PENDAHULUAN Latar Belakang Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini terkait dengan aspek ketahanan pangan dan kualitas lingkungan. Degradasi tanah menyebabkan penurunan LQ (land quality = kualitas lahan) dan kesesuaiannya untuk penggunaan tertentu. Tanah merupakan salah satu faktor penyusun lahan yang rentan terhadap proses degradasi. Menurut FAO (1977) degradasi tanah merupakan satu atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan tanah secara aktual atau potensial untuk memproduksi barang dan jasa. Karakteristik dan klasifikasi tanah terdegradasi yang dikenal secara umum adalah GLASOD atau Globall Assessment of Current Status of Human-induced Soil Degradation (Oldeman 1994a). GLASOD merupakan metode pengkajian degradasi tanah akibat pengaruh manusia dalam skala global dengan penekanan faktor eksternal erosi air dan angin, serta faktor internal memburuknya sifat kimia dan fisik tanah. Kajian degradasi tanah yang menggunakan metode GLASOD di tingkat regional Asia Selatan dan Asia Tenggara dikenal sebagai ASSOD atau Assessment of the Status of Human-induced Soil Degradation in South and Southeast Asia (Lynden dan Oldeman 1997). Tipe degradasi tanah yang digunakan sebagai dasar kajian GLASOD maupun ASSOD masih secara umum menggunakan sifat-sifat tanah dan belum menekankan pada LUT (Land Utilization Type = tipe penggunaan lahan) tertentu. Klasifikasi degradasi tanah di Indonesia juga telah dilakukan dan tidak jauh dari ASSOD, namun setiap klasifikasinya berbeda-beda berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh; demikian juga istilah degradasi tanah juga tidak seragam.
2 Menurut Suwardjo et al. (1996) klasifikasi degradasi tanah di sektor kehutanan lebih menekankan pada aspek hidrologi lahan didasarkan pada tingkat penutupan lahan dan kurang menekankan pada kondisi tanahnya.
Sektor
transmigrasi lebih menekankan melihat degradasi tanah sebagai lahan marjinal, yaitu lahan yang pernah dibuka dan digunakan untuk pertanian namun saat ini produksinya sangat rendah.
Lahan marjinal umumnya menjadi lahan tidur
bervegetasi semak belukar, rumput-rumputan, dan wilayah ladang berpindah. Sektor pertanian mengartikan degradasi tanah sebagai lahan kritis dengan berbagai tingkatan yang mempengaruhi produktivitas tanah tersebut. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 150/2000 tentang pengendalian kerusakan tanah untuk biomassa, menggunakan istilah degradasi tanah sebagai kerusakan tanah untuk produksi biomassa.
Kerusakan tanah
untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah melampaui kriteria baku kerusakan tanah.
Kriteria baku kerusakan tanah tingkat nasional yang
terlampir pada peraturan pemerintah tersebut tidak bersifat komprehensif dan sangat umum, sedangkan kriteria baku kerusakan tanah tingkat daerah umumnya belum tersusun. Kondisi ini sangat memprihatinkan, dilain pihak pada tahuntahun terakhir ini bencana alam yang terkait degradasi tanah seringkali terjadi. Ekologis
umumnya membagi degradasi dalam dua aspek terhadap
kondisi perubahan lingkungan dalam penelitian-penelitian ekosistem, yaitu: 1) resistensi (resistance), kemampuan suatu ekosistem bertahan seperti ekosistem semula dan tidak berubah setelah terjadi gangguan, dan 2) resiliensi (resilience), kemampuan ekosistem pulih ke kondisi semula setelah lenyapnya gangguan.
3 Hal tersebut sesuai yang diungkapkan Tengberg dan Stocking (2001) bahwa degradasi tanah memiliki tingkatan yang beragam, tergantung daya dukung tanah bersangkutan, yaitu sensitivitas atau kerapuhan/fragilitas tanah serta resiliensi. Menurut Szabolcs (1994) resiliensi yaitu kemampuan tanah untuk memperbaharui (renewable) atau melakukan regenerasi dirinya sendiri setelah berbagai macam pemburukan (deterioration) dan degradasi telah hilang. Resiliensi tanah merupakan hal baru yang memerlukan penelitianpenelitian jangka panjang.
Resiliensi dapat diketahui melalui penetapan
indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan tanah untuk berfungsi kembali (restore) atau pulih (recovery) (Seybold et al. 1999). Indikator-indikator tentang degradasi maupun resiliensi lahan
yang saat ini
banyak digunakan umumnya masih menggunakan sifat-sifat tanah, yaitu: sifat fisik, kimia, maupun biologi atau dikenal sebagai LC (land characteristic) atau karakteristik lahan.
Pengertian LC adalah atribut lahan yang dapat diukur dan
diperkirakan. Jika LC digunakan secara langsung dalam evaluasi lahan, maka akan timbul masalah yang terkait adanya interaksi antar LC tersebut. Kelemahan LC yang digunakan sebagai indikator penilaian degradasi dan resiliensi saat ini juga disebabkan tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik penggunaan lahan. Akibatnya indikator-indikator tersebut yang saat ini digunakan kurang dapat menjelaskan tingkatan produksi atau manfaat yang akan diperoleh dari suatu LUT tertentu.
Maka perlu disusun indikator degradasi
berdasarkan LQ (land quality), karena LQ berhubungan erat dengan penggunaan suatu LUT, sehingga dapat menggambarkan produksi dugaan atau manfaat LUT.
4 Penggunaaan lahan tentu tergantung kepada atribut LUT yang memiliki tujuan khusus. Setiap atribut penyusun LUT memiliki kriteria tertentu, satu saja atribut dari salah satu atribut penyusun LUT berbeda, maka akan memberikan perbedaan terhadap produksi atau manfaat yang dihasilkan.
Berdasarkan hal
tersebut, maka nilai besaran indikator-indikator untuk mengklasifikasikan tingkatan degradasi dan resiliensi lahan akan berubah sesuai dengan atribut LUTnya. Tanah-tanah yang menyusun lahan kering umumnya marjinal, bereaksi masam, kandungan basa-basa rendah, kadar aluminium tinggi, serta peka erosi. Tanah-tanah tersebut saat ini merupakan tumpuan produksi biomassa, baik sebagai sumber pangan maupun sumber energi yang dapat diperbaharui. Penggunaan tanah-tanah di lahan kering yang melampaui daya dukung lahan akibat penggunaan lahan yang tidak berbasis konservasi dan kesesuaian penggunaan lahan akan mempercepat dan meningkatkan terjadinya proses-proses degradasi tanah. Di Provinsi Kalimantan Tengah degradasi tanah yang mengakibatkan lahan kritis mencapai 1,76 juta hektar pada awal tahun 1999/2000 (BPS 2001). Degradasi tersebut umumnya terjadi pada lahan kering yang meliputi 4,78 juta hektar atau 31,34% dari luas Kalimantan Tengah (Puslittanak 1995). Penggunaan lahan umumnya selain untuk tanaman pangan juga digunakan untuk pengusahaan tanaman perkebunan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka diperlukan penelitian mengenai karakteristik degradasi tanah berdasarkan kemampuan tanah untuk memproduksi biomassa melalui penggunaan LQ pada berbagai LUT. Penggunaan LQ untuk
5 berbagai LUT sebagai parameter degradasi tanah ditujukan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kesesuaian lahan serta produksi yang dihasilkan masing-masing LUT.
Selain itu diperlukan juga penelitian tentang resiliensi
tanah berdasarkan restorasi LQ yang terdegradasi melalui lama pemberaan.
Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan klasifikasi degradasi tanah yang sudah ada adalah belum menggambarkan besarnya penurunan kemampuan tanah yang mengalami degradasi terutama terhadap produksi biomassa. Permasalahan yang lain adalah klasifikasi degradasi tanah yang sudah ada selain tidak mampu menunjukkan besarnya penurunan produksi biomassa pada tanah yang mengalami degradasi, juga belum dapat menunjukkan penurunan produksi apabila tanah yang terdegradasi digunakan untuk berbagai jenis penggunaan lahan yang berbeda. Hal ini didasarkan bahwa tipe penggunaan lahan yang berbeda-beda akan membutuhkan persyaratan (requirement) yang berbeda pula. Permasalahan lainnya pada klasifikasi degradasi tanah yang sudah ada adalah klasifikasi tersebut kurang logis, karena menganggap bahwa tanah tidak memiliki keragaman dalam sifat-sifatnya.
Hal itu dikarenakan klasifikasi
degradasi tanah masih bersifat umum, dan akan sangat fatal apabila digunakan untuk mengklasifikasikan jenis tanah yang secara alami memiliki sifat tanah yang kurang baik. Sebagai contoh adalah Spodosol walaupun tidak terdegradasi namun karena sifat tanah secara alaminya kurang baik dan lebih rendah dari tolok ukur
6 yang digunakan oleh klasifikasi degradasi tanah yang sudah ada, maka tanah tersebut masuk dalam tanah terdegradasi. Terkait dengan resiliensi, maka klasifikasi resiliensi tanah hingga saat ini secara nasional belum dikenal. Ketiadaan informasi faktor-faktor utama resiliensi berdampak pada kurang tepatnya upaya penggunaan dan pengelolaan lahan untuk berbagai peruntukan pertanian dan non pertanian, serta upaya pemulihan tanah terdegradasi melalui proses alami maupun antropogenik. Diketahuinya faktor yang memberikan pengaruh resiliensi akan mempercepat dan lebih memberikan peluang keberhasilan upaya rehabilitasi tanah terdegradasi.
Kerangka Pemikiran Tanah
yang
mengalami
degradasi
umumnya
digolong-golongkan
berdasarkan penurunan sifat-sifat lahannya (LC), namun penggunaan indikator LC tersebut tidak mampu menunjukkan sejauh mana degradasi yang terjadi menimbulkan penurunan produksi barang (komoditas) maupun jasa. Salah satu upaya agar klasifikasi degradasi tanah mampu menunjukkan besarnya penurunan produksi maka digunakan kualitas lahan (LQ), karena LQ berhubungan erat dengan LUT dan dapat digunakan menduga besarnya produksi komoditas lebih tepat dibandingkan LC.
Menurut
Sys
et
al.
(1991a,b)
keuntungan
penggunaan LQ antara lain: 1) LQ berkaitan langsung terhadap kebutuhan spesifik penggunaan lahan, 2) LQ dapat menghitung interaksi antara faktor-faktor lingkungan, 3) jumlah keseluruhan LQ lebih rendah dibandingkan LC. Kondisi LQ yang mengalami penurunan sangat berpengaruh terhadap penggunaan lahan, sebab LQ untuk penggunaan yang berbeda akan memiliki kepekaan yang berbeda terhadap macam dan derajat degradasi yang terjadi.
7 Klasifikasi degradasi tanah hendaknya mampu menunjukkan penurunan produksi biomassa, jika dibandingkan kemampuan tanah alaminya memproduksi biomassa pada penggunaan lahan yang sama. Klasifikasi degradasi tanah dapat menjawab pertanyaan tersebut apabila menggunakan tolok ukur penurunan produksi melalui penggunaan LQ, dan juga berdasarkan LUT. Dengan demikian akan diketahui jenis penggunaaan lahan yang berdampak besar dan jenis penggunaan lahan yang berdampak kecil pada degradasi tanah. Penggunaan tolok ukur yang umum pada klasifikasi degradasi tanah yang sudah ada tidak menggambarkan keragaman jenis tanah, maka sebaiknya digunakan tolok ukur spesifik berdasarkan jenis tanah yang sama dengan jenis tanah yang akan diklasifikasikan. Tolok ukur setiap jenis tanah didasarkan pada tanah yang tidak terdegradasi atau belum terdegradasi, maka tolok ukur didasarkan pada tanah yang diambil di unit lahan hutan dengan asumsi tanah tersebut belum atau tidak mengalami degradasi. Konsekuensi penggunaan tolok ukur ini adalah bahwa setiap jenis tanah akan memiliki tolok ukur sendiri-sendiri. Karena keragaman sifat-sifat tanah disebabkan berbagai aspek
faktor
pembentuk tanah antara lain kondisi iklim, bahan induk, vegetasi, topografi, dan waktu, maka klasifikasi degradasi tanah secara lateral dibatasi selama ada kesamaan faktor-faktor pembentukan tanah. Aspek penting yang perlu diperhatikan adalah perlu digunakannya asas penggunaan yang lestari atau berkelanjutan, lestari diartikan bahwa tanah dapat digunakan terus-menerus tanpa mengalami penurunan sifat atau kualitas lahannya, atau diartikan bahwa penggunaan tanah oleh generasi sekarang untuk mencukupi kebutuhannya tidak akan mengurangi atau menghambat kepada generasi yang
8 akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dari penggunaan tanah.
Dengan
demikian jenis penggunaan tanah yang lestari dan berkelanjutan tidak hanya memperhatikan keuntungan ekonomi jangka pendek, namun juga berdasarkan asas kelestarian sumberdaya tanah. Pengetahuan tentang resistensi dan resiliensi tanah hingga saat ini masih banyak berupa konsep dan hipotesis, sehingga perlu dilakukan penelitian yang mendalam untuk keberhasilan upaya rehabilitasi tanah terdegradasi. Blaikie dan Brookfield (1987 dalam Barrow 1991) menyatakan bahwa lahan dengan sensitivitas tinggi/resiliensi rendah umumnya terdapat di wilayah tropika dan subtropika akibat perubahan radikal seperti konversi hutan menjadi lahan tanaman pangan, dibandingkan konversi hutan untuk tanaman perkebunan. Penelitian resiliensi tanah yang umum dilakukan merupakan penelitian jangka panjang, dan pada lokasi yang sama yang diamati secara periodik. Dalam penelitian ini digunakan cara
untuk memperpendek jangka waktu penelitian
tersebut, yaitu melalui penggunaan contoh tanah dari jangka waktu tertentu pada lahan yang diberakan atau lahan yang ditelantarkan.
Lahan tersebut oleh
masyarakat dikenal sebagai lahan tidur, yaitu lahan yang pernah dibuka untuk diusahakan penanaman tanaman kemudian dibiarkan kembali. Umumnya pemberaan lahan dalam jangka panjang (lahan tidur) merupakan upaya revegetasi secara alami. Pemberaan lahan setelah digunakan untuk pertanian tanaman pangan berfungsi untuk mencapai kondisi keseimbangan sumberdaya lahan. Pemberaan umumnya mampu memperbaiki ketersediaan hara melalui penyerapan
perakaran dalam oleh tanaman belukar hingga tegakan
pohon. Serasah dari tanaman pada periode bera akan memberikan tambahan hara
9 yang berasal dari lapisan tanah dalam.
Selain itu penyerapan hara tanaman
selama periode bera tidak setinggi tanaman pertanian, bahkan pemupukan pada tanaman pertanian akan menyebabkan tanaman tersebut menyerap hara tanah lebih intensif dan memicu pelepasan hara meningkat. Dampaknya cadangan hara pada tanah akan banyak terkuras. Melalui pemberaan maka penyerapan hara tidak sekuat tanaman pertanian, sehingga pelepasan hara mampu menyediakan kebutuhan hara vegetasi dalam periode bera. meningkatkan kualitas lahan.
Dan pada akhirnya pemberaan
Namun, jika proses-proses diatas tidak dapat
dipenuhi, maka pemberaan akan gagal meningkatkan kualitas lahan. Jangka waktu lahan tidur yang digunakan dijenjang lima tahunan, diawali dari lahan hutan sebagai titik nol, kemudian dilanjutkan pada jangka waktu lahan tidur 20 tahun, 15 tahun, 10 tahun, 5 tahun dan lahan yang baru saja digunakan untuk pertanian. Penggunaan lahan pertanian diperlukan untuk melihat degradasi lahan seperti asumsi yang berlaku umum. Jenjang waktu pengamatan berjangka lima tahunan diharapkan mampu menunjukkan apakah telah terjadi resiliensi dan dapat diketahui waktu elastisitasnya yaitu kecepatan lahan untuk pulih kembali seperti kondisi semula setelah terganggu akibat aktivitas manusia dalam mengusahakan lahan. Penelitian terhadap resiliensi tanah didasarkan kepada lama pemberaan dan juga terhadap berbagai jenis tanah akan memberikan informasi yang berharga bagi pengelolaan lahan kering. Upaya penggunaan lahan secara lestari dan mencegah degradasi akan lebih baik jika mengetahui resistensi dan resiliensi lahan, terutama LQ yang menjadi faktor penentu dominan (Gambar 1). Kualitas lahan dipilih berdasarkan faktor utama yang akan mempengaruhi produksi
10
Kelestarian Sumberdaya Lahan
Ketahanan Pangan
Menurun LUT
Atribut
Produce
Meningkat
Teknologi
LQ
w
f
n
t
e
d
Produksi dugaan
Indeks LQ
Indeks Lahan
KKL
Tanah Unit Lahan Hutan Sebagai Tolok Ukur
Degradasi
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.
Tanah Unit Lahan Pertanian/Bun LUT yang diklasifikasikan
+ Resiliensi
11 sekaligus mempengaruhi kondisi tanah adalah: LQ ketersediaan air (LQw), LQ genangan (LQf), LQ ketersediaan hara (LQn), LQ toksisitas aluminium (LQt), LQ ketahanan tanah terhadap erosi (LQe), dan LQ deteriorasi tanah secara antropogenik (LQd). Jenis penggunaan lahan di tanah-tanah di lahan kering Kalimantan Tengah yang perlu dikaji antara lain untuk menjawab pertanyaan penting, yaitu: Bagaimana pengunaan lahan saat ini, dan apa akibatnya bila penggunaan lahan saat ini tidak mengalami perubahan. Perbaikan apa saja yang perlu dilakukan dalam tindakan pengelolaan saat ini. Apakah penggunaan lahan selain lahan yang ada saat ini memungkinkan dilakukan secara fisik, dan relevan secara ekonomi dan sosial. Apakah penggunaaan lahan tersebut memungkinkan untuk mencapai produksi dan manfaat-manfaat lain secara berkelanjutan. Selain itu untuk menentukan faktor pemicu degradasi, atau mencapai resiliensi pada tanah yang digunakan untuk budidaya komoditas yang umum diusahakan di Kalimantan Tengah, yaitu: padi, kedelai, karet, dan kelapa sawit. Komoditas yang digunakan mewakili tanaman pangan dan tanaman perkebunan, sehingga dapat dilihat dampak penggunaan lahan untuk tanaman tersebut terhadap degradasi ataupun resiliensi di tanah di lahan kering Kalimantan Tengah.
Novelty Klasifikasi resiliensi tanah belum tersusun di Indonesia, sehingga penelitian ini sebagai awal untuk menetapkan klasifikasi resiliensi tanah berdasarkan indeks lahan.
Klasifikasi resiliensi didasarkan pada penggunaan
kualitas lahan dan tipe penggunaan lahan tertentu yang akan menunjukkan kecepatan pemulihan tanah yang digunakan untuk penggunaan lahan tertentu.
12 Selain itu juga menetapkan indikator-indikator untuk mengenal resiliensi tanah pada berbagai jenis tanah dan lokasi penyebarannya.
Tujuan 1.
Karakterisasi dan klasifikasi tanah terdegradasi di lahan kering Kalimantan Tengah berdasarkan penurunan indeks lahan dan kelas kesesuaian lahan pada LUT padi lokal, LUT padi-kedelai, LUT padi-padi-kedelai, LUT karet, dan LUT kelapa sawit.
2.
Menetapkan
jenis tanah dan jenis penggunaan lahan yang berpotensi
terdegradasi dan teresiliensi, serta indikator utama resiliensi jenis tanah.
Manfaat 1.
Klasifikasi tanah terdegradasi dengan menggunakan kriteria penurunan LQ memberikan manfaat untuk upaya perbaikan lahan terdegradasi didasarkan atas perbaikan LQ yang memburuk.
2.
Klasifikasi tanah terdegradasi dapat memberikan pedoman pengelolaan wilayah untuk pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota agar lebih hatihati dalam penetapan penggunaan lahan.