2001 A
,
575
PEMBINAAN DISIPLIN DILINGKUNGAN MASYARAKAT KOTA PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Milik Dcpdikbud Tidak Diperdagangkan
P E M B I N A A N DISIPLIN D I L I N G K U N G A N M A S Y A R A K A T PROPINSI D A E R A H
KOTA
ISTIMEWA A C E H
EDITOR Drs. M . YUSUF HASDY
Tim Peneliti : Kctua
: Drs. Rusdi Sufi.
Anggota
: 1. Drs.Alamsyah B 2. D R . M . Gade Ismail. M A . 3. Drs. Husni Hasan 4. Drs. Amirruzzahri. 5. A d n a n.
Kons\üt^^¥f^^é^nHasyim
MSc
DEPARTEMEN PENDIDIKAN D A N K E B U D A Y A A N DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN D I R E K T O R A T S E J A R A H D A N NILAI TRADISIONAL Bagian Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai - Nilai Budaya Daerah Istimewa Aceh 1992 /1993
S A M B U T A N K E P A L A K A N T O R WILAYAH D E P A R T E M E N PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROPINSI D A E R A H ISTIMEWA A C E H Khasanah budaya bangsa ï n d o n e s ï a sangat banyak corak dan ragamnya. Keanèkaragaman itu merupakan suatu kesatuan yang utuh dalam Wadah Kebudayaan Nasional, sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yang menjelma dalam nilainilai luhur Pancasila(Bhinneka Tunggal Ika). Untuk melestarikan Warisan nilai-nilai luhur budaya bangsa kita, perlu adanya usaha pemeliharaan kemurniaan dan keaslian budaya bangsa jangan sampai terbawa oleh arus kebudayaan asing. Saya menyambut dengan gembira atas kepercayaan yang diberikan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan
Kepada Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P2NB) Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam Tahun Anggaran 1995/1996 untuk menerbitkan buku yang berjudul:
Pembinaan Disiplin Di Lingkungan Masyarakat Kota Propinsi Daerah Istimew (Suatu study Terhadap Masyarakat Kampung Baru dan Merduati Kecamatan rahman Kotamadya Banda Aceh). Penerbitan Naskah ini sudah barang tentu belum
sepenuhnya sempurna
namun
demikian dengan terbitan buku ini diharapkan dapat membantu para pembaea guna lebih menghayati nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya, serta bermanfaat bagi kepentingan pembangunan bangsa dan negara, khususnya pembangunan Kebudayaan. Kepada semua pihak yang telah membantu usaha pernerbitan ini kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan diucapkan terima kasih.
Banda Aceh, O k t o b e r 1995 Kepala Kantor Wilayah Depdikbud Propinsi Daerah Istimewa Aceh,
Drs. H -Ng. Daeng Malewa Nip. 130 186 666
^s,
i
K A T A PENGANTAR Proyek Pengkajiaan dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P2NB) cli Wilayah Kantor Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam Tahun Anggaran 1995/1996 untuk mcnerbitkan buku yang berjudul:
Pembinaan Disiplin Di Lingkungan Masyarakat Kota Propinsi Daerah Istimew (Suatu study Terhadap Masyarakat Kampung Baru dan Merduati Kecamatan rahman Kotamadya Banda Aceh). Naskah tersebut merupakan hasil penelitian dan penulisan tim yang ditunjuk Proyek Penelitian dan Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh tahun anggaran 1992/1993, yang penulisannya sesuai dengan perintah kerja. Namun demikian kami menyadari bahwa hasil penelitian yang diharapkan ini masih terasa belum mencapai kesempurnaan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan, sebagai dasar penyempurnaan pada penelitian selanjutnya. Terwujudnya usaha ini berkat adanya kepercayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jendral Kebudayaan dan kerja sama yang baik dari berbagai pihak yang terlibat didalamnya. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih. Akhirnya, mudah-mudahan penerbitan buku-buku ini bermanfaat dalam menggali serta melestarikan Kebudayaan Daerah, memperkaya Kebudayaan Nasional serta menunjang pembangunan Bangsa. Banda Aceh,
Oktober 1995
Pemimpin Bagian Proyek P2NB Propinsi Daerah Istimewa Aceh
f V.
Drs. M . Yusiy Hasdy^ NIP. 3 9 ^ ^ 2 8 3 .
DAFTAR ISI KATASAMBUTAN
i
KATA PENGANTAR
"
D A F T A R ISI BAB
I
iii
PENDAHULUAN A . Latar Belakang
1
B. M a s a l a h
5
C. T u j u a n
BAB
II
™
D. Ruang Lingkup/Lokasi Penelitian
8
E . Metodologi
°
G A M B A R A N U M U M KOTA BANDA A C E H D A N LOKASI PENELITIAN
BAB
III
A . Gambaran Umum Kota
12
B. Gambaran Umum Daerah Penelitian
30
C. Berbagai Permasalahan Kota
48
DISIPLIN M A S Y A R A K A T D l L I N G K U N G A N P E M U K I M A N KELURAHAN
BAB
A . Disiplin Dalam Penanganan Limbah Keluarga/Sampah
55
B. Disiplin Dalam Partisipasi Masyarakat Terhadap Kegiatan Sosial ...
66
C. Disiplin Terhadap Administrasi Pemerintah
72
D . Disiplin Dalam Hubungan Ketetanggaan
77
IV D I S I P L I N M A S Y A R A K A T D l L I N G K U N G A N T E M P A T - T E M P A T UMUM A . Disiplin D i Lingkungan Pasar/Pertokoan B. Disiplin D i Lingkungan Terminal
81 8 6
C. Disiplin D i Lingkungan Tempat Hiburan iii
92
D. Disiplin Di Jalan Raya BAB
BAB
9 8
V U P A Y A P E M B I N A A N DISIPLIN P A D A M A S Y A R A K A T KOTAMADYA BANDA ACEH A. Pembinaan Oleh Pemerintah
1°
B. Pembinaan Oleh Tokoh Masyarakat
HO
VI KESIMPULAN D A N S A R A N
4
U3
DAFTAR K E P U S T A K A A N
1 1 7
DAFTAR INFORMAN
1 1 9
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Demi untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya, manusia sebagai
mahkluk sosial selalu hidup berkelompok. H a l i n i diperlukan karena melalui kelompoknya itu manusia akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk menunjang ini manusia memerlukan suatu wadah atau organisasi sebagai sarana dalam menyatukannya. Salah satu wadah atau organisasi tersebut ialah yang dinamakan Kota. Banyak orang yang telah merumuskan tentang pengertian kota, seperti halnya pengertian tentang desa. Namun secara umum dapat disebutkan bahwa pertama-tama kota merupakan sebagai tempat bermukim orang-orang yang mendiami tempat itu. Kota sebagai salah satu tempat pemukiman sejumlah orang telah terwujud oleh adanya proses perubahan dan pembentukan yang terus menerus sesuai dengan kebutuhan dan untuk kesejahteraan penduduknya. H a l ini dilakukan baik oleh penduduk kota itu sendiri maupun oleh pemerintah kota. Perencanaan untuk kebaikan yang dijabarkan dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan sesuai dengan kebutuhan dan untuk kesejahteraan
penduduknya d i l a k u k a n juga baik oleh
pemerintah kota maupun oleh penduduk kota itu sendiri. D i K o t a m a d y a B a n d a A c e h tentunya d i l a k u k a n oleh p e m e r i n t a h kKtamadya Banda Aceh yang dalam hal ini oleh Kantor Kotamadya Banda Aceh. Kotamadya Banda Aceh sebagaimana kota-kota besar lainnya di Indonesia biasanya memiliki heterogenitas/masyarakat
yang kompleks dan diikuti pula oleh
tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi yang disebabkan antara lain oleh
1
derasnya arus urbanisasi. Selain itu pada saat sekarang ini Kotamadya Banda Aceh juga telah berkembang sebagai pusat pelayanan masyarakat dengan berbagai fasilitas yang dimilikinya. Dan mungkin faktor inilah yang merupakan salah satu penyebab terjadinya urbanisasi. Pertambahan penduduk yang tinggi dan kurangnya prasarana dan sarana kehidupan, telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan di Kotamadya Banda Aceh. H a l ini tentunya berlaku pula di daerah-daerah perkotaan lainnya di Indonesia. D i antara permasalahan yang dapat dilihat di Kotamadya Banda Aceh antara lain adalah masalah pencemaran lingkungan, sebagai akibat pengelolaan limbah atau sampah yang kurang benar. Selain itu tentunya juga masalah pemukiman r u m a h , masalah t r a n s p o r t a s i , masalah k e s e m p a t a n kerja, masalah sosial kemasyarakatan seperti kriminalitas, tunasusila dan sebagainya. Secara umum dapat disebutkan bahwa lingkungan hidup di wilayah perkotaan (Kotamadya Banda Aceh khususnya) dapat dilihat sebagai mencakup udara, tanah, air, fauna dan flora, rumah dan gedung-gedung, jalan pasar, pertokoan, pabrik-pabrik, tempat-tempat ibadah, alat-alat pengangkutan, struktür dan kelompok sosial, dan manusia itu sendiri beserta bermacam bentuk dan tindakannya sebagai makhluk sosial maupun makhluk biologi. Pemerintah K o t a m a d y a B a n d a A c e h dengan sistim administrasinya membentuk suatu sistim tata kota yang pada prinsipnya mengatur tata ruang beserta segala isinya yang ada di Kotamadya Banda A c e h . Pengaturan ini antara lain menyangkut pengaturan untuk jalan-jalan, tempat-tempat dan macam pemukiman penduduknya, sistim pembuangan air kotor, kotoran manusia dan sampah, pengaturan kesejahteraan hidup yang berkaitan dengan lingkungan (umpamanya peraturan berkenaan dengan sistim pembuangan sampah dan kotoran), mengatur pendirian 2
pemukiman, tempat-tempat kegiatan ekonomi dan pasar, pengaturan dan pemberian fasilitas untuk transportasi kenderaan dan jalan kaki yang dibedakan dengan pasar tempat kegiatan ekonomi dan sebagainya). Tidak selamanya pengaturan i n i dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya, yaitu tidak ditaati oleh penduduk yang berada di bawah administrasi pemerintahan Kotamadya Banda Aceh ataupun kurang sempurnanya tata ruang serta tata kota dan kelalaian pejabat yang bersangkutan. H a l ini dapat kita lihat contohcontoh yang kita hadapi sehari-hari sebagai warga kota (khususnya warga kota Banda Aceh) misalnya jalan/trotoar seharusnya untuk kepentingan lalu lintas kenderaan dan jalan kaki manusia, ternyata sebagian dari jalan-jalan tersebut telah menjadi tempat berjualan para pedagang kaki lima, atau sebagai tempat parkir kenderaan roda dua atau mobil. Akibatnya warga kota yang hendak berjalan kaki di jalan-jalan tersebut harus berjalan di tengah jalan mengambil ruang jalan kenderaan bermotor. H a l tersebut di atas menyebabkan kenderaan-kenderaan yang lalu lalang harus menggunakan ruang yang lebih sempit daripada yang seharusnya ada, sehingga kenderaan menjadi macet dan resiko kemungkinan adanya tabrakan dan kecelakaan lalu lintas menjadi lebih besar. Belum lagi diperhitungkan bahwa para pedagang kaki lima tadi menarik para pembeli yang berkerumun di tempat berjualannya, yang sekali lagi mengganggu lalu lintas dan memberi kemungkinan adanya pencopetan, penodongan, penjambretan dan sebagainya. Dilihat dari segi lain lagi, para pedagang kaki lima ini khususnya para penjual makanan dan minuman (khususnya pada bulan puasa) membuang sampah-sampah, sisa-sisa makanan di tempat dekatnya berjualan, yang sekali lagi mengganggu kebersihan karena proses pembusukan dan dapat menyebabkan bahaya banjir karena sampah-sampah yang mengganggu jalannya air selokan-selokan (got-got) di bawah tanah atau di pinggir jalan. 3
H a l yang diutamakan d i atas tentunya disebabkan karena adanya persaingan yang tinggi di antara masyarakat untuk memperoleh prasarana dan sarana kehidupan, sehingga kurang memperhatikan orang lain demi untuk pemenuhan kebutuhan pribadinya. H a l ini disebabkan karena kurangnya pemahaman sejumlah warga kota terhadap lingkungan d i mana mereka tinggal. Dengan demikian timbulnya berbagai permasalahan di daerah perkotaan seperti di Kotamadya Banda Aceh tersebut, antara lain sangat dipengaruhi oleh tingkat kedisiplinan warga kota dalam menaati segala ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan
(PERDA-
P E R D A ) dan norma-norma sosial yang berlaku. Karena sesungguhnya setiap kelompok masyarakat memiliki aturan-aturan dan pengendalian sosial tertentu untuk menjadi kelestarian k e l o m p o k n y a . D e m i k i a n pula halnya dengan kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan seperti di Kotamadya Banda Aceh. Untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat perlu adanya pembinaan disiplin terhadap warga masyarakat perkotaan yang bersangkutan. Oleh karena begitu pentingnya pembinaan disiplin di kalangan masyarakat tidak kecuali masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan, sehingga di negara kita (Republik Indonesia) hal ini dicantumkan dalam G B H N (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Menurut G B H N pembinaan disiplin nasional diarahkan untuk memperbaiki kesetia kawanan Nasional menanamkan sikap tenggang rasa, hernat prasaja, bekerja keras, cermat, tertib, penuh rasa pengabdian, jujur dan mandiri. Disebabkan karena amanat G B H N inilah maka penelitian tentang pembinaan disiplin di lingkungan masyarakat kota, khususnya masyarakat Kota Madya Banda Aceh, perlu dilakukan.
4
B.
MASALAH Satu hal yang menjadi ciri dari masyarakat kota, seperti Kotamadya Banda
Aceh adalah kepadatan relatif penduduknya dan kompleksitasnya. H a l ini lebih-lebih akan kelihatan bila dibandingkan dengan masyarakat yang ada di pedesaan. Kompleksitas masyarakat perkotaan tercermin dalam berbagai sistem, organisasi serta struktur yang ada di kota dan dari berbagai pola tingkah laku warga kota dalam berbagai interaksi sosial yang terwujud. Kompleksitas Kotamadya Banda Aceh terwujud karena kota ini merupakan pusat jaringan-jaringan politik, administrasi, ekonomi, komunikasi dan pendidikan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Karena jaringan ini aiatur dalam suatu sistem yang mencerminkan hubungan-hubungan hirarki dengan kota-kota Daerah Tingkat II (Kabupaten) dan desa-desa yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, di mana Kotamadya Banda Aceh sebagai pusatnya. Kompleksitas ini terwujud juga karena penduduk Kotanudya Banda Aceh bukan mereka yang hanya digolongkan sebagai penduduk asli, tetapi juga para pendatang dari berbagai suku/ethnis yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Aceh serta dari daerah-daerah lain di luar Aceh (Daerah Indonesia Lainnya). Dengan demikian, di Kotamadya Banda Aceh dari satu segi kita lihat, adanya suatu masyarakat yang kehidupannya dalam lingkungan kota, diatur menurut aturan-aturan administrasi kota, yang berupa aturan-aturan
petunjuk-petunjuk
mengenai bagaimana mereka sebagai warga kota seharusnya bertindak. Sedangkan dalam segi lain kita lihat juga bahwa masing-masing warga kota Banda Aceh itu mempunyai warisan budaya yang tidak sama antara satu sama lainnya. Ketidak samaan itu dapat digolongkan berdasarkan atas penggolongan suku/ethnis asal daerah, tingkat ekonomi, tingkat sosial dan macam-macam jenis mata pencaharian 5
yang sekarang dilakukan oleh warga kota Banda Aceh. Dengan demikian, masing-masing warga kota atau sekelompok warga kota dapat mempunyai interpretasi yang berbeda-beda mengenai lingkungan hidup yang dihadapinya di kota Banda A c e h ; misalnya mengenai peraturan-peraturan dan petunjuk-petunjuk yang dikeluarkan Pemda (Pemerintah Daerah) berkenaan dengan bagaimana seharusnya memanfaatkan dan melakukan proses adaptasi
dengan
lingkungan kota tersebut; dan bagaimana mewujudkan tindakan-tindakan, baik tindakan-tindakan karena dorongan-dorongan kebutuhan ekonomi, sosial, kejiwaan dan biologi. Sesungguhnya yang dihadapi oleh kota Banda Aceh sehari-hari secara kasarnya adalah suatu keadaan ketidak tentuan atau ketidak seragaman dalam pemanfaatan dan penyesuaian warga kota (dalam bentuk tindakan-tindakan) dengan lingkungan di mana mereka hidup. Kesemberautan ini dapat dilihat dalam buktibukti nyata sehari-hari merupakan bagian hidup sebagai warga kota; misalnya sampai ada dimana-mana (di jalan-jalan, di selokan-selokan dan di sungai-sungai, bahkan di terminal-terminal bis atau dalam bis-bis sendiri). M e m a n g disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari berbagai permasalahan muncul di soting perkotaan, termasuk Kotamadya Banda Aceh. Perpaduan antara kurang memadainya prasarana dan sarana kehidupan dengan kurangnya pemahaman warga kota terhadap aturan-aturan, ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam berbagai P E R D A (Peraturan Daerah) dan kaidah-kaidah sosial yang berlaku di perkotaan, diduga menyebabkan kurang disiplin warga masyarakatnya. Sehubungan hal-hal tersebut di atas, maka yang menjadi pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 6
1.
Sejauh mana tingkat kedisiplinan yang dimiliki oleh warga masyarakat yang bertempat tinggal di lingkungan Kotamadya Banda A c e h .
2.
Ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah sosial apa saja yang telah diberlakukan dan ada pada lingkungan masyarakat Kotamadya Banda Aceh.
3.
Upaya-upaya atau usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan dalam rangka perbaikan kedisiplinan para warga masyarakat di Kotamadya Banda Aceh.
C.
TUJUAN Dalam kaitan dengan masalah yang telah diutarakan di atas, maka pene-
litian ini diantaranya mencoba untuk mengungkapkan serta mendiskripsikan hal-hal yang menyangkut dengan tingkat kedisiplinan yang dimiliki oleh warga Kotamadya Banda Aceh. Sebagai acuan sampai sejauh mana tingkat disiplin warga masyarakat kota Banda Aceh, maka dalam kajian akan dicoba untuk mengungkapkan pula aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan serta kaidah-kaidah atau norma-norma sosial yang berlaku di kalangan warga Kotamadya Banda Aceh. Upaya pembinaan disiplin yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dalam masalah ini dapat digunakan untuk mengetahui sampai sejauh mana warga masyarakat di Kotamadya Banda Aceh telah mematuhi berbagai aturan-aturan yang dijabarkan dalam bentuk peraturan-peraturan
daerah (Perda) dan norma-
norma atau kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Oleh karenanya, pengungkapan tentang masalah ini juga merupakan bahagian daripada tujuan penelitian ini. Data dan informasi yang berkaitan dengan disiplin di lingkungan warga masyarakat di Kotamadya Banda Aceh sangatlah penting artinya bagi pemerintah daerah, khususnya Pemda Kota Banda Aceh dalam rangka merumuskan berbagai 7
kebijakan atau kebijaksanaan yang akan ditempuh dan dilaksanakan terhadap warganya di wilayah Kotamadya Banda Aceh. H a l ini tentu sangat penting artinya, mengingat semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan yang muncul di daerah perkotaan saat ini, sejalan dengan semakin berkembangnya wilayah perkotaan, seperti Kotamadya Banda Aceh. Dalam kaitan dengan tujuan dari penelitian ini seperti yang telah disebutkan di atas, maka tim peneliti berasumsi bahwa semakin padat penduduk pada suatu lingkungan pemukiman seperti di Kotamadya Banda Aceh, semakin rendah maka semakin rendah tingkat atau kadar kedispilinan yang dimiliki oleh warga masyarakatnya.
D.
RUANG LINGKUP / LOKASI PENELITIAN Penelitian tentang pembinaan kedisiplinan di lingkungan masyarakat
Kotamadya Banda Aceh ini difokuskan pada dua lokasi/wilayah yang merupakan tempat berlangsungnya berbagai kegiatan atau aktifitas masyarakat sebagai warga kota. Adapun wilayah atau lokasi yang dimaksud adalah pada lingkungan pembinaan penduduk/perkampungan dan pada tempat-tempat umum yang merupakan tempat aktifitas masyarakat perkotaan. Melalui data dan informasi yang diperoleh di kedua lokasi itu diharapkan akan dapat mencerminkan permasalahan kedisiplinan yang terdapat di Kotamadya B a n d a A c e h . K e d u a lokasi lingkungan yang d i p i l i h ini merupakan daerah pusat kota Banda Aceh, dimana diperkirakan terdapat berbagai permasalahan yang disebabkan kurangnya disiplin warga masyarakatnya. Adapun yang dimaksudkan dengan tempat-tempat umum dalam penelitian ini adalah di lingkungan pusat pembelanjaan seperti pasar dan pertokoan, lingkungan terminal, lingkungan tempat hiburan, dan lingkungan jalan Raya. 8
Dalam hubungan dengan permasalahan di atas, maka lokasi yang dipilih untuk Kotamadya Banda A c e h yaitu Kecamatan Baiturrahman yang terletak di daerah pusat Kota Banda Aceh. D i lokasi ini diperkirakan terdapat berbagai permasalahan yang disebabkan karena kurangnya disiplin warga masyarakat. M a k a untuk ini tim peneliti telah menetapkan dua perkampungan sebagai sampel penelitian, yang kedua-duanya berada dalam Kecamatan Baiturrahman. Kedua kampung yang dipilih ini adalah : Kelurahan Kampung B a r u dan Kelurahan M e r d u a t i . Pemilihan kedua perkampungan yang berada di tengah-tengah Kota Banda Aceh •
didasarkan kepada situasi kedua wilayah ini yang dapat dipastikan memiliki kriteria-kriteria yang ingin dicapai sehubungan dengan tujuan penelitian ini. Data dan informasi yang akan diungkapkan di lingkungan pemukiman penduduk pada desa Kelurahan tersebut antara lain adalah disiplin warga masyarakat terhadap penanganan limbah keluarga, termasuk penanganan terhadap sampah, mengenai kebersihan lingkungan perkampungan, partisipasi warga masyarakat terhadap kegiatan sosial perkampungan, administrasi pemerintahannya, dan juga mengenai hubungan dalam ketetanggaan. Sementara itu, pada lingkungan (lokasi) tempat-tempat umum (pasar dan pertokoan, terminal, tempat-tempat hiburan dan pada jalan-jalan raya), dan dari informasi yang akan diungkapkan adalah yang menyangkut tentang disiplin terhadap kebersihan, aturan-aturan dalam pelayanan, aturan-aturan di tempat-tempat umum, dan disiplin terhadap
peraturan-peraturan
formal yang ditetapkan/digariskan oleh Pemda Kotamadya Banda A c e h dalam bentuk perda-perda (peraturan-peraturan
E.
Daerah).
METODOLOGI Sesuai dengan topik yang akan diteliti, maka tim peneliti dalam rangka 9
untuk mendapatkan data dan informasi menggunakan cara : 1.
Studi Kepustakaan.
2. Wawancara. 3.
Pengamatan. Melalui studi kepustakaan Tim Peneliti mengharapkan akan memperoleh
kerangka teoritis dan juga data-data primer dan sekunder baik berupa buku-buku, dokumen-dokumen resmi berupa perda-perda (peraturan-peraturan Daerah) yang dikeluarkan oleh pemda (pemerintah Daerah) Tingkat II Kotamadya Banda Aceh, surat-surat kabar dan sebagainya. Kegiatan penelitian melalui kepustakaan ini dilakukan oleh tim peneliti pada beberapa perpustakaan yang terdapat di Kotamadya Banda Aceh seperti Perpustakaan Dokumentasi dan Informasi Aceh ( P D I A ) , Perpustakaan Wilayah, Perpustakaan Museum Negeri Aceh, Perpustakaan Pusat U n i versitas Syiah Kuala, Perpustakaan Kantor Kotamadya Banda Aceh, Perpustakaan Kantor Statistik Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Perpustakaan Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh. Pengumpulan data dan informasi melalui wawancara dilakukan dengan sejumlah informan yang dianggap cukup representatif untuk masalah yang diteliti. Wawancara yang dilakukan oleh tim peneliti i n i , ada yang secara formal dan mendalam dengan menggunakan pedoman Wawancara yang khusus disusun untuk kepentingan penelitian ini, dan ada juga wawancara yang dilakukan secara non formal (sambilan) atau tidak begitu mendalam dan tidak menggunakan pedoman wawancara. Sejumlah informan yang telah diwawancara untuk kepentingan penelitian ini dapat dilihat pada bagian akhir dalam Naskah/Laporan ini. Observasi atau pengamatan merupakan salah satu metode yang juga digunakan dalam penelitian ini sangat membantu para peneliti dalam mendapatkan data dan informasi yang akurat, 10
sehingga dapat dikomperatifkan dengan data dan informasi yang diperoleh melalui hasil wawancara dan studi perpustakaan. Dengan observasi atau pengamatan ini Tim Peneliti telah mendapatkan gambaran umum dan konsepsi tentang kedisplinan dan pembinaannya yang ada pada masyarakat K o t a Banda A c e h , yang merupakan keadaan sesungguhnya yang ada di lapangan (Kotamadya Banda Aceh).
11
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDA ACEH DAN LOKASI PENELITIAN A.
GAMBARAN UMUM KOTA
1.
Keadaan Alam Kotamadya Banda Aceh merupakan Ibukota Propinsi Daerah Istimewa
Aceh. Kota ini terletak di ujung bagian Utara Pulau Sumatera, di bagian paüng ke Barat dan paling Utara dari Kepulauan Indonesia, atau antara 95°-13' dan 98°-17' bujur Timur dan antara 2°-48' dan 5°-40' lintang Utara ("Geography of Achin", Jurnal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society, 1879. hal. 120.) Kotamadya Banda Aceh yang dikelilingi oleh Daerah Tk. II Kabupaten Aceh Besar berbatasan sebelah Utara dengan Kecamatan Darussalam sebelah selatan dengan Kecamatan Darul Imarah sebelah Timur dengan Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar, dan sebelah Barat dengan Laut/Selat Malaka. Adapun luas Daerah Tk. II Kotamadya Banda Aceh sekarang ini sekitar 2
75 km , yang didalamnya mempunyai 4 buah kecamatan dan 88 buah desa atau kelurahan. Nama-nama Kecamatan dimaksud adalah : 1. Kecamatan Baiturrahman yang di dalam wilayahnya terdapat 20 buah desa/Kelurahan. 2. Kecamatan Kuta Alam yang di dalamnya terdapat 15 desa/Kelurahan. 3. Kecamatan Meuraxa terdapat 15 desa, dan 4. Kecamatan Syiah Kuala yang di dalamnya terdapat 18 buah desa/Kelurahan. Keadaan iklim Kotamadya Banda Aceh, pada umumnya berada antara 33,3 - 60 % (type C dan D) atau disebut juga beriklim basah. Curah hujan rata-rata 2.000-3.000 mm/tahun. Musim kemarau berlangsung dalam bulan Maret sampai 12
Agustus, dan musim hujan pada umumnya bulan September sampai Desember. Hujan paling sedikit jatuh pada bulan Pebruari. Selain itu Kotamadya Banda Aceh mengalami dua musim, yaitu Musim Barat dan Musim Timur. Pada musim Barat angin bertiup dari arah Barat ke Timur, yang dimulai pada bulan A p r i l sampai September. Pada musim Timur angin berhembus dari arah Timur ke arah Barat mulai dari bulan Oktober sampai Desember. Keadaan tanah atau struktur geologis Kotamadya Banda Aceh hampir seluruhnya terdiri dari tanah a luvial muda dan terumbukoral yang berarti keadaan tanahnya kurang baik untuk kehidupan pertanian, karena struktur tanah dimaksud banyak mengandung pasir dan batu-batu kerikil. Selain itu, pada bagian tertentu juga ditemukan tanah aluvial dan campuran podrolik merah kuning. D i tengah-tengah Kotamadya Banda Aceh mengalir sebuah sungai, yang disebut Krueng Aceh. Hulunya berasal dari gunung Seulawah ( ± 70 km dari kota Banda Aceh) dan bermuara ke Kuala Aceh yang letaknya ± 5 km dari pusat Kota. Bentangan sungai ini seolah-olah telah membelah (membagi) Kota Banda Aceh menjadi dua bagian, yaitu bagian kiri dan kanan Krueng Aceh. Kedua bagian tersebut dihubungkan oleh tiga buah jembatan yang relatif sangat kokoh, yaitu jembatan Surabaya, jembatan Pante Perak dan jembatan Peunayong. Dahulu (sebelum tahun 1990-an) sungai ini setiap tahun senantiasa mendatangkan banjir, yang relatif amat besar dan tidak jarang menimbulkan malapetaka dan kerugian harta benda terhadap penduduk Kotamadya Banda A c e h . Sedangkan pada era 1990-an sekarang ini, sekalipun banjir tetap terjadi, berbagai masalah dan malapetaka yang muncul ^arena itu telah dapat teratasi karena upaya ke arah tersebut dengan perluasan Krueng Aceh telah selesai dikerjakan oleh pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan dengan bantuan pemerintah pusat. Selain dari Krueng Aceh (sungai Aceh) di 13
Kotamadya Banda Aceh juga terdapat beberapa anak sungai, di antaranya adalah Krueng Daroy (Sungai Daroy) yang mengalir melintasi Pendopo Gubernur Aceh, dan Krueng Dhoi (sungai Dhoi) yang melintasi tempat kediaman Panglima Militer (Dan Rem) sekarang ini. Kondisi Geografis kota pada umumnya tergolong dalam daerah yang rendah. Perbedaan Tofografi antara permukaan laut dengan tempat pemukiman penduduk sangat kecil. Bahkan ketika air pasang, permukaan laut berada pada garis yang sejajar (sama atau rata) dengan tempat pemukiman penduduk, terutama pada kawasan bagian utara. Keadaan geografis yang rendah ini menimbulkan dampak pada segi-segi tertentu. D i antaranya bila musim hujan mudah terjadi banjir air sering tergenang, dan sulitnya mengalirkan air buangan. Bahkan got atau parit-parit yang dibuat sedemikian rupa, tidak mampu mengalirkan air dengan cepat kadang-kadang ada yang macet total. Akibatnya menimbulkan bau busuk yang tidak sedap dan menjadi sarang sumber penyakit. Keadaan seperti itu, juga ditunjang oleh keadaan saluran dan tanggul air yang tidak kokoh. Pada umumnya saluran-saluran yang ada merupakan peninggalan azman sebelum Indonesia Merdeka. Keadaan bangunan atau tata ruang Kota Banda Aceh masih berkelanjutan pola dan tradisi kota-kota lama, atau tradisi kota-kota tua di dunia dan khususnya pola-pola perdagangan. Toko-toko tumbuh di sepanjang pinggiran jalan utama di pusat Kota. Toko-toko pada umumnya berfungsi ganda. Sebagai tempat tinggal (di lantai dua) dan sebagai tempat berjualan/kegiatan ekonomi (di lantai satu atau lantai dasar). Yang melakukan hal ini, pada umumnya para pedagang dari keturunan Cina, dan sangat sedikit dari orang-orang pribumi atau yang lainnya. Dari hasil pengamatan, dan realitas keadaan menunjukkan bahwa bangunan pertokoan dan bangunan 14
rumah-rumah penduduk/pemukiman belum tertata dengan rapi. Bangunan-bangunan tersebut tumbuh secara bebas dan kadang-kadang kurang memperhatikan nilai-nilai estetika dan kurang memperhatikan aspek kesehatan dan keserasian lingkungan. Gambaran persentase bangunan dan daerah tanpa bangunan digambarkan sebagai berikut : Bahwa luas areal Kotamadya Banda Aceh yang 71 k m dimanfaatkan untuk 2
perumahan (25,68 % ) . Untuk pertokoan atau perdagangan (13,47 % ) . Untuk perkantoran atau pusat administrasi pemerintahan (22,23 %) dan luas areal yang belum dimanfaatkan sekitar (25,89 % ) . K e a d a a n tersebut menggambarkan keadaan mobilitas penduduk baik di sekitar perumahan atau populasi, maupun sektor jasa lainnya yang merupakan beban atau potensi obyektif Kotamadya Banda Aceh (Rencana Tehnik Ruang Kota Final Report, Pemda Kotamadya Banda Aceh, 1986. H a l . 113) •
2.
Sejarah Pertumbuhan Kota Berdasarkan kepada berbagai keterangan sejarah dapat diketahui bahwa
Kotamadya Banda Aceh sekarang adalah bekas Ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dahulu. Ketika itu bernama Banda Aceh Darussalam. Logat bahasa orang Aceh menyebutnya dengan "Banda A c e h " saja. Kesimpulan Seminar tentang hari jadi Kota Banda Aceh menyebutkan antara lain : Bahwa Kota Banda Aceh didirikan pada hari Jumat tanggal 1 Ramadhan 601 H , bertepatan pada tanggal 22 A p r i l 1205 M . di zaman Pemerintahan Sultan Alaidin Johansyah. Pusat Administrasi Pemerintahan pada waktu itu terletak di Kandang, yang terletak di sebelah kanan Krueng Aceh atau di kampung Panda sekarang. Pada masa pemerintahan berikutnya, masa Sultan Alaidin Mahmudsyah (1276-1309) kegiatan administrasi pemerintahan yang dahulunya dipusatkan di 15
Kandang, kemudian dipindahkan ke sebelah kiri Krueng Aceh, pada tempat yang baru, yang diberi nama Kuta Dalam Darud Dunia. Pada tempat yang baru ini Sultan membangun sebuah mesjid yang megah sebagai pusat kegiatan Islam dan kemasyarakatan. Mesjid tersebut diberi nama Mesjid Baiturrahman. Sekarang rakyat Aceh menyebutnya Mesjid Raya Baiturrahman. H a l yang lainnya, yang juga menarik dari seminar itu adalah bahwa pada tanggal 1 Ramadhan itu pula terjadi integrasi sosial budaya yang terwujud dalam satu kesatuan p o l i t i k dengan m e m p r o k l a m i r k a n b e r d i r i n y a kerajaan
Aceh
Darussalam. Salah satu pelopornya disebutkan adalah Kerajaan Indra Purba. Integrasi politik berikutnya terjadi pada masa pemerintahan Sultan Husensyah (1465-1480). Pada masa ini terjadi penyatuan atau penggabungan (integrasi) antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Kerajaan Pedir, dan Kerajaan Daya. Sekalipun integrasi dilakukan, ibukota Kerajaan Baru (Kerajaan Aceh) tetap mengambil tempat di Banda Aceh Darussalam atau di Kuta Dalam Darud Dunia, yang kini terletak di Pusat Kota Banda Aceh (Kota Banda Aceh hampir 1.000 tahun diterbitkan oleh Pemda Kotamadya Banda Aceh,. 1988. H a l . 14-23). Tumbuh dan berkembangnya Banda Aceh Darussalam, terutama pada masa-masa abad X V I erat kaitannya dengan situasi ekonomi, perdagangan,
dan
politik yang terjadi di kawasan selat Malaka. Pada masa itu Malaka terkenal sebagai pusat perdagangan "Tiga Jalur" yaitu jurusan India, Cina dan Negeri-negeri Asia Tenggara. Kawasan Malaka ramai disinggahi para saudagar/pedagang dari berbagai negeri di Asia dan juga sebagian dari para saudagar Eropah, seperti Portugis. D i samping itu sebagai pusat kegiatan dan lalu lintas perdagangan kawasan selat Malaka juga tumbuh sebagai pusat penyebaran agama (Islam) yang termasuk salah satu kawasan yang paling strategis di Asia Tenggara. Gerakan dan usaha 16
penyebaran
Agama Islam, umumnya dilakukan oleh para saudagar dari Timur Tengah, Persia Arab, dan juga oleh orang-orang Gujarat dari India. Perkembangan berikutnya, yang menyertai kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, telah menimbulkan kegoncangan dalam jaringan perdagangan di kawasan selat Malaka. Portugis amat berhasrat untuk menjadi agen tunggal kegiatan ekonomi di selat Malaka. Karena itu berambisi untuk memotong dan menghancurkan seluruh jaringan perdagangan para saudagar dari Timur Tengah yang pada umumnya beragama Islam dan juga berambisi untuk mempersulit kegiatan ekonomi bangsa-bangsa Asia lainnya, seperti Cina dan India. Salah satu dampak dari kegoncangan itu adalah para pedagang Islam yang biasanya memusatkan kegiatan di Malaka terpaksa menyingkir ke tempat lain yang relatif lebih aman. Salah satu tempat yang dicari adalah Aceh. Dengan berdatangan para saudagar ini, Banda Aceh Darussalam semakin bertambah ramai dan kotanya semakin berkembang. Oleh para saudagar Muslim, Banda Aceh ini dipergunakan sepenuhnya sebagai pengganti Malaka, dalam arti sebagai tempat perdagangan dan sebagai daerah penyebaran Islam. Kedua kegiatan ini berjalan mulus dan sangat damai tanpa menimbulkan konflik yang melampaui batas toleransi. Hingga abad ke X V I I menurut penelitian seorang sarjana Perancis Denya Lombard penduduk Kota Banda Aceh telah mencapai 10.000 jiwa. Kotanya sangat Cosmopolitan. D i sini terdapat berbagai suku bangsa, dan kelihatan sangat ramai. D i antara mereka terdapat orang-orang Gujarat, Keling, Arab, Jawa, Portugis, Pegu (Burma) dan juga orang Tionghoa. Pada umumnya mereka bekerja
sebagai
pedagang. Keramaian Kota juga ditunjang oleh banyaknya arus pengunjung (keluar masuk) kota untuk jual beli barang dagangan. D i antara para pengunjung yang sering lalu lintas di Banda Aceh adalah saudagar-saudagar dari Turki, Persia, Belanda, Ing17
geris, Perancis, Sulawesi, Kedah, dan dari Kalimantan. Aceh (Kotamadya Banda Aceh)
3.
Keadaan Penduduk Sumber dari Bagian Statistik Kotamadya Banda Aceh menyebutkan bahwa
pada saat ini penduduk Kotamadya Banda Aceh, menurut hasil sensus penduduk 1990, berjumlah 184.650 jiwa, yang bermukim dalam 4 Kecamatan, dengan pola persebarannya sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut ini :
Tabel I Jumlah Penduduk Kotamadya Banda Aceh, Menurut Kecamatan NO.
KECAMATAN
PRIA
WANITA
JUMLAH
1.
Baiturrahman
24.609
22.154
46.763
2.
Kuta Alam
27.565
25.192
52.757
3.
Meuraxa
26.502
25.645
52.147
4.
Syiah Kuala
16.826
16.157
32.983
5.
Kotamadya Banda Aceh
95.502
89.148
184.650
K ET
Sumber : Bagian Statistik Sekretariat Daerah Kotamadya Banda Aceh, 1993 (diolah). Penduduk K o t a m a d y a Banda A c e h pada umumnya beragama Islam (sekitar 178.135 jiwa). Yang lainnya beragama Kristen Protestan (1.567), Kathohk (980), beragama Budha (3.911), H i n d u (54), dan yang tidak diketahui agamanya (3 orang). Sehubungan dengan keadaan penduduk menurut agama yang dianutnya masmg-masing, di Kotamadya Banda Aceh juga terdapat berbagai sarana peribadatan, seperti Mesjid, Mushalla, Gererja, Kelenteng dan Kuil. Jumlah seluruh tempat ibadah masing-masing umat beragama dapat diproyeksikan dalam bentuk tabulasi, seperti terlihat dalam tabel di bawah ini : 18
Tabel II Jumlah Sarana Ibadah Umat Beragama Di Kotamadya Banda Aceh NO.
NAMA SARANA
JUMLAH
«iJi^tv
KET
PEMILlK 1.
Mesjid
66
Islam
—
2.
Mushalla
22
Islam
—
3.
Meunasah
101
Islam
—
4.
Gereja Protestan
3
Kristen Protestan
5.
Gereja Katholik
1
Kristen Katholik
6.
Kelenteng
4
Budha
7.
Kuil
2
Hindu
8.
Tot al
—
199
Sumber : Kantor Departemen Agama Tingkat II Daerah Kotamadya Banda Aceh, 1993 (diolah). Gambaran keadaan penduduk sebagaimana disebutkan dalam tabel I di atas, yang berkaitan pula dengan aspek keagamaan dan berbagai aspek sosial kemasyarakatan lainnya, akan semakin mengalami perubahan atau perkembangan di masa-masa yang akan datang. Gambaran kongkrit dalam hal ini dapat disebutkan salah satu di antaranya tentang pertumbuhan/perkembangan penduduk dari tahun ke tahun. Sebagaimana telah disebutkan dahulu, bahwa penduduk Kotamadya Banda Aceh pada tahun 1957 sekitar 20.976 jiwa. Pada tahun 1979 ( ± 2 0 tahun kemudian) keadaan berubah menjadi 69.755 jiwa, pada tahun 1980 angka berubah menjadi 72.617 jiwa. Pada pertengahan tahun 1980-an, yang salah satu sebabnya karena perluasan wilayah daerah Tk. II Kotamadya Banda Aceh, atau dengan masuknya sebagian penduduk dari Kabupaten Aceh Besar, dan berbagai faktor pendukung lainnya. Keadaan grafik penduduk Kotamadya Banda A c e h terdongkrak dengan cara yang 19
sangat drastis. Keadaannya berubah mencapai 151.513 jiwa. Pada awal era 1990-an, keadaan grafik telah menunjuk pada angka 184.650 jiwa. Dibandingkan dengan luas wilayah jumlah penduduk dalam keadaan tersebut, sekalipun pada bagian tertentu dari Kecamatan Baiturrahman dengan bagian tertentu Kecamatan Kuta Alam yang paling dekat dengan pusat Kota, terkesan agak rapat penduduknya. Keadaan pada dua Kecamatan lainnya, yaitu : Meuraxa dan Syiah Kuala dapat disebut sebagai wilayah yang masih kurang penduduknya. Akibat pendudukan Belanda atas Kota Banda Aceh, kegiatan Kota diubah dari kegiatan ekonomi perdagangan menjadi pusat pertahanan militer. Namun kotapun diubah dari Banda Aceh menjadi Kuta Raja (sejak tahun 1874). Nama ini, identik dengan tempat kediaman Raja Aceh ketika itu. Cukup lama Kota Banda Aceh (Kuta Raja) menjadi pusat kegiatan militer dan di sekeliling pusat kota dibangun asrama-asrama militer. Keadaan tersebut cukup besar pengaruhnya dalam kehidupan rakyat, tidak hanya kehidupan yang nyata saja, akan tetapi sikap mental, dan watak rakyat juga ikut berubah sesuai dengan tantangan yang dihadapi. D i bawah kekuasaan Belanda, K o t a Banda Aceh dijadikan pusat administrasi pemerintah (kolonial), baik pada masa kedudukan Gubernur Militer (sebelum tahun 1918) maupun pada masa kedudukan Gubernur sipil (1918-1936). Setelah tahun 1936, sampai berakhirnya pendudukan Belanda (1942) Kutaraja adalah tetap sebagai Ibukota Keresidenan Aceh. Dan setelah merdeka tepatnya pada tahun 1957 Kutaraja dijadikan Kotamadya (Kotamadya Kuta Raja). Status ini disebutkan dalam U U . No. 8/1956. Jo. - U U . No. 24/1956. Jo. pasal 73. U U . No. 1/1957 dengan jumlah penduduk pada saat itu 20.976 jiwa. Kemudian terhitung tanggal 1 Januari 1963, dengan Surat Keputusan Gubernur No. 153/1962 tang20
gal 28 Desember 1962 nama Kuta Raja diubah menjadi Banda Aceh. Para saudagar yang berkunjung, dan tidak menetap sebagai penduduk, pada umumnya mereka istirahat/menginap di tempat-tempat "kaumnya" bermukim. Para saudagar yang telah menetap, pada umumnya mereka tinggal dalam kota secara berkelompok, menurut daerah asal masing-masing. Misalnya para pedagang yang berasal dari Kedah tinggal satu kelompok bersama dengan orang lain yang juga berasal dari Kedah. Begitu pula mereka yang berasal dari Jawa, dari Keling, dan lain-lain. Akibat dari pola pemukiman seperti itu, hingga saat ini di Banda Aceh masih dijumpai nama-nama kampung yang berasal dari nama kelompok saudagar/ pemukiman pertama, seperti kampung Keudah, kampung Kleng, dan juga kampung Jawa. (Denys Lombard, L e Sultanat d' Atjeh A n temps d'Iskandar Muda 1607-1636. Paris, 1967. Dapat juga dilihat dalam : Lance Castles and Ellizabeth C. Morris pola perkembangan Kota di Aceh, dalam seminar ini. Pembangunan III, Banda Aceh, 1976. H a l . 99-102). Pada abad K e X V I I I dan X I X Kerajaan Aceh memasuki masa krisis, atau masa kemunduran. Dengan sendirinya, Kota sebagai jantung atau urat nadi berbagai kegiatan, dengan sendirinya mundur pula. Keadaan i n i , sangat terasa ketika meletusnya peperangan Aceh melawan Belanda yang diikuti dengan perang melawan penjajahan
Jepang, yang seluruhnya memakan waktu ± 350 tahun. Situasi ini
mengisyaratkan bahwa masalah persebaran penduduk yang memacu kepada program pemerataan belum terlaksana. Suatu hal yang sulit ditemukan angka yang pasti tentang keadaan jumlah penduduk berdasarkan latar belakang ethnis. Sensus penduduk 1990 belum mengangkat secara rinci keadaan ini. Namun dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa penghuni Kotamadya Banda Aceh terdiri atas bermacam-macam ethnis. D i 21
antaranya adalah ethnis Aceh, yang menempati jumlah terbanyak. Berikutnya ethnis Gayo, Alas, Aneuk Jame, Tamiang, Kluet, Jawa, Sunda, Minangkabau, Melayu, Batak, dan Cina. Dalam pergaulan sehari-hari, terutama dalam berkomunikasi antar ethnis mereka pada umumnya mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar/bahasa
pergaulan. Sedangkan berbagai bahasa daerah/bahasa ethnis,
mereka pergunakan ssesama mereka atau dalam keluarga mereka, terutama keluarga yang dibangun oleh suami-isteri yang berasal dari ethnis yang sama.
4.
Keadaan Pendidikan Dari keadaan tofografi daerah dapat diketahui bahwa kegiatan penduduk
Kotamadya Banda A c e h pada umumnya terpusat di sektor perdagangan,
per-
kantoran atau administrasi pemerintahan, dan sebagian lagi berada di sektor pendidikan atau ilmu pengetahuan. Sektor yang terakhir ini, pada umumnya dipenuhi oleh kalangan generasi muda yang berusia pra sekolah Dasar sampai tingkat akademi atau perguruan Tinggi. Dari segi pengelolaan Pendidikan di Ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada umumnya dikelola oleh Negara dan ada juga yang dikelola oleh badanbadan swasta milik organisasi atau perorangan. Begitu pula dari segi jenisnya, bahwa lembaga pendidikan di daerah tersebut ada lembaga pendidikan keagamaan, dan ada pula lembaga pendidikan umum, yang kedua-duanya dikelola oleh negara. Adapun yang dimaksud lembaga pendidikan keagamaan yang dikelola oleh negara, antara lain adalah M I N , M T S N , M A N , dan I A I N . Bila lembaga ini dikelola oleh swasta, namanya menjadi M I S , M T S . S , M A S , dan seterusnya. Sedangkan yang dimaksud lembaga pendidikan umum di sini adalah meliputi ; SD, SMP, S M A , dan Universitas atau sekolah tinggi/Akademi lainnya yang dianggap sejenis. 22
Bentuk lembaga pendidikan keagamaan (Pendidikan Islam) yang lainnya adalah lembaga pendidikan Dayah atau pesantren. Semua lembaga-lembaga pendidikan yang disebutkan di atas, dapat disebut sebagai lembaga pendidikan formal, atau lembaga pendidikan yang dianggap resmi untuk mendidik generasi muda/atau siapa saja yang membutuhkan ilmu pengetahuan yang ada dalam masing-masing lembaga itu. Sebagai Ibukota Propinsi, Kota Banda Aceh terkesan cukup memadai persediaan fasilitas kelembagaan di bidang Pendidikan. Bahkan pada era 1990-an sudah mulai dirasakan ada persaingan di antara masing-masing lembaga tersebut baik persaingan dalam arti perlombaan peningkatan mutu (kwalitas) pendidikan, maupun persaingan dalam arti peningkatan berbagai sarana penunjang pendidikan lainnya. Akibat dari persaingan ini, pada sekolah-sekolah yang bermutu (yang berkwalitas tinggi) setiap tahun mengalami lonjakan jumlah pelamar, dan sebaliknya sekolahsekolah yang tidak bermutu baik, akan menderita kekurangan peminat. Keadaan ini sangat kentara pada tingkat S M T A ke bawah. D i perguruan Tinggi juga terjadi. Persaingan dirasakan antar Fakultas atau antar jurusan. Akibatnya, Fakultas-Fakultas yang dianggap favorit selalu diincar oleh tamatan S M T A yang relatif pintar-pintar. Sebaliknya untuk fakultas atau jurusan-jurusan yang dianggap kurang bergengsi, pada umumnya menjadi pilihan tamatan S M T A yang indeks prestasi keilmuannya relatif lebih rendah. Akibatnya, terjadi suatu situasi dalam dunia pendidikan yang tergolong dalam bentuk keadaan diskriminatif dan pemborosan. Keadaan diskriminatif yang dimaksud di sini adalah, tumbuhnya rasa cinta masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang maju, dan timbul rasa antipati (tak simpati) terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang mutum'a rendah. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka sekolah-sekolah yang maju akan semakin maju, dan sekolah-sekolah yang merosot akan terus merosot. Sangat disayangkan bila ada 23
lembaga-lembaga pendidikan yang terpaksa harus ditutup. Tindakan inilah yang disebut ruang pemborosan. Cukup banyak alasan bagi kalangan tertentu yang menutup suatu lembaga pendidikan. D i luar Kotamadya Banda Aceh misalnya, ditutupnya satu Sekolah Dasar, karena tidak ada murid. Sangat berkurangnya tamatan S D masuk ke suatu S M P karena mutu S M P / S M T P yang kurang baik. Gejala di Kotamadya Banda Aceh sedikit berbeda. Berkurangnya murid SD-SD tertentu, karena kecenderungan orang tua mengantar anaknya ke Madrasah Islam Negeri ( M I N ) . Bahkan, keterangan seorang G u r u M I N - P G A B a n d a A c e h yang terletak di jalan Syiah K u a l a , menyebutkan, bahwa setiap tahun di sekolahnya mengalami lonjakan penambahan murid baru yang melampaui batas jumlah yang telah ditargetkan. Keadaan yang serupa juga dialami oleh sekolah-sekolah agama favorit, seperti M T S N dan M A N Banda Aceh, sebagaimana diterangkan oleh Drs. A . Rahman T B . Kepala Mardrasah Aliyah Negeri ( M A N ) Banda Aceh. Perbandingan jumlah lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan agama dapat dilihat dalam tabel III dan tabel IV yang dicantumkan di bawah ini :
Tabel III Keadaan Pendidikan Umum di Kotamadya Banda Aceh, 1993 (diolah) NO.
STATUS
SD
SMTP
SMTA
KE T
1.
Negeri
102
14
15
2
2.
Swasta
10
21
19
8
3.
Kejuruan
-
2
11
4.
Jumlah
112
37
45
10
K E T E R A N G A N T A B E L : Termasuk di dalamnya lembaga-lembaga Pendidikan Yang diluar Depdikbud. 24
Tabel IV Keadaan Lembaga Pendidikan Agama Di Kotamadya Banda Aceh, Tahun 1993 (diolah) NO.
STATUS
MIN
:
MSTN
[AIN
KET.
1.
Negeri
6
2
2
1
11
2.
Swasta
4
2
1
_
7
3.
Jum 1 ah
10
4
3
1
18
Sumber : Aceh Dalam Angka, 1990. Bappeda-Kantor Statistik Tingkat I Aceh.
5.
M a t a Pencaharian Penduduk Penduduk K o t a m a d y a Banda A c e h , sebagaimana telah diungkapkan
sebelumnya, mereka pada umumnya bekerja di Birokrasi Pemerintahan atau lazim disebut Pegawai Negeri Sipil; jumlahnya mencapai sekitar ± 40 % dari jumlah penduduk. Selain dari itu, mereka bekerja di sektor dagang ( ± 2 0 %). A B R I ( ± 10%) dan yang bergerak di bidang industri atau jasa lainnya, diperkirakan berjumlah ±10%. Untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota terhadap sandang dan pangan, peranan daerah-daerah
sekitar yang mengelilingi Kotamdaya Banda Aceh cukup
penting artinya. Peranan Aceh Besar, Pidie, Aceh Barat dan Selatan, Aceh Tengah, A c e h U t a r a dan A c e h Timur dalam hal pemasukan barang-barang
kebutuhan
masyarakat kota, terutama kebutuhan akan hasil-hasil pertanian, sungguh sangat menentukan. Bahkan, dalam hal ini masyarakat kota Banda Aceh amat tergantung pada masyarakat desa dari berbagai daerah yang disebutkan. Sebaliknya, kebutuhan masyarakat desa terhadap mutu pendidikan yang baik terhadap anak keturunan 25
mereka, dan kebutuhan mereka akan barang-barang industri import sangat tergantung pada sistem pelayanan yang diberikan oleh masyarakat kota. Khususnya, berkenaan dengan kebutuhan akan barang-barang import, terutama produk-produk Industri maju, pada umumnya didatangkan dari daerah Medan-Sumatera Utara. Keadaan yang demikian telah menempatkan Aceh dalam posisi yang senantiasa bergantung pada Sumatera Utara. Posisi Sumatera Utara relatif sangat beruntung. Mereka mempunyai pelabuhan Belawan untuk perdagangan Export dan Import. Dalam hal i n i , A c e h menjadi tulang punggung perdagangan Sumatera Utara. Hasil-hasil pertanian/bahkan juga pertambangan dari Aceh di eksport melalui pelabuhan bebas Sabang di Pulau Weh berfungsi dengan baik, negara perdagangan/perekonomian Aceh dirasakan sangat meningkat. Kini pelabuhan bebas Sabang telah ditutup oleh pemerintah pusat dan bersamaan dengan itu pula dunia perdagangan Aceh mengalami kesuraman, dan pada saat ini semakin merosot. Sebagai penggantinya dibuat pelabuhan Malahayati di Krueng Raya. Keadaaannya sampai sekarang bagaikan kerakap di atas batu. H i d u p enggan mati tak mau. Keadaan yang demikian, terkesan agak berencana sepihak, pada awalnya rakyat sangat gelisah mengalami situasi tersebut, karena mereka (terutama yang bermukim di Sabang) belum siap menerima keadaan staguasi kehidupan yang seperti itu. Keadaan staguasi yang paling terkesan adalah di sektor pendapatan real mereka. Salah satu dampak keberadaan pelabuhan bebas Sabang bagi Kotamadya Banda Aceh, adalah meningkatnya arus lalu lintas penduduk dari berbagai daerah, dan bahkan dari manca negara (turis) dengan bermacam-macam kebutuhan. Salah satu akibat positif dari hal itu, terjadi kelancaran arus transportasi, perdagangan, dan berbagai kegiatan jasa lainnya, yang seluruhnya bermuara kepada perbaikan pendapatan, perbaikan taraf hidup dan peningkatan kesejahteraan rakyat. 26
Berdasarkan suatu studi yang pernah dilakukan tentang tingkat pendapatan penduduk Kotamadya Banda Aceh menunjukkan bahwa 40 % penduduk berpendapatan terendah menerima 16 % dari total pendapatan. 50 % penduduk berpendapatan menengah menerima 16,9 % dari total pendapatan. Dan 10 % penduduk berpendapatan
tinggi menerima 47,1 % dari total pendapatan seluruhnya.
Keadaan tersebut menurut keterangan bidang perekonomian sekretariat Daerah Tk. II Kotamadya Banda A c e h hingga saat ini belum mengalami perubahan yang berarti. K e a d a a n itu, menurut ukuran Bank D u n i a , keadaan pendapatan atau tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Banda Aceh tidak berada di bawah garis kemiskinan. Masalah yang dihadapi pada saat ini adalah di sekitar distribusi pendapatan atau pemerataan.
6.
Pemerintahan Kotamadya B a n d a A c e h yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
N o . 1/1957 dan dikukuhkan dengan keputusan Gubernur No. 153/1962 tanggal 28 D e s e m b e r 1962, pada saat i n i setelah mengalami perluasan daerah,
sudah
mempunyai empat kecamatan, yaitu : 1.
Kecamatan Baiturrahman
2.
Kecamatan Kuta A l a m
3.
Kecamatan Meuraxa
4.
Kecamatan Syiah Kuala Sebagaimana telah disebutkan dahulu bahwa kendali pemerintahan Daerah
Kotamadya Banda Aceh dipegang oleh seorang Wali Kota. Pada awal penelitian ini dilakukan Kotamadya Banda Aceh dipimpin oleh Wali Kota Baharuddin Yahya yang telah menjalani masa jabatan ± 10 tahun. 27
Masa kerja Baharruddin Yahya telah berakhir dengan resmi sejak tanggal 27 Maret 1993, dan sebagai penggantinya Wali Kota yang baru bernama Sayed Husen Alhaz. Untuk masa bakti 1993-1998. Sekretariat Daerah Kotamadya Banda Aceh dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah. Salah satu tugas Sekretaris Daerah yang berkaitan dengan isi adalah Mengatur Tatalaksana Mekanisme Pemerintahan di Daerah. Sedangkan tugas utama Kepala Daerah adalah sebagai Pembina Politik di Daerah. Menurut U U Nomor 5/1974 yang disebut pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( D P R D ) . Untuk lebih jelasnya mekanisme dan struktur Organisasi Pemerintahan Daerah Tk. II Kotamadya Banda Aceh, di bawah ini digambarkan struktur organisasi dimaksud sesuai dengan Perda No. 8 Tahun 1990.
2S
29
B.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Penelitian ini dipusatkan di Kecamatan Baiturrahman dengan mengambil
lokasi di Kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan Merduati. Dari hasil pertemuan dengan Pejabat Pemerintah Daerah Kotamadya Banda Aceh, ditemukan pemikiran bahwa pengambilan lokasi di Kecamatan Baiturrahman dianggap cukup beralasan dan sesuai dengan kerangka acuan rencana penelitian ini. Salah satu alasan yang muncul ke depan adalah posisi geografis Kecamatan dan kedua Kelurahan di atas terletak di pusat Kota. Masyarakat yang bermukim di kedua Kelurahan ini memang lebih tepat disebut sebagai Masyarakat Kota. Kecamatan lainnya yang juga termasuk dalam kategori Kecamatan Kota (walaupun sebagian saja dari daerahnya) adalah Kecamatan Kuta A l a m . Sedangkan dua Kecamatan lainnya (Meuraxa dan Syiah Kuala) kurang tepat untuk sample penelitian ini, karena masyarakat yang bermukim dalam kedua Kecamatan ini pada umumnya berasal dari bekas penduduk Daerah Tk. II Aceh Besar. Sebagai bagian dari masyarakat kota yang lainnya penduduk Kelurahan M e r d u a t i dan kelurahan K a m p u n g B a r u , dianggap bagian masyarakat
yang
senantiasa terlihat dalam berbagai proses dan perkembangan kehidupan Kota. Proses perkembangan kota dalam bidang ekonomi dan perdagangan, dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang politik agama, hankam, dan berbagai bidang lainnya seperti kebijakan tentang tata kebersihan lingkungan kota, pemukimam penduduk, dan lain-lain sebagainya, turut dirasakan oleh masyarakat kota pada umumnya dan oleh kelompok masyarakat dari kedua Kelurahan tersebut. Gambaran lebih lanjut tentang beberapa hal mengenai Kecamatan Baiturrahman akan diuraikan dalam bagian-bagian yang disebutkan di bawah ini :
30
1.
Keadaan Penduduk Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa jumlah pen-
duduk Kecamatan Baiturrahman menurut sensus 1990, sekitar 46.763 jiwa. Sebagian besar dari mereka yang tergolong usia produktif bekerja di sektor Pegawai Negeri Sipil (5.384), pedagang (2.874), A B R I (426), petani pemilik (216), petani penggarap (307), peternak sapi (47), peternak ayam (40) dan peternak kambing (7). Gambaran keadaan lapangan kerja penduduk seperti tersebut di atas, nampaknya semakin memperkokoh ungkapan yang menyatakan bahwa Kotamadya Banda A c e h sebagai " K o t a Pelayan". Pelayanan yang paling menonjol adalah pelayanan birokrasi. H a l ini terbukti dengan tingginya angka jumlah persentase Pegawai Negeri Sipil. Salah satu unsur pengembangan adalah karena Kotamadya Banda Aceh sebagai Ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Oleh karenanya kantor-kantor pemerintahan, dinas dan jawatan Tk. I pada umumnya terletak dalam Wilayah Kotamadya Banda Aceh. Bentuk pelayanan yang lainnya, antara lain dapat disebutkan adalah pelayanan di bidang ekonomi/perdagangan. Dan akhir-akhir ini mulai dirasakan, bahwa pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan semakin meningkat, dan mengikuti di belakang kedua jenis pelayanan utama tadi. Wujud Kota Banda Aceh sebagai kota pelayanan atau "Service Centres" telah disinyalir sejak tahun 1976 oleh Prof. A . Majid Ibrahim dalam salah satu naskah pidatonya yang d i s a m p a i k a n pada tanggal 21 J a n u a r i 1976. B e n t u k - b e n t u k pelayanan yang diramalkan akan berkembang antara lain ; pelayanan administrasi Pemerintahan atau pelayanan di bidang pendidikan, perdagangan, dan kesehatan. Oleh karena itu, di masa depan akan terjadi ledakan penduduk (arus urbanisasi) yang mencari pelayanan tersebut di kota.
31
2.
Sarana Kehidupan U n t u k menunjang kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang, di
Kecamatan Baiturrahman terdapat berbagai sarana kehidupan yang diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut : a. Sarana kehidupan ekonomi, di antaranya adalah : Pertokoan (120 buah), Koperasi simpan pinjam (71 buah), Koperasi Unit Desa ( K U D ) sebanyak (11 buah). Pasar umum (4 buah), pasar ikan (2 buah), Bank (8 buah),Terminal (3 buah). b. Sarana Sosial Budaya meliputi sarana Pendidikan, Kesehatan, Keagamaan, dan Pariwisata/Kesenian. Sarana Pendidikan diantaranya dapat disebutkan : Sekolah Taman KanakKanak (14 buah), Sekolah Dasar Negeri (37 buah), SD Inpres (15 buah), M I N sebanyak (3 buah), SD Protestan (1 buah), SD Katholik (1 buah), S M T P Negeri (10 buah), S M T P Swasta sebanyak (6 buah), S M T P Kejuruan (6 buah), S M T A Negeri (1 buah) dan S M T A Swasta sebanyak (8 buah), S M T A Kejuruan (4 buah) dan Perguruan Tinggi Swasta (5 buah). Sarana ibadah bagi umat beragama antara lain adalah : Mesjid (10 buah) Mushalla (34 buah), Gereja (1 buah). Sarana Kesehatan antara lain dapat disebutkan : Puskesmas (1 buah), Rumah Bersalin atau B K I A (6 buah) Puskesmas Pembantu (2 buah), Pos K B (41 buah), Apotek atau Depot Obat (13 buah), Praktek Dokter (37 buah). Adapun sarana Pariwisata dan kesenian antara lain adalah : tempat rekreasi (4 buah) tempat pertunjukan kesenian (2 buah). Obyek bersejarah (4 buah), sanggar kesenian (2 buah). Bioskop (1 buah), Tempat penginapan (7 buah) dan Restoran atau Rumah makan (5 buah).
32
3.
Kelurahan Merduati Luas Wilayah Kelurahan Merduati ± 57 H a . Yang pada umumnya terisi
dengan bangunan-bangunan yang meliputi rumah penduduk, pertokoan, tempat-tempat ibadah, sarana pendidikan dan berbagai sarana kehidupan lainnya. Berdasarkan catatan yang dapat diperoleh, baik dari monografi desa, maupun dari keterangan kelurahan setempat, bahwa kehidupan masyarakatnya pada umumnya dalam bidang non-agraris. Karena itu wajar bila dalam monografi kelurahan tidak ditemukan data tentang areal perkebunan, persawahan, dan pertanian tambak. Kehidupan nonagraris yang dimaksudkan adalah penduduk kelurahan Merduati tidak bekerja di sektor pertanian, dan petani tambak. Sebaliknya mereka bekerja di sektor perdagangan, pemerintahan, pertukangan dan lain-lain. Untuk keterangan selengkapnya di bawah ini disajikan tabel yang menggambarkan keadaan dan jumlah lapangan kerja penduduk.
Tabel V Keadaan Lapangan Pekerjaan Penduduk Kelurahan Merduati 1993 NO. 1.
LAP. PEKERJAAN
PRIA
WANITA
JUMLAH
Pedagang
231
55
2.
Pegawai Negeri
208
85
293
3.
Karyawan
237
77
314
4.
ABRI
5.
Pensiunan
6.
Tukang
7.
Tani
8.
Nelayan
9.
Dan lain-lain
10.
Jumlah
KET.
286
17
5
22
109
41
150
4
-
4
43
-
43
—
—
—
847
263
1.110
-
—
Sumber : Rekapitulasi Kelurahan di Kantor Lurah Kelurahan Merduati (diolah). 33
Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa jumlah pekerja pria jauh lebih banyak dibandingkan dengan kaum wanita. Perbandingannya hampir mencapai rata-rata (3 : 1) atau banyak tenaga kerja laki-laki dibandingkan dengan tenaga kerja wanita rata-rata ± 31 %. Salah satu faktor penyebab yang dapat diketahui antara lain; jumlah kaum wanita yang tamat pendidikan pada tingkat yang dibutuhkan oleh lapangan pekerjaan, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kaum laki-laki. Faktor lainnya yang juga dirasakan oleh sebagian anggota masyarakat nampaknya mulai ada kecenderungan pada sektor tertentu untuk lebih memprioritaskan penerimaan kaum pria dari pada wanita dengan bermacam-macam alasan yang pada umumnya alasan kodrat atau alamiah. Salah satu faktor lapangan kerja yang paling diminati oleh kaum wanita dan bahkan sering bersaing dengan kaum pria adalah pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Bidang lainnya seperti bidang Militer ( A B R I ) , perdagangan,
per-
tukangan, karyawan dan tani pada umumnya didominasi oleh kaum pria, kaum wanita kurang berminat untuk lapangan kerja ini. Bidang pertukangan misalnya, hanya terbatas pada sektor pembengkelan, bangunan, tukang kayu, dan jenis pertukangan lainnya, seperti tukang jahit misalnya juga kurang diminati kaum wanita. Masalahnya terletak pada kwalitas ketrampilan dan nilai pekerjaan itu sendiri. Dari hasil wawancara yang lebih serius lagi, ditemukan jawaban, bahwa masalah tempat bekerja erat kaitannya dengan soal status sosial, soal martabat, atau soal gengsi, dan masalah kerja bukan masalah penghasilan belaka. Dengan demikian dapat diketahui bahwa thesis Bower tentang Indonesia negara pegawai, dan prediksi Rusdi Sufi (1982) tentang struktur sosial penduduk Banda Aceh akan mirip dengan Kota Pegawai, ternyata juga terbukti disini. 34
H a l lain yang juga dipandang agak menonjol dalam tabel I V di atas adalah jumlah karyawan yang mencapai 237 orang pria dan 77 orang wanita. Dari hasil penelitian ditemukan keterangan bahwa pada umumnya mereka bekerja di lembagalembaga Negara non-Departemen dan d i perusahaan-perusahaan Negara dan Swasta. D i antaranya dapat disebutkan, misalnya sebagai karyawan Bank, karyawan P L N , Perusahaan air minum atau P A M , karyawan perusahaan penerbangan ( G I A ) , dan juga di sektor swasta seperti di perhotelan. Seperti telah disinggung di bagian terdahulu, pada sektor inipun nampaknya keberadaan kaum wanita juga jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan kaum laki-laki. Angka perbandingannya, ratarata mencapai (3 : 1) atau jumlah karyawan wanita (Karyawati) hanya (32 %) dari jumlah karyawan laki-laki. Keadaan yang digambarkan di atas sepintas lalu terkesan bahwa distribusi minat bekerja belum merata di antara kaum pria dan wanita. Sementara tingkat pertumbuhan penduduk memperlihatkan angka yang relatif hampir berimbang. Logika ini menunjukkan suatu masalah lain yang memerlukan perhatian khusus, yaitu keadaan masyarakat non-produksi atau "Pengangguran terpimpin", yang pada umumnya didominasi oleh kaum wanita usia pekerja. Adapun gambaran keadaan dan perbandingan jumlah penduduk kelurahan Merduati (pria dan wanita) menurut usia masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut :
35
Tabel VT Keadaan Penduduk Kelurahan Merduati, 1993 NO.
UMUR
1.
0-4
2. 3.
PRIA
WANITA
JUMLAH
174
161
5-9
197
212
409
10-14
227
233
460
;
KET.
335
4.
15-19
279
276
555
5.
20 - 24
433
492
925
6.
25-29
416
379
795
7.
30-34
261
221
482
8.
35-39
204
171
375
9.
40 - 44
141
192
333
10.
45 ke atas
353
356
709
11.
Jumlah
2.685
2.693
5.378
-
Sumber : Kantor Kelurahan Merduati (Hasil Sensus, 1990) diolah. Keadaan dalam tabel (VI) di atas memperlihatkan keadaan pertumbuhan penduduk pria dan wanita dalam posisi yang berimbang. Jumlah penduduk jenis kelamin wanita (50,07 %), dan jenis kelamin pria (49,93 %) dari total penduduk kelurahan. Dengan demikian prediksi tentang jumlah wanita yang menganggur seperti disebutkan di atas, nampak dengan jelas dari sensus penduduk yang digambarkan dalam tabel V I ini. H a l lain yang juga perlu diketahui adalah jumlah penduduk dalam bentuk antar generasi. Berdasarkan tabel di atas kelompok penduduk antar generasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
36
Tabel VII Keadaan Penduduk Dikelompokkan Menurut Generasi NO. 1.
UMUR Anak-anak (0 - 1 4 ) Tahun
JUMLAH 1.204
PËRSENTASE 22,40
2.
Remaja (15 - 19)
555
10,30
3.
Pemuda (20 - 34)
2.202
41,00
4.
Dewasa (35 ke atas)
1.417
26,30
5.
Total
5.378
100%
KET. -
-
Sumber : Kantor Kelurahan Merduati (Hasil Sensus, 1990) dioiah. Keadaan di atas memberi gambaran kepada kita bahwa komposisi jumlah generasi muda usia (20 - 34 tahun) merupakan jumlah terbanyak ( ± 41 %) dari total penduduk. K e m u d i a n berikutnya adalah kelompok dewasa (26,30 % ) . Kelompok yang relatif sedikit jumlahnya adalah yang berusia remaja (10,30 %) dan anak-anak (22,40 %). Bentuk pengelompokan di atas (model dalam tabel V I I ) didasarkan kepada pemikiran yang memberi garis batas tentang usia pemuda Indonesia (20 35 tahun). Usia di bawah 35 tahun dikelompokkan dalam usia remaja dan anak-anak. U s i a di atas 35 tahun sering disebut k e l o m p o k "Orang-orang dewasa atau digolongkan sebagai generasi tua". Namun, masalah standar masih sulit ditemukan. Bahkan dalam kajian yang lebih universal, masing-masing negara mempunyai batas dan cara tersendiri melaksanakan pengelompokan ini (lebih lanjut dapat dibaca dalam Prisma 1982. Januari hal. 69-83). D i Negara Indonesia saja tidak ada ketentuan yang pasti tentang umur seorang pemuda atau orang dewasa. Salah satu konsep kedewasaan disebutkan berusia 17 tahun ke atas atau sudah kawin. Begitu pula konsep kepemudaan di samping aspek kematangan biologis dan psyclis, masalah usia juga sedang dicari kesepakatan yang mutlak. 37
Berkaitan dengan hal-hal yang disebutkan, di dalam uraian terdahulu pernah disebut-sebut tingkat pendidikan penduduk kelurahan Merduati, terutama dalam kaitan pembahasan tentang lapangan pekerjaan atau mata pencaharian penduduk. Untuk jelasnya, di bawah ini disebutkan gambaran keadaan penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan menurut tingkatan masing-masing.
Tabel VTII Keadaan Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Merduati, 1993 NO.
PEND./IJAZAH
h. TamatSD
PRIA
WANITA
JUMLAH
375
415
790
2.
TamatSMTP
721
650
1.371
3.
TamatSMTA
430
225
655
4.
TamatAkademi
72
40
112
5.
Tamat P. Tinggi
41
45
86
6.
Buta Aksara
7
5
12
7.
Tidak tamat SD
1.023
770
1.793
8.
Total
2.669
2.150
4.819
KET.
Sumber : Kantor Kelurahan Merduati. Keadaan tingkat pendidikan rakyat, seperti yang terlihat dalam tabel VIII menggambarkan suatu indikasi bahwa mayoritas penduduk kelurahan Merduati tergolong dalam kelompok masyarakat terdidik/berilmu pengetahuan. Jumlah anggota masyarakat yang tamat pendidikan atau yang memiliki Ijazah (SD s/d perguruan tinggi) sebanyak 3.014 orang. Bila dibandingkan dengan situasi lapangan kerja seperti yang digambarkan dalam tabel V, yang memberi keterangan tentang Jumlah Penduduk yang tidak bekerja ( ± 1.087 orang), maka kesimpulan sementara dapat ditarik bahwa jumlah penduduk yang mempunyai Ijazah dan sudah memiliki lapangan kerja ± 36 % . 38
Jumlah mereka/pemilik ijazah yang belum mendapat pekerjaan sekitar 64 %. Prosentase tersebut tidak akan mengalami perubahan yang berarti bila pekerja di sektor perdagangan juga dianggap sebagai anggota masyarakat yang memiliki ijazah. Jumlah mereka di sektor ini hanya 9 %, petani dan pertukangan hanya 1 %. Dengan demikian, bila anggapan ini dicoba dijadikan bagian dari prosentase di atas 64 % maka keadaan akhir juga tidak banyak mengalami perubahan. Angka pemegang Ijazah yang belum bekerja tetap di atas menengah garis menengah (54 %) Situasi ini menggambarkan dualisme potensi kehidupan yang dilemmatis. Banyaknya jumlah penduduk yang berpendidikan merupakan salah satu prestasi pembangunan yang patut dibanggakan, dan sekaligus merupakan sumber daya pembangunan yang amat strategis. A k a n tetapi, pemikiran dari segi yang lain, situasi kehidupan masyarakat atau bangsa akan rumit, apabila di dalamnya telah banyak "Pengangguran terselubung". Keadaan rawan senantiasa menyertai situasi yang disebut terakhir ini. B i l a dikaitkan dengan pola umum kehidupan masyarakat Kotamadya Banda Aceh yang sangat dominan bekerja di sektor pemerintahan dan perdagangan, maka situasi yang digambarkan itu, sangat memerlukan perhatian yang lebih serius. Kedua sektor ini tidak mengalami perubahan yang cukup berarti (sekurang-kurangya untuk masa 5 atau sepuluh tahun mendatang), dan sementara sektor agraris juga tidak mempunyai prospek yang cerah, maka keadaan mereka yang belum bekerja (54 %) akan menjadi kelompok konsumen yang dependensif. Dan mereka "tetap bertahan" dalam situasi "Kemacetan" yang tidak dapat mengalir. Suatu ketika bebas ketergantungan hidup ini akan mengubah. Kedudukan Pendapatan global masyarakat dari " G N P - l o k a l " yang tinggi menjadi rendah, yang pada akhirnya rakyat terperangkap dalam "Kemiskinan Struktural". 39
D i samping itu, sebagai kelengkapan gambaran umum keadaan Kelurahan M e r d u a t i ikut dibicarakan tentang keadaan Agama dan struktur Pemerintahan tingkat Kelurahan atau desa. Adapun gambaran keadaan dan jumlah penganut agama di Kelurahan Merduati dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel IX Jumlah Penganut Agama Dalam Kelurahan Merduati, 1993 NO.
PEND. /IJAZAH
PRIA
\ WANITA
JUMLAH
1.
Islam
2.622
2.542
5.164
2.
K. Protestan
46
45
91
3.
K. Katholik
18
18
36
4.
Hindu
4
5
9
5.
Budha
38
40
78
6.
Dan lain-lain
—
—
—
7.
Total
2.728
2.650
5.378
KET.
-
—
Sumber : Kantor Kelurahan Merduati. Makna dari gambaran di atas antara lain dapat dikajikan melalui beban tanggung jawab masalah kehidupan : termasuk di dalamnya kehidupan sosial, ekonomi, politik, keagamaan, hamkamnas, dan juga menyangkut pembangunan tata lingkungan hidup yang berdampak kebaikan bagi semua lapisan masyarakat yang bertempat tinggal di Kelurahan Merduati atau di Kota Banda Aceh. Jumlah umat Islam merupakan kelompok yang mayoritas (96 %) selebihnya (sekitar 4 %) merupakan penganut Agama Non-Islam, yang minoritas. Suatu hal yang menarik dalam kehidupan keagamaan adalah tidak ada terjadi konflik antara umat beragama, dan juga antara umat beragama dengan pemerintah setempat. H a l lain yang dapat dianggap sangat memprihatinkan adalah belum dimanfaatkannya sarana keagamaan/umat beragama dengan cara yang sunguh-sung40
guh/ dan maksimal dalam rangkat memasyarakatkan disiplin hidup dalam kehidupan di Kota. Kehidupan keagamaan terkesan dari hasil pengamatan, masih sangat semarak. Mesjid, dan: mushalla tetap ramai dikunjungi umat Islam untuk melaksanakan ibadah shalat berjamaah. Jumlah peserta shala) berjamaah relatif lebih ramai dari shalat maqrib, isya, dan subuh. Shalat dzuhur dan ashar berkurang peserta jamaah karena pada jam tersebut anggota masyarakat masih di tempat kerja atau sebagian baru pulang kerja ketika menjelang shalat Asar. Keadaan shalat Jumat, rata-rata mesjid dalam Kotamadya Banda Aceh, dan juga mesjid dalam Kelurahan Merduati sangat banyak jumlah pesertanya. Bahkan berdir: di luar mesjid sebagian besar peserta shalat Jum'at merupakan "Pemandangan lama" yang telah menjadi kebiasaan di kalangan Umat Islam di Banda Aceh. Keadaan yang lebih semarak lagi di bulan Ramadhan. Kebetulan sebagian dari penelitian ini dikerjakan pada bulan Ramadhan 1413 H . , di mana penulis ketika itu ikut menyaksikan suasana ibadah puasa ketika malam hari yang dipenuhi dengan kegiatan shalat malam di Mesjidmesjid dan langgar-langgar dalam Kota Banda Aceh. Kehidupan keagamaan lainnya adalah berbentuk Upacara memperingati hari-hari besar Islam, seperti Perayaan Maulid Nabi, Perayaan Isra' Mikraj, perayaan hari Nuzulul Quran, menyambut Tahun Baru Hijriah tanggal 1 Muharram, dan lainlain. Semua ini telah menjadi tradisi kehidupan orang-orang Islam di Banda Aceh, juga di Kelurahan Merduati. Berikut ini digambarkan pula keadaan struktur Pemerintahan
tingkat
Kelurahan. Kelurahan Merduati dipimpin oleh seorang lurah. Sekarang ini di bawah kepemimpinan Muchsin Berawas, keturunan ethnis A r a b yang telah cukup lama bermukim di Banda Aceh, mulai dari orang tuanya. 41
Struktur Organisasi Pemerintahannya dilengkapi dengan beberapa Kepala Urusan, sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Suatu hal yang berbeda dengan keadaan struktur pemerintahan desa yang belum berstatus Kelurahan adalah tentang status personil administrasi pemerintahan. Seluruh personil di Kantor Kelurahan pada umumnya berstatus Pegawai Negeri. Dan oleh sebab itu, mereka mempunyai gaji tetap. Kehadiran mereka pada jam kerja di Kantor relatif lebih disiplin dibandingkan dengan jam kerja seorang Kepala Desa (Keuchik) yang pada umumnya tidak mendapatkan gaji tetap dari jabatannya. Konsep disiplin yang dimaksudkan dalam bahasan ini bukan berarti Kepala Kelurahan setiap hari sepenuhnya ada di kantor. Yang dimaksudkan adalah pusat kegiatan Kepala Kelurahan (lurah) terjadwal di Kantor. Dalam kesibukannya seharihari, Kepala Kelurahan (pak lurah) lebih banyak berada di luar kantor, menghadiri berbagai kegiatan sosial yang ada dalam masyarakat. Kesibukan lurah juga disertai oleh berbagai kegiatan lainnya yang bersifat politik, seperti mengikuti berbagai pertemuan di Kantor Kecamatan dan Kotamadya. Sedangkan berbagai urusan lainnya di Kantor, biasanya dilayani oleh kepala-kepala urusan, terutama Kepala urusan administrasi yang ditunjuk. Keputusan akhir seluruh permasalahan sepenuhnya berada di tangan Kepala Kelurahan. Itulah sebuah realitas yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari di Kelurahan Merduati.
4.
Kelurahan Kampung Baru Dari segi kualitas kehidupan masyarakat kelurahan Kampung Baru tidak
jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat kelurahan Merduati. Namun dari segi kualitas terdapat beberapa aspek yang menunjukkan sedikit perbedaan. Luas Wilayah Kampung Baru sekarang ini sekitar 78 H a . Terdiri dari bangunan, peru42
mahan, pertokoan, perkantoran, taman tempat rekreasi, dan lain-lain sebagainya. Dalam Wilayah Kelurahan Kampung Baru tidak ada sawah, kebun, rawa, tambak, dan juga tidak ada lahan-lahan tanaman agraris lainnya. Seperti telah disebutkan dahulu bahwa kebutuhan rakyat terhadap hasil-hasil pertanian, pada umumnya didatangkan dari luar kota, terutama dari Daerah Tk. II lainnya di Daerah Istimewa Aceh. Dari hasil sensus Penduduk Tahun 1990 ditemukan keadaan dan komposisi penduduk Kelurahan Kampung Baru, sebagaimana dalam tabel di bawah ini :
Tabel X Keadaan Penduduk Kelurahan Kampung Baru, 1993 NO.
UMUR
1.
0-4
PRIA
;
WANITA
267
373
JUMLAH
KET.
640
2.
5-9
256
345
601
3.
10-14
360
365
725
4.
1 5 - 19
386
436
822
5.
20-24
598
587
1.185
6.
25-29
368
317
685
7.
30-34
234
235
464
8.
35 - 39
286
274
560
9.
40 - 44
147
168
315
10.
45-49
305
185
490
11.
50-54
130
135
265
12.
55 ke atas
177
198
375
13.
Total
3.514
3.618
7.132
Sumber : Kantor Kelurahan Kampung Baru (Hasil Sensus, 1990) diolah. Dari gambaran dalam tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk pria berada dalam posisi berimbang dengan kaum wanita. Bila dijabarkan dalam bentuk prosentase, maka keadaaannya dapat dijelaskan sebagai berikut : 43
Jumlah penduduk laki-laki (49,27 %) sedangkan penduduk wanita (50,73 %) selanjutnya bila keadaan di atas dilihat dari segi angkatan (generasi) kehidupan, maka diperoleh keadaaan angka : anak-anak usia 0 - 1 4 tahun sebanyak 1.966 orang (27,56 %). Kelompok usia pemuda dan remaja berjumlah 3.161 orang (44,32 %), kelompok ini berusia antara 15 - 34 tahun. Sedangkan kelompok usia dewasa, yang berumur 35 tahun ke atas 2.005 orang (28,11 % ) . K e a d a a n p e n d i d i k a n masyarakat K e l u r a h a n K a m p u n g B a r u dapat digambarkan, antara lain seperti tertera dalam tabel di bawah ini :
Tabel XI Keadaan Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Kampung Baru NO1.
PEND.,'IJAZAH Buta Aksara
2.
Tidak tamat S D
3.
Tamat S D
PRIA
WANITA
-
_
"njMLAH _
KET. _
56
69
125
-
527
456
983
-
4.
Tamat S M T P
673
544
1.217
5.
Tamat S M T A
980
846
1.826
6.
Tamat Akademi
392 •
330
722
7.
Tamat P. Tinggi
476
398
874
-
Total
3.104
2.643
5.747
8
|
—
Sumber : Kantor Kelurahan Kampung Baru Jumlah anggota masyarakat yang memiliki ijazah (SD s/d Perguruan Tinggi) sekitar 5.622 orang atau (79 %) dari total penduduk (7.132). Keadaan ini menggambarkan suatu pengertian bahwa mayoritas penduduk Kelurahan Kampung Baru telah bebas dari buta aksara dan termasuk golongan masyarakat terdidik. Dari segi kesempatan memperoleh pendidikan, antara pria dan wanita mendapat kesempatan yang sama. Bahkan jumlah kaum wanita yang telah mendapatkan ijazah 44
sedikit lebih rendah dari kaum pria. Nampaknya, semakin tinggi jenjang pendidikan, jumlah kaum wanita semakin berkurang. Salah satu kendala yang sering terdengar adalah alasan perkawinan dan alasan pekerjaan rutin di dapur. Alasan yang lainnya juga diakui bahwa pada umumnya tuntutan berpikir lebih rumit pada jenjang pendidikan tinggi kurang disukai oleh kaum wanita. D a r i gambaran keadaan yang disebutkan daiam tabel di atas dapat diketahui bahwa mata pencaharian penduduk kelurahan Kampung Baru pada umumnya relatif sama dengan gambaran yang dimiliki oleh masyarakat kelurahan Merduati yang didominasi oleh sektor ekonomi non-organisasi, dan bersifat
heterogen.
Keadaan yang demikian disebabkan karena perkampungan tersebut terletak di pusat Kota. Kegiatan penduduk pada umumnya pekerja di kantor-kantor pemerintah baik selaku pegawai negeri, maupun pegawai swasta. Yang lainnya bekerja sebagai pedagang, A B R I , buruh, nelayan, pertukangan, dan sebagainya. Sebagaimana yang telah dikemukakan tentang ketergantungan
penduduk
kelurahan Merduati akan bahan pangan dari sektor pertanian, begitu pula halnya dengan penduduk Kampung Baru yang juga non-agraris, di mana mereka mendapat supply makanan/pangan dari berbagai daerah Tk. II lainnya di Daerah Istimewa Aceh, terutama Kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Kabupaten Aceh Barat. Berdasarkan hasil pengamatan dan didukung oleh data-data lapangan yang dapat diketahui bahwa tingkat penghidupan/pendapatan
masyarakat kelurahan
K a m p u n g B a r u , b e l u m dapat dikategorikan dalam tingkat k e h i d u p a n yang mencukupi. Pada umumnya keadaan mereka pada tingkat di bawah kehidupan kelas menengah, sekalipun mereka bekerja di sektor perdagangan dan Pegawai Negeri. Dari hasil pengamatan, dapat disebutkan mengenai kondisi rumah-rumah (tempat tinggal) penduduk. D i samping belum memenuhi kriteria rumah, keadaan bahan 45
bangunanpun termasuk ke dalam taraf pemakaian orang-orang yang tidak mampu pada masa sebelum era tehnologi canggih dahulu. D i kawasan pasar (pusat perbelanjaan) Kampung Baru misalnya : masih ada rumah-rumah penduduk yang dindingnya terbuat dari karton, dari papan bekas peti-peti barang dagangan, dan ada juga rumah-rumah yang masih memakai dinding-dinding kamar dari anyaman pelepah rumbia. A d a rumah yang tidak memiliki sumur, tidak memiliki W C , dan letaknya terkesan terjepit oleh bangunan toko atau rumah toko (Ruko) yang berlantai dua atau tiga. Selain itu, di sekitar rumah-rumah tadi tidak ada got atau tempat saluran air yang memadai. Akibatnya bila sedikit hujan, keadaannya menjadi becek dan akan bertambah parah di sekililing rumah penduduk yang dengan sengaja membuang air-air bekas cucian (yang kotor) ke belakang atau ke halaman rumahnya. Kawasan lainnya, yang berbeda
dengan
keadaan perumahan (tempat tinggal) penduduk seperti pada tempat yang telah disebutkan, adalah tempat tinggal penduduk di kawasan Taman Sari atau sepanjang jalan Taman Sari dan jalan Balai Kota. Kawasan ini pada umumnya ditempati oleh para pejabat yang mempunyai jabatan strategis di Kantor-Kantor Pemerintahan, dan juga di antaranya terdapat rumah-rumah para saudagar dan pengusaha yang dianggap kelompok pengusaha sukses. Keadaan lingkungan dan letak rumah-rumah di kawasan ini jauh lebih teratur dan memiliki standar kriteria lingkungan yang indah, bersih, dan sehat. Jalanjalan utama dan lorong-lorong yang menghubungkan antara satu rumah dengan rumah yang lain, atau antara satu rukun tetangga (RT) dengan rukun tetangga (RT) yang lain, pada umumnya telah mendapat pengerasan (aspal) dan telah mendapat perluasan sesuai dengan rencana yang ada. Keadaan ini juga berkaitan dengan tingkat pendidikan penduduk, dan keadaan lingkungan yang sehat seperti ini juga 46
amat besar pengaruhnya bagi pertumbuhan dan peningkatan kesehatan masyarakat. Begitu pula sebaliknya, keadaan lingkungan pada tempat tinggal penduduk di kawasan sekitar pasar Kampung Baru (Pusat perbelanjaan) yang kurang bersih dan kurang memenuhi standar kriteria lingkungan yang sehat dengan sendirinya akan berdampak sangat buruk bagi peningkatan kesehatan masyarakat di tempat itu. Bukan hanya di kawasan ini, hampir semua perkampungan (tempat pemukiman penduduk) yang terletak di dekat pasar-pasar yang ada dalam Wilayah Daerah Tk. Ii K o t a m a d y a B a n d a A c e h , m e m p e r l i h a t k a n keadaan lingkungan yang kurang menyenangkan. Bahkan pada daerah-daerah tertentu, sering menimbulkan bau busuk yang amat merusak dan amat mengganggu ketenangan hidup. D i samping itu, di bawah ini digambarkan pula tentang keadaan kehidupan keagamaan masyarakat Kelurahan Kampung Baru. Pada umumnya mereka beragama Islam (5.875 jiwa) yang terdiri dari laki-laki (3.190) dan penganut Islam yang wanita (2.685), Agama Kristen Protestan (242), Kristen Katholik (116), Budha (896) dan yang menganut agama Hindu (3 orang). D a r i hasil pengamatan, diketahui bahwa keadaan kehidupan keagamaan dalam masyarakat Kelurahan Kampung Baru, nampaknya terkesan sangat stabil. Stabil dalam arti tidak tumbuh dan berkembang dinamik dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat menggerakkan dan mengarahkan masyarakat pada suatu tujuan yang telah tersusun secara sistematis. Organisasi-organisasi sosial keagamaan, baik organisasi yang bernafaskan Islam, maupun yang non-Islam, terkesan kurang bergairah. Padahal dalam wilayah Kelurahan Kampung Baru terdapat beberapa kantor induk organisasi massa umat Islam. D i antaranya Dewan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah, Badan Koordinasi H M I Cabang Daerah Istimewa Aceh dan juga beberapa organisasi Islam lainnya 47
yang bermarkas di Kelurahan Kampung Baru. Gema kegiatan ke Islaman/keagamaan belum terkoordinir secara rapi dan terprogram. Keadaan yang demikian bukan hanya di Kelurahan Kampung Baru saja, bahkan hampir menjadi suatu pemandangan (suatu situasi) yang umum di Kotamadya Banda Aceh. Masyarakat perkampungan, nampaknya mulai merosot kemauan dan semangat untuk. melakukan berbagai aktifitas keagamaan. Berbarengan dengan keadaan tersebut di birokrasi pemerintah dan juga di kampus-kampus Universitas semangat melakukan kegiatan-kegiatan k e a g a m a a n a k h i r - a k h i r i n i m e m p e r l i h a t k a n suatu k e a d a a n yang s e m a k i n menggembirakan dan semakin semarak. Upacara memperingati hari-hari besar Islam di samping menjadi agenda berbagai Instansi Pemerintah dan swasta, kegiatan tersebut juga menjadi agenda kegiatan lembaga-lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Bahkan di Universitas-universitas kini tumbuh bermacam-macam forum pengkajian/forum pengajian masalah-masalah keagamaan/ke-Islaman. Diskusi dan dialog-dialog antar mahasiswa dengan menghadirkan pakar atau ilmuan-ilmuan dalam suatu forum tertentu, merupakan suatu gejala baru yang menarik perhatian untuk diteliti lebih lanjut.
C.
BERBAGAI PERMASALAHAN KOTA Kotamadya Banda Aceh sebagaimana halnya kota-kota lain di Indonesia
dan dunia, telah berkembang menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi dan perdagangan, politik, hukum, hankam, dan juga sebagai pusat kegiatan sosial budaya yang berlangsung dalam suatu tata ruang tertentu. Sebagi pusat berbagai kegiatan yang disebutkan di atas, tentu saja dinamika dan berbagai proses yang berlangsung, akan membawa dampak bagi berbagai masalah lainnya, seperti masalah lingkungan hidup, masalah lapangan kerja dan kesempatan 48
kerja, masalah perumahan atau pemukiman penduduk, masalah
transportasi,
komunikasi, pendidikan, kesehatan dan juga tempat-tempat rekreasi, hiburan dan kesenian. Semua hal yang disebutkan di atas, menurut hasil pengkajian Sukanto (1985 : hal 37) dapat ditelaah lebih lanjut melalui teori lokasi dan pertumbuhan Kota, yang disuntingnya dari teori Christaller dan Losch yang dikembangkan oleh B n a n Berry. Teori lokasi memberikan penjelasan dengan model tempat sentral, yang antara lain menyebutkan bahwa kota merupakan pusat daerah yang produktif. Artinya, kota atau pusat kota pada umumnya dikelilingi oleh tanah atau areal-areal yang produktif. Dalam Kota hanya berlangsung pertukaran jasa dan barang, atau dengan uang. Mereka yang bekerja di pusat kota dan yang bekerja di areal-areal produktif di daerah sekeliling kota saling membutuhkan kegiatan masing-masing, para pekerja di sektor pertanian di daerah-daerah di luar kota, mereka mempunyai langganan sendiri dan mempunyai tempat-tempat khusus di kota sebagai tempat penjualan barang-barang dari mereka. Kemudian mereka juga mempunyai langganan atau tempat-tempat tersendiri yang relatif tetap sebagai tempat mereka membeli barang-barang yang mereka perlukan untuk dibawa pulang ke desa-desa, atau daerah di sekeliling kota. Selanjutnya, bila dilihat pertumbuhan dan perkembangan Kota Banda Aceh, menurut petunjuk teori yang dikemukakan Kuwarto di atas, maka keadaan kota Banda A c e h dapat dikatakan sebagai kota yang mengalami perubahan
per-
kembangan, dan pertumbuhan yang relatif agak cepat. D i samping mengalami perluasan daerah yang nampaknya terus-menerus akan mendesak daerah T k . II Kabupaten Aceh Besar untuk mau meiepaskan sebagian daerahnya menjadi milik daerah Tk. II Kotamadya Banda Aceh, juga terjadi perluasan dan pertumbuhan 49
pusat-pusat perbelanjaan yang baru, menyerupai satelit yang mengelilingi pusat kota. Tumbuhnya pasar-pasar swalayan atau pusat-pusat perbelanjaan seperti pasar Beurawe, pasar swalayan Stui, Gemini, dan juga pasar swalayan Geunta Plaza di kawasan jalan Balai Kota, merupakan salah satu gambaran pertumbuhan aktifitas perdagangan/ekonomi di Kota. Keadaan ini tidak terlepas dengan berbagai tingkat perubahan yang terjadi di desa atau di daerah sekeliling kota. Berbagai perubahan yang terjadi seperti yang disebutkan, akan memberi dampak bagi masalah lingkungan, kependudukan, perumahan, dan berbagai persoalan pelayanan yang menyertai perubahan itu, seperti pelayanan transportasi dan komunikasi. Khususnya masalah lingkungan (kebersihan), perumahan/tempat tinggal, masalah transportasi dan komunikasi, merupakan permasalahan yang belum terpecahkan. Dan masalah ini tetap merupakan tema-tema utama dalam perbincangan rakyat biasa dan bahkan sering menjadi tema seminar di kalangan ilmuan dan para penguasa. Masalah lainnya yang juga melanda kehidupan masyarakat. Kota Banda Aceh adalah realisasi pemakaian pelayanan penerangan listrik ( P L N ) dan pelayanan air bersih ( P D A M ) yang sering mengalami kemacetan, dan sering menimbulkan keresahan para konsumen. Berkaitan dengan masalah lingkungan (kebersihan), di antaranya dapat disebutkan salah satu kasus lama dan telah menjadi masalah klasik bagi masyarakat kota, yaitu "Proyek Lima Milyar" yang sudah sangat popuier. "Proyek Lima Milyar" itu adalah salah satu proyek Pemda Tk. II Kotamadya Banda Aceh yang menangani perbaikan/pembuatan saluran air (Got-Parit) dalam kota. Tujuannya untuk mencegah terjadinya genangan air (banjir dalam kota) yang dapat merusak sistem sarana komunikasi dan transportasi kota (seperti jalan) terutama ketika musim hujan. Hampir menjadi "rahasia umum" bahwa "Proyek Lima Milyar" itu gagal mencapai target 50
dan tujuan sebagaimana yang telah digariskan. H a l ini pernah hangat pembicaraannya dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tk, II Kotamadya Banda Aceh, dan juga disorot oleh media massa dan kalangan masyarakat luas. Akibat dari kegagalan proyek ini, masyarakat kota tidak tertolong. Got dan parit-parit di sepanjang toko atau rumah-rumah penduduk tetap mengalami kemacetan menyalurkan air ke daerah pembuangan. Bahkan di beberapa tempat tertentu terutama di kawasan pertokoan Jl. K . H . Ahmad Dahlan saluran (Reol) air atau got banyak yang telah tersumbat. Akibatnya ketika musim hujan J l . K . H . Ahmad Dahlan mulai dari ujung jalan Perdagangan tetap tergenang air. Dan bila hujan deras, genangannya mencapai kedalaman antara 10 s/d 20 cm. Masalah transportasi juga merupakan suatu kebutuhan masyarakat yang belum berkembang secara merata, dan terjadi ketimpangan yang kadang-kadang sangat menyolok. Pada jalur atau jurusan tertentu, mengalami kelebihan jasa angkutan dan kekurangan penumpang seperti : yang dialami oleh jasa angkutan mobil line K o t a ke j u r u s a n L a m b a r o , K r u e n g R a y a , dan L h o n g a . U n t u k jurusan Darussalam dan seterusnya sampai ke daerah Tungkop sekitarnya mengalami kelebihan jumlah penumpang dan mengalami kekurangan fasilitas kendaraan angkutan, terutama pada waktu jam kerja pagi bagi para pegawai Negeri atau pada jam-jam kuliah bagi mahasiswa dan pelajar. Khususnya untuk melayani kebutuhan para mahasiswa, sampai saat ini belum terdapat suatu sistem pelayanan yang memuaskan. A d a tiga lembaga (perusahaan) yang terlibat dalam pelayanan jasa transportasi untuk pelajar dan mahasiswa Universitas Syiah Kuala dan lAIN-Jamiah A r Raniri Darussalam Banda Aceh, yaitu Bus Darussalam, P D D A M R I , dan jasa transportasi dari Microlet (labi-labi) dari organisasi atau pribadi. Namun kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa pelayanan itu belum memadai. Oleh karenanya 51
masalah itu, merupakan persoalan tersendiri dalam ruang lingkup perusahaan Kota Banda Aceh. Beberapa tahun yang lalu, untuk menanggulangi persoalan in telah mulai muncul suara-suara yang menghendaki agar P N K A dapat memikirkan kembali upaya pengadaan kembali kereta api A c e h , walaupun hanya untuk melayani masyarakat pelajar/mahasiswa sementara waktu. D i samping tiu, masih ada perkembangan-perkembangan
dalam wilayah
Kotamadya Banda Aceh yang belum dapat menikmati transportasi umum Kota sebagaimana yang dipunyai oleh kedua jalur yang disebutkan di atas. D i antara perkampungan yang belum dilalui oleh bis/minibus angkutan Kota adalah : Kampung Lamdingin, Deah Baro, Deah Geulumpang, Ie Masen, Ateuk Munjeng, Ateuk Jawoe, Lampaio dan lain-lain, yang jarak rata-rata dengan pusat kota antara 1.000 s/d 2.500 M . Banyak hal (faktor) yang menjadi sebab terjadinya keadaan ini. Antara lain disebutkan keadaan prasarana jalan yang kurang memadai, dan jumlah anggota masyarakat yang membutuhkan pelayanan transportasi, hanya terbatas pada keperluan pada saat tertentu saja seperti kebutuhan golongan/para ibu rumah tangga untuk berbelanja ke pasar. Jumlah dan banyaknya para anggota masyarakat di kawasan perkampungan yang disebutkan terakhir, tidak sama dengan jumlah yang membutuhkan pelayanan pada jalur-jalur yang agak ramai seperti jalur lalu lintas Darussalam, Uleelheue, dn Lho'nga. Namun satu hal yang perlu digaris bawahi adalah di antara para penumpang bis (mini-bus) yang menuju ke arah Darussalam khususnya adalah mereka yang bertempat tinggal dalam perkampungan-perkampungan yang belum dilalui oleh jasa angkutan umum kota. Selain dari model teori pusat kota (kota sebagai pusat atau centrum daerah produktif di sekitarnya, dengan berbagai bentuk perkembangan kota-kota kecil (pasar) dan perkampungan sekitar. Yang merupakan satelit, Kunarto (1985 : 45) juga 52
mengetengahkan teori/model kota dengan rumah tangga. Dalam hal ini konsep urbanisasi harus diterjemah bahwa
daerah-daerah
produktif di sekitar kota (desa) bukan hanya mengirimkan barang-barang kebutuhan (sandang-pangan)
untuk masyarakat kota, akan tetapi mereka juga mengirimkan
orang-orang ke kota baik sebagai titipan sementara untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan maupun untuk bertempat tinggal (menetap) di kota. Orang-orang yang datang ke kota (para Comuter) dalam kedua macam tujuan yang disebutkan, sangat membutuhkan tempat tinggal (rumah). Berkaitan dengan rumah tangga, sini akan timbul perubahan nilai dan fungsi tanah, tenaga kerja, dan kapital. Salah satu perubahan fungsi dan harga (nilai) dapat disebutkan misalnya, fungsi dan harga tanah. Tanah yang terletak di pusat kota, relatif harganya sangat mahal. Akan tetapi ongkos ke kota (biaya transportasi) relatif sangat murah dan bahkan dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Sedangkan tanah yang jauh dari pusat kota harganya relatif murah dengan ongkos (biaya transportasi) untuk ke kota harus dikeluarkan secara rutin lebih mahal. Tinggi rendahnya fungsi dan harga tanah (untuk pemukiman atau yang lainnya) berkaitan erat dengan keadaan percepatan pertambahan penduduk di kota. D a r i sebuah catatan Bank D u n i a yang dikutip Kunarto (1985 : 52) diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia yang bertempat tinggal di kota dari tahun ke tahun terus menerus mengalami peningkatan. Pada tahun 1960 jumlah penduduk Indonesia yang bertempat tinggal di kota hanya 15 %, pada tahun 1980 meningkat menjadi 20 % dan pada tahun 2000 nanti, jumlahnya akan mencapai 33 %. Setiap sepuluh tahun mengalami pertambahan sekitar 3,1 % (1960-1970) dan sekitar 3,7 % (1970-1980). Dalam satu tulisan B . N . Marbun (1990 : 75) disebutkan bahwa jumlah pen53
duduk kota di dunia diramalkan akan mencapai angka 50 % dari total penduduk dunia, pada tahun 2000 nanti. Keadaan di Indonesia menurutnya tidak akan mcapai angka itu (50 %), tetapi berkembang dalam jumlah sekitar 30 %. Kalau pada tahun 2000 nanti penduduk Indonesia akan berjumlah ± 200 juta jiwa maka yang akan bertempat tinggal di kota ( ± 30 %) berjumlah 66 juta jiwa. Dapat digambarkan bagaimana rumitnya masalah papan dan pangan di kota, yang di dalamnya termasuk kerumitan lokasi, fungsi dan harga tanah yang akan semakin bersaing dengan tingkat kebutuhan masyarakatnya. Khususnya bagi Kotamadya Banda Aceh, gambaran kerumitan itu tidak separah keadaan yang harus dijawab oleh kota-kota besar di Indonesia, terutama kota-kota besar yang padat seperti di Pulau Jawa. Jumlah penduduk kota Banda Aceh sekarang ini (hasil sensus penduduk tahun 1990) sekitar 184.650 jiwa atau sekitar 6,15 % dari total penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang ± 3 juta orang. B i l a setiap tahun pertambahan
penduduk Kotamadya Banda A c e h
mencapai angka rata-rata 1,8 %, maka pada tahun 2000 nanti diramalkan penduduk Kotamadya Banda Aceh akan berjumlah 217.887 orang atau (6,05 %) dari total penduduk Aceh tahun 2000 nanti (diperkirakan akan mencapai ± 3,6 juta orang). Menghadapi kenyataan ini, khususnya permasalahan pertambahan penduduk Kota, B . N . Marbun (1990 : 76) mengajukan alternatif penanggulangan melalui sistem kerja yang terpadu atau sistem koordinasi atau lembaga (instansi) pemerintah seperti Wali Kota (Departemen Dalam Negeri) dengan Depnaker, Departemen Trarismigrasi, D e p a r t e m e n Pekerjaan U m u m , D e p a r t e m e n P e n d i d i k a n dan Kebudayaan dan juga dengan para Developer dari pihak pengusaha swasta yang memiliki modal. 54
BAB III DISIPLIN MASYARAKAT DI LINGKUNGAN PEMUKIMAN KELURAHAN A.
DISIPLIN DALAM PENANGANAN LIMBAH KELUARGA/SAMPAH Suatu hal yang menarik untuk diketahui adalah latar belakang tempat asal
penduduk Kotamadya B a n d a A c e h , dalam rangka pengkajian tingkat disiplin penanganan limbah keluarga atau sampah yang berasal dari rumah tangga penduduk. Penduduk Kotamadya Banda Aceh pada umumnya berasal dari desa setempat yang karena perluasan/pengembangan
kota, masyarakat desa tersebut dengan sendirinya
menjadi warga kota (secara otomatis). Sebagian lainnya berasal dari desa-desa dari berbagai daerah Tk. II lainnya di luar daerah Tk. II Kotamadya Banda Aceh dan dari berbagai daerah/desa lainnya di Indonesia. Salah satu unsur kehidupan yang menyertai (yang ikut serta) bersama mereka adalah unsur kebudayaan yang dalam hal ini tradisi kehidupan dan nilai pandangan mereka terhadap kebersihan khususnya kebersihan rumah tangga. Nilai dan tradisi mereka yang telah melekat dalam kepribadian setiap individu dan warga masyarakat sebelum mereka menjadi warga kota, terutama yang berupa pola pikir dan tingkah laku akan tetap mewarnai kehidupan mereka dalam batas waktu tertentu ketika mereka bermukim di kota. Pola umum tingkah laku orang-orang desa, mencerminkan ketidak-seriusan mereka dalam menangani berbagai tugas dan usaha menciptakan lingkungan pedesaan yang bersih dan sehat. Pola umum tingkah laku yang d e m i k i a n tidak terlalu berlebihan kalau disebutkan prilaku yang telah menggenerasi dalam kehidupan masyarakat desa. Keadaan ini juga menggambarkan suatu i n d i k a s i bahwa dalam instansi keluarga-keluarga di pedesaan
kurang
berkembang pendidikan yang mengarah kepada penanaman nilai-nilai hidup yang
sehat dan bersih. Kondisi rumah-rumah di desa, terutama di daerah pedesaan, yang pada umumnya terdiri dari rumah panggung (rumoh Aceh) memperlihatkan keadaannya sebagai berikut : a.
Letak rumah yang tidak teratur. Bahkan di beberapa perkampungan
tertentu
nyaris tidak dapat dibuat lorong-lorong (jalan-jalan desa). H a l ini bersumber pada cara pemilikan tanah yang tidak terkontrol. Orang mendirikan bangunan rumah menurut kemauannya, di atas tanah hak miliknya, dan bebas berbuat apa saja (membuang sampah rumah tangga) dalam lingkungan pekarangan rumahnya. b.
D i bawah rumah/di baroh rumoh A c e h sering terdapat kandang kambing, kandang ayam dan itik, dan juga ada beberapa rumah yang membuat gudang kayu bakar dan gudang padi.
c.
Pemandangan lainnya yang juga sering kita saksikan di lingkungan rumah tinggal pedesaaan adalah letak kandang kerbau dan sapi yang paling dekat dengan rumah. Bahkan ada yang membuatnya dalam pekarangan rumah. K e t i g a unsur pemandangan yang disebutkan i t u , hingga saat i n i masih mencerminkan pola prilaku masyarakat desa. Keadaan yang demikian, salah satu penyebabnya karena desakan keamanan
dan tingkat kesadaran yang dimiliki. Dari segi keamanan terwujudnya keadaan yang kurang indah itu (pemilik rumah membuat kandang unggas di bawah rumah dan kandang ternak/sapi dan kerbau di pekarangan rumah yang biasanya di bagian belakang) karena dihinggapi rasa takut terjadinya kecurian atau gangguan lainnya, seakan-akan terjadi dilemma atau tarik tambang antara kepentingan akan keamanan dan kepentingan akan kebersihan. Berikutnya, setelah mereka menjadi warga kota, salah satu bentuk prilaku 56
yang digambarkan di atas, akan berhadapan
dengan tradisi yang ada dalam
masyarakat desa setempat di kota dan berhadapan pula dengan tradisi lainnya yang baru, dalam hal ini tradisi kota yang akan ditumbuhkan. Sebagaimana disebutkan terdahulu, bahwa masyarakat K o t a m a d y a B a n d a A c e h yang pada umumnya masyarakat urban, diduga akan sangat sulit meiepaskan diri dari prilaku dan kebiasaan yang telah ada. Namun akhir-akhir ini masyarakat Kotamadya Banda Aceh sedang menuju kepada suatu keadaan hidup yang bersih dan lingkungan yang sehat, terutama lingkungan phisik rumah tangga. Karena struktur latar belakang masyarakat Kota seperti disebutkan di atas, maka upaya pemantapan
dan pembudayaan kebersihan lingkungan (termasuk
lingkungan rumah tangga) dalam Kotamadya Banda Aceh, pemerintah kota telah menyusun suatu Peraturan Daerah (perda) tentang kebersihan yang dikenal dengan peraturan daerah Kotamadya Banda Aceh Nomor 6 Tahun 1980 yang telah diubah menjadi peraturan daerah No. 3 Tahun 1990 tentang kebersihan dan keindahan dalam Kotamadya Daerah Tk. II Banda Aceh, yang disahkan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor : 188.342/325/1990 tanggal 30 Juni 1990. Salah satu tujuan dari penetapan P E R D A N o . 6 Tahun 1 9 8 0 / P E R D A Nomor 3 Tahun 1990, disebutkan untuk mencapai Kota Banda Aceh yang indah, bersih, teratur dan nyaman. Dalam istilah sehari-hari yang diucapkan oleh Aparat Pemda Tk. II Banda Aceh, menuju Kota B E R I M A N (Singkatan dari Kota Bersih, Indah, dan Nyaman). Tujuan yang tersirat dari peraturan tersebut antara lain ingin memacu dan menggerakkan seluruh potensi yang ada (potensi sosial, potensi politik, potensi agama dan adat, potensi hukum dan potensi Militer) untuk secara bersamasama menciptakan Kota Banda'Aceh menjadi Kota " B E R I M A N " . 57
Setelah sepuluh tahun lebih penerapan P E R D A tentang kebersihan Kota, ternyata sasaran yantg diinginkan itu sulit dicapai (yang sesuai dengan target yang telah ditetapkan). Dinas kebersihan dan penertiban kota telah bekerja sesuai dengan ketentuan dan fasilitas yang ada. Kenyataan yang ada memperlihatkan suatu keadaan yang belum menggembirakan banyak pihak. D i permukaan (dalam pengertian factual) keadan yang kurang menggembirakan itu terjadi karena lemahnya sistem koordinasi antara aparat pelaksana tugas di lapangan dengan Pemerintah Daerah dan antara mereka dengan masyarakat luas di perkampungan dalam kota. D i permukaan juga terkesan tanggung jawab kebersihan hanya terbatas pada Pemerintah Kota. Sedangkan aparat pada tingkat kelurahan dan lingkungan, belum semuanya bergairah menyambut seruan P E R D A tentang kebersihan itu. Keadaan yang demikian menggambarkan betapa kurang efektifnya penyelenggaraan suatu aturan yang terlalu mementingkan "kekerasan" atau pendekatan kekuasaan (Security Approach). Menyangkut dengan kurangnya kegairahan aparat Pemerintah di tingkat bawah, pada umumnya karena rendahnya honorarium yang diterima. Bahkan banyak pekerjaan ekstra yang dilakukan oleh Aparat Desa yang tanpa bayaran. Terkesan, bahkan demikianiah adanya, keadaan aparat kelurahan jumlahnya terbatas, terbatas pula oleh rendahnya jam kerja seperti halnya Pegawai Negeri pada instansi lainnya. Sedangkan Kepala Kelurahan (Pak Lurah) sekalipun mendapat gaji tetap seperti Pegawai Negeri yang lainnya, terkesan ia bekerja hampir 24 jam, yang sebagian besar dari pekerjaannya untuk urusan sosial. Oleh karena itu keinginan untuk menerapkan disiplin sosial (disiplin masyarakat) dalam soal penanganan limbah keluarga, diakui oleh semua lurah merupakan suatu pekerjaan yang amat sulit. Karena membutuhkan waktu yang relatif lama dan harus didukung sepenuhnya oleh k e d i s i p l i n a n aparat/petugas itu sendiri. 58
Ketika menyebutkan waktu yang lama alasan yang dikemukakan antara lain karena watak umum orang Aceh yang "keras". Maksud dari ungkapan ini mengacu kepada pengakuan bahwa upaya pendisiplinan penanganan limbah keluarga ini bukan hanya kaitannya dengan Undang-undang saja, atau kaitannya dengan kekuasaan belaka. A k a n tetapi berkaitan dengan tradisi/kebiasaan masyarakat. Bagaimana mengubah kebiasaan hidup lama yang kurang peduli kepada normanorma kebersihan menjadi tradisi baru yang mencintai kebiasaan hidup yang bersih, indah, dan nyaman, merupakan suatu upaya yang memerlukan proses. Dilemma dua pendekatan ini, yakni antara pendekatan yuridis-formal dan pendekatan tradisi sosial kemasyarakatan, terutama dalam upaya pembudayaan disiplin penanganan limbah keluarga, nampaknya memerlukan jawaban yang terpadu. Kedua jenis pendekatan itu diperlukan dengan mengutamakan pendekatan sosial kemasyarakatan. Pengutamaan pendekatan ini karena masalah limbah rumah tangga di Kotamadya Banda Aceh, didesak oleh keadaan yang mengharuskan peran serta anggota masyarakat/keluarga yang relatif besar dan kontiniu. Mengharapkan tenaga kerja aparat (mulai dari elite pemerintahan di Tk. II Kotamadya Banda Aceh sampai pada petugas lapangan yang mengangkut sampah dengan ( K e r e t a d o r o n g a n atau gerobak sampah) untuk perwujudan disiplin merupakan harapan yang sia-sia. Aparat terbatas dalam segala segi : meliputi jumlah personil, jumlah jam kerja, jumlah kendaraan dan sarana, sampai pada keterbatasan biaya untuk menggaji personil dan untuk peralatan. Salah satu contoh ditunjukkan oleh Camat Baiturrahman tentang kehidupun penduduk di sekitar pasar Kampung Baru, seperti yang direkam oleh koran Serambi Indonesia, yang mensinyalir keadaan di tempat itu sebagai berikut :
59
" Kampung Baru awalnya sebuah Desa, namun karena tuntutan keadaan naik menjadi K e l u r a h a n . Dengan luas 78 H a . W i l a y a h i n i benar-benar menggambarkan Banda Aceh secara utuh. Derap pembangunan dan bisnis yang melaju, aspal mulus dan rumah elite juga bertaburan disini. Namun jangan lupa, warna kekumuhan juga membayang kental di sebagian wilayahnya. Justru hal itu seakan-akan tersimpan rapi, di balik puluhan toko yang mengepung lokasi itu. Maaf, bila kita berada dalam kawasan yang mungkin mirip slum di negara maju itu sulit membayangkan bahwa kita berada di jantung Ibukota. Gang becek, tumpukan sampah, sanitasi yang minim', dan tingkali kandang tcrnak yang menebarkan bau khusus, benar-benar menjadi keseharian di sela-sela rumah yang mirip kotak sabun itu. Rasanya bagai terpisah secara utuh dari lingkungan perkotaan yang hanya berjarak 20 meter di sisinya. Nah, lingkungan model inilan yang kini keberadaannya semakin terjepit oleh deru pembangunan yang semakin gencar. Puluhan kaka yang sebagian besar pendatang, dengan tingkat pemasukan minim berdiam di sini. Abang becak, mahasiswa kost, agen sepeda motor, dan lain-lainnya bercampur dalam keseharian.
K U M U H - Inilah salah satu sisi dari kekumuhan sebuah lingkungan dikelurahan Kampung Baru. Bangkal becak dan gang becek itu seakan makin mempertegas, bahwa lokasi ini harus mendapatkan jamahan perubahan.
Konon lagi bila dihubungkan dengan deru pembangunan
yang terus melaju disekitar mereka
60
Salah satu contoh kasus yang lain khususnya yang berkaitan dengan betapa pentingnya pendekatan sosial dalam arti peningkatan kesadaran rakyat dalam menegakkan disiplin kebersihan lingkungan dalam kehidupan di Kota, dapat disebutkan kasus seorang ibu-pemilik Depot Obat di kawasan Peunayong yang diserct ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. isy msl 'UHAOI nüjJtrmanarn raulad Seperti yang dikutip oleh harian surat kabar Serambi Indonesia (Rabu 28 Agustus 1992) tentang warga K o t a terhadap Vonis Pengadilan, antara lain menyebutkan : • " Kasubbag Tata Usaha Dinas Peperda Banda Aceh, Drs. Muchtar A . A b dullah kepada Serambi mengungkapkan, di Kota ini reaksi para pelanggar perda terhadap Vonis hakim sangat bervariasi. A d a yang dengan sadar segera membayar denda. A d a pula yang setelah ditegur berkali-kali baru membayar dendanya/melaksanakan kewajibannya. Dan yang unik justru kisah D r a . Saniah, Guru S M P yang mengelola Depot Obat di kawasan Peunayong Banda Aceh, memilih hukuman kurungan, daripada membayar denda Rp. 50.000,M e n u r u t M u c h t a r , Ibu Saniah d i p e r k a r a k a n karena kesalahannya membuang sampah di halaman tokonya (Ruko), ia menolak hadir ke pengadilan, sehingga perkaranya diputuskan oleh hakim Arifin Bakri, S H . secara in Absentia pada 30 Juli 1992. Dalam Vonis itu disebutkan, pelaku diwajibkan bayar denda Rp. 25.000,- atau hukuman subsider berupa 10 hari kurungan, Plus ongkos perkara Rp.500,-. " Sehubungan dengan berbagai persoalan yang dihadapkan kepada upaya penanggulangan sampah/limbah keluarga, baik yang terkait dengan kesiapan aparat maupun berhubungan dengan mentalitas & kepribadian penduduk, Kotamadya Banda A c e h juga dihadapkan oleh kesulitan tempat pembuangan A k h i r ( T P A ) sampah. Lokasi T P A pada saat ini semakin dirasakan kesulitan dan kerumitan, terutama lokasi yang benar-benar tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat di sekeliling lokasi T P A dan lokasi dimaksud juga tidak mengundang bebas biaya 61
(terutama biaya transportasi) yang terlalu tinggi. Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota, A b u Hanifah menyatakan antara lain : " Kami menyadari tempat pembuangan yang sekarang itu kurang layak, dan rencana pemindahannya sedang dipikirkan. Namun persoalannya kita belum menemukan lokasi lain yang bisa dimanfaatkan. Dikatakan pada saat ini di wilayah Kota Banda Aceh tidak ada lagi lokasi yang memungkinkan untuk tempat pembuangan sampah. Kecuali ke luar wilayah Kotamadya Banda Aceh. Alternatif yang sudah terlihat yaitu di Kecamatan Krueng Raya Kabupaten Aceh Besar. Namun, jika ke sana biaya operasinya semakin bertambah, karena jaraknya yang jauh dan kita harus membangun pos petugas-petugas." Ungkap Kadis Kebersihan itu. Sementara itu, Camat Kecamatan Meuraxa M . H A N A F I A H M U D D I N , S H . yang dihubungi terpisah mengatakan, untuk sementara ini lokasi pembuangan sampah untuk Kotamadya Banda Aceh yang cocok hanya di wilayahnya itu. Begitupun, ia menyadari adanya keluh kesah dari warga yang tinggal berdekatan dengan lokasi pembuangan akhir sampah (Serambi Indonesia : 13 Agustus 1992). Dari gambaran yang disebutkan di atas nyatalah bagi kita bahwa masalah kebersihan dan kedisiplinan dalam menangani limbah keluarga/sampah dari rumah tangga dan lingkungan sekitarnya merupakan suatu persoalan yang rumit dan meliputi hampir seluruh aspek yang berkaitan dengannya. Memang suatu pekerjaan yang luar biasa untuk menangani sampah yang rata-rata 40 s/d 50 ton perhari, hanya yang berasal dari dalam wilayah Kota Banda Aceh saja. Keadaan akan bertambah lagi bila dikaitkan dengan sampah-sampah yang di luar Kota, terutama dari penduduk dari Wilayah A c e h Besar yang bermukim pada pinggir-pinggir batas wilayah Kotamadya Banda Aceh. Berdasarkan pengamatan, sampah-sampah yang ada di lokasi T P A dan yang bertumpuk di bak-bak sampah perantara (di sepanjang pinggir jalan utama) 62
tidak habis terangkut dalam satu hari dan di T P A tidak dilakukan pembakaran yang tuntas. Akibatnya seperti yang dikeluhkan oleh warga masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi itu "
membuang sampah di lokasi ini (kami) sama
saja dengan meracuni penduduk di sini dengan penyakit secara perlahan-lahan. Saya kira lebih banyak menyengsarakan warga daripada menguntungkan mereka, keluh seorang warga lebih lanjut (Serambi Indonesia 13-8-1992). Berkaitan dengan ini seorang warga K a m p u n g Laksana Banda A c e h , mengajukan pertanyaan kepada Wali Kota : 1.
Bagaimana penanganan sampah di Kotamadya Banda Aceh, dan Berapa jumlah personil dan jumlah mobil yang difungsikan untuk itu. Terhadap
pertanyaan
warga kota ini, Pak walikota memberikan jawaban sebagai berikut : " Sampah tetap ada karena sampah merupakan produksi manusia yang tidak akan pernah habis. Yang sadar tentunya akan membuang sampah pada tempat yang telah disediakan. Tetapi yang tidak sadar akan membuang di sembarang tempat. Penyuluhan untuk kebersihan lingkungan telah berkali-kali kami lakukan. Study perbandingan yang dilakukan oleh imam-iman Meunasah, tokoh-tokoh pemuda, dan wanita ke Padang dan Bukit Tinggi sebagai Kota terbaik di Sumatera merupakan langkah awal untuk menjaga kebersihan di Banda Aceh. D a r i tokoh-tokoh masyarakat ini diharapkan tersebar informasi tentang cara menanggulangi dan cara memerangi sampah. A d a 12 mobil/truk dan sejumlah aparat yang ditugaskan untuk itu, namun kebersihan yang kita dambakan belum lagi terwujud (Serambi 30 Juli 1992). Sesuai dengan apa yang diakui oleh Walikota Kotamadya Banda Aceh, bahwa belum terwujudnya Banda A c e h sebagai Kota " B E R I M A N " sekalipun pihaknya telah menyediakan 12 unit kenderaan roda empat untuk itu, merupakan salah satu fenomena budaya yang belum menyatu dengan cita-cita masyarakat baru yakni masyarakat kota yang d i s i p l i n . Walaupun dalam arti formal keinginan untuk 63
menjadikan Banda Aceh sebagai Kota " B E R I M A N " pemerintah menaruh harapan kepada para aparat (pejabat) akan tetapi secara material dan spiritual para aparat Pemda adalah pribadi-pribadi yang dibesarkan dalam kebudayaan yang kurang mendukung ke arah itu. Bahkan seorang warga kota Banda Aceh pernah mengajukan seorang aparat ke pengadilan yang dalam hal ini Lurah L a m Paseh Kota, karena keteledorannya dalam urusan persampahan di wilayahnya. Warga kota yang bernama Aswin (42 tahun) mcnuntut Lurah untuk membayar kerugiannya Rp. 500.000.000,(lima ratus juta rupiah). Kepala Kelurahan L a m Paseh Kota tidak mengatur dan mengarahkan masyarakatnya agar membuang sampah pada tempat yang ditentukan. Masyarakat desa membuang sampah pada tanah kosong milik Aswin di dekat rumahnya, yang juga tempat usahanya PT. Radio Dharma Cindelaras. Salah satu isi yang menarik dari gugatan ini adalah penggugal menuntut rugi karena Ia sejak 30 Desember 1991 tidak dapat lagi menghirup udara segar, kondisi kesehatan keluarganya, dan kondisi kesehatan karyawannya sangat terganggu. Oleh karenanya ia mengajukan lurah ke pengadilan Negeri Banda Aceh dengan tuntutan bahwa tergugat (Pemerintah R.I. Lurah) menentang U U . No. 4 Tahun 1982 Jo. Perda No. 6 Tahun 1990 (Serambi Indonesia : 14 September 1992). Selanjutnya pertanyaan yang cukup menantang adalah bagaimana mengatur sikap dan pandangan lebih lanjut di masa depan untuk menanggulangi masalah limbah keluarga khususnya dan kebersihan lingkungan hidup perkotaan pada umumnya Said Muchsin (50 tahun) wartawan Serambi Indonesia memberikan pendapat antara lain : menyebutkan bahwa kemerosotan kita selama ini terutama dalam menegakkan disiplin penanganan limbah keluarga terletak pada rendahnya kwalitas dan kuantitas kampanye kebersihan, baik yang dilakukan oleh aparat 64
pemerintah maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat Kota Bï.nda Aceh. Pengalaman hidupnya di D K I Jakarta, mengingatkannya bagaimana dan betapa intensifnya "Gerakan Menanggulangi Sampah" yang dilakukan oleh Gubernur A l i Sadikin ketika itu. A l i Sadikin (walaupun ia Gubernur) mempunyai inisiatif untuk bertemu dan m e n g u m p u l k a n ketua-ketua R T / R W untuk diikut sertakan dalam kampanye kebersihan kota. D i Banda Aceh, terkesan selama ini tanggung jawab Kebersihan Kota terpundak sepenuhnya di atas Wali Kota/aparat Wali Kota. Ironisnya seruan dan keluhan Pak Wali, terutama dalam hal pembiayaan masalah ini, kurang mendapat perhatian "di atas dan di bawah". Padahal limbah keluarga/sampah rumah tangga yang membanjiri Kota selama ini, termasuk di dalamnya "Sampah Propinsi dan sampah Kecamatan/Kelurahan" (Wawancara tanggal 4 Maret 1993). Dengan kampanye yang rutin, terprogram, dan dilakukan melalui pendekatan sosio-kultural dan sosio-keagamaan akan mampu mengubah kebiasaan buruk anggota masyarakat/keluarga dalam kehidupan sehari-hari, seperti membuang sampah di jalan raya melalui jendela mobil, membuat kandang unggas ternak di pekarangan rumah yang sangat mengganggu kesehatan dan juga berkenaan dengan sikap tak mau tahu dan melempar tanggung jawab kepada orang lain, akan menjadi prilaku yang baik yang menghormati lingkungan dan orang lain sesamanya. Sloganslogan seperti : Kebersihan setengah dari pada Iman, yang dijabarkan dari hadist Rasulullah S A W dan berbagai bentuk slogan/paksaan dan yang berbentuk lainnya, tidak mendatangkan manfaat yang effektif bila tidak dibarengi dengan kampanye yang berlangsung secara lisan, terorganisir dan bersifat menggugah kesadaran. Berkaitan dengan hal di atas, Camat Kecamatan Baiturrahman, Asmara Nasution, B A . sangat optimis bahwa di masa depan masyarakat/rumah tangga di Banda Aceh akan menerima disiplin, terutama disiplin dalam penanganan Limbah 65
Keluarga dengan desakan alam dan aturan hidup yang berlaku. Salah satu desakan alamiah disebutkan olehnya dengan mengacu pada realitas kehidupan. Katanya : Dulu ketika penduduk masih sedikit dan bangunan rumahpun masih jarang-jarang, orang dapat membuang limbah keluarga di sekeliling rumahnya, dan di mana saja. Tindakan ini, dan cara yang begini tidak ada masalah (konflik) ketika itu. A k a n tetapi 10 atau 20 ahun kemudian tradisi yang dahulunya dianggap biasa, sekarang mulai ada reaksi dan itu menjadi tantangan. Konon, tanah-tanah kosong dulu di sekitar rumahnya, sekarang telah penuh berdesakan bangunan rumah, toko atau yang lainnya milik orang lain. Perubahan situasi ini secara alamiah turut membentuk dan merubah sikap dan kebiasaan lama. Akhirnya tumbuh kesadaran baru, bahkan terbaru untuk membuang limbah dengan cara disiplin sesuai aturan yang tidak terganggu dirinya dan tidak mengganggu keseimbangan dan keserasian hidup orang lain. Logika ilmiah yang disebutnya sebagai pandangan yang agak optimis, bahwa disiplin akan ada di masa depan sekalipun dengan peranan alamiah. Disiplin ini akan lebih cepat terwujud b ü a didukung oleh hukum-hukum yang berlaku (wawancara tanggal 24-2-1993).
B.
DISIPLIN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEGIATAN SOSIAL Gambaran kehidupan sosial masyarakat Kelurahan Kampung Baru dan
masyarakat Kelurahan Merduati, karena letak kedua kelurahan ini di tengah-tengah pusat kegiatan Kota, tidak terlalu berlebihan bila disebut menggambarkan kehidupan masyarakat Kota secara keseluruhan. Gambaran tentang partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial, sangat erat kaitannya dengan pola dan derajat hubungan sosial yang terjalin sesama warga masyarakat kota itu sendiri. 66
Secara umum, dari hasil pengamatan dan pengkajian lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa pola dan derajat hubungan sosial yang menggejala dalam berbagai kegiatan sosial, hingga saat ini belum menunjukkan perubahan-perubahan
ke arah
des-integratif. Dengan kata lain, keadaan hubungan sosial antar anggota masyarakat masih sangat baik dan polanya "mendua" antara pola hubungan lama (tradisional) dan pola hubungan baru (modern) yang dianggap rasional. Bila diperhatikan dengan lebih seksama "pola hubungan mendua" ini, terkesan saling mendominasi kehidupan sosial, walaupun tidak menimbulkan konflik yang nyata. Pola-pola hubungan ini, sebagaimana disebutkan ladi, salah satu gejalanya dapat diamati dalam berbagai aktifitas sosial, dan juga dalam berbagai kelompok sosial. A d a p u n aktifitas sosial (kegiatan sosial) yang ada dalam kehidupan masyarakat di antaranya adalah kegiatan sosial keagamaan, sosial ke rumah tanggaan, sosial ekonomi. kesenian dan olah raga. Kegiatan yang meliputi sosial keagamaan, dalam arti kepentingan analisa ini (untuk memudahkan pengertian, walaupun ajaran Islam yang sesungguhnya tidak mengenai diklustrasi antara Islam dengan kehidupan yang lain. Islam adalah ajaran yang universal-integral) di antaranya disebutkan kegiatan memperingati hari-hari besar Islam, terutama bagi umat Islam, seperti Maulid Nabi, Isra' Mikraj membangun tempat-tempat i b a d a h (mesjid, langgar, dan mushalla) menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Quran ( M T Q ) Tingkat Kelurahan/Desa, dan bahkan Tingkat Kecamatan, mendirikan majelis-majelis pengajian, kesatuan Tahlil, dan banyak lagi kegiatan keagamaan lainnya, yang juga dilakukan oleh mereka yang Non-Muslim, walaupun agak tertutup. Seluruh kegiatan keagamaan ini, umumnya berjalan dengan dukungan swadaya masyarakat, terutama anggota-anggota jamaah yang tergabung di dalamnya. D i samping partisipasi dalam bentuk material berupa tenaga dan 67
uang/biaya, atau peralatan, dukungan/partisipasi masyarakat juga meliputi aspek spiritual yang berupa semangat, motivasi, dan pemikiran. Bentuk partisipasi sosial dalam berbagai sarana sosial keagamaan terkesan sangat semarak, dan hal ini merupakan gejala umum di Kota, dan di beberapa desa, terutama di pusat-pusat Kecamatan dan Pemukiman. Akan tetapi suatu hal yang terlihat dari pengamatan, bahwa partisipasi dalam ibadah, yang dimaksudkan shalatberjamaah di tempat-tempat Ibadah yang dibangun tadi, terkesan mengalami kemunduran, kecuali pada hari Jumat. D i beberapa langgar/mesjid, keadaan shalat berjamaah Magrib, Isya, dan Subuh (waktu-waktu shalat di luar waktu jam kerja kantor, dagang, atau sekolah) sering dihadiri oleh 5 atau 10 orang anggota jamaah. Padahal langgar/mesjid yang diamati ini, terletak di tengah-tengah tempat pemukiman penduduk yang relatif ramai. Salah satu penyebab terjadinya keadaan yang demikian, karena solidaritas keagamaan atau solidaritas ibadah di kalangan umat tidak terbina lagi. Umat tidak mampu lagi menghayati nilai-nilai spiritual dari suatu ibadah, misalnya arti Syiar bagi kehidupan Islam yang ditradisikan melalui shalat berjamaah. Atau penyebab lainnya ada juga yang berkaitan dengan nilai-nilai politis. Pengangkatan Imam dengan Surat Keputusan Pemerintah, kadang-kadang tidak sesuai dengan "Pengakuan dan Kemauan Rakyat". Karena itu tidak diikuti. Dan dampaknya juga kepada Syiar Ibadah Islam. Masalah pengakuan, luas sekali maknanya, terutama menyangkut keabsahan dan kepantasan seseorang berdiri di depan menjadi iman di dalam shalat. Masalah shalat, masalah yang amat prinsipil d a l a m I s l a m ( w a w a n c a r a dengan T g k . H . Djafar H a n a f i a h , K e t u a D P W . Muhammaddiyah Propinsi Aceh. Tanggal 5 Pebruari 1993). Disiplin partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial lainnya dapat diamati dalam berbagai kegiatan kerumah tanggaan (sosial keluarga), seperti dalam upacara68
upacara yang dilakukan oleh anggota keluarga pada saat melahirkan, ketika melaksanakan Khitan
atau
Sunat Rasul, p a d a u p a c a r a p e r k a w i n a n , acara
mengunjungi berbagai peristiwa insidental seperti sakit atau kemalangan, kebakaran, dan juga dapat diamati pada upacara-upacara kematian atau meninggalnya salah seorang anggota keluarga masyarakat. Khususnya di kawasan Kelurahan Kampung Baru dan juga Kelurahan Merduati, beberapa bentuk/bidang kegiatan partisipasi di atas telah berlangsung secara alamiah dan mentradisi. Artinya, keterlibatan masyarakat berlangsung dengan spontan, tanpa harus menunggu komando atau perintah dari pihak yang berwenang. Hal ini diamati sangat menonjol. Pada peristiwa kemalangan (sakit, kebakaran, dan lain-lain) dan peristiwa kematian. Untuk hal yang disebut terakhir ini, malah masyarakat kedua kelurahan tadi telah memiliki tempat pemakamam umum atau Tanoh-bom (istilah dalam bahasa daerah). Sedangkan kegiatan sosial yang masih sangat terikat dengan Komando (perintah atau undangan) dari Kepala Kelurahan atau tokoh masyarakat lainnya yang ditunjuk, adalah kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masalah Perkawinan. Ketika diteliti lebih lanjut tentang sebab keterbatasan partisipasi dalam hal ini, ditemukan jawaban antara lain : Karena kegiatan tersebut ada sangkut pautnya dengan soal keuangan yang dikeluarkan oleh pihak keluarga, terutama pada upacara pesta, dan berkatian pula dengan rasa malu untuk hadir bila tidak diundang. Tajak Belot Tapak Taduek Belot Punggong Tameungui Beulaku Tuboh Tapajoh Banlaku Atra : Tajak Meunurot Linggang 69
Tameupinggang Meunurot Ija. Terjemahan bebas : Berjalan menurut ukuran kaki Duduk menurut ukuran pantat Berpakaian menurut bentuk badan Makan makanan menurut harta yang ada Berjalan menurut lenggang, dan Bersarung sesuai dengan kainnya. Pepatah lama, yang disebutkan di atas menggambarkan salah satu wujud tata krama yang senantiasa harus menjadi kerangka acuan dalam upaya mewujudkan disiplin dalam partisipasi sosial. Tata krama dimaksud, mengatur mulai dari tata cara berjalan, duduk, berpakaian, dan sampai pada pola dan tata cara makan. Namun, dalam pengamatan sehari-hari tata krama ini lebih menonjol di luar rumah tangga, yaitu ketika menghadiri berbagai kegiatan sosial. Sedangkan di rumah tangga sendiri tata krama ini kadang-kadang terabaikan,
dan tidak ditegakkan dengan disiplin.
Salah satu penyebabnya antara lain disebutkan ada kaitannya dengan Aspek "Pengendalian Sosial" atau Malee Ngon Ureung Ramei (malu dengan orang banyak, kalau tidak menjaga tata krama). Istilah Malee Ngon Ureung Ramee (malu dengan orang ramai) merupakan hal yang sangat sensitif dalam masyarakat Aceh. Salah satu aspek yang paling sensitif adalah terbawanya nama k e l u a r g a dalam berbagai sikap dan p r i l a k u yang ditunjukkan oleh seseorang dalam pergaulannya di masyarakat terutama dalam berbagai kegiatan sosial. Dalam adat Aceh anak atau anggota keluarga merupakan simbol bagi ahli wans kerabat dekat, dan bahkan keturunannya. Berkaitan dengan ini ada satu kata kiasan yang amat tinggi nilai preventif dan nilai sensitifikasinya, 70
yaitu : Pakriban U Meunan Minyeuk Pakriban D u Meunan Aneuk. Artinya : Bagaimana kelapa begitulah minyaknya, dan Bagaimana Bapak begitulah Anaknya. Ucapan tersebut akan keluar dari mulut masyarakat ketika memberikan suatu penilaian terhadap (biasanya) seorang anak atau individu, terutama yang menyangkut sikap, prilaku, dan prestasi kerja yang ditunjukkan di hadapan orang ramai. Baik atau buruk diidentikkan dengan orang tuanya. Sedangkan Istilah pengendalian sosial yang dimaksudkan di sini, sama halnya dengan apa yang disebutkan oleh T. Bachtiar Panglima Polem, yaitu suatu proses dan sistem yang mungkin bersifat mendidik, mengajak, dan bahkan memaksa anggota-anggota masyarakat agar mau mentaati norma-norma dalam masyarakatnya. Dengan demikian ia akan memperkokoh struktur dan menjaga integritas masyarakat tersebut secara keseluruhan (Alfian, ed : Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, 1977; hal. 101). Dengan demikian, Aspek Pengendalian Sosial merupakan suatu kekuatan strategis dalam mewujudkan disiplin kehidupan sosial dan yang paling besar artinya bagi berbagai kegiatan sosial, yang bermuara kepada upaya mempertahankan struktur dan sistem sosial itu. Adapun berbagai kegiatan sosial lainnya yang juga telah cukup lama usia perjalannya (namun belum disebutkan di atas) adalah kegiatan masyarakat dalam bentuk gotong royong. Kegiatan sosial yang ini, sungguh amat besar dampaknya terutama bagi 71
sektor ekonomi dan kekeluargaaan di kalangan masyarakat. D a r i sektor ekonomi misalnya, dapat disebutkan kegiatan masyarakat dalam membangun tempat-tempat ibadah, membuat jalan dan lorong-lorong desa, membersihkan tempat-tempat umum seperti jalan, parit-parit, pekarangan tempat-tempat ibadah, dan juga partisipasi bersama itu dalam membangun tempat-tempat pendidikan seperti : T K , dan berbagai sarana sosial lainnya. Bila dinilai dengan uang (Rupiah) Swadaya masyarakat (gotong royong) yang telah dilakukan ini, mungkin tidak kalah pentingnya dengan apa yang telah d i l a k u k a n oleh pemerintah. Salah satu contoh yang paling sederhana diungkapkan oleh Camat Kecamanatn Baiturrahman, kegiatan M T Q di tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Dana resmi untuk itu tidak ada dari pemerintah. Tapi seitap tahun M T Q tetap berjalan. Semua itu swadaya sosial. Begitu pula dengan kegiatan-kegiatan besar yang lain. Salah satu kunci untuk membangkitkan swadaya sosial adalah kejujuran dan keterbukaan seorang pemimpin.
C.
DISIPLIN TERHADAP ADMINISTRASI PEMERINTAH Dalam rangka pembahasan ini, menarik untuk disimak tentang pengaruh
kelompok elite, di samping sikap dan pandangan masyarakat sendiri terhadap administrasi pemerintah. S.P. Siagian menyebutkan enam golongan elite yang senantiasa mempengaruhi proses modernisasi, prioritas-prioritas pembangunan dan cara-cara managemen atau administrasi. Keenam golongan elite yang dimaksudkan itu adalah elite politik, elite administratif, elite cendekiawan, elite dunia usaha, elite militer dan elite pembinaan pendapat umum (Bintoro Tjokroamidjojo, 1985 : 64). D i antara masing-masing elite ini saling mendominasi, terutama dalam proses-proses kegiatan administrasi pembangunan. Ditegaskan pula oleh S.P. Siagiaan, bahwa bila dalam suatu proses administrasi peranan dan dominasi elite 72
administratif lebih besar, maka kebijakan-kebijakan program yang dirumuskan itu akan lebih besar memberi peluang dan kemungkinan-kemungkinan akan dapat dilaksanakan, dan secara tehnis akan mudah dalam memberi pertanggung jawaban. Sebaliknya bila elite politik yang sangat dominan, maka derajat representatif dan legalitasnya akan lebih besar, tetapi sering mengalami kesulitan dalam pelaksanaan, dan secara tehnis pula akan sulit diberi pertanggung jawaban. Pemunculan konsep administrasi pembangunan dalam kerangka im, terutama didasarkan kepada suatu pandangan yang menyangkut dengan aspek dan l i n g k u n g a n n y a berpautan
dengan a d m i n i s t r a s i p e m e r i n t a h a n . A d m i n i s t r a s i
pembangunan adalah administrasi yang mendukung transformasi masyarakat tradisional dalam menuju kepada masyarakat maju atau masyarakat modern (Bintoro Tjokroamidjojo 1985 J 240). Berdasarkan pengamatan dan fakta latar belakang desa atau kelurahan-kelurahan yang kini telah menjadi bagian dari wilayah/masyarakat kota, tidak selalu berlebihan bila dikatakan bahwa kini masyarakat kota Banda Aceh umumnya, dan masyarakat kelurahan Kampung Baru dan M e r d u a t i khususnya merupakan masyarakat yang sedang berada dalam proses arus transformasi. Mereka sedang berhadapan dengan suatu sistem kehidupan (ekonomi, sosial, politik, dan juga agama) yang relatif baru, yaitu sistem kehidupan modern. Masyarakat yang sedang berubah atau sedang diubah dan mengubah d i n dalam arti perspektif sosiologis termasuk kelompok masyarakat transisi. Yaitu masyarakat yang sedang atau akan meninggalkan nilai-nilai lama menuju pada sistem dan n o r m a - n o r m a yang baru. Biasanya, pada keadaan yang demikian amat dibutuhkan hadirnya "direksi sosial", yaitu seorang pemimpin (elite) yang mampu mengarahkan mereka. Peranan kaum elite masa i n i sangat diharapkan oleh masyarakat manapun, terutama elite-elite sosial yang memiliki dedikasi dan 73
kredibilitas. Salah satu fenomena kehidupan masyarakat "maju" termasuk di dalam hal ini masyarakat Kota Banda A c e h di Kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan M e r d u a t i adalah keterikatan dan berpautan dengan kehidupan Birokrasifirasi. Kehidupan birokratis yang sangat mudah dipahami adalah dengan munculnya sistem a d m i n i s t r a s i p e m e r i n t a h a n . Tradisi b i r o k r a s i yang dianggap hal baru oleh masyarakat-masyarakat yang dahulunya hanya mengenai tradisi lama yang tradisional di pedesaan antara lain adalah pembagian tugas kerja yang berdasarkan keahlian, disiplin waktu, berorientasi kepada prestasi dan bukan pada emosi, pemilihan skala prioritas dalam hal-hal tertentu, keterikatan yang serius kepada wewenang masingmasing mentaati ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan memiliki aturan yang tegas tentang hak dan kewajiban. Sebaliknya masyarakat desa dan sebagian dari masyarakat tradisional, mereka terbiasa dengan pola dan tradisi kerja sosial yang kadang-kadang tanpa pamrih, terikat dengan emosi lokal, primer rialistis, kurang disiplin waktu, dan kadang-kadang emosional karena peka dengan perasaan (wawancara dengan Camat Kecamatan Baiturrahman, 24 Pebruari 1995). Berdasarkan gambaran di atas diakui bahwa disiplin masyarakat terhadap administrasi pemerintahan masih relatif kurang. Keadaan yang demikian bukan saja karena pengaruh kebudayaan lama yang ada bersama masyarakat, akan tetapi metoda dan pendekatan-pendekatan para elite sosial dalam upaya mengendalikan masyarakat untuk mengikuti dan mematuhi berbagai tatanan dan aturan yang ada, juga sangat penting untuk disadari oleh setiap orang yang menyatakan dirinya sebagai elite masyarakat. Keadaan umum yang dijumpai di lapangan, di mana para elite lebih cendrung menggunakan pendekatan politis (kekuasaan, status, atau jabatan) dalam
74
upaya mereaiisir berbagai fungsi dan i»i administrasi pemerintahan. Bila koadaan ini diperhatikan dalam skope yang lebih kecil misalnya di Kantor Kecamatan atau K e l u r a h a n ditemukan "kerenggangan-kerenggangan"
hubungan atau ketidak
harmonisan antara satu sub-bidang kerja dengan sub-bidang yang lain, antara kepala dengan anak buah dan antara anak buah (karyawan) sesama karyawan. H a l ini bersumber dari pendekatan politik yang lazim dipakai oleh para pimpinan. Indikasi yang terlalu menonjol dari pendekatan politis ini adalah
terpo-
lanya hubungan yang amat vertikal antara atasan dengan bawahan. Informasi, apalagi kritik pada umumnya mengalir dari atas ke bawah. Dalam budaya vertikalisme ini seakan-akan "asing" bila air memancar dari bawah ke atas. Akibatnya terjadi disiplin semua atau kepatuhan di luar alam sadar. Kalau dapat meminjam Istilah Camat Baiturrahman, ketidak disiplinan dalam bidang administrasi pemerintahan; antara lain karena di antara kita masih ada "Raja yang gembira kalau bawahannya mengabdi kepadanya". Masih gembira bila ada karyawan yang bekerja untuk pemimpinnya. Kenyataan ini dapat diamati dalam konteks yang lebih luas, di instansi-instansi pemerintah. Salah seorang anggota D P R D T k . I Propinsi Daerah Istimewa A c e h menanggapi keadaan tersebut dalam bahasa yang lebih serius. Katanya tidak terlalu berlebihan bila keadaan disiplin para pekerja kantor, dan juga masyarakat kita, seperti yang d i g a m b a r k a n d i atas, dianggap sebagai salah satu gejala yang memperkuat posisi negara dalam keadaan "Darurat". Maksudnya keadaan umum pegawai Negeri Indonesia, dan juga masyarakat Indonesia (termasuk masyarakat Aceh) belum dapat berdiri bila dada pemimpin. Keadaan akan terus "berbahaya" kalau pimpinan tidak berada di tempat (bila terjadi Vacumof Prens). Gejala-gejala yang disebutkan di atas merupakan salah satu faktor yang 75
paling berpengaruh terhadap munculnya dominasi sikap dan kekuasaan para elite dalam segi-segi administrasi pemerintahan. Dan gejala yang demikian pula akan memberi peluang bagi munculnya disiplin yang bersifat sentralistik, yakni disiplin yang bersumber dari satu komando, yaitu komando atasan. D i samping berbagai kelebihan dan kekurangannya, disiplin yang bercerah ini akan selalu bergantungan pada kekuatan kontrol dan kekuatan pribadi dalam bentuk keteladanan atau moral yang tidak tercela. Bila kedua aspek ini dimiliki oleh seorang pemimpin, yang dalam hal ini elite administratif dan juga elite politik, maka corak disiplin yang kita budayakan selama ini (sentralistik) juga akan membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Khususnya pada tingkat kelurahan dan termasuk di dalamnya pedesaan (desa-desa yang belum berstatus kelurahan) dalam masalah disiplin administrasi pemerintahan, pada umumnya masih sukar ditumbuhkan. Salah satu kendalanya adalah kekurangan personil yang cakap, dan kekurangan dana/sarana penunjang untuk keperluan itu. D i samping kedua hal ini merupakan faktor yang amat penting bagi sistem kontrol yang terarah pada pembinaan administrasi pemerintahan desa kurang (tidak) dilakukan oleh Camat atau dalam hal ini sekwilcam atau sekwilda Tk. II Kotamadya atau Kabupaten. Kondisi administrasi di kelurahan dalam Kotamadya Banda Aceh belum dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan administrasi desa di luar Kotamadya. Salah satu contoh kelurahan yang dianggap berhasil dan terbaik administrasi pemerintahannya
adalah Kelurahan K a m p u n g Belakang
K e c a m a t a n Johan Pahlawan K a b u p a t e n A c e h Barat. K e l u r a h a n ini pernah memperoleh Juara Pertama Lomba Desa'Kelurahan terbaik dalam Daerah Istimewa Aceh walaupun Kepemimpinannya berada ditangan seorang wanita yang menurut ukuran setempat cukup dihormati. 76
Sedangkan p a d a acara-acara kematian, sunat rasul atau khitanan, melahirkan dan pada acara-acara kemalangan, pada umumnya anggota masyarakat memberikan partisipasi spontan dan d i l i p u t i oleh hikmah persaudaraan
dan
kekeluargaan yang terkesan sangat mendalam. Namun bila dalam rangkaian-rangkaian peristiwa tersebut dilakukan kenduri yang mengeluarkan dana untuk acara makan/minum, keadaan partisipasi spontan dan kekeluargaan segera akan berubah menjadi mobilisasi yang dikomando berdasarkan undangan, dan terkesan agak formal. Keadaan ini sekalipun tergambar dalam masyarakat yang menjadi objek kajian, nampaknya hal tersebut berlaku universal dalam kebiasaan-kebiasaan hidup orang A c e h . H a l i n i menggambarkan sikap yang tidak serampangan.
Merupakan
manifestasi dari jiwa dan mentalitas yang disiplin dan juga menggambarkan tingkat kwalitas disiplin dalam wujud memelihara dan menjaga harga diri dan martabatnya. Berkaitan dengan hal ini, dalam kehidupan sosial orang Aceh masih berlaku pepatah atau pribahasa lama yang menggambarkan disiplin/kepatuhan terhadap lingkungan kehidupan.
D.
DISIPLIN PALAM HUBUNGAN KETETANGGAAN Analisa Antropologis menyebutkan tentang masyarakat Aceh sebagai salah
satu masyarakat di Republik Indonesia ini yang kompleks dengan kelompok sosial sub-ethnis. Seyogianya masyarakat yang demikian, sebagaimana lazimnya masyarakat majemuk (plural-Society) senantiasa dirundung konflik. Salah satu ciri masyarakat majemuk disebutkan oleh D r . Nasikun adalah sangat mudah menimbulkan konflik atau pertentangan dan sulit melakukan konsensus atau kompromi. Keseluruhan Sub-ethnis Aceh oleh antropolog menyebutkan ada 8 macam. Termasuk di antaranya Sub-ethnis Aceh, Tamiang, Aneuk Jamee, Alas, dan Kluet. 77
Masino-masing Svb-ethnis ini mempunyai "Bahasa Ibu" atau bahasanya sendiri. Sedangkan di Kotamadya B a n d a A c e h terutama di K e l u r a h a n M e r d u a t i dan Kampung Baru keadaan masyarakat jauh lebih kompleks lagi. Bukan hanya suku Aceh yang terdiri atas 8 Sub-ethnis saja akan tetapi dilengkapi pula oleh berbagai etnis lainnya yang ada di tanah air Indonesia (dunia). D i antaranya yang tampak dari pengamatan dapat disebutkan suku Batak, Jawa, Bugis, Tionghoa, India, Arab, dan lain-lain. Semua Sub-ethnis dan ethnis, bahkan bangsa-bangsa asing yang disebutkan di atas dan banyak lagi ethnis/sub-ethnis yang belum disebutkan disini, bertempat tinggal dalam satu Kampung/Kelurahan tertentu dalam Wilayah Kotamadya Banda Aceh. Mereka hidup bertetangga. Terkesan rukun dan damai. Komunikasi sesama anggota se-ethnis atau se Sub-ethnis mereka mempergunakan bahasa daerah atau bahasa ibu. Sedangkan hubungan keluarga antar ethnis atau dengan penduduk Kota yang W N A mereka memakai bahasa persatuan Nasional yakni bahasa Indonesia. Bahkan suatu gejala baru yang sangat menggembirakan adalah keberadaan bahasa Nasional kini hampir menjadi bahasa Ibu, yakni bahasa pengantar dari setiap rumah tangga di kota. Dengan adanya bahasa Nasional, tidak ada kesulitan komunikasi antara sesama warga desa'kelurahan sekalipun bertetangga dengan Sub-ethnis yang berbeda misalnya, antara orang Aceh dengan orang Keling dari India, antara Cina dengan Arab, atau antara orang Aceh bertetangga dengan Batak. Bahkan karena proses sejarah dan budaya tidak jarang terjadinya perkawinan antara sub-ethnis yang disebutkan. Dalam realitas yang sangat sederhana, hubungan ketetanggaan dapat dilihat melalui hubungan teman sepermainan anak-anak keakraban hubungan anak78
anaknya khususnya di A c e h , dapat dicontohkan sebagai salah satu gejala yang berstandar akurat untuk melihat hubungan antar orang tua. Kegiatan antara jemput anak-anak ke sekolah, kegiatan kelompok belajar para siswa, dan juga kegiatan sosial lainnya yang dilakukan oleh kaum ibu, seperti P K K , kelompok arisan, majelis-majelis pengajian, dan juga dalam kegiatan olah raga atau bakti sosial yang melibatkan seluruh anggota masyarakat merupakan media-media penting untuk mengamati tingkat disiplin dalam lembaga ketetanggaan. Hal-hal yang lain seperti pembicaraan yang bersifat meminta pendapat, meminta bantuan tenaga, harta dan memberi atau menerima suatu berita tertentu dari pihak orang lain sering dilakukan dengan tetangga. Bahkan dalam tradisi orang A c e h , konsep Jiran/wareh lingka atau istilah U r e u n g G a m p o n g masih tetap mengandung nilai-nilai sakral yang mendapat tempat termulia. Bahkan, ketika seorang pemuda mau melamar seorang gadis di suatu desa tertentu, biasanya orangtua si gadis atau keluarganya sering menanyakan hal ihwal si pemuda tadi kepada orang kampungnya (ureung gampong) terutama yang dipercaya sekali adalah informasi dari Jiran atau dari tetangga si pemuda. Keadaan yang serupa juga dilakukan sebelumnya oleh keluarga si pemuda ketika ingin meminang seorang gadis untuk menjadi anak menantunya. Situasi ini juga berlaku dalam berbagai lapangan kehidupan lainnya, misalnya di lapangan politik; seseorang yang akan diangkat menjadi pimpinan, baik pimpinan pada tingkat organisasi sosial di pedesaan, maupun pimpinan organisasi sosial politik dalam ruang lingkup yang lebih luas, masalah hubungan ketetanggaan ini sering muncul berpengaruh dalam hal ini, walaupun pada bidang-bidang tertentu tidak begitu dominan. Baik atau buruknya hubungan ketetanggaan
seseorang
biasanya akan berbanding sama dengn besar atau kecilnya kapasitas pengaruh dan 79
keberhasilan yang akan diperolehnya dalam kehidupan/kepemimpinan yang dipercayakan kepadanya. Dalam kehidupan orang-orang Aceh, hampir menjadi suatu "kepercayaan" dimana hubungan seseorang/suatu keluarga dengan tetangganya wajib dipelihara dengan baik, agar tidak menimbulkan keretakan. Seakan-akan sangat hina, bila seseorang tidak mendapat tempat yang baik dalam lingkungan tetangganya. Pandangan yang demikian, akan sangat efektif bagi pengembangan nilai-nilai persatuan nasional dan nilai-nilai persaudaraan atau kerukunan hidup bertetangga. Dibandingkan dengan kehidupan desa, bila diamati sepintas lalu terlihat kesan tentang kehidupan kota yang cendrung Individualis dan tidak begitu akrab dengan sesama tetangga. Keadaan ini dijelaskan oleh Muchlis Berawas Kepala Kelurahan Merduati, belum menjadi ukuran untuk disebutkan hubungan ketetanggaan mereka kurang baik. Hubungan tetap baik sebagaimana diterangkan dalam penjelasan sebelum ini, hanya saja karena masyarakat kota sangat sibuk dengan jadwal kerjanya masing-masing. Salah satu contoh disebutkan bila ada sesuatu musibah seperti kematian, kemalangan atau ada upacara-upacara tertentu seperti Upacara perkawinan seseoarng dari anggota keluarga tetangga, biasanya tetangga dekat "meliburkan kerjanya" atau meminta izin untuk tidak masuk kerja di kantor, hanya untuk menolong dan ikut membantu tetangganya. Keadaan ini telah menjadi pola umum dan dapat dijadikan suatu standar kebaikan hubungan ketetanggaan.
80
BAB IV DISIPLIN MASYARAKAT DI LINGKUNGAN TEMPAT-TEMPAT UMUM A.
DISIPLIN DI LINGKUNGAN PASAR/PERKOTAAN Pengertian pasar yang dibicarakan dalam pembahasan ini menurut penger-
tian seperti yang disebutkan dalam peratuan Daerah ( P E R D A ) Kotamadya Banda Aceh Nomor : 18 Tahun 1984 pada B A B I Bagian ketentuan Umum, Ayat (4) yang dimaksud dengan pasar dalam ketentuan ini adalah los-los, bangunan-bangunan, kios-kios atau yang sejenisnya, ruangan-ruangan, dan lapangan-lapangan yang ada di lingkungan pasar. Lapangan pasar adalah setiap lapangan dalam lingkungan pasar, baik yang merupakan halaman-halaman pasar yang dipakai untuk parkir kenderaan, tempat jualan/tambatan hewan, maupun untuk keperluan-keperluan yang lainnya. Dengan demikian, disiplin masyarakatnya juga terbatas dalam lingkungan konsepsi pasar sebagaimana disebutkan di atas. Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukan oleh tim penulis naskah ini, dapat dinyatakan bahwa perangkat kelembagaan dan hukum yang mengatur tentang kedisiplinan lingkungan pasar dalam Kotamadya Banda Aceh sekedarnya telah tersedia. Untuk menangani tugas khsusus tentang pasar, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh telah membentuk Dinas pasar dan Dinas penertiban kota. Namun, disinyalir sekalipun perangkat kelembagaan telah ada, dirasakan masih sangat kurang meliputi persediaan dana dan tenaga ketrampilan yang belum mencukupi. Bahkan, menurut salah satu informasi yang diperoleh dari Pejabat Pemda, bahwa untuk menertibkan pasar dan kota Walikota Kotamadya Banda Aceh "terpaksa" melakukan kerja sama dengan "Militer-TNI" dengan menanggung "beban dan resiko" yang relatif berat. Berat dalam arti finansial, moral dan beban masyarakatnya. 81
Pada segi yang lainnya, upaya Pemda melalui Dinas pasar, yang amat bersungguh-sungguh menegakkan disiplin di lingkungan pasar, yang kadang-kang harus mengambil tindakan tegas di tempat, dianggap oleh sebagian pedagang pasar pejabat pemerintah telah berlaku amat kejam dan di luar prikemanusiaan. Tindakan "keras" ini sering dialami oleh mereka yang dianggap melanggar tata kedisiplinan berdagang di kota. Mereka umumnya pedagang kaki lima, pedagang sayur, pedagang buah-buahan, yang memakai tempat-tempat terlarang dan sering berpindah-pindah tempat. Umumnya mereka yang tidak mempunyai tempat-tempat khusus itu, terdiri dari para pedagang "musiman" (buah-buahan) dan para pedagang kecil yang berasal dari desa-desa di sekitar Kota Banda Aceh. Keadaan pasar yang sangat semraut antara lain, pasar Kampung Baru, Pasar Peunayong, pasar ikan Peunayong, pasar Seutui, dan juga pasar Aceh yang terletak di pusat kota. Sepintas lalu keadaan yang semraut ini, orang beranggapan karena banyaknya pengunjung yang berbelanja. Akan tetapi yang paling menonjol persoalannya adalah tata letak dan tata ruang pasar yang kurang memenuhi persyaratan. Hampir semua ruang.pasar kurang mempunyai tempat (halaman) parkir yang mencukupi. Hampir semua pasar mengalami kekurangan fasilitas/tempat bagi pedagang-pedagang kecil, yang menjual sayur-sayuran, atau bahan makanan lainnya untuk keperluaan sehari-hari. Para pedagang kecil semacam ini, mengeluarkan barang-barang dagangannya begitu saja di atas lantai los-los pasar, yang kadangkadang terpaksa digelarkan di lantai-lantai yang kurang bersih. D i samping itu, para pedagang juga kurang memiliki pandangan yang menggembirakan terhadap nilai estetika, dan nilai-nilai etika. Dari pembicaraan tim dengan para pedagang kaki lima, dengan para pemilik kios-kios, dan dengan pedagang yang menggelarkan barang-barang dagangan mereka di lantai pada umum82
nya mereka hampir memiliki suatu sikap dan perspektil' yang sama terhadap tanggung jawab disiplin dan kebersihan di sekitar mereka (di pasar). Mereka telah meiepaskan tanggung jawabnya untuk petugas kebersihan dan Dinas Penertiban Kota, yang dalam hal ini aparat pemerintah. Kewajiban mereka hanya terbatas pada kewajiban membayar iuran atau retribusi setiap hari atau setiap bulan yang dikutip oleh petugas yang bersangkutan. Dari hasil pengamatan dan pengkajian lebih lanjut, seakan-akan dalam hal ini ada dua keadaan yang paradoks. Keadaan yang pertama menyangkut dengan sikap aparat pemerintah yang ditugaskan untuk mengutip iuran/retribusi dengan sikap petugas pengawasan disiplin dan penertiban kota. Mereka yang mengutip "Pajak" / retribusi, terkesan tanpa peduli pada para pedagang yang berjualan di tempat-tempat
ter-
larangpun retribusinya dikutip juga. Selanjutnya, sewaktu-waktu datang petugas penertiban kota, para pedagang yang "melanggar" tadi terkena usir dan kadangkadang barang dagangan mereka pun disita atau dibuang oleh petugas. Dalam hal ini terkesan tidak ada koordinasi antara sesama aparat pemerintah. K e a d a a n yang d e m i k i a n akan membawa dampak terhadap "pandangan dan kepercayaan" rakyat terhadap Pemerintah. "Uang kami diambil, nasib kami terlantar", keluh seorang pedagang kaki lima. Keadaan yang kedua, dapat kita baca pada pihak pedagang. M e r e k a menggelarkan barang-barang dagangan m e r e k a d i tempat-tempat
terlarang
dilakukan dengan sadar. H a l ini karena terpaksa, mengingat tempat-tempat
resmi
tidak tersedia untuk mereka. Sekalipun mereka berjualan d i tempat-tempat yang seharusnya tidak dibenarkan, namun "petugas" pengutip retribusi/iuran senantiasa setia mengunjungi mereka dan pedagang tersebut tetap membayar retribusi untuk negara. 83
Sekalipun membayar, retribusi, p o s i s i mereka tetap tidak aman, seperti yang 1
dikeluhkan oleh para pedagang kelapa muda di kawasaan jalan sisi lapangan Blang Padang Banda Aceh. .Sebagaimana yang diwawancarai oleh harian Serambi Indonesia para pedagang tersebut, terutama pedagang kelapa, seperti Sofyan : " ... mengaku tahu bahwa daerah itu terlarang untuk berjualan. Demikian pula Iwan, asal Binjai Sumut yang berdagang rambutan di seputar lapangan Blang Padang. Berjualan di situ mereka mengaku tak tenteram. Bayangan akan ditindak oleh petugas selalu menghantui. Yang membuat mereka merasa terlindungi, justru karena ada petugas berpakaian resmi yang rutin mengutip retribusi harian pada mereka. Saya bayar R p . 200,- per hari, aku Sofyan sambil menunjukkan kupon cukai yang diberikan petugas Dinas Pasar. Baik Iwan maupun Sofyan mengaku sudah siap terhadap scgala resiko yang akan timbul aktibat berjualan di tempat itu. Namun tindakan spekulatif itu terpaksa ia lakukan. Habis ! di sini tempalnya strategis, dan anak isteri saya harus dikasih makan, tukas Sofyan. Sekalipun gambaran keadaan di atas memperlihatkan dua pihak yang berdiri pada kepentingannya masing-masing, Kasubbag Tata Usaha Peperda Muchtar A . Abdullah tetap konsisten dengan hukum yang berlaku. Bahkan para pedagang yang melakukan transaksi dagangannya di tempat-tempat yang tidak dibenarkan, menurut Muchtar para pedagang itu melanggar dua perda sekaligus. Perda Nomor 6 Tahun 1980 tentang kebersihan dan Perda Nomor 6 Tahun 1979 tentang Kaki Lima. Artinya, para pedaganglah yang dianggap melanggar hukum, bila tidak melakukan kegiatan dagangannya sesuai menurut peraturan Daerah yang berlaku. Sedangkan petugas/aparat pemerintah yang memungut restribusi itu adalah kewajiban petugas yang wajib memungut restribusi dari siapa saja yang mengambil tempat di lingkungan pasar Banda Aceh.
84
K E L A P A : Meski tahu melanggar aturan, tetapi karena desakan ekonomi, pedagang kelapa muda masih saja berspekulasi jualan di sisi Lapangan Blang Padang Banda Aceh. Beberapa kali mereka diuber. Kelapa dan parangnya disita Dinas Peperda Kotamadya, tapi tak membuat mereka jera. Keadaan di Pasar Aceh, di kawasan pedagang minuman Cendol dan di sepanjang lorong (halaman) pertokoan di depan toko Sumatera, jauh lebih semraut lagi. Pada teras kedua sayap kiri dan kanan pasar bertingkat (pasar Aceh) di kaki limanya/di halaman toko-toko pakaian, penuh sesak orangr-orang berjualan. Mulai dari pedagang sayur-mayur, pedagang imitasi, dan pedagang alat-alat perkakas kebun seperti parang, cangkul, tembilang dan lain-lain, sampai pada para pedagamj pisang bakar ada di kawasan itu. D i sekitar inilah tergolong daerah pasar yang paling sibuk dan paling tidak disiplin. Apalagi bila sewaktu-waktu musim hujan tiba, atai 85
hujan tiba-tiba, menurut para pemilik toko sungguh amat mengganggu mereka. Pada umumnya, para pedagang kecil itu, masuk ke dalam toko, atau berkumpul di depan toko untuk berteduh. Mereka para pemilik toko berada antara uang, kemanusiaan, dan kebersihan. Di samping kawasan Pasar Aceh, daerah lainnya yang juga relatif kurang disiplin adalah kawasan pasar Kampung baru. Hampir menjadi "Pengetahuan orang banyak" bahwa pasar Kampung Baru merupakan pasar yang relatif agak kotor. Di kawasan ini, pada umumnya dihuni oleh para pedagang bahan-bahan keperluan alatalat dapur, yang meliputi sayur-mayur, ikan, dan buah-buahan. Keadaan yang sangat semraut sekitar jam 10.00 pagi sampai jam 12.00 siang, kemudian sedikit semraut juga pada waktu sore. Pasar ini umumnya dikunjungi oleh ibu-ibu rumah tangga atau para pembantu rumah tangga untuk berbelanja. Sekalipun telah dilakukan perbaikan-perbaikan, dan penertiban-penertiban, hingga saat ini pasar Kampung Baru masih tetap seperti kondisi semula, belum mengalami banyak perubahan ke arah yang lebih tertib, lebih indah, dan lebih nyaman, sebagaimana konsep umum arah penertiban kota. Hal yang sama juga dialami oleh pasar Setui, pasar Beurawe atau pasar pagi dan pasar Peunayong. Khususnya pasar Peunayong yang terdiri dari pasar ikan (los ikan), pasar sayur-sayuran dan pasar (los) pisang dan buah-buahan, masih memerlukan upaya-upaya yang lebih intensif lagi untuk pemantapan disiplin lingkungan pasar tersebut. Termasuk di dalamnya pemantapan lingkungan sosial, lingkungan phisik, dan lingkungan biologi.
B.
DISIPLIN DI LINGKUNGAN TERMINAL Terminal sebagai tempat pemberhentian akhir dan sebagai tempat mulai
bergeraknya mobil untuk berangkat menuju ke tempat/daerah-daerah lain. Terminal 86
juga sebagai tempat bongkar-muat orang dan barang-barang, sebagaimana tercermin dalam definisi terminal yang tercantum dalam peraturan D a e i a l i
(PERDA)
Kotamadya Banda Aceh, merupakan salah satu unsur kepentingan dalam proses kelancaran mobilitas di Kota. Hingga pada saat ini, di lingkungan Kotamadya Banda Aceh terdapat 5 (lima) buah terminal yang relatif masih berfungsi. Terminal bis cepat untuk hubungan luar Daerah Aceh, seperti dengan Kota-kota Propinsi lainnya di Sumatera, Jawa dan Bali, dipusatkan di Seutui, oleh masyarakat banyak disebutnya Terminal Seutui. Terminal bis yang menghubungi kota Banda Aceh dengan beberapa Kota Kabupaten, seperti Sigli, Bireun-Lhokseumawe, dan Langsa dipusatkan di Terminal Beurawe. Untuk bis dari berbagai Kecamatan di sekitar A c e h Besar dan lingkungan Kota Banda Aceh dipusatkan di terminal jalan Ramasetia Lampaseh Kota - di samping BNI 1946. Sedangkan untuk bis Kota yang dikenal dengan angkutan mikrolet (labilabi) kata orang Aceh dipusatkan di terminal jalan Diponegoro, dan untuk angkutan khusus Mahasiswa yang memakai Bis Darussalam dan D A M R 1 , dipusatkan di terminal tersendiri pada ujung jalan Diponegoro. D a r i lima terminal yang disebutkan, hanya satu terminal (Seutui) yang letaknya agak lebih baik dan agak jauh dari gangguan lalu lintas. Sedangkan terminal lainnya menurut sumber yang diperoleh masih tetap "Terminal Darurat" untuk batas waktu yang tidak menentu. Dikatakan "Darurat" karena yang dijadikan untuk terminal, m e l a l u i pengambil alihan tempat dari fungsinya sebagai jalan untuk kelancaran mobilitas/lalu lintas kenderaan, diubah menjadi terminal. Contohnya jalan Ramasetia Lampaseh, jalan Diponegoro, dan halaman itu hanya tempat untuk perparkiran sementara bagi orang-orang yang akan berbelanja bila kawasan toko/pasar
tersebut kelak akan ramai. D i t e m u k a n informasi, bahwa 87
penga-
lihan/pemindahan terminal bis dari kawasan stasiun kereta api ke tempat yang baru di Beurawe, hanya bertujuan untuk meramaikan pasar Beurawe yang baru dibangun. Bagi penumpang yang perlu ke kota, harus menggunakan transport satu kali lagi. Pemikiran lain yang berkenaan dengan terminal ini, bukan hanya terbatas pada konsep bongkar-muat orang dan barang saja. Akan tetapi terminal juga sebagai cermin pelayanan pemerintah dan pihak swasta terhadap mayarakat banyak. Sebagai tempat pelayanan umum, nampaknya terminal-ternimal yang ada belum begitu memuaskan. Di antara unsur pelayanan umum yang seharusnya tersedia di setiap terminal adalah tempat duduk atau tempat istirahat para penumpang, para penunggu, para pengantar dan penjemput dan tempat-tempat lainnya seperti tempat shalat, kamar mandi, W C umum, dan warung-warung makanan. Fasilitas lainnya yang juga penting pada masa sekarang ini adalah telepon umum, tempat pembelian tiket bis yang baik, dan lain-lain yang diperlukan oleh para penumpang yang membutuhkan pelayanan. Dari hasil pengamatan di tempat, yang dilakukan oleh tim penulis naskah ini, ternyata terminal-terminal yang disebutkan di atas tidak mempunyai fasilitas pelayanan umum yang cukup memadai. Hanya terminal Seutui yang menyediakan tempat duduk, walaupun sangat terbatas, dan menyediakan tempat shalat, dan W C umum walaupun keadaan W C tersebut sangat jorok. Seandainya tidak "sangat terpaksa" dipastikan para pengunjung terminal senantiasa menghindar untuk tidak memasuki W C yang tersedia itu, mengutip ungkapan salah seorang penumpang dan pengantar di terminal Seutui. Fasilitas lainnya seperti telepon umum, dan tempat pembelian tiket terbuka sewaktu-waktu, tidak berfungsi secara rutin, dan jumlahnya sangat terbatas. D i ter88
minal Se tui tersedia hanya satu buah telepon umum dan satu buah loket penjualan 1
tiket ya. g sering ada, yaitu loket bis jurusan A c e h Barat dan Selatan. Suatu pemandangan yang kurang menyenangkan adalah hampir semua terminal berebut penumpang, dan kadang-kadang terjadi penjualan tiket di jalan. Setiap calon penumpang yang tiba di terminal, baik yang datang dengan mobil pribadi, atau dengan menyewa transport umum seperti becak, mikrolet, atau taxi, kerap kali dengan spontan "ditangkap" oleh agen-agen terminal dengan menawar-nawar tiket yang ada di tangannya dengan cara sedikit memaksa. Terkesan dan dirasakan sekali oleh penumpang (calon penumpang yang diwawancarai) terhadap sikap agen-agen terminal yar.g seperti itu sangat tersinggung perasaan dan hak kebebasan mereka. Salah seorang petugas lalu lintas angkutan jalan raya (petugas L L A J R ) yang ditempatkan di terminal Seutui mengakui bahwa keadaan yang tidak disiplin, lingkungan tempat-tempat umum di terminal yang tidak bersih, dan tingkah laku orang-orang terminal yang kasar, semua itu hampir menjadi "Kebudayaan Terminal" di daerah kita, Daerah Istimewa Aceh. H a l yang sama juga diakui oleh petugas tersebut terjadi di beberapa terminal Kota lainnya di Sumatera, kecuali yang relatif agak disiplin terminal-terminal di Sumatera Barat dan beberapa tempat lainnya' di pulau Jawa (wawancara dengan M . Yusuf Samad). Dikatakan hampir menjadi "Kebudayaan Terminal", karena tradisi atau kebiasaan jorok dan tidak disiplin di lingkungan terminal telah merupakan bagian yang integral dari kehidupan terminal. Kehidupan terminal adalah kehidupan yang sibuk dengan melayani lalu lintas pulang-pergi orang banyak. Setiap konsep orang banyak salah satu identitasnya yang relatif menonjol adalah tidak teratur atau sulit diterapkan disiplin. Apalagi keadaan di terminal-terminal yang melakukan bongkar muat barang-barang keperluan dapur seperti sayur-sayuran dan 89
buah-buahan,
masalah kebersihan dan disiplin relatif kurang terkontrol. Sebagai tempat hilir mudik orang banyak terminal sebenarnya merupakan salah satu tempat pertemuan banyak ragam orang dengan bermacam ragam pula prilaku, adat, dan kebiasaan mereka. Salah satu contoh kebiasaan orang-orang tertentu di terminal, misalnya naik bis yang tidak teratur, membuang sampah tidak pada tempatnya seperti biasanya mereka lakukan di desa, malas menunggu antrian dalam membeli tiket dan berbagai prilaku lainnya yang mereka bawa dari tempat asal dan itu menjadi pemandangan yang kurang sedap, untuk situasi di Kota yang berorientasi kepada keadaan yang lebih disiplin. D i pihak yang lain, para pemilik jasa pelayanan bis di terminal-terminal, terutama yang bergerak ke arah luar kota cendrung memuat penumpang di luar batas muatan-muatan umum. Keadaan ini menggambarkan bahwa orientasi kepada keselamatan dan kenyamanan para penumpang kurang menjadi perhatian utama. A k a n tetapi sebaliknya mereka lebih berorientasi kepada mencari keuntungan materi belaka. Akar dari sikap dan orientasi mereka di terminal yang sedemikian rupa bersumber dari rendahnya tingkat kesadaran tentang disiplin di lingkungan terminal. Pemerintah Daerah Kotamadya Banda Aceh bersama Instansi terkait lainnya telah berusaha menertibkan terminal-terminal yang telah ada, walaupun serba darurat, dan berusaha untuk membangun terminal baru yang defenitif untuk keperluan mobilitas kota yang relatif memadai. Salah satu usaha Pemda Tk. II yang kini sedang dirintis adalah membangun terminal besar untuk bis jarak jauh di kawasan Lampeuneurut. Untuk terminal-terminal bis atau mikrolet angkutan dalam kota, hingga saat ini masih dirasakan ada kesulitan memperoleh tanah yang cukup untuk membangun sebuah t e r m i n a l yang lengkap dengan berbagai fasilitas yang 90
dibutuhkan. Kesulitan yang serupa juga diakui dalam upaya mencari dana. Kedua hal inilah yang telah "Meredam" masyarakat Kota dan para pemilik jasa pelayanan transportasi dalam terminal-terminal yang kini dianggap "darurat" untuk masa yang tidak berbatas. Berkaitan dengan masalah disiplin di lingkungan terminal, benkut ini diberi gambaran tentang keadaan disiplin di sekitar lingkungan perparkiran. Suasana perparkiran terhitung sangat terdesak di pusat-pusat perbelanjaan, seperti di kawasan pasar Aceh terutama di sepanjang jalan perdagangan, di kawasan Kampung Baru, sepanjang jalan K . H . Ahmad Dahlan, dan di pusat-pusat perbelanjaan kawasan Peunayong. D i tempat-tempat lain seperti di halaman-halaman T O S E R B A (Toko Serba Ada) keadaan perparkiran juga sangat terdesak. Terdesak dalam pengertian relatif padat karena pada umumnya memanipulir sebagian dari badan jalan, yang membawa dampat terganggunya kelancaran lalu lintas di sekitarnya. " Keadaan perparkiran pada beberapa jalan utama di Pusat Kota Banda A c e h saat ini masih terasa sangat semberaut, kondisi itu diperburuk dengan lemahnya pengawasan aparat. Hingga, pelanggaran lokasi parkir pada jalan tertentu sudah menjadi semacam hal yang dilakukan. Berdasarkan ketentuan perda yang telah dikeluarkan, kawasan jalan perdagangan seharusnya dibebaskan dari parkir kenderaan roda empat, karena kawasan tersebut terhitung sempit, dibandingkan akumulasi kenderaan yang terus bertambah. Namun, selama ini perda tersebut belum berjalan sebagaimana diharapkan. Karena kenderaan roda empat tetap bebas diparkir pada lokasi tersebut. WaliKota Madya Banda Aceh juga mengakui adanya pelanggaran di kawasan tersebut, dan juga keadaan yang semberaut di beberapa kawasan yang lain. Salah satu unsur penyebab menurut Walikota Baharruddin Yahya adalah lemahnya pengawasan oleh aparat dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam hal itu. Alternatif lain yang dipikirkan untuk menanggulangi kesemrautan perparkiran kota adalah dengan membangun sistem perparkiran yang terpusat. Direncanakan untuk tahap pertama adalah di kawasan Kampung Baru, aveng-avoang ukuran 100 x 100 meter. Pihak Pemda Kotamadya telah
91
mengusulkan kebijakan itu ke Bappeda Propinsi, dan juga mendapat tanggapan positif. Namun terkendala dengan dana yang terbatas, karena akumulasi dana untuk keperluan itu terhitung cukup besar. Terutama bagi pembebasan tanah-tanah penduduk. Walikota malah menawarkan pihak swasta untuk menanamkan investasi bagi pembangunan lokasi parkir itu. Dengan sistem bagi hasil antara investor dan pemda Kotamadya Banda Aceh, dengan pola bagi hasilnya 75 : 25. Masing-masing untuk investor : dan untuk Pemda (Serambi Indonesia, 4 September 1992).
C.
DISIPLIN DI LINGKUNGAN TEMPAT HIBURAN D i antara beberapa jenis hiburan rakyat yang ada di Banda Aceh, dapat
disebutkan di sini beberapa di antaranya yang relatif popuier, seperti Film & Video, olah raga bola kaki dan beberapa jenis kesenian lainnya yang termasuk jenis hiburan permainan rakyat seperti Seudati, sandiwara dan tarian-tarian daerah yang kini telah terurus dengan teratur oleh Yayasan Sanggar Cut Nyak Dhien Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Tempat-tempat hiburan yang ditetapkan dalam Perda Kotamadya Banda Aceh dalam kaitannya dengan iuran Pendapatan daerah ( I P E D A ) di antaranya disebutkan Gedung-gedung Bioskop yang memutar Film, toko-toko yang memutar Video, dan cabang-cabang olah raga dan kesenian yang menjadi tontonan rakyat dan merupakan hiburan yang mengutip dana bagi setiap penonton yang datang menikmatinya. Dalam kaitan sehari-hari, setiap jenis usaha jasa hiburan dan setiap tempat hiburan diwajibkan mempedomani ketentuan-ketentuan
yang berlaku. Namun,
betapapun upaya pemerintah dalam menertibkan tempat-tempat hiburan ini agar aktifitasnya tetap sesuai dengan ketentuan hukum dan sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang berlaku. H a l itu tentu akan sia-sia bila tidak didukung sepenuhnya oleh 92
masyarakat, pelaksana dan pihak pengusaha. H u k u m atau aturan-aturan yang berlaku, aparat pelaksana dan penegak hukum, pengusaha, dan masyarakatnya, merupakan unsur-unsur terpenting dalam setiap upaya peningkatan disiplin, termasuk di dalamnya disiplin di lingkungan tempat-tempat hiburan. T i d a k terlalu berlebihan bila ada yang menyatakan bahwa disiplin merupakan salah satu aspek moral yang mencerminkan watak atau kepribadian seseorang/anggota masyarakat dan juga merupakan watak sekelompok orang atau suatu organisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam pengamatan ditemukan suatu realitas yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang seharusnya berlaku. D i bidang perfilman misalnya : Oleh produser dan oleh pihak badan sensor film telah ditetapkan ada film-film bebas untuk semua usia, dan ada film-film yang hanya boleh ditonton oleh yang berusia 17 tahun ke atas. Realitas yang tidak sesuai itu adalah adanya b i o s k o p - b i o s k o p yang tidak mematuhi pembatasan usia itu. Bahkan ditemukan di lapangan banyak anak-anak di bawah umur yang ikut menonton filmfilm yang jelas-jelas diperuntukkan bagi orang-orang dewasa di atas 17 tahun. Gejala yang demikian merupakan suatu indikasi dari perubahan tatanan nilai-nilai sosial dalam masyarakat kita. Perubahan tatanan tersebut, salah satu penyebabnya adalah tekanan ekonomi yang terlalu mendesak pemilik perusahaan. Berkaitan dengan ini aparat penegak hukum juga lemah. M . Hasan Peukan Bada, salah seorang anggota pengelola Bioskop memberikan komentar tentang faktor yang menggeser tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat kita. D i antaranya disebutkan bahwa keadaan umum Gedung-gedung Bioskop di Banda Aceh, mulai sangat terdesak dan menurun sejak awal tahun 1980-an, bersamaan dengan masuknya T V dan Video Casset ke Daerah Istimewa Aceh. Sejak saat itu, kedua jenis alat elektronik 93
tersebut telah menjadi milik perorangan di Aceh, khususnya bagi masyarakat kota di Banda Aceh. Dengan hadirnya T V dan Video sangat berdampak negatif bagi pendapatan para pengusaha Bioskop. Masyarakat kota yang dulunya mencari hiburan melalui film-film yang diputar pada Bioskop-Bioskop sekarang ini mereka relatif bisa rilax/santai di rumah dengan menikmati hiburan-hiburan yang disajikan oleh T V R 1 dan Video Casset. Konon lagi T V R I dan Video juga melayani berbagai film yang mereka butuhkan dan tidak kurang seperti apa yang diputar di biosko-bioskop. D i pihak lain, para pimpinan perusahaan bertekad agar usahanya yang telah bertahun-tahun tetap harus berjalan, dan tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk menutup usahanya dengan bermacam cara dan usaha akan ditempuh untuk memajukannya. Oleh karenanya para pengelola bioskop berusaha mencari
film-film
terbaik yang digemari masyarakat agar pengunjung bioskop dapat menonton filmfilm yang digemari itu relatif banyak dan semakin meningkat. Dengan meningkatnya jumlah penonton, dengan otomatis pula akan meningkatnya jumlah pendapatan yang akan diperoleh. Tidak tertutup kemungkinan, pihak-pihak tertentu dalam mencari keuntungan materi ini, mengabaikan aspek-aspek moral dan tata susila, dengan mengingkari ketentuan-ketentuan yang ada. Dari hasil peninjauan lebih jauh, ternyata keluhan para pengusaha bioskop sejak dekade 1980-an dan 1990-an ini, diakui ada benarnya. Sepintas lalu terkesan, kebutuhan dana untuk merawat gedung dan merawat mobiler seperti tempat duduk dan tempat-tempat penjualan kareis (tiket) relatif tidak mencukupi. Dana kadangkadang hanya pas-pasan untuk membayar sewa film dan membayar honor petugas. Diperkirakan usaha perfilman atau kegiatan orang-orang yang mencari penghidupan melalui jasa pelayanan perfilman suatu saat akan lemah eksistensinya di Aceh. Gedung-gedung bioskop yang ada sekarang ini adalah gedung-gedung lama yang 94
sudah memerlukan renovasi secara mendasar, di antaranya Gedung bioskop Gajah Theater, Garuda Theater, dan Merpati Theater. Ketiga tempat ini keadaannya sekarang "bagaikan kerakap di atas batu. Hidup enggan mati tak mau". Akhir-akhir ini telah dibangun dua buah lagi panggung/bioskop sebagai tempat hiburan rakyat, yaitu PAS-21 yang berlokasi di pusat perbelanjaan Gemini di pasar Aceh, dan yang satu lagi di pusat perbelanjaan/pasar Beurawe jalan T. Iskandar Banda Aceh. Hadirnya kedua tempat yang baru ini juga menimbulkan persaingan baru bagi ketiga gedung bioskop yang disebutkan di atas. Keadaan ini, juga merupakan salah satu fenomena betapa lemahnya disiplin organisasi dan managemen selama ini, baik yang dianut oleh pihak perusahaan, maupun oleh pihak Pemda Tk. II, khususnya yang menangani bidang pengembangan jasa pengembangan perfilman di daerah. Terkesan suatu keadaan di lapangan yang menggambarkan kekurang pedulian aparat terhadap masa depan perusahaan, dan terkesan amat menyolok bahwa aparat "sangat peduli" dengan kewajiban perusahaan, terutama masalah iuran. Jenis hiburan rakyat yang lain, seperti Seudati dan olah raga bola kaki, juga merupakan salah satu obyek kajian yang menarik terutama menyangkut dengan disiplin masyarakatnya. Masyarakat Aceh terkenal sangat "candu" dengan jenis permainan ini. Apalagi bila digelarkan secara kompetitif. Istilah Seudati Tunang atau kompetisi Seudati dan Tandeng Bhan atau pertandingan bola kaki dapat dianggap sebagai suatu istilah yang mempunyai makna "Hiroistik" dalam pandangan orang Aceh. Orang Aceh di samping hobby menonton kedua jenis permainan ini, ada juga di antara mereka yang sangat fanatik dan mau mengorbankan apa saja untuk memberi dukungan terhadap hal itu. Sehubungan dengan hal ini, Gubernur Kepala Daerah Propinsi Daerah 95
Istimewa Aceh menyebutkan dalam salah satu Festival Seudati sebagai berikut : Sebetulnya Seudati di Aceh tidak perlu ada juri, karena jurinya adalah masyarakat yang hadir di sini. Satu hal yang paling menggembirakan kita adalah masyarakat Aceh, masyarakat yang paling ahli menonton Seudati. Jadi, apa yang diputuskan oleh juri kalau tidak benar dapat diprotes oleh masyarakat penonton itu sendiri. Sebetulnya kita dapat mengangkat para penonton itu sebagai juri-juri semuanya, yang nanti bisa memberi penilaian yang menurut saya sangat tepat. Karena itu saya meminta agar juri yang menilai Seudati ini hendaknya betul-betul dapat meiepaskan diri dari berbagai macam pengaruh subyektif, karena bagaimanapun Seudati ini harus dinilai dengan obyeklif. " Pada bagian yang lain, berkenaan dengan hiburan di bidang Olah Raga Bola Kaki, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh juga pada kesempatan yang sama (29 Agustus 1990) antara lain menyatakan : " Saya sudah minta (Pada Bapak Presiden) ada dua macam Bapak Angkat yang perlu diadakan di Aceh ini, pertama Ayah Angkat dalam bidang Sepak Bola yang kedua Ayah Angkat dalam bidang permainan Seudati. Kedua Ayah angkat ini agaknya memang diperlukan di Aceh, karena masyarakat Aceh sangat senang pada Sepak bola, maka semua orang akan menjemput di lapangan terbang. Kalau-kalau medali-medali lain (cabang olah raga lain) ada, dan untuk cabang sepak bola tidak ada medali, mungkin orang tidak akan datang menjemput ke Blang Bintang." (Himpunan Pidato Gubernur Aceh Bidang Kesra Buku I X , tahun 1992, hal.90). D a r i beberapa gambaran keadaan yang disebutkan d i atas dapat diklasifikasikan keragaman kegemaran orang-orang Aceh dalam berbagai jenis hiburan yang popuier di kalangan mereka. Karena kegemaran tersebut kadangkadang di antara mereka ada yang lengah dan lalai dalam hal menaati berbagai aturan yang ada. Sekalipun minat masyarakat yang relatif besar dalam beberapa cabang kesenian dan olah raga yang disebutkan di atas, namun cabang-cabang kesenian dan olah raga tersebut belum berkembang secara profesional, namun kedua jenis 96
kegiatan itu tetap ramai ditonton masyarakat dalam maknanya sebagai hiburan. Dalam percakapan sehari-hari sering terungkap suatu pengakuan yang kadang-kadang bernada kekesalan, bahwa di Aceh relatif sangat kurang media-media hiburan. Situasi yang demikian, kadang-kadang ada paradoks pandangan. D i satu pihak Aceh mengalami kekurangan sarana dan prasarana hiburan pada pihak yang lain, juga ada anggapan rakyat A c e h kurang begitu antusias dengan bermacammacam hiburan. Hanya terbatas beberapa jenis permainan saja yang digemari. Bermacam-macam kendala yang dapat membuat Aceh kekurangan sarana dan prasarana hiburan. D i antaranya disebutkan, kendala dari segi pandangan ajaran Islam, adat istiadat dan juga watak umum orang Aceh yang kurang kreatif dengan masalah i n i . K e n d a l a yang lain, juga menyangkut hubungan dengan tingkat kemakmuran atau tingkat pendapatan rakyat. Rata-rata rakyat Aceh, terutama di pedesaan masih tergolong "miskin" sekalipun dalam kategori kemiskinan relatif, bukan kemiskinan mutlak. Kegiatan kesenian atau yang namanya hiburan, senantiasa membutuhkan bayaran. Dengan demikian, pada aspek ekonomi ini mengandung asumsi bahwa sarana dan prasarana hiburan akan berkembang di lingkungan masyarakat yang memiliki kemudahan ekonomi dan sekaligus memiliki kultur/tradisi dan watak yang gemar/mencintai hiburan. B i l a kedua aspek di atas tidak dipunyai, maka upaya pembinaan dan pengembangan bermacam-macam cabang hiburan/kesenian, dan olah raga, yang profesional akan sulit dapat dicapai pada tingkat pengembangan yang maksimum. Sebaliknya, bila kedua aspek tersebut (agama, tradisi, dan tingkat kemakmuran rakyat) ada dan terjalin secara terpadu, maka berbagai cabang kesenian dan hiburan rakyat akan berkembang di A c e h dan karena dengan itu pula rakyat dan para petugas dan pengusaha akan tetap menaati norma-norma disiplin yang berlaku. 97
Berkaitan dengan ini, ada dua ungkapan yang hampir menjadi suatu pedoman dalam kehidupan orang-orang Aceh : 1.
Mate Ureung Meupat Jeurat Mate Adat Pat Tamita (Meninggalnya manusia ada kuburan, tapi meninggalnya adat/hilangnya adat tak tahu dicari di mana)
2.
Ureung Kaya Mulia Bak Wareh Ureung gasien Meukuwian L a m Tapeh (Orang kaya dimuliakan oleh rekan-rekan dan ahli warisnya, dan orang miskin terduduk dalam tumpukan sabut kelapa). Kedua ungkapan di atas menggambarkan suatu harapan dan kenyataan
yang ada dalam masyarakat. Sebagai suatu harapan, ungkapan yang pertama mengisyaratkan agar dalam pengembangan suatu jenis kesenian/hiburan khususnya, atau pengembangan nasional pada umumnya, agar tidak menggusur nilai-nilai adat yang ada. Tidak menggusur dalam arti menghidupkan dan menghormatinya. Sedangkan ungkapan yang kedua menggambarkan kenyataan tentang status yang terhormat bagi orang-orang kaya.
D.
DISIPLIN DI JALAN RAYA Selama dua dasawarsa terakhir ini, Kota Banda Aceh secara phisik telah
banyak melakukan perubahan-perubahan, terutama yang dapat disebut salah satu di antara berbagai perubahan yang telah dilakukan adalah perluasan dan pembaharuan jalan-jalan raya dalam Wilayah Kotamadya Banda Aceh. Perubahan ini, seakan-akan terjadi sangat drastis. Dahulunya jalan-jalan sangat sempit dan sekarang jalan-jalan raya di Kota telah begitu lebar, di antaranya ada yang dibuat dua jalur.
98
Disebutkan perubahan yang sangat drastis, karena perubahan yang terjadi secara phisik itu adoptif dan jauh lebih cepat dari perubahan sikap mental anggota masyarakat yang memanfaatkan perubahan itu. Dalam realitas, masyarakat harus berhadapan dengan perubahan itu, perubahan dalam tata nilai berlalu lintas di jalan raya, akan tetapi dari segi mentalitas rakyat masih belum berubah. Mereka terbelenggu oleh tata nilai lama. Salah satu contoh dapat dikaji tentang partisipasi masyarakat luas terhadapa kenyaman berlalu lintas di jalan raya. Para pemilik ternak misalnya : Mereka tidak menghormati seruan Pemerintah agar tidak meiepaskan ternaknya dalam kota, yang sangat mengganggu ketertiban umum. D i bawah ini dapat dilihat salah satu cerminan prilaku peternak sapi dalam partisipasi mereka terhadap upaya penertiban kota, terutama di jalan raya. Gambar ini diambil dari Serambi Indonesia tanggal 4 Agustus 1992.
M A S U K K O T A - Tampaknya, larangan meiepas ternak dalam kota samapai kini belum ditaati secara sungguh-sungguh oleh pemilik ternak. Buktinya, sejumlah ternak kerap terlihat berkeliaran di jalan raya, seperti di ruas jalan Lamteumen, Banda Aceh Sabtu lalu. 99
B E B A S B E R K E L I A R A N — Peraturan Daerah tentang larangan meiepas hewan dalam kota, tetap belum dipatuhi secara maksimal, sebuah contoh terjadi di jalan Protokol T. Nyak Arief, Rabu kemarin, sekawanan sapi, sebuah gerombolan sapi dengan santai memotong jalan, tentu saja mobil yang sedang lewat terpaksa berhenti, dan mendahulukan " T A M U I S T I M E W A " tersebut. Terhadap sikap peternak yang demikian, Pemerintah Kota, yang dalam hal ini Kepala Dinas Peternakan Kotamadya Banda Aceh telah menempuh bermacammacam usaha agar para peternak dapat mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan, akan dikenakan sanksi bila ternaknya terjaring oleh Dinas Peternakan Kota. Menurut aturan yang berlaku, setiap ternak yang terjaring akan dikenakan denda dalam sehari R p . 10.000,- untuk seekor kambing dan R p . 25.000,- untuk seekor lembu atau kerbau. Berdasarkan pengamatan : " ...Kendatipun telah berulang kali diperingati dan ditertibkan, tapi tetap saja ada ternak yang kelihatan berkeliaran di Wilayah Kotamadya Banda Aceh yang luput dari pantauan petugas. Terutama pada lintasan menuju pinggiran kota. 100
B e b e r a p a w a k t u yang l a l u , K e p a l a D i n a s P e t e r n a k a n K o t a , d r h . Syamsuddin A l i pernah menyatakan, warga Banda Aceh yang tinggal di daeiah Pinggiran Kota, boldu saja memelilidia lei aak sapi dan kerbau atau kambing. Asalkan ternak mereka tidak dilepas, dan hanya dikurung di kandang dengan memberi makan yang cukup." (Serambi Indonesia 14 September 1992). Prilaku anggota masyarakat yang lainnya, yang kurang menunjang disiplin di jalan raya adalah prilaku para supir bis umum angkutan dalam kota dan daerah sekitarnya. D i Banda Aceh, hampir telah menjadi "Pengetahuan U m u m " bahwa yang paling kacau dan sangat tidak disiplin dalam mengemudi bis kota, adalah para pengemudi bis mikrolet sudako, yang oleh orang Aceh menyebutnya bis labi-labi. Umumnya para pengemudi bis labi-labi tidak disiplin dalam memakai jalan raya. Mereka mengambil penumpang di pinggir jalan dengan cara merapat seenaknya, berdiri di mana suka, dan menggunakan jalur lalu lintas semau mereka. Bahkan ada d i antara mereka yang mengemudi mobil dalam keadaan mabuk, dan sampai berurusan dengan pengadilan. Karena menabrak mobil orang lain. Salah satu kasusnya disebutkan di bawah ini : •
" RS (32) Supir Bis labi-labi yang menabrak Truk B L . 3654AA di Simpang Surabaya Banda A c e h dalam keadaan mabuk, selasa (26-5) kemarin, dituntut enam bulan penjara. Jaksa penuntu U m u m Munir. S H menyatakan perbuatan terdakwa pengemudi kenderaan dalam keadaan mabuk sangat membahayakan keselamatan umum. M e n u r u t Jaksa, berdasarkan keterangan saksi Palasatan Sitorus, M . A l i , dan Prabowo yang diakui terdakwa. Terbukti R S (32) pada hari Senin, mengemudi mobil penumpang labi-labi B L . 1562 A . d i Jalan Tgk. Chik Ditiro menuju simpang Surabaya, dalam keadaan mabuk. Terdakwa tidak dapat mengemudi dengan baik. Ia mengambil jalan berbelok-belok di sepanjang ruas jalan tersebut. Jaksa menambahkan, ketika sampai di Simpang Surabaya dari arah yang berlawanan datang truk B L . 3654AA menuju ke Ulee Kareng. Saksi M . A l i , pengemudi truk meühat mobil labi-labi terdakwa melaju dengan kecepatan tinggi dan mengambil jalur sebelah kanan. Saksi berusaha memberi isyarat lampu agar terdakwa mengubah posisi ke kiri, tetapi 101
isyaral tersebut tak d i h i r a u k a n n y a . K e n d e r a a n terdakwa semakin mendekat, dan saksi M . A l i terpaksa berhenti pada posisinya, dan tabrakan tak dapat dihindari lagi". (Serambi Indonesia 27 M e i 1992). Keadaan tersebut menggambarkan betapa besarnya nilai otoritas pengemudi dalam masalah penertiban jalan raya. Secara nasional masalah kecelakaan lalu lintas scnantiasa memperlihatkan grafik yang memprihatinkan. Pada tahun 1973 jumlah kecelakaan lalu lintas tercatat 27.092 kasus dengan korban tewas 4.000 orang. Sepuluh tahun kemudian (1983) jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat (50%) menjadi 46.098 kasus
Pada tahun 1984 dan tahun 1985 keadaan agak menurun,
sekitar 45.466 dan 42.082 kasus dengan korban masing-masing 10.831 dan 10.283. Sementara pada tahun 1989, jumlah kasus kecelakaan hanya 27.081, tetapi kecelakaan tersebut membawa korban yang relatif besar 10.661 periode 1987-1991 di Indonesia tercatat 197.895 kasus kecelakaan lalu lintas, dengan mengakibatkan 67.')12 orang tewas. Terhadap kasus kecelakaan lalu lintas di jalan raya dalam skala nasional disebutkan beberapa faktor penyebabnya. Faktor yang paling utama adalah kelalaian pengemudinya. Faktor kedua karena kondisi kenderaan, dan yang ketiga faktor lingkungan, seperti penyeberang jalan, gangguan ternak yang melintasi jalanjalan raya, dan lain-lain (Serambi Indonesia 15 A p r i l 1993). Khususnya di Banda A c e h , sejak Sofyan Rivai menjabat Kapolres, ia berusaha untuk menurunkan angka kecelakaan lalu lintas yang selama ini cukup besar dan banyak menyebabkan cacat, luka besar, dan meninggal dunia karena itu. Untuk mewujudkan tckadnya itu, Kapolres telah menelapkan upaya penertiban lalu lintas jalan raya menjadi program utama yang harus menjadi perhatiannya. Kemudian dari itu ia juga telah menertibkan kewajiban memiliki S I M bagi pengc mudi, dan menempatkan polantas pada pos-pos strategis untuk memantau dan menjaga disiplin berlalu lintas. Petugas yang ditempatkan itu secara bergiliran harus 102
menempati pos-pos sejak pagi sampai pukul 21.00 malam, terutama di jalan-jalan protokol (Serambi Indonesia 18 Agustus 1992). Hal lain yang juga dapat mengganggu terciptanya disiplin berlalu lintas adalah faktor ketegasan petugas yang menegakkan hukum atau undang-undang lalu lintas. Bila petugas kurang teguh pendirian dalam hal ini, akan membawa dampak yang buruk bagi perkembangan disiplin jalan raya di masa yang akan datang. Salah satu contoh perbuatan oknum petugas yang sangat mengganggu adalah "Praktek damai di Kantin yang Merajarela" antara pelanggar undang-undang lalu lintas dengan petugas (seperti yang disebutkan oleh harian Serambi Indonesia tanggal 21 Juni 1992).
103
BAB V UPAYA PEMBINAAN DISIPLIN PADA MASYARAKAT KOTAMADYA BANDA ACEH A.
PEMBINAAN O L E H PEMERINTAH Dalam rangka pembinaan disiplin kepada warga masyarakat di Kotamadya
Banda Aceh, pihak pemerintah yang dalam hal ini Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh, telah melakukan berbagai usaha/tindakan. D i antara usahausaha yang telah dilakukan itu misalnya melalui jalur hukum yang dijabarkannya dalam sejumlah peraturan Daerah (Perda), baik yang berkenaan dengan masalah ketertiban, keteraturan, ketaatan dan kedisiplinan warga kota Banda Aceh, juga yang berkaitan dengan masalah-masalah lainnya. Sebagaimana yang diinginkan dan diharapkan oleh pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Banda Aceh, agar Kotamadya Banda Aceh dapat terwujud sebagai kota yang " B E R I M A N " (Bersih Indah dan Nyaman). Maka untuk maksud dan tujuan inilah pemerintahan di antaranya mengeluarkan sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang mempunyai sanksi hukum bagi warga kota yang melanggarnya. U n t u k p e m b i n a a n dan menegakkan k e d i s p l i n a n bagi warga kota, pemerintah dalam hal ini kelihatannya memang bersungguh-sungguh. Sebagai contoh dapat diketahui, bahwa terhadap mereka (warga kota) yang telah melanggar peraturang-peraturan Daerah (Perda-perda) yang telah ditetapkan itu, pemerintah Daerah telah mengambil tindakan. Berdasarkan informasi dan melalui media massa (surat kabar) tim peneliti dapat mengetahui bahwa dalam suatu operasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Dinas penertiban Peraturan Daerah (Peperda) Kotamadya Banda Aceh, yang terdiri dari suatu tim Kegiatan Operasional Kebersihan dan Keindahan lingkungan yang terdiri dari unsur peperda, polres, 104
kodim, kejaksaan Negeri (Kejari) dan pengadilan Negeri, hanya dalam tiga hari saja dilakukan operasi itu, yaitu sejak tanggal 26-29 September 1992 dapat diketemukan 38 pelanggar peraturan daerah (Perda). Dalam upaya pembinaan disiplin dan kepatuhan kepada peraturan yang telah ditetapkan (hukum) oleh pemerintah, terhadap mereka (para pelanggar) ini telah diambil tindakan sesuai dengan ketentuan (hukum) yang berlaku sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam perda-perda itu. Kepada para pelanggar ini telah dijatuhi hukuman subsider masing-masing berupa kurungan selama 10 hari atau diharuskan membayar denda fmansial. Kepada para pelanggar perda ini didakwa telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap beberapa perda. Dari pengadilan Negeri Banda Aceh tim peneliti mendapatkan data, bahwa besarnya denda yang ditetapkan hakim yang mengadili perkara itu dalam persidangan yang dilaksanakan itu sangat bervariasi. H a l ini tentunya sangat tergantung kepada besar atau kecilnya tingkat pelanggaran yang telah dilakukan oleh para pelanggar itu, denda yang paling rendah sebesar R p . 15.000,- (lima belas ribu rupiah) sedangkan denda yang tertinggi adalah R p . 31.000,- (tiga puluh satu ribu rupiah). Dan kesemua uang denda tersebut menurut kalangan kehakiman dimasukkan ke Kas Negara. D i antara ke 38 warga kota yang ditindak karena melanggar perda itu, menurut peperda kepada tim peneliti, bahwa 24 orang disebutkan karena mereka telah melanggar peraturan Daerah (perda) No.6 tahun 1980, berkenaan tentang ketentuan mengenai sampah 4 orang pedagang ditindak karena melanggar peraturan Daerah (perda) N o . 6 tahun 1979, berkenaan dengan ketentuan berdagang di kaki lima, disebabkan karena tidak mengindahkan atau tidak mematuhi ketentuanketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah Kotamadya Banda Aceh yang dijabarkan dalam Perda. 10 orang warga kota lainnya karena menjual bahan 105
bakar (bensin dan minyak tanah) secara eceran tanpa memperoleh izin dari pihak yang berkompeten. Tindakan ke 10 orang ini berlawanan dengan peraturan daerah (perda) No.6 tahun 1979. Kepada para pelanggar yang telah diambil tindakan ini, sebenarnya menurut staf peperda itu, telah diberi peringatan terlebih dahulu serta juga telah diberikan wejangan-wejangan dan pengertian-pengertian. Namun upaya itu ternyata tidak berhasil, karena warga itu tetap membandel, baru selanjutnya terhadap mereka diambil tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti yang telah dijabarkan dalam perda. Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Banda A c e h , sebagaimana dikatakan kepada tim peneliti, sebenarnya tidak bermaksud mencari-cari kesalahan warga Kotamadya (masyarakat), tetapi pengambilan tindakan tersebut semata-mata sifatnya untuk membina dan mendidik warga kota itu agar mereka menjadi warga yang disiplin, patuh kepada ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan melalui
perda-perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kotamadya Tingkat II Banda Aceh. Sehubungan dengan pembinaan disiplin masyarakat warga Kota Banda Aceh yang berkenaan dengan penertiban masalah pembuangan sampah, Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Banda Aceh yang dalam hal ini Walikota Banda Aceh telah b e r k a l i - k a l i menghimbau warga kota B a n d a A c e h , agar warga dapat menjadikan Kota Banda Aceh sebagai kota yang bersih, indah dan nyaman, yang disingkat dengan istilah yang popuier yaitu " B E R I M A N " . D a l a m kaitan i n i pemerintah juga pada tempat-tempat tertentu di Kota Banda Aceh, didirikan papanpapan pengumuman yang tertulis atau berbunyi "Jagalah Kebersihan, Karena Kebersihan itu setengah dari pada Iman". H a l ini tentunya untuk mengingatkan warga kota Banda Aceh yang sebagian penganut Agama Islam. Dan pengumuman106
pengumuman itu sesuai dengan ketentuan dalam Agama Islam. Masalah sampah sangat berkait dengan bersih, indah, aman dan sehat, maka oleh karenanya masalah ini mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah Kotamadya Banda Aceh. D i antara usaha yang telah dilakukan untuk menanggulangi masalah sampah ini, selain dengan dikeluarkannya peraturan Daerah N o . 3 tahun 1990 tentang Kebersihan dan Keindahan Kotamadya Banda Aceh, juga dengan mengusahakan armada sampah. Untuk kepentingan ini pemerintah Daerah telah membuat sejumlah tempat-tempat pembuangan sampah dalam bentuk bak-bak sampah pada lokasi-lokasi tertentu dalam Kotamadya Banda Aceh. Demi kelancaran usaha ini pemerintah telah menyediakan sejumlah truk sampah untuk mengambil dan membuang sampah dari dalam kota ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. D i dalam kota sendiri pemerintah kota juga telah menyediakan sejumlah gerobak sampah. Pengadaan gerobak-gerobak ini mulai dari pada tingkat perkampungan hingga pada tingkat Kelurahan. Dari informasi yang didapat tim peneliti dari beberapa informan, bahwa anggaran belanja untuk k e p e n t i n g a n i n i tidak dibebankan oleh pemerintah Kotamadya saja, tetapi juga dari Anggaran Rumah Tangga warga masyarakat kota yang harus atau memerlukan tempat membuang sampah dari rumah-rumah mereka. Pada perkampungan-perkampungan di mana warga masyarakatnya harus membuang sampah di pekarangan rumahnya, mereka masing-masing oleh pemerintah/ Kelurahan, dikenakan biaya untuk ongkos pengangkutan sampah yang dilakukan dengan gerobak-gerobak ke tempat-tempat sampah yang diambil di muka rumah mereka selanjutnya dibawa ke tempat-tempat penampungan/pembuangan sampah yang telah dibangun oleh pemerintah. Dari sinilah selanjutnya sampah-sampah ini diangkut lagi dengan truk-truk sampah ke T P A (Tempat Pembuangan A k h i r ) 107
sampah, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan di pinggiran-pinggiran kota. Dalam kaitan dengan pembinaan disiplin dan ketertiban pada tempat-tempat umum, pemerintah sudah mengaturnya melalui perda-perda
(peraturan-per-
aturan Daerah) misalnya perda N o . 2 tahun 1990; tentang tata tertib di Terminal. Dalam Perda no. 2 tahun 1990 ini pasal 3, disebutkan bahwa "setiap mobil penumpang m o b i l bis dan mobil barang yang memasuki, beroperasi dan berangkat meninggalkan Kotamadya Banda Aceh, diwajibkan memasuki/berhenti pada terminal/pangkalan dan tempat-tempat perberhentian lainnya yang ditetapkan untuk itu. Demikian pula pada pasal 10 dan 11 dari Perda itu, disebutkan bahwa : " Dilarang bagi semua mobil penumpang, mobil bis dan mobil barang berpangkalan/berhenti. Selain pada tempat-tempat yang ditetapkan itu. Dilarang bagi semua beca, taxi atau sejenisnya berpangkalan selain pada tempat yang ditetapkan untuk itu." Dalamhubungan kedisiplinan, ketertiban dan kebersihan pada terminal dalam pasal 21 perda No. 2 tahun 1990 dicantumkan bahwa : " Dilarang bagi siapapun juga untuk berdagang dan melakukan kegiatankegiatan lain di dalam terminal pangkalan atau di atas mobil penumpang, mobil bis dan mobil barang yang berada di terminal dan pangkalan, kecuali atas izin Kepala Terminal dan pangkalan. " Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dengan pasal-pasal peraturan Daerah itu, diancam pidana kurungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. D e m i k i a n pula usaha untuk mendisiplinkan pada tempat keramaian s e p e r t i ; d i b i o s k o p dan tempat-tempat
hiburan lainnya p e m e r i n t a h telah
mengeluarkan sejumlah peraturan Daerah, seperti perda No. 9 tahun 1989; yang isinya atau ketentuannya dapat dilihat dalam lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh Tahun 1991, yang dikeluarkan oleh Bagian Hukum O & T 108
Sekretariat Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh. Begitu pula usaha untuk menertibkan/mendisiplinkan tentang Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk bagi warga kota Banda Aceh, pemerintah telah memiliki Perda No. 5 Tahun 1970. Usaha menertibkan perparkiran dalam Kotamadya Banda A c e h pemerintah juga telah mengaturnya melalui Perda (Peraturan Daerah) No. 11 Tahun 1984. Sehubungan dengan Tata tertib Parkir ini ; pada Bab V, pasal 9 dari perda itu disebutkan : " Setiap pengemudi kenderaan yang meletakkan kenderaannya di suatu tempat parkir atau gedung pelataran parkir wajib membayar restribusi parkir atau sewa p a r k i r dan wajib m e m a t u h i semua rambu/tanda-tanda lain/petunjuk yang terpasang. " " Setiap kenderaan dilarang parkir di luar batas suatu petak parkir. " Agar warga/masyarakat patuh terhadap ketentuan ini ; maka bagi siapa yang melanggarnya dikenakan ketentuan pidana : seperti dimuat pada pasal 16 dari perda No. 11 Tahun 1984 tersebut yaitu : " Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya 50.000 (lima puluh ribu rupiah). " Usaha lain yang dilakukan pmerintah Kotamadya Banda Aceh untuk menegakkan kedisiplinan, ialah melalui media massa (surat kabar). Untuk ini Walikota Banda A c e h bersedia menjawab setiap persoalan yang diajukan oleh warganya, melalui Surat Kabar Lokal yang terbit di Banda Aceh, Surat Kabar harian yang terbit di Banda Aceh itu, menyediakan kolom khusus pada setiap hari Khamis dengan judul : "Warga Bertanya Walikota Menjawab". Selain itu pada setiap kesempatan pihak pemerintah/Walikota Kotamadya Banda Aceh, selalu menghimbau warganya agar mendukung konsep pemerintah untuk menjadikan Kota Banda Aceh sebagai Kota Bersih, Indah dan Aman. Misalnya 109
s e r u a n / h i m b a u a n i t u d i s a m p a i k a n W a l i k o t a pada L a t i h a n
Pengembangan
Kepeloporan Wanita ( L P K W ) . Menurut Walikota, kaum wanita sangat berperan dalam pembinaan kehidupan keluarga dan lingkungan yang dapat secara aktif membimbing anak-anaknya menjaga kebersihan/kedisiplinan. Usaha lain yang dilakukan pemerintah untuk kedisiplinan Kotamadya Banda Aceh, misalnya dengan memberlakukan denda terhadap ternak besar dan sedang milik penduduk yang dijaring tim penertiban dari Dinas Peternakan. Tindakan ini adalah untuk mengantisipasi sikap sebagian warga kota yang masih membiarkan ternaknya berkeliaran. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pemilik ternak yang terjaring diwajibkan membayar denda dalam sehari R p . 25.000,- untuk seekor sapi dan R p . 10.000,- untuk seekor kambing.
B.
PEMBINAAN O L E H TQKQH MASYARAKAT Selain apa yang telah dilakukan oleh pemerintah, dalam usaha untuk
membina disiplin pada warga masyarakat di Kotamadya Banda Aceh juga dapat disebutkan usaha-usaha lain yang dilakukan oleh Warga Kota Banda Aceh sendiri. D i antaranya usaha yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat. Mereka ini baik sebagai mantan pejabat, aparat pemerintah yang dapat disebutkan sebagai kelompok umara dan juga oleh para kelompok ulama. Melalui media massa, mimbar-mimbar mesjid dan juga muzakarah/seminar-seminar, kita sering mendengar himbauan daripara tokoh/pemuka masyarakat untuk membina disiplin dalam arti luas. Sebagai contoh dapat disebutkan di sini himbauan dari Prof. D R . Ibrahim Hasan yang menjabat sebagai Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Aceh, ketika melantik Pengurus Tim Penggerak P K K Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 7 Juni 1989, antara lain menyebutkan : "Sekarang di 110
Aceh mulai sudah ada bunga. Cobalah ibu-ibu pikirkan, siapa tidak menangis, orang lain dapat Adipura, kota yang terbersih, Aceh Kota yang terkotor di Seluruh Indonesia. Kalau dibilang A c e h yang kotor, bukan saya yang kotor, yang juga rumah kaum ibu-ibu, berarti ibu-ibu A c e h yang terkotor di Seluruh Indonesia". Dan apa yang dikatakan Prof. D R . Ibrahim Hasan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa tokoh masyarakat yang dalam hal ini Gubernur, ikut serta mendorong, agar masyarakat mawas diri, dalam arti mendisiplin diri demi kebersihan. Seorang pemuka masyarakat, dalam suatu muzakarah tentang Pembinaan Kesadaran Lingkungan H i d u p yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Banda A c e h dan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Daerah Istimewa Aceh, mengatakan bahwa "Ajaran Islam memberikan berbagai petunjuk dan pedoman yang meliputi hal-hal tentang apa hakikat sesungguhnya manusia dan alam ini, serta tentang bagaimana
manusia
menghadapi,
memperlakukan
dan
mendayagunakan alam raya ini. Jika manusia berjalan menurut ketentuan serta pedoman tersebut umat manusia akan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Merekapun akan memperoleh kebahagiaan hidup di masa kini dan di masa depan. Dari apa yang telah diutarakan oleh tokoh masyarakat tersebut, jelas bahwa itu merupakan himbauan agar manusia mendisiplinkan diri dalam kehidupannya di dunia ini. Dalam hubungannya dengan pembinaan disiplin oleh tokoh masyarakat ini, dapat pula disebutkan, apa yang telah dikenakan oleh Ketua Umum M U I Aceh, Prof. H . A . Hasjmy yaitu : "Sebagai makhluk yang sempurna Wujud Jasmani dan rohaninya, d i p e r c a y a k a n untuk menjadi K h a l i f a h A l l a h , yang berkewajiban melimpahkan rahmah kepada alam semesta, membiarkan alam sekitar tumbuh dan hidup wajar dalam lingkungannya serta terbina suatu lingkungan hidup yang serasi". Pada bagian lain Prof. H . A . Hasjimy, juga menyatakan bahwa, "Apabila 111
manusia sebagai Khalifah Allah, yang bertugas membina lingkungan hidup yang sehat dan wajar, penjabaran dan risalah rahmah menyeleweng dari tugasnya, tidak lagi membawa
rahmah k e p a d a alam semesta, bahkan s e b a l i k n y a m e m p e r k o s a
kesejahteraan
lingkungan alam, dengan berbuat sewenang-wenang terhadap
lingkungan hidup alam semesta, maka kedudukannya yang tinggi itu dalam wujud yang maha sempurna, berubah menjadi makhluk paling hina, bahkan lebih hina dari binatang". Dalam usaha membina disiplin kepada warga masyarakat di Kotamadya Banda Aceh, Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Banda Aceh, menghimbau kepada tokoh-tokoh masyarakat, juga kepada dai-dai/pendakwah-pendakwah melalui mimbar-mimbar keagamaan seperti di mesjid-mesjid dan langgar-langgar supaya mengingatkan warga kota untuk menjadikan kota Banda Aceh sebagai kota yang B E R I M A N (Bersih, Indah dan Nyaman).
112
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Kotamadya B a n d a A c e h yang merupakan Ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh, sudah tergolong sebagai salah satu Kota besar di Indonesia. Pada tahun 1990 jumlah penduduknya sudah mencapai sekitar 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa, dengan laju pertumbuhan ± 2,2 % per tahun. Disinyalir pertambahan penduduk Kota Banda Aceh banyak berasal akibat dari urbanisasi (imigrasi masuk), dibanding dengan pertumbuhan yang alami (secara nasional cendrung menurun). Akibat terlalu cepat meningkatnya penduduk di Kotamadya Banda Aceh, seperti juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia, menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan. H a l ini disebabkan oleh banyak faktor, faktor kekurangan dana dalam mengelola berbagai prasarana dan sarana kota, juga faktor kwalitas penduduk kota itu sendiri yang kurang mampu menjadi penduduk yang berdisiplin serta mematuhi segala ketentuan atau ketetapan yang telah digariskan oleh pemerintah Kotamadya Banda Aceh. Ketidak disiplinan penduduk ini tercermin dalam berbagai tindakan dan prilaku warga kota Banda A c e h sendiri. Munculnya perumahan-perumahan lain pada lokasi tertentu sebagai daerah kumuh, adanya pengangguran dan kriminalitas, kesemerautan di pasar-pasar, di tempat-tempat perparkiran, pedagang kaki lima, pada tempat-tempat hiburan, kenakalan remaja, lalu lintas di jalan-jalan raya dan sebagainya. Akibat lain dari ketidak disiplinan ini juga dapat dilihat, adanya tumpukan-tumpukan sampah pada banyak tempat (di jalan-jalan umum, di selokanselokan/got-got, di sungai-sungai, di terminal-terminal bus umum. Kotoran-kotoran manusia dan hewan yang sering dijumpai di jalan-jalan raya dalam kota, dan 113
sebagainya. Untuk mengantisipasi masalah-masaiah ini pemerintah Kotamadya Banda Aceh telah melakukan berbagai usaha. D i beberapa perkampungan/Kelurahan dalam Kecamatan Baiturrahman (sebagai sampel lokasi penelitian) seperti Kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan Merduati, dibangun tempat-tempat pembuangan sampah yang dikelola secara baik. Namun dibanyak perkampungan/Kelurahan lainnya sebagaimana yang diamati oleh tim peneliti; cara penanggulangan sampah secara baik belum dilakukan oleh semua warga kota yang bersangkutan. Demikian pula yang menyangkut dengan kedisiplinan pada tempat-tempat (pasar, terminal, tempat-tempat hiburan di jalan raya) belum menunjukkan tingkat disiplin yang baik/tinggi. Kesemrautan pada tempat-tempat umum tersebut masih banyak dijumpai, yang paling menonjol di pasar-pasar yang menyangkut dengan cara pedagang kaki lima yang menggelarkan barang-barang dagangan mereka begitu saja pada trotoartrotoar, sehingga menyulitkan para pejalan kaki. Ketidak disiplinan paling menonjol dan hasil pengamatan tim peneliti dijumpai pada terminal bis-bis angkutan kota di Wilayah Kelurahan Kampung Baru (Jalan Diponegoro) tempat berpangkalannya bisbis kota yang disebut "Labi-labi" para supir bis-bis kota ini dengan seenaknya melanggar ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan. Dari pantauan tim peneliti,
kesemrautan ini seperti tidak mendapat perhatian yang serius dari pihak yang berwenang. Dengan demikian wajah Kotamadya Banda A c e h sekarang ini, telah menjadi bagian permasalahan kota-kota besar di Indonesia. H a l ini salah satu penyebab yaitu karena arus urbanisasi, sehingga penduduk kota menjadi lebih banyak, sehingga kedisiplinan yang dimiliki oleh warga kota ini menjadi berkurang. 114
Jumlah penduduk yang besar dan semakin besar bagi sebuah kota seperti halnya K o t a m a d y a B a n d a A c e h , sebenarnya
tidak akan m e n i m b u l k a n pro-
blem/masalah sepanjang pemerintah Daerah kota mampu mengantisipasi dalam penyediaan prasaran dan sarana serta kesempatan kerja yang mandiri bagi penduduknya. Dalam hubungan dengan Peraturan Daerah-Peraturan Daerah (perdaperda) ketaatan atau kepatuhan warga Kota Banda Aceh kepada hukum di sini diuji; seberapa jauh tingkat kedisiplinan atau kepatuhan mereka; sehingga harapan untuk menjadikan Kota Banda Aceh sebagai Kota " B E R I M A N " dapat terwujud. H a l ini tentunya sangat terkait dengan berbagai karakteristik faktor. Misalnya faktor keluwesan Peraturan Daerah (perda) itu sendiri; faktor aparat pelaksana perda dan juga faktor metode atau cara kerja yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah di dalam menyelenggarakan tujuan hukum dari perda-perda yang telah dikeluarkan tersebut. Dan kelihatannya semakin fungsional hubungan kerja antar berbagai faktor tersebut, semakin besar kemungkinan warga kota/orang patuh pada perda-perda itu. Sebaliknya seperti di Kotamadya Banda Aceh, oleh karena kurangnya fungsional hubungan kerja di antara berbagai faktor tersebut, menyebabkan banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran
yang d i l a k u k a n oleh warga masyarakat.
Sehingga
pembinaan disiplin atau ketidak patuhan mereka terhadap ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk perda-perda menjadi sangat berkurang. Dengan demikian juga, harapan untuk mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai kota yang bersih, indah dan aman masih kurang mendapat tanggapan warga kota. Dalam keadaannya sekarang ini, di mana suasana/lingkungan hidup di Kota Banda Aceh tidak merata kualitasnya. Ketidak merataan ini mungkin disebabkan 115
oleh kurang sempurnanya sistem tata Kota atau juga oleh anggaran/biaya yang tidak mencukup untuk menanganinya. Adapun yang patut dipikirkan dan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Banda Aceh adalah bagaimana agar warga Kota Banda Aceh dapat diikutsertakan untuk turut menjaga kedisiplinan dan turut merawat lingkungan hidup mereka masing-masing. Selain itu kepada daerah (warga kota) perlu ditanamkan kesadaran agar mereka merasa memiliki bahwa Kota Banda Aceh adalah bahagian dari kehidupan mereka yang perlu mereka jaga. Hambatan-hambatan yang berkenaan dengan ketidak disiplinan ini, mungkin dapat juga dihindari kalau penanganannya dilakukan secara menyeluruh. Segenap lapisan masyarakat perlu diikut sertakan dan dari pakar-pakar yang memiliki keahlian dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang ada kaitannya dengan masalah yang ditangani perlu dilibatkan. H a l ini tentunya mengenai masalahmasalah kedisiplinan dalam arti yang luas sehingga penanganan masalah ini sesuai dengan k o n d i s i dari kebudayaan masyarakat yang hidup dalam lingkungan Kotamadya Banda Aceh.
116
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bagian H u k u m Sekretariat P E M D A Tk. II Kotamadya Banda Aceh, Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tk. II Kotamadya Banda Aceh, 1985. Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tk. II Kotamadya Banda Aceh, 1990. ~ ' Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tk. II Kotamadya Banda Aceh,
Ï99Ü
'
'
'
Bintaro, R. Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983. ' " Daldjoeni, N . Puspa Ragam Aspirasi Manusia, Bandung : Alumni, 1977. Hans-Weter Eceers, Sosiologi Perkotaan, (Urbanisasi Dan Sengketa Tanah D i Indonesia dan Malaysia), Jakarta, LP3ES, 1982. Koesoemaatmadja, R . D . H . Peranan Kota Dalam Pembangunan, Bandung : Bima Cipta, 1982. Kotamadya Banda Aceh Dalam Angka, 1990, Kantor Statistik Kotamadya Banda Aceh, 1990. Kuntowidjoyo, "Kota Sebagai Bidang Kajian Sejarah", Paper yang disampaikan pada Seminar Sejarah Lokal di Denpasar Bali, 5 September 1982. Nas, P . Y . M . Kota D i Dunia Ketiga, Pengantar Sosiologi Kota, Jakarta : Bhratara, 1979. Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh, Kota Banda Aceh Hampir 1.000 Tahun, Banda Aceh : Pemda Tk. II, Banda Aceh, 1988. Potensi Desa D a l a m Kodya Daerah T k . II Banda Aceh, 1990, Kantor Statistik Kotamadya Banda Aceh 1990. Rencana Pembangunan L i m a Tahun Ketiga 1979/1980 Banda Aceh, 1980.
1983/1984, Kotamadya
Soedjono, D . Segi-segi Hukum Tentang Tata Bina Kota D i Indonesia, Bandung : PT.
117
Karya Nusantara, 1978. Suparlan, Parsudi. "Masalah Lingkungan Hidup Perkotaan", Paper yang disampaikan pada Hari Ulang Tahun Mahasiswa Pecinta Alam ( M A P A L A ) Universitas Indonesia, 22 Desember, 1979 di U.I. Jakarta. Sukanto Rekrohadiprodjo, (dkk). Ekonomi Perkotaan, Yogyakarta : B P F E , 1985. Talsya Alibasyah, T. "Banda Aceh Pada Masa Kemerdekaan", Makalah, yang disampaikan pada Hari Jadi Kota Banda Aceh, 26 Maret 1988. Weber, Max, "Apakah Yang Disebut Kota", Dalam Sartono Kartodirdjo, Masyarakat Kuno & Kelompok-Kelompok Sosial, Yogyakarta : Bhratara Karya Aksara, 1977, hal. 11 - 43.
118
DAFTAR INFORMAN 1. N a m a
: Asmara Nasution, B A .
U m u r
: 45 Tahun
Pekerjaan
: Camat Kepala Wilayah Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh
Alamat
: Komplek Kantor Camat Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh
2. N a m a
: Said Muchsin
U m u r
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Wartawan/Karyawan Harian Serambi Indonesia
Alamat
: Kampung Lambaro Skep B . Aceh
Nama
: Teuku Sulaiman
U m u r
. 5 0 Tahun
Pekerjaan
: Pegawai P N K A Banda A c e h
Alamat
: Komples P N K A Jl. Tengku Chik Ditiro Banda Aceh
4. N a m a
: Baharuddin
U m u r
: 52 Tahun
Pekerjaan
: Lurah Kelurahan Kampung Baru
Alamat
: J l . Prof. A . Majid Ibrahim Banda A c e h
5. N a m a
: Muchsin Berawas
U m u r
: 46 Tahun
Pekerjaan
: Lurah Kelurahan Merduati
Alamat
: J l . K . H . Ahmad Dahlan Banda Aceh
6. N a m a
: Budiman
U m u r
: 35 Tahun
Pekerjaan
: Petugas Kereta Dorong Sampah
Alamat
: Kampung Lhong Raya Banda Aceh
119
7.
8.
9.
Nama
: M . Nur
U m u r
: 4 0 Tahun
Pekerjaan
: Juru Parkir J l . K . H . A . Dahlan
Alamat
: Kampung Blang Bintang A . Besar
Nama
: Nelly (WNI-Keturunan Cina)
U m u r
: 25 Tahun
Pekerjaan
: Karyawan Apotik Bah (Pedagang)
Alamat
: J l . K . H . A . Dahlan Banda A c e h
Nama
: Ir. A . Kirim
U m u r
: 37 Tahun
Pekerjaan
: Pegawai Perkebunan Dista
Alamat
: J l . K . H . Ahmad Dahlan Kampung Baru Banda A c e h
10. N a m a
: M . Hasan
U m u r
: 60 Tahun
Pekerjaan
: Pedagang Kelontong Pasar Kampung Baru
Alamat
: Pasar Kampung Baru Banda Aceh
N a m a
: M . Daud
U m u r
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Juru Parkir Kawasan Simbun
Alamat
: Kampung Blang Bintang A . Besar
11.
12. N a m a
: Tgk. Ilyas Yakys
U m u r
: 40 Tahun
Pekerjaan
: Pedagang/Tukang Jam
Alamat
: J l . Perdagangan Ujung B. Aceh
120
13. N a m a
: Muchtar Umar
U m u r
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Pedagang K a i n Toko Sumatera
Alamat
: Pasar A c e h , J l . Perdagangan Banda Aceh
14. N a m a
: R u s 1 i
U m u r
: 30 Tahun
Pekerjaan
: Pedagang Pakaian Toko Lyly
Alamat
: J l . Perdagangan Banda A c e h
15. N a m a
: Cina Toko Sabang Keramik
U m u r
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Pedagang Keramik
Alamat
: Jl. K . H . A . Dahlan Kelurahan Kampung Baru Banda Aceh
16. N a m a
: Tgk. Djafar Hanafiah
U m u r
: 60 Tahun
Pekerjaan
: Ketua D P W . Muhammaddyah A c e h
Alamat
: Kampung Lhong Raya Banda A c e h
17. N a m a
: Nurdhahri Ibrahim Nain
U m u r
: 44 Tahun
Pekerjaan
: Anggota D P R D Tk. I A c e h
Alamat
: Komplek P J K A Banda A c e h
18. N a m a
: Tgk. Hamzah Affan
U m u r
: 37 Tahun
Pekerjaan
: Anggota D P R D II Kodya B . A c e h
Alamat
: Blang O i Ulee Lheue Banda A c e h
121
19. N a m a
: Tgk. Zubir Idris
U m u r
: 5 0 Tahun
Pekerjaan
: Anggota D P R D II Kodya B . Aceh
Alamat
: Kampung Beurawa Banda Aceh
20. N a m a
: Drs. Abdullan Yusuf
U m u r
: 36 Tahun
Pekerjaan
: Pegawai Asuransi 1912 B . Aceh
Alamat
: J l . Teuku Umar Stui Banda Aceh
21. N a m a
: Ibrahim
U m u r
: 40 Tahun
Pekerjaan
: Supir Bis B . Aceh - Lambaro
Alamat
i K p . Lam Teungoh Lambaro Banda A c e h
22. N a m a
: Muchtar
U m u r
: 38 Tahun
Pekerjaan
: Lurah Kelurahan K p . Keuramat
Alamat
: K p . Kramat Banda Aceh
23. N a m a
: Zamzani
U m u r
: 35 Tahun
Pekerjaan
: Supir Labi-Labi B . Aceh Darussalam Tungkop
Alamat
: Darussalam Banda Aceh
24. N a m a
: Yusuf Samad
U m u r
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Petugas Terminal/Karyawan L L A J R
Alamat
: K p . Kramat Banda Aceh
122
25. N a m a
: M . Hasan Peukan Bada
U m u r
: 56 Tahun
Pekerjaan
: Pegawai Bioskop Garuda
Alamat
: Peukan Bada Aceh Besar
26. N a m a
: dr. Keumalawaty
U m u r
: 36 Tahun
Pekerjaan
: Kepala Puskesmas Blang Padang Kecamatan Baiturrahman
Alamat
: Punge Blangcut Banda Aceh
27. N a m a
: Abu Hanifah
U m u r
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Kepala Dinas Penertiban dan Kebersihan Kota
Alamat
: Jl. Pocut Baren Aceh
28. N a m a
: Sanusi
U mu r
: 35 Tahun
Pekerjaan
: Petugas K T P Kantor Kei. Kp. Baru Banda Aceh
Alamat
: Kantor Kelurahan Kp. Baru B. Aceh
29. N a m a
: Hamdani A l i
U m u r
-.20 Tahun
Pekerjaan
: Mahasiswa
Alamat
: Kampung Laksana Banda Aceh
30. N a m a
: Ismail
U m u r
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Pegawai Dispenda Banda Aceh
Alamat
: Kampung Lingke Banda Aceh
123
19. N
i
31
U r p
e
J
k
Nama
: Saed Mustafa
U m ur
: 32 Tahun
p
: Pegawai Dinas Kebersihan Kodya Banda Aceh
A
an
e k e r j a
l
a
m
a
t
Jl. Pocut Baren Banda Aceh
:
20. N a 32
U rr p
e
k
t
Alan 21.
Na: U m
Peke, Alam 11.
an
IN
Peker Alarm _ „ z3. IN a m
2 4
: Muchtar T. Abee
U m ur
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Pengawas Ketertiban Kota
A
:
l
a
m
a
t
33- N a m a U
m
u
r
Kampung Ateuk Banda Aceh
: Zainun Abdullan :
3
m
u
8
T
a
h
U
: Pegawai Dispenda/Perparkiran
A
:
l
a
m
a
t
Zlvx*
D
Pekerjaan
34. N a m a
m
U
N a m a
Lamdingin Banda Aceh : Adnan Lampisang
Umur
: 50 Tahun
Pekerjaan Alamat
: Polantas Resort Aceh Besar : Punge Jurong Banda Aceh
35. N a m a
•_
^
: Fauziah Hanum
Pekerj.
^ mur
: 50 Tahun
Alama
Pekerjaan
: Hakim Pengadilan Negeri Janthoi
N
a
m
U m u Pekerja Alamat
Alamat
: Stui Banda Aceh
36. N a m a U
m
u
r
: Darwis, SH. :
\ R
a
^
^
Pekerjaan
: Pengacara
Alamat
: Ulee Kareng Banda Aceh
124
DICETAK OLEH
PT. T U A N Z A BANDA ACEH