1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi yang besar di bidang perikanan. Produk domestik bruto (PDB) dari produk perikanan ini pada tahun 2009 telah mencapai nilai 177,8 trilyun rupiah (Ditjen Perikanan Budidaya, 2010). Produksi perikanan tersebut dihasilkan melalui tangkapan dan budidaya. Perikanan
budidaya
merupakan
kegiatan
yang
berpotensi
untuk
dapat
ditingkatkan, seiring dengan penguasaan dan pengembangan teknologi perikanan, sedangkan perikanan tangkap justru mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Udang windu merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya yang potensial bagi Indonesia, karena mempunyai peluang ekspor sehingga mendatangkan devisa bagi negara. Selain itu, udang windu merupakan spesies lokal, secara alami tersedia keaneka ragaman varietas induk yang dapat dipergunakan sebagai sumber plasma nutfah. Indonesia pernah menjadi negara produsen sekaligus pengekspor udang terbesar dunia sejak dicanangkan Program Udang Nasional pada tahun 1982 (Dahuri, 2013). Indonesia mempunyai peluang besar untuk pengembangan udang windu. Hal ini terlihat dari ekspor komoditas udang windu pada tahun 2002 telah mencapai US$ 840 juta (Oktaviani dan Erwidodo, 2005). Ekspor udang windu tersebut masih berpeluang besar dan dapat lebih ditingkatkan lagi, mengingat potensi berupa lahan budidaya tersedia cukup luas.
2
Kejayaan Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor udang dunia mengalami penurunan dari 300.000 ton pada tahun 1995 menjadi 150.000 ton pada tahun 1996 sampai 1999 akibat serangan penyakit yang diakibatkan oleh Monodon Baculo Virus (MBV), WSSV dan lainnya (Dahuri, 2013). Target yang dicanangkan oleh pemerintah belum sepenuhnya dapat dicapai, seperti terlihat dari pencapaian target tahun 2011 untuk udang windu adalah sebesar 130.000 ton, namun realisasinya baru mencapai 114.676 ton (88,21%) (Soebjakto, 2012). Kendala utama yang dihadapi dalam budidaya udang adalah serangan virus. Lima jenis virus yang telah ditemukan pada budidaya udang windu, yaitu Monodon Baculo Virus (MBV), Yellow Head Virus (YHV), White Spots Syndrome Virus (WSSV), Infectious Hematopoietic and Hypodermal Necrotic Virus (IHHNV), dan Hepatopancreatic Parvo-Like Virus (HPV) (Lightner, 1996). Di antara jenis virus tersebut, WSSV merupakan jenis virus yang paling ganas, karena menyebabkan kematian dan kerugian yang cukup besar (Lightner, 1996; Flegel, 1997; Chou et al. 1998). Kejadian WSSV di Indonesia dimulai pada sekitar tahun 1994 dengan adanya kematian masal pada udang windu di tambak disertai dengan adanya bercak putih pada karapas udang. Tingkat prevalensi tambak terserang WSSV dilaporkan cukup tinggi, bahkan hingga mencapai 100%, namun demikian belum pernah dilakukan penelitian secara rinci terkait dengan prevalensinya. Faktor berkorelasi positif pada terjadinya infeksi WSSV, antara lain lokasi tambak udang yang dekat dekat garis pantai (Mohan et al., 2008). Padat penebaran udang, pengangkatan tanah dasar sehabis panen, pemberian pakan segar berupa moluska
3
juga merupakan faktor risiko terjadinya infeksi WSSV (Tendencia et al., 2011). Pemberian pakan udang dengan pakan segar atau udang terinfeksi WSSV juga berpotensi menularkan WSSV (Corsin et al., 2011; Tendencia et al., 2011). Faktor lingkungan diketahui menjadi pemicu terjadinya wabah penyakit WSSV. Parameter faktor lingkungan ini perlu dilakukan penelitian lebih teliti, seperti pengaruh temperatur air, kadar oksigen, dan salinitas terhadap perkembangan virus sehingga menyebabkan kematian pada udang. Hasil penelitian secara laboratorium ini dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya wabah di tambak udang. Serangan WSSV dapat terjadi pada bulan pertama setelah penebaran benih. Kematian masal umumnya terjadi dalam waktu 1-2 hari setelah terlihat tanda serangan WSSV, yaitu berupa udang mati dengan tanda bercak pada bagian karapas. Tingkat mortalitas udang windu terserang WSSV 80% - 100% dalam waktu antara 3-10 hari (Wongteerasupaya et al., 1995; Lotz, 1997; Cock et al., 2009;). Durand dan Lightner (2002) mendapatkan bahwa sampel udang windu stadia juwana yang mengalami kematian di tambak di Indonesia, mengandung WSSV antara 2,0 x 104 hingga 1,4 x 107 kopi/ μg DNA). White spot syndrome virus tidak hanya menyebabkan kematian pada udang windu, tetapi juga menyerang dan menyebabkan kematian udang lain. Udang Penaeus stylirostris dalam kondisi hampir mati (moribund) mengandung WSSV antara 1,3 x 107 sampai dengan 9,0 x 1010 kopi/μg DNA, sedangkan udang P. vannamei yang diinfeksi buatan, pada kondisi sekarat mengandung 1,3 x 107 sampai dengan 9,0 x 1010 kopi WSSV/g DNA (Durand dan Lightner, 2002).
4
Beberapa organisme dapat menjadi vektor virus, misalnya burung dan cacing polychaeta. Burung seperti bangau dan camar dapat menjadi perantara sementara bagi virus hanya dalam waktu beberapa jam di dalam saluran pencernaannya (Vanpatten et al., 2004). Meskipun WSSV dapat ditularkan melalui beberapa jenis udang, namun artemia bukan merupakan carier WSSV (Waikhom et al., 2006) dan juga bukan merupakan vektor virus (Hameed et al., 2002). Pada kondisi alam, faktor yang memicu kematian udang diantaranya adalah temperatur dan kadar oksigen yang rendah. Stress udang menyebabkan dengan cepat virus akan menggandakan diri sehingga mencapai kadar yang mampu menyebabkan kematian. Akibat serangan WSSV, budidaya udang windu di Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar karena tambak tidak dapat dipanen. Penularan dari satu petak tambak ke petak tambak terjadi sangat cepat, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya wabah kematian masal dalam satu kawasan. Rendahnya populasi udang yang hidup setelah terjadinya serangan penyakit mengakibatkan program pengembangan udang resistan penyakit mengalami kesulitan (Cock et al., 2009). Serangan penyakit yang disebabkan oleh WSSV terjadi secara cepat, baik di dalam satu petakan tambak, maupun penularan dari satu petakan ke petakan yang lain. Tambak udang windu merupakan suatu wadah pemeliharaan yang dibatasi dengan adanya pematang yang sekaligus berfungsi untuk memisahkan satu petakan tambak dengan petakan tambak lainnya. Meskipun tambak sudah
5
dibatasi dengan pematang, namun demikian penularan virus masih dapat terjadi. Oleh sebab itu kajian terhadap sistem penularan virus di lingkungan perlu dilakukan. Keberadaan beberapa jenis organisme di tambak juga dapat berperan sebagai karier WSSV. Krustase telah diketahui sebagai organisme pembawa WSSV. Selain krustase, organisme lain seperti cacing laut (Nereis) juga telah dilaporkan sebagai karier WSSV. Jenis organisme pembawa WSSV yang semakin beragam memunculkan dugaan bahwa trisipan (moluska laut) dapat menjadi karier bagi WSSV, karena setiap kejadian serangan penyakit, bangkai udang selalu dikelilingi moluska. Perlakuan managemen yang baik (Best Management Practices, BMP) menyebabkan risiko terjadinya infeksi WSSV dapat direduksi, yaitu dengan melakukan praktek budidaya yang baik, antara lain pengambilan lumpur, pembalikan tanah dasar tambak, pengapuran, pengeringan sempurna diantara periode budidaya, filtrasi air melalui saringan dengan ukuran mesh 300 μm mesh dan pemupukan fosfat (Corsin et al., 2001; Velasco et al., 2002; Mohan et al., 2008; Tendencea et al., 2011). Tambak dalam sistem klaster juga berkorelasi negatif dengan terjadi infeksi WSSV (Mohan et al., 2008) Pemerintah Indonesia telah merencanakan beberapa program untuk peningkatan produksi, antara lain Intensifikasi Tambak (Intam), Peningkatan Produksi Ikan untuk Ekspor (Propekan), dan Tumpuan Pijakan bagi Pertumbuhan Nasional (Progrowth) (Anonimous, 2006). Diversifikasi spesies juga telah dilakukan melalui introduksi spesies baru, berupa udang Vanamei (Litopenaeus
6
vanamei) dan udang biru (Litopenaeus rostris). Introduksi udang jenis Vanamei dan Rostris ini juga akan mengalami kendala terserang WSSV apabila masalah WSSV belum dapat diatasi dengan baik. Udang vannamei maupun udang rostris merupakan jenis udang yang juga rentan terhadap WSSV (Lightner, 1996). Beberapa peneliti menyebutkan bahwa infeksi WSSV dapat direduksi dengan melakukan praktek budidaya yang baik, antara lain pembalikan tanah dasar tambak, pengapuran, pengeringan sempurna diantara periode budidaya, filtrasi air melalui saringan dengan ukuran mesh 300 μm mesh dan pemupukan fosfat (Corsin et al., 2001; Velasco et al., 2002; Mohan et al., 2008; Tendencea et al., 2011). Harapan bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi udang budidaya, khususnya budidaya udang windu masih terbuka lebar. Modal untuk peningkatan produksi adalah melalui penerapan cara budidaya yang benar, selain itu luasan tambak udang yang tersedia pada saat ini sebesar 1,22 juta Ha tambak air payau (Anonimous 2010; Dahuri, 2013). Udang windu yang merupakan spesies lokal yang bisa budidaya dapat dipicu melalui budidaya teknologi semiintensif untuk mengisi 400.000 ha tambak di seluruh nusantara yang merupakan 30% area potensial budidaya udang. Keberhasilan tersebut dapat dicapai melalui penerapan cara budidaya secara benar.
Apabila dengan taksiran satu hektar mampu
menghasilkan hingga 4 ton per ha, maka akan diproduksi 1,6 juta ton udang windu per tahun. Harga udang windu saat ini adalah US$ 8 per kg, maka pendapatan kotor yang diperoleh adalah US$ 12,8 miliar per tahun dan mampu
7
menyerap tenaga kerja sebanyak 800.000 orang untuk pekerja tambak dan 1,6 juta orang off farm (Dahuri, 2013).
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Seberapa besar prevalensi WSSV pada tambak tekonologi tradisional udang windu? 2. Faktor apa saja yang berisiko untuk terjadinya infeksi WSSV? 3. Faktor apa saja yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi infeksi WSSV? 4. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi produksi udang windu terkait terjadinya infeksi WSSV?
5. Bagaimana pola transmisi infeksi WSSV di lingkungan air? apakah bisa dicegah secara fisik? 6. Apakah jenis moluska tertentu dapat menjadi perantara terhadap terjadinya transmisi WSSV? 7. Apakah teknologi klaster dengan penyanggah dapat mengendalikan penularan WSSV?
Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk (1) kajian prevalensi WSSV, faktor risiko kejadian WSSV, dan faktor yang berpengaruh pada produksi udang windu di
8
tambak tradisional, (2) uji cara transmisi WSSV melalui air, kohabitasi pada udang windu dan trisipan, serta (3) uji aplikasi lapang pengendalian WSSV pada tambak udang windu melalui penerapan BMP berbasis klaster dan tambak penyanggah.
Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah meberikan pedoman praktis bagi masyarakat pembudidaya udang windu serta memberikan manfaat secara akademis dalam hal (1) pengendalian faktor risiko terjadinya infeksi WSSV serta faktor yang berpengaruh pada produksi udang windu pada tambak tradisional, (2) mengantisipasi terjadinya transmisi WSSV melalui air, kohabitasi baik melalui udang windu dan trisipan, serta (3) metode pengendalian WSSV melalui penerapan BMP berbasis klaster dengan tambak penyanggah.
Keaslian Penelitian Penelitian epidemiologi WSSV terkait dengan faktor risiko pada tambak udang windu tradisional belum banyak dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah berkaitan dengan teknik identifikasi WSSV (Lo et al., 1996; Nunan et al., 1997; Suppamataya et al., 1998), cara penularan WSSV (Chang et al., 1998; Wang et al., 1999; Liu et al., 2007), virulensi (Marks et al., 2005), kajian genetik (Wongteerasupaya et al., 2003; Hoa et al., 2005), sedangkan yang terkait dengan faktor risiko masih sedikit (Corsin et al., 2001; Tendencia et al.,
9
2011). Penelitian terkait faktor risiko di India dilakukan pada benih sebagai pembawa WSSV. Faktor risiko penularan WSSV pada tambak polikultur udang dengan padi (Corsin et. al., 2001). Penelitian ekplorasi jenis-jenis organisme yang potensial menularkan WSSV yang pernah dilakukan adalah melalui udang laut, rajungan, kepiting, artemia (Chang et al., 1998; Hameed et al., 2002) dan udang galah, transmisi melalui cacing (Laoaroon et al., 2005), sedangkan untuk organisme tambak seperti trisipan yang merupakan organisme pemakan bangkai (scavenger organism) belum pernah dilakukan. Upaya pengendalian penyakit di tambak berbasis BMP telah disinggung dan memberikan korelasi positif terhadap produksi udang (Taslihan dan Supito, 2005), strategi panen dini sebagai upaya menekan kerugian pada tambak udang windu semiintensif (Thurnbull et al., 2005), sedangkan model penerapan klaster dan tambak penyanggah sebagai biosekuriti pada tambak tradisional belum pernah dilakukan di Indonesia.