BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan hal penting dalam mencapai kesejahteraan hidup. Untuk mewujudkannya, seringkali digunakan obat-obatan. Baik dalam hal pencegahan maupun penyembuhan suatu penyakit. Selain obat modern berupa bahan kimia, tidak jarang pula digunakan obat tradisional yang bersumber dari bahan alam. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 Pasal 1 menyebutkan tentang pengertian obat tradisional bahwa : Obat tradisional adalah ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Departemen Kesehatan RI, 2000). Obat tradisional yang bersumber dari berbagai macam organisme baik tumbuhan maupun hewan, semakin diminati masyarakat. Hal ini disebabkan penggunaan obat bahan alam cenderung memiliki efek samping yang lebih ringan dibandingkan obat dari bahan kimia. Respon inflamasi biasanya menyertai penyakit yang banyak dijumpai di rumah sakit umum, rumah sakit anak, dan rumah sakit gigi. Oleh karena itu, penggunaan obat-obat antiinflamasi terus meningkat dari hari ke hari, baik itu dengan maupun tanpa resep dokter (Cheri dkk., 2007).
1
2
Inflamasi merupakan proses normal yang terjadi di dalam tubuh, berfungsi untuk memperbaiki jaringan rusak serta mempertahankan diri terhadap infeksi. Gejala pada proses inflamasi adalah nyeri, pembengkakan, kemerahan, panas, dan kehilangan fungsi (Soesatyo, 2000). Pada umumnya, pengobatan antiinflamasi akut didominasi oleh golongan non-steroidal anti-inflamatory drugs (NSAID). Namun, penggunaan NSAID ini kerap memunculkan keluhan-keluhan berupa gangguan pencernaan, liver, ginjal (Yanadaiah dkk, 2010). NSAID bekerja menghambat sintesis prostaglandin dengan cara inhibisi enzim cyclooxygenase (COX). Namun, inhibisi sintesis prostaglandin
dalam
mukosa
gaster
seringkali
menyebabkan
kerusakan
gastrointestinal, seperti dispepsia, mual, dan gastritis (Neal, 2006). Penggunaan obat antiradang sintetik yang tergolong NSAID dapat meningkatkan insidensi myocardial infarction dan cardiovascular thrombotic. Efek yang tidak diinginkan pada pemakaian NSAID seperti indometasin dan natrium diklofenak dilaporkan berpengaruh pada renal dan gastrointestinal (Kearney, 2006). Oleh karena itu, perlu dikembangkan obat antiinflamasi yang lebih aman dengan efek samping yang lebih ringan. Pemanfaatan cacing tanah sebagai agen terapi dilaporkan lebih aman, karena komponen kimia cacing tanah tidak menimbulkan efek toksik bagi manusia, sehingga aman untuk dikonsumsi (Sabine, 1983). Cacing tanah telah secara luas digunakan dalam pengobatan tradisional Cina. Berdasarkan penelitian tentang efek farmakologinya, cacing tanah diketahui memiliki aktivitas yang bervariasi, seperti antikoagulan, antikanker, antimikroba, dan jika dikembangkan
3
lebih lanjut, ada kemungkinan untuk digunakan sebagai agen terapi berbagai macam penyakit (Cooper dkk., 2012). Secara empirik, cacing tanah dilansir berkhasiat dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dalam pengobatan Cina, cacing tanah juga dikenal memiliki aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik (Noda dkk., 1992). Lumbricus rubellus telah ratusan tahun digunakan di Cina dalam pengobatan berbagai macam penyakit (Mihara dkk., 1991). Hingga kini masih digunakan terutama dalam pengobatan penyakit inflamasi seperti rheumatoid arthritis (Allergy Research Group, 2008). Oleh karenanya, makin banyak bermunculan produk obat tradisional yang didesain dari bahan cacing tanah. Salah satunya adalah Fermino Fermino
yang diproduksi PT. Herbalindo Citra Mandiri. merupakan kapsul berisi serbuk cacing tanah Lumbricus
rubellus yang secara tradisional membantu mengobati demam tyfus, demam tinggi, panas dingin, meriang, radang tenggorokan, radang usus, sariawan, asma, kolesterol, menstabilkan tekanan darah, stroke, asam urat, ambeien (wasir), buang air besar disertai darah. Dari beberapa khasiat yang dimiliki Fermino , salah satunya mampu mengobati radang, sehingga kemungkinan besar cacing tanah jenis ini mempunyai aktivitas antiinflamasi. Akan tetapi, khasiat Lumbricus rubellus untuk mengobati inflamasi masih digunakan secara empirik, belum dibuktikan secara ilmiah. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut terkait aktivitas serbuk Lumbricus rubellus sebagai agen antiinflamasi.
4
B. Rumusan Masalah 1. Apakah pemberian serbuk Lumbricus rubellus (SLR) dapat mengurangi volume udema pada kaki tikus yang diinduksi karagenin 1%? 2. Apakah variasi dosis pada pemberian serbuk Lumbricus rubellus (SLR) mempengaruhi nilai persentase daya antiinflamasi (% DAI) yang dihasilkan?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui pengaruh pemberian serbuk Lumbricus rubellus (SLR) terhadap kemampuannya mengurangi volume udema pada kaki tikus yang diinduksi karagenin 1%.
2.
Untuk mengetahui pengaruh variasi dosis pada pemberian serbuk Lumbricus rubellus (SLR) terhadap nilai persentase daya antiinflamasi (% DAI) yang dihasilkan.
D. Pentingnya Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terkait aktivitas antiinflamasi serbuk Lumbricus rubellus (SLR) serta menambah bukti ilmiah tentang penggunaannya sebagai agen terapi pada manusia.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Inflamasi a. Pengertian inflamasi Inflamasi berasal dari kata inflammare yang berarti membakar, merupakan suatu respon normal untuk melindungi tubuh terhadap luka yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik (Mycek, 2001). Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya atau bahan infeksi pada tempat cedera serta untuk mempersiapkan kondisi lebih baik yang dibutuhkan jaringan (Kee dan Hayes, 1996). Gejala-gejala inflamasi, yaitu : 1) Eritema (kemerahan) Kemerahan terjadi akibat arteri yang menyuplai darah mengalami pelebaran, sehingga darah yang mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal menjadi lebih banyak. Pembuluh darah meregang dengan cepat dan terisi penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia atau kongesti, yang menyebabkan timbulnya warna merah lokal karena peradangan akut. Terjadinya hiperemia diatur oleh mediator inflamasi seperti histamin (Price dan Wilson, 1995). 2) Kolor (panas) Panas terjadi bersamaan dengan kemerahan akibat reaksi peradangan. Terjadinya panas hanya pada permukaan tubuh, yakni kulit. Proses ini terjadi karena darah dengan suhu 37oC yang dialirkan tubuh ke permukaan daerah radang lebih banyak daripada aliran ke daerah normal (Price dan Wilson, 1995).
6
3) Dolor (nyeri) Rasa nyeri pada proses peradangan dapat terjadi dengan berbagai cara. Diantaranya perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf untuk mengeluarkan zat kimia tertentu, misalnya mediator histamin. Selain itu, jaringan yang mengalami radang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal, sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri (Price dan Wilson, 1995). 4) Edema (pembengkakan) Gejala yang paling terlihat dari peradangan adalah pembengkakan. Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas dinding kapiler, sehingga lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin, yang diikuti molekul yang lebih besar. Plasma jaringan yang mengandung lebih banyak protein ini kemudian meninggalkan kapiler dan masuk ke jaringan, sehingga menyebabkan jaringan menjadi bengkak (Price dan Wilson, 1995). 5) Function laesa (gangguan fungsi) Gangguan fungsi timbul sebagai akibat dari proses peradangan. Adanya rasa nyeri akan menghambat gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik gerakan yang dilakukan secara sadar maupun gerakan reflek. Selain itu, akibat adanya pembengkakan yang hebat secara fisik, akan mengurangi gerak jaringan (Price dan Wilson, 1995).
7
Mekanisme terjadinya gejala peradangan ditunjukkan pada gambar 1. Noksi
Kerusakan sel
Pembebasan Bahan Mediator
Emigrasi leukosit Proliferasi sel
Gangguan Sirkulasi Lokal
Eksudasi
Kemerahan Panas
Pembengkakan
Perangsangan reseptor nyeri Gangguan fungsi Nyeri
Gambar 1. Patogenesis dan gejala peradangan (Mutschler,1991)
b. Mekanisme inflamasi Inflamasi diawali oleh adanya cedera yang menyebabkan sel mast pecah dan terlepasnya mediator-mediator inflamasi. Pada daerah inflamasi, terjadi vasodilatasi pembuluh darah, sehingga aliran darah meningkat. Terjadinya perubahan volume darah dalam kapiler dan venula, menyebabkan sel-sel endotel pembuluh darah meregang dan terjadi kenaikan permeabilitas pembuluh darah. Leukosit kemudian bermigrasi ke tempat cedera / inflamasi dan melakukan fagositosis patogen (Brown, 2001). Berdasarkan waktu terjadinya, inflamasi dibagi menjadi 2 macam, yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronik : 1) Inflamasi akut Durasi waktu terjadinya singkat (menit sampai hari). Ditandai dengan adanya akumulasi granulosit neutrofil dan eksudasi bersamaan antara cairan dan protein plasma. Terjadinya vasodilatasi menyebabkan peningkatan aliran darah.
8
Fungsi endotelium sebagai barrier menurun dan menyebabkan keluarnya plasma hasil inflamasi. Neutrofil beremigrasi dari mikrovaskuler menuju area yang terinfeksi (Kumar dkk., 2003). Faktor yang dapat memicu inflamasi akut diantaranya infeksi dan racun mikroba, luka fisika dan kimia, kerusakan jaringan akibat iskemia atau truma, dan reaksi imunologi. Tabel I. Mediator inflamasi akut dan efeknya (Katzung, 2001) Mediator
Vasodilatasi
Permeabilitas Vaskuler
Kemotaksis
Nyeri
Histamin Serotonin Bradikidin Prostaglandin Leukotrien
++ +/+++ +++ -
↑↑ ↑ ↑ ↑ ↑↑↑
+++ +++
+++ + -
2) Inflamasi kronik Durasi waktunya lebih lama dari inflamasi akut (hari sampai tahun). Melibatkan leukosit mononukleus (monosit dan limfosit), makrofag, dan sel-sel plasma yang bergabung dengan proliferasi vaskuler dan bekas luka. Inflamasi akut berpotensi menjadi kronik jika terjadi luka yang kuat atau jika terganggu dalam proses penyembuhan secara normal. Kondisi inflamasi kronik seperti infeksi mikroba resisten atau kelainan autoimun diantaranya rheumatoid arthritis atau sklerosis (Kumar dkk., 2003).
9
Mekanisme terjadinya inflamasi ditunjukkan pada gambar 2. Rangsangan Kerusakan membran sel
Fospolipida Fosfolipase Asam arachidonat Lipooksigenase
Siklooksigenase
Hidroperoksida
Endoperoksida
Leukotrien LTB4
LTC4/D4/E4
Atraksi / Aktivasi Fagosit
Perubahan permeabilitas vaskuler, kontriksi bronkial, peningkatan sekresi
Inflamasi
Bronkospasme, kongesti, Penyumbatan mukus
Prostaglandin
Tromboksan
Prostasiklin
Modulasi leukosit
Inflamasi
Gambar 2. Bagan mekanisme terjadinya inflamasi (Katzung, 2001)
Asam arakhidonat merupakan prekursor sejumlah besar mediator inflamasi. Komponen utamanya berupa lipid seluler dan hanya terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil, yang sebagian besarnya berada dalam fosfolipid membran sel. Ketika terjadi rangsangan yang menyebabkan kerusakan sel, maka enzim fosfolipase akan diaktivasi. Enzim ini akan mengubah fosfolipid menjadi asam arakhidonat, kemudian sebagian diubah oleh enzim lipooksigenase menjadi leukotrien. Sebagian lainnya diubah oleh enzim siklooksigenase (COX) menjadi prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Siklooksigenase terdiri dari dua isoenzim, COX-1 dan COX-2. Isoenzim COX-1 sebagian besar terdapat di
10
jaringan seperti ginjal, paru-paru, platelet, dan saluran cerna. Sedangkan COX-2 tidak terdapat di jaringan, melainkan dibentuk selama proses peradangan oleh selsel radang. Leukotrien yang dibentuk melalui jalur lipooksigenase yaitu LTA4 dalam bentuk tidak stabil, yang kemudian oleh enzim hidrolase diubah menjadi LTB4 atau LTC4, dan akhirnya diubah menjadi LTD4 dan LTE4. Leukotrien juga berperan pada proses peradangan dan alergi pada asma. Pembentukannya di granulosit eosinofil dan berkhasiat sebagai vasokonstriktor di bronkus dan mukosa lambung. Untuk LTB4, sintesisnya terjadi di makrofag dan bekerja menstimulasi migrasi leukosit (Tjay dan Raharja, 2002). c. Golongan obat antiinflmasi Merupakan golongan obat yang memiliki aktivitas menekan peradangan melalui berbagai cara, antara lain menghambat pembentukan mediator inflamasi prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang, serta menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat antiinflamasi digolongkan menjadi dua golongan, yaitu : 1) Antiinflamasi steroid (Glukokortikoid) Efeknya berhubungan dengan kemampuan merangsang biosintesis protein lipomodulin yang dapat menghambat kerja enzim fosfolipase, yaitu enzim yang bertanggungjawab terhadap pelepasan asam arakhidonat dan metabolitnya seperti prostaglandin
(PG),
leukotrien
(LT),
prostasiklin,
dan
tromboksan.
Glukokortikoid dapat memblok jalur siklooksigenase dan lipooksigenase, sedangkan NSAID (non-steroida antiinflammatory drugs) hanya memblok jalur
11
siklooksigenase (Katzung, 2001). Obat golongan ini diantaranya : hidrokortison, prednison, prednisolon, metil prednisolon, triamsinolon, deksametason, dan betametason (Bowman, 1980). 2) Antiinflamasi non steroid (NSAID) Mekanisme kerjanya dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi terganggu yang menyebabkan terhambatnya pelepasan mediator nyeri seperti prostaglandin dan tromboksan. Obat golongan ini diantaranya : aspirin, natrium dikofenak, kalium diklofenak, ibuprofen, dan lainlain (Ganiswara, 1995). d. Kalium diklofenak Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana. Penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek berupa antiinflamasi, analgesik dan antipiretik. Diklofenak cepat diabsorbsi setelah pemberian oral dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis rematoid dan osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut (Katzung, 2001). Diklofenak Inflammatory
merupakan
Drugs)
yang
golongan bersifat
NSAIDs
tidak
selektif
(Non
Steroidal
menghambat
Anti enzim
siklooksigenase, dimana kedua jenis COX di blokir. Dengan dihambatnya COX-1, tidak ada lagi yang bertanggung jawab melindungi mukosa lambung-usus dan ginjal sehingga terjadi iritasi dan efek toksik pada ginjal (Tjay dan Raharja, 2002). Kontrol positif yang digunakan adalah kalium diklofenak. Dipilih golongan diklofenak karena golongan ini mempunyai efek antiinflamasi yang
12
cukup tinggi jika dibandingkan dengan golongan NSAID yang lain (Riess dkk., 1978). Selain itu, golongan diklofenak banyak diresepkan oleh dokter, sehingga penggunaannya umum di masyarakat. Kalium diklofenak lebih dipilih dibanding natrium dikofenak dikarenakan kalium diklofenak memiliki kecepatan absorbsi dan kelarutan yang lebih besar daripada natrium diklofenak (Novartis, 2005). e. Karagenin Karagenin merupakan ekstrak kering ganggang laut merah (Chondrus crispus) berupa mukopolisakarida yang disusun oleh monomer unit galaktosa sulfat. Karagenin mampu menginduksi reaksi inflamasi yang bersifat akut, non imunologis, dapat diamati dengan baik, dan memiliki reprodusibilitas yang tinggi (Morris, 2003). Zat ini dapat digunakan untuk memicu terbentuknya udema yang diinduksi secara subplantar pada telapak kaki tikus (Anggraini, 2008). Karagenin merupakan seyawa iritan yang paling banyak digunakan untuk memprediksi efek terapeutik obat antinflamasi steroid maupun nonsteroid (Gryglewski dkk., 1997). Karagenin tidak menimbulkan kerusakan jaringan dan tidak berbekas. Karagenin memberikan respon yang paling peka terhadap obat antiflamasi dibandingkan senyawa iritan lainnya. Pada proses pembentukan udema, karagenin akan menginduksi cedera sel dengan dilepaskannya mediator yang mengawali proses inflamasi. Udema yang disebabkan induksi karagenin dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam (Gryglewski dkk., 1997). Karagenin yang digunakan sebesar 1% b/v, karena dengan kadar ini sudah mampu membentuk radang yang cukup untuk bisa dilakukan pengukuran.
13
Volume larutan karagenin yang diberikan pada setiap perlakuan sebesar 0,1 ml yang diinjeksikan secara subplantar pada telapak kaki tikus (Pramono, 2005). f. Metode uji aktivitas antiinflamasi Metode uji inflamasi digunakan untuk menyelidiki proses inflamasi dan mengevaluasi daya antiinflamasi suatu senyawa kimia. Berikut beberapa metode yang lazim digunakan : 1) Pengujian berdasarkan penghambatan radang yang diinduksi senyawa iritan pada telapak kaki tikus. Zat yang digunakan sebagai penginduksi radang sangat mempengaruhi hasil pengujian obat. Prosedur umumnya adalah menyuntikkan senyawa iritan pada jaringan plantar telapak kaki tikus sehingga menimbulkan pembengkakan. Metode untuk mengukur pembengkakan kaki meliputi penentuan ketebalan, berat, dan volume larutan yang dipindahkan oleh udema (Swingle, 1974). 2) Berdasarkan penghambatan leukosit terhadap peritonitis. Percobaan ini menggunakan 0,25 ml karagenin 0,75% sebagai iritan dalam NaCl 0,9% yang diinjeksikan secara intraperitoneal. Selang 4 jam kemudian, hewan dibedah dan cairan peritonealnya dikumpulkan lalu dicampur dengan NaCl 0,9% dengan dapar fosfat yang bebas Ca2+ Mg2+. Total leukosit ditentukan dalam kamar hitung Neubauer (Turner, 1965). 3) Pengujian dengan metode pembentukan granuloma oleh cotton pellets atau sponge (kubus busa poliuretan). Metode ini menggunakan cotton pellets atau sponge yang ditanam secara subkutan pada hewan coba, 5-8 hari sesudahnya cotton pellets atau sponge
14
dikeluarkan. Pellets kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam lalu dikeringkan pada suhu 600C hingga beratnya konstan. Pertambahan berat pada bobot keringnya menunjukkan formasi granuloma (Turner, 1965). Metode uji antiinflamasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian berdasarkan penghambatan radang yang diinduksi senyawa iritan pada telapak kaki tikus. Pemilihan metode ini dikarenakan udema merupakan salah satu parameter yang bisa menunjukkan daya antiinflamasi suatu senyawa (Price dan Wilson, 1995). Selain itu, metode ini cukup sederhana serta mudah pelaksanaannya (Vogel, 2002). Efek penghambatan pembentukan radang oleh obat antiinflamasi dinilai dari pengukuran volume telapak kaki tikus pada selang waktu tertentu dengan menggunakan alat plethysmometer (Hamid dkk., 2004). Dari volume udema yang diperoleh, selanjutnya dibuat kurva hubungan waktu dengan volume udema, kemudian dihitung luas area dibawah kurva (AUC). Dari nilai AUC dapat dihitung daya antiinflamasi (DAI) masing-masing perlakuan. Daya antiinflamasi merupakan kemampuan bahan uji untuk mengurangi pembengkakan (udema) kaki tikus yang telah diinduksi karagenin sebagai senyawa iritan. Semakin rendah nilai AUC, maka semakin tinggi nilai DAI. Nilai DAI menunjukkan besarnya potensi suatu senyawa sebagai obat antiinflamasi (Mansjoer, 1997). Pengujian dilakukan menggunakan tikus. Pemilihan hewan uji tikus dikarenakan tikus mempunyai kaki yang lebih besar jika dibandingkan dengan mencit. Kaki yang lebih besar akan memudahkan pada saat pengukuran. Dipilih tikus galur Wistar karena tidak ada ketentuan khusus terkait galur hewan uji yang
15
harus digunakan. Oleh karena galur Wistar cukup umum penggunaannya pada percobaan metode ini, serta ketersediannya yang memadai, maka digunakan tikus galur Wistar sebagai hewan uji (Lumbanraja, 2009).
2. Lumbricus rubellus a. Klasifikasi Berdasarkan ilmu taksonomi, klasifikasi Lumbricus rubellus adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Annelida
Kelas
: Oligochaeta
Ordo
: Haplotaxida
Sub Ordo
: Lumbricina
Famili
: Lumbricidae
Genus
: Lumbricus
Spesies
: Lumbricus rubellus (Leiden University Medical Center, 2005)
Gambar 3. Cacing tanah Lumbricus rubellus (Anonim, 2011)
16
b. Kandungan kimia Lumbricus rubellus mempunyai kandungan protein, lemak, serat kasar, dan abu, dengan kadar masing-masing ditunjukkan pada tabel II : Tabel II. Kandungan protein, lemak, serat kasar, dan abu serbuk Lumbricus rubellus (Damayanti dkk., 2009) Parameter Kadar (% bahan kering) Protein 63,08 Lemak 18,51 Serat kasar 0,19 BETN * 12,41 Abu 5,81 *) BETN : Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Komposisi asam amino serbuk Lumbricus rubellus dapat dilihat pada tabel III : Tabel III. Komposisi asam amino serbuk Lumbricus rubellus (Istiqomah dkk., 2009) Asam Amino Fenilalanin Valin Metionin Isoleusin Treonin Histidin Arginin Lisin Leusin Sistein Tirosin Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Alanin Prolin
Kadar (% bahan kering) 0,45 0,52 0,35 0,47 0,45 0,63 0,56 0,51 0,54 0,31 0,43 0,98 1,52 0,54 0,35 0,32 0,54
Banyaknya asam amino yang terkandung dalam tubuh cacing tanah ini memberikan gambaran bahwa tubuhnya mengandung berbagai jenis enzim yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa Lumbricus rubellus mengandung enzim lumbrokinase, peroksidase, katalase, dan selulosa (Palungkun, 2008).
17
c. Deskripsi Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan klitelum yang terletak pada segmen 2732. Klitelum merupakan alat untuk membantu perkembangan, yang muncul saat cacing dewasa, sekitar usia 2 bulan. Biasanya cacing tanah jenis ini kalah bersaing dengan jenis yang lain sehingga tubuhnya lebih kecil. Tetapi bila diternakkan secara terpisah, besar tubuhnya bisa menyamai bahkan bisa melebihi jenis cacing lain. Cacing tanah di dunia telah terindentifikasi sebanyak 1.800 spesies. Tetapi baru sekitar 9 spesies yang dibudidayakan. Jenis cacing tanah yang telah dibudidayakan dapat dilihat pada tabel IV : Tabel IV. Spesies cacing tanah yang dibudidayakan (Palungkun, 2008) Famili
Spesies
Nama Umum
Lumbricidae
1. 2. 3. 4. 5.
Lumbricus terristis Lumbricus rubellus Eisenia foetida Allolobophora caliginosa Allolobophora chlorotica
Cacing Eropa Cacing Australia (tiger) Cacing merah jambu -
Megascolecidae Acanthrodrilidae
6. 7. 8.
Pheretima asiatica Perionyx exavatus Diplocirdia verrucosa
Cacing Filipina Cacing kalung -
Octochaetidae
9.
Eudrilus eugeunia
-
Berikut ciri detail cacing Lumbricus rubellus (Palungkun, 2008) : 1) Ukuran tubuh relatif kecil dengan panjang 8-14 cm 2) Warna punggung cokelat cerah sampai ungu kemerahan, perutnya berwarna krem, dan ekornya berwarna kekuningan 3) Bentuk tubuh dorsal membalut dan vertikal pipih
18
4) Jumlah segmen pada klitelum 6-7 segmen 5) Lubang kelamin jantan terletak pada segmen ke-14, sedangkan lubang kelamin betina terletak pada segmen ke-13 6) Gerakannya lamban 7) Kadar air tubuh 70-78% d. Manfaat Sudah banyak diketahui bahwa cacing tanah jenis Lumbricus rubellus memilki manfaat yang besar dalam dunia kesehatan. Secara empiris, pemakaian cacing tanah untuk terapi digunakan dengan berbagai cara, diantaranya dengan cara direbus dan diambil sarinya serta dikeringkan dan dijadikan serbuk (Esha, 2014). Lumbricus rubellus menghasilkan zat pengendali bakteri yang disebut lumbricin. Lumbricin mempunyai aktivitas antimikroba berspektrum luas, yaitu menghambat bakteri gram negatif, bakteri gram positif, dan beberapa jenis fungi (Cho dkk., 1998). Selain itu, tepung cacing tanah Lumbricus rubellus adalah produk yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak karena kandungan proteinnya yang tinggi (Resnawati, 2002). Ekstrak air cacing tanah Lumbricus rubellus memiliki aktivitas sebagai antipiretik. Aktivitas antipiretik ini dihasilkan oleh senyawa aktif golongan alkaloid (Santoso, 2002). Mekanisme kerjanya yaitu dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase yang mengkatalis pembentukan prostaglandin, sehingga pengatur suhu di hipotalamus kembali normal dengan cara pelepasan panas melalui vasodilatasi (Ganiswara, 1995).
19
Mihara dkk. (1991), berhasil mengekstraksi enzim dari saluran cerna cacing tanah Lumbricus rubellus. Enzim ini terdiri dari 6 isoenzim protease serin yang secara kolektif diberi nama Lumbrokinase. Lumbrokinase memiliki efek utama fibrinolitik yang digunakan sebagai pencegahan sekunder pada penyakit akibat trombosis. Lumbrokinase diduga juga memiliki efek antiinflamasi dan antiplatelet. Mekanisme kerjanya kemungkinan mirip dengan aspirin, yaitu menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX) terutama COX-1. Penghambat enzim siklooksigenase, akan memberikan efek berupa antiinflamasi, analgesik dan antipiretik (Kholos, 2009). Serbuk cacing tanah dari Lumbricus rubellus menunjukkan aktivitas antioksidan pada pengujian metode DPPH (1,1-diphenyl-1,2-picrylhydrazyl). Aktivitas antioksidan ini dapat terjadi karena adanya komponen senyawa fenolik pada Lumbricus rubellus (Aldarraji dkk., 2013). Secara ringkas hubungan antara senyawa antioksidan khususnya senyawa fenolik dapat berperan sebagai senyawa antiinflamasi ditunjukkan oleh gambar 4. Anti radikal Bebas ↓ Senyawa fenolik ↓ Antioksidan
Radikal bebas
→
Enzim siklooksigenase →
Efek menghambat
Lipid membran ↓ Asam arakhidonat ↓ Endoperoksida ↓ Prostaglandin
Gambar 4. Hubungan senyawa antioksidan yang dapat berperan sebagai antiinflamasi (Lands, 1985)
Senyawa fenolik mempunyai peran dalam menghambat inflamasi dengan mekanisme penangkapan radikal bebas dan penghambatan enzim siklooksigenase. Radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan sehingga
20
memicu biosintesis asam arakhidonat menjadi prostaglandin sebagai mediator inflamasi. Adanya senyawa fenolik akan menangkap radikal bebas sehingga pembentukan prostaglandin menjadi terhambat (Land, 1985 cit Veriony, 2011). Suatu membran yang mengalami kerusakan oleh rangsang kimia, baik secara fisik maupun mekanik maka tubuh akan merespon dengan mengaktifkan enzim fosfolipase untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arakidonat. Asam lemak tak jenuh ini kemudian diubah oleh enzim siklooksigenase menjadi endoperoksida yang akhirnya membentuk senyawa prostaglandin. Prostaglandin merupakan mediator terjadinya suatu inflamasi. Peroksida melepaskan radikal bebas oksigen yang memegang peranan timbulnya rasa nyeri. Selain itu, radikal oksigen juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan sehingga dilepaskan mediator-mediator inflamasi (Ward, 1993). Serbuk cacing tanah jenis Lampito mauritii dengan peringkat dosis 20, 40, 80, 160, 320 mg/kg, diujikan pada tikus putih yang diinduksi karagenin 1% dengan pembanding aspirin dosis 75 mg/kg, terbukti menunjukkan aktivitas antiinflamasi dengan persentase daya antiinflamasi yang bervariasi pada setiap peringkat dosis, yaitu secara berturut-turut dosis 20, 40, 80, 160, 320 mg/kg sebesar 56%, 57%, 64%, 52%, dan 46%. Dari uji ANOVA taraf kepercayaan 95%, hasil ini berbeda secara bermakna (p<0,05). Nilai daya antiinflamasi terbesar ditunjukkan oleh dosis 80 mg/kg (Balamurugan, 2007).
21
F. Landasan Teori Cacing tanah memiliki berbagai macam khasiat dalam pengobatan, diantaranya sebagai antiinflamasi. Serbuk Lumbricus rubellus mengandung senyawa alkaloid yang memiliki aktivitas sebagai antipiretik dengan mekanisme aksi menghambat pembentukan prostaglandin di hipotalamus. Selain berperan dalam pengaturan suhu tubuh di hipotalamus, prostaglandin juga merupakan salah satu mediator inflamasi. Serbuk Lumbricus rubellus mengandung enzim lumbrokinase yang mempunyai aktivitas antiplatelet dan antiinflamasi dengan mekanisme kerja yang mirip dengan aspirin. Aksinya dengan cara menghambat siklooksigenase
sehingga
sintesis
prostaglandin
menjadi
terganggu.
Penghambatan sintesis prostaglandin inilah yang selanjutnya memberikan efek antiinflamasi. Serbuk Lumbricus rubellus mengandung senyawa fenolik yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Aktivitas antioksidan memiliki hubungan yang erat dengan antiinflamasi. Senyawa fenolik dapat bekerja sebagai inhibitor sintesis prostaglandin
yang merupakan mediator peradangan. Oleh karena itu,
pembentukan radang bisa dihambat dengan adanya senyawa fenolik. Senyawa-senyawa
yang
memiliki
aktivitas
antiinflamasi
mampu
mengurangi volume udema pada pengujian yang dilakukan dengan menggunakan senyawa penginduksi radang, dalam hal ini karagenin 1%. Serbuk Lumbricus rubellus yang dinilai memiliki potensi sebagai antiinflamasi, diprediksi mampu menurunkan volume udema telapak kaki tikus pada uji yang dilakukan.
22
Nilai daya antiinflamasi menunjukkan besarnya aktivitas antiinflamasi suatu senyawa dalam mengurangi terjadinya pembentukan radang. Semakin tinggi nilai DAI, semakin tinggi pula aktivitas antiinflamasi senyawa tersebut. Besar kecilnya persentase daya antiinflamasi, dipengaruhi oleh dosis yang diberikan. Oleh karena itu, pemberian dosis yang bervariasi dimungkinkan akan mempengaruhi besarnya persentase daya antiinflamasi yang dihasilkan.
G. Hipotesis 1. Pemberian serbuk Lumbricus rubellus (SLR) dapat mengurangi volume udema pada kaki tikus yang diinduksi karagenin. 2. Variasi dosis pada pemberian serbuk Lumbricus rubellus (SLR) akan mempengaruhi nilai persentase daya antiinflamasi (% DAI) yang dihasilkan.