PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH MENURUT HUKUM ADAT DAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA DI KECAMATAN SIRIAMAU KOTA AMBON Sale and Purchase of Land According to the Customary Law and the Basic Agrarian Law in District Sirimau Ambon City
Banyara Sangadji, Amunuddin Salle dan Abrar Saleng
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan adalah untuk mengetahui, menganalisis proses pelaksanaan jual beli tanah menurut hukum adat dan UUPA pada masyarakat di Kecamatan Sirimau Kota Ambon. Metode pendekatan yang dipakai adalah metode pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian ini disamping menggunakan metodemetode ilmu pengetahuan juga melihat kenyataan di lapangan, khususnya dalam pelaksanaan jual beli tanah menurut hukum adat dan UUPA di Kecamatan Sirimau Kota Ambon. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, maka penelitian ini dilakukan secara Deskriptif Analitis yaitu untuk memberikan data yang seteliti tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya dengan data obyektif yang dapat melukiskan kenyataan atau realitas yang kornpleks dalam pelaksanaan jual beli tanah. Hasil penelitian menunjukan bahwa; Pertama, Proses Pelaksanaan Jual Beli Tanah pada Masyarakat dilakukan menurut hukum adat, ini terlihat dari proses jual beli tanah yang dilakukan dengan akta jual beli dibawah tangan di hadapan Kepala Persekutuan Hukum Adat/Pemerintah Negeri. Kedua, Selain Proses Pelaksanaan Jual Beli di bawah Tangan juga sebagian anggota masyarakat melakukan pengulangan jual beli artinya setelah melakukan jual beli di hadapan Kepalah Persekutuan Hukum Adat/Pemerintah Negeri kemudian melakukan pengulangan jual beli di hadapan Notaris/PPAT, dan agar dapat memberikan jaminan hukum untuk mendapatkan sertifikat maka pemohon dapat mengajukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan Kota Ambon dengan syarat dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Kantor Pertanahan. . Kata Kunci:
Pelaksanaan, Jual Beli Tanah, Hukum Adat Dan Undang-Undang Pokok Agraria
1
ABSTRACT This study aims to investigate and analyze the implementation process of land sale and purchase according to customary law and BAL in the community of Sirimau Subdistrict, Ambon City. The method used was the empirical juridical apporoach. This approach, in addition to using the science, investigatesthe reality, especially the implementation of land sale and purchase according to customary law and BAL in Sirimau Subdistrict, Ambon City. Ambon City. Based on the objectives, this research is conducted as an analytical descriptive study by giving detailed data about people, circumstances or other syimptoms. The data are objective in describing complex reality in the implementation of land sell and purchase. The results reveal that, firstly, the implementation process of land sale and purchase in the society is conducted according to customary law. This can be seen in the process of land sell and purchase that uses underhanded documents (not drawn up before a notary) before the Authority of Customary Law. Secondly, some members of the society do two selling processes. In this case, after doing land sale and purchase before the authority of Customary Law, they repeat the process before a notary or officials empowered to draw up land deeds. This is done in order to provide legal guarantee to obtain land certificate. The applicant may submit a registration at the Land Office of Ambon City by referring to the reguirements and procedures established by the Land Office. Keywords: Land sale and purchase, customary law, Basic Agrarian Law.
PENDAHULUAN Problematika pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan bangsa kita. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda diantara satu wilayah dengan wilayah lainya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar pemahaman dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal dan memberikan penghidupan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Sebagai salah satu unsur esensial pembentukan negara, tanah memegang peran vital dalam
kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi, dimana pemamfaatan tanah merupakan suatu syarat mutlak. Berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960 telah terjadi perubahan fundamental pada hukum agraria di Indonesia terutama pada hukum pertanahan. Perubahan ini bersifat mendasar baik pada struktur perangkat hukumnya maupun pada konsepsi dan isinya. Sebelum berlakunya UUPA, di Indonesia (dahulu Hindia Belanda) diperlakukan 2
hukum yang berasal dari negara barat (Belanda) dan hukum adat. Dengan dibentuknya UUPA sebagai hukum tanah nasional, maka dualisme hukum tanah sudah tidak ada lagi dan telah memberikan unifikasi dalam hukum pertanahan. Berkenaan dengan uraian tersebut Amir Sjariffudin (Aminuddin Salle, (2007:111) menjelaskan: Sebelum berlakunya UUPA, bidang pertanahan dikuasai oleh hukum adat yang merupakan produk hukum tidak tertulis. Kelahiran UUPA bermaksud mengadakan pembaharuan hukum dari bentuk tidak tertulis menjadi hukum tertulis, dibuat oleh dan dengan otoritas yang berwenang dan diadaptasinya asas-asas dan karakteristik hukum modern yang bersumber dari hukum barat. Pembaruan tersebut pada hakekatnya membawa konsekuensi pembaharuan sistem yang melibatkan pula komponen budaya hukum dalam proses operasinya. Pembaruan hukum ini dengan sendirinya menuntut pembaruan kesadaran hukum (yang merupakan bagian integral budaya hukum), yaitu kesadaran hukum adat yang tidak tertulis ke kesadaran hukum tertulis. Dalam hubungannya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat, tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah
sebagai peninggalan atau pemberian dari suatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang jaman. Falsafat hukum adat tersebut yang kemudian diangkat menjadi konsepsi hukum tanah nasional yang menurut Boedi Harsono, terwakili dalam satu kata kunci yaitu komunalistik religious. Berbeda dengan jual beli yang terjadi menurut UUPA yang memerlukan akta otentik (akta jual beli) yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). yang berwewenang (Pasal 37 ayat 1 PP.24/1997). PPAT merupakan pejabat yang eksis sejak berlakunya PP.Nomor 10/1961dan selanjutnya lebih dikembangkan lagi pengaturanya dalam PP. Nomor 24/1997 yang memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 (PP.37/1998) tentang Peraturan Jabatan PPAT dengan Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 (PMNA/KBPN.4/1999) sebagai peraturan pelaksanaannya, yang sekarang berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (PP. 24/1997) tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksanaan, menghendaki agar jual beli hak atas tanah dibuat dengan akta otentik di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), selain untuk menjamin kepastian hukum juga perlindungan hukum dengan memberikan surat-surat bukti yang kuat. Selanjutnya dalam Pasal 3 PP. 24/1997 lebih jelas atau diperluas lagi tujuan pendaftaran tersebut yaitu: 3
a.Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuata hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar. c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Ketentuan Pasal 26 jo Pasal 29 UUPA juga bermaksud mengubah atau memperbaharui sifat serta perilaku yang bersangkut paut dengan kebiasan mengadakan jual beli tanah tanpa akta pejabat, hendak diarahkan untuk diubah kedalam praktik jual beli tanah yang dikehendaki oleh ketentuan hukum yang tertulis, sebagaimana ditegaskan bahwa jual beli tanah hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta jual beli yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yang berwewenang (Pasal 37 ayat 1 PP .24/1997). Tetapi dilain pihak justru sebaliknya, yaitu bahwa meskipun tidak dibuktikan dengan akta PPAT, tetapi jual beli tanah yang terjadi adalah sah. Masih banyaknya pembuatan akta jual beli dibawah tangan yang dilakukan masyarakat khususnya di
Kecamatan Sirimau Kota Ambon, menurut hukum adat setempat atas tanah-tanah petuanan (tanah dati). Salah satu contoh yang terjadi di Kota Ambon, Kecamatan Sirimau, Jalan Kebun Cengkeh, pada tahun 2007 telah terjadi kesepakatan antara 2 (dua) belah pihak (penulis memberi inisial A, B dan C), pihak A adalah pemilik tanah dati (kepala dati) sepakat untuk mengalihkan/menjual sebagian dari tanah dati kepada B (selaku pihak pembeli) dan B menerimanya dengan membayar harga yang telah disepakati bersama, dalam perjanjian jual beli tersebut maka cukup dengan Akta/Surat Perjanjian jual beli yang dibuat dibawah tangan yang ditandatangani oleh A selaku pemilik tanah dati (kepalah dati) dan B selaku pihak pembeli, Kepala Desa hanya mengetahui/ menyaksikan bahwa memang betul ada perbuatan hukum yang dilakukan antara A dan B. Dengan bukti Surat Perjanjian Jual Beli maka objek tersebut telah menjadi hak milik dan dikuasai oleh B, agar ada kepastian hukum serta mendapat perlindungan hukum atas objek hak miliknya tersebut, pada tahun yang sama (2007) dengan dasar Surat Perjanjian Jual Beli, B memohon pada Kantor Pertanahan Nasional (BPN) setempat untuk mendaftarakan objek hak miliknya agar diterbitkan sertipikat, tetapi oleh instansi tersebut menolak dengan alasan bahwa dasar Surat perjanjian tersebut tidak memenuhui syarat untuk pendaftaran. Kemudian pada tahun 2009, B bermaksud untuk menjual/ mengalihkan kepada C dengan dasar Surat Perjanjian Jual Beli tersebut, dan 4
menghadaplah B dan C pada Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk dituankan dalam akta autentik, akan tetapi Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak sanggup untuk menuangkan dalam akta autentik dengan alasan bahwa dasar Surat Perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat untuk peralihan. METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian maka penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis dipergunakan untuk menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan di bidang penguasaan dan pemanfaatan tanah dikaitkan dengan masalah pelaksanaan jual beli tanah yang dilaksanakan menurut hukum adat. Sedangkan pendekatan empiris dipergunakan untuk menganalisa hukum bukan semata-mata sebagai suatu seperangkat aturan perundang-undangan yang bersifat normatif belaka, akan tetapi hukum dilihat sebagai prilaku masyarakat yang menggejala dan mempola dalam kehidupan masyarakat, selalu berinteraksi dan berhubungan dengan aspek kemasyarakatan seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. dalam penelitian ini disamping menggunakan metode-metode ilmu pengetahuan juga melihat kenyataan di lapangan, khususnya dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat dan UUPA di Kecamatan Sirimau Kota Ambon Propinsi Maluku.
B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sirimau Kota Ambon, Propinsi Maluku dengan sasaran pada semua orang yang terkait dengan jual beli tanah menurut hukum adat dan UUPA yaitu anggota masyarakat yang melakukan jual beli hak atas tanah berdasarkan hukum adat dan UUPA. Penetapan lokasi penelitian secara selektif dilakukan atas dasar, bahwa Kecamatan Sirimau yang berada di pusat Kota, yaitu Kota Ambon masih terdapat tanah - tanah adat yang oleh masyarakat setempat mengenalnya sebagai tanah petuanan (tanah dati), dan disana ditemukannya banyak praktek jual beli tanah masih menggunakan hukum adat setempat. C. Populasi dan Penentuan Sampling Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah sernua orang yang terkait dalarn pelaksanaan jual beli hak atas tanah adat (tanah dati) yang tunduk pada hukum adat setempat dan transaksi jual beli hak atas tanah berdasarkan UUPA. Populasi dalarn penelitian ini sangat luas sehingga dipilih sampel sebagai objek penelitian. Penentuan sampel dilakukan berdasarkan purposive sampling, yang artinya sampel telah ditentukan dahulu berdasar objek yang diteliti. Selanjutnya setelah ditentukan sampel yang dijadikan objek penelitian maka ditentukan responden dari penelitian ini ke dalam dua kelompok yaitu: 5
a. Kelompok pertama para masyarakat, yang terdiri dari: - 20 (dua puluh) anggota masyarakat yang pernah melaksanakan jual beli hak atas tanah adat (tanah dati) yang pelaksanaanya tunduk pada hukum adat setempat dan anggota masyarakat yang pernah melaksanakan jual beli hak atas tanah yang pelaksanaanya berdasarkan UUPA. - Kepalah Dati, selain sebagai pemilik tanah dati juga sebagai penerima kuasa dari ahli waris pemilik dati untuk menjual dan menandatangani jual beli yang dilakukan dibawah tangan. b. Kelompok kedua adalah para pejabat dan/atau instansi terkait, yang terdiri dari: - Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ambon; - PPAT/Notaris dan PPATS (camat), dengan daerah jabatan Kota Ambon; - 2 Kantor Negeri/Desa yang berada di wilayah Kecamatan Sirimau, Kota Ambon. D. Teknik Pengumpulan Data Di dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan difokuskan pada pokok-pokok permasalahan yang ada, yaitu tentang pelaksanaan jual beli hak atas tanah menurut hukum adat dan UUPA, sehingga penelitian ini tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasan. Data yang diperlukan
dalam pembahasan tesis ini diperoleh melalui data kepustakaan dan penelitian lapangan. a. Penelitian Kepustakaan Data yang diperlukan dalam penelitian kepustakaan ini adalah data sekunder yang meliputi : 1. Bahan hukum primer Berbagai peraturan perundangundangan yang menyangkut pertanahan, yaitu : a. UU No. 5, Tahun 1960 tentang Ketentuanketentuan Pokok Agraria (UUPA) b. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah c. PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT. d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan PendaftaranTanah. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis bahan hukum primer yaitu : - Buku-buku ilmiah - Makalah b. Penelitian Lapangan. Data yang dikumpulkan adalah data primer. Data primer ini diperoleh dengan cara mengadakan penelitian lapangan dengan mengadakan wawancara. 6
yaitu cara untuk memperoleh informasi dengan cara bertanya secara langsung kepada responden yang telah ditetapkan sebelumnya. Tipe wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan pertanyaan tetapi tetap berpegang pada pokok penting permasalahan yang sesuai dengan tujuan wawancara. Wawancara tidak terstruktur ini dimaksudkan agar memperoleh jawaban spontan dan gambaran yang lugas tentang masalah yang diteliti, artinya wawancara yang subjeknya mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui maksud dan tujuan wawancara tersebut. E. Analisa Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu merupakan anlisis penguraian, penggambaran, dan penjelasan terhadap masalah penelitian. data yang diperoleh disusun secara sistimatis untuk mencapai kejelasan mengenai masalah penelitian. Data yang terkumpul mengenai penernuan hukum in concreto dan asas-asas hukum yang melandasi selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif analitis, yaitu mencari dan menentukan hubungan antara data yang diperoleh dari penelitian dengan landasan teori yang ada, yang dipakai sehingga memberikan gambaran-gambaran konstruksif
mengenai diteliti.
permasalahan
yang
HASIL DAN PEMBAHASAN A. KepemilikanTanah Masyarakat Hukum Adat Di Kecamatan Sirimau Kota Ambon Pada umumnya tanah-tanah di Kecamatan Sirimau, Kota Ambon adalah tanah adat yang tunduk kepada dan juga dikuasai oleh hak petuanan (beschikkingsrecht) dari desa atau negeri yang bersangkutan. Dalam perkembanganya kemudian sebagian dari tanah petuanan itu lepas dari kekuasaan dan pengaturan langsung dari hak petuanan negeri-negeri yang bersangkutan, karena pada tanah-tanah tersebut telah muncul hak-hak lainya yang lebih kuat dari hak petuanan itu. Berdasarkan tingkatan hubungan antara hak petuanan atas tanah berhadapan dengan hak perorangan sebagaimana diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat Kecamatan Sirimau, Kota Ambon terdapat tiga macam golongan tanah: 1. Tanah negeri atau tanah hak petuanan, yang di miliki atau dikuasai oleh persekutuan atau negeri ; 2. Tanah dati parusah, tanah yang dimiliki oleh perorangan, akibat pemberian oleh negeri dan dikelolah secara turun temurun oleh setiap kelompok marga.
7
3. Tanah dati pusaka, yang merupakan kelanjutan dari tanah dati parusah, dimana tanah negeri yang awalnya diberikan kepada seseorang untuk berusaha atau yang dikenal dengan dati parusah, kemudian dalam perkembanganya diwariskan kepada ahli warisnya untuk dipergunakan atau dan/atau di kelolah serta dimanfaatkan bersama-sama secara turun temurun, sehingga telah menjadi milik banyak orang (para warisnya). B. Pelaksanaan Jual Beli Tanah Yang Di Lakukan Menurut Hukum Adat Dan UUPA Di Kecamatan Sirimau Kota Ambon Terjadinya hak milik atas tanah merupakan dasar timbulnya hubungan hukum antara subyek dengan tanah sebagai obyek hak. Pada dasarnya hak milik dapat terjadi secara original dan derivative, secara original hak milik terjadi berdasarkan hukum adat, sedangkan secara derivative ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 19 Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) mewajibkan pendaftaran hak-hak tertentu atas tanah. Pendaftaran ini merupakan rechtskadaster yang menjamin kepastian hukum, pemamfaatan dan keadilan termasuk perlindungan hukum bagi pemegang hak-hak itu. Pendaftaran tanah oleh yang berhak dapat terjadi karena berahlinya hak atas tanah dengan dasar jual beli, hibah, tukar menukar, dan perbuatan
hukum lainya yang bermaksud memindahkan hak milik atas tanah. Dengan diterbitkanya PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai revisi atas PP 10/1961, maka secara yuridis formalitas telah diatur untuk pendaftaran hak dan pemberian bukti termasuk pendaftaran peralihan hak atas tanah karena jual beli dan pemberian sertifikat atas nama pembelinya. Walaupun secara yuridis formalnya sudah diatur, namun di luar itu ada hal-hal yang bersifat substansial yang perlu dipahami agar ditemukan alternativ yang dapat dipertimbangkan. Sebab suatu pemberian hak tergantung dari kesepakatan antara penjual dan pembeli. Bila kedua belah pihak sadar akan manfaatnya dan dapat mengatasi kendala yang mungkin dihadapi, maka tentuanya tidak akan menimbulkan masalah-masalah baru dalam hal terjadinya jual beli tanah. Dalam praktik jual beli tanah ada beberapa cara pada masyarakat di Kecamatan Sirimau Kota Ambon menempati atau memiliki tanah disetiap lokasi Perbuatan hukum jual beli tanah berdasarkan sistem hukum adat, yaitu dengan cara tertulis (akta dibawah tangan dilakukan dihadapan Kepala Persekutuan hukum adat/pemerintah negeri, dihadapan Notaris/PPAT), dengan cara lisan (kekeluargaan cukup diketahui oleh kerabat dan tetangga). Untuk lebih memahami sebabsebab apa alasan masyarakat yang masih menggunakan cara lisan dan/atau dengan akta dibawah tangan dalam jual beli tanah tersebut yaitu: 8
a. Faktor Masyarakat dan Budaya yang masih tunduk pada hukum adat b. Tidak memerlukan waktu yang lama (Cepat) dan biaya murah c. Dianggap miliknya dan cara pembuktianya cukup dengan diperlihatkan: - register dati - SK pengangkatannya selaku kepala dati - SKW (Surat Keterangan Hak Waris) - Surat Kuasa Menjual dari ahli waris dan saksi-saksi d. Dianggap sudah diketahui oleh masyarakat siapa pemiliknya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, dapat diketahui mengenai cara masyarakat melakukan jual beli. Bahwa jual beli secara lisan atas dasar saling percaya dilakukan oleh masyarakat karena mereka pada umumnya adalah masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan dan didasarkan atas dasar kekeluargaan diantara sesama warga masyarakat . Begitu pula dengan jual beli menggunakan surat jual beli/ atau pelepasan hak dibawah tangan. Hal ini membuktikan bahwa kekerabatan yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu masih cukup kuat dan melatarbelakangi rasa saling percaya oleh karena prosesnya cepat dan tidak memerlukan waktu yang lama. Berdasarkan Pasal 5 UUPA maka jual beli tanah setelah UUPA mempergunakan sistem dan asas-asas
dalam hukum adat. Dalam konsiderans UUPA disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan perundangundangan dan selama peraturan itu belum ada maka hukum adat lah yang berlaku. Kenyataannya bahwa peraturan perundang-undangan yang diadakan justru mengadakan penggantian norma-norma hukum adat yang berlaku sebelumnya. Sebagai contoh ketentuan mengenai jual beli tanah yang semula cukup dilakukan dihadapan pemerintah negeri/kepala desa, diubah menjadi dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), oleh PP. 24/1997, pada Pasal 37 ayat (1 dan 2) menegaskan bahwa peralihan Hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarakan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Namun dalam keadaan tertentu pendaftaran peralihan hak atas tanah yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi kadar kebenaranya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. Hal ini menunjukan bahwa pendaftaran tanah dapat dilakukan dengan akta lain selain akta autentik yang dibuat dihadapan PPAT. Jual beli tanah menurut PP No. 10 tahun 1961 yang telah disempurnakan dengan PP No. 24 tahun 1997 harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh seorang PPAT. Jual beli tanah yang semula cukup dilakukan dihadapan kepala desa dan sekarang oleh peraturan agraria harus di hadapan PPAT adalah suatu 9
perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu alat bukti yang dilakukan menurut hukum adat yang masyarakatnya terbatas lingkup personal dan tertorialnya yaitu cukup dibuatkan surat oleh penjual sendiri dan diketahui oleh pemerintah negeri/kepala desa. Perubahan tata cara ini bukan meniadakan ketentuan hukum adat yang mengatur segi materiil lembaga jual beli tanah. Akta autentik memuat pernyataan ringkas dan jelas tentang subjek hak dan objek hak tertentu secara tegas C. Perlindungan Hukum Pada Masyarakat Yang Melakukan Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat Dan UUPA Kebutuhan akan suatu perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat sangat didambahkannya. Sebagai konsekwensi dari hal itu maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengusahkan kesejatraan dalam bentuk memberikan perlindungan hukum yang meliputi segala segi kehidupan. Konsekuensi yuridis yang dapat timbul berkenaan dengan perbuatan peralihan hak atas tanah melalui jual beli dengan akta dibawah tangan sebagai buktinya, yaitu masalah perlindungan hukum bagi pemegangnya atau pembeli jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 37 PP.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Meskipun ketentuan tersebut pada dasarnya menghendaki adanya atka PPAT sebagai dasar dan sarat mutlak untuk keperluan pendaftaran dan perolehan sertifikat. Oleh karena itu, maka dalam suatu jual beli tanah yang diadakan
tanpa akta autentik, tetapi jika syaratsyaratnya yang bersifat materil dipenuhi, maka jual beli tersebut sahsah saja, artinya jual beli tersebut mengakibatkan beralihnya hak kepada pembeli yang bersangkutan. Jual beli tanah sah secara hukum dengan dibuatnya akta jual beli yang merupakan pembuktian bahwa telah terjadi jual beli hak atas tanah yaitu pembeli telah menjadi pemilik. Pendaftaran peralihan hak atas tanah karena jual beli di Kantor Pertanahan bukanlah merupakan syarat sahnya jual beli yang telah dilakukan tetapi hanya untuk memperkuat pembuktian terhadap pihak ketiga. Pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah karena jual beli menurut hukum adat dan UUPA di di Kecamatan Sirimau Kota Ambon tidak terlepas dari prosedur yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. KESIMPULAN 1. Pelaksanaan jual beli tanah atas petuanan tanah dati di Kecamatan Sirimau Kota Ambon dilaksanakan menurut hukum adat yaitu dihadapan kepala persekutuan adat/pemerintah negeri, dan yang bertindak selaku penjual adalah kepalah dati (tanah yang bearasl dari petuanan dati) disaksikan oleh para saniri negeri/stap pemerintah negeri, pembuatan surat keterangan jual beli/pelepasan hak dibawah tangan sebagai alas hak, permohonan sertipikat diketahui oleh pemerintah negeri dan kepala kecamatan. 10
2. Pelaksanaan jual beli tanah pada masyarakat Kecamatan Sirimau Kota Ambon masih banyak dilakukan dengan jual beli menurut hukum adat atau secara di bawah tangan ada sebagian yang melakukan jual beli dihadapan Notaris/PPAT dengan melakukan penggulangan jual beli. Maksudnya penjual dan pembeli setelah melakukan jual beli dihadapan pemerintah negeri dan disaksikan oleh /saniri negeri untuk kemudian melakukan jual beli lagi dihadapan Notaris/PPAT. SARAN 1. Hendaknya Negara yang memiliki tanggung jawab dalam rangka memberikan pengakuan, perlindungan serta kepastian hukum terhadap hak-hak masyarakat hukum adat menyangkut hak-hak dasar yang dimilikinya khususnya atas tanah-tanah adat. 2. Pemerintah Daerah melalui Kantor Badan Pertanahan Kota/Kabupaten bekerjasama dengan masyarakat adat membuat peta kepemilikan tanah petuanan dati, batas petuanan negeri agar tidak ada tumpang tindih kepemilikan, serta untuk mempermudah pelaksanaan Jual beli tanah oleh anggota masyarakat dan proses pendaftaran pada kantor Pertanahan. DAFTAR PUSTAKA A Suriyaman Mustari Pide, 2007, Dilema Hak Kolektif, Eksistensi &
Realitas Sosialnya Pasca-UUPA. Edisi Pertama, Pelita Pustaka, Jakarta -------------------, 2009, Hukum Adat, Dulu, Kini dan Akang Datang. Edisi Pertama, Pelita Pustaka Jakarta Aminuddin Salle, 2007, Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Kreasi Total Media Yogyakarta ------------, dkk, 2010, Hukum Agraria. As Publishing, Makassar Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas tanah dan Pendaftaranyannya. Sinar Grafika A. Bazar Harahap, 2007, Posisi Tanah Ulayat Menurut Hukum Nasional, Jakarta: CV. Yani’s Ali Afandi, 2004, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Cet ke-4 Jakarta, PT.Rineka Cipta Arie Sukanti Hutagalung, Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan. PT. Raja Grafindo Persada Bachtiar Effendi, 1983, Pengertian Dasar Hukum dan Tujuan Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-peraturan Pelaksanaannya, Alumni Bandung ----------------,Kumpulan tulisan tentang hukum tanah, 1982 Alumni, Bandung. Budi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undan-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Djembatan Jakarta ---------,2002,Menuju penyempurnaan hukum tanah nasional, Trisakti, Jakarta, 11
Brahmana Adhie, dan Nata Menggala, Hasan Basri, 2002, Reformasi Pertanahan, Mandar Maju Bushar Muhammad, 2006, Pokokpokok Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta Hilman Hadikisuma, 1982, Hukum Perjanjian Adat, Alumni Bandung Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta Mahmudji, Sri, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Sri Susyanti, 2010, Bank Tanah, Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan, As Publishing, Makassar Supomo, 1960, Hukum Tanah Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, Soerjono Soekanto, 1990, Faktorfaktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum, Rajawali, Jakarta,. Ter Haar, terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, 1985, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Cetekan Ke8, Pradnya Paramita, Jakarta Tolib Setiady, 2008, Intisari Hukum Adat Indonesia, Alfa Beta, Bandung Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Edisi Pertama, Cetakan Ke-5, Prenada Media Grup, Jakarta ------------------, 2008, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta Bandung -----------------, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Cetakan Ke-1, Prenada Media Grup, Jakarta
Van Dijk, diterjemahkan oleh A.Soehadi, 1979, Pengantar hukum adat Indonesia, Sumur, Bandung. Ziwar Effendi, Hukum Adat AmbonLease, 1987, Cetakan Pertama, Pradnya Paramitra, Jakarta
12