BAB II PENGATURAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH A. Pengertian Pengadaan Tanah 1. Pengertian Pengadaan Tanah Menurut UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Indonesia memiliki daratan (tanah) yang sangat luas dan menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya. Maka tidak heran, setelah merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA. Dalam konstitusi RI (UUD RI 1945) tepatnya Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa: “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
28
Kata “dikuasai” dalam pasal diatas seakan-akan menunjukkan bahwa negara adalah pemiliknya, namun tidak demikian adanya. Pada penjelasan umum UUPA disebutkan bahwa negara (pemerintah) dinyatakan “hanya” menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang tertentu kepada negara sebagai organisasi
28
33 ayat 3.
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bab XIV, Pasal
kekuasaan. Hal ini dirumuskan secara tegas di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menegaskan, kewenangan negara adalah: 29 a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan atau pemeliharaannya. b. Menentukan dan mengatur hak – hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu c. Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, segala
sesuatunya
dengan
tujuan
untuk
mencapai
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan makmur. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan UUPA pada Pasal 6, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan Umum, Angka Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata – mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat bagi baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Kemudian jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 6 dengan Pasal 15 UUPA, maka semua hak atas tanah harus dipelihara baik – baik, agar bertambah
29
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Bab I, Pasal 2 ayat 2.
kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah tidak hanya menjadi beban pemilik atau pemegang hak semata, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah. Dalam UUPA, masalah pengadaan tanah diatur dalam pasal 18 UUPA: ”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.” 30 Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsip – prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat. 2. Pengertian Pengadaan Tanah Menurut UU Nomor 2 Tahun 2012 Tahun 2012 telah hadir Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam bagian menimbang dari undang – undang tersebut disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat Pancasila dan
yang
adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan.
Selanjutnya disebutkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan 30
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Bab II, Pasal 18.
untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil. Dalam UU No. 2 Tahun 2012 khususnya Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa: “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.” 31 3. Pengertian Pengadaan Tanah Menurut Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 Persoalan pengadaan tanah maka dapat dilihat pengertian pengadaan tanah berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 adalah: “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi Ganti Kerugian yang layak dan adil kepada Pihak yang Berhak”. 32 Pihak yang berhak ini adalah pihak yang menguasai atau memiliki Objek Pengadaan Tanah 33, sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015. 4. Pengertian Pengadaan Tanah Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Persoalan pengadaan tanah maka dapat dilihat pengertian pengadaan tanah berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 adalah: “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau 31
Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2012, Bab I, Pasal 1 angka 2. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015, Bab I, Pasal 1 angka 2. 33 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015, Bab I, Pasal 1 angka 3. 32
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman,
dan
benda – benda yang
berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah”. 34 B. Asas – Asas Hukum dan Tujuan dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum 1. Asas – Asas Pengadaan Tanah Menurut Para Ahli a. Asas – Asas Pengadaan Tanah Menurut Boedi Harsono Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka menurut Boedi Harsono terdapat enam azas hukum pengadaan tanah yakni: 1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya; 2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa; 3. Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara para pihak yang bersangkutan; 4. Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa; 5. Baik dalam acara perolehan atas dasar kata sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak;
34
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1 angka 3.
6. Rakyat
yang
diminta
menyerahkan
tanahnya
untuk
proyek
pembangunan berhak untuk memperoleh pengayoman dari pejabat birokrasi. 35
b. Asas – Asas Pengadaan Tanah Menurut Mertokusumo Menurut Mertokusumo, dalam kebijakan pengambil alihan tanah harus bertumpu pada prinsip demokrasi dan menjunjung tinggi HAM (Human Rights) dengan memperhatikan hal – hal berikut: 36 1. Pengambil alihan tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak – hak seseorang yang bersifat fisik maupun nonfisik dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau selama – lamanya; 2. Ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan: hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya, bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan alternatif lokasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang layak, bantuan pemulihan pendapatan agar dicapai keadaan setara dengan keadaan sebelum terjadinya pengambilalihan; 3. Mereka
yang tergusur karena pengambil
alihan
tanah
harus
diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas;
35
Abdurrahman, Opcit, hlm. 32 http://www. e-journal.uajy.ac.id/321/3/2MIH01716.pdf, diakses pada tanggal 10 Oktober 2015, pukul 23.17 wib. 36
4. Untuk memperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan survai dasar & sosial ekonomi; 5. Perlu diterapkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan pengambil alihan dan pemukiman kembali; 6. Cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus ditumbuh kembangkan; 7. Perlu adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam proses pengambilalihan tanah.
c. Asas – Asas Pengadaan Tanah Menurut Sumardjono Setiap rumusan undang-undang agar tercapai tujuan hukumnya (filsufis, sosiologis, dan yuridis), mestinya memiliki prinsip dasar sehingga undang – undang tersebut dirancang tidak terkesan sarat pada kepentingan individu semata. Oleh karena itu pengadaan tanah harus dilaksanakan sesuai dengan asas – asas sebagai berikut: 37 1. Asas kesepakatan yakni seluruh kegiatan pengadaan tanah dan Pemegang Hak Atas Tanah dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan Pemegang Hak Atas Tanah. Kegiatan fisik pembangunan baru dapat dilaksanakan bila telah terjadi kesepakatan antara para pihak dan ganti kerugian telah diserahkan; 2. Asas kemanfaatan, pengadaan tanah diharapkan mendatangkan dampak positif bagi pihak yang memerlukan tanah, masyarakat yang 37
Abdurrahman, Opcit , hlm. 30.
terkena dampak dan masyarakat luas. Manfaat dari hasil kegiatan pembangunan itu harus dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai keseluruhan; 3. Asas keadilan, kepada masyarakat yang terkena dampak diberi ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonomisnya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun nonfisik; 4. Asas kepastian, pengadaan tanah dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundang – undangan sehingga para pihak mengetahui hak dan kewajibannya masing – masing; 5. Asas keterbukaan, dalam proses pengadaan tanah, masyarakat yang terkena dampak berhak memperoleh informasi tentang proyek dan dampaknya, kebijakan ganti kerugian, jadwal pembangunan, rencana pemukiman kembali dan lokasi pengganti bila ada, dan hak masyarakat untuk mencapai keberatan; 6. Asas
keikutsertaan/partisipasi,
peran
serta
seluruh
pemangku
kepentingan dalam setiap tahap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan; 7. Asas kesetaraan, asas yang dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak – pihak yang terkena dampak secara sejajar dalam pengadaan tanah;
8. Minimalisasi dampak dan kelangsungan kesejahteraan sosial ekonomi, dampak negatif pengadaan tanah sedapat mungkin diminimalkan disertai dengan upaya untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yang karena terkena dampak sehingga kegiatan sosial ekonominya tidak mengalami kemunduran. d. Asas – Asas Pengadaan Tanah Menurut UU Nomor 2 Tahun 2012 Mulai dari Kepres Nomor 55 Tahun 1993, hingga Perpres Nomor 65 Tahun 2006 atas perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Tidak ada satupun pencantuman pasal – pasal yang mengatur masalah prinsip – prinsip atau asas yang melandasi sehingga dapat untuk dilakukan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Artinya semua regulasi yang berkaitan dengan masalah pengadaan tanah minim asas. Untuk melindungi hak dan kepentingan dari pemilik tanah yang menjadi korban atas pengadaan tanah walaupun kelak akan digunakan untuk kepentingan umum. Kemudian pada tahun 2012 dikeluarkan salah satu produk hukum yang hendak diundangkan pada era Kabinet Indonesia Bersatu Ke II adalah Undang – Undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Nomor 2 Tahun 2012 yang selanjutnya disingkat dengan UU PTUP. Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 satu – satunya UU yang memuat tentang asas – asas Pengadaan Tanah. Asas – asas pengadaan tanah berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2012, antara lain:
1. Kemanusiaan Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah Pengadaan
Tanah harus memberikan pelindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; 2. Keadilan Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam proses Pengadaan Tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik; 3. Kemanfaatan Yang dimaksud dengan "asas kemanfaatan" adalah hasil Pengadaan Tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara; 4. Kepastian Yang dimaksud dengan "asas kepastian" adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses Pengadaan Tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada Pihak yang berhak untuk mendapatkan Ganti Kerugian yang layak; 5. Keterbukaan Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah bahwa Pengadaan
Tanah
untuk
pembangunan
dilaksanakan
dengan
memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah; 6. Kesepakatan Yang dimaksud dengan "asas kesepakatan" adalah bahwa proses
Pengadaan Tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama; 7. Keikutsertaan Yang dimaksud dengan "asas keikutsertaan" adalah dukungan dalam
penyelenggaraan
Pengadaan
Tanah
melalui
partisipasi
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan; 8. Kesejahteraan Yang dimaksud dengan "asas kesejahteraan" adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan Pihak yang Berhak dan masyarakat secara luas; 9. Keberlanjutan Yang dimaksud dengan "asas keberlanjutan" adalah kegiatan pembangunan
dapat
berlangsung
secara
terus
–
menerus,
berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan; 10. Keselarasan Yang dimaksud dengan "asas keselarasan" adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat.
C. Dasar Hukum dan Perkembangan Kebijakan Peraturan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum 1. Dasar Hukum Pengadaan Tanah
1. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Oleh Negara Sebagai suatu organisasi kekuasaan, negara harus memiliki suatu otoritas yang besar untuk lebih memudahkannya dalam fungsi pengaturannya. Negara juga harus bertindak sejauh mana otoritas terebut dapat digunakan sehingga tidak menyimpang dari keadaan yang seharusnya. Kekuasaan yang paling dominan berada di tangan negara, akan tetapi awal dari proses beradanya kekuasaan pada negara umumnya dimulai dari warga negara. Di Indonesia, kedaulatan rakyat dijamin oleh UUD 1945. Untuk pembangunan yang diselenggarakan untuk kepentingan umum, pemerintah diberi kewenangan untuk mengambil hak masyarakat dalam bentuk pengadaan tanah. Hak dasar dari setiap orang adalah adalah kepemilikan atas tanah. Jaminan mengenai tanah ini, dipertegas dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). 38 Tanah pada dasarnya memiliki 2 arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Tanah sebagai social asset adalah sebagai sarana pengikat kesatuan di kalangan lingkungan sosial untuk kehidupan dan hidup, sedangkan tanah sebagai capital asset adalah sebagai modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi. 39 Penyelenggaraan
kekuasaan
tertinggi
adalah
Presiden.
Dalam
hubungannya dengan pengadaan tanah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
38
Maria S.W.Sumarjono, Tanah Dalam Prefektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Bukum Kompas, Jakarta, 2008, hal. vii 39 Achmad Rubaie, Hukum Pengadaaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007, Hal. 1
memberi kekuasaan yang besar kepada presiden untuk mencabut hak atas tanah dari warganya. Hanya saja kekuasaan negara itu harus berdasarkan hukum dasar dari Negara Republik Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam bentuk apapun suatu negara, dibenarkan untuk mempunyai kekuasaan yang besar atas warganya. Namun kekuasaan yang besar itu selalu harus bersandarkan pada kepentingan yang lebih besar dari warga negara yang bersangkutan. 2. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Adat Bagi masyarakat hukum adat, tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena merupakan satu – satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaan yang lebih menguntungkan. Selain itu, tanah merupakan tempat tinggal, tempat pencaharian, tempat penguburan, bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang – dayang pelindung persekutuan dan para leluhur persekutuan. Dalam kebiasaan pada umumnya yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, ada dua jenis hak atas tanah, yaitu hak perseorangan dan hak persekutuan hukum atas tanah. 40 Para anggota persekutuan hukum berhak untuk mengambil hasil tumbuh – tumbuhan dan binatang liar dari tanah persekutuan hukum tersebut. Selain itu, mereka juga berhak mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah serta semua isi yang ada di atas hak persekutuan hukum sebagai objek.
40
Resika,Penyelesaian Masalah Hak Ulayat dalam Hukum Adat, http://www.academia.edu/5835523/Penyelesaian_Masalah_Hak_Ulayat_Masyarakat_Hukum_Ada http://www.academia.edu/5835523/Penyelesaian_Masalah_Hak_Ulayat_Masyarakat_Hukum_Ada t_Berdasarkan_Peraturan_Menteri_Negara_Agraria, Diakses pada tanggal 14 Oktober 2015, Pukul 00.42 WIB.
Oleh Wignjodipoero diberikan contoh tentang fungsi sosial hak milik sebagai berikut : 1. Warga masyarakat desa yang memiliki rumah dengan pekarangan luas wajib membolehkan tetangganya berjalan melalui pekarangannya; 2. Tiap warga masyarakat desa yang mempunyai sawah atau ladang, harus membolehkan sesama warga lainnya mengembalakan ternaknya di sawah atau ladangnya selama sawah atau ladangnya tersebut masih belum ditanami; 3. Pamong desa berwenang mengambil tanah milik seseorang warganya guna kepentingan desa selama waktu tertentu. Dalam hal desa memerlukan tanah untuk kepentingan umum, ia dapat meminta kembali tanah pertanian, tanah perkarangan, kolam ikan dan sebagainya dari pemiliknya. Tanah yang dalam keadaan demikian disebut dipundut. Ada tiga elemen penting dari perbuatan dipundut tersebut, yaitu : 1. Hak milik atas tanah ada pada orang, dari siapa tanah itu diminta; 2. Yang meminta tanah itu adalah penguasa yang berkedudukan di atasnya; 3. Tanah itu dipakai untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan perseorangan. Penyimpangan atas syarat ketiga ini adalah penyimpangan dari ketentuan dan pelanggaran hukum. 3. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Barat
Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental, lembaga pencabutan hak atas tanah juga diberlakukan, yang mana untuk melaksanakan sistem hukum ini harus melalui tiga instansi yaitu legislatif, eksekutif dan legislatif. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata juga merupakan salah satu bukti bahwa hak milik mempunyai batas – batas penikmatannya, hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 570 KUH Perdata, bahwa : Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan tidak bertentangan dengan undang – undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak – hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas berdasarkan ketentuan – ketentuan perundangan. Jika dicermati ketentuan yang tertuang dalam Pasal 570 KUH Perdata tersebut, walaupun dikatakan bahwa rumusan ketentuannya sangat individualistis namun tetap ada pembatasan penggunaan dan penguasaan hak milik, yaitu: 41 1. Batas-batas yang diadakan oleh peraturan perundang-undangan; 2. Batas kesopanan dalam masyarakat yang tidak boleh mengganggu orang lain; 4. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut UUPA Dalam Pasal 33 UUD 1945 ditetapkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar – 41
Setiawatiiriani, Hak Perseorangan Atas Tanah, https://setiawatiiriani.wordpress.com/2012/11/30/hak-perseorangan-atas-tanah/
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat harus ada penguasaan negara. Isi pasal ini tidak dimaksudkan pemerintah sebagai pemilik, karena sebagi pemilik subjeknya adalah orang dan hak itulah yang merupakan hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah. Walaupun sifatnya terkuat dan terpenuh, sama sekali tidak memberikan wewenang yang berlebihan. Hal ini sejalan dengan alam pikiran hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA. Itulah sebabnya, maka berdasarkan pasal 18 UUPA jika untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak – hak atas tanah dapat dicabut. 5. Peraturan Hukum Mengenai Pengadaan Tanah Hak eigendom adalah hak perseorangan yang terkuat menurut hukum Belanda yang sifatnya mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Untuk mencabut hak eigendom ini harus melalui lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.42 Itulah sebabnya jika hak tanah dengan hak eigendom ini akan dipergunakan oleh pemerintah, walaupun dalam keadaaan yang sangat mendesak, memerlukan waktu yang lama dan jalan yang panjang. Setelah kemerdekaan, dengan berlakunya UUPA maka onteigeningsordonnantie itu dicabut. Alasannya adalah tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan dan jiwa UUPA, yang memandang hak milik atas tanah mempunyai fungsi sosial. Sebagai penggantinya pada tanggal 26 September 1961 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah.
42
Zendrato, Mariati, Undang-Undang Pokok Agraria Sebagai Dasar Hukum Pertanahan di indonesia, Medan, 2012, halaman 21.
Dalam kenyataannya, Undang – Undang Nomor 20 Tahun 1961 dapat dikatakan tidak pernah diberlakukan karena adanya kemungkinan proses untuk mendapatkan tanah menjadi sangat lama dan usaha menghindarkan tindakan – tindakan yang bersifat memaksa. Hal ini dapat terjadi karena untuk dilakukannya pencabutan hak atas tanah disyaratkan beberapa unsur yang amat sulit dilaksanakan. Berhubung dengan keadaan ini ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 bukanlah pelaksanaan dari Undang – Undang Nomor 20 tahun 1961, tetapi adalah pengganti dari ketentuan yang dimuat dalam Bijblad Nomor 11372 Yo.12746 yang mengatur tentang aparat yang pembebasan dan pemberian ganti kerugian atas tanah yang diperlukan yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pembangunan. Dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 tidak diatur prosedur pengadaan tanah untuk swasta, sehingga hal ini dianggap merupakan salah satu kekurangan dari Permendagri Nomor 15 Tahun 1975. Padahal pembangunan bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah, melainkan diharapkan peran aktif dari pihak swasta. Untuk itu, oleh pemerintah dianggap perlu adanya bantuan fasilitas dari pemerintah yang berbentuk jasa-jasa dalam pembebasan tanah rakyat dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial. Pada tanggal 5 April 1976, ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 2 tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta. 43 Pada tanggal 1 Agustus 1985 ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa untuk pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar tidak perlu melalui panitia pembebasan tanah sesuai dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, tetapi cukup dilakukan oleh pimpinan proyek dengan camat yang bersangkutan saja. Dengan berlakunya peraturan-peraturan yang terakhir ini, berlakulah
dualisme
peraturan
dan
sesungguhnya
telah
terjadi
suatu
penyimpangan. Di samping itu karena pelaksanaan pembebasan tanah yang sering melanggar prosedur yang telah ditentukan. Untuk memperbaiki keadaan ini, pada tanggal 17 Juni 1993 ditetapkanlah Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ditetapkannya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sekaligus dengan dicabutnya peraturan-peraturan sebelumnya bertujuan ideal untuk keseimbangan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Tanggal 3 Mei 2005 diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menggantikan Keppres 55 Tahun 1993.
43
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan.
Kepentingan umum yang dimaksud dalam Keppres ini intinya adalah pemerintah dalam melaksanakan pengadaan tanah tidaklah mencari keuntungan. Untuk melakukan penyempurnaan terhadap Perpres 36 Tahun 2005, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 Tentang pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Perpres 65 tahun 2006. Ditetapkannya Perpres 65 Tahun 2006 karena Perpres 36 Tahun 2005 dianggap akan menimbulkan banyak kerugian bagi pemegang hak atas tanah yang terkena proyek pengadaan tanah, misalnya dengan adanya unsur pemaksaan bagi pemegang hak atas tanah dengan adanya pencabutan hak atas tanah di dalam upaya perolehan hak dalam pengadaan tanah. c. Perkembangan
Dasar
Hukum
Peraturan-Peraturan
Tentang
Pencabutan Hak atas Tanah dan Pembebasan Tanah Ada banyak peraturan – peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah berkaitan dengan pengadaan tanah. Berikut berbagai peraturan – peraturan tentang Pengadaan Tanah yang dibuat Pemerintah Pusat atau yang bersifat Nasional: 1. UU Nomor 20 Tahun 1961 (L.N. 1961 No. 28) tanggal 26 September 1961 tentang Pencabutan Hak – Hak atas Tanah dan Benda – Benda yang ada diatasnya. Peraturan ini adalah merupakan pengganti dari onteigeningsordonnatie
Stbl.
1920
No.
574
dan
merupakan
pelaksanaan daripada pasal 18 UUPA dan sekaligus sebagai induk dari
segala peraturan tentang pencabutan hak atas tanah yang berlaku di Indonesia. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 (L.N. 1973 No. 39) tanggal 17 November 1973 tentang acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak – Hak Atas Tanah dan Benda – Benda yang ada diatasnya. Peraturan ini adalah pelaksanaan dari pasal 8 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1961. 3. Instruksi Presiden RI tanggal 17 November No. 9 Tahun 1973 tentang Pencabutan Hak – Hak atas Tanah dan Benda – Benda yang ada diatasnya. Instruksi ini ditujukan kepada Menteri dan Kepada Daerah untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1961. Karena dlam instruksi ini dicantumkan pedoman tentang pengertian “kepentingan umum” maka ia juga serig dipakai sebagai acuan dalam berbagai kegiatan pengambilan tanah walaupun tidak termasuk pencabutan hak senagaimana dimaksud dalam UU No. 20 Taun 1961. 4. Surat Menteri Pertama RI tanggal 30 Desember 1961 No. 32391/61 tentang Peraturan mengenai Panitia Tetap Penaksiran Setempat adalah tindak lanjut dari ketentuan yang dimaksud dalam Bijblad 11372 yang sekarang sudah diganti dengan PMDN 15/1975. 5. Keputusan Menteri Agraria No. SK. XI/1/Ka/1962 tanggal 16 Januari 1962 (T.L.N. No. 2431) tentang Panitia Penaksiran, Ganti Rugi untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya. Adalah merupakan pelaksanaan dari pasal 4 UU No. 20/1961 tentang masalah Panitia Penaksir.
6. Surat Edaran Menteri Agrarua tanggal 27 Januari 1958 No. Ka/34/1/14, tentang Pembelian Tanah untuk Kepentingan Dinas. Ketentuan ini adalah tindak lanjut dari Bijblad 11372 jo. 12746, tentang Pantia Pembebasan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum. 7. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 28 Mei 1969, No.Ba 5/282/5 tentang Acara Membebaskan/Melepaskan Hak Atas Tanah yang akan diminta dengan hal lain. Adalah Penjelasan Dan Penegasan Direktorat Jenderal Agraria Tentang Pengertian Pembebasan Tanah Dan Pelepasan Hak. 8. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 28 Mei 1969 No. Ba 5/282/5 tentang Panitia Pembebasan Tanah Pemerintah. Adalah Penjelasan Dan Penegasan Direktorat Jenderal Agraria Tentang Pengertian Pembebasan Tanah Dan Pelepasan Hak. 9. UU No. 23 Prp/1959 (L.N. 1959 No. 139) tanggal 16 Desember 1959 tentang Pengambilan Tanah untuk Keperluan Penguasa Perang berdasarkan UU Keadaan Bahaya, adalah Peraturan Khusus mengenai pengambilan tanah sehubungan dengan keadaan bahaya. Peraturan ini bersifat khusus, akan tetapi kedudukannya memang masih perlu dipersoalkan mengingat dalam UU No. 20 Tahun 1961 juga perlu diatur tentang pencabutan hak atas tanah dalam keadaan darurat. 10. Surat Edaran Kepala Staf Penguasa Perang Tertinggi tanggal 4 Februari 1961 No. 025/ Peperti/ 1961 tentang Pengambilan Tanah untuk Mendirikan Asrama, Keperluaan Alam, Perumahan, Jalan, dll.
11. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 tanggal 13 Desember 1975 tentang Ketentuan – Ketentuan Mengenai Tata Acara Pembebasan Tanah. Peraturan ini adalah peraturan pokok yang mengatur sekaligus menjadi induk dalam segala peraturan yang mengatur tengang pembebasan tanah yang berlaku di Indonesia sekarang. Yang menggantikan Voorschriften Omtrent Het Verkjigen Van de Vrije Beschiking Over ten behoove Van den Hande Benodigde Grondig Bijblad 11372 jo 12746. 12. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 3 Februari 1975 No. 12/108/12/75 tentang Pelaksanaan Pembebasan Tanah. Ketentuan ini sebagai penjelasan dari berbagai PMDN No. 15/1961. 13. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria Tanggal 28 Februari 1976 No.BTU 2/568/2-76 tentang PMDN No. 15/1975 tentang Ketentuan – Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Hak Atas Tanah. 14. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1976 tanggal 5 April 1976
tentang
Penggunaan
Acara
Pembebasan
Tanah
untuk
Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tnaah untuk kepentingan swasta. Melalui ketentuan ini telah diberlakukan PMDN No. 15/ 1975 yang hanya diberlakukan untuk kepentingan pemerintah juga diberlakukan bagi pembebasan tanah untuk kepentingan swasta. 15. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 19 Oktoer 1976 No. SJ 16/10/41 tentang PMDN No. 15/1975 tentang Ketentuan – Ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah dan PMDN No.2/ 1976 untuk kepentingan pemerintah bagi pembebasan tanah oleh swasta.
16. Keputusan Presiden RI tanggal 6 Januari 1970 No. 2 Tahun 1970 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda – Benda yang ada diatasnya yang terletak dibagian kecamatan Taman Sari Jakarta. Keputusan Presiden ini adalah merupakan satu – satunya Keputusan Presiden yang pernah dikeluarkan dalam rangka Pelaksanaan UU No. 20 Tahun 1961. 17. Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria tanggal 19 Desember 1969 No. BA/12/91/69 tentang Pemberian Hak Atas Tanah yang haknya semula telah dibebaskan oleh pemohon. 18. Instruski Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata tanggal 8 Juni 1978 No. INS/10/VI/1978 tentang Penertiban Terhadap Prosedur/Tata Cara dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan Hankam/ABRI. 19. Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria tanggal 26 Juli 1978 No. BTU. 7/720/7-8
tentang
pelaksanaan
Instruksi
Menhankam
No.
INS/10/VI/1978. 20. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 31 Januari 1978 Nomor Btu. 1/581/1/78 tentang biaya administrasi atau biaya operasional Panitia Pembebasan Tanah berdasarkan Permendagri No. 15 Tahun 1975. 21. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 9 Oktober 1978 nomor Btu. 10/178/10-78 tentang Pembelian Tanah untuk kepentingan pemerintah.
22. Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan dari Menteri Dalam Neger tanggal 1 Mei 1980 No. SE-1.35/DJA/VII./5/80 dan Btu 5/169/5-1980 tentang peningkatan aktivitas Panitia Pembebasan Tanah untuk kepentinga pemerintah. 23. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 7 September 1981 No.11.1/7944/AGR tentang larangan penggunaan personal ABRI untuk pelaksanaan pembebasan tanah/pengosongan tanah milik rakyat. 24. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 22 Desember 1982 No. 593. 82/5030/AGR tentang Pengolahan/Penyiapan pemberian izin prinsip dalam rangka pencadangan dan pembesan tanah untuk keperluan proyek – proyek pembangunan. 25. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria Departemen Keuangan tanggal 13 Juni 1984 No. S-347/PJ.241/1984 tentang PPh atas biaya ganti rugi Pembebasan Tanah dan cara pemotongan PPh pasal 22. 26. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1985 tanggal 1 Agustus 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah untuk proyek pembangunan di wilayah kecamatan. Peraturan ini merupakan peraturan pertama yang diadakan untuk mengadakan peninjauan dan pembaharuan terhadap PMDN No. 15 Tahun 1975. 27. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 2 Agustus 1985 No. 590/4236/Agr tentang Tata Cara Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan.
28. Surat Edaran Direktorat Jenderal Anggaran tanggal 3 Agustus 1985 No. SE-51/A/1985 tentang Pengadaan Tanah sampa dengan 5 Ha untuk proyek Pembangunan. 29. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum tanggal 5 November 1984 No.77 Tahun 1984 dan 431/Kpt/1984 tentang Tata Cara Pelaksanaan Inventarisasi dan Pengukuran dalam Rangka Pembebasan Tanah Proyek Departemen Pekerjaan Umum. 30. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 467/Kpts/1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Pengadaan Tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan dan lingkungan Departemen Pekerjaan Umum. 31. Surat Edaran Kepala BPN tanggal 15 Desember 1990 No. 580-2-574DIII tentang Biaya Administrasi dan Biaya Operasional Panitia Pembebasan Tanah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975. Ketentuan ini adalah merupakan satu peraturan baru yang dikeluarkan mengenai pembeasan tanah setelah terbentuknya BPN tahun 1988. 32. Surat Edaran Kepala BPN tanggal 6 desember 1990 No. 580. 2-5568DIII tentang Pembentukan Tim Pengawasan dan Pengendalian Pembebasan Tanah untuk Keperluan Swasta. 33. Peraturan
Presiden
Nomor
pencabutan Hak Atas Tanah.
36 Tahun 2005 disebutkan tentang
34. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 35. Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. 36. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengadaan
Tanah
untuk
Kepentingan
Umum
dari
Tahapan
Perencanaan, Tahapan Persiapan, Tahapan Pelaksanaan, sampai Penyerahan Hasil. 37. Peraturan Presiden (Prespres) Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Peraturan – peraturan ini perlu diteliti dan dikaji lebih bijaksana dan saksama lagi, baik yang menyangkut tingkat sinkronisasinya secara vertikal dan horizontal, tingkat efektivitas fungsi dan peranannya dalam menunjang pelaksanaan pembangunan dan sebagainya.