ANALISIS STOK DAN FISHING CAPACITY PERIKANAN DEMERSAL DI KEPULAUAN TOGEAN, SULAWESI TENGAH
ALFRET LUASUNAUNG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ANALISIS STOK DAN FISHING CAPACITY PERIKANAN DEMERSAL DI KEPULAUAN TOGEAN, SULAWESI TENGAH
ALFRET LUASUNAUNG
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Analisis Stok dan Fishing Capacity Perikanan Demersal di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2008
Alfret LUASUNAUNG NIM. C561030111
ABSTRACT Alfret Luasunaung. Stock and fishing capacity analysis for demersal fisheries in Togean Islands, Central Sulawesi. Supervised by: Indra Jaya, Daniel R. Monintja and Bambang Sadhotomo. The information on stock and fishing capacity in a particular fishing ground can be a useful information for the sustainable fisheries management in the area. Fishing capacity is one of the important indicator to assess the pressure on the use of marine resources. There are two objectives of the study; to analyze the distribution, density, and abundance of demersal fish, and to analyze the efficiency of fishing capacity of the demersal fish in Togean Islands, Central Sulawesi. The study was conducted in two stages. The first stage was done by analysing the stock using split beam echosounder hidroacoustic to obtain the distribution, density and abundance of fish; and the second stage was done by analysing fishing capacity of demersal fish by using Data Envelop Analysis (DEA) method to estimate the efficiency level of the fishing vessels and gear in Togean Islands. The results show that the distribution of target strength of single fish is dominated by the small fish of < 10 cm long. The average density of the fish in the waters around Togean Island is between 0.54 – 0.81 individual/m3. The total biomass of the demersal fish in an area of 1034 km2 is 30,04 tonnes. Excess fishing capacity in demersal fish occured in the Togean Island for the last eight years, except for 1999. The fishing gear that were found to be efficient, namely : bottom gillnet, bottom hand line and fish trap. However, there is a need to improve some input ( time of fishing operation, number of trip per month, length of nets, number of hooks, volume of traps and oil consumption) in three fishing gear (bottom gillnet, bottom hand line and fish trap) in order to obtain optimal output (catch). Key words: stock, fishing capacity, demersal fisheries, Togean Island
RINGKASAN ALFRET LUASUNAUNG. Analisis Stok dan Fishing Capacity Perikanan Demersal di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh : INDRA JAYA, DANIEL R. MONINTJA DAN BAMBANG SADHOTOMO. Sumberdaya perikanan yang melimpah merupakan aset bangsa yang strategis untuk dikembangkan dengan berbasis pada pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mengacuh pada pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab. Pemanfaatan sumberdaya perikanan selama ini hanya berorientasi pada bagaimana memperoleh keuntungan yang maksimal tanpa memperhatikan kelestarian lingkungannya, sehingga dampak yang ditimbulkan akibat dari kegiatan ini antara lain : kerusakan dan degradasi sumberdaya perikanan tersebut. Perairan Kepulauan Togean dan sekitarnya (Teluk Tomini, Laut Maluku) memiliki sumber daya ikan yang cukup besar untuk mendukung perkenomian daerah dan devisa negara; beberapa jenis ikan ekonomis penting terdapat di wilayah ini. Ikan malalugis atau layang biru (Decapterus macarellus) memberikan kontribusi paling besar dalam hasil tangkapan ikan pelagis kecil (63-85 %), terutama diekspor untuk kepentingan perikanan tuna (sebagai ikan umpan), sebagai bahan baku industri ikan kaleng, bumbu masak (karabushi) dan untuk konsumsi lokal; tuna dan cakalang merupakan komoditi ekspor utama dari kelompok ikan pelagis besar dengan kontribusi 18 – 34 %; berbagai jenis ikan demersal (karang) juga potensial bagi pengembangan perikanan (Widodo 2004). Salah satu komoditi perikanan yang belum banyak tersentuh di perairan Kepulauan Togean adalah ikan demersal. Komoditi ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena cita rasanya yang khas dan digemari masyarakat konsumen. Ikan demersal adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada di dekat dasar perairan sampai kedalaman lebih dari 250 m (Wootton 1992). Beberapa jenis ikan demersal pada masa mudanya hidup di daerah terumbu karang dan setelah dewasa atau pada ukuran tertentu pindah ke daerah perairan yang lebih dalam. Terumbu karang dari segi ekologi, berperan sebagai tempat pemijahan, pembesaran dan mencari makan dari sebagian besar ikan ekonomis penting sehingga kerusakan karang akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan telah memberikan dampak negatif yang cukup nyata terhadap keberadaan dan kualitas sumber daya (Cesar 1998; Chou 2000). Kajian tentang ikan demersal, terutama di daerah tropis seperti Kepulauan Togean sangat kompleks karena sifatnya yang multi spesies, ukuran yang beragam dan mendiami habitat dasar yang berbeda-beda. Potensi lestari sumberdaya demersal di Kepulauan Togean diperkirakan sebesar 77.285 ton/tahun dan baru dimanfaatkan sebesar 1.096 ton/tahun (DKP Sulteng 2006 ). Jadi, masih ada peluang untuk meningkatkan eksploitasi. Namun, sejak awal diterapkan prinsip pengelolaan sumberdaya demersal yang tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya. Oleh karena itu perlu kajian mendalam tentang sumberdaya tersebut dan kaitannya dengan fishing capacity di daerah tersebut. Studi tentang keberadaan ikan demersal di perairan Indonesia masih sangat jarang dilakukan, termasuk disekitar Kepulauan Togean, sehingga seberapa besar potensi, penyebaran dan kompleksitasnya masih
belum diketahui dengan baik. Dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan ikan demersal di Kepulauan Togean secara berkelanjutan, maka diperlukan informasi ilmiah tentang penyebaran, densitas, kelimpahan dan potensi sumberdaya demersal serta habitat preferensi. Selain itu informasi tentang fishing capacity perlu diketahui agar dapat dijadikan dasar bagi penyusunan kebijakan pengelolaan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean. Secara umum penelitian ini bertujuan menyusun suatu bahan masukkan bagi pengelolaan stok sumberdaya demersal yang ada di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah melalui kajian dengan metode hidroakustik dan kajian terhadap data hasil tangkapan yang didaratkan di PPI kepulauan Togean dan sekitarnya (Ampana, Poso dan Pagimana) yang meliputi aspek bio-ekologi perikanan demersal serta melalui kajian fishing capacity yang meliputi antara lain ukuran: kapal, mesin, alat tangkap. Secara khusus penelitian ini bertujuan : (1) Menganalisis penyebaran, densitas dan kelimpahan ikan demersal di perairan sekitar Kepulauan Togean; (2) Menganalisis fishing capacity ikan demersal di perairan Kepulauan Togean. Lokasi dan waktu penelitian dilakukan di perairan sekitar Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah dengan menggunakan KM Napoleon milik Akademi Perikanan Bitung. Survei dengan menggunakan metode hidroakustik dan oseanografi ini dilakukan pada tanggal 25 – 28 Desember tahun 2004. Lokasi ini merupakan daerah penangkapan sumber daya demersal yang potensial karena secara ekologis penyebarannya dibatasi oleh isobath 200 m. Pengumpulan data penunjang (primer, sekunder) dari informasi nelayan kepulauan Togean dan dari dinas perikanan kabupaten serta propinsi dilaksanakan pada bulan Pebruari–Maret tahun 2005 dan Januari–Pebruari 2006. Pengukuran data oseanografi dilakukan berdasarkan posisi stasiun pengamatan yang ditetapkan. Pengukuran dilakukan pada beberapa strata kedalaman standar, berturut-turut lapisan permukaan (0-5 m), 10 m, 20 m, 30m, 40 m, dan 50 m. Parameter yang diukur meliputi kedalaman perairan, arah dan kecepatan arus, suhu dan salinitas dengan menggunakan Valeport current meter tipe 308 CTD. Pengambilan sampel plankton di masing-masing lokasi, dilakukan dengan menggunakan plankton net, sedangkan untuk larva/telor (ichtioplankton) menggunakan larva net (Bonggo net). Data oseanografi ini untuk menggambar-kan dinamika (bio-ekologi) sumberdaya perikanan demersal. Data akustik diperoleh dengan menggunakan echo sounder SIMRAD EY 500 frekuensi 38 KHz yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sebaran densitas ikan secara spasial maupun vertikal. Transduser dengan sistem bim terbagi (split beam echosounder) dipasang pada sisi kanan luar kapal (system side mounted) pada kedalaman 1,5 m dari permukaan air. Data hasil tangkapan diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring insang dasar, pancing ikan dasar dan bubu diperoleh langsung dari nelayan masing-masing alat tangkap itu sendiri, dari tempat-tempat pendaratan ikan dan statistik perikanan tangkap dari dinas perikanan dan kelautan Kabupaten Tojo Una-una. Data hasil tangkapan ini berguna untuk menganalisis fishing capacity. Analisis fishing capacity menggunakan metode data envelopment analysis (DEA).
Hasil yang diperoleh dalam penelitian di Kepulauan Togean ini dapat dijabarkan secara ringkas sebagai berikut. Umumnya suhu dipergunakan sebagai indikator untuk menentukan perubahan ekologi. Hal tersebut tidak saja menyangkut suhu dan daerah fluktuasinya, akan tetapi juga menyangkut gradien horizontal dan vertikalnya, sebaran suhu di perairan sekitar Kepulauan Togean secara vertikal mempunyai nilai yang berkisar antara 30,63 0C dipermukaan sampai dengan 26,70 0C pada kedalaman 50 meter. Satuan dari salinitas menurut Komisi Internasional dari PBB (UNESCO) adalah psu (practical salinity unit). Secara garis besar sebaran salinitas di Kepulauan Togean berkisar antara 34,3 psu sampai dengan 34,95 psu. Nilai produktivitas plankton secara langsung banyak dipengaruhi oleh komposisi jenis fitoplankton, yang selanjutnya dapat menentukan besar/kecilnya daya dukung perairan terhadap kehidupan biota di dalamnya. Secara umum kondisi bio-ekologi di perairan sekitar Kepulauan Togean tergolong masih baik. Ukuran ikan yang dianalisis dalam tulisan ini adalah ikan demersal dengan nilai target strength – 51 dB sampai dengan – 33 dB. Secara keseluruhan jumlah ikan tunggal yang terdeteksi pada selang ini adalah sebesar 2650 ekor. Hasil kajian ini dugaan densitas ikan demersal adalah sebesar 180,07 ton/m2 atau 0,18 ton/km2 dari luasan sebesar 1034 km2, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa densitas ikan demersal cukup tinggi. Sejak tahun 1998-2005 terjadi kecenderungan penurunan tingkat efisiensi kecuali tahun 1999, hal ini dimungkinkan karena jumlah effort yang meningkat dari tahun ke tahun. Hasil perhitungan efisiensi relatif perikanan demersal dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pemanfaatan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean dengan cara mengalikan effort aktual yang digunakan dengan efisiensi relatif sehingga diperoleh kapasitas target. Dari kelima alat tangkap ikan demersal yang ada di Kepulauan Togean, jaring insang, pancing dasar dan bubu merupakan alat tangkap yang efisien. Jumlah armada perikanan demersal yang efisien di Kepulauan Togean yaitu jaring insang dasar 30 persen, pancing ikan dasar 27 persen dan bubu 75 persen. Oleh karena itu untuk optimasi perikanan tangkap di rekomendasikan sebanyak 31 unit jaring insang dasar, 6 unit alat tangkap bubu dan sebanyak 302 unit pancing. Kata kunci : stok, fishing capacity, perikanan demersal, Kepulauan Togean
GLOSARI DAFTAR ISTILAH Acoustics (Akustik)
=
Ilmu tentang suara, sifat dan karakteristiknya di dalam suatu medium (air)
Backscattering (Hambur balik)
=
Jumlah energi per satuan waktu yang dipantulkan oleh target selama transmisi suara dari transducer
Backscattering cross-section
=
Perbandingan antara kekuatan intensitas suara yang dipan tulkan dengan intensitas suara yang mengenai target
Beam angle (Sudut sorot)
=
Besarnya sudut yang dibentuk oleh titik-titik yang menghasilkan respon setengah sudut sorot dari sumbu utama transducer
Echo (Gema)
=
Gelombang suara/akustik yang dipantulkan oleh target
Echogram (Rekaman)
=
Rekaman dari rangkaian gema
Echo Integrator
=
Alat untuk mengintegrasi gema melalui selalng-selang kedalaman perairan
Fishing Capacity (Kapasitas Penangkapan)
=
Kemampuan suatu armada penangkapan untuk menangkap ikan
Gain
=
Pembesaran amplitudo sinyal pada echosounder (satuan dB)
Leg
=
Jalur pelayaran kapal survei antar stasiun pengamatan
Ping
=
Sebutan untuk setiap pulsa yang dipancarkan dari transducer
Stock (Stok)
=
Besarnya sediaan sumberdaya ikan laut yang dapat dieksploitasi atau dimanfaatkan
Target strength (Kekuatan Target)
=
Rasio intensitas gema yang diukur pada jarak 1 meter dari permukaan transducer dengan intensitas yang datang (incident intensity) mengenai target (satuan dB)
Thermocline (Termoklin)
=
Lapisan perairan dimana terjadi perubahan suhu secara mendadak dalam range yang cukup besar dengan bertambahnya kedalaman perairan
Threshold (Batas ambang)
=
batas ambang amplitude sinyal untuk tidak diproses, misalnya sebagai gema dari ikan tunggal
Transducer
=
Komponen dalam echosounder yang berfungsi untuk mengubah energi listrik menjadi energi suara/akustik dan sebaliknya mengubah energi suara/akustik menjadi energi listrik
Upwelling (Penaikan massa air/Umbalan)
=
Proses terjadinya penaikan massa air dari lapisan dalam ke lapisan permukaan
DAFTAR SINGKATAN BT CPUE CRS CTD dB DEA DEAP DMU DT EP ESDU FAO FTP GT IPOA L,B,D LS MODIS NASA PSU SA SeaDAS SPL Sv TAC TS VRS WPP
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Bujur Timur Catch per unit effort Constant Return to Scale Conductivity, Temperature, Depth desiBell Data Envelopment Analysis Data Envelopment Analysis Programe Decision Making Unit Data Threshold Echo Processing Elementary Sampling Distance Unit Food and Agriculture Organization File Transfer Protocol Gross Tonage International Plant of Action Length, Breadth, Depth Lintang Selatan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer National Aeronautics and Space Administration Practical Salinity Unit Backscattering Area SeaWiFS Data Analysis System Suhu Permukaan Laut Backscattering Volume Total Allowable Catch Target Strength Varfiable Return to Scale Wilayah Pengelolaan Perikanan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………
xviii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xx
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
xxii
1 PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
Latar Belakang ……………………………………………………. Perumusan Masalah ………………………………………………. Tujuan Penelitian …………………………………………………. Manfaat Penelitian ……………………………………………….. Hipotesis Penelitian ........................................................................ Kerangka Pemikiran …………………………………………........
1 4 8 9 9 9
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
Kondisi Oseanografi dan Ekosistem Pesisir Kepulauan Togean .... Teknologi Satelit Penginderaan Jauh .............................................. Armada Perikanan .......................................................................... Perikanan dan Stok Sumber Daya Demersal …………………..... Metode Hidroakustik ...................................................................... 2.5.1 Echosounder split beam system......................................... 2.5.2 Target strength, densitas ikan dan biomassa...................... 2.6 Fishing Capacity .......................................................................... 2.7 Tinjauan Studi Terdahulu ............................................................
12 16 19 22 28 29 30 33 37
3 METODOLOGI 3.1 3.2 3.3 3.4
Lokasi dan waktu penelitian ............................................................ Desain Survei ……………………………………........................... Peralatan Penelitian ………………………………………………. Metode Pengambilan Data ……...................................................... 3.4.1 Data oseanografi ................................................................... 3.4.2 Data citra satelit .................................................................... 3.4.3 Data akustik .......................................................................... 3.4.4 Data hasil tangkapan ............................................................ 3.5 Analisis Data ................................................................................... 3.5.1 Analisis oseanografi ........................................................... 3.5.2 Analisis citra satelit ............................................................ 3.5.3 Analisis stok ikan dengan hidroakustik ............................. 3.5.4 Analisis fishing capacity ...................................................
40 40 40 42 42 42 43 43 45 45 46 47 49
xvi
4
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Oseanografi Perairan Kepulauan Togean........................... 4.1.1 Suhu .................................................................................... 4.1.2 Salinitas .............................................................................. 4.1.3 Kecerahan air ...................................................................... 4.1.4 Arus .................................................................................... 4.1.5 Kelimpahan plankton ......................................................... 4.1.6 Pembahasan ........................................................................ 4.2 Sebaran dan Stok Ikan Demersal ................................................. 4.2.1 Target strength ikan tunggal ............................................... 4.2.2 Densitas kelompok ikan ...................................................... 4.2.3 Dugaan biomassa ikan demersal ......................................... 4.2.4 Pembahasan ......................................................................... 4.3 Analisis Fishing Capacity ............................................................ 4.3.1 Armada penangkapan ......................................................... 4.3.2 Alat tangkap ....................................................................... 4.3.3 Penilaian efisiensi jangka panjang (antar waktu) .............. 4.3.4 Penilaian efisiensi jangka pendek (antar armada) ............. 4.3.5 Pembahasan .......................................................................
5.
53 53 56 58 59 62 65 75 75 77 78 79 82 82 85 86 89 98
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 5.2
Kesimpulan .................................................................................. Saran Penelitian Lanjutan.............................................................
102 103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
104
LAMPIRAN ................................................................................................
110
xvii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Struktur armada dan produksi perikanan demersal di Kepulauan Togean 1998-2005.........................................................................
20
Jenis, jumlah alat tangkap ikan demersal dan trip operasi di Kepulauan Togean tahun 2005 .....................................................
21
Beberapa jenis ikan demersal, produksi dan prosentase di Kepulauan Togean ........................................................................
27
4
Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Aqua MODIS ..........................
46
5
Arah dan kecepatan angin sesaat di perairan sekitar Kepulauan Togean pada musim barat (Desember 2004) ...............................
59
Jumlah ikan tunggal (ekor) pada setiap trip serta persentasi komposisinya .................................................................................
75
Leg, jumlah ESDU dan densitas ikan demersal (ikan/m3) pada setiap leg ..............................................................................
77
Panjang leg, biomassa ikan demersal dan persentase pada tiap leg ...........................................................................................
78
Perkembangan jumlah nelayan, armada penangkap dan trip periode 2001-2005 di Kepulauan Togean .....................................
83
Perkembangan armada penangkap di Kepulauan Togean selang tahun 1998-2005 ..........................................................................
83
11
Dimensi utama dari perahu/kapal penangkap ikan demersal ........
84
12
Perkembangan jumlah unit penangkapan ikan demersal di Kepulauan Togean .........................................................................
85
Skor efisiensi, effort aktual, effort target dan excess capacity Perikanan demersal di Kepulauan Togean ………………………
87
Proyeksi perbaikan kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean ..........................................................................................
91
2
3
6
7
8
9
10
13
14
xviii
15
Proyeksi perbaikan kapal rawai dasar tetap di Kepulauan Togean ...........................................................................................
93
16
Proyeksi perbaikan kapal bubu di Kepulauan Togean ..................
95
17
Proyeksi perbaikan kapal pancing dasar di Kepulauan Togean ...........................................................................................
97
xix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Produksi perikanan demersal di Kepulauan Togean (1998-2005)
5
2
Jumlah armada perikanan demersal yang beroperasi di Kepulauan Togean (1998-2005) ……................................................................
6
Produksi per upaya perikanan demersal di Kepulauan Togean (1998-2005) ....................................................................................
7
Kerangka pikir penyusunan pengelolaan perikanan demersal di Kepulauan Togean ..........................................................................
10
5
Alur tahapan penelitian ...................................................................
11
6
Echosounder split beam system ......................................................
30
7
Diagram alir prosedur analisis biomassa dengan hidroakustik …..
32
8
Peta lokasi, trek survei akustik di perairan sekitar Kepulauan Togean ............................................................................................
41
9
Lokasi stasiun sampling oseanografi (Desember 2004) .................
54
10
Hubungan suhu dan kedalaman perairan pada musim barat ...........
55
11
Keadaan suhu perairan untuk masing-masing stasiun oseanografi pada musim barat (Desember 2004) ...............................................
55
12
Hubungan salinitas dan kedalaman perairan pada musim barat .....
56
13
Sebaran salinitas pada setiap stasiun pengamatan pada musim barat ................................................................................................
57
14
Kecerahan air untuk beberapa stasiun pengamatan .........................
58
15
Arah dan kecepatan angin sesaat di lokasi penelitian .....................
60
16
Kecepatan dan arah arus pada musim barat untuk masing-masing kedalaman .......................................................................................
61
Pola kecepatan arus berdasarkan kedalaman ..................................
62
3
4
17
xx
18
Keadaan fitoplankton dan zooplankton pada setiap stasiun pengamatan .....................................................................................
63
Kelimpahan plankton (zoo dan fito) pada tiap stasiun pengamatan ......................................................................................
63
20
Hubungan suhu dan distribusi biomassa ikan demersal ..................
67
21
Hubungan salinitas dan distribusi biomassa ikan demersal ............
68
22
Grafik fluktuasi konsentrasi rata-rata 8 harian klorofil-a dan SPL ...........................................................................
74
23
Hubungan panjang berat ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus)
76
24
Peta distribusi biomassa ikan demersal di Kepulauan Togean .....
80
25
Peta prediksi daerah penangkapan ikan lokal .................................
81
26
Nilai efisiensi perikanan demersal di Kepulauan Togean ...............
86
27
Perbandingan effort aktual dan effort target ikan demersal di Kepulauan Togean ...........................................................................
88
28
Efisiensi alat tangkap ikan demersal di Kepulauan Togean ...........
89
29
Distribusi skor efisiensi kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean ..........................................................................
90
30
Potensi perbaikan efisiensi kapal jaring insang dasar ....................
91
31
Distribusi skor efisiensi rawai dasar tetap di Kepulauan Togean ...........................................................................................
92
32
Potensi perbaikan efisiensi kapal rawai tetap ................................
93
33
Distribusi skor efisiensi kapal bubu di Kepulauan Togean ...........
94
34
Potensi perbaikan efisiensi kapal bubu di Kepulauan Togean .....
95
35
Distribusi skor efisiensi kapal pancing dasar di Kepulauan Togean ...........................................................................................
96
Potensi perbaikan efisiensi kapal pancing dasar di Kepulauan Togean ...........................................................................................
97
19
36
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
2
3
4
5
6
7
8
Distribusi suhu permukaan laut (SPL) di perairan Togean pada musim barat dan timur ..................................................................
112
Distribusi klorofil-a di perairan Togean pada musim barat dan timur .............................................................................................
114
Perhitungan efisiensi dan kapasitas antar waktu menggunakan program DEAP 2.1 .......................................................................
116
Perhitungan efisiensi dan kapasitas antar alat tangkap menggunakan program DEAP 2.1 ...............................................
118
Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal bubu di Kepulauan Togean .......................................................................
120
Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal rawai dasar di Kepulauan Togean ..................................................................
128
Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean .........................................................
130
Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal pancing ikan dasar di Kepulauan Togean .........................................................
132
xxii
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki
sumberdaya alam yang sangat besar dan beranekaragam. Sumberdaya alam (perikanan) yang melimpah merupakan aset bangsa yang strategis untuk dikembangkan dengan basis pada pemanfaatan sumberdaya perikanan itu sendiri yang senantiasa mengacuh pada pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab. Pemanfaatan sumberdaya perikanan selama ini hanya berorientasi pada bagaimana memperoleh keuntungan yang maksimal tanpa memperhatikan kelestarian lingkungannya. Sehingga dampak yang ditimbulkan akibat dari kegiatan ini antara lain : kerusakan dan degradasi sumberdaya perikanan tersebut. Dalam kesatuan wilayah pengelolaan perikanan (WPP 716) Teluk TominiLaut Maluku-Laut Seram, potensi sumber daya pelagis sekitar 486 ribu ton per tahun (83%) dimana 80 % diantaranya berupa ikan pelagis kecil, sedangkan potensi sumber daya demersal (karang) sekitar 96 ribu ton per tahun (16 %) (Nurhakim et al. 2007). Meskipun hasil estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumber daya di WPP 716 tersebut masih rendah (< 40 %) namun nilai ekonomis dari komoditi tersebut telah mendorong makin meningkatnya eksploitasi oleh kapal-kapal tradisional setempat (small scale fishery) maupun kemungkinan penangkapan/pencurian oleh kapal-kapal asing (illegal fishing). Penangkapan ilegal dengan cara pengeboman dan sianida merupakan gejala masyarakat Sulawesi Tengah yang merusak lingkungan. Disamping itu banyak hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported) bahkan tidak diketahui (lost production) karena hasil tangkapan dibawa ke luar negeri. Perikanan tangkap merupakan aktivitas ekonomi yang unik bila dibandingkan dengan aktivitas lain. Hal ini berkaitan dengan kondisi sumber daya ikan dan laut itu sendiri yang sering dianggap sebagai common pool resources (Fauzi dan Anna 2005). Karakteristik ini sering menimbulkan masalah ekternalitas
diantara
nelayan
sebagai
akibat
proses
produksi
yang
interindependent dari setiap individu nelayan, dimana hasil tangkapan dari satu
2
nelayan akan sangat tergantung pada tangkapan nelayan lain. Selain itu, hasil tangkapan dari nelayan juga akan sangat tergantung dari kondisi sumber daya ikan yang merupakan fungsi dari eksternalitas berbagai aktivitas nonproduksi lain, seperti kondisi kualitas perairan itu sendiri. Perairan Kepulauan Togean dan sekitarnya (Teluk Tomini, Laut Maluku) memiliki sumber daya ikan yang cukup besar untuk mendukung perkenomian daerah dan devisa negara; beberapa jenis ikan ekonomis penting terdapat di wilayah ini.
Ikan malalugis atau layang biru (Decapterus macarellus)
memberikan kontribusi paling besar dalam hasil tangkapan ikan pelagis kecil (6385 %), terutama diekspor untuk kepentingan perikanan tuna (sebagai ikan umpan), sebagai bahan baku industri ikan kaleng, bumbu masak (karabushi) dan untuk konsumsi lokal; tuna dan cakalang
merupakan komoditi ekspor utama dari
kelompok ikan pelagis besar dengan kontribusi 18 – 34 %; berbagai jenis ikan demersal (karang) juga potensial bagi pengembangan perikanan (Widodo 2004). Perikanan pelagis masih mendominasi hasil laut Kepulauan Togean, namun komoditi unggulan yang berorientasi ekspor di daerah ini sebagian besar bertumpu pada perikanan karang seperti: kerapu (groupers), ikan hias (aquarium fishes), ikan napoleon (wrasses), teripang dan lobster (Ditjen P3K 2004). Adapun negara tujuan ekspor antara lain adalah Jepang, Hongkong, Singapura dan Korea Selatan. Permintaan pasar terhadap ikan-ikan karang terus meningkat, tetapi di lain pihak disadari bahwa ketersediaan sumberdaya tersebut di alam semakin terbatas dan terancam. Terlebih dengan adanya campur tangan pemodal dari luar kawasan yang hanya mengejar keuntungan finansial semata dalam jangka pendek, sehingga dampak akhir adalah kerusakan lingkungan dan kemiskinan masyarakat pesisir. Salah satu komoditi perikanan yang belum banyak tersentuh di perairan Kepulauan Togean adalah ikan demersal. Komoditi ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena cita rasanya yang khas dan digemari masyarakat konsumen. Ikan demersal adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada di dekat dasar perairan sampai kedalaman lebih dari 250 m (Wootton 1992). Beberapa jenis ikan demersal pada masa mudanya hidup di daerah terumbu karang dan setelah dewasa atau pada ukuran tertentu pindah ke daerah perairan yang lebih dalam.
3
Terumbu karang dari segi ekologi, berperan sebagai tempat pemijahan, pembesaran dan mencari makan dari sebagian besar ikan ekonomis penting sehingga kerusakan akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan telah memberikan dampak negatif yang cukup nyata terhadap keberadaan dan kualitas sumber daya (Cesar 1998; Chou 2000). Meskipun kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh faktor-faktor fisika, kimia dan biologi, namun secara umum, kerusakan terumbu karang dapat dibedakan menjadi : kerusakan karena kejadian alam dan kerusakan karena aktivitas manusia atau antropogenik (Salm, Clark and Siirika 2000). Lebih lanjut Cesar (1998) mengemukakan bahwa terdapat lima aktivitas manusia yang merupakan ancaman utama terhadap kerusakan terumbu karang di Indonesia, yaitu : penggunaan racun (cyanide fishing), penggunaan bom (blast fishing), penambangan koral (coral mining), sedimentasi dan polusi, serta kelebihan eksploitasi (over fishing). Kajian tentang ikan demersal, terutama di daerah tropis seperti Kepulauan Togean sangat kompleks karena sifatnya yang multi spesies, ukuran yang beragam dan mendiami habitat dasar yang berbeda-beda.
Potensi lestari
sumberdaya demersal di Kepulauan Togean diperkirakan sebesar 77.285 ton/tahun dan baru dimanfaatkan sebesar 1.096 ton/tahun (DKP Sulteng 2006 ). Jadi, masih ada peluang untuk meningkatkan eksploitasi. Namun, sejak awal diterapkan prinsip pengelolaan sumberdaya demersal yang tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya. Oleh karena itu perlu kajian mendalam tentang sumberdaya tersebut dan kaitannya dengan fishing capacity di daerah tersebut. Penggunaan echo sounder dan echo integrator untuk keperluan eksplorasi sumber daya perikanan dewasa ini berkembang dengan pesat terutama di negaranegara maju dan pada beberapa lembaga penelitian. Peralatan echo integrator digunakan untuk mendapatkan integrasi signal echo dari echo sounder
bim
tunggal, bim ganda maupun bim terbagi atau sonar konvensional, sehingga dapat digunakan sebagai penduga kelimpahan ikan disuatu perairan. Fishing capacity merupakan hal penting yang selama ini masih luput dari pengamatan para pengambil kebijakan, khususnya dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan problem eksternalitas dalam perikanan dan tentu saja tujuan pembangunan perikanan yang berkelanjutan (Fauzi dan Anna 2005). Hal
4
ini tidak terlepas dari kondisi masih belum dipahaminya pengertian dan cara mengukur fishing capacity itu sendiri. Konsep dan pengukuran fishing capacity ini pada dasarnya dapat dilihat dari sudut pandang teknik dan ekonomi (efisiensi). Studi tentang keberadaan ikan demersal di perairan Indonesia masih sangat jarang dilakukan, termasuk disekitar Kepulauan Togean, sehingga seberapa besar potensi, penyebaran dan kompleksitasnya masih belum diketahui dengan baik. Dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan ikan demersal di Kepulauan Togean secara berkelanjutan, maka diperlukan informasi ilmiah tentang penyebaran, densitas, kelimpahan dan potensi sumberdaya demersal serta habitat preferensi. Selain itu informasi tentang fishing capacity perlu diketahui agar dapat dijadikan dasar bagi penyusunan kebijakan pengelolaan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean. 1.2
Perumusan Masalah Manajemen sumber daya perikanan mencakup penataan pemanfaatan
sumber daya ikan, pengelolaan lingkungan, serta pengelolaan kegiatan manusia (Nikijuluw 2002). Manajemen perikanan menurut Cochrane (2002) adalah suatu proses terintegrasi antara pengumpulan informasi, melakukan analisis, konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumber daya dan formulasi serta implementasi. Menurut Murdiyanto (2004), untuk mencapai keberhasilan dalam manajemen perikanan, para pengelola perlu ditunjang dengan pengetahuan dan perangkat yang cukup memadai menyangkut ketersediaan informasi, personil pengelola, dana serta kesadaran dan partisipasi masyarakat yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha perikanan tersebut. Sehingga kunci sukses pengelolaan terletak pada sumber daya manusia yang memanfaatkannya. Perikanan yang tidak diatur menimbulkan konsekuensi tangkap lebih, kapasitas lebih dan konflik diantara pengguna sumber daya (Cartwright 1995). Tangkap lebih berkaitan dengan aspek biologi, sedangkan kapasitas lebih berkaitan dengan tidak efisien dalam penggunaan tenaga kerja. Permasalahan yang berkaitan dengan degradasi sumberdaya perikanan dan lingkungannya dicirikan oleh sifat dari proses kerusakan dan ketersediaan sumberdaya perikanan yang semakin terbatas. Pada umumnya proses tersebut
5
berjalan relatif perlahan (lamban), namun dampak kebanyakan bersifat kumulatif, sehingga pada suatu saat terjadi krisis sumberdaya, penanggulangannya menjadi sulit dan sangat mahal untuk dilakukan. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya perikanan yang efektif dan efisien adalah sistem pengelolaan yang didukung dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dan menjadi permasalahan yang umum dalam melaksanakan pengelolaan perikanan di daerah-daerah pantai (Murdiyanto 2004), seperti di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah adalah antara lain : (1) Kurangnya informasi tentang perikanan demersal itu sendiri Data ekologi, stok ikan, produksi atau pendaratan hasil tangkapan, jumlah alat tangkap, jumlah nelayan dan kurangnya data tentang perikanan subsisten merupakan informasi dasar yang diperlukan untuk memulai langkah proses pengelolaan, akan tetapi seringkali data yang diperoleh yang bersumber pada catatan statistik dari tempat pendaratan ikan diragukan akurasinya. (2) Penurunan hasil tangkapan Penurunan hasil tangkapan yang didaratkan di tempat-tempat pendaratan ikan dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah nelayan yang menangkap ikan ataupun oleh semakin kecilnya stok ikan atau semakin jarangnya terdapat ikan target tangkapan di daerah penangkapan. Seperti ditunjukkan pada grafik statistik produksi perikanan demersal (Gambar 1). 1200
Produksi (ton)
1000 800 600 400 200 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 1 Produksi perikanan demersal di Kepulauan Togean (1998 – 2005)
6
(3) Dukungan pemerintah yang masih terbatas Dukungan pemerintah kepada perikanan rakyat sebagai subsektor perikanan yang juga mempunyai kontribusi kepada negara dan sebagai sumber kesejahteraan masyarakat pantai sangat kecil. Pengelolaan dan pengembangan perikanan demersal di perairan Kepulauan Togean khususnya, perlu dilakukan mengingat intensitas penangkapan dan jumlah armada yang beroperasi di perairan tersebut dari waktu ke waktu meningkat (Gambar 2). Pengelolaan dan pengembangan yang dimaksud adalah dengan mengkaji potensi sumberdaya perikanan yang ada diperairan Kepulauan Togean. Kemudian menentukan ataupun memprediksi berapa banyak unit penangkapan yang dapat beroperasi disana agar kelestarian sumberdaya terjaga.
Jumlah armada (unit)
2000 1600 1200 800 400 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun T anpa mtr
Motor tpl
Kpl mtr
Gambar 2 Jumlah armada perikanan demersal yang beroperasi di Kepulauan Togean (1998 – 2005) Berdasarkan informasi yang ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2 di atas setelah digabungkan, maka diperoleh gambaran yang lebih spesifik seperti yang disajikan pada Gambar 3.
7
Produksi/Upaya (ton/unit)
0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 3 Produksi per upaya perikanan demersal di Kepulauan Togean (1998 – 2005) Memperhatikan kecenderungan yang ditunjukkan pada Gambar 3 di atas bahwa produksi per upaya tangkap sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2005 secara umum menunjukkan pola yang menurun, meskipun pada tiga tahun terakhir (2003-2005) menunjukkan pola yang stabil. Hal ini berarti bahwa secara keseluruhan (8 tahun terakhir), keberadaan sumber daya perikanan di wilayah tersebut mulai berkurang dengan bertambahnya upaya tangkap.
Sehingga
pengelolaan perikanan tangkap di wilayah ini perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Secara khusus masalah-masalah yang dihadapi dalam usaha pengembangan perikanan demersal di Kepulauan Togean adalah : (1)
Tidak tersedianya informasi tentang jenis-jenis ikan demersal yang dominan dan bernilai ekonomis;
(2)
Besarnya densitas, penyebaran dan kelimpahan ikan demersal;
(3)
Belum diketahui apakah fishing capacity yang dialokasikan disana dalam keadaan over capacity, under capacity atau sudah efisien. Peningkatan eksploitasi dapat mendorong ke arah turunnya sediaan ikan,
penurunan hasil tangkapan dan perubahan dalam struktur dan fungsi populasi. Oleh karena itu, suatu sistem manajemen yang tepat sangat diperlukan bagi tercapainya hasil tangkapan yang optimal dan berkelanjutan (sustainable fisheries). Dalam jangka pendek sistem manajemen ditujukan untuk menghindari terjadinya tangkap lebih, sedangkan dalam jangka panjang ditekankan pada
8
perlindungan biodiversitas. Pengaturan ini sangat penting bagi pengembangan perikanan dimasa mendatang terutama dalam era otonomi daerah mengingat sumber daya ikan bersifat open access dan merupakan shared stocks bagi beberapa negara termasuk Indonesia. manajemen
perikanan
yang
telah
Juga berperan dalam memodifikasi ada
karena
adanya
tuntutan
untuk
mengembangkan ekonomi dan kesejahteraan daerah yang secara nyata diwujudkan dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus menjaga keberlangsungan sumber daya perikanan yang menjadi hak dan tanggung jawabnya. Berkaitan dengan pemecahan masalah yang ada, maka pertanyaan penelitian yang perlu dicarikan jawabannya, antara lain : (1)
Bagaimana mendeskripsikan dinamika suatu sumber daya perairan (jenis dan ukuran ikan demersal) yang dieksploitasi?
(2)
Berapa besar tingkat pemanfaatan yang dapat dilakukan sehingga degradasi terhadap sumber daya tersebut dapat dihindari?
(3)
Bagaimana mengukur dan berapa efisiensi fishing capacity berdasarkan ketersediaan stok? Untuk menjawab permasalah di atas, maka diperlukan suatu kajian yang
sistematis, rasional dan objektif terhadap semua unsur yang berkaitan dengan stok dan fishing capacity sumber daya demersal di Kepulauan Togean sehingga kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan terhadap sumber daya tersebut dapat diterapkan dengan baik.
1.3
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan menyusun suatu bahan masukkan
bagi pengelolaan stok sumberdaya demersal yang ada di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah melalui kajian dengan metode hidroakustik dan kajian terhadap data hasil tangkapan yang didaratkan di PPI kepulauan Togean dan sekitarnya (Ampana, Poso dan Pagimana) yang meliputi aspek bio-ekologi perikanan demersal serta melalui kajian fishing capacity yang meliputi antara lain ukuran: kapal, mesin, alat tangkap. Secara khusus penelitian ini bertujuan :
9
(1) Menganalisis penyebaran, densitas dan kelimpahan ikan demersal di perairan sekitar Kepulauan Togean; (2) Menganalisis fishing capacity ikan demersal di perairan Kepulauan Togean. 1.4
Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan, maka diharapkan hasil
penelitian ini akan memberikan informasi yang dapat dipertimbangkan dalam rangka pengelolaan perikanan tangkap kedepan. Selain itu juga, sebagai bagian dari proses pembelajaran dengan menggunakan teknik dan metode yang diterapkan dalam studi ini diharapkan dapat berkontribusi baik dalam perbaikan maupun penerapan guna menelaah permasalahan perikanan yang berkelanjutan. 1.5
Hipotesis Penelitian
(1)
Pemanfaatan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean sudah mengalami penurunan (degradasi)
(2)
Jumlah alat tangkap ikan demersal yang beroperasi di perairan Kepulauan Togean sudah melebihi jumlah kapasitasnya.
1.6
Kerangka Pemikiran Rincian tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini yakni
diawali dengan penelusuran fakta, isu-isu dan pendapat tentang permasalahan yang ada. Kemudian mengadakan pengamatan dan identifikasi lapangan terhadap komposisi jenis dan ukuran ikan demersal, produksi dan daerah penangkapan ikan, jumlah dan jenis serta ukuran alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal. Disamping itu, informasi dari TPI sekitar Kepulauan Togean tentang produksi, komposisi, daerah penangkapan, kapal dan alat tangkap yang digunakan dengan maksud agar diperoleh informasi ikan-ikan hasil tangkapan dari Kepulauan Togean didaratkan.
Apablia informasi ini telah cukup, maka
selanjutnya diadakan survei akustik dan oseanografi yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang penyebaran, densitas dan kepadatan ikan demersal serta informasi tentang keadaan fisik lingkungan perairan dilokasi kajian. Survei hidroakustik ini dibarengi dengan kegiatan experimental fishing pada beberapa stasiun pengamatan dengan maksud agar diperoleh ikan sampel untuk
10
mengidentifikasi jenis ikan demersal sehingga hal ini dapat mendeskripsikan keadaan (bio-ekologi) sumber daya demersal disana. Selanjutnya, informasi yang diperoleh melalui pengukuran oseanografi diharapkan dapat menggambarkan keadaan suhu, salinitas dan juga kelimpahan fito-zoo plankton pada setiap stasiun pengamatan. Untuk mengetahui fishing capacity dilakukan pengukuran terhadap armada penangkapan yang meliputi jumlah dan dimensi utama (L, B, D) dari kapal, besarnya mesin, jumlah dan ukuran alat tangkap yang digunakan, hari operasi penangkapan dan keahlian dari anak buah kapal (ABK), disamping itu informasi tentang catch per unit effort (CPUE) juga diperlukan untuk menganalisis fishing capacity di daerah kajian. Dengan demikian, hasil yang diperoleh tersebut dapat dijadikan suatu konsep dalam penyusunan pengelolaan perikanan demersal di Kepulauan Togean secara bertanggung-jawab. Kerangka pikir dalam penyusunan pengelolaan perikanan di Kepulauan Togean disajikan pada Gambar 4 sedangkan alur tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 5.
Pengelolaan Perikanan Demersal di Kepulauan Togean (masa kini)
Permasalahan : • Informasi kurang • Produksi menurun • Hasil tangkapan persatuan upaya menurun • Potensi konflik meningkat
Evaluasi Stok Perikanan Demersal di Kepulauan Togean
Evaluasi Fishing Capacity Perikanan Demersal di Kepulauan Togean
Rumusan Pengelolaan Perikanan Demersal di Kepulauan Togean
Gambar 4 Kerangka pikir penyusunan pengelolaan perikanan demersal di Kepulauan Togean
11
Mulai
Fakta, Isu-isu dan Pendapat
Pengamatan/Identifikasi : jenis dan ukuran ikan, produksi, daerah penangkapan ikan, jumlah dan jenis serta ukuran alat tangkap ikan demersal Tidak
Cakupan Disertasi
Cukup Ya
Survey akustik dan oseanografi serta eksperimental fishing
Tidak
Berhasil Cukup Ya
Analisis penyebaran, densitas dan kelimpahan ikan demersal serta analisis oseanografi (keadaan fisik lingkungan perairan)
Analisis fishing capacity perikanan demersal
BAHAN PENYUSUNAN PENGELOLAAN PERIKANAN DEMERSAL YANG BERTANGGUNG-JAWAB DI KEPULAUAN TOGEAN
Aplikatif
Tidak
Ya
Selesai
Gambar 5 Alur tahapan penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kondisi Oseanografi dan Ekosistem Pesisir Kepulauan Togean Kepulauan Togean terletak pada posisi geografis diantara 121033’BT – P
P
122023’ BT dan 008’LS – 0045’LS. Kepulauan ini terletak di tengah Teluk Tomini P
P
P
P
P
P
arah timur laut dari Kota Poso. Sehingga secara administratif termasuk pada kabupaten Tojo Una-una. Kawasan ini memiliki luas perairan sekitar 1.086,7 km2, P
P
dimana wilayah pesisirnya dikelilingi oleh ekosistem hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang. Gugusan Kepulauan Togean terdiri dari beberapa pulau yang mengelompok menjadi dua rangakian utama, yaitu : pertama, rangkaian Batudaka – Togean – Talatakoh di sebelah barat; kedua, rangkaian Walea di sebelah timur (Ditjen P3K 2004).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa jumlah
penduduk yang mendiami Kepulauan Togean sekitar 29.347 jiwa yang tersebar pada rangkaian sebelah barat 19.226 jiwa dan rangkaian sebelah timur 10.121 jiwa. Kepulauan Togean beriklim laut tropis dengan sifat iklim musiman. Berdasarkan catatan BAKOSURTANAL, musim kemarau terjadi antara bulan Agustus dan November, sedangkan musim hujan terjadi antara Desember dan Juli. Daerah sekitar Teluk Tomini memiliki bulan basah selama 7-9 bulan dengan bulan kering berlangsung selama 3 bulan. Curah hujan tidak merata dan berfluktuasi setiap bulan. Curah hujan yang tinggi umumnya terjadi antara bulan April-Juli dan Oktober-Nopember, curah hujan rendah terjadi pada bulan September dan Desember-Januari. Suhu udara berkisar antara 29,4º - 30ºC (BRPL 2005). Catatan 50 tahun yang dilakukan BMG Ampana yang diacu oleh BRPL (2005) di Una Una memperlihatkan rata-rata curah hujan 3246 mm per tahun; di Wakai rata-rata tercatat 2307 mm per tahun untuk selang waktu tahun 1987-1990; di Popolii 2354 mm pada tahun 1988-1991 dengan variasi tahunan yang cukup besar. Suhu merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi keberadaan sumberdaya hayati di perairan. Distribusi spasial suhu permukaan laut (SPL) rata-rata bulanan yang diolah dari citra satelit MODIS menunjukkan bahwa secara umum SPL di perairan bagian utara lebih rendah dari bagian selatan
13
perairan Kepulauan Togean. Umumnya, SPL pada musim barat lebih tinggi dari musim timur dengan perbedaan suhu sekitar 1 oC. Analisis spektral data variasi P
P
SPL rata-rata bulanan selama 19 tahun yakni dari tahun 1986-2002 menunjukkan bahwa bahwa variasi SPL di perairan Togean dipengaruhi oleh perubahan musim dan perubahan iklim global seperti ENSO. Anomali positif dan negatif SPL juga terjadi di perairan Togean. Pada saat kejadian ENSO 1998 SPL meningkat hingga 2 oC dari SPL rata-rata, sedangkan pada tahun 1991 SPL menurun hingga 3 oC. P
P
P
P
Terjadinya anomali SPL diperkirakan akan menyebabkan gangguan terhadap kondisi terumbu karang karena zooxantela yang bersimbiosis dengan terumbu karang mengalami stress sehingga karang akan terlihat berwarna keputihan yang biasa dikenal dengan istilah bleaching. Terjadinya perubahan suhu yang ≥ 2 oC P
P
SPL telah terbukti merusak terumbu karang seperti yang dilaporkan di Great Barrier Reef. Distribusi vertikal suhu di perairan Togean menunjukkan bahwa terjadi penurunan suhu dari permukaan hingga kedalam 40 m dengan perbedaan suhu sekitar 2 oC. Pola perubahan suhu secara vertikal di 16 stasiun relatif sama. P
P
Hasil penyelaman di lapang menunjukkan bahwa terumbu karang masih banyak ditemukan di kedalaman sekitar 40 m (CII 2007). Hasil penelitian BRPL tahun 2004, menunjukkan bahwa distribusi spasial salinitas diperairan Togean pada musim timur bervariasi antara 33.90-35.00 psu. Umumnya salinitas di bagian utara lebih rendah dibandingkan dengan bagian selatan perairan Togean. Secara spasial terlihat perbedaan, umumnya salinitas di wilayah yang lebih dekat dengan mulut sungai lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain, dengan perbedaan salinitas sekitar 0,3 psu. Pola distribusi vertikal salinitas menunjukkan bahwa salinitas semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman dimana pada kedalaman sekitar 40 meter mengalami peningkatan sekitar 0,3 psu. Hasil studi biologi terhadap ekosistem hutan bakau oleh Ditjen P3K (2004), dikawasan Togean ditemukan sekitar 33 spesies tanaman bakau yang terdiri dari 19 spesies bakau sejati (true mangrove) dan 14 spesies bakau ikutan (assosiate mangrove). Tanaman mangrove dari jenis api-api (Aviceenia sp.) dan bakau (Rizophora mucronata) banyak mendominasi kawasan pesisir Togean. Penyebaran bakau dominan cenderung merata dan umumnya mengelompok dalam
14
bentuk spot kecil dengan daerah penyebaran terbanyak terdapat di bagian selatan dan timur. Di daratan utama bakau tumbuh dengan baik yang ditandai dengan hadirnya anakan dalam bentuk koloni dan semai yang menempati bagian depan berbatasan dengan laut. Ekosistem lamun menempati areal luas di lingkungan perairan Togean. Daerah penyebarannya terutama di bagian selatan dan timur Pulau Togean. Ketebalan padang lamun di perairan umumnya kurang dari 20 meter. Keberadaan lamun di bagian timur perairan Togean dikarenakan pantai timur relatif terlindung. Padang lamun yang terdapat di perairan Togean didominasi jenis Enhalus sp., Thalassia sp., Syringodium sp. dan Halaphila sp. kondisi tersebut disebabkan sistem perakaran yang kuat dibandingkan dengan jenis lainnya, disamping itu ketahanan hidupnya juga cukup tinggi. Padang lamun merupakan salah satu ekosisitem laut dangkal daerah tropis, termasuk perairan kepulauan Togean-Poso dengan susunan utama dari tumbuhan berbunga (Angiospermae). Susunan subtrat yang dapat mendukung biota ini adalah jenis-jenis liat sampai dengan berpasir dan hidup dengan lebat terutama pada lingkungan yang relatif dipengaruhi gelombang yang rendah. Organisme ini juga dapat pula tumbuh pada sela-sela lingkungan karang berpasir. Ekosistem ini mempunyai ciri sebagai lingkungan yang kaya akan zat hara sehingga mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga dapat menopang kehidupan berbagai jenis organisme yang hidup di dalamnya. Hal ini disebabkan karena lingkungan atau ekosistem bentukannya mampu menetralisir padatan tersuspensi bahkan terlarut untuk terserap pada muka daun. Fungsi padang lamun adalah sebagai perangkap sedimen dan menstabilkan dasar perairan sehingga sedimen yang berasal dari daratan dapat bertahan dan tidak masuk ke ekosistem terumbu karang. Fungsi lainnya adalah sebagai tempat berpijah, berlindung, mencari makanan dan tempat asuhan atau pembesaran bagi beberapa jenis ikan, udang, dan hewan invertebrata lainnya. Tanaman sea grasses yang dapat hidup dengan ciri lingkungan fisik demikian, memberikan keuntungan-keuntungan internal terutama terkait dngan kebutuhan hidup fisiologisnya. Ini dapat dijelaskan bahwa partikel-partikel tersuplai dari darat merupakan material dengan campuran organik dan anorganik yang sangat kental.
15
Adanya terumbu karang, menyebabkan terhambatnya laju gelombang menuju pantai. Terumbu karang (coral reefs) merupakan komunitas organisme yang hidup di dasar perairan laut dangkal daerah tropis. Perlu dibedakan bahwa binatang karang (reef coral) adalah sebagai individu organisme atau komponen komunitas, sedangkan terumbu karang (coral reefs) adalah sebagai suatu ekosistem yang di dalamnya termasuk organisme-organisme karang. Terdapat dua tipe karang yaitu: karang yang membentuk bangunan kapur atau hermatypic corals, dan karang yang tidak dapat membentuk bangunan kapur atau ahermatypic corals (Supriharyono 2000). Hermatypic corals adalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan karang sehingga sering dikenal sebagai reef-building corals. Karang jenis ini bersimbiosis dengan algae zooxanthellae untuk membentuk bangunan kapur, sehingga hanya terdapat di daerah tropis; sedangkan jenis ahermatypic tidak bersimbiosis dengan zooxanthellae sehingga dapat tersebar luas di seluruh dunia dan bersifat karnivor (Nybakken 1992). Perairan Togean memiliki keunikan terumbu karang, yaitu dengan dijumpainya 4 tipe terumbu karang, yakni : fringing reef, barrier reef, atol, dan patch reef. Keempat tipe tersebut dijumpai pada areal yang berdekatan satu dengan lainnya. Terumbu karang pinggiran mengelilingi tepian pulau pulau atau semenanjung pulau utama. Terumbu karang tumpuk, melimpah dan tersebar luas di seluruh area, baik yang muncul di atas air atau dibawa permukaan dengan bentuk bervariasi. Terumbu karang tumpuk mini ditemukan di sebelah timur Togean antara Pulau Talatakoh dan Waleabahi. Pertumbuhan karang terbaik dan perluasan terumbu penghalang yang luas terdapat di sepanjang tepi utara Togean, sekitar 2-3 km dari pantai antara Pulau Malenge dan ujung barat Pulau Batudaka. Beberapa jenis karang yang ditemukan di perairan Togean antara lain : Acropora sp., Montipora sp., Porites, Fungia, Favona, Leptoseris, Lobophyllia, Echinopora, Favia dan Pectina. Sebagai kawasan kepulauan, perairan Togean mempunyai potensi sumber daya ikan yang relatif besar.
Potensi perikanan yang ada
diantaranya ikan pelagis, ikan demersal dan ikan karang. Jenis ikan yang ditemui antara lain adalah ikan layang, kembung, tongkol, kakap merah, kerapu, lobster dan lain sebagainya (Ditjen P3K 2004).
Sayangnya, akhir-akhir ini menurut
Awad (2002) yang dilaporkan harian Republika, sedikitnya 15 gugusan karang di
16
Kepulauan Togean dengan luas total lebih dari 100 hektar rusak parah. Kerusakan ini menurutnya adalah dampak dari maraknya aksi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dalam 10 tahun terakhir.
2.2
Teknologi Satelit Penginderaan Jauh Teknologi satelit penginderaan jauh adalah teknologi untuk mendapatkan
data dari obyek, proses atau fenomena yang diukur melalui sensor tanpa mengenai atau bersentuhan dengan obyek tersebut (Jaya 2007; Lellisand and Kiefer 1987). Lebih jauh Jaya (2007) menyatakan bahwa sensor yang digunakan dapat berupa sensor
aktif
(memancarkan)
maupun
sensor
pasif
(menerima)
dengan
memanfaatkan gelombang elektromagnetik. Selanjutnya, dari interaksi gelombang elektromagnetik yang diserap maupun dipantulkan oleh medium air dapat digunakan untuk memperoleh gambaran yang rinci maupun umum, tergantung resolusi (ketajaman) sensor yang digunakan, tentang objek atau daerah yang diamati. Hendarti (2003) mengartikan, penginderaan jauh warna air laut adalah salah satu cara untuk mengetahui keadaan laut dan proses-proses yang terjadi di dalamnya berdasarkan nilai konsentrasi dari water-leaving radiance yang merupakan hasil interaksi antara radiasi sinar matahari dan perairan yang diterima oleh satelit. Selanjutnya Jerlov and Nielsen (1974) yang diacu dalam Hendarti (2003) mencatat bahwa sensor pada satelit menerima pantulan radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan dipengaruhi oleh atmosfer, dimana sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, molekul udara dan aerosol. Sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti fitoplankton, sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow subtances). Pada perairan dangkal, pantulan dari dasar perairan juga berpengaruh terhadap pantulan pada permukaan perairan. Pada saat mengirimkan informasi kembali ke satelit, juga akan dipengaruhi oleh atmosfer.
17
Perambatan (transmisi) warna-warna sinar di dalam air sangat dipengaruhi oleh sifat optik dan material-material yang terlarut di dalamnya (Basmi 1999). Untuk melakukan pengukuran kualitas air, Robinson (1985) membagi perairan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat optisnya yaitu perairan kasus satu dan perairan kasus dua.
Perairan kasus satu adalah perairan yang sifat optisnya
didominasi oleh fitoplankton. Perairan kasus kedua didominasi oleh sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow subtances). Perairan kasus satu menurut Gaol (1997) biasanya ditemukan di perairan lepas pantai yang tidak dipengaruhi oleh zona perairan dangkal dan sungai sedangkan perairan kasus dua biasanya ditemukan di perairan dangkal. Spektrum sinar yang penting untuk tumbuhan laut adalah sinar tampak yang memiliki panjang gelombang 400 nm – 720 nm disebut juga sebagai photosynthetically available radiation (PAR). Panjang gelombang spektrum ini hampir sama dengan panjang gelombang spektrum cahaya tampak (visible light) yaitu 360 nm – 780 nm (Parson et al. 1977 yang diacu dalam Gaol 1997). Barnes and Hughes (1988) menyatakan bahwa kandungan klorofil-a yang terkandung dalam fitoplankton dapat dideteksi dari sensor satelit yang bekerja pada panjang gelombang sinar tampak. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa klorofil-a merupakan pigmen yang mampu melakukan fotosintesis. klorofil-a yang ada di perairan
Jumlah
laut umumnya dapat dilihat dari jumlah
fitoplankton yang ada di perairan tersebut. Absorpsi cahaya maksimum menurut Lee (1980) oleh klorofil-a bersama pelarutnya terjadi pada panjang gelombang 430 nm dan 663 nm. Banyak penelitian mengenai klorofil-a yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan data satelit, seperti yang dilaporkan oleh Prasasti et al. (2003) yang menggunakan satelit Terra MODIS untuk menenetukan nilai konsentrasi klorofil-a yang diekstraksi dari rasio kanal 9 dengan kanal 12. Kanal 9 (443 nm) bekerja pada daerah sinar biru, sedangkan kanal 12 (551 nm) bekerja pada sinar hijau. Penyerapan energi oleh klorofil-a pada kanal 9 adalah tinggi yang mengakibatkan pantulan pada kanal ini rendah. Oleh karena itu, jika ratio antara reflektansi panjang gelombang 443 nm dengan 551 nm rendah, maka konsentrasi klorofilnya tinggi. Amri (2002) menggunakan citra satelit SeaWiFS
18
(Sea viewing Wide Field of view Sensor) untuk menentukan sebaran klorofil-a di perairan Selat Sunda. Suhu permukaan laut (SPL) banyak mendapat perhatian dalam kajian kelautan karena data suhu ini dapat dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut seperti keberadaan thermal front, upwelling ataupun dalam kaitannya dengan kehidupan hewan dan tumbuhan (Nontji 2002). Secara alami, lapisan air di permukaan laut akan lebih hangat karena menerima radiasi matahari pada siang hari.
Lapisan ini memiliki ketebalan tertentu sebelum mencapai
lapisan yang lebih dingin di bawahnya. Suhu air di lapisan ini dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. Oleh karena itu, suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman. Suhu permukaan laut adalah salah satu parameter oseanografi yang sangat penting. Dari pola distribusi citra suhu permukaan laut dapat dilihat fenomena oseanografi seperti upwelling, front dan pola arus permukaan.
Daerah yang
mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya daerah perairan yang subur tersebut maka daerah penangkapan ikan dapat diketahui. Penentuan suhu permukaan laut dari satelit dilakukan dengan radiasi infra merah pada panjang gelombang 3 μm – 14 μm. Pengukuran spektrum infra merah yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan sampaikedalaman 0,1 mm (Robinson 1985). Penelitian
tentang
sebaran
suhu
permukaan
laut
pada
awalnya
menggunakan kanal infra merah jauh dari satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic Athmosphere and Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer) yang terdiri dari 5 kanal. Namun dengan diluncurkannya satelit baru, yakni satelit Aqua yang membawa sensor multi spektral MODIS (Moderate Resolution Imaging Spektroradiometer), pengamatan untuk perairan Teluk Tomini pada musim barat dan timur menggunakan citra Aqua MODIS. Satelit NOAA hanya mendeteksi sebaran suhu permukaan laut (SPL), satelit SeaWiFS hanya mendeteksi sebaran klorofil-a, sedangkan satelit Aqua
19
MODIS mampu mendeteksi baik sebaran suhu permukaan (SPL) maupun sebaran klorofil-a sehingga dalam mendukung tulisan ini digunakan satelit Aqua MODIS. CII (2007) juga mencatat distribusi spasial suhu permukaan laut (SPL) rata-rata bulanan di perairan Togean dengan menggunakan citra satelit Aqua MODIS menunjukkan di perairan bagian utara lebih rendah dari perairan bagian selatan Kepulauan Togean, sedangkan rata-rata konsentrasi klorofil-a bervariasi antara 0,1-0,2 mg/m3. P
2.3
P
Armada Perikanan Armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan
kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah penangkapan (fishing ground). DKP (2003) mendefinisikan suatu armada perikanan merupakan sekelompok kapalkapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan.
Monintja (2000) menyatakan armada
penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Kapal perikanan sebagaimana yang diartikan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 adalah kapal, perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, pelatihan dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Struktur armada penangkapan ikan yang terdapat di wilayah Kepulauan Togean sangatlah bervariasi baik untuk perikanan pelagis maupun demersal. Sebagaimana halnya ciri perikanan di Indonesia pada umumnya yang didominasi oleh perikanan rakyat yang berskala kecil, maka hal yang sama dijumpai pula di Kepulauan Togean. Struktur armada dan produksi perikanan demersal di Kepulauan Togean kurun waktu 1998 – 2005 ditunjukkan pada Tabel 1.
20
Tabel 1 Struktur armada dan produksi perikanan demersal di Kepulauan Togean 1998 – 2005. Tahun
Armada penangkapan Produksi (ton) Tanpa motor Motor tempel Kapal motor
1998 1242 1999 1349 2000 1493 2001 1638 2002 1627 2003 1702 2004 1744 2005 1791 Sumber : DKP Sulteng 2006
547 653 812 1018 1085 1067 1050 1071
3 6 8 5 9 8 9 6
1006.3 1030.5 1071.1 917.6 754.5 734.7 790.2 825.2
Berdasarkan informasi dari tabel di atas, maka jumlah armada penangkapan yang ada kurun waktu delapan tahun terakhir (1998 – 2005) mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Namun, dari kategori besarnya usaha
penangkapan peningkatannya dapat dikatakan tetap kecuali kapal motor. Sedangkan, untuk produksi perikanan tangkap, secara rata-rata mengalami penurunan hanya pada tahun 2000 dan 2005 saja yang terjadi peningkatan produksi. Struktur armada yang ada di provinsi Sulawesi Tengah didominasi oleh perikanan skala kecil (small scale fisheries) sehingga, aktifitas pemafaatan sumber daya hanya berorientasi pada perairan terbatas dan alat tangkap yang digunakan juga sangat sederhana. Alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap sumberdaya demersal yaitu pancing, gillnet dan bubu (DKP Sulteng 2006). Disamping itu masih ada pula beberapa alat tangkap lain yang juga dapat menangkap ikan demersal seperti pukat pantai dan sero.
Namun dari sejumlah alat tangkap
tersebut, ketiga alat tangkap yang disebutkan lebih dahulu lebih efektif dan efisien dari alat tangkap lainnya dalam memanfaatkan sumber daya demersal. Sehingga dalam penelitian ini hanya dikaji adalah ketiga alat tangkap tersebut (pancing, gillnet dasar dan bubu). Jenis, jumlah alat tangkap ikan demersal dan jumlah trip operasi di Kepulauan Togean ditunjukkan pada Tabel 2.
21
Tabel 2 Jenis, jumlah alat tangkap ikan demersal dan trip oprasi di Kepulauan Togean tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis alat
Jumlah (unit)
Jumlah trip
Pancing Dasar Rawai tetap Bubu Jaring insang dasar Pukat pantai Sero
896 8 8 102 1 1
138,383 2,709 4,224 16,463 605 -
Sumber : DKP Sulteng 2006 Pancing dasar, bubu, dan jaring insang dasar merupakan alat tangkap yang dominan digunakan, hal ini mengindikasikan bahwa perikanan tangkap yang berkembang di sana adalah alat tangkap yang sederhana, murah dan mudah dalam pengoperasiannya. Bagian-bagian pokok dari suatu alat tangkap pancing dasar terdiri dari mata pancing, tali pancing, pemberat dan umpan (Gabriel et al. 2005). Dinyatakan pula bahwa alat tangkap ini sering dilengkapi dengan swivel dan umpan khusus. Martasuganda (2003), mengungkapkan bahwa teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu banyak dilakukan di hampir seluruh dunia mulai dari yang skala kecil, menengah sampai dengan yang skala besar. Untuk skala kecil dan menengah umumnya banyak dioperasikan diperairan pantai yang belum maju sistem perikanannya, sedangkan untuk skala besar banyak dilakukan oleh negara yang telah maju sistem perikanannya.
Perikanan bubu skala kecil
umumnya ditujukan untuk menangkap kepiting, udang dan ikan dasar di perairan yang tidak begitu dalam, sedangkan untuk perikanan bubu skala menengah atau skala besar biasanya dioperasikan di lepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan dasar, kepiting atau udang pada kedalaman ≥ 20 meter. Meskipun bubu dasar tergolong alat tangkap yang produktif untuk menangkap ikan demersal namun dalam pengembangannya masih perlu dimodifikasi agar tingkat selektivitasnya meningkat. Modifikasi seperti yang dilakukan Purbayanto et al. (2006) yakni alat tangkap bubu dilengkapi dengan celah pelolosan (escaping gap) agar ikan yang belum layak tertangkap dapat lolos dengan mudah tanpa terluka. Bubu yang umum digunakan di Kepulauan Togean adalah berbentuk setengah lingkaran (bubu buton) dan segi lima. Metode pengoperasian untuk
22
semua jenis bubu biasanya hampir sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang diperkirakan banyak ikan yang akan dijadikan target tangkapan. Pemasangan bubu dapat dilakukan dengan sistem pemasangan tunggal dan juga yang dipasang sistem rawai. Jaring insang adalah suatu jenis alat penangkap ikan yang berbentuk empat persegi panjang, dimana ukuran mata jaringnya sama, jumlah mata jaring ke arah panjang (mesh length) jauh lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke arah dalam (mesh depth). Bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan, maka jaring akan terbuka saat dioperasikan (Martasuganda 2002). Lebih jauh dikatakan bahwa berdasarkan cara pengoperasian, jaring insang dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu : (1) jaring insang tetap (fixed gillnet atau set gillnet); (2) jaring insang hanyut (drift gillnet); (3) jaring insang lingkar (encircling gillnet); (4) jaring insang giring (frightening gillnet atau drive gillnet); (5) jaring insang sapu (rowed gillnet). Dari ke lima jenis tersebut, hanya jaring insang tetap yang dioperasikan di dasar perairan (bottom set gillnet) yang dapat menangkap ikan demersal, sedangkan jenis yang lainnya ditujukan untuk menangkap ikan pelagis ataupun ikan yang hidup kolom perairan (antara dasar dan permukaan).
2.4
Perikanan dan Stok Sumber Daya Demersal Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan mendefinisikan
bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Undang-undang tersebut juga merinci tentang
pengelolaan perikanan itu sendiri yakni semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang
23
dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Sumberdaya ikan demersal adalah jenis-jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat dengan dasar perairan. Ciri utama sumberdaya ikan demersal tersebut (Aoyama 1973) antara lain : memiliki aktivitas yang relatif rendah, gerak ruaya yang tidak jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga penyebarannya relatif lebih merata dibandingkan dengan ikan pelagis. Karena aktivitasnya yang rendah dan gerak ruaya yang tidak jauh, maka daya tahan terhadap tekanan penangkapan relatif rendah sehingga apabila intensitas penangkapan ditingkatkan dua kali misalnya, maka mortalitas penangkapannya pun akan meningkat dua kali. Menurut Badrudin dan Tampubolon (1997), perikanan demersal Indonesia merupakan tipe perikanan multi-jenis yang dieksploitasi dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap (multigear). Hasil tangkapan ikan demersal biasanya terdiri dari berbagai jenis yang jumlah dari masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar (DKP Sulteng 2005).
Badruddin dan Sumiono (2004)
menginformasikan bahwa berbagai jenis ikan demersal yang umum seperti kakap merah, bawal putih, manyung, kuniran, gulamah, layur dan peperek biasanya ditangkap dengan alat tangkap yang dioperasikan di dasar perairan seperti rawai dasar, jaring insang dasar, jaring klitik (trammel net) dan bubu serta pancing dasar. Ukuran dari suatu stok ikan dalam suatu perairan dapat dinyatakan dalam jumlah atau berat total individu. Baik jumlah maupun berat (biomassa) suatu stok ikan di laut sulit diukur secara langsung. Oleh sebab itu dalam menduga ukuran stok ikan sering digunakan jumlah atau berat relatif yang dinyatakan sebagai densitas atau kelimpahan (Widodo et al. 1997). Dengan densitas atau kelimpahan, umumnya diartikan sebagai jumlah atau berat individu per satuan area atau per satuan upaya penangkapan, sedangkan satuan yang sering digunakan ialah hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort, CPUE) dari suatu alat tangkap atau alat sampling tertentu. Perubahan ukuran stok dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam hal lingkungan, proses rekruitmen, pertumbuhan, kegiatan penangkapan,
24
populasi organisme mangsa (prey), pemangsa (predator) atau persaingan (competitor). Selanjutnya perubahan ukuran stok atau ukuran beberapa bagian tertentu dari stok dalam kurun waktu tertentu, dapat digunakan sebagai data statistik kasar untuk mengestimasi laju kematian atau laju kelangsungan hidup (survival rate) dari stok yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam menganalisis sumber daya ikan, penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan dan perumusan strategi pengelolaannya. Menurut RAMM (1995) yang diacu oleh Badruddin dan Tampubolon (1997), perairan dangkal dengan kondisi dasar rata, dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir sampai dengan kedalaman sekitar 100 meter, merupakan daerah penangkapan sumber daya demersal yang potensial. Daerah penangkapan ikan demersal dengan kedalaman lebih dari 100 meter biasanya dihuni oleh beberapa jenis ikan demersal laut dalam seperti kakap merah atau kurisi besar (Pristipomoides spp., Etelis spp., Aprion spp., dan Glabrilutjanus spp). Stok merupakan konsep dasar dalam mendeskripsikan dinamika suatu sumber daya perairan yang dieksploitasi. Sparre and Venema (1998) menyatakan bahwa suatu stok adalah sub gugus dari suatu “spesies” yang umumnya dianggap sebagai unit taksonomi dasar.
Lebih jauh dinyatakan bahwa stok diartikan
sebagai suatu sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama, dan menghuni suatu wilayah geografis tertentu. Terhadap definisi ini dapat kita tambahkan bahwa stok adalah kelompok hewan yang terpisah yang menunjukkan sedikit percampuran dengan kelompok sekelilingnya. Salah satu sifat utamanya adalah bahwa parameter pertumbuhan dan mortalitas tetap konstan untuk seluruh wilayah sebaran stok tersebut, sehingga kita dapat menggunakannya untuk melakukan kajian stok. Prasyarat untuk identifikasi stok adalah kemampuan untuk memisahkan spesies yang berbeda. Cushing (1968) mendefinisikan stok sebagai sesuatu yang memiliki daerah pemijahan tunggal dimana hewan dewasanya akan kembali dari tahun ke tahun. Larkin (1972) mendefinisikan stok sebagai suatu populasi organisme yang
25
memiliki kemampuan gen yang sama, cukup terpisah yang menjamin pertimbangan sebagai suatu sistem mandiri yang kekal yang dapat dikelola. Ihssen et al. (1981) mendefinisikan stok sebagai suatu kelompok interspesific dari individu-individu yang berhubungan secara acak dalam kesatuan menyeluruh menurut waktu dan ruang. Ricker (1975) mendefinisikan stok sebagai bagian dari suatu populasi ikan yang berada dibawah pertimbangan pandangan dalam pemanfaatannya baik secara aktual maupun potensial. Definisi tersebut mencerminkan suatu kompleksitas pendekatan yang berbeda terhadap konsep stok. Barangkali definisi yang paling cocok dalam konteks pengkajian stok adalah yang dikemukakan oleh Gulland (1983) yang menyatakan bahwa untuk keperluan pengelolaan perikanan, definisi suatu stok merupakan masalah operasional, yakni suatu sub kelompok dari satu spesies dapat diperlakukan sebagai satu stok jika perbedaan-perbedaan dalam kelompok tersebut dan pencampuran dengan kelompok lain mungkin dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang tidak absah. Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan dimana kita dapat memprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter mortalitas mencerminkan suatu laju kematian hewan, yakni jumlah kematian per unit waktu. Parameter mortalitas yang dimaksud adalah mortalitas penangkapan yang mencerminkan kematian yang dikarenakan oleh penangkapan, sedangkan mortalitas alami yang merupakan kematian karena sebab-sebab lain (pemangsaan, penyakit dll). Sifat utama suatu stok adalah jika parameter pertumbuhan dan mortalitas tetap konstan di seluruh wilayah penyebarannya.
Sebagai contoh, kita coba
pisahkan suatu wilayah menjadi dua, subwilayah A dan B sebagai berikut : Sub Wilayah
Sub Wilayah
A
B
Parameter pertumbuhan dan mortalitas di sub wilayah A dan B harus sama, atau dengan kata lain memiliki syarat sebagai berikut : (1) ikan di subwilayah A harus mempunyai laju pertumbuhan yang sama dengan ikan yang ada di subwilayah B; (2) ikan di subwilayah A harus mempunyai peluang kematian yang sama dengan
26
ikan yang ada di subwilayah B. Jika penangkapan hanya berlangsung di subwilayah A, maka dianggap bahwa tiap individu ikan dalam stok mempunyai peluang yang sama untuk ditemukan di subwilayah B dan karenannya mempunyai peluang yang sama untuk tertangkap.
Individu-individu tersebut harus dapat
bergerak bebas antara kedua subwilayah tersebut. Untuk menentukan bahwa suatu spesies membentuk satu atau lebih stok, maka kita harus mengetahui daerah pemijahan, parameter pertumbuhan serta mortalitas dan sifat-sifat morfologi dari genetiknya. Kita juga harus membandingkan pola penangkapan diberbagai wilayah dan melakukan studi penandaan (Sparre and Venema 1998).
Prosesnya memang rumit dan sering dengan
pengetahuan yang ada tidak mungkin dapat menentukan apakah terdapat beberapa stok dari spesies tersebut atau tidak. Ada dua alasan pokok yang menyebabkan tidak tepatnya penentuan suatu stok : (1) Wilayah sebaran stok secara keseluruhan tidak diliputi dan hanya sebagian dari stok yang diteliti, atau sebaliknya (2) Beberapa stok yang terpisah digabungkan, misalnya karena wilayah sebarannya tumpang tindih. Tersedianya data dan informasi secara spasial dan temporal merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan dalam usaha penangkapan dan pengelolaan sumberdaya ikan.
Informasi sebaran ikan secara spasial bisa
diartikan sebagai keberadaan ikan di suatu perairan tertentu, sedangkan informasi temporal diartikan sebagai keberadaan ikan pada waktu tertentu.
Dengan
demikian, informasi tentang sumberdaya ikan secara spasial dan temporal adalah informasi yang menjelaskan keberadaan sumberdaya ikan pada suatu perairan tertentu dan waktu atau musim tertentu (Merta et al. 2004). Keberadaan populasi ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Dalam konsep biologi ikan, Merta et al. (2004) mengemukakan bahwa faktor-faktor tersebut dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu faktor yang bersifat biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi proses biologi yang terjadi akibat pengaruh dari dalam tubuh ikan, sebagai respons terhadap perubahan lingkungan dimana ikan tersebut berada, dan pengaruh dari luar. Respon ikan terhadap pengaruh dari luar terjadi dalam bentuk
27
interaksi antar organisme yang menghuni perairan tempat populai ikan berada (habitat).
Interaksi tersebut bisa terjadi dalam bentuk hubungan pemangsaan
(predator-prey) atau persaingan makanan (food competition).
Faktor abiotik
adalah faktor-faktor lingkungan perairan yang lebih bersifat fisik dan kimia seperti klimatologi, arus, ketersediaan unsur hara, oksigen, nitrat, fospat dan salinitas. Kedua faktor (biotik dan abiotik) perairan tersebut merupakan unsur utama yang menentukan tinggi-rendahnya kelimpahan (abundance) suatu populasi atau stok sumberdaya ikan di suatu perairan. Sebagian besar nelayan selalu memperhatikan cuaca dan unsur-unsur terkait lainnya yang berhubungan dengan keberadaan ikan di suatu lokasi serta kedalaman perairan tertentu.
Selanjutnya, nelayan akan menyesuaikan cara
penangkapan sesuai dengan kondisi cuaca suatu perairan dengan tujuan memperoleh hasil tangkapan yang lebih baik.
Pengetahuan praktis tentang
perilaku pengelompokan ikan dan ketersediaannya (availability) untuk ditangkap meliputi lokasi, jenis (spesies), musim dan alat tangkap yang digunakan. Berdasarkan data statistik perikanan Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2006 jenis, produksi dan prosentase beberapa komoditas perikanan demersal ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Beberapa jenis ikan demersal, produksi dan prosentase di Kepulauan Togean tahun 2006 No. Jenis ikan *) Produksi (ton) 1. Biji nangka (Upeneus sp.) 51.5 2. Bambangan (Lethrinus sp.) 79.8 3. Kerapu (Epinephelus spp.) 87.9 4. Lencam (Gymnocranius sp.) 63.3 5. Kakap (Lutjanus sp.) 82.5 6. Kurisi (Nemipterus sp.) 28.3 7. Swanggi (Priacanthus sp.) 27.4 8. Ekor kuning (Caesio sp.) 210.6 9. Gulama (Etelis spp.) 25.2 10. Cucut (Eugomphodus sp.) 10.9 11. Pari (Dasyatis sp.) 13.7 12. Bawal hitam (Formio sp.) 12.6 13. Bawal putih (Pampus sp.) 20 14. Alu-alu (Spyraena spp.) 29.7 15. Kuwe (Caranx spp.) 81.8 Sumber : DKP Sulteng 2006 (diolah) *) Allen and Swinston 1990; Peristiwady 2006
Prosentase 6.24 9.67 10.65 7.67 10.00 3.43 3.32 25.52 3.05 1.32 1.66 1.53 2.42 3.60 9.91
28
Persentase terbesar dari lima belas jenis ikan demersal (Tabel 3) yang diproduksi di Kepulauan Togean adalah ekor kuning (Caesio sp.), kerapu (Epinephelus sp.), kakap (Lutjanus sp.), kuwe (Caranx spp.) dan bambangan (Lethrinus sp.). Kelima sumber daya demersal ini tergolong ikan ekonomis penting yang sering tertangkap (Peristiwady 2006). Mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi karena cita rasanya yang khas dan digemari masyarakat konsumen. 2.5
Metode Hidroakustik Peralatan hidroakustik yang digunakan untuk pendeteksian ikan pertama
kali dilakukan oleh nelayan Norwegia. Pengetahuan hidroakustik ini mengalami perkembangan yang luar biasa selama Perang Dunia II sebagai alat pendeteksi kapal selam. Setelah perang perang berakhir, pengetahuan tentang hidroakustik diaplikasikan untuk mendeteksi ikan secara intensif meskipun hasilnya belum terwujudkan secara kuantitatif. Nelayan saat itu hanya menterjemahkan echogram dari hasil echosounder ke dalam estimasi hasil tangkapan (Widodo 1997). Setelah ditemukannya integrator gema (echo-integrator) secara digital yang mampu mengkuantifikasikan hasil pengamatan akustik, maka hidroakustik dapat diaplikasikan untuk pendugaan stok ikan (Johanneson and Mitson 1983). Selanjutnya dinyatakan bahwa metoda akustik dapat digunakan untuk menduga keberadaan ikan, baik ikan pelagis maupun demersal. Di Indonesia pemanfaatan metode hidroakustik untuk pengkajian stok sumberdaya ikan dimulai sejak tahun 1972 dengan menggunakan kapal penelitian lemuru milik FAO bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perikanan Laut dan Direktorat Jenderal Perikanan (Venema 1996 diacu dalam Wudianto 2001). Meskipun penggunaan metode hidroakustik untuk pendugaan stok sumberdaya perikanan secara digital hasilnya mampu dikuantifikasikan dengan ditemukannya integrator gema, namun terdapat kelebihan dan kekurangannya. Thorne (1983) yang dikutip Wudianto (2001) mengungkapkan beberapa kelebihan metode hidroakustik dibanding dengan metode lain, yaitu antara lain : (1) dengan metode hidroakustik tidak tergantung pada ketersediaan data statistik perikanan seperti hasil tangkapan dan upaya penangkapan, (2) memiliki skala waktu yang lebih baik, (3) biaya operasional relatif rendah, (4) hasilnya memiliki ragam
29
(variance) yang rendah atau ketelitian yang tinggi, dan (5) memiliki kemampuan untuk mengestimasi kelimpahan absolut ikan.
Aglen (1994) mengemukakan
beberapa kekurangan pemanfaatan metode hidroakustik antara lain : (1) lemah dalam memilah-milah ikan berdasarkan spesies, (2) kurang teliti digunakan untuk sampling ikan dekat permukaan dan dasar, (3) agak rumit dan kompleks, (4) diperlukan biaya tinggi, (5) diperlukan sampling biologi ikan dan (6) kemungkinan terjadi bias saat penentuan target streght dan kalibrasi. Menurut Scalabrin et al. (1996) pendeteksian kawanan ikan menggunakan metode akustik dapat digolongkan menjadi 2 cara jika dilihat dari prinsip kerjanya, yaitu : (1) pengamatan dari atas (secara vertikal) dengan echosounder dan (2) pengamatan dari arah samping (secara mendatar) dengan sonar. Sesuai dengan keterbatasan jangkauan alat, kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan echosounder yang prinsip kerjanya dari atas maka pengukuran panjang kawanan ikan hasilnya lebih teliti dibanding hasil pengukuran terhadap tingginya. Namun sebaliknya jika menggunakan sonar hasil pengamatan tinggi kawanan ikan lebih akurat dibanding hasil pengamatan terhadap panjang kawanan.
2.5.1
Echosounder split beam system Echosounder split-beam memiliki transducer yang dibagi dalam 4 kuadran.
Arah target ditentukan dengan membandingkan sinyal yang diterima masingmasing kuadran. Transducer memiliki dua fungsi yaitu : pertama, mengubah U
U
energi listrik menjadi pulsa akustik yang ditransmisikan, kadang-kadang disebut dengan ping ; kedua, ketika target memantulkan ping, transducer mengubah echo U
U
akustik ke sinyal elektrik. Pulsa transmisi digunakan untuk seluruh transducer tapi sinyal yang diterima oleh tiap kuadran diproses secara terpisah (MacLennan and Simmonds 1992). Secara umum peralatan hidroakustik digunakan untuk mendapatkan informasi sekitar objek bawah air yang dilakukan melalui pemancaran gelombang suara dan pengamatan dari gema yang dipantulkan. Komponen utama dalam sistem echosounder adalah unit pemancar (transmitter), transducer, unit penerima (receiver amplifier) dan unit pencatat (recorder unit, time base dan display unit).
30
Suara dihasilkan dari perangkat pemancar kemudian dipancarkan secara vertikanl melalui transducer kedalam kolom air, bila mengenai target akan dipantulkan kembali dan direkam pada kertas pencatat. Untuk lebih jelasnya prinsip dari echosounder split beam system disajikan pada Gambar 6. Transduser b
a c
φ
d
θ
Athwartship
a+b
a+c
c+d
b+d
Phase difference
Alongship
φ
Phase difference
θ
Gambar 6 Echosounder Split Beam System (MacLennan and Simmonds 1992)
2.5.2
Target strength, densitas ikan dan biomassa Target strength (TS) merupakan kekuatan dari suatu objek atau target
untuk memantulkan suatu gelombang suara yang datang dan membenturnya (Ehrenberg 1983). MacLennan and Simmonds (1992) menguraikan bahwa target strength (TS) merupakan backscattering cross
section (σbs) dari target yang B
B
mengembalikan sinyal target yang kembali. Selanjutnya dinyatakan, σbs lebih B
B
tepat digambarkan sebagai total dari cross section, yaitu merupakan total dari kuantitas sebesar 4π, untuk memperjelas perbedaan dari satuan intensitas lain karena σbs meliputi satu unit area. B
B
31
Johannesson and Mitson (1983) mencatat bahwa ikan tidak berbentuk seperti bola dan tidak kaku, sehingga pantulan gelombang suara yang mengenai tidak teratur (anisotropic reflector). Hal ini yang menyebabkan TS ikan menjadi sangat kompleks untuk diketahui. Karena itu untuk memahami karakteristik TS dari ikan perlu pengetahuan tentang jenis, ukuran, morfologi, fisiologi dan tingkah laku dari ikan bersangkutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai target strength ikan sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh berbagai hal seperti tingkah laku ikan (misalnya sudut orientasi) atau kondisi fisik yang tidak dapat diduga secara pasti, oleh sebab itu nilai target strength bukan merupakan sesuatu yang konstan sehingga nilai ini harus senantiasa ditentukan untuk setiap pelaksanan survei akustik. Hasil penelitian Nakken and Olsen (1977) mengungkapkan bahwa nilai target strength sangat ditentukan olah orientasi ikan, terutama kemiringan badan antara garis hubung antara kepala dan ekor.
Love (1977) mengemukakan
perbedaan-perbedaan fisiologi dan perbedaan tingkah laku juga menentukan nilai target strength.
Selanjutnya Foote (1987) menjelaskan bahwa ikan yang
tergolong pada ikan yang bergelembung renang berbeda dengan ikan yang tidak, karena gelembung renang berisi udara yang dapat memantulkan energi lebih dari 90 %. Steen yang diacu Hoar and Randall (1970) menyatakan bahwa ikan-ikan dengan gelembung renang tertutup dinamakan physoclists.
Selanjutnya
dinyatakan pada bacaan lain juga akan ditemukan hubungan antara paraphysoclist dan euphysoclist. Paraphysoclist merujuk pada ikan-ikan dimana bagian dari gelembung absorbent dan secretory tidak dipisahkan secara menyolok satu dengan lainnya, sedangkan pada euphysoclist dua area tersebut dipisahkan. Informasi tentang dugaan biomassa ikan di suatu perairan merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah tersebut. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga nilai biomassa ikan di suatu wilayah perairan. Salah satu metode yang dapat diaplikasikan adalah dengan menggunakan metode akustik (Natsir et al. 2006). Disamping itu, analisis densitas dan biomasa ikan demersal melalui perangkat hidroakustik dapat dilakukan dengan mengikuti prosedur analisis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7 (MacLennan and Simmonds 1992). Langkah pertama adalah identifikasi sumber suara dan kontribusi dari perbedaan
32
spesies terhadap data akustik. Ini dilakukan pada area survei dan dibagi dalam bagian-bagian yang homogen sebagai densitas yang diharapkan dan distribusi ukuran dari target. Faktor konversi dari pengitegrasian gema dihitung secara terpisah untuk tiap-tiap bagian. Faktor ini digunakan untuk mengubah data akustik ke estimasi densitas ikan sepanjang cruise track.
Distribusi spasial stok
digambarkan melalui konstruksi garis peta dari pengamatan densitas, atau kemungkinan lain melalui analisis numerik data akustik pada suatu jaringan empat persegi panjang.
Perhatian awal ini mengarah ke pembahasan metode
untuk pengestimasian total kelimpahan stok.
Dilanjutkan dengan melihat
keakuratan dari estimasi kelimpahan, dinamakan ketidakpastian statistik yang dihubungkan dengan strategi sampling. Tingkah laku ikan penting didiskusikan, khususnya masalah migrasi, ritme tingkah laku diurnal dan reaksi ikan terhadap kapal survei. Beberapa sumber kesalahan lain juga diperhatikan, dan akhirnya diskusi menyeluruh secara tepat dari estimasi kelimpahan dan bagaimana hal itu dapat diduga dalam praktek. Cruise track geography
Echo integrator data
Echogram
Partition echo integrals by species or target category
Biological data (fishing samples)
Species composition size distributions weights, age, maturity
Fish densities at points on the cruise track (Fi) B
Target strength functions
Mean target strengths (σi)
B
B
B
Echo-integrator conversion factors (ci) B
Spatial distributions (contour map)
Gambar 7
Spatial abundance (Qi) number or weight of fish B
B
Diagram alir prosedur analisis biomassa dengan hidroakustik (modifikasi dari MacLennan and Simmonds 1992).
B
33
2.6
Fishing Capacity Pengendalian upaya penanagkapan adalah salah satu pendekatan
pengelolaan sumber daya perikanan yang berkaitan dengan pembatasan fishing capacity atau jumlah alat tangkap ikan. Tujuannya adalah meningkatkan hasil tangkapan ikan dan kinerja ekonomi industri perikanan melalui pengurangan upaya atau fishing capacity yang berlebihan (Nikijuluw 2002). Pertimbangan yang dilakukan seperti dalam the international plan of action for the management of fishing capacity adalah sebagai berikut : (a) partisipasi; (b) tahapan implementasi; (c) pendekatan holistik; (d) konservasi; (e) prioritas; (f) teknologi; dan (g) transparansi.
Cochrane (2000) mengemukakan bahwa pertimbangan
utama manajemen perikanan adalah pemanfaatan lestari, efisiensi, dan keadilan akses terhadap sumber daya. Isu pengelolaan fishing capacity telah berkembang seiring dengan berkembangnya perhatian pada fenomena penyebaran dari kelebihan fishing input dan overcapitalization dalam dunia perikanan. Kelebihan fishing capacity secara luas bertangung jawab pada degradasi sumberdaya perikanan, pemborosan produksi makanan potensial dan pemborosan ekonomi yang signifikan (Loftas 2001; Yu and Yu 2007). Asal mula kelebihan fishing capacity pada dasarnya berasal dari kecenderungan menyebarluasnya overinvestment dan overfishing dibawah kondisi open-access.
FAO (1995) mengakui bahwa kelebihan fishing capacity
mengancam sumber daya perikanan dunia. Untuk itu FAO merekomendasikan bahwa tiap negara harus mencegah overfishing dan kelebihan fishing capacity serta harus melaksanakan langkah pengelolaan untuk menjamin bahwa upaya penangkapan adalah sepadan dengan kapasitas produksi dari sumberdaya perikanan dan pemanfaatan lestari. Untuk pengelolaan fishing capacity, International plant of action (IPOA) telah menguraikan kerangka kerja dari code of conduct sebagai suatu elemen konsevasi perikanan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Menurut
Nikijuluw
(2002) fishing capacity merupakan suatu variabel yang keberadaannya ditentukan oleh beberapa variabel lain, seperti ukuran mesin kapal, ukuran kapal, ukuran alat penangkapan, dan teknologi alat bantu untuk mendeteksi, menemukan dan mengumpulkan ikan.
Oleh karena itu, membatasi fishing capacity harus
34
dilakukan secara tidak langsung melalui pembatasan variabel-variabel penentu ini. Jika hanya salah satu variabel yang dibatasi, nelayan mungkin akan menggantinya dengan variabel lain yang tidak dibatasi. bertambah.
Akibatnya, fishing capacity itu
Meskipun yang ideal adalah membatasi semua variabel penentu
fishing capacity, namun pada kenyataannya hal tersebut sulit dilaksanakan. Morrison (1985) yang diacu Fauzi dan Anna (2005) mengemukakan bahwa konsep fishing capacity dapat didefinisikan dan diukur, baik dengan pendekatan ekonomi-teknologi maupun dinyatakan secara eksplisit dalam optimisasi berdasarkan teori mikroekonomi. Dalam literatur perikanan, konsep fishing capacity memang memiliki persepsi yang berbeda-beda, namun secara umum penggunaannya berkaitan dengan seberapa besar pemanfaatan sumber daya perikanan dibandingkan dengan capital stock yang ada (Kirkley and Squires 1998). Dari perspektif teknologi Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa fishing capacity diartikan sebagai seberapa besar jumlah ikan yang dapat ditangkap dengan sejumlah input tertentu (aktivitas armada dan stok ikan itu sendiri). Selanjutnya dalam perspektif ekonomi, fishing capacity atau bisa juga disebut efisiensi, pada dasarnya merupakan fungsi dari input dan output. Kirkley dan Squires (1999) yang diacuh oleh Fauzi dan Anna (2005), mendefinisikan kapasitas dari sudut pandang ekonomi dan teknologi sebagai jumlah maksimum yang dapat diproduksi per unit waktu dengan lahan dan peralatan yang ada, dimana keberadaan dari berbagai faktor produksi variabel tidak dibatasi.
Suatu
definisi dasar fishing capacity menurut Salz (1994); FAO (2003) adalah kemampuan dari satu kapal atau armada dari kapal-kapal untuk menangkap ikan. Fishing capacity (capacity output) dapat diekspresikan lebih spesifik sebagai jumlah maksimum ikan dalam satu periode waktu (tahun, musim) yang dapat diproduksikan oleh suatu armada penangkapan jika digunakan penuh. Cara yang sangat sederhana yang dilakukan adalah menghitung jumlah kapal dalam sebuah armada penangkapan. Tetapi pendugaan yang lebih akurat juga dilakukan dalam penghitungan variabel-variabel lain : jenis kapal termasuk ukurannya, kekuatan mesin, berapa banyak hari operasi dalam setahun, dan jenis alat tangkap apa yang digunakan.
35
Definisi umum dari fishing capacity adalah stok kapital maksimum yang ada dalam perikanan dan dapat digunakan secara penuh pada kondisi efisiensi maksimum secara teknis, pada waktu dan kodisi pasar tertentu (Kirkley dan Squires 1998). Stok kapital pada dasarnya dapat berupa kapital itu sendiri dan sumber daya manusia (labor). Kapital merupakan fungsi dari spesifikasi kapal, alat tangkap, dll sedangkan sumber daya manusia dapat berupa jumlah awak kapal, kemampuan, dll. Keseluruhan kapital dan sumber daya manusia itu merupakan manifestasi dari upaya (effort), yang biasanya diukur dari jumlah melaut (trip) atau jumlah hari melaut (fishing day). Dengan demikian, Kirkley and Squires (1999) yang diacu Fauzi dan Anna (2005), konsep fishing capacity ini dapat juga disebut sebagai tingkat upaya yang memungkinkan (available fishing effort), kapasitas upaya, kapasitas tangkap, upaya potensial maksimum dan potensial fishing capacity. Technical working group (TWG) mencatat beberapa keuntungan memformulasikan definisi dari fishing capacity dalam hubungan dengan tangkapan (Gréboval 2003): (a) hal itu cocok dengan teori ekonomi produksi; (b) memudahkan pengumpulan antara armada-armada dan antara penangkapan sektor-sektor proses; (c) menjadi mudah membagi kekompleksan dalam interaksi perikanan, misalnya bilamana tangkapan dari satu industri perikanan adalah bycatch dari yang lain; (d) adalah lebih tepat untuk perikanan artisanal, and (e) menjadi mudah menentukan kapasitas optimal untuk stok berubah-ubah. Tingkat kelebihan dari fishing capacity menurut Ward et al. (2004) merupakan isu kunci serius yang dihadapi para manajer perikanan di millenium yang baru. Mace (1996) mengidentifikasikan "kelebihan kapasitas sebagai faktor paling utama yang mengancam kelangsungan hidup jangka panjang dari stok ikan yang dimanfaatkan dan perikanan yang tergantung padanya," menuntut suatu pengurangan yang signifikan untuk tingkat keberadaan global fishing capacity menjadi sepadan dengan keberlanjutan produktivitas sumber daya. Kebutuhan pengelolaan yang efektif dari fishing capacity telah disoroti dalam tahun-tahun terakhir ini mengikuti kenyataan bahwa kebanyakan dari pemanfaatan sumber daya di dunia telah kelebihan tangkap (overexploited). Olehnya, Pascoe and Coglan (2000) mengemukakan bahwa dalam mengelola fishing capacity, para
36
pengelola memerlukan penetapan tingkat overcapacity yang ada dalam perikanan individu. Ini membutuhkan sebuah perkiraan tingkat fishing capacity saat ini seperti target, keinginan, tingkat dari fishing capacity. Pada dasarnya ada berbagai metode yang dapat digunakan untuk menganalisis fishing capacity. Diantaranya ada dua pendekatan nonparametrik yang dianggap cukup dapat diandalkan untuk aplikasi yang luas dan mudah dilakukan berkaitan dengan definisi ekonomi-teknologi yang terfokus pada kapasitas output, serta tidak memerlukan data yang mahal (Fauzi dan Anna 2005). Selanjutnya dinyatakan bahwa metode pertama adalah metode “peak to peak”. Metode ini akan sangat cocok apabila digunakan pada data yang parsimonius (ekstrim), misalnya pada kondisi data yang hanya terbatas pada hasil tangkapan dan jumlah kapal. Kedua adalah data envelopment analysis (DEA). Pendekatan yang berorientasi pada output dan input ini dikembangkan pertama kali oleh Charnes, Cooper, and Rhodes (1978) atau dikenal sebagai CCR dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Färe, et al. (1989, 2000) dan disarankan untuk perikanan oleh Kirkley and Squires (1998). Korhumen et al. (1998) yang diacu oleh Fauzi dan Anna (2005), DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian (judgement) dari pengambil keputusan. Teknik ini didasarkan pada pemrograman matematis atau untuk menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala. DEA bertujuan mengukur keragaan relatif (relative performance) dari unit analisis pada kondisi keberadaan multiple input dan output (Dyson, Thanassoulis and Boussofiane 1990). DEA dapat digunakan untuk menghitung fishing capacity dengan pendekatan Färe, et al (2000). Dalam aplikasi perikanan, DEA memiliki kelebihan dalam hal kemampuannya mengestimasi kapasitas dibawah kendala penerapan kebijakan tertentu, seperti misalnya Total Allowable Catch (TAC), pajak, distribusi regional atau ukuran kapal, larangan menangkap pada waktu tertentu (ketika terjadi pencemaran, misalnya), dan kendala sosialekonomi lainnya. Keistimewaan DEA yang lain adalah kemampuannya dalam mengakomodasi multiple outputs dan multiple inputs, serta tingkat input atau output yang nil maupun nondiskret.
DEA juga dapat menentukan tingkat
37
potensial maksimum dari effort atau variabel input secara umum laju utilisasi optimalnya. Seperti dijelaskan sebelumnya, pengukuran efisiensi ini menjadi tidak tepat apabila kita berhadapan dengan data multiple inputs dan outputs yang berkaitan dengan sumber daya, faktor aktivitas dan lingkungan yang berbeda. Meskipun pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat diatasi dengan menggunakan pengukuran efisiensi relatif yang dibobot (Fauzi dan Anna 2005). Namun, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. Keterbatasan tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA, di mana efisiensi tidak semata-mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. Oleh karena itu Fauzi dan Anna (2005) menyatakan, di dalam DEA efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala relatif efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100 %. Pemecahan masalah pemrograman matematis di atas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum, sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah ke B
B
efisiensi. Jadi, jika nilai = 1, unit ke-m tersebut dikatakan efisien relatif terhadap unit yang lain. Sebaliknya, jika nilai lebih kecil dari 1, unit lain dikatakan lebih efisien
relatif
terhadap
unit
m,
meskipun
pembobotan
dipilih
untuk
memaksimisasi unit m. Salah satu manfaat dilakukannya linearisasi adalah kita dapat melakukan pemecahan pemrograman liniar di atas dengan pemecahan dual. Sebagaimana ciri yang dimiliki oleh pemrograman linear, pemecahan baik primal maupun dual akan menghasilkan solusi yang sama. Namun, pemecahan dengan dual sering kali lebih sederhana, sebab dimensi kendala berkurang. 2.7
Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian dengan menggunakan metode hidroakustik telah banyak
dilakukan namun kebanyakan penelitian tersebut ditujukan untuk estimasi sumber daya pelagis, sementara penelitian dengan menggunakan metode yang sama untuk ikan demersal masih belum banyak dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan di
38
perairan Teluk Tomini diantaranya oleh Natsir et al. (2005) yang mengkaji pendugaan biomassa ikan pelagis dengan menggunakan metode akustik bim terbagi. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa biomassa total ikan pelagis kecil sebanyak 204.695 ton (67 %) dan ikan pelagis besar sebanyak 98.930 ton (33 %).
Juga disimpulkan bahwa biomassa ikan
pelagis kecil cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman, sebaliknya biomassa ikan pelagis besar cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kedalaman. Penelitian untuk analisis fishing capacity dengan menggunakan data envelopment analysis (DEA) juga telah banyak dilakukan namun kenayakan penelitian tersebut mengulas tentang sumber daya pelagis. Beberapa peneliti diantaranya Kirkley et al. (2003) menggunakan DEA yang berorientasi output sebagai alternatif untuk menghitung fishing capacity perikanan pukat cincin di perairan semenanjung Malaysia.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan telah
terjadi kelebihan kapasitas sehingga sebanyak 10 kapal dinyatakan tidak efisien dan disarankan ditarik dari perairan tersebut; Untuk kasus Indonesia dalam skala mikro, teknik DEA telah diterapkan oleh Fauzi dan Anna (2005) untuk menganalisis konsep kebijakan berbasis kapasitas. Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa kelebihan kapasitas memang terjadi di Indonesia dan menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan (Fauzi 2005). Dengan menganalisis kapasitas perikanan di perairan pesisir DKI Jakarta untuk tingkat efisiensi perikanan menunjukkan adanya kelebihan kapasitas perikanan tangkap yang diindikasikan oleh nilai potensial improvement pada input yang negatif seperti bubu, muroami dan pancing. Sehingga perlu pengurangan input untuk alat-alat tangkap tersebut di wilayah pesisir Jakarta. Penelitian Sularso (2005) pada perikanan udang di Laut Arafura yang juga menggunakan teknik DEA yang berorientasi pada pengendalian input.
Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa penangkapan dengan pukat udang di Laut Arafura berada pada kondisi economic over fishing. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa telah terjadi overcapacity pada usaha perikanan pukat udang sehingga rekomendasi yang diajukan adalah pengelolaan secara bertahap mulai
39
dari penutupan musim penangkapan, pengurangan jumlah kapal dan pengaturan kuota. Penelitian yang dilakukan Desniarti (2007) di perairan pesisir Provinsi Sumatera Barat dengan menggunakan teknik DEA untuk menganalisis kapasitas perikanan tangkap ikan pelagis. Hasil penelitian tersebut menyatakan tingkat efisiensi perikanan tangkap dari waktu ke waktu mengalami penurunan. Teknik DEA juga dilakukan oleh Efendi (2006) dengan orientasi pengendalian input (input oriented).
Dengan asumsi perikanan pukat cincin di Pekalongan dan
sekitarnya bersifat variable return to scale (VRS). Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi kapasitas lebih sehingga disarankan perlu ada pengurangan effort sebesar 18 %. Penelitian yang dilakukan oleh Olii (2007) di Provinsi Gorontalo yang mencakup kawasan perairan Teluk Tomini (perairan selatan) dengan orientasi pengendalian input (input oriented) dan pengendalian output (output oriented) pada perikanan pelagis. Diimplementasikan pada kasus-kasus constant return to scale (CRS) dengan variabel tahun sebagai decision making unit (DMU) dan variable return to scale (VRS) dengan variabel kapal/perahu sebagai DMU. Hasil penelitian ini menunjukkan sejak 1986-2005 telah terjadi kelebihan kapasitas kecuali pada 2000. Juga disimpulkan, alat tangkap yang efisien adalah pukat cincin, jaring lingkar dan bagan untuk ikan pelagis kecil sedangkan huhate, pukat cincin dan pancing tonda merupakan alat tangkap yang efisien untuk ikan pelagis besar. Dalam penelitian ini, pengkajian dilakukan terhadap stok sumberdaya demersal dengan menggunakan metode hidroakustik untuk menganalisis penyebaran, densitas dan kelimpahan ikan demersal di Kepulauan Togean. Juga penelitian ini mengkaji fishing capacity perikanan demersal dengan menggunakan teknik DEA dengan orientasi pengendalian input dan output. Penerapan pada kasus-kasus constant return to scale (CRS) untuk variabel tahun sebagai DMU dan variable return to scale (VRS) untuk variabel alat tangkap (kapal/perahu penangkap) sebagai DMU.
3 METODOLOGI 3.1
Lokasi dan waktu penelitian Lokasi dan waktu penelitian dilakukan di perairan sekitar Kepulauan
Togean, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah dengan menggunakan KM Napoleon milik Akademi Perikanan Bitung. Survei dengan menggunakan metode hidroakustik dan oseanografi ini dilakukan pada tanggal 25 – 28 Desember tahun 2004 (Gambar 8). Lokasi ini merupakan daerah penangkapan sumber daya demersal yang potensial karena secara ekologis penyebarannya dibatasi oleh isobath 200 m. Pengumpulan data penunjang (primer, sekunder) dari informasi nelayan kepulauan Togean dan dari dinas perikanan kabupaten serta propinsi dilaksanakan pada bulan Pebruari–Maret tahun 2005 dan Januari–Pebruari 2006. 3.2
Desain Survei Penentuan desain survei merupakan salah satu hal yang sangat penting
dalam penentuan cruise track (trek pelayaran), dimana dalam penentuannya membutuhkan pertimbangan yang matang agar nantinya survei dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Trek yang digunakan dalam survei ini berbentuk systematic triangular transect (Gambar 8). Pemilihan trek tersebut dimaksudkan agar dapat mencakup seluruh perairan Kepulauan Togean. 3.3
Peralatan Penelitian Peralatan penelitian yang digunakan antara lain : (1) Perangkat echo sounder bim terbagi : •
Scientific echo sounder SIMRAD EY 500
•
Split beam transducer
•
Display CRT 14” berwarna resolusi tinggi
•
Labtop dan printer
(2) Alat penentu posisi, GPS (Global Positioning System) (3) Perangkat Oseanografi •
Valeport current meter tipe 308 CTD
•
Plankton net, berdiameter 25 cm (# 60μ) dan 45 cm (# 210μ)
•
Bonggo net, berdiameter 62 cm (# 500μ)
0.2 18
22
19
16
14
20
SKALA 1 : 1 000 000
2180
17
12
23
13
P.Melingi P.Taloeh 15
51
25
39
7
P.Langkara 11
Lintang Selatan
3
38 40
P.Waleabahi
49
10
P.To6ngkabu P.Pangempan 8 5
9
41 48
71
37
59
51 42
36 35 34
81 50 43
Talatakoh
TOGIAN
51
47
52
45
46
P.Teloga
53
58 57
Batudaka
53
54 56
60 59
55
200
62
41
43
200
1162
1785 1140
45
0.6 121.8
80
33
Benteng
Palada
28 30 32 27 31
44
2
261
26
29
4
0.4
24
79
P.Waleakodi
122.0
122.2
122.4
Bujur Timur Gambar 8 Peta lokasi penelitian dan trek survei akustik di perairan sekitar Kepulauan Togean
42
(4) Alat tangkap yang terdiri dari : •
Bottom gillnet; materialnya PA mono No 60, panjang 43,20 m, lebar 2,49 m dan besar # 1,75 inci
•
Traps (bubu dasar); material pilah bambu, panjang 1,80 m, lebar 0,90 m, tinggi 0,80 m dan lebar mulut 0,30 m
•
Handline dasar; materialnya PA mono ∅ 8 mm dan 4 mm, pancing No 10 dan pemberat besi 300-500 gram
3.4
Metode Pengambilan Data
3.4.1
Data oseanografi Pengukuran data oseanografi dilakukan berdasarkan posisi stasiun
pengamatan.
Untuk itu, stasiun pengamatan ditetapkan terlebih dahulu.
Pengukuran pola arus (arah dan kecepatan) dilakukan di masing-masing stasiun yang ditetapkan tadi. Demikian juga, pengukuran dilakukan pada beberapa strata kedalaman standar, berturut-turut lapisan permukaan (0-5 m), 10 m, 20 m, 30m, 40 m, dan 50 m. Parameter yang diukur meliputi kedalaman perairan, arah dan kecepatan arus, suhu dan salinitas dengan menggunakan Valeport current meter tipe 308 CTD. Disamping itu untuk mengukur kecerahan perairan digunakan seici disc. Sehingga hasil pengukuran tersebut menggambarkan antara lain : pola arus untuk masing-masing kedalaman, hubungan antara suhu dan kedalaman perairan, hubungan antara salinitas dan kedalaman, serta dapat menggambarkan kecerahan perairan untuk masing-masing stasiun pengamatan. Pengambilan
sampel
fito-
plankton dan zooplankton di masing-masing lokasi, dilakukan dengan menggunakan plankton net, sedangkan untuk larva/telor (ichtioplankton) menggunakan larva net (Bonggo net). Data oseanografi ini untuk menggambarkan dinamika (bio-ekologi) sumberdaya perikanan demersal.
3.4.2
Data citra satelit Disamping data oseanografi di atas juga digunakan data dari satelit selama
satu tahun. Data satelit yang dipilih dalam penelitian ini adalah citra satelit Aqua MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang bersih dari
43
tutupan awan, dapat dilihat dari citra level 2 klorofil-a pada situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov.
Setelah memilih tanggal data citra yang
diinginkan, data dipesan melalui NASA Goddard Space Flight Center menggunakan fasilitas internet pada situs http://disc.gsfc.nasa.gov data dengan pilihan media FTP (File Transfer Protocol) Pull.
3.4.3
Data akustik Data akustik diperoleh dengan menggunakan echo sounder SIMRAD EY
500 frekuensi 38 KHz yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sebaran densitas ikan secara spasial maupun vertikal. Transduser dengan sistem bim terbagi (split beam echosounder) dipasang pada sisi kanan luar kapal (system side mounted) pada kedalaman 1,5 m dari permukaan air. Pengambilan data survei akustik dilakukan pada tanggal 25 – 28 Desember tahun 2004. Dimana selama pelayaran data akustik direkam terus menerus. Untuk mengetahui informasi keberadaan sumber daya perikanan demersal, data dikelompokan dalam back scattering cross section untuk penentuan target srength (TS) dan data echo integrator untuk penentuan densitas absolut. Data yang terkumpul dari hasil akuisisi dianalisis menggunakan software EP – 500 dengan EDSU (elementary distance sampling unit) sepanjang 0,5 mil.
Metode hidroakustik ini digunakan
untuk menentukan penyebaran, densitas dan biomassa sumber daya ikan demersal. Survei akustik dan oseanografi dilakukan melalui cruise track akustik dengan pola systematic triangular transect yang diharapkan dapat mewakili keseluruhan perairan Kepulauan Togean. Grid antara masing-masing leg adalah 0,5 derajat. 3.4.4
Data hasil tangkapan Data hasil tangkapan diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang
menggunakan alat tangkap jaring insang dasar, pancing ikan dasar dan bubu diperoleh langsung dari nelayan masing-masing alat tangkap itu sendiri, dari tempat-tempat pendaratan ikan dan statistik perikanan tangkap dari dinas perikanan dan kelautan Kabupaten Tojo Una-una. berguna untuk menganalisis fishing capacity.
Data hasil tangkapan ini
Pengumpulan data statistik
44
perikanan tidak hanya dibatasi pada produksi ikan itu sendiri tetapi juga pada jumlah dan ukuran dari armada penangkapan. Disamping itu juga, informasi tentang lama waktu melaut, jumlah ABK dan jenis alat tangkap yang digunakan. Ukuran armada penangkap (perahu/kapal) yang dimaksud meliputi pengukuran dimensi utama dari perahu tersebut yakni L, B, D dari masing-masing perahu penangkap. Experimental fishing merupakan suatu metode yang digunakan untuk memperoleh ikan contoh dalam penelitian ini. Penggunaan metode ini untuk memperoleh tingkat keefektifan dari ketiga alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan demersal. Jaring insang dasar (bottom gillnet) merupakan alat tangkap yang berbentuk empat persegi panjang dimana efektif untuk menangkap ikan demersal dengan cara terjerat.
Operasi penangkapan ikan
dilakukan pada daerah penangkapan yang telah ditentukan sebelumnya, yakni dengan cara membentangkan jaring pada perairan. Jaring dipasang secara tetap di atas dasar perairan dengan bantuan pemberat (jangkar) pada kedua ujung tali pemberat dan pelampung tanda pada tali ris atas. Setelah 4-5 jam jaring terendam di dalam air, pengangkatan jaring (hauling) dilakukan. Hand lines dalam pengoperasiannya dapat dilakukan oleh satu orang karena konstruksi alat ini paling sederhana sehingga mudah dalam mengoperasikan. Pengoperasian hand line (pancing ikan demersal) dilakukan pada waktu subuh dan sore hari (3-4 jam). Sebelum ditawurkan pancing diberi umpan terlebih dahulu. Pengoperasian traps (bubu) dapat dilakukan oleh 2-3 orang dengan tingkat keefektivan yang tinggi untuk menangkap ikan demersal. Pengoperasian traps (bubu) dilakukan pada tempat-tempat yang menjadi daerah penangkapan ikan demersal yang berdekatan dengan wilayah pengoperasian gillnet. Traps diturunkan dengan menggunakan pemberat dan pada ujung rangkaian traps diberi tali untuk pelampung tanda. Traps dibenam selama satu malam (10-12 jam) atau paling lama tiga hari kemudian diangkat (hauling). Experimental fishing dilakukan sebanyak enam kali dengan jarak waktu tiga hari sekali pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan mengikuti alur survei akustik. Uji coba dimulai dari bagian utara pulau Togean, antara pulau Togean – Talatakoh, bagian utara antara pulau Waleakodi – Waleabahi, bagian timur pulau
45
Waleabahi. Selanjutnya uji coba penangkapan dilakukan pada bagian selatan antara pulau-pulau Waleabahi, Waleakodi dan Talatakoh. Uji coba ini berakhir pada bagian selatan antara pulau Togean – Talatakoh. Pengambilan sampel ikan demersal dilakukan dengan menggunakan ketiga alat tangkap di atas yang dianggap efektif untuk menangkap ikan demersal. Pengukuran dilakukan pada seluruh ikan contoh, pengukuran distribusi panjang dilakukan terhadap panjang cagak (forklength) dengan menggunakan kertas ukur dan papan ukur untuk ikan yang berukuran kecil, sedangkan untuk ikan yang berukuran besar diukur dengan menggunakan meteran. Umumnya perairan Indonesia dipengaruhi oleh dua musim yang dominan, yaitu musim barat (northwest monsoon) dan musim timur (southeast monsoon). Musim peralihan I terjadi antara musim barat dan musim timur, sedangkan musim peralihan II terjadi antara musim timur dan musim barat. Adanya musim timur dan musim barat, serta musim peralihannya merupakan fenomena yang tidak terpisahkan dari kondisi laut dan segala aktivitas ikan, termasuk perilaku pengelompokan dan pola ruaya beberapa jenis ikan dan udang, sehingga mempengaruhi kegiatan penangkapan yang berdampak pada hasil tangkapan yang diperoleh.
3.5
Analisis Data
3.5.1
Analisis oseanografi Sampling oseanografi dilaksanakan untuk mempelajari dinamika masa air
(fisik) dan karakteristik biologi perairan. Data suhu, salinitas dan kedalaman yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan personal computer dan beberapa software pendukung. Data yang diperoleh dari current meter setelah di down-load ke komputer kemudian dianalisis dengan menggunakan software datalog lalu disimpan dalam bentuk excel. Data oseanografi digambarkan dalam bentuk sebaran menegak, horisontal dan melintang untuk menggambarkan profil masa air daerah penelitian. Analisis dan ekplorasi data dilaksanakan dengan perangkat lunak Surfer dan Excel.
46
3.5.2
Analisis citra satelit Data MODIS yang sudah diterima dari NASA diolah dengan
menggunakan perangkat lunak SeaDAS 4.7 under LINUX. Proses analisis citra Aqua MODIS dilakukan dengan urutan sebagai berikut : (1) Analisis citra level 1 menjadi level 2 Untuk menganalisis data level 1 menjadi level 2 digunakan program msl 12,4 (SeaDAS MODIS Aqua L2 file generation) yang terdapat pada menu SeaDAS. Citra level 1 merupakan suatu file yang masih dalam format MOD atau MYD, kemudian dilakukan proses kalibrasi, koreksi atmosferik dan penerapan algoritma untuk menghasilkan level 2 disimpan dalam format HDF. Menurut McClain and Feldman (2004), algoritma OC3M digunakan sebagai standar dalam analisis citra satelit Aqua Modis untuk mendapatkan data klorofil-a perairan secara global. Persamaan algoritma OC3M (O’Reilly et al. 2000) yaitu :
Ca = 100,283− 2,753 R +1,457 R
2
+ 0,659 R3 −1,403 R 4
⎛ R 443 > Rrs 488 ⎞ , R = log10 ⎜ rs ⎟ …………(1) Rrs 551 ⎝ ⎠
Ca, konsentrasi klorofil-a (mg/m3) ; R, rasio refleksi ; Rrs, remote sensing reflectance. Untuk menduga suhu permukaan laut dipakai algoritma MODIS yang menggunakan kanal 31 dan 32 sebagai berikut : Modis _ SST = C1 + C2 * T31 + C3 * T31−32 + C4 *(sec θ − 1) * T31−32 ...................(2) T31, T32, brightness temperatur dari kanal 31 dan 32 ; θ, sudut senit satelit, sedangkan kostanta C1, C2, C3 dan C4 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Aqua MODIS Koefisien
T31 – T32 ≤ 0,7
T31 – T32 > 0,7
C1
1,11071
1,196099
C2
0,9586865
0,9888366
C3
0,1741229
0,1300626
C4
1,876752
1,627125
(2) Koreksi geometrik Setelah melakukan proses level 1 menjadi level 2, kemudian dilakukan proses koreksi geometrik melalaui Seadisp (seawifs display). Koreksi geometrik
47
yang dilakukan adalah melakukan proyeksi citra. Proyeksi citra dilakukan pada program projection untuk menghilangkan sudut elevasi satelit sehingga citra yang ditampilkan menjadi datar. Proyeksi yang digunakan pada penelitian ini adalah mercator, proyeksi ini mempertahankan arah dan sudut. (3) Pemotongan citra (cropping) Untuk melakukan cropping atau pemotongan citra sesuai dengan daerah yang diinginkan, dilakukan pada program projection. Dalam pemotongan citra, catat pixel/line awal dan akhir serta nilai lintang/bujur awal dan akhir. Supaya citra ini lebih informatif maka dilakukan perbaikan tampilan citra antara lain : landmask, skala warna dan garis pantai menggunakan menu Seadisp (general image and graphics display).
3.5.3
Analisis stok ikan dengan hidroakustik Langkah pertama pengolahan data akustik yang diperoleh dari scientific
echosounder SIMRAD EY 500 adalah merubah raw data dalam bentuk datagram (DG) menjadi dalam bentuk data terkompres (datathreshold/DT) dengan menggunakan perangkat lunak EP500. Pada menu analysis bottom layer, data yang dibagi menjadi beberapa segmen dan kedalaman selanjutnya data disimpan dalam format ASCII dengan ext *.csv. data tarsebut berupa Matriks Data Akustik (MDA) ikan demersal, matriks data target strength (TS) dan matriks data backscattering volume (Sv). Setelah data tersimpan dalam format ASCII, pengolahan data dilanjutkan pada spread sheet excel. Nilai target strength yang didapat dari TS distribution dirata-ratakan pada setiap ESDU (elementary sampling distance unit) kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik untuk melihat penyebaran target strength secara vertikal dan kontur secara horizontal. Johannesson and Mitson (1983) mendefinisikan target strength sebagai logaritma hasil bagi antara nilai intensitas suara yang mengenai target dan dikalikan dengan bilangan sepuluh. Dengan demikian target strength dapat dirumuskan seperti berikut (Urick 1983) TS = 10 log σ/4π
................................................ (3)
Back scattering cross section dapat juga digambarkan dalam satuan decibels (dB) sehingga nilai back scattering cross section adalah σ/4π, dimana acoustic cross-section (σ) merupakan luas bidang penerima sejumlah energi dari
48
target yang memantulkan gema. Dengan demikian persamaan TS dapat dituliskan sebagai berikut : TS = 10 log σbs
................................................ (4)
Pada aplikasi perhitungan kelimpahan telah banyak dimanfaatkan rumusan yang dikemukakan oleh Foote (1987) yang menjelaskan hubungan antara target strength dengan ukuran panjang ikan yang diformulasikan sebagai berikut. Untuk target dengan gelembung renang tertutup (physoclist), TS = 20 log (L) – 67,5 dB
.................................................. (5)
dimana L adalah panjang strandar ikan (fork length) dalam cm. Untuk target dengan gelembung renang terbuka (physostome), TS = 20 log (L) – 71,9 dB
…............................................. (6)
sedangkan untuk bladderless fish (tanpa gelembung renang) TS = 20 log (L) – 80 dB
................................................ (7)
Metode echo intergation (integrasi gema) digunakan untuk mengintegrasi densitas ikan, dimana gema dari target ganda menjadi overlap dan ikan tunggal sulit dipisahkan. Integrasi gema berguna untuk mengubah energi total dari gema ikan menjadi densitas ikan dalam satuan fish/m3 atau kg/m3. Pendugaan nilai densitas dihitung dari nilai SA yang merupakan nilai integrasi gema. Untuk mendapatkan niali SA (Scattering Area) diperoleh dari persamaan berikut : ⎡R 2 ⎤ S A = 4πR ⎢ ∫ Sv.dr ⎥ (1852m / nm) 2 ⎣ R1 ⎦ 2
................................................. (8)
Untuk mendapatkan nilai Sv (Scattering volume) yang merupakan nilai dari intensitas suara yang mengenai target pada volume air tertentu (m3) didapat dari persamaan berikut ini :
Sv =
SA 4πR (1852m / nm) 2 ( R2 − R1 ) 2
............................................... (9)
R, jarak referensi (1 m); (R2-R1), tinggi lapisan perairan yang dianalisis. Sehingga nilai densitas berdasarkan areanya adalah :
ρA =
SA
σ bs
................................................ (10)
49
ρA, densitas ikan per luasan perairan pada kolom air tertentu ; SA, nilai back scattering area ; σbs, nilai back scattering cross section Nilai σbs adalah sebagai berikut : σbs = 10
TS 10
................................................ (11)
Persamaan densitas untuk berat target strength normal ikan demersal pada 38 kHz adalah Coetzee (2000): ⎡ ⎤ SA *1000 Densitas ( g .m −3 ) = ⎢ 0.1TS / kg 2 .1852 .ΔR ) ⎥⎦ ⎣ (4π .10 Densitas ( g .m −2 ) = ⎡⎣10(log S A −67.5)−TS / kg ⎤⎦ *100
................................ (12)
............................................ (13)
Menurut Maclennan and Simmonds (1992) dan Effendie (2002) konversi panjang ikan dugaan menjadi berat dugaan dilakukan dengan persamaan yang menjelaskan hubungan panjang berat dari spesies ikan yang akan diestimasi yaitu : W = aLb
.............................................. (14)
W, berat ikan ; L, panjang ikan ; a dan b, konstanta untuk spesies tertentu Selanjutnya karena bentuk persamaan target strength adalah persamaan logaritmik dan persamaan panjang-berat bukan merupakan persamaan yang linier maka persamaan panjang-berat yang digunakan untuk mengkonversi panjang dugaan menjadi berat dugaan menjadi seperti berikut : ⎧ i ⎫ Wt = a ⎨∑ ni ( Li + ΔL / 2)b +1 − ( Li − ΔL)b +1 / {(b + 1)ΔL}⎬ ⎩ 1 ⎭
{
}
................... (15)
Wt, berat total ; a dan b, konstanta untuk spesies tertentu ; ni, jumlah individu pada kelas i ; Li, nilai tengah dari kelas panjang i ; ΔL, selang kelas panjang. Hasil tersebut divalidasi dengan parameter biologi jenis yang dominan untuk menduga densitas biomassa.
3.5.4
Analisis fishing capacity Pada dasarnya ada berbagai metode yang dapat digunakan untuk
menganalisis fishing capacity.
Greboval (2003) mencatat bahwa Technical
Working Group (TWG) on the Management of Fishing capacity
mere-
50
komendasikan dua alternatif pendekatan untuk pengukuran fishing capacity yaitu peak to peak analysis dan data envelopment analysis (DEA). Pendekatan DEA menurut Fauzi dan Anna (2005) merupakan pendekatan non parametrik yang dapat diandalkan untuk aplikasi yang luas dan mudah dilakukan berkaitan dengan definisi ekonomi dan teknologi yang terfokus pada kapasitas output, serta tidak membutuhkan data yang mahal. Metode DEA menurut Coelli et al. (1998) adalah analisis program matematik untuk mengestimasi efisiensi teknis dari kegiatan produksi. Fauzi dan Anna (2005) malaporkan bahwa analisis ini digunakan untuk mengestimasi kapasitas yang menggunakan model cross section dengan multi input dan multi output. Unit observasi adalah kapal perikanan dan input serta output berdasarkan data bulanan per unit kapal. Orientasi pendekatan ini pada input dan output perikanan sebagaimana yang disarankan oleh Kirkley dan Squires (1998) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Fare et al. (2000). Selain pendekatan ini terdapat juga beberapa metode yang digunakan untuk pengukuran fishing capacity.
Beberapa diantaranya dilakukan oleh Newton
(1999) dan Fitzpatrick (1996) yang melakukan analisis fishing capacity dengan pendekatan koefisien teknologi; Pella dan Psaropulos (1975) melakukan perhitungan matematik dengan pendekatan pendugaan CPUE yang distandarisasi; dengan menggunakan metode Virtual Population Analysis (VPA) dan General Linear Modeling (GLM), Gascuel et al. (1993) melakukan pengukuran fishing capacity dengan pendekatan fishing power. Data Envelopment Analysis adalah analisis program matematik untuk mengestimasi efisiensi teknis kegiatan produksi secara simultan. Analisis tersebut menggunakan model panel data dengan multi input dan single output. Unit observasi adalah kapal perikanan dan input serta output berdasarkan data bulanan per unit kapal. Fauzi (2005) menyatakan bahwa dalam konteks industri penangkapan, diasumsikan bahwa teknologi yang berlaku berdifat decreasing return to scale (DRS). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa model DEA memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan dalam hal kemampuan untuk mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu. Kelebihan lainnya adalah kemampuannya dalam mengakomodasi multiple outputs dan multiple inputs, dapat
51
menentukan tingkat potensial maksimum dari effort atau variabel input secara umum dan laju utilitas optimal. Keterbatasan berupa kesulitan mementukan pembobotan yang seimbang antara input dan output. Selain itu, pendekatan DEA mengalami kesulitan dalam uji hipotesis statistik. Pendekatan DEA yang digunakan dalam penelitian ini yaitu minimisasi input (input oriented) dan maksimisasi output (output oriented). Pendekatan ini digunakan untuk mengukur seberapa besar output yang dihasilkan oleh sejumlah masing-masing alat tangkap tanpa ada pengurangan dan seberapa besar input (effort) yang harus dikurangi tanpa ada perubahan jumlah output (hasil tangkapan). Untuk menduga efisiensi teknis dari upaya penangkapan selama 8 tahun terakhir 1998-2005 (jangka panjang) menggunakan pendekatan minimisasi input dengan asumsi terdapat J upaya (trip), dimana j = 1, 2, ...J; j = 8) sebagai input dengan 1 output berupa hasil tangkapan dengan menggunakan asumsi model constant return to scale (CRS) dengan formula (Kirkley dan Squires 1999) :
TE = Max θ J
θ u j ≤ ∑ z ju j
.............................................. (16)
j =1
J
∑z x j =1
jn
j
=1
J
∑z j =1 J
∑z x j =1
≤ x jn , n ∈α
j
j
jn
= λ j x jn , n ∈αˆ
z j ≥ 0, λ jn ≥ 0 ∀ n ∈αˆ Dimana j = 1,2, ...., J adalah tahun diobservasi sebagai decision making units. Dengan demikian terdapat 8 tahun observasi atau J=8 dan n= 1,2,..., n input (n=1). Keterangan : TE, efisiensi teknis untuk tahun ke j ; θ , nilai pengukuran untuk setiap observasi (≥1) ; uj , output untuk tahun ke-j yaitu 1 output (hasil tangkapan) ; xjn, input ke-n yang digunakan, terdiri dari 1 input tetap (jumlah upaya masingmasing alat tangkap) ; λj, tingkat penggunaaan input variabel ke-n ; zj, intensitas penggunaan variabel.
52
Untuk menduga efisiensi teknis dari masing-masing alat tangkap dan efisiensi teknis saat ini dari setiap kapal (jangka pendek) menggunakan pendekatan maksimisasi output (output oriented), hal ini untuk mengetahui jenis alat tangkap mana yang paling efisien (diasumsikan terdapat J jenis alat tangkap, dimana j = 1,2,...J) sebagai input (effort, alat tangkap) dengan 1 output berupa hasil tangkapan.
Untuk efisiensi dalam jangka pendek, dilakukan dengan
membandingkan efisiensi antar kapal. Pada analisis ini yang menjadi decision making units (DMU)-nya adalah kapal/perahu jaring insang dasar dengan variabel inputnya adalah lama waktu penangkapan, jumlah trip per bulan, ukuran kapal (GT) dan biaya operasional.
Variabel output yang digunakan adalah hasil
tangkapan (catch) dan keuntungan dengan menggunakan asumsi model variable return to scale (VRS) yang diformulasikan
TE = Max θ J
θ u j ≤ ∑ z j u j ∀m
.............................................. (17)
j =1
J
∑z x j =1
jn
j
=1
J
∑z j =1 J
∑z x j =1
≤ x jn , n ∈ α
j
j
jn
= λ j x jn , n ∈αˆ
z j ≥ 0, λ jn ≥ 0, j = 1, 2,..., J , n = 1, 2,..., N
Dimana j = 1,2, ...., J adalah jumlah kapal/perahu yang diobservasi sebagai decision making units. Dengan demikian terdapat 30 jaring insang dasar, 8 rawai tetap, 8 bubu dan 55 pancing dasar yang diobservasi. Keterangan : TE, efisiensi teknis untuk tahun ke j ; θ , nilai pengukuran untuk setiap observasi (≥1) ; uj , output untuk tahun ke-j yaitu 2 output (hasil tangkapan dan biaya operasional) ; xjn, input ke-n yang digunakan, terdiri dari 1 input tetap (jumlah upaya masing-masing alat tangkap, n = 4) ; λj, tingkat penggunaaan input variabel ke-n ; zj, intensitas penggunaan variabel.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Kondisi Oseanografi Perairan Kepulauan Togean Pengukuran oseanografi pada masing-masing stasiun pengamatan untuk
memperoleh informasi tentang suhu, salinitas, kecerahan, arus laut dan kelimpahan fito-zooplankton.
Disamping itu data tentang sebaran klorofil-a dan suhu
permukaan laut (SPL) di daerah penelitian (Kepulauan Togean) pada musim barat (penelitian dilakukan) dan timur di download dari citra satelit Aqua MODIS. Lokasi sampling oseanografi di perairan sekitar Kepulauan Togean ditunjukkan seperti pada Gambar 9. Sampling oseanografi yang terdiri dari 16 stasiun kemudian dibagi menjadi 4 zona. Zona 1 (stasiun 1-4), zona 2 (stasiun 5-8), zona 3 (stasiun 9-13) dan zona 4 (stasiun 14-16). Secara rinci hasil pengukuran dan pembahasan dapat dijelaskan sebagai berikut.
4.1.1
Suhu Umumnya suhu dipergunakan sebagai indikator untuk menentukan
perubahan ekologi.
Hal tersebut tidak saja menyangkut suhu dan daerah
fluktuasinya, akan tetapi juga menyangkut gradien horizontal dan vertikalnya, variasi dari suatu tempat ke tempat lain dimana suhu tersebut dipakai sebagai indikator ekologi baik secara langsung maupun tidak langsung (Nontji 1984). Pengaruh langsung karena reaksi kimia enzimatik yang berperan dalam proses fotosintesis dikendalikan oleh suhu. Pengaruh suhu tak langsung ialah karena suhu akan menentukan struktur hidrologis suatu perairan, yang mempengaruhi distribusi fitoplankton.
Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam
mengatur seluruh proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital (metabolisme) hanya berfungsi dalam kisaran suhu tertentu (biasanya 0 – 40 0C). Aktivitas, metabolisme dan penyebaran ikan banyak dipengaruhi oleh suhu air laut tersebut. Ikan akan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun hanya sebesar 0,03 0C (Gunarso 1985).
54
0.2 4
5
3
SKALA 1 : 1 000 000
80
Zona 1
Lintang Selatan
P.Melingi P.Taloeh
6
51
P.Waleakodi
P.Langkara 2 P.Tongkabu P.Pangempan
12 71
79
10
P.Waleabahi 59
Zona 2 7
51
1 13 81
0.4
11
Talatakoh
TOGIAN 26
Zona 3
9 80
8
Benteng
P.Teloga
53
Batudaka
14
Zona 4
16
15 200
62
Palada
41
43
200
1162
1785
Stasiun Oseanografi 1140
45
1 to 16
0.6 121.8
122.0
122.2
122.4
Bujur Timur
Gambar 9 Lokasi stasiun sampling oseanografi (Desember 2004)
Setiap perairan mempunyai standar suhu rata-rata untuk musim tertentu. Jika suhu pada tempat tersebut lebih tinggi dari standar yang berlaku, atau malah melebihi suhu optimum untuk dilakukan penangkapan sebaiknya untuk mencari daerah penangkapan dengan suhu yang lebih sesuai untuk dilakukan penangkapan. Suhu sangat berperan penting dalam pengkajian target strength di laut.
Suhu berubah dengan bertambahnya kedalaman, umumnya suhu akan
menurun bila kedalaman perairan tersebut semakin bertambah atau semakin dalam (Laevastu dan Hayes 1981). Penurunan suhu ini diantaranya dapat disebabkan oleh energi radiasi matahari yang secara langsung memanaskan lapisan permukaan akan semakin berkurang intensitasnya seiring dengan bertambahnya kedalaman. Sebaran suhu di perairan sekitar Kepulauan Togean secara vertikal mempunyai nilai yang berkisar antara 30,63 0C di permukaan sampai dengan 26,70 0C pada kedalaman 45 meter. Secara umum nilai suhu semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman, hal ini disebabkan oleh penetrasi cahaya matahari yang juga semakin berkurang nilai intensitasnya. Hubungan suhu dan kedalaman seperti yang diuraikan sebelumnya, ditunjukkan pada Gambar 10.
55
Suhu (°C) 26
28
30
32
0
St s. 1
10
St s. 2
Kedalaman (m)
St s. 3 St s. 4
20
St s. 5 St s. 6 St s. 7 St s. 8
30
St s. 9 St s. 10 St s. 11
40
St s. 12 St s. 13 St s. 14
50
St s. 15 St s. 16
Gambar 10 Hubungan suhu dan kedalaman perairan pada musim barat Pengukuran suhu ini dilakukan pada musim barat (Desember 2004) dengan menggunkan valeport current meter tipe 308 CTD. Musim barat terjadi pada bulan Desember – Pebruari. Biasanya pada musim barat keadaan perairan di sekitar Kepulauan Togean relatif tenang dari hempasan angin dan gelombang. Hasil pengukuran suhu pada musim timur fluktuasinya tidak berbeda jauh dengan pada saat musim barat yakni berkisar antara 270C – 300C dengan suhu rata-rata 28,50C. Pengukuran suhu yang dilakukan pada musim barat untuk setiap stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 11. 31 30.5
Suhu (°C)
30 29.5 29 28.5 28 27.5 27 26.5 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16
Stasiun 0m
10 m
20 m
30 m
40 m
45 m
Gambar 11 Keadaan suhu perairan untuk masing-masing stasiun oseanografi pada musim barat (Desember 2004)
56
Gambar 11 menginformasikan bahwa suhu perairan tertinggi terdapat pada stasiun 10 sebesar 30,63 0C dan suhu terendah juga terdapat pada stasiun 10 dengan nilai 26,70 0C. Apabila dilihat dari nilai perubahan suhu pada setiap stasiun pengamatan per kedalaman perairan, maka dapat dikatakan bahwa di perairan sekitar Kepulauan Togean tidak didapatkan daerah termoklin karena pada daerah tidak terjadi perubahan suhu yang menyolok pada setiap stasiun pengamatan. Dimana menurut Dahuri (2003) termoklin adalah suatu lapisan masa air yang bersifat permanen yang terdapat di laut dan danau yang menunjukkan penurunan suhu secara drastis dan memisahkan masa air yang lebih hangat (epilimnion) dibagian atas dan lapisan masa air yang lebih dingin (hypolimnion) di bagian bawah.
4.1.2
Salinitas Satuan dari salinitas menurut Komisi Internasional dari PBB (UNESCO)
adalah psu (practical salinity unit) yang didasarkan atas perbandingan dari nilai konduktivitas. Kondisi salinitas seluruh stasiun di perairan sekitar Kepulauan Togean berdasarkan kedalaman disajikan pada Gambar 12. Salinitas (psu) 34.1 0
34.4
34.7
35
St. 1 St. 2
10
St. 3 St. 4
Kedalaman (m)
St. 5
20
St. 6 St. 7 St. 8
30
St. 9 St. 10 St. 11
40
St. 12 St. 13 St. 14
50
St. 15 St. 16
Gambar 12 Hubungan salinitas dan kedalaman perairan pada musim barat
57
Hubungan antara salinitas dan kedalaman sebagaimana ditunjukan pada Gambar 12 di atas dapat dikatakan bahwa salinitas akan semakin tinggi dengan bertambahnya kedalaman.
Pengukuran ini dilakukan pada saat musim barat,
dimana pada musim barat tersebut curah hujan disekitar perairan Kepulauan Togean cukup tinggi. Tingginya curah hujan, maka lapisan permukaan sering mendapat pasokan air tawar sehingga nilai salinitas pada lapisan permukaan relatif kecil. Untuk setiap stasiun pengamatan sebaran salinitas ditunjukkan pada Gambar 13. 35
Salinitas (psu)
34.9 34.8 34.7 34.6 34.5 34.4 34.3 34.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16
Stasiun 0m
10 m
20 m
30 m
40 m
45 m
Gambar 13 Sebaran salinitas pada setiap stasiun pengamatan pada musim barat Pada setiap stasiun pengamatan, peningkatan salinitas cukup bervariasi namun secara garis besar peningkatannya berkisar antara 34,3 psu sampai 34,95 psu. Salinitas memiliki sifat yang berbanding terbalik dengan suhu. Salinitas merupakan salah satu parameter oseanografi yang relatif konstan nilainya. Gambaran salinitas di atas menginformasikan bahwa besar kecilnya fluktuasi nilai salinitas diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya oleh pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi) dan adanya aliran sungai (run off). Disamping itu, gambaran tersebut menunjukkan bahwa salinitas pada perairan sisi kanan bawah sekitar Kepulauan Togean cenderung sedikit lebih tinggi dibanding sisi atas Kepulauan Togean.
58
4.1.3
Kecerahan air Pengukuran kecerahan air dengan menurunkan secchi disk ke dalam
perairan sampai pada jarak yang tidak dapat terlihat oleh mata, kemudian menarik secchi disk ke atas sampai terlihat kembali oleh mata. Kecerahan air dihitung berdasarkan rata-rata jarak waktu secchi disk diturunkan sampai tidak terlihat dan jarak pada saat secchi disk terlihat kembali pada waktu ditarik ke atas. Hasil perhitungan tadi selanjutnya disajikan pada Gambar 14 berikut ini.
Stasiun 1
3
4
5
8
9
10
11
13
14
15
16
0
Kedalaman (m)
5 7
10 15 18
20 25
18 21
24
21 24 27
26
21 25
24
30
Gambar 14 Kecerahan air untuk beberapa stasiun pengamatan Secara umum dari Gambar 14 di atas tercatat bahwa tingkat kecerahan air rata-rata di perairan sekitar Kepulauan Togean cukup tinggi (> 20 m). Tingginya tingkat kecerahan air rata-rata ini menandakan bahwa penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan cukup baik, sehingga hal ini akan lebih mempersubur perairan tersebut.
Produsen primer (fitoplankton) berkembang dengan baik sehingga
mampu menyediakan makanan dalam sistem rantai makanan selanjutnya.
59
4.1.4
Arus
Sebagai salah satu parameter penting dalam lingkungan laut, keberadaan arus ini menentukan struktur kondisi fisik perairan yang akan berpengaruh pada struktur komunitas hewan atau tumbuhan yang terdapat pada lokasi perairan tersebut. Arus berperan dalam penyebaran parameter-parameter fisik dan kimia perairan dan menjadi faktor penentu keberadaan dan distribusi organisme laut. Disamping keberadaannya menyebarkan materi-materi penting yang menunjang kelangsungan hidup organisme laut, arus juga membawa polutan-polutan yang merugikan ekosistem arus laut sehingga menyebabkan suatu perairan tercemar. Bertiupnya angin dapat mengakibatkan terjadinya arus laut, sehingga akibat yang ditimbulkan angin tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi organisme laut yang rentan terhadap arus. Hasil pengukuran arah dan kecepatan angin sesaat di perairan sekitar Kepulauan Togean disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Arah dan kecepatan angin sesaat di perairan sekitar Kepulauan Togean pada musim barat (Desember 2004) Stasiun 1 2 3 4 6 8 9 10 11 13 14 15 16
Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS) 121087’ 0032’ 121098’ 0028’ 0 122 10’ 0020’ 0 122 22’ 0018’ 122037’ 0024’ 0 122 39’ 0039’ 0 122 32’ 0033’ 122027’ 0027’ 0 122 23’ 0037’ 122017’ 0033’ 0 122 18’ 0043’ 0 122 07’ 0047’ 121092’ 0044’
Arah -240 -235 -140 -240 -175 -240 -330 -155 -150 -230 -285 -270 -330
Kec. (m/det) 2 3.2 2.7 0.7 0.5 5.7 0.3 0.3 0.3 0.7 6.5 1.7 1.2
Sumber : Data primer hasil pengukuran, 2004 (diolah) Angin yang paling utama berhembus di perairan Indonesia menurut Nontji (2002) adalah angin monsoon yang dalam setahun terjadi dua pembalikan arah yang disebut angin musim barat dan angin musim timur. Data hasil pengukuran pada Tabel 5 diplot dalam peta dalam Gambar 15.
60
0.2
0.7 m/det 2.7 m/det SKALA 1 : 1 000 000
0.5 m/det
Zona 1
Zona 2
0.3 m/det
Lintang Selatan
3.2 m/det 2.0 m/det 0.7 m/det
0.3 m/det 0.3 m/det
0.4
Zona 3
5.7 m/det
6.5 m/det 1.2 m/det
Zona 4
1.7 m/det 200
200
0.6 121.8
122.0
122.2
122.4
Bujur Timur
Gambar 15 Arah dan kecepatan angin sesaat di lokasi penelitian Hasil pengukur arah dan kecepatan angin sesaat di lokasi penelitian (Gambar 15) menginformasikan bahwa kecenderungan arah angin bergerak dari barat ke timur dengan kecepatan angin sesaat tersebut
bervariasi mulai dari
kecepatan 0,3 m/det sampai dengan 6,5 m/det. Kecepatan angin sesaat pada zona 1 berkisar antara 0,7 m/det. sampai 3,2 m/det.; zona 2, antara 0,5 m/det sampai 5,7m/det.; zona 3, antara 0,3 m/det. sampai 0,7 m/det.; dan zona 4, antara 1,2 m/det. sampai 6,5 m/det. Keadaan ini hanya terjadi pada musim barat (Desember – Pebruari). Meskipun pada bulan-bulan selanjutnya tidak dilakukan pengukuran kecepatan angin, namun informasi yang diperoleh dari nelayan Kepulauan Togean bahwa kecepatan angin pada musim barat relatif stabil dibanding kecepatan angin pada bulan Maret – Mei (musim peralihan I) dan pada bulan Juni – Agustus (musim timur). Pada musim barat nelayan Kepulauan Togean lebih leluasa untuk melakukan operasi penangkapan ikan oleh karena keadaan perairan relatif tenang meskipun curah hujan cukup tinggi. Sebaliknya pada musim-musim selanjutnya (peralihan I – timur) keadaan perairan agak bergelombang yang disertai dengan angin yang cukup kuat sehingga nelayan agak sulit dalam mengoperasikan alat tangkapnya. Sehingga kecenderungan nelayan yang menangkap ikan demersal
61
pada musim peralihan I sampai musim timur (Maret – Agustus) melakukan operasi penangkapan ikan pada bagian barat dan selatan dari Kepulauan Togean. Hasil pengukuran arus yang dilakukan pada bulan Desember 2004 (musim barat), arah dan kecepatan arus untuk masing-masing kedalaman (0 m, 10 m, 20m, 30 m, 40 m, dan 50 m) ditunjukkan berturut-turut pada Gambar 16. 0.2
0.2 0.11
0.21
0.07
0.15
SKALA 1 : 1 000 000
80
0.23
0.13 80
SKALA 1 : 1 000 000
Zona 1 79
0.07 71
59
0.13
0.09
Zona 3
0.4
80
0.05 26
0.30
0.4
0.4
62
43
200
0.23
0.17
0.32
Zona 4 41
200
1162
62
1140
122.0
0.33
200
1785 1140
45
Kedalaman 0 m
122.2
43
200 1162
1785
45
0.6 121.8
80
0.22
53
41
0.19
0.13
26
0.22
Zona 4
0.13
Zona 3
0.15
81
53
0.13
Zona 2
59
51
0.17 81
0.092
71
0.07
51
Lintang Selatan
79
0.11 0.28
0.02
0.049
51
Zona 2
Lintang Selatan
0.22
Zona 1
0.09
51
0.6
121.8
122.4
122.0
Kedalaman 10 m
122.2
122.4
Bujur Timur
Bujur Timur
0.2
0.2
0.50m/det 0.13m/det
Zona 1
0.34m/det
0.13m/det
80
0.09m/det
SKALA 1 : 1 000 000
Zona 1
0.22m/det
51
0.51m/det
80
SKALA 1 : 1 000 000 0.49m/det
51 79
79
0.09m/det 0.45m/det
71
59
0.24m/det
0.46m/det
51
Lintang Selatan
0.04m/det
Zona 2
0.30m/det 0.54m/det
81
0.4
0.53m/det 80
0.15m/det 26
0.11m/det
Zona 3
0.34m/det
71
81
0.22m/det
Zona 4
0.21m/det
200
0.30m/det
41 200
1162
1785
45
1140
122.0
43
200
62
1785
45
121.8
80
Zona 3 53
1162
0.6
0.34m/det 0.17m/det
26
41 43
200
0.11m/det
0.4
0.24m/det
Zona 4
62
0.26m/det
0.33m/det
53
0.17m/det
Zona 2
59
51
Lintang Selatan
0.21m/det
1140
Kedalaman 30 m
Kedalaman 20 m
122.2
0.6 121.8
122.4
122.0
122.2
Bujur Timur
122.4
Bujur Timur
0.2
0.2 0.58m/det
0.15m/det
80
80
SKALA 1 : 1 000 000
SKALA 1 : 1 000 000
Zona 1 Zona 1
0.24m/det
51
51 79
79 71
59
0.12m/det
Lintang Selatan
81
0.07m/det
0.4
0.29m/det 0.52m/det
26
80
Zona 3
0.02m/det
81
43
0.28m/det
Zona 4
41 62
200
45
1140
122.2
Bujur Timur
43
0.20m/det
41 200
1785 1140
45
Kedalaman 40 m 122.4
200 1162
1785
122.0
80
Zona 3 53
1162
0.6 121.8
0.38m/det 0.11m/det
0.17m/det 26
0.53m/det
200
62
0.30m/det
0.11m/det
0.4
53
Zona 4
Zona 2
59
51
Lintang Selatan
0.21m/det
0.07m/det
Zona 2
0.04m/det 71 51
0.6 121.8
122.0
122.2
Kedalaman 50 m 122.4
Bujur Timur
Gambar 16 Kecepatan dan arah arus pada musim barat untuk masing-masing kedalaman Secara umum Gambar 16 di atas menunjukkan bahwa arus laut bergerak menuju arah barat di sekitar Kepulauan Togean. Hal ini dimungkinkan karena, arus yang masuk dari arah timur ke Teluk Tomini cukup kuat pada saat musim barat. Meskipun demikian, kecepatan arus pada setiap kedalaman berbeda satu
62
sama lainnya. Hasil pengukuran kecepatan arus berdasarkan kedalaman perairan pada musim barat disajikan pada Gambar 17. Kec. Arus (m/det) 0
0.2
0.4
0.6
0
Kedalaman (m)
10
20
30
40
50
Gambar 17 Pola kecepatan arus berdasarkan kedalaman Berdasarkan Gambar 17 dapat diinformasikan bahwa variasi nilai minimum dan maximum kecepatan arus cukup besar pada masing-masing kedalaman. Meskipun variasi nilai minimum dan maximum cukup besar namun kecepatan arus rata-rata masih tergolong arus dengan kekuatan lemah (< 0,35 m/det).
4.1.5
Kelimpahan plankton Istilah plankton berasal dari kata Yunani yang berarti pengembara.
Organisme ini biasanya relatif kecil atau mikroskopis.
Hidup mereka selalu
terapung atau melayang dan daya geraknya tergantung pada arus atau pergerakan air. Namun demikian ada juga plankton yang mempunyai daya renang cukup kuat, sehingga dapat melakukan migrasi harian
(Arinardi 1995).
Nilai
produktivitas plankton secara langsung banyak dipengaruhi oleh komposisi jenis fitoplankton, yang selanjutnya dapat menentukan besar/kecilnya daya dukung perairan terhadap kehidupan biota di dalamnya (Wiadnyana 1999).
63
0.2 4
5
3
SKALA 1 : 1 000 000
Zona 1 6
Zona 2
10
Lintang Selatan
2
12 7
1 13
Zona 3
0.4
9
11 8
16
14
Zona 4 15
200
200
: Fitoplankton : Zooplankton 0.6 121.8
122.0
122.2
122.4
Bujur Timur
Gambar 18 Keadaan fitoplankton dan zooplankton pada setiap stasiun pengamatan Berdasarkan Gambar 18, pada zona 1, untuk stasiun pengamatan 1,3 dan 4 memiliki rasio jumlah fitoplankton lebih besar zooplankton, sebaliknya pada stasiun 2 zooplankton lebih dominan. Zona 2, zooplakton lebih dominan dari fitoplankton (stasiun pengamatan 5,7 dan 8) sedangkan pada stasiun 6 fitoplankton lebih dominan. Hampir seluruh stasiun pada zona 3 didominasi oleh zooplankton, hanya pada stasiun 10 saja fitoplankton lebih dominan dari zooplankton. Pada zona 4, fitoplankton lebih dominan dari zooplankton. Lebih rinci perbandingan antara fitoplankton dan zooplankton pada masing-masing
sel/liter
stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 19. 12000
fito
10000
zoo
8000 6000 4000 2000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Stasiun
Gambar 19 Kelimpahan plankton (zoo dan phyto) pada tiap stasiun pengamatan
65
Gambar 19 menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton mendominasi keberadaan zooplankton pada semua stasiun pengamatan.
Wiadnyana (1999)
melaporkan bahwa nilai produktivitas plankton secara langsung banyak dipengaruhi oleh komposisi jenis fitoplankton, yang selanjutnya dapat menentukan besar/kecilnya daya dukung perairan terhadap kehidupan biota di dalamnya. Dalam sistem kehidupan akuatik, zooplankton merupakan konsumer pertama yang memanfaatkan produksi primer yang dihasilkan oleh organisme fitoplanktonik. Karena fitoplankton merupakan produsen tingkat pertama dalam sistem rantai makanan, maka kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan di sekitar Kepulauan Togean tergolong perairan yang cukup subur. Hal ini erat kaitannya dengan kelimpahan fitoplanlton, dimana fitoplankton yang merupakan produsen primer akan dimakan oleh zooplankton, dan zooplankton juga akan dimakan oleh hewan yang berada pada tropik
level yang lebih tinggi.
Keberadaan zooplankton di perairan banyak terkait dengan fitoplankton. Fitoplankton yang mengandung klorofil-a merupakan pigmen penting dalam proses fotosintesis. Kandungan klorofil-a ini dapat dideteksi dari sensor satelit yang bekerja pada panjang gelombang sinar tampak. Pola distribusi konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) dapat digunakan untuk melihat fenomena oseanografi seperti upwelling, front dan pola arus permukaan. Daerah dimana terjadinya fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur.
66
4.1.3
Pembahasan Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dengan adanya berbagai
kondisi lingkungan perairan dan fluktuasi keadaan lingkungan tersebut. Interaksi antara berbagai faktor lingkungan tersebut terhadap ikan senantiasa berubah. Faktor-faktor ini meliputi faktor fisik, kimia dan biologi lingkungan. Faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya ikan adalah suhu dan salinitas.
Kedua faktor ini menarik untuk diamati karena berperan dalam
kelangsungan hidup ikan. Adanya perubahan baik suhu maupun salinitas akan mempengaruhi keadaan organisme di suatu perairan (Laevastu and Hayes, 1982). Suhu air merupakan faktor lingkungan yang paling mudah diselidiki. Oleh karena itu, banyak peneliti yang berusaha menghubungkan antara sifat ikan dengan suhu air laut dan turun naiknya suhu perairan. Perubahan-perubahan seperti itu di lingkungan laut seringkali hanya merupakan perubahan yang terkait dengan faktor lain seprti arus, dimana pengaruhnya secara langsung perlu dipertimbangkan, sedangkan pengaruh nyata dari suhu mungkin terbatas. Meskipun demikian, sebagian besar kasus suhu merupakan indikator yang penting untuk menunjukkan perubahan kondisi ekologi. Lebih-lebih fluktuasi suhu baik secara vertikal maupun horizontal yang berubah dari suatu tempat ke tempat lain yang harus dipertimbangkan pada saat menggunakan suhu sebagai indikator ekologi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola sebaran suhu secara vertikal lebih berpengaruh terhadap kelimpahan dan pola penyebaran ikan dibanding dengan pola sebaran suhu secara horizontal karena nilai fluktuasi suhu secara vertikal relatif lebih tinggi. Sebaran suhu di perairan sekitar Kepulauan Togean secara vertikal mempunyai nilai yang berkisar antara 30,63 0C dipermukaan sampai dengan 26,70 0C pada kedalaman 50 meter. Jadi, terdapat stratifikasi suhu yang secara umum nilai suhu semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman, hal ini disebabkan oleh penetrasi cahaya matahari yang juga semakin berkurang nilai intensitasnya. Sulvian (1954) menyatakan bahwa ikan-ikan memilih suhu tertentu karena pengaruh gerak/aktivitas yang sama, dan disimpulkan bahwa perubahan suhu mungkin menyebabkan aksi pada ikan : (1) sebagai dorongan saraf; (2) sebagai perubahan proses metabolisme dan atau (3) sebagai perubahan aktivitas tubuhnya.
67
Bentuk pengaruh suhu terhadap ikan diwujudkan dalam berbagai macam cara, seperti suhu mempengaruhi aktivitas dan pergerakan tubuh.
Suhu rendah
mungkin menyebabkan lolosnya ikan dari alat tangkap, dan juga kemampuan ikan untuk menangkap makanan yang bergerak. Suhu juga menyebabkan distribusi regional ikan muda dan dewasa karena mereka memiliki toleransi dan preferensi suhu yang berbeda (Alverson, Pruter and Ronhoft 1964). Pergerakan onshore dan offshore ikan demersal mungkin juga dipicu oleh suhu (King 1995 dan Hall 2000). Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan, aktivitas dan mobilitas gerakan, ruaya penyebaran dan kelimpahan serta pemijahan. Perubahan suhu perairan di bawah suhu normal/suhu optimal menyebabkan penurunan aktivitas gerakan dan aktivitas makan serta menghambat berlangsungnya proses pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah besar ukuran dan semakin tua umur ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu lebih rendah di perairan yang lebih dalam. Suhu merupakan controling factor (faktor pengendali) bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evans, 1984). Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme di laut. Suhu terkadang menjadi koordinat yang baik dari koordinat geografik dalam melokalisasi (tempat) ikan, karena sebaran suhu secara harizontal dapat menjadi informasi yang sangat berguna bagi bidang perikanan khususnya pada bidang perikanan tangkap. Disamping itu, Gunarso (1985) mencatat bahwa suhu perairan berpengaruh pada cara dan kebiasaan makan dari ikan, pemijahan, kelimpahan, ruaya dan pengelompokan ikan. Hasil pengukuran suhu yang diperoleh berdasarkan informasi di atas menunjukkan bahwa lapisan suhu homogen terjadi sampai pada kedalaman sekitar 50 meter, sedangkan perbedaan suhu antar stasiun pada kedalaman 20 dan 30 meter lebih bervariasi dibanding pada kedalaman lainnya. Hubungan suhu terhadap distribusi biomassa ikan demersal diperairan sekitar Kepulauan Togean ditunjukkan pada Gambar 20.
68
0.2
Suhu (°C)
P.Melingi P.Taloeh P.Langkara
Lintang Selatan
29.75
51 79
P.Waleakodi 71
P.Tongkabu P.Pangempan
Zona 2
P.Waleabahi
29.50
59
51
81
0.4
SKALA 1 : 1 000 000
80
Zona 1
29.25
Zona 3 80
Talatakoh
TOGIAN 26
29.00
Benteng
P.Teloga
53
Batudaka
28.75
Zona 4 62
Palada
200
41
Biomassa (ton)
43
45
0.6 121.8
0.004 to 0.016 to 1785to 0.061 0.157 to 0.253 to
1162 1140
122.0
122.2
0.016 0.061 0.157 0.253 1.336
200
28.50
122.4
Bujur Timur
Gambar 20 Hubungan suhu dan distribusi biomassa ikan demersal Gambar 20, di atas menunjukkan bahwa distribusi biomassa ikan demersal di perairan sekitar Kepulauan Togean pada zona 1 berada pada suhu sekitar 29,00 – 29,75 0C dengan densitas antara 0,06-0,16 ton; zona 2 dengan kisaran suhu antara 28,50 – 28,75 0C memiliki densitas antara 0,16-0,25 ton; zona 3 dengan kisaran suhu antara 28,50-29,00 0C merupakan zona yang distribusi biomassa paling tinggi dari keempat zona dengan densitas antara 0,25-1,34 ton dan zona 4 dengan kisaran suhu antara 28,75-29,75 memiliki densitas antara 0,06-0,16 ton. Tergambar pula bahwa semakin tinggi suhu maka distribusi densitas ikan demersal makin menurun. Biomassa ikan demersal pada kisaran suhu tersebut dapat dikatakan densitasnya cukup tinggi (0,25-1,33 ton).
Wootton (1992)
menyatakan bahwa distribusi densitas ikan demersal berkurang dengan meningkatnya temperatur perairan karena ikan demersal lebih menyukai perairan yang bersuhu rendah. Salinitas
merupakan
salah
satu
faktor
oseanografi
yang
dapat
mempengaruhi sebaran organisme di laut. Salinitas dapat mempengaruhi tekanan osmotik tubuh organisme laut termasuk ikan. Ikan akan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik mereka masing-masing. Beberapa organisme yang dapat bertahan dengan perubahan
69
salinitas yang besar (euryhaline) dan ada pula yang hidup pada perubahan salinitas yang sempit (stenohaline). Demikian pula hal sebaliknya terjadi pada salinitas terhadap distribusi biomassa ikan demersal. Dampak yang ditimbulkan akibat perbedaan salinitas ini sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 21.
Secara umum salinitas di
perairan sekitar Kepulauan Togean memperlihatkan adanya peningkatan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada setiap zona, peningkatan salinitas cukup bervariasi namun secara garis besar peningkatannya berkisar antara 34,30 psu sampai dengan 34,95 psu. Semakin bertambahnya kedalaman perairan maka nilai salinitas semakin tinggi dengan nilai perubahan yang relatif kecil. Salinitas di samping mempengaruhi ruaya dan kelimpahan juga berpengaruh terhadap perkembangan dan keberhasilan penetasan telur ikan. Hubungan salinitas dan distribusi densitas ikan demersal disajikan pada Gambar 21. Salinitas (psu)
0.2 80
Zona 1
34.78 P.Melingi P.Taloeh
51 79
P.Waleakodi
P.Langkara
Lintang Selatan
SKALA 1 : 1 000 000
Zona 2 34.70
71
P.Tongkabu P.Pangempan
P.Waleabahi 59
51
Zona 3
81
34.61
0.4
80
Talatakoh
TOGIAN 26
Benteng
P.Teloga
53
34.52
Batudaka
Zona 4 Palada
41 200
62
Biomassa (ton)
43
1162 45
0.6 121.8
1140
122.0
122.2
0.0 to 0.0 to 1785 0.1 to 0.2 to 0.3 to
200
34.44
0.0 0.1 0.2 0.3 1.3
122.4
Bujur Timur
Gambar 21 Hubungan salinitas dan distribusi biomassa ikan demersal Gambar 21 menginformasikan bahwa hubungan antara salinitas dan distribusi biomassa ikan demersal berdasarkan
di perairan sekitar Kepulauan Togean
empat zona yang ditentukan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kisaran salinitas pada zona 1 antara 34,44-34,61 psu dengan distribusi biomassa antara 0,06-0,25 ton, zona 2 dengan kisaran salinitas antara 34,70-34,78 memiliki distribusi biomassa antara 0,16-0,25 ton. Zona 3 merupakan zona yang meliliki
70
densitas distribusi biomassa ikan demersal tertinggi dari semua zona. Salinitas pada zona ini berkisar antara 34,61-34,70 psu dengan distribusi biomassa pada kisaran salinitas ini berkisar antara 0,16-1,34 ton, hal ini menunjukkan bahwa wilayah di sekitar Kepulauan Togean dengan kisaran salinitas tersebut distribusi biomassanya cukup baik. Sama seperti pada zona 1, kisaran salinitas pada zona 4 antara 34,44-34,61 psu dengan distribusi biomassa antara 0,06-0,25 ton. Kecerahan merupakan gambaran penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan, sehingga kecerahan dapat digunakan untuk menggambarkan partikel tersuspensi suatu perairan. Suatu perairan dikatakan keruh jika memiliki nilai kecerahan rendah dan sebaliknya perairan dikatakan jernih jika nilai kecerahan tinggi.
Kekeruhan yang disebabkan oleh partikel lumpur tidak
dikehendaki karena dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan dan juga dapat mengganggu organisme yang hidup di dalamnya. Makin cerah suatu perairan maka semakin jauh penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan tersebut sehingga mempengaruhi kehidupan organisme laut (contoh : terumbu karang dan padang lamun). Organisme karang untuk pertumbuhannya (proses fotosintesis) menjadi lebih baik jika nilai kecerahan perairan tinggi. Demikian pula halnya dengan padang lamun membutuhkan cahaya matahari untuk perkembangannya. Apabila organisme karang dan padang lamun berkembang dengan baik karena kecerahan air, maka hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak yang positif pada keberadaan ikan demersal yang dalam siklus hidupnya tergantung pada karang dan padang lamun. Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut, dan pasang surut (Nontji 2002). Gerakan arus laut merupakan resultan dari beberapa gaya yang bekerja serta pengaruh dari beberapa faktor. Gross (1990) menyatakan ada dua jenis gaya yang bekerja atau berpengaruh sehingga terjadinya arus yaitu gaya eksternal dan internal.
Gaya eksternal antara lain angin, perbedaan tekanan udara, gaya
gravitasi, gaya tektonik serta gaya tarik matahari dan bulan yang dipengaruhi oleh tekanan dasar laut. Gaya internal antara lain perbedaan densitas air laut, gradien tekanan mendatar dan gesekan lapisan air. Arus mempengaruhi penyebaran
71
organisme laut seperti plankton yang hidup melayang di bawah permukaan air dan mempunyai kemampuan gerak terbatas, sehingga selalu terbawa oleh arus (Nybakken 1992). Meskipun secara umum arah arus di Kepulaun Togean menuju ke arah barat, namun kecepatan arus tersebut berbeda untuk masing-masing kedalaman. Pada kedalaman 0 m, untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara 0,11 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,16 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,07 m/det sampai 0,30 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,18 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,02 m/det sampai 0,13 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,07 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,13 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,17 m/det. Kedalaman 10 m untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara 0,21 m/det sampai 0,4 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,31 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,05 m/det sampai 0,23 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,14 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,09 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,15 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,17 m/det sampai 0,33 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,25 m/det. Kedalaman 20 m, untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara 0,13 m/det sampai 0,50 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,31 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,11 m/det sampai 0,46 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,28 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,09 m/det sampai 0,54 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,31 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,17 m/det sampai 0,24 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,20 m/det. Kedalaman 30 m, untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara 0,09 m/det sampai 0,34 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,21 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,26 m/det sampai 0,51 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,38 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,04 m/det sampai 0,34 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,19 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,22 m/det sampai 0,30 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,26 m/det Kedalaman 40 m, untuk zona 1 karena kedalaman perairan kurang dari 40 meter maka pengukuran kecepatan untuk zona ini tidak dilakukan; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,12 m/det sampai 0,58 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,35 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,04 m/det sampai 0,52 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,29 m/det; zona 5 kecepatan arus berkisar antara 0,30 m/det
72
sampai 0,53 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,41 m/det. Kedalaman 50 m, untuk zona 1 dan 2 karena kedalaman perairan kurang dari 50 m, pengukuran kecepatan arus untuk kedua zona ini tidak dilakukan; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,02 m/det sampai 0,17 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,09 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,20 m/det sampai 0,28 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,24 m/det. Kecepatan arus mempunyai peran penting dalam pengoperasian suatu alat tangkap ikan baik pada saat penawuran (setting), posisi alat tangkap dalam perairan dan pada saat penarikan (hauling). Pada saat setting, apabila kecepatan arus terlalu besar maka akan menyebabkan alat tangkap tidak tepat pada posisi yang diinginkan. Selanjutnya, posisi alat tangkap dalam perairan akan tidak stabil apabila kecepatan arus terlalu besar, misalnya posisi jaring insang dasar tidak akan berdiri tegak seperti yang diharapkan. Demikian pula pada saat hauling, alat tangkap akan terpuntal atau kusut. Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan arus pada dasar perairan di Kepulauan Togean diperoleh kecepatan arus rata-rata 0,2 m/det. Nilai tersebut tergolong dalam kecepatan arus lemah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kecepatan arus pada musim itu baik untuk kegiatan operasi penangkapan ikan demersal. Kelimpahan plankton dalam suatu perairan merupakan indikator bahwa perairan tersebut subur. Namun sebaliknya apabila kelimpahan plankton ini di suatu perairan berlebihan, maka perairan tersebut menjadi tidak subur lagi (Romimohtarto dan Juwana 1999).
Karena plankton yang secara tiba-tiba
melimpah (blooming) akan menjadi racun untuk organisme lain (ikan). Kelimpahan plankton yang diperoleh di Kepulauan Togean secara umum dapat dikatakan bahwa perairan tersebut subur. Dinamika perubahan jumlah kelimpahan plankton (zoo dan phyto) untuk setiap stasiun sangat bervariasi, pada stasiun 3, 4 dan 16 jumlah fitoplankton jauh lebih besar (7586-10264 sel/liter) dibanding dengan zooplankton pada stasiun-stasiun tersebut yang hanya berkisar antara 6262615 sel/liter, sedangkan untuk stasiun pengamatan lainnya dinamika perubahan kelimpahan jumlah fitoplankton dan zooplankton cukup seimbang. Salah satu sumberdaya hayati yang mempunyai peran dalam ekosistem laut adalah plankton.
Keberadaan plankton sangat mempengaruhi kehidupan
diperairan karena memegang peran penting sebagai makanan bagi berbagai
73
organisme laut. diantara tumbuhan bahari, fitoplankton yang mengikat bagian terbesar dari energi walaupun fitoplankton hanya menghuni suatu lapisan permukaan yang tipis dimana terdapat cukup cahaya matahari. Target ikan demersal yang terdeteksi dalam penelitian ini tidak terlalu dipengaruhi oleh fluktuasi suhu maupun salinitas. Ikan-ikan demersal tidak akan melakukan ruaya hanya karena perubahan fluktuasi suhu dan salinitas karena ikan demersal lebih dipengaruhi oleh kondisi substrat yang mempengaruhi ketersediaan makanan. Jenis substrat dasar perairan juga mempengaruhi jenis hewan laut yang dapat hidup pada atau di dalam dasar laut ini. Bermacam-macam dasar perairan yang umum kita jumpai adalah lumpur, pasir, batu atau cadas dan tumpukan benda buatan manusia (Pujiati 2008). Lingkungan yang terdiri dari lumpur ini menimbulkan masalah bagi hewan-hewan yang hidup di sini, karena partikel-partikel lumpur dapat menembus sistem pernafasan hewan-hewan tersebut dan menyebabkan penyumbatan. Kandungan oksigen di lingkungan ini rendah, karena partikel-partikel lumpur ini padat dan tidak meninggalkan rongga-rongga untuk oksigen berada di lumpur sehingga tidak ada pertukaran oksigen dengan udara.
Zat-zat organik yang
membusuk, yang terdapat disana juga menghabiskan oksigen (Romimohtarto dan Juwana 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pasir mempunyai ukuran partikel yang lebih besar daripada partikel lumpur. Dasar pasir ini memungkinkan air mengalir di antara partikel-partikel pasir sehingga ada pertukaran oksigen sampai lapisan bawah dasar pasir. Gelombang memindahkan pasir saat menuju pantai. Oleh sebab itu hewan yang hidup dilingkungan ini harus dilengkapi dengan kemampuan yang mampu bergerak bersama butiran pasir ataupun merendam dalam di bawah permukaan pasir. Pantai bercadas atau berbatu merupakan lingkungan yang mudah bagi banyak biota laut untuk menyesuaikan diri. Banyaknya kehidupan di lingkungan ini menakjubkan. Ini disebabkan karena banyaknya lingkungan mikro (micro environment), seperti lingkungan-lingkungan yang terdapat pada celah-celah cadas, lubang-lubang, permukaan cadas, kubangan pasut dan sebagainya. Daerah cadas ini memperoleh oksigenasi yang bagus, banyak makanan dan tempat berlindung yang bagus.
74
Data dari satelit selama satu tahun di download dari citra satelit Aqua MODIS yang bersih dari tutupan awan. Setelah data dipesan melalui NASA Goddard Space Flight Center dengan pilihan media FTP (File Transfer Protocol) Pull. Selanjutnya, data MODIS yang sudah diterima dari NASA diolah dengan menggunakan perangkat lunak SeaDAS (SeaWiFS Data Analysis System) 4.7 under Linux. Proses pengolahan data Aqua MODIS dilakukan melalui beberapa tahapan utama yaitu : (1) proses pengolahan level 1 ke level 2; (2) proses koreksi geometrik; dan (3) proses pemotongan citra (cropping). Hasil sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) citra Aqua MODIS pada musim barat disajikan pada Lampiran 1 dan 2. Dari hasil analisis digital-visual terhadap citra komposit klorofil-a secara delapan harian hasil pengolahan citra Aqua MODIS diketahui sebaran konsentrasi klorofil-a di Teluk Tomini bervariasi menurut musim dan lokasi. Secara umum konsentrasi klorofil-a selama satu tahun berkisar antara 0,1113 mg/m3 sampai dengan 0,3496 mg/m3. Nilai konsentrasi klorofil-a hasil pengolahan citra Aqua MODIS menurut musim dan lokasi secara lengkap disajikan pada Gambar 22. Pada musim barat (bulan Desember) dan peralihan 2 (Oktober – Nopember) konsentrasi klorofil-a di dalam Teluk Tomini lebih besar dibanding dengan di luar teluk. Konsentrasi klorofil-a mencapai puncak pada musim timur (Juli – Agustus) sedang terendah pada ditemukan pada musim barat (Nopember – Desember). Lokasi perairan Teluk Tomini bagian luar terlihat memiliki konsentrasi klorofil-a yang lebih tinggi (antara 0,1284 sampai dengan 0,3496 mg/m3) dibanding dengan perairan di dalam Teluk Tomini (antara 0,1113 sampai dengan 0,1866 mg/m3). Nilai SPL perairan Teluk Tomini berdasarkan citra komposit delapan harian Aqua MODIS selama setahun berkisar antara 27,1 – 30,3 0C. SPL paling rendah (27,1 0C) terjadi pada bulan Agustus di perairan bagian luar Teluk Tomini, sedangkan SPL tertinggi (30,3 0C) ditemukan pada bulan Maret di perairan bagian dalam Teluk Tomini. Hasil analisis digital visual terhadap citra satelit terlihat bahwa sepanjang tahun SPL pada bagian dalam teluk lebih hangat dibanding dengan pada bagian luar teluk. Berdasarkan Gambar 22, terlihat bahwa SPL berfluktuasi secara delapan harian dan juga bervariasi menurut region (dalam dan luar teluk). SPL di dalam teluk lebih hangat dibanding dengan di luar teluk.
75
Gambar 22 Grafik fluktuasi konsentrasi rata-rata 8 harian klorofil-a dan SPL Keadaan ini diduga karena perairan di dalam teluk lebih sedikit mendapat pengaruh dari massa air dari luar teluk. Hasil kajian dengan menggunakan citra satelit Aqua MODIS di perairan Kepulauan Togean terhadap suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a yang dilakukan oleh CII (2007) tercatat bahwa distribusi spasial suhu permukaan laut di perairan sebelah utara lebih rendah dari bagian selatan.
65
Gambar 19 menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton mendominasi keberadaan zooplankton pada semua stasiun pengamatan.
Wiadnyana (1999)
melaporkan bahwa nilai produktivitas plankton secara langsung banyak dipengaruhi oleh komposisi jenis fitoplankton, yang selanjutnya dapat menentukan besar/kecilnya daya dukung perairan terhadap kehidupan biota di dalamnya. Dalam sistem kehidupan akuatik, zooplankton merupakan konsumer pertama yang memanfaatkan produksi primer yang dihasilkan oleh organisme fitoplanktonik. Karena fitoplankton merupakan produsen tingkat pertama dalam sistem rantai makanan, maka kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan di sekitar Kepulauan Togean tergolong perairan yang cukup subur. Hal ini erat kaitannya dengan kelimpahan fitoplanlton, dimana fitoplankton yang merupakan produsen primer akan dimakan oleh zooplankton, dan zooplankton juga akan dimakan oleh hewan yang berada pada tropik
level yang lebih tinggi.
Keberadaan zooplankton di perairan banyak terkait dengan fitoplankton. Fitoplankton yang mengandung klorofil-a merupakan pigmen penting dalam proses fotosintesis. Kandungan klorofil-a ini dapat dideteksi dari sensor satelit yang bekerja pada panjang gelombang sinar tampak. Pola distribusi konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) dapat digunakan untuk melihat fenomena oseanografi seperti upwelling, front dan pola arus permukaan. Daerah dimana terjadinya fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur.
66
4.1.3
Pembahasan Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dengan adanya berbagai
kondisi lingkungan perairan dan fluktuasi keadaan lingkungan tersebut. Interaksi antara berbagai faktor lingkungan tersebut terhadap ikan senantiasa berubah. Faktor-faktor ini meliputi faktor fisik, kimia dan biologi lingkungan. Faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya ikan adalah suhu dan salinitas.
Kedua faktor ini menarik untuk diamati karena berperan dalam
kelangsungan hidup ikan. Adanya perubahan baik suhu maupun salinitas akan mempengaruhi keadaan organisme di suatu perairan (Laevastu and Hayes, 1982). Suhu air merupakan faktor lingkungan yang paling mudah diselidiki. Oleh karena itu, banyak peneliti yang berusaha menghubungkan antara sifat ikan dengan suhu air laut dan turun naiknya suhu perairan. Perubahan-perubahan seperti itu di lingkungan laut seringkali hanya merupakan perubahan yang terkait dengan faktor lain seprti arus, dimana pengaruhnya secara langsung perlu dipertimbangkan, sedangkan pengaruh nyata dari suhu mungkin terbatas. Meskipun demikian, sebagian besar kasus suhu merupakan indikator yang penting untuk menunjukkan perubahan kondisi ekologi. Lebih-lebih fluktuasi suhu baik secara vertikal maupun horizontal yang berubah dari suatu tempat ke tempat lain yang harus dipertimbangkan pada saat menggunakan suhu sebagai indikator ekologi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola sebaran suhu secara vertikal lebih berpengaruh terhadap kelimpahan dan pola penyebaran ikan dibanding dengan pola sebaran suhu secara horizontal karena nilai fluktuasi suhu secara vertikal relatif lebih tinggi. Sebaran suhu di perairan sekitar Kepulauan Togean secara vertikal mempunyai nilai yang berkisar antara 30,63 0C dipermukaan sampai dengan 26,70 0C pada kedalaman 50 meter. Jadi, terdapat stratifikasi suhu yang secara umum nilai suhu semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman, hal ini disebabkan oleh penetrasi cahaya matahari yang juga semakin berkurang nilai intensitasnya. Sulvian (1954) menyatakan bahwa ikan-ikan memilih suhu tertentu karena pengaruh gerak/aktivitas yang sama, dan disimpulkan bahwa perubahan suhu mungkin menyebabkan aksi pada ikan : (1) sebagai dorongan saraf; (2) sebagai perubahan proses metabolisme dan atau (3) sebagai perubahan aktivitas tubuhnya.
67
Bentuk pengaruh suhu terhadap ikan diwujudkan dalam berbagai macam cara, seperti suhu mempengaruhi aktivitas dan pergerakan tubuh.
Suhu rendah
mungkin menyebabkan lolosnya ikan dari alat tangkap, dan juga kemampuan ikan untuk menangkap makanan yang bergerak. Suhu juga menyebabkan distribusi regional ikan muda dan dewasa karena mereka memiliki toleransi dan preferensi suhu yang berbeda (Alverson, Pruter and Ronhoft 1964). Pergerakan onshore dan offshore ikan demersal mungkin juga dipicu oleh suhu (King 1995 dan Hall 2000). Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan, aktivitas dan mobilitas gerakan, ruaya penyebaran dan kelimpahan serta pemijahan. Perubahan suhu perairan di bawah suhu normal/suhu optimal menyebabkan penurunan aktivitas gerakan dan aktivitas makan serta menghambat berlangsungnya proses pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah besar ukuran dan semakin tua umur ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu lebih rendah di perairan yang lebih dalam. Suhu merupakan controling factor (faktor pengendali) bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evans, 1984). Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme di laut. Suhu terkadang menjadi koordinat yang baik dari koordinat geografik dalam melokalisasi (tempat) ikan, karena sebaran suhu secara harizontal dapat menjadi informasi yang sangat berguna bagi bidang perikanan khususnya pada bidang perikanan tangkap. Disamping itu, Gunarso (1985) mencatat bahwa suhu perairan berpengaruh pada cara dan kebiasaan makan dari ikan, pemijahan, kelimpahan, ruaya dan pengelompokan ikan. Hasil pengukuran suhu yang diperoleh berdasarkan informasi di atas menunjukkan bahwa lapisan suhu homogen terjadi sampai pada kedalaman sekitar 50 meter, sedangkan perbedaan suhu antar stasiun pada kedalaman 20 dan 30 meter lebih bervariasi dibanding pada kedalaman lainnya. Hubungan suhu terhadap distribusi biomassa ikan demersal diperairan sekitar Kepulauan Togean ditunjukkan pada Gambar 20.
68
0.2
Suhu (°C)
P.Melingi P.Taloeh P.Langkara
Lintang Selatan
29.75
51 79
P.Waleakodi 71
P.Tongkabu P.Pangempan
Zona 2
P.Waleabahi
29.50
59
51
81
0.4
SKALA 1 : 1 000 000
80
Zona 1
29.25
Zona 3 80
Talatakoh
TOGIAN 26
29.00
Benteng
P.Teloga
53
Batudaka
28.75
Zona 4 62
Palada
200
41
Biomassa (ton)
43
45
0.6 121.8
0.004 to 0.016 to 1785to 0.061 0.157 to 0.253 to
1162 1140
122.0
122.2
0.016 0.061 0.157 0.253 1.336
200
28.50
122.4
Bujur Timur
Gambar 20 Hubungan suhu dan distribusi biomassa ikan demersal Gambar 20, di atas menunjukkan bahwa distribusi biomassa ikan demersal di perairan sekitar Kepulauan Togean pada zona 1 berada pada suhu sekitar 29,00 – 29,75 0C dengan densitas antara 0,06-0,16 ton; zona 2 dengan kisaran suhu antara 28,50 – 28,75 0C memiliki densitas antara 0,16-0,25 ton; zona 3 dengan kisaran suhu antara 28,50-29,00 0C merupakan zona yang distribusi biomassa paling tinggi dari keempat zona dengan densitas antara 0,25-1,34 ton dan zona 4 dengan kisaran suhu antara 28,75-29,75 memiliki densitas antara 0,06-0,16 ton. Tergambar pula bahwa semakin tinggi suhu maka distribusi densitas ikan demersal makin menurun. Biomassa ikan demersal pada kisaran suhu tersebut dapat dikatakan densitasnya cukup tinggi (0,25-1,33 ton).
Wootton (1992)
menyatakan bahwa distribusi densitas ikan demersal berkurang dengan meningkatnya temperatur perairan karena ikan demersal lebih menyukai perairan yang bersuhu rendah. Salinitas
merupakan
salah
satu
faktor
oseanografi
yang
dapat
mempengaruhi sebaran organisme di laut. Salinitas dapat mempengaruhi tekanan osmotik tubuh organisme laut termasuk ikan. Ikan akan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik mereka masing-masing. Beberapa organisme yang dapat bertahan dengan perubahan
69
salinitas yang besar (euryhaline) dan ada pula yang hidup pada perubahan salinitas yang sempit (stenohaline). Demikian pula hal sebaliknya terjadi pada salinitas terhadap distribusi biomassa ikan demersal. Dampak yang ditimbulkan akibat perbedaan salinitas ini sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 21.
Secara umum salinitas di
perairan sekitar Kepulauan Togean memperlihatkan adanya peningkatan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada setiap zona, peningkatan salinitas cukup bervariasi namun secara garis besar peningkatannya berkisar antara 34,30 psu sampai dengan 34,95 psu. Semakin bertambahnya kedalaman perairan maka nilai salinitas semakin tinggi dengan nilai perubahan yang relatif kecil. Salinitas di samping mempengaruhi ruaya dan kelimpahan juga berpengaruh terhadap perkembangan dan keberhasilan penetasan telur ikan. Hubungan salinitas dan distribusi densitas ikan demersal disajikan pada Gambar 21. Salinitas (psu)
0.2 80
Zona 1
34.78 P.Melingi P.Taloeh
51 79
P.Waleakodi
P.Langkara
Lintang Selatan
SKALA 1 : 1 000 000
Zona 2 34.70
71
P.Tongkabu P.Pangempan
P.Waleabahi 59
51
Zona 3
81
34.61
0.4
80
Talatakoh
TOGIAN 26
Benteng
P.Teloga
53
34.52
Batudaka
Zona 4 Palada
41 200
62
Biomassa (ton)
43
1162 45
0.6 121.8
1140
122.0
122.2
0.0 to 0.0 to 1785 0.1 to 0.2 to 0.3 to
200
34.44
0.0 0.1 0.2 0.3 1.3
122.4
Bujur Timur
Gambar 21 Hubungan salinitas dan distribusi biomassa ikan demersal Gambar 21 menginformasikan bahwa hubungan antara salinitas dan distribusi biomassa ikan demersal berdasarkan
di perairan sekitar Kepulauan Togean
empat zona yang ditentukan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kisaran salinitas pada zona 1 antara 34,44-34,61 psu dengan distribusi biomassa antara 0,06-0,25 ton, zona 2 dengan kisaran salinitas antara 34,70-34,78 memiliki distribusi biomassa antara 0,16-0,25 ton. Zona 3 merupakan zona yang meliliki
70
densitas distribusi biomassa ikan demersal tertinggi dari semua zona. Salinitas pada zona ini berkisar antara 34,61-34,70 psu dengan distribusi biomassa pada kisaran salinitas ini berkisar antara 0,16-1,34 ton, hal ini menunjukkan bahwa wilayah di sekitar Kepulauan Togean dengan kisaran salinitas tersebut distribusi biomassanya cukup baik. Sama seperti pada zona 1, kisaran salinitas pada zona 4 antara 34,44-34,61 psu dengan distribusi biomassa antara 0,06-0,25 ton. Kecerahan merupakan gambaran penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan, sehingga kecerahan dapat digunakan untuk menggambarkan partikel tersuspensi suatu perairan. Suatu perairan dikatakan keruh jika memiliki nilai kecerahan rendah dan sebaliknya perairan dikatakan jernih jika nilai kecerahan tinggi.
Kekeruhan yang disebabkan oleh partikel lumpur tidak
dikehendaki karena dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan dan juga dapat mengganggu organisme yang hidup di dalamnya. Makin cerah suatu perairan maka semakin jauh penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan tersebut sehingga mempengaruhi kehidupan organisme laut (contoh : terumbu karang dan padang lamun). Organisme karang untuk pertumbuhannya (proses fotosintesis) menjadi lebih baik jika nilai kecerahan perairan tinggi. Demikian pula halnya dengan padang lamun membutuhkan cahaya matahari untuk perkembangannya. Apabila organisme karang dan padang lamun berkembang dengan baik karena kecerahan air, maka hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak yang positif pada keberadaan ikan demersal yang dalam siklus hidupnya tergantung pada karang dan padang lamun. Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut, dan pasang surut (Nontji 2002). Gerakan arus laut merupakan resultan dari beberapa gaya yang bekerja serta pengaruh dari beberapa faktor. Gross (1990) menyatakan ada dua jenis gaya yang bekerja atau berpengaruh sehingga terjadinya arus yaitu gaya eksternal dan internal.
Gaya eksternal antara lain angin, perbedaan tekanan udara, gaya
gravitasi, gaya tektonik serta gaya tarik matahari dan bulan yang dipengaruhi oleh tekanan dasar laut. Gaya internal antara lain perbedaan densitas air laut, gradien tekanan mendatar dan gesekan lapisan air. Arus mempengaruhi penyebaran
71
organisme laut seperti plankton yang hidup melayang di bawah permukaan air dan mempunyai kemampuan gerak terbatas, sehingga selalu terbawa oleh arus (Nybakken 1992). Meskipun secara umum arah arus di Kepulaun Togean menuju ke arah barat, namun kecepatan arus tersebut berbeda untuk masing-masing kedalaman. Pada kedalaman 0 m, untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara 0,11 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,16 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,07 m/det sampai 0,30 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,18 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,02 m/det sampai 0,13 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,07 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,13 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,17 m/det. Kedalaman 10 m untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara 0,21 m/det sampai 0,4 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,31 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,05 m/det sampai 0,23 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,14 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,09 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,15 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,17 m/det sampai 0,33 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,25 m/det. Kedalaman 20 m, untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara 0,13 m/det sampai 0,50 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,31 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,11 m/det sampai 0,46 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,28 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,09 m/det sampai 0,54 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,31 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,17 m/det sampai 0,24 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,20 m/det. Kedalaman 30 m, untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara 0,09 m/det sampai 0,34 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,21 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,26 m/det sampai 0,51 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,38 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,04 m/det sampai 0,34 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,19 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,22 m/det sampai 0,30 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,26 m/det Kedalaman 40 m, untuk zona 1 karena kedalaman perairan kurang dari 40 meter maka pengukuran kecepatan untuk zona ini tidak dilakukan; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,12 m/det sampai 0,58 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,35 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,04 m/det sampai 0,52 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,29 m/det; zona 5 kecepatan arus berkisar antara 0,30 m/det
72
sampai 0,53 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,41 m/det. Kedalaman 50 m, untuk zona 1 dan 2 karena kedalaman perairan kurang dari 50 m, pengukuran kecepatan arus untuk kedua zona ini tidak dilakukan; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,02 m/det sampai 0,17 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,09 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,20 m/det sampai 0,28 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,24 m/det. Kecepatan arus mempunyai peran penting dalam pengoperasian suatu alat tangkap ikan baik pada saat penawuran (setting), posisi alat tangkap dalam perairan dan pada saat penarikan (hauling). Pada saat setting, apabila kecepatan arus terlalu besar maka akan menyebabkan alat tangkap tidak tepat pada posisi yang diinginkan. Selanjutnya, posisi alat tangkap dalam perairan akan tidak stabil apabila kecepatan arus terlalu besar, misalnya posisi jaring insang dasar tidak akan berdiri tegak seperti yang diharapkan. Demikian pula pada saat hauling, alat tangkap akan terpuntal atau kusut. Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan arus pada dasar perairan di Kepulauan Togean diperoleh kecepatan arus rata-rata 0,2 m/det. Nilai tersebut tergolong dalam kecepatan arus lemah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kecepatan arus pada musim itu baik untuk kegiatan operasi penangkapan ikan demersal. Kelimpahan plankton dalam suatu perairan merupakan indikator bahwa perairan tersebut subur. Namun sebaliknya apabila kelimpahan plankton ini di suatu perairan berlebihan, maka perairan tersebut menjadi tidak subur lagi (Romimohtarto dan Juwana 1999).
Karena plankton yang secara tiba-tiba
melimpah (blooming) akan menjadi racun untuk organisme lain (ikan). Kelimpahan plankton yang diperoleh di Kepulauan Togean secara umum dapat dikatakan bahwa perairan tersebut subur. Dinamika perubahan jumlah kelimpahan plankton (zoo dan phyto) untuk setiap stasiun sangat bervariasi, pada stasiun 3, 4 dan 16 jumlah fitoplankton jauh lebih besar (7586-10264 sel/liter) dibanding dengan zooplankton pada stasiun-stasiun tersebut yang hanya berkisar antara 6262615 sel/liter, sedangkan untuk stasiun pengamatan lainnya dinamika perubahan kelimpahan jumlah fitoplankton dan zooplankton cukup seimbang. Salah satu sumberdaya hayati yang mempunyai peran dalam ekosistem laut adalah plankton.
Keberadaan plankton sangat mempengaruhi kehidupan
diperairan karena memegang peran penting sebagai makanan bagi berbagai
73
organisme laut. diantara tumbuhan bahari, fitoplankton yang mengikat bagian terbesar dari energi walaupun fitoplankton hanya menghuni suatu lapisan permukaan yang tipis dimana terdapat cukup cahaya matahari. Target ikan demersal yang terdeteksi dalam penelitian ini tidak terlalu dipengaruhi oleh fluktuasi suhu maupun salinitas. Ikan-ikan demersal tidak akan melakukan ruaya hanya karena perubahan fluktuasi suhu dan salinitas karena ikan demersal lebih dipengaruhi oleh kondisi substrat yang mempengaruhi ketersediaan makanan. Jenis substrat dasar perairan juga mempengaruhi jenis hewan laut yang dapat hidup pada atau di dalam dasar laut ini. Bermacam-macam dasar perairan yang umum kita jumpai adalah lumpur, pasir, batu atau cadas dan tumpukan benda buatan manusia (Pujiati 2008). Lingkungan yang terdiri dari lumpur ini menimbulkan masalah bagi hewan-hewan yang hidup di sini, karena partikel-partikel lumpur dapat menembus sistem pernafasan hewan-hewan tersebut dan menyebabkan penyumbatan. Kandungan oksigen di lingkungan ini rendah, karena partikel-partikel lumpur ini padat dan tidak meninggalkan rongga-rongga untuk oksigen berada di lumpur sehingga tidak ada pertukaran oksigen dengan udara.
Zat-zat organik yang
membusuk, yang terdapat disana juga menghabiskan oksigen (Romimohtarto dan Juwana 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pasir mempunyai ukuran partikel yang lebih besar daripada partikel lumpur. Dasar pasir ini memungkinkan air mengalir di antara partikel-partikel pasir sehingga ada pertukaran oksigen sampai lapisan bawah dasar pasir. Gelombang memindahkan pasir saat menuju pantai. Oleh sebab itu hewan yang hidup dilingkungan ini harus dilengkapi dengan kemampuan yang mampu bergerak bersama butiran pasir ataupun merendam dalam di bawah permukaan pasir. Pantai bercadas atau berbatu merupakan lingkungan yang mudah bagi banyak biota laut untuk menyesuaikan diri. Banyaknya kehidupan di lingkungan ini menakjubkan. Ini disebabkan karena banyaknya lingkungan mikro (micro environment), seperti lingkungan-lingkungan yang terdapat pada celah-celah cadas, lubang-lubang, permukaan cadas, kubangan pasut dan sebagainya. Daerah cadas ini memperoleh oksigenasi yang bagus, banyak makanan dan tempat berlindung yang bagus.
74
Data dari satelit selama satu tahun di download dari citra satelit Aqua MODIS yang bersih dari tutupan awan. Setelah data dipesan melalui NASA Goddard Space Flight Center dengan pilihan media FTP (File Transfer Protocol) Pull. Selanjutnya, data MODIS yang sudah diterima dari NASA diolah dengan menggunakan perangkat lunak SeaDAS (SeaWiFS Data Analysis System) 4.7 under Linux. Proses pengolahan data Aqua MODIS dilakukan melalui beberapa tahapan utama yaitu : (1) proses pengolahan level 1 ke level 2; (2) proses koreksi geometrik; dan (3) proses pemotongan citra (cropping). Hasil sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) citra Aqua MODIS pada musim barat disajikan pada Lampiran 1 dan 2. Dari hasil analisis digital-visual terhadap citra komposit klorofil-a secara delapan harian hasil pengolahan citra Aqua MODIS diketahui sebaran konsentrasi klorofil-a di Teluk Tomini bervariasi menurut musim dan lokasi. Secara umum konsentrasi klorofil-a selama satu tahun berkisar antara 0,1113 mg/m3 sampai dengan 0,3496 mg/m3. Nilai konsentrasi klorofil-a hasil pengolahan citra Aqua MODIS menurut musim dan lokasi secara lengkap disajikan pada Gambar 22. Pada musim barat (bulan Desember) dan peralihan 2 (Oktober – Nopember) konsentrasi klorofil-a di dalam Teluk Tomini lebih besar dibanding dengan di luar teluk. Konsentrasi klorofil-a mencapai puncak pada musim timur (Juli – Agustus) sedang terendah pada ditemukan pada musim barat (Nopember – Desember). Lokasi perairan Teluk Tomini bagian luar terlihat memiliki konsentrasi klorofil-a yang lebih tinggi (antara 0,1284 sampai dengan 0,3496 mg/m3) dibanding dengan perairan di dalam Teluk Tomini (antara 0,1113 sampai dengan 0,1866 mg/m3). Nilai SPL perairan Teluk Tomini berdasarkan citra komposit delapan harian Aqua MODIS selama setahun berkisar antara 27,1 – 30,3 0C. SPL paling rendah (27,1 0C) terjadi pada bulan Agustus di perairan bagian luar Teluk Tomini, sedangkan SPL tertinggi (30,3 0C) ditemukan pada bulan Maret di perairan bagian dalam Teluk Tomini. Hasil analisis digital visual terhadap citra satelit terlihat bahwa sepanjang tahun SPL pada bagian dalam teluk lebih hangat dibanding dengan pada bagian luar teluk. Berdasarkan Gambar 22, terlihat bahwa SPL berfluktuasi secara delapan harian dan juga bervariasi menurut region (dalam dan luar teluk). SPL di dalam teluk lebih hangat dibanding dengan di luar teluk.
75
Gambar 22 Grafik fluktuasi konsentrasi rata-rata 8 harian klorofil-a dan SPL Keadaan ini diduga karena perairan di dalam teluk lebih sedikit mendapat pengaruh dari massa air dari luar teluk. Hasil kajian dengan menggunakan citra satelit Aqua MODIS di perairan Kepulauan Togean terhadap suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a yang dilakukan oleh CII (2007) tercatat bahwa distribusi spasial suhu permukaan laut di perairan sebelah utara lebih rendah dari bagian selatan.
75
4.2
Sebaran dan Stok Ikan Demersal
4.2.1
Target strength ikan tunggal Data target strength ikan tunggal yang diperoleh melalui portable
SIMRAD EY 500 dengan echosunder model split beam system pada pelayaran di perairan sekitar Kepulauan Togean terintegrasi dari kedalaman 5-100 meter pada 7 leg. Variasi nilai target strength (TS) ikan tunggal mulai dari -60dB sampai dengan -30 dB. Nilai ini diperoleh dari analyse bottom layers setinggi 10 meter dari dasar perairan, dengan anggapan bahwa ikan demersal dalam distribusi vertikalnya dapat mencapai 10 meter dari dasar perairan. Total target strength ikan tunggal sebanyak 8375 ekor ikan demersal dan didominasi oleh ukuran (60∼-57 dB) dan (-57~-54) sejumlah masing-masing 2291 dan 2047 ekor dari total ikan yang terdeteksi. Ukuran ini dapat dikatakan sebagai anak ikan karena ukurannya yang relatif kecil (< 5 cm), sehingga dalam perhitungan selanjutnya ukuran ini tidak diikutsertakan. Ukuran yang dianalisis dalam tulisan ini adalah ikan demersal dengan nilai target strength – 51 dB sampai dengan – 33 dB sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 6 berikut. Secara keseluruhan jumlah ikan tunggal yang terdeteksi pada selang ini adalah sebesar 2650 ekor. Tabel 6 Jumlah ikan tunggal (ekor) pada setiap trip serta persentasi komposisinya Leg
Nilai target strength dan rata-rata nilai konversi (cm) Total -48 -45 -42 -39 -36 -33 (9,44) (13,34) (18,84) (26.61) (37,58) (53,09) 33 (31,43) 12 (11,43) 8 (7,62) 5 (4,76) 1 (0,95) 0 (0) 105 (100)
1
-51 (6,68) 46 (43,81)
2
128 (44,29) 88 (30,45)
36 (12,46)
7 (2,42)
2 (0,69) 1 (0,35) 289 (100)
3
96 (41,03)
38 (16,24) 26 (11,11) 4 (1,71)
3 (1,28) 1 (0,43) 234 (100)
4
255 (44,66) 137 (23,99)
5
254 (43,87) 164 (28,32) 111 (19,17) 29 (5,01) 16 (2,76) 3 (0,25) 2 (0,35) 579 (100)
6
195 (35,33) 152 (27,54) 119 (21,56) 49 (8,88) 25 (4,53) 11 (1,99) 1 (0,18) 552 (100)
7
166 (51,88) 81 (25,31)
Total
1140
66 (28,21)
721
96 (16,81)
27 (9,34)
53 (9,29) 23 (4,03) 6 (1,05) 1 (0,18) 571 (100)
46 (14,38)
23 (7,19)
1 (0,31)
3 (0,94)
0 (0)
320 (100)
458
215
81
29
6
2650
Berdasarkan nilai selang target strength masing-masing leg pada Tabel 6, tergambar bahwa pada leg 4,5,dan 6 merupakan leg yang tinggi jumlah ikan tunggal (>500 ekor), sedangkan pada trip 1 merupakan leg yang rendah jumlah ikan tunggalnya (< 110 ekor). Komposisi ikan demersal terbanyak pada nilai TS antara -51 dB dan -48 dB atau didominasi oleh ukuran ikan yang panjangnya < 10
76
cm dan komposisi tersebut berkurang dengan bertambah besarnya ukuran ikan. Hal ini sesuai dengan fenomena piramida makanan dimana ikan demersal kecil sebagai mangsa (prey) memiliki ketersediaan lebih banyak dibanding dengan ikan demersal yang lebih besar sebagai pemangsa (predator). Proses konversi panjang ikan dugaan dari nilai TS dilakukan dengan menggunakan persamaan 15 dengan nilai konstanta –67,5 dB.
Besaran nilai
konstanta untuk ikan-ikan dengan gelembung renang tertutup (physoclist) berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan oleh Foote (1987), dengan asumsi bahwa ikan-ikan dengan gelembung renang tertutup di perairan sekitar Kepulauan Togean mengikuti persamaan dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya untuk ikan-ikan dengan gelembung renang tertutup. Persamaan panjang berat yang dipakai dalam proses konversi panjang berat ikan demersal dari panjang ikan dugaan adalah ikan demersal yang dominan tertangkap di perairan sekitar Kepulauan Togean yaitu kakap merah (Lutjanus sanguineus). Persamaan pada Gambar 23 menginformasikan bahwa pertumbuhan dari ikan tersebut dinamakan pertumbuhan allometrik (Effendie
2002).
Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila nilai b > 3 menunjukkan bahwa ikan itu montok. 1000 900 3.02
W = 0.01 L
800
2
W (gr)
700
R = 0.96
600 500 400 300 200 100 0 9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
39
42
45
L (cm)
Gambar 23 Hubungan panjang berat ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus) Hubungan panjang berat yang ditunjukkan pada Gambar 23 ikan kakap merah memiliki persamaan W = 0,01L3,02 dengan konversi adalah cm menjadi
77
gram, persamaan inilah yang dipakai dalam proses perhitungan biomassa total ikan demersal di Kepulauan Togean. Biomassa total ikan demersal dimaksud adalah jumlah biomassa (ton) ikan demersal pada setiap leg.
4.2.2 Densitas kelompok ikan Sebaran dan kelimpahan ikan demersal di perairan sekitar Kepulauan Togean yang diamati pada cruise track sepanjang 145,1002 mil laut (nm) dengan luas area sekitar 301,5 nm2 terbagi dalam 7 leg. Data yang terkumpul dari hasil akuisisi dianalisis menggunakan software
EP500 dengan EDSU (elementary
distance sampling unit) sepanjang 0,5 nm. Untuk mendapatkan rata-rata sebaran densitas kelompok ikan demersal, maka pada analyse bottom layers ditetapkan 10 meter dari dasar perairan.
Hal ini karena ikan demersal dalam distribusi
vertikalnya dapat mencapai 10 meter dari dasar perairan. Leg, jumlah ESDU, dan densitas rata-rata yang diperoleh untuk setiap leg ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Leg 1 2 3 4 5 6 7 Total
Leg, jumlah ESDU dan densitas ikan demersal (ikan/m3) pada setiap leg Jumlah ESDU 26 41 31 51 27 46 38 260
Volume densitas (ikan/m3) Minimum Maximum 0,06 1,59 0,13 1,98 0,05 1,41 0,12 1,72 0,10 2,03 0,02 1,73 0,04 1,98 0,07 1,18
Rata-rata (ikan/m3) 0,54 0,65 0,54 0,71 0,69 0,81 0,76 0,67
Rata-rata densitas ikan demersal yang ditunjukkan pada Tabel 7 jika dibandingkan dengan hasil kajian dari FKPPS (Forum Koordinasi Pengelolaan dan Penangkapan Sumberdaya) Direktorat Jenderal Perikanan yang dilaporkan oleh Boer et al. (2001) untuk WPP 716 (Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram) yang mempunyai luas sebaran 81.000 km2 adalah sebesar 2,07 ton/km2, sedangkan untuk hasil kajian ini dugaan densitas ikan demersal adalah sebesar 0,18 ton/km2 dari luasan sebesar 1034 km2, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa densitas ikan demersal di Kepulauan Togean jauh lebih kecil.
78
4.2.3
Dugaan biomassa ikan demersal Satuan yang digunakan untuk dugaan stok ikan secara keseluruhan yang
diperoleh dari hasil perhitungan metode akustik adalah ton. Nilai biomassa ini merupakan nilai biomassa yang mewakili area 301,5 nm2. Dari hasil tersebut didapatkan biomassa total ikan demersal yang terdeteksi di perairan sekitar Kepulauan Togean adalah 30,04 ton seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 Panjang leg, biomassa ikan demersal dan persentasenya pada tiap leg Leg 1 2 3 4 5 6 7 Total
Panjang leg (nm) 14,02 22,62 17,43 27,95 17,56 24,53 20,98 145,10
Biomassa (ton) 3,43 3,56 2,05 5,38 4,60 7,97 3,05 30,04
Persentase 11,43 11,83 6,84 17,91 15,30 26,53 10,16 100,00
Nilai biomassa yang ditunjukkan pada Tabel 8 hampir merata pada setiap panjang leg yang berbeda meskipun pada leg tiga merupakan biomassa yang paling kecil yakni 2,05 ton pada panjang leg 17,43 nm atau 6,84 % dari total biomassa. Leg empat, lima dan enam merupakan biomassa yang paling besar dengan nilai biomassa masing-masing 5,38 ton, 4,60 ton dan 7,79 ton atau 17,91 %, 15,30 % dan 26,53 % dari total biomassa ikan demersal yang ada di Kepulauan Togean. Tabel 8 juga menunjukkan bahwa panjang leg tidak dibarengi dengan besarnya nilai biomassa ikan demersal di Kepulauan Togean. Leg satu memiliki panjang leg yang paling rendah (14,02 nm) dan leg ke empat merupakan panjang leg tertinggi (27,95) dari ke tujuh leg yang ada namun keduanya bukan merupakan biomassa terendah dan tertinggi.
79
4.2.4
Pembahasan Persentase jumlah ikan tunggal berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa
populasi ikan tunggal dengan ukuran panjang dibawah 10 cm (kisaran ukuran 6,68 – 9,44 cm) sebesar 70,23 % dan sisanya ikan dengan ukuran di atas 10 cm hingga 53,09 cm sebesar 29,77 % dari jumlah total ikan tunggal yang terekam selama penelitian. Kordi (2005) melaporkan bahwa ukuran ikan yang siap diperdagangkan (ukuran konsumsi) adalah 300-500 gram per ekor atau identik dengan ukuran panjang ikan sekitar 13 cm (untuk yang 250-300 gram). Apabila ukuran ini dikaitkan ke nilai konversi pada Tabel 6 maka ukuran panjang ikan komersial adalah 13,34 cm yang sama dengan nilai TS ikan demersal yakni – 45 dB. Meskipun persentasi ikan demersal ukuran kecil (<10 cm) lebih dominan dari ukuran konsumsi namun tidak menutup kemungkinan untuk pemanfaatan ikan demersal tetap dilakukan diperairan tersebut. Hanya saja, perlu penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya demersal di Kepulauan Togean perlu dilakukan. Adanya komposisi ukuran juvenil yang dominan dan ukuran konsumsi yang relatif sedikit mengindikasikan bahwa fenomena ini diduga terkait dengan dugaan musim pemijahan yang berlangsung pada saat itu. karenanya,
pada
musim
pemijahan
sebaiknya
tidak
dilakukan
Oleh operasi
penangkapan ikan, ataupn kalau dilakukan penangkapan ikan sebaiknya perlu memperhatikan tingkat selektivitas alat tangkap yang digunakan. Misalnya mata jaring dan ukuran mata kail yang lebih diperbesar sehingga ikan-ikan yang tertangkap adalah ikan-ikan ukuran konsumsi. Adanya perbedaan hasil kajian ini dengan yang dilakukan oleh Boer et al. (2001), karena kajian ini disamping mencakup luasan perairan yang berbeda juga sumber data yang diolah berbeda. Penelitian ini menggunakan data akustik yang langsung diukur pada saat itu dengan cakupan luasan terbatas (sekitar Kepulauan Togean), sedangkan kajian yang dilakukan oleh Boer et al. (2001) menggunakan data time series yang dikeluarkan oleh DKP dengan cakupan luasan yang lebih besar meliputi seluruh WPP 716 yang meliputi Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram.
80
Dugaan biomassa ikan demersal di Kepulauan Togean dengan `menggunakan metode hidro akustik seperti ditunjukkan pada Tabel 8 yang kemudian dengan menggunakan perangkat lunak surfer versi 8 di plot dalam peta sebaran biomassa seperti yang ditunjukkan pada Gambar 24. 0.2
SKALA 1 : 1 000 000
80
Zona 1
P.Melingi P.Taloeh
51
71
P.Tongkabu P.Pangempan
Lintang Selatan
79
P.Waleakodi
P.Langkara
P.Waleabahi
Zona 2
59
51
Zona 3
81
0.4
80
Talatakoh
TOGIAN 26
Benteng
P.Teloga
53
Batudaka
Zona 4
Biomassa (ton)
41 200
62
Palada
43
1162 1140
45
0.6 121.8
122.0
122.2
0.004 0.270 0.536 0.803 1.069
to 0.270 to 0.536 to 17850.803 to 1.069 to 1.336
20
122.4
Bujur Timur
Gambar 24 Peta distribusi biomassa ikan demersal di Kepulauan Togean Distribusi biomassa ikan demersal di Kepulauan Togean pada Gambar 24 memperlihatkan cukup merata, pada zona 1 bagian utara pulau Togean distribusi biomassa ikan demersal cukup bervariasi antara 0,27 sampai 1,07 ton dengan ratarata distribusi biomassa ikan demersal 0,67 ton dan lebih terkonsentrasi antara pulau Tongkabu dan pulau Langkara dimana daerah ini merupakan daerah penangkapan untuk alat tangkap pancing dasar dan bubu. Pada bagian timur pulau Waleabahi (zona 2) distribusi biomassa ikan demersal tergolong rendah antara 0,004 sampai 0,54 ton dengan rata-rata distribusi biomassa ikan demersal 0,29 ton dimana wilayah ini hanya dapat dilakukan penangkapan dengan alat tangkap pancing dasar. Distribusi biomassa ikan demersal pada zona 3 tergolong paling tinggi dari keempat zona dan distribusi biomassa ikan demersal pada zona ini berkisar antara 0,54-1,34 ton dengan rata-rata distribusi biomassa ikan demersal 0,94 ton. Zona 3 yang terletak antara tiga pulau yaitu Waleabahi, Waleakodi dan Talatakoh merupakan daerah penangkapan yang sesuai untuk semua alat tangkap ikan demersal yang ada di Kepulauan Togean karena wilayah ini cukup terlindung
81
dari hempasan angin dan gelombang disamping itu zona ini memiliki kedalaman perairan cukup dalam dan merupakan perairan yang menjorok kedalam diantara tiga pulau tersebut sehingga membentuk teluk yang cukup luas. Sama seperti pada zona 2, zona 4 yang terletak pada bagian selatan antara pulau Talatakoh dan Togean memiliki distribusi biomassa ikan demersal yang tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,27 ton sampai dengan 0,54 ton dengan rata-rata distribusi biomassa ikan demersal 0,40 ton. Alat tangkap yang beroperasi pada zona 4 ini adalah pancing dan jaring insang dasar. Berdasarkan informasi yang ada (dari nelayan penangkap ikan demersal) maka dapat diprediksi daerah penangkapan ikan lokal seperti ditunjukkan pada Gambar 25. Sebagai alat tangkap yang dominan, pancing dasar tersebar pada masing-masing zona. 0.16
4 5
3 80
Bubu
Lintang Selatan
Zona 1
1
P.Melingi P.Taloeh
6
51
P.Waleakodi
12
P.Langkara 2 P.Tongkabu P.Pangempan
Bubu 13
81
26
Pc 7 9
11
0.36 TOGIAN
P.Waleabahi 59
51
Zona 2
79
10
71
Pc
SKALA 1 : 1 000 000
JID
Pc
Talatakoh
Zona 3
80
8
Benteng
P.Teloga
53
Batudaka
14
Zona 4 JID
16
15 200
62
Palada
41
Pc43
200
1162
1785 1140
45
0.56 121.80
122.00
122.20
122.40
Bujur Timur
Gambar 25 Peta prediksi daerah penangkapan ikan lokal Informasi dari Gambar 25 apabila dikaitkan dengan distribusi biomassa ikan demersal hasil kajian akustik terlihat bahwa daerah penangkapan ikan lokal sangat cocok dimana zona 3 merupakan daerah penangkapan yang baik karena disamping distribusi biomassa ikan demersal yang tinggi juga daerah tersebut cukup terlindung sehungga nelayan lebih leluasa dalam mengoperasikan alat tangkap.
82
4.3
Analisis Fishing Capacity
4.3.1 Armada penangkapan Kepulauan Togean yang terletak di kawasan Teluk Tomini memiliki sumber daya perikanan yang cukup melimpah. Meskipun letaknya agak terisolir dari ibu kota kabupaten Tojo Una-una (Ampana) provinsi Sulawesi Tengah, namun aktivitas di Kepulauan Togean akhir-akhir ini cukup ramai. Ramainya aktivitas di Kepulauan ini ditandai dengan banyaknya kapal/perahu yang lalu lalang dari dan menuju Kepulauan Togean. Angkutan laut yang berasal dari Ampana, Pagimana dan Gorontalo cukup lancar.
Sehingga terlihat banyak
wisatawan domestik maupun mancanegara yang bepergian ke Kepulauan Togean untuk melihat keindahan alam laut (terumbu karang) di sana yang tergolong masih baik meskipun pada beberapa tempat mengalami kerusakan yang cukup serius akibat penangkapan ilegal yang menggunakan bom dan racun. Seperti halnya masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil, masyarakat Kepulauan Togean sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa karakteristik armada penangkap maupun alat tangkap yang digunakan masih tergolong sederhana. Hal ini ditandai dengan ukuran perahu dan alat tangkap yang relatif kecil dan daya jangkau yang terbatas. Meskipun demikian untuk perikanan pelagis kecil (soma pajeko) dan pelagis besar (pancing tuna) perkembangannya cukup signifikan. Berdasarkan data statistik perikanan tangkap provinsi Sulawesi Tengah, perkembangan jumlah nelayan, armada penangkap dan jumlah hari melaut (trip) di kawasan Kepulauan Togean dalam 5 (lima) tahun terakhir mengalami peningkatan masing-masing sebesar 2486 orang, 2668 unit dan 143,275 trip pada tahun 2001 menjadi 2714 orang, 2871 unit dan 225,875 pada tahun 2005. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan jumlah nelayan, armada penangkap dan jumlah hari melaut (trip) tidak terkontrol sehingga kemungkinan akan berpengaruh pada keberadaan stok ikan yang laju perkembang-biakannya tidak sebanding dengan laju tingkat eksploitasi terhadap sumber daya tersebut. Perkembangan jumlah nelayan, armada penangkap dan trip penangkapan ditunjukkan pada Tabel 9
83
Tabel 9 Perkembangan jumlah nelayan, armada penangkap dan trip periode 2001 -2005 di Kepulauan Togean Tahun
Nelayan (orang)
Armada (unit)
Hari melaut (trip)
2001
2486
2668
143,275
2002
2593
2721
155,361
2003
2669
2795
195,850
2004
2681
2822
197,600
2005
2714
2871
225,875
Fluktuasi (%)
1,77
1,48
9,53
Sumber : DKP Sulawesi Tengah (2006) (diolah) Meskipun fluktuasi perkembangan jumlah armada rendah (1,48 %) namun jumlah nelayan dan hari melaut (trip) fluktuasi perkembangannya meningkat secara signifikan. Ini menginformasikan bahwa pada kurun waktu lima tahun terakhir pertambahan nelayan, armada dan trip penangkapan yang begitu pesat di Kepulauan Togean akan berdampak pada keberadaan sumber daya demersal yang ada disana. Oleh karenanya, pengelolaan sejak awal mutlak dilakukan di wilayah ini. Secara jelasnya perkembangan jumlah armada penangkap di Kepulauan Togean di sajikan pada tabel berikut Tabel 10 Perkembangan armada penangkapan di Kepulauan Togean selang tahun 1998 -2005. Satuan : unit Tahun Tanpa motor Motor tempel Kapal motor Jumlah 1998 1242 547 3 1792 1999 1349 653 6 2008 2000 1493 812 8 2313 2001 1638 1018 5 2661 2002 1627 1085 9 2721 2003 1702 1067 8 2777 2004 1744 1050 9 2803 2005 1791 1071 6 2868 Fluktuasi (%) 4,68 8,76 9,05 6,05 Sumber : DKP Sulawesi Tengah (2006) (diolah) Fluktuasi masing-masing armada penangkap selang tahun 1998-2005 mengalami perubahan yakni perahu tanpa motor terjadi peningkatan sebesar 4,68 %, perahu motor tempel 8,76 % dan kapal motor 9,05 %. Secara keseluruhan
84
perkembangan dari
armada penangkap yang ada di Kepulauan Togean
mengalami peningkatan sebesar 5,93 %. Dimensi utama dari sebuah perahu/kapal penangkap yang umum digunakan adalah panjang (L, length), lebar (B, breadth) dan dalam (D, depth). Dimensi utama inilah yang nantinya dapat digunakan dalam menentukan tonase dari perahu/kapal tersebut.
Hasil pengukuran dimensi utama perahu/kapal
penangkap ikan demersal di Kepulauan Togean disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Dimensi utama dari perahu/kapal penangkap ikan demersal No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Dimensi utama perahu/ kapal penangkap (m) L B D 12,86 1,50 0,94 11,90 1,25 0,85 10,52 1,00 0,82 9,78 1,00 0,80 8,67 1,00 0,79 7,53 0,96 0,77 6,89 0,89 0,73 6,20 0,84 0,70 5,57 0,81 0,66 5,11 0,78 0,64 4,59 0,75 0,60 3,97 0,67 0,57
Alat tangkap yang digunakan Jaring dan pancing Jaring dan pancing Jaring Jaring dan Bubu Pancing dan Bubu Pancing dan Jaring Pancing dan Jaring Jaring dan Pancing Jaring Pancing Pancing Pancing
Tenaga pendorong Mtr tempel (2 buah) Mtr tempel (2 buah) Katinting (2 buah) Katinting (2 buah) Katinting (1 buah) Katinting (1 buah) Katinting (1 buah) Katinting (1 buah) Katinting (1 buah) Katinting (1 buah) Dayung Dayung
Jumlah seukuran 4 6 5 4 4 5 3 3 5 6 4 4
Sumber : Data hasil survei Ukuran perahu/kapal penangkap ikan demersal di sekitar Kepulauan Togean seperti pata Tabel 11 di atas terlihat cukup bervariasi mulai dari 4 m sampai dengan 13 m panjangnya dan sebagian besar telah dilengkapi dengan mesin pendorong. Mesin pendororng motor tempel (25 PK), motor ”katinting” umumnya berkekuatan 5,5 PK.
Secara rata-rata ukuran perahu/kapal yang
beroperasi di perairan sekitar Kepulauan Togean adalah 8,50 m (L) dan 1,00 m (B) serta 0,75 m (D). Alat penangkapan ikan demersal di daerah ini terdiri dari 6 jenis yaitu : pukat pantai, jaring insang dasar, rawai dasar, pancing ikan dasar, bubu dan sero namun pada beberapa tahun terakhir ini beberapa alat tangkap tidak lagi beroperasi di Kepulauan Togean seperti pukat pantai dan sero. Alat tangkap rawai dasar biasanya dioperasikan di luar perairan Kepulauan Togean karena bobot kapal yang digunakan tergolong cukup besar (30 GT) dan hasil tangkapannya tidak tercatat di Kepulauan Togean. Oleh karena itu pembahasan selanjutnya
85
tentang alat tangkap ikan demersal hanya difokuskan pada jaring insang dasar (bottom gillnet), pancing ikan dasar (vertical bottom handline) dan bubu (trap).
4.3.2
Alat tangkap Alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan demersal di
Kepulauan Togean cukup bervariasi yang terdiri dari pukat pantai, jaring insang dasar, pancing dasar, rawai, sero dan bubu. Meskipun pada beberapa tahun-tahun terakhir beberapa alat
tangkap sudah tidak beroperasi lagi.
Secara rinci
perkembangan alat tangkap di Kepulauan Togean ditunjukkan pata Tabel 12 . Tabel 12 Perkembangan jumlah unit penangkapan ikan demersal di Kepulauan Togean Tahun PP 1998 13 1999 12 2000 10 2001 6 2002 5 2003 1 2004 2 2005 1 Fluktuasi - 27,43 Keterangan : PP = pukat pantai RwT = rawai tetap
JID 84 85 92 98 93 49 97 102 2,46
PcD 755 804 717 644 625 633 947 1120 5,05
RwT 11 10 11 12 11 9 4 8 -3,90
JID = jaring insang dasar Bb = bubu
Bb 7 12 18 13 6 7 14 8 1,68
Sr 2 2 2 1 1 2 2 1 -8,30
PcD = pancing dasar Sr = sero
Berdasarkan informasi pada Tabel 12 menunjukkan bahwa dari keenam alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kepulauan Togean selama tahun 1998 – 2005 terdapat 3 alat tangkap yang mengalami penurunan yaitu pukat pantai, rawai tetap dan sero masing-masing sebesar 27,43 %, 3,90 % dan 8,30 %. Yang mengalami peningkatan yaitu jaring insang dasar sebesar 2,46 %, pancing dasar sebesar 5,05 % dan bubu sebesar 1,68 %. Analisis dan pemahaman
tentang fishing capacity di perairan sekitar
Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah lebih rinci digambarkan dengan teknik DEA (data envelopment analysis). Analisis yang dilakukan berdasarkan periode tahun 1998 hingga 2005 untuk perbandingan efisiensi antar jenis alat tangkap dengan pendekatan input yang bersifat constant return to scale (CRS) dan analisis
86
efisiensi jenis alat tangkap yang sama dengan pendekatan output yang bersifat variable return to scale (VRS). 4.3.3
Penilaian efisiensi jangka panjang (antar waktu) Pengukuran fishing capacity dapat dilakukan dalam jangka panjang dan
jangka pendek.
Pengolahan DEA yang bersifat jangka panjang digunakan data
time series dan sebagai decision making unit (DMU) adalah tahun. Variabel output yang dipakai terdiri dari produksi aktual hasil tangkapan, sedangkan variabel input yang digunakan meliputi effort (trip) rata-rata per tahun. Hasil pengolahan data ini akan memberikan informasi mengenai status input yang digunakan untuk mencapai efisiensi mutlak. Aktivitas penangkapan ikan demersal di sekitar Kepulauan Togean dalam 8 tahun terakhir berfluktuasi dalam hal tingkat efisiensinya. Sejak tahun 19982002 terjadi kecenderungan penurunan tingkat efisiensi dan pada tahun-tahun berikutnya (2003-2005) menunjukkan pola peningkatan tingkat efisiensi penangkapan.
Pada tahun 1999 aktivitas penangkapan memiliki nilai skor
efisiensi sama dengan 1 artinya effort yang dikeluarkan sesuai dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Fluktuasi tingkat efisiensi tahunan ikan demersal di
Efisiensi
perairan sekitar Kepulauan Togean disajikan pada Gambar 26. 1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 26 Nilai efisiensi perikanan demersal di Kepulauan Togean Gambar 26 menjelaskan bahwa dalam kurun waktu 8 tahun terakhir terjadi tren nilai efisiensi ikan demersal dari tahun ke tahun cenderung menurun. Tingkat
87
efisiensi yang terbaik (mempunyai nilai sama dengan 1) terjadi pada tahun 1999, ini menunjukkan bahwa pada tahun 1999 jumlah upaya yang dilakukan sebanding dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Hasil perhitungan efisiensi relatif perikanan demersal dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pemanfaatan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean dengan cara mengalikan effort aktual yang digunakan dengan efisiensi relatif sehingga diperoleh kapasitas target. Perbandingan effort aktual dan effort target perikanan demersal disajikan pada Tabel 13 dan dipresentasikan pada Gambar 26. Tabel 13 Skor efisiensi, effort aktual, effort target dan excess capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Skor Efisiensi 0,98 1,00 0,94 0,86 0,67 0,65 0,68 0,78
Effort Aktual 825,20 835,00 886,00 912,00 1011,00 997,00 974,00 979,00
Effort Target 815,39 835,00 867,90 743,52 611,36 595,32 640,29 668,65
Excess Capacity Trip % -9,61 0,59 0 0,00 - 18,10 1,10 - 168,48 10,26 - 399,64 24,34 - 401,68 24,47 - 333,71 20,33 - 310,35 18,91
Secara umum Tabel 13 menunjukkan bahwa sejak tahun 1998 – 2005 telah terjadi excess capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean (kecuali pada tahun 1999) tercatat jumlah effort aktual berada di atas effort target. Selang enam tahun terakhir (2000-2005) terjadi peningkatan jumlah effort yang cukup besar sehingga kapasitas meningkat cukup signifikan. Kelebihan input berupa upaya tangkap terbesar terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 24,47 %. Lebih jelasnya kelebihan effort aktual terhadap effort target disajikan pada Gambar 27.
88
1200
Effort (trip)
1000 800 600 400 200 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun Effort Aktual
Effort Target
Gambar 27 Perbandingan effort aktual dan effort target ikan demersal di Kepulauan Togean Terlihat pada Gambar 27 bahwa selisih antara effort aktual dan effort target sejak tahun 2001 hingga 2005 makin besar, yang mengindikasikan bahwa sejak tahun tersebut telah terjadi excess capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean. Hal ini dapat pula dilihat pada selisih antara effort target dan effort aktual yang bernilai negatif.
Kelebihan jumlah trip tersebut dapat menyebabkan tekanan yang besar
terhadap sumber daya sehingga dapat mengganggu proses rekruitmen. Jika jumlah effort aktual sama dengan effort target maka akan terjadi efisiensi 100 %. Tahun 1998 merupakan tahun dimana jumlah effort aktual sama dengan effort target atau nilai efisiensinya sama dengan 1, sehingga jumlah trip pada tahu tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam penetapan kebijakan untuk tahun-tahun selanjutnya. Enam jenis alat tangkap ikan demersal yang diuji tingkat efisiensinya yaitu pukat pantai, jaring insang dasar, rawai dasar tetap, pancing ikan dasar, sero dan bubu. Pukat pantai dan jaring insang dasar dikelompokkan pada alat tangkap yang menggunakan jaring, rawai dasar tetap dan pancing ikan dasar untuk alat tangkap yang menggunakan pancing selanjutnya yang dikelompokkan pada alat tangkap perangkap yaitu sero dan bubu dengan asumsi masing-masing kelompok alat tangkap mempunyai kemampuan tangkap yang sama. Hasil uji tingkat efisiensi masingmasing kelompok alat tangkap tersebut kemudian di sajikan pada Gambar 28.
89
1.2 Skor efisiensi
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 PP
JID
RwT
PC
Sero
Bubu
Alat tangkap
Gambar 28 Efisiensi alat tangkap ikan demersal di Kepulauan Togean (PP, pukat pantai ; JID, jaring insang dasar ; RwT, rawai tetap; PC, pancing dasar) Gambar 28 memperlihatkan bahwa jaring insang dasar, pancing ikan dasar dan bubu merupakan alat tangkap yang efisien karena memiliki skor efisiensi sama dengan 1. Efisiensi terendah dimiliki oleh pukat pantai, rawai tetap dan sero yang memiliki skor efisiensi masing-masing 22 %, 9 % dan 32 %.
4.3.2
Penilaian efisiensi jangka pendek (antar armada) Analisis efisiensi DEA selain bersifat jangka panjang dengan variabel tahun
sebagai DMU, kajian ini juga mengukur efisiensi yang sifatnya jangka pendek. Dalam menganalisis efisiensi jangka pendek, dilakukan dengan membandingkan efisiensi antar kapal. Pada analisis ini yang menjadi DMU-nya adalah kapal jaring insang dasar, rawai tetap, pancing dasar, sero dan bubu. Variabel input adalah lama waktu penangkapan, jumlah trip/bulan, penggunaan BBM per trip dan panjang jaring (untuk jaring insang dasar), jumlah mata pancing (untuk rawai dan pancing ikan dasar), volume (untuk bubu), sedangkan variabel output yang digunakan adalah hasil tangkapan masing-masing alat tangkap.
90
(1)
Kapal jaring insang dasar Input yang digunakan dalam analisis efisiensi mengunakan metode DEA
adalah lama opersi penangkapan (jam), effort (trip/bulan), penggunaan BBM per trip (liter) dan panjang jaring (meter). Output yang digunakan adalah hasil tangkapan yang diperoleh (kg) dan harga penjualan ikan hasil tangkapan (Rp). Apabila dari hasil analisis DEA nilainya sama dengan 1, maka dapat disimpulkan bahwa input yang digunakan telah efisien untuk memperoleh output yang diharapkan. Hasil analisis dari 30 unit kapal jaring dasar yang beroperasi di perairan Kepulauan Togean, sebanyak 33,30 % atau 10 unit mempunyai skor efisiensi sama dengan 1. Efisiensi diantara 0,70–0,79 sebanyak 3,30 % (1 kapal), efisiensi 0,80 – 0,89 sebanyak 60 % (18 kapal), skor efisiensi 0,90 – 0,99 sebanyak 3,3 % (1 kapal). Lebih jelasnya disajikan pada Gambar 29. 20 18
18
Jumlah kapal
16 14 12 10
10
8 6 4 2 0
0
0
0
0
1
1
0.30-0.39 0.40-0.49 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 0.90-0.99
efisien
Skor efisiens i
Gambar 29 Distribusi skor efisiensi kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean Rata-rata kapal jaring insang dasar memiliki nilai efisiensi cukup tinggi yakni mencapai 33 % dari total jaring insang dasar yang dianalisis (Gambar 29). Kapal jaring insang dasar dapat ditingkatkan efisiensinya dengan melakukan perubahan terhadap input yang digunakan. Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean disajikan pada Lampiran 5. Persentase perbaikan input kapal jaring insang ditunjukkan pada Gambar 30.
91
Lama panangkapan -69,19 % Panjang jaring
Jumlah trip/bulan -11,09 % BBM per trip -14,10 %
BBM per trip
Panjang jaring -5,62 % Jumlah trip/bulan Lama panangkapan
Gambar 30 Potensi perbaikan efisiensi kapal jaring insang dasar Usaha perbaikan efisiensi kapal jaring insang dasar pada Gambar 30 dapat dilakukan dengan mempersingkat waktu penangkapan 69,19 %, mengurangi jumlah trip/bulan 11,09 % dan memangkas penggunaan BBM per trip 14,10 % dan mengurangi panjang jaring sebesar 2,62 %. Proyeksi perbaikan efisiensi untuk kapal jaring insang dasar dapat dilakukan dengan merubah nilai input. Misalnya kapal jaring insang 2 (Lampiran 5) yang memiliki efisiensi 89 % dapat ditingkatkan efisiensinya dengan mengurangi lama waktu penangkapan sebesar 14,80 %, menguragi jumlah trip/bulan sebesar 3,00 %, menekan penggunaan BBM sebesar 02,00 %, dan mengurangi panjang jaring sebesar 4,82 % seperti yang dicontohkan pada Tabel 14. Tabel 14 Proyeksi perbaikan kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean Nama Kapal Parameter Kapal JID 2 Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Panjang jaring (meter) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Skor Data Aktual 0, 89 5 25 15 40.02 185000 900000
Target 4.26 24.25 14.97 38.09 185000 900000
Selisih -0.74 -0.75 -0.03 -1.93 0.00 0.00
Persentasi -14.80 -3.00 -0.20 -4.82 0.00 0.00
92
(2)
Kapal rawai tetap Dari 8 kapal rawai tetap yang berpangkalan di Kepulauan Togean hanya 3
kapal (37,5 %) yang memiliki skor efisiensi kurang dari 1, sehingga secara keseluruhan alat tangkap ini dapat dikategorikan alat tangkap ikan demersal yang baik. Sayangnya, pada beberapa tahun terakhir alat tangkap ini banyak beroperasi di luar Kepulauan Togean. Keberadaanya di Kepulauan Togean hanya sebagai tempat berlabuh. Distribusi skor efisiensi kapal rawai tetap di Kepulauan Togean disajikan pada Gambar 31. 6
Jumlah kapal
5
5
4 3 2 1 0
1 0
0
1
1 0
0
0.30-0.39 0.40-0.49 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 0.90-0.99
efisien
Skor efisiensi
Gambar 31 Distribusi skor efisiensi kapal rawai dasar tetap di Kepulauan Togean Walaupun distribusi skor efisiensi yang ditunjukkan pada Gambar 30 tergolong baik dimana lima dari delapan kapal memiliki skor efisiensi 1, namun perlu perbaikan input tertentu untuk menperoleh output (hasil tangkapan) yang maksimal. Persentasi perbaikan input kapal rawai tetap di Kepulauan Togean ditujukkan pada Gambar 32.
93
Lama p anangkap an -16,55 % Lama p anangkap an
Jumlah mata p ancing
Jumlah trip /bulan -10,11 % BBM p er trip -43,43 %
Jumlah trip /bulan
Jumlah mata p ancing -29,91 %
BBM p er trip
Gambar 32 Potensi perbaikan efisiensi kapal rawai tetap Berdasarkan Gambar 32 dapat dipahami bahwa untuk meningkatkan efisiensi kapal rawai tetap dapat dilakukan dengan mengurangi lama penangkapan 16,55 %, jumlah trip/bulan 10,11 % dan mengurangi penggunaan BBM sebesar 43,43 %, pengurangan jumlah mata pancing sebesar 29,91 %. Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal rawai dasar tetap di Kepulauan Togean disajikan pada Lampiran 6. Proyeksi perbaikan efisiensi untuk kapal rawai dasar tetap dapat dilakukan dengan merubah nilai input. Misalnya kapal Batudaka (Lampiran 6) yang memiliki efisiensi 67 % dapat ditingkatkan efisiensinya dengan mengurangi lama waktu penangkapan sebesar 30,89 %, menguragi jumlah trip/bulan sebesar 18,72 %, menekan penggunaan BBM sebesar 53,56 %, dan mengurangi jumlah mata pancing sebesar 23,92 % seperti yang dicontohkan pada Tabel 15. Tabel 15 Proyeksi perbaikan kapal rawai dasar tetap di Kepulauan Togean Nama Kapal Parameter Batudaka Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Skor Data Aktual Target 0,67 9 6.22 25 20.32 110 51.08 100 76.08 333000 333000 1362500 1362500
Selisih -2.78 -4.68 -58.92 -23.92 0.00 0.00
Persentasi -30.89 -18.72 -53.56 -23.92 0.00 0.00
94
(3)
Kapal bubu Kapal/perahu yang biasa digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap bubu
di Kepulauan Togean sebanyak 8 unit. Enam dari kapal yang ada memiliki tingkat efisiensi yang baik (skor = 1). Ini mengindikasikan bahwa kapal yang digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan demersal dengan alat tangkap bubu dapat di perairan Kepulauan Togean memiliki tingkat efisiensi yang baik.
Dua kapal
lainnya memiliki skor efisiensi antara 0,80-0,89 dan 0,90-0,99 masing-masing sebanyak 1 kapal. Distribusi skor efisiensi kapal bubu disajikan pada Gambar 33.
7.00 6.00 Jumlah kapal
6
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
1 0
0
0
0
1
0
0.30-0.39 0.40-0.49 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 0.90-0.99 efisien S korkapal efisiensi Gambar 33 Distribusi skor efisiensi bubu di Kepulauan Togean
Gambar 33 menunjukkan distribusi skor efisiensi kapal bubu yang tergolong memiliki tingkat efisiensi yang baik dimana enam dari delapan kapal memiliki skor efisiensi = 1, namun beberapa input yang digunakan masih memerlukan perbaikan. Proyeksi perbaikan input dari kapal bubu disajikan pada Lampiran 7. Sedangkan persentase perbaikan yang dimaksud ditunjukkan pada Gambar 34.
95
Lama panangkapan -29,19 % Jumlah trip/bulan -17,09 % Volume bubu
Lama panangkapan
BBM per trip -22,78 % Volume bubu -30,94 %
Jumlah trip/bulan BBM per trip
Gambar 34 Potensi perbaikan efisiensi kapal bubu di Kepulauan Togean Gambar 34 dapat diinformasikan bahwa untuk meningkatkan efisiensi kapal bubu dapat dilakukan dengan mengurangi lama penangkapan 29,19 %, jumlah trip/bulan 17,09 % dan penggunaan BBM sebesar 22,78 % serta memperkecil volume bubu sebesar 30,94 %. Proyeksi perbaikan efisiensi untuk kapal bubu dapat
dilakukan dengan
merubah nilai input. Misalnya kapal bubu 3 (Lampiran 7) yang memiliki efisiensi 86 % dapat ditingkatkan efisiensinya dengan mengurangi lama waktu penangkapan sebesar 11,50 %, menguragi jumlah trip/bulan sebesar 6,44 %, menekan penggunaan BBM sebesar 17,92 %, dan mengurangi volume bubu sebesar 8,00 % seperti yang dicontohkan pada Tabel 16. Tabel 16 Proyeksi perbaikan kapal bubu di Kepulauan Togean Nama Kapal Parameter Kapal bubu 3 Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Volume bubu (m3) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Skor Data Aktual 0,86 4 25 12 1 190000 329000
Target 3.54 23.39 9.85 0.92 190000 329000
Selisih -0.46 -1.61 -2.15 -0.08 0 0
Persentasi -11.50 -6.44 -17.92 -8.00 0.00 0.00
96
(4)
Kapal pancing dasar Alat tangkap pancing paling dominan dan sangat beragam di Kepulauan
Togean sehingga kapal/perahu yang digunakan juga beragam dari ukurannya. Meskipun armada pancing ikan dasar paling dominan dari semua alat tangkap ikan demersal yang ada di Kepulauan Togean, namun dari hasil analisis tingkat efisiensi dari alat tangkap ini masih sangat rendah (76 persen) dari total armada penangkap yang dianalisis sebesar 55 unit (Lampiran 8). Jumlah kapal dan skor efisiensi dari kapal pancing dasar ditunjukkan pada Gambar 35.
16
Jumlah kapal
14
15
12 10
11 10
8
9
6 4
5
2 0
0
3
2
0.30-0.39 0.40-0.49 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 0.90-0.99 efisiensi
Skor efisiensi
Gambar 35 Distribusi skor efisiensi kapal pancing dasar di Kepulauan Togean
Dari 55 unit kapal pancing dasar yang dianalisis diperoleh hanya 23,64 % (13 unit) yang mempunyai skor efisien 1, efisiensi 0.90-0.99 sebanyak 10,91 % (6 kapal), efisiensi 0.80-0.89 sebanyak 30,91 % (17 unit), efisiensi 0.70-0.79 sebanyak 12,73 % (7 unit), 0.60-0.69 sebnyak 10,91 % (6 unit) dan efisiensi dibawah 0.59 sebanyak 10,91 % (6 unit).
Meskipun alat tangkap pancing dapat digolongkan
sebagai alat tangkap yang mempunyai tingkat selektivitas tinggi, namun masih perlu perbaikan terhadap input yang digunakan. Persentase perbaikan input kapal pancing dasar disajikan pada Gambar 36.
97
Lama panangkapan -27,47 % Jumlah mata pancing
Lama panangkapan
Jumlah trip/bulan -9,65 % BBM per trip -41,20 % Jumlah mata pancing -21,68 %
Jumlah trip/bulan BBM per trip
Gambar 36 Potensi perbaikan efisiensi kapal pancing dasar di kepulauan Togean Potensi perbaikan efisiensi bagi kapal pancing dasar yang beroperasi di perairan Kepulauan Togean yang ditunjukkan pada Gambar 35 dapat ditingkatkan dengan cara mengurangi lama waktu penangkapan ikan sebesar 27,47 %, mengurangi jumlah trip per bulan sebesar 9,65 % dan pengurangan penggunaan BBM sebesar 41,20 %, serta pengurangan jumlah mata pancing sebesar 21,68 %. Proyeksi perbaikan efisiensi untuk tiap kapal dapat
dilakukan dengan
merubah nilai input. Misalnya kapal pancing dasar 2 yang memiliki skor efisiensi 57 % dapat ditingkatkan efisiensinya mengurangi lama waktu penangkapan sebesar 40,00 %, menguragi jumlah trip/bulan sebesar 10,00 %, menekan penggunaan BBM sebesar 33,33 % dan mengurangi jumlah mata pancing 20, 00 % seperti yang dicontohkan pada Tabel 17. Tabel 17 Proyeksi perbaikan kapal pancing dasar di Kepulauan Togean Nama Kapal Parameter Kapal pancing dasar 2 Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Skor Data Aktual 0,57 5 20 12 5 210000 540000
Target 3 18 8 4 210000 540000
Selisih -2.00 -2.00 -4.00 -1.00 0.00 0.00
Persentasi -40.00 -10.00 -33.33 -20.00 0.00 0.00
98
4.3.5
Pembahasan Secara umum armada penangkapan (perahu/kapal) yang ada di Kepulauan
Togean dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok yakni : tanpa motor, motor tempel dan kapal motor. Sebagaimana umumnya perikanan rakyat, maka armada penangkapan yang mendominasi di Kepulauan Togean adalah perahu tanpa motor. Perahu tanpa motor tertinggi pada tahun 2005 yaitu 1791 unit dan terendah pada tahun 1998 yaitu 1242 unit, perahu motor tempel tertinggi pada tahun 2002 yaitu sebesar 1085 unit dan terendah pada tahun 1998 yaitu sebesar 547 unit. Kapal motor terbilang minim sekali di daerah ini. Pemahaman yang paling sederhana tentang fishing capacity yaitu kemampuan suatu kapal atau armada dalam melakukan penangkapan ikan. Hal ini didasarkan pada jumlah nelayan dalam suatu armada, ukuran kapal, peralatan teknis yang tersedia, kemampuan dan pengetahuan nelayan serta waktu yang dibutuhkan dalam usaha penangkapan. Masing-masing komponen ini memberi kontribusi yang dalam usaha penangkapan. Tingkat efisiensi produksi merupakan nilai yang menunjukkan perbandingan antara produksi perikanan dengan upaya yang dilakukan pada tahun tertentu. Nilai efisiensi berkisar antara 0,1 – 1,0 artinya efisiensi produksi maksimum yang dapat dicapai adalah 100 %. Apabila pencapaian tingkat efisiensi produksi berada di bawah 1,0 artinya masih terdapat peluang untuk meningkatkannya melalui berbagai upaya. Upaya tersebut dapat berupa pengurangan atau penambahan input dan output produksi. Untuk mengetahui tingkat efisiensi tahunan kegiatan perikanan di Kepulauan Togean, maka dilakukan analisis DEA menggunakan effort sebagai faktor input dan produksi sebagai output dengan DMUnya adalah tahun periodik.
Hasil analisis
menunjukkan bahwa dalam delapan tahun terakhir tingkat efisiensi kegiatan perikanan demersal di Kepulauan Togean cenderung menurun, hal ini dimungkinkan karena jumlah armada (effort) yang beroperasi di perairan Kepualuan Togean cenderung meningkat dari tahun ke katahun. Oleh karena itu, pengelolaan ikan
99
demersal di lokasi ini perlu mendapat perhatian yang serius agar sumber daya tersebut dapat berkesinambungan. Usaha kegiatan perikanan demersal di Kepulauan Togean yang didominasi oleh nelayan yang menggunakan pancing dasar, jaring insang dasar serta bubu memiliki tingkat efisiensi antara 0,34 – 1,00. Tahun 1999 tingkat efisiensi perikanan demersal di perairan ini mencapai 100 % sedangkan pada tahun sebelum dan sesudahnya tingkat efisiensi mencapai nilai dibawah 1.
Oleh karena itu, data
produksi dan effort pada tahun tersebut (1999) dapat dijadikan acuan kebijakan pengelolaan perikanan demersal di Kepulauan Togean kedepan sehingga fenomena excess capacity tidak berlangsung secara terus menerus. Fenomena excess capacity (kapasitas berlebih) merupakan suatu kondisi dimana terjadi kelebihan input dalam menghasilkan output yang diinginkan. Fenomena excess capacity ini jelas terlihat pada enam tahun terakhir dimana selisih effort target dan effort aktual bernilai negatif. Excess capacity terbesar terjadi pada tahun 2003 yaitu sebanyak 401,68 trip dan kemudian tahun 2002 sebanyak 399,64 trip. Hal ini berarti bahwa dalam melakukan aktifitas penangkapan ikan demersal, input (jumlah trip) yang dilakukan nelayan terlalu tinggi sehingga perlu dilakukan pengurangan untuk mencapai efisiensi penuh dimana jumlah input yang digunakan sebanding dengan output berupa hasil tangkapan yang diperoleh. Untuk dapat
meningkatkan nilai efisiensi perikanan
demersal di perairan Kepulauan Togean maka dapat dilakukan pengurangan jumlah upaya yang telah melampaui upaya optimal, sehingga dengan upaya yang lebih kecil mampu menghasilkan produksi yang optimal Jumlah trip penangkapan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean saat ini telah melampaui jumlah trip optimum sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan ancaman bagi kelestarian sumber daya ikan demersal di perairan tersebut. Olehnya, jumlah trip penangkapan hendaklah segera dicariakn alternatif kebijakan sehingga prinsip pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab dapat diterapkan. Dari ke enam alat tangkap ikan demersal yang ada di kepulauan Togean, alat tangkap jaring insang dasar, pancing dasar dan bubu merupakan alat tangkap yang efisien dibanding dengan kedua alat tangkap lainnya yakni rawai dan sero yang
100
masing masing hanya memiliki nilai efisiensi 22 %, 9 % dan 32 %. Dengan kondisi tersebut maka alat tangkap pukat pantai, rawai dasar dan sero memerlukan perbaikan yang sangat besar untuk mencapai efisiensi yang optimal. Nilai efisiensi yang rendah menggambarkan bahwa jumlah effort yang dilakukan oleh nelayan terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan produksi yang diperoleh. Meskipun ketiga alat tangkap tersebut (jaring insang dasar, pancing dasar dan bubu) dapat dikatakan alat tangkap yang efisien, namun perlu perbaikan input untuk meningkatkan nilai efisiensinya. Untuk jaring insang dasar, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mengurangi lama penangkapan dan penggunaan BBM. Pada alat tangkap rawai dasar penekanan penggunaan BBM dan pengurangan jumlah mata pancing. Pada bubu langkah yang perlu dilakukan adalah disamping penekanan penggunaan BBM juga pengurangan lama penangkapan dan volume bubu itu sendiri, sedangkan pada alat tangkap pancing dasar perlu dikurangi penggunaan BBM dan lama waktu penangkapan serta pengurangan jumlah mata pancing. Hasil analisis jangka pendek terhadap 30 kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean menunjukkan bahwa jumlah kapal yang benar-benar efisien hanya 33,30 %. Sisanya memiliki nilai efisien antara 70 – 99 %. Jumlah kapal yang belum efisien tersebut sebanyak 20 kapal. Ke dua puluh kapal tersebut, kapal yang memiliki nilai efisiensi paling rendah dapat dipertimbangkan lagi untuk dilakukan perbaikan terhadap faktor input seperti lama penangkapan, jumlah trip/bulan dan penggunaan BBM. Upaya perbaikan tersebut dapat dilakukan oleh pemilik kapal adalah dengan mengurangi lama penangkapan sebesar 69,19 %, mengurangi jumlah trip/bulan 11,09 % dari trip yang ada saat ini dan menekan penggunaan BBM 14,10 % dan panjang jaring 2,62 %. Kapal rawai tetap yang beropersi di Kepulauan Togean berjumlah 8 kapal dimana 5 kapal ( 62,5 %) diantaranya sudah efisien. Sisanya sebanyak 3 kapal (37,5 %) meliliki tingkat efisien 0,60 – 0,99. Nilai ini menunjukkan bahwa kapal rawai dasar yang belum efisien memerlukan perbaikan. Potensi perbaikan kapal rawai dasar dapat dilakukan dengan mengurangi lama operasi penangkapan ikan 16,55 %, mengurangi jumlah trip/bulan 10,11 %, mengurangi penggunaan BBM sebesar 43,43
101
% dan pengurangan jumlah mata pancing sebesar 29,91 %. Penggunaan BBM yang berlebihan pada kapal rawai dasar dikarenakan daerah operasi sebagaimana telah disebutkan dalam uraian sebelumnya bahwa daerah operasinya di luar perairan Kepulauan Togean. Untuk kapal bubu yang tersisa saat ini di Kepulauan Togean berjumlah 8 kapal. Dari ke 8 kapal yang ada hanya dua kapal bubu (25,0 %) yang belum efisien sedangkan 6 kapal lainnya (75,0 %) sudah efisien. Potensi perbaikan efisiensi kapal bubu dapat dilakukan dengan mengurangi lama waktu penangkapan ikan sebesar 29,19 %, jumlah trip/bulan sebesar 17,09 %, menekan penggunaan BBM sebesar 22,78 % dan memperkecil volume bubu sebesar 30,94 %. Sebanyak 55 kapal pancing dasar yang beroperasi di Kepulauan Togean 23,64 % (13 unit) diantaranya efisien. Sebanyak 30 unit memiliki efisiensi berkisar 70-99 % dan sisanya yaitu 22 unit memiliki efisiensi dibawah 70 %. Melihat dari kenyataan yang ada maka kebijakan yang diambil yakni melakukan perbaikan dengan mengurangi effort yang berlebihan tersebut. Disamping itu, potensi perbaikan bagi kapal pancing dasar yang belum efisien dapat dilakukan dengan cara mengurangi lama waktu penangkapan ikan sebesar 27,47 %, mengurangi jumlah trip/bulan sebesar 9,65 %, menekan penggunaan BBM sebesar 41,20 % dan mengurangi jumlah mata pancing sebanyak 21,68 %.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Berdasarkan analisis tentang perikanan demersal di Kepulauan Togean,
Sulawesi Tengah dengan metode akustik dan fishing capacity, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1)
Penyebaran ikan demersal di Kepulauan Togean hasil integrasi hidroakustik merata untuk seluruh kawasan survei namun densitas lebih dominan pada bagian selatan Kepulauan Togean, demikian pula kelimpahan ikan demersal di bagian selatan lebih mendominasi dibanding pada bagian utara Kepulauan Togean.
Densitas ikan demersal yang
terdeteksi adalah sebesar 0,18 ton/km2 atau 30,04 ton sepanjang lintasan survei. (2)
Fishing capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean selama kurun waktu delapan tahun terakhir menunjukkan tingkat yang tidak efisien kecuali pada tahun 1999.
Ketidakefisienan fishing capacity dapat
disebabkan oleh berbagai faktor seperti lama waktu penangkapan, jumlah trip operasi, penggunaan BBM dan panjang jaring, volume bubu dan jumlah
mata
pancing.
Berdasarkan
hasil
yang
diperoleh
untuk
meningkatkan efisiensi fishing capacity maka disarankan perlu perbaikan terhadap faktor-faktor tersebut di atas. Perbaikan yang dimaksud yakni pengurangan terhadap lama waktu penangkapan, jumlah trip operasi, penggunaan BBM dan juga panjang jaring, volume bubu dan jumlah mata pancing. (3)
Jaring insang dasar, bubu dan pancing dasar merupakan alat tangkap ikan demersal yang efisien di Kepulauan Togean, sedangkan alat tangkap yang tidak efisien adalah pukat pantai, rawai dasar dan sero. Jumlah armada perikanan demersal yang efisien di Kepulauan Togean yaitu jaring insang dasar 30 persen, bubu 75 persen dan pancing ikan dasar 27 persen. Oleh karena itu, untuk optimisasi perikanan tangkap dikepulauan Togean
103
direkomendasikan sebanyak 31 unit jaring insang dasar, 6 unit untuk alat tangkap bubu dan sebanyak 302 unit pancing.
5.2
Saran Penelitian Lanjutan
(1)
Penelitian mengenai sebaran, densitas dan kelimpahan ikan demersal dengan menggunakan hidroakustik dapat dilanjutkan dengan memperhatikan waktu atau musim.
(2)
Perlu adanya alokasi optimum armada perikanan tangkap di Kepulauan Togean dengan mengutamakan aspek kelestarian dan keberlanjutan sumber daya demersal.
DAFTAR PUSTAKA Aglen A. 1994. Sources of Error in Acoustic Estimation of Fish Abundance. In Ferno A. And Olsen S (Eds.): Marine Fish Behaviour in Capture and Abundance Estimation. Oxford: Fishing News Books. (7) : 107-133. Allen GR, Swinston R. 1990. The Marine Fishes of North-Western Australia : A Field Guide for Anglers and Divers. Perth: Western Australian Museum.. 181 p. Alverson DL, Pruter AT and Ronholf LL. 1964. A Study of Demersal Fishes and Fisheries of the Northeastern Pasific Ocean. HR Mac Millan Lecture Series in Fisheries, Inst. Fish. Univ. British Columbia. 190 p. Amri K. 2002. Hubungan kondisi oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Arus) dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Selat Sunda. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Anonimous. 2003. Sharing the fish : toward a national policy on individual fishing quotas is available from the national academy press; http://www.nap.edu. Aoyama T. 1973. The demersal stock and fisheries of the South China Sea. Rome: SCS/DEV/73/3/ FAO. 80 p. Arinardi OH. 1995. Sebaran Seston, Klorofil-a, Plankton dan Bakteri di Teluk Jakarta. Hal. 101 – 107 In Suryano (Ed.). Atlas Oseanologi Teluk Jakarta. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Awad S. 2002. Sejumlah 15 gugus karang di Kepulauan Togean rusak. Harian Republika 04 Maret 2002. Badruddin M, Tampubolon GH. 1997. Sumber Daya Ikan Demersal. Dalam Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Proyek Pengembangan dan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Hal : 63 – 79. Badruddin M, Sumiono, B. 2004. Musim penangkapan ikan demersal. Dalam musim penangkapan ikan di Indonesia. Jakarta: Balai Riset Perikanan Laut, Hal. 46-70. Barnes RSK and Huges RN. 1988. An introduction to marine ecology. London: Second edition. Blackwell Scientific Publication. Basmi J. 1999. Planktonologi : Produser Primer. Fakultas Perikanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Boer M, Aziz KA, Widodo J, Djamali A, Gofar A, Kurnia R. 2001. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 44 hal. Cadima EL. 2003. Fish stock assessment manual. FAO Fish. Tech. Pap. 393. Cartwright I. 1995. Management of living marine resources. In : Hotta, M, Dutton I, editor. Coastal management in the Asia Pasific region: Issues and approaches. Tokyo: JIMSTEF. p.57-66 Cesar H. 1998. Indonesia coral reefs : A precious but threatened resources. In Hatziolos, ME., Hooten, AJ and M. Fodor (Eds.), Coral reefs: Challenges and opportunities for sustainable management. Washington DC: Proceedings of an associated event of the fifth annual World Bank
105
Conference on Environmentally and Socially Sustainable Development. The World Bank. p. 163-171. Charnes A., Cooper WW and Rhodes E. 1978. Measuring the efficiency of decision making units. European Journal of Operation Research 2. pp: 429444. Chou LM. 2000. Southeast Asian Reefs – Status Update: Bangladesh, Indonesia, Malasya, Philippines, Singapore, Thailand and Vietnam. In : Wilkinson,C (Ed.). Status of coral reefs of the world. GCRMM. Australian Institut of Marine Science. 117 – 129 p. [CII] Conservation International Indonesia. 2007. Profil Sumberdaya Pesisir Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Jakarta: Conservation Internasional Indonesia, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una Una Sulawesi Tengah, Taman Nasional Laut Kepulauan Togean.. 105 hal. Cochrane KC. 2000. Reconciling sustainability, economic effisiency and equity in fisheries: The one that got away? Fisheries Centre, the University of British Columbia. www.fisheries.ubc.ca. September 2002. Cochrane KL. 2002. Fisheries management. In : Cochrane K.L editor : A manager’s guidebook. Management measures and their application. FAO Rome: Fisheries Technical Paper. No. 424. 1 – 20 p. Coelli TJ. 1996. Centre for efficiency and productivity analysis (CEPA) working papers, a guide to DEAP version 2.1 : a data envelopment analysis (computer) program. No. 8/96. Australia: Departement of Econometrics University of New England Armidale. 50 pp. Coelli TJ, Prasada Rao DS, Betese GE. 1998. An introduction to efficiency and productivity analysis. USA : Kluwer Academic Publisher. 275 p. Coetzee J. 2000. Use of ashoal analysis and patch estimation system (SHAPES) to characterise sardine schools. Aquatic Living Resources, Vol 13 (1): 1-10. Connor R. 2001. Initial allocation of individual transferable quota in New Zealand fisheries. Rome: FAO fisheries technical paper No. 411. p: 222250. Cushing DH. 1968. Fisheries Biology : A Study in Population Dynamics. Madison: University of Wisconsin Press, 22 pp. Desniarti. 2007. Analisis Kapasitas Perikanan Tangkap ikan Pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat (Ringkasan disertasi). Bogor: Sekolah Pasca-sarjana. Institut Pertanian Bogor. 35 hal. [DKP Sulteng] Departemen Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah. 2003. Laporan Statistik Perikanan Tangkap tahun 2002. Palu. 48 hal. [DKP Sulteng] Departemen Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah. 2004. Laporan Statistik Perikanan Tangkap tahun 2003. Palu. 41 hal. [DKP Sulteng] Departemen Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah. 2005. Laporan Statistik Perikanan Tangkap tahun 2004. Palu. 41 hal. [DKP Sulteng] Departemen Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah. 2006. Laporan Statistik Perikanan Tangkap tahun 2005. Palu. 44 hal. [DPT] Dirjen Perikanan Tangkap. 2003. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2001. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 94 hal.
106
[Ditjenkan] Direktorat Jenderal Perikanan. 1993. Kebijakan Pembangunan Perikanan dalam REPELITA VI. Bogor: (Makalah Seminar pada Dies Natalis ke-30) Fakultas Perikanan. Institut pertanian Bogor. 22 hal. [Ditjen P3K] Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2004. Profil Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 107 hal. Dyson RG, Thanassoulis E, Boussofiane A. 1990. Data Envelopment Analysis In Tutorial Papaers in Operational Research, L.C. Henry and R.W Eglese (Eds.). UK: Operational Research Society. Efendi DS. 2006. Analisis Kapasitas Berlebihan Perikanan Pukat Cincin Pekalongan dalam Kerangka Kebijakan Perikanan Tangkap di Laut Jawa dan Sekitarnya [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 125 hal. Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.. 163 hal. Ehrenberg. JE. 1983. A review of in situ target strength estimation techniques. FAO Fis. Rep. 300, 85-90. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Code of Cunduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries Department. 23 p. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1997. Fisheries Management : technical guidelines for responsible fisheries. Rome: No. 4. 89 p. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1998. Report of the FAO technical working group on the management of fishing capacity. La Jolla, United State of America, 15-18 April 1998. Rome: FAO Fisheries Report No.586. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2003. Measuring Capacity in Fisheries. Rome: FAO Fisheries Technical Paper. No 445 :23 – 47 p. Färe R, Grosskopf S, Kirkley JE, Squires D. 2000. Data Envelopment Analysis (DEA) : A Framework for Assessing Capacity in Fisheries when Data are Limited, Presented at the International Institute of Fisheries Conference IIFET X. Juli. 2000. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Gagasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 243 hal. Fauzi A dan Anna S. 2005. Data Envelopment Analysis (DEA) Kapasitas Perikanan di Perairan Pesisir Jakarta : Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama. Hal : 209-233. Ferraris J. 2002. Fishing Fleet Profiling Methodology. Rome: FAO fisheries technical paper No. 423. 87 p. Fitzpatrik J. 1996. Technology and Fisheries Legislation. In Precautionary Approach to Fisheries, part 2 : Scientific Papers. Rome: FAO Fisheries Technical Paper 350/2. Flewwelling P, Cullinan C, Balton D, Sautter RP, Reynolds J.E.. 2002. Recent Trends In Monitoring, Control And Surveillance System For Capture Fisheries. Rome: FAO fisheries technical paper No. 415. 200 p. Foote KG. 1987. Fish Target Strength for Use in Echo Integrator Surveys, J. Acoustic. Soc. Am Page 981 – 987. Gabriel O, Lange K, Dahm E and Wendt T. 2005. Fish Catching Methods of the World, Fourth Edition. UK: Blackwell Publishing Ltd. Oxford. 523 p.
107
Gaol JL. 1997. Pengkajian Kualitas Perairan Pantai Utara Jawa dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat-TM : Hubungan Radiasi Spektral dengan Konsentrasi Klorofil-a dan Muatan Padatan Tersuspensi. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Garcia SM, Zerbi A, Aliaume C, Chi TD, Lassere G. 2003. The Ecosystem Approach To Fisheries: Issues, Terminology, Principles, Institutional Foundations, Implementation And Outlook. Rome: FAO fisheries technical paper No. 443. 71 p. Gascuel D, Fonteneau A, Foucher E. 1993. Analyse de L’evolution des Puissances de Peche par L’nalyse des Cohortes : Application Aux Senneurs Exploitant I’Albacore (Thunnus albacares) dans I’Atlantique Est. Aquatic Living Resources. p 6 (1). Gaspart F, Platteau JP. 2000. Promotion Of Coastal Fisheries Management. Local-Level Effort Regulation In Senegalese Fisheries. Rome: FAO Fisheries Circular Series No. 957/1. 37 p. Gréboval D. 2003. The Measurement And Monitoring Of Fishing Capacity: Introduction And Major Considerations. Rome: FAO fisheries technical paper No. 445. p:1-24 Gonzalez E, Norambuena R, Garcia M. 2001. Initial Allocation Of Harvesting Rights In The Chilean Fisheries For Patagonian Toothfish. Rome: FAO fisheries technical paper No. 411. p: 304-321. Goulstone A McIlgorm A. 2001. Initial Allocations Of Harvesting Rights In The New South Wales Ocean Trap And Line Fisheries, Australia. Rome: FAO fisheries technical paper No. 411. p: 159-170. Gross MG. 1990. Oceanography. New York : Sixth Edition. MacMillan Publishing Company. Gulland JA. 1983. Fish Stock Assessment, A Manual of Basic Methods. Rome: FAO/Wiley Series on Food and Agriculture, Vol. 1, John Wiley and Sons, Chichester. 223 p. Gunarso W. 1996. Tingkah Laku Ikan dalam Menghadapi Alat Tangkap. Jurusan Pemanfaatan Sumber daya Perikanan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 65 hal. (tidak dipublikasikan). Hall SJ. 2000. The Effect of Fishing on Marine Ecosystems and Communities. Vancouver Canada: Blackwell Science Fish Biology and Aquatic Resources Series. 274 p. Harley M Fina M.. 2001. Allocation Of Individual Vessel Quota In The Alaskan Pasific Halibut And Sablefish Fisheries. Rome: FAO fisheries technical paper No. 411. p: 251-265. Hendarti N. 2003. Investigation on Ocean Color Control Remote Sensing In Indonesian Water Using SeaWIFS. PhD. Thesis. The Faculty of Mathematics and Natural Sciences. Rostock University. Hoar WS, Randall DJ. 1970. Fish Physiology : the swim bladder as a hydrostatic organ. Volume IV. New York: Academic Press. p: 413 – 443 Hutabarat S and Evans SM. 1984. Pengantar Oseanografi. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Pres). 159 hal. Ihssen PE, Booke HE, Casselman JM, McGlade JM, Payne NR, Utter FM. 1981. Stock Identification : Materials And Methods. Can. J.Fish. Aquat. Sci., 38 : 1838-1855.
108
Jarrett AE. 2001. Initial Allocation Of Unitisation (Boat/Engine Unit) As Harvesting Rights In Australia’s Northern Prawn Fisheries. Rome: FAO fisheries technical paper No. 411. p: 202-211. Jaya I. 2007. Perkembangan IPTEK Kelautan dan Penyiapan SDM dalam Menyongsong Indonesia 2025 Sebagai Negara Maritim. Bogor: Makalah disampaikan pada Simposium dan Lokakarya Nasional HIMITEKINDO. Bogor 28 Juli 2007. 5 hal. Johannesson KA, Mitson RB. 1983. Fisheries Acoustic Biomass Estimation. Rome: FAO Fisheries Tech. Pap., 240 – 249 p. King M. 1995. Fisheries biology, assessment and management. London : Fishing News Books. Adevision of Blackwell Science Ltd. 341 p. Kirkley J, Squires D. 1998. Measuring Capacity And Capacity Utilization In Fisheries. Background Paper Prepared For FAO Technical Working Group On The Management Of Fishing Capacity. La Jolla. USA. 15-18 April 1998. 160 pp. Kirkley J, Squires D. 1999. Capacity and Capacity Utilization in Fishing Industries : Discussion paper 99-16. San Diego: University of California, Departement of Economics. 34 p. Kordi MG. 2005. Budidaya Ikan Laut di Karamba Jaring Apung. Jakarta: PT Rineka Cipta. 233 hal. Laevastu T dan ML Hayes. 1982. Fisheries Oceanography and Ecology. England: Fishing News Book Ltd. Farnham, Surrey. 199p. Larkin PA. 1972. The Stock Concept And Management Of Pasific Salmon. H.R. MacMillan lectures in fisheries. Vancouver Canada: University of British Columbia Press, 231 pp. Lee RE. 1980. Phycology. Second edition. Cambridge University Press. Cambridge. Lillesand MT and Kiefer RW. 1987. Remote Sensing and Image Interpretation. Second Edition. Loftas T. 2001. Controlling Fishing Capacity. http://www.oceansatlas.c.lling.html Love RH. 1977. Target Strength Of An Induvidual Fish At Any Aspect. J. Acoustic Soc. Am (62) : 1397 – 1403. Martasuganda S. 2002. Jaring Insang (Gillnet): Serial teknologi penangkapan ikan berwawasan lingkungan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 68 hal. Martasuganda S. 2003. Bubu (Traps): Serial teknologi penangkapan ikan berwawasan lingkungan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 68 hal. Mace PM. 1997. Developing and Sustaining World Fisheries Resources: The State Of The Sciece And Management, In: D.A. Hancock, D.C. Smith, A. Grant, J.P. Beumer (Eds.). Brisbane Australia: Proceedings of the second world fisheries congress. MacLennan DN, Simmonds EJ. 1992. Fisheries Acoustic. London-New YorkTokyo-Melborne-Madras: Chapman and Hall. 325 p.
109
McClain C and Feldman G. 2004. MODIS Aqua Evaluations. NASA Ocean Color Research Team Meeting. April 14-16, 2004. Washington DC. From the World Wide Web : http//oceancolor.gsfc.nasa.gov/DOCS/Science Team/ Merta IGS, Suwarso, Badrudin M, Sumiono B, Hartati ST, Wahyuni IS, Widodo J. 2004. Musim Penangkapan Ikan Di Indonesia. Jakarta: Balai Riset Perikanan Laut. Penebar Swadaya. 116 hal. Monintja DR. 2000. Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Perikanan Tangkap. Prosiding. Pelatihan untuk Pelatih, Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor : Pusat Kajian Studi Pesisir dan Lautan. Hal. 45-57. Morgan GR. 2001. Initial Allocations Of Harvesting Rights In The Rock Lobster Fisheries Of Western Australia. Rome: FAO fisheries technical paper No. 411. p: 136-143. Morrison CJ. 1985. Primal and Dual Capacity Utilization : An Application to Productivity Measurement in the U.S. Automobile Industry. Journal of Bussiness and Economic Statistics Vol. 3. pp. 312-324. Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai. Jakarta: COFISH Project. 200 hal. Nakken O and Olsen K. 1977. Target Strength Measurements of Fish. Rapp. P.v. Réun. Cons. Perm. Int. Explor. Mer. 170, 52-69. Natsir M, Sadhotomo B dan Wudianto. 2005. Pendugaan Biomassa Ikan Pelagis di Perairan Teluk Tomini dengan Menggunakan Metode Akustik Bim Terbagi. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11 (6) : 101 - 107 Newton C. 1999. Review of Issues for the Control and Reduction of Fishing Capacity on the High seas. In : Greboval D (Ed). Managing Fishing Capacity : Selected Paper on Underlying Concepts and Issues. Rome. FAO Fisheries Technical Paper No. 86 : 89-93 Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Jakarta: P3R dan PT Pustaka Cidesindo. 254 hal. Nontji A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta Serta Kaitannya dengan Faktor-faktor lingkungan. Disertasi. Bogor: Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 241 hal. Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. 368 hal. Nurhakim S., Nikijuluw VPH., Nugroho D., Prisantoso BI. 2007. Wilayah Pengelolaan Perikanan : Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan (Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan). Buku 2. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 47 hal. Nybakken JW. 1992. Biologi laut: Suatu pendekatan ekologis. (Terj). Eidman, M., Koesoebiono., Bengen, D.M., Hutomo, M. dan S. Sukardjo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 645 hal. Olii AH. 2007. Analisis Kapasitas Perikanan Tangkap Dalam Rangka Pengelolaan Armada Penangkapan di Provinsi Gorontalo [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 217 hal. Pascoe S and Coglan L. 2000. Implication of Differences in Technical Efficiency of fishing boats for capacity measurement reduction. Marine Policy. 24 (4): 301 – 307.
110
Pella JJ, Psaropulos CT. 1975. Measure of Tuna Abundance from Purse Seine Operations in the Eastern Pacific Osean Adjusted of Fleet-Wide Evolution of Increased Fishing Power, 1960-1971. Inter-American Tropical Tuna Commission Bulletin. Peristiwady T. 2006. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia : Petunjuk Identifikasi. Jakarta: LIPI Press. 270 hal. Pickard GL dan Emery WJ. 1990. Descriptive Physical Oceanography, An Introduction. USA: Pergamon Press. Placenti V, Rizzo G, Spagnolo M. 1992. A Bioeconomic Model For The Optimization Of A Multi-Species, Multi-Gear Fishery : The Italian Case. Marine Resource Economics. Vol. 7 (4). Prasasti I, Sambodo KA, Ismaya H. 2003. Pengembangan model aplikasi data satelit lingkungan Terra/MODIS untuk penentuan suhu perlukaan laut dan klorofil. Jakarta : LAPAN. Pujiati S. 2008. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan antara Tipe Substrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Dasar. [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 158 hal. Purbayanto A., Wahyu RI., Tirtana S. 2006. Selektivitas Bubu yang Dilengkapi dengan Celah Pelolosan Terhadap Ikan Kakap (Lutjanus sp. Blkr). Gakuryoku. XII (1) : 92-98. Ricker WE. 1975. Computation And Interpretation Of Biological Ststistics Of Fish Populations. Bull. Fish. Res. Board Can., (191) : 382 pp. Robinson IS. 1985. Satelite Oceanography : An Introduction for Oceanographers and Remote-Sensing Scientiest. England: Ellis Horwood Limited Chichester. 455 p. Romimohtarto K dan Juwana S. 1999. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengebangan Oseanologi. LIPI. 527 hal. Sabatella E. 2000. Capacity Estimation : A Dynamic Approach-Depreciation On Capacity. Paper prepared for the XIIth annual conference of EAFE. Esbjerg. Salm RV, Clark JR, Siirika E.. 2000. Marine And Coastal Protected Area. A Guide For Planners And Managers. 3rd Edition. UK: IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, 370 p. Salz P. 1994. Irish Fisheries Investigations : Overcapacity in the European Fishing Fleet. Series B (marine) No. 42. Scalabrin C, Diner N, Weill A, Hillion A, Mouchout MC. 1996. Narrowband Acoustic Identification Of Monospecific Fish Shoal. ICES. Journal of Marine Science. 53 : 181-188. Shotton R. 2001. Initial Allocations Of Quota Rights: The Australian Southeast Trawl Fisheries Story. Rome: FAO fisheries technical paper No. 411. p: 187-201. Smit W. 2001. Dutch Demersal North Sea Fisheries: Initial Allocation Of Flatfish ITQS. Agricultural Economics Research Institut Netherland. Rome: FAO fisheries technical paper No. 411. P.15-23. Sparre P, Venema SC. 1998. Introduction to Tropical Fish Stock Assesment Part 1 – Manual – Rome: FAO Fisheries Technical Paper No. 302/1.
111
Sularso A. 2005. Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang di Laut Arafura [ringkasan disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 42 hal. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang. Jakarta: Djambatan. 118 hal. Tampubolon GH dan Sutedjo P. 1983. Laporan Survei Analisa Potensi Sumberdaya Perikanan di Perairan Selat Malaka. Semarang : Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Ikan. 110 hal. Tarp TG dan Kailola PJ. 1984. Trawled Fishes Of Southern Indonesia And Northwestern Australia. Australian Development Assistance Bureau. Directorate General of Fisheries-Indonesia.German Agency for Technical Cooporation. 300p. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Jakarta. 51 hal. Urick RJ. 1983. Principle of Underwater Sound. 3rd Edition. London: McGrawHill Book Company. 423 p. Ward JM, Kirkley JE, Metzner R and Pascoe S. 2004. Measuring and Assessing Capacity in Fisheries : basic concepts and management options. Rome: FAO Fisheries Technical Paper No. 433/1. 40 p. Wiadnyana NN. 1999. Kelimpahan Zooplankton dan Kesuburan Perairan Pesisir Dobo, Maluku Tenggara. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan perikanan Indonesia. Vol. VI (2) : 45-51. Widodo J. 2004. Status Stok, Dampak Penangkapan dan Eko-Biologi Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Pelagis Besar di Perairan Teluk Tomini, Laut Seram dan Laut Sulawesi. Jakarta: Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 55 hal. Widodo J, Naamin N, Aziz KA. 1997. Metode Pengkajian Stok (Stock Assessment) : Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia, Jakarta : Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut. Hal. 4-12. Widodo J, Aziz KA, Priyono BE, Tampubolon GH, Naamin N, Djamali A.. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut. 251 hal. Wootton RJ. 1992. Fish Ecology. Department of Biological Sciences University College of Wales Aberystwyth. New York: Chapman and Hall. 211 p.
Wudianto. 2001. Analisis Sebaran Dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sardinella Lemuru Bleeker, 1893) Di Perairan Selat Bali : kaitannya dengan optimasi penangkapan. Disertasi (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yu H, Yu Y. 2007. Fishing Capacity Management in China : Theoritic and Practical Perspectives. Marine Policy. Journal of Ocean University of China Vol. 6 (1). p: 1-9. Zhou Y, Chen X, Zhang X. 2003. The Measurement Of Fishing Capacity In Chinese Fisheries And Related Control Practies. Rome: FAO fisheries technical paper No. 445. p:261-270.
112
Lampiran 1 Distribusi SPL di Perairan Togean pada musim Barat dan Timur
Lintang Selatan
Musim Barat
Lintang Selatan
Bujur Timur
Lintang Selatan
Bujur Timur
Bujur Timur
113
Lampiran 1 (Lanjutan)
Lintang Selatan
Musim Timur
Lintang Selatan
Bujur Timur
Lintang Selatan
Bujur Timur
Bujur Timur
114
Lampiran 2 Distribusi klorofil-a di Perairan Togean pada musim barat dan timur Musim Barat
Desember 0.8 0.75 0.7 P. Una Una
0.65
Lintang Selatan
-0.2
0.6 P. Malengke P. Waleakobi
0.55
P. Waleabahi
0.5 0.45
P. Talatakoh
0.4
P. Togian
0.35
-0.45 P. Batudaka
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05
-0.7 121.5
121.75
122
122.25
122.5
Bujur Timur Januari 0.8 0.75 0.7 P. Una Una
0.65
-0.2
Lintang Selatan
0.6 P. Malengke P. Waleakobi
0.55
P. Waleabahi
0.5 0.45
P. Talatakoh
0.4
P. Togian
0.35
-0.45 P. Batudaka
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05
-0.7 121.5
121.75
122
122.25
122.5
Bujur Timur Pebruari 0.8 0.75 0.7
Lintang Selatan
P. Una Una
0.65
-0.2
0.6 0.55
P. Malengke P. Waleakobi
P. Waleabahi
0.5 0.45
P. Talatakoh
0.4
P. Togian
0.35
-0.45 P. Batudaka
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1
-0.7 121.5
0.05 121.75
122
Bujur Timur
122.25
122.5
115
Lampiran 2 (Lanjutan) Juni
Musim Timur
0.8 0.75 0.7
Lintang Selatan
P. Una Una
0.65
-0.2
0.6 P. Malengke P. Waleakobi
0.55
P. Waleabahi
0.5 0.45
P. Talatakoh
0.4
P. Togian
0.35
-0.45 P. Batudaka
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05
-0.7 121.5
121.75
122
122.25
122.5
Bujur Timur Juli 0.8 0.75 0.7
Lintang Selatan
P. Una Una
0.65
-0.2
0.6 P. Malengke P. Waleakobi
0.55
P. Waleabahi
0.5 0.45
P. Talatakoh
0.4
P. Togian
0.35
-0.45 P. Batudaka
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05
-0.7 121.5
121.75
122
122.25
122.5
Bujur Timur Agustus 0.8 0.75 0.7 P. Una Una
0.65
Lintang Selatan
-0.2
0.6 P. Malengke P. Waleakobi
0.55
P. Waleabahi
0.5 0.45
P. Talatakoh
0.4
P. Togian
0.35
-0.45 P. Batudaka
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1
-0.7 121.5
0.05 121.75
122
Bujur Timur
122.25
122.5
116
Lampiran 3 Perhitungan efisiensi dan kapasitas antar waktu menggunakan DEAP version 2.1 dsal-dta.txt dsal-out.txt 8 1 1 1 0 0 0
DATA FILE NAME OUTPUT FILE NAME NUMBER OF FIRMS NUMBER OF TIME PERIODS NUMBER OF OUTPUTS NUMBER OF INPUTS 0=INPUT AND 1=OUTPUT ORIENTATED 0=CRS AND 1=VRS 0=DEA(MULTI-STAGE), 1=COST-DEA, 2=MALMQUIST-DEA, 3=DEA (1-STAGE),4=DEA (2-STAGE) Results from DEAP Version 2.1 Instruction file = dsal-ins.txt Data file = dsal-dta.txt Input orientated DEA Scale assumption: CRS EFFICIENCY SUMMARY: SUMMARY OF SUMMARY OF TECHNICAL DMU OUTPUT TARGETS INPUT TARGETS EFFICIENCY 1 1006.30 815.39 0.98 2 1030.50 835.00 1.00 3 1071.10 867.90 1.04 4 917.60 743.52 0.89 5 754.50 611.36 0.73 6 734.70 595.32 0.71 7 790.20 640.29 0.77 8 825.20 668.65 0.80 FIRM BY FIRM RESULTS: Results for firm: 1 PROJECTION SUMMARY: Technical efficiency = 0.988 variable Tangkapan (ton) Effort (trip)
original value 1006.3 825
radial movement 0 -9.609
Slack movement 0 0
projected value 1006.3 815.391
radial movement 0 0
slack movement 0 0
projected value 1030.5 835
Results for firm: 2 Technical efficiency = 1.000 variable Tangkapan (ton) Effort (trip)
original value 1030.5 835
117
Lampiran 3 (Lanjutan) Results for firm: 3 PROJECTION SUMMARY: Technical efficiency = 0.980 variable original value Tangkapan (ton) 1071.1 Effort (trip) 886
radial movement 0 -18.102
slack movement 0 0
projected value 1071.1 867.898
Results for firm: 4 Technical efficiency = 0.815 variable original value Tangkapan (ton) 917.6 Effort (trip) 912
radial movement 0 -168.481
slack movement 0 0
projected value 917.6 743.519
Results for firm: 5 Technical efficiency = 0.605 variable original value Tangkapan (ton) 754.5 Effort (trip) 1011
radial movement 0 -399.639
slack movement 0 0
projected value 754.5 611.361
Results for firm: 6 Technical efficiency = 0.597 variable original value Tangkapan (ton) 734.7 Effort (trip) 997
radial movement 0 -401.683
slack movement 0 0
projected value 734.7 595.317
Results for firm: 7 Technical efficiency = 0.657 variable original value Tangkapan (ton) 790.2 Effort (trip) 974
radial movement 0 -333.712
slack movement 0 0
projected value 790.2 640.288
Results for firm: 8 Technical efficiency = 0.683 variable original value Tangkapan (ton) 825.2 Effort (trip) 979
radial movement 0 -310.352
slack movement 0 0
projected value 825.2 668.648
118
Lampiran 4 Perhitungan efisiensi dan kapasitas antar alat tangkap menggunakan program DEAP 2.1 Ikan Demersal ac-dta.txt ac-out.txt 6 1 1 1 1 1 0
DATA FILE NAME OUTPUT FILE NAME NUMBER OF FIRMS NUMBER OF TIME PERIODS NUMBER OF OUTPUT NUMBER OF INPUT 0=INPUT AND 1=OUTPUT ORIENTATED 0=CRS AND 1=VRS 0=DEA (MULTI-STAGE), 1=COST-DEA, 2=MALQUIST-DEA 3=DEA (1-STAGE), 4=DEA (2-STAGE) Results from DEAP Version 2.1 Instruction file = ac-ins.txt Data file = ac-dta.txt Output orientated DEA Scale assumption: VRS Note: vrste = technical efficiency from VRS DEA scale = scale efficiency = crste/vrste Note also that all subsequent tables refer to VRS results SUMMARY OF OUTPUT TARGETS 1 203.05 2 8.68 3 494.60 4 69.42 5 130.16 6 32.98 FIRM BY FIRM RESULTS: Results for firm: 1 Technical efficiency = 0.799 Scale efficiency = 0.684 (irs) DMU
SUMMARY OF INPUT TARGETS 180 100 300 125 150 110
EFFICIENCY SUMMARY 0.799 1.000 1.000 0.411 0.638 1.000
PROJECTION SUMMARY: variable output input
1 1
original value 162.24 180
radial movement 40.808 0
slack movement 0 0
projected value 203.048 180
SCALE irs irs irs -
119
Lampiran 4 (Lanjutan) Results for firm: 2 Technical efficiency = 1.000 Scale efficiency = 0.053 (irs) PROJECTION SUMMARY: original radial value movement output 1 8.68 0 input 1 100 0 Results for firm: 3 Technical efficiency = 1.000 Scale efficiency = 1.000 (crs) PROJECTION SUMMARY:
variable
original radial value movement output 1 494.6 0 input 1 300 0 Results for firm: 4 Technical efficiency = 0.411 Scale efficiency = 0.337 (irs) PROJECTION SUMMARY: variable
slack movement 0 0
slack movement 0 0
projected value 8.68 100
projected value 494.6 300
original radial value movement output 1 28.51 40.91 input 1 125 0 Results for firm: 5 Technical efficiency = 0.638 Scale efficiency = 0.526 (irs) PROJECTION SUMMARY:
slack movement 0 0
projected value 69.42 125
original radial value movement output 1 83.1 47.06 input 1 150 0 Results for firm: 6 Technical efficiency = 1.000 Scale efficiency = 0.182 (irs) PROJECTION SUMMARY:
slack movement 0 0
projected value 130.16 150
original value 32.96 110
slack movement 0 0
projected value 32.976 110
variable
variable
variable output input
1 1
radial movement 0.016 0
120
Lampiran 5 Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean Nama Kapal (input/output) Aktual Target Selisih Persentase Kapal 1 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 50 50 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 10 10 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 20 20 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 22 22 0.00 0.00 Panjang jaring (meter) 43.20 43.200 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 425500 425500 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 1000000 1000000 0.00 0.00 Kapal 2 0.89 Hasil tangkapan (Kg) 33 37.04 4.09 12.39 Lama panangkapan (jam) 5 4.26 -0.74 -14.80 Jumlah trip/bulan 25 24.25 -0.75 -3.00 BBM per trip (liter) 15 14.97 -0.03 -0.20 Panjang jaring (meter) 40.02 38.09 -1.93 -4.82 Biaya operasional (Rp) 185000 185000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 900000 900000 0.00 0.00 Kapal 3 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 20 20 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 4 4 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 25 25 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 10 10 0.00 0.00 Panjang jaring (meter) 34.14 34.140 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 100000 100000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 525000 525000 0.00 0.00 Kapal 4 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 25 25 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 3 3 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 20 20 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 14 14 0.00 0.00 Panjang jaring (meter) 37.37 37.370 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 125000 125000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 800000 800000 0.00 0.00
121
Lampiran 5 (Lanjutan) Nama Kapal (input/outpu) Aktual Target Selisih Persentase Kapal 5 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 80 80 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 8 8 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 23 23 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 23 23 0.00 0.00 Panjang jaring (meter) 43.25 37.370 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 400000 400000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 3050000 3050000 0.00 0.00 Kapal 6 0.86 Hasil tangkapan (Kg) 34 39.47 5.47 16.09 Lama panangkapan (jam) 8 5.24 -2.76 -34.50 Jumlah trip/bulan 24 21.72 -2.28 -9.50 BBM per trip (liter) 14 14 0 0.00 Panjang jaring (meter) 37 36.01 -0.99 -2.68 Biaya operasional (Rp) 225000 225000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 1100000 1100000 0.00 0.00 Kapal 7 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 24 24 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 3 3 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 25 25 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 12 12 0.00 0.00 Panjang jaring (meter) 34.90 34.900 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 120000 120000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 500040 500040 0.00 0.00 Kapal 8 0.84 Hasil tangkapan (Kg) 25.5 30.32 4.82 18.90 Lama panangkapan (jam) 6 3.67 -2.33 -38.83 Jumlah trip/bulan 23 23 0 0.00 BBM per trip (liter) 13 11.95 -1.05 -8.08 Panjang jaring (meter) 35.33 34.90 -0.43 -1.22 Biaya operasional (Rp) 150000 150000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 700500 700500 0.00 0.00
122
Lampiran 5 (Lanjutan) Nama Kapal (input/outpu) Aktual Target Selisih Persentase Kapal 9 0.84 Hasil tangkapan (Kg) 15.5 18.49 2.99 19.29 Lama panangkapan (jam) 5 3.33 -1.67 -33.40 Jumlah trip/bulan 23 21.33 -1.67 -7.26 BBM per trip (liter) 7 7 0 0.00 Panjang jaring (meter) 30.5 29.75 -0.75 -2.46 Biaya operasional (Rp) 100000 100000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 498000 498000 0.00 0.00 Kapal 10 0.83 Hasil tangkapan (Kg) 25.5 30.84 5.34 20.94 Lama panangkapan (jam) 6 4.45 -1.55 -25.83 Jumlah trip/bulan 23 21.72 -1.28 -5.57 BBM per trip (liter) 12 12 0 0.00 Panjang jaring (meter) 35.5 34.47 -1.03 -2.90 Biaya operasional (Rp) 180000 180000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 700000 700000 0.00 0.00 Kapal 11 0.80 Hasil tangkapan (Kg) 20.5 25.67 5.17 25.22 Lama panangkapan (jam) 5 3.01 -1.99 -39.80 Jumlah trip/bulan 23 22.70 -0.30 -1.30 BBM per trip (liter) 10 9.97 -0.03 -0.30 Panjang jaring (meter) 33 33.00 0 0.00 Biaya operasional (Rp) 116000 116000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 580000 580000 0.00 0.00 Kapal 12 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 30 30 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 3 3 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 25 25 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 13 13 0.00 0.00 Panjang jaring (meter) 36.74 36.740 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 125000 125000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 625000 625000 0.00 0.00
123
Lampiran 5 (Lanjutan) Nama Kapal (input/outpu) Aktual Target Selisih Persentase Kapal 13 0.89 Hasil tangkapan (Kg) 28 31.56 3.56 12.71 Lama panangkapan (jam) 5 3.43 -1.57 -31.40 Jumlah trip/bulan 24 23.52 -0.48 -2.00 BBM per trip (liter) 13 12.15 -0.85 -6.54 Panjang jaring (meter) 35.21 35.21 0 0.00 Biaya operasional (Rp) 143000 143000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 780000 780000 0.00 0.00 Kapal 14 0.84 Hasil tangkapan (Kg) 16 19.17 3.17 19.81 Lama panangkapan (jam) 4 3.67 -0.33 -8.25 Jumlah trip/bulan 24 23.67 -0.33 -1.38 BBM per trip (liter) 12 9 -3 -25.00 Panjang jaring (meter) 34.85 32.62 -2.23 -6.40 Biaya operasional (Rp) 100000 100000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 505000 505000 0.00 0.00 Kapal 15 0.81 Hasil tangkapan (Kg) 19 23.46 4.46 23.47 Lama panangkapan (jam) 5 3.93 -1.07 -21.40 Jumlah trip/bulan 25 23.91 -1.09 -4.36 BBM per trip (liter) 14 12.26 -1.74 -12.43 Panjang jaring (meter) 36.97 36.09 -0.88 -2.38 Biaya operasional (Rp) 110000 110000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 550000 550000 0.00 0.00 Kapal 16 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 20 20 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 5 5 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 21 21 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 14.5 14.5 0.00 0.00 Panjang jaring (meter) 38.00 38.000 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 105000 105000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 490000 490000 0.00 0.00
124
Lampiran 5 (Lanjutan) Nama Kapal (input/outpu) Aktual Target Selisih Persentase Kapal 17 0.89 Hasil tangkapan (Kg) 20.5 23.09 2.59 12.63 Lama panangkapan (jam) 5 3.16 -1.84 -36.80 Jumlah trip/bulan 21 20.03 -0.97 -4.62 BBM per trip (liter) 7 7 0 0.00 Panjang jaring (meter) 30.77 29.09 -1.68 -5.46 Biaya operasional (Rp) 116000 116000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 613000 613000 0.00 0.00 Kapal 18 0.85 Hasil tangkapan (Kg) 17.5 20.49 2.99 17.09 Lama panangkapan (jam) 5 3.15 -1.85 -37.00 Jumlah trip/bulan 23 21.75 -1.25 -5.43 BBM per trip (liter) 8 8 0 0.00 Panjang jaring (meter) 30.87 30.82 -0.05 -0.16 Biaya operasional (Rp) 105000 105000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 515000 515000 0.00 0.00 Kapal 19 0.84 Hasil tangkapan (Kg) 30 35.85 5.85 19.50 Lama panangkapan (jam) 6 4.92 -1.08 -18.00 Jumlah trip/bulan 24 23.65 -0.35 -1.46 BBM per trip (liter) 16 15.50 -0.50 -3.13 Panjang jaring (meter) 39.69 38.53 -1.16 -2.92 Biaya operasional (Rp) 208000 208000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 750000 750000 0.00 0.00 Kapal 20 0.95 Hasil tangkapan (Kg) 29 30.41 1.41 4.86 Lama panangkapan (jam) 4 3.45 -0.55 -13.75 Jumlah trip/bulan 25 24.25 -0.75 -3.00 BBM per trip (liter) 14 13.16 -0.84 -6.00 Panjang jaring (meter) 36.54 36.54 0 0.00 Biaya operasional (Rp) 145000 145000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 635000 635000 0.00 0.00
125
Lampiran 5 (Lanjutan) Nama Kapal (input/outpu) Aktual Target Selisih Persentase Kapal 21 0.88 Hasil tangkapan (Kg) 15 17.04 2.04 13.60 Lama panangkapan (jam) 4 2.81 -1.19 -29.75 Jumlah trip/bulan 21 20.13 -0.87 -4.14 BBM per trip (liter) 7 6.32 -0.68 -9.71 Panjang jaring (meter) 28.56 28.56 0 0.00 Biaya operasional (Rp) 100000 100000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 455000 455000 0.00 0.00 Kapal 22 0.85 Hasil tangkapan (Kg) 18.5 21.71 3.12 16.86 Lama panangkapan (jam) 4 2.70 -1.30 -32.50 Jumlah trip/bulan 22 21.41 -0.59 -2.68 BBM per trip (liter) 9 8.5 -0.5 -5.56 Panjang jaring (meter) 31.06 31.06 0 0.00 Biaya operasional (Rp) 110000 110000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 510000 510000 0.00 0.00 Kapal 23 0.87 Hasil tangkapan (Kg) 21 24.08 3.08 14.67 Lama panangkapan (jam) 5 3.11 -1.89 -37.80 Jumlah trip/bulan 22 20.90 -1.10 -5.00 BBM per trip (liter) 8 8 0 0.00 Panjang jaring (meter) 30.89 30.39 -0.5 -1.62 Biaya operasional (Rp) 116500 116500 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 605000 605000 0.00 0.00 Kapal 24 0.83 Hasil tangkapan (Kg) 14 16.88 2.88 20.57 Lama panangkapan (jam) 3 2.75 -0.25 -8.33 Jumlah trip/bulan 22 20.00 -2.00 -9.09 BBM per trip (liter) 8 6.25 -1.75 -21.88 Panjang jaring (meter) 28.91 28.43 -0.48 -1.66 Biaya operasional (Rp) 100000 100000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 450000 450000 0.00 0.00
126
Lampiran 5 (Lanjutan) Nama Kapal (input/outpu) Aktual Target Selisih Persentase Kapal 25 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 18 18 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 3 3 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 18 18 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 4 4 0.00 0.00 Panjang jaring (meter) 25.54 25.540 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 100000 100000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 505500 505500 0.00 0.00 Kapal 26 0.79 Hasil tangkapan (Kg) 14.5 18.31 3.81 26.28 Lama panangkapan (jam) 4 3.21 -0.79 -19.75 Jumlah trip/bulan 21 20.21 -0.79 -3.76 BBM per trip (liter) 6 6 0 0.00 Panjang jaring (meter) 29.51 28.34 -1.17 -3.96 Biaya operasional (Rp) 100000 100000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 500000 500000 0.00 0.00 Nama kpl Aktual Target Selisih Persentase Kapal 27 0.86 Hasil tangkapan (Kg) 16 18.66 2.66 16.63 Lama panangkapan (jam) 3 2.40 -0.60 -20.00 Jumlah trip/bulan 21 19.61 -1.39 -6.62 BBM per trip (liter) 7.5 6.83 -0.67 -8.93 Panjang jaring (meter) 28.5 28.50 0 0.00 Biaya operasional (Rp) 110000 110000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 450000 450000 0.00 0.00 Kapal 28 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 15 15 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 2 2 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 17 17 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 4 4 0.00 0.00 Panjang jaring (meter) 25.00 25.000 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 100000 100000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 405000 405000 0.00 0.00
127
Lampiran 5 (Lanjutan) Nama Kapal (input/outpu) Aktual Target Selisih Persentase Kapal 29 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 15 15 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 2 2 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 17 17 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 4 4 0.00 0.00 Panjang jaring (meter) 25.00 25.000 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 100000 100000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 405000 405000 0.00 0.00 Kapal 30 0.84 Hasil tangkapan (Kg) 18 21.41 3.41 18.94 Lama panangkapan (jam) 4 2.83 -1.07 -26.75 Jumlah trip/bulan 21 20.05 -0.95 -4.52 BBM per trip (liter) 7 7 0 0.00 Panjang jaring (meter) 30.43 29.13 -1.3 -4.27 Biaya operasional (Rp) 110000 110000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 525500 525500 0.00 0.00
128
Lampiran 6 Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal rawai dasar tetap di Kepulauan Togean Nama Kapal (input/output) Aktual Target Selisih Persentase Mariri 0.71 Hasil tangkapan (Kg) 50 70 20.00 40.00 Lama panangkapan (jam) 8 8 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 26 23 -3.00 -11.54 BBM per trip (liter) 200 60 -140.00 -70.00 Jumlah mata pancing (buah) 300 85 -215.00 -71.67 Biaya operasional (Rp) 525500 400000 -125500.00 -23.88 Keuntungan (Rp) 3036000 3036000 0.00 0.00 Ampana 1 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 40 40 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 6 6 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 25 25 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 100 100 0.00 0.00 Jumlah mata pancing (buah) 75 75 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 200000 200000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 1540000 1540000 0.00 0.00 Batudaka 0.67 Hasil tangkapan (Kg) 35 52.16 17.16 49.03 Lama panangkapan (jam) 9 6.22 -2.78 -30.89 Jumlah trip/bulan 25 20.32 -4.68 -18.72 BBM per trip (liter) 110 51.08 -58.92 -53.56 Jumlah mata pancing (buah) 100 76.08 -23.92 -23.92 Biaya operasional (Rp) 650000 333000 -317000.00 -48.77 Keuntungan (Rp) 1362500 1362500 0.00 0.00 Surya 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 30 30 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 6 6 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 23 23 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 80 80 0.00 0.00 Jumlah mata pancing (buah) 55 55 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 100000 100000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 875000 875000 0.00 0.00
129
Lampiran 6 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Aktual Target Selisih Persentase Anugrah 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 70 70 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 8 8 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 23 23 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 60 60 0.00 0.00 Jumlah mata pancing (buah) 85 85 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 400000 400000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 3036000 3036000 0.00 0.00 Wakai 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 50 50 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 6 6 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 20 20 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 50 50 0.00 0.00 Jumlah mata pancing (buah) 75 75 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 325000 325000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 1160000 1160000 0.00 0.00 Ampana 2 0.99 Hasil tangkapan (Kg) 60 60.12 0.12 0.20 Lama panangkapan (jam) 9 7.02 -1.98 -22.00 Jumlah trip/bulan 22 21.55 -0.45 -2.05 BBM per trip (liter) 65 55.10 -9.90 -15.23 Jumlah mata pancing (buah) 80 80 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 425000 363000 -62000.00 -14.59 Keuntungan (Rp) 2115000 2115000 0.00 0.00 Walea 1.00 Hasil tangkapan (Kg) 30 30 0.00 0.00 Lama panangkapan (jam) 7 7 0.00 0.00 Jumlah trip/bulan 25 25 0.00 0.00 BBM per trip (liter) 50 50 0.00 0.00 Jumlah mata pancing (buah) 50 50 0.00 0.00 Biaya operasional (Rp) 235000 235000 0.00 0.00 Keuntungan (Rp) 805000 805000 0.00 0.00
130
Lampiran 7 Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal bubu di Kepulauan Togean Nama Kapal (input/output) Kapal 1 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Volume bubu (m3) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 2 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Volume bubu (m3) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 3 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Volume bubu (m3) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 4 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Volume bubu (m3) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual Target Selisih Persentase 1.00 15 15 0 0.00 3 3 0 0.00 25 25 0 0.00 5 5 0 0.00 0.86 0.86 0 0.00 120000 120000 0 0.00 510000 510000 0 0.00 1.00 15 15 0 0.00 4 4 0 0.00 20 20 0 0.00 8 8 0 0.00 1.09 1.09 0 0.00 225000 225000 0 0.00 604500 604500 0 0.00 0.86 18 20.92 2.92 16.22 4 3.54 -0.46 -11.50 25 23.39 -1.61 -6.44 12 9.85 -2.15 -17.92 1 0.92 -0.08 -8.00 190000 190000 0 0.00 329000 329000 0 0.00 0.96 25 26 1 4.00 5 4 -1 -20.00 25 22 -3 -12.00 15 14 -1 -6.67 1.3 0.97 -0.33 -25.38 250000 250000 0 0.00 175000 175000 0 0.00
131
Lampiran 7 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 5 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Volume bubu (m3) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 6 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Volume bubu (m3) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 7 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Volume bubu (m3) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 8 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Volume bubu (m3) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual Target Selisih Persentase 1.00 17 17 0 0.00 3 3 0 0.00 26 26 0 0.00 11 11 0 0.00 1.44 1.44 0 0.00 205000 205000 0 0.00 849000 849000 0 0.00 1.00 15 15 0 0.00 3 3 0 0.00 25 25 0 0.00 6 6 0 0.00 0.67 0.67 0 0.00 125000 125000 0 0.00 595000 595000 0 0.00 1.00 20 20 0 0.00 4 4 0 0.00 20 20 0 0.00 11 11 0 0.00 1.44 1.44 0 0.00 200000 200000 0 0.00 750000 750000 0 0.00 1.00 26 26 0 0.00 4 4 0 0.00 22 22 0 0.00 14 14 0 0.00 0.97 0.97 0 0.00 250000 250000 0 0.00 175000 175000 0 0.00
132
Lampiran 8 Proyeksi input masing-masing kapal pancing ikan dasar di Kepulauan Togean Nama Kapal (input/output) Kapal 1 0.89 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 2 0.57 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 3 0.91 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 4 0.83 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
22.00 4.00 20.00 15.00 5.00 125500.00 644500.00
24.82 3.55 20.00 7.64 3.77 125500.00 644500.00
2.82 -0.45 0.00 -7.36 -1.23 0.00 0.00
12.82 -11.25 0.00 -49.07 -24.60 0.00 0.00
17.00 5.00 20.00 12.00 5.00 210000.00 540000.00
30.00 3.00 18.00 8.00 4.00 210000.00 540000.00
13.00 -2.00 -2.00 -4.00 -1.00 0.00 0.00
76.47 -40.00 -10.00 -33.33 -20.00 0.00 0.00
20.00 4.00 25.00 15.00 4.00 105000.00 520000.00
22.09 3.04 22.44 11.15 3.04 105000.00 520000.00
2.09 -0.96 -2.56 -3.85 -0.96 0.00 0.00
10.45 -24.00 -10.24 -25.67 -24.00 0.00 0.00
25.00 3.00 20.00 18.50 5.00 210000.00 540000.00
30.00 3.00 18.00 8.00 4.00 210000.00 540000.00
5.00 0.00 -2.00 -10.50 -1.00 0.00 0.00
20.00 0.00 -10.00 -56.76 -20.00 0.00 0.00
133
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 5 0.97 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 6 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 7 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 8 0.89 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
25.00 8.00 23.00 19.00 5.00 130000.00 694000.00
25.64 3.73 19.45 6.91 4.00 130000.00 694000.00
0.64 -4.27 -3.55 -12.09 0.00 0.00 0.00
2.56 -53.38 -15.43 -63.63 0.00 0.00 0.00
25.00 5.00 24.00 18.00 3.00 225000.00 837500.00
25.00 5.00 24.00 18.00 3.00 225000.00 837500.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
24.00 3.00 25.00 17.50 3.00 120000.00 600000.00
24.00 3.00 25.00 17.50 3.00 120000.00 600000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
19.00 4.00 20.00 14.00 3.00 225000.00 701000.00
21.38 4.00 20.00 9.75 3.00 146875.00 701000.00
2.38 0.00 0.00 -4.25 0.00 -78125.00 0.00
12.53 0.00 0.00 -30.36 0.00 -34.72 0.00
134
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 9 0.59 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 10 0.56 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 11 0.45 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 12 0.83 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
12.00 3.00 20.00 11.00 3.00 105000.00 496000.00
20.26 3.00 20.00 5.26 3.00 105000.00 496000.00
8.26 0.00 0.00 -5.74 0.00 0.00 0.00
68.83 0.00 0.00 -52.18 0.00 0.00 0.00
15.00 5.00 20.00 12.00 5.00 105000.00 520000.00
26.73 3.55 19.09 7.18 4.00 105000.00 520000.00
11.73 -1.45 -0.91 -4.18 -1.00 0.00 0.00
78.20 -29.00 -4.55 -34.83 -20.00 0.00 0.00
22.00 3.00 26.00 10.00 4.00 165000.00 591000.00
26.67 3.00 20.85 10.00 3.49 165000.00 591000.00
4.67 0.00 -5.15 0.00 -0.51 0.00 0.00
21.23 0.00 -19.81 0.00 -12.75 0.00 0.00
20.00 3.00 25.00 14.50 5.00 105000.00 520000.00
24.02 3.00 23.57 14.50 3.10 105000.00 520000.00
4.02 0.00 -1.43 0.00 -1.90 0.00 0.00
20.10 0.00 -5.72 0.00 -38.00 0.00 0.00
135
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 13 0.60 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 14 0.73 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 15 0.83 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 16 0.88 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
18.00 3.00 20.00 12.50 5.00 250000.00 540000.00
30.00 3.00 18.00 8.00 4.00 210000.00 540000.00
12.00 0.00 -2.00 -4.50 -1.00 -40000.00 0.00
66.67 0.00 -10.00 -36.00 -20.00 -16.00 0.00
16.00 4.00 22.00 14.00 5.00 100000.00 556000.00
22.08 3.28 21.20 8.42 3.28 100000.00 556000.00
6.08 -0.72 -0.80 -5.58 -1.72 0.00 0.00
38.00 -18.00 -3.64 -39.86 -34.40 0.00 0.00
19.00 5.00 20.00 15.00 4.00 110000.00 555000.00
22.80 3.33 20.00 6.51 3.46 110000.00 555000.00
3.80 -1.67 0.00 -8.49 -0.54 0.00 0.00
20.00 -33.40 0.00 -56.60 -13.50 0.00 0.00
20.00 5.00 21.00 16.50 5.00 105000.00 595000.00
22.83 3.40 21.00 8.40 3.44 105000.00 595000.00
2.83 -1.60 0.00 -8.10 -1.56 0.00 0.00
14.15 -32.00 0.00 -49.09 -31.20 0.00 0.00
136
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 17 0.97 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 18 0.83 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 19 0.70 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 20 0.73 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
20.00 3.00 20.00 10.00 3.00 135000.00 633000.00
20.71 3.00 20.00 5.71 3.00 118000.00 520000.00
0.71 0.00 0.00 -4.29 0.00 -17000.00 0.00
3.55 0.00 0.00 -42.90 0.00 -12.59 0.00
17.00 3.00 20.00 12.00 3.00 140000.00 574000.00
20.52 3.00 20.00 5.52 3.00 110000.00 574000.00
3.52 0.00 0.00 -6.48 0.00 -30000.00 0.00
20.71 0.00 0.00 -54.00 0.00 -21.43 0.00
21.00 5.00 23.00 16.00 5.00 210000.00 540000.00
30.00 3.00 18.00 8.00 4.00 210000.00 540000.00
9.00 -2.00 -5.00 -8.00 -1.00 0.00 0.00
42.86 -40.00 -21.74 -50.00 -20.00 0.00 0.00
19.00 4.00 23.00 13.50 5.00 145000.00 624500.00
26.06 3.30 21.11 10.97 3.64 145000.00 624500.00
7.06 -0.70 -1.89 -2.53 1.36 0.00 0.00
37.16 -17.50 -8.22 -18.74 27.20 0.00 0.00
137
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 21 0.75 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 22 0.66 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 23 0.65 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 24 0.59 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
15.00 4.00 22.00 5.00 3.00 90000.00 420000.00
20.00 3.00 20.00 5.00 3.00 90000.00 420000.00
5.00 -1.00 -2.00 0.00 0.00 0.00 0.00
33.33 -25.00 -9.09 0.00 0.00 0.00 0.00
14.00 4.00 21.00 6.00 3.00 125000.00 520000.00
21.09 3.00 20.86 6.00 3.00 102000.00 520000.00
7.09 -1.00 -0.14 0.00 0.00 -23000.00 0.00
50.64 -25.00 -0.67 0.00 0.00 -18.40 0.00
16.00 5.00 20.00 10.00 4.00 132000.00 588000.00
24.74 3.34 20.00 7.85 3.63 132000.00 588000.00
8.74 -1.66 0.00 -2.15 -0.37 0.00 0.00
54.63 -33.20 0.00 -21.50 -9.25 0.00 0.00
12.00 3.00 22.00 6.00 3.00 102000.00 438000.00
20.36 3.00 20.42 6.00 3.00 93000.00 438000.00
8.36 0.00 -1.58 0.00 0.00 -9000.00 0.00
69.67 0.00 -7.18 0.00 0.00 -8.82 0.00
138
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 25 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 26 0.71 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 27 0.81 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 28 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
18.00 3.00 18.00 5.00 3.00 94000.00 458000.00
18.00 3.00 18.00 5.00 3.00 94000.00 458000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
14.00 4.00 19.00 7.00 3.00 112000.00 518000.00
19.73 3.27 19.00 5.46 3.00 99000.00 518000.00
5.73 -0.73 0.00 -1.54 0.00 -13000.00 0.00
40.93 -18.25 0.00 -22.00 0.00 -11.61 0.00
16.00 3.00 18.00 10.00 4.00 150000.00 450000.00
19.71 2.49 18.00 5.69 3.23 122000.00 450000.00
3.71 -0.51 0.00 -4.31 -0.77 -28000.00 0.00
23.19 -17.00 0.00 -43.10 -19.25 -18.67 0.00
15.00 2.00 17.00 5.00 3.00 100000.00 425000.00
15.00 2.00 17.00 5.00 3.00 100000.00 425000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
139
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 29 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 30 0.86 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 31 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 32 0.78 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
15.00 2.00 17.00 5.50 3.00 100000.00 425000.00
15.00 2.00 17.00 5.00 3.00 100000.00 425000.00
0.00 0.00 0.00 -0.50 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 -9.09 0.00 0.00 0.00
18.00 4.00 20.00 7.00 3.00 140000.00 598000.00
20.96 3.21 20.00 5.75 3.00 111000.00 598000.00
2.96 -0.79 0.00 -1.25 0.00 -29000.00 0.00
16.44 -19.75 0.00 -17.86 0.00 -20.71 0.00
10.00 5.00 25.00 14.50 7.00 100000.00 350000.00
10.00 5.00 25.00 14.50 7.00 100000.00 350000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
20.00 5.00 25.00 14.00 5.00 150000.00 550000.00
27.70 3.00 21.57 11.98 3.38 150000.00 550000.00
5.70 -2.00 -3.43 -2.02 -1.62 0.00 0.00
28.50 -40.00 -13.72 -14.43 -32.40 0.00 0.00
140
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 33 0.95 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 34 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 35 0.83 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 36 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
25.00 3.00 20.00 12.00 5.00 165000.00 497500.00
26.28 3.00 18.84 7.07 3.62 165000.00 497500.00
1.28 0.00 -1.16 -4.93 -1.38 0.00 0.00
5.12 0.00 -5.80 -41.08 -27.60 0.00 0.00
23.00 3.00 22.00 6.00 3.00 125000.00 680000.00
23.00 3.00 22.00 6.00 3.00 125000.00 680000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
25.00 5.00 20.00 11.50 5.00 250000.00 540000.00
30.00 3.00 18.00 8.00 4.00 210000.00 540000.00
5.00 -2.00 -2.00 -3.50 -1.00 -40000.00 0.00
20.00 -40.00 -10.00 -30.43 -20.00 -16.00 0.00
24.00 4.00 20.00 6.50 4.00 100000.00 752000.00
24.00 4.00 20.00 6.50 4.00 100000.00 752000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
141
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 37 0.66 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 38 0.57 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 39 0.62 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 40 0.90 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
15.00 6.00 26.00 14.00 7.00 110000.00 535000.00
22.62 3.00 23.15 12.94 3.01 110000.00 535000.00
7.62 -3.00 -2.85 -1.06 -3.99 0.00 0.00
50.80 -50.00 -10.96 -7.57 -57.00 0.00 0.00
12.00 4.00 25.00 12.00 5.00 105000.00 435000.00
21.25 3.00 19.75 5.38 3.13 105000.00 435000.00
9.25 -1.00 -5.25 -6.62 -1.87 0.00 0.00
77.08 -25.00 -21.00 -55.17 -37.40 0.00 0.00
15.00 5.00 25.00 15.00 5.00 135000.00 510000.00
24.20 3.00 20.90 9.65 3.30 135000.00 510000.00
9.20 -2.00 -4.10 -5.35 -1.70 0.00 0.00
61.33 -40.00 -16.40 -35.67 -34.00 0.00 0.00
22.00 3.00 20.00 8.00 4.00 140000.00 493500.00
24.39 3.00 19.00 8.00 3.38 140000.00 493500.00
2.39 0.00 -1.00 0.00 -0.62 0.00 0.00
10.86 0.00 -5.00 0.00 -15.50 0.00 0.00
142
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 41 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 42 0.88 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 43 0.80 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 44 0.83 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
30.00 3.00 18.00 8.00 4.00 210000.00 540000.00
30.00 3.00 18.00 8.00 4.00 210000.00 540000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
18.00 4.00 20.00 6.00 3.00 145000.00 512000.00
20.50 3.11 20.00 5.39 3.00 101000.00 512000.00
2.50 -0.89 0.00 -0.61 0.00 -44000.00 0.00
13.89 -22.25 0.00 -10.17 0.00 -30.34 0.00
16.00 3.00 21.00 7.00 4.00 90000.00 420000.00
20.00 3.00 20.00 5.00 3.00 90000.00 420000.00
4.00 0.00 -1.00 -2.00 -1.00 0.00 0.00
25.00 0.00 -4.76 -28.57 -25.00 0.00 0.00
19.00 6.00 25.00 15.50 7.00 125000.00 464000.00
23.01 3.00 19.75 6.58 3.28 125000.00 464000.00
4.01 -3.00 -5.25 -8.92 -3.72 0.00 0.00
21.11 -50.00 -21.00 -57.55 -53.14 0.00 0.00
143
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 45 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 46 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 47 0.77 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 48 0.85 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
20.00 6.00 26.00 14.00 5.00 132000.00 408000.00
20.00 6.00 26.00 14.00 5.00 132000.00 408000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
20.00 3.00 20.00 5.00 3.00 90000.00 420000.00
20.00 3.00 20.00 5.00 3.00 90000.00 420000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
18.00 5.00 24.00 16.00 7.00 125000.00 496000.00
23.33 3.00 20.92 9.09 3.22 125000.00 496000.00
5.33 -2.00 -3.08 -6.91 -3.78 0.00 0.00
29.61 -40.00 -12.83 -43.19 -54.00 0.00 0.00
25.00 5.00 23.00 16.50 7.00 200000.00 559000.00
29.46 3.09 18.18 7.86 3.00 200000.00 559000.00
4.46 -1.91 -4.18 -8.64 -4.00 0.00 0.00
17.84 -38.20 -18.17 -52.36 -57.14 0.00 0.00
144
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 49 0.91 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 50 0.86 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 51 0.80 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 52 0.67 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
18.00 4.00 19.00 10.00 3.00 110000.00 520000.00
19.74 3.28 19.00 5.46 3.00 99350.00 520000.00
1.74 -0.72 0.00 -4.54 0.00 -10650.00 0.00
9.67 -18.00 0.00 -45.40 0.00 -9.68 0.00
19.00 3.00 20.00 12.00 4.00 115000.00 456000.00
22.20 3.00 20.00 6.52 3.19 115000.00 456000.00
3.20 0.00 0.00 -5.48 -0.81 0.00 0.00
16.84 0.00 0.00 -45.67 -20.25 0.00 0.00
24.00 8.00 26.00 17.00 5.00 215000.00 540000.00
30.00 3.00 18.00 8.00 4.00 210000.00 540000.00
6.00 -5.00 -8.00 -9.00 -1.00 -5000.00 0.00
25.00 -62.50 -30.77 -52.94 -20.00 -2.33 0.00
20.00 6.00 24.00 13.50 5.00 205000.00 549000.00
29.73 3.05 18.09 7.93 4.00 205000.00 549000.00
9.73 -2.95 -5.91 -5.57 -1.00 0.00 0.00
48.65 -49.17 -24.63 -41.26 -20.00 0.00 0.00
145
Lampiran 8 (Lanjutan) Nama Kapal (input/output) Kapal 53 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 54 1.00 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp) Kapal 55 0.84 Hasil tangkapan (Kg) Lama panangkapan (jam) Jumlah trip/bulan BBM per trip (liter) Jumlah mata pancing (buah) Biaya operasional (Rp) Keuntungan (Rp)
Aktual
Target
Selisih
Persentase
15.00 3.00 15.00 5.00 3.00 100000.00 515000.00
15.00 3.00 15.00 5.00 3.00 100000.00 515000.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
17.00 4.00 15.00 6.00 3.00 100000.00 605500.00
17.00 4.00 15.00 6.00 3.00 100000.00 605500.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
19.00 3.00 20.00 11.00 4.00 120000.00 450000.00
22.50 3.00 19.50 5.75 4.00 120000.00 450000.00
3.50 0.00 -0.50 -5.25 0.00 0.00 0.00
18.42 0.00 -2.50 -47.73 0.00 0.00 0.00