Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
PEMERINTAHAN TERBELAH DAN STABILITAS POLITIK TERGANGGU Oleh : Moch. Mubarok Muharam Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Darul ‘Ulum Jombang e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini menjelaskan bahwa pemerintahan terbelah (divided Governance) merupakan sebuah keadaan dimana terjadi polarisasi tajam antara cabang kekuasaan eksekutif dengan legislatif (parlemen). Sebuah situasi dimana eksekutif diduduki oleh kekuatan/ kubu politik tertentu yang selalu vis a vis (berhadapan) dengan legislatif yang secara mayoritas dikuasai oleh kekuatan politik yang berbeda. Kondisi seperti ini semestinya tak boleh terjadi dalam sebuah sistem politik, karena akan menguras energi elemen bangsa ini dengan hanya untuk memfokuskan pada persoalan-persoalan politik belaka, sehingga melupakan perhatiannya yang sebenarnya untuk memperhatikan persoalan rakyat. Pemerintahan terbelah akan berujung pada instabilitas politik (terganggunya stabilitas politik sebuah negara). Keyword: Pemerintahan, devided governance, stabilitas, politik
Pendahuluan Secara sederhana pemerintahan terbelah (divided Governance) adalah sebuah keadaan dimana terjadi polarisasi tajam antara cabang kekuasaan eksekutif dengan legislatif (parlemen). Sebuah situasi dimana eksekutif diduduki oleh kekuatan /kubu politik tertentu yang selalu vis a vis (berhadapan) dengan legislatif yang secara mayoritas dikuasai oleh kekuatan politik yang berbeda . Politik kekinian di Indenesia adalah sebuah wajah dari keterbelahan pemerintahan tersebut. Cabang kekuasaan eksekutif yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara politik dikuasai oleh Koalisi Indonesia Hebat/KIH (PDIP, Partai Nasdem, PKB dan Hanurua (Sebagian) PPP, sedangkan parlemen/ DPR diduduki oleh Koalisi Merah Putih/KMP (Partai Golkar, Gerindra, PAN, PKS, (Sebagian) PPP. Sedangkan Partai Demokrat- untuk saat ini- secara formal menyatakan sebagai partai penyeimbang, tidak terlibat dalam pengkutuban 2 poros kekuatan tersebut, walaupun pada kenyataannya secara politik ataupun emosional lebih dekat dengan Koalisi Merah Putih. Pemerintahan terbelah ini terjadi, tidak bisa dilepaskan sebagai akibat dari kontestasi (persaingan) dalam pemilihan presiden (pilpres) 2014 yang dimenangkan oleh Jokowi-Jusuf Kalla (JK), pasangan yang didukung oleh Koalisi Indonesia Hebat. Sebagai konsekuensi dari Kekalahan dalam pilpres, maka kemudian KMP memproklamirkan diri untuk berada di luar pemerintahan yang akan 58
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
memposisikan dirinya untuk melalukan politik check and balances dalam konfigurasi politik di Indonesia. Pemerintahan yang terbelah ini menampakkan wujudnya dengan ditandai dengan selalu adanya cara pandang dan kepentingan yang berbeda antara eksekutif dengan DPR. Pada pemerintahan saat ini, perbedaan sudah ter;ihat sejak adanya pemilihan pimpinan DPR dan MPR. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berpandangan bahwa untuk pengisian jabatan pimpinan di lembaga tersebut harus mengedepankan prinsip
musyawarah
untuk
mufakat
dan
pembagian
jabatan
yang
adil-
proporsial.Sebaliknya KMP menyakini bahwa mekanisme voting adalah sesuatu yang tepat untuk menjadi landasan penentuan jabatan pimpinan. Alhasil, pemilihan pimpinan DPR dan MPR dilakukan secara voting yang kemudian terpilihlah paket pimpinan DPR yang berasal dari KMP yang terdiri dari Setyo Novanto (Partai Golkar) sebagai ketua DPR dengan wakil-wakilnya Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto
(Partai Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN) Fahri Hamzah (PKS), sedangkan Pimpinan
MPR juga terpilih dari KMP dengan Zulkifli Hasan (PAN) sebagai Ketua MPR, yang didampingi 0leh 3 wakilnya yaitu Mahyudin (Golkar), E.E Mangindaan ( Partai Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS) dan Oesman Sapta (Perwakilan DPD). Perbedaan cara pandang tidak berhenti sebatas setelah pemilihan ketua MPR dan DPR saja, dalam menentukan komposisi pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD)di DPR, KMP dan KIH mempuyai cara pandang yang bertolak belakang, KIH memilih untuk menggunakan musyawarah untuk mufakat, sebaliknya KMP cenderung menggunakan mekanisme voting dalam penentuan jabatan di alat kelengkapan dewan. Seperti pada komposisi jabatan di pimpinan DPR dan MPR, maka kemudian mekanisme pemilihan jabatan diAKD sesuai keinginan KMP, yang hasilnya semua jabatan di AKD diduduki oleh anggota DPR yang berasal dari KMP.
“Sapu bersih” jabatan di pimpinan AKD di DPR
oleh KMP, memicu ketidakpuasan KIH, karena itu, tidak beralasan bila kemudian kekuatan politik pendukung Pemerintahn Jokowi-JK ini membuat pimpinan DPR tandingan 1.Sebuah konsekuensi dari keadaan ini, maka kemudian kinerja dan keputusan politik dari parlemen menjadi tidak efektif, hal ini semakin di perparah bahwa beberapa kementerian berkeberatan untuk hadir dalam acara-acara di DPR, dengan alasan parlemen masih terjadi konflik dan menjadi 2 kubu yang terbelah secara diametral. Untungnya dengan penuh kesadaran, kedua poros kekuatan di parlemen ini melakukan kompromikompromi politik untuk mengakhiri sementara konflik, dengan membuat kesepakatan bahwa terjadi penambahan pimpinan AKD di setiap komisi di DPR yang diduduki oleh KIH, serta penghapusan ketentuan yang memudahkan impeachment terhadap presiden di UU MD3. 1
Dalam sejarah Indonesia, peristiwa terjadinya dualisme pimpinan- karena adanya pimpinan DPR Tandingan- adalah kali pertama terjadi, semenjak era orde baru hingga saat ini.
59
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Sejarah Keterbelahan Pemerintahan Bila kita menilik sejarah republik ini, keterbelahan pemerintahan tidak terjadi pada saat ini saja, tetapi konflik tajam antara parlemen dengan eksekutif juga terjadi pada era pemerintahan orde lama 2. Dalam era ini-khususnya pada masa Demokrasi Parlementer- sebagian besar keinginan dari Pemerintah tidak diakomodir oleh parlemen.Dalam era ini, hubungan eksekutif (pemerintah) dengan parlemen sangat buruk.Pemerintah/ kabinet kesulitan untuk mengusulkan dan menjalankan kebijakan yang diambilnya karena selalu digagalkan oleh pihak oposisi di parlemen.Maka tidak salah kemudian, dalam konteks ini, Presiden Sukarno menyebut bahwa pemerintah telah kekurangan kewibawaan, karena selalu menghadapi kesulitan-kesulitan.
Maka tidak mengherankan bila , kabinet dalam
pemerintahan demokrasi parlemen (1949-1959) seringkali jatuh.
Sistem ketatenegarahan yang
menempatkan parlemen sebagai badan negara yang terkuat, menjadikan Presiden Sukarno hanya sebagai kekuatan simbolik, yang pengaruh politiknya relatif lemah, demikian halnya dengan angkatan bersenjata, pengaruhnya seperti Sukarno hanya berposisi pinggiran dalam politik. Melihat posisinya yang relatif Iemah, maka kemudian Sukarno memunculkan ide yang ia sampaikan di depan pertemuan wakil-wakil pemuda dan semua partai (28 Oktober 1956) dan pada acara Konggres Persatuan Guru (30 Oktober 1956) , bahwa saatnya Indonesia mengubur partaipartai.Sukarno menyatakan bahwa penyakit kepartaian lebih berbahaya daripada sentimen kesukuan ataupun kedaerahan.Bagi Sukarno, dengan mengubur partai-partai, ia memposisikan dirinya sebagai penentang demokrasi liberal, demokrasi yang menurutnya tidak sesuai dengan Indonesia, karena demokrasi liberal tersebut diimpor dari barat. Puncak kekecewaaan Sukarno terhadap parlemen dan partai politik kemudian ia wujdkan dengan menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang salah satu isinya adalah membubarkan parlemen. Berkat dukungan dari angkatan bersenjata, maka dekrit tersebut berlaku, dan kemudian semenjak itu,maka lahirlah sebuah era baru, yang kemudian dikenal dengan sebutan pemerintahan demokrasi terpimpin 3. Hadirnya Demokrasi Terpimpin menandadi kembalinya pengaruh Sukarno dalam percaturan politik Indonesia. Begitu pula dengan angkatan bersenjata, dengan berlakunya Dekrit Presiden 1959, maka keberadaan angkatan bersenjata sebagai golongan fungsional di parlemen menjadi sah, walaupun ia tidak dipilih oleh rakyat 4. Pada era Demokrasi Terpimpin ini (1959-1965), Presiden Sukarno menjadi kekuatan tunggal yang tak tertandinggi 2
oleh kekuataan apapun. Pada era ini,
Untuk hal ini dapat dibaca ketegangan antara parlemen dengan presiden di Herbert Feith & Lance Castles (edit.),(1988) “ Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LPES 3 Lihat, Harold Crough, (1999), Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan 4 Sejak saat itu hingga pemerintahan orde baru, keberadaan angkatan bersenjata menjadi penting dalam parlemen, dan angkatan bersenjata menjadi kekuatan penting bagi pemerintah orde baru sebagai stabilisator di parlemen.
60
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
kemudian terjadi persaingan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan angkatan bersenjata, dalam upaya keduanya untuk mendapatkan pengaruh dan simpatik dari Presiden Sukarno. Puncak dari persaingan ini kemudian lahirlah persistiwa G 30 S PKI, semenjak adanya peristiwa ini ,secara perlahan tapi pasti
pengaruh politik PKI semakin menyusut.
Peristiwa G 30 S PKI ini juga
berimplikasi dengan menurunnya kekuasaan Sukarno dari politik. Dengan adanya peristiwa G 30 S PKI ini, angkatan bersenjata – dengan didukung mahasiswa-semakin berani untuk menentang dan mempersoalkan keabsahan Sukarno sebagai presiden 5.Puncak dari kejatuhan Sukarno adalah dengan terbitnya Tiga Tuntutan Rakyat/Tritura (12 Maret 1966), yang berisi 3 hal penting yaitu turunkan harga, bubarkan kabinet dan bubarkan PKI. Dengan hadirnya Tritura, relatif kekuasaan Sukarno di politik telah berakhir. Maka pda tahun 1068, Mayor Jenderal Suharto, terpilih sebagai presiden yang terbaru, yang sekaligus menandai lahirnya era Orde Baru. Sebuah era yang nantinya akan dikenal sebagai era yang mementingkan stabilitas politik dan harmoni sosial. Sebuah kebijkan yang mementingkan stabilitas politik dalam upaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang mantap. Era stabilitas politik dalam upaya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tersebut, berimplikasi dengan pemasungan kebebasan warga untuk berpendapat, berpolitik dsb. Dalam era ini parlemen menjadi kekuatan yang tersubordinasi oleh presiden.Keberadaan parlemen-termasuk juga pemilu- hanya merupakan sekedar legitimasi untuk mendapat pengakuan dunia internasinal, bahwa praktek demokrasi di Indonesia telah terjadi.Pada era orde baru ini, sulit membayangkan terdapat anggota DPR yang berani untuk mengritisi kebijakan presiden dan eksekutif. Seandainya terdapat anggota DPR yang “vocal” terhadap kebijakan pemerintah, maka segera ia akan direcall oleh fraksi dan partainya. Maka kemudian dalam era ini, kita mengenal lembaga parlemen hanya sekedar sebagai rubber stamp (tukang stempel) kebijakan pemerintah, yang artinya parlemen hanya mengikuti dan mendukung semua kebijakan dari pemerintah. Berbeda dengan
era orde baru, pada era reformasi- khususnya pada masa pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- kekuasaan parlemen menjadi lebih kuat. Bila dalam era orde baru kita menjumpai praktef eksecutive heavy , maka pada pemerintahan Gus Dur praktek politik mengarah pada legislative heavy, yang artinya kekuasaan politik lebih di tangan DPR dibandingkan dengan pemerintah. Begitu kuatnya kekuasaan parlemen, maka tidak menghernakan bila Megawati sebagai ketua Umum PDIP, sebagai partai pemenang pemilu 1999, tidak bisa terpilih sebagai presiden.Sebaliknya Gus Dur yang dicalonkan oleh PKB, partai menengah yang hanya memiliki 52 5
Beberapa bulan ataupun sekitar setahun sebelum peristiwa G 30 S/PKI, angkatan bersenjata (khususnya Angkatan Darat) mulai tidak simpatik terhadap Sukarno, karene kedekatan Sukarno terhadap PKI , termasuk juga Sukarno dianggap menyetujuhi berdirinya angkatan perang ke lima-sebuah lembaga yang didirikan oleh PKI.
61
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
kursi di DPR, dapat menduduki jabatan presiden.
Gus Dur yang didukung oleh poros tengah-partai
menengah di DPR seperti, PKB, PAN, PPP, PK, PBB- dapat mengatasi hegemoni dua kekuatan besar di parlemen yaitu PDIP dan golkar dalam pemilihan presiden 1999 6. Gus Dur yang mendapat mayoritas dari anggota parlemen untuk menduduki presiden, tidak serta- merta kebijakannya akan didukung oleh parlemen. Sebaliknya, selama menjabat presiden, kebijakan yang diambil oleh Gus Dur selalu dianggap salah. Beberapa kebijakan Gus yang dipertanyakan dan mendapatkan serangan tajam dari DPR diantaranya pembubaran Departemen Penerangan dan Sosial, Pemberhentian Menko Kesra Hamzah Haz, Pencopotan Perindustrian dan Perdagangan Yusuf Kalla dan Menteri Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi 7. Ketegangan yang terus berlarut dan kesalahan yang selalu ditimpahkan kepada presiden , membuat Gus Dur gusar dengan melontarkan kata-kata “ DPR seperti taman kanak-kanak”. Hubungan Pemerintahan Gus Dur dengan DPR adalah cermin dari pemerintahan terbelah, sebuah keadaan yang terus diselimuti oleh ketegangan politik. Dalam era ini , hubungan tidak lagi sebagai percerminan dari sistem konstitusi yang sehat, yang terbangun mekanisme check and balances secara sehat, tetapi pada hubungan yang saling menyerang yang bersifat zero sum gum. Pemberian memorandum sebagai upaya memberhentikan Gus Dur sebagai presiden terus dilakukan sebaliknya, pihak presiden juga mengeluarkan maklumat (dekrit) presiden untuk membubarkan DPR/MPR. Puncak ketegangan tersebut adalah pemberhentian Gus Dur dari presiden oleh MPR 8. Sampai hari ini, belum ditemukan kesalahan penting yang dianggap melanggar konstitusi yang dilakukan oleh Gus Dur. Pemberhentian Gus Dur lebih terkait dengan persoalan pertarungan politik saja dan secara kebetulan meminjam pendapat Kacung Marijan- bahwa secara fakta yang mendukung secara sungguh pemerintahan Gus Dur hanyalah PKB yang hanya memiliki 52 kursi 9. Selain itu, pendukung utama dari
6
Pemilu 1999, memunculkan PDIP dan Partai Golkar sebagai pemenang (2 besar).Dua partai ini berambisi dan bersaing mendudukkan kadernya Habibie (golkar) dan Megawati (PDIP) sebagai presiden.Persaingan kedua partai ini sangat tajam, sehingga bisa mengganggu ketenangan politik pada waktu ini. Pada SU MPR 1999, Laporan Pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden Presiden 1998-1999 tidak diterima oleh MPR, karena itu kemudian Habibie menolak untuk dicalonkan presiden di SU MPR 1999. Sebagian besar pendukung Habibie di MPR, kemudian mendukung Gus Dur sebagai presiden daripada mendukung Megawati. Gus Dur waktu itu dianggap sebagai tokoh yang dapat mempersatukan semua kekuatan bangsa( termasuk diantaranya pendukung Habibie dan PDIP). Gus Dur pun beserta partainya (PKB) yang kemudian paling awal mengajukan dan mendukung Megawati sebagai wakil presiden. 7 Aisyah Aminy (2004), Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004, Jakarta : Yayasan Pancur Siwah dan PP Wanita Islam 8 Maklumat (dekrit) Presiden yang dikeluarkan oleh Gus Dur tidak berlaku karena tidak didukung oleh MPR, sebaliknya pemberhentian Gus Dur dari presiden selain didukung oleh mayoritas anggota MPR, juga didukung oleh TNI 9 Kacung Marijan (2010), Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca -Orde Baru, Jakarta:Kencana Preneda Media Goup 10 UU tersebut menjadi tidak berlaku, karena diganti oleh perppu yang dikeluarkan oleh presiden SBY-menjelang akhir jabatannya sebagai presiden- yang mendukung pilkada langsung, yang dipilih oleh seluruh rakyat . Setelah mendengarakan suara rakyat akhirnya SBY mengeluarkan perppu, walaupun Partai Demokrat,yang dipimpinnya tidak mendukung pilkada langsung dalam sidang Paripurna DPR, 26 September 2014.
62
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Gus Dur di parlemen, hanyalah PDKB, partai yang memilik 5 kursi di DPR.Gus Dur memang berhasil meraih simpati dari kaum agamawan, tokoh intelektual, LSM dan aktor demokrasi lainnya, tetapi hubungannya yang buruk dengan parlemen, membuat pemerintahannya tidak efektif dan dapat dijatuhkan hanya dalam masa sekitar dua tahun. Pemerintahan Terbelah dan Stabilitas Politik Yang Terganggu Konflik antara Pemerintahan Jokowi (KIH) dengan KMP- menguasai mayoritas parlemen, dikuatirkan akan menggangu efektifitas politik . Perbedaan yang terus-menerus ,yang menjurus pada ketegangan politik dikuatirkan akan membuat pemerintah tidak dapat menjalankan program ataupun kebijakan yang pro poor maupun kepentingan publik. Perbedaan nyata antara KIH –pendukung pemerintahan Jokowi-dengan KMP yang sangat terasa mengganggu kepentingan publik adalah disahkannya pemilihan kepala daerah melalui DPRDdalam sidang paripurna oleh Anggota DPR RI pada Jum’at dini hari (26 September 2014). Partai politik (parpol) yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, yang terdiri dari Partai Golkar, Gerindra, PAN, PKS,PPP dan PBB, (plus Partai Demokrat) sebagai akibat dari kekalahan di pemilihan presiden (pilpres) 2014, dengan
diwujudkan dengan
mengubah pilkada secara langsung menjadi pilkada
melalui DPRD. Apapun keadaannya, bila konflik berkepanjangan antara pemerintah dengan parlemen terjadi, maka yang dirugikan adalah rakyat. Kepentingan berkepanjangan yang mengarah pada situasi dimana pemerintahan menjadi terbelah, akan menguras energi elemen bangsa ini dengan hanya untuk memfokuskan pada persoalan-persoalan politik belaka, sehingga meluapakan pada perhatiannya yang sebenarnya untuk memperhatikan persoalan rakyat. Pemerintahan terbelah akan berujung pada distabilitas politik (stabilitas politik yang terganggu), dan bila ini terjadi maka memudakan kepentingan asing (barat) untuk melakukan intervensi terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia. Ditengah era pasar bebas dan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, maka stabilitas politik menjadi hal penting untuk diwujudkan, agar pemerintah dapat menjalan kebijakan ekonomi yang produktif bagi kepentingan rakyat. Berbeda dengan stabilitas politik pada era orde baru, yang penuh dengan pelanggaran HAM, maka stabilitas politik pada era pemerintahan Jokowi adalah sebuah kondisi yang stabil , tdiak penuh konflik dan ramah terhadap kepentingan rakyat. Sebuah stabilitas politik yang dijalankan dan dipimpin oleh Jokowi, seorang prseiden pilihan rakyat dan kebijakannyapun selalu berpihak dan berorientasi pada kepentingan rakyat. 63
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Kita butuh stabilitas politik untuk mendukung Jokowi, presiden yang dikenal sederhana dan jujur ini, sebagai sosok pemersatu, sebagai solidarity maker bagi kebesaran republik ini.
Pasca
Sukarno, kita sulit untuk menemukan figur yang berfungsi sebagai solidarity maker, GusDur yang diharapkan dan mempunyai potensi untuk mempersatukan semua kekuatan bangsa ini, ternyata mengalami kegagalan. Untuk itu, itu kita sangat apresiasi terhadap keinginan Koalisi Merah Putuh untuk berada di luar pemerintah sebagai kelompok penyeimbang, yang kemudian dapat berfunsi untuk melakukan check and balances terhadap pemerintah. Tetapi walaupun begitu, kita sangat butuh, dukungan dari koalisi ini untuk mendukung kebijakan yang dimunculkan
pemerintahyang legitimate dimata rakyat dan demi
kepentingan rakyat. Penutup Pemerintahan terbelah (divided Governance) merupakan sebuah keadaan dimana terjadi polarisasi tajam antara cabang kekuasaan eksekutif dengan legislatif (parlemen). Sebuah situasi dimana eksekutif diduduki oleh kekuatan/ kubu politik tertentu yang selalu vis a vis (berhadapan) dengan legislatif yang secara mayoritas dikuasai oleh kekuatan politik yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, Pemerintahan terbelah terjadi, sebagai efek dari kontestasi politik pada pemilihan presiden (pilpres) 2014 yang dimenangkan oleh Jokowi-Jusuf Kalla (JK), pasangan yang didukung oleh KIH. Sebagai konsekuensi dari kekalahan dalam pilpres tersebut, maka kemudian KMP memproklamirkan diri untuk berada di luar pemerintahan yang akan memposisikan dirinya untuk melalukan politik check and balances dalam konfigurasi politik di Indonesia. Dalam kondisi seperti ini yang dirugikan adalah rakyat. Kepentingan berkepanjangan yang mengarah pada situasi dimana pemerintahan menjadi terbelah, akan menguras energi elemen bangsa ini dengan hanya untuk memfokuskan pada persoalan-persoalan politik belaka, sehingga melupakan perhatiannya yang sebenarnya untuk memperhatikan persoalan rakyat. Pemerintahan terbelah akan berujung pada instabilitas politik (stabilitas politik yang terganggu), dan bila ini terjadi maka memudakan kepentingan asing (barat) untuk melakukan intervensi terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia. Daftar Pustaka Aminy, Aisyah. 2004. Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004, Jakarta : Yayasan Pancur Siwah dan PP Wanita Islam
64
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Crough, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan Feith, Herbert & Lance Castles (edit.). 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta : LPES Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca -Orde Baru, Jakarta: Kencana Preneda Media Goup
65