8
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
Daniel Robert, dkk
PEMBERIAN KONSELING GIZI TERHADAP STATUS GIZI DAN HASIL PEMERIKSAAN SPUTUM BTA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU penduduk di dunia, dilihat dari jumlah DI WILAYAHterdapat KERJA 182 kasus per 100.000 penduduk. PUSKESMAS BITUNG BARAT KOTA BITUNG Daniel Robert, dan Irza N. Ranti
Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado ABSTRACT Since 1995 the WHO and the International Union of Tuberculosis and Lung Disease agains IUATLD) has recommended Tuberculosis Lung Disease Eradication program implemented DOTS strategy (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy). Then developed along with the formation of GERDUNAS-TB (Tuberculosis Control National Integrated Movement of date March 24, 1999), the Tuberculosis Lung Disease Eradication Programme Tuberculosis Control turned into. The World Bank states DOTS strategy proved to be economically coping strategies are most effective (cost-effective). (Department of Health, 2005). Nutritional counseling is a communication activities to inculcate and promote understanding, attitudes and behavior so membantu patients recognize and address nutritional issues, requiring careful assessment, appropriate nutrition intervention and can be properly monitored so that the nutritional care can help the healing process of the disease (Persagi, 2010). This type of research is quasi-experimental (quasi-experimental) design Pre and posttest control group design. Subjects were divided into an intervention group of patients given nutritional counseling pulmonary TB and pulmonary TB control group of patients not given nutritional counseling, which is determined by purposive, as well as samples totaling 44 people. Data analysis using Wilcoxon test using SPSS version 18.00. The results are there effects of nutrition counseling on nutrition status of patients with pulmonary TB (p = 0.024), no effect of nutritional counseling on sputum smear diagnostic workup of patients with pulmonary TB (p = 0.000). Keywords: Nutritional Counseling, nutritional status, sputum examination, TB Patients
PENDAHULUAN Penyakit Tuberkulosis (TBC) sejak dahulu dikenal sebagai penyakit infeksi menular dan masih merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat didunia termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari masih banyaknya penderita tuberkulosis ditemukan di masyarakat dan kematian yang disebabkannya. Pada tahun 1999 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002 dan 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB
Menurut WHO terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap TB dan Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China dalam menyumbang TB di dunia. (PDPI, 2006) Sejak tahun 1995 WHO dan International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease IUATLD) telah merekomendasikan program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy). Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan GERDUNASTBC (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tgl 24 Maret 1999), maka Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru berubah menjadi Program Penanggulangan Tuberkulosis. Bank dunia menyatakan strategi DOTS terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara
9
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
ekonomis paling efektif (cost-effective). (Depkes, 2005). Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya Multi Drugs Resistance Tuberculosis (MDRTB). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien menular. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. Indonesia telah mengadopsi strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995, awal penerapannya dimulai di Puskesmas yang merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di masyarakat. WHO menyatakan kunci keberhasilan program penanggulangan TBC adalah dengan penerapan DOTS secara baik yang merupakan hal yang penting sehingga TB dapat ditanggulangi. (Aditama, 2006) Satu dari lima komponen strategi DOTS, komponen kedua yaitu diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Deteksi mikroskopis basil tahan asam (BTA) pada sputum sebagai bahan utama dari diagnosis TB. Penderita yang didiagnosis klinis sebagai suspek TB selanjutnya akan menjalani pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan ini harus dilakukan dengan pengambilan tiga kali pengecatan sputum, yaitu : sputum Sewaktu (I) pada saat kunjungan pertama kali dan saat pulang suspek membawa sebuah pot sputum untuk mengumpulkan dahak hari kedua, sputum Pagi (II) dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua setelah bangun tidur dan dibawa sendiri kepada petugas yang diusahakan pada keesokan harinya, sputum Sewaktu (III) pada waktu kunjungan kedua tersebut saat menyerahkan sputum. Kadang-kadang pada saat anjuran kunjungan kedua penderita suspek TB tidak kembali lagi untuk pemeriksaan sputum pagi II dan sputum sesaat (III) yang mungkin sebagai akibat dari berbagai alasan ekonomi dan atau sosial. Kenyataan ini mungkin sebagai salah satu faktor dari rendahnya pencapaian status gizi baik yang hanya 39 % jauh dari target nasional yaitu 70 % pada penderita TBC (Depkes, 2005)
Daniel Robert, dkk
Penelitian intervensi yang dilakukan oleh Alisjabana dkk (2005) melaporkan adanya perbedaan penemuan kasus (case detection) yang signifikan antara kelompok kontrol (menjalani prosedur diagnostik rutin) dengan kelompok intervensi (menjalani konseling para medik tentang cara menghasilkan sputum yang baik dan menerima wadah sputum yang telah ditentukan jumlah volume sputum yang harus dihasilkan). Penelitian lain oleh Ozkutuk, dkk (2007) melaporkan bahwa 97 % pemeriksaan BTA sputum dideteksi pada pemeriksaan pertama, hanya 3% yang ditegakkan pada pemeriksaan kedua dan pemeriksaan ketiga tidak mempunyai nilai diagnostik apapun. Kedua hasil penelitian diatas menjadi bukti awal yang kuat bahwa kemungkinan dengan hanya pemeriksaan BTA pertamalah yang diandalkan untuk penegakkan diagnosis TB. Jika hal ini terbukti maka penderita suspek TB hanya memerlukan satu kali kunjungan untuk penegakan diagnosis TB tanpa perlu pemeriksaan lanjut sputum pagi (II) dan sputum sewaktu (III) pada hari berikutnya. Hal ini akan berdampak positif pada pertimbangan ekonomi dan atau sosial pada penderita tersebut dimana umumnya penderita suspek TB mempunyai status sosial dan ekonomi rendah. Keuntungan yang lain juga yaitu penemuan kasus akan lebih meningkat karena resiko penderita suspek untuk tidak lagi memeriksakan sputum II dan III akan lebih kecil. Menurut Mason dkk (1997) dikutip dari Curry dan Jaffe (1998) konseling gizi didefinisikan sebagai cara untuk membantu seseorang yang mempunyai masalah gizi dengan meningkatkan pengetahuan dan motivasinya. Konseling merupakan bimbingan atau pertolongan dengan prosedur tertentu yaitu adanya proses belajar pada yang ditolong, dan pasien belajar untuk melihat berbagai pilihan serta hasilnya adalah perubahan cara berpikir atau berperilaku (Gable, 1997). Melalui konseling orang diajak untuk memikirkan masalahnya sendiri sehingga akan menumbuhkan pengertian yang lebih baik terhadap penyebab masalah tersebut. Sebagai akibat dari pengertian ini orang akan mengambil prakarsa untuk bertindak
10
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
memecahkan masalah tersebut. Tindakannya merupakan keputusannya sendiri walaupun mungkin saja akan diarahkan, konseling berarti pilihan bukan paksaan dan nasihat (WHO, 1988) Konseling merupakan bagian yang sangat penting untuk pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan karena melalui konseling, individu diajarkan memikirkan masalahnya sendiri, mengetahui apa yang dapat dilakukan dengan usaha sendiri agar tidak jatuh sakit. Proses konseling terdiri atas: 1) proses internal bagi pasien, 2) kejadian yang bertahap, 3) hubungan interpersonal antara konselor dan pasien. Konseling gizi merupakan suatu proses yang didalamnya terdapat kegiatan pengumpulan, verifikasi dan interptretasi yang sistematis dalam upaya mengidentifikasi masalah gizi dan penyebabnya, dengan tujuan mendapatkan informasi guna mengidentifikasi masalah gizi yang terkait dengan masalah asupan energy dan zat gizi lain atau factor lain yang dapat menimbulkan masalah gizi (Persagi, 2010). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian konseling gizi pada penderita suspek TB terhadap Status Gizi dan hasil pemeriksaan diagnostik sputum BTA penderita TB paru di Wilayah kerja Puskesmas Bitung Barat Kota Bitung. BAHAN DAN CARA Jenis penelitian ini adalah studi eksperimen semu (kuasi eksperimen) dengan rancangan Pre and post-test control group design. Penelitian dengan menggunakan dua kelompok perlakuan. Kelompok intervensi pasien suspect TB Paru diberikan konseling gizi dan kelompok kontrol pasien suspect TB Paru tidak diberikan konseling gizi. Rancangan penelitian digambarkan sebagai berikut : O1 ------------------------ x 1--------------------- O2 O3 O4
------------------------x 2
-------------------
Keterangan : O1
= Status Gizi dan Pemeriksaan Diagnostik Sputum BTA I, II, III
Daniel Robert, dkk
sebelum diberikan konseling gizi pada kelompok Intervensi O2
= Status Gizi dan Pemeriksaan Diagnostik Sputum BTA I, II, III sesudah diberikan konseling gizi pada kelompok Intervensi
X1
= Perlakuan (konseling gizi)
X2
= kontrol
O3
= Status Gizi dan Pemeriksaan Diagnostik Sputum BTA I, II, III sebelum diberikan konseling gizi pada kelompok kontrol.
O4
= Status Gizi dan Pemeriksaan Diagnostik Sputum BTA I, II, III sesudah diberikan konseling gizi pada kelompok kontrol.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2012, dan tempat penelitian di Puskesmas Bitung Barat Kota Bitung. Populasi adalah seluruh pasien baru suspect TB paru yang datang berobat ke Puskesmas Bitung Barat Kota Bitung selama waktu penelitian. Sampel adalah total populasi sumber yaitu seluruh penderita suspek TB paru yang berobat di Puskesmas Bitung Barat selama waktu penelitian yaitu 4 (Empat) bulan, mulai bulan Mei-Agustus 2012. - Kriteria inklusi : 1. Penderita suspek TB paru baru (suspek kasus baru) 2. Bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent 3. Dapat memberikan dahak/sputum untuk pemeriksaan BTA (pada kelompok intervensi) dan dapat memberikan dahak/sputum sebanyak 5 ml untuk pemeriksaan BTA (pada kelompok kontrol) - Kriteria eksklusi : Penderita TB yang pernah diobati dengan pengobatan TB (DOTS dan non-DOTS) selama lebih dari satu bulan. Sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, maka pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Subjek yang memenuhi kriteria dijadikan sampel penelitian. Pembagian sampel perkelompok ditentukan berdasarkan waktu kunjungan penderita TB. Subjek masuk kelompok
11
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
intervensi atau kelompok kontrol sesuai dengan waktu kunjungannya ke Puskesmas. Penderita yang datang pada hari ganjil, akan masuk dalam kelompok intervensi. Penderita yang datang pada hari genap akan masuk dalam kelompok kontrol dan seterusnya sampai jumlah sampel mencapai 22 orang perkelompok. Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini dihitung dengan rumus untuk rata rata dua populasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Lemeshow dkk, (1990) :
n
2 2 (2 1/2 Z ) 2 ( 1 2 ) 2
Keterangan : n = Jumlah sampel kelompok = Standar deviasi Status gizi 3,9 (Depkes, 2005) Z ½ = Tingkat kepercayaan 95% (1,90) Z = Power test = 90% (1,28) 1 = Rata-rata status gizi sebelum intervensi 1 = Rata-rata status gizi sesudah intervensi 1-2 = selisih antara nilai rata-rata status gizi baik dengan buruk Dalam penelitian ini maka untuk mengetahui status gizi, menggunakan = 0,05, = 0,10, = 3,9 % dan (12) = 4,0 maka estimasi besar sampel minimal yang dibutuhkan perkelompok adalah : 2 ( 1,99 ) ² (1,96 + 1,28 ) ² n= ------------------------- = 19,9 orang (4,0) ² Dengan asumsi 10% akan lepas (lost to follow up), maka besar sampel yang dibutuhkan menjadi [1/(1-0,1) x 19,9] = 22 orang untuk kelompok perlakuan dan kontrol. Pengumpulan data dilakukan sebagai berikut :1). Pemilihan subjek secara purposive : penderita TB yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian dimintakan untuk berpartisipasi dalam penelitian sebagai subjek penelitian dan kemudian dialokasikan dalam kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Dilakukan dengan cara alokasi kelompok kontrol dan intervensi pada hari
Daniel Robert, dkk
yang berbeda (ganjil dan genap) untuk menghindari bias informasi dan menghindari rasa cemburu karena perbedaan perlakuan penderita. 2). Pengambilan data: data meliputi data sekunder yaitu identitas umum subjek penelitian (nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan, status dalam keluarga; suami/istri/anak/saudara/dll dan alamat), dan data primer yaitu Berat badan, dan Tinggi Badan, serta pemeriksaan sputum BTA. Intsrtrumen Penelitian di lakukan dengan tahapan : 1). Pemberian Konseling ; Pada penelitian ini intervensi yang dilakukan adalah konseling gizi. Kelompok kontrol tidak diberikan konseling gizi. Konseling gizi dilakukan dengan cara tatap muka, menggunakan bahan-bahan konseling. antara lain leaflet peralatan tulis menulis. Untuk mengetahui efektivitas konseling gizi dari materi yang diberikan, maka dilakukan evaluasi secara tertulis (materi evaluasi terlampir). Umpan balik langsung dilakukan pada akhir evaluasi. Pasien yang masih belum paham benar dengan materi konseling gizi, diberikan penjelasan ulang. 2). Pemeriksaan Sputum BTA : a. Kelompok kontrol akan menjalani prosedur diagnosis TB sesuai dengan prosedur tetap strategi DOTS, dimana kelompok ini akan diberikan wadah untuk dahak (sputum pot) sesuai dengan apa yang telah biasa dilakukan di puskesmas Bitung Barat tersebut dan dimintakan untuk memberikan dahak pada sputum pot pada pengambilan sewaktu (waktu ditetapkan sebagai suspek penderita TB saat berkunjung hari itu = sputum I), pagi (diusahakan keesokan harinya waktu bangun pagi sebelum sarapan dan langsung dibawa ke Puskesmas Bitung Barat hari itu juga = sputum II), dan sewaktu (sputum III = pengambilan dahak pada kunjungan hari yang sama saat penyerahan sputum II). Ketiga sputum tersebut (I, II, III) kemudian dilakukan pengecatan BTA dan pemeriksaan mikroskopis sesuai dengan prosedur strategi DOTS. Hasil pemeriksaan mikroskopis tersebut dicatat dalam lembaran data penderita. b. Prosedur yang sama akan dilakukan terhadap kelompok intervensi, tetapi perlakuan yang berbeda pada kelompok ini yaitu akan dilakukan dengan
12
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
cara memberikan sputum pot dan sudah ditandai dengan garis yang menunjukkan volume sputum minimal sebanyak 5 ml yang harus ditampung pada pot tersebut dan melakukan penyuluhan dan edukasi kepada penderita suspek TB paru dalam bentuk leaflet bergambar tentang pentingnya pemeriksaan sputum dan bagaimana menghasilkan volume sputum yang adekuat (5ml). Analisis data dilakukan dari tahap penyuntingan, entry data, pembersihan data dan analisis statistik. Entry data dilakukan dengan program excell. Data yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan komputer program SPSS for windows Versi 18.0. Karakteristik dasar responden seperti variabel umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan pendidikan, status dalam keluarga, berat badan, tinggi badan dianalisis dengan menggunakan frekuansi. Perbedaan mean status gizi dan hasil pemeriksaan sputum BTA sebelum dan sesudah intervensi antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol dianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxon. Untuk menyimpulkan adanya perbedaan atau pengaruh yang bermakna secara statistik digunakan tingkat kemaknaan 5 % (p < 0.05). HASIL Berdasarkan data profil Puskesmas Bitung Barat jumlah penduduk yang ada di wilayah kerja Puskesmas Bitung Barat Kecamatan Maesa adalah 42.174 jiwa yang terdiri dari 20.851 orang laki-laki dan 21.323 orang perempuan dengan rasio jenis kelamin 97,8. Sementara jumlah rumah tangga yang ada 11.157 KK. Sumber Daya Puskesmas Ketenagaan Puskesmas Bitung Barat memiliki sumber daya manusia kesehatan untuk menjalankan kegiatan yang telah di programkan oleh puskesmas. Dalam menjalankan program dibutuhkan tenaga medis dan paramedis serta non medis dalam proses pelaksanaan dan penyelenggaraan kegiatan yang ada dipuskesmas. Di
Daniel Robert, dkk
Puskesmas Bitung Barat, terdiri atas 30 orang perawat, untuk pelaksanaan program TB tenaga perawat berjumlah 2 orang yang telah mengikuti pelatihan program TB. Tenaga dokter umum 3 orang, 2 orang pelaksana gizi, selengkapnya terlihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Tenaga Kesehatan yang ada di Puskesmas Bitung Barat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tenaga Kesehatan Dokter Umum Dokter Gigi Perawat Bidan Sanitarian Farmasi SKM Gizi J u m l a h
Jumlah 3 1 30 9 5 1 2 2 53
Sumber : Profil Puskesmas Bitung Barat, 2011
Sarana dan Prasarana Puskesmas Bitung Barat adalah puskesmas yang melaksanakan pelayanan perawatan rawat jalan dan rawat inap khusus untuk persalinan, memiliki 3 puskesmas pembantu (Pustu), 2 rumah bersalin swasta. Secara lengkap dapat dilihat pada tebel 2 berikut ini. Tabel 2. Sarana Kesehatan Lainnya Yang Berada di Wilayah Kerja Puskesmas Bitung Barat No.
Sarana Kesehatan
Jumlah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Rumah Sakit Swasta Puskesmas Puskesmas Pembantu Praktek Dokter Perorangan (Swasta) Praktek Pengobatan Tradisional Apotik Rumah Bersalin Swasta
1 1 3 7 1 2 2
Sumber : Profil Puskesmas Bitung Barat, 2011
13
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
1. Gambaran Partisipasi Subjek Penelitian Dalam penelitian ini subjek penelitian adalah pasien yang datang berobat ke puskesmas dengan keluhan utama batuk terus-menerus lebih dari tiga minggu, kemudian oleh petugas didiagnosa sebagai tersangka penderita TB, selanjutnya dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan sputum BTA. Penentuan subjek penelitian dilakukan secara acak sistematik berdasarkan alokasi hari ganjil dan genap, dan pasien memenuhi kriteria inklusi serta eksklusi selanjutnya di kelompokkan menjadi kelompok kontrol dan perlakukan, kemudian diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan mengisi dan menandatangani informed consent. Jumlah pasien yang terjaring sebagai kontrol dan intervensi 44 orang. Pada kelompok control didasarkan strategi DOTS selanjutnya sesuai prosesnya, sementara pada kelompok intervensi diberikan penyuluhan gizi dengan menggunakan liflet. Selanjutnya subjek memberikan dahak pada pot sputum I, II, dan III. Karakteristik Subjek Penelitian 1. Jenis Kelamin Subjek dalam penelitian ini berjumlah 44 orang yang terdiri atas laki-laki 11 orang (50%) dan perempuan 11 orang (50%) pada kelompok kontrol, serta 12 orang (51,4%) laki-laki dan 10 orang (48,6%) perempuan pada kelompok perlakuan. 2. Umur Dalam penelitian ini subjek berumur mulai 20 sampai dengan 80 tahun, yang terbagi menurut umur 20 – 30 tahun sejumlah 10 orang (45,45%) pada kelompok kontrol dan 5 orang (22,72%) pada kelompok perlakuan, selanjutnya umur 31-40 tahun 4 orang (18,18%) pada masingmasing kelompok penelitian, demikian juga pada kelompok umur 41- 50 tahun dimana diketahui masing-masing kelompok penelitian berjumlah 4 orang (18,18%). Kemudian pada rentang umur 51- 60 tahun berjumlah 3 orang (13,63%) pada kelompok
Daniel Robert, dkk
perlakuan serta 5 orang (22,72%) pada kelompok perlakuan. Seterusnya pada umur 61- 70 tahun masing-masing berjumlah 1 orang (4,54%) pada kedua kelompok penelitian dan antara umur 71 – 80 tahun tahun sebanyak 3 orang (13,63%) pada kelompok perlakuan. 3. Agama Data penelitian diketahui subyek yang memeluk agama Islam sebanyak 11 orang (50,0%), pada kelompok control dan 8 orang (36,36 %,) yang memeluk agama Islam pada kelompok perlakuan, kemudian yang memeluk agama Kristen Protestan pada kelompok kontrol berjumlah 11 orang (50,0%), serta pada kelompok perlakuan 14 orang (63,64%). 4. Pendidikan Hasil penelitian menunjukkan subjek yang mempunyai pendidikan sekolah dasar (SD) pada kelompok kontrol berjumlah 1 orang (4,54%), kelompok perlakuan 4 orang (18,18%), yang berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP) pada kelompok kontrol berjumlah 9 orang (40,90%), serta pada kelompok perlakuan 7 orang (31,81%), dan subjek penelitian yang mempunyai pendidikan sekolah menengah atas (SMA) pada kelompok kontrol 9 orang (40,90%), serta pada kelompok perlakuan 9 orang (40,90%). Subjek penelitian yang berpendidikan Diploma III 2 orang (9,90%) pada kelompok kontrol, serta 1 orang (4,54%) pada kelompok perlakuan, dan data penelitian diketahui subyek yang berpendidikan perguruan tinggi (PT) masingmasing ada 1 orang (4,54%) pada kedua kelompok penelitian. 5. Pekerjaan Jenis pekerjaan yang dimiliki oleh subjek dalam penelitian ini diketahui adalah sebagai berikut yaitu subyek yang tidak bekerja 9 orang (9,09%) pada kelompok kontrol dan 4 orang (18,18% pada kelompok perlakuan, jenis perkerjaan sebagai ibu rumah tangga (IRT) berjumlah 6 orang (27,27%), pada kelompok kontrol, sementara pada perlakuan 5 orang (22,72 %,), yang mempunyai jenis pekerjaan
14
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
sebagai pekerja swasta pada kelompok control dan perlakuan masing-masing berjumlah 3 orang (13,63%). Jenis pekerjaan subyek sebagai tukang ojek pada kelompok kontrol 3 orang (13,63%), pada kelompok perlakuan 5 orang (22,72%), dan subyek penelitian yang berkerja sebagai sopir pada kelompok kontrol 3 orang (13,63%) dan pada kelompok perlakuan 2 orang (9,09%). Jenis pekerjaan sebagai wiraswasta pada kelompok kontrol 2 orang (9,09%) dan kelompok perlakukan 0,0%), dan yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada kedua kelompok penelitian masing-masing berjumlah 3 orang (13,63%). 6. Berat badan Hasil penelitian di ketahui berat badan awal pada kelompok control rata-rata 48,09 kg dengan standar deviasi 6,67, dengan berat badan akhir pada kelompok control 48,04 kg dengan satandar deviasi 6,57. Hasil penelitian diketahui rata-rata berat badan awal pada kelompok perlakuan 52,27 kg dengan standar deviasi 4,74, dan berat badan akhir 53,27 kg dengan standar deviasi 4,66, lihat tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Berat badan sebelum dan sesudah pemberian Konseling Gizi Kelompok
Berat badan awal
Kontrol (Mean ± SD) 48,09±6, 76
Perlakuan (Mean ± SD) 52,27 ± 4,74
Berat badan akhir
48,04 ± 6,57
53,27 ± 4,66
Variabel
P
0,001
7. Status Gizi Hasil penelitian menunjukkan status gizi sebelum dan sesudah penelitian di ketahui yaitu status gizi sebelum perlakuan pada kelompok kontrol 9 orang (40,9%) status gizi kurang, dan 13 orang (59,1%) status gizi normal, serta pada kelompok perlakuan 7 orang (31,8%) status gizi kurus, dan 15 orang (68,2%) status gizi normal. Hasil penelitian sesudah perlakuan diketahui bahwa status gizi pada kelompok kontrol kategori kurus 9 orang (40,9%), status gizi
Daniel Robert, dkk
normal 13 orang (59,1%) tidak berbeda dengan status gizi pada awal penelitian, selanjutnya status gizi setelah perlakuan diketahui 2 orang (9,1%) status gizi kurang, dan 20 orang (90,9%) status gizi normal, terjadi perubahan status gizi dibanding pada awal penelitian, selengkapnya terlihat pada tabel 4. Tabel 4. Status gizi sebelum dan sesudah pemberian Konseling Gizi Status Gizi Sebelum perlakuan : Kurus Normal Sesudah perlakuan : Kurus Normal
Kelompok Kontrol n (%)
Perlakuan n (%)
9 13
7 15
9 13
2 20
P*
0,024
*uji Wilcoxon 8. Presentase Hasil Pemeriksaan Sputum pada Kelompok Penelitian Data hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sputum subjek pada kelompok control sebelum perlakuan waktu pagi 22 orang positif, sewaktu 22 orang positif, dan sewaktu berikutnya 22 orang positif, setelah pemberian konseling gizi hasil penelitian menunjukan pada waktu pagi 22 orang positif, sewaktu 22 orang positif, sewaktu berikutnya 18 orang positif dan 4 orang negative, waktu pemeriksaan sputum sesudah pemberian konseling gizi 30 hari. Tabel. 5. Pemeriksaan Sputum sebelum dan sesudah pemberian Konseling Gizi pada kelompok kontrol Pemeriksaan Sputum
Pagi Sewaktu Sewaktu
Kelompok control Sebelum Positif Negatif 22 22 22
0 0 0
Sesudah Positif Negatif 22 22 18
0 0 4
15
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
Data hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sputum subjek pada kelompok perlakuan sebelum perlakuan waktu pagi 22 orang positif, sewaktu 22 orang positif, dan sewaktu berikutnya 22 orang positif, setelah pemberian konseling gizi hasil penelitian
Daniel Robert, dkk
menunjukan pada waktu pagi 22 orang positif, sewaktu 21 orang positif, 1 orang negatif, sewaktu berikutnya 11 orang positif dan 11 orang negative, waktu pemeriksaan sputum sesudah pemberian konseling gizi 30 hari.
Tabel 6. Pemeriksaan Sputum sebelum dan Sesudah pemberian Konsultasi Gizi Pada Kelompok Perlakuan
Pemeriksaan Sputum
Kelompok Perlakuan Sebelum Sesudah Positif Negatif Positif Negatif 22 22 22
Pagi Sewaktu Sewaktu
9. Pemberian Konseling gizi Setelah ditetapkan kelompok kontrol dan kelompok penelitian, selanjutkan diberikan konsultasi gizi kepada kelompok perlakuan yang berjumlah 22 dengan menggunakan liflet untuk menjelaskan
0 0 0
22 21 11
0 1 11
penggunaan diet tinggi kalori tinggi protein serta mempermudah pemahaman subjek penelitian tentang bagaimana menghasilkan sputum yang kualitas dan kuantitasnya optimal menurut prinsip DOTS.
Tabel 7. Perbedaan Hasil Pemeriksaan Sputum pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan Variabel
Pemberian Penyuluhan Gizi
Kelompok Penelitian
Hasil Pemeriksaan Negatif Positif
Kontrol
4
18
perlakuan
11
11
P*
0,000
10. Perbedaan hasil pemeriksaan sputum pada kelompok kontrol dan perlakukan setelah diberikan konseling gizi Hasil penelitian menunjukkan setelah diberikan konsultasi gizi dan cara menghasilkan sputum yang baik dari segi kualitas dan kuantitas pada kelompok kontrol dengan hasil negatif berjumlah 4 orang dan positif 18 orang, serta kelompok perlakuan
dengan hasil negatif ada 11 orang dan positif 11 orang, jika dilihat hasil analisis statistik dengan uji- Wilcoxon nilai p = 0,000 ternyata terdapat pengaruh pemberian konsultasi gizi dengan hasil pemeriksaan sputum antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Lihat table 7 dan hasil analisa statistik.
16
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
PEMBAHASAN 1. Karakteristik Subjek Dalam penelitian ini subjek berjumlah 44 orang yang terdiri atas laki-laki 23 orang (52,3%) dan perempuan 21 orang (47,3%), hasil penelitian diatas hampir sebanding dengan data hasil Riset Kesehatan Dasar Propinsi Sulawesi Utara tahun 2007 yaitu prevalensi TB Paru lebih tinggi 20 % pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Sementara penderita terbanyak berumur antara 20 – 30 tahun yaitu 15 orang (34,1%). Data diatas sesuai dengan yang diperkirakan yakni tahun 1995 terjadi sekitar 9 juta penderita baru TBC dengan kematian 3 juta orang (WHO, Treatment of Tuberculosis, Guidelines of National Programme, 1997). Di negara-negara berkembang kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah dan diperkirakan 95% penderita TBC berada di negara berkembang, 75% penderita TBC adalah kelompok usia produktif 15 - 50 tahun. Tahun 1999, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 orang penderita TBC dengan jumlah kematian sebanyak 140.000 orang. Secara kasar diperkirakan dari setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 orang penderita TBC paru yang sangat menular. Penyakit TBC menjadi masalah sosial karena sebagian besar penderitanya adalah kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah, dan tingkat pendidikan yang rendah. (Azwar, 2003). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan subjek mempunyai pendidikan sekolah dasar 5 orang (11,4%), yang berpendidikan sekolah menengah pertama 16 orang (36,4%), dan subyek penelitian yang mempunyai pendidikan sekolah menengah atas 18 orang ( 40,9%). Subyek penelitian yang berpendidikan diploma 3 dan perguruan tinggi berjumlah 5 orang (11,4%). Sangat jelas bahwa latar belakang pendidikan mempengaruhi penyebaran penyakit menular khususnya tuberkulosis.
Daniel Robert, dkk
Catatan Kristanti (2009), mengatakan semakin rendah latar belakang pendidikan kecenderungan terjadi kasus tuberkulosis, hal ini faktor terpenting dari kejadian TBC. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI (2007), TBC dapat dipengaruhi oleh a.) Status sosial ekonomi b). Kepadatan penduduk c.) Status gizi d.) Pendidikan e.) Pengetahuan f.) Jarak tempuh dengan pusat pelayanan kesehatan g). Keteraturan berobat. Data penelitian menunjukkan jenis pekerjaan yang dimiliki oleh subjek adalah sebagai sebagai ibu rumah tangga berjumlah 11 orang (25,0%), yang bekerja swasta 6 orang (13,6%), dan subjek penelitian yang berkerja sebagai tukang ojek 8 orang ( 18,2%). Memiliki pekerjaan seseorang dapat mempertahankan kesehatan individu dan keluarga, pekerjaan dapat pula meningkatkan ekonomi dan juga akan cukup memberikan kesempatan terhadap pemenuhan akses kesehatan, gizi dan kepemilikan rumah sebagai tempat berteduh. Pekerjaan yang kurang menghasilkan nilai ekonomi akan mengganggu kesehatan, karena nilai ekonomi yang rendah akan sulit untuk memprioritaskan kebutuhan sehari-hari, bila sering bolos dari pekerjaannya. (Sarwono, 1993). Pernyataan di atas sependapat dengan teori dari Muzaham (1995), yaitu sekitar 44% kepala keluarga yang absen dari pekerjaan karena sakit gajinya akan dipotong sama sekali, 36 % tetap menerima gaji penuh, dan 20% menerima gaji tapi tidak penuh, atau tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal termasuk akses pelayanan kesehatan. Perbaikan sosial ekonomi, peningkatan taraf hidup dan lingkungan serta kemajuan teknologi telah banyak membawa perubahan. Di negara-negara maju, jauh sebelum ditemukan obat anti TB (tuberkulostatika dan tuberkulosid), jumlah penderita menurun 10-15 % per tahun, berkat perbaikan sosial dan ekonomi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyakit TB sebenarnya dapat hilang dengan sendirinya dari masyarakat berkat
17
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
perbaikan sosial ekonomi (Timmreck, 2004). 2.
tanpa
Pemberian Konseling Gizi
“obat”
Pemberian Konsultasi Gizi
Pemberian kepada kempok perlakuan untuk membedakan perlakuan terhadap subjek penelitian setelah di periksa. Pada kedua kelompok ini juga dimaksud untuk membedakan antara kelompok control dan perlakuan, sputum yang selanjunya di periksa dilabotarorium. Konsultasi gizi merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan. Konteks diatas sejalan dengan pedoman nasional penanggulangan tuberculosis yang mencantumkan bahwa penyuluhan TBC perlu dilakukan karena masalah TBC banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peranserta masyarakat dalam penanggulangan TBC, yang dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung; perorangan serta kelompok, dan secara tidak langsung dengan menggunakan media; antara lain yaitu leflet, poster atau spanduk, koran, majalah, dan atau media elektronik berupa radio dan televisi (Depkes RI, 2005). 3. Persentase Sputum
Hasil
Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sputum subjek setelah penelitian menurut kelompok penelitian menunjukan 18 orang ( 81,8%) positif, dan 4 (8,2%) orang negative pada kelompok control serta 11 orang (50,0%) positif dan 11 orang (50,0%) negative pada kelompok perlakuan. Hasil diatas sesuai dengan perkiraan resiko penularan (Annual Risk of Tuberculosis Infection=ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%, pada daerah dengan ARTI sebesar 1%,
Daniel Robert, dkk
berarti diantara 1000 penduduk, ada 10 orang yang terinfeksi, sebagian besar dari orang yang terinfeksi akan menjadi penderita TBC. Dapat diperkirakan daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk terjadi rata-rata 100 penderita tuberculosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif, dan faktor yang mempengaruhi kemungkinan menjadi penderita TBC adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes RI, 2005).
4. Hasil uji statistik Hasil pemeriksan sputum yang baik dari segi kualitas dan kuantitas dengan analisis statistic uji-Wilcoxon ternyata terdapat pengaruh pemberian konsultasi gizi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, dimana diperoleh nilai: 0,000 < 0,050. Hasil diatas sangat beralasan, mengingat subyek dalam penelitian ini adalah penderita yang datang memeriksakan dirinya, walaupun dibatasi waktu yang relatif singkat yaitu bulan Mei sampai Agustus 2012. Hasil ini juga sesuai dengan hasil dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, dimana di kota Bitung prevalensi TBC sebesar 0,8 %, meskipun lebih rendah dari rata-rata angka nasional yaitu 0,95%, dan namun lebih tinggi dari rata-rata prevalensi propinsi Sulut 0,6%. Tingginya angka prevalensi di kota Bitung maka penegakan diagnose harus menjangkau seluruh wilayah di bawah Puskesmas Bitung Barat. Penegakan diagnosis TBC Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BAT hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif, dan kalau hasil rontgen tidak
18
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
mendukung TBC maka pemeriksaan dahak SPS diulangi (Depkes, 2008). Apabila fasilitas memungkinkan maka dilakukan pemeriksaan lain misalnya biakan. Bila ketiga spemen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik spektrum luas ( misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu bila tida ada perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan TBC ulangi pemeriksaan dahak SPS, kalau hasil SPS positif diagnosis sebagai penderita TBC BTA positif, dan kalau hasil SPS tetap negatif lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TBC (Depkes, 2008). SIMPULAN 1. 2.
Ada pengaruh pemberian konseling gizi terhadap status gizi penderita TB paru Ada pengaruh pemberian konseling gizi terhadap hasil pemeriksaan diagnostik sputum BTA penderita TB paru.
SARAN 1. Agar dapat menghasilkan kualitas dan kuantitas sputum BTA yang baik maka pemberian edukasi dan penyuluhan harus terus dilakukan secara intensif bagi penderita suspek TB paru. 2. Pada petugas kesehatan harus lebih berperan aktif dalam pencarian atau pelacakan pasien baru penyakit TB paru. 3. Perlu memberikan penyuluhan gizi secara konsisten kepada penderita dan keluarganya, demikian juga perilaku hidup bersih dan sehat sebagai upaya mengurangi penyebaran penyakit. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
Aditama Y.Tjandra, 2006. Tuberkulosis, Rokok & Perempuan. Jakarta. FKUI. Hal 20 Alisjahbana dkk, 2005. Better Patien Instruction For Sputum Sampling Can Improve Microscopic Tuberculosis Diagnosis. Short Communicatiaon Int J Tuberc Lung Dis
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11. 12.
13.
14. 15.
16. 17. 18. 19.
20.
Daniel Robert, dkk
Azwar A. dkk, 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Batam : Binarupa Aksara Depkes RI, 2004. Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose Combination (OAT-FDC). Jakarta : Dirjen P2M PL . Depkes RI, 2005. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Dirjen P2M PL Depkes RI, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Dirjen P2M PL. Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Dirjen P2M PL. Depkes RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007. Jakarta 2008. Effendy, N. 1998. Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Kristanti H, 2009. Waspada 11 Penyakit Berbahaya. Yogyakarta : Citra Pustaka. Hal 111-112 Musaham F, 1995. Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, Jakarta. UI Press. Notoadmodjo S. 2007. Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. PDPI, 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika. Hal 1-2, 9-12,55 Riwidikdo H, 2008. Statistik Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendikia Press. PDSPDI, 2006. Panduan Pelayanan Medik. Pusat Peberbitan Departemen IPD, FK. UI. Jakarta. Riwidikdo H, 2008. Statistik Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendikia Press. Sarwono S, 2004. Sosiologi Kesehatan, Gadja Mada University Press. Timmereck T. C. 2005. An Introduction to Epidemiology. Penerbit EGC, Jakarta. Varkevisser, C.M dkk. 2007. Merancang dan Melaksanakan Riset Sistem Kesehatan, Workshop Operation TB 1 Round 3rd , Surabaya 29 July – 11 Agust, 2007 Walpole R.E. 1982. Introduction to Statistics, Maximillian Public. Co. New York.
19
GIZIDO Volume 5 No. 1 Mei 2013
Pemberian Konseling Gizi
21. WHO, 1994. Guideline for Conducting a Review of National Tuberculosis Programme. (WHO/TB/94.177).
Daniel Robert, dkk