SERAT NITISRUTI DALAM PERSPEKTIF ETIKA DAN RELEVANSINYA DENGAN NILAI-NILAI PANCASILA Tesis Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Master Filsafat Program Studi Ilmu Filsafat
Disusun oleh:
Afendy Widayat NIM : 08/ 275548/ PFI/0238
PROGRAM MASTER ILMU FILSAFAT FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri yang sudah mengikuti ketentuan-ketentuan dalam penulisan karya ilmiah. Apabila di kemudian hari terdapat halhal yang dapat dikategorikan sebagai tindak plagiatisme, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Yogyakarta, Desember 2010 Peneliti,
Afendy Widayat
PRAKATA
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Tesis yang berjudul Nilai-nilai Pancasila dalam Serat Nitisrtuti ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Penulisan Tesis ini tidak terlepas dari adanya berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan kerjasamanya kepada peneliti. Pada kesempatan ini peneliti dengan ketulusan hati dan rasa hormat yang mendalam menyampaikan ucapan terima kasih, khususnya kepada yang terhormat: 1. Rektor Universitas Gadjah Mada. 2. Dr. Mukhtasar Syamsuddin selaku Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. 3. Prof. Dr. Joko Siswanto, Dr Abbas Hamami Mintaredja selaku Pengelola Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, beserta seluruh Staff. 4. Prof. Dr. Joko Siswanto, Dr. Sri Soeprapto, M.S. selaku penguji dalam ujian Komprehensif dan ujian Tesis, yang telah memberikan bimbingan dan saransaran 5. Prof. Dr. Lasiyo, MA, MM, selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing hingga selesainya penelitian ini 6. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, atas segala bantuannya. Semoga segala sesuatu yang telah diberikan oleh semua pihak dalam penyelesaian Tesis ini mendapat berkah balasan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa, dan tesis ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Segala kekhilafan dan kesalahan peneliti selama penelitian, pembimbingan, hingga terselesaikannya tesis ini, peneliti mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terimakasih.
Yogyakarta,
Desember 2010
Afendy Widayat
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………. LEMBAR PENGESAHAN .............................................................. PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... PRAKATA ...................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................... INTISARI ....................................................................................... ABSTRACT ..................................................................................... HALAMAN MOTTO ...................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................
i ii iii iv vi ix x xi xii
BAB I PENDAHULUAN
............................................................
1
A. Latar Belakang Permasalahan ....................................................
1
1. Permasalahan ..............................................................................
7
2. Rumusan Masalah .........................................................................
7
3. Keaslian Penelitian ......................................................................
7
4. Manfaat Penelitian ......................................................................
8
B. Tujuan Penelitian ........................................................................
9
C. Tinjauan Pustaka .........................................................................
9
D. Landasan Teori .............................................................................
14
E. Metode Penelitian ........................................................................
15
1. Materi atau Bahan Penelitian .......................................................
15
2. Jalan Penelitian ............................................................................
15
3. Analisa Data ..................................................................................
16
F. Sistematika Penulisan ...................................................................
17
BAB II ETIKA DAN AJARAN MORAL JAWA ..........................
19
A. Etika dan Ajaran Moral.................................................................
19
B. Etika Jawa dan Ajaran Moral Jawa ............................................
24
C. Ajaran Moral dalam Karya Sastra Jawa ....................................... .
38
D. Jenis-jenis Ajaran Moral .............................................................
43
BAB III PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI .....................
45
A. Sistem Nilai Pancasila Digali dari Budaya Bangsa Indonesia .......
45
B. Bangsa Indonesia Ber”Pancasila” dalam Tri-prakara, yang Saling Memperkuat dan Memperkembangkan. .....................................
46
C. Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem .................................
48
D. Isi Arti Sila-sila Pancasila
.........................................................
53
E. Kandungan Nilai-nilai dalam Sila-sila Pancasasila .....................
57
BAB IV AJARAN MORAL DAN JENIS-JENIS AJARAN MORAL DALAM SERAT NITISRUTI ..........................................
63
A. Serat Nitisruti sebagai Bentuk Karya Sastra Jawa ......................
63
B. Ajaran-ajaran Moral dalam Serat Nitisruti .................................
68
C. Jenis-jenis Ajaran Moral yang Dimuat dalam Serat Nitisruti .....
73
1. Ajaran Moral yang Menyangkut Hubungan Manusia dengan Tuhannya .................................................................................... ..
73
2. Ajaran Moral yang Menyangkut Hubungan Manusia dengan Sesamanya .....................................................................................
77
3. Ajaran Moral yang Menyangkut Hubungan Manusia dengan Lingkungan Alamnya ...................................................................
98
D. Konsep-konsep Ajaran Moral dalam Serat Nitisruti ....................
100
a) Pandangan Hidup .........................................................................
100
b) Pengertian Kebaikan ....................................................................
102
c) Prinsip Sosialitas ................................................................
104
BAB V AJARAN MORAL DALAM SERAT NITISRUTI DAN RELEVANSINYA DENGAN NILAI-NILAI PANCASILA...
110
A. Ajaran moral dalam Serat Nitisruti yang relevan dengan Sila-sila Pancasila ..........................................................................
112
B. Konsep-konsep Ajaran Moral dalam Serat Nitisruti dan Relevansinya dengan Nilai-nilai Pancasila ...........................
122
BAB VI PENUTUP ........................................................................
131
A. Kesimpulan ..................................................................................
131
B. Saran ...........................................................................................
132
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
134
INTISARI
Serat Nitisruti adalah hasil karya sastra pada jaman mataram awal yang berisi ajaran moral kejawen. Serat Nitisruti banyak mengandung ajaran yang bersumber dari ajaran filsafat Islam namun juga ada unsur filsafat Jawa dan Hindunya. Serat Nitisruti pernah populer pada awal abad ke-19, sehingga tidak berlebihan bila ajaran-ajaran moralnya berpengaruh dalam kehidupan sebagian masyarakat Jawa. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasikan, mengklasifikasikan jenis-jenis ajaran moralnya dan menganalisis ajaran moral dalam Sêrat Nitisrutii yang relevan dengan nilai-nilai Pancasila. Penelitian ini menggunakan metode hermeneutik dan deskriptif. Metode hermeneutik diterapkan dengan menginterpretasikan makna ajaran moral dalam Serat Nitisruti, dengan meleburkan pada cakrawala masa silam dan masa kini. Adapun metode deskriptif dilakukan demi memperoleh kejelasan secara deskriptif pada berbagai data hingga langkah analisisnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ajaran moral dalam Serat Nitisruti berupa ajaran moral bagi manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia, dan manusia dalam hubungannya dengan alam sekitarnya dan makhluk lain. Ajaran moral dalam Serat Nitisruti secara umum relevan dengan nilainilai Pancasila, antara lain agar manusia taat beragama relevan sila I Pancasila, Manusia menyayangi sesamanya relevan sila II Pancasila, mengabdi pada negara hendaknya setia, sanggup akan segala pekerjaan, bila berperang pun tidak ada rasa takut relevan dengan sila III Pancasila, pemimpin yang baik harus mencintai rakyatnya relevan sila IV, pemimpin hendaknya bersikap adil relevan dengan sila V Pancasila. Konsep-konsep moral dalam Serat Nitisruti tampak relevan dengan nilainilai Pancasila, yakni menyangkut pandangan hidup yang relevan dengan sila I Pancasila, pengertian kebaikan yang relevan dengan sila Pancasila, dan prinsip sosialitas yang relevan dengan sila II dan sila III Pancasila.
Kata kunci: Serat Nitisruti, Etika, Nilai-nilai Pancasila
ABSTRACT
Serat Nitisruti is a literary work in the early Mataram era containing Javanese moral teachings. Serat Nitirusti contains many teachings of Islamic philosophy mixed with Javanese and Hinduism philosophy. It was so popular in 19th century that their moral teachings affect the daily life of the Javanese. This research aimed to identify, classify, and analyze moral teachings in Serat Nitisruti which are in line with values of Pancasila. This research used hermeneutics and descriptive methods. Hermeneutics method was applied by interpreting meaning of morality teachings of Serat Nitirusti in the sense of past and present. In addition, descriptive method was employed to gain descriptive clarity from various areas to steps of analysis. The results of the research show that the moral teachings in Serat Nitisruti are (a) moral teachings for human and their relation to God in form of following preachers who understands that human position should be in its cores, which are noble and perfect, and good in belief. (b) Regarding human to human relation, to love each other, there are three degrees of human behavior, nista, madya, and utama; people are not allowed too show their bravery. (c) In human to environment relation, people should start loving all what they hear and see. Generally, the moral teachings in Serat Nitirusti are in line with the values of Pancasila. Some of them are good in religion which is in line with first principle, loving each other which also deals with second principle, being loyal to country and brave in a war which is in line with the third principle, loving the citizens which is in line with the fourth principle, and being fair which is in line with the fifth principle of Pancasila. The morality concepts of Serat Nitisruti seems relevant with the values of Pancasila, that is way of life appropriate with the first principle of Pancasila, understanding of goodness that relevant with second principle of Pancasila, and principles of sociality relevant with second principle and third principle of Pancasila.
Key World: Serat Nitisruti, Ethics, Values of Pancasila
MOTTO
“PENGETAHUAN ADALAH KUNCI KEBAHAGIAAN,
MAJU TERUS PANTANG MUNDUR”
Kupersembahkan untuk:
Yang kujunjung, Ibuku Doamu dan bimbinganmu bagian dari keberhasilanku
Yang kujunjung, para guruku, satu-persatu kuingat jasa kebaikanmu dan kesabaranmu
Yang kusayangi, keluargaku: Sulistyawati, isteriku tercinta Anggita Getza Permata, anakku tersayang yang baik dan banyak nrima Bagas Abhiseka Bima Rigetza (almarhum anakku), masih kurasakan kebersamaanmu Bintang Natalanta Rigetza, anakku tersayang yang baik dan lucu
Yang kuhormati dan kukagumi, teman-temanku Satu-persatu kuingat segala kebaikanmu
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Kesusasteraan Jawa, adalah karya-karya sastra yang berbahasa Jawa, baik berbahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan (Pertengahan), maupun bahasa Jawa Baru (Poerbatjaraka, 1957: v). Sebagian besar karya-karya sastra Jawa, baik yang berbahasa Jawa Kuna, bahasa Jawa Tengahan atau bahasa Jawa Baru, merupakan sastra piwulang berisi ajaran moral, yang telah tertuliskan dan sudah dikenal secara luas dalam rentang waktu yang cukup lama. Kitab-kitab yang secara khusus berisi piwulang atau ajaran moral, dalam sastra Jawa secara umum dikelompokkan pada jenis karya sastra piwulang atau sastra niti atau serat-serat niti. Kitab-kitab piwulang itu sebagian sangat populer pada masa itu dan sebagian menjadi acuan untuk disalin atau ditulis kembali. Bagian-bagian tertentu atau bait-nait tembang tertentu dari kitab-kitab piwulang tersebut, sering kali menjadi bagian yang dihapalkan dan sering dilantunkan pada waktu-waktu tertentu, misalnya dalam rangka menina-bobokkan anaknya, dalam rangka merumput atau menggembala ternak, dan dalam rangka bersantai. Tidak berlebihan bila ajaran-ajaran moral di dalamnya juga menjadi pegangan hidup bagi masyarakat Jawa yang telah memilikinya. Kebudayaan pada Jaman Majapahit misalnya, juga menghasilkan karyakarya sastra yang berisi piwulang atau sastra tuntunan yang berisi ajaran moral. Kitab-kitab piwulang yang digubah pada jaman Majapahit antara lain Nitisastra dan Darmasunya. Menurut Robson, dalam artikelnya berjudul Java at the Cross Road,
pada jaman Majapahit, disinyalir agama Islam telah menunjukkan jejaknya di Jawa (Kartodirdjo, dkk., 1988: 21). Kitab-kitab ajaran moral yang berasal dari jaman Hindu pada saat itu, dengan demikian, sangat mungkin telah mendapat pengaruh dari ajaran dan budaya Islam, oleh karenanya tidak berlebihan bila Poerbatjaraka (1952: 165), memasukkan serat-serat niti sebagai sastra Jawa jaman Islam. Kebudayaan pada jaman Mataram Islam juga menghasilkan karya-karya piwulang seperti Serat Nitisruti, Serat Nitipraja dan Serat Sewaka. Ketiganya berisi petunjuk sikap dan moral bagaimana cara mengabdi dan bagaimana cara memerintah kerajaan (Kartodirdjo, dkk., 1988: 22-23). Pada kenyataannya Serat Nitisruti tidak hanya berisi petunjuk sikap dan moral bagaimana cara mengabdi dan bagaimana cara memerintah kerajaan saja, namun juga tentang bagainmana manusia harus dapat menyayangi sesamanya dan bahkan menyayangi semua benda yang dilihatnya. Poerbatjaraka (1957: 97-98), menyatakan bahwa Serat Nitisruti yang sangat populer pada awal abad ke-19 itu berisi tentang ajaran kebaikan (piwulang kesaenan), namun demikian pernyataan itu tidak pernah diuraikan lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan kebaikan, dari sisi mana kebaikan itu dapat dibenarkan, jenis kebaikan seperti apa yang dimaksudkan, atau sesuaikah dengan nilai-nilai Pancasila. Indonesia mengalami krisis sosial dalam menghadapi perubahan sosial masyarakat pada umumnya, khususnya,di ibu kota, yakni antara lain kehilangan atau paling sedikit ketidakpastian tentang identitasnya, kegoncangan nilai-nilai lama (tradisional), keretakan dan keutuhan pola hidupnya, daya tarik kuat unsur ataupun nilai baru yang datang dari luar, kesemuanya itu membawa rasa kebingungan dan ketidakpastian. Pada satu pihak dirasakan bahwa banyak nilai-nilai lama tidak sesuai lagi
dengan situasi baru dan pada pihak lain nilai-nilai baru belum mantap untuk dapat dipakai sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Proses perubahan sosial memerlukan penyesuaian dan menuntut suatu seleksi di dalamnya, suatu proses yang mempunyai implikasi sangat kompleks. Proses itu, dalam pelbagai kekuatan mempunyai peranannya, antara lain kekuatan ekonomis, sosial, politik, relegius dan lain sebagainya. Berbagai unsur sosial dengan berbagai kepentingan, orientasi, ideologinya turut menentukan alternatif-alternatif yang tersedia. Sudah barang ideologi nasional harus ditegaskan karena sangat menentukan seleksi perubahan sosial itu, lebih-lebih yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan praktis sehari-hari. Perubahan sosial telah berjalan cukup lama, akan tetapi sejajar dengan jenjang modernisasi dalam alam kemerdekaan, Indonesia mengalami peningkatan luar biasa, maka terasa sekali urgensi proses penyesuaiannya. Sejajar dengan proses peningkatan jenjang perubahan itu muncul kebutuhan mendesak melacak hakekat warisan kultural, dengan harapan diketemukan kembali di antara khazanah kultural itu, nilai-nilai yang dapat memperluas kerangka pemikiran, tidak hanya
dalam
melakukan seleksi tersebut di atas, tetapi juga membantu dalam pembentukan kebudayaan nasional umumnya dan kepribadian bangsa khususnya. Berbagai ajaran yang disampaikan kepada masyarakat, setelah Indonesia merdeka, tentu saja tolok ukur kebaikannya mesti harus sesuai dengan idealisme jamannya. Setelah Indonesia merdeka, landasan idiologi bangsa Indonesia adalah Pancasila. Kelima sila dalam Pancasila merupakan dasar dari segala kebijakan dan praktek kehidupan bangsa Indonesia. Tidak berlebihan bila Pancasila menjadi objek kajian dari berbagai sudut pandang, antara lain Pancasila dipandang sebagai alat
pemersatu dan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Suatu pandangan dari segi filosofis tersebut misalnya, filsafat Pancasila pernah diketengahkan oleh Notonagoro. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai yang digali dari nilai-nilai yang telah dimiliki oleh bangsa-bangsa di Nusantara, termasuk suku bangsa Jawa, yang pada akhirnya menjadi bangsa Indonesia. Pancasila tidak lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah melalui proses yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dengan melihat .pengalaman bangsa-bangsa lain, dengan diilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia, dan dengan tetap berakar pada kepribadian bangsa
Indonesia sendiri dari gagasan-gagasan besar bangsa Indonesia sendiri (Bakry, 1997: 158). Ketika Indonesia terbentuk, suku bangsa Jawa merupakan suku bangsa yang jumlah anggota masyarakatnya merupakan jumlah terbesar dari seluruh rakyat Indonesia. Ditinjau dari sisi letak geografis dan politis, suku Jawa menduduki sebagian besar pulau Jawa (Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur), yang secara kebetulan merupakan pulau yang menjadi tempat pusat pemerintahan Indonesia. Tidak berlebihan bila kebudayaan Jawa, termasuk tata nilai budaya Jawa sangat berpengaruh pada terwujudnya idealisme negara Indonesia. Dengan kata lain tidak berlebihan bila nilai-nilai Pancasila juga digali dari nilai-nilai budaya Jawa yang telah hidup dan berakar kuat pada kehidupan masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat lain yang terpengaruh oleh budaya Jawa. Sejalan dengan uraian di atas, Sabdawara (2001: 11) mencatat bahwa dalam ajaran moral Jawa terdapat nilai-nilai yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dicontohkan antara lain dalam ungkapan tradisional Jawa sebagai berikut.
a) Yang bermakna Ketuhanan Yang Maha Esa: (1) durung diparengake, (2) pasrah lan sumarah, (3) nggoleki galihing kangkung, dan sebagainya. b) Yang bermakna Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab: (1) tepa slira, (2) sapa gawe nganggo, sapa nandur ngundhuh, dan sebagainya. c) Yang bermakna Persatuan Indonesia : (1) sedumuk bathuk senyari bumi, (2) rawe-rawe rantas malang-malang putung, dan sebagainya d) Yang bermakna kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan: (1) manunggaling kawula-Gusti, (2) rembug desa, (3) gotong royong, dan sebagainya. e) Yang bermakna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: (1) mangan ora mengan nek kumpul., (2) ana sethithik didum sethithik, ana akeh didum akeh, (3) mesakake wong ora duwe, dan sebagainya. Sutadi, dalam hubungannya dengan Pancasila, pada bukunya Mbangun Praja kangge Nanggapi Ewah-ewahan Jaman (2006: 13-26 ), juga menyatakan bahwa hasil-hasil karya sastra Jawa banyak berisi berbagai ajaran yang sangat mendukung keberadaan sila-sila dalam Pancasila, antara lain dalam Serat Wulang Reh, dalam Serat Tripama, dan dalam Serat Partawigena. Sutadi tidak menyitir dari ajaran yang ada dalam Serat Nitisruti dalam hubungannya dengan sila-sila Pancasila, namun demikian bila Serat Nitisruti berisi piwulang kesaenan (ajaran kebaikan), seperti pernyataan Poebatjaraka di atas, kiranya perlu penelitian lebih lanjut, kesesuaian kebaikan itu dengan nilai-nilai Pancasila. Serat Nitisruti, yang oleh Sartono Kartodirdjo, dkk. dikelompokkan pada hasil karya sastra pada jaman Mataram Islam, sebagaimana judulnya, secara khusus
berisi ajaran nilai-nilai moral Jawa. Hubungannya dengan Pancasila, menarik untuk mengkaji ajaran moral dalam Serat Nitisruti yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut Kartodirdjo, dkk (1988: 2), perhatian terhadap nilai-nilai kejawen juga dilakukan oleh para sarjana asing, namun demikian, meskipun mereka termasuk ulet dalam penelitiannya, sering kali tidak selalu melakukan interpretasi dengan tepat, karena terpengaruh oleh kerangka pikir mereka sendiri, lebih-lebih juga belum menyelami jiwa kejawen secara baik. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian dari pihak pengemban kultur Jawa sendiri dengan harapan dapat menghindari kesalahan tafsir. Hal yang amat membahayakan ialah bila konsep-konsep tentang nilai-nilai itu diinterpretasikan terlepas dari konteksnya, dalam hal ini latar belakang sejarah masyarakatnya, kedudukan sumber sastranya dalam masyarakat itu serta gaya hidup pada umumnya. Bertolak dari uraian itu maka perlu dilakukan penelitian lebih dalam oleh peneliti yang berlatar belakang Jawa pada karya-karya sastra Jawa, termasuk pada Serat Nitisruti. Hasil penelitian itu, pada gilirannya dapat menjadi acuan nilai-nilai bagi pembangunan bangsa. Pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa dan negara Indonesia pada saat ini, yang hakikatnya ialah merupakan proses pembaharuan di segala bidang, cepat atau lambat menimbulkan pergeseran nilai. Sehububungan dengan hal ini, maka sangat dimungkinkan banyak nilai lama warisan nenek moyang menjadi terlupakan, sementara nilai-nilai yang baru belum mantap dan masih dicaricari. Akibat yang tidak diharapkan dapat terjadi, ialah timbulnya ketegangan maupun pertentangan sosial, oleh karenanya penelitian ajaran moral dalam karya sastra lama, dan relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila seperti pada Serat Nitisruti perlu dilakukan. Hasil penelitian yang berupa ajaran moral dalam Serat Nitisruti yang
relevan dengan nilai-nilai Pancasila perlu disosialisasikan dalam rangka memperkuat kedudukan Pancasila sebagai landasan idiil bangsa Indonesia dan pelaksanaan Pancasila pada saat ini dan di masa mendatang.
1. Permasalahan Mengingat keterbatasan waktu dan sebagainya serta efektifitas penelitian, maka pada kesempatan ini penelitian dibatasi pada permasalahan sebagai berikut. a. Macam-macam ajaran moral dalam Serat Nitisruti b. Jenis ajaran moral dalam Serat Nitisruti c. Relevansi ajaran moral dalam Sêrat Nitisruti bagi pelaksanaan Pancasila
2. Rumusan Masalah Rumusan permasalahan yang hendak diteliti adalah sebagai berikut. a. Apa sajakah ajaran moral dalam Serat Nitisruti ? b. Apa sajakah jenis moral yang ada dalam Serat Nitisruti ? c. Apa relevansi ajaran moral dalam Sêrat Nitisruti bagi pelaksanaan Pancasila ?
3. Keaslian Penelitian Penelitian tentang moralitas khususnya penelitian pada naskah-naskah sastra Jawa secara khusus, sampai saat ini banyak dilakukan, namun pada umumnya telah dikemas dalam rangka penelitian tentang etika Jawa atau kebudayaan Jawa secara luas.
Poerbatjaraka,
dalam
bukunya
Kapustakan
Djawi
membicarakan Serat Nitisruti secara umum, namun tidak
(1957),
pernah
mengupas secara
mendalam isi karya sastra tersebut, adapun Kartodirdjo, dkk., dalam bukunya Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa (1988), mengupas bagian khusus dari Serat Nitisruti, yakni pada ajaran tentang Asthabrata dibandingkan dengan Asthabrata di dalam karya sastra lainnya. Dari sudut pandang etika penelitian tentang moralitas dalam Serat Nitisruti dan relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila, sebagai penelitian yang mandiri, menurut pantauan penulis, belum pernah dilakukan.
4. Manfaat Penelitian a. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini, diharapkan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, yakni untuk menunjang pengembangan ilmu pengetahuan yang menyangkut kebudayaan Jawa, khususnya ilmu pengetahuan tentang ajaran moral dalam Serat Nitisruti.
b. Manfaat bagi Filsafat Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi filsafat, khususnya dalam hal aksiologi, yakni tentang nilai-nilai moral. Penelitian ini, bagi ilmu filsafat, diharapkan dapat ikut menyumbangkan pemikiran dan penemuan tesis dalam hubungannya dengan etika, khususnya etika Jawa dalam Serat Nitisruti.
c. Manfaat bagi Bangsa Indonesia Penelitian ini
juga diharapkan bermanfaat bagi bangsa Indonesia, yakni
untuk menggali berbagai kekayaan budaya bangsa dan pandangan filosofisnya melalui karya sastra Jawa, sehingga dapat memperkenalkan, mempopulerkan, dan
ikut berupaya melestarikan nilai-nilai tradisional dan relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan ajaran moral dan jenis-jenis ajaran moral dalam Serat Nitisruti . 2. Mengevaluasi secara kritis ajaran moral dalam Serat Nitisruti dan relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila. 3. Menyusun secara reflektif ajaran moral dalam Sêrat Nitisrutii yang relevan dengan nilai-nilai Pancasila.
C. Tinjauan Pustaka Sêrat Nitisruti dalam penelitian ini ditulis dalam bentuk tembang, terdiri atas 8 pupuh berjumlah 249 pada atau bait, yang tersusun sebagai berikut. Pupuh I bermetrum Dhandhanggula terdiri atas 31 pada Pupuh II bermetrum Sinom terdiri atas 34 pada Pupuh III bermetrum Asmaradana terdiri atas 35 pada Pupuh IV bermetrum Mijil terdiri atas 27 pada Pupuh V bermetrum Durma terdiri atas 23 pada Pupuh VI bermetrum Pucung terdiri atas 38 pada Pupuh VII bermetrum Kinanthi terdiri atas 22 pada
Pupuh VIII bermetrum Megatruh terdiri atas 39 pada. Serat Nitisruti merupakan salah satu hasil karya sastra Jawa berbentuk niti atau piwulang. Kata niti berasal dari bahasa Sansekerta yakni akar kata ni yang berati ‘menuntun’. Niti berarti ‘tuntunan’. Jenis sastra niti berisi tentang ajaran atau piwulang atau pitutur ke arah kebaikan, antara lain tentang etika atau moral, tatacara atau upacara tradisi tertentu, sikap dan sifat-sifat seseorang dalam menghadap orang tua, atau mengabdi pada raja atau penguasa, dsb. Kata niti berasal dari bahasa Sansekerta yang dapat berarti ‘peraturan’ atau ‘ajaran’ (Poerwadarminta, 1939: 346), adapun kata sruti bersinonim dengan kata surti berasal dari bahasa Jawa Kuna, yang berarti berhati-hati (Poerwadarminta, 1939: 576). Berdasarkan hal tersebut, maka Niti Sruti dapat berarti ajaran untuk berhati-hati, yakni ajaran untuk berhati-hati dengan melaksanakan moral kebaikan (piwulang kesaenan). Di atas telah disebutkan bahwa menurut Kartodirjo, dkk., (1988: 23) Serat Nitisruti berisi petunjuk bagaimana cara mengabdi dan bagaimana cara memerintah kerajaan. Jenis sastra pitutur ini sebenarnya telah ada sejak periode sastra Jawa Kuna. Sastra niti dalam sastra Jawa modern, sebagian kecil muncul pada sekitar jaman Mataram awal, sebagai bangunan kembali sastra niti berbahasa Jawa Kuna, baik yang menyadur dengan setia atau yang menyadur dengan sikap kritis. Sebagian lainnya digubah setelahnya, bersamaan dengan masa renaisance sastra Jawa, yakni suatu masa ketika banyak karya sastra Jawa Kuna disadur atau diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Baru. Masa renaisance terjadi beberapa waktu setelah kerajaan Mataram terpecah menjadi dua (tahun 1700-an AJ), yakni Kasunanan di Surakarta
dan Kasultanan di Yogyakarta, yang ditandai dengan Perjanjian Giyanti. Sebagian sastra niti yang lain lagi muncul sebagai karya baru setelah jaman tersebut. Banyak sastra niti ditulis dalam bentuk puisi tembang. Pada umumnya judul niti mempergunakan kata niti, wulang, sasana, atau sana. Judul-judul sastra niti antara lain: Serat Nitisruti, Serat Niti Praja (1641 AJ), Serat Sewaka (1699 AJ), Serat Wulang Reh (bersengkalan tata guna swareng nata atau 1735 AJ), Serat Nitisastra atau Panitisastra (bersengkalan nem catur gora ratu atau 1746 AJ), Serat Sanasunu (bersengkalan sapta catur swareng janmi atau tahun 1747 AJ), Serat Warayagnya (1784 AJ), Serat Wirawiyata (1789 AJ), Serat Sriyatna (1790 AJ), Serat Nayakawara (1791 AJ), Serat Candrarini (1792 AJ), Serat Paliatma (1799 AJ), Serat Salokatama (1799 AJ), Serat Pancaniti , dsb. (Behrend dan Pujiastuti, 1997). Poerbatjaraka (1957: 97-98), menyatakan bahwa Serat Nitisruti yang sangat populer pada awal abad ke-19 itu berisi tentang ajaran kebaikan (piwulang kesaenan), namun demikian pada kenyataannya, hingga kini tidak banyak mendapatkan perhatian dari para peneliti, baik peneliti asing maupun peneliti dari bangsa Indonesia sendiri. Serat Nitisruti ditinjau dari judulnya, merupakan karya sastra Jawa yang mendapat pengaruh dari bahasa Jawa Kuna. Hal ini dapat dibandingkan dengan judul Serat Panitisastra (Jawa Kuna) yang dalam bahasa Jawa Baru dikenal dengan Serat Nitisastra. Namun demikian menurut Poerbatjaraka (1957: 97-98), Serat Nitisruti termasuk dalam karya sastra Jawa yang muncul setelah Jaman Islam, yakni pada jaman Sinuhun Sedakrapyak di Mataram. Poerbatjaraka mendasarkan pernyataan ini pada ungkapan Sarasa sinilem ing jaladri bahni mahastra candra dalam Serat
Nitisruti, yang memuat sengkalan, yakni jaladri bahni mahastra candra atau tahun 1534 Çaka atau tahun 1612 Masehi. Sartono Kartodirjo, dkk (1988: 52) juga menuliskan bahwa Serat Nitisrruti diperkirakan ditulis pada jaman Panembahan Seda Krapyak berdasarkan candra sengkala di dalamnya yang dapat dibaca tahun 1612 Masehi. Pernyataan tersebut, meskipun demikian, tidak disertai ungkapan candra sengkala yang dimaksudkan. Poerbatjaraka juga menyebutkan bahwa berita yang tersebar di masyarakat ketika itu, Serat Nitisruti merupakan karya Pangeran Karanggayam pada jaman Pajang. Poerbatjaraka berpendapat bahwa pernyataan itu berasal dari Pasar Kliwon Surakarta, yang menyatakan bahwa Pangeran Karanggayam adalah pujangga di Pajang. Setelah itu atas perintah raja Pajang, Serat Nitisruti disalin oleh Arya Dadaptulis, seorang penulis istana Pajang. Waktu memulai penyalinannya dituliskan dengan sengkalan bahni mahastra candra, jadi tahun 1513. Menanggapi pernyataan itu Poerbatjaraka menyatakan bahwa pernyataan itu tidak benar, karena pemenggalan sengkalan-nya salah, yakni bahni maha astra candra, sehingga ditafsirkan tahun 1513. Sebenarnya, tahun 1513 Çaka atau Masehi 1591, pun juga tidak bertepatan dengan jaman Pajang, tetapi sudah jaman Mataram. Oleh karena itu pernyataan bahwa Serat Nitisruti itu karya Pangeran Karanggayam di Pajang, bisa dibenarkan bila Pajang di situ berarti nama tempat yang ada ketika jaman Mataram. Berbeda dengan pernyataan Poerbatjaraka di atas, Serat Nitisruti yang dipergunakan sebagai objek penelitian di sini memang tidak menggunakan kata jaladri pada bagian sengkalan-nya, sehingga memang tidak dapat dimaknai dengan bertahun 1534 Çaka atau tahun 1612 Masehi. Saat penulisan Serat Nitisruti yang
diteliti ini ditandai dengan sengkalan yang dapat ditemukan pada pupuh I Dhandhanggula pada pada (bait) ke-4 sebagai berikut. Jatinira tyas kadya angganing, sinilem ing samodra dahana, nging paksa tumimbul bae, satemah sinung pemut, nujweng ari Budhaka Manis, Sura candra purnama, ing warsaka: Wawu, punang sangkala kaetang, bahni maha astra candra duk manganggit, Nitisruti pustaka. (Sebenarnya hati bagaikan dimasukkan dalam lautan api, namun terpaksa muncul terus, sehingga diberi peringatan, pada hari Rabu Legi, pada waktu purnama di bulan Sura (Muharrom), pada tahun Jawa Wawu, adapun sengkalan-nya dihitung bahni (api, bernilai 3) maha (maha, bernilai 1) astra (panah, bernilai 5) candra (bulan, bernilai 1) ketika mengarang, kitab Nitisruti) Berdasarkan kutipan di atas, Serat Nitisruti yang bersangkutan, ditulis pada hari Rabu Legi, bulan purnama pada bulan Sura, pada tahun Jawa Wawu, dengan bunyi sengkalan-nya bahni maha astra candra atau tahun 1513 Çaka atau tahun Masehi 1591. Menurut Poerbatjaraka ( 1957: 98-100) tahun 1513 Çaka itu sudah berada pada jaman raja Panembahan Senapati di Mataram, yang mulai bertahta pada tahun 1508 Çaka atau 1586 Masehi. Berdasarkan pernyataan ini, kiranya pernyataan bahwa Serat Nitisruti merupakan karya Pangeran Karanggayam pada jaman Pajang memang tidak bisa dibenarkan. Demikian pula pernyataan bahwa Serat Nitisruti disalin oleh Arya Dadaptulis, seorang penulis istana Pajang, juga tidak dapat dibenarkan. Poerbatjaraka (1957: 99) juga menyatakan bahwa Serat Nitisruti yang sangat populer pada awal abad ke-19 itu berisi tentang ajaran kebaikan (piwulang
kesaenan). Poerbatjaraka menyebutkan bahwa penulis Serat Nitisruti terpengaruh oleh Serat Ramayana, khususnya dengan ditulisnya bagian ajaran yang disebut Asthabrata. Serat Nitisruti juga terpengaruh oleh Serat Kojajajahan khususnya terbukti dalam bagian yang menyebutkan Sang Kojajajahan dan raja di Mesir. Penelitian ini tidak akan merunut hubungan atara Serat Nitisruti dengan Serat Ramayana dan Serat Kojajajahan, dengan alasan bahwa penlitian ini bukan penelitian filologi tradisional yang merunut banyak versi pada berbagai karya sastra termasuk Serat Nitisruti, Serat Ramayana dan Serat Kojajajahan.
D. Landasan Teori Serat Nitisruti berisi etika Jawa atau ajaran kebaikan atau ajaran moral yang sedikit atau banyak menjadi nilai ideal atau sedikit banyak telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa. Menurut Magnis-Suseno (1984: 38) terdapat dua kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa, yakni prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Dijelaskan bahwa dalam prinsip kerukunan, pada setiap situasi, manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Rukun bertujuan mempertahankan keadaan harmonis dalam masyarakat. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan, dan bersatu dalam maksud untuk saling membantu. Prinsip rukun menuntut untuk selalu bersikap hati-hati, tidak kasar, tidak egois, terkontrol, dsb. dalam menghadapi orang lain Adapun dalam prinsip hormat, menuntut sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajad dan kedudukannya, terutama dalam cara berbicara dan membawakan diri. Sikap hormat mulai diajarkan kepada anak Jawa sejak bayi. Sikap
hormat, antara lain tercermin dalam sistem bahasa Jawa, yakni pada sistem tingkat tutur (undha usuk), terutama pada basa krama inggil (bahasa Jawa halus). Dalam sistem tingkat tutur, tercermin derajad dan kedudukan antarpembicara, yakni usia, kekerabatan, pangkat sosial, dan tingkat keakraban. Oleh karena itu pembicara harus memilih kata-kata yang harus diucapkan sesuai dengan sikap hormat yang mesti dijalaninya. Terutama kepada orang asing yang belum dikenalinya, orang Jawa akan berusaha menggunakan bahasa Jawa Krama (halus dan menghormati). Secara lebih luas, etika Jawa lebih menekankan pada prinsip harmoni atau keselarasan, yakni selaras dengan Yang Supernatural, selaras dengan sesama manusia dan selaras dengan alam sekitarnya. Magnis-Suseno (1984: 69) membicarakan prinsip keselarasan dalam etika Jawa terbatas pada keselarasan sosial.
E. Metode Penelitian 1. Materi atau Bahan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan subjek penelitian Sêrat Nitisruti, adapun objek penelitian ini adalah teks-teks ajaran moral dalam Serat Nitisruti. Ajaran moral dalam Serat Nitisruti akan dicermati dalam hubungannya dengan etika Jawa secara umum yang pernah dikaji dan dituliskan oleh pakar Etika Jawa, khususnya Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Etika Jawa (1984).
2. Jalan Penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan membaca, mencatat, mengklasifikan, dan mendeskripsikan data, yakni data tentang ajaran moral yang diambil dari teks
Serat Nitisruti. Unit-unit data berupa kelompok-kelompok kata dari baris-baris tembang macapat dalam Serat Nitisruti dipertimbangkan maknanya berdasar unitunit semantik, suatu unit makna kebahasaan. Selanjutnya data diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yakni (a) ajaran moral dalam hubungannya dengan Tuhan, (b) dalam hubungannya dengan sesama manusia, dan (c) dalam hubungannya dengan lingkungan alam. Selanjutnya ajaran moral dalam Serat Nitisruti dikaji relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila.
3. Analisis Data Penelitian ini termasuk penelitian literer yakni mengenai teks sastra, artinya memandang bahwa teks Serat Nitisruti berisi tentang ajaran moral yang dikaji dalam perspektif etika Jawa. Permasalahan moralitas yang ada dipandang sebagai ajaran yang relevan dalam hubungannya dengan nilai-nilai Pancasila; adapan metode yang digunakan adalah sebagai berikut. (a). Metode deskriptif akan dipergunakan dalam rangka menguraikan dan menganalisis
data
secara
keseluruhan.
Deskripsi dilakukan
dengan
menguraikan objek material penelitian melalui bahasa, karena ada kesatuan mutlak antara bahasa dan pikiran. Suatu pengalaman yang tidak sadar dapat mulai berfungsi dalam pemahaman dengan hanya dieksplisitasikan (Bakker dan Zubair, 1994: 41). (b) Penelitian ini akan mempergunakan metode hermeneutik untuk menganalisis berbagai konsepsi moral yang ada yakni dalam rangka interpretasi makna. Metode hermeneutik menjelaskan penafsiran terhadap suatu teks yang
dilakukan oleh penafsir dengan menyadari bahwa dirinya sendiri di tengahtengah sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsiran, serta cara mengerti sebuah teks yang turut dihasilkan tradisi. Selain itu sebuah pemahaman juga ditentukan oleh individualitas dan masyarakatnya. Penafsiran terjadi sambil meleburkan cakrawala masa silam dan masa kini. Penafsir harus memahami teksnya dan menerapkan teks yang kaku dan lepas dari keterkaitan waktu pada situasinya sendiri (Luxemburg, 1986: 62-63). Berbagai data yang bermuatan moralitas dimaknai lebih lanjut dalam hubungannya dengan konteks-konteks yang lebih luas dalam karya sastra yang bersangkutan, dan kemudian dipertimbangkan dalam kemungkinan pemaknaan secara umum dalam hubungannya dengan etika Jawa secara luas. Konsepsi moralitas yang ada juga ditinjau relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, penafsiran akan mengacu pada berbagai konvensi yang ada, yakni konvensi bahasa, konvensi sastra, dan konvensi budaya Jawa, dalam hubungannya dengan moralitas.
F. Sistematika Penulisan Hasil penelitian akan disampaikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut. Bab I Pendahuluan berisi: A.Latar Belakang Permasalahan yang mencakup permasalahan yang diteliti dan perumusannya, yakni (a) apa sajakah ajaran moral dalam Serat Nitisruti ? (b) apa sajakah jenis moral yang ada dalam Serat Nitisruti ? dan (c) apa relevansi ajaran moral dalam Sêrat Nitisruti bagi pelaksanaan Pancasila?;
keaslian penelitian, dan manfaat penelitian bagi ilmu pengetahuan, bagi filsafat dan bagi bangsa Indonesia. Pada sub bab B. Berisi Tujuan Penelitian, C. Tinjauan Pustaka, D. Landasan Teori, yakni teori tentang etika, khususnya etika Jawa yang pernah dirumuskan oleh Franz Magnis-Suseno, sub bagian E. Metode Penelitian, dan F. Sistematika Penulisan. Bab II berisi teori tentang etika dan ajaran moral Jawa. Dalam bab ini dijelaskan berbagai etika Jawa dan ajaran moral Jawa yang secara umum mendasari tinjauan penelitian ajaran moral dalam Serat Nitisruti. Bab III berisi tinjauan tentang Pancasila sebagai sistem nilai, yang menyangkut A. Sistem Nilai Pancasila Digali dari Budaya Bangsa Indonesia, B. Bangsa Indonesia Ber”Pancasila” dalam Tri-prakara, yang Saling Memperkuat dan Memperkembangkan, C. Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem, D. Isi Arti Silasila Pancasila, dan E. Kandungan Nilai-nilai dalam Sila-sila Pancasila Bab IV berisi tentang ajaran moral dan jenis-jenis ajaran moral dalam Serat Nitisruti. Bab ini dimulai dengan mendeskripsikan Serat Nitisruti sebagai bentuk karya sastra Jawa, ajaran moral dalam Serat Nitisruti, jenis-jenis ajaran moral tertsebut, hingga konsep-konsep ajaran moral dalam Serat Nitisruti. Bab V berisi ajaran moral dalam Serat Nitisruti dan relevansinya dengan nilainilai Pancasila. Bab ini dimulai dengan pembicaraan poin-poin ajaran moral dalam Serat Nitisruti dalam hubungannya dengan nilai-nilai Pancasila, kemudian diikuti pembicaraan tentang konsep-konsep ajaran moral dalam Serat Nitisruti dan relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila. Bab VI adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II ETIKA DAN AJARAN MORAL JAWA A. Etika dan Ajaran Moral Indonesia, dalam menghadapi permasalahan-permasalahan sosial yang timbul sebagai dampak modernisasi dan pembangunan sosial, terasa butuh untuk melacak akar pelbagai unsur kebudayaan seperti etika, etiket dan pandangan hidup, ketiganya merupakan faktor-faktor substansial yang menentukan pola kelakuan, adat-istiadat, kehidupan moral dan dengan demikian mengkerangkai kehidupan kultural masyarakat (Kartodirdjo, dkk, 1998 : 2). Tujuan pembahasan etika dapat dilukiskan sebagai upaya mencari normanorma yang seharusnya mengatur hubungan antar pribadi. Keamanan sosial dan kebebasan berpikir merupakan prasyarat dasar bagi perkembangan individu. Penyelidikan etika akan mencurahkan perhatiannya kepada upaya menemukan kualitas-kualitas kemanusiaan dan bentuk-bentuk kelembagaan sosial yang dapat memberikan dorongan yang optimal kepada realisasi kondisi itu (Shah, 1986: 100). Etika dalam bidang filsafat membicarakan manusia dari sudut perbuatannya. Perbuatan atau tingkah laku manusia dalam hal ini adalah tindakan-tindakan yang didorong oleh akal budi yang menghasilkan perbuatan baik dan buruk. Kecenderungan orang dalam menilai perbuatan seseorang adalah penilaian terhadap tingkah laku yang dipengaruhi oleh kedudukan dan martabatnya. Semakin tinggi kedudukan serta martabatnya, maka semakin besarlah penilaian orang atas dirinya. Berdasarkan cara pengkajiannya, etika dapat diklasifikasikan menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif adalah etika yang menerangkan secara obyektif, apa adanya, tanpa dikurangi dan ditambahi serta tidak memberikan sesuatu
interpretasi apapun. Sedangkan etika normatif adalah etika yang menjelaskan sebuah penilaian tentang mana yang baik dan mana yang buruk serta menunjukkan apa yang sebaiknya diperbuat oleh manusia. Etika bersifat sosial dan nilai-nilainya disebarkan melalui antar hubungan individu dalam masyarakat. Secara historis mula-mula terkandung dalam adat kebiasaan, tradisi dan konvensi, kemudian dalam sistem kepercayaan dan sistem religi. Etika kemudian menjadi suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai bagian ilmu filsafat. Dimensi sosial nilai-nilai etis memberikan suatu kadar objektif yang jarang terdapat dalam bidang kreativitas yang pada dasarnya bersifat pribadi. Objektivitas ini merupakan suatu prasyarat bagi universalitas nilai-nilai etis (Shah, 1986: 99). Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandanganpandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Etika dan ajaran moral tidak setingkat; yang mengatakan bagaimana seseorang harus hidup adalah ajaran moral, bukan etika. Etika mau mengerti mengapa seseorang harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Magnis-Suseno, 1997 : 14). Tanggung jawab moral sangat penting dalam kehidupan kolektif. Etika berkaitan erat dengan berbagai masalah-masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah predikat nilai susila dan tidak susila, baik dan buruk. Kualitas-kualitas tersebut dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip
dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 2004: 341). Etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi di lain pihak etika juga tidak bertentangan dengan agama, bahkan diperlukan oleh agama (MagnisSuseno, 1997: 6). Untuk mengimbangi perkembangan ilmu dan teknologi pun, peranan agama dan etika menjadi lebih penting (Jacob, 1988: 30). Manusia dibentuk oleh kesusilaan, yang berarti bahwa manusia hidup dalam norma-norma yang membatasi tingkah lakunya, yang menunjukkan bagaimana seharusnya bertingkah laku dalam masyarakat. Apabila seseorang telah memenuhi syarat-syarat kesusilaan, maka ia dapat dikatakan baik dipandang dari segi kesusilaan (Asdi, 1997: 10-11). Magnis Susena (1984: 6) dalam membicarakan tentang etika Jawa membatasi etika sebagai “keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya”. Etika, secara etimologis berasal dari kata ethos (Yunani), yang berarti adat kebiasaan. Istilah lain yang dianggap memiliki makna yang sama adalah moral. Moral, secara etimologis berasal dari kata mos atau mores (Latin). Pengertian moral secara umum mengacu pada pengertian ajaran tentang baik -buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak; budi pekerti; susila dan sebagainya; (KBBI, 2008: 929), meskipun demikian dalam kehidupan seharihari pemaknaannya sering berbeda-beda. Moral digunakan untuk tingkah laku yang sedang dinilai, sedangkan etika merupakan pengkajian sistem nilai. Moral digunakan dalam pengertian praktis, bagaimana adat kebiasaan dan tingkah laku dilakukan, sedangkan etika digunakan dalam pengertian teoritis, bagaimana memahaminya
secara konseptual. Moral memberikan penilaian pada tempat tertentu (lokal dan temporal), sedangkan etika memberikan penilaian secara universal. Moral atau kesusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia dan kemanusiaannya. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan manusia sebagai manusia. Kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia (Drijarkara, 1978: 25). Pada umumnya manusia mempunyai pengetahuan adanya baik dan buruk. Pengakuan manusia mengenai baik dan buruk itu disebut kesadaran moral atau moralitas (Poedjawijatna, 1983: 130). Kriteria perbuatan susila adalah kehendak yang baik, keputusan akal yang baik dan penyesuaian dengan hakikat manusia (Fudyartanta, 1974: 18). Poerwadarminta menuliskan bahwa moral mempunyai arti ajaran tentang baik dan buruk suatu perbuatan, kelakuan, akhlak, dan kewajiban. Di samping itu, moral juga berarti kesusilaan yang terbentuk dari kata sila berasal dari bahasa Sansekerta dan antara lain mempunyai arti aturan (Poerwadarminta, 1985: 654). Sedang menurut Sunoto bahwa moral, dari kata mores yang berarti adat istiadat, ialah sesuatu yang ada di luar diri manusia dan memberi pengaruh ke dalam (Sunoto, 1982: 32). Istilah lain lagi yang dianggap sebagai sinonim dari moral adalah susila (Sansekerta) dan akhlak (Arab). Ajaran moral merupakan ajaran yang berhubungan dengan perbuatan atau tingkah laku yang pada hakikatnya merupakan cermin akhlak atau budi pekerti. Secara keseluruhan, ajaran moral merupakan kaidah dan pengertian yang menentukan terhadap hal-hal yang dinilai baik atau buruk. Ajaran moral menerangkan apa yang seharusnya dan semestinya dilakukan manusia terhadap orang lain. Menurut Darusuprapto (1990: 1), ajaran moral adalah ajaran
yang berkaitan dengan perbuatan dan kelakuan yang pada hakikatnya merupakan pencerminan akhlak dan budi pekerti. Moral merupakan kaidah atau aturan yang menentukan hal-hal yang dianggap baik atau buruk, serta menerapkan apa yang seharusnya atau sebaiknya dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain. Manusia sebagai anggota masyarakat, dalam bertingkah laku mempunyai standar atau ukuran yang sesuai dengan nilai moral yang ada. Jadi moral merupakan aturan yang dijadikan patokan oleh manusia tentang baik buruk yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan oleh manusia dalam pergaulannya di masyarakat. Moral atau kesusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan manusia sebagai manusia. Kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia (Drijarkara, 1978: 25). Pada umumnya manusia mempunyai pengetahuan adanya baik dan buruk. Pengakuan manusia mengenai baik dan buruk itu disebut kesadaran moral atau moralitas (Poedjawijatna, 1983: 130). Kriteria perbuatan susila adalah kehendak yang baik, keputusan akal yang baik dan penyesuaian dengan hakikat manusia (Fudyartanta, 1974: 18). Arti pentingnya moral juga terpatri dalam epitaph makam Imannuel Kant: Cellum stellatum supra me, lex morralis intra me, yang berarti begitu cemerlang bintang-bintang di angkasa raya, demikian pula moral susila di dada manusia (Supadjar, 1993: 117). Manusia dikatakan bermoral apabila ia tidak hanya mementingkan kebutuhan jasmani saja, melainkan juga yang rohani, bersama-sama dalam keseimbangan, antara kebutuhan individu dan masyarakat, antara kedudukannya sebagai makhluk yang mandiri dan sebagai makhluk Tuhan (Notonagoro, 1974: 90-91). Konsep
Notonagoro ini disebut juga dengan istilah monodualisme atau dalam bahasa Jawa sering disebut loro-loroning atunggal.
B. Etika Jawa dan Ajaran Moral Jawa Banyak orang memperhatikan berbagai aspek kehidupan orang Jawa, sejak akhir abad ke-19, namun dengan pesatnya laju pembangunan di segala bidang, dirasa perlu adanya pengamatan apakah gaya dan pola kehidupan masyarakat Jawa dewasa ini masih tetap lestari, ataukah sudah mengalami perubahan. Suatu hal yang perlu dicatat, ialah akhir-akhir ini kebudayaan Jawa dalam pelbagai aspeknya semakin menarik untuk diteliti dan dikaji, baik bagi para pengamat dan peneliti asing, maupun bagi budayawan dan cendekiawan bangsa Indonesia sendiri. Pembahasan topik etika Jawa akan dapat melacak akar-akar nilai budaya yang sudah kurang dikenal, namun dirasakan secara umum masih mempunyai pengaruh di kalangan luas ataupun di kalangan elite politik tertentu. Kebudayaan Jawa sangat memperhatikan nilai moral dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari; oleh karenanya perlu kajian mendalam mengenai nilai etika atau moral yang dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Jawa (Ahmadamin, 1983: 77). Etika Jawa yang tercermin dalam tata krama Jawa pada umumnya telah melembaga secara tradisional, dengan demikian maka hal itu amat erat hubungannya dengan berbagai macam upacara tradisional, sebab maksud upacara tradisional pada umumnya juga tidak terlepas dari kandungan moral. Etika Jawa mengandung nilai eudaemonisme theologis. Eudaemonisme berasal dari bahasa Yunani eudaemoni, artinya kebahagiaan. Eudaemonisme adalah teori dalam etika yang menyatakan bahwa suatu tujuan manusia adalah kesejahteraan pribadi atau kebahagiaan
(Mudhofir, 1988: 26). Adapun bagi orang Jawa pada umumnya kebahagiaan itu lebih ditekankan pada kondisi ayem tentrem, yakni keadaan keselarasan antara makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Pandangan orang Jawa penting bahwa seseorang harus pada posisi tempat yang tepat, kosmos adalah suatu keseluruhan teratur dimana setiap unsur mempunyai tempatnya yang tepat dan selama unsur-unsur tersebut berada pada tempatnya yang tepat maka akan tercipta ketenangan dan dunia akan aman (Magnis-Suseno, 1997: 83). Etika Jawa, meliputi banyak segi, antara lain sering dinyatakan sebagai ungguh-ungguh, suba-sita, boja-krama, dan sebagainya,
kesemuanya mencakup
hubungan selengkapnya, antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam sekitarnya. Antara manusia dengan sesamanya dapat dibedakan: antara yang muda dengan yang lebih tua (anak-bapak; adik-kakak; orang yang muda dengan yang lebih tua), antara bawahan-atasan (anak buah-pemimpin), suami-isteri, teman akrab atau baru, dan lain sebagainya (Kartodirdjo, dkk. 1987: 6). Disamping itu juga dikenal ajaran yang lebih luas, mengenai kota dan desa; seperti ungkapan: desa mawa cara, negara mawa tata, pada masa sekarang mampu memberi petunjuk bagi kearifan pola hubungan Jawa-luar Jawa atau Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang juga tercermin dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Etika Jawa itu relatif, tergantung pada tempatnya. Apa yang harus dilakukan individu ditentukan dan harus sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat dan bukan kehendak pribadi yang harus dilaksanakan akan tetapi tuntuan dari tempat keberadaannya yang harus menjadi sikapnya. Jika seseorang masih mengikuti nafsu dan pamrih berarti ia belum mengerti tempat/ posisinya dalam kosmos. Ia belum
memiliki pengertian yang tepat, maksudyna adalah membuka diri dalam rasa. Segala sesuatu harus dirasakan. Jadi orang Jawa harus memiliki rasa yang halus yang terwujud dalam sikap menjaga perasaan orang lain, melalui tutur bahasa krama, seni tari, batik, dan sebagainya. Semakin halus seseorang, maka akan semakin mendalam pengertiannya dan makin luhur sikap moralnya (Magnis-Suseno, 1984: 93-98). Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, pathokan-pathokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Ajaran moral bagi masyarakat Jawa bersumber dari tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Ajaran moral tertinggi adalah mencapai kebahagiaan. Kebagiaan di sini bukanlah hidup di dunia tetapi apabila seorang hamba merasa bersatu dengan Tuhannya (De Jong, 1976 : 26). Kepasrahan kepada Tuhan merupakan salah satu sikap hidup orang Jawa yang sering dikenal dengan ungkapan nrima ing pandum 'menerima apa yang telah diberikan' karena segala sesuatu sudah diatur. Sartono Kartodirdjo (1988 : 2) mengatakan bahwa narima: refers to the state of being content or accepting something with fullness. Bagi masyarakat Jawa ungkapan narima merupakan ungkapan terima kasih atas segala pemberian yang diperoleh dari Tuhan Yang Maha Pemurah dengan sepenuh hati. Dengan prinsip hidup narima atau nrima ing pandum seseorang tidak mempunyai sifat serakah atau iri hati. Wulang wuruk Jawa atau ajaran moral berhubungan dengan garis longitudinal umur seseorang, yang dijalani setingkat-demi setingkat. Tata krama dimulai sejak kita kecil, sedini mungkin. Orang Jawa diajar dalam keluarganya, dibiasakan bagaimana beretiket: halus tutur bahasanya, luhur budi-pekertinya, sikap yang
sopan-santun mengenal jenjang-jenjang bahasa. Dikenallah: bahasa ngoko andhap (antya basa/basa antya) hingga bahasa krama (andhap, madya, dan inggil) (Supadjar, 1993). Kesadaran atau kedewasaan etis berhubungan dengan kedewasaan cipta-rasa dan karsa (logical reasoning-emotional maturity-moral stability). Pengembangan bahasa Jawa nampaknya akan membantu pelajaran Tatakrama Jawa. Semua orang Jawa tahu dan menghayati bahwa tidak mungkin mereka bertengkar memakai bahasa Jawa ragam krama; apabila mereka bertengkar pastilah lalu terjadi alih kode dari bahasa krama lalu memakai bahasa ngoko, lebih-lebih apabila sudah emosional. Kesemuanya itu sesungguhnya berlandaskan kepada pandangan hidup Jawa. Salah satu tata nilai moral yang menunjukkan jati diri bangsa adalah tatakrama. Tatakrama merupakan bagian dari pergaulan sehari-hari dalam kehuidupan manusia. Tatakrama sering disebut adat sopan santun, dilaksanakan atas dasar aturan-aturan adat, atau norma-norma yang berlaku dalam hubungan sosial, yakni interaksi antar individu warga masyarakat Jawa. Interaksi tersebut biasanya berupa tutur kata, tingkah laku dan sikap. Aturan-aturan, norma-norma dalam kebudayaan maupun agama mengenai perilaku apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan tersebut menjadi tuntunan bagi orang untuk belajar mengendalikan diri (Sumintarsih, dkk., 2000: 18). Bagi orang Jawa, manusia utama itu senantiasa harus berpegang pada tata krama, yakni berbudi luhur dan mengasah ketajaman rohani dengan selalu ingat kepada Tuhan, menjauhi larangan-larangan-Nya dan melaksanakan segala perintahNya. Sikap budi luhur tercermin dalam tindakan yang dilandasi oleh suatu ketenangan, keteguhan, kewaspadaan dan kehati-hatian dalam mempergunakan akal
dan budinya, yang dalam bahasa Jawa sering dinyatakan dengan istilah kudu titi, teteg, tata, ngati-ati. Manusia mengalami banyak cobaan dalam menjalani kehidupan sehingga setiap individu membutuhkan satu kekuatan dan kestabilan yaitu sikap sabar, ikhlas, rela berkorban dan berjuang dengan mengkonsentrasikan pada batin untuk lebih menyempurnakan derajat kemanusiaannya. Konsep berbudi luhur Jawa merupakan kerangka hubungan antara harapan, keteladanan, dan kenyataan yang akan muncul dalam kehidupan. Manusia yang diharapkan adalah manusia yang mempunyai keutamaan-keutamaan, sebagai generasi bangsa yang tangguh baik lahir maupun batin yaitu bersikap utama, yakni sabar, ikhlas, rela berkorban, berjuang untuk kesempurnaan batin dan derajat manusia. Manusia Jawa menjadi bahagia apabila merealisasikan diri secara sempurna dengan
mengaktifkan kekuatan
hakikatnya.
Kekuatan-kekuatan
itu
adalah
kemampuan jiwa yang berakal budi murni yang mengangkat diri ke kontemplasi halhal abadi dan akal budi praktis yang terlaksana dalam kehidupan aktif di tengah masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar manusia dapat mengembangkan bakat etis yang tertanam dalam kodratnya sampai menjadi manusia yang sempurna (Magnis-Suseno, 1997: 40). Pandangan dunia Jawa terhadap realitas adalah merupakan suatu kesatuan menyeluruh yang satu kesatuan pengalaman religius, sosial sampai sikap terhadap alam, yang merupakan nilai untuk pencapaian suatu ketenangan, ketentraman dan keseimbangan batin yang sama berkaitan dan semua dipelajari dari alam lingkungan. Pergulatan dengan alam menjadi dasar-dasar masyarakat dengan kebudayaannya. Berbagai aktivitas budaya merupakan bentuk kerja sama sosial serta bantuan timbal balik antar manusia Jawa. Hal inilah yang membentuk watak khas orang Jawa.
Koentjaraningrat, dalam hubungannya dengan hakikat hidup, menyatakan bahwa walaupun petani desa di Jawa tidak banyak yang memikirkan tentang hakikat hidup, namun sebagian juga gemar membaca buku-buku tradisional yang beraksara Jawa yang mengandung ajaran moral dan budi pekerti yang terpengaruh oleh kesusasteraan dan pertunjukan wayang dan yang karena itu mempunyai pandangan mengenai hakikat hidup yang lebih matang. Adanya pengaruh kesusasteraan yang mengandung ajaran moral dan adanya simbolik wayang itu, menyebabkan tidak adanya perbedaan antara pandangan hidup seorang petani yang dapat membaca dengan pandangan hidup seorang priyayi. ( Koentjaraningrat, 1984: 435- 436). Hal inilah yang mendasari kehidupan masyarakat Jawa menjadi lebih mudah untuk mengusahakan keharmonisan dan lam menghadapi alam empiris. Alam empiris bagi orang Jawa berhubungan erat dengan alam kebaikan yang keduanya saling melengkapi sebagai suatu keselarasan. Keselarasan dilaksanakan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa, dalam hubungannya dengan lingkungan alamnya, dan dalam hubungannya dengan sesama manusia. Keselarasan dalam kehidupan manusia Jawa tersebut diwujudkan baik secara langsung maupun dengan melalui perantara-perantara, baik melalui manusia, yakni orang pintar atau dukun, melalui roh-roh penguasa tempat tertentu, dan sebagainya, atau dengan menggunakan sesajen (sesaji), sebagai wujud ungkapan penghormatan, yang memiliki tujuan akhir sebagai keselamatan atau slamet, dan dari sini muncullah tradisi slametan dalam berbagai bentuk. Di samping itu, juga dilakukan tradisi untuk mengungkapkan rasa syukur yang dipimpin oleh orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam permasalahan ini. Inti dari keselamatan di sini adalah kondisi ayem tentrem (tenang tenteram) dan bagas waras (sehat walafiat), melalui
sikap eling lan waspada (ingat dan waspada) serta mengutamakan sikap sepi ing pamrih rame ing gawe (tidak mengutamakan hak lebih mengutamakan kewajiban). Dengan memiliki sikap batin yang tepat, maka seseorang secara tidak langsung akan memiliki sikap terhadap dunianya secara tepat. Prinsip orang Jawa adalah, bahwa manusia tidak boleh terlarut dalam nafsu-nafsu dunia yang jika terpengaruh maka akan mengikatnya, sehingga ia dapat melaksanakan pemenuhan tugasnya untuk memelihara masyarakat. Sikap pemenuhan tugas ini tercermin dalam sikap rame ing gawe yaitu manusia hendaknya memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam dunia. Sikap rame ing gawe ini memiliki hubungan erat dengan sikap sepi ing pamrih. Hal ini dikarenakan dalam pandangan orang Jawa, dunia yang chaos akan stabil jika individu dalam masyarakat melepaskan pamrih-nya. Jadi sikap ini juga bermakna sikap aktif untuk melepaskan pamrih demi keselarasan sosial. Setiap individu hendaknya memenuhi kewajibannya pada tempatnya masing-masing (Magnis-Suseno, 1984: 138-139 dan 146). Pandangan Jawa juga tidak lepas dari keberadaan manusia itu sendiri yang idealnya harus mempunyai kekuatan lebih (punjul ing apapak). Kekuatan dalam hal ini lebih ditekankan dalam arti kontrol diri terhadap napsu-napsu sebagai upaya untuk membentuk kehalusan batin. Sikap kontrol diri terhadap berbagai nafsunya, bagi orang Jawa merupakan hal yang penting, seperti yang tercermin dalam kisah yang sangat populer dalam lakon wayang purwa, yakni lakon Dewa Ruci. Kisah Dewa Ruci menceritakan bahwa, atas petunjuk Drona sang spiritual keluarga Barata, Bima akhirnya dapat bertemu dengan Dewa Ruci, sebagai penjelmaan Yang Maha Kuasa. Bima disuruh masuk dalam tubuh Dewa Ruci yang sangat kecil, sehingga Bima dapat menemukan pramana, yakni prinsip hidup Ilahi, “yang memberi hidup”,
yang berada dalam dirinya sendiri,. Keadaan ini dalam istilah Jawa dikatakan sebagai manunggaling kawula-Gusti. Bagi orang Jawa, pengendalian nafsu-nafsu merupakan upaya untuk mencapai keselarasan dengan Tuhan, dengan alam lingkungannya, dan dengan sesamanya, seperti yang diraih oleh Bima tersebut. Paku Buwana IX ketika menguraikan “Filsafat” Hanacaraka, menyatakan bahwa aksara caraka (yang merupakan kependekan dari cipta–rasa–karsa), bermakna manusia sebagai utusan Tuhan, yang memiliki cipta–rasa–karsa yang menyatu di dalam napas. Jadi cipta–rasa–karsa bukan sekedar pengetahuan/ilmu melainkan juga laku; Napas, dalam bahasa Jawa adalah ambegan maka nilai kemanusiaan Jawa diukur dari ambegnya, yakni wataknya. Kata-kata Jawa memang sering mempunyai konotasi ganda (yakni mencakup lahir dan batin). Ambegan = napas; tapi lebih dari itu, ambegan mengacu kepada kriteria etis: ambeg yang juga berarti watak. Kata ambeg wungon tidak saja berarti: bangun, tetapi berarti selalu berjaga, selalu sadar diri, dan juga berarti menambah kadar sinar: wungu (ultra – violet), suatu unsur terpenting bagi daya ke-washitha-an (clairvoyance; helderziend) (Supadjar, 1993). Pada pandangan hidup orang Jawa sikap batin yang tepat akan menghantarkan diri seseorang pada posisi slamet, yaitu ketentraman batin yang tenang. Untuk mencapai sikap batin yang tepat, seseorang sebelumnya harus mampu menjadi hakekat dirinya yaitu hakekat akan dirinya sebagai ciptaan Tuhan dan diri yang bergantung pada Yang Ilahi. Kesadaran ini nantinya akan memunculkan sikapsikap batin yang tepat untuk menyelesaikan dan menghadapai kehidupan yang dialaminya. Oleh karena itu dari sinilah muncul filosofi eling lan waspada, bahwasanya hendaknya seseorang tidak melupakan asalnya yaitu sebagai ciptaan
Tuhan dan oleh karena itu ia harus senantiasa bersikap mawas diri (waspada). Jika seseorang bergantung pada Tuhan, ia harus mengikuti bimbingan Tuhan dan percaya kepada-Nya (mituhu) (Magnis-Suseno, 1984: 141). Seorang Jawa yang memiliki kematangan moral, maka senantiasa ia akan bersikap budi luhur (yaitu watak-watak utama orang jawa), diantaranya:1). sabar yaitu mempunyai napas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib yang baik pun akan tiba. 2). Nrimo dan ikhlas. Ikhlas adalah bersedia untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana yang sudah ditentukan. Sikap ikhlas dan rela merupakan sikap positif, yaitu sebagai tanda penyerahan kekuasaan, yaitu kemampuan untuk melepaskan sesuatu secara ikhlas. Jadi ketika orang Jawa diam ia bukan kalah dan menyerah akan tetapi ia ikhlas terhadap apa yang telah lepas. 3). Jujur (temen), dimana kejujuran ini tumbuh di dalam keberanian dan ketentraman hatinya, 4). Prasaja (bersedia untuk menganggap diri lebih rendah dari pada orang lain (andhapasor), seseorang harus tahu akan batasan-batasannya dalam situasi keseluruhan dalam lingkungan keberadaannya (tepa seliro). Sikap-sikap budi luhur ini merupakan lawan dari sikap-sikap negatif yang dibenci orang jawa, seperti: 1). Dahwen/ open: sikap suka mencampuri urusan orang lain, 2). srei (budi yang rendah), 3) drengki (memusuhi orang lain),
4). jail (suka main intrik), dan 5)
methakil (suka kekasaran atau mau menang sendiri). Bagi orang Jawa segala sesuatu diukur tidak sekedar benar, tetapi juga harus tepat. Hal ini tampak pada prinsip bener ning ora pener (meskipun benar tetapi kalau tidak tepat ya tidk baik.). Senada dengan prinsip tersebut adalah prinsip pada ungkapan” ngono yo ngono nanging
aja ngono (meskipun seperti itu tapi janganlah begitu, jadi harus tepat ) (MagnisSuseno, 1984: 144). Etika, yang di dalamnya berisi norma kesusilaan bagi manusia, dalam kehidupan masyarakat Jawa memegang peranan penting, sebab seseorang dinilai baik dan buruk tergantung tingkah laku kesusilaannya. Kesusilaan merupakan nilai tertinggi dalam martabat kehidupan. Seseorang dapat menerima petunjuk dari orang lain untuk mengetahui norma-norma kesusilaan, baik yang langsung mau pun yang tidak langsung, atau seseorang dapat meniru atau mencontoh perbuatan susila dari orang lain yang dianggap baik dan menurut pedoman moral. Kesusilaan adalah sesuatu yang sama sekali tidak boleh ditingalkan, hal ini untuk menciptakan kehidupan rumah tangga dan masyarakat yang baik, aman, tenteram dan bahagia. Manusia Jawa memahami diri sendiri dan menyadari sebagai mahluk yang harus bersusila atau bermoral. Antara manusia Jawa dengan kesusilaan tidak bisa dipisahkan, sebab dalam kenyataan hidup membuktikan, bahwa manusia Jawa dinilai sebagai wong Jawa karena baik, susila atau luhur. Orang Jawa yang dinilai kurang atau tidak baik akan dikatakan sebagai durung Jawa (belum Jawa) atau dudu Jawa (bukan Jawa) (Magnis-Suseno, 1984: 158). Orang Jawa memiliki kesadaran yang tinggi atas moral. Manusia Jawa, dalam kesadaran moral yang tinggi inilah memahami dirinya sendiri dengan sedalam-dalamnya, yaitu memahami diri sebagai kodratnya makhluk yang berakal, berasa dan berkehendak, serta memahami diri sebagai mahluk Tuhan. Kesusilaan di sini menyangkut bagaimana seharusnya manusia mampu mencerminkan suara hatinya yang baik dan benar, sesuai dengan sifat kodratnya, baik sebagai mahluk pribadi yang berakal, berasa dan berkehendak
atau cipta- rasa- karsa serta mahluk ciptaan Tuhan, sekaligus sesuai dengan aturan masyarakat yang berlaku. Seperti masyarakat-masyarakat lainnya, masyarakat Jawa telah memiliki kaidah-kaidahnya untuk menentukan hubungan sosial yang terjadi di dalamnya. Struktur sosialnya ditentukan oleh prinsip-prinsip seperti prinsip resiproksitas atau timbal-balik (padha-padha, tepa slira), prinsip solidaritas (rukun, rujuk), taat kepada atasan, orang tua, guru (mbangun miturut), saling menghormati antar sesama, isteri kepada suami (bekti), sikap terhadap kekuatan/ kekuasaan superintoral adalah kepada Tuhan (sujud), kepada nasib (pasrah, sumarah). Struktur sosial dipakai sebagai wahana menjaga keseimbangan sehingga keselarasan dapat dipertahankan. Struktur kekuasaan dan hierarkhi diterima sebagai hal yang wajar. Posisi sosial masing-masing golongan dapat diterima, segala persoalan (konflik dan ketegangan) perlu berdasarkan prinsip kekeluargaan atau persaudaraan (Kartodirdjo, dkk, 1987: 3-4). Hubungan antara manusia Jawa dengan sesamanya, merupakan hal yang paling penting bagi orang Jawa pada umumnya. Kebanyakan peribahasa dan pepatah Jawa membicarakan tentang hal ini dan orientasinya pada masalah tingkah laku dan adat sopan santun. Mereka wajib menjaga hubungan baik dengan orang lain, dengan cara bertenggang rasa (tepa selira). Orang Jawa memiliki acuan untuk berkumpul atau hidup rukun meskipun tidak mendapat makan yakni pada ungkapan mangan ra mangan nek kumpul (makan tidak makan asal kumpul). Mereka juga menekankan keadilan dengan bukti ungkapan wonten sekedhik dipundum sekedhik wonten kathah ugi dipundum kathah (ada sedikit ya dibagi sedikit ada banyak ya dibagi banyak) (Koentjaraningrat, 1984: 441-442).
Menurut Hildred Geertz ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama mengatakan bahwa dalam setiap situasi, manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajad dan kedudukannya. Oleh Magnis-Suseno (1984: 38) kaidah pertama tersebut disebut prinsip rukun dan yang kedua disebut prinsip hormat. Pada pelaksanaan kehidupan sehari-hari, prinsip rukun tampak dituangkan dalam bentuk ungkapan crah agawe bubrah, rukun agawe santosa yang berarti pertengkaran atau konflik menyebabkan rusak porak-poranda sedangkan rukun membuat kuat atau sentosa. Orang Jawa, dalam hal prinsip hormat, mendasarkannya pada sikap dan perbuatannya sendiri. Konsep yen pengin diajeni ya ajenana wong liya yang berarti bila ingin dihormati ya hormatilah orang lain, merupakan bentuk yang pada dasarnya mirip dengan konsep tepa-selira di atas. Atau mungkin, konsep menghormati orang lain akan menghasilkan sikap
dihormati,
merupakan
konsekuensi logis dari konsep tepa selira tersebut. Oleh karena itu analogi yang juga muncul adalah ungkapan tradisional ajining awak amarga saka tumindak, ajining dhiri amarga saka lathi, ajining raga amarga saka busana yang arti bebasnya ialah bahwa orang akan dihormati bila kelakuannya (tumindak), ucapannya (lathi) dan busananya (busana) mencerminkan sebagai orang yang layak dihormati. Dengan kata lain orang seharusnya baik peri kelakuannya, baik ucapannya, dan baik berbusananya. Kedua prinsip tersebut di atas sering kali telah tercakup dalam ajaran yang menganjurkan untuk bersikap amemangun karyenak tyasing sasama, yakni berusaha
membuat puas atau enak hati sesama manusia. Ajaran ini antara lain terdapat dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV dalam pupuh Sinom yang menganjurkan agar orang Jawa mencontoh watak Panembahan Senapati salah seorang raja di Mataram. Membuat enak hati orang lain merupakan sikap yang dapat menghindarkan diri dari sikap konfrontasi terbuka (rukun) sekaligus menghormati orang lain. Walau sering kali pendapat orang lain itu tidak sesuai dengan pendapat hatinya, sering kali orang Jawa tidak menegur agar tidak terjadi konfrontasi. Kalau pun melakukan peneguran atau konfirmasi, biasanya orang Jawa akan sangat berhati-hati agar tidak membuat sakit hati orang lain. Orang Jawa, dalam rangka karyenak tyasing sasama tersebut, harus berpegang pada suatu prnsip yang kuat. Pada bentuk ungkapan yang lain, sering terlontar pandangan bahwa sapa nandur ngundhuh sapa gawe nganggo, yang maknanya siapa yang menanam akan memetik buahnya dan siapa yang membuat akan mengenakan, oleh karena itu membuat orang lain senang, berbuat baik terhadap orang lain akan mendapatkan juga kesenangan dan kebaikan. Kondisi semacam ini secara luas juga sering berhubungan dengan prinsip ngeli ning ora keli, yang berarti menghanyutkan diri tetapi tidak terhanyut. Konsep ini maknanya bahwa seseorang harus mempunyai sikap dan prinsip yang dipegang secara kuat, sehingga pada kondisai tertentu (termasuk dalam rangka mengenakkan hati orang lain), ia tidak harus lupa diri lalu harus ikut pada sikap dan prinsip orang lain. Hubungan sosial Jawa juga sangat ditentukan oleh hierarkhi yang cukup ketat. Aliran perintah dan kekuasaan bergerak dari atas ke bawah, sedangkan aliran jasa dan upeti dari bawah ke atas. Di puncak hierarkhi terletak kedudukan raja, sebagai
pusat orde kosmis yang memancarkan pengaruh gaib (sakral), jadi adanya otoritas kharismatis menuntut kepatuhan dan penghormatan sebesar-besarnya. Secara piramidal ikatan-ikatan hubungan antara atasan-bawahan (patron-client), membentuk jaringan sosial yang secara turun temurun telah dimantapkan sebagai orde. Orde itu mendapat legitimasinya dari kedudukan raja yang merupakan pusat dari orde kosmis serta kerkuasaan gaib yang kharismatis (Kartodirdjo, 1987: 4). Berbagai prinsip di atas sebenarnya telah tercakup pada prinsip yang lebih luas yakni prinsip harmoni atau keselarasan, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, hubungannya dengan sesama manusia dan dalam hubungannya dengan alam sekitarnya. Keselarasan dalam hubungan dengan Tuhannya, tercermin pada ungkapan adoh tanpa wangenan cedhak tanpa sesenggolan ( Tuhan itu jauh tanpa batas dan dekat tanpa bersinggungan), namun idealismenya tercermin pada ungkapan manunggaling kawula-Gusti, yakni berusaha untuk mendekatkan diri bahkan berusaha menyatu (manunggal) dengan Tuhannya. Keselarasan dalam hubungannya dengan sesama antara lain tercermin pada ungkapan karyenak tyasing sasama di atas, adapun dalam hubungannya dengan lingkungannya, antara lain diwujudkan dalam bentuk sesaji dan dalam tradisi-tradisi seperti slametan dan merti desa, yakni tradisi mensyukuri dan memohon agar tetap selamat dan mensyukuri atas segala kedamaian dan kesejahteraan desanya. Dalam sesaji, pada umumnya terdapat permohonan untuk tidak mengganggu manusia, yakni kepada Danyang (Dang Hyang) yang menguasai wilayah tertentu dengan segala isinya, yang sering terungkap dengan nama Kyai dan Nyai Smarabumi atau Ingkang Mbaureksa (makhluk sepernatural penguasa wilayah tertentu).
Menurut Koentjaraningrat (1984: 438-439), mengenai hubungan antara manusia dengan alam tersebut, pada umumnya orang Jawa akan menyesuaikan atau selaras dengan alam tetapi tidak harus takhluk pada alam. Mereka juga merasa berkewajiban memayu hayuning bawana ( memperindah keindahan dunia), yakni memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya (yakni pekarangan di sekitar rumah, desanya, dan sebagainya), serta memelihara dan memperbaiki lingkungan spiritualnya,
yakni
adat,
tatacara
serta
cita-cita
dan
nilai-nilai
budaya
(Koentjaraningrat, 1984: 438-439).
C. Ajaran Moral dalam Karya Sastra Jawa Bangsa Indonesia mempunyai kekayaan yang berupa karya sastra tertulis dalam berbagai bahasa dan aksara daerah. Studi mengenai karya sastra daerah memiliki peran yang amat berarti guna pertumbuhan ilmu pengetahuan humaniora dan sekaligus mengembangkan kebudayaan nasional. Dengan meneliti berbagai sastra daerah itu, termasuk sastra Jawa, akan terungkap unsur-unsur budaya lokal. Budaya-budaya lokal tersebut pada akhirnya akan memperkokoh budaya nasional dan menguatkan jati diri sebagai sebuah bangsa. Sumber ajaran moral bisa guru, orang tua, pemuka agama atau orang bijak seperti para pujangga atau ajaran dalam karya-karya sastra mereka. Sejarah sastra Jawa mengenal pujangga-pujangga atau orang-orang bijak seperti Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Panuluh, Yasadipura, Ranggawarsita, Paku Buwana IV, Sri Mangkunegara IV, Kyai Sindusastra, Kyai Kusumadilaga, Ki Padmasusastra, Ki Ageng Suryamentaram, dan sebagainya (Darusuprapto, 1980).
Adapun sarjana-sujana seperti halnya para pujangga, haruslah memenuhi kualifikasi: paramengsastra (pandai bersastra), paramengkawi (menguasai budaya tradisional), mardibasa (menguasai bahasa), mardawalagu (menguasai tembang), hawicarita
(berpengaruh),
mandraguna
(terpercaya),
nawungkridha
(berketerampilan), sambegana (berbudi baik) (Padmosoekotjo, tt,: 13). Kualifikasi yang demikian itu boleh jadi telah asing untuk dan sulit bagi masyarakat Jawa masa sekarang, namun sebagai idealisme, tentu saja perlu dimengerti. Menurut Ahmad Tohari (2009: 1) pada masa lampau karya sastra tidak hanya mengandung pemikiran penulisnya, melainkan juga mengandung nasihat dan pengajaran. Nasihat ataupun pengajaran yang terdapat dalam karya sastra biasanya berkaitan dengan sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Khazanah sastra Jawa menyimpan berbagai macam karya sastra yang mengandung
penjelasan
mengenai
konsep-konsep
kebaikan
moral.
Pada
kenyataannya karya sastra Jawa cukup banyak jumlahnya dan beraneka ragam isinya. Beberapa pengkajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada sastra Jawa terdapat ajaran moral yang cukup tinggi di dalamnya. Ajaran itu mampu menjadi pedoman dan pegangan bagi masyarakat pada masanya. Bahkan untuk saat ini banyak ajaran yang dikandung dalam sastra Jawa itu tetap relevan. Karya sastra Jawa sejak kemunculannya hingga sekarang terdapat nilai-nilai luhur yang disebut nilai religius yakni nilai-nilai yang berkaitan dengan keagamaan atau kepercayaan. Nilai religius yang terkandung dalam kesusasteraan Jawa mencerminkan konsep-konsep yang bersifat akulturatif dari sejarah Islam, Hindu, Buddha dan Jawa. Berkaitan dengan analisis religius, terdapat beberapa butir darma
bakti dalam etika dan tata krama Jawa sebagai dasar penalaran yakni keimantauhidan manusia terhadap Tuhan, keteringatan manusia terhadap sifat Tuhan, ketaatan manusia terhadap firman Tuhan dan kepasrahan manusia terhadap kekuasaan Tuhan (Soedarsono, 1985 : 196). Orang Jawa menyebut Tuhan dengan berbagai sebutan sesuai dengan sifat yang ada pada-Nya. Tuhan sering disebut dengan nama Hyang Kang Murbeng Titah (Tuhan yang Menguasai Umat-Nya), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Menguasai Kehidupan), Gusti Kang Akarya Jagad (Tuhan sebagai Pencipta dunia), Hyang Widi (Tuhan Yang Maha Kuasa), Gusti Kang Maha Pirsa (Tuhan Yang Maha Tahu), Kang Maha Wikan (Tuhan Yang Maha Tahu), Hyang Suksma (Tuhan Yang Maha Rohim), Allah, Gusti Kang Maha Mulya (Tuhan Yang Maha Mulia), Jawata (Dewata), dan sebagainya. Serat Nitisruti, antara lain juga menyebut Tuhan dengan berbagai sebutan. yakni Hyang Manon (Yang Maha Melihat) (MGT VIII: 12, 22), Hyang Agung (Tuhan Yang Maha Agung) (MGT VIII: 23), dan sebagainya. Di samping itu pada berbagai karya sastra Jawa, termasuk dalam Serat nitisruti, juga ditemukan ajaran moral dalam hubungannya dengan sesama manusia, bahkan dalam hubungannya dengan alam sekitarnya. Hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada bab pembahasan hasil penelioian. Pada beberapa karya sastra, masyarakat Jawa menyebut ajaran moral dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguh atau tata krama. Serat Nitisruti, antara
lain menyebutkan tentang aywa kalimput tilar taler tataning nguni (jangan terlena meninggalkan warisan tata krama di masa lalu) ((DG I: 3), pakarti ingkang utama (tindakan yang baik) (SNM II: 7), dan sebagainya. Pesan-pesan moral dalam masyarakat Jawa disampaikan lewat media seni, termasuk dalam karya sastra, yakni dalam bentuk dongeng, pepali, serat piwulang atau serat-serat niti, dan sebagainya. Sebagian teks bacaan dari berbagai karya sastra Jawa, sering dibacakan atau ditembangkan dalam berbagai acara tradisional, bahkan dihapalkan dan ditularkan oleh para orang tua secara turun-temurun. Hal ini bisa dilacak dengan banyaknya sastra piwulang yang bait-baitnya dihapalkan oleh masyarakat, misalnya bait-bait tembang Dhandhanggula dari Serat Tripama, berbagai tembang dalam Serat Wedhatama, dan sebagainya. Kitab-kitab Jawa penuh dengan ajaran moral misalnya Centhini, Wulangreh, Weddhatama, demikian juga kritik pujangga Yasadipura, yakni Wicara-Keras, juga disampaikan secara etis, yakni dengan halus melalui karya sastra. Centhini misalnya menggariskan kewajiban atau syarat etis seorang calon sarjana-sujana, yaitu: nastiti (berhati-hati), nestapa (sanggup bersusah-payah), kulina (membiasakan diri), diwasa (bersikap dewasa), santosa (berteguh hati), engetan (mengingat-ingat), santika (pandai), lana (berketetapan). Paku Buwana IV, raja di Kasunanan Surakarta, menyampaikan ajaran moralnya dalam Serat Wulang Reh, pada salah satu bait tembang mijil, yang antara lain berisi anjuran, agar manusia bersedia bertindak rendah hati kepada sesama hidup, hormat kepada yang lebih tua, mengasihi kepada yang lebih muda. Apabila terjadi perselisihan, disarankan supaya mau mengalah. Kata-kata kasar dihindari dan mau mencegah kelakuan yang merugikan. Demikian itu cara orang untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan (Soetrisno, 1977 : 17).
Dengan kata lain, tembang mijil tersebut menekankan perlunya mengendalikan emosi. Ajaran tentang rendah hati dalam Serat Nitisruti juga disinggung yakni agar manusia jangan bersikap sombong. Bentuk ajaran moral Jawa juga ditemukan dalam bentuk ungkapan tradisional seperti paribasan. Ungkapan tradisional dalam berbagai sastra piwulang seperti becik ketitik ala ketara (yang baik atau yang tidak abaik akan tampak), titenana wong cidra mangsa langgenga (perhatikanlah orang yang menyeleweng tidak akan lestari) sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (kesombongan dan tamak pada kekuasaan dunia akan hancur oleh kebaikan), ngundhuh wohing pakarti (setiap perbuatan, baik atau buruk, akan menemui hasilnya), sapa salah mesthi seleh (barang siapa bersalah pasti akan menyerah), dan masih banyak lagi, menunjukkan bahwa eksistensi dan esensi moralitas dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Bidang sastra pewayangan menggambarkan pengajaran moral antara lain terdapat pada watak para tokoh cerita wayang yang diteladankan. Nilai-nilai kesempurnaan sejati, kesatuan sejati, kebenaran sejati, kesucian sejati, keadilan sejati, keagungan sejati, keabadian sejati, dan sebagainya dapat ditemukan dalam pewayangan (Amir, 1991: 97-194). Ajaran-ajaran tentang keutamaan prajurit sejati, dalam pagelaran wayang banyak dijumpai, seperti yang diajarkan dalam Serat Tripama, yakni meneladani kepahlawanan tokoh Patih Suwanda, Adipati Karna, dan atau Raden Kumbakarna. Serat Nitisruti, juga menyinggung cerita wayang, yakni tentang ajaran yang disebut Asthabrata, yang semula diajarkan oleh Prabu Ramawijaya kepada Wibisana, yakni merupakan ajaran moral pemimpin (raja) yang baik, dengan mencontoh watak delapan dewa (PCG VI: 37- KNT VII: 22).
Cerita wayang bukan hanya sekedar cerita, melainkan mengandung maksud dan tujuan tertentu, terutama mempunyai arti dalam bidang moralitas atau kesusilaan. Sehubungan dengan hal tersebut, figur-figur tokoh dalam pewayangan, simbolisasi berbagai peralatannya, simbolisasi urutan adegannya, simbolisasi pada adegan-adegan tertentu, dan sebagainya memberikan petunjuk terhadap masyarakat Jawa tentang sikap kesusilaan dalam kehidupan sehari-hari.
D. Jenis-jenis Ajaran Moral Ajaran budi pekerti banyak diwariskan melalui karya sastra oleh para pujangga. Menurut Horace, karya sastra di masyarakat dapat berfungsi dulce et utile (berfaedah dan indah) (Wellek dan Warren, 1990: 25), dan pada umumnya karya sastra memiliki nilai hedonic, yakni nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung, nilai artistic, yakni nilai yang dapat memanifestasikan keterampilan seseorang, nilai cultural, yakni nilai-nilai yang mengandung hubungan dengan masyarakat atau kebudayaan, nilai etis, moral dan religius, nilai praktis, yakni halhal yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Jenis ajaran moral yang sering juga disebut ajaran budi pekerti pernah dikelompokkan oleh M. Sabdawara dan oleh Warih Jatirahayu. M. Sabdawara mengelompokkan jenis ajaran moral Jawa menjadi lima macam berdasarkan nilainilai Pancasila, yakni (1) yang bermakna Ketuhanan yang Maha Esa, (2) yang bermakna Kemanusiaan yang adil dan Beradap, (3) yang bermana Persatuan Indonesia,
(4)
yang bermakna Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan (5) yang bermakna Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia (Sabdawara, 2001: 11). Warih Jatirahayu (2001: 146) mengelompokkan jenis ajaran budi pekerti menjadi tujuh, yakni (1) budi pekerti terhadap Tuhan, (2) budi pekerti terhadap orang tua, (3) budi pekerti terhadap guru, (4) budi pekerti terhadap saudara, (5) budi pekerti terhadap alam semesta, (6) budi pekerti terhadap makhluk lain, dan (7) budi pekerti terhadap diri sendiri. Menurut Nurgiyantoro (2002: 323) jenis-jenis ajaran moral dalam karya sastra, secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (a) moral yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, (b) moral yang menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia dalam lingkup sosial termasuk dalam hubungannya dengan lingkungan alam, dan (c) moral yang menyangkut hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Penelitian ini akan mengelompokkan ajaran moral dalam Serat Nitisruti menjadi tiga, yakni (1) moral terhadap Tuhan, (2) moral terhadap sesama manusia, (3) dan moral terhadap lingkungan alam dan makhluk lain.
BAB III PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI A. Sistem Nilai Pancasila Digali dari Budaya Bangsa Indonesia
Secara historis, terbentuknya bangsa Indonesia melalui proses sejarah dari masa prasejarah di Indonesia, Jaman Kutai, Sriwijaya, Majapahit, masa penjajahan dan kemudian mencapai kemerdekaan merupakan proses panjang. Di dalam kehidupan bangsa Indonesia tersebut terdapat prinsip hidup yang tersimpul di dalam pandangan hidup atau filsafat hidup bangsa atau jati diri bangsa. Jadi, Pancasila tidak lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah melalui proses yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dengan melihat .pengalaman bangsa-bangsa lain, dengan diilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia, dan dengan tetap berakar pada kepribadian bangsa Indonesia sendiri dan gagasangagasan besar bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa dan yang merupakan cerminan dan jiwa bangsa Indonesia (Kaelan, 2008: 28).
Pancasila merupakan hasil berpikir ilmiah-filsafati yang menunjukkan adanya kesatuan sistem pemikiran di dalamnya. Sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang tersusun secara logis sesuai dengan penalaran manusia. Pancasila adalah filsafat, fundamen atau philosophische grondslag bagi negara
Indonesia
sebagaimana dikatakan oleh Ir. Soekarno pada pidatonya di depan anggota sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Sebagai dasar atau fundamen kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila mengandung pemikiran yang mendasar tentang kehidupan kenegaraan yang ideal atau diidam-idamkan. Proses perumusan Pancasila
bukan proses yang tiba-tiba; melainkan memerlukan suatu proses perenungan mendalam (refleksi) dari para pendiri negara (Kaelan, 2008: 38-44).
Dalam amanatnya, pada Dies Natalis ke-25 Universitas Gadjah Mada, Presiden Soeharto juga menegaskan: “Pancasila merupakan nilai-nilai luhur yang lahir dan tumbuh dari sejarah dan kebudayaan Nusantara yang telah berabad-abad lamanya. Suatu kebudayaan yang menempatkan keselarasan sebagai kunci dari kebahagiaan manusia ialah suatu kebudayaan yang didasarkan pada kesadaran bahwa pada akhirnya kebahagiaan manusia bergantung pada tercapainya keselarasan antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan alam, antara manusia dengan masyarakat, antara kemajuan lahiriah dan kehidupan rohaniah. Nilai-nilai luhur ini sekarang terasa makin bertambah cocok dengan kebutuhan dan tantangan masyarakat abad modern” (Hardjasoemantri, 1987: xii). Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan Daoed Joesoef (1987: 14) yakni bahwa sulit untuk dibantah mengenai Pancasila yang dibentuk oleh nilai-nilai yang hidup dan berkembang di tanah tumpah darah Indonesia. Manusia Indonesia rata-rata mengenalnya, di sudut mana pun mereka berada pada bumi Nusantara, walaupun dengan derajat penghayatan yang berbeda dan wujud pengamalan yang berlainan, sesuai dengan kondisi alami dan keadaan zaman (tingkat kemajuan berpikir) masing-masing.
B. Bangsa Indonesia Ber”Pancasila” dalam Tri-prakara, yang Saling Memperkuat dan Memperkembangkan.
Sebelum proklamasi kemerdekaan unsur-unsur yang terdapat dalam Pancasila telah dimiliki, telah diamalkan di dalam adat-istiadat, di dalam kebudayaan
dalam arti luas, dan di dalam agama-agama pada masyarakat di Nusantara. Ketika belum bernegara Republik Indonesia yang diproklamasikan, bangsa Indonesia sudah ber-’Pancasila”. Beraneka rupa keadaan-keadaan pada suku-suku bangsa, dalam hal adat-istiadat, dalam hal kebudayaan dalam arti luas, dalam hal keagamaan, narnun di dalamnya terdapat kesamaan unsur-urwur tertentu. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pancasila sudah terdapat sebagai asas-asas dalam adat-istiadat, kebudayaan, sudah terdapat sebagai asas-asas dalam agama-agama di Nusantara, dan setelah Indonesia merdeka, setelah bernegara, ditambahkan kedudukan baru kepada unsur-unsur itu, sebagai asas kenegaraan Indonesia, dengan demikian banyak sedikit dapat diistilahkan, bahwa bangsa Indonesia ber-“Pancasila” dalam tri-prakara, dalam tiga jenis, yang bersama-sama dimiliki, maka tidak ada pertentangan antara Pancasila Negara, “Pancasila”-adat-kebudayaan dan “Pancasila”religius. Ketiga-tiganya saling memperkuat. Negara ber-Pancasila berarti memperkuat dan memperkembangkan bangsa Indonesia beragama dan berkebudayaan, bangsa Indonesia beragama dan berkebudayaan berarti memperkuat dan memperkembangkan Pancasila Negara dan Negara, jadi juga bangsa. Indonesia sendiri. Perlu dipahamkan, bahwa sila-sila Pancasila sebagat asas kehidupan adalah cita-cita hidup yang seharusnya diamalkan, sudah diamalkan dan perlu terus diamalkan, tak ada hentinya, makin baik, makin sempurna. Mengingat yang dikemukakan tadi, pengamalan itu tidak hanya dalam lapangan hidup kenegaraan seluruhnya, tapi juga dalam lapangan adat, lapangan kebudayaan, lapangan keagamaan yang termasuk lingkungan usaha dari pihak Negara. Sebaiknya pemeliharaan dan perkembangan adat, kebudayaan, agama.agama, tidak boleh bertentangan dengan hidup kenegaraan (Notonagoro, 1997: 5-6).
C. Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem Persoalan tentang nilai dipelajari dalam bidang Filsafat Nilai (aksiologi). Nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal penting yang berguna bagi kemanusiaan (KBBI, 2008: 963). Istilah nilai dalam bidang filsafat menunjuk pada kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” atau “kebaikan”, dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. Nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu (Kaelan, 2008: 87). Bakry (1997: 161), dalam hubungannya dengan nilai, menjelaskan bahwa kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu untuk selanjutnya diambil keputusan, disebut menilai dalam arti menimbang. Sedang keputusan yang diambilnya disebut dengan “nilai”. Keputusan nilai dapat mengatakan: berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah, religius atau tidak religius. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia yaitu jasmani, akal, kehendak, rasa, dan kepercayaan. Pada dasarnya sesuatu itu mempunyai nilai, apabila sesuatu itu berguna, hal riil ditinjau dari segi kemanfaatan, dan selanjutnya dapat bernilai benar (nilai kebenaran), baik (nilai moral), indah (nilai aestetis), religius (nilai agama). Menurut Mardiatmaja B.S. (1986: 55), nilai menunjuk pada sikap orang terhadap sesuatu hal yang baik. Nilai-nilai dapat saling berkaitan, membentuk suatu sistem, dan antara satu dengan yang lain koheren dan mempengaruhi segi kehidupan manusia. Berdasarkan sumber teori nilai, maka terbentuklah berbagai aturan tentang bagaimana sebuah tingkah laku dinilai baik. Peraturan-peraturan itu sering disebut dengan norma. Nilai yang pada mulanya bersifat subjektif setelah menjadi milik
sebuah komunitas kemudian dianggap menjadi bersifat objektif. Menurut Kaelan (2008: 92), nilai subjektif, yakni nilai yang diberikan oleh subjek (manusia), adapun nilai objektif adalah nilai yang melekat pada sesuatu terlepas dari penilaian manusia. Sistem nilai adalah kebudayaan, maka Pancasila adalah gagasan vital yang berasal dari kebudayaan Indonesia, suatu kebudayaan yang merupakan cara hidup yang dihayati dan diolah melalui perkembangan kumulatif dan pengalaman historikal bangsa Indonesia, dan dengan demikian harus dikaitkan pada kehidupan dan pertumbuhan bangsa.
Notonagoro, membagi nilai Pancasila menjadi tiga
macam. Pembagian ini menempatkan segi kegunaan sebagai asas pertama tentang nilai, yakni (1) nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia, atau kebutuhan materiil manusia, (2) nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas, (3) nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dibedakan atas empat macam yakni: (a) nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia, (b) nilai keindahan, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa) manusia, (c) nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (karsa) manusia, dan (d) nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian terteinggi dan mutlak. Nilai religius bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia (Notonagoro dalam Kaelan, 2008: 89). Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tergolong nilai kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dengan kata lain : Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu di dalamnya terkandung pula nilai-nilai yang lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran (logis), nilai kebaikan (etis), nilai keindahan (aestetis), maupun nilal
religius. Hal ini dapat terlihat pada susunan sila-sila Pancasila yang sistematis hierarkhis, yang dimulai dari sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sampai dengan sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (Notonagoro dalam Kaelan, 2008: 90). Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Adapun manakala nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi norma hukum dan norma moral. Norma hukum yakni suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang bersumber dari Pancasila. Adapun norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia, yang dapat diukur dari sudut baik ataupun buruk, sopan ataupun tidak sopan, susila atau tidak susila. Kapasitas inilah Pancasila terjabarkan dalam suatu norma-norma moralitas atau norma-norma etika, sehingga Pancasila merupakan suatu sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila sebenarnya berasal dari bangsa Indonesia sendiri, atau dengan lain perkataan bangsa Indonesia sebagai asal mula materi (kausa materialis) nilai-nilai Pancasila. Jadi sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan pedoman yang langsung bersifat normatif atau praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma, baik norma hukum maupun norma moral dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan (Kaelan, 2002: 132-133).
Sebagai dasar filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem nilai, oleh karena itu pada hakikatnya sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan. Meskipun dalam setiap sila memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya, namun tetap merupakan satu kesatuan yang sistematis, oleh karena itu, meskipun diuraikan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila namun tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sila-sila yang lainnya (Kaelan, 2008: 79). Susunan sila-sila Pancasila adalah hierarkhis dan berebentuk piramidal, jabarannya sebagai berikut. 1. Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 2. Sila kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah diliputi dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang maha Esa adalah menjiwai sila-sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 3. Sila ketiga: Persatuan Indonesia adalah diliputi Ketuhanan Yang Maha Esa, diliputi oleh kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 4. Sila keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh kemanusiaan yang adil dan beradab, oleh
persatuan Indonesia, meliputi dan menjiwai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 5. Sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh kemanusiaan yang adil dan beradab, oleh persatuan Indonesia, dan oleh kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan (Notonagoro dalam Kaelan, 2002: 68-69).
Sila-sila Pancasila merupakan persatuan dan kesatuan: saling mengisi dan mengkualifikasi. Persatuan dan kesatuan semua sila dalam Pancasila dapat dirumuskan demikian, bahwa di dalam tiap sila tersimpul sila-sila yang lainnya, sehingga sebenarnya dan lengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa adalah ke -Tuhanan Yang Maha Esa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/ perwakilan dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab adalah yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Sila persatuan Indonesia adalah yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4.
Sila
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalain
permusyawaratan/perwakilan adalah yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia dan yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1997: 9-10).
D. Isi Arti Sila-sila Pancasila Inti nilai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan
dan
penyelenggaraan
negara,
moral
negara,
moral
penyelenggara negara, politik negara, pemerintahan negara, hukum dan peraturan perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (Kaelan, 2008: 79). Pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Notonagoro (1997: 81-84) menyatakan bahwa Tuhan itu wajib ditaklimi dan ditaati.
Ditaklimi,
yakni dengan
mempermuliakan
Tuhan,
memandang Tuhan
teragung,
terluhur,
tertinggi,
terbahagia. Ditaati, yakni patuh kepada Tuhan, setia (berteguh hati) kepada Tuhan, bertaqwa kepada Tuhan (merasa takut/ segan kepada Tuhan karena hormat/ cinta, dan oleh sebab itu hidup saleh). Bahwa bagi dan di dalam Negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal ke-Tuhanan, tidak boleh ada sikap dan perbuatan antike-Tuhanan, atau anti keagamaan, tidak boleh ada paksaan agama, dengan lain perkataan, di dalam Negara Indonesia seharusnya ada toleransi yang sejati. BerPancasila ada triprakara, yakni Pancasila negara, Pancasila adat-kebudayaan, dan Pancasila religius; ketiganya saling memperkuat, tidak ada pertentangan. Inti sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, secara sistematis didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta mendasari tiga sila berikutnya. Di dalamnya terkandung suatu nilai yang bersumber pada filsafat manusia bahwa hakikat manusia itu adalah makhluk monopluralis. Manusia itu satu, tetapi memiliki dimensi yang plural. Sila kedua ini juga mengandung makna bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Sila kedua ini memuat nilai-nilai moral dan tingkah laku yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, lingkungannya maupun Tuhannya. Selain itu, di dalam sila kedua ini dijunjung pula nilai keadilan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dalam mewujudkan potensi kemanusiaannya haruslah secara adil. Artinya, manusia dituntut untuk menjaga keseimbangan dirinya, keseimbangan antara hak dan kewajibannya baik terhadap diri sendiri, sesama, maupun Tuhannya. Apabila keseluruhan unsur dan potensi yang membentuk hakikat
kodrat manusia itu diaktualisasikan dalam kehidupan, maka manusia yang demikian itulah yang dapat disebut manusia yang beradab (Kaelan, 2008: 80). Dalam hubungannya dengan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Notonagoro menyatakan bahwa manusia pada hakikatnya bersifat majemuk-tunggal, atau mono-pluralis, yakni berkeragaan, berkejiwaan, berakal, berasa, berkehendak, berindividu, bermakhluk sosial, berpribadi berdiri sendiri dan bermakhluk Tuhan. Nilai kemanusiaan antara lain mengandung nilai kesadaran sebagai makhluk Tuhan, bersifat penghati-hati atau bijaksana, saling mengasihi antar sesama manusia, dan bersifat adil (Notonagoro, 1997: 95-100). Nilai yang terkandung di dalam sila Persatuan Indonesia tidak terpisah dengan keempat sila lainnya.
Di dalamnya terkandung makna bahwa negara
merupakan suatu persekutuan hidup bersama di antara elemen-elemen yang membentuk negara berupa suku, ras, kelompok atau golongan. Perbedaan adalah bawaan kodrat manusia. Konsekuensinya, negara Indonesia itu beraneka ragam elemennya tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan dengan semboyan Bhinneka Tinggal Ika. Perbedaan yang ada bukan untuk diruncingkan menjadi konflik, melainkan harus dipahami dan dimengerti
secara verstehen untuk
membangun kehidupan bangsa yang didasari oleh multi-kulturalisme guna mewujudkan tujuan bersama. Persatuan Indonesia juga mengandung nilai nasionalisme religius dan nasionalisme humanistik. Nasionalisme religius karena sila ketiga didasari oleh sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan
nasionalisme humanistik karena
nasionalisme Indonesia menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia di dunia
(sama derajatnya).. Hal itulah yang dikatakan Bung Karno bahwa nasionalisme bergandengan erat dengan internasionalisme (peri kemanusiaan). Nilai-nilai di dalam sila keempat ini dijiwai oleh sila pertama, kedua dan ketiga dan menjiwai sila kelima. Nilai kerakyatan mengandung makna bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi rakyat sebagai subjek pendukung pokok negara, rakyat adalah asal mula kekuasaan negara. Negara yang diidealkan adalah negara dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (demokrasi). Nilai-nilai demokrasi yang terkandung di dalam sila keempat ini adalah: -
adanya kebebasan disertai tanggung jawab baik terhadap manusia maupun Tuhan Yang Maha Esa
-
menjunjung harkat dan martabat kemanusiaan
-
menjamin dan memperkokoh persatuan dalam hidup bersama
-
mengakui perbedaan individu, kelompok, ras, suku, agama sebagai bawaan kodrat manusia
-
mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku dan agama
-
mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja sama kemanusiaan yang beradab
-
menjunjung tinggi asas musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang beradab.
-
Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial demi tercapai tujuan bersama. Nilai yang terkandung di dalam sila kelima, didasari keempat sila sebelumnya.
Nilai-nilai ini merupakan tujuan hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara. Nilai keadilan harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Nilai-
nilai keadilan di dalam sila kelima ini didasari oleh nilai keadilan kemanusiaan di dalam sila kedua. Keadilan sosial yang harus diwujudkan dalam hidup bersama itu meliputi: Keadilan distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara terhadap warga negaranya, dalam arti ini pihak negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak warga
negaranya
dalam bentuk membagikan dan memeratakan
kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan warga negara secara proporsional. Keadilan legal atau keadilan bertaat, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara. Warga negara mempunyai kewajiban untuk mewujudkan keadilan dengan cara mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara, seperti membayar pajak, mematuhi rambu lalu lintas, tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara yang satu dengan yang lain secara timbal balik. Warga negara yang satu mempunyai hubungan hak dan wajib dengan warga negara yang lain, seperti warga negara yang A bertetangga dengan warga negara B, maka keduanya tidak boleh saling mengambil hak seperti hak untuk tenang- tenteram tanpa diganggu, hak atas milik pribadi, dsb. (Kaelan, 2008: 79-84).
E. Kandungan Nilai-nilai dalam Sila-sila Pancasila
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka kandungan nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut.
a). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
(1) Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agamanya masing-masing menurut dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
(2) Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agamanya masing-masing menurut dasar Persatuan Indonesia
(3) Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agamanya masing-masing
menurut
dasar
Kerakyatan
yang
Dipimpin
oleh
Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
(4) Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agamanya masing-masing menurut dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia.
(5) Mengembangkan sikap hormat menghormati kemerdekaan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, hormat-menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama.
(6) Menghargai setiap bentuk ajaran agama, dan tidak boleh memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
(1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya menurut dasar Ketuhanan yang Maha Esa, yakni harkatr dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Memandang persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia menurut dasar Persatuan Indonesia, tanpa membedakan suku, agama, turunan dan kedudukan sosial.
(3) Memandang persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia menurut dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
(4) Memandang persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia menurut dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
(5) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tepa selira dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
(6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ikhlas melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan berani membela kebenaran dan keadilan.
(7) Menyadari mempunyai tanggung-jawab dan berkewajiban mengembangkan sikap hormat-/menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
c. Sila Persatuan Indonesia
(1) Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan menurit dasar Ketuhanan yang Maha Esa, menurut dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menurut dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan menurut dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
(2) Mencintai Tanah Air dan bangsa Indonesia, sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia.
(3) Mengembangkan rasa persatuan dan kesatuan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika dalam memajukan pergaulan hidup bersama sebagai warga negara
(4). Bangga sebagai bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia dalam rangka ikut menjaga dan memelihara ketertiban dunia.
d.
Sila
Kerakyatan
yang
Dipimpin
oleh
Hikmat
Kebijaksanaan
dalam
Permusyawaratan perwakilan.
(1) Menyadari kedudukannya sebagai warganegara dan warga-masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama, menurut dasar Ketuhanan yang Maha Esa, menurut dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menurut dasar Persatuan Indonesia, dan menurut dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
(2) Menghormati dan menjunjung tinggi tatacara permusyawaratan/ perwakilan, yang dilakukan dengan akal sehat dan hatinurani yang luhur, dengan mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, serta tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
(3) Keputusan yang diambil dari permusyawaratan/ perwakilan harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dasar Persatuan Indonesia, dan dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
(4) Menghormati dan menjunjung tinggi hasil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama yang berdasarkan hasil musyawarah yang diusahakan secara mufakat, diliputi oleh semangat kekeluargaan.
e. Sila Keadilan Soial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
(1) Menghormati dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menurut dasar Ketuhanan yang Maha Esa, menurut dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menurut dasar Persatuan Indonesia, dan menurut dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
(2) Bersikap adil terhadap sesama warga negara, sesama warga-masyarakat, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain
(3) Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap keadilan sosial dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan
(4) Memupuk sikap suka memberi pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan.
(5) Tidak menggunakan hak milik untuk perbuatan yang bertentangan dan merugikan kepentingan umum.
Sebagai sistem nilai, Pancasila memiliki kekuatan mengikat yang harus dipatuhi oleh seluruh Bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Wibisono
(1987: 38) bahwa Pancasila bukan sekedar kesepakatan politik saja, melainkan suatu komitmen filsafati yang mengandung ‘konsensus transenden’ yang menjajikan kesatuan dan persatuan sikap serta pandangan dalam menuju masa depan untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Pancasila sudah bukan alternatif lagi, melainkan suatu imperatif bagi Bangsa Indonesia.
BAB IV AJARAN MORAL DAN JENIS-JENIS AJARAN MORAL DALAM SERAT NITISRUTI A. Serat Nitisruti sebagai Bentuk Karya Sastra Jawa Serat Nitisruti merupakan karya sastra Jawa yakni berbahasa Jawa Baru atau bahasa Jawa Modern. Pada kenyataannya, sejarah sastra Jawa telah melalui tiga kebahasaan, yakni bahasa Jawa Kuna, bahasa Jawa Pertengahan dan bahasa Jawa Modern. Ketiga bahasa tersebut tentu memiliki ciri-ciri dan karakternya masingmasing. Menurut Zoetmulder (1983: 37), paling awal terdapat bukti dua karya tentang agama Islam yang berbahasa Jawa Modern yang dibawa oleh pelayaran Belanda dan dihadiahkan ke perpustakaan Universitas Leiden pada tahun 1597. Dua karya yang berbahasa Jawa Modern itu tentu saja ditulis sebelum tahun 1597, atau pada abad ke-16. Dengan demikian pada abad ke-16 sebenarnya sudah terdapat penggunaan bahasa Jawa Modern. Bahasa Jawa Modern antara lain mempunyai ciri dan karakteristik yang melekat pada penggunaan undha usuk basa atau tingkat tutur, yakni basa Krama dan basa Ngoko dengan berbagai variasinya. Penerapan undha-usuk dalam bentuk tembang macapat, seperti yang digunakan dalam Serat Nitisruti, diabaikan, artinya tembang macapat tidak menekankan penggunaan undha usuk sebagai muatan pembeda makna secara signifikan, oleh karena itu pada penelitian ini tidak akan dibahas lagi mengenai penggunaan tingkat tutur dalam Serat Nitisruti. Karya sastra Jawa secara umum dituliskan dalam tiga bentuk, yakni berbentuk prosa (gancaran), puisi (tembang ) dan drama (sandiwara). Jenis prosa
secara sederhana bercirikan penekanannya pada ceritaan atau narasi dengan bahasa yang berupa kalimat-kalimat formal. Adapun jenis puisi, secara sederhana bercirikan penekanannya pada diksi atau pilihan kata, dan disajikan dengan bahasa estetis yang biasanya tertulis dalam larik-larik Sedangkan jenis drama menekankan pada teknik lakuan dan dialog-dialog dalam pembabakan yang membentangkan alur. Serat Nitisruti ditulis dalam bentuk puisi yakni bentuk tembang macapat. Bentuk tembang macapat terikat oleh guru gatra, yakni jumlah baris tiap baitnya, guru wilangan, yakni jumlah suku kata pada masing-masing barisnya, dan guru lagu, yakni jatuhnya bunyi vokal di suku kata terakhir pada masing-masing baris. Serat Nitisruti terdiri atas 8 (delapan) pupuh tembang macapat, yakni tembang Dhandhanggula, Sinom, Asmaradana, Mijil, Durma, Pucung, Kinanthi, dan Megatruh. Masing-masing tembang tersebut aturan guru gatra, guru wilangan dan guru lagu-nya sebagai berikut. (bdk. Padmosoekotjo, tt: jld I: 23-24). Dhandhanggula: 10 gatra: 10 i, 10 a, 8 e, 7 u, 9 i, 7 a, 6 u, 8 a, 12 i, dan 7 a Sinom : 9 gatra: 8 a, 8 i, 8 a, 8 i, 7 i, 8 u, 7 a, 8 i, dan 12 a Asmaradana : 7 gatra : 8 i, 8 a, 8 e (o), 8 a, 7 a, 8 u, dan 8 a. Mijil : 6 gatra : 10 i, 6 o, 10 e, 10 i, 6 i, dan 6 u Durma : 7 gatra : 12 a, 7 i, 6 a, 7 a, 8 i, 5 a, dan 7 i Pucung : 5 gatra : 4 u, 8 u, 6 a, 8 i, dan 12 a. Kinanthi : 6 gatra : 8 u, 8 i, 8 a, 8 i, 8 a, dan 8 i Megatruh : 5 gatra : 12 u, 8 i, 8 u, 8 i dan 8 o Aturan yang ketat tersebut menuntut pemilihan kata tertentu untuk memenuhi setiap aturan, oleh karena itu, sering kali suatu kata harus diubah bentuknya sehingga menjadi sesuai dengan tuntutan aturannya. Sebagai contoh kata Mataram, bila
diperlukan empat suku kata karena tuntutan aturan guru wilangan, maka sering dituliskan dengan kata Ngeksi Ganda. Kata Mataram, bila diperlukan berakhir dengan vokal u, atau vokal i, karena tuntutan aturan guru lagu, maka akan dituliskan Matarum, Mentarum, Matawis, atau Mentawis. Kelompok kata seperti adigangadigung-adiguna, yang dalam konvensi peribahasa Jawa, tidak pernah dibalik, dalam tembang macapat dapat saja dibalik demi tuntutan aturan guru lagu, menjadi adigang-adiguna-adigung. Kata palagan (medan pertempuran) misalnya, dalam Serat Nitisruti, diubah menjadi palugon demi mendapatkan bunyi vokal /o/ pada akhir baris (guru lagu). Demikian pula halnya dengan kata pakewuh menjadi pakewoh, supaya (supaya) menjadi supadi, dan sebagainya. Kata liyan (orang lain) berubah menjadi lyan, kata paminta amba (permintaan saya) menjadi pamintamba, dan seterusnya demi mendapatkan jumlah suku kata secara tepat (guru wilangan). Sebenarnya di samping patokan-patokan di atas, tembang macapat juga sering memperhatikan aturan-aturan yang lain, yakni sebagai berikut. 1). Makna tiap baitnya sebaiknya telah bulat, satu kesatuan makna tertentu tidak terputus dan dimasukkan ke dalam bait berikutnya. 2). Jeda kalimat pada setiap baitnya (andhegan) hendaknya sesuai dengan jeda yang ada pada jenis lagu tembang yang bersangkutan. Jeda ini biasanya antara dua dan tiga baris. 3). Setiap baris hendaknya merupakan kalimat lengkap atau bagian kalimat yang dapat berdiri sendiri.
4). Penggalan baris (pedhotan) hendaknya jatuh pada akhir kata sehingga menghasilkan wirama kendho. Bila pedhotan-nya bukan akhir kata disebut wirama kenceng. 5). Sebaiknya memperhatikan persajakan, baik asonansi (purwakanthi swara) maupun aliterasi (purwakanthi sastra); atau purwakanthi lumaksita (suku kata atau kata terakhir bersajak dengan atau diulang pada kata atau suku kata awal pada bagian di belakangnya), baik sajak horizontal maupun vertikal. 6). Sebaiknya memperhatikan tradisi penulisan yang ada, seperti cara penulisan nama samaran pengarang (sandi asma), cara penulisan waktu (sengkalan), tradisi penulisan sasmitaning tembang, cara penulisan wangsalan dan sebagainya, yang sering disisipkan dalam bentuk tembang yasan (Bdk. Padmopuspito, 1989: 85). Pada kenyataannya, tradisi penulisan tembang macapat, karena identik dengan bentuk puisi, sering kali menyimpang dari aturan bentuk bahasa formal yang secara linguistis dapat dikategorikan memiliki susunan subjek, predikat, objek, dan seterusnya yang cenderung teratur. Tembang macapat sering kali mengabaikan keteraturan susunan formal tersebut. Pada Serat Nitisruti, hal tersebut misalnya tampak pada tembang Kinanthi pupuh VII, bait ke- 4 (KNT VII: 4) sebagai berikut. Bebas lir binesmeng latu Mangkya lampah kang kaping tri Ambege Bathara Surya Gung nununtun tyasing janmi Upamia ngisep toya Nadyan wanter ing pakarti (bebas seperti dibakar api adapun langkah (tabiat) yang ke tiga watak Batara Surya selalu menuntun hati manusia misalnya menghisap air walaupun cepat dalam kerjanya)
Berdasarkan konteksnya, baris pertama bebas lir binesmeng latu, merupakan bagian dari unit makna sebelumnya, adapun mulai baris ke dua merupakan unit makna yang lain karena membicarakan tentang masalah yang berbeda dari bagian atasnya. Hingga baris di akhir bait, yakni nadyan wanter ing pakarti, konteks pembicaraannya belum selesai, oleh karena itu dalam penelitian ini penentuan unitunit analisis juga akan mengabaikan susunan formal kebahasaan bahasa Jawa dan lebih mendasarkan pada konteks yang ada. Hal terakhir ini menjadikan pemenggalan unit-unit analisis teks dapat terjadi di antara baris-baris tertentu, bahkan boleh jadi dipenggal di tengah baris tertentu. Disamping hal-hal di atas, bentuk tembang macapat masing-masing memiliki watak tertentu, artinya setiap jenis tembang macapat dipakai untuk menyampaikan maksud tertentu sesuai dengan watak tembang yang bersangkutan (Endraswara, 2010: 12-13), namun demikian, pada kenyataannya hal tersebut tidak selalu diikuti oleh penulis-penulis tembang.
Walaupun banyak pujangga dan pengarang yang
menguasai teori perwatakan tembang tersebut, namun pada realitanya, tidak setiap karya sastra yang berbentuk tembang setia memperhatikan dan mengikuti pola perwatakan tembang tersebut. Hal ini antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut. 1. Bait-bait tembang yang tergabung menjadi satu dan disebut pupuh, sering kali tidak dapat luwes untuk selalu mengikuti perkembangan latar cerita atau suasana batin cerita (watak). Satu pupuh sering berisi cerita yang berlatar suasana yang bermacam-macam secara berganti-ganti. Dapat saja hanya dalam beberapa bait saja, latar suasana dalam cerita telah berganti, sementara pupuhnya belum berganti.
2. Hal di atas bermula pada unit atau kesatuan bait (pada) tembang. Sering kali pergantian latar suasana terjadi di antara baris-baris tembang yang ada dalam suatu bait tembang tertentu. Dengan demikian tidak mungkin kesatuan bait tersebut dipenggal dalam baris-baris yang belum selesai menurut aturan guru gatra-nya. Hal ini jelas berbeda sekali bila dibandingkan dengan jenis puisi bebas, apalagi dengan jenis prosa. Puisi Jawa modern yang disebut geguritan, bait-baitnya tidak terikat oleh jumlah barisnya, bahkan sering kali hanya terdiri atas satu baris dengan satu atau dua kata saja. Dengan demikian pergantian suasana kejiwaannya lebih bebas, dapat berganti-ganti setiap saat. Jauh lebih bebas lagi, ialah pada jenis prosa yang dapat mendeskripsikan secara detail perkembangan suasana kejiwaan pada cerita yang disuguhkan. Bila dicermati lebih jauh, agaknya teori tentang watak tembang menurut jenis tembang-nya tersebut semata-mata merupakan watak dasar saja, dan perlu ditinjau kembali, mengingat adanya berbagai cengkok atau lagu pada setiap jenis tembang. Kiranya akan lebih tepat bila watak tembang itu ditinjau dari jenis lagu atau cengkok-nya, karena setiap cengkok tembang membawakan rasa alunan lagunya masing-masing yang tentu saja juga menyuguhkan sifat atau wataknya masingmasing yang berbeda-beda (Widayat, 2004: 21) . Kenyataan tersebut sesuai dengan, unit-unit makna yang ada pada Serat Nitisruti, oleh karena itu dalam penelitian ini tentang watak tembang juga tidak akan dibahas lebih lanjut.
B. Ajaran-ajaran Moral dalam Serat Nitisruti Konsep-konsep moral dalam Serat Nitisruti secara umum tersirat dalam tujuan penulisan Serat Nitisruti, kemudian dijabarkan dalam uraian-uraian di
dalamnya pada unit-unit yang tidak secara sistematis, namun masih dapat dilacak kesatuan-kesatuan maknanya. 1. Tujuan penulisan Serat Nitisruti sebagai berikut. a). Pada bagian awal dinyatakan bahwa maksud penulisan Serat Nitisruti adalah dengan mengambil contoh ajaran masa lalu yang sepantasnya dan dicari yang sesuai dengan jamannya, seperti kutipan berikut. pinetan kang pakantuk, lan jamaking jaman samangke (DG I: 1:4-5) (dicari yang sesuai dengan yang wajar terjadi pada jaman sekarang) b). Serat Nitisruti juga dimaksudkan agar berbeda dengan ajaran di masa lalu yang terlalu menekankan ajaran tentang setelah kematian, Serat Nitisruti mengupayakan juga keselamatan duniawi, seperti kutipan berikut. binudi mrih widagda, widada ing kadunyan supadi, bangkit dadya ruhuring darajad (DG I: 1: 10, 2: 1-2). (diupayakan agar selamat, selamat duniawi agar bangkit menjadi keluhuran derajadnya)
c). Serat Nitisruti mengajarkan keselamatan dunia dan melalui perhatian terhadap keadaan orang lain, seperti kutipan berikut. mung raharjengrat ketung, myang nenitiya neningali, saulah bawaning lyan (DG I: 5: 4-6) (hanya keselamatan dunia yang dibicarakan, dan meneliti mengingat-ingat, semua gerak-gerik orang lain) Berdasarkan kutipan di atas, tampak bahwa tujuan penulisan Serat Nitisruti adalah mengambil contoh ajaran masa lalu yang sepantasnya dan dicari yang sesuai dengan jamannya, Serat Nitisruti berbeda dengan ajaran di masa lalu yang terlalu menekankan ajaran tentang setelah kematian dan Serat Nitisruti lebih mengajarkan keselamatan dunia melalui perhatian terhadap keadaan orang lain. Jadi Serat Nitisruti tidak hanya menekankan ajaran tentang manusia setelah mati, tapi lebih
menekankan yang berhubungan dengan keselamatan dunia, melalui perhatiannya terhadap orang lain.
2. Jabaran konsep-konsep moral dalam Serat Nitisruti, adalah bahwa manusia sebaiknya melakukan hal-hal yang baik, yakni sebagai berikut. a) Orang harus mencontoh para pendeta yang berhasil. (1). Mencontoh pendeta yang berhasil, yakni pendeta yang hatinya seperti pohon cendana selalu berbau harum, tabiatnya menyimpan pengetahuan dan dalam hatinya selalu memberi derma kepada orang banyak. Hatinya suci dan ikhlas, adil harum namanya, serta berbudi baik dan bijaksana. Hal ini tampak diajarkan dengan menggunakan kiasan kayu cendana yang harum. (2). Mencontoh pendeta yang memahami kedudukan manusia dengan Tuhannya agar sesuai dengan kodrat/ kesejatiannya, yakni mulia dan sempurna. (3). Dinyatakan bahwa yang selalu dapat menyatu berada dalam kemuliaan-Nya itu tidak terbuka pada manusia yang tanpa pengetahuan, yang bodoh, sehingga yang bodoh tidak berbudi harus rajin mencari teladan dengan berguru pada para pendeta yang berhasil tersebut. b) Orang yang mengolah ilmu, hendaknya memiliki 6 (enam hal) sebagai berikut. (1). Harus bersungguh-sungguh dan serba baik ucapannya, bersabar dengan baik. (2). Harus mengolah perhitungan (deduga) yakni memperhatikan perbuatan yang tidak baik yang (sering) bercampur dengan kebenaran. (3).
Harus
mengolah
pertimbangan
(wetara/
wetawis),
mempertimbangkan, mencari yang sesuai dengan tujuan.
yakni
sikap
(4). Harus menerapkan pamrayoga, yakni mempertimbangkan pelaksanaan terbaiknya dengan sabar jangan terburu-buru. (5) Ada tiga hal kebaikan dalam mengolah ilmu, yakni (a) sanggup mati, (b) mematikan nafsu, dan (c) menekan kebutuhan badaniah. (6) Harus dapat menyesuaikan keadaan menyikapi pembicaraan, tahu segala pembicaraan, sempurna dalam berhubungan, mengerti hal yang kasar dan halus, semua keadaan dunia gerak-geriknya dikuasai, menguasai semua keilmuan, selalu mencari kasih sayang orang seluruh negeri, selalu mengusahakan kesejahteraan dunia dengan mengasihi sesama manusia. c) Manusia harus memiliki kepandaian, jadi tidak mudah heran dan dapat bersikap pura-pura (bodoh). Jangan mudah heran karena inti dari semua ilmu adalah sampai memasuki rasanya. Bila orang berilmu sudah sampai pada rasanya, menjadi cerdas (tahu) dan sikap pura-puranya tidak tampak. d) Bila berbicara dalam hal keilmuan, orang harus dapat menguasai pembicaraan, dengan memperhitungkan, mempertimbangkan, dan mengarahkan sikap dan ucapan, sehingga (pembicaraan) berkembang dengan hati-hati. e) Orang yang sangat pandai, hatinya melihat dengan terang pada kepandaian, tapi tidak kelihatan oleh orang lain. Tidak kelihatan tetapi menghimpun berbagai keilmuan, oleh karena itu orang harus tidak menonjolkan diri harus secara diam-diam mencari ilmu rasa dengan patokan berlaku manis dan berlaku halus. f). Orang harus tidak menyombongkan keberanian
g) Agar mencontoh (cerita) Patih Kojajajahan dan raja di Mesir yang baik dan hal ketenangan matanya (air mukanya), berbicara manis tetapi tidak mau dikatakan bijaksana. h) Jangan mengharapkan sesuatu melebihi yang semestinya. i) Ajaran tentang tiga tingkatan tabiat manusia, yakni nista (nista) -madya (sedang)utama (utama). Dinyatakan bahwa yang utama adalah orang yang berhati baik (sujana di), yang madya adalah para saudagar, dan yang nista adalah para durjana. j) Ajaran bagi orang yang mengabdi negara, khususnya yang mengabdi pada raja. k) Orang yang berwatak paling luhur adalah orang yang membuat enak hati semua makhluk Tuhan, tidak membeda-bedakan, bersikap mengasihi dan memelihara orang jompo, anak yatim, dan fakir miskin. Mengampuni orang yang bersalah, mengusahakan kasih sayang pada orang di seluruh negara. l) Dinyatakan bahwa yang membuat gara-gara besar di Jaman Sangara, bukan tingkah dunia, sesungguhnya hanya tingkah manusia yang mengaku berpengetahuan
(kebenaran),
mereka
menggunakan
perisai,
penutup
bermacam-macam, menyusup di berbagai hal, berbicara seolah tahu (berpengetahuan), seolah paling pandai dengan sok kuasa, membeberkan ajaran mengaku pandai dan bijaksana, angkuh seakan mengayomi pada yang miskin menderita, namun kenyaannya tidak benar. m) Orang hidup ini lebih baik mengancangkan agar cukup, dengan diawali rajin, telaten untuk bertanya dan meneladani (yang benar) hingga akhirnya menjadi manusia utama, dan berusahalah agar berbudi halus, berbicara dengan manis, hati jangan terlena bersuka-suka.
n) Bagi pemimpin hendaknya mengikuti ajaran Asthabrata. o) Manusia hendaknya memulai menyayangi segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya, sebagai dasar agar dapat menyayangi sesama manusia, dapat menerima kekurangan orang lain. Jabaran konsep-konsep moral dalam Serat Nitisruti tersebut akan dijelaskan lagi dalam rangka membahas tentang jenis-jenis ajaran moral dan bagian hubungannya dengan nilai-nilai Pancasila.
C. Jenis-jenis Ajaran Moral yang Dimuat dalam Serat Nitisruti Serat Nitisruti berisi jenis-jenis ajaran moral yang berhubungan dengan : 1. Hubungan manusia dengan Tuhannya 2. Hubungan manusia dengan sesama manusia 3. Hubungan manusia dengan alam sekitarnya Ketiga jenis ajaran moral tersebut tersebar secara tidak sistematis. Jenis ajaran yang ditekankan, seperti disebutkan pada tujuan ditulisnya Serat Nitisruti di atas, adalah ajaran hubungan manusia dengan sesamanya, namun demikian, juga diikuti ajaran hubungan manusia dengan Tuhannya. Ajaran tentang hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidak banyak dikemukakan dalam Serat Nitisruti, namun dinyatakan dengan sangat jelas.
1. Ajaran Moral yang Menyangkut Hubungan Manusia dengan Tuhannya Ajaran moral yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, terdapat pada ajaran-ajaran sebagai berikut.
(1) Ajaran agar mencontoh pendeta yang memahami kedudukan manusia dengan Tuhannya agar sesuai atau menyatu dengan kodrat/ kesejatiannya, yakni mulia dan sempurna, seperti kutipan berikut. dening sampun waspada, dununging panebut, atanapi kang sinembah, dadi gambuh ngambah ing kaanan jati, jati mulyeng kasidan (DG I: 11: 6-10). (karena sudah mengetahui betul akan kedudukannya dan Yang Maha Kuasa atau Yang Disembah, sehingga menyatu menyelami keadaan kesejatiannya, yakni mulia dan sempurna) Untuk menjadi mulia dan sempurna tersebut, manusia harus berpengetahuan (tidak bodoh), oleh karenanya harus belajar atau berguru pada pendeta yang telah berhasil, seperti kutipan berikut. Rarasing kang mangkana sayekti, tan kabuka neng manahing janma kang tanpa pangawikane, muwah kang mudha punggung, bodho bundhu datanpa budi, marmanira kumedah tyas talaten atul, met tuladha puruhita maring para pandhita putusing jati (DG I: 12: 1-9) (Kenikmatan yang demikian kenyataannya, tidak terbuka pada hati manusia yang tanpa pengetahuan, dan yang bodoh sekali, bodoh bebal tanpa budi, oleh karena itu harus sangat rajin mencari teladan berguru pada para pendeta yang berhasil). Hal menyatu dengan kodratnya / kesejatiannya diajarkan bahwa manusia yang sempurna (menyatu dengan kodratnya) dapat menyatu dengan Tuhannya, hingga hilang batas kemanusiaannya dan ke-Tuhan-annya, seperti kutipan berikut. Babarane jumbuh, ning wening tan kawoworan, ing satemah pan wus keni den wastani, syuh sirna manungsanya, tetelane kang mangkono yekti, wus tan ana Gusti lan kawula (DG I: 13: 7-10, 14: 1-2) (keadaannya menyatu, jernih sekali tidak tercampuri (kekotoran), sehingga sudah dapat disebut, hilang sirna kemanusiaannya, sesungguhnya yang demikian itu sudah tidak ada lagi (batas) Tuhan dengan manusia)
(2) Manusia hendaknya tidak lupa diri dan harus ingat dari mana asalnya, yakni dari Tuhan. Hal ini diajarkan dengan contoh watak yang nista yakni watak manusia yang
hanya melihat harta benda hingga lupa diri tidak ingat Tuhannya. Orang yang demikian tidak akah mendapat keselamatan, seperti kutipan berikut. Tan ana kang kasatmata, kajaba mung emas picis, lali mring Pangeranira, janma kang mangkana yekti, cilaka dunya ngakir, yen rusak tan antuk tulung, wit duk katunggon dunya, karem nyikara sung runtik, mring Hyang Suksma lali tanpa pangastawa (SNM II: 18: 1-9). (tidak ada yang dilihatnya kecuali hanya emas dan uang, lupa pada Tuhannya. Orang yang demikian pasti celaka dunia-akhirat, bila celaka tidak mendapat pertolongan, karena ketika masih kaya, senang menyakiti dan memarahi orang, kepada Tuhan lupa tidak mendapat keselamatan)
(3) Manusia hendaknya taat beragama seperti yang dicontohkan sebagai pendeta yang utama, yakni pendeta yang selalu mengekang nafsu duniawinya, lahir-batin taat dalam beragama, maka ia akan mendapat keselamatan dari Tuhan, seperti kutipan berikut. katon tapa bratanya, atata jin dhahar guling, myang sumingkir ing karamen kakareman. Awit laku kang mangkana, ngluwihi kang aprang sabil, sabalane kang angrusak. angrusuhi ing agami, mangkana kang utami, sayogya ingkang misuwur, sumawur wartanira, suka nawurken wawangi, prapteng wuri martani suta sewaya. Samya sumanggem agama, ageming Nabi sinelir, Muhammadinil Mustapa, aterus ing lair-batin, wit yen tan trusing batin, batal tan bangkit tumimbul, krana sampurnanira, pangastuti ing Hyang Widdhi, nora kena rinerangan rewa-rewa (SNM II: 21: 7-9, 22: 1-9, 23: 1-9) (tampak menjalankan bertapa, dalam hal makan dan tidur bagaikan jin, menghindari keramaian dan kesukaan (duniawi), karena kehidupan yang demikian melebihi perang sabil pada kelompok yang merusak agama, itulah yang utama, sebaiknya yang terkenal tersebar beritanya, suka menebarkan keharuman (kebaikan), sampai ke belakang (ke masyarakat) merata ke anakcucu, pada taat beragama, yang diajarkan nabi Muhammadinil Mustafa, hingga lahir-batin, karena bila tidak lahir-batin, batal tidak diluhurkan, karena kesempurnaan keselamatan Tuhan tidak boleh tertutupi oleh ketidakjujuran)
(4) Orang yang mampu mengekang hawa nafsu tetapi tujuannya hanya suka mendapat pujian dari orang lain akan masuk neraka. Hal ini diajarkan melalui contoh pendeta yang nista, yakni pendeta yang mengekang nafsu duniawinya, namun
hanya karena suka mendapat pujian orang lain. Pendeta itu tidak akan mendapatkan surga, bahkan masuk neraka, ia tidak diterima Tuhan, seperti kutipan berikut. nanging lamun kalimput sihing atapa, lire bungah ingalema, betah luwe matiragi, iku tan antuk suwarga, malah naraka pinanggih, pujinira sirna nis, brastha tiwas ambaluwus, wekasan tanpa tuwas, sedyanira nora dadi, ing satemah susah manggung anggaresah, tan katrima ing Hyang Sukma (SNM II: 24: 9, 25: 1-9, 26: 1) (tetapi kalau pertapa terbuai oleh rasa dikasihi karena suka dipuji (orang lain) dalam hal kuat bertapa, itu tidak mendapatkan surga, malah menemui neraka, segala pujiannya hilang musnah tak berarti, akhirnya celaka, tujuannya tidak tercapai, sehingga susah selalu resah, tidak diterima oleh Tuhan).
(5) Orang hendaknya dapat mengetahui kehendak Tuhan seperti orang yang bersamadi hingga mengetahui kehendak Tuhan merupakan contoh tindakan yang baik sehingga diajarkan bagi orang yang hendak mengabdi bagi raja, seperti kutipan berikut.
nadyan ta wus wasis, saniskareng kawruh. durung tamtu katarimeng gusti, yen sira durung wroh, ing sakarsa-karsaning Pamase, lir manekung amesu samadi, den kongsi udani, Dating Hyang Mahaagung. Kongsi prapteng wekasane kaeksi, karsaning Hyang Manon, pindha carma ingukir bineber, munggwing kelir den kongsi udani, sasolahing ringgit, aywa sah dinulu (MJL IV: 6: 5-6, 7: 1-6, 8: 1-6). (walau telah pandai pada berbagai ilmu pengetahuan, belum tentu diterima oleh raja, bila kamu belum tahu pada berbagai kehendak raja, bagaikan dalam berprihatin bersamadi harus sampai tahu Dat Tuhan Yang Maha Agung, hingga akhirnya tahu kehendak Tuhan Yang Maha Melihat itu, bagaikan belulang yang diukir (wayang) dipentaskan pada kelir, harus sampai tahu segala gerak wayang jangan sampai terputus melihatnya) Kutipan di atas pada kata gusti diterjemahkan menjadi ’raja’, karena konteksnya mengabdi pada raja, namun demikian mengabdi pada raja juga diibaratkan ketika orang mengabdi (beribadah) pada Tuhan, yakni orang yang sedang bersamadi.
(6) Manusia harus mengetahui asal mula hidup dan sadar bahwa hidup di dunia ini tidak lama dan akan mati, sehingga harus selalu menyembah pada Sang Gaib, seperti pada kutipan berikut. bangkita sapraja sami, mamrih kawruh kasunyatan, wruh purwaning dumadi, ywa katungkul suka-suka, neng nuspada tan lami. Ing satemah sirna lampus, maranta yen tan pinikir, marmanta sanghyang Kuwera, tansah prihatos ing kapti, saari-ari tan kendhat, anggusti kang sarwa gaib (KNT VII: 14: 2-6, 15: 1-6, 16: 1-6). agar seluruh negara mendapatkan pengetahuan kenyataan yakni tahu awal mula hidup, jangan mementingkan bersuka-suka karna di dunia tidak lama, akhirnya akan mati, bagaimana bila tak dipikirkan, oleh karena itu, Sang Hyang Kuwera selalu berprihatin, setiap hati tak henti, menyembah Tuhan Yang Gaib)
2. Ajaran Moral yang Menyangkut Hubungan Manusia dengan Sesamanya Ajaran moral yang menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya merupakan ajaran moral yang ditekankan dalam Serat Nitisruti. Hal ini, seperti yang tercantum dalam tujuan penulisan Serat Nitisruti, yakni mengajarkan keselamatan dunia melalui perhatian terhadap keadaan orang lain, seperti kutipan berikut. mung raharjengrat ketung, myang nenitiya neningali, saulah bawaning lyan (DG I: 5: 5-6) (hanya keselamatan dunia yang dibicarakan, dan meneliti mengingat-ingat, semua gerak-gerik orang lain). Ajaran moral yang menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya, menyangkut manusia secara umum, dan yang secara khusus bagi orang yang mengabdi pada raja dan bagi para pemimpin (raja). a. Ajaran yang menyangkut manusia pada umumnya 1). Agar mencontoh para pendeta yang berhasil, yakni pendeta yang hatinya seperti pohon cendana selalu berbau harum, tabiatnya menyimpan pengetahuan dan dalam
hatinya selalu memberi derma kepada orang banyak. Hatinya suci dan ikhlas, adil serta berbudi baik dan bijaksana. Hal ini seperti dituliskan sebagai berikut. para pandhita putus, tyasnya pindha candhana adi, senajan tinegora, pinecela muhung, asung ganda marbuk ngambar (DG I: 8: 5-8). Gilutane anggelung pangawrin, myang jroning tyas tan pegat tumedah asung kadarman ring akeh (DG I: 9: 1-3). Tyasnya suci legawa, paramarta arum, berbudi bawa leksana (DG I: 9: 6-8). (para pendeta yang berhasil, hatinya bagai cendana yang baik, meskipun ditebang, dibelah-belah, namun hanya memberikan bau yang harum merebak. Tabiatnya menyimpan pengetahuan, dan dalam hatinya selalu memberi derma kepada orang banyak. Hatinya suci dan ikhlas, adil harum namanya, serta berbudi baik dan bijaksana). Ajaran ini menggunakan perumpamaan, yakni kayu cendana, meskipun ditebang dan dibelah-belah namun tetap memberikan bau harum. Jadi diajarkan agar manusia selalu berhati baik memberikan kebaikan kepada orang lain, meskipun harus menerima akibat buruk.
2). Orang yang mengolah ilmu, hendaknya memiliki 6 (enam hal), sebagai berikut. (a). Harus bersungguh-sungguh dan serba baik ucapannya, bersabar dengan baik, seperti kutipan berikut. Pirantine wong angulah ngelmi, kang kariyin temen tan kumedhap, sarwa manis wicarane, asemu arereh arum (DG I: 17: 1-4). (Sarana orang mencari ilmu, pertama harus bersungguh-sungguh tidak lalai, harus berbicara manis, bersikap sabar dengan baik)
(b). Harus mengolah perhitungan (deduga) yakni memperhatikan perbuatan yang tidak baik yang (sering) bercampur dengan kebenaran, seperti kutipan berikut. kaping kalih ulahing dudugi, neniteni ulah kang tan yogya, winor lan ulah kayekten (DG I : 18: 1-2) (yang kedua, mengolah perhitungan, memperhatikan perbuatan yang tidak baik yang (sering) bercampur dengan kebenaran).
(c).
Harus
mengolah
pertimbangan
(wetara/
wetawis),
yakni
sikap
mempertimbangkan, mencari yang sesuai dengan yang dituju, seperti kutipan berikut. dene ping tiganipun, kang winastan ulah watawis, iku ulah timbangan, angon kang panuju (DG I: 19: 4-7) (adapun yang ke tiga, yang disebut mengolah pertimbangan, yakni sikap mempertimbangkan, mencari yang sesuai dengan yang dituju).
(d). Harus menerapkan pamrayoga, yakni mempertimbangkan pelaksanaan terbaiknya dari watara dan deduga hingga pelaksanaannya, dengan sabar jangan terburu-buru, seperti kutipan berikut. Ping sekawan traping pamrayogi, animbangi patraping watara, duga-duga prayogane, kalawan tibanipun, tumanduking karsanireki, kinira aywa ngantya, amasmu kesusu (DG I: 20: 1-7). (yang ke empat pelaksanaan ke arah yang terbaik, mempertimbangkan pelaksanaan watara (pertimbangan) dan duga-duga (perhitungan) dan pelaksanaan prayoga (terbaiknya), pada realitanya penerapan kehendakmu, dikira-kira jangan terburu-buru)
Pada ajaran di atas terdapat ajaran deduga, watara, lan prayoga, atau dalam bentuk lain deduga, reringa, lan prayoga, yang pada intinya mengajarkan untuk selalu berhati-hati dengan mempertimbangkan baik dan buruknya, lalu mengambil yang terbaik dipertimbangkan sesuai dengan kepentingannya.
(e) Ada tiga hal kebaikan dalam mengolah ilmu, yakni (a) sanggup mati, (b) mematikan nafsu, dan (c) menekan kebutuhan badaniah, seperti kutipan berikut. dene ping limanipun, kapurunan telung prakawis, dhingin sebaya pejah, ro mateni kayun, katelu anglugas raga (DG I: 21: 4-8). (adapun yang ke lima, kemauan pada tiga hal, yakni pertama sanggup hingga mati, ke dua mematikan keinginan (yang lain), ketiga menekan kebutuhan badaniah atau nafsu)
Pada ajaran ini dinyatakan bahwa pada intinya, orang harus berani tidak malas, sanggup pada segala pekerjaan meskipun harus ditempuh hingga kematian, seperti kutipan berikut. Ringkesane mung tekading kapti, kudu saguh gagah nora wegah, sumanggem sabarang gawe, nadyan tekeng pekewuh (DG I: 22: 1-3) (Ringkasnya hanya tekad kehendak, harus sanggup berani tidak malas, sanggup pada segala pekerjaan meskipun harus sampai mati) (f) Harus dapat menyesuaikan keadaan menyikapi pembicaraan, tahu segala pembicaraan, sempurna dalam berhubungan, mengerti hal yang kasar dan halus, semua keadaan dunia gerak-geriknya dikuasai, menguasai semua keilmuan, selalu mencari kasih sayang orang seluruh negeri, selalu mengusahakan kesejahteraan dunia dengan mengasihi sesama manusia, seperti kutipan berikut.
Kaping nenem kang luwih sayogi, bisa nganan anuntagi basa, wruh sakehing basa kabeh, bangkit ambengkas nambung, lan manuksma ing agal alit, saulahbawaning rat, saosik kawengku, amiguna ingaguna, bangkit mamrih sihing janma sanagari, tansah mrih arjaning rat, Talesing tyas asih ing sesami (DG I: 23: 1-10, 24: 1) (Yang ke-enam yang lebih baik, dapat menyesuaikan keadaan menyikapi pembicaraan, tahu segala pembicaraan, sempurna dalam berhubungan, mengerti hal yang kasar dan halus, semua keadaan dunia gerak-geriknya dikuasai, menguasai semua keilmuan, selalu mencari kasih sayang orang seluruh negeri, selalu mengusahakan kesejahteraan dunia, pada dasar hatinya harus mengasihi sesama manusia)
Berdasarkan kutipan di atas, ajaran bagi orang yang mengolah ilmu dapatlah dirangkum sebagai berikut. Kutipan wong angulah ngelmi (orang mengolah ilmu), tentu dapat dimaknai orang yang mencari, mendapatkan hingga mengamalkan ilmunya. Tidak dijelaskan jenis ilmu yang dibicarakan, namun berdasarkan tujuan penulisan Serat Nitisruti, ilmu yang dimaksud adalah segala ilmu yang baik bagi manusia dalam hubungannya dengan sesamanya, dan hubungannya dengan Tuhan;
ada enam hal. Pertama, kutipan temen tan kumedhap dapat dimaknai bersungguhsungguh tidak lalai, artinya harus selalu berkonsentrasi, dan harus selalu berbicara manis, bersikap sabar dengan baik. Kedua, mengolah perhitungan (deduga), yakni dengan cara memperhatikan perbuatan yang tidak baik yang bercampur dengan kebenaran.
Ketiga,
mengolah
pertimbangan
(ulah
watara),
yakni
sikap
mempertimbangkan, mencari yang sesuai dengan tujuannya. Keempat, pelaksanaan ke arah yang terbaik (prayoga), yakni dengan jalan sabar tidak terburu-buru. Kelima, ada tiga hal kebaikan dalam mengolah ilmu, yakni (a) sanggup meskipun harus sampai mati, (b) mematikan atau menekan keinginan yang lainnya, dan (c) menekan kebutuhan badaniah atau nafsu badaniah. Keenam harus dapat menyesuaikan keadaan menyikapi pembicaraan, tahu segala pembicaraan, sempurna dalam berhubungan, mengerti hal yang kasar dan halus, semua keadaan dunia gerakgeriknya dikuasai, menguasai semua keilmuan, selalu mencari kasih sayang orang seluruh negeri, selalu mengusahakan kesejahteraan dunia dengan mengasihi sesama manusia.
3) Orang harus memiliki kepandaian, jadi tidak mudah heran dan dapat bersikap pura-pura (bodoh). Jangan mudah heran karena inti dari semua ilmu adalah sampai memasuki rasanya. Bila orang berilmu sudah sampai pada rasanya, menjadi cerdas (tahu) dan sikap pura-puranya tidak tampak. Hal ini diungkapkan sebagai berikut. myang den bisa mot ing kapinteran, ywa kaduk gumunan reke, den bisa angon semu, lamun kaduk gumunan yekti kawruhe kalong-longan, kaelangan parlu, de kang mangka prananira, salwir kawruh tarlen saking sarwa bangkit, angrasuk sarasanya, dadya tajem semune tan keksi. (DG I: 24: 210, 25: 1) (dan harus bisa memiliki kepandaian, jadi tidak mudah heran, dan harus bisa berpura-pura, kalau mudah heran pasti pengetahuannya seperti berkurang,
kehilangan kepentingannya yakni yang menjadi inti semua ilmu adalah sampai memasuki rasanya, menjadi cerdas sehingga sikap purapuranya tidak tampak)
4) Bila berbicara dalam hal keilmuan, harus dapat menguasai pembicaraan, dengan memperhitungkan, mempertimbangkan, dan mengarahkan sikap dan ucapan, sehingga (pembicaraan) berkembang dengan hati-hati, seperti kutipan berikut. Marma lamun micareng pangawrin, den abisa sasap ing wacana, amamriha prayogane, lan winatareng tanduk, tumindaking dugi prayogi, winoran ringa-ringa, pangarahing wuwus, upama urubing damar, maramene anggaremet mikenani, jroning nala kapranan (DG I: 26). (Oleh karena itu bila membicarakan keilmuan, harus dapat menguasai pembicaraan, usahakan dengan yang terbaik (prayogane), dan memperhitungkan (winatareng) sikap, terlaksananya pertimbangan terbaik (dugi prayogi), disertai hati-hati (ringa-ringa) pada arah pembicaraan, seumpama nyala api, berkembang dengan menjalar pelan dan mengena, sehingga dalam hati (yang diajak bicara) senang. Pada kutipan di atas, menggunakan pepatah deduga, reringa, prayoga, yang telah dijelaskan di bagian atas. Kata ringa-ringa secara umum berarti ragu-ragu, namun dalam konteks di atas berarti hati-hati.
5) Orang yang sangat pandai, hatinya melihat dengan terang pada kepandaian, tapi tidak kelihatan oleh orang lain. Tidak kelihatan tetapi menghimpun berbagai keilmuan, oleh karena itu orang harus tidak menonjolkan diri harus secara diam-diam mencari ilmu rasa dengan patokan berlaku manis dan berlaku halus. Hal itu diangkapkan sebagai berikut. Wit putusing sujana linuwih, waskitheng tyas mawas kawasisan, tan kawistara semune, samun nanging mangimpun, animpuni kagunan sami, marma ywa kawistara, ing pamawasipun, den samar met moring rahsa, rarasing reh den amanis masmu aris (DG I: 27: 1-9) (Karena keberhasilan orang yang sangat pandai itu hatinya melihat dengan terang pada kepandaian, sikapnya tidak kelihatan, tidak kelihatan
tetapi menghimpun, menghimpun berbagai keilmuan, oleh karena itu janganlah tampak (menonjolkan diri) dalam melihat atu mencari ilmu rasa, patokan yang baik adalah berlaku manis dan halus)
6). Orang harus tidak menyombongkan keberanian, seperti kutipan berikut. ewa samono lamun, ungas sanget amingis-mingis, pinintonken sakala, kalane kawuwus, kawanteren umuk ombag, iku bakal kinira wong kurang wani, batal kuwanenira (DG I: 28: 4-10) (Namun demikian bila sangat sombong, diperlihatkan seketika ketika berbicara, terlalu menyombongkan diri, itu akan dikira orang yang kurang keberanian, batallah keberaniannya)
7) Agar mencontoh (cerita) Patih Kojajajahan dan raja di Mesir yang baik dan hal ketenangan matanya (air mukanya), berbicara manis tetapi tidak mau dikatakan bijaksana, seperti kutipan berikut. caritane kyana patih, ri sang Koja jajahan lan sri Narendra, Nata ing Mesir nagara, tataning pra sujana di, kang binabar dadi wulang, karya sudarsana sidi, maring wong sanagari, menggah kajatmikanipun, muwah antenging netya, manising wacana luwih, mrih ywa nganti ingaranan wicaksana (SNM II: 3: 8-9, 4: 1-9). (cerita Patih Kojajajahan dan raja di negara Mesir, teladan para orang baik yang diceritakan menjadi pelajaran sebagai teladan sempurna, kepada orang senegara, tentang kebaikannya, dan ketenangan matanya, kelebihannya berbicara manis, agar jangan sampai disebut bijaksana)
8) Jangan mengharapkan sesuatu melebihi yang semestinya. Hal ini dinyatakan sebagai berikut. Dene cacading panindak, anandukken pamatawis, iku yen mawa pangangkah, angongkang marang tan yukti, saking tan den wikani, bubukaning kang pakantuk, wit saking wuwusira, kongas-kengis sarwa wasis, para tama kalimput landheping sabda. Ing satemah ngayawara, warahe tan migunani, wit saking kurang wiweka, amengku mring liyan janmi, saking kurang pamikir, kang ora-ora ginayuh, (SNM II: 5: 1-9 - 6: 16) ( Adapun tindakan yang tercela, mengancangkan perkiraan itu bila dengan keinginan berlebih menjangkau pada sesuatu yang tidak realistis, karena tidak mengerti (keinginan) awal yang sesuai, karena ucapannya yang seakan terlalu pandai samapai banyak orang baik terpikat ketajaman bicaranya,
akhirnya hanya omong kosong, ajarannya tidak berguna karena kurang bisa memperlakukan orang lain, karena kurang berpikir, mengharapkan yang tidak semestinya) 9) Ajaran tentang tiga tingkatan tabiat manusia, yakni nista (nista) -madya (sedang)utama (utama). Dinyatakan bahwa yang utama adalah orang yang berhati baik (sujana di), yang madya adalah para saudagar, dan yang nista adalah para durjana. Hal itu dinyatakan sebagai berikut. mangkene ingkang kariyin, kramaning sujana di, nenggih kaping kalihipun, caraning pra sudagar, patraping durjana katri, yeka aran ambeg nistha madya tama (SNM II: 9: 4-9) (demikian yang pertama tindakan orang berhati baik, adapun yang kedua cara para saudagar, yang ketiga tindakan para durjana, itulah yang disebut watak nista-madya-utama) Ketiga tabiat tersebut, masing-masing juga memiliki tiga tingkatan nistamadya-utama, misalnya durjana yang utama adalah dengan memperhitungkan langkah-langkahnya sehingga menjadi sempurna dan berhasil, serta sering melatih diri hingga berkemampuan melebihi orang banyak, sebagai berikut. Ning nadyan patrap durjana, ya nistha madya utami, 11 dene durjana utami, kang wani nggendheng katingal, marmanta winastan silip, wit dennya laku juti, abangkit kalangkung-langkung, ngungkuli janma kathah, bangkit namar angemori, tingkahira kadi janma ulah budya. 12 Lan asring ngluluh sarira, amilang sedyaning kapti, pininta kalakonira, wit nadyan wong laku juti, uga bisa ngarani, mungguh sampurnaning laku, amung mateni raga (SNM II: 10: 1, 11:2-9, 12: 1-7). (tetapi meskipun tabiat durjana, juga nista-madya-utama, adapun durjana yang utama adalah yang berani menggila menampakkan diri, oleh karenanya disebut durjana silip (durjana selingkuh), karena dalam bertindak durjana, mampu berkelebihan, melebihi kemampuan orang banyak, mampu menyamar membaur, tingkahnya seperti manusia berolah budi, dan sering melatih tubuh, memperhitungkan rencana kehendak, memohon keberhasilannya, karena meskipun bertindak durjana, juga dapat menyatakan kesempurnaan langkahnya, dengan mematikan (nafsu) badaniah).
Salah satu contoh saudagar yang nista adalah saudagar yang semata-mata mengejar harta hingga lupa diri, lupa pada Tuhan, maka dia akan celaka duniaakhirat, tidak mendapat keselamatan, seperti kutipan berikut. yeku wong kang wus lali, pangling nalarira liwung, kalingling melikan, tan eling purwaning urip, wit kayungyun milulu ing kabungahan. Tan ana kang kasatmata, kajaba mung emas picis, lali mring Pangeranira, janma kang mangkana yekti, cilaka dunya ngakir, yen rusak tan antuk tulung, wit duk katunggon dunya, karem nyikara sung runtik, mring Hyang Suksma lali tanpa pangastawa (SNM II: 17: 5-9, 18: 1-9). (yakni orang yang telah lupa diri, lupa pikirannya bingung dikelilingi sfat ingin memiliki, tidak ingat awal hidup manusia, karena hanya tergila-gila kebahagiaan (dunia), tidak ada yang dilihatnya kecuali hanya emas dan uang, lupa pada Tuhannya. Orang yang demikian pasti celaka dunia-akhirat, bila celaka tidak mendapat pertolongan, karena ketika masih kaya, senang menyakiti dan memarahi orang, kepada Tuhan lupa tidak mendapat keselamatan)
Salah satu contoh pendeta yang utama adalah pendeta yang selalu mengekang nafsu duniawinya, lahir-batin taat dalam beragama, maka ia akan mendapat keselamatan dari Tuhan, seperti kutipan berikut. katon tapa bratanya, atata jin dhahar guling, myang sumingkir ing karamen kakareman. Awit laku kang mangkana, ngluwihi kang aprang sabil, sabalane kang angrusak. angrusuhi ing agami, mangkana kang utami, sayogya ingkang misuwur, sumawur wartanira, suka nawurken wawangi, prapteng wuri martani suta sewaya. Samya sumanggem agama, ageming Nabi sinelir, Muhammadinil Mustapa, aterus ing lair-batin, wit yen tan trusing batin, batal tan bangkit tumimbul, krana sampurnanira, pangastuti ing Hyang Widdhi, nora kena rinerangan rewa-rewa (SNM II: 21: 7-9, 22: 1-9, 23: 1-9) (tampak menjalankan bertapa, dalam hal makan dan tidur bagaikan jin, menghindari keramaian dan kesukaan (duniawi), karena kehidupan yang demikian melebihi perang sabil pada kelompok yang merusak agama, itulah yang utama, sebaiknya yang terkenal tersebar beritanya, suka menebarkan keharuman (kebaikan), sampai ke belakang (ke masyarakat) merata ke anakcucu, pada taat beragama, yang diajarkan nabi Muhammadinil Mustafa, hingga lahir-batin, karena bila tidak lahir-batin, batal tidak diluhurkan, karena kesempurnaan keselamatan Tuhan tidak boleh tertutupi oleh ketidakjujuran)
Salah satu contoh pendeta yang nista adalah pendeta yang mengekang nafsu duniawinya, namun hanya karena suka mendapat pujian orang lain. Pendeta itu tidak akan mendapatkan surga, bahkan masuk neraka, ia tidak diterima Tuhan, seperti kutipan berikut. nanging lamun kalimput sihing atapa, lire bungah ingalema, betah luwe matiragi, iku tan antuk suwarga, malah naraka pinanggih, pujinira sirna nis, brastha tiwas ambaluwus, wekasan tanpa tuwas, sedyanira nora dadi, ing satemah susah manggung anggaresah, tan katrima ing Hyang Sukma (SNM II: 24: 9, 25: 1-9, 26: 1) (tetapi kalau pertapa terbuai oleh rasa dikasihi karena suka dipuji (orang lain) dalam hal kuat bertapa, itu tidak mendapatkan surga, malah menemui neraka, segala pujiannya hilang musnah tak berarti, akhirnya celaka, tujuannya tidak tercapai, sehingga susah selalu resah, tidak diterima oleh Tuhan). Contoh pendeta yang juga nista adalah pendeta yang tidak mengekang nafsu duniawinya, yakni masih senang pada harta kekayaan, seperti kutipan berikut. Yen maksih esak ing driya, dadi asoring maharsi, yekti katinggal ing netya, amasmu kucem tan manis, dening angemu runtik, maksih ngumbar hawa nepsu, dene agenging cacad, medaning para maharsi, lamun maksih karem kerem rajabrana (SNM II: 28: 1-9). (kalau masih berhati tidak baik, menjadi pendeta yang nista, sungguih tampak di mata, tampaknya kusam tidak cerah, karena mengandung kemarahan, masih mengumbar nafsu, adapun cacat yang besar, celaan para pendeta adalah bila masih senang terhanyut pada harta kekayaan)
10) Orang yang berwatak paling luhur adalah orang yang membuat enak hati semua makhluk Tuhan, tidak membeda-bedakan, bersikap mengasihi dan memelihara orang jompo, anak yatim, dan fakir miskin. Mengampuni orang yang bersalah, mengusahakan kasih sayang pada orang di seluruh negara, karena yang demikian itu inti dari orang bertapa, seperti kutipan berikut. Kang sinebut, ing gesang ambeg linuhung, kang wus tanpa sama, iya iku wong kang bangkit, amenaki manahe sasama-sama. saminipun, kawuleng Hyang kang tumuwuh, kabeh ywa bineda, anancepna welas asih, mring wong tuwa kang ajompo tanpa daya. Malihipun, rare lola kawlas ayun, myang pekir kasiyan, para papa anak yatim, openana pancinen sakwasanira. mring wong luput, den agung apuranipun,
manungsa sapraja, peten tyase supadya sih, pan mangkana wosing tapa kang sanyata (PCG VI: 1: 1-5, 2: 1-5, 3: 1-5, 4: 1-5). (yang disebut watak luhur dalam hidup ini, yang tidak ada bandingnya lagi, yakni orang yang menyenangkan hati sesama makhluk Tuhan yang hidup, semua jangan dibeda-bedakan, sayangilah orang jompo tak berdaya, kasihan anak yatim, kasihan fakir miskin, orang-orang yang tidak empunya dan yatim piatu, peliharalah semampumu. Pada orang yang bersalah maafkanlah sebesar-besarnya, orang-orang di seluruh negara ambillah hatinya agar sayang, yang demikian itu sesungguhnya inti dari orang bertapa).
11) Dinyatakan bahwa yang membuat gara-gara besar di Jaman Sangara, bukan tingkah
dunia,
sesungguhnya
hanya
tingkah
manusia
yang
mengaku
berpengetahuan (kebenaran), mereka menggunakan perisai, penutup bermacammacam, menyusup di berbagai hal, berbicara seolah tahu (berpengetahuan), seolah paling pandai dengan sok kuasa, membeberkan ajaran mengaku pandai dan bijaksana, angkuh seakan mengayomi pada yang miskin menderita, namun kenyaannya tidak benar. Hal itu dinyatakan sebagai berikut.
Dene tingkahing dumadi, kang akarya gara-gara, kagiri-giri gorareh, yeka ing jaman sangara, dudu tingkahing jagad, yektine mung patrapira, manungsa kang ngaku guna. 3 Samya mawaa tatawing, awarana neka-neka, ambabarung ing wawarnen, micara kaduk gumuna, kuminter kumasura, amedharaken wuwuruk, ngaku wasis wicaksana. 4 Angkuhe arsa ngoyomi, mring para papa kasimpar, kang aneng ngarga myang ngare, supaya rahayunira, satemah para papa, samya bingung ting balulung, rebut dhucung salang tunjang. 5 Ting garubyug amarani, ngrubung ingkang wara-wara, arsa ngreksa raharjane, anilar preluning wisma, wusana tanpa tanja, mung gumrudug anut grubyug, nora weruh rembugira (AMD III: 2: 1-7, 3: 1-7, 3: 1-7). (adapun keadaan kehidupan yang membuat gara-gara besar yakni di Jaman Sangara, bukan tingkah dunia, sesungguhnya hanya tingkah manusia yang mengaku berpengetahuan (kebenaran), pada menggunakan perisai, penutup bermacam-macam, menyusup di berbagai hal, berbicara seolah tahu (berpengetahuan), seolah paling pandai dengan sok kuasa, membeberkan ajaran mengaku pandai dan bijaksana, angkuh seakan mengayomi pada yang miskin menderita, yang di gunung dan di lembah supaya selamat sehingga orang-orang miskin menjadi bingung kesanakemari saling berebut, bergemuruh mendekati mengerubungi orang yang
mengajar itu hendak menerima kesejahteraannya meninggalkan kepentingan rumah tangganya, namun akhirnya tidak mendapat apa-apa, hanya saling mengikuti tidak tahu apa yang menjadi pokok permasalahannya) Berdasarkan kutipan di atas, meskipun tidak secara eksplisit namun jelas mengajarkan agar orang berhati-hati pada orang atau kelompok orang yang dengan alasan tertentu atau penutup tertentu mengaku berpengetahuan dan mengaku benar dan sok berkuasa, padahal mereka tidak benar.
12) Orang hidup ini lebih baik mengancangkan agar cukup, dengan diawali rajin, telaten untuk bertanya dan meneladani (yang benar) hingga akhirnya menjadi manusia utama, dan berusahalah agar berbudi halus, berbicara dengan manis, hati jangan terlena bersuka-suka, seperti kutipan berikut.
yen mangkana ngaurip puniki, pan luwih prayogi, ngangkah amrih cukup. Wiwitane ywa tilar taberi, tlaten takon tiron, ing wusana utama dadine, lan mamriha alusing kang budi, trus pamuwus manis, nging tyas ywa katungkul. Suka-suka pepeka ing kapti, satemah tanpadon, dene weweka prayitna jro tyase, upamine wong anumpet sari, nadyan luwih remit, maksih kongas arum (MJL IV: 12: 4-6, 13: 1-6, 14: 1-6). (bila demikian, orang hidup ini lebih baik mengancangkan agar cukup, dengan diawali rajin, telaten untuk bertanya dan meneladani (yang benar) hingga akhirnya menjadi manusia utama, dan berusahalah agar berbudi halus, berbicara dengan manis, hati jangan terlena bersuka-suka dengan penggoda keinginan hingga tidak bertujuan lagi, adapun yang berusaha berhati-hati hatinya, bagaikan orang menutupi bunga meskipun sangat tersimpan (rapi) namun masih juga berbau harum)
b. Ajaran bagi orang yang mengabdi pada raja (pada negara). 1) Abdi hendaknya mengimbangi kasih sayang tuannya, dan harus bersikap hati-hati, harus setia hati dan waspada mempehatikan kehendak tuannya, dan mencari kasih sayang sesama serta semua teman dalam mengabdi sehingga menjadi serba bisa,
seketika tidak kesulitan memenuhi kewajiban sebagai orang yang terpilih, tingkah dan bicaranya itu menjadi pertanda baik-buruknya serta peka pada tanda-tanda gerak-gerik sang raja. Hal itu dinyatakan sebagai berikut. lir trape wong neng nagri, ngawula suwiteng Ratu, sayekti wawalesan, animbangi sihing gusti, lawan kedah ngati-ati ing pratingkah. Kudu setya tyas waspada, amawas karsaning gusti, myang mamet sihing sasama, muwah sarowanging ngabdi, dadi bangkit mumpuni, ing sanalika tan ewuh, netepi waradarma, solah muna lawan muni, iku dadi panengeran ayu ala. Muwah tanggaping sasmita, prayananing Narpati (SNM II: 30: 5-9, 31: 1-9, 32: 1-2) (seperti sikap orang yang mengabdi pada negara, mengabdi pada raja, sungguh saling membalas (budi), mengimbangi kasih sayang tuannya, dan harus bersikap hati-hati, harus setia hati dan waspada mempehatikan kehendak tuannya, dan mencari kasih sayang sesama serta semua teman dalam mengabdi sehingga menjadi serba bisa, seketika tidak kesulitan memenuhi kewajiban sebagai orang yang terpilih, tingkah dan bicaranya itu menjadi pertanda baik-buruknya serta peka pada tanda-tanda gerak-gerik sang raja).
2) Seperti ajaran Patih Kojajajahan di Mesir jaman dahulu, untuk mendapatkan pahala dalam mengabdi pada raja harus menghilangkan perhitungan keinginan. Sikap orang mengabdi yang baik harus menepati kehendak raja, seperti bayangan dalam cermin yang menurut gerak orang yang bercermin, seperti kutipan berikut.
lir warahe sang Apatya, Kojajajahan ing Mesir, asung wulang weweling, palane ngawula ratu, dhingin angilangena, pangira kiraning kapti, akarana nalika jaman samana, 33 Patrape wong angawula, ingkang winastan prayogi, rarasing tyas mung sumarah, nurut sakarsaning gusti, dipun kadi angganing, angilo paesan agung, solahing wawayangan, kang aneng sajroning carmin, nora siwah lawan kang ngilo ing kaca (SNM II: 32: 3-9, 33: 1-9) (seperti ajaran Sang Patih Kojajajahan di Mesir yang memberikan ajaran nasihat bahwa pahala dalam mengabdi pada raja, pertama harus menghilangkan perhitungan keinginan, karena itu jaman dahulu. Sikap orang mengabdi, yang disebut baik, rasa hati harus berserah diri mengikuti kehendak tuannya (raja), agar seperti tubuh yang bercermin pada kaca besar gerakan bayangan dalam cermin tidak berbeda dengan yang bercermin di kaca)
3) Bila berniat mengabdi raja jangan (tampak) lebih sayang terhadap anak dan isteri, bila tidak, lebih baik kembali ke desanya saja. Hal ini diungkapkan sebagai berikut.
Myang aywa tresna ing garwa, tanapi sewaha siwi, sanak kadang kulawarga, de yen tan mangkana yekti, tipis dennya dadasih, tuwas tiwas kasang-kusung, wekasan kasangsaya, temah mung ngawrat-awrati, tan katrima wurung dennya danasmara. Marma mung salah sawiji, endi ingkang lineksanan, ywa ngantya mandheg tumoleh, neng praja yen tan mangkana, aluwung sumingkira, mring wanarga guwa samun, aywa kulina neng praja (SNM II: 34: 1-9, AMD III: 1: 1-7). (dan jangan (lebih) sayang pada isteri dan anak, sanak saudarara dan keluarga, kalau tidak begitu sungguh tipis saling sayangnya (dengan raja), malah celaka tak berarti akhirnya sengsara sehingga hanya memberatkan tidak diterima penbgabdian cinta kasihnya (pada raja). Oleh karena itu pilih sala satu mana yang dilaksanakan, jangan sampai ragu-ragu (mengabdi) di kerajaan. Bila tidak demikian lebih baik menyingkir ke hutan, gunung dan goa yang remang-remang, jangan membiasakan di kerajaan)
4) Pengabdian kepada raja harus sekehendak raja, bahkan raja menguuasai hidup dan matinya, seperti kutipan berikut. Mangsuli suwiteng aji, yen ana karsaning nata, kudu sumarah ambodho, saature mung tumadhah, andherek sakarsendra karana sri naraprabu, kawasa sung pejah gesang (AMD III: 6: 1-7). (kembali pada masalah mengabdi pada raja, bila ada kehendak raja, harus menyerah dengan berpura-pura bodoh, segala perkataannya diterima, menurut sekehendak raja, karena sang raja, berkuasa memberi hidup dan mati) 5) Bila sudah diterima oleh raja harus berhati-hati, jangan lalu hatinya pasang surut, tidak rajin lagi, seperti kutipan berikut. ananging yen wus mangkana, aywa sira sembrana, tyas nulya apasang surut, lire pasang surut ika. Sumanggemira ing kardi, sregep nuli salewengan, amalincur klencar-klencer, ngendelken yen wus katrima, iku aywa mangkana (AMD III: 9: 4-7, 10: 10: 1-5) (namun bila sudah demikian (diterima), jangan tidak berhati-hati, hati lalu pasang surut, maksudnya pasang surut adalah dalam kesanggupan bekerja rajin lalu menyeleweng, malas kesana-kemari, mengandalkan bahwa telah diterima, jangan demikian itu).
6) Orang yang dipercaya oleh raja itu ada berbagai hal, antara lain dipercaya (menjaga) wanita, (menjaga) harta benda, (menjaga) pada bahaya keamanan, dan (menjaga) mengolah kebudayaan. (a) Orang yang dipercaya raja untuk menjaga wanita, harus benar-benar berniat suci, tidak mengganggu wanita tersebut, seperti kutipan berikut. lamun ingandel wanodya, den kadya tigan gesang, iyeku tekading kalbu, meneng lir wong binincihan. Rumeksane ing pawestri, ywa pegat santa susetya, prapta ing pati linakon, yen ngantya anglakonana, purun nyidra asmara, lamun tan mangkana wastu, ambalela pangawulan. Myang sarowanging dadasih, temah tan ana pracaya, wit ugering switeng Katong, anetepi tata krama, muwah temening dirya ( AMD III: 30: 4-7, 31: 1-7, 32: 1-7) (bila dipercaya menjaga wanita, harus seperti telur hidup, itu harus menjadi tekat hati, diam bagaikan orang dikebiri, dalam menjaga wanita, jangan meninggalkan niat suci, hingga mati pun harus dilaksanakan, bila sampai mencuri asmara, bila tidak demikian (setia) sungguh melanggar pengabdian, dan semua teman yang menyayanginya akhirnya tidak ada yang percaya, karena aturan mengabdi pada raja itu menurut etika (tatakrama) dan ketulusan hati) (b) Orang yang dipercaya raja untuk menjaga harta benda, harus berusaha bisa menjadikan harta itu makin berkembang dan hati menerima seperti menjaga milik sendiri, bila tidak mengembangkan, tabunglah namun bila raja memerlukan harus siap untuk memberikan harta sendiri sekalipun, seperti kutipan berikut.
dene ta sira kalamun, den andel ing rajabrana. Dipun bisaa mamardi, undhaking arta utawa, anunular nangkarake, myang tyasira den narima, sadhakunta priyangga, yen bangkit mangkana wastu, antuk sihing Sri Narendra. Dene yen sira tan bangkit, anindakken kang mangkana, amung calangana bae, yen ana karsaning Nata, manawa kukurangan, den lakonana saestu, adol suta rabinira (AMD III: 32: 6-7, 33: 1-7, 34: 1-7). (adapun bila kamu dipercaya (menjaga) harta benda, berusahalah dapat menambahkan uang atau mengembangkan dan hatimu menjaga seperti milikmu sendiri, bila demikian sungguhlah mendapat kasih sayang raja.
Adapun bila kamu tidak menjalankan demikian itu, lebih baik tabunglah saja, bila raja menghendakinya (kembali), bila kurang lakukanlah, meski harus menjual anak isterimu)
(c) Orang yang dipercaya raja untuk mengolah penggunaan senjata tajam (sebagai prajurit), harus waspada, berhati cermat, mengetahui segala kesulitan dalam bentuk penyamaran, harus selalu mengabdikan kemampuan (budi) dengan berprihatin-bersamadi, belajar untuk mati, untuk mengalahkan musuh yang memberontak negara dengan menerima perintah raja,
seperti kutipan
berikut. lan maning manawi, pinitayeng ratu. Ulah budi udaling lulungit, sira den waspaos, kudu awas waskitha ing tyase, wruh samuning panuksma kang remit, namar mara sandi, saduning ripu dur. Aywa pegat labete ing budi, den ategen tanggon, lakonana lan mati ragane, kurang guling ing nalikeng ratri, den mindeng semadi, sinaua lampus. Myang wiweka pratikel ing kapti, matrapken pirantos, mrih asoring mungsuh kang ngrabaseng, praja nata dennya rampung-ramping, den bangkit nampani, sasmitaning ratu (AMD III: 2: 7, 3: 1-7, 4: 1-7, 5: 1-7). (dan bila dipercaya raja dalam mengolah penggunaan senjata tajam, kamu harus waspada, harus berhati cermat, tahu penyamaran yang menyusup dengan rumit, menyamar dengan rahasia segala tindak kejahatan. Jangan berhenti mengabdikan kemampuan, harus mapan dan mantap, laksanakan dengan berprihatin menahan nafsu, mengurangi tidur di waktu malam, selalu bersamadi belajar untuk mati, dan berusaha menerapkan segala peralatan (kemampuan) agar dapat mengalahkan musuh yang memberontak negara yang kacau balau dengan menerima perintah raja)
(d) Orang yang dipercaya raja untuk mengolah kebudayaan, harus mencintai kidung dan kakawin seperti mencintai saudara, agar mampu memaknai keindahan rasa, sifat lagu-lagu, tahu kalimat-kalimat yang rumit, tahu kiasankiasan kawi, agar dikasihi raja, seperti kutipan berikut.
Dene ingkang sinrahan lulungit, mardaweng lalagon, purwanira datan ana maneh, amung saking kidungan kakawin, sira den tresnasih, kadya
mring sadulur. Mrih tumanja gwanira jarwani, rarasing kang raos, lageyane lalagon den ngentek, sarekaning rumpakan mangerti, rakite respati, memes manis arum. Wruh samaring ukara kang repit, lan namur pasemon, traping kawi den kadi anggite, ri sang Widhayaka ing Kadhiri, yen mangkana yekti, antuk sihing ratu (MJL IV: 9: 1-6, 10: 1-6, 11: 1-6). (Adapun yang diserahi ketajaman keindahan tembang (budaya), awalnya tidak ada lagi hanya dari kakawin, kamu harus mencintainya seperti mencintai saudara, agar membanggakan dalam hal memeknai keindahan rasanya, sifat lagu-lagunya hingga tamat segala cara karangan tahu, keindahan bentuknya yang manis. Tahu kalimat yang samar dan sulit dan kiasan yang disamarkan, menangani kawi seperti yang dilakukan oleh Sang Widayaka di Kediri, bila demikian sungguh akan mendapat kasih sayang raja)
7) Mengabdi pada raja harus membekali diri, menghilangkan kebencian pada semua orang, membuat sesama pengabdi raja menjadi bertenang hati, usahakan agar erat dan rukun, menghilangkan keinginan berlebih (murka), ramah, sabar, bersikap sebagaimana ajaran luhur, mempelajarai berbagai keilmuan, seperti kutipan berikut. Marma den wruh traping ngawula ji, ing tyas den mirantos, ngilangena sakserik ing ngabeh, ngayemana manahing sasami, sasamining ngabdi, prihen raket rukun. Ngilangana kamurkaning kapti, den sumeh ing pasmon, neng pasamuwan den sareh rereh, mung mahyakna saliring weweling, myang pali pepeling, wuwulang linuhung. Lan agunging kabisan binudi, dimene dumados, tutuladhan sumrambahing ngakeh, yen mengkono para kang miyarsi, yekti samya asih, kelu kapiluyu (MJL IV: 18: 1-6, 19: 1-6, 20: 1-6). (Oleh karena itu harus tahu cara mengabdi raja, yakni di hatinya harus membekali diri, menghilangkan rasa benci pada semua, membuat tenang hati sesama pengabdi, usahakan rapat dan rukun. Menghilangkan keinginan yang berlebih, bermuka ramah, dalam pertemuan bersabar, hanya menyatakan segala ajaran dan larangan serta peringatan ajaran luhur, dan segala kemampuan dipelajari agar dapat menjadi teladan banyak orang, bila demikian yang mendengar pasti akan menyayangi dan terpesona)
8) Orang yang mengabdi pada raja harus sangat berusaha mencapai pengetahuan segala kehendak raja, seperti orang bersamadi hingga dapat mengetahui
kehendak Tuhan, atau orang melihat pementasan wayang harus terus mencermati hingga tahu segala gerak wayangnya, seperti kutipan berikut.
nadyan ta wus wasis, saniskareng kawruh. durung tamtu katarimeng gusti, yen sira durung wroh, ing sakarsa-karsaning Pamase, lir manekung amesu samadi, den kongsi udani, Dating Hyang Mahaagung. Kongsi prapteng wekasane kaeksi, karsaning Hyang Manon, pindha carma ingukir bineber, munggwing kelir den kongsi udani, sasolahing ringgit, aywa sah dinulu (MJL IV: 6: 5-6, 7: 1-6, 8: 1-6). (walau telah pandai pada berbagai ilmu pengetahuan, belum tentu diterima oleh raja, bila kamu belum tahu pada berbagai kehendak raja, bagaikan dalam berprihatin bersamadi harus sampai tahu Dat Tuhan Yang Maha Agung, hingga akhirnya tahu kehendak Tuhan Yang Maha Melihat itu, bagaikan belulang yang diukir (wayang) dipentaskan pada kelir, harus sampai tahu segala gerak wayang jangan sampai terputus melihatnya)
c. Ajaran bagi pemimpin (Raja), yakni raja hendaknya mengikuti ajaran Asthabrata. Ajaran Asthabrata adalah ajaran untuk meneladani watak dewa delapan, yang semuanya dengan ikhlas dan dengan keadilan, memberikan segala sesuatu yang berguna bagi makhluk hidup.
Serat Nitisruti, watak kedelapan dewa tersebut
dinyatakan sebagai berikut. 1) Yang pertama adalah watak Hyang Endra yang mencontohkan sopan santun (tata krama) dengan cara yang tepat, adil dengan disertai berderma, seperti kutipan berikut. Hyang Endra Bathara, anggung angglar tata krami, maring janma sajagad rat pramudita, tandukipun, tinindakken mrih pakantuk, ing pangreksanira, lan paramartaning kapti, kinanthenan lumintuning dana boja (PCG VI: 37: 3-5, 38: 1-5). (Hyang Batara Endra, selalu mengajarkan tatakrama, kepada manusia sedunia, pelaksaanaannya, dilaksanakan agar tepat pada kepemimpinannya, dan keinginan untuk adil, disertai pemberian derma)
2) Yang kedua, watak Hyang Yama yang adil, selalu menerapkan hukuman pada yang jahat, seperti kutipan berikut. Sanghyang Yama kang kaesthi, anggung angglar dhendhakrama, mring para duskarta juti, sagung susukering jagad, winisesa tanpa pilih (KNT VII: 1: 2-6). (Sanghyang Yama yang dimaksud, selalu menerapkan hukuman, bagi para penjahat, semua yang mengotori dunia, dihukum tanpa tebang pilih)
3) Yang ketiga, watak Hyang Surya yang selalu menuntun hati manusia pada kehalusan budi, seperti kutipan berikut. ambege Bathara Surya, gung nununtun tyasing janmi, upamia ngingsep toya, nadyan wanter ing pakarti, Tan karaos asatipun, saking patrap rereh ririh, ngarah-arah karana, pangingsepe lawan aris, yen ana mungsuh kajarah, soring prang madyaning jurit. piniluta lampahipun, rinemih ingarih-arih, mrih maria wasing driya, lan tapsila tan katawis (KNT VII: 4:3-6, 5: 1-6, 6: 1-4). (watak Batara surya selalu menuntun hati manusia, misalnya menghisap air, meskipun sangat cepat tindakannya, tidak terasa hingga kering, diterapkan dengan sabar, pelan, dan tepat, karena menghisap dengan halus. Bila ada musuh yang dijarah diperangi, diterapkan dengan membujuk agar sembuh sakit hatinya dan dengan kehalusan tak kentara) 4) Yang keempat, watak Hyang Candra yang selalu adil dan membuat hati orang menjadi senang, seperti kutipan berikut. Hyang Candra ingkang kaesthi, maratakken paramarta, anggung karya sukeng ngati, mring janma sanusa pada, pinardi mardaweng budi. Pamardine tung-tung guyu, winor ing liring pakarti, rum manis ing pangandika, winengan alusing galih, ..... wekasan akarya setya, tuhuning tyas wong sabumi (KNT VII: 7:2-6, 8: 1-4, 9: 5-6). (Hyang candra yang dimaksud, meratakan keadilan, selalu membuat senang hati pada manusia sedunia, diusahakan kehalusan budi, diusahakan dengan senyum, disertai berbuat halus dan manis berbicara, terbuka kehalusan hati....akhirnya membuat hati orang sedunia setia dan menurut)
5) Yang kelima, watak Sang Hyang Bayu yang sempurna dalam pengetahuan, selalu melihat semua tingkah manusia dengan halus dan ikhlas berderma, suka memaafkan yang bersalah, seperti kutipan berikut. Sanghyang Bayu kang kaesthi, sampurnaning pangawikan, anggung amawang salwiring, solah bawaning bawana, wruh budining wong sabumi. …..saking sanget alus aris, liringing netya kawuryan, amung sumeh masmu manis. Lila legawa ing kalbu, mrih suka lumintu-mintir, andina-dina dadana, wijiling rajabranadi, ...Tyasnya suka tanpa rengu, rinegatken nora serik, mung tansah asung aksama, maring sagung sarwa sisip (KNT VII: 10: 2-6, 11: 4-6, 12: 1-4, 13: 1-4). (Sang Hyang Bayu yang dimaksud, sempurna pengetahuannya, selalu melihat segala tingkah dunia, tahu watak manusia se dunia....karena sangat halus penglihatannya tidak ditonjolkan, hanya senyum manis, ikhlas di hati, agar suka selalu tiap hari berderma mengeluarkan harta benda yang bagus,,,,, hatinya senang tanpa marah, disakiti tidak benci, hanya selalu memberi maaf, pada semua yang bersalah)
6) Yang keenam, watak Hyang Kuwera yang selalu membuat keselamatan negara, mengajarkan pengetahuan nyata yakni tahu awal mula hidup dan menyembah pada Sang Gaib, seperti kutipan berikut. Sanghyang Kuwera ing nguni, anggung dennya abojana, mamrih arjaning nagari, tansah amenaki manah, datan kemba saben ari. Rumeksa santosanipun, bangkita sapraja sami, mamrih kawruh kasunyatan, wruh purwaning dumadi, ywa katungkul suka-suka, neng nuspada tan lami. Ing satemah sirna lampus, maranta yen tan pinikir, marmanta sanghyang Kuwera, tansah prihatos ing kapti, saari-ari tan kendhat, anggusti kang sarwa gaib (KNT VII: 14: 2-6, 15: 1-6, 16: 1-6). (Sang Hyang Kuwera ceritanya dulu, selalu mertindak baik agar negara selamat, selalu mengenakkan hati tak henti tiap hari, dijaga kesentosaannya, agar seluruh negara mendapatkan pengetahuan kenyataan yakni tahu awal mula hidup, jangan mementingkan bersukasuka karna di dunia tidak lama, akhirnya akan mati, bagaimana bila tak dipikirkan, oleh karena itu, Sang Hyang Kuwera selalu berprihatin, setiap hati tak henti, menyembah Tuhan Yang Gaib)
7) Yang ketujuh, watak Hyang Baruna yang selalu menghilangkan kejahatan dunia dengan mengajarkan pengetahuan kebaikan manusia seperti ajaran Asthabrata, seperti kutipan berikut. Hyang Baruna kang kaesthi, anggung amusthi warastra, jemparing pamunah westhi, ambirat susukering rat, lawan santosaning kapti. Tan ana baya pakewuh, gampil ingkang sarwa rumpil, muwah lamun sarasehan, lawan kang para winasis, kewraning driya tan merang, sinrahken mring pra binangkit. Anggung denira manimpun, sagung kagunaning janmi, nadyan kang tan mrih arjeng rat, pinarsudi mrih udani, wekasaning Asthabrata, iku kang tansah kaesthi (KNT VII: 17: 26, 18: 1-6, 19: 1-6). (Hyang Baruna yang dimaksud, selalu membawa panah, panah pemusnah kejahatan, menghilangkan kekotoran dunia, dan kesentosaan kehendak, tidak ada bahaya dan kesulitan, yang rumit pun mudah, dan bila ada pembicaraan dengan para cerdik pandai, tanpa ragu-ragu dan pasti, menyerahkan pada yang sanggup, selalu menghimpun segala pengetahuan manusia, meski yang tak berusaha selamat pun diusahakan agar tahu, akhir dari Asthabrata, yang dimaksud)
8) Yang kedelapan, watak Hyang Brahma yang selalu menghukum perusuh dengan tegas, seperti kutipan berikut. ambege Hyang Brahma nguni, anggung anggesengi mengsah, winasesa tumpek tapis, kang lumawan kaprawasa, lwir sardula mangsa daging. Marab-marab urubipun, kumrangsang ngrusak weweri, winantu ing puja mantra, mawas wrate wong sabumi, saking dennya rumakseng rat, pinardi lan krasing budi. Lawan santosaning kalbu, datan pedhot kadyangganing, tepange punang kalpika, tan kongsi renggang saweni, dennya mrih raharjaning rat, tan pegat saari-ratri (KNT VII: 20: 2-6, 21: 1-6, 22: 1-6). (watak Hyang Brahma dulu, selalu membakar musuh, dikuasai sepenuhnya, yang melawan dikuasai, seperti harimau makan daging, menyala-nyala apinya, mengganas merusak perusuh, disertai dengan puja mantera, melihat beratnya manusia se dunia karena memelihara dunia dengan cara yang tegas dan kesentosaan hati, tiada henti-hentinya, seperti bentuk lingkar cincin, tiada renggang sedikit pun, oleh karena mengusahakan keselamatan dunia, tak henti tiap hari). Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, kiranya pemimpin haruslah berwatak atau melaksanakan kebijakannya sesuai dengan watak kedelapan dewa
di atas, yakni dewa Endra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuawera, Baruna dan Brahma. Watak Hyang Endra yang mencontohkan sopan santun (tata krama) dengan cara yang tepat, adil dengan disertai berderma, watak Hyang Yama yang adil, selalu menerapkan hukuman pada yang jahat, watak Hyang Surya yang selalu menuntun hati manusia pada kehalusan budi, watak Hyang Candra yang selalu adil dan membuat hati orang menjadi senang, watak Sang Hyang Bayu yang sempurna dalam pengetahuan, selalu melihat semua tingkah manusia dengan halus dan ikhlas berderma, watak Hyang Kuwera yang selalu membuat keselamatan negara, mengajarkan pengetahuan nyata yakni tahu awal mula hidup dan bertuhan pada Sang Gaib, watak Hyang Baruna yang selalu menghilangkan kejahatan dunia dengan mengajarkan pengetahuan kebaikan manusia seperti ajaran Asthabrata, dan watak Hyang Brahma yang selalu menghukum perusuh dengan tegas. Secara umum Serat Nitisruti mengajarkan bagi pemimpin agar memiliki keadilan, sopan-santun atau kehalusan budi, berderma dan membuat orang menjadi senang, menyempurnakan pengetahuan untuk tahu pada sesama manusia, menjaga keselamatan negara, bertuhan pada Sang Gaib, dan berwatak tegas pada yang tidak benar. Dengan disebutnya kembali ajaran Asthabrata pada watak Hyang Baruna, tampak bahwa Serat Nitisruti menekankan ajaran tersebut. 3. Ajaran Moral yang Menyangkut Hubungan Manusia dengan Lingkungan Alamnya. Manusia hendaknya memulai menyayangi segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya, sebagai dasar agar dapat menyayangi sesama manusia dan dapat menerima kekurangan orang lain.
Ajaran menyayangi pada segala sesuatu yang didengar dan yang dilihat, tentu saja cakupannya sangat luas, dan ini tentu merupakan ajaran bagi manusia dalam hubungannya dengan alam sekitarnya. Ajaran bagi manusia dalam hubungannya dengan alam sekitarnya ini tidak banyak dikemukakan dalam Serat Nitisruti, namun sangat jelas, terdapat satu pernyataan pada empat bait tembang, yakni PCG VI: 1417, kutipannya sebagai berikut. Wit wosipun, ngagesang raosing kalbu, kumedah sinihan, ing sasamining dumadi, nging purwanya sinihan samaning janma. Iku dudu, sira asiha rumuhun, kang mangka lantaran, kudu bangkit miraketi, mring sabarang kang kapyarsa katingalan. Iya iku kang mangka pangilonipun, bangkita ambirat, ingkang kawuryan ing dhiri, animakna panacad maring sasama. Kabeh mau, tepakna ing sariramu, paran bedanira, kalamun sira mangeksi, solah bawa kang ngewani lawan sira (PCG VI: 14: 1-5, 15: 1-5, 16: 1-5, 17: 1-5) (Karena pada dasarnya, dalam hidup ini rasa di hati, harus saling mengasihi, pada semua makhluk hidup, tapi awalnya mengasihi sesama manusia. Itu tidak benar, engkau mengasihi dahulu, yang sebagai lantaran, harus dengan erat (menyayangi), pada segala yang terdengar dan terihat. Itulah sebagai cermin, agar selalu membersihkan yang terlihat pada diri sendiri, (mau) menerima kekurangan orang lain. Semua itu, bayangkanlah pada dirimu, apa bedanya, bila engkau melihat, perbuatan seperti binatang pada dirimu). Berdasarkan kutipan di atas, tampak bahwa ajaran ini dimaksudkan agar manusia menyayangi segala sesuatu yang tampak dan yang terdengar atau lingkungan hidupnya. Dari ajaran ini diharapkan, pada akhirnya juga untuk belajar menyayangi sesama manusia, yakni mau menerima kekurangan orang lain, seperti bila kekurangan itu (seperti perbuatan binatang) ada pada dirinya sendiri. Ajaran ini menekankan ajaran bercermin pada diri sendiri (tepa slira) untuk menyadari kekurangan pada diri sendiri, dan mau menerima kekurangan orang lain.
D. Konsep-konsep Ajaran Moral dalam Serat Nitisruti Bedasarkan uraian ajaran-ajaran moral tersebut di atas, beberapa konsep moral dalam Serat Nitisruti dapat dirumuskan menyangkut beberapa hal yakni: (a) pandangan hidup, (b) pengertian kebaikan, (c) prinsip sosialitas, sebagai berikut.
a) Pandangan Hidup (1) Hidup berasal dari Tuhan Yang Maha Esa Dalam Serat Nitisruti, pandangan hidup yang diajarkan yakni bahwa hidup ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dinyatakan pada contoh orang yang lupa pada awal hidupnya yakni lupa pada Tuhannya, ia akan celaka di dunia dan di akhirat, seperti kutipan berikut. yeku wong kang wus lali, pangling nalarira liwung, kalingling melikan, tan eling purwaning urip, wit kayungyun milulu ing kabungahan. Tan ana kang kasatmata, kajaba mung emas picis, lali mring Pangeranira, janma kang angkana yekti, cilaka dunya ngakir (Serat Nitisruti SNM II: 17: 5-9, 18: 1-5) ( yakni orang yang telah lupa, lupa pikirannya melayang, tertutup oleh harta milik, tidak ingat asal hidupnya, karena terpesona hanya pada kesenangan, tidak ada yang dilihat kecuali hanya emas berlian, lupa pada Tuhannya, orang yang demikian sungguh celaka dunia-akhirat)
Dalam ajaran Jawa, konsep bahwa hidup ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, tidak diragukan. Ajaran tentang asal dan tujuan hidup manusia itu dari Tuhan dan akan menuju pada Tuhan, dalam etika Jawa banyak dijumpai dalam ajaran sangkan-paraning dumadi (asal dan tujuan hidup manusia). Ajaran tersebut pada dasarnya mengajarkan bahwa hidup manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan juga. Serat Nitisruti, antara lain menyebut Tuhan dengan berbagai sebutan, yakni Hyang Wisesa (Tuhan Yang Maha Kuasa) (DG I: 15: 8), Hyang Suksma (Tuhan
Yang Maha Rokhim) (Snm II: 18: 9), Gusti (Tuhan) (SNM II, 30: 8), Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Berpengetahuan) (SNM II: 23: 8), Hyang Manon (Yang Maha Melihat) (MGT VIII: 12, 22), Hyang Agung (Tuhan Yang Maha Agung) (MGT VIII: 23), dan sebagainya.
(2) Manusia Hidup Di Dunia ini Tidak Lama Manusia hidup di dunia ini tidak lama, oleh karena itu harus dipikirkan, seperti kutipan berikut. mamrih kawruh kasunyatan, wruh purwaning dumadi, ywa katungkul suka-suka, neng nuspada tan lami. Ing satemah sirna lampus, maranta yen tan pinikir (Serat Nitisruti, KNT VII: 15: 3-6, 16: 1-2) (mendapatkan ilmu kenyataan, trahu asal mula hidup, jangan terlena bersenang-senang, hidup di dunia tidak lama, akhirnya akan meninggal, bagaimana bila tidak dipikirkan )
Yang dimaksud dipikirkan dalam kutipan tersebut adalah dipikirkan untuk berbuat semestinya, yakni berbuat baik, karena hidup di dunia ini tidak lama. Ajaran bahwa hidup di dunia ini tidak lama, dalam etika Jawa sering disingkat dengan idiom urip mung mampir ngombe (hidup ini hanya seperti mampir untuk minum saja), oleh karena itu penuhilah dengan perbuatan baik.
(3) Hidup ini Tidak Sendiri, Hidup Bersama Makhluk Lain Serat Nitisruti mengajarkan bahwa manusia harus belajar menyayangi sesama hidup, tidak mendahulukan menyayangi sesama manusia saja, seperti kutipan berikut. Wit wosipun, ngagesang raosing kalbu, kumedah sinihan, ing sasamining dumadi, nging purwanya sinihan samaning janma. Iku dudu, sira asiha rumuhun, kang mangka lantaran, kudu bangkit miraketi, mring sabarang
kang kapyarsa katingalan. Iya iku kang mangka pangilonipun, bangkita ambirat, ingkang kawuryan ing dhiri (PCG VI: 14: 1-5, 15: 1-5, 16: 1-4) (Karena pada dasarnya, dalam hidup ini rasa di hati, harus saling mengasihi, pada semua makhluk hidup, tapi awalnya mengasihi sesama manusia. Itu tidak benar, engkau mengasihi dahulu, yang sebagai lantaran, harus dengan erat (menyayangi), pada segala yang terdengar dan terihat. Itulah sebagai cermin, agar selalu membersihkan yang terlihat pada diri sendiri) Kutipan tersebut menjelaskan bahwa hidup manusia di dunia ini tidak sendiri, tetapi bersama makhluk lain (samining dumadi) yang dalam kutipan tertsebut dibedakan dengan sesama manusia (samaning janma). Manusia hendaknya menyayangi pada apa yang dilihat dan apa yang didengar. Etika Jawa memang mengajarkan agar manusia berusaha hidup berdampingan secara harmonis dengan alam dan makhluk lain. Hal ini tercermin pada upacara tradisi Jawa yang sering disebut slametan, yakni berusaha atau memohon agar selamat. Slametan, di dalamnya sering terdapat doa dan sesaji, agar tidak diganggu oleh makhluk lain (Kang Mbaureksa).
b) Pengertian Kebaikan (1) Kebaikan itu Hasil dari Pertimbangan yang Masak Dalam Serat Nitisruti, pengertian kebaikan yakni perbuatan baik yang merupakan hasil pertimbangan yang masak mulai dari perkiraan yang akan dilakukan, pertimbangan akibat baik dan buruknya, serta ketepatan pelaksanaan terbaiknya. Hai ini dinyatakan dalam ajaran tentang deduga, watara dan prayoga. Dalam Serat Nitisruti, ajaran tersebut diterapkan dalam rangka orang mengolah ilmu (Serat Nitisruti DG I: 18-20), yakni ilmu tentang kebaikan. Mengolah ilmu kebaikan, adalah dimulai dari mendapatkan pengetahuan hingga melaksanakannya.
Ajaran dedega, watara, prayoga, dalam etika Jawa pada umumnya, sering juga dinyatakan dengan deduga, reringa, prayoga, yang pada intinya mengajarakan untuk mempertimbangkan segala perbuatan agar tepat yang terbaik, sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, baik perbuatan dalam hubungannya dengan Tuhan, dalam hubungannya dengan sesama manusia dan dalam hubungannya dengan lingkungan alamnnya.
(2) Kebaikan adalah Perbuatan Tanpa Pamrih Kebaikan adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas atau tanpa pamrih. Dalam Serat Nitisruti ajaran tentang perbuatan tanpa pamrih dicontohkan pada perbuatan pendeta yang dapat mengekang hawa nafsu dengan bertapa, tetapi dilakukan dengan pamrih agar disanjung orang lain. Perbuatan pendeta tersebut tidak mendapatkan hasil baik, bahkan akan menjadikannya tidak diterima Tuhan atau masuk neraka. nanging lamun kalimput sihing atapa. Lire bungah ingalema, betah luwe matiragi, iku tan antuk suwarga, malah naraka pinanggih, pujinira sirna nis, brastha tiwas ambaluwus, wekasan tanpa tuwas, sedyanira nora dadi, ing satemah susah manggung anggaresah. Tan katrima ing Hyang Suksma (Serat Nitisruti, 24: 9, 25: 1-9, 26: 1) (tetapi kalau pertapa terbuai oleh rasa (pamrih) dikasihi karena suka dipuji (orang lain) dalam hal kuat bertapa, itu tidak mendapatkan surga, malah menemui neraka, segala pujiannya hilang musnah tak berarti, akhirnya celaka, tujuannya tidak tercapai, sehingga susah selalu resah, tidak diterima oleh Tuhan).
Serat Nitisruti juga menyatakan racun (ketidak-baikan) pada orang yang bertindak pamrih. Pamrih adalah bisa bagi orang yang berulah budi, seperti kutipan berikut.
dene ingkang minangka wisane, ulah budi tanduk kang sarwedi, iku lamun pamrih, remen reh tan ayu. solah tingkah karem tyas tan yukti, satemah salah ton, tilar tata kramane rinemeh (Serat Nitisruti, MJL IV: 26: 3-6, 27: 1-3) (adapun yang menjadi racun bagi orang yang berulah budi tindakan yang serba indah itu bila pamrih, suka pada cara yang tidak baik, perbuatan menyukakan hati secara tidak benar, sehingga tampak kesalahannya, meninggalkan dan meremehkan kesusilaan). Etika Jawa memang mengajarkan agar tindakan manusia sebaiknya didasari oleh ketulusan atau keikhlasan, yakni suatu tindakan tanpa pamrih., Kata pamrih, dalam idiom sepi ing pamrih rame ing gawe sering dimaknai sebagai tindakan yang harus dihindari dan harus ditekankan ketulusan tindakannya (Magnis-Suseno: 1984: 145).
c) Prinsip Sosialitas (1) Memperhatikan Orang lain Manusia harus juga memperhatikan orang lain, seperti yang tercantum dalam tujuan penulisan Serat Nitisruti, yakni mengajarkan keselamatan dunia melalui perhatian terhadap keadaan orang lain, seperti kutipan berikut. mung raharjengrat ketung, myang nenitiya neningali, saulah bawaning lyan (DG I: 5: 5-6) (hanya keselamatan dunia yang dibicarakan, dan meneliti mengingat-ingat, semua gerak-gerik orang lain). Kutipan di atas mengajarkan bahwa memperhatikan orang lain adalah bagian dari mempertahankan keselamatan dunia.
(2) Prinsip Tepa Selira Serat Nitisruti mengajarkan bahwa untuk dapat menyayangi orang lain, manusia harus dapat menyayangi orang lain dengan bercermin pada kekurangan
yang ada pada diri sendiri, sehingga juga dapat menerima kekurangan orang lain, seperti kutipan berikut.
sira asiha rumuhun, kang mangka lantaran, kudu bangkit miraketi, mring sabarang kang kapyarsa katingalan. Iya iku kang mangka pangilonipun, bangkita ambirat, ingkang kawuryan ing dhiri, animakna panacad maring sasama. Kabeh mau, tepakna ing sariramu, paran bedanira, kalamun sira mangeksi, solah bawa kang ngewani lawan sira (PCG VI: 14: 1-5, 15: 1-5, 16: 1-5, 17: 1-5) (engkau mengasihi dahulu, yang sebagai lantaran, harus dengan erat (menyayangi), pada segala yang terdengar dan terihat. Itulah sebagai cermin, agar selalu membersihkan yang terlihat pada diri sendiri, (mau) menerima kekurangan orang lain. Semua itu, bayangkanlah pada dirimu, apa bedanya, bila engkau melihat, perbuatan seperti binatang pada dirimu). Preinsip bercermin pada diri sendiri dalam etika Jawa sering disebut tepa selira, yakni mencoba berpikir dan merasakan bila sesuatu yang akan dikenakan pada orang lain itu terjadi pada dirinya dahulu, bila menyenangkan maka boleh dilakukan namun bila menyakitkan sebaiknya tidak dilakukan pada orang lain. Prinsip tepa selira sering juga dinyatakan dengan kalimat mbok aja njiwit yen dijiwit iku krasa lara (jangan mencubit bila dirinya dicubit itu merasakan sakit).
(3) Prinsip Karyenak Tyasing Sasama Serat Nitisruti mengajarkan bahwa tindakan paling mulia dalam hubungannya dengan orang lain adalah membuat orang lain bahagia. Hal ini dinyatakan sebagai berikut. Kang sinebut, ing gesang ambeg linuhung, kang wus tanpa sama, iya iku wong kang bangkit, amenaki manahe sasama-sami (Serat Nitisruti, PCG VI: 1-5) (yang disebut hidup berwatak mulia yang tidak ada yang menyamainya, yaitu orang yang selalu membuat hati orang lain bahagia)
Ajaran tentang membuat bahagia orang lain dalam etika Jawa sangat ditekankan. Ajaran membuat bahagia orang lain termasik dalam prinsip keselarasan, karena membuat bahagia orang lain akan selalu menimbulkan keadaan harmoni suatu keselarasan. Ajaran membuat hati orang lain menjadi bahagia, antara lain tercermin pada idiom karyenak tyasing sasama. Ajaran ini antara lain juga terdapat dalam ajaran Mangkunagara IV dalam karyanya Serat Wedhatama, yakni agar mencontoh perbuatan Panembahan Senapati yang selalu amemangun karyenak tyasing sasama (membangun membuat hati orang lain bahagia).
(4) Menyayangi Sesama Manusia Ajaran menyayangi sesama manusia termasuk dalam prinsip keselarasan, karena menyayangi sesama manusia akan menimbulkan kondisi harmonis dalam masyarakat. Ajaran menyayangi sesama manusia dalam Serat Nitisruti dinyatakan sebagai berikut. saminipun, kawuleng Hyang kang tumuwuh, kabeh ywa bineda, anancepna welas asih, mring wong tuwa kang ajompo tanpa daya. Malihipun, rare lola kawlas ayun, myang pekir kasiyan, para papa anak yatim, openana pancinen sakwasanira. mring wong luput, den agung apuranipun, manungsa sapraja, peten tyase supadya sih, pan mangkana wosing tapa kang sanyata (Serat Nitisruti, PCG VI: 2: 5, 3: 1-5, 4: 1-5) (sesama hamba Tuhan Yang Maha Hidup, semua jangan dibeda-bedakan, terapkanlah belas kasihmu, kepada orang tua yang jompo tak berdaya, dan lagi anak yatim yang kasihan, dan para fakir miskin, para papa anak yatim, peliharalah jatahlah semampumu, kepada orang salah maafkanlah sebesar-besarnya, orang senegara ambilah hatinya supaya mengasihi, karena itulah bertapa yang senyatanya) Ajaran tentang menyayangi sesama manusia dalam etika Jawa juga sangat ditekankan. Ajaran menyayangi sesama manusia misalnya tercermin
pada konsep karyenak tyasing sasama yang sudah dijelaskan di atas, asah-asihasuh (asah-asih-asuh), pager mangkok luwih becik tinimbang pager tembok (pagar mangkok lebih baik daripada pagar tembok), kacek klerek karo sedherek (terpaut sedikit dengan saudara), dan sebagainya. Ajaran asah-asih-asuh adalah ajaran dalam memperhatikan orang lain, dengan memberikan secara ikhlas bentuk pelatihan, bentuk kasih sayang, dan bentuk pengasuhan. Ajaran pager mangkok luwih becik tinimbang pager tembok (pagar mangkok lebih baik daripada pagar tembok), maksudnya adalah tindakan memberi sesuatu kebaikan (mangkok tempat makanan sebagai lambang kebaikan) pada tetangga. Ajaran ini menekankan sosialitas dan menghindari egoisme dan individualisme. Ajaran kacek klerek karo sedherek, berlatar pada budaya ekonomi kekeluargaan, yakni memberikan kemurahan pada orang lain karena menganggap sebagai saudara.
(5) Memaafkan yang Bersalah Kutipan tersebut di atas juga menjelaskan bahwa dalam menyayangi sesama manusia juga terkandung sikap pemaaf. Sikap pemaaf dalam Serat Nitisruti juga ditekankan pada ajaran bagi raja (pemimpin) agar mencontoh tabiat Dewa Surya, yakni agar memaafkan yang bersalah meski musuh sekalipun, seperti kutipan berikut. yen ana mungsuh kajarah, soring prang madyaning jurit. piniluta lampahipun, rinemih ingarih-arih, mrih maria wasing driya, lan tapsila tan katawis, mangkana Bathara Surya, kramaning mangreh dumadi (KNT VII: 5: 5-6, 6: 1-6). (bila ada musuh dijarah dikalahkan dalam perang prajurit, langkahnya dengan membujuk dirayu-rayu, agar hilang rasa khawatirnya dan kehalusannya tidak tampak, demikian Batara Surya dalam hal tabiatnya memelihara kehidupan)
Etika Jawa cenderung mengajarkan untuk bertindak permisif atau pemaaf. Hal ini merupakan hasil dari prinsip tepa selira,
deduga- watara-
prayoga (keduanya di bagian atas sudah disinggung), prinsip ngono ya ngono ning aja ngono (begitu ya begitu tetapi jangan begitu), sak madiya (secukupnya saja), dan sebagainya. Ngono ya ngono ning aja ngono dan prinsip sak madiya merupakan prinsip agar manusia jangan keterlaluan atau berlebihan. Pada pelaksanaannya prinsip tidak berlebihan itu juga harus dipertimbangkan pelaksanaan secara tepat (Prayoga), sehingga cenderung untuk dapat menerima kekurangan orang lain dan memaafkan kesalahan orang lain.
(6) Prinsip Rukun Dalam Serat Nitisruti ajaran tentang rukun diajarkan dalam rangka mengabdi pada raja (negara), dinyatakan sebagai berikut. sasamining ngabdi, prihen raket rukun. Ngilangana kamurkaning kapti, den sumeh ing pasmon, neng pasamuwan den sareh arereh (MJL IV: 18: 5-6, 19: 1-3) (sesama mengabdi (pada negara), usahakan akrab dan rukun, hilangkanlah kehendak loba, bermuka manislah dan dalam pertemuan harus bersabar)
Prinsip rukun merupakan prinsip yang penting dalam etika Jawa. Prinsip rukun dinyatakan sebagai salah satu, disamping prinsip hormat, dari dua prinsip besar dalam etika Jawa oleh Hildred Geertz dan Magnis-Suseno. Prinsip rukun antara lain tercermin dalam konsep rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (rukun menjadikan sentosa perselisihan menjadikan kerusakan). Dalam Serat
Nitisruti prinsip rukun ditekankan bagi orang yang mengabdi pada raja (negara).
BAB V AJARAN MORAL DALAM SERAT NITISRUTI DAN RELEVANSINYA DENGAN NILAI-NILAI PANCASILA
Konsep moral dalam Serat Nitisruti sebenarnya tidak langsung berhubungan dengan nilai-nilai Pancasila, namun ajaran moral di dalamnya secara umum berisi tentang nilai-nilai seperti yang ada pada nilai-nilai Pancasila. Hal ini merupakan hal yang wajar, karena ketika Serat Nitisruti dituliskan, Pancasila belum dirumuskan. Konsep moral dalam Serat Nitisruti, secara umum juga tidak dituliskan secara sangat sistematis, hanya dituliskan dalam bentuk ajaran-ajaran fulgar secara mengalir dalam bentuk unit-unit ajaran moral tertentu. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa susunan Pancasila bersifat Hierarkhis-Piramidal, yakni sila I mendasari semua sila lainnya; sila II didasari oleh sila I dan mendasari sila III, IV, dan V; sila III didasari oleh sila I dan II, serta mendasari sila IV dan V; sila IV didasari oleh sila I, II, dan III serta mendasari sila V; dan sila V didasari oleh sila I, II, III dan IV. Berdasarkan hal tersebut, maka nilai-nilai ajaran moral dalam Serat Nitisruti, dalam hubungannya dengan nilai-nilai Pancasila juga berhubungan dengan sifat Hierarkhis-Piramidal Pancasila dan sifat saling mengisi dan saling mengkualifikasi sila-sila Pancasila. Artinya, semua ajaran kebaikan dalam Serat Nitisruti tentu berhubungan dengan nilai-nilai sila I Pancasila. Semua ajaran dalam Serat Nitisruti yang berhubungan dengan nilai-nilai sila II juga berhubungan dengan nilai-nilai sila I. Semua ajaran dalam Serat Nitisruti yang berhubungan dengan nilai-nilai sila III, juga berhubungann dengan nilai-nilai sila I, dan II. Semua ajaran dalam Serat
Nitisruti yang berhubungan dengan nilai-nilai sila IV, juga berhubungann dengan nilai-nilai sila I, II, dan III. Semua ajaran dalam Serat Nitisruti yang berhubungan dengan nilai-nilai sila V, juga berhubungann dengan nilai-nilai sila I, II, III, dan IV. Sila-sila Pancasila, sebagai suatu sistem juga bersifat saling mengisi dan saling mengkualifikasi, artinya sila yang satu mengisi dan mengkualifikasi sila lainnya, oleh karena itu, pembicaraan tentang hubungan ajaran moral pada Serat Nitisruti dengan nilai-nilai Pancasila di bawah ini, terutama ditekankan pada hubungan yang lebih dekat dengan sila-sila tertentu, dan bukan berarti tidak berhubungan dengan sila-sila lainnya. Pada bab ini yang dimaksud dengan relevansi adalah bahwa isi ajaran moral dalam Serat Nitisruti dapat diterima secara ilmiah filsafati yakni relevan dengan nilai-nilai yang dikandung oleh Pancasila. Isi ajaran moral dalam Serat Nitisruti akan dikaji seberapa jauh relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila, serta kemungkinan fungsionalisasinya di masa yang akan datang. Seperti telah disebutkan di atas, Serat Nitisruti menekankan ajaran tentang hubungan manusia dengan sesamanya yang kemudian juga diikuti ajaran tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, dan sedikit hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Berbagai ajaran di dalamnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, terutama pada sila I dan sila II. Dalam hubungannya dengan nilai-nilai sila III, IV dan V, pada Serat Niisruti tidak pernah disebut-sebut tentang Indonesia atau Nusantara. Hal ini dikarenakan ketika Serat Nitisruti disusun, NKRI dan Pancasila belum terwujud. Dalam hubungannya dengan nilai-nilai sila III, dalam Serat Nitisruti terutama dapat disejajarkan nilainya pada bagian ajaran bagi orang yang mengabdi kepada negara atau pada raja. Dalam hubungannya dengan nilai-nilai sila
IV, hubungan yang tampak relevan untuk dibahas adalah bagian yang menekankan pentingnya rakyat. Adapun nilai-nilai sila V, tercermin pada ajaran tentang keadilan secara umum.
A. Ajaran moral dalam Serat Nitisruti yang relevan dengan Sila-sila Pancasila 1. Ajaran moral dalam Serat Nitisruti yang relevan dengan Sila I Ketuhanan yang Maha Esa a) Manusia harus mencontoh pendeta yang memahami kedudukan manusia dengan Tuhannya agar sesuai dengan kodrat/ kesejatiannya.
Hal ini seperti dituliskan
sebagai berikut. dening sampun waspada, dununging panebut, atanapi kang sinembah, dadi gambuh ngambah ing kaanan jati (DG I: 11: 6-9). (karena sudah mengetahui betul akan kedudukan Yang Maha Kuasa atau Yang Disembah, sehingga menyatu menyelami keadaan kesejatiannya) Mengenai menyatu dengan kodratnya / kesejatiannya
diajarkan bahwa
manusia yang sempurna (menyatu dengan kodratnya) dapat menyatu dengan Tuhannya, hingga hilang batas kemanusiaannya dan ke-Tuhan-annya, seperti kutipan berikut. Babarane jumbuh, ning wening tan kawoworan, ing satemah pan wus keni den wastani, syuh sirna manungsanya, tetelane kang mangkono yekti, wus tan ana Gusti lan kawula (DG I: 13: 7-10, 14: 1-2) (keadaannya menyatu, jernih sekali tidak tercampuri (kekotoran), sehingga sudah dapat disebut, hilang sirna kemanusiaannya, sesungguhnya yang demikian itu sudah tidak ada lagi (batas) Tuhan dengan manusia) Terkait dengan nilai sila I Pancasila, ajaran tersebut harus disikapi secara bijaksana, yakni melalui dua perspektif, yakni sebagai idealisme atau sebagai realitas. Sebagai idealisme, bahwa manusia sebaiknya dapat bersatu kembali pada Tuhannya, adalah sah-sah saja, namun sebagai realitas, bahwa manusia dapat bersatu
dengan Tuhannya hingga tidak ada batas lagi antara manusia dan Tuhannya dalam hidup di dunia ini, perlu dipertanyakan, karena yang dimaksudkan wening tan kawoworan (tidak tercampuri oleh kekotoran atau dosa) adalah merupakan idealisme.
b) Manusia hendaknya tidak lupa diri dan harus ingat dari mana asalnya, yakni dari Tuhan. Hal ini diajarkan dengan contoh watak yang nista yakni watak manusia yang hanya melihat harta benda hingga lupa diri tidak ingat Tuhannya. Orang yang demikian tidak akan mendapat keselamatan, seperti kutipan berikut. Tan ana kang kasatmata, kajaba mung emas picis, lali mring Pangeranira, janma kang mangkana yekti, cilaka dunya ngakir, yen rusak tan antuk tulung, wit duk katunggon dunya, karem nyikara sung runtik, mring Hyang Suksma lali tanpa pangastawa (SNM II: 18: 1-9). (tidak ada yang dilihatnya kecuali hanya emas dan uang, lupa pada Tuhannya. Orang yang demikian pasti celaka dunia-akhirat, bila celaka tidak mendapat pertolongan, karena ketika masih kaya, senang menyakiti dan memarahi orang, kepada Tuhan lupa tidak mendapat keselamatan)
Ajaran ini jelas menolak penekanan pada materialisme, dan lebih mengutamakan pada orang yang selalu ingat pada Tuhan.
c) Manusia hendaknya taat beragama seperti yang dicontohkan sebagai pendeta yang utama, yakni pendeta yang selalu mengekang nafsu duniawinya, lahir-batin taat dalam beragama, maka ia akan mendapat keselamatan dari Tuhan, seperti kutipan berikut. katon tapa bratanya, atata jin dhahar guling, myang sumingkir ing karamen kakareman. Awit laku kang mangkana, ngluwihi kang aprang sabil, sabalane kang angrusak. angrusuhi ing agami, mangkana kang utami, sayogya ingkang misuwur, sumawur wartanira, suka nawurken wawangi, prapteng wuri martani suta sewaya. Samya sumanggem agama, ageming
Nabi sinelir, Muhammadinil Mustapa, aterus ing lair-batin, wit yen tan trusing batin, batal tan bangkit tumimbul, krana sampurnanira, pangastuti ing Hyang Widdhi, nora kena rinerangan rewa-rewa (SNM II: 21: 7-9, 22: 1-9, 23: 1-9) (tampak menjalankan bertapa, dalam hal makan dan tidur bagaikan jin, menghindari keramaian dan kesukaan (duniawi), karena kehidupan yang demikian melebihi perang sabil pada kelompok yang merusak agama, itulah yang utama, sebaiknya yang terkenal tersebar beritanya, suka menebarkan keharuman (kebaikan), sampai ke belakang (ke masyarakat) merata ke anakcucu, pada taat beragama, yang diajarkan nabi Muhammadinil Mustafa, hingga lahir-batin, karena bila tidak lahir-batin, batal tidak diluhurkan, karena kesempurnaan keselamatan Tuhan tidak boleh tertutupi oleh ketidakjujuran)
d) Orang yang mampu mengekang hawa nafsu tetapi tujuannya hanya suka mendapat pujian dari orang lain akan masuk neraka. Hal ini diajarkan melalui contoh pendeta yang nista, yakni pendeta yang mengekang nafsu duniawinya, namun hanya karena suka mendapat pujian orang lain. Pendeta itu tidak akan mendapatkan surga, bahkan masuk neraka, ia tidak diterima Tuhan, seperti kutipan berikut. nanging lamun kalimput sihing atapa, lire bungah ingalema, betah luwe matiragi, iku tan antuk suwarga, malah naraka pinanggih, pujinira sirna nis, brastha tiwas ambaluwus, wekasan tanpa tuwas, sedyanira nora dadi, ing satemah susah manggung anggaresah, tan katrima ing Hyang Sukma (SNM II: 24: 9, 25: 1-9, 26: 1) (tetapi kalau pertapa terbuai oleh rasa dikasihi karena suka dipuji (orang lain) dalam hal kuat bertapa, itu tidak mendapatkan surga, malah menemui neraka, segala pujiannya hilang musnah tak berarti, akhirnya celaka, tujuannya tidak tercapai, sehingga susah selalu resah, tidak diterima oleh Tuhan).
e) Orang hendaknya dapat mengetahui kehendak Tuhan seperti orang yang bersamadi hingga mengetahui kehendak Tuhan merupakan contoh tindakan yang baik sehingga diajarkan bagi orang yang hendak mengabdi bagi raja, seperti kutipan berikut.
nadyan ta wus wasis, saniskareng kawruh. durung tamtu katarimeng gusti, yen sira durung wroh, ing sakarsa-karsaning Pamase, lir manekung amesu samadi, den kongsi udani, Dating Hyang Mahaagung. Kongsi prapteng wekasane kaeksi, karsaning Hyang Manon, pindha carma ingukir bineber, munggwing kelir den kongsi udani, sasolahing ringgit, aywa sah dinulu (MJL IV: 6: 5-6, 7: 1-6, 8: 1-6). (walau telah pandai pada berbagai ilmu pengetahuan, belum tentu diterima oleh raja, bila kamu belum tahu pada berbagai kehendak raja, bagaikan dalam berprihatin bersamadi harus sampai tahu Dat Tuhan Yang Maha Agung, hingga akhirnya tahu kehendak Tuhan Yang Maha Melihat itu, bagaikan belulang yang diukir (wayang) dipentaskan pada kelir, harus sampai tahu segala gerak wayang jangan sampai terputus melihatnya)
f) Manusia harus mengetahui asal mula hidup dan sadar bahwa hidup di dunia ini tidak lama dan akan mati, sehingga harus selalu menyembah pada Sang Gaib, seperti pada kutipan berikut. bangkita sapraja sami, mamrih kawruh kasunyatan, wruh purwaning dumadi, ywa katungkul suka-suka, neng nuspada tan lami. Ing satemah sirna lampus, maranta yen tan pinikir, marmanta sanghyang Kuwera, tansah prihatos ing kapti, saari-ari tan kendhat, anggusti kang sarwa gaib (KNT VII: 14: 2-6, 15: 1-6, 16: 1-6). agar seluruh negara mendapatkan pengetahuan kenyataan yakni tahu awal mula hidup, jangan mementingkan bersuka-suka karna di dunia tidak lama, akhirnya akan mati, bagaimana bila tak dipikirkan, oleh karena itu, Sang Hyang Kuwera selalu berprihatin, setiap hati tak henti, menyembah Tuhan Yang Gaib)
2. Ajaran moral dalam Serat Nitisruti yang sesuai dengan sila II Kemanusiaan yang Adil dan Beradab a) Manusia hendaknya mau tahu dan memperhatikan segala keadaan orang lain, seperti kutipan berikut. myang nenitiya neningali, saulah bawaning lyan (DG I: 5: 5-6) (dan mengingat dan memperhatikan segala gerak-gerik orang lain)
b) Manusia hendaknya mengantongi pengetahuan, dan harus selalu mengingatkan atau memberi tahu, memberi derma pada orang lain, seperti kutipan berikut. gilutane anggelung pangawrin, myang jroning tyas tan pegat tumedah, asung kadarman ring akeh (DG I: 9: 1-3) (tabiatnya mengantongi pengetahuan, dan dalam hatinya tidak pernah putus untuk memberi contoh, memberi derma pada orang banyak)
c) Manusia hendaknya penuh pertimbangan kebaikan pada segala sesuatunya, seperti pada ajaran tentang deduga (penuh perhitungan), watara (penuh pertimbangan), dan prayoga (pelaksanaan yang terbaik) (DG I: 17-20). Ajaran ini ditekankan pada orang yang berolah ilmu. Dalam hubungannya dengan prayoga yakni pelaksanaannya yang terbaik, terutama dalam hubungannya dengan nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
d) Manusia hendaknya berusaha dikasihi oleh orang lain dengan cara mengasihi orang lain, seperti kutipan berikut ini. bangkit mamrih sihing janma sanagari, tansah mrih arjaning rat, talesing tyas asih ing sasami (DG I: 23: 9- 24: 1) (berusaha mendapatkan kasih orang senegara, selalu berusaha keselamatan dunia, dengan dasar mengasihi sesama manusia)
e) Manusia hendaknya pandai-pandai bergaul dengan rendah hati, seperti kutipan berikut. ing pasemon masmu sumeh, pasanging netya ruruh, ngarah-arah ring tyas mikani (DG I: 25: 3-5) (di wajahnya tampak ramah (murah senyum), mata tampak sebagai rendah hati, berusaha untuk berhati baik)
f) Manusia hendaknya rendah hati, tidak menyombongkan kemampuannya, seperti kutipan berikut.
Wit putusing sujana linuwih, waskitheng tyas mawas kawasisan, tan kawistara semune, samun nanging mangimpun (DG I: 27: 1- 4) (karena manusia yang berhasil unggul, adalah yang tahu betul tentang kepandaian, namun tidak ditonjol-tonjolkan, tersamar tapi berisi)
g) Manusia hendaknya tidak bertindak terburu-buru, bertingkah asal berani, dan jangan sombong, seperti kutipan berikut. aywa kongsi kasusu keksi, kuwanenen ing tingkah, lan aywa ombag umuk (DG I: 30: 5-8) (.......jangan sampai tampak terburu-buru, asal berani dalam bertingkah, dan jangan sombong)
h) Manusia hendaknya tidak menekankan kepentingan yang tidak semestinya, seperti kutipan berikut. Dene cacading panindak, anandukken pamatawis, iku yen mawa pangangkah, anggung kang marang tan yukti (SNM II: 5: 1-4) (adapun celanya tindakan dalam mempertimbangkan adalah bila didasari kepentingan yang sangat tidak semestinya)
i) Pemimpin hendaknya memperhatikan kaum miskin, seperti kutipan berikut. Trusing kayun, sih marma mring kawlas ayun, mring pekir kasiyan, para papa anak yatim, wong pareman pinupu lan ingopenan (PCG, VI: 25) (meneruskan kehendak, mengasihi orang yang sangat kasihan, yang miskin kasihan, para yatim dan piatu, para preman diambil anak dan dipelihara).
3. Ajaran moral dalam Serat Nitisruti yang sesuai dengan Sila III Persatuan Indonesia Nilai persatuan Indonesia, dalam Serat Nitisruti memang tidak dituliskan sebagai persatuan Indonesia, namun lebih ke arah loyalitas dan sikap yang baik bagi orang yang mengabdi pada raja atau negara. Bila setiap warga negara Indonesia berkewajiban mengabdikan diri pada negara maka ajaran dalam Serat Nitisruti tampak relevan, yakni sebagai berikut.
a) Orang yang mengabdi negara hendaknya setia, rajin, sanggup akan segala pekerjaan, bila berperang pun tidak ada rasa takut, seperti kutipan berikut. Ringkesane mung tekading kapti, kudu saguh gagah nora wegah, sumanggem sabrang gawe, nadyan tekeng pekewuh, yen wus wani nora gumingsir, tempuhna gunung waja lan samodra latu, yen wus wani aywa ulap, ing wusana kaprawiranira dadi, ingandel wong sapraja (DG I: 22) (Ringkasnya hanyalah tekad pada kehendak, harus sanggup dengan gagah tidak malas, bertanggung jawab pada semua pekerjaannya, meskipun harus sampai kesulitan, bila berani haruslah tidak surut, bila berperang pun, bila berani jangan surut, sehingga menjadikan keperwiraanmu (kepahlawananmu), dihormati orang senegara).
Rasa persatuan Indonesia, tentu kewajiban mengabdikan diri pada negara, harus dilandasi kesanggupan dengan tidak malas, bertanggung jawab pada semua pekerjaannya, meskipun harus sampai kesulitan, bila berperang pun, harus berani jangan surut, sehingga menjadikan keperwiraan atau kepahlawanan.
b) Abdi raja (negara) haruslah menghilangkan rasa benci pada semua orang, mengenakkan hati orang lain, dan berhubungan erat dengan rukun, seperti kutipan berikut. marma den wruh traping ngawulaji, ing tyas den mirantos, ngilangana sakserik ing kabeh, ngayemana manahing sesami, sasamining ngabdi, prihen raket rukun (MJL IV: 18) (maka ketahuilah cara mengabdi pada raja (negara), dalam hati harus didasari, menghilangkan rasa tidak suka pada semua orang, menyenangkan hati sesama orang yang mengabdi pada negara, usahakan berhubungan erat dan rukun)
Kerukunan, keeratan dan kasih sayang merupakan syarat yang diajarkan oleh Serat Nitisruti dalam rangka mengabdi pada negara.
c) Pemimpin yang baik haruslah penuh pesona karena rasa kasihnya, sehingga rakyat setia mengabdi, seperti kutipan berikut. kang kawengku, sajagad sru kapiluyu, kelu angawula, labet pinulute ing sih, ing wusana penuh pasewakan (PCG VI: 20). (yang diembani, seluruh dunia (negara) sangat terpikat, ikut mengabdi (padanya), karena sangat terpikat oleh rasa kasihnya, dan akhirnya penuh dengan orang (yang ingin) mengabdi )
Jelaslah bahwa menurut kutipan di atas, bagi pemimpin, syaratnya haruslah menyayangi rakyatnya, sehingga rakyat akan loyal penuh pengabdian.
d) Pemimpin harus dapat memberi contoh didikan, menunjukkan segala kerahasiaan (ilmu) yang menuju kerukunan bersama menjaga keselamatan negara, seperti kutipan berikut. sagungipun, kang sinung wulang wuwuruk, wineruhken marang, salwiring kang para wadi, samya sayuk yek rumeksa arjeng praja (PCG VI: 33) (semua yang diberi contoh didikan, menunjukkan segala kerahasiaan (ilmu) yang menuju kerukunan bersama menjaga keselamatan negara).
Berdasarkan kutipan di atas, pemimpin harus dapat menjadi teladan kerukunan bersama dan menjaga keselamatan negara. Dengan demikian persatuan menjadi hal yang ditekankan dalam menjaga keselamatan negara.
4. Ajaran moral dalam Serat Nitisruti yang sesuai dengan Sila IV Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan Ajaran dalam Serat Nitisruti yang menyangkut nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan tidak ditekankan. Hal ini karena pada saat ditulisnya SN, negara dalam bentuk kerajaan,
sehingga sifat permusyawaratan/ perwakilan tidak diajarkan, namun demikian ajaran tentang raja (pemimpin) harus mencintai rakyatnya sangat ditekankan, seperti kutipan berikut. a) Pemimpin yang baik haruslah penuh pesona karena rasa kasihnya, sehingga rakyat setia mengabdi, seperti kutipan berikut. panjenengan sang aprabu, sinebut narendra, iku pangiloning bumi, enggonira ngimpuni sihing manungsa, kang kawengku, sajagad sru kapiluyu, kelu angawula, labet pinulute ing sih, ing wusana penuh pasewakan (PCG VI: 20). (beliau sang raja, disebut raja itu cermin dunia, tempat berkumpulnya kasih sayang manusia, yang diembani, seluruh dunia (negara) sangat terpikat, ikut mengabdi (padanya), karena sangat terpikat oleh rasa kasihnya, dan akhirnya penuh dengan orang (yang ingin) mengabdi )
Jelaslah bahwa menurut kutipan di atas, bagi pemimpin (raja), syaratnya haruslah menyayangi rakyatnya, sehingga rakyat akan loyal penuh pengabdian. Nilai kerakyatan memang belum kuat, rakyat (kawula) hanya berada dalam kekuasaan raja, sehingga ajaran ini ditekankan pada raja agar menyayangi rakyatnya.
5. Ajaran moral dalam Serat Nitisruti yang sesuai dengan Sila V Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam Serat Nitisruti memang tidak tertuliskan secara jelas tertuju pada seluruh rakyat Indonesia, tetapi dalam hal keadilan lebih tertuju pada raja atau pemimpin. a) Pemimpin hendaknya bersikap adil, seperti kutipan berikut. Sang sinuwun, denira matrapken kukum, adil awarata, prasasat samodra agni, nadyan aneng siluk sungil kawasesa (PCG VI: 28) (sang raja (pemimpin) dalam hal menerapkan hukum, adil merata, seperti lautan api, meskipun berada di muara-muara pastilah terkuasai)
b) Pemimnpin hendaknya mencontoh watak Hyang Endra yang mengajarkan tata krama dengan cara yang tepat dengan adil disertai berderma, seperti kutipan berikut. Hyang Endra Bathara, anggung angglar tata krami, maring janma sajagad rat pramudita, tandukipun, tinindakken mrih pakantuk, ing pangreksanira, lan paramartaning kapti, kinanthenan lumintuning dana boja (PCG VI: 3738). (Hyang Batara Endra, selalu mengajarkan tatakrama, kepada manusia sedunia, pelaksaanaannya, dilaksanakan agar tepat pada kepemimpinannya, dan keinginan untuk adil, disertai pemberian derma)
c) Pemimnpin hendaknya mencontoh watak Hyang Yama yang selalu adil, menerapkan hukuman pada yang jahat, seperti kutipan berikut. Sanghyang Yama kang kaesthi, anggung angglar dhendhakrama, mring para duskarta juti, sagung susukering jagad, winisesa tanpa pilih (KNT VII: 1-2). (Sanghyang Yama yang dimaksud, selalu menerapkan hukuman, bagi para penjahat, semua yang mengotori dunia, dihukum tanpa tebang pilih)
d) Pemimnpin hendaknya mencontoh watak Hyang Candra yang selalu adil dan membuat hati orang menjadi senang, seperti kutipan berikut. Hyang Candra ingkang kaesthi, maratakken paramarta, anggung karya sukeng ngati, mring janma sanusa pada, pinardi mardaweng budi. Pamardine tung-tung guyu, winor ing liring pakarti, rum manis ing pangandika, winengan alusing galih, ..... wekasan akarya setya, tuhuning tyas wong sabumi (KNT VII: 7-9). (Hyang candra yang dimaksud, meratakan keadilan, selalu membuat senang hati pada manusia sedunia, diusahakan kehalusan budi, diusahakan dengan senyum, disertai berbuat halus dan manis berbicara, terbuka kehalusan hati....akhirnya membuat hati orang sedunia setia dan menurut)
e) Pemimnpin hendaknya mencontoh watak Hyang Brahma yang selalu adil, menghukum perusuh dengan tegas, seperti kutipan berikut.
ambege Hyang Brahma nguni, anggung anggesengi mengsah, winasesa tumpek tapis, kang lumawan kaprawasa, lwir sardula mangsa daging. Marab-marab urubipun, kumrangsang ngrusak weweri, winantu ing puja mantra, mawas wrate wong sabumi, saking dennya rumakseng rat, pinardi lan krasing budi. Lawan santosaning kalbu, datan pedhot kadyangganing, tepange punang kalpika, tan kongsi renggang saweni, dennya mrih raharjaning rat, tan pegat saari-ratri (KNT VII: 20-22). (watak Hyang Brahma dulu, selalu membakar musuh, dikuasai sepenuhnya, yang melawan dikuasai, seperti harimau makan daging, menyala-nyala apinya, mengganas merusak perusuh, disertai dengan puja mantera, melihat beratnya manusia se dunia karena memelihara dunia dengan cara yang keras dan kesentosaan hati, tiada henti-hentinya, seperti bentuk lingkar cincin, tiada renggang sedikit pun, oleh karena mengusahakan keselamatan dunia, tak henti tiap hari)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, tampak bahwa nilai keadilan sangat ditekankan dalam Serat Nitisruti. Namun demikian,
keadilan tersebut
ditekankan datangnya dari seorang pemimpin, sehingga nilai keadilannya memang belum seperti yang ada pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
B. Konsep-konsep Ajaran Moral dalam Serat Nitisruti dan Relevansinya dengan Nilai-nilai Pancasila Pada bab IV telah diuraikan tentang konsep-konsep ajaran moral dalam Serat Nitisruti. Di bawah ini konsep-konsep ajaran moral tersebut akan dibicarakan dalam relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila.
1) Hidup berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, Relevansinya dengan Nilai Sila I Pancasila Dalam Serat Nitisruti, pandangan hidup yang diajarkan yakni bahwa hidup ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Konsep bahwa hidup ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dalam etika Jawa, banyak dijumpai dalam ajaran sangkan-paraning
dumadi (asal dan tujuan hidup manusia). Ajaran tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa hidup manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan juga. Sila I Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti bahwa hakikat Tuhan adalah causa prima, Tuhan adalah penyebab pertama dari segala yang ada. Pengertian ini bermakna bahwa hidup manusia memang berasal dari Tuhan seperti yang diajarkan dalam Serat Nitisruti. Sila I Ketuhanan Yang Maha Esa juga mengandung makna bahwa Tuhan itu Maha Esa, oleh karena itu tidak berlebihan bila Serat Nitisruti menyebut Tuhan dengan makna sifat ke-Esaan Tuhan, yakni Hyang Wisesa (Tuhan Yang Maha Kuasa) (DG I: 15: 8), Hyang Suksma (Tuhan Yang Maha Rokhim) (Snm II: 18: 9), Gusti (Tuhan) (SNM II, 30: 8), Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Tahu/ Berpengetahuan) (SNM II: 23: 8), (PCG VI, 2: 2), Hyang Manon (Yang Maha Melihat) (MGT VIII: 12, 22), Hyang Agung (Tuhan Yang Maha Agung) (MGT VIII: 23), dan sebagainya. Tidak berlebihan bila Serat Nitisruti juga mengajarkan untuk taat beragama (samya sumanggem ing agama (Serat Nitisruti, SNM II: 23)). Hal tersebut relevan dengan pernyataan Notonagoro (1997: 80), ketika membahas hakikat Tuhan pada sila I Pancasila, yang menuliskan bahwa manusia harus taklim kepada Tuhan, yakni mempermuliakan Tuhan, memandang Tuhan teragung, terluhur, tertinggi, dan terbahagia.
2) Manusia Hidup Di Dunia ini Tidak Lama, Relevansinya dengan Sila I Pancasila Serat Nitisruti mengajarkan konsep bahwa manusia hidup di dunia ini tidak lama, oleh karena itu harus dipikirkan untuk berbuat kebaikan. Ajaran bahwa hidup di dunia ini tidak lama, dalam etika Jawa sering dinyatakan dengan idiom urip mung
mampir ngombe (hidup ini hanya seperti mampir untuk minum saja), oleh karena itu penuhilah dengan perbuatan baik. Kata mampir mengandung makna ‘tinggal tidak lama dan akan kembali ke tempat asalnya. Tempat asal hidup manusia adalah Tuhan. Konsep bahwa hidup itu tidak lama, juga mengandung pengertian bahwa hidup ini terbatas, manusia tidak pernah tahu kapan ia akan mati. Keterbatasan hidup manusia dibatasi atau ditentukan oleh ke-Maha Kuasaan Tuhan dan hidup manusia akan kembali kepada Sang Asal yaitu Sang Maha Esa adalah Tuhan. Konsepsi bahwa hidup itu tidak lama dan akan kembali kepada Tuhan adalah bagian dari isi arti nilai sila I Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
3) Hidup ini Tidak Sendiri, Hidup Bersama Makhluk Lain, Relevansinya dengan Sila I Pancasila Serat Nitisruti mengajarkan bahwa manusia harus belajar menyayangi sesama hidup, yakni makhluk lainnya dan tidak hanya mendahulukan menyayangi sesama manusia saja. Serat Nitisruti mempergunakan istilah saminipun, kawuleng Hyang kang tumuwuh, kabeh ywa bineda, anancepna welas asih. Istilah kawuleng Hyang kang tumuwuh bermakna ‘hamba Tuhan yang hidup’ dan kata tumuwuh memiliki derivasi kata tetuwuhan yang bermakna ‘tumbuh-tumbuhan’ atau pepohonan dan sebagainya. Ajaran tersebut mengandung makna bahwa hidup manusia di dunia ini juga hidup bersama dengan makhluk lain yang sama-sama sebagai ciptaan Tuhan. Artinya, manusia mengakui Tuhan sebagai Sang Khalik dan manusia bersama makhluk lain sebagai ciptaan-Nya. Konsepsi bahwa manusia dan makhluk lain sebagai kawuleng Hyang (hamba Tuhan) mengakui ke-Esaan Tuhan yang terkandung dalam sila I Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
4) Kebaikan itu Hasil dari Pertimbangan yang Masak, Relevansinya dengan Sila II Pancasila Dalam Serat Nitisruti, pengertian kebaikan yakni perbuatan baik yang merupakan hasil pertimbangan yang masak mulai dari perkiraan yang akan dilakukan, pertimbangan akibat baik dan buruknya, serta ketepatan pelaksanaan terbaiknya. Hai ini dinyatakan dalam ajaran tentang deduga, watara dan prayoga. Dalam Serat Nitisruti, ajaran tersebut diterapkan dalam rangka orang mengolah ilmu (Serat Nitisruti DG I: 18-20), yakni ilmu tentang kebaikan. Mengolah ilmu kebaikan, adalah dimulai dari mendapatkan pengetahuan hingga melaksanakannya. Ajaran dedega, watara, prayoga, dalam etika Jawa pada umumnya, sering juga dinyatakan dengan deduga reringa, prayoga, yang
pada intinya mengajarakan untuk
mempertimbangkan segala perbuatan agar tepat yang terbaik, sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, baik perbuatan dalam hubungannya dengan Tuhan, dalam hubungannya dengan sesama manusia dan dalam hubungannya dengan lingkungan alamnnya. Pertimbangan yang masak merupakan hasil dari kebijaksanaan manusia, yang sesuai dengan hakikat manusia yang monopluralis yang menghasilkan kerjasama akal, rasa dan kehendak. Notonagoro (1997: 97-98) dalam membahas sila II Pancasila, menyatakan bahwa hasil kerjasama akal, rasa dan kehendak yang menyatu tersebut bila telah mendarah-daging menghasilkan watak penghati-hati atau watak bijaksana 5) Kebaikan adalah Perbuatan Tanpa Pamrih, Relevansinya dengan Sila II Pancasila
Serat Nitisruti mengajarkan bahwa kebaikan adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas atau tanpa pamrih. Perbuatan tanpa pamrih bukan berarti tanpa tujuan dan bukan berarti manusia tidak memerlukan segala sesuatu sebagai keperluan pribadi. Tanpa pamrih lebih bermakna mendapatkan sesuatu karena sekedar haknya setelah ia mengerjakan sesuatu (sepi ing pamrih rame ing gawe). Perbuatan tanpa pamrih maksudnya, tidak mendahulukan kepentingan pribadi, tidak mendahulukan kepentingan golongan, kelompok dan sebagainya. Konsep hak dan kewajiban tentu saja menyangkut konsep keadilan yang termuat dalam sila II Pancasila yakni Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dalam pengertian hakikat manusia, tersimpul hubungan manusia selengkapnya, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan Tuhan. Pengertian adil pada sila II Pancasila adalah adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan (Notonagoro, 1997: 99-100). Tanpa pamrih yang ada dalam Serat Nitisruti lebih mengarah pada hubungan manusia terhadap sesama manusia, yakni menekankan kewajiban-kewajiban terhadap orang lain daripada haknya.
6) Memperhatikan Orang Lain, Relevansinya dengan Sila II Pancasila Manusia harus juga memperhatikan orang lain, seperti yang tercantum dalam tujuan penulisan Serat Nitisruti, yakni mengajarkan keselamatan dunia melalui perhatian terhadap keadaan orang lain, seperti kutipan berikut. mung raharjengrat ketung, myang nenitiya neningali, saulah bawaning lyan (DG I: 5: 5-6) (hanya keselamatan dunia yang dibicarakan, dan meneliti mengingat-ingat, semua gerak-gerik orang lain).
Kutipan di atas mengajarkan bahwa memperhatikan orang lain adalah bagian dari mempertahankan keselamatan dunia, dengan demikian jelaslah bahwa perhatian terhadap orang lain di sini berhubungan dengan sila II Pancasila, yakni Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Notonagoro (1997: 100) menyatakan bahwa di dalam kemanusiaan yang adil dan beradab terkandung prinsip perikemanusiaan atau internasionalisme, yang terjelma dalam hubungan dan penghargaan baik terhadap semua bangsa dan semua negara. Bila hal tersebut terjadi, tidak mustahil keselamatan dunia akan terpelihara, seperti ajaran dalam Serat Nitisruti.
7) Prinsip Tepa Selira, Relevansinya dengan Sila II Pancasila Serat Nitisruti mengajarkan bahwa untuk dapat menyayangi orang lain, manusia harus dapat menyayangi orang lain dengan bercermin pada kekurangan yang ada pada diri sendiri, sehingga juga dapat menerima kekurangan orang lain, seperti kutipan berikut. Iya iku kang mangka pangilonipun, bangkita ambirat, ingkang kawuryan ing dhiri, animakna panacad maring sasama. Kabeh mau, tepakna ing sariramu, paran bedanira, kalamun sira mangeksi, solah bawa kang ngewani lawan sira (PCG VI: 15: 1-5, 16: 1-5, 17: 1-5) (Itulah sebagai cermin, agar selalu membersihkan yang terlihat pada diri sendiri, (mau) menerima kekurangan orang lain. Semua itu, bayangkanlah pada dirimu sendiri, apa bedanya, bila engkau melihat, perbuatan seperti binatang pada dirimu). Prinsip bercermin pada diri sendiri dalam etika Jawa sering disebut tepa selira, yakni mencoba berpikir dan merasakan bila sesuatu yang akan dikenakan pada orang lain itu terjadi pada dirinya dahulu, bila menyenangkan maka boleh dilakukan namun bila menyakitkan sebaiknya tidak dilakukan pada orang lain. Prinsip tepa selira sering juga dinyatakan dengan kalimat mbok aja njiwit yen
dijiwit iku krasa lara (jangan mencubit bila dirinya dicubit itu merasakan sakit). Prinsip ajaran tepa selira jelas merupakan prinsip yang relevan dengan konsep adil pada sesama manusia seperti yang ada dalam nilai sila II Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. 8) Prinsip Karyenak Tyasing Sasama, Relevansinya dengan Sila II dan Sila III Pancasila Serat Nitisruti mengajarkan bahwa tindakan paling mulia dalam hubungannya dengan orang lain adalah membuat orang lain bahagia. Hal ini dinyatakan sebagai berikut. Kang sinebut, ing gesang ambeg linuhung, kang wus tanpa sama, iya iku wong kang bangkit, amenaki manahe sasama-sami (Serat Nitisruti, PCG VI: 1-5) (yang disebut hidup berwatak mulia yang tidak ada yang menyamainya, yaitu orang yang selalu membuat hati orang lain bahagia) Ajaran tentang membuat bahagia orang lain dalam etika Jawa sangat ditekankan seperti dalam idiom karyenak tyasing sasama. Konsep karyenak tyasing sasama ini bila dilakukan dengan tulus, artinya memang sepaham dengan orang lain secara tulus, juga termasuk dalam konsep adil pada sila II Pancasila, yakni adil terhadap sesama manusia, namun demikian, bila tindakan karyenak tyasing sasama tersebut hanya dalam rangka menahan diri, menghormati orang lain, demi kerukunan, dan sesungguhnya tidak sepaham dengan orang lain tersebut, maka karyenak tyasing sasama itu relevan dengan sila III Pancasila, yakni demi persatuan dan kesatuan yang pada gilirannya berupa persatuan bangsa.
9) Menyayangi Sesama Manusia, Relevansinya dengan Sila II Pancasila
Ajaran menyayangi sesama manusia termasuk dalam prinsip keselarasan, karena menyayangi sesama manusia akan menimbulkan kondisi harmonis dalam masyarakat. Ajaran menyayangi sesama manusia dalam Serat Nitisruti dinyatakan beberapa kali, yakni bagi orang yang mengabdi pada raja (negara), bagi raja yang harus menyayangi rakyatnya, bagi pendeta dan sebagainya (pada sub bab sebelumnya telah dibahas). Konsep ajaran menyayangi sesama tentu juga merupakan nilai yang terkandung pada sila II Pancasila, khususnya adil pada sesama manusia.
10) Memaafkan yang Bersalah, Relevansinya dengan Sila II Pancasila Sikap pemaaf dalam Serat Nitisruti juga ditekankan pada ajaran bagi raja (pemimpin) agar mencontoh tabiat Dewa Surya, yakni agar memaafkan yang bersalah meski musuh sekalipun, seperti kutipan berikut. yen ana mungsuh kajarah, soring prang madyaning jurit. piniluta lampahipun, rinemih ingarih-arih, mrih maria wasing driya, lan tapsila tan katawis, mangkana Bathara Surya, kramaning mangreh dumadi (KNT VII: 5: 5-6, 6: 1-6). (bila ada musuh dijarah dikalahkan dalam perang prajurit, langkahnya dengan membujuk dirayu-rayu, agar hilang rasa khawatirnya dan kehalusannya tidak tampak, demikian Batara Surya dalam hal tabiatnya memelihara kehidupan)
Memaafkan yang bersalah, bisa jadi merupakan akibat dari prinsip tepa selira di atas, karena bisa menerima kekurangan yang ada pada orang lain. Bila hal tersebut dicermati, maka konsep memaafkan yang bersalah relevan dengan nilai sila II Pancasila, seperti telah dibahas pada konsep tepa selira di atas.
11) Prinsip Rukun, Relevansinya dengan Sila II atau sila III Pancasila
Dalam Serat Nitisruti ajaran tentang rukun diajarkan dalam rangka mengabdi pada raja (negara), dinyatakan sebagai berikut. sasamining ngabdi, prihen raket rukun. Ngilangana kamurkaning kapti, den sumeh ing pasmon, neng pasamuwan den sareh arereh (MJL IV: 18: 5-6, 19: 1-3) (sesama mengabdi (pada negara), usahakan akrab dan rukun, hilangkanlah kehendak loba, bermuka manislah dan dalam pertemuan harus bersabar)
Prinsip rukun merupakan prinsip yang penting dalam etika Jawa. Prinsip rukun dinyatakan sebagai salah satu, disamping prinsip hormat, dari dua prinsip besar dalam etika Jawa oleh Hildred Geertz dan Magnis-Suseno. Prinsip rukun antara lain tercermin dalam konsep rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (rukun menjadikan sentosa perselisihan menjadikan kerusakan). Dalam Serat Nitisruti prinsip rukun ditekankan bagi orang yang mengabdi pada raja (negara). Konsep rukun jelas relevan dengan nilai sila II Pancasila, yakni Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan nilai sila III Pancasila, yakni Persatuan Indonesia.
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Konsep-konsep ajaran dalam Serat Nitisruti menyangkut beberapa hal yang menunjukkan relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila, yakni: (a) pandangan hidup, (b) pengertian kebaikan, (c) prinsip sosialitas. Konsep pandangan hidup menyangkut sebagai berikut. (1) Hidup berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Konsep ini relevan dengan nilai sila I Pancasila. (2) Manusia hidup di dunia ini tidak lama, konsep ini relevan dengan Sila I Pancasila. (3) Hidup ini tidak sendiri, hidup ini bersama makhluk lain, konsep ini relevan dengan Sila I Pancasila. Konsep kebaikan menyangkut konsep-konsep sebagai berikut. (1) Kebaikan itu hasil dari pertimbangan yang masak. Konsep ini relevan dengan Sila II Pancasila. (2) Kebaikan adalah Perbuatan Tanpa Pamrih. Konsep ini relevan dengan Sila II Pancasila. Pengkajian Serat Nitisruti sangat selaras dengan pengkajian nilai-nilai Pancasila dan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Titik tolak untuk memahami dan melaksanakan sila-sila Pancasila adalah manusia Indonesia itu sendiri yang mengakui dan menyadari bahwa keberadaannya tidak dapat berdiri sendiri melainkan bergantung kepada keberadaan Yang Mutlak. Kesadaran tentang Yang Mutlak mengejawantah di dalam kesadaran tentang diri sebagai makhluk yang mempunyai susunan kodrat berjiwa-raga, bersifat kodrat individual sekaligus sosial, berkedudukan sebagai pribadi yang otonom, mandiri dalam menentukan arah
hidupnya sekaligus sebagai makhluk Tuhan yang akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kemudian. Prinsip
sosialitas
menyangkut
konsep-konsep
sebagai
berikut.
(1)
Memperhatikan orang lain merupakan konsep yang relevan dengan sila II Pancasila. (2) Prinsip Tepa Selira, merupakan konsep yang relevan dengan sila II Pancasila. (3) Prinsip Karyenak Tyasing Sasama, merupakan konsep yang relevan dengan sila II dan sila III Pancasila. (4) Prinsip menyayangi sesama manusia, merupakan prinsip yang relevans dengan Sila II Pancasila. (5) Prinsip memaafkan yang bersalah, merupakan prinsip yang relevan dengan sila II Pancasila. (6) Prinsip Rukun, merupakan prinsip yang relevan dengan sila II atau sila III Pancasila. Ajaran moral dalam Serat Nitisruti, dengan demikian, dapat difungsikan dalam rangka memperkokoh atau menegaskan kembali nilai-nilai Pancasila yang merupakan nilai yang digali dari bangsa Indonesia sendiri.
B. Saran Konsep-konsep etika Jawa, seperti yang diajarkan dalam Serat Nitisruti tampak relevan dengan nilai-nilai Pancasila, oleh karena itu perlu kajian yang lebih luas lingkupnya mengenai etika Jawa dalam hubungannya dengan hidup bernegara yakni sebagai bangsa yang ber-Pancasila Perlu diadakan penelitian lebih lanjut pada berbagai teks yang berisi ajaranajaran moral yang berjenis serat niti, khususnya yang menyangkut ajaran moral kenegaraan, seperti Serat Nitipraja, Serat Sewaka, dan sebagainya, sehingga penggambaran idealisme kenegaraan pada masa lampau semakin jelas memperkokoh
kehidupan bernegara di masa kini dan yang akan datang, khususnya pada relevansinya dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai ajaran moral pada jenis serat-serat niti yang relevan dengan nilainilai Pancasila kiranya dapat dimanfaatkan sebagai sarana mensosialisasikan kembali nilai-nilai tradisional yang sekaligus memperkuat keyakinan pada kebaikan nilai-nilai Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadamin, 1983. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta : Bulan Bintang. Anonim, Serat Nitisruti (naskah berhuruf Latin berbahasa Jawa) Asdi, Endang Daruni, 1977. Imperatif Categoris Immanuel Kant, Yogyakarta: Andi Offset Bakry, Noor Ms., 1997, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Liberty Barried, Siti Baroroh, dkk., 1985, Pengetahuan Teori Filologi, Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Baker, Anton dan Achmad Charris Zubair, 1994. Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta : Gama Press. Behrend dan Tuti Pujiastuti, 1997. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara. Fakultas Sastra. Jakarta : Yayasan Obor. Bertens, 1997. Etika. Jakarta : Gramedia Utama. Darusuprapto, 1980. Jejer Kalenggahaning Pujangga ing Kasusastran Jawi. Yogyakarta : Taman Siswa. _____________, 1990, Ajaran Moral dalam Susastra Suluk, Jakarta: Depdikbud De Jong, 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta : Kanisius. Drijarkara, 1978. Percikan Filsafat. Jakarta : Djambatan. Fudyartanta 1974. Etika Intisari Filsafat Kesusilaan dan Moral. Yogyakarta : Warawidyani. Hardjasoemantri, Koesnadi, 1987, Sambutan pada Seminar Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan ilmu dalam Prawirodiardjo, dkk. Ed., Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat Hazim Amir, 1996. Sastra Jawa dalam Pendidikan Moral Pancasila. Malang : Kongres Bahasa Jawa II. Jatirahayu, Warih, 2001, “Meningkatkan Gairah Belajar Bahasa Jawa dengan Media Simulasi” dalam Proseding Konggres Bahasa Jawa Ke-3: Pembinaan dan Pengajaran, Yogyakarta: Penerbit Media Presendo
Joesoef, Daoed, 1987, “Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan” dalam Prawirodiardjo, dkk. Ed., Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat Kaelan, 2008, Pendidikan Pancasila, ed. IX, Yogyakarta: Paradigma _______, 2002, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Paradigma ________, 2006, Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya terhadap Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Penerbit Paradigma Kartodirdjo, Sartono, dkk. 1988, Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa, Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), 2008 Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka Luxemburg, Jan Van, 1986, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: Gramedia Magnis-Suseno, Franz 1984, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia _________________, 1997. 13 Model Pendekatan Etika Bunga Rampai Teks-teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzche. Yogyakarta : Kanisius. Mangkurejo, Marbangun, 1977. Manusia Jawa. Jakarta : Inti Idayu Press. Mardiatmaja, 1986, Bausastra Jawa – Indonesia. Jakarta : Haji Mas Agung. Mudhofir, Ali. 1988. Kamus Filsafat. Yogyakarta : Liberty. Notonagoro, 1974. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta : Cipta Buwana. __________, 1997, cet. x, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Bumi Aksara Nurgiyantoro, Burhan, 2002, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Padmopuspito, Asia, 1989, Diktat Teori Sastra Jawa, FBS UNY Padmosoekotjo, tt., Ngengrengan Kasusastran Djawa, Jogjakarta: Hien Hoo Sing Poedjawiyatna, 1983. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta : Obor Indonesia. Poerbatjaraka, R. Ng., 1957, Kapustakan Djawi, Jakarta: Djambatan.
Poerwadarminta, W.J.S., 1939, Baoesastra Djawa, Batavia: Wolters Uitgevers Maatschappij. Prawiroadmojo, 1988. Bausastra Jawa – Indonesia. Jakarta : Haji Mas Agung. Sabdawara, M, 2001, “Pengajaran Bahasa Jawa sebagai Wahana Pembentukan Budi Pekerti Luhur”, dalam Proseding Konggres Bahasa Jawa Ke-3: Pembinaan dan Pengajaran, Yogyakarta: Penerbit Media Presendo Shah, 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Obor. Soedarsono, Djoko Sukiman, Retno Astuti, 1985. Wanita, Kekuasaan dan Kejahatan Beberapa Aspek Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Javanologi. Soetrisno, 1977, Falsafah Hidup Pancasila sebagaimana Tercermin dalam Falsafah Hidup orang Jawa, Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Masyarakat Universitas Gadjahmada Sri Mulyono, 1989. Simbolisme Mistikisme dan Filsafat Wayang. Jakarta : Gunung Agung. Sudiarja, 1995. Etika. Yogyakarta : Fakultas Universitas Gadjah Mada. Sujanto, 1993. Kebudayaan Jawa Menatap Era Globalisasi. Semarang : Lembaga Javanologi. Sumarno, 1996. Karakter Seorang Pemimpin : Suatu kajian terhadap Serat Wulang dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwana IX. Yogyakarta : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Sumarsih, 1994. Ajaran Moral dalam Serat Yadnya Susila Analisa Pragmatis. Yogyakarta : Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Sumintarsih, dkk., 2000. Pengetahuan, Sikap, Keyakinan dan Perilaku Ddikalangan Generasi Muda serta Tata Krama di Kota Semarang, Jawa Tengah. Yogyakarta: Depdiknas, Proyek pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai budaya Provinsi DIY.
Sunoto, 1983. Menuju Filsafat Indonesia Negara-Negara di Jawa Sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Yogyakarta : Hanindita. _______,1989. Nilai-nilai Luhur yang Terkandung dalam Ajaran yang Terdapat dalam Keluaga dan Masyarakat Jawa dan Manfaatnya bagi Pembangunan Nasional. Yogyakarta : Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Supadjar, Damardjati, 1991. Budaya Spiritual pada Masa Lalu, Kini dan yang Akan Datang. Jakarta : Kongres Kebudayaan.
________________, 1993. Nawangsari. Jakarta : Media Widya Mandala. Sutrisno, 1977. Falsafah Hidup Pancasila sebagaimana Tercermin dalam Falsafah Hidup Orang Jawa. Yogyakarta : Lembaga Pengembangan Masyarakat Universitas Gadjah Mada. Sutadi, 2006, Mbangun Praja kangge Nanggapi Ewah-ewahan Jaman, Jawa Tengah: Pepadi Tohari, Ahmad, 2009, “Benarkah Sastra Bisa Membentuk Karakter Pmebaca”. Makalah yang disampaikan di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY tanggal 18 November 2009. Wellek, Rene & Austin Warren, 1990, Teori Kesusastraan. (Terjemahan Melani Budianta, 1956, Theory of Literature) Jakarta: Gramedia. Wibisono, Koento, 1987, “Filsafat Pancasila dan Aliran-aliran Filsafat Barat” dalam Prawirodiardjo, dkk. Ed., Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat Widayat, Afendy, 2004, Diktat Teori Sastra Jawa, FBS UNY Zuchdi, Darmiyati, 1993, Panduan Analisis Konten. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta. Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif perubahan. Jakarta: PT Bumi Aksara