PENGARUH KEBIJAKAN DALAM UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TERHADAP PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA
ALEX YUNGAN
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Alex Yungan NIM E44070033
ABSTRAK ALEX YUNGAN. Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Dibimbing oleh BAMBANG HERO SAHARJO. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim. Kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, ternyata belum mampu mempengaruhi penurunan emisi gas rumah kaca, sehingga kondisi tersebut akan berdampak terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Hal tersebut tentunya menjadi pertanyaan apakah keputusan pemerintah telah berjalan efektif atau justeru sebaliknya. Tujuan dari penelitian ini yaitu 1) untuk mengkaji keberadaan keputusan pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) pada periode 2005-2012 yang disertai kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan; 2) Komitmen pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) akibat kebakaran hutan dan lahan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dengan teknik pengumpulan data dengan dokumen dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Data sekunder dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Selain itu, uji korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara hotspot dan luas kebakaran hutan. Korelasi antara hotspot dengan luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010-2012 sebesar 51.03%, sementara di 11 Provinsi Indonesia yaitu, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat sebesar 61.25%. Hal ini menunjukan korelasi positif antara hotspot dengan luas kebakaran hutan. Hasil analisis data sekunder menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama akibat kebakaran hutan adalah kontraproduktif. Tren hotspot di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2010-2012. Peningkatam hotspot berdampak terhadap peningkatan luas kebakaran hutan. Akhirnya, emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer juga semakin besar. Hal ini berarti regulasi/kebijakan pemerintah bersifat tidak (mampu) menghasilkan dalam implementasinya. Informasi ini diharapkan mampu memberikan solusi penyelesaian masalah pengendalian kebakaran hutan dan lahan terutama dalam menurunkan emisi gas rumah kaca melalui kebijakan pemerintah Indonesia. Kata kunci : emisi gas rumah kaca, hotspot, kebakaran hutan dan lahan, kebijakan pemerintah.
ABSTRACT ALEX YUNGAN. Influence Policy Forest Fire and Land Control Against Greenhouse Gas Emission Reduction. Supervised by BAMBANG HERO SAHARJO. Global warming and climate change occurs due to an increasing of concentrations of greenhouse gases. Indonesian forest fires and land policy has not been able to reduce the greenhouse gas emissions, so that condition will have an impact to global warming and climate change. The main question about government's decision regarding this matter are effectiveness of the policies. The purpose of this study is 1) to reviewing presence the government’s decision in reduce Greenhouse Gas Emissions (GGE) in the period 2005-2012 that accompanied the policy control of forest fire and land; 2) The government's commitment to reduce Greenhouse Gas Emissions (GGE) due to fire forest and land. Primary and secondary data was used in this study. Primary data obtained by interviews, while secondary data obtained by desk study of Ministry of Forestry and the Ministry of Environment documents. Secondary data were analyzed using descriptive analysis. In this study also conducted statistical tests, which is correlation test, to determine the correlation between forest hotspot and the amount of forest fires. Correlation between hotspot with the amount of forest fires in Indonesia by year 2010-2012 was 51.03%, while in 11 Indonesian province namely, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat of 61.25%. The correlation test shows a positive correlation between hotspots with widespread forest fires. Secondary data analysis of the results showed that the government's commitment to reduce the greenhouse gas emissions, mainly from forest fires is counterproductive. It shows that the trends of hotspot in Indonesia was increased by year 2010-2012. The increasing of hotspot resulted to the amount of forest fire. These fact lead the increasing greenhouse gas emissions amount released into the atmosphere. This means that the government policies implementation does not reach the objectives. This study are expected to provide a solution for of forest fire policy problems, particularly in reducing greenhouse gas emissions programs through Indonesian government policies. Keywords: greenhouse gas emissions, hotspot, forest fires and land, government policy
PENGARUH KEBIJAKAN DALAM UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TERHADAP PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA
ALEX YUNGAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Nama : Alex Yungan NIM : E44070033
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, M.Agr Pembimbing I
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Mei 2013 ialah kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan dan lahan, dengan judul Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, M.Agr selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan berharga kepada penulis dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si selaku dosen penguji dan Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MS selaku ketua sidang yang telah memberikan saran dan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Jaya, Sumantri dan Deni dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Khususnya kepada ibu, Suwarni, dan ayah, Edyon Gemady Mulia Harahap S.Pd terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan atas segala doa dan kasih sayangnya yang tidak dapat dibalas dengan dan dalam bentuk apapun. Semoga Allah SWT membalas kebaikanmu, ibu, ayah. Amin. Kepada Jamaludin M. Ali dan bunda Lely, uwak Ramly Rasyid dan keluarga, bunda Cut Laily dan keluarga, terima kasih atas perhatian dan kebaikannya kepada penulis, serta seluruh keluarga, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala doa dan kasih sayangnya. Kepada keluarga besar Departemen Silvikultur, terima kasih atas bantuannya dalam pengurusan administrasi seminar, ujian skripsi dan sebagainya, serta keluarga besar Laboratorium Kebakaran Hutan atas bantuannya kepada penulis. Kepada kawan-kawan HMI Komisariat Fakultas Kehutanan IPB, Wira Ary Ardana, Arifin, Ardiansyah Putra, Laswi Irmayanti, Azizah, terima kasih banyak atas perkawanannya yang begitu intim, melebihi saudara/i sekandung. Kawankawan Fahutan IPB senasib sepenanggungan, bang Handyan Atyanto Putro, Nichie Valentino, Adi Dzikrullah Bahri, Rinal Syahputra Lubis, Rusdi Indra Safutra, Rizky Saputra, Anggiana Ginanjar terima kasih atas korsa dan perkawanannya yang begitu mesra. Kawan-kawan Fahutan IPB 44, Bayu Pranayudha, Sri Wahyuni, Sri Handayani, Topik Hidayat, Yasser Pramana, Risky Mohfar, Mustofa, Irham (Mbek), Renato, Djayus, Singgih, Andri, Lembong, serta seluruh kawan-kawan (SVK, MNH, THH, dan KSHE) yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas korsanya. Kepada Zhaviera Fetriza, terima kasih atas perhatian dan kebaikannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013 Alex Yungan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
METODE
3
Bahan
4
Alat
4
Prosedur Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan SIMPULAN DAN SARAN
4 4 11 16
Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
19
RIWAYAT HIDUP
24
DAFTAR TABEL 1 Sebaran hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia 2 Target penurunan hotspot di Indonesia tahun 2010-2012 3 Perbandingan hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia (jumlah hotspot : target penurunan hotspot 4 Jumlah hotspot dalam kawasan hutan dan luas kebakaran hutan tahun 2010-2012 5 Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan tahun 2010-2012 di 11 provinsi Indonesia
5 6 8 9 10
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Bagan alur pemikiran Jumlah hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia Target penurunan hotspot tahun 2010-2012 di Indonesia Perbandingan hotspot tahun 2010-2012 di Indonesia Korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010-2012 6 Korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan di 11 Provinsi Indonesia tahun 2010-2012
2 6 7 8 9 10
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta sebaran titik panas (hotspot) tahun 2005-2012 di Indonesia 2 Pertanyaan wawancara
19 23
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo dan ditempatkan pada urutan kedua setelah Brazil dalam hal tingkat keanekaragaman hayati (Ministry of Environment 2009). Ironisnya, laju kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 laju deforestasi Indonesia tercatat sebesar 1.51 juta hektar tahun-1 (FWI 2011). Konsekuensinya, Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia (Hooijer et al. 2006). Faktor penyebab kerusakan hutan di Indonesia, diantaranya penebangan liar (illegal logging), alih fungsi hutan serta kebakaran hutan dan lahan yang disebutsebut sebagai salah satu penyebab terbesar kerusakan hutan Indonesia. Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali. Secara umum, kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia, dimana faktor manusia menyebabkan hampir 100% terjadinya kebakaran hutan dan lahan, baik sengaja maupun tidak sengaja (Syaufina 2008). Dampak yang ditimbulkan kebakaran hutan dan lahan antara lain, munculnya kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, kesehatan dan lingkungan, seperti meningkatnya emisi gas rumah kaca. Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gasgas yang tertimbun di atmosfir yang sifatnya “menyerap” radiasi gelombang panjang (sinar infra merah) dan menyebabkan naiknya suhu dibumi (Abdullah dan Khairuddin 2009) Peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim (Setiawan 1999). Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) adalah dengan mengatasi deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu caranya melalui penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (Departemen Kehutanan 2002) yang diwujudkan dengan mengeluarkan peraturan tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Kebijakan yang ditetapkan saat ini cenderung belum mampu mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, terutama dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Hal tersebut tentunya menjadi pertanyaan apakah keputusan pemerintah terkait hal tersebut berjalan efektif atau justru sebaliknya. Mengingat tahun 2020 pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisinya sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% apabila mendapat dukungan internasional. Emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan dan lahan, salah satunya, pemerintah menargetkan penurunan hotspot sebesar 20% setiap tahun (Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011).
2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah keputusan pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) pada periode 2005-2012 disertai kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan? 2. Bagaimana komitmen pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) akibat kebakaran hutan dan lahan? Adapun perumusan masalah tersebut secara ringkas dapat dilihat pada bagan alur pemikiran berikut:
Pemanasan Global
Emisi Gas Rumah Kaca
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011)
Kebakaran Hutan dan Lahan
Hotspot (Pemerintah menargetkan penurunan 20% hotspot setiap tahun dari rerata tahun 2005-2009
Evaluasi dan Rekomendasi
Gambar 1 Bagan Alur Pemikiran
3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu 1) untuk mengkaji keberadaan keputusan pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) pada periode 2005-2012 yang disertai kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan; 2) Komitmen pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) akibat kebakaran hutan dan lahan. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menginformasikan kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan mengenai bagaimana jalannya kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan oleh pemerintah utamanya dalam upaya menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) pada periode 20052012 di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga memberikan informasi tentang keseriusan/langkah konkrit pemerintah dalam menjalankan kebijakan terkait penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) akibat kebakaran hutan dan lahan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah penurunan emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan dan lahan. Hotspot Indonesia tahun 2005-2012 digunakan sebagai paramer untuk melihat persoalan ini.
METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2013. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indept interview) menggunakan pendekatan wawancara semiterstruktur (semistructure interview) serta dialog antara peneliti dengan narasumber penelitian (responden). Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling (Sugiyono 2007). Kriteria narasumber adalah orang yang paling berwenang, paling menguasai peran lembaganya, dan dapat berkomunikasi dengan baik. Narasumber penelitian merupakan pegawai Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan akademisi (Dosen Fakultas Kehutanan IPB). Narasumber yang diwawancarai berjumlah empat orang dengan rincian tiga orang pegawai Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (SM, JDC, dan DN) dan satu orang akademisi (BHS). Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan teknik pengumpulan data dengan dokumen. Data tersebut diperoleh dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang berhubungan dengan topik penelitian.
4 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sebaran hotspot di Indonesia tahun 2005–2012. Data sebaran hotspot diperoleh dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menggunakan citra satelit NOAA-AVHRR. Bahan lainnya adalah peraturan perundang-undangan terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan, laporan pemerintah terkait upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2012 di Indonesia, peta sebaran hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia dan data-data lain yang berhubungan dengan penelitian yang diperlukan untuk melengkapi data yang sudah ada. Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Laptop 2. Software Microsoft Word dan Microsoft Excel 2010 3. Daftar pertanyaan wawancara 4. Alat tulis 5. Tape recorder 6. Alat hitung Prosedur Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan pendekatan statistika deskriptif. Cara yang dilakukan adalah dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang terkumpul sebagaimana adanya (Sugiyono 2009), sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole 1993). Data yang dianalisa adalah hotspot. Parameter yang diukur/dihitung meliputi jumlah hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia. Sasarannya adalah jumlah hotspot mengalami penurunan, terlebih setelah terbitnya Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang menargetkan penurunan 20% hotspot setiap tahunnya. Parameter tersebut dihubungkan dengan kebijakan pemerintah terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Hasil-hasil dari parameter yang telah dianalisis akan dibandingkan dengan laporan pemerintah terkait upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2012 di Indonesia. Selain itu, juga dilakukan analisis dengan uji korelasi untuk mengetahui hubungan antara hotspot dan luas kebakaran hutan di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Hotspot Tahun 2005-2012 di Indonesia Data sebaran hotspot yang dihimpun dari Kementerian Kehutanan selama tahun 2005-2012 di Indonesia bersumber dari citra satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration) yang memiliki teknologi AVHRR
5 (Advanced Very High Resolution Radiometer). Peta sebaran hotspot tahun 20052012 di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan Tabel 1, jumlah hotspot di Indonesia tahun 2005 adalah 40 197 titik, tahun 2006 sebanyak 146 264 titik, tahun 2007 sebanyak 37 909 titik, tahun 2008 sebanyak 30 616 titik, tahun 2009 sebanyak 39 463 titik, tahun 2010 sebanyak 9 880 titik, tahun 2011 sebanyak 28 474 titik, dan tahun 2012 sebanyak 34 789 titik. Tabel 1 Sebaran hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia Provinsi
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
784
1 667
261
924
654
287
592
610
Sumatera Utara
3 830
3 581
936
871
1 172
530
893
882
Sumatera Barat
596
1 231
427
770
495
171
546
689
22 630
11 526
4 169
3 943
7 756
1 707
3 536
4 686
0
215
101
53
99
55
33
71
Jambi
1 208
6 948
3 120
1 970
1 733
603
1 523
2 462
Sumatera Selatan
1 182
21 734
5 182
3 055
3 891
1 481
4 705
6 367
Bangka Belitung
244
1 202
764
523
1 058
143
297
741
Bengkulu
216
474
255
204
192
84
320
307
Lampung
417
3 747
1 639
218
395
123
635
900
91
155
38
52
76
33
193
240
Aceh
Riau Kepulauan Riau
Banten DKI Jakarta
25
26
77
15
14
4
10
10
Jawa Barat
284
1 160
325
869
253
114
766
802
18
99
35
34
13
10
18
12
Jawa Tengah
189
1 746
268
1 082
147
64
498
480
Jawa Timur
351
2 032
1 503
2643
691
259
1 019
902
6
59
57
154
7
14
48
20
Nusa Tenggara Barat
53
568
903
844
476
0
0
0
Nusa Tenggara Timur
42
1 147
1 140
2 289
489
0
0
0
Kalimantan Barat
3 022
29 266
7 561
5 528
10 144
1 785
4 740
6 550
Kalimantan Tengah
3 147
40 897
4 800
1 240
4 640
831
4 285
4 139
Kalimantan Selatan
758
6 469
928
199
1 270
111
1 292
1 016
Kalimantan Timur
714
6 603
2 082
2 231
2 307
974
1 482
1 889
D.I Yogyakarta
Bali
Gorontalo
0
586
93
16
83
24
46
25
Sulawesi Utara
43
114
35
26
34
14
30
39
Sulawesi Tengah
31
562
182
132
367
165
255
218
0
364
145
30
84
25
98
57
Sulawesi Selatan
133
1 201
551
525
519
175
344
302
Sulawesi Tenggara
139
749
288
148
396
94
270
373
Maluku
12
48
26
21
4
0
0
0
Maluku Utara
32
88
13
7
4
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
30 616
39 463
9 880
28 474
34 789
Sulawesi Barat
Papua
Jumlah 40 197 146 264 37 909 Sumber: Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (2013)
6 Gambar 2 dibawah ini menyajikan fluktuasi sebaran hotspot di Indonesia dari tahun 2005-2012. Sebagaimana ditampilkan grafik, hotspot tertinggi di Indonesia terjadi pada tahun 2006, dengan jumlah hotspot sebanyak 146 264 titik, dan hotspot terendah terjadi pada tahun 2010, dengan jumlah hotspot sebanyak 9 880 titik. 160000 140000
Jumlah Hotspot
120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 2005
2006
2007
2008 Tahun
2009
2010
2011
2012
Gambar 2 Jumlah hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia Target Penurunan Hotspot Tahun 2010-2012 dari Rerata Tahun 2005-2009 di Indonesia Tabel 2 menyajikan target penurunan hotspot di Indonesia tahun 20102012. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010, pemerintah menargetkan hotspot di Indonesia berkurang sebesar 20% setiap tahun dari rerata tahun 2005-2009. Rerata hotspot tahun 2005-2009 adalah 58 890 titik. Hotspot maksimal yang ditoleril pemerintah tahun 2010 sebanyak 47 112 titik (20% dari rerata hotspot tahun 2005-2009), tahun 2011 sebanyak 37 690 titik (20% dari tahun 2010 atau 36% dari rerata hotspot tahun 2005-2009), dan tahun 2012 hotspot maksimal yang ditoleril pemerintah sebanyak 30 152 titik (20% dari tahun 2011 atau 48.80% dari rerata hotspot tahun 2005-2009). Tabel 2 Target penurunan hotspot di Indonesia tahun 2010-2012 Rerata 2005-2009 58 890
Tahun 2010
2011
2012
47 112
37 690
30 152
20% 36% 48.80% Sumber: Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014
7 Fluktuasi penurunan hotspot di Indonesia tahun 2010-2012 disajikan pada Gambar 3. Seperti dapat dilihat, hotspot di Indonesia pada tahun tersebut menggambarkan penurunan. 70000
Jumlah Hotspot
60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 2005
2006
2007
2008 2009 Tahun
2010
2011
2012
Target Penurunan Hotspot
Gambar 3 Target penurunan hotspot tahun 2010-2012 di Indonesia sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014
Perbandingan Jumlah Hotspot Tabel 3 menyajikan perbandingan hotspot di Indonesia selang tahun 20052012. Perbandingan hotspot meliputi, perbandingan jumlah hotspot berdasarkan hasil pemantauan citra satelit NOAA-AVHRR per tahun terhadap target penurunan hotspot yang ditetapkan pemerintah sebesar 20% setiap tahun dari rerata 2005-2009. Hotspot maksimal yang ditoleril pemerintah tahun 2010 adalah 47 112 titik, tahun 2011 sebanyak 37 690 titik, dan tahun 2012 sebanyak 30 152 titik. Pada periode yang sama, jumlah hotspot hasil pemantauan citra satelit adalah 9 880 titik tahun 2010, tahun 2011 sebanyak 28 474 titik, dan tahun 2012 sebanyak 34 789 titik. Tahun 2012, hotspot di Indonesia melebihi angka yang ditoleril pemerintah. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
8 Tabel 3 Perbandingan hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia (jumlah hotspot : target penurunan hotspot) Jumlah Hotspot di Indonesia Per Tahun Hotspot Hasil Pemantauan1
Sumber Data:
Hotspot Maksimal2
2005
40 197
2005
2006
146 264
2006
2007
37 909
2007
2008
30 616
2008
2009
39 463
2009
2010
9 880
2010
47 112
2011
28 474
2011
37 690
58 890
2012 34 789 2012 30 152 1 Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2 Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014
Garis perpotongan hotspot hasil pemantauan citra satelit NOAA AVHRR terhadap target penurunan hotspot oleh pemerintah tahun 2010-2012 dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4, garis perpotongan terjadi pada tahun 2012. Pada tahun ini, jumlah hotspot maksimal yang ditoleril pemerintah melebihi ambang batas yang telah ditetapkan, yaitu 34 789 titik. 160000
Jumlah Hotspot
140000 120000 100000 80000
Target Penurunan Hotspot
60000
Hotspot di Indonesia
40000 20000 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun
Gambar 4 Perbandingan hotspot tahun 2010-2012 di Indonesia
Hubungan Hotspot Terhadap Luas Kebakaran Hutan di Indonesia Tabel 4 menyajikan jumlah hotspot dalam kawasan hutan dan luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010-2012. Jumlah hotspot dalam kawasan hutan Indonesia tahun 2010 adalah 2 270 titik, tahun 2011 sebanyak 6 652 titik, dan tahun 2012 sebanyak 9 667 titik. Pada periode yang sama, luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010 adalah 3 493.12 hektar, tahun 2011 sebesar 2 612.09 hektar, dan tahun 2012 sebesar 8 268.65 hektar. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
9 Tabel 4 Jumlah hotspot dalam kawasan hutan dan luas kebakaran hutan tahun 2010-2012 di Indonesia Hotspot (Kawasan Hutan) Per Tahun
Wilayah
Indonesia
Luas Kebakaran Hutan (Ha)
2010
2011
2012
2010
2011
2012
2 270 (23%)
6 652 (23.4%)
9 667 (27.8%)
3 493.12
2 612.09
8 268.65
Sumber: Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (2013)
Luas Kebakaran Hutan (Ha)
Gambar 5 menyajikan hubungan hotspot terhadap luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010-2012. Model persamaan yang dihasilkan adalah y = 0.5845x + 1169.5, dengan nilai R2 = 0.5103. Nilai R2 menunjukkan korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5. 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
y = 0.5845x + 1169.5 R² = 0.5103 Luas Kebakaran Hutan Linear (Luas Kebakaran Hutan)
0
5000
10000
15000
Hotspot
Gambar 5 Korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010-2012 Tabel 5 menyajikan jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan di Indonesia yang diwakili oleh 11 Provinsi tahun 2010-2012. Sebelas Provinsi tersebut adalah, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat. Jumlah hotspot 11 Provinsi tahun 2010 adalah 8 277 titik, tahun 2011 sebanyak 22 931 titik, dan tahun 2012 sebanyak 28 421 titik. Pada periode yang sama, luas kebakaran hutan di 11 Provinsi tersebut adalah 131.50 hektar tahun 2010, tahun 2011 sebesar 455.55 hektar, dan tahun 2012 sebesar 2 804.40 hektar. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
10 Tabel 5 Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan tahun 2010-2012 di 11 Provinsi Indonesia Provinsi Sumatera Utara Riau
Hotspot Per Tahun
Luas Kebakaran Hutan (Ha)
2010
2011
2012
2010
2011
2012
530
893
882
80
5
1 181.00
1 707
3 536
4 686
26
74.5
834
Kepulauan Riau
55
33
71
-
-
-
603
1 523
2 462
2.5
89
11.25
Sumatera Selatan
1 481
4 705
6 367
-
84.5
-
Kalimantan Barat
1 785
4 740
6 550
-
-
565.7
Kalimantan Tengah
831
4 285
4 139
-
22
55.15
Kalimantan Selatan
111
1 292
1 016
-
-
60.5
Kalimantan Timur
974
1 482
1 889
-
148.8
51.5
Sulawesi Selatan
175
344
302
23
31.75
45.3
25
98
57
-
-
-
Jumlah 8 277 22 931 28 421 Sumber: Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Keterangan: (-) tidak ada data
131.5
455.55
2 804.40
Jambi
Sulawesi Barat
Gambar 6 menyajikan hubungan hotspot terhadap luas kebakaran hutan di 11 Provinsi Indonesia. Model persamaan yang dihasilkan adalah y = 0.1099x 1053.3, dengan nilai R2 = 0.6152. Nilai R2 menunjukkan korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan di 11 Provinsi Indonesia. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6.
Luas Kebakaran Hutan (Ha)
3000 2500 y = 0.1099x - 1053.3 R² = 0.6152
2000 1500
Luas Kebakaran Hutan
1000
Linear (Luas Kebakaran Hutan)
500 0 0 -500
10000
20000
30000
Hotspot
Gambar 6 Korelasi Hotspot Terhadap Luas Kebakaran Hutan di 11 Provinsi Indonesia
11 Pembahasan Hotspot Indonesia dan Target Penurunannya Emisi Gas Rumah Kaca akibat kebakaran hutan dan lahan, salah satunya, pemerintah menargetkan penurunan 20% hotspot setiap tahun dari rerata tahun 2005-2009 (Lampiran Perpres No. 61 tahun 2011). Target penurunan 20% hotspot tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Target penurunan hotspot tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.8/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Tabel 2 menunjukkan, rerata hotspot tahun 2005-2009 adalah 58 890 titik. Tahun 2010 hotspot maksimal yang ditoleril pemerintah sebanyak 47 112 titik, tahun 2011 sebanyak 37 690 titik, dan tahun 2012 sebanyak 30 152 titik. Pada periode yang sama, hotspot hasil pematauan tahun 2010 adalah 9 880 titik, tahun 2011 sebanyak 28 474 titik, dan tahun 2012 sebanyak 34 789 titik (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 2, pemerintah telah menetapkan ambang batas maksimum hotspot per tahun di Indonesia. Akan tetapi, standar maksimum hotspot yang ditolerir pemerintah tergolong tinggi. Misalnya tahun 2010, hotspot maksimal yang ditolerir pemerintah sebanyak 47 112 titik. Meskipun angka tersebut sebagai target dalam indikator kinerja pemerintah, namun penetapan nilai tersebut sebagai dasar ambang batas pada tahun 2010, justru kontraproduktif dengan jumlah hotspot pada tahun sebelumnya, terutama tahun 2009 (39 463 titik), yang justru lebih rendah. Seharusnya fluktuasi hotspot di Indonesia berada dalam fluktuasi yang menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun, terlebih lagi setelah Presiden Republik Indonesia menyatakan kommitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat. Artinya ada langkah kongkrit yang dilakukan oleh pemerintah. Hal yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah metode perhitungan yang dilakukan pemerintah tidak mempunyai landasan ilmiah. Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (SM, JDC dan DN, 2013), para responden mengatakan, munculnya penetapan ambang batas penurunan hotspot sebesar 20% setiap tahun ditetapkan begitu saja. Munculnya angka tersebut lebih karena dorongan politik dari pada teknis. Menurut (SM 2013), didalam proses penetapan persentase penurunan hotspot, pemerintah tidak melihat fakta distribusi hotspot dilapangan. Ketika hotspot tahun 2005-2009 ditetapkan menjadi rerata sebagai acuan persentase untuk penurunan, tidak ada grafik distribusi hotspot yang menjadi alat bantu untuk mengambil keputusan. Dibalik persoalan tersebut, ternyata tren hotspot di Indonesi tahun 20102012 justru malah meningkat. Tahun 2010 hotspot di Indonesia sebanyak 9 880 titik. Tahun 2011 hotspot di Indonesia meningkat menjadi 28 474 titik. Puncaknya, tahun 2012 hotspot di Indonesia melebihi ambang batas yang ditolerir pemerintah, yaitu 34 789 titik. Jumlah hotspot yang ditolerir pemerintah pada tahun tersebut adalah 30 152 hotspot (Tabel 3 dan Gambar 4). Tahun 2012, hotspot mengalami kenaikan sebesar 252% dari tahun 2010. Tahun tersebut menjadi “raport merah” bagi Kementerian Kehutanan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Persentase sebaran hotspot tahun 2012 tersebut adalah, 72.2% hotspot berada di kawasan non hutan (lahan 69.1% dan kebun 3.1%) dan sisanya 27.8%
12 berada di kawasan hutan (hutan konservasi 4%, hutan lindung 1%, IUPHHK-HT 16% dan IUPHHK-HA 6.1%).
Hubungan Hotspot Terhadap Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Hasil analisis (Gambar 5 dan Gambar 6) menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama akibat kebakaran hutan, ternyata menjadi kontraproduktif. Tren hotspot di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2010-2012. Tren kenaikan hotspot ini ternyata berdampak terhadap luas kebakaran hutan yang juga ikut meningkat pada tahun tersebut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang dirilis ke atmosfer juga mengalami peningkatan dari tahun 2010-2012 di Indonesia. Data yang ditampilkan pada Tabel 4 dan Gambar 5 diatas menunjukkan bahwa tahun 2010 jumlah hotspot dalam kawasan hutan Indonesia sebanyak 2 270 titik. Tahun 2011 jumlah hotspot ini meningkat menjadi 6 652 titik. Pada tahun 2012 jumlah hotspot meningkat sebesar 325% dari tahun 2010 menjadi 9 667 titik. Akibatnya, luas kebakaran hutan pada tahun 2012-2013 juga ikut meningkat. Luas kebakaran hutan tahun 2010 adalah 3 493.12 hektar. Meskipun pada tahun 2011 luas kebakaran hutan mengalami penurunan menjadi 2 612.09 hektar, akan tetapi luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2012 mengalami peningkatan besar yaitu sebesar 136% dari tahun 2010 menjadi 8 268.65 hektar. Korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 20102012 adalah 51.03%. Model persamaan yang dihasilkan adalah y = 0.5845x + 1169.5. Sementara itu, hotspot di Indonesia tahun 2010-2012 yang diwakili oleh 11 Provinsi, yaitu Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat juga menunjukkan tren yang sama, yaitu mengalami peningkatan. Tahun 2010 hotspot di 11 Provinsi sebanyak 8 277 titik. Tahun 2011 hotspot ini meningkat menjadi 22 931 titik. Puncaknya, tahun 2012 hotspot meningkat sebesar 243% dari tahun 2010 menjadi 28 421 titik. Akibatnya, luas kebakaran hutan di 11 Provinsi pada periode tersebut juga meningkat. Tahun 2010 luas kebakaran hutan di 11 Provinsi ini sebesar 131.50 hektar. Tahun 2011 luas kebakaran hutan ini meningkat menjadi 455.55 hektar. Puncaknya, tahun 2012 luas kebakaran hutan di 11 Provinsi ini meningkat sebesar 2 032% dari tahun 2010 dan mencapai angka 2 804.40 hektar. Korelasi hotspot di 11 Provinsi Indonesia terhadap luas kebakaran hutan di 11 Provinsi Indonesia adalah 61.25%. Model persamaan yang dihasilkan adalah y = 0.1099x - 1053.3 (Tabel 5 dan Gambar 6). Korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan, baik di Indonesia maupun pada 11 Provinsi di Indonesia adalah positif. Semakin tinggi hotspot, maka semakin besar luas kebakaran hutan. Menurut Walpole (1993), bila titik-titik menggerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan positif, maka ada korelasi positif yang tinggi antara kedua peubah. Akan tetapi, bila titik-titik menggerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan negatif, maka antara kedua peubah itu terdapat korelasi negatif yang tinggi.
13 Catatan terhadap Tabel 4 tahun 2011, terdapat satu fenomena dimana jumlah hotspot yang tinggi tidak diimbangi dengan luas kebakaran hutan yang tinggi juga. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, angka tersebut belum mencakup kebakaran lahan yang terkadang lebih luas dari pada kebakaran hutan. Kedua, menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) umumnya angka yang tercatat di Kementerian berasal dari laporan kejadian kebakaran, dan adanya kemungkinan kejadian kebakaran yang tidak dilaporkan atau tidak dicatat. Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kejadian kebakaran hutan dan lahan mengakibatkan munculnya berbagai persoalan, seperti kerusakan lingkungan, pencemaran asap, dan dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca di udara, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Kenyataannya, kejadian kebakaran hutan di Indonesia selalu berulang hampir setiap tahun pada lokasi yang sama. Padahal regulasi/kebijakan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan telah banyak dikeluarkan pemerintah. Diantaranya adalah (1) Undangundang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan; (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; (4) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Bahkan perhatian khusus pemerintah untuk menanganai kebakaran hutan dan lahan di Indonesia ditunjukkan dengan mengeluarkan (5) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Hadirnya berbagai regulasi/peraturan tersebut, terutama Inpres Nomor 16 tahun 2011 dan didalamnya melibatkan lima belas kementerian/lembaga terkait, diharapkan akan dapat mengatasi laju kerusakan hutan Indonesia, khususnya akibat kebakaran hutan dan lahan. Pengaruh Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sejak pertemuan G-20, 25 September 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat, Presiden Republik Indonesia telah menyatakan keseriusannya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% apabila mendapat dukungan pendanaan internasional pada tahun 2020 (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BPPN, 2011). Keseriusan tersebut ditunjukkan pemerintah dengan mengeluarkan berbagai macam regulasi, diantaranya adalah Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) akibat kebakaran hutan dan lahan, salah satunya pemerintah hendak menurunkan hotspot sebesar 20% setiap tahun dari rerata tahun 2005-2009 (Lampiran I Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011). Khususnya perhatian pemerintah untuk menanganai persoalan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, akhirnya membuat pemerintah mengeluarkan Instruksi
14 Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Hadirnya Inpres tersebut, dengan melibatkan lima belas kementerian/lembaga didalamnya diharapkan dapat mengatasi laju kerusakan hutan Indonesia, khususnya akibat kebakaran hutan dan lahan, sehingga pada akhirnya peningkatan emisi gas rumah kaca dapat ditekan (diturunkan). Kenyataan yang berbanding terbalik dengan komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama akibat kebakaran hutan sesuai Inpres No. 16 tahun 2011, menunjukkan bahwa hal tersebut adalah kontraproduktif. Tren hotspot justru meningkat di tahun 2010-2012. Seperti yang telah disampaikan dalam pembahasan sebelumnya (Gambar 5 dan Gambar 6), peningkatan hotspot berkorelasi positif terhadap peningkatan luas kebakaran hutan. Dengan kata lain, semakin tinggi hotspot, maka semakin tinggi luas kebakaran hutan. Akhirnya, emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer juga semakin besar. Faktanya, tren peningkatan hotspot ditahun 2010-2012 justeru terjadi ketika Presiden Republik Indonesia baru saja menyatakan komitmenya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada 25 September 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat dan juga setelah dikeluarkannya Perpres No. 61 tahun 2011 pada tanggal 20 September 2011 tentang RAN-GRK serta Inpres No. 16 tahun 2011 pada tanggal 30 November 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Pemerintah telah banyak mengeluarkan peraturan untuk mengatasi kerusakan hutan akibat kebakaran hutan dan lahan, seperti yang telah disebutkan dalam sub bab sebelumnya. Banyaknya peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah terhadap pengendalian kebakaran hutan dan lahan malah bertentangan dengan realita dan fakta yang didapatkan. Misi penyelamatan bumi yang sering digaungkan pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama akibat kebakaran hutan, menjadi hal yang kontraproduktif. Regulasi/kebijakan pemerintah bersifat tidak (mampu) menghasilkan dalam implementasinya. Hal ini ditunjukkan dengan tren hotspot di Indonesia tahun 2010-2012 yang terus mengalami peningkatan. Peningkatan hotspot ini berdampak terhadap peningkatan luas kebakaran hutan pada tahun tersebut. Akhirnya, emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer juga ikut meningkat. Berdasarkan hasil wawancara, Saharjo (2013) mengungkap bahwa, selama ini kebijakan pemerintah dalam menangani kebakaran hutan dan lahan di Indonesia ibarat rel kereta api. Antara kebijakan dan langkah implementasi yang dilakukan pemerintah dilapangan berjalan sendiri-sendiri. Hadirnya kebijakan tidak mampu mengatasi kerusakan hutan akibat kebakaran hutan dan lahan. Belum seriusnya pemerintah untuk menghentikan kerusakan hutan (deforestasi dan degradasi), terutama akibat kebakaran hutan dan lahan terlihat dari beberapa fakta berikut ini. Pertama, pengawasan yang dilakukan pemerintah dilapangan masih sangat rendah. Menurut Soedomo (2012), ada tiga puluh juta hektar kawasan hutan negara tanpa kehadiran manajer di lapangan. Bahkan, jika ada pejabat pemerintah yang hadir di lapangan, maka ini tidak berarti bahwa masalah dapat diatasi karena banyak pejabat pemerintah juga bermasalah. Kedua, sumberdaya (Manggala Agni) untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan masih sangat kurang. Berdasarkan data Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (2012), kekuatan Manggala Agni (Daops) hanya
15 berjumlah 1 755 orang. Sebanyak 30-60 orang personil Manggala Agni tersebar dalam 2-4 regu di setiap DAOPS (Daerah Operasi Manggala Agni) dan Provinsi di Indonesia. Jumlah personil SMART (Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis) hanya berjumlah 461 orang untuk wilayah Indonesia, atau sedikitnya sekitar 10 orang anggota SMART yang tersebar di setiap DAOPS. Selain itu, dukungan pemerintah dalam hal finansial (alokasi APBN) terhadap penurunan emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan dan lahan terlihat belum memadai dan belum rasional, jika dibandingkan dengan dukungan finansial (APBN) untuk kegiatan yang justeru dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca (CO2) di udara. Penggunaan bahan bakar fosil seperti BBM praktis meningkatkan emisi gas rumah kaca (CO2) di udara. Faktanya, pemerintah malah mendukungnya dengan memberikan subsidi. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (2012) dan Peraturan Menteri No. P.8-II (2010), APBN yang dialokasikan untuk subsidi BBM yang menambah CO2 di udara adalah lebih besar dari yang dialokasikan untuk kegiatan atau sektor yang berpotensi mendukung pengurangan CO2 dari udara akibat kebakaran hutan dan lahan. Pada tahun 2010, subsidi BBM adalah Rp 82.4 triliun, kontras dengan dana pengendalian kebakaran hutan hanya Rp 0.3 triliun. Tahun 2011 anggaran ini berkurang menjadi Rp 0.275 triliun. Akan tetapi subsidi BBM melonjak hingga Rp 165.1 triliun. Tahun 2012 dana pengendalian kebakaran hutan kembali diturunkan menjadi Rp 0.25 triliun. Akan tetapi subsidi BBM pada tahun ini mencapai angka Rp 211.9 triliun. Kementerian dan lembaga pemerintah yang representatif dalam melakukan peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, terutama setelah terbitnya Perpres No. 16 tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, seperti Kementerian Kehutanan mendapat anggaran tahunan hanya sebesar Rp 3.3 triliun tahun 2010, Rp 5.9 triliun tahun 2011, dan Rp 6.1 triliun pada tahun 2012. Sementara Kementerian Negara Lingkungan Hidup mendapat anggaran tahunan lebih kecil, sebesar Rp 0.4 triliun tahun 2010, Rp 1.0 triliun tahun 2011 dan Rp 0.9 triliun tahun 2012. Selain melibatkan dua Kementerian seperti yang telah disebutkan diatas, Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang bertanggung jawab sebagai penyedia tekologi untuk meningkatkan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, ternyata hanya mendapat anggaran sebesar Rp 0.62 triliun tahun 2010. Meski tahun 2011 anggaran tahunan Kementerian ini sedikit naik menjadi Rp 0.675 triliun, akan tetapi tahun 2012 anggaran ini berkurang menjadi Rp 0.672 triliun. Selain itu, Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana juga punya tanggung jawab yang sama. Tahun 2010, lembaga ini mendapat anggaran tahunan sebesar Rp 0.266 triliun, tahun 2011 sebesar Rp 0.939 triliun dan tahun 2012 berjumlah Rp 0.995 triliun (Kementerian Keuangan 2012). Jika dijumlahkan, total dana APBN untuk subsidi BBM yang menambah CO2 di udara dari tahun 2010 sampai tahun 2012 adalah Rp 459.4 triliun. Sedangkan anggaran untuk kegiatan dan sektor yang berpotensi mendukung pengurangan CO2 dari udara akibat kebakaran hutan dan lahan, seperti anggaran Pengendalian Kebakaran Hutan dan beberapa Kementerian/Lembaga pemerintah yang terkait (Kemenhut, KLH, Kemenristek dan BKNPB), hanya mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 22.6 triliun. Angka-angka tersebut, secara tidak
16 langsung menggambarkan sikap nyata pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama akibat kebakaran hutan dan lahan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Keputusan pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) pada periode 2005-2012 di Indonesia telah disertai kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, 2) Komitmen pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK), terutama akibat kebakaran hutan pada kenyataannya menjadi hal yang kontraproduktif. Regulasi/kebijakan pemerintah bersifat tidak (mampu) menghasilkan dalam implementasinya. Tren hotspot di Indonesia tahun 20102012 mengalami peningkatan. Peningkatan hotspot berdampak terhadap peningkatan luas kebakaran hutan. Akhirnya, emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer juga semakin besar.
Saran Saran dari penelitian ini adalah: 1) implementasi kebijakan kedepannya, khususnya dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, agar benar-benar diterapkan. Artinya tidak hanya sebatas aturan, namun juga bertanggung jawab dalam implementasinya, 2) jika pemerintah ingin benar-benar berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di Indonesia, terutama akibat kebakaran hutan dan lahan, dukungan pemerintah seperti dukungan finansial yang memadai dan rasional perlu diperbaiki serta tenaga kerja (SDM Manggala Agni) juga perlu ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Khairuddin. Emisi Gas Rumah Kaca dan Pemanasan Global. Jurnal Biocelebes. 3:10-11. [Dephut RI] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2002. Informasi Umum Kehutanan. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2012. Profil Manggala Agni. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2013. Jumlah Sebaran Titik Panas Per Provinsi tahun 2005-2012 yang Terpantau Pada Stasiun Bumi Satelit NOAA. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan.
17 Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2013. Penurunan Hotspot 2010-2014 Sesuai P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kemenhut 2010-2014. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2013. Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan Per Provinsi di Indonesia tahun 1997-2012. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2013. Jumlah Hotspot Berdasar Peruntukan Kawasan Hutan dan Non Hutan di Seluruh Indonesia Tahun 20102012. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. [FWI] Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia: Periode Tahun 2000-2009. Bogor (ID): Forest Watch Indonesia. Hooijer A, Silvius M, Wosten H, Page S. 2006. Peat CO2, Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics Report Q3943. Rotterdamseweg: The Netherlands (NTH). Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Ismayawati D. 2003. Kualitas Gas Rumah Kaca Akibat Pemadaman Kebakaran di Lahan Gambut dengan Menggunakan Air Laut [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 2003. Kartodihardjo H, Jhamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta (ID): Equinox. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2012. Data Pokok APBN 2006-2012. Kementerian Keuangan. Jakarta (ID). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Jakarta (ID): Kementerian PPN/BPPN. Ministry of Environment 2009. Fourth National Report The Convention on Biological Biodiversity. Jakarta (ID): Biodiversity Conservation Unit, Ministry of Environment. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 6/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama Kementerian Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Setiawan I. 1999. Manajemen Hutan sebagai Upaya Pengurangan Gas Rumah Kaca [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Soedomo S. 2012. Climate Change, Economy, and Forest Resources. Presented in DAAD Alumni conference, Bogor, February 14-16th. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta.
18 Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R dan B. Bandung (ID): Alfabeta. Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Perilaku Api, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Bayumedia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Walpole R E. 1993. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
19 Lampiran 1 Peta sebaran titik panas (hotspot) tahun 2005-2012 di Indonesia
20
21
22
23 Lampiran 2 Pertanyaan Wawancara Teknik wawancara dalam penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara semiterstruktur (semistructure interview). Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya (Sugiyono 2007). Berikut beberapa pertanyaan wawancara yang diajukan kepada responden. 1. Apa pendapat bapak/ibu terhadap rencana pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dimana emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan dan lahan, salah satunya pemerintah menargetkan penurunan 20% hotspot setiap tahun dari rerata tahun 2005-2009? 2. Kenapa target penurunan hotspot harus 20%? 3. Apakah ada landasan/dasar ilmiah dibalik penetapan angka 20% tersebut? 4. Didalam lampiran Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, pemerintah menetapkan penurunan hotspot untuk 11 provinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat). Kenapa harus 11 provinsi tersebut? Apakah ada landasan/dasar ilmiahnya? Dalam 11 provinsi tersebut, jika dicermati, terdapat beberapa provinsi yang jumlah hotspotnya tergolong kecil/rendah dibandingkan dengan beberapa provinsi yang justru hotspotnya lebih tinggi, namun tidak dimasukkan dalam target penurunan hotspot oleh pemerintah. Mengapa? 5. Terkait metode perhitungan ambang batas hotspot yang ditolerir pemerintah. Pemerintah menargetkan untuk 11 provinsi yang harus diturunkan hotspotnya. Namun kenapa metode penghitungannya mencakup seluruh Indonesia? 6. Apa saja upaya yang telah dilakukan pemerintah selama ini untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di Indonesia, terutama akibat kebakaran hutan dan lahan?
24
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sigli pada tanggal 01 Desember 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Edyon Gemady Mulia Harahap, S.Pd dan Suwarni. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 1 Sigli dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mayor Silvikultur Fakultas Kehutanan dan selanjutnya menekuni bidang Kebakaran Hutan. Pada tahun 2009 penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Pangandaran dan Gn. Sawal. Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Pada bulan Juni-Agustus 2011, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HT PT. Wana Subur Lestari, Kalimantan Barat. Selama menjadi mahasiswa, penulis terlibat aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bogor. Sebagai Ketua Bidang Pembinaan Anggota (2012-2013), Ketua Bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Kepemudaan (Kom E IPB 2010-2011), dan Wakil Bendahara Umum (Kom E IPB 2009-2010). Penulis pernah menjadi asisten peneliti bersama FORCI Development (Center for Forestry Organization Capacity and Institution Developmnet) dalam program UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) dan UNDP (United Nations Development Programme) dengan judul riset “Strategi Nasional Persiapan Implementasi Rencana Aksi Nasional REDD+” pada tahun (2012). Penulis aktif menulis dan beberapa tulisan pernah dimuat dalam media massa, seperti Media Indonesia, Koran Sindo, Koran Kampus IPB, dan Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI). Saat ini penulis telah menyelesaikan buku pertamanya yang berjudul “Ragam Perspektif Dalam Tata Kelola BBM” (2013) yang ditulis bersama Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, MS., Ir Muhamad Karim, M.Si., Doni Yusri Sp, MM., dan kawan-kawan HMI Cabang Bogor lainnya.