MANUSIA DAN KEMATIAN Oleh Noh I. Boiliu A. MANUSIA DAN BADANNYA 1. ARTI BADAN Apakah jiwa itu masih terus hidup ataukah akan mati? Saya kira kalau kita mau berbicara soal ini sebaiknya terlebih dahulu kita memahami dan mengerti “apakah manusia itu? kalau kita menjawab manusia adalah ciptaan Tuhan maka tentu itu adalah sebuah jawaban teologis, dan jawaban seperti itu akan segera mengakhiri petualangan berpikir kita tentang “manusia”. Dan kita juga tidak akan mendapatkan apa-apa dari pertanyaan seperti itu. Memang jawaban seperti itu tidaklah salah, namun sekali lagi “apakah manusia itu?. Manusia menjadi sadar karena badannya. Ia berbeda dari makhluk yang lain. Dengan demikian maka manusia adalah makhluk yang berbadan. Badannya bersatu dengan realitas sekitarnya dan dengan demikian manusia bangkit dan berada dalam suatu cahaya, dia melihat dirinya dan barang-barang, dia menempatkan diri, mengerti sini dan sana. Dengan badannya ia dapat bertindak, berbuat ini dan itu. Kecacatan pada tubuh mengurangi kesadarannya dan merusak pula keindraannya, dan ia tidak bisa mengerti dunia, Jadi, berkat badannyalah dia bisa menjalankan dirinya. Menjadi catatan bagi kita, pertama; sebaiknya kita tidak berkata tentang badan dan jiwa. Bila kita berkata AKU, maka bukan badan dan juga bukan jiwa. Manusia tidak sadar tentang jiwa melainkan tentang AKU. Manusia mengalami diri dan barang-barang: sebagai subjek. Subyek artinya berdiri sendiri mengambil tempat (posisi) dan sikap, jadi, menghadapi. Atau “bereksistensi”.1 Istilah ini oleh Martin Heidegger disebut “da-sein”; “Da” berarti “di sana” dan “sein” berarti “berada”. Maka dari itu haruslah kita bedakan antara “eksistensi” dan “berada”. Sebab selain manusia tidak dapat bereksistensi (tumbuh-tumbuhan, hewan memang ada, kita tidak memungkiri keber-ada-annya namun tidak bereksistensi. Tidak menyadari diri sebagai subjek). Yang dihadapi adalah diri sendiri dan realitas. Dia menghadapi karena punya daya, punya kemampuan. Berbeda dengan barang material dan hewan, keduanya tidak dapat menghadapi diri dan realitas sebab tidak punya daya dan kemampuan. Kemampuan manusia menghadapi diri sendiri dan realitas disebut kemampuan rohani. Rohani, karena tidak sama dengan yang lain. Kemampuan itu bisa kita sebut sifat, maka dikatakan manusia bersifat rohani.
Jadi, seluruh subyek manusia bersifat rohani. Rohani itu tidak berada di dalam. Seluruh gestalt manusia berbeda dengan yang lain. Maka dalam semua itulah nampak kerohaniannya. Bersamaan dengan itu, manusia juga jasmani artinya materi. Dia berat atau ringan, berdarah dan berdaging, bisa dilihat secara anatomis. Kesemuanya tidak lepas dari barang materi. Maka kita berkata seluruh manusia itu juga jasmani. Seluruh manusia adalah rohani; seluruh manusia adalah jasmani. Kesatuan itu bisa kita sebut kesatuan rohani-jasmani. Berarti manusia itu rohani ya jasmani. Hanya saja, ketika kita berpikir tetang unitas ini (jiwa-badan), janganlah kita memecahnya sebagai dua hal yang berbeda. Badan tidak berdiri sendiri/independen. Dalam realitas, yang ada bukan badan, tetapi manusia dan ini mempunyai aspek rohani dan jasmani. 2. BADAN DAN KESATUAN MANUSIA (AKU). Jelas bahwa tidak dibedakan badan dan jiwa. Yang nampak adalah AKU. Manusia berbicara tentang diri sendiri. Dalam bicara itu, ia berkata tentang badan dan jiwa. Dasarnya, ia menangkap aspek rohani dan jasmani dari dirinya sendiri. Maka dari itu ia berpikir dan memecah jiwa-badan. Badan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri-di luar dan juga jiwa-di dalam. “Di dalam “ dan “di luar” membuatnya berpikir untuk memecahnya. Maka sebaiknya kita katakan, AKU ini ya rohani ya jasmani. Badan adalah bentuk konkrit dari kejasmanian. Yang ada adalah AKU bukan badan. Sebab AKU itu “ya rohani ya jasmani”. Badan bukanlah seperti sepatu dan topi yang hanya menempel. Jiwa juga bukan seperti sepatu dan topi yang hanya menempel. Badan-jiwa adalah unsur diriku, unsur AKU-ku. Dalam AKU telah termuat jiwa dan badan. 3. BADAN SEBAGAI BENTUK DARI ASPEK JASMANI MANUSIA Dalam aspek jasmani terlihat jelas penuh dengan aspek rohani. Manusia itu bukan sebelah kiri dan sebelah kanan. Bukan dua yang berdampingan melainkan dalam kata saya sendiri “saling memuat” tetapi termuat di sini bukan bertumpuk-tumpuk. Dengan istilah Drijarkara, “curiga manjing warangka dan warangka manjing curiga”. Bahwa jiwa itu “dalam badan” dan badan itu “ada dalam jiwa”. Jiwa memuat badan dan badan memuat jiwa. Sehingga ketika melihat badannya sebagai yang nampak maka kita melihat seluruh aspek kerohanian (jiwa).
Pada badannya, ada unsur estetis. Tetapi bila salah satu anggota badannya cacat, dicontohkan oleh Drijarkara “lihatlah secantik-cantiknya, seseorang tetapi jika hidungnya digigit monyet sedikit saja maka hilanglah semua keindahan”. Dalam sisi aksilogisnya, yakni aksinya dalam tari menunjukkan suatu keindahan. Ia juga dapat menemukan banyak hal (ilmupengetahuan), itu karena berkat badannya. B. Kematian Kematian adalah fenomea alamiah dan mutlak bagi setiap orang. Kelahiran bisa saja diprediksi namun kematian, siapakah yang dapat memprediksi? Namun, bila sudah mati masih adakah kelanjutan bagi bagi manusia? pertanyaan ini adalah sebuah paradoks, karena manusia itu “fana dan baka”2Keyakinan ini dapat kita temukan dalam setiap agama. Dalam kebudayaan Romawi dan Yunani diyakini bahwa jiwa akan pindah ke”hades”,3Orang Yahudi berkata, orang yang mati akan diterima di “pangkuan Abraham ”. Agama Budha mereka yang mati akan ke “nirmawa”. Sedangkan orang Hindu percaya adanya “reinkarnasi”. Semua orang bahwa manusia akan mati. Namun apakah artinya kematian (mati)?. Kematian/mati tidaklah mudah untuk didefinisikan. Namun, marilah kita telaah dari sisi kedokteran dan sisi agama untuk mencari apakah yang disebut mati itu?. Bagi kebanyakan orang mati adalah berhentinya denyut jantung, pernafasan dan tidak berfungsinya otak. Namun dari sisi sains tidaklah mudah untuk mendefinisikannya. 1. Kematian dari Sudut Pandang Medical. Dalam British Medical Journal, terbitan 18 Mei 1963, melaporkan seorang anak lelaki berumur 5 tahuan yang tenggelam ke sebuah sungai di Norwegia yang suhunya 10C selama kurang lebih 20 menit. Dokter pertama yang memeriksa menyatakan anak tersebut mati suri, karena pupilnya melebar dan kulitnya berwarna kebiru-biruan. Setelah dilakukan pertolongan media dan transfusi darah, maka anak itu segera bernafas. Dalam contoh kasus ini, apakah si anak itu mati atau hidup? Di sinilah begitu tidak mudahnya menentukan batas hidup dan mati. Dalam ilmu kdokteran, ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam penentuan kematian seseorang yaitu “jantung, paru-paru dan otak (khususnya batang otak”.4Inilah pernyataan dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Ketiga organ merupakan organ vital, sebab secara ilmu kedokteran berhentinya jantung mengakibatkan berhentinya
pernafasan,5 bila jantung berhenti bekerja maka peredaran darah ke seluruh tubuh tidak akan berjalan, akibatnya seluruh organ manusia menjadi kaku. Sedangkan bila paru-paru berhenti bekerja maka tidak akan menarik oksigen ke dalam tubuh. Menurut Soemiatno, otak dan segala yarafnya sangat peka terhadap kekurangan oksigen dan anoksemia.6 Dari sini kita melihat hubungan yang sangat erat antara otak dan paru-paru. Bila otak/batang otak mati maka segala syaraf tidak bekerja lagi. Inilah yang oleh beberapa ahli disebut ‘brain dead”. Brain dead atau kematian otak adalah pernafasan yang sudah berhenti namun jantung masih berdenyut. Jika yang terjadi pertama kali adalah berhentinya pernafasan yang biasanya terjadi karena kerusakan otak yang hebat, maka jantung akan berhenti berdenyut setelah beberapa menit pernafasan berhenti. Tetapi dengan tersedianya ventilator yang mengambil alih pernafasan telah memberikan kemungkinan baru, di mana jantung masih dapat bekerja lebih lama setelah pernafasan alamiah berhenti. Jika pencairan cukup dan tekanan darah tetap dipertahankan jantung akan tetap berdenyut dan tetap memelihara kehidupan organ tertentu, hanya untuk beberapa hari biasanya empat puluh delapan sampai tujuh puluh dua. Dalam keadaan seperti ini di mana kerusakan otak tidak disembuhkan, yang menyebabkan tidak bisa dipulihkan kembali.7 Bila ini yang terjadi (brain dead) maka pasien tersebut dinyatakan benar-benar mati. Di Indonesia, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) no. 18 tahun 1981, Bab I Pasal 1g menyebutkan bahwa “meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, prnafasan, dan denyut jantung seseorang telah berhenti”.8 Thanatologi mempelajari tentang kematian orang yang tidak disebabkan oleh karena alam (kodrat) sebab yang alami, haknya Tuhan. Misalnya mati suri (apparent death) yang disebabkan oleh karena aliran listrik atau disambar petir. Pasien ini dapat ditolong ditempat kejadi dengan pernafasan buatan sampai hidup kembali atau sampai timbul tanda-tanda kematian: a. Tanda klinis, yaitu pertama, pernafasan berhenti, bercak pada cermin tidak ada, sedang yang kedua denyut jantung berhenti secaa auscultatoris (didengarkan dengan stethoscope) b. Tanda-tanda sekunder, empat hal ialah: livor martis (bercak mayat), rigor mortis (kaku mayat), algor mortis (pembusukan), dan decomposition (penguraian)9 Oleh karena itu dalam medical forensis ketiga hal ini: livor mortis, algor mortis, dan rigor mortis akan menjadi hal penting untuk menetukan sudah berapa lama orang itu mati.
Dari sisi psikologis, tentu yang menjadi perhatian adalah pada jiwa atau psikhe manusia. Dalam hal ini ada beberapa orang berpendapat bahwa psikhe itu juga soal hal spiritual, oleh karena itu ada penekanan pada sisi ini yang pada “relasi cinta kasih manusia”.10Namun, ketika manusia sudah mati maka ia tidak dapat berbuat apa lagi sebab tempatnya (tubuh) sudah tidak berfungsi lagi. Hal ini juga menjadi pergumulan dalam dunia kedokteran sebab jiwa itu abstrak, tidak dapat ditangkap oleh panca indra. 2. Kematian dari Sudut Pandang Filsafat. Kematian? Kematian merupakan batas hidupan manusia dan merupakan keharusan yang harus dijalani. Namun, kadang kala membuat manusia cemas dan takut. Namun, takut di sini tidaklah seperti takut di marahi orang tua, namun istilah “kematian” yang dipakai di sini adalah “kematian yang dasariah” yang oleh Heidegger di sebut “angst”. Perasaan takut terhadap orang tua bisa dapat diatasi namuan “ketakutan karena kematian” tak dapat diatasi. Kematian tidak hanya berdempetan dengan being-nya manusia namun memeluk erat totalitas eksistensi manusia. Merupakan ‘pelukan mesra’ tinggal menunggu waktu dalam proses Angst sampai Sein-zum-Tode”.11Plato pun menyadari hal ini. Ia sadar tentang kematian. Bahkan ia menghimbau para muridnya “agar tidak dipengaruhi oleh tubuh melainkan senantiasa mengangkat hati ke sorga. Artinya di sini ada yang yang rohani dan ada yang jasmani (ada yang kekal dan ada yang tidak kekal). Plato berkata: Jiwa mempunyai asal-usul yang lebih luhur daripada kenyataan dunia ini. Karena itu ia tidak tergantung kepada proses perubahan terus-menerus tetapi dia dekat dengan dunia abadi yang terdiri dari ide-ide.. dunia konkret ini hanyalah sekedar bayangan dari dunia abadi itu. Bila tubuh musnah, jiwa hidup terus12Plato melihat jiwa seumpama “nakhoda kapal”, dapat mengarahkan namun “bila jiwa itu terpengaruh oleh dunia materi, maka akibatnya, Tartaros/neraka. Agar manusia tidak mengalami tartaros maka manusia memberi kesempatan kepada logos. 3. Kematian dari Sudut Pandang Alkitab Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru istilah kematian disebut “mut, mawet (PL), dan thanatos, nekros (PB)”. Kematian dalam Alkitab dipahami sebagai: 1. Keterpisahan dengan Allah karena dosa. Istilah ini dapat kita temukan dalam kitab Kejadian 2:17 “tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu janganlah kau makan, sebab pada hari engkau memakannya, engkau pasti mati”. Kematian di sini
adalah keterpisahan dengan Allah. Saya kira hal ini tidak hanya soal keterpisahan dengan Allah (bukan keterpisahan yang menjadi tekanan) sebab ketika Adam dan Hawa mengambil keputusan untuk memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat maka sesungguhnya mereka telah melakukan tindakan pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Sehingga di dalam PB, Paulus seperti yang dikatakan kepada jemaatnya yang di Efesus bahwa “kamu dahulu mati oleh karena dosa-dosamu”. Dan upah dosa ialah maut. Dalam pemahaman ini memang manusia (juga Adam dan Hawa) belum mengalami kematian tubuh (terpisahnya tubuh dan jiwa) melainkan kematian rohani. Namun, bagi saya istilah “kematian rohani” tidaklah tepat. Sebab yang disebut “mati” berarti tidak ada kehidupan dan aktivitas (no live and no aktivity). Padahal, ketika manusia (Adam dan Hawa) memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, mereka sadar telah melanggar hukum Tuhan maka dari itu mereka bersembunyi. Sadar tentang keberdosaan mereka berarti masih punya daya rohani (power of spiritual). Ini terbukti dari kesadaran mereka mengenai “dosa” yang mereka buat artinya masih sadar “akan adanya Tuhan”. Istilah rohani dalam bahasa Inggris disebut “mental, spiritual” berarti hal yang berhubungan dengan jiwa, batin, rohaniah”. Jadi, bagi saya tidak ada kematian rohani (spiritual death) yang ada adalah “terputusnya komunikasi manusia (dalam konteks kejatuhan di taman Eden dan dalam relevansinya dengan masa kini) dengan Allah”. Dalam situasi seperti ini, kesadaran spiritual manusia masih ada hanya saja tidak dapat berkomunikasi dengan Tuhan”. Nah, bagi saya ini merupakan masa gelap manusia sebab Allah diam seribu bahasa. Manusia hanya dapat berkomunikasi dengan Allah jika “ia mau kembali kepada hubungan semula” dengan mengakui segala kesalahan/pelanggarannya kepada Tuhan dan membuat rekonsiliasi hubungan dengan Tuhan. Dan bila ia tidak memulihkan hubungannya dengan Tuhan maka ia akan mengalami “siksaan yang kekal” bukan kematian kekal. Sebab jiwanya/rohnya (saya gunakan ke dua istilah ini menyangkut teori dikhotomi dan trikhotomi) tidak mati. Dalam Lukas 16:19-31 menceritakan tentang kisah orang kaya dan Lazarus yang miskin. Kedua-duanya mati, orang kaya menerima balasan perbuatannya di dunia yakni di neraka dan Lazarus menerima upah “berada di pangkuan Abraham ”. Di ayat 23 dikatakan “orang kaya itu juga mati, … dan sementara ia menderita di alam maut (neraka)…”. Dari kisah ini, adalah tidak logis kalau jiwa mati tetapi masih merasakan derita dan sengsara alam maut/neraka. Ini kontradiktif sekali.
Idealnya dan sesuai dengan kenyataan bahwa “semua manusia yang hidup adalah dapat merasakan sesuatu/merasa dingin, panas, dll”. “Semua manusia yang mati (jasmani) tidak merasa” sebab yang membuat manusia merasa “sudah terpisah/tidak ada dalam aktualitasnya melalui badan”. Namun masih hidup sehingga “ia/jiwa” masih harus menghadap ke tahta pengadilan Allah untuk menerima hukuman, yakni siksaan di neraka. Justru jiwa masih hidup makanya menghadap tahta pengadilan Allah untuk diadili, surga atau neraka. Sangat tidak mungkin kalau “dikatakan mati” tetapi masih merasakan panasnya api neraka. Jadi, bagi saya tidak ada “kematian kekal tetapi siksaan/hukuman yang kekal”. 2. Terpisahnya jiwa dan tubuh. Yesus, sebagaimana dalam kisah kematian saudara-Nya Lazarus dalam Yohanes 11:11, di sana dikatakan bahwa “Lazarus hanya tidur”. Namun, di teks PB yang lain dalam ceritera mengenai orang kaya yang bodoh, Yesus berkata “hai orang bodoh pada malam ini juga jiwamu akan diambil”. Istilah tidur yang dipakai Yesus dalam teks Yohanes 11:11 memang di dalam teks asli berarti tidur, namuan haruslah kita pahami sebagai kiasan yang sama artinya dengan mati. Dalam kisah kematian Stefanus (Kisah para Rasul 7:60) Paulus melukiskan kematian Stefanus sebagai “tidur”. Dan bahwa tubuh akan mati tetapi tidak akan mati (Roma 8:10). Yesus juga mengalami kematian tubuh. Ia dijatuhi hukuman mati oleh pemerintahan Romawi. Yesus berkata “Ya Bapa ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku. Yesus menyerahkan nyawaNya”. Dengan putusnya nyawa Kristus maka itulah kematian.
1
Eksistensi ddiambil dari istilah latin existentia dari kata ex artinya keluar dan sistentia (sistere) artinya keluar. Jadi, existentia berarti berdiri di luar diri. 2 Adelbert, Snijders, Antropologi Filsafat Manusia, Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal.183. 3 Ibid, hal.185 4 Pernyataan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (Perjanjian Baru IDI) yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret. Lihat Majalah Medika, 30 April 1985, hlm. 321. 5 Soemiatno, Penetuan Mati Sepanjang Masa, dalam Majalah Medika, No. 5 Tahun 12 Mei 1986, hl. 46. 6 Ibid, hl. 467. 7 K.H, Soekamta, Kamtian Manusia: Telaah Komparatif Pemikiran Heidegger dan Injil Yohanes, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2003), hal.16-17. 8 Anonim, Kode Etik Kedokteran di Indonesia, 1983. 9 Soekamta, Op.cit, hlm. 18. 10 Louis, Leahy, Kematian dalam Kontekstualisasinya Dewasa ini”, Driyarjara. Majalah Filsafat STF Driyarkara Jakarta, Tahun XVII No. 2, (Jakarta: SM STF Driyarkara Jakarta, 1990/1991. 11 Sein-zum-Tode berarti keberadaan menuju kematian (tode).Soekamta, Op.Cit, hlm. 49. 12 C.A. van Peursen, Tubuh-Jiwa-Roh, Terj. K. Bertens, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet 2, 1983), hlm. 43.
Kepustakaan Drijarkara, N. Filsafat Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2005. Peursen, C.A. van, Tubuh-Jiwa-Roh, Terj. K. Bertens, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet 2, 1983. Siswanto, Joko, Metafisika Sistematik, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2004. Snijders, Adelbert, Antropologi Filsafat Manusia, Paradoks dan Seruan, Yogyakarta: Kanisius, 2005. Skripsi dan Jurnal: Leahy, Louis, Kematian dalam Kontekstualisasinya Dewasa ini”, Driyarkara. Majalah Filsafat STF Driyarkara Jakarta, Tahun XVII No. 2, Jakarta: SM STF Driyarkara Jakarta, 1990/1991. Soekamta, K.H, Kamtian Manusia: Telaah Komparatif Pemikiran Heidegger dan Injil Yohanes, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2003. Soemiatno, Penentuan Mati Sepanjang Masa, dalam Majalah Medika, No. 5 Tahun 12 Mei 1986. Pernyataan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret. Lihat Majalah Medika, 30 April 1985. Anonim, Kode Etik Kedokteran di Indonesia, 1983.