PENGARUH METODA PEMBEKUAN DAN CARA PEMANASAN TE
AP KONSUMSI ENERGI
PENGERWGAN BEKU LIDAH BUAYA (Aloe Vera var. chinensis Baker)
Oleh :
DIFNA ZISTRA F14104006
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERT BOGOR
BOGOR
Difna Zistra. F14104006. Pengaruh Metoda Pembekuan Dan Cara Pemanasan Terhadap Konsumsi Energi Pengeringan Beku Lidah Buaya (Aloe Vera var. chinensis Baker). Di bawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tarnbunan.
Tanaman lidah buaya (Aloe vercr) merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat. Manfaat dari lidah buaya akan maksimal jika tanaman tersebut dikonversi ke bentuk tepung atau ekstrak. Untuk itu, teknologi tepat guna untuk mengeringkan lidah huaya diperlukan agar gel lidah buaya dapat diambil tanpa perlu menghilangkan kandungan apa pun sehingga khasiatnya dapat dipertahankan. Salah satu teknologi pengeringan yang baik yang dapat digunakan untuk menghasilkan tepung lidah buaya adalah teknologi pengeringan beku P e e z e dryirzg). Pengeringan heku terdiri atas dua tahapan proses utama yaitu proses pembekuan dan proses pengeringanlsublimasi. Ada dua metode pembekuan yang dapat digunakan, yaitu metode pembekuan vakum dan metode pembekuan lempeng sentuh. Tambunan (2005) menjelaskan bahwa pada pembekuan vakum, efek pembekuan diperoleh dengan menguapkan atau mensublimasi sebagian air dari dalam bahan pada kondisi ruang bertekanan rendah. Sedangkan metode pembekuan lempeng sentuh menggunakan lempeng pembeku, dimana proses pindah panas terjadi secara konduksi antara lempeng pembeku dengan bahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh metode pembekuan (pembekuan vakum dan lempeng sentuh) serta arah pemberian panas (dari atas dan dari bawah) terhadap efisiensi penggunaan energi pada proses pengeringan beku. Pada penelitian ini, dilakukan pengujian terhadap empat perlakuan pengeringan beku lidah buaya, yaitu perlakuan metode pembekuan vakum dan pemanasan atas dan bawah (PVAB), metode pembekuan vakum dan pemanasan atas (PVA), metode pembekuan lempeng sentuh dan pemanasan atas dan bawah (PLAB) dan metode pembekuan lempeng sentuh dan pemanasan atas (PLA). Setiap perlakuan dilakukan perhitungan laju pembekuan, laju pengeringan, konsumsi energi dan efisiensi energi. Dari hasil penelitian, pembekuan dengan perlakuan metode pembekuan vakum menghasilkan laju pembekuan lambat. Pembekuan lambat akan membentuk kristal es yang berukuran besar dan struktur pori yang kasar. Sedangkan pada perlakuan dengan metode lempeng sentuh menghasilkan laju pembekuan cepat yang akan membentuk kristal es yang berukuran kecil dan struktur pori lebih halus. Nilai laju pengeringan untuk metode pemanasan atas dan bawah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan metode yang hanya menggunakan pemanasan dari atas. Hal ini dikarenakan metode dengan satu pemanas membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menguapkan air yang ada di dalam bahan jika dibandingkan dengan metode dua pemanas. Berdasarkan metode pembekuan yang digunakan, laju pengeringan dengan metode oembekuan vakum memiliki laiu vang lebih cepat dibandingkan pembekuan dengan menggunakan metode lempeng sentuh. Nilai laju pengeringan yang diperoleh untuk PVAB dan PVA adalah 7.2~10" dan 5 . 1 ~ 1 0kg~ ~uap 2
w
-
aidjam. Sedangkan untuk perlakuan PLAB dan PLA menghasilkan laju pengeringan sebesar 6.5~10"dan 4 . 3 ~ 1 kg 0 ~uap ~ aidjam. Analisis energi dilakukan dengan menghitung energi input dan output dari proses pengeringan beku. Berdasarkan perbandingan antara energi output dan input, maka dapat diperoleh nilai efisiensi penggunaan energi. Nilai ini terbagi dua, yaitu efisiensi energi terukur dan efisiensi energi terhitung. Untuk efisiensi energi terukur pada PVAB, PVA, PLAB, dan PLA diperoleh nilai sebesar 0.98%, 0.73%, 0.80%, dan 0.59%. Sedangkan nilai efisiensi energi terhitung diperoleh sebesar 20.95%, 20.22%, 20.27%, dan 19.50%. Nilai perhitungan efisiensi energi terukur dan terhitung pada metode pembekuan vakum memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan metode pembekuan lempeng sentuh. Sementara itu, berdasarkan diagram tekanan-suhu, metode pembekuan vakum memiliki alur proses yang lebih singkat dibandingkan dengan pembekuan lempeng sentuh, sehingga jika dibandingkan antara hasil perhitungan efisiensi energi dan diagram tekanan-suhu dapat disimpulkan bahwa penerapan pembekuan dengan metode pembekuan vakum dapat menghemat penggunaan energi.
Kata kunci: Pengeringan beku, Pembekuan vakum, Pembekuan lempeng sentuh, Pemanasan dari atas dan bawah, Tepung lidah buaya
PENGARUN METODA PEMBEKUAN DAN CARA PE
ASAN TE
AP KONSURlSI ENERGI
PENGERINGAN BEKU LIDAH BUAYA (Aloe Vera var. chinensis Baker)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: DIFNA ZISTRA
F14104006
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTAMLAN BOGOR PENGARUH METODA PEMBEKUAN DAN CARA PEMANASAN TERHADAP KONSUMSI ENERGI PENGERINGAN BEKU LIDAH BUAYA (Aloe Vera var. chinensis Baker) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: DIFNA ZISTRA F14104006 Dilahirkan di Rumbai pada tanggal 22 Juli 1986 Tanggal Lulus: Bogor, Agustus 2008 Menyetujui,
6
Prof. Dr. Ir. Armansvah H. Tarnbunan bimbing Akademik
2 5 AUG
an
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rumbai pada tanggal 22 Juli 1986 dari pasangan Chairman Djalall dan Fahmiyah Basyir. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara. Penulis telah menyelesaikan studinya di TK Mutiara pada tahun 1991-1992, SD Cendana Duri pada tahun 1992-1998, SLTP Cendana Mandau pada tahun 19982001, dan SMU Cendana Mandau pada tahun 2001-2004. Penulis pemah aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknik pertanian bagian keskretariatan periode 200612007. Penulis juga pemah menjadi asisten praktikurn untuk mata kuliah Motor dan Tenaga Pertanian pada tahun 2007 dan mata kuliah Termodinarnika dan Pindah Panas pada tahun 2008. Penulis telah melaksanakan praktek lapang di pabrik karet PTPN VIII Perkebunan Wangunreja, Subang pada tahun 2007 dan menghasilkan laporan praktek lapang dengan judul "Mempelajari Aspek Keteknikan Pertanian Pada Proses Pengolahan Karet Di PTPN VIII Perkebunan Wangunreja, Subang"
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul "Pengarnh Metoda Pembekuan Dan Cara Pemanasan
Terhadap Konsumsi Energi Pengeringan Beku Lidah Buaya (Aloe Vera var. eltinensis Baker)".
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, M.Agr. selaku dosen pembimbing
akademik, yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Y. Aris Punvanto, M.Sc dan Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si sebagai
dosen penguji yang banyak memberikan saran dalam penulisan skripsi ini. 3. Mama dan Papa yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta doa
kepada penulis. 4. K'thetri dan Dayan, K'rifa dan Dadhe, K'yofi, Daken, Nini, Isan, terimakasih atas doanya selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 5. Satrya yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan dan semangat
kepada penulis. 6. Firly, Nera, Klory, Dara, Abud, Asep, Ronal, Arip, Anes, Sukris, Kiki TIN,
Erika, Lia, Mely, Rina dan Riwil yang banyak membantu penulis selama melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi. 7. Pak Harto, Mas Firman, dan Mas Darma, terimakasih atas segala bantuannya
sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar. 8. Teman-teman seperjuangan TEP41, terimakasih untuk kebersamaannya.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang membacanya. Penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan tulisan selanjutnya. Terimakasih. Bogor, Agustus 2008 Penulis
DAFTAR IS1 KATA PENGANTAR . . ... . . . . . .. .. . . .. . .. . . . ... .. .. ... . . . .. .. . .. ... . . .. . . . ......... .... DAFTAR IS1
i
..
11
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL ...... ................ ...
... . . . . . .............. .................. vi DAFTAR LAMPIRAN .. . . ... . . . . . . .... . . ... . . . .. . . . . .... . . . ..... ....... ........ .......... . vii DAFTAR SIMBOL . . . ... ... ... ... ... .. . .. . ... ... ... ... . .. ...... . .. . . . ... ... ............. viii I.
PENDAHULUAN
1
A. LATAR BELAKAN
1
B. TUJUAN ..................................... ............. . . . .. . . .. . . . . .. . . .
3
11. TINJAUAN PUSTAKA................ .................. ...... ....................... .......... ....
4
A. LIDAH BUAYA
4
B. PENGERINGAN BEKU
8
C. PINDAH PANAS PADA PENGERINGAN BEKU ............................. D. KONSUMSI ENERGI .... ..........................
........ ..... ... . . . . ..
14
.. 15
111. METODOLOGI PENELITIAN
18
A. WAKTU DAN TEMPAT
18
B. BAHAN DAN &AT
18
C. METODOLOGI PENELITIAN
19
IV. PEMBAHASAN ... .. . . .. ... ... ... ... .. . ... ... .. . .. . ... . .. ... .... .. ... ... ........... 24 A. PROSES PENGElUNGAN BEKU LIDAH BUAYA .. ... .. . ... . .. ... .. 24 1. PEMBEKUAN ... ... ...... . .. . . . ...... ... ...... ...... ...... ... ... .......... 24 2. PENGERINGANISUBLIMASI ..... . .. ... . . ..... .. . ... ... ... ... ........ 29 3 . LAJU PEMBEKUAN . .... . . . . ... . . . . .... . . .. . . . . .. . .. . .. . .. ... . .. ........ 33
4. LAJU PENGERINGAN ... . .. .. . . .. .. . . .... . ... . . ... . . . .. .. . . .. ... ....... 35 5. KADAR AIR . .. ... .. . . .. ... .. . ... ... ... ... . .. .. . ... ... ... .... .. ............. 36 B. KONSUMSI ENERGI . . .... . .. . . ... . . .. .. . ... . . . . .... .. .. .. ... . . ... . . ........ 37
1. EFISIENSI ENERGI.. ... . . .. . . . .. ... .. .. ..... .... . .. .. ... ... ... . .......... 37 2. DIAGRAM TEKANAN-SUHU .. .... . .. . .... . . .. . ... .. . . . . ... . . ... .. ... 4 1 V. KESIMPULANDAN S
45
A. KESIMPULAN ...... ... . .. ... ......... . .. ... ... . .. .. . . . . . . . . .............. 45
B. SARAN............................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................. .... ................. .................. . . . . . . ..
45
............ 46
LAMPIRAN . . . .... .. ... ... ... ... ... . .. ... ... ... ... . . . ... ... ... .. . ... ... .. . ................
48
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kebun lidah buaya dan Aloe veva var . chinensis Baker ...............
4
Gambar 2 . Bagan alir pembuatan tepung lidah buaya dengan metode pengering semprot atau Spvq D ~ y e r............................................ Gambar 3 . Proses pengeringan beku pada diagram fase air ............................... Gambar 4. Mekanisme pengeringan beku ............................................
7 9
12
Gambar 5. Perbandingan diagram tekanan-suhu pada pembekuan vakum dan pembekuan lempeng sentuh selama proses proses pengeringan beku ..........................................................................
13
Gambar 6 . Model fisik pengeringan beku ...........................................
14
Gambar 7. Wadah sampel untuk pengujian ...........................................
18
Gambar 8. Mesin pengering beku (metode pembekuan vakum) .................... 19 Gambar 9. Mesin pengering beku (metode pembekuan lempeng sentuh) ...... 19 Gambar 10.Bagan alir proses pembuatan tepung lidah buaya dengan metode pengeringan beku .......................... . . . ......................................... 20 Gambar 11. Bagan alir proses perhitungan konsumsi energi ............................ 22 Gambar 12.Wadah sampel untuk pengujian pengeringan beku lidah buaya ... 24 Gambar 13. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses pembekuan pada Perlakuan Pembekuan Vakum dan Pemanasan Atas dan Bawah (PVAB) .....................................................................
25
Gambar 14. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses pembekuan pada Perlakuan Pembekuan Vakum dan Pemanasan Atas (PVA) ........ 25 Gambar 15.Nilai tekanan selama proses pembekuan pada PVAB ................. 26 Gambar 16. Nilai tekanan selama proses pembekuan pada PVA .................... 26 Gambar 17. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses pembekuan pada Perlakuan Pembekuan Lempeng Sentuh dan Pemanasan Atas dan Bawah (PLAB) ...................................................................
28
Gambar 18. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses pembekuan pada Perlakuan Pembekuan Lempeng Sentuh dan Pemanasan Atas (PLA) ........................ . . .............................................................
28
Gambar 19. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses sublimasi pada PVAB .......................................................................................... Gambar 20. Grafik tekanan terhadap waktu selama proses sublimasi pada PVAB ........................................................................................... Gambar 21. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses sublimasi pada .......................................................... PLAB ....................... . . . .
Gainbar 22. Grafik tekanan terhadap waktu selama proses sublimasi pada PLAB ......................................................................... Gambar 23. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses sublimasi pada PVA ............................................................................................ Gambar 24. Grafik tekanan terhadap waktu selama proses sublimasi pada PVA .............................................................................................. Gambar 25. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses sublimasi pada PLA ........................................................................................ Gambar 26. Grafik tekanan terhadap waktu selama proses sublimasi pada PLA .............................................................................................. Gambar 27. Grafik laju penurunan tekanan ..................................................... Gambar 28. Perbandingan fisik bahan kering beku yang dibekukan dengan pembekuan vakum dan pemhekuan lempeng sentuh .................... Gambar 29. Skema sistem pengeringan beku ................................................... Gambar 30. Diagram tekanan-suhu pada PVA selama proses pengeringan beku ..........................................................................
42
Gambar 3 1.Diagram tekanan-suhu pada PVAB selama proses pengeringan beku ............................................................................
42
Gambar 32. Diagram tekanan-suhu pada PLA selama proses pengeringan beku .............................................................................................
43
Gambar 33. Diagram tekanan-suhu pada PLAB selama proses pengeringan beku .............................................................................................
43
Tabel 1. Komposisi gizi 100 g gel lidah buaya Tabel 2. Perbedaan metode pengeringan konvensional dan metode Pengeringan beku
. .
Tabel 3. Empat jenis perlakuan ....................................................................... Tabel 4. Sifat termodinamika air Tabel 5. Perbandingan nilai laju penelitian Tabel 6. Nilai laju pengeringa Tabel 7. Perbandingan kadar air lidah buaya kering dengan beberapa metode pengeringan Tahel8. Energi input Tabel 9. Total konsumsi energi bahan pada proses pembekuan ..................... Tabel 10.Total konsumsi energi ....................................................................... Tabel 11.Efisiensi energi pengeringan beku ....... ............ .................... .............
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Standar mutu lidah buaya .................................................
48
Lampiran 2. Gambar lidah buaya kering hasil pengeringan beku .................... 51 Lampiran 3. Konsumsi energi pengeringan beku
52
Lampiran 4. Contoh perhitungan konsumsi energi
54
Lampiran 5. Prosedur persiapan bahan
56
Lampiran 6. Prosedur penggunaan alat ........................................................
57
DAFTAR SIMBOL : Kapasitas panas jenis bahan awal (kJ/kgK) : Kapasitas panas jenis bahan di bawah titik beku (M/kgK) : Kapasitas panas jenis air (kT/kgK)
: Energi input terukur (kJ) : Energi output (kJ) : Panas sublimasi per kg bahan (Hkg) : Entalpi spesifik perubahan dari es ke uap (kT/kg)
: Panas laten bahan (kJ/kg) : Laju pembekuan ("C/menit) : Massa awal bahan (kg)
mz
: Massa bahan setelah pembekuan (kg)
m3
: Massa bahan setelah pengeringan (kg)
ma
: Massa air (kg)
PI =Po : Tekanan awal (Pa) p2
: Tekanan vakum yang dicapai pompa pada menit tertentu (Pa)
P3 = Pt : Tekanan akhir (Pa) qsl
: Panas sensibel 1 (kJ)
qsz ql
: Panas sensibel 2 (kJ)
: Panas laten (W)
qs3 Qb
: Panas sensibel 3 (kJ)
Qs
: Energi sublimasi (kJ)
Qc
: Energi kondensasi uap air (kJ)
Qv
: Energi pompa vakum (H)
Qa
: Energi pemanasan air (kJ)
Qin
: Energi input terhitung (W)
TI
: Suhu awal bahan (K)
TZ
: Suhu pada titik beku bahan (K)
T3
: Suhu di bawah titik beku bahan (K)
T4
: Suhu akhii bahan (K)
: Energi pembekuan (kJ)
T,I
: Suhu awal air (K)
Tn2
: Suhu akhir air (K)
tl
: Waktu untuk mencapai tekanan vakum (detik)
ts
: Waktu mempertahankan tekanan (detik)
v
: Volume ruang pengering beku (m3)
Pz
: Panas jenis air pada tekanan vakum (kg/m3)
At
: Selisih waktu (menit)
AT
: Selisih suhu (K)
rl
: Efisiensi (%)
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tanaman lidah buaya (Aloe vern) merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat. Selain digunakan untuk keperluan industri farmasi, tanaman ini juga digunakan sebagai campuran kosmetik. Tidak heran sekarang banyak pengusaha yang mulai mengembangkan tanarnan berlendir ini. Sampai saat ini ada sekitar 240 jenis lidah buaya yang diketahui para peniliti. Tanaman ini banyak ditemukan di daerah kering Afrika, Asia, Eropa dan Amerika. Manfaat dari lidah buaya akan maksimal jika tanaman tersebut dikonversi ke bentuk tepung atau ekstrak. Saat ini permintaan tepung lidah buaya sebagian besar masih tergantung pada pelaksanaan impor karena perusahaan tepung lidah buaya dalam negeri belum mampu melayani permintaan secara rutin dan belum memenuhi kriteria mutu tepung lidah buaya yang diinginkan terutama yang bermutu tinggi. Menurut Priyana (2005), adapula beberapa petani yang mencoba mengeringkan lidah buaya hanya dengan pengeringan konvensional (cahaya matahari) atau oven. Pengeringan yang dilakukan petani membutuhkan waktu yang lama dan tepung yang dihasilkan hanya berupa selulosa, sementara zat-zat gizi penting yang terkandung dalam lidah buaya telah hilang. Untuk itu, teknologi yang tepat guna untuk mengeringkan lidah buaya diperlukan agar gel lidah buaya dapat diambil tanpa perlu menghilangkan kandungan apa pun sehingga khasiatnya dapat dipertahankan dan menghasilkan kualitas yang sangat baik. Salah satu teknologi pengeringan yang baik untuk menghasilkan tepung lidah buaya adalah teknologi pengeringan beku (jreeze drying). Pengeringan beku merupakan suatu teknik pengeringan pada bahan dalam keadaan beku yang dilakukan pada keadaan vakum. Proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan suhu rendah. Hal inilah yang menyebabkan komponen yang mudah rusak atau sensitif terhadap panas dapat dipertahankan. Metode ini memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya karena dapat menghasilkan produk yang memiliki kualitas yang sangat baik. Keunggulan produk hasil pengeringan beku adalah mempunyai struktur yang tidak mengkerut sehingga memungkinkan rehidrasi sangat cepat,
retensi JICNOY tinggi karena pengeringan berlangsung pada suhu rendah, daya hidup dan rekonstitusi sel-sel hidup pada produk kering beku tetap tinggi (Tambunan, 2005). Menumt Liapis dan Bmttini (1995) dalam Sutanto (2004), proses pengeringan beku terdiri dari tiga tahap. Pertama, tahap pembekuan dimana produk didinginkan sampai selumh bahan menjadi beku. Kedua, tahap pengeringan primer atau tahap sublimasi es dari bahan beku yang dilakukan pada mang bertekanan rendah. Terakhir adalah tahap pengeringan sekunder yaitu tahap pengeluaran uap air dari lapisan kering ke luar bahan yang berlangsung setelah selumh es menyublim. Tahap pembekuan pada pengeringan beku mempakan tahap yang membutuhkan energi paling besar. Ada beberapa metode pembekuan yang dapat digunakan, dua diantaranya adalah metode pembekuan vakum dan lempeng sentuh. Pembekuan dengan metode lempeng sentuh dilakukan pada tekanan atmosfir. Setelah pembekuan selesai, bahan dimasukkan ke dalam mang pengering untuk dilakukan penurunan tekanan sampai mencapai tekanan vakum dan kemudian disublimasi pada tekanan tersebut. Sedangkan pada metode pembekuan vakum, bahan langsung dibekukan dengan pemompaan vakum sehingga tidak lagi menggunakan media pembeku. Dalam ha1 ini proses sublimasi akan langsung dilanjutkan dalam keadaan vakum juga. Kedua metode tersebut akan menghasilkan konsumsi energi yang berbeda. Untuk itu, kajian terhadap efisiensi penggunaan energi selama proses pembekuan sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi pengeringan beku secara keselumhan. Tambunan et al. (2003) menambahkan, pemilihan metode pembekuan mempakan salah satu aktivitas yang penting karena tingginya perhatian terhadap kelestarian lingkungan, mutu hasil bahan, dan konsumsi energi. Laju pengeringan berpengamh langsung pada waktu pengeringan (dying time), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk kering beku.
Pemahaman
lengkap terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi waktu
pengeringan dapat membantu optimalisasi proses dalam ha1 biaya pengeringan maupun dari titik pandang energi (Lisnawati dan Tambunan, 1997).
Pada tahap pengeringan, terdapat dua metode yang dapat digunakan yaitu metode pemberian panas dari atas dan bawah atau pemberian panas dari atas saja. Dari kedua metode ini akan menghasilkan laju pengeringan yang berbeda serta konsumsi energi yang berbeda pula. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian efisiensi penggunaan energi dengan kualitas bahan yang sama untuk menentukan metode yang paling tepat digunakan agar dapat mengoptimalkan penggunaan energi. B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh metode pembekuan (pembekuan vakum dan lempeng sentuh) serta arah pemberian panas (dari atas dan dari bawah) terhadap efisiensi penggunaan energi pada proses pengeringan beku.
11. TINJAUAN PUSTAKA
A. LIDAHBUAYA 1. Tanaman Lidah Buaya Lidah buaya atau Aloe Vera &kenal sebagai tanaman xeroid yang dapat hidup di daerah kering. Tanaman ini mirip dengan kaktus, daunnya mengarah ke atas dan kaku. Tanaman ini dapat hidup lama karena mampu menutup pori-pori daun dengan rapat untuk menghindari keluarnya cairan. Pada awalnya tanaman lidah buaya diienal sebagai tanaman hias. Tetapi saat ini, lidah buaya banyak dibudidayakan untuk bahan dasar obat-obatan dan kosmetika.
Gambar 1. Kebun lidah buaya (kiri), Aloe Vera var. chinensis Baker (kanan) Klasifikasi lidah buaya adalah sebagai berikut (EIutapea, 1993 dalam Juniantito dan Prasetyo, 2005): Kingdom
: Plantae
Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa
: Liliales
Suku
: Liliaceae
Marga
: Aloe
Jenis
:Aloe vera var. chinensis Baker
Tanaman lidah buaya berasal dari pulau Canari, sebelah barat Afrika Utara. Lidah buaya merupakan tanaman hortiMtura yang banyak tumbuh di daerah kering Afrika, Asia, dan India Barat (Wahjono dan Koesnandar, 2002 dalam Sutanto, 2004).
Lidah buaya merupakan tanaman tropis yang tumbuh di tempat yang berudara panas dan sedikit lembab. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 0-1500 m di atas permukaan laut (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalimantan Barat, 1998 dalam Priyana, 2001). Lidah buaya banyak tumbuh di Indonesia baik sebagai tanaman liar ataupun tanaman hias. Tanaman ini memerlukan sinar matahari untuk tumbuh. Tanaman lidah buaya memiliki batang yang pendek dan tidak terlihat karena tertutup oleh daun-daun yang rapat. Daun lidah buaya berbentuk seperti pedang, berdaging tebal dan tidak bertulang, serta benvarna hijau keabu-abuan. Selain itu, daunnya juga dilapisi oleh lilin dan tepinya berduri Tabel 1. Komposisi gizi 100 g gel lidah buaya chi~zensisBaker*"
Karbohidrat (g)
I Tidak diidentifikasi 1 0.82
Kalori (kal)
4.0
Tidak diidentifikasi
Lemak (g)
0.2
0.03
Protein (g)
0.1
0.15
Abu (g) Serat kasar (g)
0.1
0.17
0.3
0.04
Vitamin B1 (mg)
1 0.01 I
Kalsium (mg) Besi (mg)
I Tidak diidentifikasi I
85
Tidak diidentifikasi
1 0.8
I Tidak diidentifikasi
I
Sumber: *Depkes RI (1995) dalam Komarudin (2001)
** Lidah buaya yang digunakan pada penelitian ini Tanaman ini bersifat sukulen (banyak mengandung air) dan banyak mengandung getah atau lendir (gel). Gel ini merupakan lapisan air yang tipis seperti cairan yang tidak benvarna dan merupakan cadangan makanan bagi tumbuhan. Nutrien yang terkandung dalam gel lidah buaya terutama terdiri atas karbohidrat, vitamin, dan kalsium seperti yang tercantum pada Tabel 1.
Lidah buaya tidak hanya memberikan dukungan hebat pada sistem kekebalan tubuh, tetapi juga mampu menghancurkan intravaskuler bakteri yang disebabkan oleh kandungan polisakarida yang unik. Secara alami, sistem pelengkap tubuh memiliki kekebalan tubuh terhadap bakteri yang melibatkan rangkaian protein yang perlu diaktifkan untuk menyerang bakteri. Polisakarida dalam lidah buaya memacu protein untuk masuk ke dalam membran bakteri, melubangi, dan merusak cairan pelindungnya yang menyebabkan matinya bakteri (Anonymous, 1983 dalam Komarudin, 2001). 2.
Tepung Lidah Buaya Menurut Widodo dan Budiharti (2006), untuk pembuatan tepung lidah
buaya diperlukan penambahan filler karena total padatan yang terkadung dalam lidah buaya sangat kecil yaitu sekitar 2%. Filler berfungsi sebagai pengikat nutrisi yang terkandung dalam lidah buaya. Terdapat beberapa filler yang digunakan yaitu maltodextrin, gum arab, dextrin dan cmc (karboksimetilselulosa). Maltodextrin merupakan gula yang tidak manis dan berbentuk tepung berwarna putih dengan sifat yang larut dalam air. Bahan ini berasal dari hidrolisis pati jagung secara tidak sempurna dengan asam atau enzim dan juga merupakan polimer sakarida. Tepung instan lidah buaya dapat dimanfaatkan sebagai produk makanan kesehatan dalam bentuk padat serta sebagai minuman kesehatan dalam bentuk cair. Keunggulan spesifik yang terdapat dalam kandungan tepung instan lidah buaya akan menghasilkan daya tarik konsumen dan industri makanan dan minuman. Penggunaan tepung lidah buaya dalam industri kosmetik juga lebih praktis dan stabil dibandingkan dengan gel lidah buaya. Penggunaan dalam bentuk tepung dalam suatu produk kosmetika kadarnya lebih sedikit dibandingkan dengan bentuk gel, yaitu hanya sekitar 0.025 - 0.1% sedangkan gel sekitar 5-20%. Menurut Sudarto (1997) dalam Priyana (2001), gel lidah buaya mempunyai sifat yang tidak stabil, peka terhadap mikroba, dan cepat rusak. Mutu gel lidah buaya cepat menurun karena mempunyai kandungan enzim oksidase sehingga mudah teroksidasi bila terjadi kontak antara gel lidah buaya dengan
oksigen. Reaksi oksidasi menyebabkan kandungan zat gizi pada gel lidah buaya cepat menurun, warnanya menjadi coklat kekuningan, dan tercemar oleh bakteri. Gel lidah buaya berbentuk cair dan mempunyai volume lebih besar dibandingkan tepung lidah buaya sehingga lebih menyulitkan dalam pelaksanaan pengemasan dan pendistribusian ke tempat yang jauh. Ada beberapa metode pengeringan untuk menghasilkan tepung lidah buaya, salah satunya metode pengering semprot ( S p r y D y e r ) . Bagan alir untuk proses pembuatan tepung lidah buaya dapat dilihat pada Gambar 2
C Simpan dalam refrigerator T 10°C4 hari
1
LCuci
u Kupas
f
Blanching 5 menit 70°C
w Blender
I
C
Simpan dalam refrigerator T 20°C 1 hari Tambahkan pengisi (filler)
+ Tepung lidah buaya
Gambar 2 . Bagan alir pembuatan tepung lidah buaya dengan metode pengering semprot atau S p r q D y e r (Hasibuan, 2004)
3.
Peluang Industri Lidah Buaya Lebih dari 23 negara yang dicatat oleh WHO (World Health Organizatio~z)
menggunakan lidah buaya yang berasal dari luar negeri, terutama dari Amerika dan Australia. Selain itu, lidah buaya merupakan salah satu dari 10 jenis tanaman terlaris di dunia yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat dan bahan baku industri (Furnawanthi, 2002 dalam Komaruddin, 2006). Kegiatan ekspor pelepah segar lidah buaya mulai dilakukan pada tahun 2000 dengan Negara tujuan Malaysia dan Hongkong. Untuk tujuan Singapura kegiatan ekspor mulai dilakukan pada tahun 2001. Untuk pasar domestik lidah buaya dipasarkan di Jakarta mulai tahun 2003. Industri tepung lidah buaya merupakan industri yang relatif baru dikembangkan di Indonesia sehingga pabrikasinya belum banyak dilakukan. Permintaan tepung lidah buaya sebagian besar masih tergantung pada pelaksanaan impor. Permintaan tepung lidah buaya dari dalam dan luar negeri sangat besar karena pengembangan industri yang berbahan baku tepung lidah buaya semakin ditingkatkan dengan adanya kecendrungan untuk back to nature dalam dunia kesehatan (Komarudin, 2001).
BPEN (2001) menyebutkan bahwa sampai tahun 2000 terdapat sekitar 60 perusahaan di Indonesia yang memakai tepung lidah buaya dengan rata-rata kebutuhannya sekitar 28.8 todtahun (permintaan efektif). Kebutuhan tersebut sampai saat ini sebagian besar masih didatangkan dari luar negeri dan hanya sekitar 5-10 todtahun yang dipenuhi oleh perusahaan tepung lidah buaya dalam negeri. Tepung lidah buaya saat ini juga dibutuhkan oleh beberapa Negara Asia seperti China, Singapura, dan Korea Selatan dengan jumlah kebutuhan mencapai 100 tonltahun (Komarudin, 2001). B. PENGERINGAN BEKU Pengeringan
beku
merupakan
suatu
metode
pengeringan
yang
menggunakan vakum yang tinggi. Menurut Desrosier (1988), metode ini memungkinkan terciptanya keadaan suhu dan tekanan sehingga sifat fisik suatu substrat bahan pangan dapat diatur pada suatu titik kritik tertentu yang memungkinkan berhasilnya proses pengeringan.
Air dapat berbentuk cair, padat dan gas. Perpotongan dari ketiga batas fase ini disebut dengan titik tripel. Pada pengeringan beku, air dikeluarkan dari dalam produk dalam keadaan beku dengan proses sublimasi. Pada tekanan 4 mmHg biasanya suatu bahan telah berada di bawah titik tripelnya. Umumnya proses pengeringan beku dirancang pada tekanan ini atau lebih rendah. Menurut King (1971) dalam Widodo (1996), pengeringan beku memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya, karena pengeringan beku dapat menghasilkan produk kering bermutu tinggi. Pengeringan beku dapat mempertahankan bentuk kaku dari bahan yang dikeringkan sehingga menyebabkan bahan berpori dan tidak mengkerut dalam keadaan kering. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya proses rehidrasi yang cepat dan sempurna bila produk kering ditambahkan air.
I
I
I
Diagram Fase Air
250
300
350
400
Suhu (K)
Gambar 3. Proses pengeringan beku pada diagram fase air
Keunggulan lain dari pengeringan beku adalah selama proses pengeringan berlangsung hampir tidak terdapat cairan. Hal ini dapat mencegah transpor zat-zat yang dapat larut dalarn air dan memperkecil terjadinya reaksi degradasi. Menurut Liapis dan Bruttini (1995) dalam Sutanto (2004), pengeringan beku memerlukan biaya yang tinggi karena rendahnya laju pengeringan dan berlangsung pada kondisi hampa udara. Karena itu pengeringan beku hanya digunakan untuk mengeringkan bahan makanan yang bersifat sulit kering seperti kopi, bawang, makanan laut tertentu, buah-buahan dan obat-obatan
Proses pengeringan beku terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap pembekuan, tahap pengeringan primer, dan tahap pengeringan sekunder (Liapis dan Bruttini, 1995 dalam Sutanto, 2004). 1. Tahap pembekuan Proses pembekuan sangat menentukan mutu hasil produk yang dikeringkan. Laju pembekuan merupakan faktor yang paling penting yang dapat menentukan porositas produk kering beku yang dihasilkan. Menurut Heldman dan Singh (1987), pembekuan lambat akan menghasilkan pori yang lebih besar pada produk kering beku dibandingkan dengan pembekuan cepat, karena kristal yang terbentuk pada pembekuan lambat lebih besar jika dibandinglcan dengan kristal yang terbentuk pada pembekuan cepat. Ukuran pori juga berbanding lurus dengan suhu yang digunakan pada proses pembekuan. Fellows (1988) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi laju pembekuan dapat berupa faktor internal dan ekstemal. Faktor internal berupa sifat termofisik bahan, sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan metode pembekuan yang digunakan, meliputi perbedaan suhu antara produk dengan media pembeku, dan mode pindah panas yang terjadi dari, ke, dan dalam bahan. Laju pembekuan menurut King (1971) dalam Sutanto (2004) dibagi dalam tiga golongan, yaitu: a. Pembekuan lambat, jika pembekuan berlangsung selama 30 menit atau lebih untuk 1 cm produk yang dibekukan (52 cdjam). b. Pembekuan sedang, jika pembekuan berlangsung selama 20-30 menit untuk 1 cm produk yang dibekukan (> 2 c d j a m dan <3 cdjam). c.
Pembekuan cepat, jika pembekuan berlangsung selama kurang dari 20 menit untuk 1 cm produk yang dibekukan (23 cdjam). Lembaga Refrigerasi Intemasional (1971) dalam Heldman dan Singh
(1987) mendefinisikan laju pembekuan suatu massa pangan sebagai perbandingan jarak minimal antara permukaan dengan titik pusat termal dengan waktu yang diperlukan oleh produk pangan untuk mencapai suhu 0°C dan titik pusat termal mencapai suhu 5°C lebih rendah dari suhu dimana pembentukan es dimulai, di titik pusat termal tersebut. Laju pembekuan dinyatakan dalam c d j a m .
Ada empat faktor yang berpengaruh terhadap laju pembekuan: (a) perbedaan suhu antara produk dengan medium pendingin, (b) modus transfer panas dari, ke, dan di dalam produk, (c) ukuran, jenis dan bentuk bahan kemasan yang berisi produk, (d) ukuran bentuk dan sifat-sifat termal produk (Fennema dan Powrie, 1964 dalam Heldman dan Singh, 1987). Terdapat dua cara pembekuan yaitu: a. Pembekuan vakum Tambunan (2005) menjelaskan bahwa pada pembekuan vakum, efek pembekuan diperoleh dengan menguapkan atau mensublimasi sebagian air dari dalam bahan pada kondisi ruang bertekanan rendah. Penguapanlsublimasi ini ~nemerlukanpanas laten yang diambil dari produk tersebut sehingga mengalami penurunan suhu bahkan membeku. Dalam ha1 ini efek pembekuan bukan karena perpindahan panas dari bahan ke media pembeku, tetapi pelepasan panas sebagai panas laten penguapan/sublimasi. Metode ini berlangsung pada tekanan vakum, sehingga meskipun pada proses pembekuan vakum tersebut dapat terjadi peningkatan
kebutuhan energi untuk pompa vakum,
kebutuhan energi
pengeringan beku keseluruhan dapat dihemat karena proses sublimasi juga akan berlangsung pada tekanan vakum. b. Lempeng sentuh Lempeng sentuh atau platpembeku merupakan evaporator yang berperan dalam penurunan suhu bahan. Hal ini tejadi karena uap refrigeran yang mengalir dari kondensor mempunyai suhu dan tekanan tinggi yang dilepaskan ke lingkungan, sehingga suhu sistem dan tekanan parsial uap air menjadi rendah. Perpindahan panas pada metode ini terjadi secara konduksi dari plat pembeku ke bahan. 2. Tahap Pengeringan Primer Pada tahap pengeringan primer, air dan pelarut dalam keadaan beku dikeluarkan secara sublimasi, dimana tekanan ruang pengering hams lebih kecil dari tekanan kesetimbangan uap air bahan beku. Menurut Fellows (1988), panas akan menaikkan tekanan uap air pada es ketika mencapai permukaan sublimasi
sehingga uap akan bergerak melalui daerah kering menuju ke daerah tekanan uap rendah pada ruang pengering. Selama proses pengeringan berlangsung, akan terbentuk lapisan kering berpori di bagian luar lapisan beku yang dibatasi oleh permulcaan sublimasi (Gambar 3). Panas yang dibutuhkan untuk sublimasi dipindahkan dari permukaan bahan ke permukaan sublimasi secara konduksi melalui lapisan yang sudah kering, dan uap air yang dihasilkan dilewatkan melalui pori-pori lapisan kering ke bagian luar dari produk. Tahap pengeringan primer berakhir jika semua lapisan beku telah tersublim.
Uap
I
4
Lapisan
panas
Permukaan Sublimas
Lapisan Kering Berpori Gambar 4. Mekanisme pengeringan beku (Sagara, 1996 dalam Sutanto, 2004) 3. Tahap Pengeringan Sekunder
Tahap pengeringan sekunder adalah tahap pengeluaran air terikat atau terserap, yaitu air yang tidak membeku pada saat pembekuan dan pengeluaran air yang masih tersisa pada rongga bahan. Tahap pengeringan sekunder dimulai setelah proses sublimasi (tahap pengeringan primer) selesai dan berakhir pada saat suhu pusat bahan mendekati suhu permukaan.
Tabel 2. Perbedaan metode pengeringan konvensional dan metode pengeringan beku (Tischer dan Brockman, 1957 dalam Desrosier, 1988) Pengeringan Beku Pengeringan Konvensional
1
Berhasil baik bagi bahan yang mudah Berhasil baik bagi kebanyakan bahan dikeringkan, misalnya buah-buahan, biji- pangan, tetapi biasanya terbatas pada bahan pangan yang tidak berhasil baik
bijian dan sayuran
dikeringkan dengan cara lain Berhasil baik terhadap produk-produk
Umumnya daging tidak memuaskan
hewan yang dimasak dan mentah Operasi tidak kontinu
Operasi secara kontinu
Umumnya suhu yang digunakan antara Suhu yang digunakan lebih rendah dari
I titik tripe1 air
/ 38°C dan 93°C
I
I
Tekanan yang digunakan lebih kecil dari
Biasanya pada tekanan atmosfir
titik tripe1 Waktu pengeringan pendek, biasanya Waktu pengeringan umumnya antara 12 sampai 24 jam
kurang dari 12 jam
Penguapan air dari permukaan bahan Sublimasi air dari lapisan beku bahan pangan Hasil pengeringan berpori
Hasil pengeringan berbentuk padat
Densitas lebih tinggi dari bahan pangan Densitas lebih rendah dari bahan pangan yang asli
yang asli
Bau seringkali abnormal
Bau biasanya asli
Biasanya warna lebih gelap
Warna biasanya asli
Rehidrasi
lambat,
biasanya
tidak Rehidrasi dapat cepat, sempuma
sempuma Cita rasa biasanya asli
Cita rasa abnormal
-
Stabilitas penyimpanan baik, cendrung Stabilitas penyimpanan sangat baik menjadi gelap dan tengik Biaya umumnya rendah, sekitar Rp. 400 Biaya umumnya tinggi, pada tingkat
/ sampai
/
Rp. 1400 per kg air yang empat
I diuapkan
kali
lebih
besar
I pengeringan konvensional
daripada
/
I
Tekanan
Tekanan
tekanan kerja
Sublimasi sulru
Suhu
Gambar.5. Perbandingan diagram tekanan-suhu pada pembekuan vakum (kiri) dan pembekuan lempeng sentuh (kanan) selama proses proses pengeringan beku (Tambunan, 2005) C. PINDAH PANAS PADA PENGEWGAN BEKU Menurut Heldman dan Singh (1987), pindah panas diartikan sebagai pemencaran energi dari suatu daerah ke daerah lain karena perbedaan suhu yang tejadi antara kedua daerah tersebut. Ada tiga cara perpindahan panas yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan panas yang dominan tejadi dalam proses pengeringan beku adalah konduksi dan radiasi. Perpindahan panas secara koveksi sangat kecil sehingga diabaikan. Flux panas
Flux massa
4 m
Gambar 6. Model fisik pengeringan beku (Tambunan, 2005) Mekanisme pindah panas dan massa di dalam bahan selama proses sublimasi ditunjukkan oleh Gambar 6. Model yang ditujukkan pada gambar tersebut dapat disebut sebagai Model Permukaan Bergerak (Retreating Front Model). Menurut Tambunan et al. (2000), permukaan sublimasi dianggap bergerak lapis demi lapis dari permukaan terluar hingga pusat bahan. Permukaan
sublimasi ini akan membatasi secara tegas lapisan kering (dibagian luar) dari lapisan beku (di bagian dalam) bahan. Suhu permukaan produk sangat berperan dalam pengeringan beku. Jika suhu permukaan produk semakin tinggi maka laju pindah panas konduksi dari permukaan produk ke permukaan sublimasi akan semakin besar. Laju pembekuan cepat akan menghasilkan produk kering beku yang mempunyai pori dan kristal es yang lebih kecil yang tersusun merata pada jaringan. Hal ini dikarenakan laju energi pindah panas dari sistem berlangsung sangat cepat. Sedangkan laju pembekuan lambat akan menghasilkan kristal es yang besar dan ukuran pori yang dihasilkan akan berbanding lurus dengan suhu yang digunakan pada proses pembekuan (Heldman dan Singh, 1981 dalam Sutanto, 2004). Lama pengeringan pada pengeringan beku dipengaruhi oleh kandungan air produk, ketebalan produk, suhu, dan ketahanan produk terhadap panas. Pada pengeringan beku, suhu pengeringan ditetapkan pada jangkauan suhu yang dapat mencegah atau mengurangi kehilangan kandungan gula, asam, dan komponen volatilnya (Desrosier, 1988). Menurut Lisnawati dan Tambunan (1997), waktu pengeringan adalah waktu yang diperlukan untuk menghasilkan produk kering beku, yaitu produk dengan kadar air akhir yang diinginkan. Berdasarkan prinsip perpindahan panas, waktu pengeringan dapat dinyatakan dengan waktu yang diperlukan lapisan terdalam bahan untuk mencapai suhu permukaannya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa panas yang diberikan melalui lempeng pemanas akan digunakan sebagai panas laten sublimasi, dan selanjutnya untuk meningkatkan suhu bahan setelah proses sublimasi selesai. Dengan demikian, suhu bagian terdalam bahan akan meningkat mendekati suhu permukaan jika proses sublimasi di bagian tersebut telah selesai. D. KONSUMSI ENERGI Energi diperlukan untuk memproduksi suatu barang. Tujuan dari analisis konsumsi energi adalah untuk menghitung nilai energi yang digunakan dalam tahapan dalam suatu sistem produksi secara keseluruhan (Tirtasari, 1996).
Pada proses pengeringan beku, terdapat beberapa tahapan proses yang membutuhkan masukan energi, yaitu pembekuan, sublimasi, peningkatan suhu lempeng pemanas, kerja kompresor untuk refrigerator, kondensasi uap air bahan, dan kerja pompa vakum. Pada proses pembekuan vakum dan sublimasi, kebutuhan energi dipengmhi oleh distribusi suhu bahan selama proses. Energi yang diperlukan untuk kerja kompresor dapat dilihat pada perubahan entalpi sebelum dan sesudah refrigeran melewati kompresor. Energi yang diperlukan untuk kondensasi uap air bahan, dilihat dari jumlah uap air bahan yang diubah menjadi embun dengan bantuan exten~alcoldhap. Menurut Tambunan (2005), kajian energi didasarkan pada panas laten dan panas sensibel yang hams dilepaskan, diterima dari atau oleh bahan untuk memperoleh hasil pengeringan beku yang diinginkan. Panas sensibel merupakan panas yang digunakan untuk mengubah suhu produk sedangkan panas laten merupakan panas yang tidak berhubungan dengan suhu, akan tetapi berhubungan dengan perubahan fase (pembekuan, penguapan dan sublimasi). Perhitungan energi meliputi perhitungan energi pembekuan, energi pengeringan, energi pemvakuman, energi perangkap uap (coldpap) untuk kondensasi uap air dan energi pemanas. 1. Energi pembekuan
Untuk mencapai pembekuan, proses yang dilalui terdiri dari tiga tahapan. Pertama adalah proses pendinginan untuk menurunkan suhu bahan dari suhu ruang ke suhu beku bahan tersebut. Untuk menghitung ini perlu diketahui massa bahan yang akan dibekukan, kapasitas panas bahan, dan beda suhu antara suhu awal bahan dan suhu bekunya (persamaan 1). Tahap kedua adalah perubahan fasa dari kondisi cair ke kondisi beku. Ketiga adalah penurunan suhu dari suhu beku ke suhu bahan yang diperlukan. Namun pada perhitungan energinya, kapasitas panas bahan yang digunakan adalah kapasitas panas di bawah suhu beku. Dari ketiga tahap ini maka diperoteh jumlah energi pembekuan yang dibutuhkan. Persamaannya sebagai berikut: Qb= ml Cpl (TI - Tz) + ml L + ml Cpz (Tz - T3) .. .... ....................... .... (1)
2. Energi Pengeringan Energi pengeringan dihitung dengan menentukan massa bahan yang disublimasi dan panas sublimasi per kg bahan sehingga dibutuhkan panas sublimasi. Pada proses ini, selain digunakan penyubliman bahan beku, juga dilakukan pemanasan bahan kering yang ditentukan dengan menghitung massa bahan, kapasitas panas bahan kering, dan perubahan suhu dari sublimasi ke suhu akhir bahan kering. Persamaan yang digunakan adaiah sebagai berikut: Qs = ml Cpz (T4- T3) + ml Hsg ..............................................
(2)
3. Energi pemvakuman
Pada dasarnya pompa vakum dihitung dengan mengalikan volume dengan tekanan vakum yang dihasilkan pada volume tersebut. Tekanan vakum diperoleh dengan memperhitungkan tekanan kerja pompa vaku, diplacement pompa, waktu pemvakuman, dan tekanan setting ruang vakum ini. Tekanan vakum hasil perhitungan ini adalah tekanan pengukuran. Untuk menghitung energi pemvakuman, digunakan tekanan absolut yang didapat dengan menambahkan tekanan pengukuran dengan tekanan atmosfir. Selain itu, untuk menghitung energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan kondisi vakum digunakan persamaan berikut:
dW,= V,dp ......................................................................
(3)
sedangkan tekanan vakum pada detik tertentu menggunakan persamaan:
Laju penurunan tekanan dihitung dengan persamaan:
4. Energi kondensasi uap air
Energi kondensasi uap air pada coldtrap ditentukan dengan persamaan:
Qc=m,hgi .......................................................................
(6)
5. Energi pemanasan air
Qa
= ma x Cp,
x (T,z - T,,) ...................................................
(7)
A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juni 2008 yang meliputi studi pustaka, pengambilan data dan analisis data. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Pindah Panas dan Massa, Departemen Teknik
Pertanian, IPB. B. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah lidah buaya yang diambil dari kebun "Tanaman Obat Sari Sehat", Ciampea, Bogor, maltodextrin dan aquadest.
2. Alat a.
Mesin pengering beku dengan metode pembekuan vakum (Gambar 8)
b.
Mesin pengering beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh (Gambar
c.
9). Timbangan elektronik
d.
Termokopel C-C
e.
Hibrid Recorder
f.
Wadah sampel lidah buaya berbentuk silinder dengan diameter 9.5 cm dan tinggi 11 cm. Wadah diberi isolasi menggunakan gabus yang dilapisi
aluminiumfoil. g.
Blender
h.
Vacuumgauge untuk mengukur tekanan
i.
Gelas ukur dan penyaring
j.
Tennometer
Gambar 7. Wadah sampel untuk pengujian
Gambar 8. Mesin pengering beku (metode pembekuan vakum)
Gambar 9. Mesin pengering beku (metode pembekuan lempeng sentuh) C. METODA PENELITIAN Metoda penelitian meliputi persiapan alat, persiapan bahan, pengambilan data pengeringan beku, dan pengolahan data.
1. Persiapan alat Pemeriksaan alat meliputi pemeriksaan termokopel pada wadah sampel dan titik-titik pada proses pengeringan beku. Selain itu dilakukan pengecekan pompa vakum dan pompa air, serta pembersihan tangki air.
-
2. Persiapan bahan
Lidah buaya yang telah diambil dari kebun, dikupas kulitnya, kemudian dicuci untuk membersihkan lendir yang terdapat pada daging lidah buaya. Setelah bersih, daging lidah buaya dipotong dadu kemudian dibalnsir pada suhu 70°C selama 10 menit. Lidah buaya yang telah diblansir kemudian diblender dan dipindahkan ke wadah sampel dan ditimbang. Diagram alir untuk proses pembuatan tepung lidah buaya dapat dilihat pada Gambar 10.
I C Pelepah lidah buaya
Pengupasan
I
Pembersihan
Pernotongan
70°C selama 10
C
Blender
inaltodextrin
Gambar 10.
Lidah buaya
I
Pengeringan beku
I
I
Tepung lidah buaya
I
Bagan alir proses pembuatan tepung lidah buaya dengan metode pengeringan beku
3. Pengeringan Beku
Pengeringan beku
dilakukan dengan menggunakan dua metode
pembekuan yaitu metode pembekuan vakum dan lempeng sentuh. Setiap metode
pembekuan diberikan dua perlakuan arah pemanasan yaitu pemberian panas dari atas dan bawah dan pemberian panas dari atas saja, sehingga terdapat empat perlakuan yang digunakan pada penelitian ini. Tabel 3. Empat jenis perlakuan
Vakum Lempeng Sentuh
PLAB
PLA
Pada awal proses pengeringan beku, wadah sampel yang telah berisi bahan dimasukkan ke dalam ruang pengering beku untuk dilakukan proses pembekuan. Untuk kedua metode pembekuan, proses pembekuan berakhir ketika telah dicapai suhu bahan yang diinginkan untuk menghindari terjadinya colhps (-15'C). Selanjutnya dilakukan proses pengeringanlsublimasi. Pengeringan dimulai setelah pompa sirkulasi air dinyalakan. Proses pengeringan menggunakan suhu air sebagai media pemanas sebesar 40°C. Pemanasan dilakukan dengan pemberian panas dari atas dan bawah dan pemberian panas dari atas saja. Selama pengeringan berlangsung, suhu bahan akan mengalami peningkatan dan proses akan berakhir ketika seluruh suhu bahan relatif seragam mendekati suhu kendali permukaan bahan. Pada perlakuan dengan metode pembekuan vakum, proses pembekuan dan pengeringan dilakukan pada satu alat (Gambar 8). Sedangkan perlakuan dengan metode lempeng sentuh, proses pembekuan dilakukan menggunakan mesin pengering beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh (Gambar 9), kemudian selanjutnya pada tahap sublimasi bahan dipindahkan ke mesin pengering beku dengan metode pembekuan vakum (Gambar 8). 4. Pengolahan data a. Laju pembekuan Pada metode pembekuan vakum, ketika pembekuan berakhir maka proses akan langsung dilanjutkan pada tahap pengeringan dalam keadaan vakum juga,
sehingga massa dan ketebalan bahan tidak dapat diukur. Untuk itu, laju pembekuan dihitung dengan menggunakan perbandingan antara perbedaan suhu awal dan suhu akhir bahan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu bahan tersebut. Persamaan ini juga digunakan untuk menghitung laju pembekuan dengan menggunakan metode lempeng sentuh. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Lp = ATlAt ..........................................................................
(8)
b. Laju pengeringan Laju pengeringan dihitung dengan menggunakan perbandingan antara massa air yang menguap dengan lama waktu yang dibutuhkan selama proses pengeringan. Laju pengering dihitung dengan menggunakan persamaan:
L s = (ml-m3) At ... .................................................................. "
(9)
c. Konsumsi energi Konsumsi Energi I
I Energi input
I
I Ukur (kwh meter)
Hitung Pembekuan
Pengeringan
I
Ah..
Kondensasi
Pemanasan
Gambar 11. Bagan alir proses perhitungan konsumsi energi Konsumsi energi dilakukan dengan menghitung energi input dan energi output selama proses pengeringan beku. Energi input terukur merupakan energi listrik yang tercatat pada kwh meter, sedangkan energi input terhitung adalah energi yang dibutullkan alat untuk bekerja pada kondisi yang diinginkan. Pada
penelitian ini, hanya dilakukan perhitungan energi input terhitung pada pompa vakum, kondensasi uap air pada coldtrap, dan pemanasan air. Energi output diperoleh dari perhitungan panas sensibel dan panas laten yang diperlukan bahan mulai tahap pembekuan sampai pengeringan/sublimasi. Bagan alir untuk proses perhitungan dapat dilihat pada Garnbar 11. Pada penelitian ini, perhitungan energi input terhitung untuk pompa vakum, kondensasi uap air dan pemanasan air menggunakan persamaan 4, 6, dan 7 pada Bab Tinjauan Pustaka. Sedangkan energi output merupakan penjumlahan
dari energi pembekuan (persamaan 1) d m energi pengeringan/sublimasi (persamaan 2). d. Efisiensi energi Efisiensi energi merupakan bagian dari energi masukan yang secara nyata digunakan untuk melakukan suatu proses. Menurut Brody (1945) dalam Natawihardja (1991), perbandingan antara "output" dan "input" energi disebut dengan efisiensi penggunaan energi. Sedangkan menurut Santoso (2004), efisiensi energi merupakan perbandingan antara produksi energi ekuivalen dari hasil dan penggunaan energi. Efisiensi energi dalam perhitungan ini terbagi dua yaitu efisiensi energi terukur dan efisiensi energi terhitung. Efisiensi energi terukur merupakan perbandingan antara total energi output dan energi listrik yang terpakai selama proses pengeringan beku,
sedangkan efisiensi energi terhitung adalah
perbandingan antara total energi output d m total energi input terhitung. Efisiensi energi terukur menggunakan persamaan: qUkUT
= -Eout ~100% Ein
.. . ... ... ...... ... ... ... ...... ... .. . .. . ... ... . .. ... .... .. .. . . .. (10)
Sedangkan efisiensi energi terhitung menggunakan persamaan: qhihltls
= ?Eour ~ 1 0 0 % ... . . . . . . . .. . .... . ... .... . . .. . .. . .. . . .. . ... ... ...... . . . . . .... (1 1) Ln
IV.BASIL DAN PEMBAHASAN A. PROSES PENGERTNGAN BEKU LIDAH BUAYA 1. Pembekuan
a. Pembekuan Vakum Proses penurunan tekanan ruang pembeku pada pembekuan vakum dimulai pada saat pompa vakum dihidupkan. Pada awal proses pemompaan, penurunan suhu belum terjadi. Tekanan dalam ruang pembeku akan terus tumn sampai mencapai tekanan jenuh uap air yang sama dengan suhu air di dalam bahan. Kondisi ini disebut dengan titik sembur wash point). Menurut Tambunan (2000), titik sembur adalah titik dimana mulai terjadinya pendidihan air dalam bahan. Proses penurunan suhu bahan sesungguhnya dimulai sesaat setelah titik sembur, sehingga tahap ini disebut dengan tahap pendinginan di atas titik beku pembekuan. Pada saat inilah proses penguapan air bahan mulai terjadi karena adanya perbedaan tekanan jenuh air di permukaan bahan dengan tekanan uap air di dalam ruang pembeku. Proses penguapan akan diikuti oleh penurunan suhu bahan sehingga terjadi pembentukan kristalisasi es pada bahan. Sebaran suhu selama proses pembekuan pada pembekuan vakum dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Pengukuran dilakukan pada empat titik yaitu suhu pada permukaan bahan (Tbl), suhu bahan pada 1 cm dari dasar wadah (Tbz), suhu bahan pada 0.5 cm dari dasar wadah (Tb3), dan suhu bahan pada dasar wadah (Tb4).
Tbl Tb2
Tb3 Tb4 b
d
17 cm
L
Gabus insulasi
Gambar 12. Wadah sampel untuk pengujian pengeringan beku lidah buaya
4-Tb2 Tb3 .--?f;.Tb4
: -, suhu coldtrap
--,
0
20
40
60
80
100
120
Gambar 13 Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses pembekuan pada Perlakuan Pembekuan Vakum dan Pemanasan Atas dan Bawah (PVAB)
50 40 30 20 10 a 0 .c -10 -20 -30 -40 -50
.
-
.
"*.,,--. : Tbl
4-Tb2 Tb3 +'t-Tb4
--:..:.-.suhu coldtrap
0
20
40
60
80
100
120
WaMu Imenit)
Gambar 14. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses pembekuan pada Perlakuan Pembekuan Vakum dan Pemanasan Atas (PVA) Pada saat proses pembekuan berlangsung, Tbl lebih cepat mengalami penurunan suhu dibandingkan dengan suhu lainnya. Ini dikarenakan bagian permukaan merupakan bagian yang bersentuhan langsung dengan kondisi vakum. Setelah terbentuk lapisan es di permukaan bahan, proses pembekuan akan berlangsung melalui kombinasi antara sublimasi es pada bagian permukaan dan perpindahan panas dari bagian dalam ke bagian permukaan bahan sehingga penurunan suhu akan terjadi berturut-turut dari Tbz, Tb,, dan Tb4. Pembekuan berakhir ketika suhu beku bahan telah konstan. Suhu konstan dicapai ketika tekanan dalam ruang pengering juga telah konstan. Suhu beku bahan untuk
perlakuan pembekuan vakum berkisar antara -10°C sampai -13'C. Kisaran suhu ini mendekati syarat minimum suhu beku bahan produk pertanian agar tidak terjadi collcrps, yaitu kegagalan proses pengeringan beku karena tejadi pencairan produk beku yang akan dikeringkan (Liapis et al, 1995 dalam Belyamin, 2008).
.
,
0
20
..
.. .....
40 60 Waktu (menit)
80
..
.
..
100
.
. . .
120
Gambar 15. Nilai tekanan selama proses pembekuan pada PVAB
-
100
r
10
m
n E
m C m
I
:
1 41 0,Ol 0
20
40
60 80 Waktu (menit)
100
120
Gambar 16. Nilai tekanan selama proses pembekuan pada PVA Tekanan pada awal proses pembekuan vakum dimulai dari 101.3 kPa dan mengalami penurunan sekitar 20 sampai 30 menit pertama hingga mencapai nilai 0.122 kPa. Grafik tekanan selama proses pembekuan vakum dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Penurunan tekanan di awal proses pembekuan terjadi lebih cepat karena pemompaan udara dari dari ruang pengering lebih mudah dilakukan disebabkan beda tekanan di dalam dan di luar ruang belum terlalu besar. Selain
itu, pada saat tekanan tinggi volume jenis uap air bernilai lebih kecil yang menyebabkan pengambilan uap air oleh pompa vakum berlangsung lebih cepat, sedangkan pada kondisi tekanan rendah volume jenis uap air bernilai lebih besar sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pemompaan tekanan berlangsung lebih lama. Hubungan antara tekanan dan volume jenis uap air dapat dilihat pada Tabel 4 dengan kapasitas pemompaan oleh pompa vakcm sebesar 0.6 m3/menit.
Tekanan keseimbangan yang mampu dicapai selama proses pembekuan adalah sekitar 0.067 dan 0.081 kPa. Tabel 4. Sifat termodinamika air Tekanan
Suhu
Panas Laten
Volume Jenis
@?a)
Didih
Penguapan
Uap Air
(Sumber Keenan et d,1978 dalarn Roha~lah,2002) b. Pembekuan Lempeng Sentuh Berbeda dengan inetode pembekuan vakum, pembekuan lempeng sentuh memiliki penurunan suhu yang lebih tajam dibandingkan pembekuan vakum. Ini dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18. Pengukuran suhu bahan juga dilakukan pada empat titik yaitu suhu pada permukaan bahan (Tbl), suhu bahan pada 1 cm dari dasar wadah (Tbz), suhu bahan pada 0.5 cm dari dasar wadah (Tb,), dan suhu bahan pada dasar wadah (Tb4). Dari Grafik dapat dilihat bahwa penurunan suhu bahan telah terjadi di awal proses pembekuan. Tb4 lebih rendah dibandingkan dengan suhu lainnya
dikarenakan Tb4 merupakan suhu bahan pada dasar wadah yang letaknya lebih dekat dengan lempeng pembeku sehingga pindah panas lebih cepat tejadi pada lapisan ini. Akibatnya, Tb4 mengalami penurunan suhu yang lebih cepat dari bagian lainnya, sehingga tejadi sebaran suhu yang cukup besar. Pada metode pembekuan lempeng sentuh, proses pembekuan berakhir ketika suhu rata-rata bahan mencapai -17OC. Kisaran suhu ini juga untuk menghindari tejadinya collaps pada saat pemindahan bahan dari ruang pembeku ke ruang pengering
25
30
35
Gambar 17 Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses pembekuan pada Perlakuan Pembekuan Lempeng Sentuh dan Pemanasan Atas dan Bawah (PLAB)
WaMu (menit)
Gambar 18. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses pembekuan pada Perlakuan Pembekuan Lempeng Sentuh dan Pemanasan Atas (PLA)
a. Pemanasan atas dan bawah Sebaran suhu bahan selama proses sublimasi dengan perlakuan pemberian pemanasan dari atas dan bawah dapat dilihat pada Gambar 19 dan 21. Grafik menunjukkan bahwa suhu bahan masih mengalami penurunan pada awal proses pengeringan sampai dicapai suhu jenuh air yang sesuai dengan tekanan yang dicapai. Kemudian suhu bahan mengalami peningkatan setelah menit ke-220. Peningkatan suhu akan diikuti oleh peningkatan tekanan. Ini dikarenakan bahan telah mengalami sublimasi sehingga tejadinya pengeluaran uap air dari bahan beku. Pengeluaran uap air menyebabkan bertambahnya molekul uap air di dalam ruang pengering sehingga terjadi tumbukan molekul yang semakin besar yang menyebabkan tekanan meningkat. Selain akibat pengeluaran uap air, kebocoran alat yang sulit untuk dideteksi juga berpengaruh pada kemampuan pompa vakum untuk menyerap udara kering yang ada pada ruang pengering beku. Akibatnya tekanan dalam ruang pengering selama proses sublimasi meningkat.
Grafik
tekanan terhadap waktu selama proses sublimasi ini dapat dilihat pada Gamhar 20 dan 22.
-+
4 Tbl
-+--Tb2
Tb3
-Tb4
-
- suhu pemanas atas suhu pemanas bawah Suhu dinding suhu coldtrap
waktu (menit)
Gambar 19. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses sublimasi pada PVAB
Waktu [menit)
Gambar 20. Grafik tekanan terhadap waktu selama proses sublimasi pada PVAB
-e.
50 40 30 20
u
10
s
0 -10 -20 -30
c
--w--
Tbl
--~--Tb2
Tb3 . . . . . . . . . . -jr-
Tb4
--:--suhu dinding . ,. ,.,
suhu pemanas atas suhu pemanas bawah
-.,. -. suhu coldtrap 200
400 600 800 waktu (menit)
1000
Gambar 21 Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses sublimasi pada PLAB
Waktu (menit) ..............................................................
Gambar 22. Grafik tekanan terhadap waktu selama proses sublimasi pada PLAB
Suhu bahan yang pertama kali naik adalah Tbl. Suhu permukaan bahan lebih cepat mengalami peningkatan suhu dikarenakan bahan pada bagian permukaan merupakan bagian yang pertama kali memperoleh panas. Setelah kristal es pada bagian permukaan bahan tersublimasi, maka selanjutnya panas yang diterima oleh bagian permukaan bahan akan dikonduksikan ke lapisan di bawahnya. Dengan kata lain, pengeringan berlangsung lapis demi lapis dan terjadi pemisahan yang jelas antara lapisan kering dengan lapisan yang masih beku. Tetapi suhu Tb4 naik terlebih dahulu dibandingkan Tb3 dikarenakan bagian dasar wadah sampel terbuat dari tembaga sehingga akan menyerap panas lebih cepat. Perpindahan panas dari dasar wadah ke bahan akan herlangsung secara konduksi. b. Pemanasan atas Sebaran suhu bahan dengan metode pemberian pemanas dari atas saja tidak terlalu berbeda dengan metode pemanasan atas d m bawah. Nilai sebaran suhu dapat dilihat pada Gambar 23 dan 25. Tbl juga mengalami peningkatan suhu terlebih dahulu dibandingkan Tb2, Tb3, dan Tb4. Namun karena bagian bawah wadah sampel diberi insulasi dan pemanas bawah tidak digunakan, maka setelah Tb2, suhu yang berikutnya meningkat adalah Tb3. Tb3 menerima panas dari Tb2 secara konduksi setelah terhentuk lapisan bahan yang cukup kering pada Tb2. Perpindahan panas ini akan terjadi lapis demi lapis sampai pada bahan di bagian dasar wadah. Menurut Kisdiyani (2002), saat permukaan sublimasi mencapai dasar (pusat) bahan, yang ditunjukkan dengan mulai meningkatnya Tb4, dapat digunakan sebagai petunjuk selesainya proses sublimasi. Proses selanjutnya adalah difbsi uap ai; yang masih berada diantara ronggaljaringan bahan ke luar bahan dan pelepasan air terikat yang tidak membeku pada saat pembekuan bahan. Pengeringan beku dapat dianggap selesai saat suhu pusat bahan mendekati suhu permukaan yang dikendalikan pada tingkat tertentu. Pada perlakuan metode lempeng sentuh, proses penurunan tekanan juga dimulai pada awal proses sublimasi. Tekanan akan turun dari tekanan atmosfir (101.325 kPa) dan mencapai tekanan 0.122 kPa dalam waktu 25 menit. Nilai tekanan ini akan tetap turun mencapai 0.081 kPa d m konstan untuk mempertahankan tekanannya pada 0.108 kPa. Tekanan konstan dicapai ketika
telah terjadi keseimbangan antara pengeluaran uap air bahan dengan penangkapan uap oleh coldtrap. Nilai tekanan yang dapat dicapai selama proses ini akan mempengamhi pada lamanya proses pengeringan. Semakin tinggi tekanan maka akan semakin lama proses pengeringan berlangsung. Suhu coldtrap yang digunakan selama proses sublimasi juga mempengaruhi besarnya uap air yang dapat diserap. Semakin rendah suhu coldtmp, maka semakin banyak uap air yang dapat diserap. Dengan semakin banyaknya uap air yang terserap berarti semakin rendah tekanan dalam ruang pengering dan ini akan mempercepat waktu pengeringan beku (Kisdiyani, 2002).
20 10 s 0 .c 2 -10 -20 -30 -40 -50
-
Tb3
p
-%-"'
Tb4
suhu pemanas atas
-
-- suhu pemanas bawah
suhu dinding
Garnbar 23. Seharan suhu bahan lidah buaya selama proses sublimasi pada PVA
Waktu [menit)
Gambar 24. Grafik tekanan terhadap waktu selama proses sublimasi pada PVA
-40 -50 . . . 0
suhu pemanas bawah: ..
..
. .
240
480
720
.
960
.
~
. , .
1200 1440 1680
Waktu (menit)
Gambar 25. Sebaran suhu bahan lidah buaya selama proses sublimasi pada PLA
0
240
480
720
960
1200
1440
1680
Waktu (menit)
Gambar 26 Grafik tekanan terhadap waktu selama proses sublimasi pada PLA 3. Laju Pembekuan Massa awal bahan yang digunakan adalah 130 g dengan ketebalan bahan 2.1 em. Laju pembekuan dihitung dengan menggunakan perbandingan antara
besarnya perbedaan suhu bahan dengan waktu yang dibutuhkan untuk proses penurunan suhu bahan tersebut. Hal ini dikarenakan tebalnya bahan pada metode pembekuan vakum tidak dapat diukur ketika proses pembekuan berakhir karena proses akan langsung dilanjutkan ke tahap sublimasi dalam keadaan vakum. Perlakuan PVAB dan PVA menghasilkan laju pembekuan sebesar 0.51°C/menit dan 0.50°C/menit dengan waktu total selama proses pembekuan adalah 120 menit. Menurut King (1971) dalam Sutanto (2004), nilai ini termasuk
ke dalam laju pembekuan lambat, dimana waktu yang dibutuhkan lebih dari 30 menit untuk 1 cm produk yang dibekukan. Laju pembekuan ini mempengaruhi kristal es yang terbentuk. Pembekuan yang lambat akan membentuk kristal es yang berukuran besar sehingga produk pun merniliki struktur pori yang kasar. Hal ini menyebabkan produk lebih mudah mengalirkan uap air sehingga waktu yang dibutuhkan untuk proses sublimasi pun akan lebih cepat.
5 10 Waktu (menit)
15
Gambar 27. Grafik laju penurunan tekanan Laju penurunan tekanan untuk metode pembekuan vakum diperoleh sebesar 107.10 kPdmenit. Grafik laju penurunan tekanan dapat dilihat pada Gambar 27. Nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan laju penurunan tekanan hasil beberapa penelitian lainnya (Tabel 5). Laju penurunan tekanan yang rendah menyebabkan metode pembekuan vakum menghasilkan laju pembekuan lambat. Tabel 5. Perbandingan nilai laju penurunan tekanan dari beberapa hasil
I
I
Jus jeruk Air Lidah buaya
1
/ / -5.762 1 -5.762
I
I
I
I
1
-1.065
1
I
583.06 582.68
I Widiyoko, 1998 1 Widiyoko, 1998 ,
I
107.10
I Penelitian ini
Sedangkan pada metode pembekuan lempeng sentuh, proses pembekuan pada PLAB dan PLA berlangsung selama 35 menit, sehingga diperoleh nilai laju
pembekuan sebesar 1.4O0C/menit dan 1.42"C/menit. Pembekuan ini termasuk ke dalam pembekuan cepat karena berlangsung kurang dari 20 menit untuk 1 cm produk. Pada proses pembekuan ini, kristal es yang terbentuk lebih kecil dibandingkan dengan pembekuan lambat, sehingga kemampuan bahan untuk mengalirkan uap air juga cendrung rendah yang mengakibatkan proses sublimasi akan berlangsung lebih lama. 4. Laju Pengeringan Laju pengeringan merupakan hasil perbandingan antara massa air yang menguap dengan lama waktu yang dibutuhkan selama proses pengeringan. Menurut Brennan et al. (1974) dalam Kisdiyani (2002), kecepatan pengeringan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kecepatan pergerakan uap air dari permukaan es melalui lapisan kering berpori dan kecepatan perpindahan panas ke permukaan es. Nilai laju pengeringan untuk metode yang menggunakan pemanasan atas dan bawah memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan metode yang hanya menggunakan satu pemanas. Hal ini dikarenakan metode dengan satu pemanas membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menguapkan air yang ada di dalam bahan jika dibandingkan dengan metode dua pemanas. Nilai laju pengeringan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai laju pengeringan Vakum
Lempeng
Satuan
Sentuh Atas dan Bawah
7.2 x 10"
6.5 x 10"
kg uap airljam
Menurut Lisnawati dan Tambunan (1997), dua diantara berbagai faktor yang mempengaruhi waktu pengeringan adalah laju pembekuan sebagai proses awal pengeringan beku dan suhu permukaan bahan. Laju pembekuan yang cepat akan menyebabkan proses pengeringan yang lama dan suhu permukaan bahan yang rendah menyebabkan waktu pengeringan yang lebih lama juga. Sehingga berdasarkan metode pembekuan yang digunakan, laju pengeringan dengan metode pembekuan vakum menghasilkan laju yang lebih cepat dibandingkan metode
lempeng sentuh karena laju pembekuan pada metode pembekuan vakum menghasilkan laju pembekuan lambat. Menurut Tambunan (2005), pada metode pembekuan vakum terbentuk rongga-rongga pada bahan selama proses pembekuan. Sebagaimana diketahui, efek pembekuan vakum terjadi akibat penguapan air atau subliiasi es dari bahan. Setelah permukaan bahan tertutup oleh lapisan es, maka p e n m a n suhu dan pembekuan lapisan dibawahnya akan terjadi oleh sublimasi es dari permukaan tersebut, dan seterusnya. Es yang menyublii akan meninggalkan rongga pada matrik beku bahan. Rongga-rongga yang terbentuk akan menyebabkan sublimasi terjadi pada bagian bawah bahan dan menjadi jalur pergerakan uap ke luar. Sedangkan pada pembekuan lempeng sentuh tidak terbentuk rongga pada saat pembekuan. Hal ini yang menyebabkan laju pengeringan pada metode pembekuan vakum lebih cepat dibandiigkan metode pembekuan lempeng sentuh. Secara visual, bahan kering beku lidah buaya dapat dilihat pada Gambar 28. Pada metode pembekuan vakum, bahan lidah buaya menempel pada diiding wadah sampel akibat terjadiiya efek pendidihan.
(a) (b) Gambar28. Perbandingan fisik bahan kering beku lidah buaya yang dibekukan dengan pembekuan vakum (a) dan pembekuan lempeng sentuh (b) 5. Kadar Air Bahan campuran lidah buaya yang digunakan pada pengeringan beku ini memilii nilai kadar air awal sebesar 95.4%. Setelah mengalami proses pengeringan beku, kadar air bahan diperoleh sebesar 10%. Berdasarkan beberapa standar mutu yang ada (Lampiran I), bahan lidah buaya kering ini termasuk ke
dalam mutu sedang dengan kadar air maksimal yang diijinkan sebesar 10.8%. Pada Tabel 7 dapat dilihat perbandingan nilai kadar air bahan lidah buaya kering dengan beberapa metode pengeringan hasil penelitian Tabel 7 Perbandingan kadar air lidah buaya kering dengan beberapa metode pengeringan Kadar Air Akhir Sumber Metode Pengeringan
(%I 11 98
Sutanto (2004)
Oven gelombang mikro
8
Priyana (2005)
Pengering tipe semprot
3
Hasibuan (2004)
Pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh
B. KONSUMSI ENERGI 1. Efisiensi Energi Analisis energi dilakukan dengan menghitung energi input dm output dari proses pengeringan beku. Energi input terbagi dua yaitu energi input terukur (Ed d m energi input terhitung (Q). Energi input terukur merupakan energi listrik yang terbaca pada kwh meter, sedangkan energi input terhitung adalah energi yang dibutuhkan alat untuk bekerja pada kondisi yang diinginkan. Energi output merupakan energi yang dibutuhkan bahan sampai menjadi produk kering selama proses pengeringan beku
Gambar 29. Skema sistem pengeringan beku
Keterangan: 1 : Coldtrap
7
: Bahan
2 : Pompa vakum
8
: Pipa air masuk
3 : Tangki pemanas atas
9
: Pipa air keluar
4 : Tangki pemanas bawah
Ei, : Energi input temkur
5 : Pompa air
E,,
: Energi output
6 : Ruang pengering beku
Q
: Energi input terhitung
Tabel 8. Energi input
I
I
Kondensasi uap air
I
27216
I
Pemanas PVA
2574 I
1
1 1
I
Pemanas PLAB
Pompa vakum
I
I
/ Pompa vakum
I
I
1
357.35
19612.8 /
1442.10
1908
285.84
37368
I
332.15 I
/ 2930.4 1
1442.10 363.79
I
44100
/
331.02
I
I
Pemanas
357.88
I
I
Kondensasi uap air
1
21240
Pemanas PLA
1442.10
28710
Kondensasi uap air
355.08
I
15516
/ Pompa vakum Kondensasi uap air
/
23724
1442.10
Energi input temkur sangat tergantung pada lamanya proses berlangsung dan kemampuan kerja alat. Makin besar kapasitas alat, maka kebutuhan energi juga akan semakin membesar. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8, dimana nilai energi input temkur cendmng lebih besar dibandingkan dengan energi input hasil perhitungan. Besarnya energi input terhitung tergantung dari keadaan yang dicapai pada saat proses berlangsung. Pada pompa vakum, konsumsi energi dipengaruhi oleh tekanan awal dan tekanan akhir yang mampu dicapai pompa, massa uap air bahan yang menguap, serta waktu yang dibutuhkan untuk
menurunkan dan mempertahankan tekanan. Energi untuk kondensasi uap air dipengaruhi oleh massa air yang tersublimasi dan entalpi spesifik perubahan dari es ke uap (h,i). Sedangkan energi untuk pemanas dipengaruhi oleh laju aliran serta suhu air yang digunakan sebagai media pemanas. Menurut Zainuddin (2003), penurunan tekanan di dalam ruang pembeku ternyata bukan hanya disebabkan oleh efek penggunaan pompa vakum, tetapi ada ha1 lain yang ikut berperan dalam perubahan tekanan tersebut, yakni penguapan air bahan dan kondensasi uap air di dalam coldtrap. Uap air yang dilepaskan dari bahan memberikan dampak peningkatan tekanan ruang pembeku, sedangkan kondensasi uap air bahan sama dengan pompa vakum yang berfungsi menurunkan tekanan ruang pembeku. Hal ini yang menyebabkan pompa vakum membutuhkan energi yang lebih besar pada saat proses berlangsung. Massa awal bahan yang digunakan untuk seluruh perlakuan sebesar 130 g. Berdasarkan Cp awal bahan, maka dapat diperoleh panas sensibel pertama (qsl) untuk PVAB dan PVA sebesar 17.36 W dan 17.83 M.Sedangkan untuk PLAB dan PLA diperoleh nilai panas sensibel sebesar 17.05 kJ dan 17.18 W.Besarnya panas yang harus dilepaskan untuk menurunkan suhu pada semua perlakuan tidak jauh berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh suhu awal bahan yang hampir sama yaitu sekitar 33'C dan suhu titik beku bahan sekitar 0°C. Nilai panas laten bahan (qll) untuk semua perlakuan bernilai sama yaitu 41.42 kJ. Hal ini dikarenakan nilai hanya dipengaruhi oleh massa bahan yang dibekukan dan panas laten bahan. Menurut Tambunan (2005), 40-55% panas yang hams dilepas dari bahan selama pembekuan adalah untuk proses kristalisasi atau perubahan fase, sedangkan selebihnya adalah untuk penurunan suhu. Tabel 9. Total konsumsi energi bahan pada proses pembekuan Perlakuan
Konsumsi Energi Konsumsi Energi Spesifik (kJ)
(Wkg bahan awal)
PVAB
61.56
473 53
PVA
62.53
481.00
PLAB
62.85
483.46
PLA
63.11
485.46
Sementara itu, panas sensibel kedua (qsz) untuk P V m , P V 4 PLAE3, dan PLA berturut-turut adalah 2.78 kJ, 3.27 M, 4.38 kJ, dan 4.51 M. Nilai panas sensibel kedua untuk metode pembekuan lempeng sentuh lebih besar jika dibandingkan dengan metode pembekuan vakum. Ini dikarenakan titik akhir beku bahannya juga lebih rendah sehingga nilai panas yang harus dilepaskan bahan pada metode lempeng sentuh juga akan semakin besar. Total konsumsi energi bahan selama proses pembekuan dapat dilihat pada Tabel 9. Pada proses pengeringan, nilai panas laten sublimasi (qlz) untuk PVAB dan PVA diperoleh sebesar 361.94 M. Karena proses pengeringan langsung diteruskan setelah proses pembekuan berakhir dalam keadaan vakum, maka massa bahan yang digunakan dalam perhitungan panas laten sublimasi pada kedua perlakuan ini adalah massa awal bahan. Sedangkan untuk PLAB dan PLA diperoleh nilai panas laten sublimasi sebesar 341.62 kJ dengan massa bahan yang disublimasi untuk kedua jenis perlakuan sebesar 122.7 g. Nilai massa bahan ini telah mengalami penyusutan setelah proses pembekuan berakhir. Tabel 10. Total konsumsi energi
Dari keseluruhan hasil diatas maka dapat dihitung total energi input dan output yang dikonsumsi selama proses pengeringan beku. Besarnya konsumsi energi ini dapat dilihat pada Tabel 10. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa konsumsi energi input terukur sangat dipengaruhi oleh lamanya proses, dimana semakin lama proses berlangsung maka energi yang dibutuhkan akan semakin besar. Perlakuan dengan menggunakan metode pemanasan atas dan bawah menghasilkan konsumsi energi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan metode
yang hanya menggunakan pemanas dari atas saja. Perbedaan nilai ini lebih dipengaruhi oleh besarnya energi yang dibutuhkan oleh pompa vakum yang juga berbanding lurus dengan waktu yang dibutuhkan selama proses pengeringan beku. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Untuk energi output, perlakuan dengan metode pembekuan vakum membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan metode pembekuan lempeng sentuh, ini disebabkan total massa air yang tersublimasi pada metode pembekuan vakum juga lebih besar. Berdasarkan hasil perhitungan energi input dan output, maka dapat diperoleh besarnya efisiensi energi pengeringan beku. Nilai efisiensi energi untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11. Nilai efisiensi ini terbagi dua yaitu efisiensi terukur, merupakan perbandingan antara energi output dan energi input terukur dan efisiensi terhitung yang merupakan perbandingan antara energi output dan energi input terhitung. Tabel 11. Efisiensi energi pengeringan beku
2. Diagram Tekanan-Suhu Berdasarkan mekanisme yang tejadi, penerapan metode pembekuan vakum pada proses pengeringan beku diharapkan dapat menghemat energi karena penurunan tekanan ruangan untuk mendapatkan efek pembekuan tersebut juga diperlukan untuk proses sublimasi (Tambunan, 2005). Perbandingan mekanisme pengeringan beku dengan menggunakan pembekuan vakum dan pembekuan lempeng sentuh dapat dilihat pada Gambar 30 sampai 33. k' a
hasil diagram tekanan-suhu selama proses pengeringan beku pada
penelitian ini dihandingkan dengan diagram tekanan-suhu sesuai teori pada Bab
Tinjauan Pustaka (Garnbar 5), maka terdapat perbedaan alur proses pada metode pembekuan vakum. Hal ini dapat disebabkan karena bahan bukan berasal dari air murni saja melainkan merupakan campuran beberapa bahan. Menumt Heldman dan Taylor (1997) dalam Rohanah (2002), proses pembekuan bahan campuran mempunyai dua sifat yang khas jika dibandingkan dengan pembekuan air murni yaitu, (1) suhu pada awal pembentukan kristal es pada bahan lebih rendah dari suhu awal pembentukan kristal es pada air murni, (2) panas laten pembentukan dilepaskan secara berangsur-angsur selama penurunan suhu bahan. Keadaan ur sebenarnya tergantung dari komposisi dan ~ t ~ k tproduk.
Diagram Fase Air
-
100,o
m
-Air
2c l0,O zra x c
rnurni
-=-Bahan lidah buaya
1-0 0,l 0,o 250
300
350 Suhu (K)
Gambar 30. Diagram tekanan-suhu pengeringan beku
400
pada PVA selama proses
Diagram Fase Air 100,o m
-
g 10,O C
2
-Air
1,o
rnurni
--.--Bahan lidah buaya
m x m 0,1
t
0,o 250
300
350
400
Suhu (K)
Gambar 31. Diagram tekanan-suhu pada PVAB selama proses pengeringan beku
Diagram Fase Air
100,o
m
g
-Air murnl
l0,O
--.a-Bahan l~dah buaya
c
2m
l,O
g
0,l
x
0,o 250
300
350
400
Suhu (K)
-
.
Gambar 32. Diagram tekanan-suhu pengeringan beku
pada PLA selama proses
Diagram Fase Air
-
100,o
c
2
g
10,o
-Alr
1-0
murnt
-Bahan lidah buaya
0,l 0,o 250
300
350
400
Suhu (K)
Gambar 33. Diagram tekanan-suhu pada PLAB selama proses pengeringan beku Jika dibandingkan antara efisiensi dengan diagram tekanan-suhu, maka dapat dikatakan bahwa metode pembekuan vakum dapat menghemat penggunaan energi. Dari grafik dapat dilihat bahwa metode pembekuan vakum memiliki alur proses yang lebih singkat dibandingkan metode lempeng sentuh, dimana penurunan tekanan terjadi diawal proses dan bahan mengalami penurunan suhu akibat tejadinya pengeluaran uap air. Sedangkan pada metode pembekuan lempeng sentuh, proses pembekuan mengubah bahan menjadi fase padat terlebih dahulu, kemudian menyublimkannya ketika mencapai tekanan vakum pada tahap pengeringan. Penghematan energi ini dapat dibuktikan dengan Tabel 11. Nilai perhitungan efisiensi energi terukur dan terhitung untuk metode pembekuan
vakum memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan metode pembekuan lempeng sentuh. Hasil pengukuran energi listrik (Ei, terukur) pada Tabel 10 juga menunjukkan bahwa pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum menggunakan energi yang lebih sedikit sehingga dapat disimpulkan bahwa pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum dapat menghemat pemakaian energi dibandingkan pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh.
V. KESlMPULAN DAN SARAN A. KESIMF'ULAN 1. Perlakuan dengan metode pembekuan vakum menghasilkan laju pembekuan lebih lambat (0.51°C/menit dan 0.5O0C/menit) dibandingkan dengan metode lempeng sentuh (1.40°C/menit dan 1.42"C/rnenit) yang disebabkan oleh lambatnya laju penurunan tekanan (107.10 kPa/menit). 2. Berdasarkan arah pemberian panas, metode pemanasan dari atas dan bawah menghasilkan laju pengeringan yang lebih cepat dengan nilai sebesar 7 . 2 ~ 1 0 . ~ dan 6 . 5 ~ 1 0 "kg uap airljarn, sedangkan untuk pemanasan dari atas sebesar 5 . 1 ~ 1 0 dan . ~ 4.3~10"kg uap aidjam. 3. Perlakuan dengan menggunakan metode pembekuan vakum menghasilkan nilai efisiensi energi yang lebih besar (0.98%, 0.73%, 20.95%, dan 20.22%) dibandingkan metode pembekuan lempeng sentuh (0.80%, 0.59%, 20.27% dan 19.50%). 4. Arah pemberian panas dari atas dan bawah mampu menghemat penggunaan energi (3.4% dan 3.7%) dan dapat mengurangi total waktu pengeringan beku (7 dan 9 jam) dibandingkan dengan pemberian panas dari atas saja.
B. SARAN 1. Untuk mempermudah proses pindah panas pada bahan selarna pengeringan beku, maka wadah sampel perlu dibuat lebih lebar sehingga dapat menghasilkan perrnukaan bahan yang semakin luas yang dapat mempercepat proses pindah panas terutama dari dasar wadah ke permukaan bahan. 2. Untuk mencegah terjadinya collaps pada saat pengeringan beku, maka perlu diteliti batas suhu yang dapat diberikan pada pemanasan dari bawah.
DAFTAR PUSTAKA Belyamin. 2008. Kajian Energi Pengeringan Beku Dengan Penerapan Pembekuan Vakum dan Pemanasan Dari Bawah. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Desrosier, M. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. M. Muljohardjo, penerjemah. Universitas Indonesia. Jakarta. Fellows, P.J. 1988. Food Processing Technology. Ellis Honvood Limited. England Hasibuan, A. H. 2004. Pengembangan alsin pengering semprot (Spray Dryer) untuk pembuatan tepung lidah buaya di Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong, Tangerang, Banten. Laporan Kegiatan Praktek Kerja Magang. IPB. Bogor. Heldman, D. R. dan R. P. Singh. 1987. Rekayasa Proses Pangan. M. A. Wirakartakusumah et. al, penerjemah. IPB. Bogor Hendanvati, T. Y. et al. 2005. Rancang Bangun Industri Tepung Lidah Buaya (Aloe vera) Terpadu. Jurnal Teknik Industri Pertanian. Vol 17 (1). Hal. 12-22. Juniantito, V. dan B. F. Prasetyo. 2005. Aktivitas sediaan gel dari ekstrak lidah buaya (Aloe barbadeizsis mill.) untuk proses persembuhan luka pada hewan. Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda IPB Tahun 2005. IPB. Bogor. Kisdiyani. 2002. Mempelajari Kondisi Operasi dan Karakteristik Pengeringan Beku Pasta Cabe Jawa (Piper retrofractzim Vahl). Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Komarudin. 2001. Kajian Peluang Pendirian Industri Tepung Lidah Buaya (Aloe Vera Liimn) di Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Komaruddin, A. 2006. Analisis Pengelolaan Agrobisnis Lidah Buaya (Aloe Vera L) di Kawasan Sentra Agribisnis Pontianak. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Lisnawati, Y. dan A.H. Tambunan. 1997. Pengaruh Laju Pembekuan dan Suhu Permukaan Bahan Terhadap Waktu Pengeringan Beku Daging Sapi Giling. Buletin Keteknikan Pertanian. Vol. 11, No. 1. Hal. 5-14. Natawihardja, D. 1991. Efisiensi Penggunaan Energi dan Kebutuhan Untuk Hidup Pokok Pada Ayam Broiler dan Ayam Tipe Petelur Serta Hubungannya
Dengan Pembentukan Lemak Tubuh. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Priyana, E. 2005. Kajian Proses Pengeringan Lidah Buaya (Aloe vera) Menggunakan Oven Gelombang Mikro (Microwave Oven). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Rohanah, A. 2002. Karakteristik Pembekuan Vakum dan Pembekuan Lempeng Sentuh Pup1 Markisa. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Santoso, M. B. 2004. Efisiensi Energi dan Produktivitas Pada Tumpang Sari Jagung Manis (Zen nzqs saccharatzi stzirt) dan Berbagai Kerapatan Kacang Hijau (Vigm radiate L.) Dengan Pengolahan Tanah Yang Berbeda. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Sutanto, Y. N. 2004. Konsumsi Energi Radiasi Pada Proses Pengeringan Beku Berbagai Bahan Biologik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Tambunan, A. H. 2000. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Laju Pembekuan Vakum Bahan Pangan Cair. Buletin Keteknikan Pertanian. Vol 14, No.3. Hal. 201-209. Tambunan, A. H. et al. 2000. Simulasi Karakteristik Pengeringan Beku Daging Sapi Giling. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol. 14, No.1. Hal. 55-63. Tambunan, A. H. et al. 2003. Karakteristik Pembekuan Vakum dan Pulp Markisa. Buletin Keteknikan Pertanian. Vol. 17, No. 1. Hal. 59-67, Tambunan, A. H. 2005. Peningkatan efisiensi energi pengeringan beku melalui penerapan sistem pembekuan vakum dan pemanasan terbalik. Laporan Akhir Hibah Bersaing Perguman Tinggi. IPB. Bogor. Tirtasari, D. 1996. Pengeringan Beku Daging Sapi Giling. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Widodo, M. 1996. Penentuan Nilai Konduktivitas Panas dan Permeabilitas Uap Air Pada Lapisan Kering Daging Sapi Giling Selama Proses Pengeringan Beku. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Widodo, P. dan U. Budiharti. 2006. Pengeringan Semprot (Spray Dryer) Untuk Membuat Tepung Lidah Buaya. Sinar Tani. www.deutan.~o.id.(8 Febmari 2008). Zainuddin, I. 2003. Rancang Bangun Peralatan dan Analisis Karakteristik Pembekuan Vakum Udang Windu (Penaezis monodo?7 fab). Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Lampiran 1. Standar mutu lidah buaya
A. Mutu Rendah (LPI Subang) Persyaratan
Faktor Standar Bubuk
Kenampakan
amorf
henvarna
coklat
kehitaman Sangat
Kelarutan
larut
dalam
air
dan
menghasilkan larutan kental, sedikit larut dalam larutan hidroalkohol dan hidroglikol, dan tidak larut dalm pelarut organic Sifat fisika dan kimia Perbandingan tepung : daun segar
1 : 100
Kadar air
Maks. 12%
PH Aloin
5.5 - 6.5
Tak teridentifikasi
Anthraquinones
Tak teridentifikasi
(Sumber: Kommdin, 2001) B. Mutu Sedang (PT. Aloe Nusantara Utama) Persyaratan
Faktor Standar
I Bubuk amorf I kecoklatan
I
Kenampakan
1
kuning
I
Kelarutan
I I I
II
benvarna
Sangat
larut
Sifat fisika dan kimia Kadar air PH Aloin
air
dan
1 menghasilkan larutan kental, sedikit 1 larut dalam larutan hidroalkohol dan I hidroglikol, dan tidak larut dalm pelarut organic
Perbandingan tepung : daun segar
dalam
1 : 125
I Maks. 10.8% 4.5
Tak diidentifikasi
1
Anthraquinones
1
1 Tak diidentifikasi I
Mikrobiologi Total bakteri aorob
5.350 cfulg
Kapang dan jamur
Tak diidentifikasi
Bakteri pathogen
Tidak ada
(Sumber: Komarudin, 2001)
C. Mutu Tinggi (Tepung Lidah Buaya Impor) Faktor Standar Kenampakan
Persyaratan Bubuk amorf benvarna putih kekuningkuningan
Kelarutan
Sangat
lamt
dalam
air
dan
menghasilkan larutan kental, sedikit larut dalam larutan hidroalkohol dan hidroglikol, dan tidak lamt pelarut organik Sifat fisika dan kimia Perbandingan tepung : daun segar
1 : 200
Kadar air
maks. 5%
pH Aloin
3.5 - 5.0 trace
Anthraquinones
maks. 1.0%
Kadar abu
maks. 45%
Absorban pada 400 nm
maks. 0.10
Mikrobiologi Total bakteri aorob
maks. 100 cWg
Kapang dan jamur
maks. 50 cWg
Bakteri pathogen
Tidak ada
(Sumber: CTFA, 1982 dalam Komamdin, 2001)
dalm
Lampiran 1. Standar mutu lidah buaya (Lanjutan) D. Standar IASC (International Aloe Scienses Council) Persyaratan
Spesifikasi Appearance
Fine crystalline Powder
Warna
Putih, light beige
Kadar air
8% (maks)
Dispersioiz rate (30°C)
5 menit
IJH Densitas (30°C)
3.5 - 5.0 0.990 - 1.010 g/cc
Mikrobiologi (Total Plate Cozcnt)
< 240 cWg
Tidak patogen (Sumber: Hendanvati et al. 2005)
Lampiran 2. Gambar lidah buaya kering hasil pengeringan beku
(a). Perlakuan PVAB
(c). Perlakuan PLAB
(b). Perlakuan PVA
(d). Perlakuan PLA
Lampiran 3. Konsumsi energi pengeringan beku 1. Pembekuan vakum dengan pemanasan atas dan bawah (PVAB) Massa awal bahan : 130 g
Lama proses: 19.7jam
Massa akhir bahan: 4.9 g
2. Pembekuan vakum dengan pemanasan atas (PVA) Massa awal bahan : 130 g Massa akhir bahan: 4.1 g
Lama proses: 26.7 jam
Lampiran 3. Konsumsi energi pengeringan beku (Lanjutan) 3. Pembekuan lempeng sentuh dengan pemanasan atas dan bawah (PLAB) Massa awal bahan : 130 g
Lama proses: 20.3 jam
Massa akhir bahan: 5.7 g
Panas sensibel 3
Efisiensi (%)
11
0.80
20.27
4. Pembekuan lempeng sentuh dengan pemanasan atas (PLA)
Massa awal bahan : 130 g Massa akhir bahan: 6.1 g
Lama proses: 29.7 jam
Lampiran 4. Contoh perhitungar, konsumsi energi Metode PVAB 1) Energi input a. Energi pemvakuman
4.03 Watt
=
b. Energi kondensasi
Qc
=
@ I- m 3 hsi
= (0.13 - 0.49) x
2838.42
= 355.09 kJ
c. Energi pemanasan air Qa =2xm,xCp,x(Taz-Tail =2x
15 x4.18 x(40-28.5)
= 1442.10 kJ
2) Energi output a. Energi Pembekuan Qb= ml Cpl (TI - T2) + ml L + ml Cpz (Tz - Tj) = (0.13~4.04x(33.1-0))
=
17.37 + 41.41 + 2.78
=
61.56 kJ
+ (0.13~318.6)+ ( 0 . 1 3 2.04~(0-(-10.4)) ~
b. Energi Sublimasi Qs
= ml
Cp2 (T4- T3) + ml HSg
+ (0.13~2784.22)
= (0.13~2.04x(33.7-(-10.4)) = 11.72 + 361.95 = 373.67 M
Lampiran 4. Contoh perhitungan konsumsi energi (Lanjutan) Metode PLAB 1. Energi input d. Energi pemvakuman
e. Energi kondensasi Qc
=
(mz- mS h,i
= (0.1227 - 0.57) x 2838.42 = 332.15 kJ
f
Energi pemanasan air Qa =2xm,xCpax(Ta2-Tall = 2 x 15 x 4 . 1 8 ~ ( 4 0 - 2 8 . 5 ) = 1442.1 kJ
2. Energi output Energi Pembekuan Qb= ml Cpl (TI - Tz) + m~L + rnl Cpz (Tz - T3)
+ ( 0 . 1 3 ~2.04x(O-(-16.5))
= (0.13~4.04x(32.5-0))+ (0.13~318.63) =
17.05 + 41.42 + 4.38
=
62.85 kJ
Energi Sublimasi Qs
= m~
Cpz (T4 - T3) + m~Hss
+
= (0.13~2..04~(32.25-(-16.5)) (0.1227x2784.22) =
12.94 + 341.62
= 354.56 kJ
Lampiran 5. Prosedur persiapan bahan Prosedur persiapan bahan lidah buaya: a. Penimbangan massa pelepah lidah buaya segar. b. Pengupasan lidah buaya. c. Pembersihan lendirlgetah yang ada pada bagian lidah buaya. d. Penimbangan seluruh daging lidah buaya segar yang didapat dari satu pelepah segar. e. Pemotongan lidah buaya menjadi dadu-dadu dengan ukuran sekitar 1 cm3.
f
Pemblansiran lidah buaya ukuran dadu dengan menguapkannya dengan air pada suhu 70°C selama 10 menit.
g. Kemudian lidah buaya diblender. h. Lidah buaya yang sudah diblender dicampur dengan maltodextrin dan air untuk mendapatkan campuran lidah buaya 65%, maltodextrin 5% dan air 30%. i. Masukkan lidah buaya sebanyak 130 gram yang telah diformulasikan ke dalam wadah sampel. j. Penimbangan wadah sampel berisi lidah buaya tersebut. k. Pemasangan kabel termokopel untuk pengukuran suhu pada lapisan-lapisan
produk.
1. Dilakukan pembekuan vakum. rn. Setelah semua bahan membeku, dilakukan pengeringan dengan sublimasi. n. Penimbangan kembali seluruh wadah berisi serbuk lidah buaya setelah setelah proses pengeringan beku.
Lampiran 6. Prosedur penggunaan alat a. Pembekuan dengan metode pembekuan vakum 1) Masukkan bahan yang sudah dipersiapkan (ikuti prosedur persiapan bahan) ke wadah sampel. 2) Masukkan wadah sampel ke dalam ruang pengering beku, kemudian sambungkan termokopel yang ada pada wadah sampel ke terminal di dalam ruang pengering. 3) Pasang termokopel ke recorder. 4) Sambungkan alat ukur tekanan ke lubang pengukur tekanan (vaczrzrm
gauge). Pastikan katup keluarnya udara di bagian atas cold trap dalam keadaan tertutup. 5) Tutup dan kunci pintu pengering beku. 6) Catat nilai yang tertera pada setiap k w h meter. 7) Kemudian ON kan panel listrik.
8) Nyalakan refrigerator. 9) Nyalakan pompa vakum setelah suhu coldtrap - 2 0 C dengan menekan
tomb01 ON. 10)Buka katup pengatur tekanan sampai pintu terhisap (tertutup rapat). Perhatikan bahan di dalam wadah sampel, bila meluap tutup dan buka katup pengatur aliran udara vakum. 11)Baca hasil pengukuran pada recorder dan vacuzim gauge. b. Pembekuan dengan metode lempeng sentuh 1) Masukkan bahan yang telah disiapkan ke dalam wadah sampel. 2) Pasang termokopel pada titik-titik yang diinginkan.
3) Masukkan bahan ke dalam ruang pembekuan. 4) Catat nilai yang tertera pada k w h meter.
5) Nyalakan panel listrik. 6) Nyalakan refrigerator dan self cooli?zg. 7) Baca hasil pengukuran pada recorder.
8) Jika suhu bahan yang diinginkan pada proses pembekuan telah tercapai, matikan refrigerator dan selfcooliizg.
9) Pindahkan bahan ke ruang alat pengeringan beku metode pembekuan
vakum untuk proses sublimasi. c. Pengeringan/sublimasi
1) Atur suhu air yang diinginkan (30-40°C). Nyalakan pemanas selama 30 menit sebelum proses pembekuan berakbir. 2) Setelah proses pembekuan selesai Cjika suhu beku bahan yang diinginkan
telah tercapai), maka dilakukan proses sublimasi. Nyalakan pompa sirkulasi air. 3) Buka kran air untuk mengatur pemanas atas atau bawah yang akan digunakan sebagai sumber panas. Jika hanya akan dilakukan pemanasan atas, maka pasang isolasi wadah bagian bawah. Jika diinginkan pemanasan atas dan bawah, maka buka isolasi bawah wadah sampel. Cara mematikan alat: 1) Buka katup pengeluaran udara di atas cold Pap perlahan-lahan (bertahap) 2) Setelah tekanan
1 atm, matikan pompa vakum.
3) Matikan refrigerator dan pompa air