Pemahaman akan Kompleksitas Sosial Dalam Mendukung Kegiatan Intelijen
Rolan Dahlan [
[email protected]] Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute
Hokky Situngkir [
[email protected]] Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute
1. Latar Belakang Globalisasi, yang membawa arus teknologi informasi, industrialisasi, dan proses demokratisasi, telah membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Jarak satu Negara dengan Negara lain menjadi semakin dekat. Barang, uang, orang dan informasi berpindah secara cepat dari satu Negara ke Negara lain. Fenomena ini menawarkan berbagai variasi bentuk ancaman nasional. Di tengah situasi ini, Badan Intelijen Negara, sebagai penyelenggara intelijen tertinggi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk mengatasi ancaman tersebut. Dalam RUU Intelijen Negara disebutkan bahwa penyelenggara intelijen mempunyai fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan (Pemerintah Republik Indonesia, 2002). Fungsi penyelidikan menghasilkan sejumlah data. Fungsi penyelidikan dan penggalangan merupakan tindakan nyata yang dilakukan guna mengatasi ancaman nasional. Di antara fungsi penyelidikan dengan fungsi pengamanan dan penggalangan, terdapat sebuah fungsi turunan, yaitu manajemen data dan analisis. Dalam fungsi turunan tersebut dilakukan upaya pengolahan data dan analisis. Proses ini diharapkan mampu menghasilkan sejumlah usulan atau rekomendasi tindakan, berdasarkan data yang dimiliki, kepada pengambil keputusan intelijen. Atau dengan kata lain, ia merupakan bagian atau elemen dari intelligence support systems.
Gambar 1, posisi fungsi manajemen data dan analisis di tengah fungsi-fungsi utama kegiatan intelijen. 1
Informasi yang dihasilkan dari proses penyelidikan memiliki tingkat kepercayaan, tingkat akurasi, level deskripsi yang sangat beragam dan bersifat dinamik. Akibatnya, upaya manajemen data dan proses analisis menjadi tidak sederhana. Kita dihadapkan pada sebuah tantangan tentang: “bagaimanakah cara membuat analisis situasi berdasarkan data atau informasi yang ada agar dapat membantu pengambil keputusan dalam menentukan tindakan intelijen”. Pasca tragedi 11 September, terjadi perubahan paradigma dalam kegiatan intelijen. Perubahan ini ditandai meningkatnya kesadaran akan pentingnya akuisisi sains dan teknologi dalam kegiatan intelijen (O’Connell, 2005), termaksud dalam upaya manajemen data dan proses analisis (Roy, 2007). Dengan memahami tingkat kompleksitas permasalahan dan system sosial yang semakin tinggi, maka dalam kaitannya dengan paradigm sains, dalam perspektif intelijen timbul beberapa pertanyaan. Sejauhmanakah perkembangan sains mampu memenuhi tuntutan kebutuhan intelijen? Sejauhmanakah sains telah diakuisisi dalam kegiatan intelijen di luar negeri? Apa bentuk-bentuk akuisisi yang mungkin kita kerjakan dalam upaya meningkatkan kapabilitas dan superioritas intelijen nasional? Makalah ini bertujuan untuk mengkaji pertanyaan-pertanyaan tersebut.
2. Sains dan Intelijen Jauh sebelum peradaban modern, sains telah lama berhubungan dengan dunia intelijen. Kesadaran akan pentingnya hubungan tersebut dapat kita amati tidak hanya dari literatur sejarah, tetapi juga dapat dideteksi di sejumlah legenda dan pemikiran para filsuf, jauh sebelum masehi. Legenda kuda Troya di Yunani dan buku "The Art of War" karangan Sun Tzu mencerminkan kesadaran tersebut. Salah satu bentuk akuisisi sains dalam kegiatan intelijen yang tertua adalah kriptografi. Sebelum era modern, kriptografi digunakan untuk mengenskripsi pesan yang disampaikan, agar tidak terbaca oleh pihak lawan. Pada zaman Yunani telah dikenal scytale, yang dalam sejumlah literatur disebut sebagai pesan rahasia (hasil proses enskripsi) yang pernah ditemukan di dunia. Kriptografi masih digunakan di era modern seperti sekarang ini. Kita mengenal penggunaan mesin Lorenz dan mesin Enigma oleh pihak sekutu dan Jerman selama berlangsungnya perang dunia kedua (Ferris, 2005). Pada beberapa periode yang lalu, akuisisi sains dalam kegiatan intelijen lebih cenderung kepada upaya pemenangan perperangan fisik. Akuisisi ini semakin kuat pada era kolonialisme. Babak ini ditandai dengan peningkatan ketegangan di negara-negara Eropa, khususnya akibat perebutan "kue" di daerah jajahan. Revolusi Bolshevik di Rusia telah memperluas dimensi intelijen, ia terinstitusionalisasi secara ketat. Uni Soviet mengirimkan banyak intelejen ke Eropa Barat. Salah satu yang sangat terkenal adalah Cambridge Five, sekelompok mahasiswa Inggris yang menjadi intel Soviet yang sangat powerful di Eropa Barat. Namun, kesadaran akan pentingnya akuisisi sains dalam kegiatan intelijen, yang pada saat itu masih terbatas pada kegiatan intelijen perang, semakin menguat pada perang dunia kedua. Peristiwa Pearl Harbor terjadi akibat kegagalan lembaga intelijen dalam mendeteksi potensi ancaman. Dimensi intelijen tidak hanya terbatas pada agen dan proses enskripsi semata, namun juga memerlukan proses akuisisi sains secara luas. Paradigma ini tidak hanya memperluas cakupan intelijen, namun juga mempercepat perkembangan sains. Perkembangan Radio Detection and Ranging (Radar) secara pesat pasca perang dunia kedua tentu saja tidak dapat dengan kesadaran tersebut. Tidak berhenti di Radar, ia juga berpengaruh ke sejumlah teknologi yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, seperti pesawat intai atau satelit mata-mata. Kita tentu teringat di tahun 1963, ada sebuah peristiwa yang menyeret dunia ke tepi jurang ancaman perang nuklir. Saat itu, pesawat intai Amerika Serikat berhasil memotret pangkalan misil jarak menengah yang dibangun Uni Soviet di Teluk Babi, Kuba. Peristiwa ini kita kenal sebagai krisis Kuba.
2
Runtuhnya tembok Berlin tahun 1989 telah mengubah peta perpolitikan dunia. Potensi terjadinya perang dunia ketiga menurun. Konflik politik antar Negara pasca 1989 lebih bersifat lokal. Frekuensi konflik antar Negara yang paling signifikan bukanlah perang fisik secara luas, namun bertransformasi menjadi konflik etnik lokal, perang ekonomi, perang budaya, dan perang informasi. Akibatnya, penyelenggara intelijen tidak terbatas pada upaya akuisisi teknologi untuk kegiatan intelijen yang berorientasi kepada perang semata. Dimensi perang modern yang meluas ke dimensi sosial, juga membutuhkan upaya akuisisi ilmu sosial dalam kegiatan intelijen.
3. Kompleksitas, Wajah Sains Kontemporer Dalam beberapa dekade belakangan ini muncul perspektif baru di sains. Perspektif ini diawali dengan berkembangan teori chaos di matematika. Kompleksitas berada di antara fase teratur dan tidak teratur, atau sering disebut sebagai tepi chaos. Pandangan ini diperkuat oleh beberapa temuan di otomata selular, yang awalnya berkembang di ilmu komputer, dan mekanika statistik (ekonofisika) di fisika. Area ini ditandai dengan adanya fenomena hukum pangkat. Fakta ini dijumpai di banyak fenomena empiris, mulai dari intensitas puncak flare matahari, pergerakan harga di pasar modal, distribusi kekayaan, sebaran penduduk kota, jumlah link perhalaman web, jumlah spesies pergenus, frekuensi penggunaan kata, lagu yang enak kita dengarkan, intensitas perang, luas area daerah hutan terbakar, luas kawah permukaan bulan, kekuatan gempa bumi dan lain sebagainya. Kompleksitas adalah adalah sebuah sains yang bersifat terbuka terhadap penggunaan perangkat komputasi, terkadang ia menjadi tulang punggung. Paradigma ini menyadari bahaya reduksionisme. Kompleksitas memiliki semangat untuk mendamaikan perdebatan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Ada banyak perangkat analisis yang dapat kita gunakan dalam perspektif ini, mulai dari pendekatan berbasis agen, masyarakat buatan, jaring saraf buatan, algoritma generik, memetika, simulasi sosial, sistem dinamik non-linear, mekanika statistik, teori permainan evolusioner dan lain sebagainya. Kompleksitas bukanlah sebuah cabang ilmu baru. Ia adalah sebuah paradigma yang berupaya mengisi celah kosong di antara beberapa disiplin ilmu yang telah eksis sebelumnya. Jika kita ibaratkan semua cabang ilmu pengetahuan tradisi Cartessian masing-masing diwakili oleh satu buku, maka dalam rak buku khazanah pengetahuan umat manusia, teori kompleksitas bukanlah satu buku baru yang ditaruh di dalam rak buku tersebut. Ia merupakan lembaran-lembaran yang mengisi ruang-ruang kosong di antara buku-buku tersebut. Kompleksitas mengisi kekosongan dan kehampaan di dalam sains karena secara konvensional ia belum dapat menangkap ketaklinieran sistem (Waldrop, 1992). Semangat utama perspektif ini adalah interdisiplinaritas. Kita tidak mengabaikan analisis konvensional. Kebijaksanaan yang telah diperoleh di beberapa disiplin ilmu klasik yang telah ada sebelumnya coba kita integrasikan dengan otot-otot pendekatan kontemporer, khususnya yang berasal dari ilmu alam, dan perkembangan pendekatan komputasional. Jika sains konvensional berhasil memproduksi imej dalam bentuk foto, maka kompleksitas berupaya merekamnya dalam bentuk video. Deskripsi lebih jauh dapat dilihat di bab nol buku Solusi Untuk Indonesia (Surya dan Situngkir, 2008).
4. Perkembangan Kompleksitas Dalam Kegiatan Intelijen Di Luar Negeri
3
Kegiatan intelijen bersifat rahasia. Data atau informasi, teknologi, dan perkembangan metodologi analisis yang digunakan tidak hanya terbatas bagi ke publik, tetapi bahkan dibatasi sebarannya ke lembaga negara lainnya (Green, 2005). Akibatnya, sulit untuk mengetahui secara pasti perkembangan akuisisi sains kompleksitas yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan intelijen di luar negeri. Namun setidaknya dengan mempelajari laporan- laporan yang ada, kita dapat merekareka sejauhmana mana penyelenggara intelijen di luar negeri telah berhasil mengeksploitasi sains untuk kepentingan intelijen. Berikut ini akan dipaparkan beberapa contoh bentuk aplikasi kompleksitas yang mungkin telah diaplikasikan di luar negeri. KERJASAMA LEMBAGA Salah satu pelajaran dari tragedi 11 September adalah pentingnya upaya meningkatkan efesiensi kerjasama antar lembaga-lembaga negara dan lembaga intelijen. Ada banyak lembaga yang terlibat, seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2, keterhubungan antar lembaga di bawah departemen pertahanan di Amerika Serikat pada skema Cyber-Security Policy. Panah berarah menunjukan pengaruh atau dominasi sebuah organisasi ke organisasi lainnya. Panah bolak balik menunjukkan hubungan yang setara1 (Hunt, 2005).
Setiap lembaga berinteraksi dengan lingkungannya, termaksud lembaga lain. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah cara mengatur interaksi yang terjadi agar mampu meningkatkan efektifitas kegiatan intelijen. Letnan Kolonel Carl W. Hunt (2005) mengusulkan penggunaan simulasi berbasis agen untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, lihat gambar 3. Model ini memiliki dua manfaat. Pertama, ia dapat memberikan informasi ke pengambil keputusan tentang hubungan apa saja yang perlu diselidiki. Kedua, menguji argumen baru dalam upaya meningkatkan efektivitas kerjasama antar lembaga atau intel di lapangan.
1
JTF-CNO = Joint Task Force for Computer Network Operations; OSD = Office of the Secretary of Defense; NSA = National Security Agency; JCS = Joint Chiefs of Staff (and Joint Staff); DIAP = Defense Wide Information Assurance Program; USA = US Army; USMC = US Marine Corps; DLA = Defense Logistics Agency; USN = US Navy; USAF = US Air Force. 4
Gambar 3, visualisasi screenshot ABEM yang dibuat oleh Hunt (2005). Ada dua pertanyaan pada kasus ini. Agen "suv" bertanya ke "Harris" tentang lokasi suv. "Harris" adalah saksi tindak kriminal. Agen " comp" bertanya pada agen "box" tentang pengganti komputer. Agen "box" merespon dengan bahwa ia mengetahui pengganti komputer. Pada kasus ini, agen "box" dimungkinkan untuk menyembunyikan atau memberi informasi palsu ke agen "comp".
STUDI JARINGAN Organisasi kejahatan atau terroris memiliki jaringan sosial tersendiri. Pada kasus tragedi 11 September misalnya, Ahmed Alghamdi terhubung ke Hamza Alghamdi. Hamza kemudian terhubung ke Ahmed Alnami, Ahmed Al Haznawi dan seterusnya, seperti terlihat pada gambar 4. Dengan menggunakan perangkat yang berkembang di sains kompleksitas, seperti analisis jaringan atau NKBoolean fitness landscape (Fellman, 2005), kita dapat mengetahui dampak isolasi atau penghilangan seorang atau beberapa atau pelaku terror terhadap keberlangsungan organisasi kejahatan tersebut dalam jangka panjang.
Gambar 4, pemetaan Valdis Krebs terhadap jaringan pembajak pesawat 11 Septermber (kiri), serta dampak strategi isolasi pada jaringan standar (kanan atas) dan jaringan selular (kanan bawah). Gambar diolah dari Fellman (2005).
5
Studi ini memberikan beberapa manfaat praksis dalam kegiatan intelijen. Pertama, kita dapat menentukan prioritas individu yang mana yang seharusnya diisolasi atau dihilangkan terlebih dahulu. Kedua, kita dapat mengetahui dampak atau efektivitas sebuah tindakan intelijen. Seberapa besar dampak hilangnya Dr. Azhari atau diisolasinya Nurdin M. Top berpengaruh terhadap struktur organisasi terror di tanah air. Selain bermanfaat dalam menganalisis jaringan organisasi kejahatan atau terroris, perangkat ini juga dapat kita gunakan dalam proses manajemen aktivitas intelijen di lapangan atau kegiatan kontra-intelijen. Intel asing mana saja yang harus diisolasi atau dihilangkan. Seberapa jauh tindak pengawasan yang perlu kita berikan, dan seterusnya. DETEKSI POTENSI ANCAMAN Sebagaimana disebutkan dalam RUU Intelijen Negara (Pemerintah Republik Indonesia, 2002), untuk dapat mewujudkan visi intelijen, penyelenggara intelijen dimungkinkan untuk melakukan upaya deteksi dini untuk peringatan dini. Untuk itu, penyelenggara intelijen hendaknya mampu memberikan rekomendasi lokasi dan skala ancaman. Di sini, sains menawarkan beberapa perangkat analisis yang dapat membantu, misalnya perangkat analisis yang dikembangkan oleh Xue dan Brown (2003). Berdasarkan data historis kriminalitas, mereka menyusun prediksi hot spot insiden kriminalitas dengan menggunakan model pilihan spasial, seperti terlihat pada gambar 5. Model ini akan membantu pengambil keputusan dalam mengantisipasi datangnya ancaman. Berdasarkan prediksi insiden kriminalitas, kita dapat menentukan skala dan lokasi pendistribusian sumber daya (peralatan, personil dan lain sebagainya), guna mengantisipasi ancaman kejahatan yang mungkin terjadi.
Gambar 5, data kriminalitas di Richmond, Virginia (kiri) dan prediksi hot spot insiden kriminalitas (Xue dan Brown, 2003).
5. Beberapa Aplikasi Yang Dapat Kita Kembangkan Di Indonesia Pendekatan kompleksitas telah berkembang pesat di tanah air. Beberapa diantaranya bahkan telah mampu memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi perkembangan sains di dunis. Berikut ini ditunjukkan beberapa aplikasi kompleksitas yang dapat kita kembangkan dalam upaya meningkatkan kapabilitas dan superioritas intelijen di tanah air. ANALISIS INFORMASI Arus informasi seringkali memicu inspirasi negatif, yang tidak jarang berkembang menjadi ancaman terhadap integritas nasional. Menghadapi situasi ini, pemerintah dituntut untuk menangani berbagai ancaman tersebut secara cepat. Tanggungjawab ini tidak hanya dicurahkan kepada aparat keamanan, namun juga ditujukan kepada aparat intelijen. Permasalahannya adalah informasi yang 6
ada sangat banyak. Setiap harinya, ribuan bahkan jutaan teks dihasilkan oleh seluruh media elektronik, media massa, internet, email, dan media lainnya di tanah air. Jumlah dan sebaran yang sangat besar tersebut tentu saja, dalam perspektif konvensional, akan sulit diproses secara cepat. Untuk itu, kita membutuhkan sebuah perangkat analisis baru yang mampu bekerja secara cepat. Di sini, perangkat komputasi dan sains kompleksitas memberikan sebuah jalan keluar. Permasalahan tersebut dapat kita pecahkan dengan memodelkan kata, sebagai elemen terkecil dari teks, dalam bentuk graf atau jaringan. Penggunaan model ini telah dirintis sebelumnya dengan cara yang berbeda, misalnya oleh para peneliti di CASOS (Center for Computational Analysis of Social and Organizational Systems) di Amerika Serikat. Analisis ini kita kerjakan dengan menggunakan sebuah metode komputasional. Gagasannya adalah memodelkan kata sebagai jaringan linguistik. Dari sini, kemudian kita melakukan proses filterisasi konsep berdasarkan tingkat kepentingannya. Deskripsi lebih jauh mengenai model tersebut dapat dilihat di makalah Situngkir (2007). Visualisasi contoh hasil proses analisis dapat dilihat di gambar 6.
Gambar 6, data headline kompas pada periode Desember 2006 hingga Juli 2007 (kiri) dan hasil proses filterisasi.
Dengan menggunakan perangkat ini, kita dapat melihat peta hubungan antar konsep. Pada kasus headline kompas di periode Desember 2006 hingga Juli 2007 terlihat bahwa konsep yang paling dominan adalah "Presiden" dan "Wakil Presiden". "Presiden" sangat dominan di isu-isu politik. Sementara itu, "Wakil Presiden" sangat dominan di isu-isu kesejahteraan rakyat. Yang menarik, konsep-konsep seperti "Investasi", "Kredit", "APBD" dan "Bank Indonesia" seolah-olah terpisah dari konsep tokoh nasional yang menjadi subyek berita. Proses ini dikerjakan secara otomatis oleh komputer. Artinya, dengan menggunakan perangkat analisis ini, kita dapat mengetahui pola informasi yang ada di lapangan secara cepat. Pengambil kebijakan tidak perlu lagi membaca (atau memerintahkan anggotanya untuk membaca) seluruh informasi yang ada untuk mendapatkan peta informasi yang ada di lapangan. Perangkat ini tidak hanya dapat digunakan untuk melihat pola informasi yang ada di media elektronik, media massa, internet, email, dan media lainnya di tanah air. Ia juga dapat digunakan untuk melihat respon atau persepsi di masyarakat (Situngkir, 2007). Akibatnya, pengambil kebijakan akan dapat mengetahui kecenderungan dan arah persepsi (secara dinamik) masyarakat tentang sebuah kebijakan, perdebatan, polemik maupun isu tertentu. 7
ANTISIPASI GEJOLAK HARGA Upaya deteksi dini terhadap ancaman nasional tidak hanya terbatas pada dimensi politik, pertahanan dan keamanan semata, melainkan juga dimensi ideologi, ekonomi dan sosial budaya (Pemerintah Republik Indonesia, 2002). Stabilitas ekonomi memiliki peranan vital bagi stabilitas nasional secara keseluruhan. Pada buku Solusi Untuk Indonesia (Surya dan Situngkir, 2008) ditunjukkan penggunaan sains kompleksitas dalam melihat pergerakan harga-harga bahan pokok masyarakat. Di sini penulis bermaksud melakukan sebuah kajian pada studi kasus kenaikan harga sembako dan minyak dunia pada pertengahan bulan Januari 2008. Kajian dilakukan dengan menggunakan pendekatan ultrametrik yang berkembang di ekonofisika. Salah satu permasalahan dalam ekonomi adalah bagaimana cara mengekstrak sejumlah data agar didapatkan taksonomi hirarkis dari data-data tersebut. Di sini, sains kompleksitas menawarkan penggunaan konsep korelasi yang direpresentasikan dalam pohon (ultrametrik) harga-harga bahan pokok sebagaimana digambarkan dalam gambar 7 (detail metodologi dapat dilihat di Mantegna dan Stanley, 2000; Situngkir dan Surya, 2005a, 2005b).
Gambar 7, pohon ultrametrik harga-harga beberapa komoditas di pasar internasional, sumbu vertikal adalah jarak ultrametrik. Panah merah menunjukkan perubahan fundamental yang terjadi di pasar.
Gambar 7 diperoleh ultrametrik, diperoleh visualisasi sebagaimana ditunjukkan gambar 7. Hasil tersebut diperoleh dengan menggunakan data hingga pertengahan bulan Oktober 2007. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada periode pertengahan bulan Oktober 2007 telah teramati oleh banyak kalangan adanya perubahan fundamental di pasar. Yang pertama, adalah tren kenaikan harga minyak mentah. Yang kedua adalah berkembangnya bioetanol, sebagai sebuah alternatif energi baru. Hal ini memicu kenaikan harga jagung. Akibatnya, terjadi perubahan fungsi lahan komoditas lain yang memiliki tipologi yang relatif sama, seperti kedelai dan gandum. Berdasarkan gambar tersebut, kita dapat menebak bahwa kenaikan harga minyak mentah dan jagung akan berpengaruh terhadap komoditas lainnya. Kenaikan harga minyak mentah cenderung akan memicu kenaikan harga gas alam kemudian gula serta selanjutnya cluster perak, emas, almunium dan tembaga. Kenaikan harga jagung cenderung akan memicu kenaikan harga kedelai kemudian gandum dan selanjutnya adalah beras. Artinya dengan memperhatikan dua isu tersebut pada dasarnya, kita dapat menebak arah pergerakan harga di pasar internasional.
8
Gambar 8, pohon ultrametrik harga beberapa bahan kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional di Indonesia, semakin tebal garis menunjukkan keterhubungan antar komoditas semakin tinggi, data hingga Desember 2005
Kecenderungan pergerakan harga di pasar dunia tentu saja akan berdampak terhadap harga beberapa bahan kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional. Pohon ultrametrik harga beberapa bahan kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional di Indonesia dapat kita lihat di gambar 8. Garis merah dan biru menunjukan kaitan antar komoditas tersebut di pasar internasional. Dari sini, kita dapat memprediksi arah pergerakan harga beberapa bahan kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional. Kenaikan harga jagung, tempe, tahu, beras, gula dan minyak goreng yang terjadi pada pertengahan bulan Januari 2008 semestinya sudah dapat diantisipasi 3 bulan sebelumnya. Dengan menggunakan perangkat analisis ini, penyelenggara intelijen akan dapat mendeteksi secara dini tren pergerakan harga di pasar internasional dan kaitannya dengan harga beberapa komoditas di pasar tradisional. Dari sini kemudian, penyelenggara intelijen akan dapat memberikan peringatan kepada lembaga Negara lainnya. Akibatnya, kita dapat menyusun upaya antisipasi secara lebih cepat sehingga gejolak yang terjadi di masyarakat dapat diminimalisir. EPIDEMI Saat ini bermunculan berbagai penyakit baru. Kita tidak hanya dihadapkan pada berbagai penyakit yang sebenarnya sudah ada obatnya atau setidaknya cara-cara penanganan standarnya, seperti malaria, tuberkolosis, demam berdarah, dan sebagainya. Kita juga mesti berkutat dengan permasalahan merebaknya berbagai penyakit baru, seperti AIDS, hingga yang terakhir, flu burung. Persebaran penyakit dan epidemiologi merupakan sebuah permasalahan serius bagi ketahanan nasional. Untuk itu, penyelenggara intelijen hendaknya mampu memberikan sejumlah arahan yang dapat membantu upaya penanggulangan permasalahan tersebut. Ada banyak pendekatan yang dapat digunakan oleh penyelenggara intelijen untuk mengatasi persoalan tersebut. Misalnya, dengan menggunakan pendekatan kompleksitas, yang dalam hal ini adalah model otomata selular, dalam melihat pola persebaran penyakit flu burung (Situngkir, 2004). Visualisasi hasil simulasi dapat dilihat pada gambar 9. 9
Gambar 9, hasil simulasi spasial diskrit yang dilakukan. Titik kelabu melambangkan daerah terinfeksi dan titik hitam melambangkan peluang yang tinggi untuk infeksi pada manusia.
Berdasarkan perangkat analisis ini, kita dapat memproyeksikan pola persebaran penyakit flu burung di tanah. Perangkat analisis ini dibuat tahun 2004, sebelum merebaknya flu burung di tanah air. Alat ini, jika diimplementasikan, sangat membantu upaya penanganan flu burung. Model ini dapat mengetahui kawasan-kawasan apa saja yang perlu mendapat perhatian utama. Dari sini, penyelenggara kegiatan intelijen dapat memberikan peringatan dini ke lembaga-lembaga lainnya, seperti pemerintah kabupaten/kota atau departemen kesehatan. Akibatnya, kita dapat menanggulangi penyakit tersebut, yang merupakan bentuk ancaman nasional, secara lebih cepat dan sistematis.
6. Kesimpulan Globalisasi telah membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Fenomena ini menawarkan berbagai variasi bentuk ancaman nasional. Di tengah situasi ini, penyelenggara intelijen tertinggi memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk mengatasi ancaman tersebut. Untuk itu kita memerlukan upaya akuisisi sains dalam kegiatan intelijen, khususnya dalam hal manajemen data dan proses analisis. Akuisisi sains dalam kegiatan intelijen telah berlangsung sejak lama. Namun pada beberapa periode yang lalu, akuisisi tersebut lebih cenderung kepada upaya pemenangan perperangan fisik. Runtuhnya tembok Berlin tahun 1989 telah mengubah peta perpolitikan dunia. Dimensi perang modern yang meluas ke dimensi sosial. Akibatnya, kita membutuhkan upaya akuisisi ilmu sosial dalam kegiatan intelijen. Beberapa dekade belakangan ini muncul perspektif baru di sains, yaitu paradigma kompleksitas. Ia menjanjikan beberapa hasil yang sangat progresif dan bersifat praksis bagi kepentingan intelijen. Sejauh ini, sains kompleksitas telah diaplikasikan secara luas dalam kegiatan intelijen di luar negeri, mulai dari upaya optimasi efektivitas kerja sama antar lembaga negara dan lembaga intelijen, studi jaringan organisasi kejahatan atau terroris, hingga membantu upaya prediksi potensi ancaman yang mungkin timbul. Pendekatan kompleksitas telah berkembang pesat di tanah air. Beberapa penelitian yang ada telah mampu memenuhi tuntutan praksis bagi kegiatan intelijen, seperti analisis informasi, antisipasi gejolak harga dan studi deteksi 10
dini persebaran penyakit. Bagaimanapun, kompleksitas memiliki potensi yang sangat besar dalam upaya meningkatkan kababilitas dan superioritas intelijen tanah air.
Daftar Pustaka Fellman, P. V. (2005) The Complexity of Terrorist Networks, School of Business, Southern New Hampshire University. Green, A. W. (2005) It’s Mine!: Why The US Intelligence Community Does Not Share Information, School of Advanced Air and Space Studies, Air University, Maxwell Air Force Base, Alabama, US. Hunt, C. W. (2005) Transforming Intra-and Interagency Processes through Advanced Models and Simulations: An Information Assurance Model, US National Defense University, Ft. McNair, Washington, DC. Mantegna, R. M. and H. E. Stanley (2000), An Introduction to Econophysics, Cambridge UP. O’Connell, K. M.(2005) The Role of Science and Technology in Transforming American Intelligence, dimuat dalam buku "The Future of American Intelligence" yang diedit oleh P. Berkowitz, Hoover Institution Press. Pemerintah Republik Indonesia (2002) Rancangan Undang-Undang Intelijen Negara, saat ini RUU tesebut tengah dibahas di DPR-RI. Roy, J. (2007) A Knowledge-Centric View of Situation Analysis Support Systems, Technical Report, Defence R&D Canada. Situngkir, H. (2004) Epidemiology with Cellular Automata : Case of Study The Epidemics of Avian Flu in Indonesia, Working Paper WPE 2004, Bandung Fe Institute. Situngkir, H. and Y. Surya (2005a) On Stock Market Dynamics through Ultrametricity of Minimum Spanning Tree, Working Paper WPH 2005, Bandung Fe Institute. Situngkir, H. and Y. Surya (2005b) Tree of Several Asian Currencies, Working Paper WPI 2005, Bandung Fe Institute. Situngkir, H. (2007) Model Jaringan dalam Analisis Media: Peluang Eksploitasi Studi Kultural Pada Sifat Skala Topografi Tekstual, Working Paper WPQ 2007, Bandung Fe Institute. Surya, Y. & H. Situngkir (2008) Solusi untuk Indonesia: Prediksi Ekonofisik/Kompleksitas, Kandel Group. Waldrop, M. M. (1992) Complexity: the Emerging Science at the Edge of Order and Chaos, Simon & Shuster. Xue, Y. and D. E. Brown (2003) Decision Based Spatial Analysis of Crime, dimuat dalam buku "Intelligence and Security Informatics" yang diedit oleh H. Chen, dkk., merupakan proceedings First NSF/NIJ Symposium, Tucson, AZ, USA, June 2-3, 2003, Springer-Verlag.
11