PENGINVENTARISAN KEARIFAN LOKAL DALAM PRAKTIK WANATANI KOPI DALAM DEBAT KELESTARIAN FUNGSI HIDRO-OROLOGIS WILAYAH RESAPAN DI LAMPUNG BARAT INVENTORY OF THE LOCAL KNOWLEDGE IN COFFEE AGROFORESTRY FOR SUSTAINABILITY DEBATE OF HYDRO-OROGICAL FUNCTION AT THE RECHARGE AREA IN WEST LAMPUNG Oleh: Ida Nurhaida , Sugeng Prayitno Hariyanto2), Samsul Bakri3), Akmal Junaidi4), dan Pairul Syah5) 1) 2) Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP, Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian, 3) Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, 4)Jurusan Matematika FMIPA, dan 5)Jurusan Sosiologi FISIP; Universitas Lampung (Diterima: 7 Maret 2005, disetujui: 9 Juli 2005) 1)
ABSTRACT Data base provided for a bottom-up development communication program and for given farmer voice in a debate of recharge area function sustainability at West Lampung, was conducted by inventory to local knowledge of agroforestry practices in August up to September 2004. Based upon the tribe dominant existed in the areas, four villages have been chosen as the area of study, i.e., Way Mengaku (Lampungese), Sukananti (Semendonese), Sidomakmur (Javanese), and Fajar Bulan (Sundanese). Four or five informants from 25 farmers visited have been founded in each village. The survey also intended to observe physical, socioeconomical and cultural characteristic. The main result achieved was 1) The Tao of local knowledge in the agroforestry practices needed to be affirmed was (a) seed selection, planting space for both coffee and shading trees, and multi-strata planting system exist in four tribes; (b) minimum tillage and litter basalt ground covering (Lampungese and Semendonese); (c) legume cover cropping (Javanese); (d) tuakh sakhak (Lampungese), kapak kulai (Semendonese), pungkak and stek of both tribes as the practices of coffee crop rejuvenation; (e) sheep, chicken, goose, duck poultry (Lampungese, Javanese, and Sundanese); and (f) fishery existed in Sudanese tribe. 2) The wrong practices in coffee agroforestry that need to be halted were (a) land clearing, cutting tree in the forest, slash and burn that existed in four tribes; (b) intensive soil tillage (Javanese); (c) litter basalt removing from land surface (Javanese). 3) The custom and the habituation found such as ngumbai (Lampungese), tunggu tumbang (Semendonese), and the custom in determination of planting event based on part of crop anatomy (Lampungese) or the star revolution (Semendonese) did not need to be halted.
PENDAHULUAN Menurut Joshi dkk. (2001), wanatani (agroforestry) sebenarnya bukan hal baru bagi para petani, malah sebaliknya bagi dunia ilmiah. Petani memiliki banyak kearifan lokal dalam praktik wanatani melalui pewarisan secara turun-temurun. Banyak pengetahuan petani yang tidak lengkap, tidak runtut, dan tidak didasarkan pada landasan konsep yang terorganisasi
secara taat azas atau bahkan mungkin saling bertentangan. Keadaan ini menjadi tugas utama ilmuwan untuk melurus-kan, mengukuhkan, serta mencegah kekeliruan berikutnya yang mungkin dilakukan petani melalui perancangan program komunikasi pembangunan pedesaan. Tidak setiap komuni-kasi efektif, bahkan dapat gagal. Keefektifan penyampaian pesan dicapai melalui kajian penataan pesan,
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. V No. 2, Agustus 2005: 91-105 ISSN. 1411-9250
92 pesan menjadi tema pusat, apalagi komunikasi dalam masyarakat pedesaan yang umumnya rendah kemampuan literasinya (Nurhaida dkk., 2001). Menurut Bertrand (1978), keefektifan penyebaran pesan akan rendah bahkan gagal, bila dalam membujuk khalayak tidak mempertimbangan unsur daya tarik (attraction), keterlibatan diri (self involvement), penerimaan (acceptability), dan pemahaman (comprehens-ion) dalam perancangan dan penuangan ke medium. Sebaliknya, pesan akan sangat menarik bila dirancang sesuai dengan kenyataan aktual, baik itu kenyataan fisik maupun sosial-budayanya. Berkaitan dengan kenyataan sosial, menurut data BPS Propinsi Lampung (2001), wilayah Lampung Barat utamanya didiami oleh empat etnis besar, yaitu Lampung, Semendo, Sunda, dan Jawa, dengan mata pencaharian utama bertani kopi. Dua etnis pertama sebagai etnis asli berlatar belakang petani dan dua etnis lainnya adalah pendatang, yang umumnya bukan petani. Kenyataan fisik Lampung Barat, menurut dokumen Land Resource Evaluation and Planning Project I atau LREPP I (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1989), mempunyai lanskap berbukit sampai bergunung, ketinggian antara 200 - > 2000 m dari permukaan laut, curah hujan besar yaitu 2.833-3.058 mm per tahun, dan didominasi tanah peka erosi. Sebagian besar merupakan wilayah resapan bagi semua Daerah Aliran Sungai (DAS) utama di Propinsi Lampung, yaitu DAS Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulang Bawang, dan Way Rarem. Menurut data Departemen
Kehutanan (1991), hutan dan wilayah resapan ini mencapai hampir 30% dari wilayah Lampung Bagian Barat dan dikuasi negara. Akan tetapi, kenyataan penggunaan lahan, menurut Afandi dkk. (2000), sebagian besar adalah tanaman kopi. Artinya, hampir seluruh wilayah hutan telah dirambah. Padahal pada bagian tengah Propinsi Lampung telah banyak dibangun berbagai fasilitas dengan investasi sangat mahal, yaitu fasilitas irigasi (seperti bendungan, waduk, dam, jaringan irigasi) dan pembangkit tenaga listrik sejak Pemerintahan Belanda (seperti Bendungan Way Rarem) sampai pemerintahan RI sekarang (seperti Waduk Batutegi). Sejak tahun 1984, Pemerintah telah menetapkan DAS Way Sekampung, Way Seputih, dan Way Rarem sebagai DAS super kritis bersama-sama dengan 21 DAS lainnya di Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama 3 menteri, yaitu: (a) Menteri Dalam Negeri yang membawahi Badan Pertanahan waktu itu dengan SK Nomor: 19/Kpts/1984, (b) Menteri Kehutanan yang mengatur wilayah lindung dengan SK Nomor: 059/KptsII/1984, dan (c) Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur dan mengelola fasilitas bangunan penting, seperti fasilitas irigasi dan ketenagalistrikan, seperti pendangkalan waduk oleh sedimen hasil erosi dari hulu DAS, dengan SK Nomor: 124/Kpts/1984. Sekalipun sudah cukup tersedia dasar hukum tersebut, kenyataannya nasib wilayah resapan ini terus diperdebatkan kelestariannya. Sementara itu, penyuluhan juga belum memperlihatkan hasil nyata akibat keterbatasan jumlah, frekuensi, maupun kualitasnya termasuk minimnya medium penyuluhan. Oleh
Penginventarisan Kearifan Lokal ... (Ida Nurhaida dkk.)
93 Kenyataannya, tekanan jumlah penduduk serta perkembangan ilmu dan teknologi yang menjurus ke arah pengkhususan semakin tajam, yang menyebabkan konsep monokultur, seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan kehutanan seakan-akan dapat berdiri sendiri. Perkem-bangan ke arah pertanian dengan masukan tinggi, adanya pembabatan hutan, dan terjadi-nya kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam yang memuncak di tahun 1960an, menyadarkan para ahli akan bahaya bagi keberlanjutan umat manusia. Di tahun 1970-an, timbul gagasan pengembangan sistem pertanian dengan masukan rendah, yang mengilhami gagasan pengembangan sistem wanatani modern (Arsyad, 2000). Sementara itu, adanya kerusakan lingkungan yang nampaknya sukar dipecahkan, terutama berkaitan dengan kemerosotan fungsi hidro-orologis, memaksa untuk berpikir kembali atas asumsi dasar dari paradigma difusi pembaharuan dalam bidang wanatani. Menurut Joshi dkk. (2001), nampaknya salah bila pembaharuan yang datangnya dari luar sistem itu dipandang sebagai hal yang sama sekali baru dalam wanatani. Artinya, menurut Sinclair dan Walker (1998), dalam difusi wanatani, perlu dipertanyakan kembali program komunikasi pembangunan yang bersifat top down. Oleh karena itu, pekerjaan untuk mengenali dan menggali kearifan lokal yang telah dimiliki petani dalam teknik bercocok tanam wanatani dan ekologinya harus yang terutama dilakukan. Hal ini akan menjadi dasar pijakan bagi ilmuwan untuk melakukan penelitian, yang hasilnya dapat disebarkan kepada petani melalui program komunikasi pembangunan. Hal
ini berarti pula ilmuwan harus membalikkan arah pandangannya menjadi bottom up, sekaligus memberikan hak bicara kepada para petani dalam debat penentuan kebijakan pembangunan (Joshi dkk., 2001). Selain itu, pula ilmuwan dapat mengurangi keadaan yang heterofili terhadap petani, yang berarti membuka peluang adopsi lebih besar (Roggers, 1995). Oleh karenanya, apabila pembaharuan teknik bercocok tanam yang secara ilmiah sah dan dapat diterima oleh petani secara luas di wilayah Lampung Bagian Barat, maka sistem ini dapat menjadi tumpuan harapan untuk mengakomodasi adanya persaingan yang tidak saling menenggang (antagonis) antara kepentingan ekonomi (yaitu kegiatan pertanian kopi) dengan kepentingan kelestarian lingkungan, yang pada akhirnya akan memacu pertumbuhan ekonomi berikutnya. Melalui pemungutan pajak perdagangan ataupun ekspor kopi, pertumbuhan ekonomi akan kembali memberikan dana untuk reboisasi dan memperbaiki lingkungan serta berdampak lagi pada perkembangan ekonomi selanjutnya. Tujuan yang perlu dicapai adalah (a) menginventaris pengetahuan teknik bercocok tanam wanatani kopi yang telah dipraktikkan oleh petani lokal baik dari Etnis Lampung, Semendo, Jawa, maupun Etnis Sunda dan (b) mengkaji praktik wanatani kopi dari empat etnis tersebut terhadap pengetahuan ilmiah dalam konteks pelestarian wilayah resapan di Lampung Barat. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk merancang pesan teknik bercocok tanam wanatani kopi dalam program komunikasi pembangunan yang bersifat (a) dapat diterima secara ilmiah maupun secara lokal dan (b) tidak
ISSN. 1411-9250 Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. V No. 2, Agustus 2005: 91-105
94
METODE PENELITIAN Penelitian dimulai pada bulan April sampai Oktober 2004. Penelitian terdiri atas penelitian lapang di Lampung Barat dan kegiatan di Laboratorium Multi Medium, Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Lampung. Sesuai dengan tujuan utama dari penelitian ini, telah dipilih empat desa sampel di Lampung Barat, yaitu Desa Way Mengaku di Kecamatan Balik Bukit mewakili Etnis Lampung, Desa Sukananti di Kecamatan Way Tenong mewakili Etnis Semendo, Desa Sidomakmur Kecamatan Way Tenong mewakili Etnis Jawa, dan Desa Fajar Bulan di Kecamatan Sumberjaya mewakili Etnis Sunda. Pengamatan lapang dan analisis khalayak dilakukan dengan metode survai dengan mengumpulkan data primer maupun sekunder. Data sifat fisik wilayah diperoleh melalui pengamatan lapang maupun dengan melakukan pengekstrakan Peta Penggunaan Lahan, Peta Sumberdaya Lahan, Peta Iklim, Peta DAS, Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan, Peta Indeks Bahaya Erosi dan lain-lain. Sifat sosial-ekonomi diketahui melalui wawancara langsung dengan 25 orang petani per desa. Wawancara juga dimaksudkan untuk mengetahui perilaku komunikasi terutama untuk mendeskripsi tingkat keterdedahan terhadap medium komunikasi baik cetak atau audiovisual, frekuensi penyuluhan, macam penyuluhan dan sebagainya. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan formal maupun informal leader. Sifat sosial ekonomi diketahui melalui data statistika, seperti monografi kecamatan, desa dan sebagainya. Penginventarisan pengetahuan kokal dalam wanatani kopi dan ekologinya dilakukan melalui
wawancara di empat desa. Tekniknya adalah dengan menggunakan empatlima petani sebagi informan tiap desa disertai pengamatan lapang setempat. Informan ini umumnya juga merupakan informal leader. Agar dapat diper-oleh informasi secara mendalam mengenai pengetahuan tiap petani informan, maka setiap petani informan diikuti di 'lapang' bersama-sama sambil bekerja, sehingga dapat dianggap sebagai suatu pengamatan dengan partisipasi terlibat. Setiap objek yang ditemukan yang menurut kaidah ilmiah sebagai praktik wanatani dilakukan pemotretan. Wawancara yang sedianya akan dilakukan dengan penyuluh lapang setempat tidak dapat dilakukan berhubung selama 20 hari kunjungan lapang tidak pernah ditemui. Para penyuluh lebih banyak tinggal di Ibu Kota Propinsi yaitu Bandar Lampung. Wawancara dengan formal leader, yaitu kepala desa umumnya asing dengan bercocok tanam kopi. HASIL DAN PEMBAHASAN Praktik Wanatani Kopi Etnis Lampung di Desa Way Mengaku Pembukaan Lahan dan Penanaman Di Desa Way Mengaku, penetrasi pem-bukaan lahan untuk pertanaman kopi umumnya sudah mencapai di kawasan hutan lindung. Hal ini terjadi akibat tidak adanya lagi lahan untuk perluasan penanaman kopi. Pembukaan lahan dilakukan dengan cara membersihkan semak belukar dan pepohonan kemudian dibakar dan sisa bakaran dibersihkan, setelah itu dibuat lubang tanam dengan jarak antartanaman 2m x 2m. Perilaku pembukaan lahan ini sangat bertentangan dengan asas konservasi tanah dan air di wilayah resapan, apalagi disertai dengan
Penginventarisan Kearifan Lokal ... (Ida Nurhaida dkk.)
95 di antara petani yang kemudian memilih tanaman kopi untuk dibudidayakan digabung dengan berbagai tanaman peneduh atau pembayang, seperti petai, jengkol, dadap, kayu manis, gamal, dan tanaman sesayuran seperti cabai serta terung. Praktik ini sangat baik bagi aspek kelestarian wilayah resapan, karena telah memenuhi kaidah wanatani. Oleh karena itu, praktik ini perlu dikukuhkan dan diserbarluaskan. Sekalipun demikian, bila dilakukan di kawasan hutan lindung, praktik ini tetap harus dicegah karena belum ada hasil penelitian yang dapat mengesahkannya. Belakangan ini ada semacam “kebijakan” dinas kehutanan setempat bahwa beberapa ruas areal hutan lindung yang sudah terlanjur dirambah, daripada gundul lebih baik dibiarkan ditanami dengan tanaman kopi oleh masyarakat, sehingga tingkat erosi dapat ditekan sekaligus peresapan air dapat ditingkatkan. Kebijakan ini kemudian membawa pada masalah legitimasi. Masyarakat memandang tindakannya sah untuk bercocok tanam di kawasan hutan lindung. Dari segi budidaya, hampir semua para petani kopi di desa Way Mengaku tidak ada yang menggunakan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida. Praktik ini baik dan perlu dikukuhkan karena tidak akan menimbulkan keluaran di daerah hilir, seperti pencemaran yang dapat merusak keragaman hayati. Pengukuhan perlu juga diikuti dengan praktik pelestarian kesuburan tanah dengan sistem wanatani atau multistrata. Secara generik jarak tanam kopi yang digunakan cukup memadai dari aspek kelestarian, karena dengan jarak tersebut kanopi tanaman kopi dapat menutup permukaan tanah setelah
berumur lebih dari tiga tahun. Walaupun begitu tidak ada bukti penelitian setempat bahwa jarak tanam 2m X 2m merupakan jarak tanam ideal yang dapat memenuhi aspek kelestarian lahan, sekaligus juga bagi adanya persaingan dalam menangkap sinar matahari untuk fotosintesis ataupun persaingan perakaran dalam memperoleh hara dari dalam tanah. Para petani di desa ini mempuyai sistem kepercayaan kapan harus melakukan penanaman bibit kopi. Perhitungan itu dikait-kan dengan bagian anatomi tanaman yang manfaat utamanya akan diambil: umbi, batang, daun, ataukah buahnya, yang dapat dirincikan, yaitu (i) Untuk kelompok tanaman yang diambil umbinya, seperti ubi jalar, singkong, kentang, dan bawang, ditanam pada tanggal 1, 5, 9, 13, 17, 21, 25, dan 29. (ii) Untuk kelompok tanaman yang diambil batangnya, seperti sereh, bambu, dan kayu manis, harus ditanam pada tanggal 2, 6, 10, 14, 18, 22, 26, dan 30. (iii) Untuk kelompok tanaman yang diambil daunnya, seperti sesayuran dan rumput pakan ternak, harus ditanam pada tanggal 3, 7, 11, 15, 19, 23, 27, dan 31. (iv) Untuk kelompok tanaman yang diambil buahnya, seperti kopi, alpukat, jeruk, nangka, sirsak, dan kelengkeng, ditanam pada tanggal 4, 8, 12, 16, 20, 24, dan 28. Kepercayaan akan penentuan saat tanam itu tidak mempunyai landasan ilmiah dan tidak ada bukti penelitian. Walaupun begitu, kepercayaan ini tidak perlu dikoreksi ataupun dipersoalkan karena tidak ada bukti berkaitan dengan erosi tanah ataupun peresapan air. Pemilihan Benih dan Bibit Pembibitan diperoleh dari benih pada tanaman yang sudah cukup tua, memiliki banyak buah, serta berbuah
ISSN. 1411-9250 Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. V No. 2, Agustus 2005: 91-105
96 begitu, praktik ini tidak perlu dikoreksi karena tidak bertentangan dengan aspek kelestarian. Bibit tanaman kopi ditanam pada saat umur satu tahun dan yang berakar tunjang bercabang dua biasanya tidak ditanam. Alasannya karena produksinya tidak akan baik dan pertumbuhan-nya tidak akan sempurna. Secara ilmiah dapat dipahami, mengingat kopi umumnya ditanam pada lahan berlereng cukup curam. Pada lahan yang demikian ini, solum tanah rata-rata dangkal. Bibit tanaman yang akarnya tidak bercabang akan tumbuh lebih menujam ke dalam tanah, sehingga tidak mudah roboh dan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan bibit yang akarnya bercabang. Praktik ini perlu dikukuhkan sambil menunggu bukti ilmiah melalui penelitian yang mengkaji hubungan jumlah cabang akar bibit terhadap pertum-buhan dan produksi kopi di areal ini. Pemeliharaan Tanaman Praktik pemeliharaan tanaman kopi adalah membersihkan gulma dengan mengoret lalu perantingan (netak). Pada umumnya, bagian lahan yang dibersihkan sesuai lingkar batang seluas proyeksi kanopi tajuk tanaman. Praktik ini menurut kaidah konservasi tanah dan air masih dapat diterima, mengingat kanopi tajuk tanaman kopi cukup rendah, sehingga air hujan yang jatuh ke permukaan tidak terlalu kuat untuk menghancurkan agregat tanah. Secara konservasi, lebih baik gulma dibiarkan penutup tanah, tetapi hal ini merupakan praktik deep ecologist, yang senan-tiasa berbenturan dengan kepentingan ekonomi yang sangat mendesak bagi petani seperti di Lampung Barat, yang umumnya berpenghasil-an relatif rendah. Perawatan tanaman kopi lainnya juga dilakukan dengan cara membuang tunas air. Pengendalian gulma dengan
herbisida sangat jarang dilakukan karena akan mengeraskan tanah dan mematikan tanaman kopi muda. Walaupun secara ilmiah belum ada bukti, tetapi praktik ini merupakan perilaku positif, terutama untuk menghindari cemaran residu pestisida. Selain itu, para petani juga mela-kukan perantingan yaitu mengurangi tajuk tanaman peneduh. Secara agronomi, perilaku ini dapat diterima sampai batas tertentu. Akan tetapi, masih perlu penelitian untuk menen-tukan berapa persen peneduh yang terbaik ataupun segi penutupan tajuk untuk keperluan konservasi tanah dan air. Di dalam kaitannya dengan pember-sihan gulma, praktik yang perlu dikoreksi adalah cara memperlakukan hasil koretan gulma. Umumnya hasil koretan gulma dikumpulkan di suatu sisi lahan lalu dibakar, sedangkan serasah sisa tanaman kopi dibiarkan tersebar merata atau serasahnya dibakar. Praktik membakar ini meluas berkaitan dengan kepercayaan bahwa pengasapan dapat memperbaiki kualitas buah kopi. Alasan ini mungkin dapat diterima secara ilmiah bahwa dengan asap, semut dan jamur akan hilang. Lebih masuk akal lagi jika dikaitkan kemiringan wilayah cukup tinggi, sehingga kelembapan udara juga besar bahkan sering kali berkabut. Walaupun begitu, bukti penelitian ilmiah belum ada. Apabila benar, maka mengoreksi perilaku membakar gulma harus dilakukan dengan cara amat persuasif, mengingat praktik membakar bahan biomasa tanaman akan merusak lahan, medeplesikan unsur hara ke udara, dan yang lebih bahaya lagi, sering menimbulkan kebakaran hutan. Pemanenan dan Peremajaan Tanaman Tanaman kopi mulai berbuah pada sekitar umur tiga tahun. Buah ini
Penginventarisan Kearifan Lokal ... (Ida Nurhaida dkk.)
97 ini, tanaman kopi dibiarkan tumbuh meninggi sampai produktivitasnya turun. Biasanya ini setelah lima tahun. Setelah tidak produktif (setelah buah agung balak), tanaman ”diservis” yang dalam agronomi adalah peremajaan tanaman. Praktik lokal dalam peremajaan tanaman kopi disebut dengan tuakh sakhak. Pada praktiknya, batang tanaman ditebang setinggi 20 cm dari permukaan tanah tetapi tidak sampai putus. Alasannya, batang yang lama masih tetap hidup dan buahnya masih dapat dipetik walaupun tidak sebanyak tanaman pada fase buah agung balak. Pada batang tersebut akan tumbuh beberapa tunas baru, yang umumnya lebih dari lima. Hal ini perlu dilakukan perompesan terhadap sebagian tunas dan hanya dua sampai tiga tunas terbaik yang dipertahankan. Setelah tunas berumur sekitar dua bulan, tunas tersebut disilangkan berlawanan arah, yang bertujuan agar tidak patah akibat angin dan produksi buah kopi lebih banyak. Batang yang telah di-tuakh sakhak tadi dibiarkan mengering, baru dipotong untuk kayu bakar. Praktik tuakh sakhak diterapkan sejak sekitar 40 tahun terakhir, yang diadopsi dari para petani Muara Dua, Sumatera Selatan, sekitar 200 km ke arah utara Liwa, Ibu Kota Lampung Barat. Walaupun sudah cukup lama diadopsi, ada sebagian petani yang tidak melakukannya, melainkan dengan servis habis (tebas habis). Alasannya, tuakh sakhak belum tentu cocok bagi dirinya dan bila gagal, dapat menurunkan piil (harga diri)-nya. Sebagian besar yang melakukan praktik tuakh sarakh beralasan (i) mengurangi kegagalan tumbuhnya tunas baru dan (ii) selama perawatan tunas masih dapat memetik hasil kopi sebagai sumbangan ongkos perawatan. Walaupun
begitu, alasan yang pertama belum ada bukti penelitian untuk membandingkan ukuran kegagalan penunasan dibandingkan dengan peremajaan servis habis. Demikian pula dengan berapa sumbangan ongkos memetik buah kopi dari batang yang di-tuakh sakhak, belum ada kajian kuantitatifnya. Apabila dilihat dari sudut pandang konservasi tanah dan air, praktik tuakh sakhak ini baik. Kanopi tanaman kopi masih dapat dipertahankan untuk menutupi permukaaan tanah, sehingga butir air hujan tidak langsung menumbuk tanah yang sekaligus dapat mencegah erosi. Selain itu, secara fisiologis, tanaman yang bagian batangnya terluka akan terkumpul auksin yang akan mempercepat pertumbuhan tunas muda (fenomena adanya dominasi apikal pada tumbuhan). Pada pengamatan lapang di desa tidak ditemukan pertanaman kopi secara monokultur. Umumnya mereka percaya bahwa tanaman kopi akan tumbuh baik bila ada tanaman peneduh atau pembayang. Paham ini sejalan dengan ilmu pengetahuan bahwa kopi merupakan tanaman tropika yang memerlukan suhu udara tinggi untuk asimilasi, tetapi tidak memerlukan intensitas sinar matahari besar. Tanaman peneduh yang banyak dijumpai ada-lah kayu hujan/gamal (Gliricidae sp), alpukat, durian, kayu manis, dadap, nangka, jengkol, jeruk, petai, dan melinjo. Hal ini sesuai konsep wanatani (multistratum) yang memadukan berbagai tingkat ketinggian tajuk, sehingga proyeksi seluruh kanopi dapat menutup seluruh permukaan lahan. Peneduh dari jenis kayu hujan dan dadap dijadikan sebagai “panjatan” tanaman lada. Praktik ini dibenarkan secara ilmiah mengingat
ISSN. 1411-9250 Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. V No. 2, Agustus 2005: 91-105
98 Kayu manis hanya sebagai pembatas penguasaan lahan. Para petani menganggap bahwa dengan daun yang rimbun dan akar mengandung minyak, dapat mengganggu pertumbuhan tanaman kopi. Akan tetapi, alasan ini bertentangan dengan pemahaman ilmiah. Oleh karena itu, diperlukan penelitian meng-ingat di wilayah ini, pertumbuhan kayu manis sangat baik dan punya potensi ekonomi relatif baik. Lebih dari itu, kayu manis merupakan tanaman perdu, kanopinya sangat rimbun, berbatang besar dapat mendekati pohon kayu komersial, serta berakar kuat, sehingga lebih kuat dalam menahan kelongsoran dan erosi tanah bila digunakan sebagai tanaman peneduh tanaman kopi. Beberapa petani sudah ada yang mencoba melakukan teknik budidaya tanaman dengan cara menyambung tanaman kopi. Praktik ini dikenal dengan istilah setek, suatu istilah yang berbeda dengan istilah dalam dunia ilmiah. Akan tetapi, hal ini belum banyak dipraktikkan karena minimnya informasi dan penyuluhan. Pengolahan tanah secara mini-mum juga ikut menunjang tidak terjadinya kerusakan lahan, karena pengolahan tanah dapat merusak struktur tanah, mengurangi kemampuan tanah dalam meresapkan air, dan dapat meningkatkan aliran air di permukaan tanah serta erosi. Akan tetapi, pembukaan lahan dengan cara tebas dan bakar, serta membersihkan serasah tanaman dengan dibakar dapat meningkatkan laju erosi. Perilaku ini harus dikoreksi melalui komunikasi secara persuasif. Selain tanaman kopi dan tanaman peneduh juga banyak terdapat tetumbuhan lainnya, seperti aren, tebu, bambu, pepaya, cabai, kunyit, lengkuas, cempokak, sirsak, jambu batu, labu siam, kecipir, dan kacang kapri. Praktik
ini perlu dikukuhkan mengingat selain memenuhi kaidah wanatani, juga dapat memperkaya keragaman hayati, sebagai wujud perilaku mempertahankan keberlanjutan sumberdaya hayati dan juga dapat membawa manfaat ekonomi keluarga. Masyarakat masih memiliki keperca-yaan ngumbai, yaitu selamatan pada siang atau malam hari di tengah kebun kopi, yang dilakukan pada tanggal dua Bulan Haji dengan membaca Kitab Manakip. Ngumbai merupakan bentuk syukur masyarakat desa setempat akan hasil yang diperoleh pada musim ini, dan berharap pada musim berikutnya hasil akan lebih baik. Kepercayaan ini secara ilmiah tidak ada kaitannya dengan aspek konservasi tanah dan air, sehingga tidak perlu dikoreksi. Bahkan dapat digunakan sebagai medium penyampaian pesan teknik bersesuai tanam wanatani dalam proses komunikasi persuasif. Ada pendapat di masyarakat bahwa apabila kayu bakar selalu tersedia di rumah, sang istri adalah seorang ibu yang rajin. Ada perasaan malu apabila harus meminjam kayu bakar tetangga. Lebih baik meminjam uang atau beras daripada meminjam kayu bakar/ kayu api. Adat ini juga ditemui dalam masya-rakat Etnis Semendo di Desa Sukananti. Secara tidak langsung, adat ini membuat konsep bertani/berkebun Etnis Lampung memenuhi kaidah wanatani, karena untuk dapat memper-oleh kayu bakar dalam jumlah yang memadai, sebagian tanaman kopi dibiarkan meninggi. Tanaman kopi yang dibiarkan meninggi disebut luncuran sampai produksi buah kopi berkurang ataupun sudah sukar untuk men-jangkau buah kopi sewaktu panen. Tanaman kopi luncuran merupakan bahan kayu bakar.
Penginventarisan Kearifan Lokal ... (Ida Nurhaida dkk.)
99 Berbagai kearifan lokal dalam praktik wanatani kopi Etnis Lampung banyak yang secara ilmiah memenuhi kaidah konservasi dan air di wilayah resapan. Praktik tersebut perlu dikukuhkan dalam program komunikasi pembangunan agar mereka semakin yakin dengan kearifan yang telah dimiliki. Berbagai kearifan lokal tersebut juga dapat menjadi domain penelitian baru bagi dunia ilmiah. Sebaliknya, praktik yang bertentangan dengan kaidah konservasi tanah dan air perlu dikoreksi melalui komunikasi persuasif secara tepat, setelah mempertimbangkan aspek sosialbudaya agar tidak menimbulkan ketahanan. Praktik Wanatani Kopi Etnis Semendo di Desa Sukananti Pembukaan Lahan dan Penanaman Pertanian di Desa Sukananti dimulai dari pembukaan lahan untuk dijadikan areal perkebunan kopi, menggunakan sistem tebang kemudian dibakar, setelah lahan bersih dari semak belukar dan perdu, maka dibuat lubang tanam. Sebagaimana dengan di Desa Way Mengaku, cara pembukaan lahan dengan membakar ini perlu dicegah, apalagi kegiatan ini juga telah mencapai di kawasan hutan negara ataupun hutan lindung. Perlu dirancang proses komunikasi persuasif untuk tujuan pencegahan itu, sebelum penindakan hukum. Jarak tanam tanaman kopi di Desa Sukananti ini adalah satu kepas setengah hasta (2,5 m) untuk areal datar, sedangkan untuk areal miring 15-45%, jarak tanam menjadi satu kepas (1 m). Alasannya secara ilmiah dapat diterima bahwa pada daerah miring, apabila tanaman ditanam jarang, maka laju erosi akan meningkat. Praktik ini perlu dikukuhkan, karena sejalan dengan kaidah konservasi tanah
dan air. Makin curam lereng, makin rapat jarak tanam yang diperlukan agar peresapan air dapat ditingkatkan sekaligus menekan laju erosi. Walaupun begitu, perlu bukti penelitian untuk menentukan jarak tanam ideal untuk masing-masing kelompok kemiringan lereng, dikaitkan pula dengan jarak ideal bagi persaingan dalam memperoleh sinar matahari maupun hara. Pengolahan tanah masih menggunakan olah tanah minimum, hanya saja pada beberapa bidang kebun sudah terdapat lubang angin. Lubang angin adalah suatu lubang berukuran 70 x 100 cm dengan kedalaman 60 cm, yang berfungsi sebagai tempat membuang dedak kulit biji kopi. Bersama waktu, dedak ini akan terdekomposisi menjadi hara tanah. Selain itu, lubang angin sebenarnya fungsinya seperti rorak, dapat menangkap aliran permukaan dan erosi tanah. Hal ini merupakan praktik yang baik untuk dikukuhkan. Begitu pula dengan praktik membiarkan serasah sisa-sisa tanaman tersebar di permukaan tanah. Pemilihan Benih dan Bibit Pemilihan benih kopi sama seperti yang dilakukan oleh Etnis Lampung. Oleh karena itu, apresiasi terhadap praktik ini sama dengan yang diberikan pada praktik pemilihan benih dan bibit di Desa Way Mengaku. Waktu tanamnya berbeda, masyarakat Etnis Semendo memilih waktu tanam dengan cara melihat bintang pada dini hari sampai dengan subuh, ada atau tidak bintang agung (bintang yang bersinar paling terang). Praktik ini sebenarnya berkaitan dengan menjelang datangnya musim hujan. Pemilihan waktu tanam seperti ini dapat menghindari kegagalan pertumbuhan bibit akibat cekaman
ISSN. 1411-9250 Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. V No. 2, Agustus 2005: 91-105
100 Penanaman kopi dilakukan setelah bibit berumur satu tahun. Umur ini dinilai cukup, karena secara fisiologis akar tanaman sudah cukup baik untuk penyesuaian terhadap cekaman air setelah bibit dipindahkan dari persemaian ke lapang. Walaupun begitu, perlu diketahui melalui penelitian untuk menentukan ketoleranan umur bibit yang baik lebih atau kurang dari umur satu tahun dikaitkan dengan ukuran bibit yang berhasil tumbuh di lapangan. Pemeliharaan Tanaman Perawatan tanaman kopi umumnya dengan membuang tunas air. Pengendalian gulma dengan koret untuk membersihkan gulma dalam radius sekitar 1 m. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara kimia sangat jarang dilakukan karena harga pestisida relatif mahal, akan mengganggu pertumbuhan tanaman, dan akan mengeraskan tanah. Praktik ini perlu dikukuhkan. Praktik membuang tunas vegetatif (tunas air) secara ilmiah dibenarkan bila dimaksudkan untuk meningkatkan produksi buah. Hal ini karena dominasi apikal dapat ditekan, sehingga hasil fotosintesis banyak digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan bunga dan bakal buah, bukan bakal ranting. Pada praktik mengoret untuk mengendalikan gulma, secara ilmiah dapat dibenarkan sepenjang dilakukan dalam radius terbatas, karena berarti juga sebagai praktik olah tanah minimum, yang sangat disarankan dalam kaidah konservasi tanah dan air di wila-yah resapan. Sementara itu, pupuk kandang masih sangat jarang dipakai karena sukar didapat kotoran ternak dan tidak ada yang memelihara ternak. Penambahan unsur hara hanya berasal dari serasah tanaman, yang merupakan praktik sangat baik untuk
dikukuh-kan apalagi bila digabungkan dengan pupuk kandang. Oleh karena itu, pengembangan usaha ternak perlu dilakukan karena juga dapat banyak membawa manfaat ekonomi. Tanaman peneduh, seperti dadap dan kayu hujan, dipakai untuk sahang (lada) dan sebagian vanili. Selain kayu hujan dan dadap, tanaman peneduh lainnya adalah jengkol, mangga bacang, alpukat, nangka, kayu medang, albasia, kayu manis, kapuk, dan durian. Praktik ini perlu dikukuhkan. Tanaman penutup tanah dari jenis kekacangan pernah ditanam oleh masyarakat. Akan tetapi, menurut mereka hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman kopi tidak terlalu baik, daun kopi menguning dan jumlah buah menurun. Oleh karena itu, LCC: legume cover crops sebagai tanaman penutup tanah dimusnahkan. Alasan ini tidak masuk akal, dan bertentangan dengan sifat LCC yang mampu menambat nitrogen dari udara. Selain itu, LCC sangat baik dalam pencegahan erosi. Alasan itu perlu dikoreksi melalui perancangan program komunikasi persuasif. Pemanenan dan Peremajaan Tanaman Peremajaan tanaman dengan teknik tuakh sakhak kurang umum dilakukan oleh masyarakat Etnis Semendo. Teknik yang sejenis itu dikenal dengan istilah kapak kulai, yang dianggap ketinggalan. Para petani lebih banyak menggunakan teknik menyambung, yang menurut istilah mereka adalah setek. Agar tanaman kopi berproduksi baik dan dapat dipertahankan secara terus-menerus, tanaman kopi yang sudah berusia tiga tahun disetek. Setek ada dua macam, yaitu dahan dan tunas batang. Setek tunas batang sudah jarang di-pakai karena hasilnya kurang menguntungkan. Setek dilakukan pada bulan Oktober dan November dengan
Penginventarisan Kearifan Lokal ... (Ida Nurhaida dkk.)
101 yang berbentuk seperti payung. Praktik ini perlu dikukuhkan karena bersesuaian dengan kaidah konservasi tanah dan air. Selain itu, kebiasaan para petani membiarkan serasah tersebar secara merata di permukaan tanah, lubang angin, dan teras juga dapat berfungsi untuk mengurangi laju erosi. Demikian juga penggunaan tanaman peneduh akan turut meningkatkan peresapan air dan menekan laju erosi tanah. Selain dengan teknik setek, ada juga praktik peremajaan tanaman kopi dengan teknik dipungkak yaitu bagian pucuk tanaman dipotong, sehingga tanaman tidak tumbuh meninggi melainkan ke samping dan pertumbuhannya dapat membentuk seperti payung. Perbedaannya hanya saja apabila disetek, maka akan ada lonjakan hasil dua tahun sekali, sedangkan bila dipungkak, hasil akan tetap. Praktik ini juga perlu dikukuhkan, karena berkaitan dengan teknik membuat tajuk tanaman melebar, bukan pertumbuhan ke atas yang selaras dengan kaidah konservasi tanah dan air untuk menutup permukaan tanah serapat mungkin. Walaupun begitu, ada atau tidaknya lonjakan hasil perlu diteliti. Selain setek, tanaman ada yang dibiar-kan tumbuh meninggi, yang disebut lancuran karena masyarakat masih membutuhkan kayu api/kayu bakar. Apabila hasil tanaman yang meninggi sudah tidak memuaskan, maka akan diremajakan dengan cara ditebang langsung. Praktik teknik lancuran perlu dikoreksi sepanjang tidak dominan di desa ini. Gabungan lancuran dan setek merupakan penerapan prinsip multistratum. Masyarakat Semendo memiliki adat bagi anak perempuan yang sudah menikah, yaitu akan diberi hak waris
berupa rumah dan kebun, yang disebut tunggu tubang. Pasangan yang tunggu tubang memiliki tanggung jawab untuk mengurus ladang dan rumah, serta mengurus kakek dan nenek mereka yang sudah tidak kuat melakukan usaha, serta saudara dari pihak perempuan, sementara orang tua mereka (dari pihak perempuan) meninggalkan rumah tersebut. Pengawasan pasangan tersebut dilakukan oleh paman dari pihak perempuan, yang bertanggung jawab agar kebun dan rumah tersebut tidak disalahgunakan. Masyarakat Semendo merupakan masyarakat yang paling awal dalam mengusahakan wanatani kopi di Lampung Barat ini sehingga banyak suku lain yang ada di Lampung Barat yang mengadopsi cara budidaya tanaman kopi yang dilakukan oleh masyarakat Semendo. Namun demikian, sistem olah tanah didapat oleh masyarakat Semendo dari para pendatang, khususnya masyarakat Jawa. Hal ini memperlihatkan telah terjadi pertukaran pengetahuan. Praktik Wanatani Kopi Etnis Jawa Di Desa Sidomakmur Pembukaan Lahan dan Penanaman Sistem wanatani sudah diterapkan oleh Etnis Jawa di Desa Sidomakmur. Pembukaan lahan dimulai dengan pembersihan lahan, semak belukar di babat kemudian dibakar. Setelah itu, lahan dicangkul dua kali secara merata sampai hancur (dayung), kemudian dibuat lubang tanam dengan jarak 2 m x 2 m, dengan kedalaman 25 cm. Penanaman benih kopi pada mongso ke-6 (Januari atau Desember) atau mongso kesembilan (Maret) karena jumlah curah hujan sudah meningkat. Pengolahan tanah secara lebih intensif telah dilakukan di desa ini. Pembuatan teras pada lahan yang miring dan lubang angin telah
ISSN. 1411-9250 Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. V No. 2, Agustus 2005: 91-105
102 penanaman kopi di desa ini sudah mencapai ke hutan negara termasuk hutan lindung. Demikian pula dengan perilaku mengolah tanah intensif. Hal ini merupakan perilaku yang dibawa dari teknik tanaman pangan atau semusin, seperti padi dan palawija dari P Jawa. Praktik itu harus digeser kepada praktik olah tanah minimum. Para petani perlu disadarkan bahwa bertani kopi tidaklah sama dengan padi ataupun palawija, yang umumnya di P Jawa dilakukan di lahan datar, sementara di Lampung Barat mempunyai kemiringan rata-rata besar. Pembuatan lubang angin dan teras, walaupun dapat diterima dalam kaidah kon-servasi tanah dan air untuk lahan kemiringan > 30%, tetapi kedua teknik itu sebenarnya lebih direkomendasikan untuk budidaya tanaman pangan dan palawija, bukan untuk tanaman hutan. Oleh karena itu, sepanjang praktik ini dilakukan di lahan pekarangan masih dibenarkan, tetapi perlu dicegah bila dilakukan dalam lahan yang berada dalam kawasan hutan negara, apalagi dalam kawasan hutan lindung. Pengolahan tanah lainnya adalah saat tanah sudah mulai keras, dengan menggunakan garpu agar gembur dan perakaran serabut yang tumbuh di permukaan tanah menjadi putus, sehingga akan terbentuk akar serabut yang baru, yang nantinya diharapkan akan lebih baik dari segi hasil dan juga perkembangan tanam-an. Akan tetapi, kenyataannya di lapangan karena tanaman kurang pemberian unsur hara, maka hasil tanamannya tetap. Pemilihan Benih dan Bibit Masyarakat Etnis Jawa di Desa Sido-makmur umumnya berasal dari P Jawa dengan budidaya utama padi dan palawija. Oleh kare-na itu, dapat
dipahami dalam pemilihan benih dan bibit kopi banyak mengadopsi pengalaman penduduk asli Lampung Barat, terutama dari masyarakat Semendo, yang jaraknya relatif berdekatan. Apa yang dilakukan petani Semendo umumnya diadopsi oleh masyarakat petani kopi Sidomakmur. Pemeliharaaan Tanaman Pada daerah ini, serasah dedaunan kopi dan bekas koretan ditumpuk di sekitar lubang angin. Akan tetapi, karena tanahnya bersih dari serasah daun kopi, maka tidak terlindung dari tumbukan butir air hujan, sehingga me-mungkinkan terjadinya erosi, yang diperparah dengan kemiringan antara 15-45%. Praktik ini perlu dicegah dalam wanatani kopi. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia buatan hampir tidak dilakukan, karena harga mahal. Praktik ini perlu dipertahankan, tetapi dengan alasan untuk menekan residu bahan cemaran. Akan menjadi lebih baik lagi bila praktik ini digabungkan dengan penggunaan pupuk kandang. Pemeliharaan tanaman muda dengan membuang tunas air (menunas). Setelah tanaman berumur lima tahun atau setelah ngagung besar dan hasil tanaman sudah mulai menurun, tanaman disetek. Pemeliharaan tanaman selanjutnya hanya membuang tunas air dan tunas yang tidak dikehendaki. Tanaman peneduh yang banyak digu-nakan di desa ini menjadi sangat berguna baik untuk pelindung tanaman kopi juga untuk pakan ternak. Peneduh seperti kayu hujan dan dadap dapat dijadikan pakan ternak. Di desa ini, 98% masyarakatnya memiliki ternak kambing sebagai dengan alasan bahwa kambing mudah dijual dan cara pemberian pakannya mudah. Kotoran
Penginventarisan Kearifan Lokal ... (Ida Nurhaida dkk.)
103 dan vanili. Praktik tumpangsari perlu dikukuh-kan, mengingat secara ilmiah merupakan sistem pertanian yang mempunyai banyak bukti jaminan keberlanjutan yang besar. Pemanenan dan Peremajaan Tanaman Sebagai etnis pendatang yang minim dengan teknik tanaman perkebunan, para petani Etnis Jawa di Sidomakmur juga banyak mengadopsi sistem pemanenan dan peremajaan kopi dari etnis Semendo. Ada beberapa petani yang mengadopsi dari Etnis Lampung dalam peremanjaan tanaman kopinya dengan menggunakan praktik tuakh sakhak. Walaupun begitu jumlah yang mengadopsi praktik ini tidak banyak dan semakin berkurang. Praktik Wanatani Kopi Etnis Sunda di Desa Fajarbulan Praktik pertanian yang dikembangkan adalah perpaduan antara cara pertanian di desa Sukananti dan Sido Makmur. Locally knowledge asli dari Etnis Sunda tetang wanatani sukar ditemukan. Di dalam hal pembukaan lahan sama dengan ketiga etnis yang lain. Sementara itu, dalam hal penanaman dan pengolahan tanah sangat dekat dengan para petani Sidomakmur: menggunakan olah tanah intensif, membuat teras, dan lubang angin. Begitu juga dengan pemeliharaan tanam juga seintensif para petani di Sidomakmur, sedangkan dalam hal pemilihan benih dan bibit serta panen maupun peremajaan tanaman banyak mengikuti Etnis Semendo. Oleh karena itu, praktik yang perlu dikukuhkan ataupun perlu dikoreksi sama dengan praktik di kedua etnis tersebut. Walaupun begitu, ada yang patut dicatat dari sistem wanatani kopi dari Etnis Sunda, umumnya selain memelihara ternak juga mengembangkan budidaya ikan. Hal ini juga merupakan budaya bawaan dari
Tanah Priangan. Praktik inipun perlu dikukuhkan mengingat sistem wanatani menjadi makin besar keragamannya, yang berarti pula makin besar harapan keberlanjutan sistem itu sendiri. Di desa ini, pertanian kopi dimulai dari pembukaan lahan dengan cara membabat belukar, kemudian di bakar. Pengolahan tanah sama seperti yang dilakukan di desa Sido Makmur, yakni sebelum ditanam tanah diolah dengan membuat teras pada daerah berlereng 15-45%, kemudian baru dibuat lubang tanam dengan menggunakan cangkul, dengan jarak tanam 2m x 2m. Bibit ditanam setelah berumur satu tahun. Perawatan tanaman muda sama seperti yang dilakukan di desa lainnya, tanaman hanya dibuang tunas airnya, gulma dikoret, dan tidak menggunakan herbisida. Pada tanaman yang sudah menurun hasil produksinya, yakni pada umur lima tahun, tanaman disetek. Masyarakat Etnis Sunda di desa ini juga mulai membuat lubang angin, sehingga dedak kulit kopi menjadi berguna. Di P Jawa, lubang angin disebut sebagai rorak yang fungsinya untuk menampung air hujan agar lebih banyak meresap ke dalam tanah, yang berarti dapat menekan erosi tanah. Akan tetapi, di Lampung Barat, lubang angin terutama sebagai tempat pengomposan kulit buah kopi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1)K e a r i f a n l o k a l y a n g p e r l u dikukuhkan dan diadopsi adalah praktik (a) pemilihan benih, penentuan jarak tanam kopi maupun tanaman peneduh, dan sistem penanaman multistratum di keempat etnis; (b) olah tanah minimum dan
ISSN. 1411-9250 Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. V No. 2, Agustus 2005: 91-105
104 dikukuhkan pada Jawa dan diperkenalkan kepada tiga etnis lainnya; (d) peremajaan tanaman kopi dengan teknik tuakh sakhak (Lampung) atau teknik kapak kulai (Semendo) serta teknik pungkak dan setek perlu dikukuhkan pada kedua etnis ini dan diperkenalkan kepada Jawa dan Sunda; (e) budidaya ternak (Lampung, Jawa dan Sunda) serta diperkenalkan kepada Semendo, (f) pengembangan perikanan (Sunda) dan diperkenalkan pada tiga etnis lainnya. (2)Praktik yang perlu dicegah adalah: (a) membuka lahan dengan penebangan pohon disertai pembakaran sisa-sisa tanaman pada keempat etnis; (b) pengolahan tanah inten-sif (Jawa); dan (c) kebiasaan membersih-kan lahan (Jawa). (3)P r a k t i k a d a t d a n k e b i a s a a n setempat seperti ngumbai (ampung) dan tunggu tubang (Semendo) serta penentuan tanggal tanam berdasarkan anatomi tanaman tidak perlu dicegah karena tidak mengganggu tujuan pelestarian wilayah resapan, tetapi dapat dimanfaatkan untuk setting perancangan program komunikasi. Saran Selain itu, setidaknya ada dua saran yang dapat diberikan atas dasar hasil penelitian ini yaitu: (1)Dibalik praktik wanatani lokal di empat desa ini banyak argumen dari para petani yang masuk akal (scientifictly sound) dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi maupun pelestarian wilayah serapan. Mengingat semua argumen tersebut umumnya belum didukung oleh hasil penelitian, maka disarankan untuk dikaji melalui
penelitian secara komprehensif, di antaranya: (a) Berapa persen takaran tanaman kopi yang hidup jika diterapkan teknik tuakh-sakhak atau kapak kulai? Berapa perbedaannya dengan peremajaan tanaman kopi dengan sistem tebas habis (servis habis)? Berapa pula pengaruhnya terhadap besarnya aliran permukaan dan laju erosi tanah? (b) Ber-kaitan dengan anggapan yang merugikan dari Etnis Lampung terhadap hasil kopinya, bagaimana pengaruh penggunaan tanaman peneduh kayu manis terhadap produksi kopi, peresapan air dan laju erosi tanah, produksi biomassa tanah, biota tanah, dan kesuburan tanah? Banyak lagi pertanyaan yang perlu dijawab dengan penelitian ilmiah. Hal ini merupakan domain penelitian baru yang dapat dipetik dari kearifan praktik wanatani lokal dari Lampung Barat, dan juga salah satu bentuk pemberian hak bicara atas debat nasib kelestarian wilayah resapan di Lampung Barat. (2)Disarankan pula untuk melakukan penelitian serupa untuk wanatani coklat, karet dan lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini disponsori oleh Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanan Penelitian Hibah Bersaing XII No. 009/P4T/DPPM/ PHBXII/III/2004 tanggal 1 Maret 2004, untuk itu kepada sponsor kami ucapkan terima kasih. DAFTAR PUSTAKA Affandi, T.K. Manik, B. Rosadi, M.
Penginventarisan Kearifan Lokal ... (Ida Nurhaida dkk.)
105 Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. BPS Propinsi Lampung. 2002. Lampung dalam Angka. Kerjasama Balitbangda dan Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung. Bertrand, J.T. 1978. Comunication Pretesting. Communication Laboratory, Cummunity and Family Study Center, The University of Chicago. Chicago. Departemen Kehutanan. 1991. Peta Tataguna Hutan Kesepakatan. Skala 1:500.000. Propinsi Lampung.
Bergambar terhadap Peningkatan Pengetahuan Petani tentang Pertanian Konservasi. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan 21(4):282-296. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1989. Peta Satuan Tanah dan Lahan Lembar Liwa, Sumatera. Land Resource Evaluation and Planning Project I. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta. Roggers, E.M. 1995. Diffusion of th Innovations. 4 Ed. The Free Press. New York.
Joshi, L., S. Suyanto, D.C. Catacutan, dan M. van Noordwijk. 2001. Recognising Local Knowledge and Giving Farmers A Voice in the Policy Development Debate. RAF, Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor.
Sincalir F.L. dan D.H Walker. 1998. Acquiring qualitative knowledge about complex agroecosystem. Part I. Representation as natural language. Agricultural Systems 56(3):341-363.
Nurhaida, I., A. Jahi., Ig. Kismono, dan M.S. Padmanegara. 2001. Pengaruh Pesan yang Menyenangkan dan Pesan yang Menakutkan dalam Buku Cerita
Walker, D.H., B. Tapa, dan F.L. Sinclair. 1995. Incorporation of Indigenous Knowledge and Perspectives in Agroforestry Development. Part One: Review of
ISSN. 1411-9250 Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. V No. 2, Agustus 2005: 91-105