Potensi Ekonomi Kakao sebagai Sumber Pendapatan Petani Lya Aklimawati1) 1)
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118
Petani kakao akan tersenyum ketika harga biji kakao menjulang naik. Dukungan jaminan pasar yang masih sangat terbuka, akan kembali menggairahkan petani kakao untuk mendongkrak produksi komoditas ekonomis tersebut. Kondisi harga dan pasar yang bersifat dinamis ini akan memberikan dampak besar terhadap pasang surutnya kesejahteraan petani. Optimalisasi potensi ekonomi kakao berprospek tinggi dalam memperbaiki kehidupan para petani.
P
engembangan komoditas kakao di Indonesia perlu mendapat perhatian besar dari pemerintah, karena kakao termasuk produk ekspor unggulan yang memiliki kontribusi langsung terhadap kesejahteraan petani. Dalam pengembangannya, optimalisasi potensi komoditas kakao perlu diwujudkan mengingat dominasi kepemilikan lahan kakao di dalam negeri berasal dari perkebunan rakyat. Slogan yang sering didengungkan untuk pengembangan kakao rakyat lebih dikenal dengan sebutan “pengembangan kakao berbasis ekonomi rakyat”. Pembangunan pertanian yang ber-
Kakao sebagai sumber pendapatan petani
orientasi ekonomi rakyat ini perlu dikembangkan agar dapat mempersempit kesenjangan sosial ekonomi antara petani dengan pelaku pasar lainnya. Strategi penerapan pengembangan kakao yang berbasis ekonomi rakyat ini dapat diawali dengan mengoptimalkan penggunaan potensi sumber daya yang ada. Peluang pengembangan potensi lahan dan sumber daya produktif masih terbuka lebar, karena hingga saat ini pemanfaatan potensi perkebunan kakao dalam skala nasional
25 | 2 | Juni 2013
25 <<
belum mencapai titik optimal. Total luas areal perkebunan kakao di Indonesia diperkirakan m eni ng k at s eb es ar 2,01% atau m enj adi 1.709.050 ha pada tahun 2012 yang di tahun 2011 luas areal hanya sebesar 1.677.254 ha. Lahan potensial ini tersebar di berbagai wilayah, sehingga peluang peningkatan potensi lahan yang sesuai untuk budidaya kakao masih cukup tersedia. Sebagian besar perkebunan kakao diusahakan oleh rakyat (petani) yang proporsinya
Warta
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA
5.021 3.000
Maluku & Papua
101.877
8.086 54
Sulawesi
993.381 0 0
Kalimantan
44.388
Bali & Nusa Tenggara
53 0 70.652 9.433 27.377 57.658
Jawa
20.576 18.501
Sumatera
348.994 0
75 50 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 80 85 90 95 1. 00 0. .0 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 0. 00 00 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Perkebunan besar swasta
Perkebunan besar negara
Perkebunan rakyat
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012
Luas areal perkebunan kakao (ha) seluruh Indonesia menurut pengusahaannya
mencapai sekitar 94,61% (1.616.949 ha) dengan daerah penghasil terbesar di wilayah Sulawesi. Sentra produksi utama di wilayah tersebut adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Pengusahaan kakao oleh perkebunan besar milik negara hanya sekitar 2,86% (48.932 ha), mayoritas arealnya berada di wilayah Jawa, khususnya Jawa Timur. Sisanya, perkebunan kakao dikelola oleh perkebunan swasta dengan proporsi 2,53% (43.169 ha) yang banyak diusahakan di wilayah Sumatera, terutama Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, dan Lampung. Potensi komoditas kakao patut untuk dilirik karena kakao merupakan komoditas komersial yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani. Secara keseluruhan, petani yang membudidayakan kakao sejumlah 1.566.796 Kepala Keluarga (KK). Mayoritas petani kakao berada di kawasan Timur Indonesia terutama di wilayah Sulawesi yang mencapai sebanyak 792.621 KK (50,59%), selebihnya berada di wilayah Sumatera 354.747 KK (22,64%), Jawa 149.278 KK (9,53%), Bali dan Nusa Tenggara140.412 KK (8,96%), Maluku dan Papua 88.082 KK (5,62%), dan Kalimantan 41.656 KK (2,66%). Pentingnya peran kakao bagi ekonomi rumah tangga petani, memberikan wawasan kepada pemerintah untuk
Warta
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA
lebih memfokuskan pengembangan potensi komoditas tersebut ke arah peningkatan kesejahteraan petani. Dalam rangka mewujudkan perbaikan kesejahteraan petani, upaya yang dapat dilakukan kaitannya dengan pengembangan kakao adalah intensifikasi, ekstensifikasi, peremajaan, rehabilitasi, dan peningkatan kualitas biji kakao. Dalam hal ini pemerintah telah merealisasikan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (GERNAS) m elalui kegiatan perem ajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi kakao selama kurun waktu tahun 2009-2012. Upaya pengembangan tersebut juga perlu ditunjang penyediaan fasilitas agribisnis meliputi informasi pasar, jaminan pasar, permodalan dan hubungan kemitraan dalam pemasaran hasil. Berbagai kegiatan dan fasilitas tersebut tidak terlepas dari keterlibatan pemerintah dan para pemangku kepentingan lain dengan memposisikan petani sebagai subjek pengembangan kakao meskipun tingkat kepemilikan lahan mayoritas petani kakao hanya rata-rata 1,03/ha. Keberhasilan pengembangan komoditas kakao melalui optimalisasi potensi wilayah dan sumber daya lokal akan memberikan dampak positif terhadap kegiatan agribisnis kakao yang berdayasaing dan berkelanjutan. Pada akhirnya, komoditas kakao memiliki potensi besar sebagai
25 | 2 | Juni 2013
>> 26
88.082
Maluku & Papua
792.621
Sulawesi Kalimantan
41.656
Bali & Nusa Tenggara
140.412 149.278
Jawa
354.747
Sumatera 0
50 .0 00
10 0
.0 0
15 0 0
.0 0
20 0 0
.0 0
25 0 0
.0 0
30 0 0
.0 0
35 0 0
.0 0
40 0 0
.0 0
45 0 0
.0 0
50 0 0
.0 0
55 0 0
.0 0
60 0 0
.0 0
65 0 0
.0 0
70 0 0
.0 0
75 0 0
.0 0
80 0 0
.0 0
0
Petani Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012
34.000
360,00
31.850
337,00
29.700
314,00
27.550
291,00
25.400
268,00
23.250
245,00
21.100
222,00
18.950
199,00
16.800
176,00
14.650
153,00
12.500
130,00
Harga Kakao per kg (Cent USD)
Harga Kakao per kg (Rp)
Jumlah petani kakao (kepala keluarga) berdasarkan wilayah pengusahaannya
Bulan Rp per kg
Cent USD per kg
Sumber: Index Mundi dan ICCO, 2013
Pergerakan harga kakao bulanan pada Januari 2005–Mei 2013
25 | 2 | Juni 2013
27 <<
Warta
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA
produk ekonomi sektor perkebunan yang mampu memperkuat posisi ekonomi dan mengangkat taraf hidup para petani. Potensi ekonomi komoditas kakao umumnya terletak pada harga dan peluang pasar. Ditinjau dari sisi harga, faktor inilah yang mampu menarik minat petani untuk menanam dan membudidayakan kakao secara berkelanjutan. Dalam mengusahakan suatu komoditas, para petani menghendaki harga jual yang tinggi sebagai imbalan atas biaya produksi yang telah dikeluarkan. Perkembangan harga kakao di pasar domestik pada dasarnya akan mengikuti pergerakan harga yang terjadi di pasar internasional. Kondisi tersebut dibuktikan secara visual dengan melihat kecenderungan harga yang saling berhimpitan antar kedua pasar. Harga biji kakao pada bulan Januari 2005-Mei 2013 cenderung bergerak naik, yang mana ada kalanya harga biji kakao di pasar domestik lebih tinggi dibanding harga di pasar internasional. Petani biasanya akan memberikan respon terhadap perubahan harga dalam jangka pendek. Respon harga ini yang akan mempengaruhi keputusan
petani dalam memproduksi komoditas kakao. Semakin tinggi harga kakao, maka gairah petani untuk meningkatkan produksinya juga semakin besar. Harga kakao berjangka pada tanggal 19 Juni 2013 untuk kontrak bulan Juli 2013 sebesar USD 2.236/ton, bulan September 2013 USD 2.216/ ton dan bulan Desember 2013 USD 2.225/ton. Harga kakao untuk kontrak bulan Juli 2013 mengalami penurunan sekitar 1,02% dibanding hari sebelumnya yang berkisar USD 2.259/ton. Sebaliknya, harga kakao berjangka untuk kontrak bulan September 2013 meningkat sekitar 0,27% dari USD 2.210/ton dan bulan Desember 2013 meningkat sekitar 0,36% dari USD 2.217/ton. Harga kakao ini diperkirakan cukup stabil untuk beberapa waktu ke depan. Kenaikan harga pada transaksi penjualan biji kakao memberikan kesempatan bagi petani untuk meningkatkan produksi dan mutu biji kakaonya. Peningkatan kualitas biji kakao pada saat harga merambat naik akan sangat menguntungkan, karena harga yang diterima jauh lebih tinggi dan penerimaan yang diperoleh semakin besar. Maka dari itu, petani sebaiknya meningkatkan mutu biji kakao agar memiliki daya saing di pasar dunia.
Kamerun Pantai Gading Ghana Nigeria Brazil Dominika Ekuador Indonesia Malaysia Papua Nugini Sumber: ICCO Annual Reports 2010/2011 dan The W orld Cocoa Economy 2012
Proporsi produksi kakao negara produsen terbesar terhadap total produksi kakao dunia tahun 2011/2012
Warta
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA
25 | 2 | Juni 2013
>> 28
penurunan produksi di Pantai Gading dan Ghana akibat perubahan iklim yang tak menentu. Di sisi lain, konsumsi kakao mengalami pertumbuhan meski tidak terlalu signifikan. Permintaan pasar kakao sebagian besar dari negara-negara di wilayah Eropa dan Amerika. Peluang pasar di wilayah Asia juga semakin terbuka dengan adanya permintaan kakao dari Jepang dan Cina. Penurunan produksi di negara produsen utama kakao dan peningkatan permintaan pasar kakao, dapat dimanfaatkan petani untuk meningkatkan kapasitas produksi biji kakaonya. Petani yang dapat memanfaatkan peluang tersebut akan memperoleh nilai tambah, sehingga pendapatan mereka pun juga semakin meningkat. Sementara itu, keadaan stok kakao dunia periode 2010/11 mengalami surplus hingga 333.000 ton dan berangsur menurun di tahun 2011/12 menjadi 86.000 ton. Menurut data ICCO, ketersediaan pasokan kakao pada musim 2012/13 diperkirakan mengalami defisit sampai dengan 60.000 ton. Selain pengaruh perubahan iklim di
1.260
2.195
1.150
1.880
1.040
1.565
930
1.250
820 /1 11
/1 20
10
/1 20
09
/0 20
08
/0 20
07
/0 20
06
/0 20
05
/0 20
04
/0 20
03
/0 20
02
/0 20
01
/0 20
00
/0 20
99 19
2
2.510
1
1.370
0
2.825
9
1.480
8
3.140
7
1.590
6
3.455
5
1.700
4
3.770
3
1.810
2
4.085
1
1.920
0
4.400
Stok kakao (dalam ribuan ton)
Produksi/konsumsi kakao (dalam ribuan ton)
Dari segi peluang pasar, Indonesia mempunyai kesempatan besar untuk memperluas pangsa pasar kakao dunia dalam memenuhi permintaan pasar dan ketersediaan pasokan biji kakao dunia. Saat ini, kontribusi produksi kakao nasional terhadap produksi kakao dunia tahun 2011/2012 tercatat sebesar 12,53%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi produksi pada tahun 2010/ 2011, yaitu sekitar 10,21%. Dalam perdagangan global, interaksi antara produksi, konsumsi, dan stok biji kakao dunia secara bersama-sama akan mempengaruhi perkembangan harga. Di samping itu, kondisi perekonomian dunia dan permintaan spekulasi juga termasuk faktor yang mempengaruhi naik-turunnya harga biji kakao. Dalam kurun waktu tiga belas tahun terakhir, produksi dan konsumsi kakao dunia cenderung naik dengan ketersediaan pasokan yang relatif berfluktuasi. Pada periode 2011/2012, produksi kakao sedikit menurun dibanding tahun 2010/2011 yang terjadi surplus produksi. Hal ini disebabkan oleh
Tahun Stok
Produksi
Konsumsi
Sumber: ICCO Annual Reports dan The W orld Cocoa Economy: Past and Present
Volume produksi, konsumsi, dan stok biji kakao dunia (dalam ribuan ton) pada tahun 1999/00–2011/2012 25 | 2 | Juni 2013
29 <<
Warta
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA
Afrika Barat, krisis politik yang terjadi di Pantai Gading juga merupakan salah satu penyebab defisit stok kakao dunia. Faktor utama yang berpengaruh pada harga kakao saat ini, diperkirakan berasal dari kondisi pengembangan kakao di Afrika Barat. Apabila produksi kakao lebih tinggi dari konsumsinya dengan stok kakao yang menumpuk, maka harga
kakao akan menurun. Sebaliknya, konsumsi biji kakao yang lebih tinggi dari produksi dan stok kakao yang relatif rendah, maka akan terjadi kenaikan harga. Namun, harga kakao di pasar komoditas ternyata lebih responsif terhadap isu-isu perekonomian global dibandingkan dengan kondisi permintaan dan penawaran kakao dunia.
375
333 287
300
248
Surplus/Devisit (dalam ribuan ton)
225 150
96
86
80
75
19
0 -75
-29
-38
-75
-150
-138
-225 -220
-300
-279 2 11
/1 20
10
/1
1
0 20
09
/1
9 20
08
/0
8 20
07
/0
7 20
20
06
/0
6 /0
5 05 20
20
04
/0 03
/0
4
3 20
20
02
/0
2 /0
/0
01 20
00 20
19
99
/0
1
0
-375
Tahun Surplus
Devisit
Sumber: ICCO Annual Reports dan The W orld Cocoa Economy: Past and Present
Stok kakao dunia pada tahun 1999/00–2011/12
Penutup Komoditas kakao memiliki potensi ekonomi yang cukup besar untuk memperbaiki kesejahteraan hidup para petani. Karakteristik dari komoditas ini yang dapat merangsang minat petani untuk membudidayakannya adalah harga. Adanya jaminan terhadap harga dan didukung kepastian pemasaran hasil, akan menjadikan komoditas kakao semakin dilirik untuk dikembangkan. Fenomena penurunan produksi, peningkatan permintaan pasar dan dibarengi dengan stok kakao yang semakin menurun, memberikan peluang bagi Indonesia untuk menaikkan produksi kakao dalam memenuhi permintaan domestik dan permintaan ekspor. Hal ini akan membawa peningkatan pendapatan negara dan membuka kesempatan kerja di sektor perkebunan. Selanjutnya, keadaan tersebut diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi petani secara langsung dari segi pendapatan rumah tangga.
Warta
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA
25 | 2 | Juni 2013
>> 30