, maka diduga motivasi berprestasi mempunyai pengaruh terhadap pencapaian prestasi belajar.
Sikap sosial adalah sikap yang terbentuk dari interaksi sosial yang dialami individu terhadap obyek sikap tertentu. Obyek sikap dalam penelitian ini adalah kelompok belajar kooperatif. Siswa dengan sikap sosial tinggi adalah siswa yang lebih banyak dipilih oleh teman-teman kelasnya untuk bergabung dalam kelompok kooperatif. Alasan pemilihan antara lain karena siswa tersebut pintar, kalau menjelaskan pelajaran mudah dipahami, dan mau membantu kesulitan belajar teman. Sedangkan siswa dengan sikap sosial rendah adalah mereka yang lebih banyak ditolak untuk bergabung dalam kelompok kooperatif. Alasan penolakan antara lain kurang bersemangat dalam belajar, egois, kalau menjelaskan pelajaran sulit dipahami, dan kurang kenal. Berdasarkan pengertian sikap sosial, obyek sikap, alasan pemilihan dan penolakan seseorang untuk bergabung dalam kelompok kooperatif, maka diduga sikap sosial mempunyai pengaruh terhadap pencapaian prestasi belajar. Pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II ( dan pembelajaran kooperatif pada umumnya) ditandai oleh struktur tugas, tujuan, dan reward yang kooperatif. Siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II dodorong /dituntut untuk mengerjakan tugas secara bersama-sama, dan mereka harus mengoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas itu. Di samping itu, dua orang siswa atau lebih saling bergantung untuk mendapatkan reward. Dalam pembelajaran kooperatif, para siswa harus berusaha membantu anggota kelompok
teman-teman
untuk memahami bahan ajar. Untuk keperluan ini tentu
diperlukan motivasi berprestasi yang kuat agar proses pembelajaran dalam kelompok kooperatif dapat berjalan. Jika ada siswa yang sulit diajak untuk bekerja
sama berada dalam kelompok, maka kehadiran orang ini akan mengganggu tercapainya tujuan kelompok. Berdasarkan struktur tugas, tujuan, dan reward serta ciri-ciri pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II dan ciri siswa bermotivasi berprsestasi, maka diduga ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar. Pada pembelajarn kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II, para siswa banyak berinteraksi dengan teman-temannya untuk memahami bahan ajar. Dengan demikian agar interaksi ini dapat berjalan dengan lancar
tentu sikap sosial
mempunyai peran yang tidak dapat diabaikan. Siswa yang memiliki sifat sosial tinggi akan senang berada dalam kelompok dan dapat menjadi penggerak kelompok untuk mencapai tujuan kelompok yaitu penguasaan bahan ajar. Sedangkan jika siswa yang mempunyai sikap sosial rendah yang berada dalam kelompok kooperatif , maka aka nada dua kemungkinan yang dilakukan. Kemungkinan pertama yaitu siswa ini akan berusaha untuk selalu berada dalam kelompoknya
baik secara fisik maupun mental untuk bersama teman-temannya
dalam pembelajaran. Kemungkinan kedua adalah siswa ini akan mengasingkan diri terutama secara mental dari pembelajaran kelompok. dengan demikian siswa ini akan menghambat pencapaian tujuan kelompok. Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II dan sikap sosial siswa, maka diduga ada interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar.
Siswa dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan berusaha keras untuk menguasai bahan ajar. Sedangkan siswa dengan motivasi berprestasi sedang apalagi rendah tentunya kurang berusaha untuk menguasai bahan ajar. Siswa dengan sikap sosial tinggi akan senang berada dalam kelompok dan dapat menjadi penggerak kelompok untuk mencapai tujuan kelompok yaitu penguasaan bahan ajar. Oleh karena itu siswa dengan motivasi berprestasi tinggi dan sikap sosial tinggi tentu akan menguasai bahan ajar dengan lebih baik dibandingkan dengan gabungan kriteria motivasi berprestasi dan sikap sosial yang lain. Dengan demikian, maka diduga ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar. Motivasi berprestasi dan sikap sosial dapat ditingkatkan manakala dihadapkan pada kondisi yang tepat untuk berubah. Motivasi berprestasi bisa meningkat jika siswa mendapat tantangan yang masih berada dalam batas kemampuan. Tantangan ini bisa didapatkan dalam pembelajaran kooperatif baik tipe STAD maupun Jigsaw II. Tantangan yang dimaksud adalah penguasaan bahan ajar. Siswa ingin dihargai kontribusinya bagi keberhasilan kelompok, dengan demikian siswa akan berusaha keras untuk menguasai bahan ajar, tentu dengan berkolaborasi dengan teman-teman dalam kelompoknya. Untuk sikap sosial, penilaian siswa terhadap teman kelompokya bisa berubah setelah mereka berada dalam satu kelompok. Dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II di mana keberhasilan salah satu siswa juga menyumbang keberhasilan siswa lain, maka penilaian antar teman bisa berubah. Siswa yang tadinya kurang dikenal, sekarang bisa jadi menjadi berjasa bagi kelompoknya karena dia banyak
membantu pemahaman bahan ajar dari anggota kelompoknya. Sikap sosial bisa meningkat dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II. Dengan sikap sosial yang meningkat berarti siswa lebih betah belajar dalam kelompok kooperatif dan penguasaan bahan ajar meningkat. Dengan demikian, maka diduga ada interaksi antara motivasi berprestasi dan
sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II
terhadap prestasi belajar.
D. Perumusan Hipotesis Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Ada perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif dengan tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 2. Ada pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar fisika. 3. Ada pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. 4. Ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 5. Ada interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 6. Ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. 7. Ada interaksi antara motivasi berprestasi, sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada semester I kelas XII tahun pelajaran 2008 / 2009 dari bulan Juli 2008 sampai April 2009. Jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Jadwal Kegiatan Penelitian No
Waktu
Kegiatan
1.
Juli s/d September 2008
Tahap Persiapan Ø Bimbingan proposal penelitian Ø Seminar proposal penelitian Ø Menyusun instrumen penelitian Ø Konsultasi pembimbing Ø Perizinan
2.
Oktober s/d November 2008
Tahap Pelaksanaan Ø Uji Coba instrumen pengambilan data Ø Pelaksanaan penelitian/treatmen Ø Konsultasi pembimbing
3.
Desember 2008 s/d Januari 2009 Tahap Akhir Ø Analisa data Ø Penyusunan laporan Ø Konsultasi pembimbing
4.
Februari s/d April 2009 Pertanggungjawaban Ø Ujian Ø Revisi
B. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMA Taruna Nusantara Magelang kelas XII semester 1 tahun pelajaran 2008 /2009, dengan alamat Jalan Raya Purworejo, Magelang.
C. Populasi 72 Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XII IPA SMA Taruna Nusantara tahun pelajaran 2008 / 2009 yang terdiri 8 kelas. D. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa enam kelas dari kelas XII IPA semester 1 SMA Taruna Nusantara tahun pelajaran 2008 / 2009.
E. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan dua perlakuan, yang melibatkan satu atau lebih kelompok eksperimen tanpa melibatkan satu atau lebih kelompok kontrol. Dasar pemilihan sampel adalah nilai Ulangan Harian (UH)1 fisika Semester 1 tahun pelajaran 2008/2009 (Rekapitulasi Nilai UH 1 pada Lampiran 3.1). Sampel dipilih dari 8 kelas dan dipasangkan secara random 3 kelas sebagai kelompok STAD, yaitu kelas XII-IA2, XII-IA4, dan XII-IA8 dan 3 kelas sebagai kelompok Jigsaw II, yaitu kelas XII- IA1, XIIIA3, dan XII-IA6. Setelah itu dilakukan uji normalitas dan homogenitas untuk nilai Uh 1 fisika dari masing-masing kelompok dengan menggunakan program minitab. 1. Uji Normalitas Sampel Kelompok STAD Hipotesis:
Ho
: Nilai UH1 fisika kelompok STAD berdistribusi tidak normal.
Ha
: Nilai UH1 fisika kelompok STAD berdistribusi normal. Kriteria Uji Normalitas adalah ”Tolak Hipotesis Nol jika p-value > alpha
(0.05)”. Grafik uji normalitas dengan Kriteria Ryan-Joiner ditunjukkan pada gambar 18. Probability Plot of 248stad Normal 99.9
Mean StDev N RJ P-Value
99
Percent
95 90
52.10 13.65 96 0.992 >0.100
80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1
0
10
20
30
40
50 60 248stad
70
80
90
Gambar 18. Grafik Uji Normalitas STAD dengan Kriteria Ryan-Joiner
Hasil uji normalitas menghasilkan p-value > 0,100 dengan Kriteria RyanJoiner dan p-value = 0,502 dengan Kriteria Anderson-Darling (Uji Normalitas selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.2). Berdasarkan Kriteria Uji Normalitas dan p-value, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Keputusan Uji adalah data kelompok STAD berdistribusi normal. 2. Uji Normalitas Sampel Kelompok Jigsaw II Hipotesis: Ho
: Nilai UH1 fisika kelompok Jigsaw II berdistribusi tidak normal.
Ha
: Nilai UH1 fisika kelompok Jigsaw II berdistribusi normal. Kriteria Uji Normalitas adalah ”Tolak Hipotesis Nol jika p-value > alpha
(0.05)”. Grafik uji normalitas dengan Kriteria Anderson-Darling ditunjukkan pada gambar 19. Probability Plot of 136jig Normal 99.9
Mean StDev N AD P-Value
99 95
Percent
90
51.81 10.86 96 0.440 0.287
80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1
10
20
30
40
50 136jig
60
70
80
90
Gambar 19. Grafik Uji Normalitas Jigsaw II dengan Kriteria Anderson-Darling
Hasil uji normalitas menghasilkan p-value > 0,100 dengan Kriteria RyanJoiner dan p-value = 0,287 dengan Kriteria Anderson-Darling (Uji Normalitas selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.2). Berdasarkan Kriteria Uji Normalitas dan p-value, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Keputusan Uji adalah data kelompok Jigsaw II berdistribusi normal. 3. Uji Homogenitas Sampel Kelompok STAD - Jigsaw II. Hipotesis: Ho
: Nilai UH1 fisika kelompok STAD dan Jigsaw II tidak homogen.
Ha
: Nilai UH1 fisika kelompok STAD dan Jigsaw II homogen. Kriteria Uji Homogenitas adalah ”Tolak Hipotesis Nol jika p-value >
alpha (0.05)”. Grafik uji homogenitas dengan Uji Barlet dan Uji Lavene ditunjukkan pada gambar 20.
248stad
Test for Equal Variances for 136jig 25.33 26.00 27.33 31.00 32.33 34.33 34.67 37.33 37.66 37.67 38.00 39.00 39.33 40.00 40.33 40.67 41.00 42.00 42.33 43.33 44.33 44.67 45.33 46.67 47.00 47.67 48.33 49.33 50.00 50.67 51.00 53.33 53.67 54.00 54.33 55.67 56.00 56.33 56.67 58.00 58.33 59.00 60.00 60.33 61.00 62.00 62.33 62.67 63.67 64.33 64.67 65.33 66.67 67.00 67.67 68.67 69.00 72.33 73.33 78.67 83.33 84.67 85.67 89.33
Bartlett's Test Test Statistic P-Value
16.19 0.644
Lev ene's Test Test Statistic P-Value
0
1.27 0.267
2000 4000 6000 8000 10000 12000 95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs
Gambar 20. Grafik Uji Homogenitas Kelompok STAD-Jigsaw II
Hasil uji homogenitas menghasilkan p-value = 0,644 dengan menggunakan Uji Barlet dan p-value = 0,267 dengan menggunakan Uji Lavene. Berdasarkan Kriteria Uji Homogenitas dan p-value, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Keputusan Uji adalah data kelompok STAD dan Jigsaw II adalah homogen. Jadi kelompok STAD dan Jigsaw II setara sebelum diberi perlakuan.
F. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian metode eksperimen dengan dua perlakuan, yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II ditinjau dari motivasi berprestasi dan sikap sosial siswa terhadap prestasi belajar pada konsep listrik statis.
G. Variabel Penelitian Variabel penelitian dikelompokkan menjadi 3 variabel yaitu : 1. Variabel Bebas Variabel bebas pada penelitian ini adalah pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II Definisi Operasional Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan pembelajaran yang dilaksanakan dalam kelompok kecil yang beranggotakan 4 - 6 orang setiap kelompok, sedangkan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II juga merupakan pembelajaran yang dilaksanakan dalam kelompok kecil beranggotakan 5 - 6 orang setiap kelompok. Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II, terdapat kelompok ahli yang bertanggung jawab pada materi ajar tertentu yang menjadi tanggung jawabnya. 2. Variabel Atribut Ada dua variabel atribut dalam penelitian ini yaitu: a. Motivasi berprestasi yang meliputi motivasi berprestasi tinggi, sedang, dan rendah.
Definisi Operasional Motivasi berprestasi adalah skor total yang diperoleh responden (siswa) dari jawaban angket motivasi berprestasi b. Sikap sosial siswa yang meliputi sikap sosial tinggi, sedang, dan rendah. Definisi operasional Sikap sosial siswa adalah indeks popularitas yang diperoleh dari angket sosiometri. 3. Variabel Terikat Variabel terikat pada penelitian ini adalah prestasi belajar siswa. Definisi Operasional Prestasi belajar adalah skor yang ditunjukkan oleh tes hasil belajar pada aspek kognitif.
H. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini digunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu tes dan angket. Tes digunakan untuk mendapatkan informasi tentang prestasi belajar, sedangkan angket digunakan untuk mendapatkan informasi tentang motivasi berprestasi dan sikap sosial siswa.
I. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari instrumen pelaksanaan penelitian dan instrumen pengambilan data, yaitu: 1. Instrumen Pelaksanaan Penelitian
Instrumen pelaksanaan penelitian yaitu Silabus (Lampiran 1.1), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lampiran 1.2), dan Lembar Kerja Siswa (Lampiran 1.3). 2. Instrumen Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan dengan metode tes dan angket, yaitu:
a. Metode Tes Tes adalah ”suatu alat pengukur yang berupa serangkaian pertanyaan yang harus dijawab secara sengaja dalam suatu situasi yang distandardisasikan, dan yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan dan hasil belajar individu atau kelompok”(Masidjo,1995: 38). Pengumpulan data dengan metode tes digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kemampuan intelektual siswa setelah mengikuti pembelajaran. Tes yang digunakan dalam penelitian berupa tes obyektif. Untuk tes hasil belajar skor yang digunakan ditunjukan pada persamaan (38). P=(B x 100) / N (38) Persamaan (38) menyatakan prestasi belajar P merupakan perkalian antara jumlah soal yang dijawab benar B dikalikan 100 dibagi banyaknya soal N. b. Metode Angket Pengumpulan data dengan metode angket ada dua yaitu angket motivasi berprestasi dan angket sosiometri untuk menghitung indeks popularitas.
J. Uji Coba Instrumen Pengambilan Data Instrumen yang baik dalam suatu penelitian sangat penting karena akan menentukan valid atau tidaknya hasil penelitian. Instrumen pengambilan data yang baik harus valid dan reliabel. Untuk keperluan itu maka dilakukan uji coba instrumen berupa angket motivasi berprestasi dan soal tes prestasi dan selanjutnya dianalisa. Sedangkan untuk angket sosiometri akan dilakukan validitas isi, berupa pendapat ahli. Khusus untuk soal tes prestasi, ditambahkan analisis Uji Taraf Kesukaran dan Uji Taraf Pembeda. 1. Uji Validitas Butir Soal Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Untuk menguji validitas isi soal tes digunakan rumus korelasi product moment seperti pada persamaan (39).
rxy =
N å x y - (å x )(å y )
{N å x
2
}{
- (å x ) N å y 2 - (å y ) 2
2
}
(39) ( Suharsimi, 2005: 72, 75-78) Persamaan (39) menyatakan koefisien korelasi product moment rxy yang dipengaruhi oleh jumlah subyek N, skor item x, dan skor total y. Dalam penelitian ini untuk uji validitas butir soal digunakan program minitab, dengan hasil sebagai berikut:
a. Angket motivasi berprestasi, dari 40 butir soal yang diuji cobakan 37 butir soal Valid dan 3 butir soal tidak valid (in-valid), yaitu soal nomor 14, 28, dan 34. Data analisis uji coba motivasi berprestasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5.1. b. Tes prestasi belajar, dari 30 butir soal yang diuji cobakan semuanya valid. Data analisis uji coba tes prestasi belajar selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5.2. 2. Uji Reliabilitas Sesuatu instrumen dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Instrumen yang sudah dapat dipercaya, yang reliabel akan menghasilkan data yang dipercaya juga. Klasifikasi reliabilitas tes ditunjukkan pada tabel 7.
Tabel 7: Tabel Kualifikasi Reliabilitas Tes Koefisien korelasi 0,91 - 1,00
Kualifikasi Sangat tinggi
0,71 - 0,90
Tinggi
0,41 - 0,70
Cukup
0,21 - 0,40
Rendah
negatif - 0,20
Sangat rendah
Sumber : (Masidjo: 1995: 209)
Dalam penelitian ini untuk uji reliabilitas digunakan program minitab, dengan hasil sebagai berikut:
a. Angket motivasi berprestasi, reliabilitas rata-rata = 0,7744 (Cronbach’s Alpha). Berdasarkan tabel 7, reliabilitas angket motivasi berprestasi tergolong berkualifikasi tinggi. b. Tes prestasi belajar, reliabilitas rata-rata = 0,9103 (Cronbach’s Alpha). Berdasarkan tabel 7, reliabilitas tes prestasi belajar tergolong dalam kualifikasi sangat tinggi. 3. Uji Taraf Kesukaran Tingkat kesukaran soal tes prestsi belajar dapat ditunjukkan dengan indeks kesukaran, yaitu bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal Indeks kesukaran dihitung dengan menggunakan rumus (40). P=
B JS
(40) Persamaan (40) menyatakan indeks kesukaran soal P yang merupakan hasil bagi antara banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan benar B dengan jumlah seluruh siswa peserta tes JS (Suharsimi, 2005: 208). Kualifikasi Indeks kesukaran seperti pada tabel 8. Tabel 8: Tabel Kualifikasi Indeks Kesukaran Nilai P
Kualifikasi
0,81 – 1,00
Mudah Sekali
0,61 – 0,80
Mudah
0,41 – 0,60
Sedang/Cukup
0,21 – 0,40
Sukar
0,00 – 0,20
Sukar Sekali
Sumber : Masidjo (1995:192)
Dari 30 butir soal tes prestasi, indeks kesukaran P berada pada rentang 0,25 0,72. Soal dengan indeks kesukaran pada rentang 0,61 - 0,80 dengan kualifikasi mudah ada 9 butir soal ( 30 % ), soal dengan indeks kesukaran pada rentang 0,41 - 0,60 dengan kualifikasi sedang ada 14 butir soal ( 46,7 % ), dan soal dengan indeks kesukaran pada rentang 0,21 - 0,40 dengan kualifikasi sukar ada 7 butir soal ( 23,3 % ). 4. Uji Taraf Pembeda Daya pembeda adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang berkemampuan rendah. Daya pembeda dihitung dengan menggunakan persamaan (41).
(41) Persamaan (41) digunakan untuk menghitung daya pembeda D yang dipengaruhi oleh jumlah peserta kelompok atas JA, jumlah peserta kelompok bawah JB, banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar BA, dan banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar BB. Kualifikasi daya pembeda soal ditunjukkan pada tabel 9.
Tabel 9: Tabel Kualifikasi Daya Pembeda Nilai P
Kualifikasi
0,80 - 1,00
Sangat membedkan
0,60 - 0,79
Lebih membedakan
0,40 - 0,59
Cukup membedakan
0,20 - 0, 39
Kurang membedakan
Negatif - 0,19
Sangat kurang membedakan
Sumber : Masidjo (1995:201)
Dari 30 butir soal tes prestasi, daya pembeda D berada pada rentang 0,4 - 0,8. Soal dengan daya pembeda pada rentang 0,40 - 0,59 dengan kualifikasi cukup membedakan 25 butir soal ( 83,3 % ), soal dengan daya pembeda pada rentang 0,60 - 0,79 dengan kualifikasi lebih membedakan ada 4 butir soal ( 13,3 % ), dan soal dengan daya pembeda pada rentang 0,80 - 1,00 dengan kualifikasi sangat membedakan ada 1 butir soal ( 3,3 % ). Dari hasil analisis instrumen pengambilan data di atas maka diambil keputusan: Untuk angket motivasi berprestasi dari 40 butir soal yang diuji cobakan, digunakan 35 butir soal untuk pengambilan data. Soal yang tidak digunakan adalah nomor 14, 28, 34 karena hasil keputusan dari hasil validitas dan reliabilitasnya adalah invalid. Dua soal lain yang juga tidak digunakan yaitu nomor 18 dan 19, agar indikator (+) dan (-) seimbang. Untuk tes prestasi belajar dari 30 butir soal, semuanya digunakan untuk pengambilan data.
K. Teknik Analisis Data 1. Uji Prasyarat Analisis a. Uji Normalitas
Untuk menyelidiki normal atau tidaknya populasi yang menjadi subyek penelitian dilakukan dengan uji normalitas data prestasi belajar ( Data primer dapat dilihat pada lampiran 6). Pada penelitian ini untuk uji normalitas digunakan program minitab dengan Kriteria Anderson-Darling, Kriteria KolmogorovSmirnov, dan Kriteria Ryan-Joiner dengan prosedur sebagai berikut: 1) Menetapka Hipotesis Hipotesis: Ho : Sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal. Ha : Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal 2) Menetapkan Taraf Signifikansi Taraf Signifikansi (a) adalah angka yang menunjukkan seberapa besar peluang terjadinya kesalahan analisa. Taraf signifikansi dalam penelitian ini adalah 0,05 atau 5%. 3) Keputusan Uji Ho ditolak jika p-value > a
b. Uji Homogenitas Untuk mengetahui apakah variansi-variansi dari sejumlah populasi sama atau tidak digunakan uji homogenitas. Pengujian yang dilakukan antara lain Homogenitas Prestasi Vs Motivasi berprestasi yang diuji dengan Tes Barlett dan Tes Lavene; Homogenitas Prestasi Vs Sikap sosial yang diuji dengan Tes Barlett dan Tes Lavene; dan Homogenitas Prestasi Vs Metode yang diuji dengan Tes F dan Tes Lavene. Prosedur pengujian sebagai berikut:
1) Menetapkan Hipotesis Hipotesis: Ho : Sampel berasal dari populasi yang tidak homogen. Ha : Sampel berasal dari populasi yang homogen. 2) Keputusan Uji Ho ditolak jika p-value > a 2. Pegujian Hipotesis Setelah terpenuhinya prasyarat analisis yaitu normalitas dan homogenitas, maka selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah hipotesis yang sudah diajukan ditolak atau tidak ditolak. Untuk menguji hipotesis dalam penelitian digunakan rumus Anova tiga Jalan dengan desain faktorial 2 x 3 x 3. Tujuan analisis varian tiga jalan ini adalah untuk menguji perbedaan efek baris, kolom dan efek interaksi baris dan kolom terhadap variabel terikat. Statistik Uji Hipotesis menggunakan Program Minitab. Desain faktorial terdapat pada gambar 21. B1 C1
C2
B2 C3
C1
C2
B3 C3
C1
C2
C3
A1 A2
Gambar 21: Desain Faktorial 2 x 3 x 3
Gambar 21 menunjukkan desain faktorial, di mana A merupakan model pembelajaran kooperatif yang terdiri atas STAD A1 dan Jigsaw II A2, B
merupakan motivasi berprestasi yang terdiri atas motivasi berprestasi tinggi B1, motivasi berprestasi sedang B2, dan motivasi berprestasi rendah B3, C merupakan sikap sosial yang terdiri atas sikap sosial tinggi C1, sikap sosial sedang C2, dan sikap sosial rendah C3. a. Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dirumuskan dalam hipotesis nol ( Ho) dan hipotesis alternatif (Ha). Adapun hipotesis tersebut adalah sebagai berikut: 1). Hipotesis 1: Ada perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ho1: Tidak ada perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ha1: Ada perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 2) Hipotesis 2: Ada pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar fisika. Ho2: Tidak ada pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar fisika. Ha2: Ada pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar fisika. 3) Hipotesis 3: Ada pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Ho3: Tidak ada pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Ha3: Ada pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. 4) Hipotesis 4: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ho4: Tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika.
Ha4: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 5) Hipotesis 5: Ada interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ho5: Tidak ada interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ha5: Ada interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 6) Hipotesis 6: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Ho6: Tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Ha6: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. 7) Hipotesis 7: Ada interaksi antara motivasi berprestasi, sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ho7: Tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi, sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ha7: Ada interaksi antara motivasi berprestasi, sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. b. Keputusan Uji Ho ditolak jika p-value < a
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab IV ini akan disajikan hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk deskripsi data, pengujian prasyarat analisis, dan pengujian hipotesis. Selanjutnya dilakukan pembahasan pada bagian akhir.
A. Deskripsi Data Deskripsi data berasal dari data yang dikumpulkan dalam penelitian ini. Data yang dimaksud berupa data sikap sosial, motivasi berprestasi, dan prestasi belajar fisika pada materi listrik statis. 1. Data Sikap Sosial Data sikap sosial diperoleh dari angket sosiometri kelas. Sikap sosial dibagi dalam 3 kategori yaitu sikap sosial tinggi (cs.rs > µ+ ¼ SD ), sikap sosial sedang (cs.rs: µ ± ¼ SD), dan sikap sosial rendah (cs.rs < µ - ¼ SD ), dengan µ menyatakan rerata dan SD menyatakan standar deviasi. Deskripsi data sikap sosial dapat dilihat pada tabel 10. Tabel 10: Deskripsi Data Sikap Sosial Kelom
Rera-
Standar
Maxi-
Mini-
-pok
ta
Deviasi
mum
mum
C1
C2
C3
A1 N= 82
0,0119
0,1628
0,3548
-0,4516
> 0,0526
-0,0288 sd 0,0526 ( N = 19 )
< -0,0288
( N = 34)
A2 N= 82
0,0152
> 0,0489 ( N = 33)
-0,0185 sd 0,0489 ( N = 17 )
< -0,0185
0,1348
0,3226
-0,3548
Kategori
Data statistik deskriptif selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7.
89
( N = 29 ) ( N = 32 )
Grafik histogram data sikap sosial ditunjukkan pada gambar 22.
Histogram of Sikap STAD Jigsaw Normal M ean StD ev N
40
0.01355 0.1490 164
Frequency
30
20
10
0
-0.45
-0.30
-0.15 0.00 Sikap STA D Jigsaw
0.15
0.30
Gambar 22. Grafik Histogram Sikap Sosial
2. Data Motivasi Berprestasi Tabel 11: Deskripsi Data Motivasi Berprestasi Kelom-
Rera-
Standar
Maxi-
Mini-
pok
ta
Deviasi
mum
mum
A1 N= 82
107,95
6,02
124
91
A2 N= 82
108,30
6,98
123
93
Kategori B1
> 109 ( N = 28) > 110 ( N = 35)
B2
B3
106 sd 109 ( N = 28 )
< 106 ( N = 26 )
107 sd 110 ( N = 12 )
< 107 ( N = 35 )
Data motivasi berprestasi diperoleh dari angket motivasi berprestasi kepada responden. Motivasi berprestasi dibagi dalam 3 kategori yaitu motivasi berprestasi tinggi (Skor > µ+ ¼ SD), motivasi berprestasi sedang ( Skor: µ ± ¼ SD), dan motivasi berprestasi rendah (Skor < µ - ¼ SD). Deskripsi data motivasi
berprestasi dapat dilihat pada tabel 11. Grafik histogram data motivasi berprestasi ditunjukkan pada gambar 23.
Histogram of Motivasi Berprestasi STADJigsaw Normal 25
Mean StDev N
108.1 6.498 164
Frequency
20
15
10
5
0
90
96
102 108 114 Motivasi Berprestasi STADJigsaw
120
Gambar 23. Grafik Histogram Motivasi Berprestasi
3. Data Prestasi Belajar Data prestasi belajar diperoleh dari hasil tes prestasi belajar pada materi listrik statis. Grafik histogram data prestasi belajar ditunjukkan pada gambar 24. Data statistik deskriptif selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 8. Deskripsi data prestasi belajar tiap kelompok pembelajaran ditinjau dari motivasi berprestasi dapat dilihat pada tabel 12, dan deskripsi data prestasi belajar tiap kelompok pembelajaran ditinjau dari sikap sosial dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 12: Deskripsi Data Prestasi Belajar Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi
C1 B1
C2 C3
B2
C1 C2 C3
B3
C1 C2 C3
Total
A1
A2
( N; µ; SD; max; min ) 12; 63,33 ; 18,69; 87,00;17,00 28; 54,00; 17,90; 6; 57,00 ; 9,38; 87,00; 17,00 63,00; 43,00 10; 41,00; 13,26; 60,00; 20,00 13; 66,77; 13,71; 87,00; 40,00 28; 59,25; 14,78; 6; 46,17; 11,82; 87,00; 33,00 67,00; 33,00 9; 57,11; 11,93; 70,00; 33,00 9; 60,33; 15,10; 83,00; 40,00 26; 49,27; 16,52; 7; 40,43; 14,16; 83,00; 17,00 57,00; 20,00 10; 45,50; 14,92; 67,00; 17,00 82; 54,29; 16,75; 87,00; 17,00
( N; µ; SD; max; min ) 21; 59,29; 13,23; 87,00; 37,00 35; 58,31; 14,70; 87,00; 6; 63,83; 11,82; 23,00 77,00; 43,00 8; 51,63; 19,21; 73,00; 23,00 4; 55,00; 14,58; 73,00; 40,00 12; 52,75; 16,77; 73,00; 1; 67,00; -; 67,00; 23,00 67,00 7; 49,43; 18,95; 73,00; 23,00 8; 57,38; 16,85; 35; 53,66; 83,00; 30,00 15,37; 83,00; 23,00 10; 52,80; 16,85; 80,00; 23,00 17; 52,41; 14,45; 83,00; 27,00 82; 55,51; 15,30; 87,00; 23,00
Tabel 13: Deskripsi Data Prestasi Belajar Ditinjau Dari Sikap Sosial
B1 C1
B2 B3
C2
B1 B2 B3
C3
B1 B2 B3
Total
A1
A2
( N; µ; SD; max; min ) 12; 63,33; 18,69; 87,00; 17,00 34; 63,85; 15,71; 13; 66,77; 13,71; 87,00; 17,00 87,00; 40,0 9; 60,33; 15,10; 83,00; 40,00 6; 57,00; 9,38; 63,00; 43,00 19; 47,47; 13,43; 6; 46,17; 11,82; 67,00; 20,00 67,00; 33,00 7; 40,43; 14,16; 57,00; 20,00 10; 41,00; 13,26; 60,00; 20,00 29; 47,55; 14,66; 9; 57,11; 11,93; 70,00; 17,00 70,00; 33,00 10; 45,50; 14,92; 67,00; 17,00 82; 54,29; 16,75; 87,00; 17,00
( N; µ; SD; max; min ) 21; 59,29; 13,23; 87,00; 37,00 33; 58,30; 13,92; 87,00; 4; 55,00; 14,58; 30,00 73,00; 40,00 8; 57,38; 16,85; 83,00; 30,00 6; 63,83; 11,82; 77,00; 43,00 17; 57,53; 15,42; 80,00; 1; 67,00; -; 67,00; 23,00 67,00 10; 52,80; 16,85; 80,00; 23,00 8; 51,63; 19,21; 73,00; 23,00 32; 51,56; 16,19; 83,00; 7; 49,43; 18,95; 23,00 73,00; 23,00 17; 52,41; 14,45; 83,00; 27,00 82; 55,51; 15,30; 87,00; 23,00
Histogram of Prestasi Belajar STAD Jigsaw Normal Mean StDev N
25
54.90 16.00 164
Frequency
20
15
10
5
0
20
30
40 50 60 70 Prestasi Belajar STAD Jigsaw
80
90
Gambar 24. Grafik Histogram Prestasi Belajar
B. Uji Prasyarat Analisis 1. Uji Normalitas Salah satu prasyarat analisis adalah uji normalitas. Data yang akan diuji normalitasnya adalah sikap, motivasi berprestasi, dan prestasi belajar. Uji normalitas dilakukan dengan program minitab. a. Uji Normalitas Sikap Salah satu grafik uji normalitas sikap ditunjukkan pada gambar 25. Dari hasil pengujian dengan Kriteria Ryan-Joiner ( RJ ) didapatkan bahwa p-value > 0,100. Berdasarkan hasil uji normalitas didapatkan bahwa p-value > 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi keputusannya data sikap berdistribusi normal.
Probability Plot of sikap stad jig Normal 99.9
Mean StDev N RJ P-Value
99
Percent
95 90
0.01355 0.1490 164 0.994 >0.100
80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1
-0.50
-0.25
0.00 sikap stad jig
0.25
0.50
Gambar 25. Grafik Uji Normalitas Sikap dengan Kriteria Ryan-Joiner
b. Uji Normalitas Motivasi Berprestasi Salah satu grafik uji normalitas motivasi berprestasi ditunjukkan pada gambar 26. Dari hasil pengujian dengan Kriteria Kolmogorov-Smirnov (KS) didapatkan bahwa p-value > 0,150. Berdasarkan hasil uji normalitas didapatkan bahwa p-value > 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi keputusannya data motivasi berprestasi berdistribusi normal.
Probability Plot of motber stad jig Normal 99.9
Mean StDev N KS P-Value
99
Percent
95 90
108.1 6.498 164 0.053 >0.150
80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1
90
100
110 motber stad jig
120
130
Gambar 26. Grafik Uji Normalitas Motivasi Berprestasi dengan Kriteria KolmogorovSmirnov
c. Uji Normalitas Prestasi Belajar Grafik uji normalitas prestasi belajar ditunjukkan pada gambar 27. Dari hasil pengujian dengan Kriteria Kolmogorov-Smirnov (KS) didapatkan bahwa pvalue > 0,150. Berdasarkan hasil uji normalitas didapatkan bahwa p-value > 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi keputusannya data prestasi belajar berdistribusi normal. (Data uji normalitas selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7.1).
Probability Plot of Prestasi Belajar STAD Jigsaw Normal 99.9
Mean StDev N KS P-Value
99 95 90
54.90 16.00 164 0.037 >0.150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1
0
20
40 60 80 Prestasi Belajar STAD Jigsaw
100
Gambar 27. Grafik Uji Normalitas Prestasi Belajar dengan Kriteria KolmogorovSmirnov
2. Uji Homogenitas Prasyarat analisis yang lain adalah uji homogenitas. Pengujian homogenitas yang dilakukan adalah prestasi versus motivasi berprestasi yang diuji dengan Tes Barlett dan Tes Levene, prestasi versus sikap sosial yang diuji dengan Tes Barlett dan Tes Levene, dan prestasi versus metode yang diuji dengan Tes-F dan Tes Levene. Rangkuman p-value uji homogenitas dapat dilihat pada tabel 14. Salah satu grafik uji homogenitas ditunjukkan pada gambar 28. ( Data uji homogenitas selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7.2).
Tabel 14: Rangkuman P-Value Uji Homogenitas
Tes Barlett Prestasi Vs Motivasi Berprestasi Prestasi Vs Sikap Sosial Prestasi Vs Metode
Tes Levene
Tes-F
0,823
0,970
-
0,969
0,949
-
-
0,404
0,417
Gambar 28. Grafik Uji Homogenitas Prestasi Belajar Vs Motivasi Berprestasi
Berdasarkan hasil uji homogenitas didapatkan p-value > 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi keputusannya data prestasi belajar homogen.
C. Hasil Pengujian Hipotesis Rangkuman p-value hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada tabel 15 (Data uji hipotesis selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 9). Tabel 15: Rangkuman P-Value Uji Hipotesis Hipotesis ke-
P-Value
Keputusan
1
0,236 ( p > α
)
2
0,037 ( p <
α)
Ho2 ditolak
3
0,001 ( p <
α)
Ho3 ditolak
4
0,958 ( p > α
)
Ho4 tidak ditolak
5
0,056 ( p > α
)
Ho5 tidak ditolak
6
0,730 ( p > α
)
Ho6 tidak ditolak
7
0,224 ( p > α
)
Ho7 tidak ditolak
Ho1 tidak ditolak
Berdasarkan hasil uji hipotesis disimpulkan sebagai berikut: 1). Hipotesis 1: Ada perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ho1: Tidak ada perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ha1: Ada perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Untuk hipotesis 1 dari tabel 15, p-value = 0,236 ( p > α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 1 atau Ho1 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak
ada perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika 2) Hipotesis 2: Ada pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar fisika. Ho2: Tidak ada pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar fisika. Ha2: Ada pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar fisika. Untuk hipotesis 2 dari tabel 15, p-value = 0,037 ( p < α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 2 atau Ho2 ditolak dan Ha2 diterima. Hal ini berarti ada pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar fisika. 3) Hipotesis 3: Ada pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Ho3: Tidak ada pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Ha3: Ada pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Untuk hipotesis 3 dari tabel 15, p-value = 0,001 ( p < α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 3 atau Ho3 ditolak dan Ha3 diterima. Hal ini berarti ada pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. 4) Hipotesis 4: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ho4: Tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ha4: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Untuk hipotesis 4 dari tabel 15, p-value = 0,958 ( p > α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 4 atau Ho4 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak
ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 5) Hipotesis 5: Ada interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ho5: Tidak ada interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ha5: Ada interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Untuk hipotesis 5 dari tabel 15, p-value = 0,056 ( p > α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 5 atau Ho5 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak ada interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. 6) Hipotesis 6: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Ho6: Tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Ha6: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Untuk hipotesis 6 dari tabel 15, p-value = 0,730 ( p > α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 6 atau Ho6 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika.
7) Hipotesis 7: Ada interaksi antara motivasi berprestasi, sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ho7: Tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi, sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Ha7: Ada interaksi antara motivasi berprestasi, sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Untuk hipotesis 7 dari tabel 15, p-value = 0,224 ( p > α ). Berdasarkan keputusan uji maka hioptesis nol 7 atau Ho7 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi, sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika.
D. Uji Lanjut Analisis Variansi Dan Interaksi Berdasarkan hasil uji hipotesis, maka perlu dilakukan uji lanjut analisis variansi. Uji lanjut analisis variansi dilakukan motivasi berprestasi, dan sikap sosial. 1. Uji Lanjut Analisis Variansi Untuk Motivasi Berprestasi Berdasarkan hasil uji hipotesis diketahui bahwa motivasi berprestasi mempunyai pengaruh terhadap prestasi belajar. Oleh karena motivasi berprestasi dibagi dalam 3 kategori yaitu motivasi berprestasi tinggi ( kategori 1 ), motivasi berprestasi sedang ( kategori 2 ), dan motivasi berprestasi rendah ( kategori 3 ), maka perlu diuji lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing kategori motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar. Grafik uji lanjut motivasi berprestasi ditunjukkan pada gambar 29. Cara membaca grafik pada gambar 29
yaitu ( 1 ) pada gambar ada tiga garis, garis tengah merupakan garis mean sedangkan dua garis lain merupakan garis batas signifikansi, ( 2 ) jika titik pada masing-masing kategori berada di atas garis mean berarti pengaruh kategori motivasi berprestasi tersebut terhadap prestasi belajar adalah positif, sedangkan jika titiknya berada di bawah garis mean berarti pengaruhnya adalah negatif, ( 3 ) jika titik pada masing-masing kategori berada di luar garis batas berarti pengaruhnya signifikan, sedangkan jika titiknya berada di dalam daerah antara kedua garis batas berarti pengaruhnya tidak signifikan.
Gambar 29. Grafik Uji Lanjut Analisis Variansi Motivasi Berprestasi
Berdasarkan grafik uji lanjut pada gambar 29 diketahui: ( 1 ) pengaruh motivasi berprestasi kategori 1 dan 2 terhadap prestasi belajar adalah positif tetapi tidak
signifikan, dan ( 2 ) pengaruh motivasi berprestasi kategori 3 terhadap prestasi belajar adalah negatif dan signifikan.
2. Uji Lanjut Analisis Variansi Untuk Sikap Sosial Berdasarkan hasil uji hipotesis diketahui bahwa sikap sosial mempunyai pengaruh terhadap prestasi belajar. Oleh karena sikap sosial dibagi dalam 3 kategori, yaitu sikap sosial tinggi ( kategori 1 ), sikap sosial sedang ( kategori 2 ), dan sikap sosial rendah ( kategori 3 ), maka perlu diuji lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing kategori sikap sosial terhadap prestasi belajar. Grafik uji lanjut sikap sosial ditunjukkan pada gambar 30. ( Cara membaca grafik pada gambar 30 sama dengan cara membaca grafik pada gambar 29)
Gambar 30. Grafik Uji Lanjut Analisis Variansi Sikap Sosial
Berdasarkan grafik uji lanjut pada gambar 30 diketahui: ( 1 ) pengaruh sikap sosial kategori 1 terhadap prestasi belajar adalah positif dan signifikan, ( 2 ) pengaruh sikap sosial kategori 2 terhadap prestasi belajar adalah negatif tetapi tidak signifikan, dan ( 3 ) pengaruh sikap sosial kategori 3 terhadap prestasi belajar adalah negatif dan signifikan.
E. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Hipotesis 1 Untuk hipotesis 1 dari tabel 15, p-value = 0,236 ( p > α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 1 atau Ho1 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Hasil uji hipotesis ini dapat dipahami, karena STAD dan Jigsaw II mempunyai banyak kesamaan dibandingkan dengan tipe lainnya dalam pembelajarn kooperatif. Perbedaan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terletak pada (1) untuk STAD penyajian materi di awal pelajaran diberikan oleh guru, sedangkan untuk Jigsaw II siswa harus mempelajari sendiri dalam tim ahli kemudian menjelaskan kepada anggota kelompok kooperatifnya, (2) lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk menjelaskan materi pelajaran kepada teman-temannya pada pembelajaran dengan Jigsaw II daripada STAD, dan (3) siswa mempelajari materi secara keseluruhan untuk STAD, sedangkan untuk Jigsaw II siswa cenderung lebih mempelajari materi tertentu yang menjadi tanggung jawabnya pada tim ahli.
Jika dilihat dari perbedaan antara STAD dan Jigsaw II, maka seharusnya pengaruh pembelajaran dengan Jigsaw II terhadap prestasi belajar lebih baik daripada STAD. Hal ini dimungkinkan karena siswa mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam melakukan elaborasi dengan menjelaskan materi pelajaran yang menjadi bagiannya kepada teman-temannya dan juga materi listrik statis tidak terlalu sulit untuk dipelajari secara bersama-sama di antara para siswa. Namun dalam penelitian ini diamati bahwa untuk Jigsaw II, siswa cenderung lebih berkonsentrasi mempelajari materi yang menjadi tanggung jawabnya dalam tim ahli, sehingga kurang memperhatikan penjelasan teman-temannya untuk materi yang lain. Kecenderungan ini dapat dimaklumi karena siswa terbebani dengan tanggung jawabnya masing-masing. STAD dan Jigsaw II merupakan model pembelajaran yang baru pertama kali dilakukan oleh siswa, sehingga awalnya kurang berjalan dengan lancar sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran kooperatif. Para siswa mulai bisa “in”melakukan pembelajaran STAD dan Jigsaw II setelah pertemuan kedua. Dalam penelitian ini, prestasi belajar siswa mencapai rata-rata 54,29 untuk STAD dan 55,51 untuk Jigsaw II. Jadi ada perbedaan pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar walaupun tidak signifikan. Dalam penelitian ini diamati bahwa siswa lebih semangat untuk belajar dalam kelompok kooperatif daripada pembelajaran dengan menggunakan kelas konvensional seperti biasanya. Dalam menyelesaikan LKS, para siswa berdiskusi dengan semangat tidak hanya untuk sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan
pada LKS, tetapi juga tentang materi yang relevan dengan LKS. Kedalaman pemahaman siswa juga ditunjukkan pada saat Quiz, di mana sebagian siswa sudah mencapai Standar Ketuntasan Minimum ( Skor 70 ). Hasil LKS dan Quiz yang paling baik dan paling kurang baik dapat dilihat pada lampiran 9a untuk STAD dan lampiran 9b untuk Jigsaw II. 2. Hipotesis 2 Untuk hipotesis 2 dari tabel 15, p-value = 0,037 ( p < α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 2 atau Ho2 ditolak dan Ha2 diterima. Hal ini berarti ada pengaruh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar fisika. Berdasarkan hasil Uji Lanjut Analisis Variansi untuk Motivasi Berprestasi didapatkan bahwa (1) motivasi berprestasi tinggi dan sedang memberikan pengaruh positif yang tidak signifikan terhadap prestasi belajar, dan (2) motivasi berprestasi rendah memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap prestasi belajar. Artinya secara umum siswa dengan motivasi berprestasi tinggi dan sedang mempunyai prestasi belajar di atas rata-rata, tetapi sebaliknya siswa yang mempunyai motivasi berprestasi rendah mencapai prestasi belajar di bawah rata-rata. Dari Statistik Deskriptif (Lampiran 8), dapat dilihat bahwa prestasi belajar rata-rata yang dicapai siswa dengan motivasi berprestasi tinggi, sedang, dan rendah berturut-turut 56,40; 57,30; dan 51,79. Dari data ini justru siswa dengan motivasi berprestasi sedang mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi.
Menurut McClelland, motivasi berprestasi merupakan daya dorong yang menggerakkan siswa untuk mencapai prestasi. Siswa dengan motivasi berprestasi tinggi mempunyai keinginan yang lebih kuat untuk mencapai prestasi belajar tinggi dibandingkan dengan siswa dengan motivasi berprestasi sedang. Oleh karena itu mestinya siswa dengan motivasi berprestasi tinggi memperoleh prestasi belajar rata-rata lebih tinggi daripada prestasi belajar rata-rata yang diperoleh siswa dengan motivasi berprestasi sedang. Namun demikian, menurut Cohen Louis, kebutuhan untuk berprestasi tidak selalu berkaitan dengan keberhasilan untuk mencapai tujuan. Memang sebagian orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memberikan perhatian yang besar akan keberhasilan dan bekerja keras untuk memperolehnya, tetapi untuk sebagian orang tidak selalu seperti itu. Pendapat terakhir ini cocok dengan hasil penelitian ini.
3. Hipotesis 3 Untuk hipotesis 3 dari tabel 15, p-value = 0,001 ( p < α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 3 atau Ho3 ditolak dan Ha3 diterima. Hal ini berarti ada pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Berdasarkan hasil Uji Lanjut Analisis Variansi untuk Sikap Sosial didapatkan bahwa terhadap prestasi belajar, maka (1) sikap sosial tinggi memberikan pengaruh positif yang signifikan, (2) sikap sosial sedang memberikan pengaruh negatif yang tidak signifikan, dan (3) sikap sosial rendah memberikan pengaruh negatif yang signifikan. Dari Statistik Deskriptif (Lampiran 8) dapat dilihat bahwa prestasi belajar rata-rata yang dicapai siswa dengan sikap
sosial tinggi, sedang, dan rendah berturut-turut 61,12; 52,22; dan 49,66. Data ini juga menunjukkan bahwa ada pengaruh antara sikap sosial terhadap prestasi belajar. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Sikap sosial seorang siswa dinilai oleh orang lain (teman-teman sekelas) dari bentuk perilaku yang tampak. Siswa dengan sikap sosial tinggi adalah siswa yang banyak dipilih oleh teman-teman kelasnya dalam angket sosiometri untuk bergabung dalam kelompok belajarnya. Alasan pemilihan antara lain orangnya pintar, mau membantu teman yang minta penjelasan, jika menjelaskan pelajaran mudah dipahami, dan cocok untuk diskusi. Dari alasan-alasan yang dikemukakan siswa dapat dilihat bahwa siswa yang banyak dipilih ( berarti sikap sosialnya tinggi) adalah siswa yang pintar dan komunikatif sehingga cocok untuk belajar dalam kelompok kooperatif. Sedangkan siswa yang mempunyai sikap sosial rendah adalah siswa yang tidak dipilih atau bahkan ditolak oleh teman-teman kelasnya untuk bergabung dalam kelompok belajarnya. Alasan penolakan antara lain orangnya pintar tetapi terlalu pendiam, kurang mau menjelaskan pelajaran kepada teman yang memerlukan, kalau menjelaskan pelajaran sulit dipahami, dan tidak cocok untuk berdiskusi karena selalu terjadi perdebatan. Dari alasan-alasan yang dikemukakan siswa dapat dilihat bahwa siswa yang tidak dipilih atau bahkan ditolak (berarti sikap sosialnya rendah) adalah siswa yang pintar tetapi tidak cocok belajar dalam kelompok kooperatif, dan siswa yang kurang pintar. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa siswa yang mempunyai sikap sosial tinggi mencapai prestasi belajar rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang
mempunyai sikap sosial sedang dan siswa yang mempunyai sikap sosial sedang mencapai prestasi belajar rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang mempunyai sikap sosial rendah.
4. Hipotesis 4 Untuk hipotesis 4 dari tabel 15, p-value = 0,958 ( p > α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 4 atau Ho4 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh bersama yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan model pembelajaran terhadap prestasi belajar. Pengaruh yang diberikan model pembelajaran terhadap prestasi belajar merupakan pengaruh yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan motivasi berprestasi. Begitu pula sebaliknya, pengaruh yang diberikan oleh motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar merupakan pengaruh yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan model pembelajaran. Dua variabel ini tidak menghasilkan kombinasi efek yang signifikan, sehingga disimpulkan tidak ada interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dengan motivasi berprestasi. Namun demikian bukan berarti tidak ada interaksi sama sekali antara model pembelajaran dengan motivasi berprestasi. Dari tabel 12 dapat dilihat bahwa prestasi belajar rata-rata yang dicapai oleh siswa dengan motivasi berprestasi tinggi, sedang , dan rendah berturut-turut adalah 54,00 untuk STAD dan 58,31 untuk Jigsaw II; 59,25 untuk STAD dan
52,75 untuk Jigsaw II; dan 49,27 untuk STAD dan 53,66 untuk Jigsaw II. Jadi siswa dengan motivasi berprestasi tinggi lebih cocok belajar dengan Jigsaw II daripada STAD, siswa dengan motivasi berprestasi sedang lebih cocok belajar dengan STAD daripada Jigsaw II, dan siswa dengan motivasi berprestasi rendah lebih cocok belajar dengan Jigsaw II daripada STAD. Temuan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Siswa dengan motivasi berprestasi tinggi menyukai tantangan dengan tingkat kesulitan moderat dan berusaha keras untuk mencapai prestasi. Dan juga menurut teori elaborasi kognitif, bahwa jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan informasi yang sudah ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi. Salah satu cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materi yang dipelajari kepada orang lain. Berdasarkan karakter siswa bermotivasi tinggi dan teori elaborasi kognitif, maka siswa dengan motivasi berprestasi tinggi ini lebih cocok untuk belajar dengan Jigsaw II daripada STAD untuk materi listrik statis. Hal ini dapat dipahami karena pada Jigsaw II siswa mempunyai lebih banyak kesempatan untuk menjelaskan materi pelajaran kepada teman-temannya melalui tim ahli, intervensi guru pada pemahaman materi pelajaran sangat sedikit sehingga siswa tertantang untuk menguasai materi pelajaran sebaik-baiknya agar dapat menjelaskan materi tersebut dengan baik kepada teman-teman kelompoknya, dan materi listrik statis mempunyai tingkat kesulitan yang moderat untuk dipelajari. Tantangan ini cocok dengan siswa bermotivasi berprestasi tinggi; (2) Siswa dengan motivasi berprestasi sedang mempunyai karakter antara lain berpikir
tentang jaminan atau keamanan dan terutama mengenai cara menghindari kegagalan atau dapat dikatakan ingin yang aman-aman saja. Karakter ini lebih cocok untuk STAD daripada Jigsaw II. Dalam STAD, siswa mempunyai kesempatan belajar dalam kelompok kooperatif setelah guru memberikan pengantar, arahan, dan paparan awal tentang materi pelajaran. Jadi siswa tidak perlu membahas sendiri dalam kelompok kooperatif seluruh materi seperti pada Jigsaw II. Oleh karena itu siswa yang inginnya aman-aman saja akan lebih senang belajar dengan pembelajaran STAD; dan (3) Siswa dengan motivasi berprestasi rendah mempunyai karakter antara lain lebih mencemaskan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi untuk mencapai keberhasilan, dan tidak mempunyai keinginan kuat untuk mencapai prestasi belajar yang tinggi. Namun demikian, siswa akan belajar jika merasa ada kebutuhan. Kebutuhan akan belajar ini ditimbulkan dalam pembelajaran Jigsaw II, karena setiap siswa akan mendapat jatah tertentu dari materi listrik statis untuk dipelajari sebagai tim ahli. Oleh karena itu setiap siswa, termasuk yang bermotivasi berprestasi rendah akan berusaha dengan sungguhsungguh untuk mempelajari materi pelajaran. Karena mereka tidak ingin menjadi penyebab kegagalan kelompok kooperatifnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah untuk kelas XII-IA SMA Taruna Nusantara, dapat dikatakan kemampuan akademik siswanya tergolong normal sehingga mereka dapat menguasai materi listrik statis sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan demikian siswa yang mempunyai motivasi berprestasi rendah lebih banyak belajar dalam pembelajaran Jigsaw II daripada STAD.
5. Hipotesis 5 Untuk hipotesis 5 dari tabel 15, p-value = 0,056 ( p > α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 5 atau Ho5 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak ada interaksi antara sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh bersama yang signifikan antara sikap sosial dengan model pembelajaran terhadap prestasi belajar. Pengaruh yang diberikan model pembelajaran terhadap prestasi belajar merupakan pengaruh yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan sikap sosial. Begitu pula sebaliknya, pengaruh yang diberikan oleh sikap sosial terhadap prestasi belajar merupakan pengaruh yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan model pembelajaran. Dua variabel ini tidak menghasilkan kombinasi efek yang signifikan, sehingga disimpulkan tidak ada interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dengan sikap sosial. Namun demikian bukan berarti tidak ada interaksi sama sekali antara model pembelajaran dengan sikap sosial. Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa prestasi belajar rata-rata yang dicapai oleh siswa dengan sikap sosial tinggi, sedang, dan rendah berturut-turut adalah 63,85 untuk STAD dan 58,30 untuk Jigsaw II; 47,47 untuk STAD dan 57,53 untuk Jigsaw II; dan 47,55 untuk STAD dan 51,56 untuk Jigsaw II. Berdasarkan data-data penelitian ini, ditemukan bahwa siswa dengan sikap sosial tinggi lebih cocok belajar dengan tipe STAD daripada Jigsaw II dan siswa dengan sikap sosial sedang dan rendah lebih cocok belajar dengan metode Jigsaw II daripada STAD.
Temuan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Untuk siswa yang mempunyai sikap sosial tinggi tentunya mudah beradaptasi dan mudah berkomunikasi dengan teman-temannya baik di kelompok klasikal maupun di kelompok kooperatif. Komunikasi yang dibangun akan lebih efektif jika bahan yang dikomunikasikan sudah agak jelas, sehingga tidak menimbulkan keraguraguan. Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD materi yang didiskusikan untuk mencapai kedalaman pemahan sudah terlebih dahulu dijelaskan oleh guru, sehingga siswa tidak ragu-ragu lagi dengan materi yang akan didiskusikan di kelompok kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II, materi dibahas dan diperdalam dengan dipandu oleh siswa sendiri yang berperan sebagai tim ahli. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tidak jarang siswa yang berperan sebagai tim ahli bingung pada saat ditanya lebih dalam tentang materi yang menjadi tanggung jawabnya. Akibatnya timbul keraguan anggota kelompok dan materi pelajaran itu sendiri menjadi kurang mendalam pembahasannya dan bahkan terkadang terjadi kebuntuan yang memerlukan intervensi guru. Hal ini kurang menguntungkan bagi siapapun termasuk siswa dengan sikap sosial tinggi.; (2) Untuk siswa yang mempunyai sikap sosial sedang dan rendah lebih cocok belajar dengan tipe Jigsaw II daripada STAD. Penjelasan untuk ini dapat ditinjau dari segi kemampuan beradaptasi dan perubahan sikap sebagai berikut: (a) Dari segi kemampuan beradaptasi, jelas bahwa siswa yang mempunyai sikap sosial sedang apalagi rendah dapat dikatakan kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan belajar. Jika siswa ini berada dalam kelompok belajar yang tidak mengharuskan mereka untuk berkomunikasi, maka mereka cenderung kurang
aktif. Sebaliknya jika berada dalam kelompok kooperatif yang mengharuskan mereka untuk berkomunkasi, tentu membuat mereka lebih aktif. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II mengharuskan siswa untuk berkomunikasi, karena mereka akan menjadi tim ahli. Dengan demikian tentunya mereka berusaha untuk beradaptasi dengan kelompok kooperatifnya. Karena dalam kelompok kooperatif semua anggota kelompok aktif berdiskusi, maka mereka akan terbawa untuk ikut aktif; (b) Dari segi perubahan sikap. Menurut Kelman dalam Saifuddin (2008:55) bahwa sikap dapat berubah antara lain melalui proses kesediaan. Terjadinya proses kesediaan ini ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain dikarenakan ia berharap untuk memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Dalam pembelajaran tipe Jigsaw II ketergantungan antar siswa jauh lebih besar dibandingkan dengan tipe STAD. Hal ini terjadi karena dalam Jigsaw II para anggota kelompok akan belajar materi pelajaran dari anggota lain. Oleh karena itu harapan dari semua anggota kelompok adalah agar setiap anggota kelompok harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memahami materi pelajaran terutama yang menjadi tanggung jawabnya dalam tim ahli. Anggota kelompok yang tidak serius belajar tentu tidak akan mendapatkan tanggapan yang positif karena dia merugikan mereka. Dan para siswa SMA Taruna Nusantara akan selalu berusaha untuk tidak membuat kelompoknya gagal. Oleh karena itu siswa yang mempunyai sikap sosial sedang dan rendah lebih banyak belajar dalam pembelajaran Jigsaw II daripada STAD.
6. Hipotesis 6
Untuk hipotesis 6 dari tabel 15, p-value = 0,730 ( p > α ). Berdasarkan keputusan uji maka hipotesis nol 6 atau Ho6 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar fisika. Dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh bersama yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial terhadap prestasi belajar. Pengaruh yang diberikan motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar merupakan pengaruh yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan sikap sosial. Begitu pula sebaliknya, pengaruh yang diberikan oleh sikap sosial terhadap prestasi belajar merupakan pengaruh yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan motivasi berprestasi. Dua variabel yang diteliti tidak menghasilkan kombinasi efek yang signifikan, sehingga disimpulkan tidak ada interaksi yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial.
7. Hipotesis 7 Untuk hipotesis 7 dari tabel 15, p-value = 0,224 ( p > α ). Berdasarkan keputusan uji maka hioptesis nol 7 atau Ho7 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak ada interaksi antara motivasi berprestasi, sikap sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Hipotesis 7 adalah hipotesis untuk interaksi orde dua (second rank interaction) yang merupakan interaksi antara sepasang variabel dengan variabel ketiga. Interaksi antara sepasang variabel yang dikenal dengan interaksi orde pertama (first rank interaction) terdapat pada hipotesis 4, 5, dan 6. Berdasarkan
pengujian hipotesis 4, 5, dan 6 tidak didapatkan interaksi yang signifikan untuk interaksi orde pertama, maka tentunya interaksi orde kedua juga tidak ada.
E. Kelemahan dan Keterbatasan Penelitian Penelitian telah diupayakan semaksimal mungkin dengan harapan hasilnya dapat mengungkap kondisi yang sesungguhnya, namun demikian masih ada halhal yang dapat dianggap sebagai kelemahan dan keterbatasan penelitian yang mempengaruhi hasil penelitian. Adapun hal-hal yang dianggap sebagai kelemahan dan keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sampel penelitian ini terbatas pada siswa kelas XII pada SMA Taruna Nusantara Magelang pada tahun pelajaran 2008/2009. Hal ini dapat diasumsikan bahwa karakteristik siswa serta kondisi sekolah, kesiapan guru dalam mengajar serta faktor pendukung lainnya memiliki ciri yang khas, sehingga dapat diprediksi bahwa, jika penelitian dilakukan pada subyek penelitian yang berbeda, akan menghasilkan data yang berbeda. Jadi hasil penelitian ini hanya berlaku untuk siswa kelas XII pada SMA Taruna Nusantara Magelang pada tahun pelajaran 2008/2009. 2. Pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II baru pertama kali dilakukan guru sebagai peneliti maupun siswa. Dengan demikian dalam penelitian ini ada tahap pembelajaran kooperatif yang terlewatkan yaitu tahap pemberian penghargaan kepada Tim.
3. Pada pembelajaran Jigsaw II, pada saat pelajaran dan tim ahli untuk materi yang dibahas absen, ternyata siswa lain tidak mau menggantikan peran temannya sebagai tim ahli. 4. Waktu penelitian yang berlangsung relatif singkat, yaitu selama 8 jam pelajaran dengan satu pokok bahasan.
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dalam Bab IV, maka keseluruhan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perbedaan pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika pada pokok bahasan listrik statis tidak signifikan. Jadi prestasi belajar yang dicapai siswa pada kedua tipe pembelajaran ini tidak jauh berbeda. Walaupun demikian berdasarkan uji lanjut variansi diketahui bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II memberikan pengaruh yang lebih positif terhadap prestasi belajar fisika dibandingkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Oleh karena itu pembelajaran dengan metode Jigsaw II cenderung lebih baik daripada pembelajaran dengan metode STAD. 2. Motivasi berprestasi berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar fisika. Berdasarkan uji lanjut diketahui bahwa motivasi berprestasi rendah memiliki pengaruh yang signifikan negatif terhadap prestasi belajar fisika. Jadi siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah mencapai prestasi belajar fisika yang rendah ( di bawah rata-rata ). Motivasi berprestasi tinggi dan sedang memberikan pengaruh yang positif terhadap prestasi belajar fisika walaupun pengaruhnya tidak signifikan. Jadi siswa 117
yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dan sedang cenderung mencapai prestasi belajar fisika yang tinggi ( di atas rata-rata ). 3. Sikap sosial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar fisika. Berdasarkan uji lanjut diketahui bahwa sikap sosial tinggi memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap prestasi belajar fisika, sedangkan sikap sosial rendah memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap prestasi belajar fisika. Jadi siswa yang memiliki sikap sosial tinggi mencapai prestasi belajar fisika yang tinggi, sedangkan siswa yang memiliki sikap sosial rendah mencapai prestasi belajar fisika yang rendah. Sikap sosial sedang memberikan pengaruh negatif terhadap prestasi belajar fisika, walaupun tidak signifikan. Jadi siswa yang memiliki sikap sosial rendah cenderung mencapai prestasi belajar fisika yang rendah. 4. Motivasi berprestasi tidak mempunyai pengaruh bersama dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Pengaruh bersama atau interaksi yang diharapkan terbangun antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II ternyata tidak signifikan. Berdasarkan analisis interaksi motivasi berprestasi dengan metode didapatkan bahwa siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dan rendah lebih cocok belajar dengan metode Jigsaw II daripada metode STAD, sedangkan siswa yang memiliki motivasi berprestasi sedang lebih cocok belajar dengan metode STAD daripada metode Jigsaw II.
5. Sikap sosial tidak mempunyai pengaruh bersama dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar fisika. Sikap sosial yang diduga berperan dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II sehingga dapat menghasilkan interaksi terhadap prestasi belajar fisika ternyata tidak terbukti. Berdasarkan analisis interaksi sikap sosial dengan metode didapatkan bahwa siswa yang memiliki sikap sosial tinggi lebih cocok belajar dengan metode STAD daripada Jigsaw II, sedangkan siswa yang memiliki sikap sosial sedang dan rendah lebih cocok belajar dengan metode Jigsaw II daripada STAD. 6. Sikap sosial dengan motivasi berprestasi tidak memberikan pengaruh bersama terhadap prestasi belajar fisika. Berdasarkan analisis interaksi sikap sosial dengan motivasi berprestasi didapatkan bahwa prestasi belajar fisika yang paling tinggi dicapai oleh pasangan sikap sosial tinggi dengan motivasi berprestasi sedang, sedangkan prestasi belajar fisika yang paling rendah dicapai oleh pasangan sikap sosial sedang dengan motivasi berprestasi rendah. 7. Motivasi berprestasi, sikap sosial, dan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II juga tidak memberikan pengaruh bersama terhadap prestasi belajar fisika.
B. Implikasi 1. Implikasi Teoritis Implikasi teoritis dari kesimpulan penelitian adalah untuk memperluas pengetahuan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar
fisika yang berkaitan dengan metode pembelajaran STAD dan Jigsaw II, motivasi berprestasi, dan sikap sosial siswa.
2. Implikasi Praktis Implikasi praktis yang dapat dikemukakan berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut antara lain: a. Menggunaan metode pembelajaran STAD dan Jigsaw II sama baiknya untuk meningkatkan prestasi belajar fisika. b. Motivasi berprestasi mempunyai pengaruh terhadap pencapaian prestasi belajar fisika . c. Sikap sosial mempunyai pengaruh terhadap pencapaian prestasi belajar fisika .
C. Saran Berdasarkan simpulan hasil penelitian, dapat diajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi Siswa a. Hendaknya mengikuti proses belajar mengajar dengan aktif. b. Hendaknya memotivasi dirinya untuk memperoleh prestasi yang tinggi karena motivasi berprestasi tinggi dapat menunjang peningkatan prestasi belajar. c. Hendaknya meningkatkan sikap sosial dalam bersosialisasi dengan teman sebaya karena sikap sosial yang tinggi ternyata menunjang peningkatan prestasi belajar.
2. Bagi Guru a. Guru hendaknya menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan materi pelajaran. b. Guru hendaknya mengupayakan peningkatan motivasi berprestasi dan sikap sosial siswa. 3. Bagi Pengelola Sekolah a. Hendaknya menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung guru untuk menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan materi pelajaran. b. Hendaknya guru-guru diikutkan dalam pelatihan yang berhubungan dengan pembelajaran. 4. Bagi Peneliti Berikutnya a. Hendaknya mencermati secara hati-hati hasil angket yang berupa pilihan ganda. b. Hendaknya model pembelajaran yang akan digunakan dalam penelitian sudah dipraktekkan pada siswa yang akan dijadikan sebagai sampel sebelum penelitian dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan agar pada saat penelitian tidak dijumpai kendala yang berhubungan dengan model pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA Alex Sobur.2003. Psikologi Umum. Bandung : C. V. Pustaka Setia
Anita Lee.2004. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo
Arends, Richard I.1997. Classroom Instruction and Management. Boston : Mc Graw Hill. --------------------.2007. Learning To Teach. Belajar untuk mengajar ( terjemahan Helly Prajitno Soetjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azyumardi Azra.2006. Paradigma Baru Pendidikan Nasional : Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta : Penerbit buku kompas. Baharuddin, Esa Nur Wahyuni. 2008. Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Bimo Walgito.2007. Psikologi Kelompok. Yogyakarta: Andi. Budiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Cohen, Louis. 1978. Educational Research in Classroom and Schools : A Manual of Materials and Methods. London: Hoper and Row Publishers. Crain, Willam.2007. Teori Perkembangan : Konsep dan aplikasi ( terjemahan Yudi Santoso ). Jakarta: Pustaka Pelajar Daryono, H.2007. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Dedi Supriadi.1999.Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Fransisca Mudji. 18 Agustus 2008. Sosiometri: http//fransiscamudji.wimamadiun.com 122
Goris Seran Daton, Stephanus Legiyo, Cosma Elsih Lestari C,Yohanes Bambang suparmono. 2007. Fisika Untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Grasindo. Isjoni.2007.Cooperative Learning. Bandung:Alfabeta Maksum. Diakses 22 Maret 2008. Perbandingan efektivitas Pembelajaran aljabar Linier Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Devision (STAD) dan Jigshaw Pada Kelompok Belajar Model Baku dan Modifikasi (Studi Terhadap Mahasiswa Pendidikan Matematika Semester Ganjil 2005/2006). Abstrak. http://digilib.unila.ac.id/
Masidjo,Ign.1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa Di sekolah. Yogyakarta : Kanisius McClelland, David et al.1976. The Achievement Motivation. New York: Irvington Publisher. Nana Syaodih Sukmadinata. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya National Center for Education Statistic. Februari 2008. TIMSS: http://nces.ed.gov/ Neila Ramdhani.15 Oktober 2008. Sikap: http://neila.staff.ugm.ac.id.
Ngalim Purwanto M.1994. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
___________.2008. Prinsip – prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: P.T. Remaja Rosda Karya NN. 13 Februari 2008. David McClelland Motivational Needs Theory: http://www.businessballs.com NN. 15 Oktober 2008. Free Online Dictionary. www.thefree_dictionary.com.
Nurhadi.2004.Kurikulum 2004, Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta : Grasindo.
Oemar Hamalik. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Ratna Wilis Dahar.1989. Teori – teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Riyanto Theo & Martinus Th. 2008. Kelompok Kerja Yang Efektif. Yogyakarta: Kanisius Saifuddin Azwar. 2008. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Seifert, Kelvin. 2007. Manajemen Pembelajaran dan instruksi Pendidikan (terjemahan Yusuf Anas). Jogjakarta: IRCiSoD. Siti Fatimah. 2005. Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Direct Instruction dan Diskusi Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi Terhadap Prestasi Belajar fisika. Tesis. Surakarta: UNS. Tidak Diterbitkan.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. SuharsimiArikunto.2005. Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Sukardi, MS. 2008. Evaluasi Pendidikan:Prinsip & Operasionalnya. Jakarta: Bumi Aksara Suke Silverius. 1991. Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik. Jakarta: Grasindo.
Sumadi Suryabrata.2005. Psikologi Pendidikan: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Suparno,Paul.1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
____________.2001.Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius ___________.2007. Metodologi Pembelajaran Fisika: Konstruktivistik dan Menyenangkan. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Darma Supratiknya, A. 2000. Statistik Psikologi. Jakarta: Grasindo Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tony D.Widiastono.2004.” Memasarkan Sekolah dan menyekolahkan Pasar” dalam Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas Trianto.2007. Model – model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Presentasi Pustaka Publisher. Wikipedia. Februari 2008. Human Development Index (HDI) : http://en.wikipedia.org/ Wina Sanjaya.2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Zamroni.2007. Meningkatakan Mutu Sekolah: Teori, stategi dan Prosedur. Jakarta: PSAP.
Lampiran 1
TIMSS 2003 Tables Table 5. Average mathematics scale scores of eighth-grade students, by country: 2003 Average Country score International average1
466
Singapore
605
Korea, Republic of
589
Hong Kong SAR2,3
586
Chinese Taipei
585
Japan
570
Belgium-Flemish
537
Netherlands2
536
Estonia
531
Hungary
529
Malaysia
508
Latvia
508
Russian Federation
508
Slovak Republic
508
Australia
505
(United States)
504
Lithuania4
502
Sweden
499
Scotland2
498
(Israel)
496
Country
Average score
New Zealand
494
Slovenia
493
Italy
484
Armenia
478
Serbia4
477
Bulgaria
476
Romania
475
Norway
461
Moldova, Republic of
460
Cyprus
459
(Macedonia, Republic of )
435
Lebanon
433
Jordan
424
Iran, Islamic Republic of
411
Indonesia4
411
Tunisia
410
Egypt
406
Bahrain
401
Palestinian National Authority
390
Chile
387
(Morocco)
387
Philippines
378
Botswana
366
Saudi Arabia
332
Country
Average score
Ghana
276
South Africa
264
Average is higher than the U.S. average Average is not measurably different from the U.S. Average is lower than the U.S. average
TIMSS 2003 Tables Table 6. Average science scale scores of eighth-grade students, by country: 2003 Country
Average score
International average1
473
Singapore
578
Chinese Taipei
571
Korea, Republic of
558
Hong Kong SAR2,3
556
Estonia
552
Japan
552
Hungary
543
Netherlands2
536
(United States)
527
Australia
527
Sweden
524
Slovenia
520
Country
Average score
New Zealand
520
Lithuania4
519
Slovak Republic
517
Belgium-Flemish
516
Russian Federation
514
Latvia
512
Scotland2
512
Malaysia
510
Norway
494
Italy
491
(Israel)
488
Bulgaria
479
Jordan
475
Moldova, Republic of
472
Romania
470
Serbia4
468
Armenia
461
Iran, Islamic Republic of
453
(Macedonia, Republic of)
449
Cyprus
441
Bahrain
438
Palestinian National Authority
435
Egypt
421
Indonesia4
420
Country
Average score
Chile
413
Tunisia
404
Saudi Arabia
398
(Morocco)
396
Lebanon
393
Philippines
377
Botswana
365
Ghana
255
South Africa
244
Average is higher than the U.S. average Average is not measurably different from the U.S. Average is lower than the U.S. average