713
Pemanfaatan ampas tahu terfermentasi ... (Irma Melati)
PEMANFAATAN AMPAS TAHU TERFERMENTASI SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG KEDELAI DALAM FORMULASI PAKAN IKAN PATIN Irma Melati, Zafril Imran Azwar, dan Titin Kurniasih Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Jl. Raya Sempur No. 1, Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas ampas tahu dengan memanfaatkan mikroba Aspergillus niger, dan digunakan sebagai substitusi terhadap tepung bungkil kedelai dalam formulasi pakan ikan patin. Percobaan dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Dengan menggunakan 12 unit akuarium ukuran 100 cm x 60 cm x 60 cm dengan sistem air mengalir dan pengatur suhu. Ke dalam wadah ditebar ikan patin ukuran 11,41± 0,03 g/ekor dengan kepadatan ikan 20 ekor/akuarium. Sebagai perlakuan adalah persentase substitusi protein tepung ampas tahu terfermentasi (gizi terbaik dari percobaan pertama) terhadap protein tepung kedelai dengan perincian sebagai berikut; (a) substitusi protein 0% (kontrol) (pakanA); (b) substitusi protein 2,52% (pakan B); (c) substitusi protein 4,03% (pakan C); (d) substitusi protein 6,04% (pakan D). Sebelum dilakukan uji formulasi, dilakukan percobaan upaya perbaikan kualitas ampas tahu dengan cara mencampurkan tapioka dengan berbagai perbandingan yaitu (a) 100% ampas tahu; (b) 75% ampas tahu: 25% tapioka;(c) 50% ampas tahu: 50% tapioka; dan (d) 25% ampas tahu: 75% tapioka , untuk selanjutnya campuran tersebut difermentasi menggunakan A. niger. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan 75% ampas tahu dan 25% tapioka memberikan hasil kenaikan protein yang lebih baik (129,58%) dibandingkan perlakuan yang lain dan substitusi protein ampas tahu terfermentasi terhadap protein tepung kedelai sebesar 4,03% (pakan C) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan tepung bungkil kedelai, artinya ampas tahu terfermentasi berpeluang untuk menggantikan tepung bungkil kedelai.
KATA KUNCI:
fermentasi, Aspergillus niger, ampas tahu, substitusi
PENDAHULUAN Delapan puluh persen bahan pakan yang digunakan untuk menyusun pakan ikan adalah berasal dari impor, kondisi ini mengakibatkan harga pakan menjadi mahal. Hal ini telah mendorong ahli nutrisi dan formulasi pakan untuk menemukan bahan pakan yang tersedia dalam jumlah banyak, murah dan mudah didapat. Indonesia dengan iklim tropis kaya akan hasil-hasil sampingan dari proses pengolahan industri pertanian, perkebunan dan perikanan bisa dijadikan sebagai alternatif bahan baku pakan. Salah satunya yang telah banyak digunakan adalah ampas tahu. Keberadaan ampas tahu di tanah air cukup melimpah, murah dan mudah didapat. Ampas tahu merupakan hasil sampingan dari proses pembuatan tahu yang banyak terdapat di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Oleh karena itu, untuk menghasilkan ampas tahu tidak terlepas dari proses pembuatan tahu. Potensi ampas tahu di Indonesia cukup tinggi, kacang kedelai di Indonesia tercatat pada tahun 1999 sebanyak 1.306.253 ton, sedangkan Jawa Barat sebanyak 85.988 ton. Bila 50% kacang kedelai tersebut digunakan untuk membuat tahu dan konversi kacang kedelai menjadi ampas tahu sebesar 100%–112%, maka jumlah ampas tahu tercatat 731.501,5 ton secara nasional dan 48.153 ton di Jawa Barat (http//bisnisukm.com). Ampas tahu ini telah banyak digunakan sebagai pakan babi, kerbau, sapi bahkan ayam. Permasalahan muncul karena rendahnya kadar protein, tingginya kadar air dan serat kasar sehingga penggunaannya terbatas dan belum memberikan hasil yang maksimum. Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas ampas tahu salah satunya yaitu dengan fermentasi menggunakan mikroba dalam hal ini adalah Aspergillus niger. Fermentasi merupakan aplikasi metabolisme mikroba untuk mengubah bahan baku menjadi produk yang bernilai lebih tinggi, seperti asam-asam organik, protein sel tunggal, biopolimer dan antibiotika. Lestari (2001) menyatakan bahwa pada fermentasi terjadi proses yang menguntungkan, di antaranya dapat mengawetkan, menghilangkan bau yang tidak diinginkan, meningkatkan daya cerna,
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
714
menghilangkan daya racun yang terdapat pada bahan mentahnya dan menghasilkan warna yang diinginkan. Beberapa penelitian tentang fermentasi bahan baku telah banyak dilakukan di antaranya Mirwandono & Siregar (2004) mencatat bahwa pemanfaatan mikroba A. niger dalam proses fermentasi limbah sawit (bungkil inti dan lumpur sawit) mampu meningkatkan kadar protein dari 15,40% menjadi 23,40%, dan meningkatkan daya cerna bahan jika dimanfaatkan oleh ternak unggas. Sedangkan penggunaan mikroba lain Thricoderma viridae dan Rhizopus oligosporus dalam fermentasi limbah sawit selama 6 hari masing-masing meningkatkan kadar protein kasar 17,57% menjadi 21,34%, dan 23,74 hingga 27,21%. Penelitian Miskiyah et al. (2006) terhadap ampas kelapa dari industri minyak kelapa mencatat bahwa penggunaan A. niger dan penambahan mineral dalam proses fermentasi secara aerobik kemudian diikuti dengan anaerobik (secara enzimatik) mampu meningkatkan kadar protein kasar dari 11,35% menjadi 26,09%, dan kadar lemak turun 28,70% hingga 11,39%. Sedangkan uji kecernaan bahan kering memperlihatkan peningkatan dari 78,99% menjadi 95,10%. Penelitian Palinggi (2003) memperlihatkan bahwa dedak halus yang diinkubasikan A. niger sebanyak 5 g/kg bahan dan kemudian ditambah air 100%, kandungan proteinnya meningkat dari 10,0% awal menjadi 18,30%. Peningkatan protein disebabkan peningkatan aktivitas mikroba yang mengubah nitrogen anorganik menjadi protein sel. Beberapa jenis mikroorganisme salah satunya kapang mempunyai kemampuan untuk menkonversi pati menjadi protein dengan penambahan nitrogen anorganik melalui proses fermentasi. Kapang yang sering digunakan dalam teknologi fermentasi antara lain A. niger yang merupakan salah satu jenis aspergillus yang tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan (Gray, 1970). Tujuan penelitian ini adalah memperbaiki kualitas ampas tahu melalui fermentasi menggunakan A. niger dan pemanfaatan sebagai bahan pakan untuk mensubtitusi tepung kedelai dalam formulasi pakan ikan patin. BAHAN DAN METODE Pelaksanaan penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah untuk menentukan perbandingan ampas tahu dan tapioka yang tepat dalam proses fermentasi. Tahap kedua adalah penggunaan dosis terbaik pada tahap 1 (campuran ampas tahu dan tapioka) terfermentasi sebagai substitusi protein tepung bungkil kedelai dalam formulasi pakan ikan patin. Tempat pelaksanaan penelitian baik untuk tahap I maupun tahap II yaitu di Laboratorium Kimia dan Laboratorium Basah Nutrisi Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor. Kapang yang digunakan adalah A. niger, produksi Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Proses Fermentasi Bahan Masing-masing 100 g bahan campuran ampas tahu dan tapioka ditingkatkan kadar airnya menjadi 70% dengan penambahan akuades kemudian dikukus selama 30 menit, didingi nkan dan inokulasi menggunakan A. niger sebanyak 9 mL/100 g bahan (kepadatan A. niger 101) kemudian diinkubasi pada suhu ruang secara aerob selama 4 hari dan diikuti dengan sistem an aerob selama 3 hari. Sebagai perlakuan adalah perbandingan ampas tahu dan tapioka yaitu: a) 100% ampas tahu; b) 75% ampas tahu dan 25% tapioka; c) 50% ampas tahu dan 50% tapioka; d) 25% ampas tahu; dan 75% tapioka. Masing-masing perlakuan dilakukan 2 ulangan, dan setiap perlakuan diukur nilai gizinya dengan melakukan analisis proksimat. Uji Formulasi Pakan Bahan uji, campuran ampas tahu dan tapioka yang memberikan respon peningkatan kualitas lebih tinggi (hasil percobaan perbaikan kualitas bahan baku), lebih lanjut digunakan untuk penelitian formulasi pakan. Ikan uji yang akan digunakan adalah ikan patin ukuran 11,41±0,03 g/ekor, dengan kepadatan 20 ekor/akuarium. Kebutuhan gizi pakan disesuaikan dengan kebutuhan standar ikan patin ukuran sebar yaitu protein 30% dan lemak 5%. Percobaan dilaksanakan dalam 12 unit akuarium ukuran 100 cm x 60 cm x 60 cm dengan sistem air mengalir dan pengatur suhu, dengan kepadatan ikan 20 ekor/akuarium. Sebagai perlakuan adalah persentase substitusi tepung ampas tahu terfermentasi
715
Pemanfaatan ampas tahu terfermentasi ... (Irma Melati)
(gizi terbaik dari percobaan pertama) terhadap tepung kedelai dengan perincian sebagai berikut; (a) substitusi protein 0% (kontrol) (pakanA); (b) substitusi protein 2,52% (pakan B); (c) substitusi protein 4,03% (pakan C); (d) substitusi protein 6,04% (pakan D) atau persentase bungkil kacang kedelai dalam ransum adalah (a) 30% (pakan A);(b) 21% (pakan B); (c) 17% (pakan C); (d) 13% (pakan D) (Tabel 1). Tepung ikan maksimal yang digunakan dalam formulasi adalah 15% dan tepung kedelai maksimal adalah 30%. Tabel 1. Komposisi bahan baku pakan percobaan Pakan uji
Bahan pakan
Pakan A
Pakan B
Pakan C
Pakan D
15 8 30 0 11,39 20 6 2 3 1,11 0,5
15 7 21 10 14 18 8 2 3 1,21 0,79
15 8 17 16 11,39 20 6 2 3 1,11 0,5
15 9 13 24 10 17 5,5 2 3 1 0,5
Tepung Ikan MBM Tp. Bungkil Kedelai Ampas tahu terfermentasi Dedak Polar Tapioka DCP Premix Minyak ikan CMC
Selama percobaan ikan diberi pakan sebanyak 5% hingga 2 minggu pertama kemudian menurun hingga 3% untuk bulan berikutnya. Parameter yang diamati adalah laju tumbuh spesifik, pertambahan bobot, sintasan, komposisi tubuh (proksimat), konversi pakan. Sebelum pakan dibuat dilakukan analisis proksimat bahan yang dipakai (Tabel 2). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap masing-masing dengan 3 kali ulangan. Lama percobaan adalah 45 hari. Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan uji (berdasar bobot kering) Kadar nutriea (%)
Jenis pakan
Kadar air
Protein
Lemak
Abu
Serat kasar
Pakan A Pakan B Pakan C Pakan D
6,8 6,6 6,8 6,6
29,96 29,6 29,33 29,59
4,98 5,32 5,15 5,24
13,66 13,78 13,98 12,84
3,57 3,14 3,38 3,26
HASIL DAN BAHASAN Fermentasi Bahan Dari hasil analisis proksimat dapat dilihat bahwa kenaikan protein, penurunan lemak dan serat kasar tertinggi diperoleh pada perlakuan B seperti tertera pada Tabel 3. Umumnya pada saat proses fermentasi terjadi pelepasan molekul air. Pada percobaan ini selama proses fermentasi terjadi penurunan kadar air yang tidak cukup tajam berkisar 13,05%–29,72%. Pada penelitian Azwar & Melati (2009) penurunan molekul air pada proses fermentasi tepung maggot terjadi penurunan kadar air cukup tajam yaitu berkisar 76,49% hingga 69,91%. Penurunan kadar air
716
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 Tabel 3. Hasil analisis proksimat campuran ampas tahu dan tapioka terfermentasi Waktu
Perlakuan
Kadar air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Abu (%)
Serat kasar (%)
BETN (%)
Awal
A B C D
74,38 63,58 48,21 38,05
22,89 15,40 14,32 8,92
7,16 3,34 1,47 0,57
5,52 2,52 2,03 1,57
21,29 12,03 6,67 3,70
43,13 66,71 75,51 85,24
Akhir
A B C D
61,34 33,86 22,27 17,55
31,17 35,36 15,36 12,62
1,62 1,13 1,10 0,39
8,04 5,06 2,74 1,55
17,29 15,25 6,28 3,00
41,90 43,21 74,54 82,45
di mana: A = B = C = D =
100% ampas tahu 75% ampas tahu dan 25% tapioka 50% ampas tahu dan 50% tapioka 25% ampas tahu dan 7% tapioka
terjadi untuk setiap proses fermentasi hal tersebut disebabkan oleh adanya perubahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Bahan kering media dirombak oleh kapang (A. niger) menjadi energi untuk pertumbuhannya dan sebagian lain dilepas menjadi CO2 dan H2O. Secara visual pelepasan molekul air dapat terlihat dengan adanya air pada plastik penutup wadah tempat bahan uji difermentasi. Suhu medium/substrat juga meningkat selama proses fermentasi, peningkatan suhu terjadi sejak hari kedua, dan peningkatan yang sangat mencolok terjadi setelah hari ketiga, dan mencapai maksimum setelah hari keempat yaitu mencapai 42oC. Peningkatan suhu menunjukkan terjadinya proses fermentasi oleh mikroba Aspergillus niger dalam substrat. Suhu sangat mempengaruhi efisiensi konversi substrat menjadi massa sel dan koversi subtrat maksimum terjadi pada suhu optimum. Kenaikan protein tertinggi diperoleh pada perlakuan B sebesar 129,58% yaitu dari 15,40% menjadi 35,36%. Sedangkan kenaikan protein terendah dihasilkan pada perlakuan C sebesar 7,23% yaitu dari 14,32% menjadi 15,36%. Kenaikan protein pada proses fermentasi bisa disebabkan oleh kenaikan jumlah massa sel kapang (Wang et al ., 1979) dan kehilangan bobot kering selama fermentasi berlangsung (Halid, 1991). Peningkatan kandungan protein pada bahan baku yang diinokulasikan A. nigger juga telah diperlihatkan dari hasil penelitian oleh beberapa peneliti lainnya. Kadar protein ampas kelapa meningkat 129,86% (dari 11,35% menjadi 26,09%) (Miskiyah et al., 2006) , bungkil kelapa kadar proteinnya meningkat dari 21,25% hingga 35,20% atau meningkat 65,64%, dan bungkil sawit proteinnya meningkat dari 12,74% menjadi 37,72% atau meningkat 196% setelah mengalami proses fermentasi dengan menggunakan A. niger (Mirwandhono & Siregar, 2004). Kenaikan persentasi protein diikuti oleh penurunan persentasi karbohidrat dan lemak, hal ini menandakan bahwa A. niger dapat memanfaatkan baik karbohidrat ataupun lemak sebagai sumber energi bagi pertumbuhannya. Penurunan kadar lemak lebih bervariasi, penurunan paling tinggi pada perlakuan A yaitu mencapai 77,54%, sedangkan terendah pada perlakuan C yaitu turun sebesar 25,00%. Menurut Miskiyah et al. (2006), A. niger dapat memproduksi enzim lipase, sehingga lemak yang terkandung dalam bahan dapat menurun. Menurut Suhartono (1989) dan Wang et al. (1996), kapang Rhizopus oligosporus akan menggunakan karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi untuk pertumbuhan, namun pemanfaatannya sebagai sumber energi sangat tergantung kepada jenis bahan baku. Menurut Ferdiaz (1988), mikroorganisme kapang menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi setelah terlebih dahulu dipecah menjadi glukosa. Kadar serat kasar menunjukkan penurunan untuk semua perlakuan, kecuali perlakuan B terjadi kenaikan yaitu sebesar 26,80%. Hal ini bisa diduga disebabkan terjadinya kenaikan protein yang
717
Pemanfaatan ampas tahu terfermentasi ... (Irma Melati)
cukup signifikan pada perlakuan B yaitu 129,58% dan diduga kenaikan protein ini lebih disebabkan kenaikan jumlah massa A. niger. Pertumbuhan miselia kapang dapat meningkatkan kandungan serat kasar disebabkan terbentuknya dinding sel yang mengandung selulosa di samping terjadinya kehilangan sejumlah padatan (Shurtleff & Ayogi, 1979). Uji Formulasi Pakan Dari hasil pengamatan pertumbuhan yang dinyatakan dari laju pertumbuhan spesifik (%) dan penambahan bobot rata-rata (g) ikan uji terlihat bahwa penambahan terbaik dialami pada perlakuan substitusi protein ampas tahu sebanyak 2,52% (pakan B), yaitu 1,92% dan terendah pada perlakuan dengan substitusi protein ampas tahu 6,04% (pakan D) yaitu 1,20% (Tabel 4). Tabel 4. Rata-rata laju pertumbuhan spesifik (%) dan pertambahan bobot badan (g) untuk setiap perlakuan Bobot
Jenis pakan
Awal
Pakan A Pakan B Pakan C Pakan D
11,41±0,33 11,43±0,06 11,61±0,02 11,84±0,03
Akhir
Pertambahan bobot
Laju pertumbuhan spesifik
26,01±4,70 27,4±2,79 26,1±1,53 20,21±3,24
14,60±5,00a 15,96 ±2,82a 14,49±1,51a 8,37±3,28b
1,80±0,48a 1,92±0,22a 1,80±0,13a 1,20±0,32b
Catatan: baris dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa perlakuan kontrol (tanpa substitusi campuran ampas tahu ) dengan perlakuan substitusi protein campuran ampas tahu hingga 4,03% (pakan C) tidak memperlihatkan perbedaan pertambahan bobot dan laju pertumbuhan spesifik, namun ketiga perlakuan tersebut memberikan respon berbeda dengan perlakuan substitusi protein campuran ampas Tabel 5. Konversi pakan, retensi protein dan sintasan (%) untuk setiap perlakuan Jenis pakan Pakan A Pakan B Pakan C Pakan D
Konversi pakan 2,02 ± 1,93 ± 2,12 ± 2,67 ±
0,83a 0,34a 0,60a 1,30a
Retensi protein
Sintasan
32,51±6,19a 39,43±1,81a 36,75±7,13a 41,01±15,76a
77,77 ± 7,70a 68,88 ± 3,85a 73,33 ±11,55a 68,89 ± 7,70a
tahu sebesar 6,04% (pakan D). Begitu pula dengan nilai konversi pakan, rertensi protein dan sintasan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata untuk setiap perlakuan (P>0,05)(Tabel 5). Pada percobaan ini sumbangan protein dari tepung bungkil kacang kedelai dalam formulasi pakan kontrol adalah 13,74% dari total protein pakan 29,96%, dengan tidak berbedanya perlakuan kontrol dengan perlakuan substitusi protein ampas tahu 4,03% (pakan C) berarti ada peluang mengganti tepung kedelai dengan campuran ampas tahu yang difermentasi. Dengan substitusi protein kedelai dengan campuran ampas tahu sebesar 4,03% (pakan C), jumlah pemakaian tepung bungkil kedelai akan menjadi 17,00% dalam formulasi pakan, dari pemakaian 30% dalam formulasi. Penekanan pemakaian tepung kedelai diharapkan dapat menekan harga pakan ikan. Beberapa penelitian juga memperlihatkan bahwa bahan baku formulasi pakan ternak dapat digantikan dengan bahan baku yang terfermentasi, bahkan diketahui bahwa tingkat ketersedian nutriea dan kecernaan bahan meningkat setelah bahan mengalami proses fermentasi.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
718
Penelitian Wang et al. (1996) mencatat bahwa perubahan kadar protein tepung kedelai, terigu maupun campurannya tidak begitu nyata pada fermentasi mengunakan kapang Rhizopus oligosporus, namun kualitas gizi bahan tersebut meningkat. Hal ini ditunjukkannya dari adanya peningkatan tumbuh yang nyata hewan uji yang digunakan (tikus) yang diberi makan pakan sumber bahan baku difermentasi dan tanpa fermentasi. Lebih lanjut penelitiannya juga mecatat bahwa jumlah atau kadar asam amino esensial tidak banyak berubah (meningkat ataupun menurun) namun uji in vitro yang dilakukannya dengan sistem pepsin dan asam pankreas mencatat bahwa total asam amino esensial (lysine dan histidin) dari bahan baku terigu dengan pencernaan enzimatik tersebut meningkat 10% pada 24 jam pertama dari fermentasi. Kemungkinan enzim-enzim proteolitik dari kapang mampu mencerna bahan baku, sehingga meningkatkan ketersediaan lisin. Lisin dan metionin merupakan dua asam amino yang sering menjadikan faktor pembatas dari berbagai bahan baku pakan. Felix & Berindo (2008) mengemukakan bahwa fermentasi mereduksi beberapa senyawa anti nutrisi, khitin dari kulit luar udang, dan meningkatkan ketersediaan beberapa vitamin antara lain thiamin, cyanocobalamin, riboflavin, asam folat, B12, B6 di dalam berbagai bahan baku. Penelitian Nwana (2003), mencatat bahwa ada peningkatan kemampuan penggantian tepung ikan dengan tepung kepala udang yang telah diproses secara fermentasi sebagai bahan pakan ikan lele, Clarias gariepinus. Umumnya tepung kepala udang hanya mampu menggantikan tepung ikan sekitar 30%, namun setelah diproses fermentasi dengan mikroba Baccilus sp. terjadi peningkatan jumlah substitusi hingga 30%. Ghosh et al. (2004; 2005) dan Modal et al. (2007) mencatat bahwa pertumbuhan dan sintasan ikan carp India (Labeo Rohita, Hamilton, 1822) memberikan respons lebih baik jika diberikan pakan yang mengalami proses fermentasi dengan Baccillus circullan, yaitu mikroba yang diisolasi dari sistem pencernaan ikan. Azwar & Melati (2009) juga mencatat bahwa ikan lele dumbo yang diberi pakan formasi dengan substitusi maggot terfermentasi, memberikan respons tumbuh berbeda, lebih baik dengan perlakuan pakan tanpa menggunakan tepung maggot. Dalam percobaan ini sebesar 8% dari 10% sumber protein tepung ikan yang digunakan dalam formulasi dapat digantikan oleh tepung maggot. Sedangkan penelitian Priyadi et al. (2009) pada ikan hias balashark memperlihatkan hanya sekitar 17,80% maggot yang dapat menggantikan sumber protein tepung ikan. Kondisi kualitas, atau peningkatan ketersediaan gizi bahan setelah proses fermentasi menyebabkan pertumbuhan ikan yang diberi pakan dengan bahan maggot, polar yang telah mengalami proses fermentasi lebih baik dari kontrol. KESIMPULAN 1. Perbandingan 75% ampas tahu dan 25% tapioka memberikan hasil kenaikan protein yang lebih baik (129,58%) dibandingkan perlakuan yang lain. 2. Substitusi protein ampas tahu terfermentasi sebesar 4,03% terhadap tepung bungkil kedelai memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan tepung bungkil kedelai, artinya ampas tahu berpeluang untuk menggantikan tepung bungkil kedelai. DAFTAR PUSTAKA Azwar, Z.I. & Melati, I. 2009. Peningkatan kualitas tepung maggot melalui penggunaan mikroba (A. niger) dan Pemanfaatanya dalam formulasi Pakan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus): Disajikan dalam Seminar Hasil-Hasil Penelitian Diknas, Jakarta 2009, 16 hlm. Ferdiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Felix, N. & Brindo, R.A. 2008. Femented feed ingredients as fish meal replacer in aquafeed production. Dept. of Aquaculture Fisheries College and Research Institute Tamilandu Vertinery and Animal Sciences, University, India. Research and Farming Techniques, p. 31-33. Ghosh, K., Sen, S.K., & Ray, A.K. 2004. Growth and survival of rohu, Labeo rohita (Hamilton, 1882) spawn fed diets fermented with intestineal bacterium, Bacillus circulans. Acta Ichthyologica et piscatorial, 34(2): 155-165. Ghosh, K., Sen, S.K., & Ray, A.K. 2005. Feed utilization efficiency and gowth performance in Rohu, Labeo Rohita (Hamilton, 1882) fingerling fed yast extract powder supplemented diets. Acta Ichthyologica et piscatorial, 35(2): 111-117.
719
Pemanfaatan ampas tahu terfermentasi ... (Irma Melati)
Gray, W.D. 1970.The use of fungi as food and in food processing.Ohio: CRC Press Halid, I. 1991. Perubahan nilai gizi onggok yang diperkaya nitrogen bukan protein selama fermentasi dengan biakan kapang. Thesis. Fakultas Pascasarjanan IPB, 113 hlm. Lestari, S. 2001. Pengaruh kadar ampas tahu yang difermentasi terhadap efisiensi pakan dan pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Mirwandono, E. & Siregar, Z. 2004. Pemanfaatan hidrosat tepung kepala udang dan limbah kelapa sawit yang difermentai dengan Aspergillus niger. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, 11 hlm. Miskiyah, Mulyawati, I., & Haliza, W. 2006. Pemanfaatan ampas kelapa limbah pengolahan minyak kelapa murni menjadi pakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Verteriner, hlm. 830–834. Mondal, K., Kaviray, A., & Mukhopadhyay, P.K. 2007. Evaluation fermented fish offal in formulated diet of the Indian Major carp, Rohu, Labeo Rohita (Hamilton), 17(2): 99–105. Nwanna, L.C. 2003. Nutritional value and digestibility of fermented shrimp head waste meal y African cat fish Clarias gariepinus. Pakistan, J. of Nutrition, 2(6): 339–345. Palinggi, N. 2003. Pengaruh penambahan kapang Aspergillus niger dalam dedak halus dengan kadar air yang berbeda terhadap kecernaan pakan ikan kerapu bebek (Cromileptis altivelis). Prosiding SemiLoka. Pusat Riset Perikanan Budidaya Priyadi, A., Azwar, Z.I., Subamia, I W., & Hem, S. 2009. Pemanfaatan Maggot sebagai pengganti tepung ikan dalam pakan buatan untuk benih ikan balashark (Balanthiocheillus melanopterus Bleeker): 12 hlm. (unpublish/dalam proses Jurnal Riset Akuakultur). Suhartono, M.G. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Departemen Pendidkan,, PAU Bioteknologi IPB, 322 hlm. Shurtleff, W. & Aoyogi, A. 1979. The book of tempe: A Super soy food from Indonesia. Harper & Row. New York. Wang, D.I.C, Cooney, C.I., & demein, A.L. 1979. Fermentation and Enzymes Technology. John and Sons Inc., p. 468–472 Wang, H.I., Doris I. Ruttle, & Hesseltine, C.W. 1996. Protein quality of wheat and soybeans after Rhizopus oligosporus fermetation: J. Nutrirtion, 96: 109–114.