Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta Ari Astuti Prodi PPKn FKIP Universitas Ahmad Dahlan Jl. Pramuka No. 42 Sidikan Umbulharjo Yogyakarta
ABSTRAK Pembinaan mental narapidana yang dilakukan oleh LP Wirogunan Yogyakarta dirasakan sangat penting karena mental adalah unsur dasar dalam membentuk jiwa dan kepribadian manusia yang mempunyai fungsi dalam mendorong setiap sikap dan perbuatan manusia dalam berperilaku di lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui realitas pelaksanaan pembinaan mental narapidana di LP Wirogunan Yogyakarta, untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan mental dengan berdasarkan pada sistem pemasyarakatan, mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pembinaan mental narapidana dan mengetahui upaya mengatasi hambatan tersebut. Jenis penelitian ini adalah kualitatif, subjek penelitian ini adalah Kepala bagian Bimbingan Pemasyarakatan dan Perawatan (BIMASWAT), petugas pembina agama Islam, Petugas pembina agama Kristen dan Katolik dan petugas pelatih kepramukaan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan metode wawancara (interview) dan studi pustaka. Analisis data dilakukan dengan deskriptif kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan pembinaan mental narapidana sesuai dengan ketentuan prosedur yang terdapat dalam PP No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan serta Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dilaksanakan melalui pendidikan keagamaan yang meliputi pendidikan agama Islam, pendidikan agama Kristen dan Katolik, serta latihan Kepramukaan. Adapun hambatan yang dihadapi oleh petugas LP Wirogunan Yogyakarta dalam pelaksanaan pembinaan mental narapidana adalah kurangnya tenaga petugas pembinaan, kertebatasan dana dan transportasi untuk penceramah, serta ketidakaktifan narapidana dalam mengikuti kegiatan pembinaan mental. Upaya yang dilakukan oleh LP Wirogunan Yogyakarta untuk mengatasi hambatan adalah melalui cara menjalin kerjasama dengan berbagai instansi, baik instansi pemerintah maupun instansi swasta lainnya. Kata Kunci : narapidana, lembaga pemasyarakatan, pembinaan mental, pendidikan agama, pramuka
PENDAHULUAN Dalam memelihara ketertiban dan ketenteraman masyarakat, negara telah melakukan berbagai upaya, antara lain dengan membentuk aparat penegak hukum yang berfungsi mengayomi masyarakat dari perbuatan pidana. Bagi mereka yang telanjur melakukan kejahatan dan telah
diberikan pidana oleh negara, perlu juga diadakan pengayoman berupa pembinaan, yang bertujuan agar mereka sadar dan kembali ke jalan yang benar. Seperti yang dikemukakan oleh Beysens, yang dikutip dalam bukunya Soedjono (1974:7-8) bahwa: “Telah menjadi kodrat alam, negara itu bertujuan dan berkewajiban mem-
Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011 | 29
Ari Astuti
pertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara.” Alasan negara melaksanakan pemberian hukuman itu tergantung atau terpengaruh dengan filsafat kehidupan yang dianut oleh negara tersebut, meskipun dengan demikian pada dasarnya pemberian hukuman tersebut antara lain karena alasan: 1. Hukuman dilakukan dengan dasar harus memajukan dan mendukung perbuatan atau mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. 2. Hukuman harus dapat mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang harus dapat mencegah terjadinya perbuatanperbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan, 3. Negara harus mempertahankan tata tertib ke masyarakat yang ada. 4. Negara harus mengembalikan ketentraman dalam masyarakat apabila ketentraman itu terganggu.” Pelaksanaan hukuman pidana di Indonesia lebih menitikberatkan pada usaha pembinaan terhadap pelaku kejahatan, bukan pembalasan dendam. Hal ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pidana pada hakekatnya bertujuan mendidik kembali para narapidana agar kelak mereka dapat menjadi seorang warga masyarakat yang berguna, yaitu tidak melanggar hukum lagi, dan menjadi peserta yang aktif dalam pembangunan. Pemasyarakatan merupakan suatu proses, yaitu proses pembinaan yang dilakukan secara dinamis, progresif, setingkat demi setingkat sesuai dengan perkembangan kemajuan narapidana dan lamanya pidana yang dijalani. Pemasyarakatan dimaksudkan untuk mengembalikan narapi-
dana dari keadaan negatif ke arah positif. Maksud dari keadaan negatif narapidana adalah keadaan narapidana pada waktu masuk LP yang hubungannya tidak harmonis dengan masyarakat. Kemudian narapidana di dalam LP mendapat pembinaan yang tidak lepas dari dan bersama unsur lain dalam masyarakat sekelilingnya, sehingga merupakan satu keutuhan dan keserasian hidup dan kehidupan. Narapidana bukan hanya sebagai obyek, melainkan sebagai subyek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan perbuatan yang melawan hukum, baik unsur melawan hukum yang obyektif yaitu melawan hukum yang tertuang dalam rumusan delik, maupun unsur melawan hukum yang subyektif yaitu melawan hukum terhadap satu individu, sehingga dapat dikenakan pidana. Hal tersebut tidak harus diberantas, tetapi yang harus ditiadakan ialah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana tersebut berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban lain yang dapat dikenakan pidana. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 Ayat (3), Lembaga Pemasyarakatan (LP) merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Upaya-upaya penyadaran tersebut dapat dilakukan melalui pembinaan narapidana yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik/ material. Disamping itu ada juga pemenuhan kebutuhan yang bersifat non fisik/ imaterial (spiritual). Pemenuhan kebutuhan yang bersifat non fisik yang dilakukan baik oleh petugas LP itu sendiri maupun yang dilakukan atas kerjasama dengan
30 | Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011
Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta
pihak-pihak yang peduli terhadap pembinaan narapidana. Melalui pembinaan mental, diharapkan selepas menjalani masa hukuman, narapidana memiliki mental yang baik sehingga timbul kesadaran untuk melakukan kebaikan. Kesadaran untuk berbuat baik tersebutlah diharapkan selepas menjalani masa hukuman, narapidana dapat berbaur dalam masyarakat baik di dalam lingkungan keluarga, lingkungan kerja, maupun lingkungan masyarakat dengan mudah Pembinaan mental mempunyai pengaruh tidak hanya yang dikenai pidana tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pada umumnya. Yang mendapat pengaruh langsung dari pembinaan mental adalah orang yang dikenai pidana tersebut. Pengaruh secara langsung ini baru akan dirasakan sungguh-sungguh jika sudah dilaksanakan secara efektif, sehingga melalui pelaksanaan pembinaan mental dengan lancar dan mantap, maka akan diperoleh suatu pengaruh, yang dapat menjadi suatu penunjang akan tercapainya pemulihan kesatuan hubungan kehidupan. LP merupakan tempat hidup para narapidana dan memiliki fungsi sebagai tempat pembinaan narapidana. LP Wirogunan Yogyakarta merupakan salah satu LP yang melaksanakan program pembinaan mental menurut sistem pemasyarakatan. Pembinaan mental yang dilaksanakan dalam sistem pemasyarakatan berpengaruh besar terhadap narapidana yang menjalani masa pidananya di LP Wirogunan Yogyakarta. Dengan demikian proses pemasyarakatan yang berjalan bertahap dapat menyebabkan ada gerak perubahan menuju kepada kematangan yang lebih mantap, artinya dengan dilaksanakannya pembinaan,
maka akan tercapai pemulihan hubungan kehidupan dan penghidupan antara narapidana dan pribadinya, keluarganya dan dengan masyarakat. Namun dalam kenyataannya LP belum berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan timbul suatu anggapan bahwa LP sebagai Sekolah Tinggi Kejahatan, artinya setelah dibebaskan penjahat lebih pintar dalam melakukan kejahatan (http://direktorat jenderal pemasyarakatan.com/html.). Hal ini menunjukkan bahwa LP sebagai Balai Pembinaan masih harus ditingkatkan lagi sesuai dengan tujuannya agar narapidana menjadi manusia yang baik dan berguna dalam masyarakat. Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana pelaksanaan pembinaan mental narapidana di LP Wirogunan Yogyakarta? 2) Apa kendala/ hambatan yang dihadapi LP Wirogunan Yogyakarta dalam proses pembinaan mental? 3) Bagaimana upaya yang dilakukan LP Wirogunan Yogyakarta untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut?
KAJIAN PUSTAKA 1. Pembinaan Mental Narapidana
Terdapat dua istilah yang membutuhkan penjelasan, yaitu pembinaan mental dan narapidana. Daradjat (1982: 11) berpendapat bahwa pembinaan mental adalah usaha atau kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna pada batin seseorang. Adapun tujuannya adalah untuk memperoleh “kesehatan mental “Kesehatan mental adalah “Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang
Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011 | 31
Ari Astuti
terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya”. Berkaitan dengan istilah narapidana, R.A. Koesnoen (1966:12), menyatakan bahwa menurut bahasa, narapidana berasal dari dua kata nara dan pidana, “nara” adalah bahasa sansekerta yang berarti “kaum”, maksudnya adalah orang-orang. Sedangkan “pidana” berasal dari bahasa Belanda “Straf”. R. Achmad S. Soemadipraja dan Romli Atmasasmita (1979: 18) mengutip tulisan Ac. Sanoesi HAS yang menerangkan tentang pengertian istilah narapidana sebagai berikut: “istilah narapidana adalah sebagai pengganti istilah orang hukuman atau hukuman dan dipopulerkan oleh Koesnoen. Istilah hukuman yuridis kurang tepat, sebab kata hukuman dapat dikenakan terhadap terhukum sipil, dapat juga terhukum kriminil, lebih baik diganti dengan “pidana” yang tegas menyatakan hukuman kriminil. Istilah KUH Pidana juga lazim dan lebih baik daripada KUH Hukuman. Maka juga istilah “orang hukuman” diganti dengan “narapidana”, kecuali yuridis juga psikologis lebih sesuai dan dikenakan terhadap yang berkepentingan. Juga lazim adanya istilah nara-karya (kaum pekerja) dan nara-pra (kaum pejabat pemerintah)”. Gunakarya (1988: 8), berpendapat bahwa narapidana adalah “Orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan kemudian oleh pengadilan dijatuhi hukuman dan pidana. Selanjutnya dalam UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 Ayat (6) dijelaskan bahwa Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pembinaan mental narapidana adalah kegiatan pembinaan terhadap pribadi dan
budi pekerti narapidana, untuk meningkatkan kualitas ketakwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana yang dilakukan didalam LP. Adapun kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan meliputi pendidikan kerohanian, kepribadian dan budi pekerti yang diarahkan untuk memulihkan sikap mental ataupun menumbuhkan sikap mental baru yang positif sesuai dengan kepribadian dan budi pekerti yang luhur. Menurut C.I. Harsono (1995:48) tujuan pembinaan mental adalah kesadaran (consciousness). Untuk memperoleh kesadaran dalam diri seseorang, maka seseorang harus mengenal diri sendiri. Diri sendiri yang akan mampu mengubah seseorang untuk menjadi lebih baik, lebih maju, lebih positif. Tanpa mengenal diri sendiri, terlalu sulit bahkan tidak mungkin seseorang akan mengubah diri sendiri. Bagaimana akan mengubah sesuatu kalau tidak tahu persis apa sesuatu itu. Uraian di atas menjelaskan bahwa pembinaan mental mengharapkan adanya kesadaran diri sendiri yang tumbuh dan membangun diri sendiri tersebut, untuk dapat mengenali diri sendiri tersebut dengan harapan apabila proses pengenalan diri telah berjalan, sedikit demi sedikit akan menghasilkan suatu kesadaran diri yang lebih baik, lebih maju dan menumbuhkan pola berfikir yang positif terhadap dirinya sendiri. 2. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia.
32 | Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011
Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta
LP merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni LP bisa narapidana (napi) atau tahanan. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 1 ayat 3 didefinisikan, LP adalah “Tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana” Istilah “Pemasyarakatan” yang dimaksud Sahardjo (1963:21) dalam gagasan yang dikemukakannya ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum yang dianugerahkan oleh Universitas Indonesia pada tanggal 5 Juli 1963, disebutkan sebagai berikut: Disamping menimbulkan rasa derita kepada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing narapidana agar bertobat, mendidik agar ia menjadi anggota masyarakat yang berguna. Dengan singkat tujuan pidana penjara adalah Pemasyarakatan.
Dalam sistem kepenjaraan tujuan pembinaannya ialah agar narapidana setelah bebas nanti tidak melanggar hukum lagi. Sedangkan dalam Sistem Pemasyarakatan hal itu bukanlah tujuan utama, tetapi barulah tujuan minimalnya. Pemasyarakatan mempunyai tujuan yang daripada itu, yaitu tentang kesadaran bahwa manusia tidak hidup sendirian. Ia hidup dalam masyarakat
dan ia pun menjadi anggotanya. Narapidana walaupun ia sementara terpisah hidupnya dengan masyarakat tetapi ia akhirnya akan kembali lagi ke masyarakat. 3. Sistem Pemasyarakatan
Sistem pemasyarakatan menurut UU No. 12 Tahun 1995, Pasal 1 Ayat (2) adalah “suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila, artinya dilaksanakan terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan, maksudnya supaya menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi perbuatan pidananya sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”. Dalam sistem pemasyarakatan, pembinaan narapidana dilakukan melalui suatu pendidikan. Sebab dengan pendidikan mereka akan menjadi “dewasa penuh”. Meskipun dalam pelaksanaannya derita masih tetap ada, namun derita hanya bersifat sementara saja selama narapidana dipisahkan dari masyarakat bebas. Hal tersebut kiranya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pemidanaan, faktor penderitaan memang tidak dapat dihilangkan seluruhnya, sebagaimana juga telah dikemukakan oleh Moeljatno (1987:14) yang menyatakan bahwa: Walaupun pidana semata-mata sebagai pembalasan itu harus ditinggalkan, namun sifat pembalasan tidak dapat dihilangkan seluruhnya, hanya saja sifat ini hanya merupakan suatu fase, atau segi yang kecil saja.
Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011 | 33
Ari Astuti
Selain melalui pendidikan, pelaksanaan pembinaan juga dilakukan melalui proses bimbingan. Proses bimbingan ini dimaksudkan untuk 1) memberikan pengaruh positif pada narapidana, 2) sebagai upaya untuk memulihkan hubungan mereka dengan masyarakat dan akhirnya bebas diterima kembali lagi oleh masyarakat; dan 3) agar yang bersangkutan tidak merasa canggung lagi dan terwujudlah suatu kesatuan yang utuh dengan masyarakat. Dalam sistem pemasyarakatan, pembinaan tidak lagi diutamakan dalam lingkungan tembok tetapi narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat, ia tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Bahroedin Soerjobroto (Direktorat Pemasyarakatan, 1967:38) menyatakan tentang tujuan pemasyarakatan sebagai berikut: Kesemuanya menuju arah yang satu yakni integritas hidup, kehidupan dan penghidupan yang lebih sempurna terjalin antara individu dengan pribadinya, antara individu dengan individu lainnya, antara individu dengan yang menciptakan segalanya yakni Tuhan Yang Maha Esa, seru sekalian alam.
Pusat pembinaan narapidana yang sesungguhnya adalah masyarakat dan hasilnya akan tergantung pada kemampuan dan manfaat metode pembinaan dari masyarakat itu sendiri. Begitu pula pembinaan narapidana, berhasil tidaknya pembinaan itu ditentukan oleh posisi masyarakat dalam pelaksanaan pembinaan. Sistem pemasyarakatan yang menjadi dasar pembinaan narapidana bertujuan untuk mengembalikan narapidana ke masyarakat. Hal ini akan berhasil jika ada peran serta yang terpadu antara petugas pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat.
Tentang pola pembinaan narapidana dalam pemasyarakatan, Saroso (1977:62) berpendapat bahwa: Pembinaan terhadap narapidana tidak jauh berbeda dengan pola pendidikan yang berlaku dalam masyarakat. Termasuk tujuan yang hendak dicapai adalah sesuai dengan tujuan pembangunan nasional seperti yang tetuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang antara lain berbunyi: “mencerdaskan kehidupan bangsa“. Sehubungan dengan tujuan tersebut maka dalam Prinsip pemasyarakatan dikenal juga butir yang berbunyi: “selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya”.
Pengertian ini dimaksudkan bahwa narapidana hanya terpisah secara geografi dan jasmani dari masyarakat, akan tetapi tidak diasingkan dari hal pendidikan dan kebudayaannya, sehingga perlu diperbanyak pemberian materi Pendidikan Sosial dan Kebudayaan, hal tersebut diharapkan sedikit demi sedikit memperkokoh sikap mental narapidana untuk bekal mereka ke jalan yang benar dan wajar. Untuk menunjang keberhasilan pembinaan tersebut perlu adanya peran serta yang terpadu antara narapidana, petugas dan masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh R.P. Bahroedin Soerjobroto (1969:18), dalam tulisannya yang berbunyi;
34 | Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011
Sistem Pemasyarakatan bukan saja mengajak terpidana ke arah yang baik dalam rangka kembali kefitrahan eksistensinya akan tetapi mengajak institut-institut kemasyarakatan yang berbeda eksistensinya hidup, kehidupan dan penghidupan dimana narapidana itu berada, dan tidak lepas
Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta
dari tanggung jawabnya juga atas kegagalan tersebut tadi untuk secara aktif memulihkan kembali kesatuan hubungan tersebut.
saling terkait dalam rangka menghasilkan kebijaksanaan terhadap pembinaan narapidana.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peran serta dari masyarakat, baik biasa, instansi pemerintah maupun swasta sangat diperlukan dalam rangka pembinaan narapidana.
4. Pola-pola Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, LP diharapkan dapat membuat program pembinaan mental narapidana sebagai suatu wahana/tempat terjadinya pendekatan antara narapidana dengan sesama narapidana, antara narapidana dengan petugas pemasyarakatan dan antara narapidana dengan masyarakat. Pendekatan tersebut sebagai persiapan dalam rangka mengembalikan narapidana ke lingkungan masyarakat. Disamping itu, untuk menunjang pembinaan narapidana, maka pengadilan yang dalam hal ini sebagai awal terjadinya penjatuhan pidana, berkewajiban pula untuk mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Karena itu, ketua pengadilan harus menunjuk hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu dalam melakukan pengawasan dan pengamatan tersebut. Berdasarkan KUHAP BAB XX bahwa pengamatan dan pengawasan adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengadilan sebagai upaya untuk memperoleh kepastian hukum bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya, selain itu pula sebagai bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan. Dengan demikian akan timbul hubungan horizontal yang
Sistem Pemasyarakatan di negara kita dalam kenyataannya belum dapat dikatakan sebagai suatu Sistem Pemasyarakatan yang sesungguhnya. Gunakaya (1988: 130-131) berpendapat apabila kita membahas tentang Sistem Pemasyarakatan yang sesungguhnya harus memiliki beberapa unsur, yaitu: 1) harus adanya sarana peraturan perundang-undangan dan praturan pelaksanaannya, yang merupakan landasan struktural yang menunjang atau melaksanakan dasar bagi ketentuan-ketentuan operasional suatu konsepsi, dalam hal ini konsepsi pemasyarakatan; 2) harus tersedia sarana personil yang mencukupi dan memadai bagi kebutuhan pelaksanaan tugas pembinaan narapidana; 3) sarana administrasi keuangan, sebagai sarana materiil untuk keperluan operasional; dan 4) sarana fisik ynag sesuai dengan kebutuhan bagi pelaksanaan pembinaan narapidana dalam proses pemasyarakatan. Dalam rangka usaha ke arah diperolehnya keseragaman dalam tindakan pembinaan bagi narapidana maka berdasarkan hasil-hasil Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga pada tahun 1976, di beberapa wilayah Pemasyarakatan telah disusun pola-pola pembinaan narapidana dalam LP seperti dikemukakan oleh R. Achmad S. Soemadipraja dan Romli Atmasasmita (1979:64-65) sebagai berikut: a. Pola Penerimaan/Pendaftaran Warga Baru (Perihal Admisi dan Orien-
Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011 | 35
Ari Astuti
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
j.
j.
tasi, dan Perihal Klasifikasi/Diversifikasi) Pola Perawatan Narapidana (Perihal Pakaian, Makanan, Kesehatan dan Dinas Medis, dan Pemberitahuan Sakit dan Kematian Narapidana) Pola Tata Tertib Disiplin Narapidana (Perihal Tata Tertib, dan Prosedur Mengajukan Keluhan/ Pengadaan Narapidana) Pola Bimbingan/pendidikan Agama Bagi Narapidana (Perihal Umum, dan Program Keagamaan) Pola Pendidikan dan Rekreasi Bagi Narapidana (Perihal Pendidikan, Rekreasi, Pendidikan Kepramukaan, Perpustakaan) Pola Pekerjaan Narapidana (Perihal Pekerjaan Narapidana, Jenis Pekerjaan Narapidana, Syarat Pemberian Pekerjaan, Hasil-hasil Pekerjaan, dan Pemberian Imbalan Jasa) Pola Pelaksanaan Mekanisme Kerja Dewan Pembina Pemasyarakatan Dalam Instalansi Pelaksanaan (Status dan Susunan Dewan Pembina Pemasyarakatan, Sidang-sidang Dewan Pembina Pemasyarakatan) Pola Tentang Hak-hak Narapidana dan lain-lain (Perihal Hubungan Dengan Pihak Lain, Pelaksanaan Pemberian Remisi, Perihal Pelaksanaan Pemberian Cuti dan sebagainya, Penyelenggaraan Integrasi, dan Pelaksanaan Lepas Bersyarat) Pola Pengangkutan, Pemindahan dan Peminjaman Narapidana (Perihal Pengangkutan Narapidana, Pemindahan Narapidana, Peminjaman Narapidana) Pola Tentang Keamanan
k. Pola Pemeliharaan Sarana Fisik LP Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan Sistem Penjara menjadi Sistem Pemasyarakatan pada tahun 1963, merupakan babak baru terhadap perlakuan manusiawi terhadap para narapidana. 5. Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan
Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan Sistem Pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara. Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LP. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Pembinaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menumbuhkan, mengembangkan, meningkatkan potensi yang ada dalam diri Warga Binaan Pemasyarakatan, maka selayaknya kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus dan terpadu. Adapun kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: a. Tahap Awal
36 | Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011
Pada tahap ini kegiatan-kegiatan yang
Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta
dilakukan adalah Registrasi, Orientasi, Identifikasi dan Seleksi. Pada tahap ini dimulai sejak yang bersangkutan berstatus narapidana sampai dengan 1/3 dari masa pidana. b. Tahap Pelaksanaan Pembinaan
Pada tahap ini dimulai bagi Warga Binaan Pemasyarakatan yang sudah mencapai 1/3 sampai dengan 2/3 lebih masa pidana. Dalam tahap pelaksanan pembinaan ini merupakan pelaksanaan dari rencana dan program yang telah disepakati dalam kegiatan Registrasi, Orientasi, Identifikasi, Seleksi. Dalam tahap pelaksanaan pembinaan ini Warga Binaan Pemasyarakatan dibagi dalam dua kelompok besar kegiatan, antara lain sebagai berikut: Pertama, Kelompok Pertama (I) Dasar. Kelompok ini juga disebut sebagai kelompok dasar karena pada kelompok ini sudah diberikan pembinaan-pembinaan dasar. Yang menjadi anggota kelompok pertama dasar ini adalah Warga Binaan Pemasyarakatan yang sudah menjalani 1/3 samapi dengan 1/2 masa pidana. Dalam kelompok dasar ini diberikan dasar-dasar pembinaan. Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan yang belum berhasil dalam mengikuti pembinaan ini, juga belum bisa mengikuti program pembinaan berikutnya, yaitu pada kelompok ke-dua lanjutan. Semua Warga Binaan Pemasyarakatan yang masuk dalam kelompok ini berkewajiban untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pembinaan yang dilakukan/ dilaksanakan oleh LP. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah dalam bidang keagamaan, kesadaran berbangsa dan bernegara, pendidikan umum, kesegaran jasmani dan kesenian, dan latihan keterampilan. Kedua, Kelompok Kedua (II) Lanju-
tan, kelompok ini merupakan pembinaan lanjutan sesudah kelompok pertama (I) dasar. Anggota kelompok Kedua ini adalah Warga Binaan Pemasyarakatan yang sudah menjalani 1/2 sampai dengan 2/3 masa pidana. Dalam kelompok kedua lanjutan ini dipersiapkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan berikutnya yaitu kegiatan Reintegrasi. Semua Warga Binaan Pemasyarakatan yang masuk dalam kelompok ini berkewajiban untuk mengikuti semua kegiatan-kegiatan pembinaan yang dilakukan/ diadakan oleh LP. Kegiatan dalam kelompok kedua lanjutan ini hampir sama dengan kegiatan kelompok pertama dasar, hanya dibedakan dengan tingkatan yang lebih dan merupakan kelanjutan dari kelompok kegiatan sebelumnya. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah dalam bidang keagamaan, kesadaran berbangsa dan bernegara, pendidikan umum, kesegaran jasmani dan kesenian, dan latihan keterampilan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi deskriptif kualitatif dengan Subjek penelitian ini adalah petugas LP yang berperan aktif di bidang pembinaan mental yaitu, kepala bimbingan kemasyarakatan dan perawatan, petugas pembina agama Islam, pembina agama Kristen/Katolik dan pembina Latihan Kepramukaan. Data diperoleh melalui metode pengamatan langsung (observasi), wawancara untuk mengungkap informasi tentang kegiatan pembinaan mental di LP Wirogunan Yogyakarta, dan studi kepustakaan. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik analisis data deskriptif kualitatif, secara terinci sistematis dan terus
Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011 | 37
Ari Astuti
menerus yang meliputi langkah-langkah reduksi data, klasifikasi data, penafsiran data, display data, dan menarik kesimpulan. Menurut Moleong (2006:11) analisis data deskriptif kualitatif dilakukan dengan menggambarkan dan melukiskan secara sistematis fakta dan karakteristik yang didapat dari hasil penelitian mengenai halhal yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis, sehingga data yang terkumpul akan digambarkan dalam bentuk penguraian utuh dari data yang diteliti, sehingga pada akhirnya dapat menghantarkan pada suatu kesimpulan (Moleong, 2006:11).
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Pembinaan Mental Narapidana di LP Wirogunan Yogyakarta a. Metode Pembinaan Mental yang Dilaksanakan
Pertama, Bimbingan perorangan adalah suatu metode yang dilakukan secara perorangan dengan mengadakan kontrak langsung antara narapidana dengan petugas. Di LP Wirogunan Yogyakarta metode semacam ini dilakukan dengan melakukan konseling secara pribadi dengan terhadap narapidana. Pelaksanaannya dilakukan sejak pertama kali narapidana menjalani masa administrasi dan orientasi dengan sasaran untuk mendapatkan data tentang kasus yang dilakukan, keadaan lingkungan masyarakat dan keluarganya, keterampilan yang milik dan lain sebagainya yang dianggap perlu. Data tersebut sangat diperlukan untuk dijadikan bahan pertimbangan anggota Dewan Bimbingan Pemasyarakatan dan Perawatan (BIMMASWAT) dalam sidang tahap awalnya untuk
kemudian menentukan penempatan yang tepat dalam proses masa pembinaannya. Setelah narapidana menempati tempat pekerjaannya masing-masing sesuai dengan keputusan sidang Dewan Bimbingan Pemasyarakatan dan Perawatan (BIMMASWAT) dalam sidang tahap awalnya, bimbingan perorangan ini tetap berlangsung dan menjadi tanggung jawab wali narapidana masing-masing. Dengan metode semacam ini, narapidana akan merasakan bahwa walaupun mereka terpisah dari sanak saudara dan masyarakatnya namun sedikit banyaknya ia tidak terasing sama sekali, karena masih ada walinya yang senantiasa memberikan bimbingan dan pendekatan serta pengarahan. Disamping itu wali dapat menerima dan menampung segala keluhan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh narapidana tersebut. Kedua, Bimbingan dan Penyuluhan Berkelompok adalah metode pembinaan yang dilakukan secara berkelompok terhadap narapidana, sekaligus merupakan sarana integrasi antara sesame narapidana dan antara narapidana dengan petugas yang meberika bimbingan. Di LP Wirogunan Yogyakarta semacam ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a) Memberikan ceramah-ceramah umum tentang kesehatan, bahaya narkotika, tentang bahaya pergaulan bebas dan lain sebagainya yang dianggap perlu yang dilaksanakan sekali dalam seminggu dengan narasumber dari berbagai instansi-instansi antara lain: Dinas Sosial, Departemen Kesehatan, dan lain-lain. b) Ceramah agama Islam dan khutbah Jumat bersama dengan mendatangkan penceramah dari Departemen Agama,
38 | Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011
Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta
tokoh agama setempat, Pondok Pesantren ataupun Majelis Ulama Indonesia. c) Acara-acara kebaktian dengan mendatangkan pendeta dari Gereja-gereja yang ada di Wilayah Yogyakarta atau sesuai dengan tempat dimana narapidana melaksanakan kebaktiannya. d) Melalui kegiatan olah raga bersama, dengan sasaran utama menumbuhkan dan memupuk sikap mental yang sportif. e) Dengan bimbingan oleh petugas yang secara langsung mengawasi pelaksanaan pekerjaan mereka sehari-hari. f) Dengan menyelenggarakan Keluarga Sadar Hukum kepada narapidana, mengadakan asimilasi dan memberikan cuti mengunjungi keluarga sehingga narapidana dapat merasakan bahwa pidana yang dijatuhkan tidak berarti mutlak terpisah dari lingkungan keluarga. Kegiatan ini bekerja sama dengan instansi yang terkait, antara lain: Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan melaksanakan kegiatan pengawasan dan pengamanan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan tugas dari hakim pengawas dan pengamanat yang nanti dapat bekerja sama dengan pihak LP untuk menentukan dan memberikan masukan tentang cara pembinaan narapidana tertentu. b. Pelaksanaan Proses Mental Narapidana
Pembinaan
Pembinaan mental narapidana di LP Wirogunan Yogyakarta dilaksanakan dengan beberapa cara: 1) Pendidikan Agama Islam Penyelenggaraan pendidikan agama Islam bagi narapidana yang beragama
Islam berpedoman pada Reglement Penjara Bab IX pasal 66 ayat (1) dan (2). Narapidana yang beragama Islam di LP Wirogunan Yogyakarta, diberikan pembinaan/ bimbingan rohani Islam sebagai berikut: a) Setiap hari dilaksanakan sholat Dhuhur berjamaah yang dilangsungkan dengan ceramah umum dengan penceramah dari petugas LP Wirogunan Yogyakarta atau dengan cara mendatangkan penceramah dari luar, seperti tokoh masyarakat setempat sekitar LP, Departemen Agama, Pondok Pesantren. b) Setiap hari Jumat dilaksanakan sholat Jumat berjamaah bagi narapidana laki-laki pada khususnya yang kemudian langsung dilanjutkan dengan ceramah keagamaan. c) Dalam memperingati hari-hari besar agama Islam, juga mendatangkan penceramah dari luar yang menitik beratkan pada tema yang menyangkut hari besar tersebut yang kemudian diselingi dengan tanya jawab seputar hal tersebut dengan kemasyarakatan terutama sebagai modal mental bagi narapidana. d) Dengan pembelajaran tentang sholat, membaca Al-Quran, Fiqh dan Tarikh Islam, sehingga narapidana mampu untuk mengambil hikmah dan pembelajaran tersebut. Adapun tenaga pengajarnya didatangkan dari kantor Departemen Agama maupun para petugas LP Wirogunan Yogyakarta. e) Memperbanyak perbendaharaan buku-buku tentang ajaran Agama
Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011 | 39
Ari Astuti
Islam di perpustakaan LP Wirogunan Yogyakarta dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada narapidana yang berminat membacanya dan menginformasikan tentang pentingnya membaca untuk meningkatkan kesadaran diri serta sebagai usaha untuk modal berinteraksi dengan masyarakat setelah keluar dari LP.
3) Latihan Kepramukaan Sebagaimana juga kegiatan kepramukaan ditengah-tengah masyarakat, maka kepada narapidana kegiatan kepramukaan diberikan sebagai salah satu realisasi pembinaan mental. Hanya perbedaannya terletak pada usia, bila ditengah-tengah masyarakat kegiatan ini dilaksanakan sejak usia dini dilaksanakan sejak usia sekolah dasar, maka bagi narapidana khususnya di LP Wirogunan Yogyakarta latihan kepramukaan diikuti oleh orang-orang yang sudah berusia dewasa. Namunmateri dan sasarannya tidak jauh berbeda.
2) Pendidikan Agama Kristen dan Katolik Di LP Wirogunan Yogyakarta terdapat narapidana yang menganut agama Kristen Sebanyak 21 orang dan penganut agama Katolik sebanyak 24 orang dari sejumlah 468 orang narapidana. Pelaksanaan bimbingannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan bimbingan rohahi Islam, yaitu dengan cara: a) Melaksanakan acara kebaktian dari gereja-gereja Yogyakarta yang pelaksanaannya dua kali seminggu, yaitu pada hari minggu dan rabu, dengan berkerjasama dengan pendeta-pendeta dari 18 Gereja yang ada di Yogyakarta. b) Memperingati hari-hari besar agama Kristen seperti hari Natal, Paskah, dan pernah pula diadakan pembaptisan beberapa narapidana di dalam LP Wirogunan Yogyakarta. c) Dengan memperbanyak buku-buku agama Kristen di perpustakaan sehingga diharapkan dengan sering membaca buku-buku rohani akan memperkuat keimanan serta mental narapidana.
Adapun maksud dan tujuan diberikannya latihan kepramukaan adalah antara lain untuk membangkitkan dan memupuk sikap mental disiplin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai kearah itu, maka dalam latihan kepramukaan diberikan mata pelajaran: pengetahuan kepramukaan secara umum, pengetahuan baris-berbaris, pembinaan keterampilan dan kepemimpinan serta mengikuti kegiatan Jambore Nasional tingkat LAPAS. c. Kegiatan Pembinaan Mental Narapidana di LP Wirogunan
Semua Warga Binaan Pemasyarakatan berkewajiban untuk mengikuti semua kegiatan-kegiatan pembinaan yang dilakukan/diadakan oleh LP. Adapun kegiatankegiatan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Agama
40 | Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011
Dalam bidang keagamaan dilakukan dengan cara pembinaan keagamaan Islam, Kristen/ Katolik, Hindu dan budha. Melalui kegiatan ini diharapkan Warga Binaan Pemasyarakatan dapat meningkatkan keteguhan iman-
Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta
nya terutama dalam pelaksanaan kegiatan ibadah. Kegiatan agama ini dilaksanakan guna membangun kembali mental narapidana yang sudah rusak, sehingga dengan adanya kegiatan agama mental para narapidana akan menjadi baik selepas dari LP, sehingga tidak akan mengulagi kesalahan yang sama. 2) Kesadaran berbangsa dan bernegara Program pembinaan ini LP Wirogunan melaksanakan melalui cara latihan kepramukaan dan penyuluhanpenyuluhan umum. Untuk kegiatan ini dilaksanakan guna membagun kesadaran mental narapidana agar selepas dari LP para narapidana dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab 3) Pendidikan umum Pembinaan intelektualitas/ kecerdasan dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Dalam program ini para Warga Binaan diberikan materi pendalaman pengetahuan pada tingkatan kurikulum yang lebih tinggi, seperti pelaksanaan program kejar paket B dan C. Kegiatan ini diberikan agar membangun pola pikir narapidana semakin bagus, sehingga akan terbangun pula mental narapidana yang bagus, maka para narapidana akan mampu berfikir positif dalam setiap melakukan tindakan. 4. Kesegaran jasmani/ kesenian Kegiatan kesegaran jasmani di LP Wirogunan Yogyakarta dilaksanakan
melalui olah raga badminton, volly, catur yang pada acara tertentu diperlombakan melawan masyarakat sekitar LP. Sedangkan untuk kegiatan kesenian dilaksanakannya sebatas dengan seni musik dan paduan suara. Kegiatan ini sangat bermanfaat untuk membangun mental narapidana, karena dengan adanya tubuh yang sehat maka akan terbangun jiwa sehat pula. 5) Latihan keterampilan Program latihan keterampilan dilaksanakan melalui kegiatan kerajinan tangan yang terbuat dari bambu, kulit, pembuatan mebel dan perbengkelan. Kegiatan ini dilaksanakan guna membangkitan semangat narapidana yang mentalnya pernah rusak, sehingga selepas dari LP para narapidana memiliki keterampilan kerja, maka dengan ini mereka tidak akan kembali ke profesi sebagai penjahat dan dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat menjadi warga yang baik dan bertanggung jawab. 2. Hambatan dan usaha yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam Pelaksanaan Pembinaan Mental a. Pendidikan Agama Islam
Untuk kelancaran bimbingan rohani Islam ini ada beberapa faktor yang dapat dikemukakan sebagai faktor yang menghambat pelaksanaannya. Faktor yang pertama adalah tenaga pendidik dan penyuluh serta tenaga pelaksana teknis, sampai saat ini tenaga yang mengkoordinir dan bertanggungjawab langsung secara teknis dan administratif terhadap pelaksanaan bim-
Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011 | 41
Ari Astuti
bingan rohani islam hanya dua orang. Sedangkan menurut data yang ada dari 285 orang narapidana yang beragama islam 240 orang. Dengan demikian maka sulitlah untuk mencapai keberhasilan sebagaimana yang telah diharapkan dari hasil rohani islam ini. Faktor yang kedua adalah datangnya dari narapidana itu sendiri. Hal ini dikarenakan kesadaran individu narapidana untuk mengikuti kegiatan-kegiatan jauh dari apa yang diharapkan, terbukti dari jumlah pesertanya rata-rata yang mengikuti kegiatan ceramah, tanya jawab dan yang mengikuti shalat jumat hanya sekitar 100 sampai dengan 120 orang saja dalam setiap jumatnya dibandingkan dengan jumlah narapidana yang beragama Islam. Faktor yang ketiga adalah kurangnya partisipasi anggota masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan di LP WirogunanYogyakarta. Dilain pihak peraturan dan prosedur yang mengatur hal ini sangat mengikat, dalam manual Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Kehakiman dikatakan, bahwa : “….setiap orang termasuk anggota masyarakat yang bermaksud untuk memberikan bimbingan rohani di LP harus atas izin dari Kepala LP dan biasanya jumlahnya juga dibatasi, dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban’. Untuk mengatasi hambatan tersebut maka Perlu segera diadakan penambahan petugas khusus dibagian penyelenggaraan bimbingan rohani Islam. Kemudian partisipasi masyarakat, lembaga pemerintah dan swasta sangat diharapkan untuk menunjang keberhasilan bimbingan rohani ini. Untuk itu perlu dibina jaringan kerjasama antara pihak LP dengan pihak-
pihak tersebut. Sedangkan untuk mengatasi faktor-faktor kemalasan dari narapidana dalam mengikuti kegiatan-kegiatan perlu diadakan kerjasama secara terpadu antar petugas. Terutama dari pihak tata tertib dalam mengarahkan narapidana untuk mengikuti aktivitas sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. b. Pendidikan Katolik
Agama
Kristen
dan
Dalam pelaksanaan pembinaan/ bimbingan agama Kristen dan Katolik juga mengalami hambatan-hambatan dalam beberapa hal. Faktor yang pertama adalah petugas yang bertanggung jawab langsung baik teknis maupun administrasi terdiri dari 3 orang saja. Sedangkan menurut jadwal, kegiatannya cukup padat yaitu dua kali dalam seminggu yang dilaksanakan pada jam dinas, yaitu jam 09.00 sampai 11.00. Maka kegiatan bimbingan rohani Kristen hanya semata-mata dipercayakan kepada para pendeta petugas yang datang dari luar dan sekadar untuk pengawasan dilakukan oleh petugas bagian tata tertib yang dinas pada saat itu. Dengan demikian petugas pembinaan rohani Kristen dan Katolik tidak memimpin/mengikuti langsung kegiatan pembinaan rohani tersebut. Kemudian fakor yang kedua dating dari individu narapidana itu sendiri, dapat dikatakan bahwa narapidana yang mengikuti kegiatan rohani Kristen dan Katolik hanya sebatas bagi mereka yang berlatar belakang dari keluarga yang patuh atau mereka yang menjadi narapidana dikarenakan keterpaksaan sedangkan yang lainnya tidaklah aktif dalam kegiatan tersebut. Minimal diperlukan dua orang petugas dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang rohani Kristen, yaitu satu orang
42 | Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011
Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta
yang bertugas untuk mengatur teknis dan administrasi pelaksanaan dan satu orang lain sebagai tenaga yang dapat diterjunkan langsung dalam pelaksanaan kegiatan, apalagi pelaksanaannya dilakukan setelah jam dinas biasa dan biasanya jumlah rombongan yang dating memberikan bimbingan rohani Kristen cukup banyak, sehingga memerlukan pengawasan langsung. c. Latihan Kepramukaan
Hambatan dalam pelaksanaannya terutama terletak pada petugas pembinaannya. Walaupun banyak potensi dari tenaga Pembina dari pegawai, namun hanya ada satu tenaga yang bertanggung jawab khusus untuk mengurus penyelenggaraan latihan kepramukaan ini. Hambatan lain yang menghambat terlaksananya kegiatan latihan Kepramukaan adalah dana dan lokasi tempat kegiatan. Karena mengingat Lemabaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta tidak cukup memiliki fasilitas tanah lapang untuk tempat kegiatan kepramukaan ini dilaksanakan. Untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan latihan kepramukaan ini, maka minimal diperlukan tiga orang petugas khusus yang mengurusi, sehingga dengan demikian pelaksanaannya dapat berjalan secara lancar dan tertib. Dengan semakin diperbanyak petugas khusus maka diharapkan kegiatan pelatihan kepramukaan ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan kegiatan yang berdaya guna untuk membangun mental narapidana.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Guna tercapainya tujuan Pemasyarakatan narapidana dan anak didik maka di LP Wirogunan Yogyakarta dilaksanakan pembinaan dengan materi antara lain: program pendidikan, program keterampilan, program keagamaan, program olah raga, program kesehatan, program keamanan dan program integrasi sosial. Metode pembinaan mental yang diterapkan terdiri dari bimbingan perseorangan dengan cara perwalian dan bimbingan secara berkelompok dengan cara mengadakan kegiatan bersama. Proses pembinaan dilaksanakan dengan empat tahap, yaitu 1) Pembinaan awal yang didahului dengan masa registrasi, orientasi, identifikasi, seleksi dan penelitian kemasyarakatan. 2) Pembinaan lanjutan diatas 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya. 3) Pembinaan lanjutan diatas 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya, dan 4) Pembinaan lanjutan bimbingan diatas 2/3 sampai selesai masa pidananya. 2. Tidak ada kurikulum yang secara khusus diarahkan untuk pembinaan mental, tetapi sebatas kurikulum pembinaan secara umum saja, yaitu pendidikan agama, kesadaran berbangsa dan bernegara, pendidikan umum, latihan keterampilan dan kesegaran jasmani. Dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan mental terdapat dua kegiatan yang dianggap sebagai kegiatan pembinaan mental, yaitu: pendidikan agama dan latihan kepramukaan.
Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011 | 43
Ari Astuti
3. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan mental narapidana di LP Wirogunan Yogyakarta yaitu, kurangnya tenaga pendidik dalam membina dan membimbing narapidana, tidak adanya kesadaran dalam diri individu narapidana untuk aktif dalam setiap kegiatan pembinaan yang diadakan oleh LP. Kemudian kurangnya partisipasi anggota masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan di LP Wirogunan Yogyakarta. Serta yang terakhir adalah kertebatasan dana dan tempat yang dimiliki oleh LP Wirogunan Yogyakarta. 4. Usaha-usaha yang dilakukan petugas untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan pembinaan mental di LP Wirogunan Yogyakarta antara lain dengan cara melakukan penambahan petugas dalam setiap bidang pembinaan; berkerjasama dengan masyarakat, lembaga pemerintah dan swasta untuk menunjang keberhasilan pembinaan. Kemudian usaha untuk mengatasi kemalasan dari narapidana dalam mengikuti kegiatan-kegiatan perlu diadakan kerjasama secara terpadu antar petugas. Terutama dari pihak tata tertib dalam mengarahkan narapidana untuk mengikuti aktivitas sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Daradjat. Zakiah. (1982). Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. Jakarta:Bulan Bintang. Depdikbud, R.I. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Direktorat Pemasyarakatan. (1967). Sistem Pemasyarakatan Dalam Rangka Nation And Character Building. Jakarta, D. Soedjono.(1976). Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Penerbit Alumni. Gunakaya, A.Widiada. (1988). Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung: Armico. Jabrohim, Suwardi Dan Bustami Subhan. (2003). Pedoman Penulisan Skripsi. Yogyakarta: FKIP UAD Mangunharjana. (1986). Pembinaan: Arti Dan Metodenya. Yogyakarta: Kanisius. Margono. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Moeljatno. (1993). Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Moleong, Lexy. J. (2006). Metode Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muhadjir, Noeng. (1995). Metodologi penelitian kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasih. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Kemasyarakatan. Poernomo, Bambang. (1986). Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty. Sahardjo. (1963). Pohon Beringin Pengayoman. Pidato Pengukuhan Doctor H.C., Jakarta Saroso. (1977). Sistem Pemasyarakatan. Kertas Kerja Loka Karya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan. BPHN Shadily, Hasan. (1963). Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Pembangunan.
44 | Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011
Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta
Soerjobroto, Bahroedin. (1966). Fungsi Pemasyarakatan Dalam Negara Pancasila, Bandung: Suka Miskin. Soeroso. (1993). Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bogor: Politeia. Undang-undang, R.I. No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011 | 45