Ordinary Love
Timothy Athanasios
Bab I Gereja dan Pelayanan Konsep menciptakan berhala, hanya rasa ingin tahu yang bisa memahami. (Gregory Nyssa) Jika Kerajaan Allah hendak direalisasikan dalam rupa dua hal sederhana yang kita jumpai setiap hari; keluarga dan pekerjaan, maka melalui perjumpaan dengan “yang sederhana” itulah, kita disuguhkan sedikit rasa dari kegemilangan akan perjumpaan dengan “Yang Ilahi”. Melalui hal-hal yang selama ini seringkali dipandang enteng tersebut, kita pada akhirnya diizinkan untuk boleh menemukan Allah di tempat-tempat yang tersembunyi. Mungkin realita ini terdengar absurd dalam pikiran kita; bagaimana mungkin Allah yang Maha Bijaksana itu, menyembunyikan sesuatu yang begitu berharga di balik hal-hal yang seolah-olah merupakan rutinitas harian belaka? Apakah yang sesungguhnya Allah cari? Rutinitas kitakah? Ataukah bagaimana cara kita merespon terhadap rutinitas harian kita tersebut?
2
Lalu sebuah pertanyaan lanjutan akan timbul dari jawaban atas pertanyaan di atas: “Dimanakah tempat pelayanan? Dimanakah tempat Gereja? Bukankah selama ini kita selalu didorong sedemikian rupa untuk mengambil bagian melayani di dalam Gereja?” Aktivitas Gerejawi Kita selalu didorong untuk ikut mengambil bagian dalam suatu sistem pekerjaan sukarela di dalam Gereja yang biasa disebut dengan “pelayanan”, yaitu untuk bersusah payah bangun lebih pagi di hari yang seharusnya menjadi hari libur kita, untuk datang lebih awal ke Gereja, dan untuk melakukan tugas-tugas yang tidak perlu kita kerjakan pada hari-hari biasa, namun justru harus kita kerjakan pada hari libur kita. Terkadang yang lebih menyesakkan hati adalah untuk datang melayani di Gereja hanya untuk menemukan sekelompok orang
yang
merasa
bahwa
dirinya
lebih
rohani
dibandingkan orang lain.
3
Apakah Gereja sedemikian mampu mengambil alih peran dimensi keluarga dan kerja yang merupakan panggilan hidup kita dalam merealisasikan Kerajaan Allah di bumi ini? Apakah Gereja berhak untuk menjejalkan kedua faktor ilahi itu ke dalam sebuah tatanan sistem penatalayanan? Seolah-olah “kerja sosial” yang kita lakukan setiap hari minggu itu adalah stigma yang membanggakan dalam kehidupan kerohanian kita. Singkatnya, apakah Tuhan menginginkan aktivitas kita di dalam Gereja menjadi lebih penting daripada keluarga dan pekerjaan kita?
Beberapa kali saya mendengar cerita tentang bagaimana seseorang yang dalam suatu kesempatan, dinasihati secara spiritual oleh orang lain yang mereka anggap sebagai seorang “Hamba Tuhan” yang membawa “pesan Tuhan” agar mereka berhenti dari pekerjaan mereka dan masuk ke dalam pelayanan full time. Kasus semacam ini memiliki beragam varian, mulai dari mereka yang berhenti begitu saja dari pekerjaannya untuk mulai “melayani Tuhan” (baca: pengangguran
4
terselubung), sampai kepada tindakan menjual seluruh harta miliknya, lalu menyumbangkannya kepada Gereja, sebagai bukti pengabdiannya kepada Tuhan. Hal macam itu memanggil kita untuk merenungkan situasi menyedihkan dimana masih ada orang bodoh yang terlebih lagi dibodohi oleh orang licik. Padahal, saya berani berkata bahwa “Tuhan tidak ingin Anda meninggalkan pekerjaan Anda hanya karena emosi sesaat.“ Adalah baik untuk bekerja dengan tangan Anda sendiri dan menghasilkan suatu penghidupan yang layak untuk keluarga Anda, dibandingkan dengan muncul di Gereja, melayani sepenuh waktu, yang pada akhirnya seringkali
menjadikan
uang
sebagai
Tuhan
yang
sesungguhnya dalam hidup ini.
Dosen Perjanjian Lama saya sewaktu di Seminari, Ishak Roedi, mengatakan adalah lebih baik seorang pedagang yang memiliki hati pendeta, daripada seorang pendeta yang memiliki hati pedagang! Adalah lebih baik menjadi orang biasa yang dianggap pendeta, dibandingkan dengan seorang pendeta yang
5
tidak lagi dianggap pendeta karena tingkah lakunya yang tidak mencerminkan Kristus. Pelayanan bukan selalu berarti datang lebih pagi dan pulang lebih malam dari Gereja, pelayanan bukan selalu berarti mengatakan “ya” pada setiap tugas yang diberikan Gereja kepada Anda. Pelayanan Anda dinilai ketika Anda menunjukkan kasih kepada sesama dalam hidup Anda sehari-hari. Pelayanan bukanlah dan tidak pernah merupakan masalah memainkan alat musik dan bernyanyi. Masih ada banyak orang yang berpikir bahwa menggebuk drum atau tampil di atas panggung dengan memegang microphone, artinya ia sudah melayani. Pelayanan bukan berarti bahwa Anda membuang waktu Anda untuk berada di dalam Gereja setiap hari sepanjang minggu. Pelayanan adalah bukti kehidupan yang telah dipenuhi oleh buah-buah pertobatan. Tanpa pertobatan, pelayanan bukanlah pelayanan, melainkan ajang unjuk bakat!
6
Gereja mula-mula didasari oleh iman dan pengajaran para rasul; kesederhanaan mereka, keteguhan mereka dalam mengajar jemaat, dan yang terpenting adalah kepedulian
mereka
terhadap
sesamanya
manusia.
Panggilan Gereja adalah untuk mengajar umat Allah untuk menghidupi firman dan bukan sekedar untuk menghafalkannya. Itulah cara pemuridan yang Yesus terapkan ketika Ia mengajar para murid-Nya. Pemuridan itu bukanlah program Gereja, melainkan esensi dari Gereja itu sendiri. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. (2 Timotius 3:16-17) Gereja bertugas untuk melakukan semua hal tersebut di atas; untuk mengajar tentang gagasan Allah mengenai kehidupan, untuk menegur dan menyatakan kesalahan yang telah terjadi, untuk memberikan kesempatan bagi orang berdosa untuk memperbaiki hidupnya, dan untuk 7
mendidik dengan disiplin seperti seorang guru terhadap muridnya dalam terang firman Allah. Chad Walsh, penyair dari Gereja Episcopal di Amerika Serikat mengatakan bahwa firman Allah itu berkuasa to comfort the disturb, and to disturb the comfort - Firman Allah berkuasa untuk menenangkan dan menghibur mereka yang terganggu, dan untuk mengganggu mereka yang merasa nyaman.
Hari-hari ini, Gereja telah berubah menjadi sangat rumit dengan segala program dan budgeting, dimana semua divisi berlomba untuk tampil ke depan, menarik aktivis sebanyak-banyaknya, merambah ke segala bidang kehidupan, sehingga terciptalah suatu pelayanan yang sibuk. Buktinya ada begitu banyak ibadah dalam sebuah Gereja modern: ada ibadah umum, ibadah anak, ibadah remaja, ibadah pemuda, ibadah dewasa muda, ibadah kaum ibu, ibadah kaum bapak, ibadah kaum manula, ibadah kaum professional, ibadah karyawan, belum lagi terhitung
8
komsel,
seminar,
pendalaman
Alkitab,
pertemuan doa, ataupun KKR yang sangat menyita waktu dan tenaga semua orang yang terlibat di dalamnya. Seolah-olah Gereja harus memiliki acara setiap hari. Gereja memberikan begitu banyak
“PR” bagi
jemaatnya sehingga mereka tidak lagi memiliki waktu untuk melakukan hal-hal lain di luar lingkup tembok Gereja. Gereja lupa bahwa keaktifan seseorang dalam bergereja tidak pernah menjadi indikator kehidupan kerohanian orang tersebut.
Terlepas dari beragamnya kegiatan Gereja yang coba untuk diikuti, terletak bahaya yang tidak disadari oleh banyak orang Kristen, yaitu bahwa waktu yang mereka habiskan di dalam Gereja, justru mengganggu kehidupan mereka sebagai seorang manusia. Ada banyak orang Kristen yang tidak punya waktu untuk ikut terlibat dalam komunitas di sekitarnya karena terlalu sibuk dengan acara-acara di dalam Gereja. Uskup Richard Wilke, dari United Methodist Church di Amerika Serikat mengingatkan: “Struktur yang coba kita bangun akhirnya merusak diri kita sendiri, sehingga tidak
9
berarti sama sekali dalam konteks menyelamatkan dunia yang terhilang.”
10