TINJAUAN PUSTAKA
Penanganan Luka Bakar di Ruang Perawatan Intensif Anak
Dzulfikar
PENDAHULUAN
Luka bakar hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak. Di Amerika, lebih dari 2 juta orang mengalami luka bakar setiap tahun. Sekitar 700.000 dirawat di unit gawat darurat dan 50.000 membutuhkan perawatan di rumah sakit. Luka bakar menempati peringkat ketiga penyebab mortalitas di seluruh dunia.1,2 Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan etiologi, kedalaman serta luasnya luka bakar yang menentukan gejala klinis serta beratnya luka bakar.1,3 Luka bakar menyebabkan terjadinya hipermetabolisme akibat stimulasi sitokin-sitokin berlebihan yang menyebabkan meningkatnya respons stres akibat proses infeksi. Proses inflamasi umumnya meningkat segera setelah trauma terjadi dan bertahan sekitar 5 minggu paska trauma. Respons metabolisme yang terjadi diantaranya peningkatan suhu, kebutuhan O2, glukosa serta peningkatan produksi CO2. Komplikasi yang terjadi pada pasien luka bakar antara lain, gagal napas, syok dan infeksi sistemik ke berbagai organ yang dapat menyebabkan kematian. Seringkali pasien luka bakar mengalami syok akibat kehilangan banyak cairan atau sepsis, sehingga diperlukan pemantauan hemodinamik ketat. Tatalaksana penanganan luka bakar di ruang perawatan intensif harus bersifat holistik yang mencakup tatalaksana jalan napas dan oksigenasi, resusitasi cairan, pemberian antibiotika,
Intensive Care Unit Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hasan Sadikin Jl. Pasteur 38, Bandung Korespondensi :
[email protected] Volume 2 Nomor 2 April 2012
tatalaksana nutrisi, penanganan nyeri hingga perawatan luka untuk menurunkan mortalitas.1-4 EPIDEMIOLOGI
Sekitar 2/3 pasien luka bakar adalah anak-anak berusia di bawah 4 tahun yang sebagian besar adalah akibat luka lepuh. Di Amerika, anak berusia 6 bulan hingga 2 tahun banyak mengalami tersiram air panas misalnya tumpahan kopi atau makanan panas lainnya dan 10–30% akibat kekerasan.1 KLASIFIKASI
Derajat keparahan luka bakar ditentukan berdasarkan luas, kedalaman dan etiologi. Berdasarkan etiologinya dapat dibagi menjadi 3, yaitu termal, luka bakar listrik, dan luka bakar kimiawi. Etiologi
Termal Luka bakar akibat panas, umumnya terjadi akibat meningkatnya suhu yang mengakibatkan kematian sel. Pada keadaan ini dapat menyebabkan luka lepuh akibat terpapar zat panas.1 Luka bakar listrik Luka bakar listrik umumnya terjadi akibat aliran listrik yang menjalar ke tubuh.1 Luka bakar kimiawi Luka bakar ini terjadi akibat paparan zat yang bersifat asam maupun basa. Karakteristik keduanya memiliki perbedaan dalam hal kedalaman luka bakar yang terjadi. Luka bakar akibat paparan zat yang bersifat basa umumnya mengakibatkan luka yang 79
Penanganan Luka Bakar di Ruang Perawatan Intensif Anak
Klasifikasi kedalaman luka bakar dapat dijabarkan sebagai berikut :1,5 Tabel -1. Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalamannya Derajat 1 Derajat 2 (partial thickness) Cairan panas
Derajat 3 (deep partial thickness)
Penyebab
Sinar matahari, air panas, luka bakar kilat
Cairan panas, kontak dengan, cairan kimiawi
Warna
Merah muda/Merah
Merah muda/Merah pucat
Permukaan
Kering
Lembab, Terbentuk bula
Kering dan tidak elastik
Rasa nyeri
Nyeri
Sangat nyeri
Tidak berasa
Kedalaman
Epidermis
Epidermis dan sebagian dermis
Epidermis, dermis, dan struktur lebih dalam
Coklat tua, Tampak vena
Sumber : Jeschke4
kepala dan leher 9% dada
dan
setiap lengan 9%
setiap kaki 18%
dipengaruhi oleh pertumbuhan tubuh
Prosentase Bagian Tubuh kepala paha dari kaki bawah
Usia
Gambar 1: Persentase luka bakar pada anak4
lebih dalam dibandingkan akibat zat asam. Hal ini disebabkan zat basa akan menyatu dengan jaringan lemak di kulit sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih progresif, sedangkan luka bakar akibat asam akan menyebabkan koagulasi protein.1
ditandai dengan terbentuknya bula dan umumnya sembuh kurang dari 21 hari. Pada luka bakar derajat 3 melibatkan kerusakan yang lebih dalam seperti persyarafan bahkan mengenai tulang.1
Kedalaman
Penilaian luasnya luka bakar memilki peranan yang sangat penting dalam menentukan luasnya luka bakar yang terjadi yang berpengaruh terhadap banyaknya terapi cairan yang diberikan. Luas luka bakar ditentukan berdasarkan total body surface area (TBSA). Metode yang seringkali dipakai untuk menentukan luas luka bakar adalah mengacu pada rule of nine untuk dewasa. Sedangkan pada anak digunakan lund browder chart.1
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu yang menyebabkan cedera, lamanya paparan dan ketebalan kulit. Apabila luka bakar derajat 1 hanya melibatkan epidermis yang umumnya disebabkan salah satunya akibat paparan sinar matahari dan dapat mengalami penyembuhan cepat. Luka bakar derajat 2 mengenai permukaan superfisial dermis disebut pula dengan partial thickness burn yang 80
Luasnya Luka Bakar
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Dzulfikar
PATOGENESIS
Kulit memiliki struktur laminar yang tersusun oleh epidermis yang merupakan lapisan paling luar, dan dermis pada bagian dalam. Lapisan dermis terdiri dari folikel rambut, kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kulit berfungsi sebagai termoregulator dan memiliki fungsi proteksi terhadap kehilangan cairan, kerusakan mekanik maupun infeksi. Secara anatomis, kulit terdiri dari epidermis yang tersusun dari keratinosit, melanosit dan sel langerhans. Lapisan dermis terdiri dari protein struktural dan selsel yang bertanggung jawab menyokong kekuatan tight junction kulit. Cedera kulit akibat panas akan menyebabkan terbentuknya 3 area kerusakan kulit yaitu zona s, hiperemia yang disebabkan peningkatan aliran darah akibat proses inflamasi, zona stasis yang terletak pada lapisan kedua yang bersifat iskemik, dan zona ketiga yaitu zona koagulasi. Bila luka bakar yang terjadi luas (>40%) dapat menyebabkan hilangnya cairan intravaskular berlebihan sehingga dapat menyebabkan syok hipovolemik maupun distributif. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan afterload dan menurunkan kontraktilitas jantung.5,7 TATALAKSANA
Tatalaksana penanganan luka bakar di ruang perawatan intensif membutuhkan pendekatan holistik. Tidak jarang pasien luka bakar dirawat di ruang perawatan intensif untuk dilakukan pemantauan hemodinamik. Tatalaksana di ruang perawatan intensif adalah sebagai berikut:1,6 Mempertahankan Jalan Napas
Trauma jalan napas merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien luka bakar. Cedera jalan napas akibat luka bakar dapat menyebabkan obstruksi, hipoksia bahkan kematian. Telah dilaporkan bahwa trauma inhalasi akan meningkatkan mortalitas pasien luka bakar sebanyak 20% yang berpotensi menyebabkan pneumonia. Patogenesis terjadinya trauma inhalasi adalah akibat cedera panas yang berlangsung 12 jam setelah terjadinya luka bakar yang menyebabkan obstruksi jalan napas bagian atas.1,9 Pasien luka bakar seringkali mengalami berbagai penyulit termasuk terjadinya trauma inhalasi, sehingga membutuhkan perawatan khusus untuk rumatan jalan napas di ruang perawatan intensif, apakah hanya sebatas pemantauan hemodinamik atau bahkan membutuhkan bantuan ventilasi mekanik. Volume 2 Nomor 2 April 2012
Berikut adalah indikasi intubasi pada pasien luka bakar :1 • Luka bakar di wajah • Deposit karbon dan perubahan struktur akibat inflamasi di faring dan rongga hidung • Terdapat tumpukan karbon pada dahak • Stridor dan suara parau • Retraksi dan sesak napas • Penurunan kesadaran • Penyakit paru restriktif sekunder akibat luka bakar derajat berat Pada pasien luka bakar pemberian O2 dan pembersihan jalan napas merupakan komponen penting dalam tatalaksana jalan napas. Komponen lain yang tidak kalah pentingnya antara lain adalah hisap lendir berkala dan fisioterapi dada. Isap lendir berkala sebaiknya dilakukan setelah memposisikan pasien 45o. Sebelumnya pasien dilakukan preoksigenasi dengan O2 100%. Apabila belum dilakukan preoksigenasi, sebaiknya dilakukan isap lendir berkala selama kurang lebih 15 detik. Namun yang harus diwaspadai adalah stimulasi nervus vagus, terdapatya iritasi mukosa nasotrakea, trauma, dan bradikardi.1 Trauma inhalasi pada jalan napas bagian bawah dapat menyebabkan infeksi trakea dan bronkus akibat zat-zat kimia sehingga menyebabkan spasme jalan napas. Dalam hal ini dapat digunakan aerosol yang bersifat simpatomimetik yang menyebabkan relaksasi otot bronkus dan menstimulasi clearance mucociliary. Terapi inhalasi ini dapat diberikan setiap 2-4 jam sekali tergantung klinis pasien.9 Bilas bronkus digunakan untuk mengurangi sekret sehingga dapat mengurangi risiko infeksi sekunder. Tatalaksana bilas bronkhus yang dilakukan di Shriners Hospital adalah sebagai berikut:9 • Pemberian O2 lembab untuk mempertahankan saturasi O2 >90% • Latihan batuk dan menarik napas setiap 2 jam • Fisioterapi dada setiap 4 jam • Nebulisasi dengan 3 cc N-asetilsistein 20% + salbutamol setiap 4 jam • Sebagai alternatif dapat diberikan nebulisasi dengan Heparin 5000 unit dalam 3cc NaCl 0,9% setiap 4 jam • Isap lendir berkala • Penilaian fungsi paru sebelum pasien dipulangkan dan pada saat kontrol • Edukasi pasien dan orang tua pasien berkaitan dengan trauma inhalasi yang terjadi Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan merupakan tatalaksana utama pada saat fase awal penanganan luka bakar terutama 81
Penanganan Luka Bakar di Ruang Perawatan Intensif Anak
pada 24 jam pertama. Pemberian cairan yang adekuat akan mencegah syok yang disebabkan karena kehilangan cairan berlebihan pada luka bakar.7,10 Luka bakar dapat menyebabkan berbagai perubahan parameter anatomis, imunologis bahkan fisiologis tubuh. Luka bakar dapat menyebabkan hilangnya cairan intravaskular melalui luka atau jaringan yang tidak mengalami cedera. Hilangnya cairan umumnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah cedera. Teknik resusitasi cairan pada luka bakar terus mengalami perkembangan. Prinsip resusitasi cairan luka bakar mengacu pada rumus Parkland yaitu :1,10 4 cc/kg/luas permukaan tubuh + cairan rumatan
Cairan rumatan dapat digunakan dekstrosa 5% dalam ringer laktat yang jumlahnya disesuaikan dengan berat badan : ≤10 Kg: 100 mL/kg 11-20 Kg: 1000 mL + (Berat badan – 10 Kg) x 50 mL >20 Kg: 1500 mL + (Berat badan – 20 Kg) x 20 mL Pemberian cairan ini diberikan 24 jam pertama, 50% diberikan 8 jam pertama dan 50% diberikan 16 jam berikutnya. Formula ini telah digunakan secara luas sejak 40 tahun yang lalu untuk terapi cairan pada luka bakar selama 24 jam pertama setelah trauma, namun penelitian terbaru mengatakan bahwa formula Parkland tidak dapat memprediksi kehilangan cairan secara akurat khususnya pada pasien dengan luka bakar luas, akibatnya pasien seringkali mendapatkan jumlah cairan lebih sedikit dibandingkan seharusnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Cancio dkk yang melaporkan bahwa penggunaan formula Parkland menyebabkan penurunan kebutuhan cairan pada 84% pasien. Penelitian ini juga menyebutkan jumlah cairan yang diberikan pada pasien luka bakar tidak hanya memperhatikan luas serta kedalaman luka, namun harus diperhatikan apakah pasien ini membutuhkan bantuan ventilasi mekanik atau tidak karena diperkirakan hal ini dapat meningkatkan kebutuhan cairan.10 Metode lain resusitasi cairan dikembangkan oleh Baxter pada tahun 1979, ia memberikan teknik resusitasi cairan pada 954 pasien luka bakar dengan menggunakan formulasi cairan 3,7– 4,3 mL/Kg/total luas permukaan tubuh (TLPT) dan didapatkan hasil sekitar 70% yaitu 438 dewasa dan 516 anak-anak mengalami keluaran yang baik. Formulasi lain terapi cairan menurut gavelstron menggunakan rumus :
82
(5000 mL x LPT yang mengalami luka bakar) + (2000 mL x TLPT)
Protokol saat ini melanjutkan pemberian resusitasi cairan dengan menggunakan formulasi 2– 4 mL/kg /% LPT selama 24 jam pertama. Setelah pemberian terapi cairan, dilakukan pemantauan tanda kelebihan cairan yaitu terdapatnya gangguan hemodinamik pasien seperti sesak napas, hepatomegali atau terdapatnya ronkhi basah halus pada basal paru. Pemantauan ini kerap kali harus dilakukan karena pemberian cairan berlebihan akan menyebabkan terjadinya edema yang merupakan komplikasi akibat pemberian cairan resusitasi dan berpotensi menimbulkan kompikasi misalnya abdominal compartement syndrome dan edema paru.11 Antibiotika yang sesuai
Pasien luka bakar terutama luka bakar luas berpotensi mengalami infeksi sekunder maupun sepsis sehingga berpotensi meningkatkan mortalitas. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap 175 pasien luka bakar luas dikatakan bahwa infeksi berhubungan dengan disfungsi multiorgan yang dapat menimbulkan kematian pada 36% pasien.12 Infeksi sekunder pada luka bakar terutama disebabkan oleh bakteri gram positif terutama stafilokokus yang berdomisili di kelenjar keringat dan folikel rambut, perubahan kondisi akibat luka bakar akan mempercepat pertumbuhan bakteri, sedangkan infeksi bakteri gram negatif umumnya disebabkan karena translokasi dari kolon karena berkurangnya aliran darah mesenterika. Selain itu kondisi pasien diperberat akibat penurunan respons limfosit T sitotoksik, maturasi mieloid yang menyebabkan terganggunya aktivitas netrofil dan makrofag. Tujuan penanganan luka adalah mempercepat epitelisasi sehingga dapat mengurangi risiko infeksi sekunder. Sepsis seringkali menyertai luka bakar,13 Menurut Centre for Disease Control (CDC), infeksi luka bakar adalah keadaan apabila: • Terdapat perubahan kesadaran pasien yaitu menjadi tampak letargis, hipotermia, hipertermia maupun tanda-tanda syok • Perubahan pada luka yang terjadi misalnya warna maupun bau • Pada pemeriksaan kultur jaringan positif mengan dung mikroorganisme • Pemberian antibiotik profilaksis sebenarnya tidak dianjurkan, namun antibiotik profilaksis dapat direkomendasikan pada keadaan: °° Pencegahan selulitis sehingga memerlukan anMajalah Kedokteran Terapi Intensif
Dzulfikar
Tabel 2. Perhitungan kebutuhan kalori pada luka bakar adalah sebagai berikut :11 Usia (tahun) 0-1 1-11 12-18 tibiotika antistreptokokal °° Pemberian obat anti jamur oral atau enteral untuk mencegah kandidiasis °° Pemberian obat-obatan perioperatif °° Pemberian antibiotika spektrum luas pada keadaan syok sepsis Pemberian antibiotika yang umum digunakan adalah silver sulfadiazine yang memiliki potensi antimikroba yang paling baik, namun memiliki efek toksisitas dan memperlambat proses penyembuhan luka. Dukungan Nutrisi
Pada keadaan luka bakar terlebih pada luka bakar derajat luas, terjadi hipermetabolisme akibat respons stres berlebihan. Hal ini akan mengakibatkan pasien akan mengalami keadaan malnutrisi, dan lambatnya proses penyembuhan. Keadaan hipermetabolisme dapat bertahan sekitar 12 bulan setelah cedera. Keadaan ini berhubungan dengan luasnya luka bakar, dan berkaitan dengan stres yang terjadi. Pada anak kebutuhan kalori mencakup 60%-70% karbohidrat, 15%-20% lemak, sedangkan protein harus terpenuhi 2,5-4gram/kgbb/hari. Apabila diberikan asupan berlebih dapat menyebabkan peningkatan produksi CO2 yang dapat memperberat fungsi paru dan dapat meperlambat proses penyapihan ventilator. Di samping itu pemberian karbohidrat berlebihan akan menyebabkan disfungsi hepar, hiperglikemia sehingga dapat memicu dehidrasi akibat meningkatnya diuresis. Pemantauan proses metabolisme dilakukan melalui pemantauan kadar gula darah, albumin, elektrolit, fungsi hati dan ginjal.7,10 Analgetika dan Sedatif
Luka bakar dapat menimbulkan rasa nyeri terlebih lagi pada luka bakar luas. Nyeri tersebut akan sangat mengganggu proses emosi dan fisiologi anak. Sehingga diperlukan analgetika dan sedatif yang dapat mengontrol nyeri agar anak menjadi nyaman. Derajat luka bakar akan menentukan nyeri yang ditimbulkannya. Pada luka bakar superfisial, persyarafaan masih utuh sehingga pergerakan maupun sentuhan akan sangat memicu rasa nyeri. Sedangkan luka bakar luas dan dalam (deep partial Volume 2 Nomor 2 April 2012
Kebutuhan kalori 2100 kkal/m2/LPT + 1000 kkal/m2/LPT 1800 kkal/m2/LPT + 1300 kkal/m2/LPT 1500 kkal/m2/LPT + 1500 kkal/m2/LPT thickness) beberapa persarafan bahkan hampir seluruh saraf mengalami kerusakan, akibatnya pasien tidak begitu merasakan rangsangan nyeri. Namun hal yang harus diperhatikan adalah apabila sekeliling luka mengalami kemerahan yang dapat menimbulkan nyeri. Luka bakar jenis full thickness, seluruh persarafan telah mengalami kerusakan, oleh sebab itu respons terhadap rasa nyeri sama sekali tidak ada, namun daerah sekeliling luka masih berespons terhadap rangsang nyeri.14 Seringkali anak yang mengalami luka bakar, rangsangan sekecil apapun mampu menstimulasi pusat nyeri sehingga akan menimbulkan nyeri kronik dan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik terjadi sekunder akibat kerusakan saraf. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya respons terhadap analgetika sehingga dibutuhkan obat-obatan sedatif.14 Analgetika yang diberikan pada anak yang mengalami nyeri akibat luka bakar adalah parasetamol dan anti inflamasi non steroid (AINS). Namun bila dengan pengobatan oral masih tidak berespons, dapat diberikan obat analgetika intravena. Obat - obat analgetika sebaiknya memiliki persyaratan sebagai berikut:1 • Mudah diberikan • Dapat ditoleransi dengan baik • Memiliki onset kerja singkat namun memiliki efek samping minimal Penanganan nyeri pada anak mencakup terapi farmakologik dan non farmakologik. Terapi farmakologik dilakukan dengan pemberian analgetika spesifik yaitu pemberian parasetamol asetaminofen obat Parasetamol adalah derivat paraaminofenol yang dapat bekerja secara sentral dan perifer untuk mengatasi rasa nyeri.1 Obat anti inflamasi non steroid memiliki sifat analgetika dan antipiretik melalui hambatan sintesis prostaglandin dan tromboksan.1 Opioid Memiliki efek analgetika melalui reseptor opioid sentral dan perifer.1 Morfin memiliki efek sekitar 10 –20 menit setelah diberikan melalui jalur intravena dengan dosis 0,1mg/Kg. Dosis morfin yang diberikan pada anak >5 tahun yaitu 20 mikrogram/Kg diberikan secara bolus dilanjutkan dengan titrasi 4-8 mikrogram/kg/ 83
Penanganan Luka Bakar di Ruang Perawatan Intensif Anak
jam. Pada saat diberikan morfin, harus dilakukan pemantauan pernapasan dan saturasi O2.1 Oxycodone merupakan opioid semisintetis yang memiliki bioavailabilitas lebih baik dibandingkan morfin. Oxycodone dapat diberikan dengan dosis 0,2mg/Kg secara per oral maupun intravena.1 Fentanyl merupakan analgetika narkotik dengan potensi lebih tinggi dibandingkan dengan morfin. Memiliki kemampuan larut lemak yang tinggi dan mula kerja cepat (1–2 menit). Durasi kerjanya mencapai 60 menit dan dosis yang diberikan adalah 15–20 mikrogram/Kg.1 Agonis a2 Adrenergic umumnya diberikan pada anak yang tidak berespons terhadap pemberian analgetika. Dalam hal ini dapat digunakan klonidin yang diberikan dengan cara menghambat jalur korda spinalis. Dosis yang diberikan 1–3 mikrogram/Kg diberikan 3 kali sehari secara oral atau intravena. Perawatan Luka
Perawatan luka merupakan salah satu tatalaksana yang perlu diperhatikan dalam penanganan luka bakar. Karena tidak jarang luka yang tidak dibersihkan dengan baik dapat memicu infeksi sekunder. Cleansing dan debridement merupakan tindakan rutin yang harus dilakukan. Bilas luka dapat menggunakan sabun dan air bersih atau clorhexidin atau NaCl 0,9%. Setelah dibersihkan, diberikan antibiotika topikal yang kemudian menutup luka dengan kasa steril untuk mengurangi risiko infeksi sekunder. Antibiotik topikal dapat diberikan sehari 2 kali sambil dilakukan ganti balutan.1 Tujuan utama perawatan luka adalah mencegah infeksi dan melindungi luka terhadap terjadinya infeksi sekunder. Bula yang terbentuk apabila berukuran <2cm dapat dibiarkan tetap utuh, sedangkan bula yang besar harus dipecahkan kemudian dilakukan debridement. Pasien luka bakar yang dirawat umumnya dilakukan skin graft dalam 1–5 hari setelah trauma. Tindakan ini terbukti dapat mengurangi risiko sepsis.1,4,16 KESIMPULAN
Luka bakar masih merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada anak. Komplikasi terbanyak akibat luka bakar antara lain adalah gagal nafas, syok dan komplikasi sistemik ke berbagai organ. Tatalaksana yang dilakukan mencakup tatalaksana holistik yang mencakup rumatan jalan napas, terapi cairan, dukungan nutrisi, pemberian antibiotika, penanggulangan nyeri akibat luka bakar dengan obat-obat antinyeri dan perawatan luka. 84
Daftar Pustaka
1. Kasten, Kevin, Makley, Kagan RJ. In : Burn and inhalation injuries. In: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, Carcillo JA, Clark RSB, Relvas M, Rotta AT, et al eds. Prediatric critical care. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Sounders; 2011. p. 1489 - 99 2. Saffle JR. The pnehomenon of fluid creep in acute burn resuscitation. J Burn C. 2005; 28(3): 328-92. 3. Klein MB, Hayden, Elson, Nathens AB, The association between fluid administration and outcome following major burns. Annal Surg. 2007;245(4):622-7. 4. Jeschke MG, Mlcak RP, Finnerty CC, Norbury WB. Burn size determines the inflammatory and hypermetabolic response. Crit Care J. 2007;11(1):1-11. 5. Gandhi I, Lord D, Enoch S. Management of pain in children with burns. Int J Paed. 2010; 12(3): 1-7. 6. Gomez R, Leopoldo C. Management of burn wounds in the emergency department. Emerg Med Clin N. 2007;12:135-46. 7. Sheridan RL. Sepsis in pediatric burn patients. Paed Crit Care. 2005;6(3):112-7. 8. Tricklebank F. Modern trends in fluid theraphy of burns. Burns. 2009;35:757-67. 9. Mcalk, Sumano. Respireatory management of inhalation injury. Burns. 2007;33:2-13. 10. Klein, Herndon. Burn. Paed Crit Rev. 2004;25(14):411-7. 11. Reed, JL and WJ Pomerantz. Emergency management of pediatric burns. Pediatric Emergency Care. 21 (2): Feb,2005: 118-129 12. Abu R. Mortality of burn injuries. Burns. 2005;10(6):439-43. 13. Avni T. Prophylactic antibiotics for burns patients: systematic review and meta-analysis. Brit Med J. 2010;340: 241. 14. Summer GJ, Runtillo KA.Burn injury pain: the continuing challenge. J Pain. 2007;8(7):533-48. 15. Sheridan RL. Burns. Crit Care Med. 2002; 30(11): 500-11. 16. Latenzer BA. Critical care of the burn patient the first 48 hours. Crit Care Med. 2009;97(10): 2823-7.
Majalah Kedokteran Terapi Intensif