Jurnal The Way
Vol. 02. No. 02
Agustus 2013
NILAI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALLAH BERDASARKAN KEJADIAN 1:26, 27 DAN RELEVANSINYA DALAM KEPEMIMPINAN MASA KINI Noh Ibrahim Boiliu
[email protected] ABSTRACT The author explains about the value of human beings in practical level leadership by analyzing the text of Genesis 1:26,27. This text is the key to human understanding in various aspects. Both in terms of human rights and human relations. Which essentially prevents erosititas human values in the practical level leadership Keywords: Value, human, image of God, leadership
PENDAHULUAN Tema artikel
ini
sudah dalam realitas sosial) bahwa nilai
yang
diangkat
dalam manusia telah terdistorsi sampai pada
pergumulan level yang ”kronis”. Semisal, majikan
merupakan
pribadi penulis berkaitan dengan teks menyiksa pembantu hingga kehilangan Kejadian 1:26,27. Dengan bertitik tolak nyawa, majikan tidak membayarkan gaji pada dua istilah ”tselem dan demuth” pembantu (konteks tuan dan hamba); inilah
penulis
terdorong
untuk atasan
bertindak
sewenang-wenang
“merenung” tentang ”Nilai Manusia terhadap bawahan (tidak hanya dalam dalam Perspektif Allah Berdasarkan level kepemimpinan sekuler melainkan Kejadian 1:26-27 dan Relevansinya juga dalam lingkup gereja – pengerja Dalam Yang dalam
Kepemimpinan Masa Kini”. mengkasuskan gereja /gembalanya dan kemudian judul
penulis
”nilai
ringkaskan membawanya ke ‟meja hijau‟ karena
manusia
dalam dipecat tanpa alasan yang jelas); dalam
praksis kepemimpinan”. Hal
ini
tentu
konteks pemegang kekuasaan versus berkaitan
juga rakyat.
Para
pemegang
kekuasaan
dengan tuan dan hamba; atasan dan pada level eksekutif, yudikatif, dan bawahan; para pemegang kekuasaan legislatif tidak dapat menguasai ”jagad dan
rakyat.
perspektif
Dalam
penulis,
konteks
disinyalir
dan (tetapi
Jurnal The Way
Vol. 02. No. 02
Agustus 2013
cilik-nya”1dari
nafsu-nafsu
sehingga tertuang dalam teks Keluaran 1:26,27,
menimbulkan
tindakan
korupsi. merupakan cara pandang Allah dan
Mungkin kita bertanya, di mana letak bagaimana Allah memandang manusia. ‟pendistorsian
nilai
manusia
dan Dalam konteks inilah, nilai manusia
tindakan korupsi sebagai akibat tidak ditengah konstelasi dunia mengalami dikuasainya ’jagad cilik’. Di bagian awal kemunduran. ini, saya langsung mengatakan bahwa mengajukan pendistorsian nilai manusia terletak caranya
Kita
juga
pertanyaan,
mungkin bagaimana
mengembalikan
nilai-nilai
pada ”hak hidup orang banyak”. Uang tersebut, khususnya dalam konteks yang dikorupsi sebenarnya merupakan praksis
kepemimpinan,
baik
dalam
milik orang lain yang bersifat umum. konteks kepemimpinan sekuler maupun Mereka, para koruptor tidak melihat gerejawi
dengan
benar-benar
‟manusia lain‟ sebagai makhluk yang memahami dan memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai.2
memiliki nilai. Contoh di atas dalam perspektif penulis,
disinyalir
sebagai
pandang
yang
parsial
manusia.
Akibatnya,
Saya akan mengawali tulisan
cara singkat ini dengan mengetengahkan arti
terhadap ketiga term, seperti yang terdapat pada melahirkan judul tulisan ini; term nilai, manusia dan
tindakan tak bermoral terhadap sesama kepemimpinan. manusia dengan berbagai variannya, baik dalam masyarakat luas maupun ditengah-tengah umat Kristiani. Dari uraian singkat pada bagian pendahuluan
ini,
mengetengahkan krusialitas
dari
saya
hendak
secara
singkat
tergerusnya
‟nilai
manusia‟. Dalam perspektif Allah, yang
PEMBAHASAN Nilai Manusia dalam sudut pandang Allah Berbicara tentang nilai manusia dalam sudut pandang Allah maka saya hendak melihatnya dari sisi „tselem’ dan „demuth’. Penciptaan manusia merujuk pada bagaimana diri Allah terpresentasi dalam
1
Istilah ini dalam budaya Jawa, diartikan sebagai dunia kecil yakni bathin manusia dan “jagad gede” artinya dunia besar atau dalam konteks Latin, makro kosmos. Dikisahkan dalam tradisi Jawa bahwa, apabila manusia ingin menguasai jagad gede, maka harus dapat menguasai jagad ciliknya – apabila ingin menguasai dunia maka kuasailah hatimu.
diri
manusia
seperti
yang
dikatakan oleh Anthony A. Hoekema dalam bukunya Created in God’s Image yang merujuk pada operasionalitas dari 2
Nilai tersebut, tidak diberi oleh manusia lain melainkan merupakan pemberian Allah
105
Jurnal The Way
kedua
Vol. 02. No. 02
istilah
tselem
dan
Agustus 2013
demuth istilah Ibrani tselem dan demuth pada
dengan berkata “ketika diaplikasikan dasarnya sama arti. Pemikiran bahwa pada
penciptaan
Kejadian
1,
manusia
kata
mengindikasikan
dalam kedua istilah itu berbeda telah ditolak
tselem
ini meskipun dengan alasan eksegeses teologis”.7
manusia dan
bahwa
Bahkan
menggambarkan Allah, artinya manusia penerjemahannya dalam Septuaginta merupakan suatu representasi Allah”.3 Bagaimanakah
tetap memberi arti cukup dan memberi
pengertian rujukan pada kesamaan arti dari kedua
tselem dan demuth, apakah kedua istilah”.8
Kita
dapat
menerima
ide
istilah ini masuk dalam bagian atau Ireanius berkaitan dengan demuth yang struktur non material manusia? Millard mengacu pada etika atau moral sebab J. Erickson berkata kedua istilah itu kita tahu bahwa Allah pun memiliki yang
mencirikan
sebagai sifat-sifat moral. Namun, tselem yang
manusia
makhluk Tuhan. Manusia diciptakan di mengacu
pada
kejasmanian
(dalam) gambaran Tuhan yang merujuk menimbulkan problem. Sebab Allah pada mutu atau kualitas”.4 Pemikiran memenuhi kualifikasi “Roh” dan bukan Erickson, bila mundur kebelakang untuk jasmani. membandingkan
dengan
pemikiran
Teolog-teolog
Ireanius di mana Ireanius membedakan Berkhof
(dalam
seperti bukunya
Louis Teologi
antara tselem dan demuth. Teselem Sistematika 2), Anthony A. Hoekema mengacu pada kejasmanian sedangkan (Manusia: Ciptaan Menurut Gambar demuth
mengacu
gambar
Allah”.5
membuat
pada
etika
Ireniuslah
perbedaan.
6
dari Allah), Charles C. Ryrie ( Teologi Dasar yang 1) tidak membedakan antara tselem
Charles dan demuth. Mereka berkata: “Kata
Fienberg seperti yang dikutip oleh Jhon. gambar J. Davis berpendapat bahwa istilah- bersinonim
dan rupa dipakai secara dan
dipakai
saling
bergantian dan dengan demikian tidak 3
Anthony, A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (Surabaya: Momentum, menunjuk dua hal yang berbeda. 2003), hlm. 18. Kejadian 1:26-26, kedua kata dipakai, 4 Millard, J. Erickson, The Concise Dictionary of The Chriatian Theology (Grand 7 Rapids, Bakker Book, 2001), hlm. 96. Ibid 5 8 Charles, C. Ryrie, Teologi Dasar 1 S.R. Driver, The Book of Genesis. (Yogyakarta: Andi Offset, 1991), hlm. 256 Westminster Commentaries, disunting oleh 6 Jhon, J. Davis, Eksposisi Kitab Kejadian Walter Lock, jilid 1 (London: Methuen and Co, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm. 84 1906), hlm. 1906.
106
Jurnal The Way
di
pasal 9
dipakai,” dipakai
Vol. 02. No. 02
2:7
kata
gambar
Hoekema,
“kedua
sebagai
sinonim”,
Agustus 2013
yang tentang kaisar; tetapi gambaran ini tidak kata mencerminkan Ryrie, demikian
persamaan.Sekalipun
Luther
bermuara
pada
“perbedaan kedua kata itu tidak dapat pemikiran bahwa manusia diciptakan dipertahankan
berdasarkan
kata. secara langsung oleh Allah dan tidak
Bahwa kata depan dipakai secara seperti
makhluk-makhluk
lain
yang
bergantian, pada kata gambar dan rupa hanya diciptakan melalui kata-kata. – Kejadian 1:26-27; 5:1-3.”10
Pandangan
Calvin
tentang
Bagaimana dengan Luther dan tselem dan demut adalah: tselemCalvin? Kedua tokoh reformator ini juga “gambar” Allah, adalah hakikat manusia mengatakan bahwa kedua istilah ini yang tidak dapat berubah. Artinya sama
artinya.
Meskipun
Luther bahwa
manusia
memiliki
akal,
mencoba untuk membedakan kedua kehendak dan pribadi. Manusia adalah istilah itu secara etimologis namun makhluk terdekat dengan Allah namun tetap dimengerti sebagai dua kata yang karena dosa maka manusia kehilangan mengacu pada penciptaan manusia. kemuliaan Allah. Demut “rupa” adalah Bagi Luther, tselem berarti image of sifat manusia yang dapat berubah.12 figure dan demut berarti the accuracy of Calvin menegaskan pandangannya di the image. Luther memberi contoh dalam
bukunya
when we speak of a lifeless image, like bahwa
“ada
that apper on coins, we say this is the pendapat
“Institutio” banyak
tentang
berkata
perbedaan
kedua
istilah
image of brutus, of caesar; but this tersebut. Oleh karena itu mereka yang image
does
likeness,
for
not it
once does
reflect not
all
the menerangkan kedua kata itu mencari the perbedaan yang sebenarnya tidak ada
features.11 Bahwa ketika kita berbicara diantaranya”.13 Secara harafiah “demuth” berarti
tentang suatu gambaran tak bernyawa, seperti
apper pada [atas] koin, kita “menyerupai”14 Kedua istilah ini dalam
katakan ini adalah gambaran brutus, bahasa similitude.
Latin
disebut Kamus
imago
dan
Latin-Indonesia
9
Louis, Berkhof, Teologi Sistematika 2 (Surabaya: LRII, 2004), hlm. 48 10 Ryrie, Op. Cit. hlm. 257. 11 Martin, Luther, Luther’s Works, Vol. I, Ed (Saint Louis: Concordia Publishing House, 1958), hlm. 337.
12
Harun, Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm.190. 13 Yohanes, Calvin, Institutio (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), hlm. 36. 14 Hoekema, Op. Cit. hlm. 18
107
Jurnal The Way
mendefinisikan
Vol. 02. No. 02
“imago”
Agustus 2013
sebagai seperti Allah dan telah memahkotainya
gambar, patung, lukisan, potret, tjitra. dengan
kemuliaan
dan
hormat”.
Dapat dibandingkan dengan imago alcs Kemuliaan dan hormat tidak diberikan artinya
serupa atau mirip
dengan. kepada
ciptaan
yang
lain
selain
Gambaran, potret, lukisan atau imago manusia. Dan hanya manusia sajalah itu adalah imago yang alcs. Artinya yang sadar tentang diri dan sadar gambaran yang mirip dengan Deus.”15 tentang penciptanya (Tuhan). Manusia Dapat kita pahami bahwa gambaran tidak diri
hanya
sadar
tentang
Tuhan
manusia mirip dengan Allah. melainkan sekaligus berpikir tentang
Sedangkan kata similitude diambil dari Tuhan. Hanya manusia juga yang akar kata similis artinya sama, serupa bereksistensi. dengan, mirip dengan, bagaikan …
Secara tersirat dalam makna
menyerupai. Sedangkan kata similitudo tselem berarti
kesamaan,
dan
demuth,
Allah
adalah
persamaan, pribadi (memiliki pikiran, perasaan dan
keserupaan”.16 Di mana letak imago kehendak). Sebagai suatu pribadi, Allah alcs atau keserupaan dengan Allah? berada dalam kesadaran diri secara Keserupaan
tersebut
keserupaan dalam sifat
adalah sempurna (mahatahu: tahu tentang dirimoral Allah. Nya secara sempurna bukan parsial),
Millard J. Erickson sependapat bahwa Iadapat membuat keputusan (Kejadian “keserupaan itu adalah sebuah donum 6:13)
karena
superaditum. Atau anugerah ilahi yang kemampuan
Allah untuk
memiliki membuat
ditambahkan pada sifat manusia yang keputusan. Manusia, sebagai pribadi pokok.
serupa dengan penciptanya. Manusia Manusia
diciptakan
menurut diberi kemampuan (memiliki pikiran,
tselem dan demuth Allah. Ciptaan yang perasaan
dan
kehendak)
untuk
lain tidak diciptakan menurut gambar membuat keputusan dan kemampuan dan rupa Allah. Hanya manusia sajalah untuk
berkuasa
yang diciptakan menurut gambar dan kemampuan rupa
Allah.
Mazmur
8:6
(Kej.
untuk
1:28);
dan
mengelola
atau
berkata memanage hidup (Kejadian 2:15). Di
“Engkau membuatnya hampir sama dalam membuat keputusan itu manusia 15
melibatkan
K. Prent c.m., dkk, Kamus LatinIndonesia (Yogyakarta: Kanisius, t.th), hlm. 402. 16 Ibid, hlm. 792-793
kemampuan
intelektualitasnya. Ini berbeda dengan
108
Jurnal The Way
binatang.
Vol. 02. No. 02
Binatang
tidak
membuat Kristus
Agustus 2013
adalah
untuk
membalikkan
pertimbangan yang diakhiri dengan manusia pada keotentikan awal. keputusan; kuasa;
binatang
binatang
tidak
memiliki
tidak
memiliki
kemampuan memanagamen hidup.
Nilai Manusia Dalam Praksis Kepemimpinan Nilai18 manusia19 dalam praksis
Dalam segi spiritualitas, Allah kepemimpinan20
membawa
asumsi
adalah Roh. Manusia menerima bagian itu. Atribut-atribut dari “roh” adalah penalaran, hati nurani dan kehendak. Memiliki
“roh”
memenuhi moral
karena
itu
kemungkinan:
(etis)
dan
harus rasional,
sekaligus
bebas
(Menurut Gordon Lewis dalam The Moody Hand Book, salah sati kategori atribut Allah adalah eksistensial karena itu
Allah:
bebas,
mahahadir).
otentik
Manusia
dan
memenuhi
kategori bebas dan otentik. Manusia bebas
menentukan
membuat
hidup,
bebas
dan
bebas
keputusan
mengaktualisasikan diri (khas pemikiran eksistensialis). memahami
hal
Otentik, ini
Heideger
sehingga
ia
mengusulkan agar manusia memaknai diri
sendiri
dalam
pengalaman
asaziahnya.17 Keotentikan itu tercermar oleh dosa namun dipulihkan dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Bila demikian kematian dan kebangkitan
17
Noh Ibrahim Boiliu, Metode Fenomenologi Eksistensial. Tesis, Surakarta: STT Berita Hidup, 2007. Bab III
18
Nilai adalah hal yang dituju oleh perasaan, yang mewujudkan apriori emosi. Nilai bukan ide atau cita, melainkan sesuatu yang konkrit yang hanya dapat dialami dengan jiwa yang bergetar, dengan emosi. Mengalami nilai tidak sama dengan mengalami secaa umum, dalam mendengar, melihat, mencium dan lainlainnya. Akal tidak dapat melihat nilai sebab nilai tampil jikalau ada rasa yang diarahkan kepada sesuatu. 19 Apa arti kata manusia? dan siapakah manusia? Manusia merupakan sebuah misteri 19 di samping Sang Misteri Agung. Studi tentang manusia disebut antropologi. Istilah antropologi berasal dari bahasa Yunani yakni anthropos berarti manusia dan logos berarti kata, percakapan dan ilmu. Jadi, yang dimaksud dengan antropologi adalah percakapan atau pembicaraan mengenai manusia. Tetapi apakah arti kata “manusia”?. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, kata manusia hanya diartikan sebagai “makhluk Tuhan yang paling sempurna yang mempunyai akal dan 19 budi”. Sedangkan Oxford Advanced Learner‟s 19 Dictionary, kata benda man diartikan “orang dewasa”. Arti kata ini tidak jelas, namun kata man dapat dihubungkan dengan dua kata Latin mens, artinya “ada yang berpikir” dan kata homo yang berarti “orang yang dilahirkan di atas bumi”. Sedangkan istilah Yunani anthropos pada umumnya diartikan sebagai manusia. Dari studi etimologi di atas, dua kata Latin, mens dan homo memberi pengertian yang cukup jelas. 20
Ada begitu banyak definisi tentang kepemimpinan, namun dalam kesempatan ini, hanya dipilih beberapa definisi untuk menjadi acuan dari judul ini. Para pakar leadership mengartikan leadership sebagai seni (leadership is the arts). Memang, arts pada leadership masuk dalam wilayah estetika
109
Jurnal The Way
Vol. 02. No. 02
Agustus 2013
saya dan pembaca kedalam kasanah, meneriakan Hitler hat immer Recht. Di bagaimana
nilai
manusia
dalam sudut
pandang
ini,
Hitler
dalam
regulasi kepemimpinan. Dalam hal ini, tindakannya menenggelamkan manusia ketika orang lain berbuat atau bertindak bersama kodrat dan nilai-nilai ilahi dengan otoritas yang diberikan atau dalam diri manusia. Berbicara tentang nilai21, kita
diciptakan sendiri, apakah nilai manusia
masih tetap terjaga ataukah tergerus dihadapkan pada masalah kehendak, oleh sikap yang otoriter atau lalim. yang
mendorong
manusia
untuk
Keotoriteran dan kelaliman tidak hanya melakukan suatu aktivitas (tindakan). muncul dalam skala fisik melainkan Secara ontologis, nilai itu selalu bertitik juga dalam kebijakan atau keputusan. tolak dari manusia dan kesadarannya Sehingga
dengan
tindakan
fisik akan dirinya sendiri. Dengan kata lain,
maupun kebijakan nilai manusia tidak nilai merupakan apa yang mendorong lagi
masuk
dalam
keputusan.
pertimbangan manusia untuk menghendaki maupun
Misalnya,
masa melakukan sesuatu. Oleh sebab itu,
kepemimpinan kaisar Kaligula, yang nilai berkaitan dengan pilihan. Menurut dengan bengis menyiksa orang percaya William James: Suatu pilihan disebut (bandingkan juga dengan kaisar Nero); penting, jika apa yang dipilih adalah atau Hitler dalam rezim Nazi. Bagi yang nilainya tinggi, sedangkan kemungkinan sempat membaca biografi Hitler, pasti untuk memilih nanti sekali lagi tidak ada mengingat semboyan dari Hitler, Hitler atau mungkin tidak ada. Pilihan disebut hat immer Rehct. Di mana Hitler pada tidak penting jika sama saja bagi orang masa itu berkata bahwa seluruh rakyat yang memilih, apakah yang dipilih itu Jerman harus mengikuti saja apa yang yang satu atau yang lain oleh karena ia pikirkan dan putuskan. Aku, Hitler, tidak banyak. adalah
otaknya
sejarah,
22
Artinya nilai merupakan
matanya 21
sejarah, tangannya sejarah dan jiwanya sejarah.
Maka
kaum
Nazi
selalu
filosofika sedangkan integritas dan moral 20 masuk pada nilai etika. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannenbaum, Weschler & Massarik, 1961:24)
Noh Ibrahim Boiliu, Metode Fenomenologi Eksistensial Sebagai Suatu Pendekatan Dalam Menganalisis Struktur Eksistensi Manusia. Tesis, Surakarta: STT Berita Hidup, 2007, hlm. 31-33. 22
Lilliam, James, The Will to Believe, dikutip dari Theo Huijbers, Mencari Allah: Pengantar ke dalam Filsafat Ketuhanan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 74.
110
Jurnal The Way
Vol. 02. No. 02
Agustus 2013
kualitas yang menyebabkan suatu hal atau di-amin-kan sebagai sesuatu yang disukai, dikehendaki, dihargai, sehingga baik. Karenanya ”ia dicari, diinginkan, diperjuangkan”.25
layak dicari dan diperjuangkan oleh serta manusia.23
Di
berhubungan
sini,
nilai
dengan
sangat membangun pemahaman tentang nilai,
kebaikan
di Bertens berkata bahwa ”salah satu cara
dalam sesuatu sehingga menimbulkan yang daya tarik bagi hasrat dan keinginan. Dengan
kata
dengan
lain,
nilai
Untuk
24
sering
menjelaskan
digunakan
apa
itu
untuk
nilai
adalah
bertautan memperbandingkannya dengan fakta.26
penghendakan
yang Jika kita berbicara tentang fakta, kita
mendorong manusia untuk melakukan maksudkan sesuatu yang ada atau aktivitas. Ia menjadi motor penggerak, berlangsung yang
mendorong
menghendaki
manusia
ataupun
begitu
saja.
Jika
kita
untuk berbicara tentang nilai, kita maksudkan
melakukan sesuatu yang berlaku, sesuatu yang
sesuatu. Oleh sebab itu, nilai selalu memikat atau menghimbau kita. Fakta bertitik
tolak
dari
manusia
dan ditemui dalam konteks deskripsi: semua
kesadarannya akan dirinya sendiri.
unsurnya dapat dilukiskan satu demi
Nilai sangat penting di dalam satu dan uraian itu pada prinsipnya kehidupan
manusia.
Ia
menjadi dapat diterima oleh semua orang.
pegangan dan prinsip hidup seseorang
Dari studi etimologi, kita dapat
sehingga memengaruhi tindakannya. melacak arti kata untuk menemukan Dalam artian ini, nilai dapat dimengerti makna literal manusia. ”Namun bila kita sebagai norma atau patokan yang mencoba untuk menelaah lebih dalam selalu mengarahkan manusia kepada mengenai arti kata ”manusia” maka kita perbuatan-perbuatan yang luhur guna tidak sekedar membicarakan manusia memperoleh kebahagiaan
di dalam sebatas
sebuah
definisi
literal.
kehidupannya. Jelaslah bahwa nilai Melainkan dapat dipahami berkaitan merupakan sesuatu yang di-iya-kan dengan hakikatnya”.27 Jika demikian 23
Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, ), hlm. 713.
maka dan
”keanekaragaman definisi
manusia
pandangan dikarenakan
24
William K. Frankena, “Value and Voluation” dalam Paul Edwards (ed.), TheEncyclopedia of Philosophy, vol. 7 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc. & the Free Press, 1967), hlm. 229.
25
K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 139. 26 Ibid, hlm. 140. 27 Boiliu, ibid
111
Jurnal The Way
manusia
Vol. 02. No. 02
merupakan
makhluk
makhluk
yang
paradoksal
makhluk
yang
dan
dinamis”.28
Sehingga
“kehidupan sesudah kematian”. Atau hal-hal apa saja yang akan terjadi kelak.30
yang
multidimensional,
Agustus 2013
manusia
Dari pemikiran-pemikiran di atas
dirumuskan sebagai ”an ethical being, berkaitan dengan manusia maka kita en aesthetical being a metaphysical dapat menemukan keunikan manusia being, a religious being.”29
sebagai ciptaan Tuhan, tentu tidak
Selain itu, ada yang menyebut hanya konteks pengartian secara manusia sebagai animal rationale atau semantik melainkan keunikana tersebut makhluk yang berpikir dan makhluk ada dalam eksistensinya yang mana yang bertanya. Sebab itu, mulai dari dalam eksistensinya menunjukkan kehidupannya sendiri, hingga pribadi eksistensi penciptanya. Seorang filsuf yang Maha, tidak luput dari pertanyaan. berkata ”cara pandang seseorang Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu terhadap manusia harus dipandang sebagai jalan bagi memperlakukannya perolahan
pengetahuan
memenuhi
keingintahuannya.
manusia
adalah
makhluk
dan
cara
menunjukkan,
untuk seperti apa Tuhan yang diyakininya. Sebab Manusia juga merupakan rasional, makhluk yang berbeda secara tajam
homo est animal rationale.
dengan makhluk lain. Makhluk lain tidak
Manusia,
bereksistensi. Makhluk lain tidak sadar
Mempertanyakan tentang Tuhan, kehidupan, dan sesudah kehidupan. Dalam lingkup manusia sebagai problema (kata Buber), manusia kemudian merefleksi diri dan menemukan diri sebagai makhluk yang bergantung pada ratio sui (peletak dasar) dan causa sui (penyebab utama) atau Causa Prima (penyebab tunggal). Di dalam merefleksi diri, manusia sadar akan diri dan eksistensinya tentang suatu “situasi” yakni
tentang
dirinya,
tidak
mengambil
distansi terhadap “yang lain”. Tetapi manusia adalah makhluk sadar diri karena memiliki kemampuan (dalam bahasa Latin disebut posse; possum artinya
aku
kemampuan
bisa). itulah
Oleh
karena
manusia
dapat
membuat distansi sehingga merefleksi diri.
Perbedaan
manusia
sebagai
makhluk sadar diri dengan binatang
28
Ibid Adelbert, Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoksal dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 17. 29
30
Noh Ibrahim Boiliu, Pengantar Ilmu Teologi, Jakarta: STT Bethel The Way, 2010, hlm 38
112
Jurnal The Way
dapat
Vol. 02. No. 02
dilihat
pada
contoh
Agustus 2013
berikut
Namun, seni yang ditampilkan
“manusia sadar bahwa bila tidak belajar dalam the leader of arts pemimpin computer maka ia disebut orang yang adalah
agar
pemimpin
dapat
tidak tahu menggunakan computer. mempengaruhi moral para pengkikut Berbeda dengan binatang kera yang sehingga
ending
tidak sadar tentang hal belajar atau kepemimpinannya sadar dan merefleksi diri untuk belajar suatu
dari
dapat
masyarakat
terbangun
(pengikut)
yang
computer dan menjadi “binatang (kera) berintegritas dan bermoral. yang tidak gaptek”,
Pemimpin dan nilai estetika, dan
Manusia sebagai subjek dapat etika dalam kepemimpinan merupakan mengetahui (jika memang tahu) tentang beberapa
variabel
penting
disekitar
diri dan subjek yang lain sebagai “ada kepemimpinan. Namun apakah benar khusus” yang dapat berpikir (cogito) bahwa tentang
“ada
khusus
yang
lain” mempengaruhi
termasuk Tuhan. Segi
praksis
variabel-varial
axiologis31
dari
sentuhan pemimpin
pemimpin pemimpin
pemimpinan
dalam
Dalam kepemimpin, pemimpin hanya
dalam menghipnotis
pemimpin
kepemimpinannya, bagaimana
dapat
kepemimpinannya.
kepemimpin adalah pada tindakan atau bukan sikap
ini
yakni
pada “khrisma”,
menyentuh (leader
berkomunikasi
/ dapat
32
sebatas “pengikut”
melainkan
bertindak
seni dengan
pemimpinan
bijaksana
dalam
touch), mengelola kharisma kepemimpinannya (leader agar memberi sumbangsih positif dalam
communication), tingkahlaku pemimpin kepemimpinan baik pra maupun pasca (leader attitude).
kepemimpinan. Namun, bila demikian maka
bagaimanakah
seorang
31
Secara etimoglois istlah “aksiologi” berasal dari kata “axios= bernilai, berharga” dan “logos= ilmu, pikiran, percakapan”. Axiologi merupakan salah satu cabang filsafat yang menyelidiki tentang aksi atau tindakan-tindakan yang bernilai atau berharga. Nilai ini dapat kita bagi dalam dua jenis, yakni nilai jasmani dan rohani. Sedangkan Kattsoff memahaminya sebagai “ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai”. Nilai yang dimaksud adalah nilai etika dan estetika.
pemimpin dapat mengelola seni atau art dari kepemimpinan agar memberi nilai
tambah
pada
organisasi
dan
bawahan yang dipimpinnya? Apakah harus secara sadar dan terencana 32
Dapat membaca Buku dari, Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).
113
Jurnal The Way
Vol. 02. No. 02
seorang pemimpin mengelola kharisma tidak
Agustus 2013
tentunya
terletak
pada
cara
kepemimpinannya agar tidak hanya pandangnya terhadap manusia. menarik dan berkilau kepemimpinan
pada masa
melainkan
pasca KESIMPULAN
kepemimpinan?.
Dari
pemaparan
Nilai estetis-etis pemimpin dapat dipahami dilihat
juga
pada
cara
disekitar
kepemimpinannya. memperlakukan
bahwa
dapat
pemimpin
dalam
Cara
bila
perspektif
lingkup menyeluruh
dan
atas,
pandang kepemimpinannya
pemimpin terhadap ”siapa saja” yang dalam ada
di
yang
maka
pemimpin melahirkan
memimpin utuh
tentu
harmoni
dan akan dalam
memandang kepemimpinan dan dicintai oleh para
”siapa saja” dalam kepemimpinannya followers. Cara pandang dan cara dapat
menggambarkan
pandangan
bagaimana bertindak yang ideal diduga berkaitan
pemimpin
terhadap erat dengan teks Kejadian 1:26-27;
manusia, ”utuh” atau parsial. Dalam apakah
perkataan
pemimpin
Berfirmanlah
yang
Allah:
"Baiklah
Kita
lain, menjadikan manusia menurut gambar
memperlakukan dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa
manusia hanya sebatas ”resources” atas ikan-ikan di laut dan burungatau tidak, tentu akan nampak dalam burung di udara dan atas ternak dan cara pemimpin memperlakukan ”siapa atas seluruh bumi dan atas segala saja” disekitar lingkup kepemimpinanya. binatang Apakah akan bersikap dan bertindak bumi." eksploitatif atau tidak, sama tentunya manusia bergantung
pada
cara
melata Maka itu
yang
merayap
di
Allah
menciptakan
menurut
gambar-Nya,
pemimpinan menurut gambar Allah diciptakan-Nya
memperlakukan ”siapa saja” disekitar dia; laki-laki dan perempuan diciptakanlingkup kepemimpinannya. Di
lingkup
gereja,
Nya mereka. gembala
sebagai pemimpin dalam memimpin ACUAN PUSTAKA dan A. Hoekema Anthony, (2003). Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, sekaligus sebagai organisme, orangSurabaya: Momentum. orang yang ada di line kepemimpinan Bagus, Lorens, (2007). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. berkembang pemahamannya ataukah gereja
secara
organisatoris
114
Jurnal The Way
Vol. 02. No. 02
Berkhof, Louis, (2004). Teologi Sistematika 2. Surabaya: LRII. Bertens, K. (1993). Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Agustus 2013
Pengantar ke Ketuhanan, Kanisius.
dalam Filsafat Yogyakarta:
Luther, Martin, (1958). Luther’s Works, Boiliu Noh Ibrahim, (2007). Metode Vol. I, Ed. Saint Louis: Concordia Fenomenologi Eksistensial. Publishing House. Tesis. Surakarta: STT Berita Prent, K. dkk, (t.th). Kamus LatinHidup Indonesia, Yogyakarta: Kanisius Boiliu, Noh Ibrahim, (2010). Pengantar Ilmu Teologi. Jakarta: STT Ranoh, Ayub. (2006). Kepemimpinan Kharismatis. Jakarta: BPK Bethel The Way. Gunung Mulia. C. Ryrie, Charles, (1991). Teologi Dasar 1. Yogyakarta: Andi Offset Snijders, Adelbert, (2006). Antropologi Filsafat: Manusia Paradoksal dan Calvin, Yohanes, (1985).Institutio. Seruan. Yogyakarta: Kanisius Jakarta: BPK Gunung Mulia. Davis, Jhon, J. (2001). Eksposisi Kitab Kejadian. Malang: Gandum Mas, 2001 Driver, S.R. (1906). The Book of Genesis. Westminster Commentaries, disunting oleh Walter Lock, jilid 1. London: Methuen and Co. Erickson, Millard, J. The Concise Dictionary of The Chriatian Theology, Grand Rapids, Bakker Book. Frankena, William K. (1967). “Value and Voluation” dalam Paul Edwards (ed.), TheEncyclopedia of Philosophy, vol. 7. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. & the Free Press. Hadiwijono, Harun, (1995). Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. James, Lilliam, (1992). The Will to Believe, dikutip dari Theo Huijbers, Mencari Allah: 115