Ordinary Hope
Timothy Athanasios
Bab I Menyelamatkan Masa Depan All the world’s a stage and all men and women are merely players... William Shakespeare Siapapun Anda yang membaca tulisan ini, saya berharap
Anda
menyadari
bahwa
Allahlah
yang
memanggil dan memercayakan sebuah keluarga untuk dipelihara oleh ayah anda; sama halnya seperti Allah memercayakan sebuah keluarga kudus kecil di Nazaret kepada Yusuf, tukang kayu sederhana yang kepadanya di”bebankan” tugas yang hanya pernah terjadi sekali dalam sepanjang sejarah umat manusia; untuk mengasihi dan merawat Kristus, Anak Allah, serta Maria, bundaNya. Pernahkah Anda merenungkan hal yang sering saya renungkan berulang kali? Apa yang dirasakan oleh sang tukang kayu bijaksana itu dari hari ke hari? Setiap saat Ia harus bersentuhan dengan misteri inkarnasi ilahi; Allah sendiri yang turun ke dunia dan menjadi manusia dalam
2
rupa Kristus Yesus; sosok bayi mungil yang dilahirkan oleh Maria, tunangannya. Yusuf adalah seorang pria yang paham betul makna dari Mandat Kultural tentang keluarga dan pekerjaan. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, sedemikian tulusnya percaya bahwa anak yang dikandung tunangannya itu adalah Anak Allah, lalu membesarkan Sang Kristus, seolah-olah “Sang Putra” itu adalah darah dagingnya sendiri! Yusuf
memainkan
perannya
dan
melakukan
pekerjaannya sebagai seorang tukang kayu Nazaret. Ia membiarkan “agenda” kehidupannya diinterupsi oleh Allah, dan tetap setia mengajar “Anak Allah” untuk menjadi seorang tukang kayu yang handal; sesuatu yang paling mahir ia kerjakan dalam hidupnya. Bahkan lebih daripada itu, ia mendidik Anak Allah untuk menjadi seorang pria dewasa yang bertanggung jawab. Singkatnya, Yusuf mendidik Yesus untuk menjadi seorang pria sejati; sesuai dengan kaidah Agama Yahudi yang ia hidupi, melakukannya tanpa pamrih ataupun harapan untuk mendapatkan “imbalan” dari Allah, khalik
3
langit dan bumi, yang telah “menitipkan” anak-Nya kepadanya untuk dipelihara. Dan sama seperti Yusuf, demikian juga Allah memercayakan kepada kita untuk membawa misteri inkarnasi Kristus itu ke dalam kehidupan keluarga Kristen kita, yaitu untuk mengajar anak-anak kita tentang makna takut akan Allah, Sang pemberi hidup dan damai sejahtera atas umatNya. Mandat Kultural tentang keluarga tidak berhenti dengan sekedar terpeliharanya api cinta suami isteri, melainkan juga dalam memelihara dan membangun keluarga yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita. Allah memanggil kita untuk memelihara anak-anak seperti memelihara
harta
warisan
yang
tidak
ternilai
keberadaannya. Seperti halnya ketika Kristus memanggil anak-anak untuk datang kepadaNya, demikian jugalah kita
terpanggil
kepadaNya.
4
untuk
membawa
anak-anak
kita
Janji yang Ceroboh Dalam suatu pemberkatan nikah, seorang pendeta biasanya bertanya kepada kedua mempelai: “Apakah saudara bersedia membesarkan anak-anak saudara secara Kristen?” Suatu pertanyaan yang sering kali dipandang
enteng
oleh
kedua
mempelai
ketika
sesungguhnya mereka tidak memahami arti yang sesungguhnya dibalik pertanyaan yang diajukan oleh hamba Tuhan tersebut, sehingga tanpa berpikir panjang, mereka menjawabnya dengan penuh keyakinan: “Ya, kami bersedia.” Suatu jawaban yang tidak selalu benar, namun tanpa ragu diucapkan sekalipun mereka sendiri tidak yakin dengan persis bagaimana caranya untuk merealisasikan jawaban yang mereka berikan hari itu. Akibat janji yang ceroboh tersebut, hari ini ada begitu banyak orang tua Kristen bercucuran air mata melihat kehidupan anak-anak mereka yang semakin jauh dari janji yang mereka ucapkan di hadapan Tuhan dan umatNya pada hari pernikahan mereka.
5
Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. (Ulangan 6:4-5) Ketika publik bertanya kepada Yesus: “Hukum manakah yang pertama dan yang terutama?” Ia menjawab pertanyaan itu dengan mengutip taurat Musa tentang kasih akan Allah sebagai yang pertama dan yang terutama. Kristus tidak memisahkan dirinya dari tradisi Yahudi yang dipahami oleh publik, melainkan Kristuslah sang bukti hidup dari tradisi Yahudi yang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya seseorang menjalani panggilan
hidupnya
yang
terutama,
yaitu
untuk
mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatannya. Tuhan tidak pernah memaksakan kehendakNya agar manusia
mengasihiNya,
menganugerahkan
sebaliknya
kebebasan
bagi
Ia
manusia
justru untuk
memilih mengasihiNya. Peristiwa di Taman Eden adalah gambaran di mana manusia telah gagal dengan sukses
6
untuk memilih mengasihi Allah hanya karena manusia lebih memilih untuk mengasihi dirinya sendiri. Institusi pernikahan seharusnya merupakan “lembaga penyuluhan” dalam mengarahkan anak-anak untuk mengasihi
Tuhan.
Institusi
pernikahan
seharusnya
mengajar anak-anak untuk memilih yang terbaik, yaitu untuk mengasihi Tuhan. Namun bagaimana mungkin anak-anak
dapat
diarahkan
dan
didorong
untuk
mengasihi Tuhan ketika orang tua yang berjanji itu sendiri tidak pernah mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan jiwanya?
7