PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DENGAN POLA KEMITRAAN DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH
MUHD NUR SANGADJI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN DISERTASI
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DENGAN POLA KEMITRAAN DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH
MUHD NUR SANGADJI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean Provinsi Sulawesi Tengah”
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2010
Muhd Nur Sangadji NIM P061050031
ABSTRACT MUHD NUR SANGADJI. Community Participation on Management of National Park with Partnership Patern in Togean Island of Central Sulawesi Province. Advisory committee by SUMARDJO, PANG S. ASNGARI and SOENARMO The aim of this research are : (1) to analyze the level of community participation on management of Togean Island National Park, (2) to analyze the factors that influence the community participation, (3) to analyze the correlation of the factors that influence the community participation, and (4) to formulate a strategy of extension to increase the effectiveness of community participation on management of Togean Island National Park. The research was conducted in Togean Island National Park in Central Sulawesi on August to September 2008 and March to April 2009. Five variables are used to measure the community participation by using Structural Equation Model (SEM) and LISREL 8.30. Those variables are internal individu, extension process, external factors, community capacity and community participation. The result of research shown that participation of community is on the low level. Internal characteristic and community capacity have a significant effect on community participation. The independent variables such as internal characteristics, extension process and external factors have positive significant correlation. The strategy that can be used to increase the community participation is to improve the process of extension by giving the opportunity to community for involving on management of Togean Island National Park. This strategy should be supported by government policy to apply consistently, the partnership approach on management of National Park in the local level. Keywords: Participaton, community, Capacity, Extension process and National park.
RINGKASAN MUHD NUR SANGADJI. “Partisipasi Masyarakat Dalam pengelolaan Taman Nasional dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah”. Dibimbing oleh SUMARDJO, PANG S ASNGARI dan SOENARMO Pada bulan Oktober 2004 Kepulauan Togean yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah, ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI melalui SK. No.418/MenhutII/2004 sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Pulau tersebut memiliki luasan 362.605 ha, meliputi sebagian hutan dan perairannya. Secara otomatis penunjukan tersebut mengubah pula status Kepulauan Togean menjadi kawasan pelestarian alam yang fungsi pelestarian dan pemanfaatan harus dilakukan secara seimbang sesuai UU No. 5 tahun 1990. Penetapan TNKT didasari pada potensi sumberdaya alam dengan nilai keragaman hayati, baik untuk obyek wisata maupun kekayaan Flora dan Fauna Endemik Sulawesi. Kepulauan tersebut telah mendapat perhatian pada tingkat nasional, ditunjukkan oleh Bappenas dalam dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (CII, 2005). Kekayaan alam ini sekarang menghadapi ancaman karena berbagai kegiatan ekonomi terutama dengan memanfaatkan teknologi destruktif. Penunjukan TNKT melahirkan reaksi beragam dari berbagai pihak. Sebagian merasa pembentukan TNKT hanya akan menimbulkan konflik. Sebagian lainnya merasa bahwa TNKT bisa menciptakan upaya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik, asal dilakukan secara partisipatif. Mereka yang optimis melihat adanya peluang kerjasama (kemitraan) atau kolaborasi dalam mengelola TNKT. Apalagi hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia. Dari uraian ini muncul pertanyaan, seperti apakah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT saat ini, dan faktor-faktor apakah yang berpengaruh serta bagaimana hubungan faktor-faktor tersebut dalam pengelolaan TNKT ? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan telaah dalam bentuk penelitian. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, (2) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, (3) menganalisis hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, dan (4) merumuskan strategi penyuluhan yang efektif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Penelitian telah dilaksanakan di Taman Nasional Kepulauan Togean pada bulan Agustus sampai dengan September 2008 dan Maret sampai dengan April 2009. Lima peubah digunakan untuk mengukur kapasitas masyarakat dan partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT dengan menggunakan alat analisis Structural Eqution
Model (SEM) yang ditunjang program LISEREL 8.30. Kelima peubah tersebut adalah karakteristik internal, proses penyuluhan, faktor eksternal, kapasitas masyarakat dan partisipasi masyarakat. Proses penyuluhan dan lingkungan ekternal memberikan pengaruh nyata terhadap kapasitas masyarakat, sedangkan karakteristik internal dan kapasitas masyarakat memberikan pengaruh yang nyata terhadap partisipasi masyarakat. Kapasitas masyarakat dalam pengelolaan SDA adalah tergolong tinggi, namun partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT adalah tergolong rendah. Hal ini disebabkan pendekatan penyuluhan yang kurang partisipatif, lebih monolitik dan ”top down” tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperanserta. Pendekatan ini tidak mampu meyakinkan masyarakat tentang manfaat kehadiran taman nasional di daerah mereka. Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1). Partisipasi masyarakat kepulauan Togean dalam pengelolaan TNKT berada pada kategori “rendah” karena minimnya peluang untuk turut serta dalam menentukan status dan pengelolaan kawasan TNKT tempat mereka bermukim, (2). Faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT adalah faktor internal individu dalam hal motivasi dan status sosial serta kapasitas masyarakat dalam hal sikap mental dan kesetaraan. Faktor faktor ini memiliki korelasi dan dipengaruhi secara nyata oleh proses penyuluhan, (3). Ketiga faktor yang berpengaruh pada kapasitas masyarakat dan partisipasi dalam pengelolaan TNKT, yaitu peubah karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan memiliki hubungan yang erat, dan (4). Strategi yang dapat digunakan adalah meningkatan proses penyuluhan yang konvergen dengan memberikan peluang yang luas kepada masyarakat untuk ikut serta dalam proses pengelolaan TNKT. Kata kunci : Partisipasi, komunitas, kapasitas, proses penyuluhan dan taman nasional.
© Hak Cipta adalah milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DENGAN POLA KEMITRAAN DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH
MUHD NUR SANGADJI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Fakultas Ekologi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Disertasi
: Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean Provinsi Sulawesi Tengah
Nama
: Muhd Nur Sangadji
NIM
: P061050031
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS. K e t u a
Prof. Dr. Pang S. Asngari, M.Ed Anggota
Dr. Soenarmo, H.Soewito, M.Ed Anggota
Diketahui Koordinator Program Mayor,
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan ridho-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus
2008 ini ialah partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi (Taman Nasional). Untuk
berbagai hal
yang amat berarti dalam penyelesaian studi dan
penulisan disertasi ini, penulis memperoleh banyak bimbingan dan masukan dari banyak pihak. Atas segalanya, penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S, Prof. Dr. Pang S. Asngari dan Dr. Soenarmo H Soewito yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan dan penulisan disertasi ini. Penghargaan yang sama juga disampaikan kepada semua guru-guru di IPB khusunya
kepada Prof
Dr Margono Slamet yang pikiran dan teorinya tentang
partisipasi yang penulis dapatkan selama mengikuti perkuliahan beliau, telah menjadi inspirasi bagi penelitian ini. Kepada Prof Dr Khairil Anwar, Prof Dr Djoko Susanto, Dr Suryo Adiwibowo dan Dr Siti Amanah, penulis sampaikan terima kasih atas dukungannya selama ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr Sudirmaan Saad dan Dr Basita Ginting Sugihen, MA atas kesediaan menjadi penguji ujian terbuka ditengah kesibukan beliau.. Penulis juga amat berterima kasih kepada
Dr Aji
Hermawan dan Teti Haryati, M.Si. yang sering penulis bertanya dan berdiskusi. Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Dirjen Dikti atas dukungan beasiswa BPPS serta program sandwich di Australia. Ucapan yang sama disampaikan kepada Dr Mulyoto Pangestu atas kesediaan beliau untuk membimbing selama mengikuti program sanwich di Monash University, Melbourne Australia. Kepada Rektor Universitas Tadulako, Gubernur dan Wagub Sulteng, Walikota, Wawali dan ketua Bappeda kota Palu, Bupati dan ketua DPRD Parigi Moutong, Bupati dan Ketua Bappeda Tojo Una-Una, terima kasih atas dukungan yang telah diberikan. Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor IPB, Dekan
Pascasarjana, Dekan FEMA dan Koordinator mayor PPN. Terima kasih yang sama disampaikan kapada Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) dan Yayasan Damandiri atas bantuan beasiswa yang amat berguna. Kepada mereka yang berjasa ikut melapangkan jalan bagi terselanggaranya penelitian ini antara lain: Dekan Fakultas Partanian Universitas Tadulako, Ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) dan Ketua Pusat Penelitian Pendugaan Konflik (P4K) Universitas Tadulako, penulis sampaikan terima kasih. Terima kasih juga disampaikan kepada mereka yang secara individu memberikan berkontribusi yang sangat berarti: Kanda Taslim DP dan Kanda Dahlan H. Hasan yang membuka jalan menuju pulau Togean untuk penelitian ini. Kepada para sahabat, Abd Wahid, Tomy Tampubolon, Muzakir Tawil, Ramadanil, Irwan Lakani, Zulkifli, Nur Edy dan Cristo Hutabarat serta anggota CII Palu, bantuannya terlalu berarti. Ucapan terimakasih dikhususkan kepada Desi, Kodir dan Syafruddin selaku staf
PPN-IPB atas sokongan administratif yang sangat penting. Kepada kawan-
kawan di PPN terutama Rozi, George, Mutu, Wignyo, Agus, Mappa, Hatta, Ikbal, Johanes, Puji, Yumi dan Yunita, terima kasih atas persahabatan selama ini. Juga kepada kawan-kawan dari Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulteng (HIMPAST) dan Forum Mahasiswa Pascasarjana (WACANA) IPB atas kekompakan selama ini. Secara khusus penulis mengungkapan rasa terima kasih kepada almarhum Ayahanda KA Sangadji, pamanda Hasan Sangadji, Ali Sangadji dan Maulud Sangadji, Bunda Hj Hadidjah A Rahman, Bunda Hj. Mahani Abdullah dan Bunda Hj Sarlota Lapanjang, istri Rostiati Dg Rahmatu dan anak Moh Reza Sangadji serta saudara (adik dan kakak), atas segala dukungan dan doa serta kasih sayangnya. Akhirnya, kepada
masyarakat kepulauan Togean khususnya Risman, Papa
Sup dan tiga kepala desa di lokasi penelitian yang cerita, ungkapan, harapan, kegelisahan dan keluh kesahnya menjelma menjadi lembaran disertasi ini, penulis haturkan terima kasih yang tak ternilai.
Semogalah karya ini bermanfaat adanya.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tidore Halmahera Tengah-Maluku Utara pada tanggal 08 September 1962 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Hasanuddin Sangadji dan Bunda Hj. Hadidjah A. Rahman. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Magister atau DEA L’home et Nature (Ekologi Manusia) Program Pascasarjana Universitas Lyon 3 Perancis dan selesai pada tahun 1997.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor diperoleh
tahun 2005 pada Program Pascasarjana IPB, Fakultas Ekologi Manusia, Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan dengan fokus disertasi penyuluhan konservasi. Penulis pernah mengikuti Training Managemen Kolaboratif/Kemitraan di Jepang selama satu bulan pada tahun 2004, Sandwich program di Monash University Australia tentang konservasi dan komunitas selama lebih tiga bulan pada tahun 20082009 dan mempresentasikan makalah pada Internasional Round Table Discussion di dua universitas di Malaysia (UPM dan IIUM) pada tahun 2009. Sejak tahun 1990, penulis bertugas sebagai dosen tetap pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Sebelumnya, penulis pernah bekerja sebagai asisten manager pada perkebunan kelapa sawit selama 1989–1991. Tahun 2002–2003 dipercayakan
sebagai
Urban
Management
Advisory
(UMA)-Program
City
Development Strategy (CDS)–UNDP. Tahun 2003–2004 dipercaya selaku Sekretaris Pokja Malino untuk Resolusi Konflik dan Perdamaian Poso. Tahun 2003 ditunjuk sebagai Ketua Tim Seleksi KPU Kota Palu. Tahun 2003 (tiga Bulan) menjadi konsultan Urban Sector Development Reform Program (USDRP)-World Bank. Tahun 2004 Kontak Person pada Program Community Empowerment, BAPPENAS – JICA-Jepang. Tahun 2004 (tiga bulan) menjadi tenaga ahli pada program UNDP tentang “Capacity Building” pemerintah Maluku Utara.
Penulis aktif menulis baik buku, jurnal, maupun artikel. Beberapa buku yang sudah dan siap terbit antara lain; Agriculture Itinerante : Un Cas de L’Interface Home-Nature, Gagasan dari kampus Kaktus, Kajian Lingkungan hidup: Sebuah Pengantar, Kumpulan Esay : menggagas Partisipasi, Palu: Kota Dua Wajah, Di Kaki Menara Eiffel, Helai-Helai Daun Sakura, Catatan Pagi: 3 Tahun Merangkai Cerita di Kampus IPB, Menoreh Asa di Punggung Bumi Tadulako, Catatan Sore di Negeri Kanguru, dan Palajaran Dari Negeri Jiran. Sejumlah aritkel jurnal yang ditulis selama kuliah S3 antara lain: tentang partisipasi dan pemberdayaan di jurnal “Agroculture” Himpast Bogor dan jurnal Forhimapast Bandung. Dua judul dari penelitian disertasi akan diterbitkan pada Jurnal Penyuluhan PPN IPB. Beberapa artikel yang ditulis dan telah terbit di berbagai media masa antara lain : “The Silen Voice”: Makna Keajaiban Demokrasi, Bom Palu dan Bahaya “Civil Disobidiences.” “Good Governance” : Teori ataukah Realita, Ketika Pohon bercabang Partai, Kuncinya Ternyata adalah Komunikasi, Pemimpin Amanah, Mencari Rektor yang Berkualitas, Mengukur Leadership dari Bencana, Indonesia Menangis, Sumber daya Air dan Hutan, Pembangunanan Partisiptif, Pariwisata Kita, Amin Rais dan Makna Pengakuan Dosa, Reshafel Kabinet dan Logika Publik, Pemberdayaan dan Resolusi Konflik, Palu: “Northern Gate Indonesia,” Pelajaran Dari Negeri yang musnah, Dll, sejumlah lebih kurang 50 an artikel Pengalaman Organisasi Intra kampus semenjak S1 sebagai Ketua umum Senat Mahasiswa dan ekstra kampus sebagai ketua umum HMI Cabang Palu. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) dan Pusat Penelitian Pengkajian dan Pendugaan Konflik (P4K) Universitas Tadulako.
Selama studi di IPB, bersama
kawan-kawan membidani lahirnya NGO di dalam kampus “Community Development Institute (CDI)” dan menjadi ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana PPN-IPB 20062007 serta penasehat Forum Wacana IPB dan Forum Wacana Indonesia periode 2008-2010.
Penulis juga dipercayakan untuk memimpin organisasi volunter
(paguyuban) mahasiswa pascasarjana asal Sulawesi Tengah (HIMPAST) di Bogor.
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM Dr. Ir. Suryo Adiwibowo, MS.
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Sudirman Saad, M.Hum. Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………........
xiii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….
xiv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..
xv
PENDAHULUAN………………………………………….…………….
1
Latar Belakang ………………………………………………… Masalah Penelitian …………………………………………….. Tujuan Penelitian………............................................................. Kegunaan Penelitian ………………………………….……….. Pengertian Konsep dan Istilah………………………………….
1 4 5 5 5
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….
8
Pengertian Partisipasi............................... ................................. Bentuk dan Derajat Partisipasi.................................................. Konsep Kemitraan..................................................................... Partisipasi dan Kemitraan Pembangunan Masyarakat.............. Implementasi Konsep Partisipasi.............................................. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi................. Karakteristik Individu............................................................ Proses Penyuluhan................................................................. Faktor Lingkungan................................................................. Kapasitas Individu Masyarakat.................................…....... Partisipasi Pengelolaan Taman Nasional ................................... Pengertian Taman Nasional............................ ...................... Partisipasi dan Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional......
8 10 11 13 16 18 19 26 36 43 49 49 51
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS..............................................
55
Kerangka Berpikir........................................................................ Hipotesis Penelitian.....................................................................
55 64
METODE PENELITIAN............................................................................
65
Rancangan Penelitian.................................................................. Lokasi Penelitian.......................................................................... Populasi dan Sampel.................................................................... Instrumentasi............................................................................... Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah............................ Analisis Data ...............................................................................
65 65 66 68 69 75
HASIL
DAN PEMBAHASAN...............................................................
81
Gambaran Umum Lokasi Penelitian...........................................
81
Profil Sosial, Ekonomi dan Budaya Desa Sampel……………........
86
Karakteristik Demografi Responden ...................................................
90
Rataan Skor peubah Penelitian.................................................
94
Analisis Pendugaan Parameter Model Kapasitas dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT....................................
104
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kapasitas Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT.........................................................
110
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi Masyarakat alam Pengelolaan TNKT............................................................ Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh................................
113
Strategi Penyuluhan....................................................................
121
KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................
131
Kesimpulan..................................................................................
131
Saran............................................................................................
132
PUSTAKA.........................................................................................
133
LAMPIRAN...........................................................................................................
144
DAFTAR
120
DAFTAR TABEL Halaman 1. Hubungan antara metode penyuluhan, tahap-tahap ................. .........
32
2. Paradigma Partisipasi Masyarakat melalui Pola Kemitraan..............
59
3. Paradigma Kapasitas Individu Masyarakat, Rendah dan Tinggi........
60
4 Paradigma Penyuluhan Partisipatif dan non partisipatif....................
61
5. Rincian Sampel Penelitian di Wilayah Penelitian..............................
68
6. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Instrument Penelitian...................
69
7. Indikator dan pengukuran karakteristik individu masyarakat............
71
8. Indikator dan pengukuran proses penyuluhan....................................
72
9. Indikator dan pengukuran Karakteristik Lingkungan Sosial..............
73
10. Indikator dan pengukuran Kapasitas Individu Masyarakat.............
74
11. Indikator dan pengukuran Partisipasi Masyarakat .........................
75
12 Rancangan pengujian model penelitian partisipasi masyarakat.......
79
13. Peubah dan sub peubah model persamaan struktural.......................
80
14. Sebaran Prosentase Jenis Kelamin Responden.............................
91
15 Sebaran Prosentase Tingkat Pendidikan Responden...................
91
16 Sebaran Prosentase Jenis Pekerjaan Responden...........................
92
17. Sebaran Prosentase Tingkat Usia Responden..............................
93
18. Sebaran Prosentase Lama Tinggal Responden..............................
93
19. Rataan Skor Karakteristik Individu..................................................
94
20. Rataan Skor Proses Penyuluhan.......................................................
96
21. Rataan Skor Faktor Lingkungan ......................................................
98
22. Rataan Skor Kapasitas Masyarakat .................................................
100
23 Rataan Skor Partisipasi Masyarakat .................................................
102
24. Koefisien dan t-hitung pengaruh karakteristik internal, ..................
106
25. Koefisien dan t-hitung pengaruh karakteristik internal, proses ......
108
26. Arah, koefisien dan t-hitung dari hubungan peubah .......................
109
27. Uji Kecocokan Model Konstruk Karakteristik Internal ...................
146
28. Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Karakteristik Internal.......... 29. Uji Kecocokan Model Konstruk Proses Penyuluhan........................ 30. Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Proses Penyuluhan..............
147 148 148
31. Uji Kecocokan Model Faktor Lingkungan.......................................
150
32 Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Faktor Lingkungan..............
150
33. Hasil Uji Kecocokan Model Konstruk Kapasitas Masyarakat ........
152
34. Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Konstruk Kapasitas ........
152
35. Hasil Uji Kecocokan Model Konstruk Partisipasi............................
154
36. Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Konstruk Partisipasi ............
155
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kategori atau susunan dari bentuk Co-manajemen .........................
53
2. Alur hubungan antar peubah penelitian..........................................
63
3. Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian ..................
77
4. Peta Administrasi Kepulauan Togean..............................................
81
5. Segi Tiga Terumbu Karang............................................................
83
6. Estimasi parameter model struktural partisipasi masyarakat...........
105
7. Statistik t-hitung parameter model struktural partisipasi..................
106
8. Strategi Pengembangan Partisipasi Melalui Proses Penyuluhan....
124
9. Path Diagram Nilai-t Karakteristik Internal....................................
145
10 Path Diagram Standardized Loading Factor Karakteristik Internal
145
11. Path Diagram Nilai-t Proses Penyuluhan ……………………….
147
12. Path Diagram Standardized Loading Factor Proses Penyuluhan..
147
13. Path Diagram Nilai-t Faktor Lingkungan Modifikasi................
149
14. Path Diagram Standardized Loading Factor Faktor Lingkungan
149
15. Path Diagram Nilai-t Kapasitas Masyarakat Modifikasi.............
151
16. Path Diagram Standardized Loading Factor Kapasitas ………..
151
17.
153
Path Diagram Nilai-t Partisipasi Modifikasi.............................
18. Path Diagram Standardized Loading Factor Partisipasi ……….
153
19. Potensi ekonomi di kepulauan Togean..........................................
178
20. Panorama indah di kepulauan Togean ..........................................
179
21. Bentuk partisipasi masyarakat di kepualaun Togean......................
180
22. Infra struktur di kepulauan Togean………………………………
181
23. Potensi kecerdasan anak-anak di kepulauan Togean……………..
182
24. Beberapa bentuk interaksi dengan stakeholder…………………..
183
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. Analisis Model Pengukuran ( Confirmatory Factor Analysis/CFA)................................................................................
144
2. Output lisrel parameter model struktural partisipasi.....................
156
3. Hasil Uji validitas dan reabilitas ....................................................
169
4. Foto-foto lokasi dan proses penelitian............................................
178
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversity jenis hayati dan mega center keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman ekosistem di
Indonesia juga sangat mengagumkan, ditunjukkan dengan adanya kurang lebih 50 tipe ekosistem alam dan termasuk salah satu dari tiga negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia (Ramade, 1987).
Indonesia juga dikenal memiliki wilayah
terumbu karang terluas di kawasan Indo-Malaya dan bersama Philipina, Papua Nugini dan Australia dijuluki segitiga terumbu karang, dengan keanekaragaman jenis ikan hias laut terbesar dibanding Negara lain (Herminto, 1996). Kondisi sumberdaya alam seperti diungkapkan di atas, dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami kerusakan yang semakin meluas. Antara tahun 1976 dan 1980, kerusakan hutan yang terjadi diperkirakan seluas 550.000 ha. Angka ini berkembang menjadi rata-rata 1,6 juta hingga tahun 2000, bahkan data yang dikemukakan Alikodra dan Syaukani (2004), sudah mencapai 3,8 juta ha per tahun. Mekipun data pada 2007 terjadi penurunan menjadi 2,8 juta partahun, namun total kerusakan telah mencapai 59 juta hektar dari luas hutan Indonesia sebesar 120,3 juta hektar (Purnama, 2009).
Butler
(Mahmuddin, 2009)
menyebutkan antara tahun 1990–2005, Indonesia kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan hujan tropis, termasuk 21,7 persen hutan perawan. Di sektor kelautan, saat ini terdapat 5,30 % terumbu karang di Indonesia yang masih dalam keadaan sangat baik ; 21,70 % dalam keadaan baik ; 33,50 % sedang dan 39, 50 % rusak. Padahal setiap tahun diperoleh 9 juta ton hasil laut dari terumbu karang dan angka ini merupakan 23 % perolehan hasil laut dunia (Herminto, 1996). Kerusakan sumberdaya hutan selain berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem sekitar hutan juga terhadap ekosistem laut. Kerusakan ekosistem hutan dan laut secara langsung akan mengancam kehidupan manusia baik sekarang maupun yang akan datang.
Berbagai bencana yang
menimpa bangsa Indonesia akhir-akhir ini merupakan bukti dampak langsung
2
maupun tidak langsung dari kerusakan tersebut. Bila hal ini tidak segera disadari dan ditangani secara serius, akan menjadi malapetaka dimudian hari. Salah satu upaya mencegah terjadinya kerusakan adalah dengan menetapkan kawasan konservasi dalam bentuk Taman Nasional.
Menurut
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Selain itu, Taman Nasional berfungsi: (1) sebagai kawasan perlindungan, (2) kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pada bulan Oktober 2004 Kepulauan Togean yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah,
telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI melalui SK.
No.418/Menhut-II/2004 sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Pulau tersebut memiliki luasan 362.605 ha terdiri dari hutan dan perairan. Secara otomatis penunjukan tersebut mengubah status Kepulauan Togean menjadi kawasan pelestarian alam yang fungsi pelestarian dan pemanfaatan harus dilakukan secara seimbang sesuai UU No. 5 tahun 1990. Penetapan TNKT didasari pada potensi sumberdaya alam dengan nilai keragaman hayati yang sangat besar, baik untuk obyek wisata maupun kekayaan berbagai jenis Flora dan Fauna Endemik Sulawesi yang perlu dilestarikan. Kepulauan tersebut telah mendapat perhatian pada tingkat nasional, ditunjukkan oleh Bappenas dalam dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (CII, 2005). Daya tarik ini menjadi lebih besar lagi dengan kekayaan kemajemukan budaya penduduk dan pola hidup, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Kekayaan alam ini sekarang menghadapi ancaman karena berbagai
kegiatan ekonomi berskala besar maupun kecil terutama dengan memanfaatkan teknologi destruktif yang merusak sumberdaya alam. Namun, penunjukan TNKT melahirkan reaksi beragam dari berbagai pihak. Sebagian merasa pesimis atas pembentukan TNKT karena hanya akan
3
menimbulkan konflik, baik di tingkat masyarakat maupun kebijakan. Hal ini berdasarkan pengalaman pada beberapa taman nasional di Indonesia, termasuk yang terdekat Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang juga terletak di Sulawesi Tengah. Oleh karenanya, sikap penolakan sempat muncul sebagai reaksi atas kekhawatiran tersebut. Sebagian lainnya merasa bahwa TNKT bisa menciptakan upaya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik, asal dilakukan secara bersama dan partisipatif. Mereka yang optimis melihat adanya peluang kerjasama (kemitraan) atau kolaborasi dalam mengelola TNKT. Apalagi hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia. Taman Nasional Kepulauan Togean dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku bangsa antara lain, Suku Bobongko, Togean, Saluan dan Suku Bajau. Selain itu, juga terdapat suku-suku yang relatif baru seperti Ta’a-Ampana, Gorontalo, Bugis, Makasar, Jawa, Kaili-Palu.
Kehadiran berbagai etnik
tersebut telah
menambah kaya khasanah kebudayaan dan tradisi di Kepulauan Togean dan mempengaruhi pola interaksi baik interen masyarakat maupun antara masyarakat dengan lingkungan (SDA). Interaksi tersebut pada beberapa tahun terakhir ini memperlihatkan meningkatnya
perkembangan
yang
mengkuatirkan,
ditandai
dengan
ekploitasi SDA dengan cara yang bertentangan dengan prinsip
konservasi akibat desakan kebutuhan. Berdasarkan pengalaman dari banyak taman nasional di indonesia, terdapat berbagai cara ekploitasi SDA di antaranya penyerobotan kawasan, perambahan dan pendudukan seperti yang terjadi di TNLL. Sejak Juli 2001 ada sekitar 2060 ha Kawasan TNLL dirambah dan diduduki oleh 1030 KK yang berasal dari beberapa desa yang ada di sekitarnya (Laban, 2002). Penyerobotan kawasan taman nasional seperti yang dilansir Mappatoba (2004), diakibatkan oleh: (1) kurang perhatian pada proses melibatkan masyarakat (partisipasi) dalam manajemen dan pengambilan keputusan berkait taman nasional, (2) desakan kebutuhan bagi terutama masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional, menyangkut
lahan pertanian, kayu bakar, bahan
4
bangunan, tanaman obat, dan areal perburuan. Tentang kebutuhan lahan, Sangadji (1997) mengungkapkan bahwa tradisi berladang masyarakat lokal yang mensyaratkan luasan lahan dan jumlah populasi
tertentu untuk siklus rotasi,
berbentur dengan konsesi lahan oleh berbagai pihak untuk tujuan ekonomi maupun konservasi. Guna
menjembatani hal ini,
pengelolaan taman nasional sebaiknya
melibatkan secara aktif masyarakat lokal agar kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Namun, kesuksesan pengelolaan ini akan sangat dipengaruhi oleh partisipasi dan kemitraan semua pihak yang dalam penelitian ini difokuskan pada masyarakat. Konsep partisipasi dan kemitraan sesungguhnya sudah banyak dikaji namun dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi masih relatif baru. Sejak pemerintah berupaya merubah paradigma pengelolaan kawasan konservasi dengan keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004, belum ada kawasan konservasi yang dapat dijadikan contoh. Penelitian tentang partisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi pasca perubahan paradigma ini pun relatif belum banyak.
Pola pengelolaan ini diharapkan dapat mendukung tujuan
konservasi yang berintikan perlindungan, kelestarian dan pemanfaatan SDA baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat terutama di sekitar kawasan TNKT. Masalah Penelitian Secara khusus masalah yang ditelaah sebagai pertanyaan penelitian (question research) ialah: (1)
Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat saat ini dalam pengelolaan TNKT?
(2)
Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT?
(3)
Bagaimana hubungan antara faktor-faktor
yang berpengaruh pada
partisipasi?, dan (4)
Bagaimana alternatif desain strategi
penyuluhan yang efektif
mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT ?
untuk
5
Tujuan Penelitian (1)
Menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
(2)
Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
(3)
Menganalisis hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, dan
(4)
Merumuskan strategi penyuluhan yang efektif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara prktis sebagai berikut : (1)
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di kawasan konservasi (taman nasional).
(2)
Secara praktis, penelitian pemikiran
bagi
ini
pengambil
diharapkan
kebijakan
dalam
memberikan kontribusi merumuskan
strategi
penyuluhan yang tepat untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari terutama yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Pengertian Baberapa Konsep dan Istilah Beberapa pengertian dari sejumlah kata kunci dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; •
Partisipasi memiliki konotasi yang beda-beda dalam pandangan para ahli. Mubyarto (1984) mendefinisikan partisipasi sebagai kesediaan membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan diri sendiri.
Slamet (2003) memaknai partisipasi
masyarakat dalam pembangunan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikamati hasil-hasil pembangunan.
6
•
Kemitraan memiliki kata dasar ”mitra” yang dapat diartikan sebagai “teman” atau “kawan.” Padanan kata kemitraan dalam bahasa Inggeris adalah “friendship” atau “partnership.” Dalam kaitan dengan pengelolaan Taman Nasional, kemitraan dapat dimaknai sebagai Pengelolaan bersama atau Co-management, berintikan partisipasi, komitmen dan kerja sama dari seluruh stakeholders (Aliadi, et al, 2002).
•
Individu berasal dari bahasa latin yaitu individum yang berarti satuan terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Merujuk pada Siti Amanah (2006), Individu merupakan unit terkecil dari masyarakat dan dalam konsep sosiologi merupakan akumulasi pengalaman, pandangan, tindakan seseorang dan membentuk ciri-ciri pribadi. Ketika berhadapan dengan suatu persoalan, individu akan melewati tiga fase yaitu ; fase persepsi, fase penafsiran dan fase pengambilan keputusan.
•
Masyarakat manurut Cristenson dkk. (Siti Amanah, 2006), orang-orang yang hidup dalam batas geografis, integrasi sosial, memiliki ikatan psikologis dan ikatan dengan tempat tinggal.
Soekanto (1983)
mengemukakan bahwa masyarakat memiliki ciri hidup bersama, berintegrasi dan bekerja sama untuk waktu yang lama dan sadar sebagai suatu kesatuan dan satu sistem hidup bersama. Waren dan Cottrel (Ndraha, 1990) membedakan masyarakat (society) dan komunitas (community). Komunitas adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana seluruh anggotanya berinteraksi satu sama lain, mempunyai pembagian peran dan status yang jelas. Masyarakat adalah sekumpulan orang yang mendiami wilayah tertentu dan anggotanya saling berinteraksi namun bisa juga tidak saling mengenal, masing-masing anggotanya menduduki status dan peranan tertentu yang sudah disediakan. •
Stakeholder adalah pihak-pihak yang terkait dengan suatu. Bessete (2004) mendefinisikan stekeholder sebagai orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Individu dan institusi yang diidentifikasi sebagai stakeholder yang pro dan kontra dengan suatu program/Proyek
7
dikelompokkan
kedalam
stakeholder
utama
(primer),
stakeholder
pendukung (sekunder), dan stakeholder kunci (Ramirez, 1999). •
Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development, didefinisikan berdasarkan
Laporan World Commission on Environment and
Development (WCED) tahun 1987, UN (PBB) berjudul “Our Common Future” (Moffat et al, 2001) adalah pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. •
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Selain itu taman nasional berfungsi: (1) sebagai
kawasan
perlindungan,
(2)
sebagai
kawasan
untuk
mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
8
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Partisipasi Tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan pembangunan nasional amat ditentukan oleh partisipasi masyarakat, bahkan menurut Roger (1994), pembangunan itu sendiri adalah partisipasi. Pendapat ini juga didukung oleh Slamet (2003), yang mengemukakan bahwa indikator keberhasilan pembangunan bisa diukur dari ada tidaknya partisipasi masyarakat. Sudah lama esensi partisipasi dijadikan
indikator pembangunan.
Mengenai hal ini, Siti Amanah (2006) mengemukakan bahwa partisipasi menjadi indikator dari istilah
pembangunan masyarakat yang digunakan
pertama kali pada tahun 1930 di AS dan Inggris. Pernyataan-pernyataan ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jaringan PBB untuk pembangunan pedesaan dan keamanan pangan sebagai berikut : “... describes participation as one of the ends as well as one of the means of development.” Menurut Roger dan Shoemaker (1971), partisipasi adalah “the degree in to which of a social system are involved in the decision making process.” Oleh Davis dkk., (1989), partisipasi dianggap sebagai keterlibatan mental dan emosional dalam situasi kelompok yang mendorong mereka berkontribusi kepada tujuan dan berbagi tanggung jawab bagi pencapaian tujuan itu. Bryant dan White (Ndraha, 1990) membagi partisipasi atas dua macam : (1), partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan, dinamakan partisipasi “horizontal.” (2). Partisipasi oleh bawahan dan atasan, antara klien dan patron, atau antara masyarakat
dengan pemerintah, diberi nama partisipasi
“vertical.” Pada sisi lain, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik seperti pemberian suara dalam pemilihan, kampanye dan sebagainya, dikenal sebagai partisipasi dalam proses politik. Keterlibatan dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, disebut partisipasi dalam proses administratif. PBB sebagaimana dikutip Slamet (2003), mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari penduduk pada tingkatan yang berbeda : (a) dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan dan
9
pengalokasian sumber daya untuk mencapai tujuan tersebut; (b) pelaksanaan program secara sukarela, dan. (c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program. Asngari (2003) mengiktiarkan makna Partisipasi atas enam point: (1) Partisipasi dalam pengambilan keputusan, (2) Partisipasi dalam pengawasan, (3) Partisipasi mendapatkan manfaat dan penghargaan, (4) Partisipasi sebagai proses pemberdayaan (empowerment), (5) Partisipasi bermakna kerja kemitraan (partnership), (6) Partisipasi akibat pengaruh stakeholder dalam pengambilan keputusan, pengawasan dan penggunaan “resource” yang bermanfaat. Resume tersebut sejalan dengan uraian Yadov (Madrie, 1986) sebagai berikut : “…..people’s involvement has to be understood in the following foursense ; (1) participation ini decision making (2) participation in implementation of development program and projects (3) participation in monitoring and evaluation of development program and projects (4) participation in sharing the benefit of development (Yadov,, 1980). Dalam dunia penyuluhan pertanian, van den Ban dan Hawkins (1999), merumuskan partisipasi sebagai berikut: (1)
sikap kerja sama petani dalam
program penyuluhan dengan cara menghadiri rapat, mendemonstrasikan metoda baru, mengajukan pertanyaan pada penyuluh dll., (2) pengorganisasian kegiatan penyuluhan oleh
kelompok petani, 3) menyediakan informasi
untuk
merencanakan program penyuluhan yang efektif, (4) pengambilan keputusan mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan, metoda, dan dalam evaluasi kegiatan, (5) petani atau organisasinya membayar seluruh atau sebagian biaya yang dibutuhkan untuk jasa penyuluhan, (6) supervisi agen penyuluhan oleh organisasi petani yang mempekerjakanya. Menurut Asngari (2008),
berdasarkan area-area pembangunan maka
partisipasi dapat dikelompokkan dalam dua pilahan yaitu: (1) Partisipasi sebagai suatu alat, dimaksudkan untuk menciptakan teknik atau metoda untuk mengiplementasikan partisipasi dalam praktek pembangunan, dan (2) Partisipasi sebagai tujuan, dimaknai sebagai pemberdayaan masyarakat sesuai kemampuan mereka, untuk secara bersama mengambil bagian dan bertanggung jawab atas pembangunan mereka sendiri.
10
Bentuk dan Derajat Partisipasi Bentuk Partisipasi Bertolak dari ragam pengertian partisipasi seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Slamet (2003) menyederhanakan pemahaman tentang partisipasi dalam pembangunan atas lima jenis : (1) Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya, (2) Ikut memberi input dan menikmati hasilnya, (3) Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung, (4) Tidak memberi input tetapi menikmati dan memanfaatkan hasil pembangunan, (5) Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya. Sedangkan Ndraha, (1990) menunjukan bentuk atau tahap partisipasi atas beberapa
kategori: (1) Partisipasi melalui kontak dengan pihak lain, (2)
Partisipasi dalam menyerap atau memberi tanggapan, (3) Partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, (4) Partisipasi dalam melaksanakan operasional pembangunan, (5) Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan, dan (6) Partisipasi dalam menilai pembangunan, sesuai rencana dan hasilnya sesuai kebutuhan masyarakat. Agar partisipasi bisa tumbuh, menurut Slamet (2003), paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu ; (1) adanya kesempatan untuk membangun kesempatan dalam pembangunan, (2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu, (3) adanya kemauan untuk berpartisispasi. Pada era orde baru, Sajogyo (1980) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat,
khususnya
golongan petani, adalah jalan yang paling strategik dalam seperangkat delapan jalur pemerataan pembangunan nasional. Derajat Partisipasi Derajad partisipasi digunakan untuk menggambarkan seberapa jauh keterlibatan orang orang atau masyarakat dalam program pembangunan. Arnstein (1969) menyebutnya dengan istilah tangga partisipasi yang terdiri dari; (1) non partisipasi (manipulasi dan terapi), (2) derajad tokenisme (informasi, konsultasi dan kompromi), dan (3) derajad kekuatan (kemitraan, delegasi dan kontrol).
11
Uraian yang relatif mirip terdapat dalam tulisan Asngari, (2003) sebagai berikut:
(1)
Manipulasi, pada tahap ini partisipasi tidak lebih dari upaya
indoktrinasi. Jadi sesungguhnya disini tak ada partisipasi (non participation), (2) Informasi, stakeholders diberikan informasi menyangkut hak dan kewajiban, tanggung jawab dan lain lain. (Komunikasi satu arah), (3) consultation, telah terjadi komunikasi dua arah di mana stakeholders sudah dapat mengekspresikan saran/perhatian, namun belum menjamin diterimanya input tersebut, (4) Consencus Building, para stakeholders berinteraksi untuk menciptakan posisi negosiasi, (5). Decision Making, interaksi
tersebut diarahkan hingga proses
pengambilan keputusan, (6). Risk sharing, stakeholders telah mengambil bagian untuk ikut menanggung resiko dari kegagalan pembangunan, (7). Partnership, telah terbangun kerja sama yang saling menguntungkan dikalangan stakeholders pembangunan, dan (8). Self-Management, stakeholders telah sampai pada tahap di mana segala urusan pembangunan harus dikerjakan secara baik.
Konsep Kemitraan Pengertian Kemitraan Kata mitra yang banyak digunakan saat ini dapat disamakan dengan “teman” atau “kawan” dalam bahasa sehari hari. Padanan kata kemitraan dalam bahasa inggerisnya yang paling dekat adalah “friendship” atau “partnership”. Dalam American Heritage Dictionary, partnership
adalah:
“a relationship
between individual or groups that is characterized by mutual cooperation and responsibility, as for achievement of a specified goa.”
Menurut Kernaghan
(Suporahardjo, 2005:9), dalam konteks formal, kemitraaan merupakan “a legal contract entered in to by two or more persons in which each agrees to furnish a part of the capital or labor for a business enterprise, and by which each shares a fixed proportion of profit and losses.
Dalam konteks pelayanan kepentingan
publik, kemitraan didefinisikan sebagai: “a relationship involving the sharing of power, work, support and or information with other for achievement of joint goals and/or mutual benefit.”
12
Definisi tersebut
mensyaratkan adanya hubungan kerja sama dan
tanggung jawab serta berbagi porsi (sharing) dalam hal sumberdaya, keuntungan dan resiko untuk mencapai satu tujuan. Perlu diperhatikan bahwa “joint goals” atau “mutual benefits” adalah elemen penting dari kemitraan” Secara historis, pendekatan kemitraan (kolaborasi) mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan mengenai manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru. Manajemen tersebut lebih demokratis, mengakui demensi manusia, mengelola ketidak pastian, kerumitan dari potensi keputusan dan membangun kesefahaman atas pilihan pilihan bersama. Oleh karena itu, pendekatan ini sering disebut sebagai jembatan (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya. Mengacu pada beberapa literatur, Suporahardjo (2005) mengemukakan bahwa istilah partnership memiliki paling tidak tiga varian atau pola.
Pertama,
koordinasi : tidak ada interaksi langsung antara organisasi tetapi organisasi mempertimbangkan kegiatan pihak lain dalam perencanaannya. Kedua, kooperasi : organisasi
berinteraksi atau
misisnya dan tujuan
yang lebih efektif.
bekerja bersama untuk mencapai
bekerja sama untuk mencapai Ketiga, kolaborasi : organisasi
misi bersama, disamping
juga
berusaha
mencapai misi dan tujuan masing-masing. Di dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, pola kemitraan dikenal dengan skema “joint mangement” atau “Co-management” atau “collaborative management”.
Kemitraan dalam konteks ini biasanya didefinisikan sebagai
berbagai peran, tanggung jawab atau kewenangan antara pemerintah dan pengguna sumberdaya lokal dalam mengelola sumberdaya tertentu. Beberapa Asas Kemitraan Konsep
Kemitraan bersandar pada bentuk interaksi interdependensi
berdasarkan beberapa azas (Tadjudin, 2000), yang terdiri dari; kesederajatan, keadilan, saling menghidupkan, keberlanjutan dan keterbukaan : Kesederajatan, memandang bahwa semua orang memiliki derajat yang sama, diimplementasi melalui pengakuan yang tegas dan memiliki kekuatan hukum yang tetap terhadap hak-hak setiap stakeholder.
13
Keadilan, pendayagunaan hasil alam harus melihat aliran manfaat yang terdistribusi secara adil (hak dan kontribusi secara proporsional) kepada setiap stakeholder, diimbangi pembebanan aliran resiko secara adil pula. Saling membutuhkan, stakeholder harus merasa adanya saling membutuhkan dan tergantung atas sesamanya. Interaksi yang terbangun tidak atas “rasa kedermawanan” dan “kesetiakawanan” belaka tetapi ditopang kesadaran bahwa interaksi dengan pihak lain akan membawa manfaat. Saling menghidupkan dan membesarkan, Kehadiran stakeholder yang satu akan memberikan medium yang sehat bagi stakeholders lain. Bukan saling meniadakan tetapi saling memberi manfaat. Keberlanjutan, harus ada rancangan pemanfaat jangka panjang bersamaan dengan upaya kelestariannya. Bila sumberdaya rusak maka aliran manfaat akan terhenti dan aliran resiko akan mingkat. Keterbukaan, adanya ketersediaan aliran informasi yang lancar dan berimbang diantara stakeholder yang terlibat. Azas-azas tersebut akan berjalan baik bila ditunjang kelembagaan yang oleh McKen (Tadjudin, 2000) dirumuskan sebagai dukungan sosial budaya, pemanduan kelembagaan, reduksi konflik, dukungan administrative, dan keuangan untuk admistrasi, bukan untuk imbalan material.
Selain azas-azas
tersebut, Marsal (Tadjudin, 2000) menyebutkan beberapa nilai-nilai
yakni;
menghormati orang lain, integritas, kejelasan hak atau aturan main, konsensus, hubungan berbasis kepercayaan, tanggung jawab, keterbukaan dan pengakuan. Partisipasi dan Kemitraan dalam Pembangunan Masyarakat Pada bagian pendahuluan dari bukunya yang berjudul “Cummunity Development: Community based alternatives in an age of globalization, ” Ife, (1995) mengemukakan kegagalan masyarakat modern
memenuhi dua hal
fundamental yaitu; hidup harmoni dengan lingkungan dan dengan
sesama
manusia, dalam uraian menarik berikut : It has become clear that the current social, economic, and political order has been unable to meet two of the most basic prerequisites for human civilization: the need for people to be able to live in harmony with their environment and the need for them to be able to live in harmony with each other”.
14
Berdasarkan pikiran tersebut, pembangunan masyarakat untuk menjamin interaksi sesama manusia dan dengan lingkungan menjadi esensial dan partisipasi mereka adalah mutlak. Menurut Siagian (1996), sedikitnya ada 10 prinsp dalam penyelenggaraan pembangunan masyarakat, di mana salah satunya menekankan pada aspek “partisipasi Masyarakat.” Maksudnya, betapapun dominannya peranan pemerintah
dalam
pembangunan,
tidak mungkin seluruh bebannya dipikul
seluruh aparaturnya, betapapun tingginya disiplin dan dedikasinya. Pembangunan masyarakat itu sendiri sesungguhnya adalah suatu gerakan untuk menciptakan tingkat kehidupan yang lebih baik dengan melibatkan (partisipasi) dari mereka. Dari pengertian yang dikemukakan sebelumnya terlihat bahwa dalam pembangunan masyarakat terkandung tiga hal yang amat kental mensyaratkan pentingnya partisipasi, yaitu : (1) Adanya suatu kegiatan yang dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat, (2) Kegiatan tersebut mempunyai tujuan, yaitu menciptakan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, (3) Kegiatan tersebut sangat memerlukan peran serta seluruh anggota masyarakat. Peran serta yang dimaksud adalah keterlibatan langsung dari warga tanpa adanya dorongan yang kuat dari pihak luar. Dalam hal ini peran serta yang diharapkan tumbuh dan berkembang dari seluruh warga masyarakat hendaknya meliputi:
(1)
peran serta dalam pemikiran, misalnya identifikasi masalah-
masalah yang perlu segera dibangun, membuat perencanaan pembangunan, dan sebagainya (2) peran serta dalam penghimpunan dana, misalnya memberikan sumbangan uang dan bahan-bahan untuk pembangunan (3) peran serta dalam penyelesaian tenaga (4) peran serta menikmati hasil pembangunan. Proses partisipasi ini bermula dari kesadaran dan pemahaman bersama akan pengertian dan konsensus yang lahir dari pihak-pihak yang terlibat. Adanya kesatuan pengertian dan konsensus ini, menurut Asngari (2008) merupakan titian muhibah bagi terjadinya partisipasi dan kebersamaan langkah
dalam suatu
agenda atau tindakan. Hal tersebut menyangkut kemauan bertanggung jawab dan kemauan menanggung konsekwensi atau akibat tindakan itu. Berkaitan dengan hal ini, rumusan seminar FAO pada tahun 1975 (Asngari, 2008), menyebutkan bahwa : “Participation is a process of cooperative action in which a group of
15
individuals share in the responsibilities and consequences of a common understanding or the achievement of a particular task”. Asngari (2008) selanjutnya mengatakan bahwa
kemauan bertanggung
jawab (responsibility) dan menanggung akibat dan mendapat manfaat (risk and benefit) dapat tumbuh karena adanya kerja sama (partnership) dilandasi keterbukaan dan saling pengertian dari individu yang terlibat.
Ini berarti
kebersamaan terjadi oleh interaksi dan komunikasi antar individu secara intim dan komunikatif. Rasa keterdekatan dan kehangatan menghantarkan proses ini. Ketersedian
untuk
berpartisipasi
ternyata
dipengaruhi
juga
oleh
kewenangan atau kedaulatan untuk terlibat dalam suatu program atau kegiatan. Sebuah laporan dalam bentuk artikel yang membahas “praktek partisipasi, sebuah pelajaran dari program FAO mengenai partisipasi masyarakat” menjelaskan bagaimana masyarakat miskin di desa, terdorong untuk berpatisipasi dalam pembangunan oleh adanya kewenangan atau kedaulatan mereka untuk ikut mengontrol melalui organisasi,
bahkan sumber pembiayaannya berasal dari
mereka sendiri, dengan uraian; ..... that of people's participation through organizations controlled and financed by the poor. The article is based on Chapter 1 of "Participation in practice - Lessons from the FAO People's Participation Programme.” Laporan FAO ini sejalan dengan yang terjadi di Desa Bolano Sulawesi Tengah, di mana sekelompok ibu-ibu membangun lembaga keuangan simpan pinjam desa yang mereka sebut “Kredit Union Bolano” yang sangat partisipatif dengan sumber biayanya berasal dari mereka sendiri.
Untuk menjaga spirit
partisipasi dan kemandirian anggota, kelompok ini bahkan menolak bantuan keuangan dari pemerintah daerah.
Ironisnya, lembaga tersebut semakin
berkembang berdampingan dengan lembaga kooperasi yang semakin keahilangan kepercayaan masyarakat setempat (Azis, 2008). Implemantasi Konsep Partisipasi dan Kemitraan Pengalaman menunjukan bahwa peran serta hanya dilihat dalam konteks yang sempit, dengan kata lain, masyarakat cukup dipandang sebagai tenaga kasar
16
untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak didorong dayanya menjadi kreatif dan harus menerima keputusan yang sudah diambil pihak luar.
Partisipasi seperti ini menurut Cohen dan Uphoff
(1980) adalah bentuk partisipasi pasif dan tidak memiliki kesadaran kritis. Cohen dan Uphoff (1980) selanjut mengemukakan bahwa partisipasi harus dapat
konsep
menumbuhkan daya kreatif dalam diri sehingga
menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif mulai dari tahap pembuatan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Pada saat merencanakan kegiatan, menurut
Suhandi, (2001) dan Takeda, (2001), banyak stakeholder
berkepentingan sehingga partisipasi menjadi isu yang sangat penting. Selanjutnya Warner (1997) menyatakan bahwa stakeholder tersebut berbeda dalam hal keinginan, kebutuhan, tata nilai, pengetahuan serta motivasi dan aspirasi. Mengurus partisipasi
dalam pandangan Cohen dan Uphoff (1980),
kadang-kadang melambatkan kemajuan pada tahap tertentu dalam urutan pembangunan, seperti pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan, tetapi mengabaikannya pembangunan.
akan
mengakibatkan
Mengabaikan
partisipasi
kegagalan dalam
dalam
masyarakat
pelaksanaan pada
tahap
perencanaan dan pengambilan keputusan mengakibatkan timbulnya "pseudo participation" (partisipasi semu) atau partisipasi terpaksa. Partisipasi dalam Perencanaan Pembangunan Secara ideal dapat dikatakan bahwa sebuah program pembangunan, seawal mungkin telah melibatkan warga masyarakat, mulai dari menganalisis masalah, menetapkan kebutuhan dan permasalahan serta merencanakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bila masyarakat sejak awal telah dilibatkan maka secara moral akan tumbuh rasa memiliki dan rasa tanggung jawab sebab mereka berpartisipasi dalam memutuskannya. Miller dan Rein (Madrie, 1986) mengemukakan efektifitas partisipasi pada tahap ini amat penting dibandingkan dengan
bentuk perencanaan atau keputusan yang dibuat oleh tenaga ahli
sekalipun, dengan uraian sebagai berikut : .
17
Bringing in representatives at an early point in the planning may be much more significant. Making resident aware of the isues involved in planning will be more effective than insisting that these are professional decision which cannot be discussed by untrained persons.”
Bahkan, pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan yang paling modern dalam teori pembangunan kontemporer. Hal ini tertuang dalam laporan PBB bidang jaringan pembangunan pedesaan dan keamanan pangan sebagai berikut : The concept of participation is concerned with ensuring that the intended beneficiaries of development projects and programmes are themselves involved in the planning and execution of those projects and programmes. This is considered important as it empowers the recipients of development projects to influence and manage their own development - thereby removing any culture of dependency. It is widely considered to be one of the most important concepts in modern development theory.
Merencanakan kegiatan merupakan suatu proses yang dimulai dari analisis masalah, potensi dan kebutuhan, menetapkan tujuan, menetapkan alternativealternatif kegiatan yang akan dikerjakan, dan bagaimana melakukan kegiatankegiatan itu. Partisipasi pada tahap ini menurut Cohen dan Uphoff (1980), disebut sebagai “participation in decission making.” Partisipasi dalam Pelaksanaan Pembangunan Dalam siklus program, setelah tahapan perencanaan akan dilanjutkan dengan pelaksanaan. Cohen dan Uphoff (1980) menyebutkan macam partisipasi ini sebagai “participation in implementation”. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa menyumbang uang, menyumbang tenaga, benda dan lsebagainya. Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah upaya melaksanakan kegiatan yang telah ditetapkan bersama sebelumnya dengan semandiri mungkin dan memanfaatkan sumberdaya di masyarakat sendiri.
Tentang hal ini,
Bhattacharya (Madrie, 1986) menguraikan sebagai berikut :
the people of
community organize themselves for planning and action define their common and individual needs and problems, make group and individual plans to meets their needs and solve their problems, execute those with a maximum reliance upon community resources…”
18
Partisipasi dalam Memanfaatkan Hasil Pembangunan Sebuah program pembangunan harus mempunyai manfaat dan kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat harus bisa berpartisipasi dalam memanfaatkan atau berpeluang untuk beraktivitas sehubungan dengan kegunaan program yang telah selesai dikerjakan. Sebagai gambaran misalnya, bila jaringan irigasi telah selesai dikerjakan maka masyarakat petani mau atau memanfaatkannya untuk menanam padi di sawah dan mau memelihara jaringan irigasinya untuk menjamin kelancaran air yang mengalir ke sawah. Cohen dan Uphoff (1980) menyebut tahapan ini dengan “Participation in benefict” dan Yadov
(Madrie, 1986)
menyebutkannya dengan “participation in sharing the benefit of development.” Partisipasi dalam Evaluasi Pembangunan Keluaran dari program pembangunan baik berupa fisik maupun non fisik yang terlihat dalam proses maupun setelah selesai program akan dapat dinilai atau dievaluasi. Bila masyarakat ikut berpartisipasi dalam menilai sebuah program pembangunan, maka kisarannnya adalah
sejauh mana proyek itu memenuhi
kebutuhan kelompoknya, komunitasnya dan masyarakatnya, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama sebelumnya. Cohen dan Uphoff (1980) menyebut tahapan ini dengan “Participation in evaluation” dan Yadov (Madrie, 1986) menyebutkannya dengan
“participation in monitoring and evaluation of
development program and projects.” Partisipasi dalam menilai hasil hasil pembangunan tersebut amatlah bermanfaat karena akan berimplikasi pada dua hal sekaligus yaitu (1), bagi masyarakat akan menjadi pelajaran tentang kekurangan dan kelebihan sehingga berguna dalam merancang kegiatan serupa pada masa akan dating dengan lebih baik. (2) bagi pemerintah akan menjadi imput
yang
sangat berharga untuk
penyempurnaan program pada masa akan datang. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi dan Kemitraan Keberadaan kemauan, kemampuan dan kesempatan
bagi masyarakat
untuk berpartisipasi sebagaimana dikemukakan Slamet (2003) akan dipengaruhi
19
oleh beberapa faktor di seputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya, terutama faktor-faktor: psikologis individu (kebutuhan, harapan, motif, penghargaan), terpaan informasi, pendidikan (formal maupun informal), struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal (norma dan adat-istiadat), serta pengaturan dan pelayanan atau kebijakan pemerintah. Soekanto (1983) menyebutkan beberapa faktor yang mengakibatkan masyarakat tidak berpartisipasi dalam pembangunan, di antaranya : •
Faktor sosial budaya, yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap suatu perubahan. Hal ini terjadi karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat
yang
berimplikasi pada rendahnya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. •
Faktor sosial ekonomi, yaitu adanya ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat khususnya di pedesaan,
menyebabkan ketidak mampuan
masyarakat untuk berpartisipasi. •
Faktor sosial politik, yaitu masih adanya birokrasi politik yang ketat dan kokoh yang menyebabkan masyarakat semakin tidak berdaya. Keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat
dalam proses pembanguan tersebut, oleh Oppenheim (1966) diformulasikan sebagai faktor dalam diri individu atau karakteristik individu (person inner determinant) dan faktor di luar diri individu atau faktor lingkungan (environmental factor). Karakteristik Individu Samson (Rahmat, 2001), mengemukakan bahwa Karakteristik individu merupakan sifat
yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek
kehidupan
lingkungannya.
dan
Terdapat
tiga
teori
yang
menjelaskan
perkembangan individu hingga membentuk perilaku yaitu: nativisme (Plato), emperisme (Locke) dan konvergensi (Stern) (Siti Amanah, 2006).
Menurut
Mardikanto (1993), karakteristik individu adalah sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain : umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama.
20
Masyarakat desa dalam mengadopsi suatu inovasi, tidak terlepas dari fakor individu warga masyarakat serta faktor lingkungan dimana ia tinggal. Faktor individu
merupakan karakteristik warga masyarakatnya maupun karakteristik
individunya.
Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa, dalam
penyebaran suatu ide baru atau difusi inovasi dalam suatu sistem sosial, pelakunya minimal memiliki tiga karakteristik yaitu status sosial, kepribadian dan kemampuan berkomunikasi. Pendidikan Pendidikan
merupakan
suatu
faktor
internal
individu
yang
memungkinkan seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Saharuddin (1987) mengatakan bahwa
tingkat pendidikan
seseorang mempengaruhi partisipasinya pada tingkat perencanaan, oleh karena itu semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat diharapkan semakin baik pula cara berpikir dan cara bertindaknya.
Slamet (2003)
mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan pada perilaku manusia. Sejalan dengan itu, Soeitoe (1982) mengemukakan bahwa
pendidikan adalah suatu proses yang diorganisir dengan tujuan
mencapai sesuatu hasil yang nampak sebagai perubahan dalam tingkah laku. Menurut Bloom (Mulyasa, 2002), kognitif merupakan perilaku yang berkenaan dengan aspek pengetahuan seseorang, sedangkan afektif berkenaan dengan perasaan dan emosi terhadap suatu obyek, keadaan atau terhadap orang lain, dan psikomotor merupakan perilaku yang berkenaan dengan keterampilan seseorang mengerjakan sesuatu. Pendidikan akan membuat seseorang menjadi modern, sebagaimana dilansir Asngari, (2001) dari pikiran Inkeles bahwa salah satu ciri orang modern adalah menempatkan pendidikan formal ditunjang pendidikan non formal dan informal sebagai sesuatu yang sangat tinggi nilainya. Pendidikan formal menurut Winkel (1987), adalah pendidikan sekolah yang dalam penyelenggaraannya menempuh serangkaian kegiatan terencana dan terorganisir.
Sedangkan, pendidikan non formal lebih dikenal sebagai bentuk
pendidikan luar sekolah. Menurut Tampubolon (2001), pendidikan non formal
21
adalah kegiatan pendidikan di luar sistem pendidikan formal dan bertujuan merubah perilaku masyarakat dalam arti luas.
Sasarannya mencakup semua
kelompok umur dan semua sektor kehidupan masyarakat. Bentuk nyatanya dapat berupa penyuluhan, penataran, kursus, mapun ketrampilan teknis lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan peserta didik. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan akan meningkatkan kemampuan kapasitas rasional dari masyarakat.
Masyarakat yang rasional
sebelum memutuskan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, didahului oleh masa belajar dan menilai manakala partisipasi itu mendatangkan manfaat bagi dirinya. Jika bermanfaat,
akan berpartisipasi, dan jika tidak, masyarakat tidak
tergerak untuk berpartisipasi. Pengalaman Salah satu faktor yang turut menunjang perilaku seseorang pengalaman yang juga diukur dalam karakteristik individu.
adalah
Menurut Gagne
(1977) pengalaman adalah akumulasi dari proses belajar mengajar yang dialami oleh seseorang. Kecenderungan seseorang untuk berbuat, tergantung dari pengalamannya, karena menentukan minat dan kebutuhan yang dirasakan. Halhal yang telah dialami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial. Menurut Padmowihardjo (1999),
secara psikologis
seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Menurut Rahmat (2001), faktor pengalaman dapat menambah wawasan berpikir semakin luas, mempengaruhi cara bertindak dan memberi corak pada kepribadian seseorang. Persepsi Persepsi adalah proses yang berkaitan dengan petunjuk inderawi dan pengalaman masa lampau yang relevan untuk memberi gambaran terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Menurut Walgito (2002) persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh pengindraan dalam bentuk stimulus ke kesyaraf otak sehingga membentuk persepsi individu. Mar’at (1981) menggambarkan
22
persepsi sebagai proses pengamatan individu dari komponen kognisi, yang dipengaruhi oleh pengalaman dan proses belajar, cakrawala dan pengetahuan. Litterer (Asngari, 2003) mengemukakan bahwa persepsi adalah “the understanding or view people have of things in the world around them.” Adanya persepsi berimplikasi terhadap munculnya motivasi, kemauan, tanggapan dan perasaan dari stimulus yang diterima. Ada tiga rangkaian proses yang membentuk persepsi, yaitu: seleksi, organisasi dan interpretasi. Dalam konteks ini, persepsi individu masyarakat adalah pandangan mereka terhadap suatu obyek yaitu partisipasi sehingga memberikan reaksi tertentu yang dihasilkan dari kemampuan menyeleksi,
mengorganisasikan
dan
menginterpretasikan
stimulus
dan
merubahnya dalam bentuk penerimaan atau penolakan. Setiap orang memiliki perbedaan dalam hal kebutuhan, motif dan minat sehingga persepsi mereka tentang sesuatupun berbeda menurut kebutuhan, motif, minat dan latar belakang masing-masing.
Persepsi dua orang dalam melihat
obyek yang sama bisa berbeda. Karena itu persepsi seseorang terhadap suatu obyek bisa tepat, dan bisa pula keliru, atau mendua.
Faktor penting untuk
mengatasi kekeliruan tersebut adalah pengertian yang tepat mengenai obyek yang dipersepsikan. Berkaitan dengan partisipasi, bila masyarakat memiliki pengertian yang sama tentang obyek partisipasi serta manfaat yang ditimbulkannya, mereka akan dengan kesadaran untuk ikut mengambil bagian.
Motivasi Istilah motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak. Crowford (2005) mengemukakan bahwa motivasi adalah proses yang dapat menyebabkan orang bertindak atau berperilaku dengan cara tertentu. Oppenheim (1966) mengemukakan bahwa untuk berperilaku tertentu atau berpartisipasi, ada dua hal yang mendukung yaitu adanya unsur yang bersumber dari diri seseorang dan terdapat lingkungan yang memungkinkan untuk berperilaku tertentu. Unsur dalam diri dan lingkungan tersebut yang memotivasi seseorang untuk berperilaku tertentu.
Dengan kata lain, unsur yang bersumber dari diri seseorang disebut
motivasi intrinstik dan iklim atau lingkungan adalah motivasi ekstrinsik. Iklim,
23
lingkungan atau motivasi ekstrinsik tersebut dapat bersumber dari upaya untuk meningkatkan daya dalam apa yang disebut “pemberdayaan.” Dalam kaitannya dengan motivasi berpartisipasi, terdapat pandangan yang mengatakan bahwa terwujudnya partisipasi dalam pembangunan dapat disebabkan
oleh adanya paksaan atau sanksi, ajakan pihak lain, ataupun
kesadaran sendiri. Namun, unsur paksaan atau sanksi ditolak oleh Malhotra (Kartasubrata, 1986) yang menyatakan bahwa partisipasi dapat tercipta karena kehendak sendiri, sukarela, spontan atau digerakan
(induce), akan tetapi tidak
dipaksa sebagaimana diuraikan berikut : and by people’s participation, we mean willing and voluntary participation, it may be spontaneous or induced, but certainly not “coerced,” for that is not participation.” Pendapat Malhotra tersebut disempurnakan
oleh Slamet (2003) yang
mengemukakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah berarti pengarahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan memperbaiki kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Pandangan ini lebih menekankan pada kesadaran kritas masyarakat akan manfaat dari partisipasi mereka bagi kepentingan mereka sendiri, sebab boleh jadi masyarakat ikut berpartisipasi secara sukarela tetapi mereka tidak menyadari manfaatnya. Proses menuju pada penyadaran inilah, peranan penyuluhan
sangat esensial sebagai
bentuk intervensi yang humanis. Kosmopolitan Kosmopolitan adalah tingkat
hubungan seseorang dengan dunia luar di luar
sistem sosialnya sendiri (Mardikanto, 1993). Sifat kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung cepat, sedangkan warga yang “localite” (terkungkung dalam sistem sosialnya sendiri), adopsi inovasi sangat lamban karena tidak adanya keinginan baru untuk hidup lebih baik seperti orang lain diluar sistem sosialnya sendiri.
24
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Farid, 2008), kosmopolitan diartikan sebagai orang yang mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas. Sifat kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang lain, yaitu memiliki status sosial yang lebih tinggi, partisipasi sosial yang lebih tinggi, lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, lebih banyak menggunakan media massa dan memiliki hubungan lebih banyak dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya. Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa orang yang sifat kekosmopolitan tinggi biasanya mencari informasi di luar lingkungannya. Sebaliknya, orang yang sifat kekosmopolitannya rendah cenderung mempunyai ketergantungan pada tetangga atau teman dalam lingkungan yang sama. Seseorang yang mempunyai pergaulan luas dan cepat mencari informasi yang diperlukan, dapat diartikan mempunyai kekosmopolitan tinggi. Gender Bessette (2004) mengatakan bahwa dalam banyak kasus, sangat penting untuk memberikan perhatian spesial pada isu gender. Dalam setiap pengaturan, kebutuhan, peran social dan tanggung jawab, posisi perempuan dan laki-laki selalu dibedakan.
Derajat akses terhadap sumber daya dan partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan juga berbeda antara laki-laki dan perempuan. Cara mereka untuk memandang masalah umum dan solusinya juga berbeda. Hal yang sama juga terjadi pada kaum muda dengan jenis kelamin yang berbeda. Sangat sering terjadi perbedaan tajam antara peran dan kebutuhan
dari anak-anak
perempuan dan perempuan dewasa, atau antara laki-laki dewasa dan anak muda dalam persepsi melihat suatu masalah yang sama. Konsekwensinya, menurut Bessette (2004) kepentingan dan kebutuhan mereka menjadi berbeda dan kontribusi mereka kepada pembangunan juga berbeda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dahulu, fokus perhatian lebih kepada “kumunitas”, tanpa memperhatikan aspek gender.
Hasilnya adalah, wanita dan
kaum muda sering tidak dipandang dalam proses pembangunan walaupun partisipasinya sangat esensial.
25
Buttman, et al, (2003) mengemukakan bahwa pandangan tentang gender menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan pekerjaan yang dipilihnya. Gender secara langsung berpengaruh pada pekerjaan rumah tangga tidak hanya pada pendapatan. Hasil penelitian Sumardjo (1988) di Jawa, menunjukkan bahwa pada rumah tangga dengan kepala keluarga Ibu, akibat bercerai atau meningal suami, ibu-bu melakukan pekerjaan ganda. Namun, pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga suami, ibu melakukan pekerjaan rumah tangga dengan status seperti pembantu. Dari perspektif komunikasi, isu gender memberikan dua hal, Pertama,
yaitu :
harus membedakan secara jelas antara kebutuhan laki-laki dan
perempuan dan untuk hal ini perlu belajar bagaimana membangun kemunikasi antara keduanya.
Namun yang sering terjadi, kaum perempuan sering tidak
dikutsertakan dalam pertemuan warga, atau bila diundang mereka relative tidak diberi kesempatan untuk bicara. Persoalannya sering terkait masalah cultural dan kalaupun ada perempuan ikut berpartisipasi umumnya mereka bukanlah wakil dari masyarakat bersangkutan. Hal ini diakui oleh Bessette (2004) sebagai berikut: In many settings, women are often barred village meeting, or if they are admitted, they do not always have the right to speak. Even where this inhibition is cultural rather than formal, it must be taken into account. It often happens that women who are authorized to participate in these meetings are not really representative of local women as a whole. Kedua, sangat penting untuk mendorong peran partisipasi kaum perempuan. Kepentingannya adalah bagaimana membawa kaum perempuan berpartisipasi dalam mendefinisi masalah yang mereka hadapi dan menemukan solusinya, dari pada memobilisasi mereka. Partisipasi sangat berbeda dengan mobilisasi karena partisipasi
memerlukan proses terutama pendidikan,
pemberdayaan, dan
penyadaran yang keseluruhannya tercakup dalam penyuluhan. Status Sosial Menurut Robbin (2003), status sosial adalah posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota/individu oleh orang lain. Robbin lebih lanjut mengemukakan ;
26
“. . . kita hidup dalam suatu masyarakat yang terstruktur menurut kelas. Meskipun ada usaha mebuat masyarakat lebih egaliter, kita tidak banyak beranjak kearah tanpa kelas. Bahkan kelompok terkecil mengembangkan peran, hak dan ritual untuk membendakan anggotanya”. Status merupakan
suatu faktor penting dalam memahami perilaku
manusia karena merupakan suatu motivator yang cukup penting dan mempunyai konsekwensi perilaku yang utama bila individu mempersepsikan suatu disparitas antara apa yang mereka yakini tentang bagaimana status mereka dan apa yang orang lain persepsikan Robbin (2003). Status sosial juga memiliki keterkaitan dengan aspek norma, rasa kedilan dan budaya dari suatu masyarakat.
Terdapat kecenderungan menurut Keyes
(Robbin, 2003) bahwa anggota masyarakat berstatus tinggi sering diberi lebih banyak kebebasan untuk menyimpang dari norma. Dari aspek keadilan, penting bagi anggota kelompok untuk meyakini bahwa status itu adil atau wajar (equitable). Jika dipersepsikan adanya ketidakadilan maka terciptalah ketidak seimbangan yang terjadi dalam berbagai jenis perilaku korektif. Pada setiap budaya memiliki perbedaan pada criteria yang menyebabkan terjadinya status sosial, mulai dari posisi keluarga, peran formal dalam organisasi hingga prestasi. Dapat disimpulkan bahwa status sosial amat berkait dengan
keturunan
(geonologis), pangkat dan kedudukan (peran formal), harta benda dan prestasi. Proses Penyuluhan Sumardjo (2008) mengemukakan bahwa kemampuan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan adalah sejalan dengan efektivitas proses belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar menyebabkan rakyat memperoleh dan memahami informasi, kemudian secara kognitif memprosesnya menjadi pengetahuan tentang adanya kesempatan dan melatih dirinya agar mampu berbuat (konatif) serta secara intrinsik termotivasi untuk mau (afektif) bertindak atas dasar manfaat yang akan dapat diraihnya.
Dikemukakan lebih lanjut bahwa
keseluruhan proses ini merupakan lingkup peran penyuluhan pembangunan dan bagian utama yang harus dikembangkan dalam ilmu penyuluhan pembangunan.
27
Penyuluhan pembangunan sesungguhnya adalah pengembangan lebih lanjut dari istilah penyuluhan pertanian berdasarkan kenyataan bahwa penyuluhan juga dibutuhkan dalam sektor pembangunan yang lain. Tentang hal ini, Slamet (2003) menguraikan bahwa istilah penyuluhan pada awalnya dikenal sebagai “Agricultural Extension.” sebutannya
berubah
Communication.
Karena
menjadi
penggunaannya di bidang lain, maka
Extension
Education
dan
Development
Meskipun antara ketiga istilah tersebut terdapat perbedaan,
namun pada dasarnya mengacu pada disiplin ilmu yang sama. Istilah “penyuluhan” pertama kali dikemukakan oleh James Stuart dari Trinity College (Cambridge) tahun 1967, sehingga Stuart dikenal sebagai Bapak Penyuluhan (van Den Ban dan Hawkins, 1999). Berbagai istilah digunakan untuk menggambarkan proses belajar penyuluhan, seperti: (1) voorlichting (Belanda) yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, (2) beratung (Jerman) yang mengandung makna sebagai seorang pakar memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut berhak menentukan pilihannya, (3) erziehung (mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (4) forderung (Austria) yang diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diinginkan, dan (5) fulgarisation (perancis) menekankan penyederhanaan pesan bagi orang awam (van den Ban dan Hawkins, 1999). Secara harfiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses memberikan penerangan tentang sesuatu yang "belum diketahui."
Namun, penerangan yang dilakukan harus terus menerus
sampai segala sesuatu yang diterangkan benar-benar dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh masyarakat (Mardikanto, 1993).
van Den Ban dan Hawkins
(1999) mengartikan penyuluhan sebagai keterlibatan seseorang melakukan komunikasi secara sadar untuk
membantu sesamanya memberikan pendapat
sehingga bisa membuat keputusan yang benar.
28
Asngari (2003) mengartikan penyuluhan sebagai kegiatan mendidik orang dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai yang dikehendaki yakni orang makin modern. Ini merupakan usaha memberdayakan potensi individu klien agar lebih berdaya secara mandiri.
Berdasarkan pandangan tersebut disimpulkan
bahwa kegiatan penyuluhan selalu berorientasi pada perubahan perilaku serta penemuan baru dan mampu meningkatkan kesadaran dan rasa percaya diri individu.
Karena itu Asngari (2008) lebih lanjut
menekankan pentingnya
mengembangkan falsafah penyuluhan antara lain : (1) falsafah mendidik, (2) falsafah pentingnya pribadi individu, (3) falsafah demokrasi, (4) falsafah bekerja bersama antara penyuluh/agen pembaharuan dengan klien, (5) falsafah membantu klien agar mereka mampu membantu diri sendiri, (6) falsafah membakar sampah dan (7) falsafah berkelanjutan. Menurut Mardikanto (1996), kegiatan penyuluhan terus dikembangkan untuk menggerakkan kesadaran dan partisipasi masyarakat agar mereka memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk perbaikan mutu hidup dan kesejahteraan. Sejalan dengan pemikiran ini, Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa pada falsafah penyuluhan terdapat makna “menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya” (Helping people to help themselves through educational means to improve their level of living). Menyangkut falsafah ini, Asngari (2008:6) mengutip pikiran Bryant sebagai berkut : “The whole extension philosophy is built on the idea of helping people help them selves, and getting them to realize that is their interest to help them selves. It is essential that they will not get real help until they do it them selves.” Falsafah penyuluhan tersebut juga sejalan dengan prinsip pemberdayaan (Empowerment) yang dikemukakan oleh Ife (1995), “. . ..empowerment means providing people with the resources, knowledge and skill to increase their capacity to determine their own future and participate in affect of their community.
Maknanya adalah bahwa menyiapkan komunitas atau individu
dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian dan pengetahuan agar kapasitas
29
komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi
menentukan masa depan.
Lebih lanjut Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan bertujuan membangun
kemandirian
(self
reliance);
artinya,
komunitas
berusaha
menggunakan sumberdaya lokal sendiri, dari pada bantuan luar, baik SDM, SDA, keuangan, dan teknik. Prinsip kemandirian bukan berarti tanpa bantuan orang lain, tetapi justru mendorong masyarakat untuk bekerjasama, berkotribusi, bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan sesuatu. Dalam kaitan ini, Nyerere (Susanto, 1979) mengemukakan pendangannya sebagai berikut : “. . ..People cannot be developed, they can only develop themselves, For a while it is possible for an outsider to build a man’s house, an outsider cannot give the man pride and self confidence in himself as a human being. Those things a man has to create in himself by his own action. He develops himself by making his own decicions, by increasing his understanding of what he is doing and why ; by increasing his own knowledge and ability in the life community he lives in. .. .”
Kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup rakyat banyak dan peningkatan itu hanya tercapai kalau ada partisipasi, maka tantangan utama pada pembangunan nasional adalah “bagaimana meningkatkan partisipasi rakyat ?.” Partisipasi rakyat tersebut dapat ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan dan untuk itu maka tantangannya adalah “bagaimana menciptakan,
mengembangan
dan
melaksanakan
program
penyuluhan
pembangunan yang sangkil dan mengkus” (Sumardjo, 1999). Program penyuluhan yang baik persyaratan,
antara lain:
penyuhan dan lain lain. menyebutkan
bahwa
tentu mempertimbangkan berbagai
materi penyuluhan, metode, media dan kualitas Tentang hal tersebut, Mosher (Sumardjo, 1999)
penyuluhan
dapat
disebutkan
sebagai
pendidikan
pembangunan karena sifatnya yang selektif, dalam arti memilih bahan atau materi dan metode pendidikannya yang bersifat langsung dan segera menunjang pembangunan yang dikehendaki. Melalui upaya pendidikan pembangunan berupa penyuluhan, kemampuan orang orang, keluarga dan masyarakat untuk menerima perubahan yang dapat meningkatkan kesejahteraannya dapat dipercepat.
30
Materi Penyuluhan Mardikanto
(1996)
mengatakan
bahwa
materi
penyuluhan
pada
hakekatnya merupakan segala pesan yang ingin dikomunikasikan penyuluh kepada masyarakat sasarannya.
Dengan kata lain, materi penyuluhan adalah
pesan yang ingin disampaikan dalam proses komunikasi pembangunan. Dengan demikian, materi penyuluhan adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh penyuluh kepada individu atau masyarakat sasaran. Dengan mengambil kasus di bidang pertanian, materi yang disampaikan dalam penyuluhan menurut Ibrahim dkk (2003) amatlah luas dan dapat berupa ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dikelompokkan menjadi lima, yaitu: (1) teknik pertanian, (2) ekonomi pertanian, (3) manajemen usaha tani, (4) dinamika kelompok, dan (5) politik pertanian.
Untuk
penyuluhan di luar pertanian,
materinya tentu disesuaikan dengan bidang yang bersangkutan. Ragam materi yang perlu disiapkan dalam setiap kegiatan penyuluhan menurut Mardikanto (1993), merujuk pada Vademecum Bimas didunia pertanian meliputi : (1) Kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pembangunan pertanian, (2) Hasil-hasil penelitian atau pengujian dan rekomendasi teknis yang dikeluarkan oleh instansi yang berwewenang, (3) Pengalaman petani yang berhasil, (4) Informasi pasar, (5) Petunjuk teknis penggunaan alat/sarana produksi, (6) Informasi kelembagaan pertanian, dan (7) Dorongan terciptanya swakarsa, swakarya dan swasembada masyarakat. Dalam kaitan dengan materi penyuluhan, Mardikanto (1993) mengatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) pentingnya pengembangan kebiasaan untuk mengkritisi setiap materi belajar, terutama setiap inovasi yang belum teruji di wilayah calon penerima manfaat, (2) selalu mengacu kepada kebutuhan calon penerima manfaat, (3) materi belajar tidak harus benar-benar baru tetapi dapat berupa praktek lama, kebiasaan, atau teknologi yang telah dikembangkan masyarakat setempat, dan (4) sumber materi belajar tidak selalu berasal dari pakar, orang lain atau textbook, atau surat kabar, majalah, radio, TV, akan tetapi lebih diutamakan dari pelaku-pelaku setempat yang telah
31
berpengalaman yang disampaikan secara lisan dalam diskusi, pertemuanpertemuan, percakapan informal, dll. Metode Penyuluhan Metode penyuluhan, menurut Ibrahim dkk. (2003) adalah cara-cara penyampaian materi penyuluhan secara sistematis sehingga materi penyuluhan tersebut dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat sasaran. Pengalaman menunjukkan
bahwa metode penyuluhan sangat berperan dalam menunjang
keberhasilan program penyuluhan, karena sebaik apapun materi penyuluhan yang disampaikan tidak akan mampu merubah perilaku sasaran yang diinginkan bila metode penyuluhan yang digunakan kurang tepat. Dalam memilih metode penyuluhan menurut Slamet dan Asngari, (Sumardjo, 1999), perlu dipertimbangkan banyaknya
sasaran
yang dilayani,
sesering berinteraksi dengan sasaran dan murah tetapi menjadi media pengalaman yang efektif. Lebih lanjut dijelaskan, penggunaan metode penyuluhan harus didasarkan pada: (1) sesuai keadaan sasaran, (2) cukup dalam jumlah dan mutu, (3) tepat sasaran dan pada waktunya, (4) amanat harus mudah diterima dan dimengerti, dan (5) murah pembiayaannya atau efisien. Setiap metode pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa pada prinsipnya, makin sedikit sasaran belajar dengan
menggunakan
suatu metode yang sama cenderung makin
efektif, tetapi sebaliknya cenderung makin tidak efisien. Dalam pelaksanaannya, kegiatan tersebut dapat dilakukan secara langsung (face to face) atau misalnya dengan telpon, dapat pula dilakukan secara tidak langsung, yaitu menggunakan surat dan media massa tetapi umpan balik tidak dapat terjadi Mardikanto (1993) merujuk tidak ada
satupun
secara spontan.
pada Kang dan Song, menyimpulkan
bahwa
metode yang selalu efektif, maka perlu metode secara
simultan yang saling menunjang dan melengkapi. Secara kegiatan
umum
penyuluhan,
terdapat antara
banyak metode yang dipergunakan dalam lain : ceramah, diskusi, kunjungan
magang, studi banding, temu lapangan dan lain-lain. Dengan demikian,
lapang, setiap
32
penyuluh setelah memperhatikan kondisi keragaman baik masyarakat sasaran maupun
lingkungannya, harus memahami dan mampu memilih atau
mengkombinasikan metode penyuluhan yang paling sesuai untuk kegiatan penyuluhan yang akan dijalaninya di masyarakat yang bersangkutan. Menurut Wiriatmadja dan Suriatna (Sumardjo, 1999), hubungan antara metode penyuluhan, tahap dalam proses komunikasi dan
adopsi inovasi
digambarkan pada Tabel 1. Tebel 1. Hubungan antara metode penyuluhan, tahap-tahap dalam proses komunikasi dan tahap adopsi inovasi. Metode Penyuluhan Tahap Komunikasi Tahap Adopsi Cara Perorangan Menggerakkan Usaha Adopsi/penerapan Cara Kelompok Meyakinkan Mencoba Membangkitkan Menilai Keinginan Cara Massal Menggugah hati Menumbuhkan minat Menarik Perhatian Menumbuhkan kesadaran Dalam penjabaran yang cukup rinci berkaitan dengan metode, Mardikanto (1993) menyebutkan
beberapa hal penting dalam
penyuluhan, yaitu: (1)
Pentingnya meninggalkan proses pendidikan yang menggurui, (2) penting membangun kebiasaan dan semangat belajar seumur hidup, (3) mendorong kebiasaan sasaran untuk mengkritisi setiap materi belajar, terutama setiap inovasi yang belum teruji di wilayah calon penerima manfaat, (4) penggunaan alat bantu dan atau alat peraga tidak harus menggantungkan peralatan/teknologi tertentu, tetapi dapat memanfaatkan benda dari keadaan lapang, dan (5) keadaan nara sumber atau fasilitator, bukan penentu atau pengambil keputusan, tetapi cukup sebagai pemberi pertimbangan yang harus dicermati sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki. Media Penyuluhan Sadiman dkk (1986) mengemukakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat sedemikian rupa sehingga proses belajar dapat berjalan.
Senada dengan itu, Mardikanto
33
(1993) mengemukakan bahwa media penyuluhan adalah alat perlengkapan guna memperlancar proses mengajarnya. Dengan kata lain, media penyuluhan adalah alat bantu yang dapat memperjelas penyampaian materi penyuluhan. Dalam kaitan media dengan metode penyuluhan, Sumardjo (1999), menguraikan media penyuluhan ke dalam empat kategori, yaitu : (1) lisan, (2) tertulis atau tercetak, (3) terlihat atai terproyeksi, dan (4) terperaga. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada prinsipnya, makin banyak indera sasaran belajar dilibatkan dalam suatu proses belajar maka cenderung makin efektif. Hamalik (1986) membagi media penyuluhan atas lima golongan yaitu: (1) bahan cetakan atau bacaan (suplementary material) seperti: buku, komik, koran, majalah, bulletin, folder, pamflet, dan lain-lain; (2) Alat-alat audio visual yang terdiri dari media tanpa proyeksi (papan tulis, bagan, diagram, grafik, poster, kartun dll), media tiga demensi (model, benda asli, benda tiruan, diorama, boneka, peta, globe, museum dll), media dengan alat masinal (slide film, film strip, rekaman, radio, televisi, komputer dll); (3) umber-sumber masyarakat berupa obyek-obyek : (peninggalan sejarah, dokumentasi, bahan-bahan dan masalahmasalah), dari berbagai bidang (daerah, penduduk, sejarah, industri, kebudyaan, politik dll); (4) Kumpulan benda (material collection), berupa benda yang dibawa oleh masyarakat seperti; daun yang terserang penyakit, bibit unggul dan lain-lain; dan (5) Contoh berupa tingkah laku yang diperbuat penyuluh seperti: melakukan gerakan tertentu menggunakan tangan, kaki, badan, mimik dan lain-lain. Beberapa alasan penting mendasari urgensi penggunaan media penyuluhan menurut Ibrahim dkk (2003), yaitu: (1) menjadi sarana penyampaian pesan yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan menggunakan kata-kata, (2) memperkuat penjelasan yang tidak dapat ditirukan oleh penyuluh, dan (3) pesanpesan yang disampaikan dengan menggunakan media tidak mudah hilang dari ingatan penerima dalam proses penyuluhan. Interaksi Kalayan dengan Penyuluh Interaksi adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, yakni perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki
34
perilaku individu yang lain atau sebaliknya (Gerungan, 1999).
Farid (2008)
mengacu pada konsep Departemen Agama RI, menguraikan bahwa interaksi sosial merupakan suatu hubungan sosial yang dianamis, menyangkut hungan orang dengan orang, antara kelompok dengan kelompok masyarakat atau antara orang dengan kelompok masyarakat. Interaksi dengan penyuluh diartikan sebagai terjadinya hubungan antara masayarakat dengan penyuluh, baik yang berasal dari pemerintah maupun nonpemerintah. Menurut Soekanto (2002), hubungan yang terjadi antara seseorang dengan orang lain dapat bersifat primer dan sekunder. Hubungan primer terjadi apabila seseorang mengadakan hubungan langsung dengan bertemu dan berhadapan muka. Hubungan yang bersifat sekunder terjadi melalui perantara baik orang lain maupun alat-alat seperti telepon, radio dan sebagainya. Wiraatmadja (1990) menyatakan bahwa dalam kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh harus
mengadakan
hubungan dengan petani, hubungan
tersebut dapat menimbulkan komunikasi. Komunikasi yang baik akan berjalan timbal balik atau terjadinya feedback Hal ini penting bagi penyuluh, yaitu untuk dapat
mengambil tindakan selanjutnya. Tujuan penyuluh mengadakan
komunikasi dengan sasarannya adalah untuk mengadakan perubahan perilaku, karena perubahan itu maka sasaran akan menjadi lebih terbuka untuk hal-hal baru Dalam konteks penelitian ini, akan lebih difokuskan pada hubungan antara masyarakat baik secara individu maupun kelompok dengan penyuluh atau sebaliknya.
Oleh karena itu maka dalam mempersiapkan suatu kegiatan
penyuluhan, selain penyuluh dituntuk
mempersiapkan diri juga
kesiapan
masyarakat sebagai warga belajar juga sangat penting. Beberapa prinsip kesiapan warga belajar tersebut oleh Padmowihardjo (1999) dikemukakan sebagai berikut : (1) prinsip effect, peserta didik memiliki keinginan untuk belajar sehingga timbul rasa senang dan gairah belajar. Untuk membangkitkan minat belajar maka dapat dilakukan dengan: (a) mengorganisir penyajian, (b) mudah, (c) memperhatikan individu warga belajar, (d) memakai variasi cara, (e) melibatkan warga belajar aktif berperan,
(f ) hargai warga
belajar dan jangan dipermalukan, (g) beri latihan, dan (h) usahakan warga
35
belajar ingin mencapai sukses agar merasa senang, puas dan ingin terus, dan (i) hindari hal-hal yang dapat menurunkan minat; (2) prinsip latihan yaitu dengan
mengulang sesuatu. Makin mudah dan sederhana suatu latihan maka
akan terjadi kebiasaan yang benar; dan (3)
prinsip kesiapan yaitu berkaitan
dengan kondisi neuron (sel syaraf). Peserta didik butuh belajar karena adanya minat, rasa ingin tahu, perangsang, penghargaan, rasa aman, rasa takut, promosi, kebanggaan dan sanjungan. Disini peran penyuluh dapat memotivasi klien sehingga timbul minat belajar dan timbulnya interaksi kedua pihak dengan intensif. Dalam penelitian ini, interaksi dengan penyuluh adalah tingkat intensitas bertemunya individu masyarakt dengan penyuluh, untuk mendapatkan informasi tentang usahanya. Kemampuan Penyuluh Bertolak dari pengertian penyuluhan yang lebih
berorientasi pada
perubahan perilaku mengisyaratkan bahwa seorang penyuluh dituntut memiliki kemampuan yang mumpuni agar perannya
menggerakkan masyarakat untuk
melakukan perubahan-perubahan dapat tercapai dengan baik. Dalam kaitan ini, Sumardjo (1999) menekankan pentinya aspek kesiapan (readiness) penyuluh dalam bentuk penguasaan, misalnya; (1) materi penyuluhan (content area) berkait dengan unsur memahami, menguasi dan mau menerapkannya kepada sasaran, (2) metode atau teknik (proses area), berkait dengan unsur mampu menerapkan secara tepat dan partisipatif. Tentang kesiapan (readiness) ini, Husle, et al., (Sumardjo, 1999) mendefinisikannya sebagai berkut : ”. . . .the adequacy of the student’t existing in relation to some instructional objectives.”. ”Maturation refer to biological growth which occurs largely under the influences of heredity”. Readiness is the product of both training (or learning) and maturation).” Peran penyuluh
sebagai agen perubahan oleh Lippitt, et al. (1958)
dinyatakan sebagai berikut: (1) melakukan diagnosis masalah yang benar-benar diperlukan masyarakat sasaran dengan menganalisis motivasi dan kemampuan masyarakat sasaran untuk melakukan perubahan; (2) penilaian kapasitas dan motivasi untuk berubah, yaitu agen perubahan harus mampu menilai kesiapan
36
kelayan, apakah memiliki kapasitas dan motivasi yang cukup untuk membangun kebersamaan; (3) penilaian terhadap sumberdaya dan motivasi agen yaitu :apakah agen perubahan benar-benar memiliki motivasi dan sumberdaya yang diperlukan terhadap pekerjaannya; (4) pemilihan sasaran sesuai hasil perubahan yaitu: agen perubahan harus mampu menyiapkan beberapa inisiatif keputusan tentang apa yang diarahkan dan bagaimana sebaiknya ditempuh dan apa yang dilakukan lebih dahulu; (5) memilih peran yang sesuai, yaitu: memilih peran agen dan menerima masukan dari proses perubahan itu, apakah agen mendorong atau memberi petunjuk; (6) memelihara hubungan dengan sasaran dan menjelaskan harapan dari perubahan serta mengatur mutu dan intensitas hubungan; (7) mengenali dan mengarahkan perubahan yang meliputi tahapan perubahan yang direncanakan dan tema yang membantu hubungan; dan (8) memilih tehnik yang spesifik sesuai perilaku apa yang harus dilakukan dan dikatakan pada momen tertentu. Robbin (2003) mendefinisikan kemampuan (ability) sebagai kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Suparno (2002) menyatakan bahwa kemampuan adalah kecakapan atau kekuatan atau kewenangan yang memadai untuk melakukan suatu tugas sesuai dengan yang disyaratkan. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh menurut
Mardikanto
(1993)
adalah
kemampuan
berkomunikasi
seperti
ketrampilan berempati dan berinteraksi dengan masyarakat sasarannya.. Dalam melakukan tahapan tersebut seorang penyuluh harus dapat membangkitkan semangat peserta didik dan selalu berprinsip bahwa mereka mengerjakan semuanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk penyuluh. Oleh karena itu penyuluh harus melakukan proses pembelajaran tersebut secara persuasif, meliputi ; (1) memanfaatkan perhatian yang ada, (2) membangunkan hasrat yang terpilih (motif, kebiasaan, minat ), (3) hubungan antara keinginan dan meyakinkan tujuan, dan (4) menimbulkan tanggapan yang prosedural. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang penting
dalam
megetahui upaya seseorang untuk melakukan suatu usaha. Menurut Sampson
37
(Rakhmat, 2001), faktor lingkungan eksternal individu adalah ciri-ciri yang dapat menekan atau mempengaruhi seseorang, berasal dari luar dirinya. Norma yang Dianut Sarwono (2001) mengemukakan bahwa norma adalah aturan yang berlaku dalam masyarakat. Norma dapat tertulis, resmi dan formal, dapat tertulis tetapi tidak resmi serta dapat tidak tertulis dan tidak resmi (misalnya norma adat atau norma susila).
Norma juga biasa disebut sebagai peraturan sosial.
Norma-
norma sosial merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan dalam situasi-situasi tertentu dan merupakan unsur paling penting untuk meramalkan tindakan manusia dalam sistem sosial. Dengan demikian, norma dapat dipandang sebagai pedoman tentang perilaku yang diharapkan atau pantas menurut kelompok atau masyarakat bersangkutan. Berkaitan dengan pengelolaan SDA, sudah umum diketahui bahwa beberapa daerah di Indonesia mempunyai norma tradisional telah dipraktekkan secara turun temurun seperti Sassi di Maluku, Mane’e di Talaud, Labuang di Talise Minahasa dan Awig-awig di Bali. Aturan dan sanksi yang diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya secara tradisional ini sudah berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama dan diterima, diikuti, dan diakui oleh anggota masyarakat. Sekalipun cara ini mendapat legitimasi dari anggota masyarakat setempat namun mulai menghilang karena seringkali diabaikan bahkan sengaja dihilangkan oleh pemerintahan modern. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya alam secara partisipatif
harus mengidentifikasi sistem pengelolaan yang ada di dalam
masyarakat dan sedapat mungkin mengembangkan dan memadukannya ke dalam perencanaan pengelolaan bersama (co-managemen). Kerja Sama Di masyarakat, telah lama dikenal kerja sama dalam menyelesaikan berbagai agenda dengan berbagai macam istilah yang bersifat lokal untuk jenis dan tahap kegiatan. Istilah yang sangat umum dikenal, misalnya gotong royong, kerja bakti dan bhakti massal.. Kegiatan kerja sama saat ini bahkan berkembang dalam bentuk yang lebih modern seperti misalnya dalam bentuk “jaringan kerja.”
38
Kerjasama kelompok dalam pengertian luas adalah kerjasama antara kelompok dengan pihak lain di luar dirinya yang diwujudkan dengan pola kemitraan. Penelitian Purnaningsih (2006) mengungkapkan bahwa
pola
kemitraan agribisnis sebagai suatu inovasi berpotensi untuk menjadi suatu strategi peningkatan pendapatan petani. Dalam pola kemitraan, pihak perusahaan mamfasilitasi pengusaha kecil dengan modal usaha, teknologi, manajemen modern dan kepastian pemasaran hasil, sedangkan pengusaha kecil melakukan proses produksi sesuai dengan petunjuk teknis dari pihak pengusaha besar. Dengan memaksimalkan kekuatan dan meminimalkan kelemahan dari kedua belah pihak maka keduanya akan memperoleh keuntungan bersama. Pihak perusahaan dapat memperoleh produk sesuai kualitas yang diinginkan, jaminan pasokan bahan baku dan minim resiko kegagalan panen. Namun ditemukan pula bahwa banyak kasus penerapan pola kemitraan yang tidak bisa berlanjut karena berbagai alasan, baik alasan yang bersumber dari petani maupun perusahaan, koperasi atau pedagang pengumpul. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh kelompok tani dengan adanya kerjasama adalah antara lain : (1) persoalan yang
dihadapi kelompok tani
termasuk anggotanya terlalu berat untuk diatasi sendiri. Pihak lain yang memiliki kemampuan dalam mengatasi persoalan tersebut, sehingga terjadi saling tukar pengalaman, (2) meningkatkan tugas yang harus dihadapi oleh masing-masing pihak, (3) penggabungan sumber daya dari dua pihak akan menghasilkan tujuan yang lebih baik, dan (4) memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk dapat mengembangkan kemampuannya
(Ditjen Bina Produksi Hortikultur Deptan
2003) . Kelompok yang mandiri dalam aspek kerjasama dapat dilihat dengan ciriciri sebagai berikut : (1) memiliki inisiatif kerjasama, (2) mendasarkan pada prinsip kesetaraan, (3) mengoptimalkan keuntungan bagi kelompok tani maupun anggotanya, dan (4) cara mengembangkan kerjasama. Berdasarkan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam mengembangkan usaha, kelompok masyarakat diperlukan kerjasama antar sesama anggota, antara kelompok dengan pihak lain atau dengan pola kemitraan dengan perusahaan, lembaga keuangan atau pihak lainnya diluar kelompok. Kerjasama
39
yang ada akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Kerjasama akan muncul bila ada kepercayaan, kejelasan tujuan, manfaat dan keterbukaan. Akses Informasi Ruben (1988) mengemukakan bahwa Informasi sangat penting dalam membangun hubungan antar manusia dan melakukan interaksi dalam kehidupan bermasyarakat. Saat ini dunia memasuki zaman baru yang dicirikan oleh ledakan informasi (information explosion). Kemajuan teknologi informasi seolah membuat semua orang dapat mengetahui apa saja yang ingin mereka ketahui dengan segera. Informasi dapat dilakukan dengan jalan komunikasi secara kontinu sebagai upaya membangun jaringan baik secara formal mapun nonformal.
Komunikasi,
menurut Hamundu (1997), adalah upaya bersama antara seseorang dengan orang lain membangun kebersamaan guna membentuk suatu hubungan. Dalam dunia pertanian modern,
van den Ban dan Hawkins (1999),
mengemukakan bahwa informasi merupakan sumber daya penting. Perkembangan komputer dan perbaikan telekomunikasi memudahkan memperoleh informasi teknis dan ekonomis dengan cepat dan menggunakannya dengan efektif untuk pengambilan keputusan. Informasi berupa laporan hasil penelitian, data pasar, data pertumbuhan akan berguna untuk memilih teknologi produksi yang tepat, menciptakan kondisi pertumbuhan yang optimal, menentukan anggaran pengeluaran dan melihat usaha yang paling menguntungkan serta memutuskan kapan dan dimana menjual hasilnya. Informasi tersebut akan semakin membangkitkan motivasi masyarakat untuk mencari ide baru dalam praktek usahanya, akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas. Untuk mengenali permasalahan,
dituntut
memperoleh akses informasi yang lebih banyak sumber informasinya dan tergantung pada karakteristik sumber informasi dan kualitas serta intensitas interaksi antara masyarakat dengan sumber informasi tersebut. Akses terhadap informasi membuat masyarakat memiliki pilihan yang lebih banyak bagi jenis informasi yang diinginkan. Soekartawi (1998) mengatakan bahwa sumber informasi sangat berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi.
40
Khusus di bidang pertanian, menurut (Cangara, 2000), sumber informasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1) Media massa, berupa majalah pertanian, koran, siaran radio dan televisi; (2) Sumber informal terdiri dari tetangga petani dan teman, kelompok usaha, kelompok profesi dan kelompok sosial; (3) Sumber komersial terdiri dari hubungan petani dengan pedagang dan dealer, demonstrator dan bulletin komersial; dan (4) Sumber agen pemerintah terdiri dari bulletin, pertemuan dan hubungan petani/peternak dengan penyuluh dan ahli. Menurut Kaye (1997), informasi akan sangat bermanfaat setelah diolah dengan mempertimbangkan serangkaian faktor-faktor antara lain : (1) relevansi berkaitan dengan persoalan aktual yang ada; (2) akurasi, layak dipercaya dan dapat diuji kebenarannya; (3) kelengkapan, menerangkan seluruh cakupan yang tengah dipertimbangkan; (4) ketajaman, menunjukkan perbedaan antara pilihan yang satu dengan yang lain; (5) ketepatan waktu, apakah informasi dan data-data tersebut masih berlaku dan absah atau sebaliknya sudah usang; dan (6) keterwakilan, apakah informasi yang dikumpulkan cukup mewakili kenyataan. Dengan demikian, informasi memegang peranan penting dalam membuka wawasan terhadap dunia nyata yang dihadapi, karena informasi akan merubah kebiasaan lama kepada kebiasaan baru sebagai dampak penyesuaian informasi yang diterima. Dalam kaitan dengan penelitian ini, diharapkan masyarakat memperolah informasi baru tentang pola pengelolaan SDA yang lebih menguntungkan tetapi ramah lingkungan. Pemimpin Informal Dalam studi kepemimpinan dikenal adanya pemimpin formal dan informal. Pemimpin formal disebut juga pemimpin resmi yang menduduki kursi kepemimpinan dalam suatu lembaga. Mereka mempunyai nama jabatan, tugas dan tanggung jawab yang sudah dirumuskan
secara tegas. Pemimpin informal
menurut Soekanto ( 2002). adalah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal, namun karena ia memiliki kualitas unggul, maka sehingga mempengaruhi kondisi serta perilaku suatu kelompok atau masyarakat. Menurut Mangunharjana (Ginting, 1999), pemimpin informal tidak menduduki tempat tertentu dalam
41
struktur kemasyarakatan dan tidak mempunyai nama jabatan, tidak dibebani tugas dan tanggung jawab yang jelas, kecuali kalau memiliki kualifikasi tertentu, seperti bidang agama, adat dan sebagainya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Hofstede (1991) mengartikan pemimpin informal secara singkat sebagai pemimpin, yang kedudukannya tidak memiliki kaitan dengan jebatan resmi kenegaraan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsekwensi dari pengertian ini maka Kepala Desa, Hansip, Ketua RW dan ketua RT tidaklah termasuk pemimpin informal itu.
Untuk ukuran desa, Hofstede
(1991) mengartikan pemimpin informal di desa sebagai orang yang berpengaruh dan diakui sebagai pemimpin oleh suatu kelompok atau golongan tertentu atau oleh seluruh masyarakat desa, tetapi tidak memegang jabatan resmi dalam pemerintahan desa. Mereka memiliki kharisma dan sering didatangi warga untuk meminta nasehat serta saran dalam memecahkan masalah di pedesaan sehingga sering menjadi pusat informasi dari warga desa. Karl Jackson yang dikutip Hofstede, (1991) memberikan uraian menarik mengenai hubungan pemimpin dan pengikutnya dalam karangannya yang berjudul ”Perticipation in Rebellion.” Dalam uraiannya, Jakson membeberkan masalah kewenangan tradisional yang diberikan kepada sang pemimpin sebagai suatu tipe kekuasaan. Kewenangan tradisional atau bisa diterjemahkan sebagai ”Power” ,
oleh Jakson didefinisikan sebagai berikut : “Power is defined
behaviorally. It refers to an interaction between persons and group in which at a particular moment in time one actor (the influencer) changes the behavior of a secon actor (the influencee).” Kewenangan tradisional dapat diuraikan lebih lanjut sebagai suatu bentuk interaksi dengan ciri-ciri sebagai berikut :
(1) Orang yang mempengaruhi
(influencer) atau pemimpin, mengirimkan suatu pesan kepada yang dipengaruhi (influencee), dan (2) Orang yang dipengaruhi (influencee) menerima pesan itu sebagai dasar tingkah lakunya tanpa mengevaluasinya terlebih dahulu. Sudah umum diketahui bahwa pemimpin informal di desa mempunyai pengaruh besar untuk menggalang gerakan membangun diri di kalangan masyarakat desa. Tokoh-tokoh berpengaruh seperti ini menjadi pusat komando
42
masyarakat dan berperan (1) memutuskan apa yang akan dilakukan kelompok, (2) memberi perintah dan pengarahan, (3) memberi sanksi, dan (4) tempat bergantung bagi pengikutnya hampir dalam semua segi kehidupan. Rogers dan Shoemaker (1971) menguraikan ciri-ciri yang harus dimiliki seorang pemimpin informal (opinion leaders) yang dapat mempengaruhi warga desa dalam adopsi inovasi yaitu yang memiliki ciri-ciri antara lain : (1) banyak berhubungan dengan media massa, (2) kosmopolit, (3) sering berhubungan dengan agen pembaharu, (4) partisipasi sosialnya besar, (5) status sosial ekonominya tinggi, dan (6) lebih inovatif dibanding dengan pengikutnya. Berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, suatu uraian yang sangat menarik dikemukakan oleh Sumardjo (2008), untuk membedakan pemimpin yang sukses dan efektif. Pemimpin sukses dapat mencapai tujuan, tetapi pemimpin efektif dapat mempengaruhi orang lain (follower) untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, pemimpin sukses belum tentu efektif. Jadi, pemimpin yang sukses dan efektif sangat erat hubungannya dengan konsep partisipasi. Potensi Konflik Secara sederhana, konflik dapat diartikan sebagai pertentangan antar aktor individu, kelompok atau masyarakat.
Fitzduf (2002) mengemukakan bahwa
konflik dapat terjadi pada saat para aktor perbedaan tujuan dan cara mencapainya. Ahli yang lain mengemukakan bahwa konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan, dan nilai-nilai kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi.
Konflik merupakan proses almiah, dan bisa menjadi salah satu faktor
yang sangat produktif dan memacu perkembangan manusia, namun konsekwensi yang diutimbulkannya juga dapat sangat destruktif (Fitzduf, 2002).
Konflik
menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran yang lebih serius dari sekedar kompetisi, meskipun, konflik, kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada dasarnya saling berkaitan. Dengan menerima asumsi dan hipotesa Teori Kebutuhan Manusia, Burton (Fitzduf, 2002) menyatakan bahwa individu sebagai anggota kelompok, akan memperjuangan kebutuhannya di dalam lingkungannya. Jika usaha mereka
43
halangi oleh kelompok lain maka akan terjadi konflik. Dalam setiap peristiwa konflik ada unsur kerjasama (kooperasi); keterlibatan kerjasama (cooperative engagements) seringkali melahirikan unsur konflik. Konflik merupakan suatu yang alamiah maka perlu dikelola dengan baik. Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan komunikasi (perilaku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi.
Manajemen konflik dapat melibatkan
bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Burton membedakan antara manajement konflik, penyelesaian (settlement) dan resolusi konflik. Manajemen dapat berupa kecakapan resolusi perselisihan alternatif (by alternative dispute resolution skills) dan ”settlement” adalah ‘dengan proses wewenang dan hukum’ (by authoritative and legal processes’) dan dapat dipaksakan oleh kelompok elit.
Kapasitas Individu Masyarakat Pengertian kapasitas berasal dari
bahasa Ingreris ”capacity” yang
bermakna: daya tampung, daya serap, ruang atau fasilitas yang tersedia, dan kemampuan maksimal.
Penggunaan istilah ini selalu dikaitkan dengan
kemampuan atau kekuatan seseorang yang ditampilkan dalam bentuk tindakan. PKPD (Farid, 2008) mengungkapkan bahwa kapasitas adalah kemampuan individu, organisasi atau sistem untuk melaksanakan tugas atau fungsi-fungsi dan mencapai tugas-tugas secara efektif dan efisien. Oleh
The
Ontario
Prevention
Clearinghouse
(2002),
kapasitas
didefenisikan sebagai ”the actual knowledge, skillset, partiscipation, leadership and resource requered by individual, organizatioon, or a community to effectively address localisues and concerns.”
CIDA (2002)
memberikan pengertian
kapasitas sebagai ”the abilities, skill and understandings, attitudes, values, relationships, behaviors, motivations, resources and condition that enable
44
individuals, organisations, network/sectors, and broader social system to carry out functions, and achieve their development objectives over times.” Berkaitan
dengan
pendidikan,
Mardikanto
(1993)
mendefinisikan
kapasitas belajar sebagai kemampuan seseorang untuk menerima rangsangan atau pengalaman baru. Kapasitas belajar ini dipengaruhi oleh keadaan fisik seperti jenis kelamin, keadaan psikis berupa umur dan tingkat pendidikan serta faktor lingkungan sosial budaya.. Dalam kaitan dengan penelitian ini, kapasitas merupakan kemampuan individu masyarakat untuk berpartisipasi dalam kemitraan pengelolaan TNKT. Slamet (2003) mengemukakan bahwa kemampuan, kemauan dan kesempatan merupakan syarat bagi masyarakat untuk partisipasi. Kemampuan dipengaruhi oleh pengetahuan, ketramplan dan sikap mental. Pengetahuan sangat perlu bagi masyarakat sehingga mereka cepat tanggap terhadap kesempatan yang ada. Meyer (2001) mengemukakan bahwa praktek kemitraan atau kolaborasi tidak dapat direalisir semata-mata berdasarkan kesepakatan antar pihak; seringkali terdapat kesenjangan kapasitas di antara stakeholder berkait dengan pengelolaan sumberdaya yang dapat menghalangi kemitraan. Dengan
mengambil
kasus
petani,
Scroorl
(Yolanda,
2000)
mengemukakan bahwa partisipasi petani timbul dari kepincangan struktural yang terdapat dalam sistem sosial, yakni kepincangan antara kemampuan menyerap informasi dan kesempatan untuk menggunakan informasi.
Kepincangan dapat
timbul karena antara lain: (1) Kemampuan untuk menyerap informasi bertambah, akan tetapi kesempatan untuk menerapkannya relatif tidak ada; (2) kemampuan dan kesempatan itu kedua-duanya bertambah, tetapi bertambahnya kemampuan lebih cepat daripada bertambahnya kesempatan; dan (3) kemampuan bertambah, sedangkan bersamaan dengan itu, kesempatan berkurang. Salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas tersebut adalah melalui penyuluhan. Tentang hal ini, Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan adalah sejalan dengan efectivitas proses belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar membuat mereka memahami informasi, memprosesnya menjadi pengetahuan (kognitif) dan mampu
45
berbuat (konatif) serta termotivasi (afektif) untuk bertindak. Keseluruhan proses ini merupakan ruang lingkup peran penyuluhan. Sejalan dengan pandangan ini, Farid (2008) mengemukakan bahwa peningkatan kapasitas masyarakat harus bertolak dari tata nilai, prioritas kebutuhan dan mengorganisasikan mereka untuk melakukannya sendiri. Pengetahuan Menurut Soekanto (2002), pengetahuan adalah kesan didalam pikiran seseorang sebagai hasil penggunaan pancaindera, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefs), takhayul (supertition) dan penerangan yang keliru (misinformation).
Walgito (2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
mengenal suatu obyek baru selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut dan dapat bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang obyek itu. Meskipun tidak selalu linier, umunya bila seseorang bersikap tertentu terhadap suatu obyek, berarti orang tersebut telah mengetahui dengan benar tentang obyek dimaksud.. Kibler et al. (Zahid, 1997) mendefinisikan pengetahuan sebagai ingatan mengenai sesuatu yang bersifat spesifik atau umum; ingatan mengenai metode atau proses; ingatan mengenai pola, susunan atau keadaan. Hal itu selaras dengan yang dikemukakan oleh Winkel (1987) bahwa pengetahuan merupakan ingatan tentang hal-hal yang pernah dipelajari (fakta, kaidah, prinsip atai metode). Pengetahuan juga dapat dipandang sebagai sekumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktuwaktu sebagai alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungannya. Individu mendapatkan pengetahuan baik melalui proses belajar, pengalaman atau melalui media yang kemudian disimpan dalam memori individu. Taksonomi Bloom mengklasifikasi rana pengetahuan dalam enam bagian, yakni : (1) pengetahuan (knowledge): mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari; (2) pemahaman (comprehension): mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan arti; (3) penerapan (aplication); mencakup kemampuan untuk menerapkan; (4) analisa (analysis): kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian; (5) sintesa (syntesis): mencakup kemampuan untuk
46
membentuk suatu kesatuan atau pola baru; dan (6) evaluasi (evaluation): kemampuan membentuk pendapat mengenai sesuatu
hal.
Purwanto (2002)
menyebutkan bahwa pengetahuan seseorang dan jenis pengetahuan apa yang telah dikuasainya memainkan peranan penting dalam pekerjaannya. Ketrampilan Ketrampilan dapat didefinisikan sebagai aspek perilaku yang berhubungan dengan kemampuan menggerakkan otot-otot tubuh (Padmowihardjo, 2001). Namun, ahli lain mengemukakan bahwa ketrampilan tidak dibatasi pada aspek fisik semata. Spencer et al, (1993) mengemukakan bahwa ketrampilan adalah kecakapan menyelesaikan tugas baik fisik maupun mental. Dalam tulisan Yukl (1994) ketrampilan dibagi atas tiga kategori sebagai berikut: (1) Teknis (teknical skill), lebih bersifat fisik dan berkait dengan peralatan; (2) Hubungan antar pribadi (interpersonal skill), berupa empati, persuasi dll.; dan (3) ketrampilan konseptual (conceptual skill), bersifat nalar dan analitis. Menurut Winkel (1987), ranah instruksional di bidang psikomotorik ada tujuh, yakni: (1) persepsi: kemampuan mengadakan diskriminasi antara dua perangsang atau lebih, berdasarkan perbedaan ciri fisik yang khas; (2) kesiapan: kemampuan menempatkan dirinya dan akan memulai suatu rangkaian gerakan; (3) gerakan terbimbing mencakup kemampuan melakukan suatu rangkaian gerak, sesuai dengan contoh yang diberikan; (4) gerakan yang terbiasa; kemampuan untuk melakukan suatu rangkaian gerak dengan lancar karena sudah dilatih secukupnya; (5) gerakan komplek; kemampuan melakukan keterampilan atas beberapa komponen, dengan lancar, tepat dan efisien; (6) penyesuaian pola gerakan; kemampuan mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak dengan kondisi setempat; dan (7) kreativitas: kemampuan melahirkan pola gerak baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri. Sikap Mental Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanent mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya (van den Ban dan Hawkins, 1999).
Sikap adalah
47
kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar sehingga dapat diperteguh atau diubah (Rakhmat, 2001). Siti Amanah (2006) mempertegas bahwa sikap adalah kecenderungan dan kesiapan untuk bertindak atau merespon, bukan tindakan atau respon itu sendiri. Pandangan ini mengacu pada definisi sikap oleh Gagne (1977), yaitu: ”. . . . .an internal state that influence (moderates) the choices of personal action made by the individual”. Menurut Walgito (2002), sikap terbentuk dalam perkembangan individu dan faktor pengalaman individu mempunyai peranan sangat penting dalam rangka pembentukan sikap. Selanjutnya dikemukan bahwa untuk mengukur sikap dapatlah digunakan pernyataan dan subjek yang diteliti akan memilih salah satu jawaban yang disediakan, misalkan: sangat setuju, setuju, tidak mempunyai pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju, dan seseorang menanggapai sesuatu pernyataan hanya dapat memilih satu dari lima jawaban tersebut. Mar’at (1981) menyebutkan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu, selanjutnya memberikan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik dan buruk, positif atau negatif, menyenangkan atau tidak, setuju atau tidak setuju kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek sikap. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sarwono (2002) bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang, yang ditunjukan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang. Kratwohl dan Bloom (Soenarmo, 2005) membagi aspek sikap mental ke
dalam lima
macam,
yakni:
(1)
penerimaan
(receiving): kepekaan
memperhatikan rangsangan itu; (2) reaksi untuk menanggapi (responding): reaksi tanggapan; (3) penilaian (valuing): kemampuan memberikan penilaian terhadap sesuatu; (4) pengorganisasian (organization): kemampuan membentuk sesuatu sistem nilai; dan (5) pengaturan (characterization by a value complex) atau pembentukan pola hidup: mencakup kemampuan mengahayati
nilai-nilai
48
kehidupan sedemikian rupa sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan dalam mengatur kehidupan sendiri. Kesetaraan Kesetaraan atau kesederajatan atau persamaan adalah merupakan salah satu azas atau prasyarat yang sangat esensial dalam proses partisipasi dan kemitraan. Kata kesetaraan adalah terjemahan dari bahasa inggeris “equality”. Dalam Dictionary: quick_english-indonesian - WordNet dapat didefinisi sebagai; (1) the quality of being the same in quantity or measure or
value or status (ant:
inequality), dan (2) a state of being essentially equal or equivalent; equally balanced; "on a par with the best" (http://kamus.landak.com/cari/equality). Menurut
Wiktionary - Wikipedia, kesetaraan biasanya secara umum
menunjukan pada ide tentang persamaan perlakuan (Equality commonly refers to the idea of equal treatment). Kata “equality” juga sering dikaitkan dengan (1) Egalitarianism, the belief that all/some people ought to be treated equally, (2) Equality before the law, (3) Equality of opportunity, (4) Equality of outcome or equality of condition, (5) Gender equality (6) Social equality (http: //en. wikipedia.org/wiki/Equality). Dalam kaitan dengan penelitian ini, kesetaraan secara sosial merupakan terminology yang sangat relevan untuk dikaji. Dalam literatur elektronik (http : // en. wikipedia. Org / wiki / Equality ) , kesetaraan sosial atau “Social equality” didefinisikan sebagai; “. . . a social state of affairs in which all people within a specific society or isolated group have the same status in a certain respect. At the very least, social equality includes equal rights under the law, such as security, voting rights, freedom of speech and assembly, and the extent of property rights. However, it also includes access to education, health care and other social securities. It also includes equal opportunities and obligations, and so involves the whole society” ‘Equal opportunities’ is interpreted as being judged by ability, which is compatible with a freemarket economy.” Dari uraian definisi kesetraan ini terlihat cakupan yang luas mulai dari persamaan hak dasar hingga hak pribadi termasuk akses pada pendidikan dan kesehatan
serta
persamaan
untuk
memperoleh
kesempatan
berdasarkan
49
kemampuan dari individu atau kelompok masyarakat.
Pandangan ini sejalan
dengan uraian Tadjudin (2000), bahwa kesetaraan atau kesederajatan dalam pengelolaan SDA, memandang bahwa semua orang memiliki derajat yang sama, diimplementasi melalui pengakuan terhadap hak-hak setiap stakeholder.
Hak
tersebut dapat berupa hak milik (individu dan ulayat), hak kultivasi (guna usaha), hak akses (memanfaatkan atau memungut hasil), dan hak pengelolaan.
Partisipasi Pengelolaan Taman Nasional Pola Kemitraan
Pengertian Taman Nasional Taman Nasional, oleh IUCN (1980) didefinisikan sebagai areal dimana: (1) Satu atau beberapa ekosistem tidak berubah oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan lahan; spesies flora dan fauna, kondisi geomorfologi dan kondisi habitatnya memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan nilai rekreasi atau yang memiliki nilai lanskap alam dengan keindahan yang tinggi; (2) Pemerintah perlu memberikan perhatian untuk mencegah kegiatan eksploitasi atau penyerobotan lahan serta mencari upaya efektif untuk mempertahankan kepentingan ekologi, geomorfologi atau keindahan alamnya; dan (3) Pengunjung diperbolehkan masuk dengan tujuan mendapatkan inspirasi, pendidikan, kebudayaan dan rekreasi. Dalam Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang koservasi SDA hayati dan ekosistem,
Kawasan Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Tujuan ditetapkannya taman
Nasional adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.
Adapun fungsi
kawasan Taman Nasional adalah sebagai tempat perlindungan sistem penyangga kehidupan; sebagai wilayah pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya dan untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
50
Berdasarkan sistem zonasi pengelolaannya kawasan taman nasional dapat dibagi atas: (1) zona inti, (2) zona pemanfaatan, dan (3) zona rimba dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian SDA hayati dan ekosistemnya. Ditetapkan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: (1)
mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya, (2)
mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit
penyusunnya, (3) mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia, (4) mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami,
(5) mempunyai ciri khas
potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi, dan (6) mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah. Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
(1) mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa
formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik,
(2)
mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam, (3) kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam,
(4) Ditetapkan
sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut, (5) kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi, (6) memiliki keanekaragaman jenis dalam menyangga pelestarian zona inti dan pemanfaatan, dan (7) merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. Zona inti dimanfaatkan untuk keperluan: (a) penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, (b) ilmu pengetahuan, (c) pendidikan, dan (d) kegiatan penunjang budidaya.
Zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk
keperluan: (a) pariwisata dan rekreasi, (b) penelitian dan pengembangan, dan (c)
pendidikan dan atau kegiatan penunjang budidaya.
Zona Rimba dapat
dimanfaatkan untuk keperluan: (a) penelitian dan pengembangan yang menunjang
51
pemanfaatan, (b) ilmu pengetahuan, (c) pendidikan,
(d) kegiatan penunjang
budidaya, dan (e) wisata alam terbatas. Partisipasi dan Kemitraan dalam Pengelolaan Taman Nasional Pengelolaan kawasan konservasi
menghadapi berbagai masalah yang
amat kompleks. Salah satunya adalah terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menjaga keutuhan ekosistemnya sehingga berubah menjadi sumberdaya alam yang terbuka (open acces). Kondisi ini sering kali dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab (free-rider) bagi keuntungan ekonomi jangka pendek dengan mengorbankan keutuhan ekosistem. Perkembangan saat ini justru makin parah karena proses pengrusakan terjadi melalui kerjasama berbagai pihak dengan masyarakat lokal sebagai pelaksana lapangan. Kenyataan tersebut, menurut berbagai kalangan ditengarai akibat perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan perlindungan selama ini yang kurang partisipatif, transparan, bertanggung jawab dan bertanggung gugat. Konsekwesinya, kurang terakomodasi aspirasi terutama masyarakat lokal sehingga muncul keenganan untuk ikut berbagi peran dan tanggung jawab (sharing of role and responsibility). Dalam kaitan ini, sesungguhnya keberpihakan kita pada masyarakat lokal tidak sekedar karena mereka lemah dari sisi kapasitas, atau karena memiliki pengetahuan lokal yang positif dan atau sebaliknya karena mereka memiliki perilaku merusak sebagai ancaman. Keberpihakan atau pembelaan lebih esensial karena kehidupan perekonomian dan budayanya sangat tergantung pada sumberdaya alam disekitarnya (Tadjudin, 2000). Dengan kata lain, keberpihakan patut dilakukan karena mereka memiliki hak, baik akses maupun milik untuk mengelola. Kenyataan memperlihatkan bahwa peminggiran hak ini berimplikasi pada hilangnya kearifan lokal yang unggul dan menggusur peran dan tanggung jawab tradisional serta
memunculkan perilaku baru masyarakat yang merusak.
Hasil penelitian Tampubolon dan Nahar (2007) di Kepalauan Togean menunjukan bahwa pengakuan hak (recognition) menjadi kata kunci kesediaan masyarakat untuk mau bermitra dalam pengelolaan taman nasional.
52
Dalam Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, disebutkan bahwa “Konservasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat.
Hal ini memperkuat pengakuan Negara terhadap hak adat yang
menurut peraturan perundang-undang dijamin.
Disamping itu, secara nyata
(defacto), sesungguhnya masyarakat telah memiliki sistem pengelolaan SDA secara tradisional yang terbukti hingga kini sesuai dengan prinsip konservasi. Sesungguhnya telah ditawarkan berbagai konsep konservasi antara lain “Integrated Concervation and development Program” (ICDP)
yang bertujuan
menjembatani upaya konservasi dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat dengan melibatkan masyarakat lokal (Wells dan Brandon, 1995).
Menurut
Adiwibowo dkk. (2009), konsep ini kemudian berkembang menjadi konsep kesepakatan antara pengelola kawasan konservasi dan masyarakat. Di taman nasional Kerinci, konsep ini
dikenal dengan
Kesepakatan Konservasi Desa
(KKD) dan di taman nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah dikenal dengan Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM). Menurut Manulang (Kassa, 2009), konsep kesepakatan konservasi atau KKD/KKM diperlukan karena beberapa alasan antara lain: (1). masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka, (2). masyarakat menyangka mereka akan sangat dirugikan oleh kehadiran kawasan konservasi di daerah mereka, dan (3) pihak pengelola belum atau tidak mengenal sepenuhnya keadaan dan aspirasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Atas dorongan dan komitmen berbagai pihak baik dari regulasi maupun emperik memperkuat gagasan untuk mendorong peranserta masyarakat dalam pengelolaan SDA. Berbagai terminologi diperkenalkan antara lain: pengelolaan berbasis masyarakat
“community based manajemen,” mengikutsertakan para
pihak “stakeholder participation,” berbagi tanggung jawab “sharing of responsibility.” berbagi manfaat atau sharing of benefit dan berbagi peran atau sharing of role. Apapun model yang ditawarkan untuk menjembatani kepentingan bersama ini, terminologi partisipasi dan kemitraan menjadi kata kuncinya.
53
Beberapa tahun terakhir ini ditawarkan satu konsep kemitraan dalam mengelola SDA, dengan istilah
Collaborative manajement (co-management).
Cukup sulit untuk menemukan kecocokan kata kolaborasi dalam bahasa Indonesia. Kata gotong royong dapat dipertimbangkan, namun tidak cukup kuat untuk menggantikan kata kolaborasi. Gotong royong bermakna kegiatan yang melibatkan semua pihak, tetapi terlalu bermuatan sosial dan kurang muatan ekonominya. Disamping itu, secara tradisonal terlalu merefleksikan kontribusi sukarela yang didorong oleh kewajiban sosial. Jadi, bukan merupakan suatu mekanisme kerja yang didorong oleh pengakuan hak dari setiap pihak yang bekerja bersama. Berkaitan dengan itu Sen dan Nielsen (1996) mengajukan 5 (lima ) bentuk co-manajemen yakni: (1) instruktif, (2) konsultatif, (3) kooperatif, (4) pendampingan, dan (5) informatif, dajikan pada Gambar 2.
Stated-based management
Community-based management State centralized management
Co-management Instructive – Consultative – Cooperative – Advisory
I f
ti
Community selfmanagement
Gambar 1 Kategori atau susunan dari bentuk Co-manajemen. Sumber: Sen & Nielsen (1996). Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat diartikan bahwa pengelolaan dengan pola co-manajemen kawasan konservasi adalah kemitraan di antara para pihak untuk menyetujui berbagi fungsi, wewenang dan tanggung-jawab. Comanajemen
menurut
Borrini-Feyerabend
et
al.(2000),
berbeda
dengan
pengelolaan partisipatori lainnya atau dengan pengelolaan berbasis masyarakat (community-based resources management), karena menuntut adanya kesadaran dan distribusi tanggung-jawab pemerintah secara formal
Dalam konteks ini,
konsultasi masyarakat dan perencanaan partisipatif ditujukan untuk menetapkan
54
bentuk-bentuk peranserta yang lebih tahan lama, terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan terkait dan sah (legitimate) dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam. Beberapa rumusan dari tujuan kemitraan dalam mengelola SDA yang diadopsi dari Tadjudin (2000) adalah: (1) menyediakan instrumen untuk mengenali stakeholder. Pada stakeholder, melekat atribut berupa : hak, aspirasi, tujuan individu, kelembagaan dan potensi konflik. Keberadaannya harus diakui secara adil, tanpa pretensi memenangkan pihak tertentu; (2) meningkatkan potensi kerja sama antar stakeholder secara egaliter dengan prinsip kemakmuran bersama dan prinsip kelestarian lingkungan hidup; (3) menciptakan mekanisme pemberdayaan agar teraktualisasi pengetahuan/kearifan lokal secara baik sehingga lahir sistem pendistribusian manfaat dan resiko yang adil; (4) menciptakan mekanisme pembelajaran dialogik guna merumusan pola pendayagunaan SDA yang produktif dan lestari; (5) memperbaiki tindakan perlindungan SDA melalui mekanisme internalisasi hal-hal eksternal yang mengancam kelestarian SDA; dan (6) menyediakan sistem manajemen yang membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan manajerialnya. Berbagai kegiatan partisipatif pengelolaan taman nasional berupa penataan kawasan: (1) penguatan perlindungan dan pengamanan, dan (2) penguatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan;
pengembangan
SDM petugas dan masyarakat; pengembangan sarana dan prasarana penunjang kolaborasi (pengelolaan dan pemanfaatan); dan pembinaan partisipasi masyarakat ( program peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat).
55
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Menurut Cole et al. (Sumardjo, 1999), pembangunan berkelanjutan (PB) (sustainable development), dan interdependensi ekonomi dan lingkungan (environment) merupakan konsep yang semakin penting di dunia sejak awal tahun 1970 an. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, merupakan esensi dasar yang menjadi sasaran akhir dari penelitian ini, yaitu tercapainya keseimbangan antara kelestarian alam di satu sisi dan kesejahteraan masyarakat di sisi yang lain. Dalam laporan World Commission on Environment and Development, UN tahun 1987 berjudul Our Common Future, tercantum konsep pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan sebagai
“pembangunan yang berusaha untuk
memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.” Dunia
pada tahun 1988 (Sumardjo, 1999)
Selanjutnya Bank
memasukkan proposisi bahwa
pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan (the alleviation of poverty) dan manajemen lingkungan hidup (environmental management) harus mendapat perhatian secara konsisten dan terus menerus.
Kegiatan tersebut sangat
membutuhkan partisipasi dari semua pihak baik, masyarakat, pemerintah maupun stakeholder lainnya. Tentang hal ini, dapat disimak pada uraian berikut :(http// wikipedia/org/wiki/economic/social/environmental/ atural_resources). “A sustainable approach to development is one which takes account of economic, social and environmental factors to produce projects and programmes which will have results which are not dependent on finite resources. Something which is sustainable will not use more natural resources than the local environment can supply; more financial resources than the local community and markets can sustain; and will have the necessary support from the community, government and other stakeholders to carry on indefinitely.” Pada era tahun 1980 an, istilah keberlanjutan atau sustainable mulai dipopulerkan dan dikaitkan dengan konsep ekologi, kemudian berkembang pada tiga aspek secara integratif yaitu: ekologi, sosial dan ekonomi. Keberlanjutan
56
sumberdaya alam bermakna kondisi yang memungkinkan terjadinya kelestarian, mendukung kehidupan ekonomi manusia dan terjaganya tatanan kehidupan sosial masayarakat. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan beberapa syarat antara lain: pertama, meningkatkan potensi produksi yang ramah lingkungan hidup. Kedua, menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Kedua syarat ini pada hakikatnya ialah ramah lingkungan hidup, sosial-ekonomi dan budaya. Di bidang pertanian (Reijntjes et al., 1995) bahkan memperluas cakupan definisi keberlanjutan pada aspek kemanusiaan dan adaptasi (Sumardjo, 1999). Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting berkaitan dengan kenyataan bahwa perilaku masyarakat dalam mengembangkan usahanya berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam,
umumnya tidak sekedar
tidak mampu meningkatkan pendapatan usahanya tetapi juga sekaligus merusak lingkungann hidup tempat atau sumber usaha. Siti Amanah (2006) menguraikan dua masalah utama perilaku masyarakat dalam pemanfaatan SDA pesisir, yaitu: (1) usaha yang umumnya bersifat subsisten, keterbatasan modal, bergantung pada satu sektor usaha dan rendahnya kemauan dan kemampuan kegiatan pasca panen atau diversifikasi usaha, dan kesulitan pemasaran; dan (2) perilaku sebagian masyarakat
dalam menangkap
ikan
yang
merusak
lingkungan
dengan
menggunakan kompresor, dan zat kimia (potassium cyanide). Sinyalemen ini relatif serupa dengan kejadian yang ada di Kepulauan Togean. Berbagai upaya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan terutama dari segi ekologis telah dilakukan,
antara lain dengan menetapkan kawasan
konservasi. Salah satu bentuk penetapan kawasan konservasi tersebut adalah Tanaman Nasional sebagai upaya mencegah terjadinya kerusakan yang semakin parah. Namun, meskipun konsep Taman Nasional telah dirumuskan dengan tiga fungsi : (1) sebagai kawasan perlindungan; (2) kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa; dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, tetap masih menimbulkan masalah yang pelik di masyarakat. tarnsformasi perilaku implementasi kawasan
tertentu
Hal ini berkaitan dengan adaptasi dan
dan respon masyarakat terhadap konsep dan
konservasi.
Wilayah masyarakat yang sebelumnya
57
terbuka (open access) menjadi tertutup (close access). Masyarakat yang sebelumnya bebas mengeksplotasi SDA menjadi terbatas dengan aturan main tertentu yang disyaratkan sebuah kawasan konservasi. Hal lain yang mendasar dan sering memperkeruh konflik adalah tidak diikutsertakannya masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta evaluasi dari penetapan dan operasionalisasi Taman Nasional. Akibatnya hak dan tanggung jawab masyarakat terabaikan serta ketidak jelasan manfaat yang diperoleh. Disamping itu, implementasi konsep Taman Nasional pada masa lalu yang terlalu berorientasi pada kelestarian alam dan mengabaikan aspek kepentingan atau kebutuhan masyarakat lokal. Menyadari akan hal tersebut maka melalui proses yang cukup panjang sejak tahun 2001, lahirlah satu konsep partisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi termasuk taman nasional.
Pada tahun 2004, keluarlah Peraturan
menteri kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004, tentang kemitraan pengelolaan Taman Nasional yang populer dikenal dengan “pengelolaan kolaboratif.” Konsep ini, sebagaimana tertulis dalam naskah akademik permenhut tersebut, telah mendorong terjadinya pergeseran cara pandang pada bidang pengelolaan kawasan yang dilindungi (protected area), antara lain ; (1) Dari semata mata kawasan perlindungan keanekaragaman hayati ke perlindungan yang memiliki fungsi sosial-ekonomi jangka panjang untuk pembangunan berkelanjutan. (2) Beban biaya yang semula hanya pemerintah menjadi pemerintah dan penerima manfaat (beneficery pays principle). (3) Penentuan Kebijakan dari atas menjadi dari bawah (participatory) (4) Dari pengelolaan berbasis pemerintah (state base manajement) manjadi berbasis multi-stakeholder (collaborative manajement) atau berbasis masyarakat lokal (local community based) (5) Perubahan pola pelayanan pemerintah dari birokratis-normatif menjadi profesional-responsif, fleksibel-netral. (6) Tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis. (7) Peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan fasilitator.
58
Paradigma Partisapsi dan Kemitraan Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi, apalagi termuat secara resmi dalam peraturan menteri, mencerminkan suatu upaya untuk mewujudkan efektivitas pengelolaan kawasan yang dilindungi, terpenuhinya kebutuhan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam, serta terpenuhinya keinginan para pihak untuk mengakhiri konflik tanpa ada pihak yang dikalahkan atau merasa dikalahkan. Untuk mengukur atau memetakan tingkat peran partisipasi stakeholder dalam kemitraan pengeloaan kawasan konservasi, The International Institute for Environment and Development (IIED) (Meyers, 2001), mengajukan satu pendekatan yang dikenal dengan The four Rs (empat R). Piranti empat R ini berusaha untuk menjadikan istilah “peranan” lebih operasional dengan menerjemahkannya ke dalam Right (hak), Responsibilities (tanggung jawab), Revenue (manfaat yang diterima) dan Relationship (hubungan) di antara stakeholder. Penulis mengadopsi dan memodivikasi piranti empat R tersebut untuk mengukur berpartisipasi atau tidak berpartisipasinya masyarakat kepualaun Togean dalam pengelolaan TNKT.
Indikator partisipasi dan non partisipasi
dalam pengelolaan TNKT dengan pola kemitraan yang mengacu pada piranti empat R dapat dilihat pada Tabel 2. Paradigma Kapasitas Masyarakat Implementasi konsep partisiapsi dan kemitraan hingga kini masih menemui banyak sekali kendala dan belum ada satupun kawasan konservasi yang sukses menerapkan konsep ini dengan memuaskan. Dalam kenyataannya, kelompok yang merasa kalah atau merasa akan dikalahkan adalah masyarakat lokal, karena mereka memiliki keterbatasan kapasitas dalam berbagai hal. Oleh karena itu maka keberpihakan yang nyata sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar setara dengan stakeholder lain amatlah penting karena merupakan salah satu prinsip mutlak dari kemitraan. Paradigma kapasitas yang dibangun dalam riset ini diadopsi dan dimodivikasi oleh penulis dari konsepsi para ahli dan disesuaikan dengan kondisi lapangan dan semangat kemitraan.
59
Indikator untuk mengukur paradigma kapasitas individu masyarakat kepulauan Togean disajikan pada Tabel 3.
Non Partisipatif
Pertisipatif
Hak (Right)
Peubah
Pemerintah/instansi terkait atau pihak luar yang menentukan semua hal menyangkut identifikasi kebutuhan, potensi, prioritas masalah, jenis program, pelaku program, sumber/ besar biaya, waktu, lokasi dan sasaran program (pendekatan top down).
* Masyarakat terlibat dalam sosialisasi TNKT * Masyarakat terlibat meng identifikasi kebutuhan ( felt and real need). * terlibat mengidentifikasi potensi. * terlibat menentukan prioritas masalah * terlibat menentukan jenis program. * terlibat menentukan pelaku program * terlibat menentukan sumber/ besar biaya. * terlibat menentukan waktu,lokasi dan sasaran
Tanggung jawab (Responsibility)
Tabel 2. Paradigma Partisipasi Masyarakat melalui Pola Kemitraan. Indi
pemerintah mengalokasikan sumberdaya dan melaksanakan program, masyarakat hanya menonton dan bermasa bodoh pada program yang ada.
* masyarakat terlibat memberikan kontribusi * terlibat dalam sosialisasi program * terlibat dan pelaksanaan program. * terlibat dalam memelihara hasil Program * masyarakat terlibat menentukan manfaat program * terlibatan memanfaatkan hasil program * terlibat dalam menanggung resiko program * terlibat dalam menilai hasil akhir program
Manfaat (Revenue)
Pemerintah mengontrol segalanya dan masyarakat tinggal menerima hasil dan menanggung resiko.
Relasi (Relation)
Partisipasi dalamProses Kemitraan
Kator
* terjadi hubungan saling curiga * komunikasi tidak harmonis antar stakeholder. * tdak ada kepedulian antar stakeholder.
* Terbangun hubungan saling pengertian/serasi antara stakeholder. * tercipta komunikasi yang setara antar stakeholder * tercipta kerjasama antar stakeholder (PEMDA, BTNKT, SWASTA).
60
Tabel 3. Paradigma Kapasitas Individu Masyarakat, Rendah dan Tinggi.. Pe
Sikap mental Ketrampilan. Kesetaraan
Kapasitas Individu Masyarakat
Pengetahuan
Ubah
Rendah
Tinggi
* pengetahuan terbatas pada apa yg diperoleh secara turun temurun. * tidak mengetahui adanya hal baru yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan usaha. * tidak faham konservasi
* pengetahuan luas terkait inovasi usaha yang ramah lingkungan * Memahami pentingnya belajar hal yang baru untuk kemajuan usahanya secara berkelanjutan. * mengerti pentinya konservasi
* Memliki ketrampilan terbatas. * Memakai alat yg merusak * Pengambilan karang berlebihan * konversi bakau berlebihan
* Memiliki variasi ketrampilan * Memakai alat ramah lingkungan * Pengendalian dan pemulihan (transplantasi karang) * Pengendalian dan replanting * mudah menerima perbedaan * mudah menerima perubahan * bereaksi positif terhadap inovasi * terbuka, dan saling percaya * mudah berkerja sama * Percaya diri. * Menghargai hak-hak orang lain * Selalu berusaha untuk mengatasi keadaan
Indikator
* sulit menerima perbedaan * sulit menerima perubahan * bereaksi negatif thdp inovasi * selalu curiga dan skeptis * sulit bekerjasama * Selalu merasa minder * Tdk menghargai hak orang lain. * Pasrah kepada keadaan.
Paradigma Penyuluhan Diasumsikan bahwa meningkatnya kapasitas masyarakat sebagai salah satu syarat partisipasi dalam pengelolaan taman nasional dengan pola kemitraan merupakan fungsi pendidikan yang dilaluinya, dalam hal ini adalah penyuluhan. Paradigma penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini adalah penyuluhan yang bersifat partisipatif baik diukur dari materi, metode, media, frekwensi interaksi klien dengan penyuluh serta kemampuan penyuluhnya.
Paradigma
penyuluhan partisipatif dan non partisipatif yang dibangun dalam penelitian ini diadopsi dan dimodivikasi dari berbagai ahli. Indikator dari penyuluhan yang partisipatif dan non partisipatif tersebut disajikan pada Tabel 4.
61
Tabel 4 Paradigma Penyuluhan Partisipatif dan non partisipatif. Non Partisipastif
Materi penyuluhan
* berorientasi pada penyuluh atau pihak luar. * menggurui dan searah.
Frekwensi interaksi dgnpenyuluh
* berdasar kebutuhan program yang ditetapkan dari luar. * teknologi diintrodusir dari luar tanpa pertimbangan lokal * ditentukan sepihak dari luar
Media Metoda penyuluhan penyuluhan
Indi kator
Kemampuan penyuluh
Proses penyuluhan
Peu bah
* di tentukan oleh penyuluh * tergantung pada alat bantu dari luar
* Jarang berkomunikasi dengan penyuluh * tidak terdapat jadwal pertemuan periodik
* lemah dalam komunikasi dan motivasi. * Jarang mengunjungi masyarakat * ikut memecahkan masalah masyarakat
Partisipastif * menjawab kebutuhan masyarakat setempat * menggali dari teknologi yg berkembang di masyarakat. * dibicarakan bersama mayarakat Setempat * mengacu pada keadaan masyarakat setempat * dialogis, suasana demokratis dan berbagi pengalaman. * disesuaikan kebutuhan masyarakat setempat * dapat memanfaatkan apa yang ada di lapangan. . * aktif membangun komunikasi dengan penyuluh * disepakati pertemuan periodik antara masyarakat dengan penyuluh. * memiliki kemampuan teknis dan non teknis yang memadai . * mengunjungi masyarakat secara periodik * sering ikut mencari solusi dari masalah yang dihadapi masyarakat
Hubungan antar Peubah Penelitian Pendekatan
kemitraan
(co-management)
untuk
tujuan
eksploitasi
sumberdaya alam yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan ekologi dapat dipandang sebagai
hal yang baru di Indonesia. Secara resmi, pendekatan ini
baru diakui Negara pada tahun 2004. Sebagai hal yang baru, konsep tersebut dapat dipandang sebagai sebuah inovasi yang memerlukan persyaratan tertentu bagi masyarakat untuk mengadopsinya. Untuk sampai ketingkat adopsi inovasi tersebut harus melalui transformasi perubahan perilaku atau kesediaan untuk berpartisipasi. Dalam
kaitan ini, partisipasi terhadap konsep kemitraan ini
dipandang sebagai bentuk dari perilaku (Madrie, 1986 dan
Sahidu, 1998).
62
Pandangan tersebut mengacu pada pandangan Beal (Madrie, 1986) sebagai berikut : “. . . there are many subtle behavior pattern intern of gestures, attitude, or manner that constute participation. Untuk dapat berperilaku tertentu, Oppenheim (1966), menerangkan ada dua hal yang mendukungnya, yaitu: (1) ada unsur yang mendorong untuk berperilaku tertentu itu pada diri seseorang (person inner determinant), dan (2) terdapat lingkungan (environmental factor) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu. Kedua faktor yang mempengaruhi perilaku partisipasi masyarakat yang dalam penelitian diri
ini dijabarkan
sebagai
faktor yang bersumber dari dalam
individu masyarakat, lingkungan sosialnya dan faktor rekayasa atau
intervensi dalam bentuk penyuluhan. Faktor-faktor tersebut baik secara langsung maupun melalui peningkatan kapasitas masyarakat, berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan bersama taman nasional Kepulaun Togean. Faktor–faktor ini selanjutnya dijadikan sebagai peubah bebas yang akan diteliti untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan. Peubah bebas yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari tiga faktor yaitu: karakteristik individu masyarakat yang terdiri dari (pendidikan, pengalaman, persepsi, motivasi, kosmopolitan, gender dan status sosial), proses penyuluhan yang terdiri dari (materi penyuluhan, metoda penyuluhan, media penyuluhan, frekwensi interaksi dengan penyuluh dan kemampuan penyuluh). Karakteristik Lingkungan yang terdiri dari (norma yang dianut, kerja sama, akses informasi, peran pemimpin informal dan konflik) dan Peubah terikat terdiri dari dua faktor yaitu : kapasitas individu masyarakat yang terdiri dari (pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, dan kesetaraan) dan partisipasi dalam kemitraan yang terdiri dari (hak, tanggung jawab, manfaat, relasi dan solidaritas). Gambaran yang lebih rinci mengenai peubah dan cara mengukurnya, akan disajikan pada bahagian metodologi. Secara skematis kerangka berpikir dan keterkaitan antar peubah dalam Pengelolaan TNKT untuk kesejahteraan dan konservasi lingkungan, disajikan pada Gambar 2.
63
KARAKTERISTIK INTERNAL (X1) X11 Pendidikan X12 Pengalaman X13 Persepsi X14 Motivasi X15 Kosmopolitan X16 Gender X15 Status Sosial
KAPASITAS DIRI MASYARAKAT (Y1) PROGRAM PENYULUHAN (X2) X21 Materi X22 Metoda X23 Media X24 Interaksi dengan penyuluh X25 Kemampuan
Y11 Pengetahuan Y12 Ketrampilan Y13 Sikap mental Y14 Kesetaraan
PARTISIPASI MASYARAKAT (Y2) FAKTOR LINGKUNGAN (X3) X31 Norma X32 Kerja sama X33 Akses informasi X34 Pemimpin Informal X35 Potensi Konflik
Y21 Hak Y22 Tanggung jawab Y23 Manfaat Y24 Relasi Y25 Solidaritas
Keterangan: = Hubungan langsung = Hubungan tidak langsung = Hubungan korelasi
Gambar 2 Alur hubungan antar peubah penelitian.
64
Gambar 2 menunjukkan adanya hubungan langsung maupun tidak langsung dari karakteristik penyuluh, kompetensi penyuluh dan motivasi penyuluh pada kinerja mereka maupun perilaku petani. Selain itu terdapat pula hubungan korelasi antara karakteristik penyuluh, kompetensi penyuluh dan motivasi penyuluh.
Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dijelaskan, dapat dirumuskan hipotesis kerja penelitian sebagai berikut: (1)
Karakteristik
internal,
proses
berpengaruh nyata pada
penyuluhan,
dan
faktor
lingkungan
kapasitas diri individu masyarakat
dalam
pengelolaan TNKT (2)
Karakteristik individu, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas diri individu masyarakat berpengaruh nyata pada partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT
(3)
Terdapat hubungan yang nyata antara peubah karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan.
65
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif explanatory (Singarimbun dan Effendi, 1989), yaitu jenis penelitian untuk
mendiskripsikan, menguji hubungan dan
pengaruh antar
peubah, mengacu pada hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. penelitian ini juga disebut sebagai
“ex Post Facto,”
Jenis
yaitu bentuk penelitian
untuk menilai peristiwa yang telah terjadi guna menemukan faktor-faktor penyebab melalui pengamatan atau penilaian kondisi faktual di lapangan. Pengamatan utama penelitian adalah menilai kapasitas masyarakat dan partispasi mereka dalam pengelolaan TNKT serta mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan analisis deskriptif
dan paradigma kuantitatif
sesuai pendapat Miller, Black dan
Champion (Sumardjo, 1999) sebagai tumpuan analisis, dilengkapi dengan informasi berdasarkan data kualitatif sesuai pendapat Dey dan Moleong (Sumardjo, 1999) untuk mendukung dan mempertajam analisis kuantitatif. Tujuan utama dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Sevilla et al. 1993). Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengisian questioner maupun FGD dengan teknik ”search conference”
baik kepada responden maupun kepada
informan, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil penelitian terdahulu dan kajian pustaka yang relevan serta data yang telah dikumpulkan pihak lain baik seperti Balai TNKT dan intansi pemerintah lainnya, maupun kalangan NGO. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Lokasi TNKT Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah, pada bulan Agustus–September 2008. Pemilihan lokasi
66
penelitian didasarkan pada (1)
adanya
kebijakan
baru penetapan Taman
Nasional yang dikelola secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan, (2) belum banyaknya contoh pengelolaan Taman Nasional yang dirancang dengan pendekatan partisipasi masyarakat sekitar kawasan dengan pola kemitraan, dan (3) meskipun letaknya terpencil, namun sarana transportasi dan komunikasi cukup lancar. Populasi dan Sampel Panelitian Populasi penelitian adalah masyarakat pada tiga kecamatan di kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT), Kabupaten Towuna Provinsi Sulawesi Tengah yang melakukan kegiatan dominan dibidang pertanian dan perikanan. Berdasarkan hasil survei awal (prelimenery survey) yang diadakan pada
akhir
bulan agustus 2007, ditetapkan tiga desa yang dijadikan sampel
secara sengaja “purposive sampling” berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Singarimbun dan Effendi, 1989). Tiga desa yang dipilih yaitu: Desa Lembanato di Kecamatan Togean, desa Kabalutan di Kecamatan Walea kepulauan dan desa Tanjung Pude di Kecamatan Una-una. Tiga kecamatan dan tiga desa yang dipilih secara sengaja tersebut didasarkan atas rumusan masalah, tujuan dan kerangka pemikiran, kemudian diterjemahkan dalam bentuk kriteria atau indikator-indikator, serta pertimbangan keterbatasan waktu dan dana serta akurasinya (Oppenheim, 1966). Adapun indikator penentuan desa-desa tersebut mewakili beberapa hal antara lain: desa terbuka dan terisolir, kondisi ekologis yang masih baik maupun telah mengalami kerusakan, penyebaran penduduk baik jumlah maupun suku bangsa serta homogenitasnya, sentuhan penyuluhan atau program konservasi, dan ada tidaknya kearifan lokal yang masih dianut masyarakatnya. Pengambilan sampel dilakukan secara acak berstrata (stratified ramdom sampling) (Singarimbun dan Effendi, 1989) serta disesuaikan dengan prosedur penggunaan ukuran sampel dalam pengujian Struktral Equation Modeling (SEM). Persyaratan penggunaan “sampel size” dalam pengujian SEM (Solimun, 2002) adalah sebagai beriku :
67
(1)
Bila parameter menggunakan metode kemungkinan maksimum ; besar sampel yang digunakan adalah 100-200 ; minimum absolutnya adalah 50.
(2)
Sebanyak 5-10 kali jumlah parameter dalam model yang akan diduga.
(3)
Sama dengan 5-10 kali jumlah peubah manifest (indikator) dari keseluruhan peubah/peubah laten.
(4)
Secara umum program Linier Struktural Relation (LISREL) yang digunakan dalam analisis SEM menghendaki ukuran sampel 10 kali jumlah peubah.
(5)
Besar sampel minimum dalam LISREL adalah 10 kali jumlah parameter (independen) yang ada dalam model yang diduga. Teknik penentuan jumlah
sampelnya
menggunakan rumus Slovin
(Riduwan, 2004) sebagai berikut:
N n= N.d2 + 1
Keterangan: n = jumlah sampel N = Jumlah populasi d2 = Presisi yang ditetapkan Presisi dalam pengambilan sampel ini sebesar 13 %. Jumlah sampel penelitian sebanyak 166 orang dengan perincian pada tiap kecamatan disajikan pada Tabel 5. Selain sampel, informasi juga diperoleh dari informan kunci seperti : pemuka masyarakat, kepala Desa, pengurus organisasi masyarakat, penyuluh atau fasilitator/pendamping masyarakat termasuk pegiat NGO dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan Manula, perempuan dan anak muda yang keseluruhannya berjumlah 40 orang. Informasi yang diharapkan dari informan kunci ini terutama menyangkut perubahan
lingkungan
kawasan
TNKT dan aspek sosial ekonomi dan harapan tentang masa depan kawasan yang dijadikan lokasi penelitian.
68
Tabel 5. Rincian Sampel Penelitian berdasarkan data sensus tahun 2007 No
Kecamatan
Nama Desa
1
Una-Una
Tanjung
Jumlah Populasi (jiwa) 572
Jumlah Sampel 53
Pude 2
Walea
Kabalutan
2027
58
3
Togean
Lembanato
740
55
Total
Keterangan
Desa terbuka, dekat ibu kota kecamatan, nelayan dan petani Desa pesisir (terisolir), nelayan. Desa pedalaman (terisolir), petani
166
Instrumentasi Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah yang dikaji. Validitas instrumen adalah tingkat kesesuaian antara konsep dengan hasil pengukuran dari konsep yang bersangkutan.
Kesesuaian ditentukan dengan
mengadakan perbandingan antara konsep nominal dengan definisi operasional. Validitas daftar pertanyaan diperlukan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Validitas dimaksud adalah bangun pengertian (Construct validity), berkenaan dengan kesanggupan alat ukur mengenai pengertian yang terkandung dalam materi yang diukurnya (Sujana, 2003). Menurut Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1989), alat ukur dikatakan sahih (valid) bila alat ukur tersebut dapat mengukur obyek yang sebenarnya ingin diukur. Terdapat beberapa cara untuk menetapkan kesahihan atau keabsahan suatu alat ukur yang dipakai, yaitu (1) validitas konstruk : artinya peneliti menyusun tolok ukur operasional dari kerangka suatu konsep yang akan diukur, (2) validitas isi : yakni alat ukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep, dan (3) validitas eksternal : yakni alat ukur baru yang akan digunakan tidak berbeda hasilnya jika dibandingkan dengan alat ukur yang sudah valid. Pengujian validitas instrumen dalam penelitian ini digunakan cara validitas konstruk, yaitu menyusun tolok ukur operasional dari kerangka suatu konsep
69
dengan cara pemahaman atau logika berpikir atas dasar pengetahuan ilmiah yang isi kuesionernya disesuaikan dengan konsep dan teori yang telah dikemukakan oleh para ahli. Disamping itu, melakukan konsultasi dengan pihak yang dianggap menguasai materi daftar kuesioner yang digunakan. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan tingkat konsistensi suatu alat ukur, sehingga dapat dipercaya atau diandalkan. Suatu alat ukur dikatakan mempunyai tingkat keterandalan tinggi (reliable) apabila alat ukur tersebut digunakan dua kali atau lebih untuk mengukur gejala yang sama mempunyai hasil pengukuran relatif konsisten (Singarimbun dan Effendi, 1989). Hasil uji validitas dan reabilitas secara lengkap dapat dilihat pada bagian lampiran dan intisarinya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Instrument Penelitian
No 1 2 3 4 5
Peubah (X1) Faktor Internal (X2) Proses penyuluhan (X3) Faktor lingkungan (Y1) Kapasitas (Y2) Partisispasi
Validitas 0,581-0,824
Reabilitas 0,859
0,721-0,801
0,856
0,623-0,801
0,857
0,821-0,857
0,857
0,617-0,848
0,858
Keterangan valid dan reliabel valid dan reliabel valid dan reliabel valid dan reliabel valid dan reliabel
Keterangan : Dilakukan juga uji validitas dan reabilitas dengan menggunakan analisis SEM (Structural Equation Model) dengan program LISREL. Hasil pengujian tersebut menunjukan nilai valid dan reliabel (lamp. 1 dan 3).
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Definisi operasional menurut Singarimbun dan Effendi (1989), adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti untuk mengetahui bagaimana mengukur peubah yang digunakan.
Untuk kepentingan pengujian
secara statistik, perlu dilakukan transformasi agar semua data yang terkumpul memiliki kisaran yang sama, yaitu 0 – 100. Mengacu pada Sumardjo (1999), pedoman transformasi dapat dilakukan dengan menentukan nilai indeks terkecil
70
diberikan untuk jumlah skor terendah dan nilai 100 untuk jumlah skor tertinggi dari tiap indikator. Transfromasi semacam ini digunakann untuk menghitung nilai keragaman yang terjadi dalam setiap peubah penelitian ini, terutama yang berskala ordinal menjadi interval atau rasio sehingga layak diuji dengan menggunakan statistik parametrik. Rumus umum transformasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
(1). Transformasi Indek Indikator : Jumlah skor yang dicapai – Jumlah skor minimum yang diharapkan ------------------------------------------------------------------------------------------ x 100 Jumlah skor maksimum yang diharapkan – skor minimum yang diharapkan
(2). Transformasi Indek Peubah Jumlah skor yang dicapai – Jumlah skor minimum yang diharapkan ------------------------------------------------------------------------------------------ x 100 Jumlah skor maksimum yang diharapkan – skor minimum yang diharapkan Ket : selang nilai indek peubah 0 - 100
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah : (1). Karakteristik Individu Masyarakat (X1), adalah ciri-ciri yang melekat pada individu masyarakat yang membedakan dirinya dengan orang lain. Karakteristik Individu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan formal, pendidikan non formal, persepsi, motivasi, kosmopolitan, pengalaman dan gender dengan sejumlah indikator dan pengukurannya (Tabel 7).
71
Tabel 7. Indikator dan pengukuran karakteristik individu masyarakat. Peubah
Indikator/patokan X.1.1. Pendidikan
Karakteristik Individu {X1)
X.1.2 Persepsi
X.1.3 Motivasi
X. 1.4. Kosmopolitan,
X.1.5. Pengalaman Usaha X.1.6 Gender
X.1.7 Status sosial
Parameter/ukuran Tingkat pendidikan formal.
Pendidikan non formal (kursus, penyuluhan dan pelatihan. Pendapat atau pemahaman terhadap pengelolaan TNKT secara berkelanjutan Hal yang mendorong responden baik dari dalam (intristik) maupun dari luar (ekstrinsik) untuk terlibat dalam pengelolaan TNKT Tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar system sosialnya. Waktu yang dicurahkan untuk kegiatan usahanya Pandangan responden tentang kesenjangan/ hambatan/akses dalam pengelolaan TNKT karena jenis kelamin . Pandangan responden tentang posisi sosial individu masyarakat terkait budya, pendidikan dan harta
Satuan Tidak Tamat SD Tamat SD, SMP SMA, Tamat S1, S2, S3. Berapa kali/ Frekwensi. Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jarak dan Frekwensi
Tahun kerja Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju
(2). Proses Penyuluhan (X2 ), adalah serangkaian kegiatan dan kebutuhan yang diperlukan untuk menjamin efektifitas dari kegiatan penyuluhan.
Proses
penyuluhan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah materi penyuluhan, metoda penyuluhan, media penyuluhan, frekwensi interaksi masyarakat dengan penyuluh dan kemampuan penyuluh dengan sejumlah indikator dan pengukurannya (Tabel 8).
72
Tabel 8 Indikator dan pengukuran proses penyuluhan. Peubah
Indikator/patokan X.2.1. Materi penyuluhan
Proses penyuluhan {X2)
X.2.2. Metoda penyuluhan
X.2.3. Media penyuluhan,
X.2.4. Frekwensi interaksi masyarakat dengan penyuluh X.2.5. Kemampuan penyuluh
(3). Karakteristik
Parameter/ukuran Segala sesuatu yang diajarkan kepada masyarakat pada saat penyuluhan, diukur berdasarkan penilaian responden terhadap kesesuaian materi dengan kebutuhan usahanya. Cara penyampaian materi penyuluhan yang dapat dimengerti dan diterima sasaran , diukur berdasarkan penilaian responden terhadap jenis metoda yang digunakan. Alat Bantu untuk memperjelas penyampaian materi penyuluhan, diukur berdasarkan penilaian responden terhadap jenis media yang digunakan Tingkat intensitas bertemunya responden dengan penyuluh, untuk mendapatkan informasi tentang usahanya. Kemampuan penyuluh dalam melakukan tugas penyuluhan, diukur berdasarkan penilaian responden terhadap kemampuan penyuluh dalam memebrikan materi penyuluhan.
Satuan Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju
Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju
Lingkungan Eksternal (X3 ), adalah kondisi faktor-faktor
eksternal yang berpengaruh terhadap keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan TNKT dengan pola kemitraan. eksternal kerja sama,
Karakteristik Lingkungan
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah norma yang dianut, peran pemimpin informal, dan akses informasi dan konflik
dengan sejumlah indikator dan pengukurannya (Tabel 9).
73
Tabel 9 Indikator dan pengukuran Karakteristik Lingkungan Sosial. Peubah
Indikator/patokan
Parameter/ukuran
Pilihan jawaban
X.3.1. Norma
Karakteristik Lingkungan {X3)
X.3.2. Kerja sama
X. 3.3 Akses Informasi
X.3.4. Peran pemimpin in formal
X. 3.5. Konflik
Ketersediaan norma atau adat yang masih berlaku. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma adat yang berlaku. Ketersediaan model kerja sama antar stakeholder Tingkat kepercayaan terhadap sesama Frekwensi mengikuti kegiatan organisasi sosial Tingkat ketersediaan sumber informasi Tingkat Kemudahan untuk memperoleh informasi. Tingkat kesesuaian informasi Tingkat keakuratan informasi Tingkat keaktualan informasi Tingkat kepercayaan masyarakat padanya keaktifan dalam memecahkan masalah social Tingkat kepatuhan masyarakat padanya Keikutsertaan pengikut Memotivasi pengikut Tingkat intensitas konflik di masyarakat Aktor yang terlibat dalam konflik Penyebab terjadinya konflik Cara mengatasi konflik Tingkat keaktifan mencegah konlik
Benar Salah
Benar Salah
Benar Salah
Benar Salah
Benar Salah
(4). Kapasitas Individu Masyarakat (Y1), adalah daya yang ada pada diri seseorang untuk mengambil keputusan (untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu) berkaitan dengan keterlibatannya dalam pengelolaan TNKT. Kapasitas Individu msayarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah daya yang diekspresikan melalui pegetahuan, ketrampilan, sikap mental, dan perasaan setara dengan sejumlah indikator dan pengukurannya disajikan pada Tabel 10.
74
Tabel 10. Indikator dan pengukuran Kapasitas Individu Masyarakat.
Kapasitas Individu Masyarakat {Y1)
Peubah
Indikator (patokan) Y.1.1. Pengetahuan
Parameter (ukuran) Segala sesuatu yang diketahui/pemahaman masyarakat tentang pengelolaan TNKT secara berkelanjutan
Y.1.2. Ketrampilan
Kecakapan yang dimiliki masyarakat untuk melaksanakan usahanya, diukur berdasarkan kemampuan psikomotorik tentang pengelolaan TNKT secara berkelanjutan Sikap mental yang dimiliki masyarakat berkaitan dengan keberadaan TNKT dan pengelolaannya.
Y.1.3 Sikap mental
Y.2.4 Kesetaraan
Sikap satu individu terhadap dirinya dan terhadap individu lain terkait persamaan hak dalam pengelolaan TNKT .
Satuan Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju
(5). Partisipasi dalam kemitraan (Y2), adalah suatu proses dimana Partisipasi dalam kemitraan adalah kesediaan individu masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan TNKT, didasari oleh prinsip persamaan hak melalui hubungan yang setara dan adil serta kesadaran akan tanggung jawab atas manfaat yang diperoleh dan resiko yang dihadapi bersama.
Partisipasi masyarakat
ini diukur melalui kualitas dan kuantitas keterlibatan masyarakat mulai dari merencanakan, melaksanakan, memperoleh manfaat hingga melakukan evaluasi terhadap kegiatan atau program secara berkelanjutan dengan sejumlah indikator dan pengukurannya (Tabel 11).
75
Tabel 11 Indikator dan Pengukuran Partisipasi Masyarakat Melalui Proses Kemitraan.
Partisipasi dalam Kemitraan {Y2)
Peubah
Indikator (patokan) Y.2.1. Hak (Right)
Y.2.2. Tanggung jawab Responsibility)
Y.2.3. Manfaat (Revenue).
Y.2.4. Relasi (Relation)
Y2.5. Solidaritas
Parameter (ukuran) Terlibat dalam identifikasi masalah Terlibat dalam identifikasi potensi Terlibat menentukan prioritas masalah Terlibat menentukan jenis program. Terlibat menentukan waktu dan lokasi program Terlibat dalam memberikan kontribusi Terlibat dalam sosialisasi program Terlibat dan pelaksanaan program. Terlibat memelihara hasil program Terlibat menentukan manfaat program Terlibat memanfaatkan hasil program Terlibat dalam menanggung resiko program Terlibat menilai (evaluasi) hasil akhir program Terlibat dalam membangun kerjasama secara adil. Terlibat menjaga kelangsungan hubungan yang setara antar sesama Terlibat mendorong semangat gotong royong di masyarakat Terlibat membangun kepedulian kepedulian masyarakat (community care) Terlibat mendorong semangat kesukarelaan
Satuan Tidak Pernah Kadang kadang Sering Selalu
Tidak Pernah Kadang kadang Sering Selalu Tidak Pernah Kadang kadang Sering Selalu
Tidak Pernah Kadang kadang Sering Selalu
Tidak Pernah Kadang kadang Sering Selalu
Analisis Data Seluruh data yang terkumpul ditabulasi sesuai dengan kategorinya, lalu dianalisis sesuai kebutuhan penelitian. Untuk mengetahui hubungan antar peubah penelitian dan menemukan model empiris hubungan antar peubah dan faktorfaktor pendukungnya, digunakan analisis SEM dengan program LISREL. Pengujian kesesuaian model dilakukan dengan menggunakan beberapa ukuran kesesuaian model Goodness-of-Fit-Test (GFT). Menurut Joreskog &
76
Sorbon dalam Kusnendi (2008) bahwa suatu model struktural diindikasikan sesuai atau fit bila memenuhi tiga jenis GFT, yaitu: 1) p-value ≥ 0,05, 2) Root Means Square Error of Approximation (RMSEA) ≤ 0,08, dan Comparative Fit Indeks (CFI) ≥ 0,90. Analisis data yang menggunakan model persamaan struktural (Structural Equation Modeling, SEM) tersebut dimaksudkan untuk menguji
kerangka
hipotetik seperti tertera pada gambar 3. Untuk mengestimasi parameter model, dirumuskan persamaan model pengukuran dan persamaan model struktural sebagai berikut: •
Persamaan model pengukuran (1) Pengukuran peubah karakteristik X1.1 = λ1 X1 + δ1 X1.2 = λ2 X1 + δ2 X1.3 = λ3 X1 + δ3 X1.4 = λ4 X1 + δ4 X1.5 = λ5 X1 + δ5 X1.6 = λ6 X1 + δ6 X1.7 = λ7 X1 + δ7 (2) Pengukuran peubah proses penyuluhan X2.1 = λ8 X2 + δ8 X2.2 = λ9 X2 + δ9 X2.3 = λ10 X2 + δ10 X2.4 = λ11 X2 + δ11 X2.5 = λ12 X2 + δ12
77
δ1
δ2
δ3
X1.1
X1.2
X1.3
λ1
δ8
λ2
X2.1
X2.2
δ5
δ6
δ7
X1.4
X1.5
X1.6
X1.7
λ3
λ4
λ5
λ6
λ7
Karakteristik Internal (X1)
λ8
δ9
δ4
ζ1
φ1
X2.3 λ10
δ11
X2.4
δ12
X2.5
Φ3
λ11 λ12
δ14
X3.1
Proses penyuluhan (X2)
Kapasitas masyarakat Y1)
γ2 γ5
Φ2
λ21
γ3 Partisipasi masyarakat (Y2)
γ6
λ13
ζ2 λ15
X3.3 δ15
Y1.3
Є3
Y1.4
Є4
β
λ16
X3.4 δ16
λ17
λ26
λ25
X3.5
Y2.5
Y2.4
Є9
Є8
δ17
λ22
Y2.1
Є5
λ23
Y2.2
Є6
Y2.3
Є7
λ24
λ14
X3.2
Є2
λ20
Faktor lingkungan (X3) δ13
Y1.2 λ19
γ4 δ10
Є1
λ18
γ1
λ9
Y1.1
Gambar 3 Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian.
78
(3) Pengukuran peubah faktor lingkungan X3.1 = λ13 X3 + δ13 X3.2 = λ14 X3 + δ14 X3.3 = λ15 X3 + δ15 X3.4 = λ16 X3 + δ16 X3.5 = λ17 X3 + δ17 (4) Pengukuran kapasitas individu masyarakat Y1.1 = λ18 Y1 + є1 Y1.2 = λ19 Y1 + є2 Y1.3 = λ20 Y1 + є3 Y1.4 = λ20 Y1 + є4 (5) Pengukuran peubah partispasi Y2.1 = λ21 Y2 + є12 Y2.2 = λ22 Y2 + є13 Y2.3 = λ23 Y1 + є3 Y2.4 = λ24 Y1 + є4 Y2.5 = λ25 Y1 + є3 •
Persamaan model struktural (1) Model kapasitas masyarakat Y1 =
γ1 X1 + γ2 X2 + γ3 X3 + ζ1
(2) Model partisipasi masyarakat Y2 = γ4 X1 + γ5 X2 + γ6 X3 + β Y1 + ζ2 Untuk menguji model, dirumuskan rancangan pengujian model, tertera pada Tabel 12.
79
Tabel 12 Rancangan pengujian model penelitian partisipasi masyarakat. Model Overall Model Fit
Model kapasitas masyarakat
Hipotesis
Statistik Uji Hо: Matriks kovariansi data sampel tidak Nilai p, berbeda dengan matriks kovariansi populasi RMSEA, Dan CFI yang diestimasi. H1: Matriks kovariansi sampel berbeda dgn matriks kovariansi populasi yang diestimasi.
Nilai t Hо: γ1 = γ2 = γ3 = 0: Karakteristik atau proses atau lingkungan tidak berpengaruh pada kapasitas masyarakat. H1: γ1 > 0: Karakteristik berpengaruh nyata pada kapasitas masyarakat. H1: γ2 > 0: Proses berpengaruh nyata pada kapasitas masyarakat. H1: γ3 > 0: Lingkungan berpengaruh nyata pada kapasitas masyarakat.
Model Hо: γ4 = γ5 = γ6 = β = 0: Karakteristik atau Nilai t partisipasi proses atau lingkungan atau kapasitas Masyarakat tidak berpengaruh pada partisipasi. H1: γ1 > 0: Karakteristik berpengaruh nyata pada partisipasi masyarakat. H1: γ2 > 0: Proses berpengaruh nyata pada partisipasi masyarakat. H1: γ3 > 0: Lingkungan berpengaruh nyata pada partisipasi masyarakat. H1: β > 0: Kapasitas berpengaruh nyata pada partispasi masyarakat.
Kriteria Uji Diharapkan Hо diterima, jika: p ≥ 0,05; RMSEA < 0,08 dan atau CFI > 0,90 Diharapkan Ho ditolak, jika: nilai t-hitung ≥ 1,96
Diharapkan Ho ditolak, jika: nilai t-hitung ≥ 1,96
Penjelasan peubah dan sub peubah dari model pada Gambar 4 dijelaskan pada Tabel 13.
80
Tabel 13. Peubah dan Sub Peubah Model Persamaan Struktural. No.
Peubah
Sub peubah
Notasi
Pendidkan Pengalaman Persepsi Motivasi Kosmopolitan Gender Status sosial Materi
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7 X2.1
Metoda Media Interaksi penyuluh Kemampuan penyuluh Norma
X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X3.1
Kerja sama Akses Informas i Pemimpin informal Potensi konflik
X3.2 X3.3 X3.4 X3.5
Pengetahuan
Y1.1
Ketrampilan Sikap mental Kesetaraan Hak
Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y2.1
Tanggung Jawab. Manfaat Relasi Solidaritas
Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5
Laten Eksogen 1.
Karakteristik Internal (X1)
2.
Proses Penyluhan (X2)
3.
Faktor lingkungan (X3)
Laten Endogen 1.
2.
Kapasitas masyarakat (Y1)
Partisipasi masyarakat (Y2)
81
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Letak dan Luasan Secara Geografis Kepulauan Togean terletak di tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat 00°08'21"-00°45'12" LS dan 121°33'36 BT, dengan luas daratan kurang lebih 755,4 Km2, , terdiri dari kurang lebih 50 pulau besar dan kecil (CII, 2005) (Gambar 3).. Kepulauan Togean termasuk dalam wilayah Kabupaten Tojo Una-Una (sejak tahun 2003) yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Poso. Pengelolaannya mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean yang dibuat oleh Kabupaten Poso sebagai kabupaten induk. Berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Tengah nomor 136/1028/Bappeda tahun 1996, kawasan hutan Kepulauan Togean dibagi menjadi hutan lindung, Area Penggunaan Lain, Hutan Produksi yang dapat dikonversi, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Dengan penunjukan sebagai Taman Nasional, fungsi hutan yang menjadikan pengelolaan yang berbasis pemanfaatan SDA yang terarah.
Gambar 4. Peta Administrasi Kepulauan Togean Kawasan Kepulauan Togean tidak hanya memiliki arti penting bagi Kabupaten Tojo Una-Una, namun bagi ekosistem Teluk Tomini. Kawasan ini
82 berfungsi sebagai area perlindungan flora dan fauna khas dan endemik, fungsi hidrologi serta optimalisasi pemanfaatan SDA laut, sekaligus juga mendukung perkembangan perekonomian daerah khususnya di bidang pariwisata dan perikanan. Bahkan secara nasional Kepulauan Togean menjadi bagian dari Program Pengembangan Perikanan Terpadu Teluk Tomini. Pada tahun 2004, menteri Kehutanan RI berdasarkan SK No. 418/Menhut/04 menunjuk kawasan ini menjadi TNKT seluas 362.605 ha yang meliputi 25.832 ha wilayah daratan dan 336.773 ha wilayah perairan (CII, 2005).
Kondisi Biologi Kepulauan Togean memiliki berbagai tipe ekosistem flora dan fauna, baik di darat maupun di laut, mulai dari terumbu karang (coral reefs), serta padang lamun (sea-grass bed), mangrove dan hutan dataran rendah: (1) Terumbu karang Kepulauan Togean merupakan salah satu bagian ekosistem terumbu karang penting dari ”segitiga terumbu karang” (coral triangle)(Gambar 4) yang merupakan area-area yang memiliki keragaman karang tertinggi di dunia. Coral triangle ini meliputi wilayah Indonesia, Philipina, Malaysia, Papua Nugini, hingga Kepulauan Micronesia. Dalam dokumen Marine Rapid Assessment Program (MRAP) dinyatakan bahwa Togean merupakan "the heart of coral triangle" (Hutabarat, 1996). Hasil MRAP di Kepulauan Togean bekerjasama
dengan
Lembaga
Oceanografi
yang dilakukan oleh CII LIPI
dan
Universitas
Hasanuddin berhasil mengidentifikasi sedikitnya 262 spesies karang, termasuk jenis endemik Togean, yaitu Acropora togeanensis pada 11 titik pengamatan. Enam jenis karang baru juga ditemukan di Kepulauan Togean. Studi tersebut
juga
mencatat jenis ikan terumbu karang di
Kepulauan Togean sebanyak 596 species ikan yang termasuk dalam 62 famili. Jenis Paracheilinus togeanensis dan Ecsenius sp diduga kuat merupakan endemik yang hanya bisa ditemukan di Kepulauan Togean.
83 Selain itu juga tercatat 555 species moluska dari 103 famili, 336 jenis gastropoda, 211 jenis bivalvia, 2 jenis cephalopoda, 2 jenis scaphopoda dan 4 jenis chiton.
Gambar 5. Segi Tiga Terumbu Karang Yang Meliputi: 1 = Teluk Tomini; 2 = Kalimantan Bagian Utara; Kalimantan; 3 = Sulawesi Tenggara; 4 = Lesser Sunda; 5 = Kepala Burung (Raja Ampat, Teluk Cenderwasi); 6 = Halmahera; 7 = Area Sula Spur (Termasuk Kepulauan Banggai); 8 = Laut Banda; 9 = Regio Fak Fak; 10 = Selat Makassar/Laut Flores; 11 = Laut Sulawesi. (2) Padang Lamun Ekosistem padang lamun adalah ekosistem tumbuhan laut yang tumbuh di dasar laut berpasir yang tidak terlalu dalam dan sinar masih dapat menembus sehingga tumbuhan tersebut masih dapat berfotosintesa. Ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove berfungsi sebagai perangkap sedimen dan menstabilkan dasar perairan yang diakibatkan oleh sedimen yang berasal dari daratan sehingga tidak masuk ke ekosistem terumbu karang yang ada di belakangnya. Ekosistem padang lamun mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga dapat menopang kehidupan berbagai organisme, tumbuhan penyusun padang lamun di Perairan Kepulauan Togean berdasarkan hasil pengumpulan data oleh tim pemetaan MCRMP (CII, 2005) dijumpai tujuh species yaitu: Cymodocea rortundata, C. serulata, Enhalus acroides, Thalassia
hemprichii,
Halodule
uninervis,
Halophila
ovalis
dan
84 Syringodium isotifolium. Di setiap lokasi pengamatan dijumpai karakteristik tumbuhan yang berbeda-beda. Species Thalassia hemprichii dan Enhalus acroides hampir ditemukan di semua lokasi. (3) Mangrove Menurut data BKSDA dan Bappeda Kabupaten Poso, luas hutan mangrove Kepulauan Togean diperkirakan ada sekitar 4.800 ha, tersebar di pulau besar seperti Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian Pulau Waleabahi, sedangkan hasil survei yang dilakukan oleh CII dan Yayasan Pijak tahun 2001 mengidentifikasi ada 33 spesies mangrove di Kepulauan Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14 spesies mangrove ikutan (associate mangrove). Ke-33 jenis mangrove tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia. Keberadaan hutan mangrove (bakau) di Kepulauan Togean selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Kepulauan Togean. Meski tidak terlalu luas, hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi Kepulauan Togean yang merupakan kawasan pulau-pulau kecil. (4) Hutan Tropis Dataran Rendah Hutan tropis dataran rendah di Kepulauan Togean meliputi areal seluas 23.148 ha; keberadaan hutan tropis ini sangat mendukung pengembangan ekowisata, penelitian dan kebutuhan penduduk, karena: (1) merupakan habitat spesies flora dan fauna
Togean yang dilindungi, (2)
sebagai daerah catchment area (area tangkapan air hujan) dalam pengaturan tata air tanah, dan (3) daerah yang menyediakan laboratorium alam bagi ilmuwan misalnya biologi dan biogeografi karena hewan langka dan dilindungi terdapat di kawasan ini. Flora dalam kawasan hutan di Kepulauan Togean terdiri dari jenisjenis pohon, liana berkayu, epifit, paku-pakuan, lumut dan jamur. Jenis pohon komersial yang umum dijumpai antara lain adalah uru (Elmerrillia
85 ovalisor
or
podocarpus
sp),
palapi
(Heritiera
javanica),
siuri
(Koordersiodendron pinnatum), Dracontomelon mangifera, Duabanga moluccana, Anthocephalus macrophyllus, Sterculia dan Palquium, serta beberapa jenis Dipterocarpaceae seperti: Shorea sp, Dipterocarpus sp dan Hopea sp.
Kawasan hutan mengalami pembukaan (hutan sekunder)
tegakan yang umum dijumpai adalah kole (Alphitonia excelsa), ndolia (Cananga odorata), Anthocephalus chinensis, Alstonia spectabilis, Mallotus spp., Macaranga spp., Nauclea orientalis dan Octomeles sumatrana. Kepulauan Togean memiliki keragaman hayati fauna yang tinggi. Di darat (terrestrial) dan di laut (marine) tercatat beberapa jenis fauna endemik dan dilindungi, antara lain: (1) Babi Rusa (Babyrousa babirusa), dapat dijumpai di Batudaka, Togean, Talakatoh, Malenge, Pangempa, Bambu dan Batang yang populasinya mencapai 500 ekor. Babi rusa juga dinyatakan sebagai hewan yang dilindungi oleh IUCN (CII, 2005); (2) Kuskus (Phalanger ursinus); (3) Rusa (Cervus timorensis); (3) Biawak Togean (Varanus salvator togeanus); (4) Tarsius (Tarsius sp); (5) Elang Sulawesi (Spizaetus lanceolatus); (6) Julang Sulawesi atau Alo (Rhyticeros cassidix); (7)
monyet Togean (Macaca togeanus); dan
(8)
Kepiting
Kenari (Birgus latro).
Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Secara administratif Kepulauan Togean dibagi ke dalam empat wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Una-una, Kecamatan Togean, dan Kecamatan Walea Kepulauan dan Kecamatan Walea dengan jumlah Desa keseluruhan mencapai 48 Desa yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Desa. Selanjutnya dilaporkan bahwa penduduk Kepulauan Togean berjumlah 32.910 jiwa dengan kepadatan penduduk 38 jiwa per kilometer persegi yang menyebar hampir di seluruh Kepulauan Togean. Penduduk Togean memiliki latar belakang etnik yang beragam, di antaranya adalah: Suku Bobongko, Bajau, Saluan, Togean, Kaili, Bare'e,
86 Ta'a, Pamona, Jawa, Gorontalo, dan Bugis. Suku Bobongko, Bajau, Saluan dan Suku Togean sering dianggap sebagai etnis asli Kepulauan Togean. Suku Togean banyak mendiami wilayah Kepulauan Togean bagian Barat dan suku Saluan tersebar di beberapa Desa di Kecamatan Walea Kepulauan, sebelah Timur Kepulauan Togean. Adapun Suku Bajau dan Suku Bobongko lebih menyebar tetapi terkonsentrasi pada beberapa Desa tertentu. Jumlah penduduk di Kepulauan Togean berdasarkan pengelompokkan etnis adalah sebagai berikut; Pamona 16 jiwa, Ta'a 1.626 jiwa, Gorontalo 4.256 jiwa, Bare'e 674 jiwa, Bugis 2.395 jiwa, Bada 80 jiwa, Togean 7.238 jiwa, Jawa 910 jiwa dan etnis lain yang tidak teridentifikasi 14.864 jiwa. Seorang peneliti bahasa asal Belanda yang pernah tinggal di Teluk Kilat pada tahun 1892, mencatat bahwa Suku Bobongko kemungkinan berasal dari daerah Danau Limboto, Sulawesi Utara mengingat akar bahasanya yang sama. Sedangkan Bahasa Suku Togean cenderung menyerupai Bahasa Bare'e dan Taa yang ada di wilayah Ampana dan Tojo. Adapun Suku Saluan lebih menyerupai bahasa yang digunakan di wilayah Balantak, Kabupaten Banggai, jika demikian, maka sesungguhnya Kepulauan Togean sejak lama telah menjadi daerah tujuan migrasi orang-orang dari wilayah daratan Sulawesi dan sekitarnya (CII, 2005). Berdasarkan latar belakang agama, Penduduk di Togean umumnya beragama Islam, Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. Berdasarkan data BPS tahun 2004 diketahui persentase jumlah penduduk berdasarkan agama adalah sebagai berikut; Islam 98.99persen, Protestan 0.86persen, Katolik 0.04persen, Hindu 0.02persen, dan Budha 0.09persen. Profil Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Sampel Untuk mendapatkan data terbaru mengenai kodisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Desa di Kepulauan Togean, peneliti mengumpulkan data Desa melalui kegiatan wawancara mendalam dan FGD dengan pola “Search conference” di tiga Desa yang tersebar di tiga Kecamatan yaitu; Desa Tanjung
87 Pude Kecamatan Una-una, Desa Lembanato
Kecamatan Togean, serta Desa
Kabalutan Kecamatan Wakai. Secara ringkas hasil survei di tiga Desa tersebut adalah sebagai berikut: Desa Tanjung Pude, Kecamatan Una-una. Desa Tanjung Pude terletak di Kecamatan Una-una dengan luas wilayah sebesar 7,26 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 572 orang. Etnis yang mendiami Desa Tanjung Pude adalah Gorontalo, Mandar, Togean, Bugis, dan Kaili.
Penduduk Desa Tanjung Pude pada umumnya merupakan mantan
penduduk pulau Una-una yang mengungsi karena meletusnya gunung Colo pada tahun 1983. Mata pencaharian utama penduduk secara garis besar terbagi atas tiga jenis yaitu berkebun
(± 50persen), nelayan (± 40persen) dan tukang
kayu/bangunan, pegawai, pelajar dan lain-lain
(± 10persen).
Nelayan Desa
Tanjung Pude menangkap ikan pada malam hari dengan menggunakan perahu bagan dan rompong sedangkan pada pagi dan siang hari mereka ke darat untuk menjual ikan di pasar atau pedagang pengumpul. Selain menangkap ikan untuk konsumsi penduduk lokal, para nelayan juga menangkap ikan hidup jenis kerapu dan sunu yang dijual ke pedagang pengumpul dan perusahaan swasta. Ikan hidup ini kemudian diekspor ke Hongkong, China, Taiwan dan Jepang. Karena mereka berasal dari pulau Una-una, maka lahan perkebunan petani Desa Tanjung Pude terletak jauh di pulau Una-una yang dapat ditempuh dengan perahu motor ± 3-4 jam perjalanan dari Desa. Jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain adalah cengkeh, kelapa, coklat dan jagung sebagai tanaman sampingan.
Hasil-hasil pertanian dan perkebunan ini biasanya
dipasarkan di pasar lokal di Wakai dan Ampana atau ke pedagang pengumpul. Karena letak areal perkebunan yang jauh dari Desa, pada umumnya petani menetap dalam jangka waktu beberapa hari di kebun. Setelah menetap dan mengusahakan areal perkebunan di pulau Una-una, petani memasarkan hasil perkebunan di ibukota Kecamatan dan kembali ke rumah. Di waktu senggang mereka turun ke laut untuk mencari ikan untuk konsumsi sendiri.
88 Pada umumnya penduduk Desa mengetahui keberadaan Taman Nasional. Mereka pun mengkhawatirkan terjadinya penyempitan ruang gerak masyarakat dalam mengusahakan areal perkebunan dan mencari ikan dengan adanya Taman Nasional.
Dalam menentukan zonasi, mereka berharap pemerintah dapat
melibatkan masyarakat sehingga tidak terjadi penyempitan areal perkebunan dan pembatasan ruang untuk mencari ikan.
Masyarakat mendukung pemerintah
dalam penertiban nelayan pengguna bom dan bius. Masyarakat berharap kegiatan destruktif tersebut dapat dikurangi karena aktivitas tersebut menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan ikan. Desa Lembanato, Kecamatan Togean Desa Lembanato terletak di pulau Togean, Kecamatan Togean dengan luas wilayah 13,83 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 740 orang. Suku bangsa yang mendiami Desa Lembanato amat homogen, seluruhnya adalah etnis Bobongko. Mata pencaharian utama penduduk secara garis besar terbagi atas dua jenis yaitu berkebun (± 90persen) dan nelayan (± 10persen). Nelayan biasanya menangkap ikan pada malam hari dengan menggunakan perahu bagan dan rompong. Jenis biota laut antara lain adalah ikan, udang, kepiting, cumi-cumi dan teripang. Penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai petani pada umumnya memiliki lahan pertanian/perkebunan. Jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain adalah cengkeh, kelapa, dan coklat. Hasil-hasil pertanian dan perkebunan ini biasanya dipasarkan di pasar lokal di Wakai dan Ampana atau ke pedagang pengumpul. Kegiatan harian para petani ini dimulai pada pagi hari dan kembali ke rumah pada sore
hari. Ada kalanya mereka menginap di areal
pertanian pada saat menjelang panen untuk menjaga hasil pertanian dari para pencuri. Di malam hari mereka turun ke laut untuk mencari ikan dengan alat pancing untuk konsumsi sendiri. Masyarakat Desa Lembanato telah mengetahui adanya Taman Nasional, akan tetapi jika ada aturan-aturan baru perlu melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Di Desa Lembanato dan Matobiai telah ada Daerah Perlindungan Laut
(DPL) Teluk Kilat yang didampingi oleh Conservation International
89 Indonesia (CII). Selama ini kegiatan perlindungan terumbu karang telah berjalan dengan baik selama ± 1,5 tahun dan masyarakat Desa telah merasakan manfaatnya. Tokoh masyarakat yang diwawancarai berharap agar pola pengelolaan DPL ini dapat diadopsi oleh pengelola TNKT. Desa Kabalutan, Kecamatan Walea Secara historis, pada tahun 1923, ada tiga orang dari kampung Benteng bernama Camba, Peta dan Cati mencari teripang dan rotan di daerah ini. Mereka membangun tempat tinggal sementara (sabua) yang kemudian juga di datangi oleh imigran lainnya.
Akhirnya, berkembang menjadi perkampungan yang diberi
nama Susunang. Nama ini kemudian berkembang menjadi Kabalutan (Rahmat, 2000). Desa Kabalutan ini didominasi oleh komunitas Bajo. Kabalutan terletak di pulau Talatako, Kecamatan Walea dengan luas area 1.473 hektar.
Sebagian besar areal didominasi oleh tanah berbatu (limestone)
sehinga sulit ditumbuhi tanaman. Sebahagian besar penduduk (90 persen) dari total 2027 jiwa bermata pencaharian sebagai nelayan dan sekitar 80 persen pendapatan masyarakat berasal dari sektor perikanan.
Hanya bagian kecil
penduduk bergerak di bidang pertanian, peternakan, perdagangan, pelayan publik, guru dan manteri, pengumpul kelapa. Penduduk lokal kabalutan juga memiliki perkebunan di beberapa pulau di sekitar kampungnya. Mereka menanam kelapa, kopi, cengkih, dan coklat.
Perkebunan merupakan pendapatan alternatife
terutama ketika musim melaut sedang sulit (musim angin dan ombak). Terdapat pasar mingguan dan beberapa kios di mana masyarakat menjual dan membeli barang kebutuhan sehari-hari. Pada tahun 2006 lalu, diprakarsai oleh kepala Desa, penduduk Kabalutan berhasil membongkar gunung, meratakannya dan kemudian membangun sebuah pasar permanen yang saat ini telah berfungsi.
Hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan raksasa secara
partsipatif, karena melibatkan semua warga untuk membongkar gunung secara manual dan membangun gedung pasar secara swadaya.
Kegiatan ini layak
menjadi contoh bila kemauan keras diikuti kerja sama yang baik, dapat
90 menyelesaikan agenda Desa yang semula dianggap mustahil bahkan dianggap sebagai ide gila. Kebanyakan perempuan Desa Kabalutan terlibat dalam penjualan ikan dan hasil laut lainnya, sedangkan kaum prianya, selain melaut, mereka juga membuat perahu, jaring dan berbagai aktivitas terkait untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Kajian Saad (2009) tentang masyarakat bajo mempertegas peran strategis kaum perempuan Bajo sebagai pengelola keuangan keluarga. Informasi ini penting berkaitan dengan upaya penyuluhan dan pemberdayaan yang diarahkan pada sasaran yang tepat. Masyarakat Desa Kabalutan telah mengetahui adanya TNKT dan tidak mempermasalahkannya, asalkan lokasi-lokasi
pemancingan dan penangkapan
ikan selama ini tetap terbuka untuk diakses. Masyarakat Desa Kabalutan juga telah mengelola Daerah Perlindungan Laut (DPL). Selama ini kegiatan perlindungan terumbu karang telah berjalan dengan baik dan masyarakat Desa telah merasakan manfaatnya. Karakteristik Demografi Responden Karakteristik responden menggambarkan responden yang berpartisipasi dalam penelitian. Deskripsi responden diperlukan untuk menunjukkan bahwa responden dalam penelitian benar-benar mewakili kondisi populasi penelitian yang sebenarnya. Jenis Kelamin Responden Jenis kelamin dari responden cukup berimbang dengan presentase pria 52.41 persen dan Wanita 47.59 persen (Tabel 14).
Di Desa sampel dan di
Kepulauan Togean, umumnya pria dan wanita memiliki peran yang sangat penting baik dalam hal urusan domestik maupun mencari nafkah.
Temuan melalui
kunjungan wawancara maupun FGD dan Searce Conference menunjukkan bahwa kalangan wanita pun mampu melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Pekerjaan itu antara lain berkebun, menangkap ikan dan
membudidayakan rumput laut.
Selain itu, keikutsertaan kaum ibu dan wanita
91 remaja dalam bebagai kegiatan sosial keagamaan dan adat istiadat (beberapa di antaranya diikuti oleh peneliti) cukup menonjol, menunjukkan bahwa masalah kesenjangan gender tidak terlalu nampak. Dengan kata lain, pembagian peran dalam relasi gender cukup terlihat. Berkaitan dengan masalah konservasi, hasil penelitian Lowe (2004) di Togean menunjukkan peran kaum ibu amatlah penting. Kaum Ibu sering menolak hasil laut yang diperoleh dengan cara membom atau menggunakan bahan kimia, karena alasan kesehatan untuk dikonsumsi. Tabel 14 Sebaran Presentase Jenis Kelamin Responden Faktor Demografi Jenis Kelamin
Group Pria Wanita
Total
Jumlah
Persentase (%)
87 79 166
52,41 47,59 100,00
Tingkat Pendidikan Responden Dilihat dari tingkat pendidkan responden, jenjang pendidikan formal berkisar antara SD hingga perguruan tinggi dengan presentase terbesar (44.58 persen) berpendidikan SD (Tabel 15).
Di Desa sampel terdapat dua sekolah
SMA yang memungkinkan lulusan SMP tidak perlu melanjutkan pendidikan ke Ampana (ibu kota Kabupaten) dan Palu (ibu kota Propinsi). Kehadiran lembaga pendidikan yang dapat menciptakan tingkat pendidikan yang relatif tinggi diharapkan ikut dan membentuk pola pikir masyarakat terhadap upaya mengelolaan SDA di Kepulauan Togean secara berkelanjutan. Tabel 15. Sebaran Presentase Tingkat Pendidikan Responden Faktor Demografi
Group
PENDIDIKAN
SD SMP/Sederajat SMA/Sederajat PT
Total
Jumlah 75 51 37 3 166
Presentase (%) 45,18 30,73 22,29 1,80 100,00
92 Jenis Pekerjaan Responden Jenis pekerjaan responden cukup bervariasi mulai dari petani, nelayan, ibu rumah tangga, pedagang, pegawai dan Pelajar (Tabel 16). Namun sesungguhnya berdasarkan hasil penulusuran melalui wawancara diperoleh kenyataan bahwa umumnya masyarakat Togen memiliki pekerjaan ganda.
Seorang petani,
umumnya juga adalah nelayan dan sebaliknya bahkan ibu rumah tangga juga berfungsi sebagai petani dan atau nelayan. Seorang pelajar yang sedang aktif sekolah pun adalah petani atau nelayan. Pekerjaan sampingan sebagai petani dan nelayan yang sulit dipisahkan dengan pekerjaan utama sebagai pelajar. Pekerjaan sampingan tersebut mereka lakukan pada saat sore hari atau libur sekolah untuk kegiatan berkebun dan sore atau malam hari dan libur untuk kegiatan melaut sebagai nelayan.
Kegiatan berkebun dan melaut dilakukan secara bergantian,
baik bersifat substitusi maupun komplementer sesuai dengan kondisi alam. Tabel 16. Sebaran Presentase Jenis Pekerjaan Responden Faktor Demografi
Pekerjaan
Total
Group
Jumlah
TANI IRT NELAYAN PELAJAR DAGANG PNS
55 28 48 25 6 4 166
Presentase (%) 32,13 16,87 28,92 15,06 3,61 2,41 100,00
Tingkat Usia Responden Usia responden berkisar antara 15 tahun hingga lebih dari 60 tahun dengan presentase terbesar berkisar antara 26-36 tahun (30-72 persen) (Tabel 17). Bila kita kaji lebih jauh, dengan batasan usia produktif adalah kurang dari 56 tahun, maka lebih 90 sampel masih berada dalam kisaran usia produktif. Secara apriori dapat dikatakan bahwa mereka yang masih memiliki usia produktif inilah yang dalam kegiatan sehari harinya lebih banyak memberikan kontribusi terhadap pengelolaan SDA di TNKT. Hasil penelitian Lowe (2004) menginformasikan bahwa anak muda nelayan memiliki kemampuan menyelam yang tinggi dan
93 berkontribusi besar terhadap kerusakan SDA laut dalam hal menggunakan bahan destruktif. Lowe juga mengungkapkan bahwa peran orang tua justru sebagai pemasok bahan destruktif tersebut. Tentang mengapa masyarakat menggunakan bahan berbahaya tersebut, menurut Saad (2009), antara lain disebabkan karena mereka terdesak dari wilayah perairan yang selama ini menjadi daerah penangkapan mereka. Tabel 17. Sebaran Presentase Tingkat Usia Responden Faktor Demografi Usia
Group
Jumlah
Presentase (%)
15-25 26-36 37-47 48-58 58-68
38 51 34 27 16 166
22,89 30,72 20.48 16,27 9,64 100,00
Total Lama Tinggal Responden
Lama tinggal dari responden di pulau Togean berkisar antara 1 tahun hingga lebih dari 35 tahun dengan presentase terbesar adalah antara 11-20 tahun (35,54 persen) (Tabel 18). Tabel 18. Sebaran Presentase Lama Tinggal Responden Faktor Demografi
Group
Jumlah
Presentase (%)
Lama Tinggal (Tahun)
1 – 10 Tahun 11-20 Tahun 21=30 Tahun >30 Tahun
40 59 31 36 166
24,10 35,54 18,67 21,68 100,00
Total
Kalau kita mengambil kisaran lebih dari 11 tahun lama tinggal, maka presentase mencapai lebih dari 70 persen.
Bila dibandingkan dengan usia
responden, dapat disimpulkan banyak responden yang sangat mengenal wilayah mereka bahkan sebagian besar lahir di pulau ini. Lama tinggal ini sangat penting dalam kaitan dengan akurasi rekaman hidup atau pengetahuan terhadap kecenderungan status keberadaan sumber daya alam di kepulaun Togean.
94 Rataan Skor Peubah Penelitian Rataan skor adalah tanggapan yang diberikan responden terhadap pertanyaan yang diajukan berdasarkan indikator dari varibel penelitian. Berikut ini diuraikan tingkat penilaian responsen terhadap peubah karakteristik individu, proses penyuluhan, faktor eksternal, kapasitas dan partisipasi masyarakat. Karakteristik Individu Karakteristik internal berada pada kategori tinggi sedangkan motivasi dan status sosial masing-masing berada pada kategori tinggi dan sedang (Tabel 19). Karakteristik Individu yang diteliti meliputi beberapa komponen namun
dua
komponen yang merefleksikan peubah atau memiliki kecocokan model yang kuat yaitu: motivasi dan status sosial. Kedua komponen tersebut diperoleh melalui analisis model pengukuran (measurement model) atas tujuh komponen yang ditetapkan sebelumnya.
Model pengukuran berusaha mengkonfirmasi apakah
peubah-peubah teramati tersebut memang merupakan ukuran/refleksi dari peubah latennya sehingga model pengukuran dikenal juga dengan Confirmatory Factor Analisys.. Berdasarkan analisis model pengukuran tersebut, komponen motivasi dan status sosial memiliki keeratan atau validitas, reabilitas dan kecocokan model yang kuat dalam membentuk faktor internal individu masyarakat di kepulauan Togean (Lampiran 1). Untuk melihat penilaian atas motivasi dan status sosial tersebut disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Rataan Skor Karakteristik Individu (X1) di Kepulauan Togean Peubah X1 Karakteristik Individu X1.4 Motivasi X1.7 Status Sosial
Tanjung Pude (n=53
Lemba Nato (n=55)
Kabalutan (n=58)
Total (166)
57
67
69
65
64
80
76
73
49
60
63
56
Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 = sedang; 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.
95 Motivasi yang diukur dari sejumlah indikator manifest menunjukkan bahwa masyarakat memiliki hasrat yang tinggi untuk mendapatkan manfaat yang besar baik untuk kepentingan usaha, permodalan, hasil yang meningkat, hubungan sosial dan penyelamatan lingkungan. dalam pengembangan usaha ekonomi yang berkelanjutan. Dengan demikian, penilaian tinggi terhadap motivasi ini menggambarkan bahwa masyarakat Togean menggantungkan usaha mereka pada alam sehingga mereka berkepentingan menjaganya sebagai tempat dan sumber nafkah secara berkelanjutan, namun terkendala dengan permodalan.
Selain itu,
penilaian tinggi pada motivasi juga bermakna bahwa masyarakat Togean memiliki keinginan kuat untuk saling berkomunikasi dan berhubungan antar sesama dalam ikatan sosial yang harmonis. Kalau saat ini sering terjadi penyimpangan perilaku disebabkan karena Desakan dari dalam dan tekanan dari luar. Desakan dari dalam adalah kebutuhan keluarga dan dari luar karena terdesak oleh masuknya pihak luar yang bersaing baik secara ilegal seperti mengambil hasil laut dengan menggunakan bahan berbahaya. Bahkan dalam beberapa kesempatan disinyalir terjadi kerja sama pihak luar membawa bahan berbahaya seperti bahan kimia dan bom untuk diserahkan kepada nelayan lokal. Untuk aspek status sosial mendapat penilaian sedang, menggambarkan bahwa masyarakat Togean memiliki percaya diri yang cukup baik menyangkut pengetahuan, kebendaan maupun kedudukan yang memungkinkan mereka bisa ikut dalam pengelolaan SDA di TNKT. Hal tersebut dibuktikan baik melalui berbagai pengetahuan dan praktek hubungan mereka dengan alam dalam hal memenuhi kebutuhan nafkah, maupun melalui kemudahan mereka dalam mengadopsi inovasi berkaitan dengan usaha ekonomi. Sebagai contoh, usaha seperti budidaya rumput laut, teripang, berbagai jenis ikan dan mutiara adalah bidang yang pernah mereka geluti. Kalau usaha-usaha tersebut nampak tidak berjalan dengan baik, disebabkan beberapa faktor seperti ; manajemen usaha dan keadaan eksternal seperti modal dan pemasaran serta aspek teknis seperti hama penyakit yang selalu menjadi kendala.
96 Proses Penyuluhan Komponen media penyuluhan, metode dan kemampuan penyuluh berada pada kategori tinggi sedangkan komponen frekuensi penyuluhan memiliki kategori sedang dan proses penyuluhan yang dibentuk oleh keempat komponen tersebut berada pada kategori tinggi. Penilaian tinggi terhadap media dan metode penyuluhan serta kemampuan penyuluh tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat merasa puas dengan teknik penyuluhan yang dilakukan selama ini dan kapasitas penyuluh yang terlibat. Namun dari segi frekuensi penyuluhan, masyarakat memberi penilaian sedang, berarti intensitas penyuluhan masih perlu ditingkatkan (Tabel 20). Proses penyuluhan yang diteliti meliputi empat komponen yaitu: media, metode, interaksi dan kemampuan penyuluh.
Keempat komponen tersebut
diperoleh melalui analisis model pengukuran (measurement model) untuk mengkonfirmasi (Confirmatory Factor Analisys.) atas lima komponen yang ditetapkan sebelumnya.
Berdasarkan analisis model pengukuran tersebut,
komponen media, metode, interaksi dan kemampuan penyuluh memiliki keeratan atau validitas, reabilitas dan kecocokan model yang kuat dalam membentuk faktor proses penyuluhan di TNKT (Lampiran1).
Untuk melihat penilaian atas
komponen tersebut disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Rataan Skor Proses Penyuluhan (X2) di Kepulauan Togean Peubah
Tanjung Pude (n=53)
Lemba Nato (n=55)
Kabalutan (n=58)
Total (166)
X2 Proses Penyuluhan 59 61 69 63 X2.2. Metode Penyuluhan 67 74 72 71 X2.3. Media Penyuluhan 63 52 72 62 X2.4 Interaksi Penyuluh 46 51 62 54 X2.5 Kemampuan 60 62 71 64 Penyuluh Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 = sedang 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.
97 Bersadarkan hasil wawancara mendalam, diketahui bahwa penyuluhan yang dilakukan selama ini tertuju kepada tiga hal yaitu: usaha pertanian dan perikanan, konservasi dan lingkungan hidup serta manfaat Taman Nasional. Namun, dari ketiga materi tersebut, keberadaan tanaman nasional tergolong materi atau isu yang yang relatif baru, dengan tingkat kesimpang siuran yang sangat tinggi. Hal ini tidak diimbangi dengan intensitas penyuluhan yang tinggi pula sehingga masyarakat terombang ambing oleh ketidak jelasan status taman nasional dan manfaat yang diperoleh. Disamping itu, pendekatan penyuluhan yang berkaitan dengan Taman Nasional bersifat ”monolitik” dan ”top down” sehingga masyarakat tidak mendapat peluang yang memadai untuk berinteraksi menentukan masa depan kawasan tempat mereka bermukim. Hal lain yang cukup berpengaruh adalah hubungan koordinasi antar aktor penyelanggara penyuluhan yang berkaitan dengan keberadaan taman nasional terutama antara pemerintah pusat yang diwakili balai taman nasional dan pemerintah daerah.
Hubungan tersebut berkait dengan kewenangan, program
hingga anggaran kegiatan yang belum menemukan mekanisme yang tepat. Peraturan menteri kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004, tentang kemitraan pengelolaan Taman Nasional, mendorong perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi, antara lain: (1) dari semata kawasan perlindungan keanekaragaman hayati ke perlindungan dengan fungsi sosial-ekonomi jangka panjang, (2)
biaya yang semula hanya pemerintah menjadi pemerintah dan
penerima manfaat, (3), kebijakan dari atas menjadi dari bawah,
(4) dari
pengelolaan berbasis pemerintah manjadi multi-stakeholder atau berbasis masyarakat lokal, (5) perubahan pola pelayanan pemerintah dari birokratisnormatif menjadi profesiona-responsif, (6) dari sentralistis menjadi desentralistis, dan (7) peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan fasilitator. Perubahan paradigma ini pasti tidak mudah dilaksanakan karena membutuhkan kesiapan aparatur yang tanggap, pengorganisasian yang memadai, sistem atau mekanisme yang tepat serta ditunjang sarana dan prasarana serta dukungan dana yang cukup.
98 Faktor Lingkungan Faktor Lingkungan berada pada kategori tinggi, sedangkan komponen pimpinan informal dan kerja sama yang membentuk
faktor lingkungan juga
berada pada kategori tinggi. Penilaian tinggi terhadap pimpinan informal dan kerja sama mengindikasikan bahwa masyarakat memberikan apresiasi yang tinggi terhadap peran pimpinan informal, saling percaya antar sesama dalam bentuk kerjasama baik untuk kepentingan sosial maupun ekonomi (Tabel 21) Faktor lingkungan yang diteliti meliputi dua komponen yaitu ; pemimpin informal dan kerjasama. Kedua komponen tersebut diperoleh melalui analisis model pengukuran (measurement model) untuk mengkonfirmasi (Confirmatory Factor Analisys) lima komponen yang ditetapkan sebelumnya. analisis model pengukuran tersebut,
komponen
Berdasarkan
pemimpin informal dan
kerjasama memiliki keeratan atau validitas, reabilitas dan kecocokan model yang kuat dalam membentuk faktor lingkungan di TNKT (Lampiran 1). Untuk melihat penilaian atas komponen pemimpin informal dan kerjasama tersebut disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Rataan Skor Faktor Lingkungan (X3) di Kepulauan Togean Tanjung Pude Lemba Nato Kabalutan Total Peubah (n=53) (n=55) (n=58) (166) X3 Faktor Lingkungan 64 63 72 68 X3.2 Kerjasama 67 80 72 71 X3.4 Pimpinan Informal 63 62 71 67 Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 = sedang 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.
Berdasarkan hasil kajian melalui FGD dan ”Search conference” berkaitan dengan kepemimpinan dan kerjasama, terungkap bahwa asimilasi dan akulturasi budaya di antara penduduk mengakui institusi dan kelembagaan yang berlaku secara formal seperti pemerintahan dan pada beberapa etnis juga berlaku institusi dan kelembagaan informal yang dipimpin oleh pemimpin informal yang secara struktural tradisional tetap diakui, yakni Dewan Adat.
99 Dewan adat terdiri dari ketua adat dan anggota dewan adat, mewakili masyarakat dan ditunjuk dari anggota yang dituakan. Dewan adat berperan dalam tataran pemeliharaan etika sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut. Suku Bobongko misalnya, mempunyai sejarah panjang sebagai kerajaan kecil dengan strata sosial tertentu. Mereka mengenal struktur kepemimpinan yang terdiri dari tau da’a (Pemimpin yang dikarenakan masih mempunyai garis keturunan raja), tolomato (kepala pemerintahan), talenga ulea (pembantu kepala pemerintahan) dan panabela (kepala lipu/kampung) serta yang paling akhir lapisan masyarakat biasa (grass root). Kepala Desa dipersepsikan sederajat dengan tolomato, yang menjalankan dan mengemban amanat sebagai kepala pemerintahan yang harus memperjuangkan aspirasi dan keinginan mayoritas masyarakat dengan selalu memperhatikan keputusan-keputusan adat masyarakat. Beberapa pemimpin informal tersebut, dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan misalnya dalam menentukan saat tanam dan panen serta waktu turun ke laut. Selain dewan adat, pada beberapa etnis juga dikenal adanya sifat-sifat gotong-royong yang telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya masyarakat Bajo dikenal dengan istilah melakukan bapongka, yaitu suatu kegiatan melaut yang dilakukan secara berkelompok. Kegiatan bapongka dilakukan untuk mengumpulkan hasil laut antara lain teripang dan jenis ikan bergerombol (schooling fish) seperti lolosi atau ekor kuning (Caesio sp).selama beberapa hari secara bersama sama. Masyarakat adat Bobongko memandang laut dan hutan sebagai tempat keramat. Khusus hutan, diyakini sebagai tempat tinggal leluhur yang merupakan pelindung dari kekuatan jahat dan melapetaka, maka areal hutan dan gunung tertentu sangat disakralkan dan pantang dibuka. Hutan yang dapat dibuka adalah Pangale 1) dan Yopo 2). Pembukaan areal hutan selalu didahului dengan upacara 1
) Hutan yang kondisi geografisnya tidak terlalu curam dan tidak terdapat tanda-tanda atau benda-benda yang dikeramatkan. Pengelolaan dan peruntukannya secara bersama-sama bagi kepentingan masyarakat Desa.
2
) Sama seperti Pangale, hanya saja Yopo dapat dikuasai secara pribadi dan hasil dari hutan tersebut sebagian di masukkan ke kas Desa untuk keperluan masyarakat setempat.
100 pembukaan tanah, yang dilakukan di gunung yang dianggap keramat, sangat berkaitan dengan kegiatan ziarah dan ritual tolak bala. Dalam masa penelitian, penulis berkesempatan mengikuti beberapa kegiatan bernuansa adat atau tradisi terutama ritual panen dan pengolahan tahan pertanian. Kapasitas Masyarakat Kapasitas masyarakat berada pada kategori tinggi, sedangkan komponen mentalitas dan kesetaraan yang membentuk kapasitas juga berada pada kategori tinggi (Tabel 22). Penilaian tinggi terhadap sikap mental dan kesetaraan mengindikasikan bahwa masyarakat Togean, disamping memiliki adat istiadat yang masih dijalankan, juga memiliki sikap terbuka terhadap masuknya inovasi untuk kemajuan. Mengacu pada teori fungsi sikap yang dikemukakan oleh Katz, masyarakat togean bisa dikategorikan pada posisi ”utilitarian.” Komponen kesetaraan yang diukur melalui pengetahuan, kemampuan dan percaya diri menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapasitas yang memadai untuk menerima gagasan konservasi atau usaha ekonomi berkelanjutan Faktor kapasitas masyarakat yang diteliti meliputi dua komponen yaitu: sikap mental dan kesetaraan. Kedua komponen tersebut diperoleh melalui analisis model pengukuran (measurement model) untuk mengkonfirmasi (Confirmatory Factor Analisys.) atas empat komponen yang ditetapkan sebelumnya.
Untuk
melihat penilaian atas komponen sikap mental dan kesetaraan tersebut disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Rataan Skor Kapasitas Masayarakat (Y1) di Kepulauan Togean Tanjung Pude Lemba Nato Kabalutan Total Peubah (n=53 (n=55) (n=58) (166) Y1 Kapasitas 67 73 84 75 Masyarakat Y1.3 Sikap Mental 55 75 88 78 Y1.4 Kesetaraan 65 71 81 73 Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 = sedang 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.
101 Berdasarkan analisis model pengukuran tersebut, komponen sikap mental dan kesetaraan memiliki keeratan atau validitas, reabilitas dan kecocokan model yang kuat dalam membentuk faktor kapasitas masyarakat di TNKT (Lampiran). Mengacu pada hasil wawancara mendalam serta penelusuran informasi melalui FGD dan SC menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapasitas atau kemampuan tertentu yang sangat menakjubkan dalam mengelola ekosistem. Pada masyarakat Bajo misalnya, mereka memiliki kemampuan mengumpulkan hasil laut yang ditunjang pemahaman kondisi dan jenis karang yang diperoleh secara turun temurun. Mereka memiliki pembagian terhadap tipe terumbu karang yaitu sappa, lana, dan timpusu. Dalam hal tehnik tangkap untuk memanfaatkan sumber daya laut, sebagaimana juga dijelaskan oleh Hutabarat (CII, 2005), masyarakat Bajo memiliki berbagai teknik tangkap, diantaranya missi (memancing), ngarua (memukat), mana (memanah dengan alat tradisional), dan nyuluh/balobe atau ngobor (dengan menggunakan petromaks). Beberapa suku di Togean dalam memanfaatkan sumber daya alam terestrial (hutan) juga memiliki sistem pemanenan yang diperoleh secara turuntemurun. Mereka menerapkan beberapa aturan serta praktek pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan dan berdampak positif terhadap kelestarian alam. Ini merupakan bentuk budaya lokal hasil dari proses adaptasi dan interaksi antara masyarakat Togean dan alamnya selama bertahun-tahun. Misalnya Orang Bobongko masih menerapkan hukum bayan dan aturan adat gogam pagaluman dalam pemanfaatan hutan sagu di Lembanato. Dengan bergesernya kebutuhan ekonomi dan adanya Desakan untuk melakukan pemungutan hasil laut dengan cara cepat, murah, mudah dan banyak, maka budaya tersebut mulai terkikis. Sebagian nelayan menggunakan bahan peledak, racun dan cara-cara tidak ramah lingkungan lain dalam menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Hal yang sama juga terjadi di daerah pedalaman untuk praktek pertanian dan perkebunan.
102 Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat berada pada kategori rendah sedangkan komponen tanggung jawab, manfaat dan relasi yang mendukung peubah partisipasi juga berada pada kategori rendah baik pada masing masing Desa sampel maupun totalnya (Tabel 23). Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT yang diteliti meliputi beberapa komponen, namun hanya dua komponen yaitu: manfaat dan relasi yang memiliki kecocokan model. Kedua komponen tersebut diperoleh melalui analisis model pengukuran (measurement model) untuk mengkonfirmasi (Confirmatory Factor Analisys) atas lima komponen yang ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan analisis model pengukuran tersebut, komponen manfaat dan relasi memiliki keeratan atau validitas, reliabilitas dan kecocokan model yang kuat membentuk faktor Partisipasi (Lampiran 1). Untuk melihat penilaian
dalam atas
komponen Manfaat dan Relasi tersebut disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Rataan Skor Partisipasi Masyarakat (Y2) di Kepulauan Togean Tanjung Pude Lemba Nato Kabalutan Total Peubah (n=53 (n=55) (n=58) (166) Y2 Partisipasi Masy. 23 27 36 29 Y2.2 Tanggung Jawab 24 29 35 27 Y2.3 Manfaat 26 31 38 32 Y2.4 Relasi 17 21 33 24 Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 = sedang 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.
Penilaian rendah terhadap partisipasi dan semua komponen manifesnya mengindikasikan bahwa masyarakat tidak merasa puas dengan gagasan tentang adanya TNKT. Mereka merasa tidak bertanggung jawab atau lebih tepatnya, tidak diberi tanggung jawab untuk ikut mengelola taman nasional tersebut. Dari segi kegunaannya, masyarakat menganggap bahwa taman nasional tidak memiliki manfaat bagi kehidupan mereka. Selain itu, mereka juga merasakan bahwa hubungan antar stakeholders taman nasional terutama dengan pihak pemerintah berkaitan dengan keberadaan taman nasional ini amatlah rendah.
103 Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat Togean tidak teryakini akan manfaat keberadaan TNKT sehingga tidak muncul rasa memiliki (sense of belonging) dan juga tidak hadir rasa tanggung jawab (sense of responsibility). Hal ini ditunjang oleh kurang gencarnya frekuensi penyuluhan yang dilakukan berbarengan dengan simpang siurnya informasi dan isu tentang keberadaan taman nasional. Pada saat bersamaan, masyarakat dikuatirkan dengan dampak kehadiran taman nasional berdasarkan referensi praktek sebelumnya di tempat lain serta beberapa kenyataan hubungan buruk masyarakat dengan aparatur yang terkesan (berlebihan) dalam menangani pelanggaran pemanfaatan hasil alam baik di laut maupun di darat. Hubungan buruk ini oleh masyarakat dianggap sebagai akibat dari adanya taman nasional. Bila kenyataan ini kita kaji dari aspek teori sikap dapat dijelaskan bahwa diterima atau ditolaknya suatu objek atau gagasan paling tidak dipengaruhi oleh beberapa hal seperti sifat objek, pengalaman masa silam, keadaan saat ini dan harapan masa depan. Dari segi objek, nampaknya masyarakat Togean belum mengenal apa sesungguhnya taman nasional. Mereka mendapatkan informasi pengalaman masa silam tentang praktek pengelolaan taman nasional di berbagai daerah, umumnya tidak berpihak kepada hak dan kebutuhan masyarakat lokal. Selain itu, mereka juga menyaksikan dalam suasana keseharian tentang praktek kebijakan pengelolaan SDA di tengah makin berkurangnya kelimpahan dan jenis SDA serta makin sempitnya ruang usaha. Oleh karena itu, kehadiran taman nasional yang membawa ide pembatasan, dalam pandangan mereka akan semakin mempersulit mereka memperoleh nafkah. Dengan demikian, kehadiran taman nasional menurut mereka akan berdampak pada hilangnya access dan kedaulatan mereka pada SDA di wilayah mereka, sesuatu anggapan yang terbalik dengan misi taman nasional berdasarkan paradigma kemitraan. Dari sudut pandang teori adopsi inovasi (Roger dan Shomaker, 1971), dapat dikemukakan bahwa sosialisasi taman nasional masih berkisar pada aspek informatif yang berdampak pada pengetahuan semata. Aspek yang tidak kalah penting yaitu persuasif yang mempengaruhi sisi afektif kurang gencar dilakukan,
104 sehingga masyarakat kurang teryakini. Kondisi ekternal seperti suasana konflik antar aktor dan hubungan koordinasi antar lembaga juga ikut memberi andil yang sangat berarti. Dari sisi derajad partisipasi (Arnstein, 1969), masih berada pada tahapan Informasi dan konsultasi yaitu: stakeholders baru diberikan informasi menyangkut hak dan kewajiban, tanggung jawab dan lain lain (Komunikasi satu arah). Kalaupun telah terjadi komunikasi dua arah di mana stakeholders sudah dapat mengekspresikan saran/perhatian, namun belum menjamin diterimanya input tersebut.
Analisis Pendugaan Parameter Model Kapasitas dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh, dilakukan pengujian model struktural melalui analisis SEM.
Pengujian model dilakukan dengan
maksud ; Pertama, menguji kesesuaian model secara keseluruhan (overall model fit test). Kedua, menguji secara individual, kebermaknaan (test of significance) hasil pendugaan parameter model.
Pengujian pertama berkaitan dengan
generalisasi, yakni melihat sejauh mana hasil pendugaan perameter model dapat diberlakukan terhadap populasi, sedangkan pengujian kedua berkaitan dengan Hipotesis penelitian. Sebuah model dikatakan fit dengan data menurut kriteria Goodness of fit test (GFT) apabila
minimal mampu menghasilkan nilai p-hitung
≥
0,05,
nilai RMSEA ≤ 0,08 dan nilai CFI ≥ 0,90. Hasil pengujian parameter model struktural tersebut disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 menunjukkan nilai
chi-square sebesar 65.03 dengan df (degrees of freedom) sebesar 53 dan
p-
hitung sebesar 0,12 > dari 0,05, RMSEA sebesar 0,037 < dari 0,08 dan nilai CFI sebesar 0,99 > dari 0,90. Merujuk pada ukuran kesesuaian model menurut Kusnendi (2008), maka model tersebut memiliki kecocokan (Goodness of fit) yang baik. Dengan kata lain, model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovarian populasi atau hasil estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Hasil
105 pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model pengukuran sudah sangat sesuai atau fit dengan data.
Motivasi (X1.3)
Karakteristik Internal (X1)
0,65 Status Sosial (X1.7)
0,81 0,60
0,28 Metode penuluhan (X2.2) Media Penyuluhan (X2.3)
0,51
Interaksi (X2.4)
0,79
Kapasitas Masyarakat
0,50
0,80
0,60
0,89
Proses Penyuluhan (X2)
Setara (Y1.4)
- 0,35 0,54
T. jawab (Y2.2)
0,90 Kemampua penyuluh (X2.5) Kerja sama (X3.2)
Pemimpin Informal (X3.4)
0,56
0,56
-0,23 1,00
0,51
Mental (Y1.3)
Faktor Lingkungan (X3)
Partisipasi Masyarakat
0,78
0,72
Manfaat (Y2.3) Relasi (Y2.4)
Chi-Square=64.96, df=53, p-value=0.12558, RMSEA=0.037, CFI= 0.99
Gambar 6 Estimasi parameter model struktural partisipasi masyarakat. Hasil uji kebermaknaan dengan uji t-test pada parameter model dengan nilai statistik t-hitung yang ditetapkan menurut Joreskog dan Sorbon (Kusnendi, 2008) adalah sebesar 1,96 terlihat pada Gambar 7. Gambar 6 menunjukkan hasil uji kebermaknaan pada masing-masing estimasi parameter model struktural. Sebuah indikator dikatakan nyata apabila nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel pada taraf kesalahan yaitu sebesar 1,96 (Kusnendi, 2008). Output Lisrel dalam bentuk diagram jalur (path diagram) akan memberikan informasi aspek kebermaknaannya.
106 Motivasi (X1.3) 7,74 Status Sosial (X1.7)
Karakteristik Internal (X1)
Metode penuluhan (X2.2) Media Penyuluhan (X2.3)
3,26
6,85
Interaksi (X2.4)
Kapasitas Masyarakat
6,43
Setara (Y1.4)
Proses Penyuluhan (X2)
11,92
3,47
14,62
T. Jawab (Y2.2)
- 2,93 6,18
Kemampua penyuluh (X2.5) Kerja sama (X3.2)
5,47
3,87
14,30
Mental (Y1.3)
7,12
8,92
9,80
-2,10 Manfaat (Y2.3)
8,76 7,04
Partisipasi Masyarakat
Faktor Lingkungan (X3)
Relasi (Y2.4)
7,74
18,13 Pemimpin Informal (X3.4)
Chi-Square=64.96, df=53, p-value=0.12558, RMSEA=0.037, CFI= 0.99
Gambar 7 Statistik t-hitung parameter model struktural partisipasi masyarakat Pendugaan parameter model partisispasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT (Gambar 6) menunjukan koefisien bobot faktor dan koefisien jalur lebih besar dari yang disyaratkan sebesar 1,96.
Dengan demikian, model seperti
gambar tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat generalisasi tentang fenomena yang diteliti. Untuk melihat pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung dari peubah karakteristik individu, proses penyuluhan dan faktor lingkungan terhadap kapasitas masyarakat disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. koefisien dan t-hitung penguruh karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan pada kapasitas masyarakat. Hubungan antar Peubah/Sub Peubah Karakteristik internal Proses penyuluhan Faktor lingkungan
Kapasitas masyarakat Kapasitas masyarakat Kapasitas masyarakat
Keterangan : t 0,05 tabel = 1,96
Pengaruh langsung
Pengaruh tdk langsung
t-hitung
0,12
-
0,98
0,60
-
3,87
-0,23
-
2,10
107 Tabel 24 menunjukkan bahwa pengaruh langsung peubah karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan pada kapasitas masyarakat masing masing sebesar 0,12, 0,60 dan -0,23. Karakteristik internal berpengaruh tidak nyata, proses penyuluhan berpengaruh nyata positif dan faktor lingkungan berpengaruh nyata negatif pada α = 0,05. Secara matematik, persamaan model struktural kapasitas masyarakat adalah Y1 = 0,12X1 + 0,60X2 + (-0,23X3), dimana Y1 merupakan kapasitas masyarakat; X1 adalah karakteristik internal; X2 adalah proses penyuluhan dan X3 adalah faktor lingkungan. Secara bersama (simultan), pengaruh ketiga peubah tersebut pada kapasitas masyarakat, yaitu 0,33, nyata pada α .= 0,05. Dengan demikian, Hipotesis 1 diterima. Hasil ini dapat dijelaskan bahwa : (1) Meskipun berpengaruh tidak nyata atau sangat kecil, karakteristik individu secara langsung berkontribusi positif pada kapasitas yang berarti setiap peningkatan satu unit karakteristik individu, akan meningkatkan kapasitas sebesar 12 persen. (2) Proses penyuluhan secara langsung berpengaruh positif pada kapasitas, yang berarti setiap peningkatan satu unit proses penyuluhan, akan meningkatkan kapasitas sebesar 60 persen. (3)
Faktor lingkungan secara langsung berpengaruh negatif pada kapasitas, yang berarti setiap peningkatan satu unit faktor lingkungan, akan menurunkan kapasitas sebesar 23 persen.
(4)
Karakteristik individu, proses penyuluhan dan faktor lingkungan secara simultan berpengaruh pada kapasitas. Untuk melihat pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung dari
peubah karakteristik individu, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas terhadap partisipasi masyarakat disajikan pada Tabel 25.
108 Tabel 25. Koefisien dan t-hitung penguruh karakteristik internal, proses Penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas terhadap partisipasi Hubungan antar Peubah/Sub Peubah Karakteristik internal Proses penyuluhan Faktor lingkungan Kapasitas Masyarakat
Pengaruh langsung
Pengaruh tdk langsung
t-hitung
-0,35
0,06
2,93
-0,13
0,33
-0,84
0,06
-0,12
0,60
0,54
-
3,47
Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat
Keterangan : t 0,05 tabel = 1,96 Tabel 25 menunjukkan bahwa pengaruh langsung peubah karakteristik internal, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas diri masyarakat pada partisipasi masyarakat masing masing sebesar -0,35, -0,13, 0,06 dan 0,54. Karakteristik internal berpengaruh nyata negatif, proses penyuluhan berpengaruh tidak
nyata negatif, faktor lingkungan berpengaruh tidak nyata positif dan
kapasitas masyarakat perpengaruh nyata positif terhadap partisipasi masyarakat pada α
= 0,05.
Secara matematik, persamaan model struktural partisipasi
masyarakat adalah Y2 = (-0,35X1) + (-0,13X2) + 0,06X3 + 0,54Y1; Y2 merupakan partisipasi masyarakat; Y1 merupakan kapasitas masyarakat; X1 adalah karakteristik internal; X2 adalah proses penyuluhan dan X3 adalah faktor lingkungan. Secara bersama (simultan), pengaruh keempat peubah tersebut pada partisipasi masyarakat, yaitu 0,26 yang nyata pada α = 0,05. Dengan demikian, Hipotesis 2 diterima. Hasil ini dapat dijelaskan bahwa : (1) Karakteristik individu secara langsung berpengauruh nyata negatif pada partisipasi, yang berarti setiap peningkatan satu unit karakteristik individu, akan menurunkan partisipasi mereka sebasar 35 persen. (2) Proses penyuluhan secara langsung tidak berpengaruh nyata terhadap partisipasi namun secara tidak langsung (melalui kapasitas) berpengaruh nyata positif pada partisipasi, yang berarti setiap peningkatan satu unit proses penyuluhan, akan meningkatkan partisipasi sebesar 33 persen.
109 (3)
Faktor lingkungan secara langsung berpengaruh tidak nyata positif pada partisipasi, yang berarti setiap peningkatan satu unit faktor lingkungan masyarakat, akan meningkatkan partisipasi sebesar 6 persen
(4)
Kapasitas diri individu masyarakat di kepulauan Togean secara langsung berpengaruh nyata positif pada partisipasi mereka, yang berarti setiap peningkatan satu unit kapasitas masyarakat, akan meningkatkan partisipasi sebesar 54 persen
(5)
Karakteristik individu, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas secara simultan berpengaruh pada partisipasi dengan koefisien determinasi sebesar 26 persen. Untuk melihat arah, koefisien dan t-hitung dari hubungan peubah
karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Arah, koefisien dan t-hitung dari hubungan peubah karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan. Hubungan antar Peubah Karakteristik Individu Proses penyuluhan Faktor lingkungan
Proses penyuluhan
Arah/koefisien Hubungan 0,50
Faktor lingkungan
0,56
Karakteristik individu
0,28
t-hitung 6,43 9,80 3,26
Keterangan : t 0,05 tabel = 1,96 Berdasarkan Tabel 26, diketahui bahwa hubungan antara karakteristik individu dengan proses penyuluhan dan faktor lingkungan adalah erat dengan koefisien hubungan secara berurutan, yaitu; 0,50, 0,56 dan 0,28. Hubungan ketiga peubah tersebut nyata pada α .= 0,05. Dengan demikian, Hipotesis 3 diterima. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : (1)
Hubungan karakteristik individu dengan proses penyuluhan cukup kuat dan positif.
(2)
Hubungan proses penyuluhan dengan faktor lingkungan cukup kuat dan positif.
(3) Hubungan karakteristik individu dengan faktor lingkungan tidak cukup kuat walupun bersifat positif.
110 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kapasitas Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT Hasil analisis SEM memperlihatkan bahwa dari tiga peubah bebas yang dikaji, ketiga tiganya memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap kapasitas masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
Kecuali karakteristik individu, proses
penyuluhan dan faktor lingkungan berpengaruh nyata pada kapasitas masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Pengaruh Peubah Proses Penyuluhan terhadap Kapasitas Masyarakat Proses penyuluhan berpengaruh positif terhadap peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan TNKT (Gambar 5 dan 6). Proses penyuluhan, baik media dan metoda mapun kemampuan penyuluh berada pada kategori tinggi, sedangkan interaksi antara penyuluh dan masyarakat berada pada kategori sedang. Bila intensitas interaksi penyuluh dengan masyarakat ditingkatkan maka kapasitas masyarakat akan meningkat pula dan selanjutnya diharapkan meningkatkan partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT. Intensitas kontak penyuluh dengan masyarakat dalam kasus konservasi dan pengelolaan taman nasional ini akan berguna dalam menjaga hubungan psikologis dan menghindari bias informasi akibat ketidak pastian kebijakan dan langkah implemantasinya. Pernyataan tersebut di atas didasari pada hasil analisis SEM yang menunjukkan
bahwa nilai t-hitung antara peubah proses penyuluhan
memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap kapasitas. Nilai t-hitung 3,87 lebih besar dari nilai t-tabel (1,960), mengisyaratkan bahwa proses penyuluhan sebagai peubah laten eksogen (dependent) memberikan kontribusi yang sangat bararti terhadap kapasitas sebagai peubah laten endogen (dependent). Peubah manifest proses penyuluhan yang dilihat dalam hal ini adalah media penyuluhan, metode penyuluhan, interaksi dan kemampuan penyuluh. Sedangkan kapasitas masyarakat yang menggambarkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan TNKT
terdiri dari sikap mental dan kesetaraan.
Kenyataan ini menunjukkan
111 bahwa intervensi melalui penyuluhan dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam pengelolaan TNKT. Penelitan
yang
berkaitan
dengan
pengaruh
penyuluhan
dalam
meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat (petani) pernah dilakukan oleh Sumardjo (1999) dan Subagyo (2008). Temuan dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa syarat untuk menerapkan model peningkatan kapasitas melalui penyuluhan adalah ketersediaan penyuluhan baik kuantitas maupun kualitas serta dukungan organisasi penyuluhan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kualitas
penyuluhan
yang
profesional
merupakan
prasyarat
utama
terselenggaranya suatu penyuluhan yang dapat meningkatkan kapasitas petani. Hasil penelitian Anantanyu (2009) tentang partisipasi petani dan kapasitas kelembagaan kelompok tani juga mengungkapkan pentingnya dukungan penyuluhan bagi peningkatan kapasitas petani, pemenuhan kebutuhan petani dan peningkatan motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok. Pengaruh Peubah Lingkungan terhadap Kapasitas Masyarakat Meningkatnya faktor lingkungan berpengaruh pada menurunnya kapasitas masyarakat dalam pengelolaan TNKT (Gambar 5dan6). Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa peubah tokoh masyarakat sebagai salah satu unsur pembentuk faktor lingkungan, sangat antipati dengan gagasan taman nasional akibat distorsi informasi dan lemahnya koordinasi dalam sosialisasi pengelolaan taman nasional. Akibatnya, segala yang berkaitan dengan taman nasional selalu ditanggapi apriori oleh masyarakat termasuk tokoh masyarakatnya. Hal tersebut didasari pada hasil analisis SEM yang menunjukkan bahwa nilai t-hitung antar peubah faktor lingkungan memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap kapasitas masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Nilai t-hitung yang diperoleh yaitu -2,10 lebih besar t-tabel (1,960) yang berarti faktor lingkungan
yang merupakan peubah laten eksogen memberikan sumbangan
yang berarti terhadap kapasitas masyarakat sebagai peubah laten endogen. Peubah manifest faktor lingkungan yang dilihat dalam hal ini adalah indikator
112 kerjasama dan pemimpin informal sedangkan
Kapasitas Masyarakat yang
menggambarkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan TNKT terdiri dari sikap mental dan kesetaraan. Pengaruh signifkan yang antagonis tersebut bermakna jika faktor lingkungan meningkat dan faktor yang lainnya tetap maka peubah kapasitas masyarakat akan menurun. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa unsur pembentuk faktor
lingkungan, dalam hal ini kerjasama dan peran pemimpin informal
memberikan respon negatif terhadap upaya meningkatkan kapasitas masyarakat untuk pengelolaan TNKT. Seperti juga masyarakat pada umumnya, para tokoh masyarakat
sangat antipati dengan gagasan taman nasional akibat distorsi
informasi dan lemahnya koordinasi dalam sosialisasi pengelolaan taman nasional dengan pola kemitraan (kolaborasi). Suasana yang diliputi konflik sangat terasa berkaitan dengan isu taman nasional. Akibatnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan taman nasional
selalu ditanggapi dengan apriori
oleh masyarakat
termasuk tokoh masyarakatnya. Ketika upaya sosialisasi Taman Nasional dilakukan, tokoh masyarakat dari seluruh Desa di Kepulauan Togean selalu diikutsertakan dalam berbagai pertemuan hingga pelatihan di Togean, Ampana dan Palu. Kegiatan tersebut di prakarsai oleh NGO bekerjasama dengan pemerintah daerah dan Balai Taman Nasional. Kolaborasi ini juga pernah mensponsori para tokoh masyarakat tersebut untuk mengunjungi Taman Nasional Komodo dan Bunaken. Namun saat kembali ke pulau Togean, tidak
dilanjutkan dengan kegiatan sosialisasi kepada
masyarakat sehingga muncul saling curiga antara masyarakat dan tokoh masyarakat. Dalam ketidak pastian yang memuncak diikuti berbagai isu dan kejadian yang merugikan masyarakat membuat pembicaraan mengenai Taman Nasional menjadi hambar dan masyarakat enggan serta alergi membicarakannya. Hingga rangkaian penelitian ini berakhir pada Agustus 2009, kondisi di lapangan masih cenderung tidak pasti akibat konflik kepentingan (akibat ketidak tahuan atau ketidak jelasan wewenang serta lemahnya koordinasi) dari berbagai aktor mengenai status TNKT. Masalah ini menjadi makin rumit karena potensi
113 konflik tidak hanya melanda antar masyarakat dan dengan pemerintah tetapi juga antar pemerintah lokal dan pemerintah pusat baik soal kejelasan status maupun kekisruhan Tata Ruang Nasonal.
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT Hasil analisis SEM (Gambar 5 dan 6) memperlihatkan bahwa dari tiga peubah bebas yang dikaji, ketiga tiganya memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
Kecuali peubah
proses penyuluhan dan faktor lingkungan, karakteristik individu dan kapasitas masyarakat memberikan pengaruh nyata pada tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Pengaruh Peubah Internal terhadap Partisipasi Masyarakat Meningkatnya karakteristik individu berpengaruh pada menurunnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT (Gambar 5 dan 6). Kenyataan ini secara kontekstual dapat dijelaskan bahwa masyarakat menyangsikan manfaat kehadiran taman nasional di wilayah mereka.
Berdasarkan teori
partisipasi,
masyarakat akan tergerak mau terlibat bila mereka meyakini manfaatnya (Eberley, 2007). Selain itu, konsep Taman Nasional merupakan hal yang relatif baru bagi masyarakat Togean. Informasi atau gambaran buruk praktek Taman Nasional di berbagai daerah serta kesimpang siuran informasi menimbulkan sikap penolakan masyarakat terhadap TNKT. Masyarakat menganggap kehadiran taman nasional akan membatasi ruang gerak mereka untuk mencari nafkah, padahal motivasi mereka yang tinggi untuk berpartisipasi di TNKT justru untuk mengakses lahan usaha dengan mudah. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan intervensi berupa pemberian pemahaman dalam bentuk penyuluhan untuk meyakinkan mereka akan manfaat taman nasional dan meningkatkan kapasitas mereka.
114 Kenyataan
ini
dapat
dibuktikan
melalui
analisis
SEM
yang
memperlihatkan terdapat pengaruh yang nyata antara peubah karakteristik individu dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Nilai t-hitung yang diperoleh adalah - 2,93 lebih besar dari nilai t-tabel (1,960) yang berarti bahwa karakteristik individu yang merupakan peubah laten eksogen dapat memberikan kontribusi yang bermakna dan menentukan terhadap partisipasi masarakat dalam pengelolaan TNKT sebagai peubah laten endogen.
Peubah
manifest (indikator-indikator) karakteristik internal yang dilihat dalam hal ini adalah motivasi dan status sosial, sedangkan
partisipasi Masyarakat dalam
pengelolaan TNKT, terdiri dari peubah manfaat dan relasi. Unsur unsur pembentuk karaketristik internal terdiri dari motivasi dan status sosial yang indikatornya menggambarkan harapan masyarakat akan hidup yang lebih baik termasuk kemauan mereka untuk menyelamatkan lingkungan. Namun motivasi yang tinggi untuk menyelamatkan lingkungan tidak identikan dengan kesediaan mereka untuk berpartisipasi, meskipun
taman nasional
membawa misi kesejahteraan dan
Taman nasional
kelestarian lingkungan.
adalah cara, sedangkan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan adalah tujuan. Masyarakat memandang bahwa tujuan ini bisa dicapai dengan berbagai cara dan tidak mesti dalam bentuk taman nasional. Namun, terlepas dari baik buruknya taman nasional, dari perspektif penyuluhan dan temuan lapangan
menunjukkan terjadi bias informasi yang
sangat kentara lantaran proses penyuluhan mulai dari sosialisasi hingga adopsi inovasi tidak berlangsung secara utuh. Terjadi distorsi informasi akibat tidak diterapkannya prinsip-prinsip kolaborasi, kemitraan atau partisipasi dalam pengelolaan taman nasional. Model penyuluhan yang dibangun masih bersifat satu arah, belum dalam bentuk penyuluhan yang konvergen yang memungkinkan masyarakat ikut dalam proses paling awal hingga ketingkat pengambilan keputusan. Selain itu, persepsi dan koordinasi (program dan budget) antar pelaku penyelenggara penyuluhan baik tingkat pusat (balai Taman Nasional) maupun
115 pemda lokal nampak belum berjalan baik. Akibatnya, terjadi reaksi prokontra yang kian saat makin membentuk anggapan negatif terhadap TNKT. Peran stakeholder seperti NGO (civil society) dan pihak swasta juga memberi warna tersendiri bahkan lebih bersifat antagonistik. Dalam beberapa kasus, terjadi gesekan yang amat tajam antara masyarakat dengan pihak swasta dalam hal penguasaan ruang di laut. Gesekan juga terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah bahkan antara sesama NGO tentang implikasi dari penetapan pulau Togean sebagai Taman Nasional. NGO lokal yang biasanya menjadi corong masyarakat belum sepenuhnya percaya pada niat baik pembentukan TNKT. NGO lain seperti CII (Concervacy International Indonesia) yang telah lama mendampingi masyarakat di pulau Togean dan dianggap ikut membidani penetapan taman nasional ini, tiba-tiba angkat kaki karena alasan masa kontrak selesai. Masyarakat akhirnya terjebak pada pro-kontra kehadiran taman nasional yang kemudian bersublimasi dengan politik lokal membuat kesan negatif terhadap konsep taman nasional makin mencuat.
Keseluruhan situasi ini
memberikan pengaruh yang kuat atas penilaian masyarakat terhadap kehadiran taman nasional yang ditunjukan oleh rendahnya tingkat partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT meskipun mereka memiliki kapasitas yang memadai. Pengaruh Peubah Proses Penyuluhan terhadap Partisipasi Masyarakat Proses penyuluhan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap partisipasi Kenyataan ini didasari pada hasil analisis SEM yang memperlihatkan nilai thitung yang diperoleh adalah - 0,13 lebih kecil dari nilai t-tabel (1,960). Hal ini berarti bahwa proses penyuluhan yang merupakan peubah laten eksogen (independent) belum dapat memberikan kontribusi langsung yang bermakna, namun proses penyuluhan dapat memberikan sumbangannya tidak langsung yang sangat berarti melalui peubah kapasitas terhadap partisispasi masyarakat sebagai peubah laten endogen (dependent) dengan koefisien bobot faktor sebesar 0,33. Peubah manifest (indikator-indikator) proses penyuluhan yang dilihat dalam hal
116 ini adalah media penyuluhan, metode penyuluhan, interaksi dan kemampuan penyuluh. Sedangkan peubah Partisipasi Masyarakat yang menggambarkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan TTNKT yang terdiri dari indikator Manfaat dan Relasi. Kenyataan
tersebut menunjukkan bahwa intervensi dalam bentuk
penyuluhan tidak bisa langsung meningkatkan partisipasi masyarakat tanpa melalui peningkatan kapasitas mereka. Dengan kata lain, kapasitas yang meningkat sebagai fungsi dari hasil penyuluhan yang efektif akan dapat meningkatkan partisispasi. Proses penyuluhan yang dilakukan dengan efektif juga akan dapat meningkatkan motivasi atau kemauan serta membangun peluang atau kesempatan yang merupakan syarat bagi terjadinya partisipasi. Berdasarkan pandangan ini maka meskipun tidak memiliki
hubungan langsung,
namun
proses penyuluhan memiliki peranan yang sangat strategis serta menjadi kunci percepatan bagi terjadinya partisipasi. Pengaruh Peubah Lingkungan terhadap Partisipasi Masyarakat Hasil analisis SEM (Gambar 5 dan 6) memperlihatkan tidak terdapat pengaruh yang nayata antara peubah Faktor Lingkungan dengan Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Nilai t-hitung yang diperoleh adalah 0,60 lebih kecil dari nilai t-tabel (1,960). Hal ini berarti bahwa Faktor Lingkungan yang merupakan peubah laten eksogen (independent) belum dapat memberikan kontribusi yang bermakna atau sumbangannya sangat kecil terhadap Partisispasi Masyarakat sebagai peubah laten endogen (dependent).
Peubah manifest
(indikator-indikator) faktor lingkungan yang dilihat dalam hal ini adalah kerjasama dan pemimpin informal, sedangkan peubah partisipasi masyarakat yang menggambarkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan TNKT yang terdiri dari indikator manfaat, tanggung jawab dan relasi. Kedaan ini dapat dijelaskan bahwa faktor lingkungan terutama kerjasama yang telah terbangun di masyarakat tidak memiliki hubungan langsung dengan
117 bentuk kerjasama pengelolaan TNKT. Seperti diketaui bahwa masyarakat Togean memiliki tradisi kerjasama atau kegotong royongan yang terpelihara dari generasi ke generasi dari setiap suku bangsa yang ada. Kegiatan kerja sama tersebut terjadi pada saat acara kematian, pesta pernikahan, membuka kebun hingga memanen hasil dan kerja sama dalam menangkap hasil laut.
Dengan kata lain, meskipun
potensi kerja sama ada di masyarakat atau mereka sudah terbiasa untuk melaksanakan kerjasama namun bila kesempatan untuk melakukan kerjasama tidak ada, maka kerjasama, dalam hal ini dimanifestasikan dalam bantuk partisipasi, tidak tercipta.
Pengaruh Peubah Kapasitas Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakat Kapasitas berpengaruh nyata terhadap partisispasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT (Gambar 5dan6).
Pengaruh ini sangat berarti karena
kapasitas masyarakat dianggap salah satu faktor yang menentukan bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Menurut Slamet (2003), Wilson and Koester (2008), syarat terjadinya partisipasi adalah kemampuan, disamping kemauan dan kesempatan. Ramirez (Suporaharjo, 2005), mengemukakan bahwa masyarakat secara umum adalah stakeholder terhadap objek yang melekat, tetapi stakeholder masih dapat diidentifikasi sebagai aktor sosial, yaitu mereka yang mempunyai kapasitas untuk berpartisispasi terutama dalam proses pengambilan keputusan. Namun, kapasitas yang meningkat saja tidak otomatis menyebabkan meningkat partisipasi karena ada faktor penentu lain yaitu peluang atau kesempatan. Kenyataan tersebut dibuktikan melalui hasil analisis SEM yang menunjukkan
bahwa
kapasitas
masyarakat
berpengaruh
nyata
terhadap
partisispasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Nilai t-hitung yang diperoleh adalah 3,47, lebih besar dari nilai t-tabel (1,960), bermakna bahwa kapasitas masyarakat yang merupakan peubah laten endogen (intervening) memberikan kontribusi yang sangat bararti terhadap Partisipasi sebagai peubah laten eksogen (dependent). Peubah manifest (indikator-indikator) kapasitas masyarakat
yang
118 dilihat dalam hal ini adalah sikap mental dan kesetaraan. Partisipasi masyarakat yang menggambarkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan TNKT diukur dari manfaat, tanggung jawab dan relasi. . Pengaruh Bersama Karakteristik Internal, Proses Penyuluhan, Faktor Lingkungan dan Kapasitas terhadap Partisipasi Masyarakat. Peubah
karakteristik
internal,
proses
berpengaruh pada partisipasi masyarakat.
penyuluhan,
dan
kapasitas
Karakteristik internal berpengaruh
nyata negatif secara langsung, dan berpengaruh tidak nyata positif secara tidak langsung. Proses penyuluhan berpengaruh tidak nyata negatif secara langsung dan berpengaruh nyata positif secara tidak langsung.
Faktor lingkungan
berpengaruh tidak nyata baik langsung maupun tidak langsung.. Sedangkan kapasitas masyarakat perpengaruh nyata positif
secara langsung terhadap
partisipasi masyarakat. Hasil analisis SEM (Gambar 5 dan 6) dan analisis jalur menunjukkan hanya peubah Kapasitas memperlihatkan pengaruh yang nyata positif terhadap partisispasi. Sedangkan peubah eksogen yang memberikan kontribusi terbesar bagi peningkatan kapasitas adalah proses penyuluhan dengan koefisien sebesar 0,60. Hal ini berarti bahwa intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat adalah menaikan kapasitas mereka melalalui peningkatan kualitas proses penyuluhan. Semua peubah eksogen mulai dari karakteristik internal, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan peubah endogen kapasitas berada pada kategori tinggi, namun partisispasi berada pada posisi rendah. Bila mengacu pada teori partisipasi menurut Slamet (2003), maka peubah peubah tersebut hanya mampu mengungkapkan fenomena faktual terpenuhinya dua syarat partisipasi yaitu kemauan dan kemampuan, sedangkan syarat kesempatan tidak terwujud. Dengan kata lain, unsur motivasi atau kemauan (karakter individu) dan unsur kapasitas, tidak diimbangi dengan syarat kesempatan yang diperoleh masyarakat. Dengan demikian, meskipun unsur kemauan dan kemampuan berada pada
119 kategori tinggi namun tidak cukup kuat untuk mendorong terjadinya partisipasi karena tidak adanya kesempatan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, terungkap bahwa gagasan menjadikan wilayah kepulauan Togean sebagai kawasan Konservasi dalam bentuk taman nasional menuai kontroversi dan isu yang sarat dengan potensi konflik. Dalam kondisi seperti ini, penyuluhan yang dilakukan juga bersifat mekanistik satu arah dengan frekuensi yang sangat terbatas. Meskipun secara nasional telah ditetapkan model pendekatan kemitraan (kolaboratif) atau partisipatif dalam pengelolaan taman nasional, namun di tingkat implementasi masih terkendala mekanisme koordinasi dan keseriusan menemukan solusi. Masyarakat terombang ambing di antara harapan dan ancaman terhadap kehidupan mereka di tengah praktek manajemen
taman nasional.
Akibat selanjutnya muncul pandangan
negatif dan anti pati terhadap gagasan taman nasional serta para aktor yang membawa gagasan ini. Sesungguhnya perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi mengakui bahwa perencanaan terpusat atau pendekatan cetak biru tidak kondusif lagi bagi manajemen sumberdaya lokal secara partisispatif. Namun, perubahan paradigma dari menagement terpusat ke partnership management (partisipatif) ditingkat konsep saja tak cukup berarti bila tidak diikuti dengan paraktek nyata di lapangan. Pendekatan-pendekatan ekploratif termasuk pembelajaran (penyuluhan atau pemberdayaan) adalah hal yang menjanjikan. Elemen kekuatan lokal yang diwujudkan dalam partisipasi mereka dalam proses pengambilan keputusan, termasuk perencanaan dan manajemen merupakan faktor kunci keberhasilan. Hasil penelitian Kassa (2009) di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah juga menunjukkan bahwa faktor kunci yang tidak mendukung keberhasilan co-management/partnership management atau kemitraan di taman nasional Lore Lindu adalah rendahnya partisipasi stakeholder, negosiasi yang tidak melibatkan seluruh stakeholder, dan ketidak jelasan untuk mendapatkan akses sumberdaya. Camala et al. (1977) menguraikan tingkatan tindakan dan konsekwensi sikap partisipasi antara lain: Order-Reaction, Guide-Imagination,
120 Involving-Understanding, Empowering-Comitmen and Action.
Uraian ini
mensyaratkan pelibatan dan pemberdayaan menjadi kata kunci yang menentukan. Hubungan antar Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kapasitas dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT Terdapat hubungan di antara ketiga peubah independen, yaitu karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan (Tabel 26). Hubungan karakteristik internal dan proses penyuluhan bersifat positif, bermakna bila perubahan yang terjadi pada karakteristik individu akan diikuti pula dengan perubahan searah pada proses penyuluhan dan sebaliknya. Keeratan hubungan kedua peubah tersebut tergolong kuat, ditunjukan oleh koefisien hubungan sebesar 0,5 yang lebih besar atau sama dengan 0,5. Dengan demikian, bila motivasi dan status sosial berubah akan diikuti pula oleh proses penyuluhan dan sebaliknya. Hubungan karakteristik internal dan faktor lingkungan bersifat positif, artinya perubahan yang terjadi pada karakteristik internal akan diikuti pola oleh perubahan pada faktor lingkungan, dan sebaliknya. Namun keeratan hubungan kedua peubah tersebut tergolong lemah, ditandai dengan koefisien hubungan sebesar 0,28 yang lebih kecil dari 0,5. Hubungan Proses penyuluhan dan faktor lingkungan bersifat positif, artinya perubahan yang terjadi pada Proses penyuluhan akan diikuti pola oleh perubahan pada faktor lingkungan, dan sebaliknya. Keeratan hubungan kedua peubah tersebut tergolong kuat, ditandai dengan koefisien hubungan sebesar 0,56, yang besar dari 0,5. Dengan demikian, bila proses penyuluhan berubah akan diikuti pula oleh perubahan pada faktor lingkungan.
Sebaliknya, bila faktor
lingkungan berubah, akan diikuti pula oleh perubahan pada proses penyuluhan. Hubungan antar faktor ini mempertegas betapa peran penyuluhan sangat menentukan dalam proses mendorong lahirnya pertisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Peranan tersebut harus ditunjang faktor eksternal seperti implementasi
paradigma
kemitraan
dalam
pengelolaan
taman
nasional,
121 implementasi kebijakan di bidang penyuluhan dan suasana sosial politik budaya dan hankam yang kondusif.
Strategi Penyuluhan untuk Pengembangan Kapasitas dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT Sintesis dari penelitian ini diperoleh Strategi Pengembangan Partisipasi melalui proses penyuluhan dan kapasitas sebagai berikut : (1)
Mengingat
partisipasi masyarakat adalah ”rendah” meskipun motivasi
(willingness) dan kapasitas (capacity) mereka ”tinggi,” maka perlu adanya bentuk penyuluhan yang memberi peluang (opportunity) berperan dalam pengelolaan
TNKT.
Pemberian
peluang
ini
adalah
bentuk
penghargaan/pengakuan (recognition) terhadap masyarakat lokal atas hak ekologis yang terhalang karena kepentingan konservasi. (2) Agar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT terarah dan bertanggung jawab maka perlu ada wadah (formal atau informal) untuk memfasilitasi proses partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. (3)
Untuk menjamin tetap terjaganya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT secara berkesinambungan maka perlu ada mekanisme yang efektif untuk pembagian manfaat (sharing of benefit) dan penanggungan resiko (sharing of risk) dari SDA di wilayah TNKT.
(4) Mengingat partisipasi dipengaruhi secara nyata oleh kapasitas, sedangkan kapasitas dipengaruhi secara nyata oleh proses penyuluhan maka fokus untuk meningkatkan partisipasi terletak pada proses penyuluhan baik kualitas (materi, media, metode, penyuluh, interaksi dan pola pendekatan) maupun kuantitas (intensitas penyuluhan) serta kelembagaan penyuluhan. (5) Agar respon negatif pada faktor lingkungan terhadap kapasitas dan karakter individu masyarakat terhadap partisipasi dapat berubah menjadi positif maka perlu ditingkatkan proses penyuluhan mengingat adanya keeratan hubungan yang positif antara proses penyuluhan dengan karakteristik individu dan faktor lingkungan.
122
Uraian yang komprehensif mengenai strategi ini dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk Model Pengembangan Partisipasi melalui proses penyuluhan dan kapasitas masyarakat dalam Pengelolaan TNKT sebagaimana tertera pada Gambar 8.
Proses penyuluhan tersebut hendaknya dilakukan melalui beberapa
tahap sebagai berikut: Tahap pertama, adalah analisis dan identifikasi kebutuhan secara partisipatif antara penyuluh dan masyarakat. Riset ini menemukan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT rendah sebagai akibat dari minimnya kesempatan untuk berperanserta. Oleh karena itu, strategi paling awal adalah mengikutkan masyarakat dalam proses identifikasi kebutuhan. Pada tahap ini, penyuluh dan masyarakat harus dapat mengidentifikasi dan menentukan kebutuhan yang dirasakan (felt need) dan kebutuhan sesungguhnya (real need) berkait dengan TNKT. Kebutuhan masyarakat yang dimanifestasikan dalam sub peubah motivasi mendapat skor tinggi pada beberapa indikator seperti kebutuhan akan akses permodalan, ruang atau lokasi usaha dengan hasil yang memadai (akses ruang dan SDA) serta
keinginan untuk menjaga kelestarian alam dan menjalin
hubungan sosial dengan sesama (jaminan keberlanjutan).. Patut diakui bahwa
saat ini di pulau Togean terjadi benturan tiga
kepentingan antara ekonomi, sosial dan ekologi. Desakan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat berhadapan ”vis a vis” dengan ketersediaan SDA yang kian langka akibat rusaknya ekosistem, eksploitasi berlebihan (jumlah dan intensitas) dan masalah hak kelola masyarakat terutama dalam perspektif tata ruang atau penggunaan ruang terbuka. Ide pembatasan atau pengaturan penggunaan SDA seperti yang dibawa oleh gagasan konservasi dalam bentuk Taman Nasional untuk mengatasi situasi terkurasnya SDA, dipandang oleh masyarakat sebagai upaya untuk membuat mereka makin sulit untuk memperoleh nafkah. Hasil penelitian Arif Satria (2002) mengungkapkan bahwa kesejahteraan terutama para nelayan lebih dipengaruhi
123 oleh dua hal yaitu akses pemanfaatan mereka pada sumberdaya dan kontrol mereka pada sumberdaya tersebut. Kajian ini sejalan dengan banyak penelitian sebelumnya yang mengusulkan jalan keluar untuk mengatasi SDA perikanan berupa kontrol pada akses dan pemanfaatan sumber daya (Saad, 2009). Ketika diadakan wawancara mendalam di Desa Tanjung Pude, seorang responden mengungkap kerisauannya sebagai berikut : ”sedangkan tidak dibatasi pengambilannya, kami sudah mengalami kesulitan menangkap ikan dan teripang apalagi kalau dibatasi.” Ungkapan masyarakat
ini memperteguh kebenaran hasil kajian Satria
tersebut, namun sekaligus mengungkapkan bahwa masyarakat memiliki pemahaman yang sangat minim tentang makna konservasi dan arti kehadiran taman nasional di wilayah mereka.
Seperti diketahui bahwa taman nasional
membawa tiga misi yaitu misi perlindungan, misi konservasi dan misi pemanfaatan.
Dari ketiga misi tersebut tampak akan terjadi perubahan
penggunaan ruang yang semula bebas akses menjadi terbatas. Tetapi keterbatasan tersebut sesungguhnya untuk kepentingan jangka panjang pemanfaatan SDA atau ruang nafkah secara berkelanjutan. Namun pembatasan tersebut, terutama dalam jangka pendek pasti menimbulkan kontraksi sosial akibat ketidak fahaman dan Desakan kebutuhan. Hal ini akan sangat terasa misalnya pada kasus pengaturan pemanenan teripang yang serba dilematis.
Oleh karena itu, diperlukan jalan
keluar yang komprehensif untuk mengatasi dilema ini melalui proses penyuluhan. Tahap kedua, adalah proses penyuluhan yang dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dan selanjutnya akan meningkatkan partispasi mereka. Strategi peningkatan kapasitas melalui penyuluhan membutuhkan ketersediaan penyuluh yang berkualitas dalam menguasai materi, metode dan kemampuan berkomunikasi baik kualitas mapun intensitasnya serta dukungan kebijakan yang memadai.
Kualitas penyuluh yang profesional merupakan prasyarat utama bagi
terselenggaranya
suatu
penyuluhan
yang
dapat
meningkatkan
kapasitas
masyarakat. Penyuluh yang profesional akan berfungsi lebih sebagai fasilitator,
124 mediator dan pemandu sehingga penyuluhan berlangsung secara demokratis dan egaliter.
MASUKAN (Input): (Partisipasi rendah) Identifikasi : akses ruang dan SDA, akses modal, menjaga kelestarian alam dan menjalin hubungan sosial
Dukungan Kebijakan penerapan pendekatan kemitraan pengelolaan Kawasan konservasi
PROSES : Kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan Motivasi atau kemauan dan Kapasitas Masyarakat
KELUARAN (Output): Peningkatan Kapasitas masyarakat terutama berkaitan dengan sikap mental dan kesetaraan serta motivasi atau kemauan
MANFAAT (Outcome): Masyarakat bersedia untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan TNKT
DAMPAK (Impact): Masyarakat sejahtera & Lingkungan lestari
Gambar 8. Strategi Pengembangan Partisipasi Melalui Proses Penyuluhan dan Kapasitas Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT Strategi penyuluhan terutama berkaitan dengan materi penyuluhan, selain yang berhubungan dengan motivasi dan pengetahuan tentang teknis inovasi dan alternatif usaha, juga aspek keberlanjutan ekologis. Sumber informasi tidak hanya berasal dari penyuluh tetapi juga berasal dari masyarakat sehingga mereka
125 sebagai subyek yang berperan aktif dan partisipatif dalam proses penelusuran, penggalian dan penemuan ilmu dan teknologi.
Selain itu, materi teknis yang
dikembangkan harus diikuti dengan upaya membuka akses permodalan dan pemasaran serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Berdasarkan temuan penelitian ini, semua upaya ini baru akan efektif bila diimbangi dengan pemberian kesempatan (oportunity), kepercayaan (trust) dan penghargaan atau pengakuan akan hak masyarakat lokal (recognition) dan pelibatan dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan kata lain strategi
pendekatan harus bersifat komprehensif berupa penyuluhan (pemberdayaan) partisipatif dalam bentuk pendampingan terpadu. Penyuluhan partisipatif memungkinkan tergalinya kebutuhan real masyarakat dan pendampingan terpadu akan menjadi jembatan bagi terpecahkannya masalah secara holistik atas dukungan semua aktor terkait. Interaksi dengan penyuluh tergolong sedang maka intervensi penyuluhan harus dilakukan dengan intensitas yang makin meningkat.
Komunikasi pada
penyuluhan untuk meningkatkan kapasitas haruslah model komunikasi yang konvergen yang menggambarkan partisipasi penyuluh dan masyarakat yang saling bertukar informasi dalam pemahaman, pengertian dan kebutuhan sehingga menemukan kesamaan pandang. Kebalikannya adalah model komunikasi linier yang menyebabkan masyarakat bersifat pasif karena komunikasi hanya berlangsung satu arah. Model dan intensitas komunikasi ini selain diharapkan dapat mengimbangi dan menepis isu negatif juga meyakinkan mereka akan substansi konservasi yang akan membawa manfaat bagi mereka saat ini maupun untuk anak cucu mereka kelak. Hanya bila masyarakat teryakini akan manfaat sebuah ide yang dibawa dan kesempatan yang dibuka maka dengan mudah mereka akan ikut berpartisipasi. Lembaga penyelenggara penyuluhan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun kalangan NGO harus memilik kesamaan pandang tentang baik paradigma penyuluhan maupun substansi yang akan disuluhkan.
Dalam hal
status, mekanisme hingga wewenang atau otoritas pengelolaan taman nasional
126 misalnya,
menimbulkan
kebingungan
di
tingkat
masyarakat
sehingga
memperbesar peluang penolakan. Dengan demikian, analisis akar masalah dapat diarahkan pada peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konservasi dan perbaikan kebijakan pengelolaan dan implementasinya. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Amzu (2007), di Taman Nasional Meru Betiri yang mensintesis akar masalah konservasi dengan dua pendekatan, yaitu: (1) membangun sikap masyarakat prokonservasi dan (2) perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan. Kalau kita kaitkan dengan teori partisipasi maka pendekatan pertama tersebut mewakili aspek ”kemauan dan kemampuan” sedangkan pendekatan kedua mewakili aspek ”kesempatan.” Strategi tahap satu dan dua ini juga sejalan dengan Surjadi dan Supriatna (1998) yang mengelompokan tiga hal yaitu ; ”base line data colection, communty development toward environmenttaly sound development and policy outreach.” Tahap Ketiga : adalah keluaran (output) yaitu terjadi peningkatan motivasi atau kemauan dan kapasitas masyarakat sebagai hasil proses penyuluhan yang benar dan tepat.
Ukuran keberhasilan penyelenggaraan penyuluhan adalah
perubahan perilaku masyarakat yang ditunjukan oleh kapasitas yang tinggi dalam hal keterbukaan menerima inovasi, pengetahuan dan kemampuan dalam usaha ekonomi yang ramah lingkungan serta tingkat kepedulian pada penyelamatan lingkungan dan sumberdaya alam. Dalam hal ini dibutuhkan transformasi perilaku dari kebiasaan lama memanfaatkan SDA secara bebas ke kebiasaan baru penggunaan terbatas dengan memperhitungkan daya dukung dan keberlanjutannya.
Disadari bahwa akan
terjadi dilema antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Ide moratorium (istirahat sementara) sebagai instrumen pembatasan misalnya, akan berhadapan dengan terhenti sementara atau hilangnya peluang usaha harian masyarakat (one day fishing) untuk memenuhi nafkah atau ekonomi keluarga (job opportunity). Namun bila tidak dilakukan moratorium maka stok sumberdaya alam makin menipis dan akan punah satu ketika sehingga masyarakat kehilangan
127 kesempatan usaha secara parmanen.
Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah
bila sumberdaya alam tersebut termasuk kategori ”endemik” yang amat bernilai tinggi baik ekonomi, sosial maupun ekologi yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab universal. Kondisi ini hanya bisa difahami dan dipatuhi oleh individu masyarakat yang memiliki kapasitas yang tinggi baik berkaitan dengan aspek teknis produksi maupun aspek konservasi lingkungan dan hubungan sosial yang baik. Individu masyarakat dengan kapasitas ini, akan dapat berfungsi sebagai ”aktor sosial.” Aktor sosial dalam hal ini adalah mereka yang mempunyai kapasitas atau pengetahuan dan kemampuan untuk berpartisispasi terutama dalam proses pengambilan keputusan. Tahap ke empat adalah manfaat (outcome) yang diperoleh sebagai akibat meningkatnya kapasitas masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi mereka. Terdapat tiga hal yang menjadi prasyarat bagi lahirnya partisispasi yaitu: kemaun,
kemampuan
dan kesempatan.
Faktor kemauan akan berhubungan
dengan motivasi dan motivasi yang kuat selalu berkaitan dengan manfaat yang diperoleh. Hanya masyakarat yang merasa memperoleh manfaat yang akan mau mengikuti suatu anjuran. Jika tidak ada cara yang berarti untuk memberi keuntungan bagi masyarakat lokal untuk upaya konservasi mereka berarti tidak adil dan sering kali sangat tidak realistis untuk
mengharapkan mereka mengorbankan kebutuhan
mereka sendiri demi cita cita konservasi. Banyak upaya yang telah dilakukan bahkan dalam bentuk proyek konservasi, tidak memberi manfaat yang berarti bagi masyarakat lokal.
Sering kali biaya proyek
diinternalisasi di dalam
masyarakat tetapi keuntungannya dinikmati di tempat lain. Oleh karena itu, pendekatan partisipasi dalam bentuk penyuluhan dan pemberdayaan di bidang pembangunan dan konservasi harus diimbangi dengan upaya untuk menyediakan masyarakat lokal dengan insentif ekonomi melalui jaminan akses kepada sumberdaya atau melalui mekanisme kompensasi untuk menggantikan peluang usaha mereka yang hilang, terhalang atau tertangguhkan,
128 sehingga mereka tidak menjadi korban konservasi. Kompensasi dapat bersumber dari dana pemberdayaan baik dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, lembaga internasional, maupun dalam bentuk CSR yang bersumber dari perusahaan yang banyak beroperasi di Pulau Togean. Bentuk keikutsertaan institusi baik pemerintah maupun swasta ini bisa dibangun dalam pola kemitraan sebagai model pendekatan dalam pengelolaan TNKT. Sumberdana yang lain dapat diusahakan melalui konsep imbal jasa dan valuasi lingkungan yang penerapannya masih membutuhkan prospek. Potensi alam dan wisata bisa menjadi satu unsur penunjang atau alternatif usaha dalam bentuk pemanfaatan jasa lingkungan. Temuan penelitian Rahmat (2000), yang mengungkapkan bahwa 70 persen masyarakat Togean menyetujui kegiatan ekoturisme sebagai skala prioritas di Desanya dan 90 persen masyarakat mempercayai bahwa ekoturisme akan membawa perbaikan bagi Desa dan masyarakat Togean. Upaya tersebut dapat secara komplementer menunjang tujuan konservasi di satu sisi dan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan di sisi yang lain.
Upaya ekoturisme ini sesungguhnya
pernah digagas bersama antara
masyarakat dengan pihak NGO bahkan hingga pada pembentukan kelembagaan dan memperoleh sukses luar biasa namun tidak berkesinambungan. Sebagai contoh, pada tahun 1997, Konsorsium Togean yang dibentuk oleh YABSHI dan CII bersama masyarakat setempat membentuk Jaringan Ekowisata Togean (JET). Seluruh anggota JET adalah penduduk lokal yang ingin memperoleh manfaat dari kedatangan wisatawan, seperti nelayan, petani, pemilik penginapan (homestay) dan pengelola atraksi wisata. Mereka mengembangkan beberapa atraksi wisata alam, seperti pembuatan jalur treking di hutan Malenge serta jembatan kayu menyusuri hutan bakau di Desa Lembanato. Bahkan, atraksi jembatan bakau ini sempat menarik keuntungan dari turis yang datang, penetapan tarif masuk sebesar Rp 15.000,- per kepala (belum termasuk sumbangan sukarela) Dari kegiatan-kegiatan tersebut tahun, 1999 JET dianugerahi British Airways Award untuk kategori Highly Recommended Tourism for Tomorrow. Penghargaan
129 ini diterima langsung oleh salah seorang warga Togean asal Desa Lembanato di London, Inggris (salah satu responden dalam penelitian ini). Saat ini, kesuksesan bersama tersebut tinggal kenangan karena tidak ada upaya untuk menjaga sisi keberlanjutannya karena ditinggal pergi lembaga NGO pendamping. Selain itu, bersamaan dengan kerusuhan Poso yang berdampak pada turunnya kunjungan wisata, juga karena tidak dilakukan pengambil alihan (take
over)
pembinaan
agar
masyarakat
benar
benar
mandiri
untuk
menjalankannya sendiri. Tahap ke lima
adalah dampak (impact) yang merupakan hasil jangka
panjang dari proses penyuluhan, peningkatan kapasitas dan partisipasi. Hasil jangka panjang tersebut dicirikan oleh meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan terjaganya lingkungan hidup secara lestari. Pada tahap ini telah muncul pemahaman dan kesadaran pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Untuk menjamin proses dan pencapaian ini secara berkesinambungan, dibutuhkan intervensi berupa dukungan kebijakan karena motivasi dan kapasitas yang dibangun dari proses penyuluhan saja tidaklah menjadi jaminan bagi bangkitnya partisipasi. Motivasi dapat diidentikan dengan kemauan dan kapasitas identik dengan kemampuan, keduanya berasal dari dalam sedangkan kesempatan, dalam hal ini, datangnya dari luar terutama dalam bentuk kebijakan. Kebijakan tersebut berkaitan dengan kemauan politik yang diwujudkan dalam bentuk aturan hukum dan diimplementasikan dalam wujud program. Program ini hendaknya dapat menjamin keharmonisan antara pengembangan ekonomi, kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal. Bila masyarakat lokal patut dilindungi hak dan kepentingannya bukan semata karena mereka memiliki kearifan yang positif atau karena saat ini banyak yang berperilaku negatif. Bukan pula sekedar karena mereka merupakan sumberdaya produktif atau sebagai potensi ancaman. Mereka layak dibela karena kehidupannya sangat tergantung pada SDA di sekitarnya. Selain itu, keberadaan mereka secara legal di satu kawasan dan interaksinya dengan SDA jauh lebih awal sebelum negara ada.
Oleh karena itu masyarakat lokal itu perlu dipulihkan
130 haknya (hak akses, hak milik atau hak untuk mengelola). Faktanya, hak mereka itu sering dipinggirkan dan proses ini justru menghilangkan kearifan lokal yang kemudian memunculkan perilaku baru yang merusak.
Padahal, berbagai
pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola SDA secara produktif dan lestari. Berdasarkan temuan penelitian, kebijakan yang amat dibutuhkan dapat berupa: (1) penataan tata ruang dengan memperhatikan hak-hak masyarakat, (2) konsistensi penerapan paradigma kemitraan pengelolaan taman nasional, (3) penerapan paradigma penyuluhan konvergen, yang dimulai dengan analisis kebutuhan hingga merancang dan melaksanakan program (4) akses permodalan dan pembangunan sarana prasarana penunjang usaha khususnya di bidang perikanan/kelautan dan pertanian yang merupakan sektor usaha mayoritas masyarakat Togean. Hanya bila langkah langkah ini dilakukan dengan benar maka kita akan optimis mencapai tujuan jangka panjang sebagai dampak (impact) dari proses penyuluhan, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup secara simultan.
131
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: (1) Partisipasi masyarakat kepulauan Togean dalam pengelolaan TNKT berada pada kategori “rendah” karena minimnya peluang untuk turut serta dalam menentukan status dan pengelolaan kawasan TNKT tempat mereka bermukim. Minimnya peluang ini berkait dengan koordinasi dan kolaborasi serta suasana konflik antar aktor baik masyarakat, NGO, pihak swasta dan antar pemerintah. (2)
Kapasitas masyarakat menyangkut sikap mental dan kesetaraan dalam pengelolaan TNKT dipengaruhi secara nyata oleh proses penyuluhan terutama intensitas dan faktor lingkungan dalam hal peran pemimpin informal dan kerjasama.
(3)
Faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT adalah faktor internal individu dalam hal motivasi dan status sosial serta kapasitas masyarakat dalam hal sikap mental dan kesetaraan. Faktor faktor ini memiliki korelasi dan pengaruh positif yang nyata dengan proses penyuluhan.
(4) Ketiga faktor yang berpengaruh pada kapasitas masyarakat dan partisipasi dalam pengelolaan TNKT, yaitu karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan memiliki hubungan yang erat dan positif. (5)
Strategi yang dapat digunakan adalah meningkatan proses penyuluhan yang konvergen dengan
memberikan peluang yang luas
kepada masyarakat
untuk ikut serta dalam proses pengelolaan TNKT. Ikut sertanya masyarakat dalam pengelolaan TNKT diikuti dengan pemberdayaan akan melahirkan pemahaman, kesadaran, komitmen dan tindakan yang membangkitkan rasa memiliki untuk mengelola dan memelihara secara bersama-sama.
132 Saran Saran temuan ini ditujukan kepada lembaga terkait baik pada tingkat daerah mapun pusat dan para penyuluh guna mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, sebagai berikut: (1)
Mengingat rendahnya partisipasi adalah akibat dari minimnya peluang dan biasnya informasi yang diterima masyarakat tentang TNKT maka pihak yang berkepentingan perlu meningkatkan intensitas penyuluhan dengan membuka peluang partisipasi yang luas bagi masyarakat untuk ikut memikirkan bahkan menjadi penentu dalam proses pengelolaan TNKT.
(2)
Agar partisipasi masyarakat dapat efektif, maka pemerintah pusat dan daerah perlu segera memberikan kepastian status TNKT diikuti penerapan secara konsisten
konsep kemitraan (kolaborasi) yang menjamin keterlibatan
masyarakat
dalam
struktur
kelembagaan
formal/informal
untuk
memfasilitasi partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT. (3)
Agar terjadi integrasi pembangunan secara berkelanjutan di TNKT maka pihak-pihak berkepentingan mutlak mendorong dalam hal pembangunan ekonomi, sosial dan
partisipasi masyarakat konservasi dengan
menghormati hak ekologis mereka dan membangun mekanisme yang efektif untuk mengelola manfaat (sharing of benefit) dari pemanfaatan SDA di kawasan konservasi.
Dengan kata lain perlu ada jaminan akses kepada
sumberdaya atau kompensasi atas akses mereka yang terhambat akibat penetapan kawasan ini sebagai Taman Nasional.. (4)
Mengingat keterbatasan penelitian ini yang lebih banyak mengungkap aspek internal yang menyebabkan terjadinya partisipasi, maka perlu penelitian sejenis mengenai faktor lain yang bersifat ekternal yang belum diteliti pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Abdussamad. 1991. “Partisipasi Petani dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian.” [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Adiwibowo, S, Shohibuddin M, Savitri LA, Sjaf S, Yusuf M. 2009. Analisis Isu Permukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia. SAINS Sayogyo Institute. Aliadi, A, Kismadi B dan Munggoro DW. 2002. Berbagi Pengalaman Pengelolaan SDA Berbasis Masyarakat. Bogor : Pustaka Latin. Alikodra, HS, dan HR Saukani. 2004. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas : Menyibak Tragedi Kehancuran Hutan. Cetakan Pertama. Bandung: Nuansa Amzu, E. 2007. “Sikap Masyarakat dan Konservasi : Suatu Analisis Kedawung (Parkia Timoriana (DC) Merr) sebagai stimulus Tumbuhan Obat bagi Masyarakat, Kasus Taman Nasional Meru Betiri”. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Anantanyu, S. 2009. “Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani. Kasus di Privinsi Jawa Barat.” [Disertasi]. Bogor: Sekolah Percasarjana IPB.. Arif, M. 1995. Materi Pokok Organisasi dan Manajemen. Jakarta : Universitas Terbuka. Arif Satria. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakartan: PT Pustaka Cidesindo. Arnstein, Sherrry R. (1969). A leader of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, Vol 35: pp. 216. Asngari, PS. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. ________. 2003. “Pentingnya Memahami Falsafah Penyuluhan Pembangunan dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat. Di Dalam Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh Sudrajat dan Yustina. Bogor: IPB Press.
132
Asngari. 2008. ”Peranan Perguruan Tinggi dalam Pengembangan SDM Pembangunan.” Di Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan Yang Bermartabat. Diedir oleh Sudrajat dan Yustina. Bogor: Syndex Plus. Aziz, K. 2008. Kredit Union Bolano. Makalah, disajikan pada Seminar tentang Good Practices. Sulawesi Capacity Development Project,Palu : JICABapedda Sulteng. Borrini, FG., Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Co-management of Natural resources: Organising, Negotiating and Learning-by-Doing. Heidelberg: GTZ and IUCN. Buttman, M, Paula E, Folbre N, Liana S, dan Goerge M. 2003. “When does gender trump money: bargainng and the time in household work.” American Journal of Sociology. Bessete, G. 2004. Involving the Community : A Guide to Participatory Development Comunication Penang : South Bond, International Development Research Centre. Chamala, Shankariah and PM. Shingi. 1977. “Establishing and Strengthening Farmer Organizations.” Dalam Improving Agricultural Extension: A Reference Manual. Disunting oleh Burton E. Swanson, Robert P. Bentz, dan Andrew J. Sofranko. Roma: FAO. Cangara. 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada [CII] Conservation International Indonesia. 2005. Konservasi Berbasis Masyarakat Melalui Daerah Perlindungan Laut Di Kepulauan Togean. Palu : CII Togean Program [CIDA] Canadian International Development Agency 2002. ”A Capacity Development Experience in the Water Sector in Indonesia”. Manado: The North Sulawesi Water Resources International Project, Cohen, J., Uphoff N. 1980. Participation place in rural development : seeking clarity trough Specificity. J. World Development Vol 8. Crawford, M. 2005. Kepemimpinan dan Kerjasama Tim di Dalam Manajemen Kependidikan. Jakarta : Garamedia Widiasarana Indonesia. Davis K, John WN. 1989. Perilaku dalam Organisasi. Agus Dharma, Penerjemah. Surakarta: Universitas Negeri Surakarta. 133
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta : Dephut. _______. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry. Jakarta : Dephut. ______, 2004. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta. : Dephut. [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Eberley, W. 2007. Stakeholder participation in poverty reduction. [INEF Report 86]. Duisburg : Institute For Development and Peace. Farid, A. 2008. “Kemandirian Petani dalam pengambilan keputusan Pengelolaan usaha tani: kasus petani Sayuran di kabupaten Bondowoso dan Pasuruan Propinsi Jawa Timur.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB. Fitzduf, M. 2002. Ketrampilan Komunitas Dalam Menghadapi Konflik. Buku Pegangan untuk Kerja Kelompok di Irlandia Utara. Jakarta: Britis Council. Gagne, RM. 1977. The Condition of Learning. New York : Rinehart and Winson. Gerungan, WA. 1999. Psicologi Sosial. Bandung : Eresco. Ginting, R. 1999. “Peranan pemimpin informal dalam menggerakan partisipasi masyarakat untuk pembangunan desa.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Hamalik, O. 1986. Metodologi Pengajaran Ilmu Pendidikan, Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Bandung : Mandar Maju. Hamundu, M. 1997. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Indonesia.
Jakarta : Warna
Herminto, S. 1996. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengembangan Terpadu Kawasan Kepulauan Togen, Sulawesi Tengah. Editor : Hadi Purnomo dan Cristoverius Hutabarat. Kerja Sama Dirjen Perlindungan Hutan dan PSDA, KLH dan Pemda Sulawesi Tengah. 134
Hofstede, W. 1991. Pembangunan Masyarakat. Kumpulan Karangan. Society in Transition. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hutabarat, C. 1996. Potensi dan Ancaman Terhadap ekosistem Terumbu Karang Di kepulauan Togean. Bogor. YABSHI. Ibrahim, JT, Sudiyono, Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Malang : Bayu Media Publising. Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives. Vision, Analysis and Practice, Australia, Longman. [IUCN]. 1980. World Conservation Strategy: Living Resource Conservation for Sustainable Development. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources - UNEP - WWF. Gland: Switzerland. ________ 1985. United Nations List of National Parks and Protected Area. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Gland, Switzerland. Kartasubrata, J. 1986. “Partisipasi rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan di jawa: studi kehutanan sosial di daerah hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Kassa, S. 2009. “Konsep pengembangan co-management untuk melestarikan Taman Nasional Lore Lindu.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Katz, D. 1960. “The Functional Approach to the Study of Attitudes.” Di dalam The Canadian Pespective Consumer Behavior, oleh Kindra, Larose dan Muller. Canada: International Thomson Publishing. Kaye, H. 1997. Mengambil Keputusan Penuh Percaya Diri. Jakarta. Mitra Utama. Kerlinger, FN. 2004. Asas-Asas Penelitian Behavioral. (Terjemahan). Yogyakarta : Gajah Mada University. Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural: Satu dan Multigroup Sampel dengan LISREL. Bandung: Alfabeta. Laban, BY. 2002. Prospek Nagatif Penebangan Liar di Taman Nsional lore Lindu (Negatif prospect of Illegal Logging in Lore Lindu Nasional Park) Palu : TNLL. 135
Lippit, R., W Jeanne, W Bruce . 1958 . The Dynamics of Planned Change. Harcourt: Brace & World, Inc. Lowe, C. 2004. Making the monkey : how the Togean macaquue went from new form to endemic speciesin Indonesiaans conservation biology. University of Washinton. Jurnal Cultural Anthropology vol 19 issu 4. Madrie. 1986. “Beberapa faktor penentu partisipasi anggota masyarakat dalam pembangunan pedesaan.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Mappatoba, M. 2004. Co-management of Protected Areas. The case of Community Agreement on Concervation in the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi-Indonesia. Gottingen : Cuvillier Verlag. Mar’at. 1981. Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta : Ghalia Indonesia. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta :
Moffat, I., Hanley , Wilson MD. 2001. Measuring and Modelling Sustainable Development. New York : The Parteneon Publihing Group. Muhammad, A. 1995. Komunikasi Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara. Mubyarto. 1984. Prasarana pada Widyakarya Nasional Teknologi Pedesaan. Jakarta : LIPI. Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kkonsep, Karakteristik dan Implementasi) . Bandung : Remaja Rosdakarya. Ndraha, T. 1990. Pembangunan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta. [OPC] The Ontario Prevention Clearinghouse. 2002. Capacity Building for Healt Promotion: More than bricks and mortar. Ontario Toronto. Oppenheim, AN. 1966. Questioner Design, AttitudebMeasurement. New York : Basic Book, Inc.
Interiewing
and
Padmowihardjo, S. 1999. Perilaku komunikasi, perilaku wirausaha peternak dan penyuluhan sistem agribisnis ayam. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.
136
Padmowihardjo, 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis. Jakarta : Departemen Pertanian. Purnaningsih, N. 2006. ”Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di Provinsi Jawa Barat.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Purwanto, M. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. Rahmat, A. 2000. “The Present Situation and Potentialof Ecotourism in The Togean Islan, Central Sulawesi Indonesia.” [Thesis] Ontario : Waterloo University. Rakhmat, J. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ramade, F. 1987. Les catastrophes écologiques. Paris : Mc Graw-Hill. Ramirez, R. 1999. Stakeholder Analysis and Conflict Management dalam Daniel Buckles, 1999. Cultivating Peace, Conflict and Collaboration in Natural Resource Management WBI Washinton DC USA : WBI Reijntjes, C. B Haverkort dan A Water-Bayer. 1995. Une agriculture pour demain ; Introduction à une agriculture durable avec peu d’intrants externes. Paris: Edition Kartala et CTA – KARTALA. Riduwan. 2003. Skala Pengukuran Variabel –Variabel. Bandung: Alfabeta. Robbins, SP. 2003. Perilaku organisasi: Konsep, Kontroversi, dan Aplikasi. Pudjaatmaka H, Molan B, penerjemah. Jakarta: Prenhallindo. Roger, EM, dan FF Shoemaker. 1971. Communication of Inovations. A Cross Cultural Approach. New York: A Division of The Macmillan Company. Roger, EM. 1994. The Diffussion Process. Edisi Keempat New York: The Free Press. Ruben, D.B. 1988. Communication and Human Behavior. New York: Macmillan Publishing Company. Rudito, B. 2003. Akses Peranserta Masayarakat. Lebih Jauh Memahami Community Development. Jakarta : Indonesia Center for Sustainability Development (ICSD). Saad, S. 2009. Bajo. Berumah di Laut Nusantara. Jakarta : Coremap II.
137
Saad, S. 2009. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan. Eksistensi dan Prospek Pengaturannya di Indonesia. Yogyakarta : LKIS. Sadiman, AS, Haryono dan Rahardjo, 1986. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta : Rajawali. Saharuddin. 1987. ”Partisipasi kontak tani dalam perencanaan dan pelaksanaan program penyuluhan pertanian.” [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Sahidu, A. 1998. ”Partisipasi masyarakat tani pengguna lahan sawah dalam pembangunan pertanian di daerah Lombok, NTB.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Sajogyo. 1980. Menuju Partisipasi Mendasar Golongan Petani dalam Dasawarsa 1980-an : Sebuah Tanggapan Atas Kertas Kerja Induk HKTI di Seminar Petani buruh Jakarta.. Bogor : Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan IPB. Sangadji, MN. 1997. ”Le system d’agriculture itinerante; un cas de l’interface home-nature et da la problema d’amanagement au centre du Selebes.” [These]. Lyon France : Universite de Lyon3. Sarwono, B. 2001. Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sen, S, Nielsen JR. 1996. Fisheries Co-management: a Comparative Analysis. Journal Marine Policy 5:405. Sevilla, Consuelo G., A Ochave, G Punsalan, P Regala dan Uriarte G. 1993. Pengantar Metode Penelitian, Tuwu A, penerjemah. Jakarta : UI-Press. Siagian, SP. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Balai Pustaka. Sidney, S. 1985. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia.. Sidu, D. 2006. “Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tengah.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Singarimbun, M., dan S Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3S. Siti Amanah. 2006. “Pengembangan masyarakat pesisir berdasarkan kearifan lokal: Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB. 138
Slamet, M. 2003. “Meningkatkan Pertisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan.” Di dalam Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan. : Diedit oleh Sudrajad dan Yustina. Bogor : IPB Press. Soedijanto, P. 1994. Psikologi Belajar-Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka Soeitoe, S. 1982. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Soekanto. 2002. Beberapa Upaya untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa. Jakarta : Analisa CSIS. Soekartawi. 1998. Pembangunan Pertanian. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Soenarmo, HS., 2005. Kumpulan Materi Psikologi Pendidikan. Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Solimun. 2002. Multivariate Analysis: Struktural Equation Modeling (SEM), Lisrel dan Amos. Malang : Universitas Brawijaya. Spencer, Lyle M., dan Signe M. Spencer, 1993. Competence at Work: Model For Superior Performance. New York: John Wiley and Sonc Inc. Sri Handayani. 2008. “Partisipasi masyarakat kampung kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman: kasus perumahan kampung kota di Bandung.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB. Subagyo, H. 2008. “Peranan kapasitas petani dalam mewujudkan keberhasilan usaha tani : kasus petani sayuran dan padi di kabupaten Malang dan Pasuruan Propinsi Jawa Timur.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB. Sudjana. 2003. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung. Tarsito. Suhandi, AS. 2001. The Indonesian experience on community based ecotourism development. Paper Presented at National Seminar on Sustainable Tourism Development: Community-Based Tourism Development and Coastal Tourism Management in Indonesia. Jakarta, 27-28 June 2002. ESCAP-IOTO-WTO. Jakarta. Sumardjo. 1988. “Partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi rumah tangga di pedesaan jawa (studi kasus penerapam intensifikasi tembakau pada desa di lingkungan perkebunan besar di Kabupaten Klaten).” [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, IPB. 139
Sumardjo. 1999. “Transformasi model penyuluhan pertanian menuju pengembangan kemandirian petani. kasus di Propinsi Jawa Barat.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. ________, 2008. Penyuluhan pembangunan pilar pendukung kemajuan dan kemandirian masyarakat” Di Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan Yang Bermartabat. Diedit oleh Sudrajat dan Yustina. Bogor: Syndex Plus. Suparno, S. 2002. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Suporahardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi. Membangun Konsensus. Bogor : Pustaka Latin.
Memahami
Paluralisme
Surjadi, P., dan J Supriatna. 1998. Bridging Community Needs and Government Plannng in the Togean Islands, Central Sulawesi Indonesia. Conservation International. Susanto, J. 1979. Nutrition Community Education Program at Village Level : To Make People Aware of Using Local Green-Leaf-Vegetables To Prevent Xerophthalmia In Indonesia. Paper. Cornell University. USA. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Penjelasan Konsep, Istilah, Teori, dan Indikator serta Variabel. Jakarta : PT. Bina Rena Pariwara,. Tadjudin, Dj. 2000. Managemen Kolaborasi. Latin, Bogor. Triton, PB. 2006. SPSS. 13.0 Terapan; Riset Statistik Parametrik.Yogyakarta :C.V. Andi offset. Tampubolon dan Nahar. 2007. Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Ekowisata di Kepulauan Togean. Palu. FH UNTAD-Bappeda Tojo Una-Una. van den Ban AW, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan Pertanian (Terjemahan), Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Andi Opset. Warner, M. 1997. Consensus participation: an example for protected area planning. Public Administration and Development. Journal 17:413-432. [WCED] 1987. Our Common Future. Canada : The World Commission on Environment and Development. 140
Wells, M., Katerina Eadie Brandon. 1995. People and park: Linking Protected Area Management with Local Communities (3 rd ED). The World Bank, WWF dan USAID. Washington D.C. Wilson, E., dan D Koester. 2008. Community participation in international projects; an analitical perspective from Rusia Far East. J. Environment Development Sustain. Vol 10. Winkel, WS. 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta ; Gramedia. Wiriatmadja, S. 1990. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta : Yasaguna. Yolanda. 2000. “Partisipasi Petani dalam Kegiatan PIR Kelapa Sawit (Kasus Petani PIR di Kabupaten Manokwari-Irian Jaya.” [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. IPB. Yusuf, AM. 1991. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Bina Aksara. Zahid, A. 1997. “Hubungan karakteristik peternak sapi perah dengan sikap dan perilaku aktual dalam pengelolaan limbah peternakan.” [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, IPB. Yukl, Gery. 1994. Kepemimpinan dalam Organisasi (Leadership in Organization 3ed). Diterjemahkan oleh Yusup Udaya. Jakarta: Prenhallindo.
Acuan Situs Web Http://www.scripp.ohiou.Edu/News/cmdd/articel_Ef.htm. Penyelesaian Konflik Akses tanggal 21 Juli 2008
Kerangka
Teori
Http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/ . Manajemen-konflik-definisi-dan-teoriteori-konflik. Akses tangga 21 Juli 2008 Http : // en. wikipedia. Org / wiki / Equality . Equality. Akses tgl 15 Juli 2008 Http://kamus.landak.com/cari/equality. Equality. Akses tanggal 15 juli 2008 Http://en.wikipedia.org/wiki/International_development. Akses tanggal 15 Juli 2005. Http//wikipedia/org/wiki/economic/social/environmental/natural_resources. Akses pada tanggal 10 April 2008 141
Http://en.wikipedia.org/wiki/International_development) Akses tgl 10 April 2008. Hhttp://www.rdfs.net/themes/participation_en.htm. , Akses pada tgl 10 April 2008. Lowe, C. 2004. Wild Profusion. Biodiversity Conservation in An Indonesian Archipelago. http://bookgoogle.com. Akses tgl 28 agustus 2009. Kechot M. Z. 2004. Kaki Tangan Sebagai Pencetus Kualiti dan Produktiviti Organisasi. Diakses dari hhtp//www.pkukm.ukm.my/ppa/04kakitgnpencetuskualiti.htm pada tanggal 18 Desember 2007. Mahmuddin, 2009. Produktivitas Ekosistem Hutan Hujan Tropis. http://mahmuddin.wordpress.com/2009/09/09. Akses tgl 11 Agustus 2009. Meyer, 2001. The Four Rs.
[email protected]. www.iied.org/forestry/tool and www.livelihood.org. Akses tanggal 11 Agusutus 2009. [OECD] Organization for Economic Co-operation and Developmant. 1996). Capacity Developmant; Principles in Practices. Workshop on Capacity Development in Environment, Rome December 1996. http://www.oecd.org/doc. akses pada tgl 23 Mei 2008. [PKPD]. 2004. Pengembangan kapasitasPemerintah Daerah. (artikel on Line), http://www.gtzfdm.or.id/PKPD/konsep_pengembangan.htmpada, diakses pada tanggal 23 Mei2008. Purnama, B., M., 2009, Degradasi hutan Indonesia Capai 2,8 Juta hekter pertahun, http://www.kapanlagi.com/h/0000166208.html. Akses tgl 11 Agustus 2009. Takeda, N. 2001. People participation in regional development management (Japanese experiences). Paper Presented for the Seminar on “Regional Development Management Policy to Support Autonomy.. Jakarta, 29 March 2001. JICA. Jakarta. www.jica.org. Tampubolon, M. 2001. Problematik dan Prospek Pembangunan Masyarakat Desa Ditinjau dari segi Pendidikan Nonformal. Diakses dari http//www.depdiknas.co.id. 18 Desember 2007.
142
Perticipation is a process of cooperative action in which a group of individuals share in the responsibilities and consequences of a common understanding or the achievement of a particular task.
FOA, 1975, Seminar in the role of women in integrated rural development with emphases on population problems. Cairo, October 28 – nov 3 1978, Rome.
Janabrota Bhattacharyya (Ndraha, 1990) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama.
Agus Sabti. 2002. Kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi : kasus petani sayuran di propinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Depdagri. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Departemen Dalam Negeri. Sekretariat Negara. Jakarta
143
Borrini-Feyerabend G. 1996. Collaboratif Management of Protected Areas: Tailoring the Approach to the Context. Issues in Social Policy, IUCN. Gland Switzerland.
Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Comanagement of Natural resources: Organising, Negotiating and Learning-byDoing. GTZ Germany. Sen S, Nielsen JR. 1996. Fisheries Co-management: a Comparative Analysis. Marine Policy 5:405-418. Kontal matsui
144
81