1
BAB I KEHILANGAN DAN KEMATIAN A. Latar Belakang 1. Pengertian Kehilangan Kehilangan
dan
berduka
merupakan
bagian
integral
dari
kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya. Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung: a. Arti dari kehilangan b. Sosial budaya c. kepercayaan / spiritual d. Peran seks e. Status social ekonomi kondisi fisik dan psikologi individu Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu
1
2
mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social. 2. Bentuk-bentuk kehilangan Kehilangan orang yang berarti Kehilangan kesejahteraan Kehilangan milik pribadi
3. Sifat kehilangan a. Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan) Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima. b. Berangsur–angsur
(Dapat
Diramalkan)
Penyakit
yang
sangat
menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social. 4. Tipe kehilangan a. Actual Loss Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu yang mengalami kehilangan.
2
3
b. Perceived Loss ( Psikologis ) Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas. c. Anticipatory Loss Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga
dengan
klien
(anggota)
menderita
sakit
terminal.
Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Nanun demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara berbeda.kematian seorang anggota keluargamungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise. 5. Lima kategori kehilangan a. Kehilangan objek eksternal. Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. b. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal Selma periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan diruma sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturaasionol, misalnya
3
4
ketika seorang lansia pindah kerumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam. c. Kehilangan orang terdekat Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja.Artis atau atlet terkenal mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian. d. Kehilangan aspek diri Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis.Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup anggota gerak , mata, rambut, gigi, atau payu dara. Kehilangan fungsi fsiologis mencakupo kehilangan control kandung kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta.Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau situasi.Kehilangan seperti ini dapat menghilangkan sejatera individu.Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri. e. Kehilangan hidup Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam- hidup kedalam enpat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau factor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatanya ,yang sering melibatkan serangkain krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal Klien yang mencapai fase terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi.Pada setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus
4
5
berubah Seseorsng dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dukungan adekuat. 6. Tahapan proses kehilangan a. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir positif – kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman. b. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit fisik. c. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif– tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku konstruktif – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan. d. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku destruktif – perasaan bersalah – ketidakberdayaan. e. Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif (konstruktif). B. KEMATIAN Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia. Namun, bencana gempa di Bantul memaksa anak untuk melihat dan atau mengalami
kematian
secara
tiba-tiba.
Pemahaman
akan
kematian
mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang terhadap kematian. Selain pengalaman,
pemahaman
konsep
kematian
juga
dipengaruhi
oleh
perkembangan kognitif dan lingkungan sosial budaya. Kebudayaan Jawa yang menjadi latar tumbuh kembang anak menjadi penting untuk diperhatikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak usia sekolah dan praremaja tentang kematian dengan mengacu pada tujuh subkonsep kematian,
5
6
yakniirreversibility,
cessation,
inevitability,
universability,
causality,
unpredictability, danpersonal mortality dari Slaughter (2003). Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan metode wawancara yang dilakukan pada tiga anak usia (6-7 tahun) dan 4 praremaja (10-11 tahun). Hasil penelitian menunjukkan pemahaman konsep kematian yang berbedabeda pada ketiga subjek yang berusia 6-7 tahun. Dua subjek belum memahami subkonsepunpredictability dan causality, sedangkan kelima subkonsep lainnya sudah dipahami oleh anak. Satu subjek lainnya hanya memahami subkonsep inevitability, universality, dan personal mortality, sedangkan empat subkonsep lainnya belum dipahami sama sekali. Secara umum ketiga subjek belum memahami kematian sebagai fenomena biologis. Partisipan yang berusia 10-11 tahun sudah memiliki ketujuh subkonsep kematian walaupun belum bisa mendeskripsikannya secara utuh. Hasil penelitian ini disoroti dari teori kematian, teori perkembangan dan budaya Jawa. Hasil penelitian ini berimplikasi pada teori perkembangan konsep kematian pada anak, dan juga pada seberapa jauh budaya Jawa memberikan kesempatan pada anak untuk memiliki pemahaman yang utuh tentang kematian. Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati. Berikut ini beberapa konsep tentang mati yaitu : 1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung. Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jatung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali. 2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
6
7
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakanakan nyawa dapat ditarik kembali. 3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi. 4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi social Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak. Olah karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan seperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not resuscitation). Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian sistem tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan yang belum jelas. Organ-organ lain akan mati kemudian.
7
8
BAB II TAHAP-TAHAP BERDUKA A. Berduka Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan
yang
aktual
ataupun
yang
dirasakan
seseorang,
hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe
ini
kadang-kadang
menjurus
ke
tipikal,
abnormal,
atau
kesalahan/kekacauan. 1. Teori dari Proses Berduka Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati. Teori Engels Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal. Fase I (shock dan tidak percaya) Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk
8
9
pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan Fase II (berkembangnya kesadaran) Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi. Fase III (restitusi) Berusaha
mencoba
untuk
sepakat/damai
dengan
perasaan
yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang. Fase IV Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum. Fase V Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang. 2. Teori Kubler-Ross Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut: Penyangkalan (Denial) bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien. Kemarahan (Anger) Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa
9
10
kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan. Penawaran (Bargaining) Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain. Depresi (Depression) Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah. Penerimaan (Acceptance) Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa. 3. Teori Martocchio Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun. 4. Teori Rando Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori: Penghindaran Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya. Konfrontasi Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut. Akomodasi
10
11
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
11
12
BAB III SPIRITUALITAS DAN RELIGI A. Pengertian Spiritual Spiritual adalah suatu usaha dalam mencari arti kehidupan, tujuan dan panduan dalam menjalani kehidupan bahkan pada orang-orang yang tidak memercayai adanya Tuhan. (Ellison, 2002). Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan sang pencipta (Achir Yani, 2000). Burkhard (1993) dalam buku Aspek Spiritual Dalam Keperawatan, berpendapat bahwa spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut: (1) berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan, (2) cara dalam menemukan suatu arti dan tujuan hidup, (3) memiliki kemampuan dalam menyadari kekuatan dalam untuk menggunakan sumber Pencipta. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Carson, 1989). Kesejahteraan spiritual adalah suatu aspek yang terintegrasi dari manusia secara keseluruhan yang ditandai oleh makna dan harapan. Kesehatan spiritual atau kesejahteraan adalah rasa keharmonisan yang saling berdekatan antara diri dengan orang lain, alam dan dengan kehidupan yang tertinggi. Rasa keharmonisan ini dicapai ketika seseorang menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan dan system keyakinan individu dengan hubungan mereka di dalam diri mereka sendiri dan dengan orang lain. Keyakinan ini sering berakar dalam spiritualitas orang tersebut. Sepanjang hidup seorang individu mungkin spiritual akan lebih tumbuh sehingga individu menjadi lebih menyadari tentang makna, tujuan dan nilai hidup. Spiritualitas memberi dimensi luas pada pandangan holistik kemanusiaan. Definisi spiritualitas atau dimensi spiritualitas akan unik dan berbeda bagi setiap individu. Definisi individual tentang spiritualitas dipengaruhi oleh kultur, perkembangan, pengalaman hidup dan ide-ide mereka sendiri tentang hidup. Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berusaha untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau
12
13
kematian, yang merupakan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995; Murray & Zentner, 1993, dalam buku Aspek Spiritual Dalam Keperawatan). Mickley et al (1992) membagi spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus dengan hubungan seseorang dan sang pencipta. Stoll (1989), menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal yang merupakan hubungan dengan pencipta yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri dengan orang lain dan dengan lingkungan. Hubungan antara dua dimensi ini berlangsung terus menerus. Meskipun spiriualitas sulit untuk didefinisikan, terdapat dua karakteristik penting tentang spiritualitas yang disetujui oleh sebagian orang: (1) Spiritualitas adalah kesatuan tema dalam kehidupan kita. (2) Spiritualitas merupakan keadaan hidup. Jika diambil dari definisi fungsionalnya, spiritualitas adalah komitmen tertinggi individu yang merupakan prinsipyang paling komprehensif dari perintah atau nilai final yaitu argument yang sangat kuat yang diberikan untuk pilihan yang dibuat dalam hidup kita (Potter & Perry, 2005). B. Spiritual dan Fase Perkembangan Spiritualitas dimulai ketika anak-anak belajar tentang diri mereka dan hubungan mereka dengan orang lain dan sering memulai konsep tentang ketuhanan atau nilai seperti yang disuguhkan kepada mereka oleh lingkungan rumah
mereka
atau
komunitas
religi
mereka.
Remaja
sering
mempertimbangkan kembali konsep masa kanak – kanak mereka tentang kekuatan
spiritual
dalam
pencarian
identitas,
mungkin
dengan
mempertanyakan tentang praktik atau nilai dalam menemukan kekuatan spiritual sebagai motivasi untuk mencari makna hidup yang lebih jelas. Banyak orang dewasa yang mengalami pertumbuhan spiritual ketika memasuki hubungan yang harmonis. Kemampuan untuk mengasihi orang lain dan diri sendiri secara bermakna adalah bukti dari kesehatan spiritualitas. Sejalan dengan semakin dewasanya seseorang, mereka sering berintrospeksi
13
14
untuk memperkaya nilai dan konsep ketuhanan yang telah lama dianut dan bermakna. Pada orang tua, sering terarah pada hubungan yang penting dan menyediakan diri mereka bagi orang lain sebagai tugas spiritual. Menetapkan hubungan dengan kehidupan atau nilai adalah salah satu cara mengembangkan spiritualitas. Kesehatan spiritual yang sehat pada lansia adalah sesuatu yang memberikan kedamaian dan penerimaan tentang diri dan hal tersebut sering didasarkan pada hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Penyakit dan kehilangan dapat mengancam dan menantang proses perkembangan spiritual. Distress spiritual dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna tentang apa yang sedang terjadi, yang mungkin dapat mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain. Individu meungkin mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup dan sumber dari makna hidup (Potter & Perry, 2005). C. Spiritual dan Keperawatan Secara tradisional, model holistic keperawatan tentang kesehatan telah mencakup dimensi fisik, psikologis, kultural, perkembangan, sosial dan spiritual. Setiap dimensi berhubungan dengan dimensi lainnya mengandung gambaran atau karakteristik yang unik. Terdapat model pilihan yang dikembangkan oleh Farran et al, yang menunjukkan signifikansi tentang spiritualitas sebagai suatu tema yang terintegrasi dalam hidup. Dalam model ini dijelaskan bahwa spiritualitas mewakili totalitas keberadaan seseorang dan berfungsi sebagai perspektif pendorong yang menyatukan berbagai aspek individual. Lebih jauh didefinisikan model penyatuan spiritualitas dengan meringkaskan berbagai pandangan teoritis tentang spiritualitas (Potter & Perry, 2005). Dimensi spiritualitas menyebar di seluruh dimensi lainnya, baik itu dikenali atau dikembangkan oleh individu atau tidak. Individu dikuatkan melalui
diri
yang
mengakibatkan
peralihan
kearah
kesejahteraan.
Pertumbuhan spiritual terjadi hampir pada seluruh rentang kehidupan. Individu mencapai tahap perkembangan yang berbeda tergantung pada karakteristik individu masing – masing dan interpretasi tentang pengalaman dan pertanyaan dalam kehidupan.
14
15
Terdapat pandangan teoritis mengenai spiritual serta bagaimana teori ini dapat diaplikasikan terhadap keperawatan. Menurut teori filosofi, perawat dapat meneliti esensial, asal, sifat dan nilai keyakinan spiritual seseorang. Filosofi membantu seseorang meneliti keyakinan seseorang guna memahami secara logis dan seberapa jauh spiritualitas menjadi cara hidup seseorang. Hal ini memberikan pemandangan yang luas tentang dimensi spiritual. Dari teori teologi spiritualitas dapat membantu perawat mencapai pemahaman tentang keyakinan seseorang mengenai sifat Tuhan atau menghargai kehidupan yang lebih tinggi. Teologi membentuk keyakinan seseorang tentang hidup dan makna dari pengalaman ini. Melalui pandangan teori fisiologis tentang spiritrualitas membantu perawat untuk memahami interaksi yang terjadi diantara tubuh, pikiran dan spirit dalam sehat dan sakit. Pandangan psikologis memberi perawat suatu pemahaman tentang proses mental seseorang, pengalaman, dan emosi serta peran spiritualitas yang dimainkan dalam ekspresi yang berbeda pada tiap – tiap individu. Perawat akan mampu mencerna apa yang member makna hidup pada klien, kemana klien mencari pedoman, dan dari sumber apa klien mendapat dorongan dan harapan. Dalam teori sosiologi dijelaskan bahwa semua orang dipengaruhi oleh masyarakat atau kelompok dimana mereka hidup. Pandangan ini membantu perawat memahami pentingnya individu dan kelompok yang menempatkan hubungan dengan seseorang yang mempunyai keyakinan serupa. Pandangan ini juga menunjukkan kepentingan dan makna yang dimiliki dalam ritual dan praktik bagi individu dan kelompok (Potter & Perry, 2005). D. Religi / Spiritualitas dan Neuropsikiatri Pengalaman spiritual, religi dan ritual merupakan hasil dari perubahan evolusional dari otak yang membantu manusia untuk bersosialisasi dan membentuk komunitas dan kelompok. Dari sudut pandang evolusional, spiritualitas atau religi dapat diibaratkan sebagai suatu keuntungan bagi manusia
dibandingkan
spesies
lainnya.
Mungkin
terdapat
proses
neurochemical yang kompleks yang terjadi di otak. Hampir semua sinaps yang dipakai untuk menjalankan sinyal pada sistem saraf pusat manusia adalah sinaps kimia. Pada sinaps kimia ini, neuron
15
16
pertama menyekresikan pada sinaps ujung sarafnya suatu bahan kimia yang disebut
neurotransmitter
(atau
sering
disebut
bahan
transmitter).
Neurotransmitter ini berdistribusi secara luas di otak dan menutupi wilayah yang spesifik. Neurotransmitter ini disintesiskan di neuron pre-sinaptik dan dilepaskan dari neuron kedalam celah sinaptik dan bertindak mengikuti reseptor neurotransmitter yang spesifik. Neurotransmitter hanya bisa terikat pada reseptor spesifik ini, dan efeknya dipengaruhi oleh reseptor ini. Serotonin dan Dopamine menutupi aktivitas otak pada orang yang ikut dalam praktik religi maupun aktivitas spiritual. Andrew Newberg (2009), mempelajari fungsi otak pada orang yang melakukan meditasi atau berdoa. Dia mengemukakan bahwa pengalaman mistis dan spiritual dapat diukur dan dijelaskan melalui pathway anatomis yang kompleks. Bagian frontal lobe merupakan salah satu bagian yang paling dipengaruhi oleh aktivitas religi yang dilakukan. Newberg berfokus pada prefrontal cortex dan hubungannya dengan thalamus, posterior superior lobe dan system limbic (terutama amygdala dan hippocampus) , dengan mengukur aliran darah diotak Newberg menyimpulkan bahwa semakin seorang individu itu masuk kedalam suatu kegiatan spiritual ataupun religi maka frontal lobe dan limbic system akan semakin aktif. Bagian frontal lobe merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam konsentrasi dan perhatian dan system limbic merupakan bagian dimana emosi dan perasaan serta perilaku diatur. Menariknya, ketika frontal lobe dan limbic system aktif bekerja, maka parietal lobe menjadi kurang aktif. Studi yang dilakukan dengan menilai aktivitas otak menggunakan topographical electroenchepalogram, aliran darah otak ataupun metabolism cerebral menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan aktivitas temporal lobe selama melakukan aktivitas religi. System saraf otonom (simpatik dan parasimpatik) juga mengalami aktivitas yang signifikan selama melakukan meditasi dan aktivitas spiritual lainnya. Aktivasi yang terjadi pada system saraf otonom ini menyebabkan penurunan denyut jantung dan laju pernapasan yang merupakan efek dari rasa rileks yang dirasakan. Endophenotype merupakan suatu pengukuran yang dapat dilakukan untuk menilai hubungan genetik dan
16
17
kelainan yang dimiliki individu. Dengan menghubungkan varian DNA dan psikologikal phenotype maka akan memberikan kemudahan untuk mengetahui pengaruh genetik pada seseorang. E. Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas Menurut Taylor et al (1997) dalam buku Aspek Spiritual Dalam Keperawatan, ada beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang, yaitu: 1. Tahap perkembangan: berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka memiliki konsep spiritualitas yang berbeda menurut usia, jenis kelamin, agama dan kepribadian anak 2. Keluarga: peran orang tua sangat penting dalam perkembangan spiritualitas seorang anak karena orang tua sebagai role model. Keluarga juga sebagai orang terdekat di lingkungan dan pengalaman pertama anak dalam mengerti dan menyimpulkan kehidupan di dunia, maka pada umumnya pengalaman pertama anak selalu berhubungan dengan orang tua ataupun saudaranya 3. Latar belakang etnik budaya: sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Hal yang perlu diperhatikan adalah apapun tradisi agama atau system keagamaan yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual tiap individu berbeda dan mengandung hal unik. 4. Pengalaman hidup sebelumnya: Pengalaman hidup baik positif maupun negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Selain itu juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap sebagai suatu ujian . Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang memerlukan kedalaman spiritual dan kemampuan koping untuk memenuhinya. 5. Krisis dan perubahan: krisis dan perubahan dapat memperkuat kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika individu dihadapkan
17
18
dengan hal sulit. Apabila klien mengalami krisis, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk melakukan kegiatan spiritual menjadi lebih tinggi. 6. Terpisah dari ikatan spiritual: individu yang biasa melakukan kegiatan spiritual ataupun tidak dapat berkumpul dengan orang terdekat biasanya akan mengalami terjadinya perubahan fungsi spiritual.
18
19
BAB IV NYERI DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB NYERI 1. Pengertian Nyeri Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenagkan. Sifatnya sangat subjektif karna perasaan nyeri berbeda pada setiap orang baik dalam hal skala ataupun tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan dan mengefakuasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2008). Internasional Association for Study of Pain (IASP), mendefenisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenagkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2005). Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang tidak menyenagkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut dan mual (Judha, 2012). 2. Sifat Nyeri Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Menurut Mahon (1994), menemukan empat atribut pasti untuk pengalaman nyeri, yaitu: nyeri bersifat individual, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang mendominasi, bersifat tidak berkesudahan (Andarmoyo, 2013, hal.17). Menurut Caffery (1980), nyeri dalah segala sesuatu yang dikatakn seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri. Apabila seseorang merasa nyeri, maka prilakunya akan berubah (Potter, 2006). 3. Teori- Teori Nyeri 1) Teori Spesivitas ( Specivicity Theory) Teori Spesivitas ini diperkenalkan oleh Descartes, teori ini menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari resepror-reseptor nyeri yang spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu kepusat nyeri diotak (Andarmoyo, 2013). Teori spesivitas ini tidak menunjukkan karakteristik multidimensi dari 19
20
nyeri, teori ini hanya melihat nyeri secara sederhana yakni paparan biologis tanpa melihat variasi dari efek psikologis individu (Prasetyo, 2010). 2) Teori Pola (Pattern theory) Teori Pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989, teori ini menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang di rangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat dari stimulasi reseprot yang menghasilkan pola dari implus saraf (Andarmoyo, 2013). Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom dan neuralgia, teori pola ini bertujuan untuk menimbulkan rangsangan yang kuat yang mengakibatkan berkembangnya gaung secara terus menerus pada spinal cord sehingga saraf trasamisi nyeri bersifat hypersensitif yang mana rangsangan dengan intensitas rendah dapat mengahasilkan trasmisi nyeri (lewis, 1983 dalam Andarmoyo, 2013). 3) Teori Pengontrol Nyeri (Theory Gate Control) Teori gate control dari Melzack dan Wall ( 1965) menyatakan bahwa implus nyeri dapat diatur dan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat, dimana implus nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan implus dihambat saat sebuah pertahanan tertutup (Andarmoyo, 2013). 4) Endogenous Opiat Theory Teori ini di kembangkan oleh Avron Goldstein, ia mengemukakan bahwa terdapat substansi seperti opiet yang terjadi selama alami didalam tubuh, substansi ini disebut endorphine (Andarmoyo, 2013). Endorphine mempengaruhi trasmisi implus yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine kemugkinan bertindak sebagai neurotrasmitter maupun neoromodulator yang menghambat trasmisi dari pesan nyeri (Andarmoyo, 2013). 4. Klasifikasi Nyeri a. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi Nyeri Akut Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung untuk
20
21
waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013). Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan menghilang tanpa pengobatan setalh area yang rusak pulih kembali (Prasetyo, 2010). b. Nyeri kronik Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjang suatu priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter &Perry, 2005). Klasifikasi Nyeri Berdasrkan Asal 1. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan respetor khusus yang mengantarkan stimulus naxious (Andarmoyo, 2013). Nyeri nosiseptor ini dapat terjadi karna adanya adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain (Andarmoyo, 2013). 2. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang di dapat pada struktur saraf perifer maupun sentral , nyeri ini lebih sulit diobati (Andarmoyo, 2013. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi 1. Supervicial atau kutaneus Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau laserasi. 2. Viseral Dalam Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Nyeri ini bersifat difusi dan dapat menyebar kebeberapa arah. Nyeri ini menimbulkan rasa tidak menyenangkan dan berkaitan dengan mual dan gejala-gejala otonom. Contohnya
21
22
sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung. 3. Nyeri Alih (Referred pain) Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang mengalihkan nyeri ke selangkangan. 4. Radiasi Nyeri radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Karakteristik nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang kebagian tubuh. Contoh
nyeri
punggung
bagian
bawah
akibat
diskusi
interavertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik. 5. Pengukuran Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat sabjektif dan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013). Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mugkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007 dalam Andarmoyo, 2013). Beberapa skala intensitas nyeri :
22
23
a. Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhan
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS) merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objekti. Pendeskripsian VDS diranking dari ” tidak nyeri” sampai ”nyeri yang tidak tertahankan”(Andarmoyo, 2013). Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan
klien
memilih
sebuah
ketegori
untuk
mendeskripsikan nyeri (Andarmoyo, 2013). b. Skala Intensitas Nyeri Numerik
Skala penilaian numerik (Numerical rating scale, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi (Andarmoyo, 2013). c. Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale
23
24
Skala analog visual ( Visual Analog Scale) merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya (Andarmoyo, 2013). Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima dengan menggunakan skala numerik yaitu: 0
Tidak Nyeri
1-2
Nyeri Ringan
6-7
Nyeri Sedang
6-7
Nyeri Berat
8-10
Nyeri Yang Tidak Tertahankan (Judha, 2012).
24
25
6. Manajemen Penatalaksanaan Nyeri Manajemen NonFarmakologi Manajemen nyeri nonfarmakologi merupakan tidakan menurunkan respon nyeri tanpa menggunakan agen farmakolgi. Dalam melakukan intervensi keperawatan/kebidanan, manajemen nonfarmakologi merupakan tindakan dalam mengatasi respon nyeri klien (Sulistyo, 2013). Banyak metode dalam kelas persiapan melahirkan, yang meliputi hypnosis, acupressure, yoga, umpan balik biologis (biofeedback), sentuhan terapeutik (Lindberg, Lawis, 1988; Nichols, Humenick, 1988; Kerschner, Scherck, 1991). Teori aroma, seperti penggunaan teh jamu-jamuan atau uap, dengan memberikan efek yang bermanfaat bagi beberapa wanita (Valnet, 1990;Tesserand, 1990). Dapat juga dengan tehnik Vokalisasi atau mendengarkan bunyi-bunyian untuk menurunkan ketegangan, relaksasi dengan menggunakan imajiner (imageneryassisted relakxation), kompres panas, pijatan di perineum, mandi siram hangat atau mendengarkan musik santai serta cahaya yang tentram (Bobak, 2005).
25
26
26
27
BAB V FAKTOR-FAKTOR NYERI A. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan sensivitas Nyeri Menurut Smeltzer, (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri adalah : Pengalaman masa lalu Individu yang mempunyai pengalaman yang multiple dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibanding dengan orang yang hanya mengalami sedikit nyeri. Bagi kebanyakan orang, bagaimanapun, hal ini tidak selalu benar. Sering kali, lebih berpengalaman individu dengan nyeri yang dialami, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa yang menyakitkan yang akan diakibatkan. Ansietas Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Sulit untuk memisahkan suatu sensasi. Paice (1991) melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian limbik yang diyanikini mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri. Budaya Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Ada perbedaan makna dan sikap dikaitkan dengan nyeri diberbagai kelompok budaya. Suatu pemahaman tentang nyeri dari segi makna budaya akan membantu perawat dalam merancang asuhan keperawatan yang relevan untuk klien yang mengalami nyeri (Potter, 2005). Usia Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perkembangan, yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-nak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Efek Plasebo Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk tablet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya. Plasebo umumnya terdiri atas gula,larutan salin normal, dan atau air biasa. Karena plasebo tidak
27
28
memiliki efek farmakologis, obat ini hanya memberikan efek dikeluarkannya produk ilmiah (endogen) endorfin dalam sistem kontrol desenden, sehingga menimbulkan efek penurunan nyeri (Tamsuri, 2006). Pengukuran Nyeri Pengukuran nyeri dapat dilihat dari tanda-tanda karakteristik yang ditimbulkan, yaitu: 1. Nyeri ringan umumnya memiliki gejala yang tidak dapat terdeteksi 2. Nyeri sedang atau moderat memiliki karakteristik : Peningkatan frekuensi pernafasan, Peningkatan tekanan darah, Peningkatan kekuatan otot, dilatasi pupil. 3. Nyeri berat memiliki karakteristik : Muka pucat, Otot mengeras, Penurunan frekuensi nafas dan tekanan darah, Kelelahan dan keletihan.
28
29
BAB VI ISTIRAHAT DAN TIDUR A. Pengertian Istirahat Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi oleh semua orang. Dengan istirahat dan tidur yang cukup,tubuh baru dapat berfungsi secara optimal. Istirahat dan tidur sendiri memiliki makna yang berbeda pada setiap individu. Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua orang. Untuk dapat berfungsi secara optimal, maka setiap orang memerlukan istirahat dan tidur yang cukup. Tidak terkecuali juga pada orang yang sedang menderita sakit, mereka juga memerlukan istirahat dan tidur yang memadai. Namun dalam keadaan sakit, pola tidur seseorang biasanya terganggu, sehingga perawat perlu berupaya untuk mencukupi ataupun memenuhi kebutuhan tidur. B. Perbedaan Istirahat Dan Tidur Secara
umum,
istirahat
berarti
suatu
keadaan
tenang,relaks,tanpa
tekanan emosional,dan bebas dari perasaan gelisah. Jadi,beristirahat bukan berarti tidak melakukan aktivitas sama sekali. Terkadang,berjalan-jalan di taman juga bias dikatakan sebagai suatu bentuk istirahat. (Sumber, Wahit Iqbal Mubarak, SKM & Ns. Nurul Chayatin. S.Kep ,2007;225).Sedangkan pengertian tidur antara lain : a. Tidur adalah proses fisiologis yang bersiklus yang bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan. Siklus tidur terjaga mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan respon prilaku. b. Tidur berasal dari kata bahasa latin "somnus" yang berarti alami periode pemulihan, keadaan fisiologi dari istirahat untuk tubuh dan pikiran. c. Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal dan periode d. Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar yang di alami seseorang, yang dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup. Jadi tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun. Tidur dikarakteristikkan dengan aktifitas fisik yang minimal,tingkat kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fsiologis tubuh,dan penurunan respons terhadap stimulus eksternal. Hampir sepertiga dari waktu kita,kita gunakan untuk tidur. Hal tersebut 29
30
didasarkan pada keyakinan bahwa tidur dapat memulihkan atau mengistirahatkan fisik setelah seharian beraktivitas,mengurangi stress dan kecemasan,serta dapat meningkatkan kemampuan dan konsenterasi saat hendak melakukan aktivitas sehari-hari. e. Fungsi Fungsi tidur secara jelas tidak diketahui, akan tetapi diyakini bahwa tidur dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan mental, emosional, kesehatan, mengurangi strees pada paru, kardiovaskular, endokrin, dll. Energi disimpan selama tidur, sehingga dapat diarahkan kembali pada fungsi selular yang penting. Secara umum terdapat dua efek fisiologis dari tidur, yaitu yang pertama, efek dari sistem saraf yang diperkirakan dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan diantara berbagai susunan saraf; dan yang kedua yaitu efek pada struktur tubuh dengan memulihkan kesegaran dan fungsi dalam organ tubuh karena selama tidur terjadi penurunan. d. Tujuan Secara jelas tujuan tidur tidak diketahui, namun diyakini tidur diperlukan untuk menjaga keseimbangan mental emosional dan kesehatan. Selam tidur seseorang akan mengulang (review) kembali kejadian-kejadian sehari hari e. Fisiologi tidur f. Aktivitas tidur di kontrol oleh dua sistem pada batang otak, yaitu reticuler activating system (RAS) dan bilbar synchronizing region (BRS) RAS dibagian atas batang otak diyakini memiliki sel sel khusus yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran; memberi stimulus visual, pendengaran nyeri, dan sensori raba; serta emosi dan proses berpikir. Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin, sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin. C. Siklus Tidur Dan Tahapan Tidur Tidur yang normal melibatkan 2 fase:pergerakan mata yang tidak cepat ( tidur nonrapid eye movement, NREM) dan pergerakan mata yang cepat (tidur rapid eye movement, REM). Selama NREM seorang yang tidur mengalami
30
31
kemajuan melalui 4 tahap selama siklus tidur yang tipikal 90 menit . kualitas tidur dari tahap 1 sampai tahap 4 bertambah. Tidur yang dangkal merupakan karakteristik dari tahap 2 dan 2 , dan seorang lebih mudah terbangun tahap 3 dan 4 melibatkan tidur yang dalam Disebut tidur gelombang rendah, dan seorang sulit terbangun. Tidur REM merupakan fase pada akhir tiap siklus tidur 90 menit. Kondisidasi memori dan pemulihan psikologis terjadi pada waktu ini, fartor yang berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu tahapan siklus tidur yang berbeda . ( potter & perry,2005) 1) Tahapan Siklus Tidur Tahap 1: NREM Tahap meliputi tingkat paling dangkal dan tidur Tahap berakhir beberapa menit Pengurangan aktivitas fisiologis dimulai dengan penuranan secara bertahap tanda-tanda vital dan metabulisme Seseorang dengan mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti suara Ketika terbangun, seseorang merasa seperti telah melamun 2) Tahap 2: NREM Tahap 2 merupakan tidur bersuara Kemajuan relaksasi Untuk terbangun masih relative mudah Tahap berakhir 10 hingga 20 menit Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban 3) Tahap 3: NREM Tahap 3 meliputi tahap awal tidur yang dalamOrang yang tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak Otot-otot dalam keadaan santai penuh Tanda-tanda vital menurun tetapi tetap teratur Tahap berakhir 15 hingga 30 menit 4) Tahap 4: NREM Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam Sangat sulit untuk membangun orang yang tidur Jika terjadi kurang tidur, maka orang yang tidur akan menghabiskan porsi malam yang seimbang pada tahap ini Tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibanding selama jam terjaga. Tahap berakhir kurang lebih 15 hingga 30 menit 31
32
Tidur sambil berjalan dan enuresis dapat terjadi 5. Tidur REM Mimpi penuh warna dan tampak hidup dapat terjdi pada REM,mimpi yang kurang hidup dapat terjadi di tahap lain Tahap ini biasanya dapat dimulai sekitar 90 menit setelah mulai tidur. Hal ini dicirikan dengan respon otonom dari pergerakan mata yang cepat, fluktuasi jantung dan respirasi dan peningkatan atau fluktuasi tekanan darah Terjadi penutunan tunos otot skelet Peningkatan sekresi jantungSangat sulit sekali membangun orang tidur Durasi pada tidur REM meningkat pada setiap siklus dan rata-rata 20 menit Pola tidur biasa atau NREM Pola / tipe tidur biasa ini juga disebut NREM (Non Rapid Eye Movement = Gerakan mata tidak cepat). Pola tidur NREM merupakan tidur yang nyaman dan dalam tidur gelombang pendek karena gelombang otak selama NREM lebih lambat daripada gelombang alpha dan beta pada orang yang sadar atau tidak dalam keadaan tidur Tanda-tanda tidur NREM adalah :
Mimpi berkurang
Keadaan istirahat (otot mulai berelaksasi)
Tekanan darah turun
Kecepatan pernafasan turun
Metabolisme turun
Gerakan mata lambat
Fase NREM atau tidur biasa ini berlangsung ± 1 jam dan pada fase ini biasanya orang masih bisa mendengarkan suara di sekitarnya, sehingga dengan demikian akan mudah terbangun dari tidurnya. Tidur NREM ini mempunyai 4 (empat) tahap yang masing-masing-masing tahap di tandai dengan pola gelombang otak. Tahap I Tahap ini merupakan tahap transisi, berlangsung selama 5 menit yang mana seseorang beralih dari sadar menjadi tidur. Seseorang merasa kabur dan relaks, mata bergerak ke kanan dan ke kiri, kecepatan jantung dan pernafasan turun secara jelas. Gelombang alpha sewaktu seseorang masih
32
33
sadar diganti dengan gelombang betha yang lebih lambat. Seseorang yang tidur pada tahap I dapat di bangunkan dengan mudah. Tahap II Tahap ini merupakan tahap tidur ringan, dan proses tubuh terus menurun. Mata masih bergerak-gerak, kecepatan jantung dan pernafasan turun dengan jelas, suhu tubuh dan metabolisme menurun. Gelombang otak ditandai dengan "sleep spindles" dan gelombang K komplek. Tahap II berlangsung pendek dan berakhir dalam waktu 10 sampai dengan 15 menit. Tahap III Pada tahap ini kecepatan jantung, pernafasan serta proses tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat dominasi sistem syaraf parasimpatik. Seseorang menjadi lebih sulit dibangunkan. Gelombang otak menjadi lebih teratur dan terdapat penambahan gelombang delta yang lambat. Tahap IV Tahap ini merupakan tahap tidur dalam yang ditandai dengan predominasi gelombang delta yang melambat. Kecepatan jantung dan pernafasan turun. Seseorang dalam keadaan rileks, jarang bergerak dan sulit dibangunkan. (mengenai gambar grafik gelombang dapat dilihat dalam gambar). Siklus tidur sebagian besar merupakan tidur NREM dan berakhir dengan tidur REM. Pola Tidur Paradoksikal atau REM Pola / tipe tidur paradoksikal ini disebut juga (Rapid Eye Movement = Gerakan mata cepat). Tidur tipe ini disebut “Paradoksikal” karena hal ini bersifat “Paradoks”, yaitu seseorang dapat tetap tertidur walaupun aktivitas otaknya nyata. Ringkasnya, tidur REM / Paradoks ini merupakan pola/tipe tidur dimana otak benar-benar dalam keadaan aktif. Namun, aktivitas otak tidak disalurkan ke arah yang sesuai agar orang itu tanggap penuh terhadap keadaan sekelilingnya kemudian terbangun. Pola / tipe tidur ini, ditandai dengan : Mimpi yang bermacam-macam Perbedaan
antara
mimpi-mimpi
yang
timbul
sewaktu tahap
tidurNREM dan tahap tidur REM adalah bahwa mimpi yang timbul pada tahap tidur REM dapat diingat kembali, sedangkan mimpi selama tahap tidur NREM biasanya tak dapat diingat. Jadi selama tidur NREM tidak terjadi konsolidasi mimpi dalam ingatan. 33
34
Mengigau atau bahkan mendengkur (Jw. : ngorok) Otot-otot kendor (relaksasi total) Kecepatan jantung dan pernafasan tidak teratur, sering lebih cepat Perubahan tekanan darah Gerakan otot tidak teratur Gerakan mata cepat Pembebasan steroid Sekresi lambung meningkat Ereksi penis pada pria D. Karakteristik tidur NREM dan REM Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan bantuan alat elektroensefalongram
(EEG),
elektro-okulogram
(EOG),
dan
elektromiogran (EMG), diketahui ada 2 tahapan tidur, yaitu non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM).
Kepus, thn.hal
(Indi,2012;87) Tidur NREM, disebut juga sebagai tidur gelombang pendek karena gelombang otak yang ditunjukkan oleh orang yang tidur lebih pendek dari gelombang alfa dan beta yang ditunjukkan oleh orang yang sadar. Pada tidur NREM terjadi penurunan sejumlah fungsi fisiologis tubuh. Di samping semua itu, semua proses metabolic termasuk tanda-tanda vital, metabolisme, dan kerja otot melambat. Tidur NREM sendiri tebagi atas 4 tahap yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Tahap I-II disebut sebagai tidur ringan (light sleep) dan tahap III-IV disebut sebagai tidur dalam (deep sleep atau delta sleep). Tahap I Karakteristik:
Merupakan tahap transisi antara bangun dan tidur.
Individu cenderung relaks, masih sadar dengan lingkungannya, dan mudah dibangunkan. Normalnya, tahap ini berlangsung beberapa menit dan merupakan 5% dari total tidur. Tahap II Karakteristik:
Individu masuk pada tahap tidur, namun masih dapat
bagnun dengan mudah. Otot mulai relaksasi. Normalnya, tahap ini berlangsung selama 10-20 menit dan merupakan 50%-55% dari total tidur. Tahap III Karakteristik:
Merupakan awal dari tahap tidur nyenyak. Tiduer dalam,
relaksasi otot menyeluruh, dan individu cenderung sulit dibangunkan. 34
35
Tahap ini berlangsung selama 15-30 menit dan merupakan 10% dari total tidur. Tahap IV Karakteristik:
Tidur semakin dalam atau delta sleep. Individu menjadi
sulit dibangunkan sehingga membutuhkan stimulus. Terjadi perubahan fisiologis, yakni: EEG gelombang otak melemah, nadi dan pernafasan menurun, tekanan darah menurun, tonus otot menurun, metabolisme lambat, temperatur tubuh menurun. Tahap ini merupakan 10% dari total tidur. Tidur REM biasanya terjadi setiap 90 menit dan berlangsung selama 5-30 menit. Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM, dan sebagian mimpi terjadi pada tahap ini. Selama tidur REM, otak cenderung aktif dan metabolismenya meningkat hingga 20%. Pada tahap ini individu menjadi sulit untuk dibangunkan atau justru dapat bangun dengan tiba-tiba, tonus otot terdepresi, sekresi lambung meningkat, serta frekuensi jantung dan pernafasan sering kali tidak teratur, Karakteristiknya sebagai berikut: Mata
: Cepat tertutup dan terbuka
Otot-otot
: Kejang otot kecil, otot besar immobilisasi
Pernafasan
: Tidak teratur, kadang dengan apnea
Nadi
: Cepat dan irregular
Tekanan darah
: Meningkat atau fluktuas
Sekresi gaster
: Meningkat
Metabolisme
: Meningkat, temperature tubuh naik
Gelombang otak
: EEG aktif
Siklus tidur
: Sulit dibangunkan
35
36
BAB VII KONSEP ELIMINASI A. Pengertian Pada keadaan kerusakan ginjal, molekul-molekul tersebut dapat tersaring urine.Adanyaprotein didalam urine disebut proteinuria, adanya albumin dalam urine disebutalbuminuria.i. Darah :Darah dalam urine dapat tampak jelas atau dapat tidak tampak jelas.Adanya darah dalamurine disebut hematuria. j. Glukosa :Normal : adanya sejumlah glukosa dalam urine tidak berarti bila hanya bersifatsementara, misalnya pada seseorang yang makan gula banyak menetap pada pasienDM.Sistem yang Berperan dalam Eliminasi Alvi Sistem tubuh berperan dalam proseseliminasi alvi (buang air besar) adalah sistemgastrointestinal bawah yang meliputi usus halus dan usus besar.E. Tindakan dalam upaya pemenuhan kebutuhan eliminasi Tindakan Mengatasi Masalah Eliminasi Alvi (Buang Air Besar) 1. Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan 2.Membantu pasien buang air besar dengan pispot 3.Memberikan huknah rendah 4.Memberikan huknah tinggi 5.Memberikan gliserin 6.Mengeluarkan feses dengan jari Perawat dapat membantu klien memperbaiki keteraturan defekasi dengan: 1. Memberikan privacy kepada klien saat defekasi 2. Mengatur waktu, menyediakan waktu untuk defeksi 3. Memperhatikan nutrisi dan cairan, meliputi diit tinggi serat seperti sayuran,buah-buahan, nasi; mempertahankan minum 2 – 3 liter/hari 4. Memberikan latihan / aktivitas rutin kepada klien 5. Positioning B. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat menangani pasien dalam eliminasi PrivacyPrivacy selama defekasi sangat penting untuk kebanyakan orang. Perawatseharusnya
menyediakan
waktu
sebanyak
mungkin
seperti
kepada klien yang perlumenyendiri untuk defeksi. Pada beberapa klien yang mengalami kelemahan,perawat mungkin perlu menyediakan air atau alat
36
37
kebersihan seperti tissue dantetap berada dalam jangkauan pembicaraan dengan klien. Waktu Klien seharusnya dianjurkan untuk defeksi ketika merasa ingin defekasi. Untuk menegakkan keteraturan eliminasi alvi, klien dan perawat dapat berdiskusi ketikaterjadi peristaltik normal dan menyediakan waktu untuk defekasi. Aktivitas lain seperti mandi dan ambulasi seharusnya tidak menyita waktu untuk defekasi. Nutrisi dan CairanUntuk mengatur defekasi normal diperlukan diet, tergantung jenis feses klien yangterjadi, frekuensi defekasi dan jenis makanan yang dirasakan klien dapatmembantu defekasi normal.klien untuk minum cairan hangat dan jus buah, juga masukkan serat dalam diet.
37
38
BAB VIII VITAMIN A. Pengertian Vitamin Vintamin adalah substansi yang dibutuhkan oleh tubuh yang diperoleh dari luar tubuh individu. Atau dengan kata lain vitamin masuk kedalam tubuh dengan ikut bersama makanan. Vitamin berdasarkan kelarutannya terbagi atas dua macam yaitu vitamin yang dapat larut dalam air (Vitamin B dan C)dan vitamin yang tidak dapat larut dalam air seperti larut dalam lemak (Vitamin A, D, E, dan K). B. Macam macam vitamin yang dapat larut dalam air akan dijelaskan berikut: Vitamin B1 (Tiamin) Vitamin B1 atau Tiamin merupakan vitamin yang bebersumber dari hati, ginjal, susu, mentega, kuning telur, ikan, kacang kacangan, dan kulit padi padian. Vitamin B1 memiliki berbagai macam fungsi yaitu koenzim dalam metabolisme, membantu dalam metabolisme karbohidrat, memelihara fungsi sistem saraf, dan memeliharan sistem pencernaan dan menjaga nafsu makan. Adapun akibat dari kekurangan vitamin B1 adalah nyeri saat perjalanan impuls di saraf perifer. Kekurangan vitamin Thiamin dapat juga menyebabkan pembengkakan neuron pada susuan saraf pusat, beri beri dan edema, dan menghilangkan nafsu makan. Kekurangan vitamin B1 dapat menyebabkan gangguan jantung dan otot dan mata lemah. Vitamin B2 (Riboflavin) Vitamin B2 (Riboflavin) adalah vitamin yang bersumber dari makanan seperti hati, ginjal, jantung, otak, susu, telur, mentega, sayuran, dan ragi. Vitamin B2 memiliki bermacam macam fungsi yaitu berfungsi dalam transmisi rangsangan cahaya ke saraf mata. Membantu menjaga nafsu makan, dan membantu memelihara kulit disekitar mulut. Kekurang Vitamin B2 dapat menyebabkan luka di sudut bibir (keilosis), katarak, dermatitis, dan diare. Kelemahan otot dapat juga menjadi tanda terjadinya kekurangan vitamin B2 Vitamin B3 (Niasin) Vitamin B3 (Niasin) merupakan vitamin yang dapat anda temukan saat menyantap makanan dan minuman seperti susu, hati, ikan, telur dan sayursayuran. Vitamin B3 mempunyai 2 macam fungsi yaitu dalam pertumbuhan sel, dan membentuk koenzim bersama fosfat yang berperan dalam respirasi sel. Kekurangan vitamin B3 (Niasin) dapat menyebabkan penyakit pelagra dengan gejala seperti radang kulit/dermatitis, diare dan demensia.
38
39
Vitamin B5 (asam pantotenat) Vitamin B5 (Asam Pantotenat) merupakan vitamin yang dapat dikandung oleh ragi, hati, kuning telur, daging, buah-buahan, dan sayur sayuran. Vitamin B5 memiliki fungsi dalam memeliharan konsentrasi gula darah yang normal serta menjadi komponen dalam struktur koenzim A yang berperan dalam proses oksidasi sel. Seseorang yang mengalami kekurangan vitamin B5 biasanya akan terjadi hal seperti radang kulit, nafsu makan menurut, dan insomnia (sulit tidur). Bagi anda yang mengalami kesulitan dalam tidur atau insomnia sebaiknya mengonsumsi makanan yang mengandung vitamin B5 atau membeli suplemen. Vitamin B6 Vitamin B6 (Piridoksin) adalah vitamin yang dapat anda peroleh dari menyantap sayuran hijau, makan coto hati, daging, telur dan dapat pula dengan meminum segelas susu. Vitamin B6 ini memiliki fungsi yang cukup penting bagi tubuh manusia dan sel serta metabolisme sel. Vitamin B6 berfungsi dalam memelihara keseimbagan unsur P dan K dalam sel serta aktif dalam pembentukan antibodi dan beberapa koenzim dalam metabolisme. Apabila teman anda atau anda mengalami kekurangan vitamin B6, akan muncul ciri ciri atau penyakit seperti peradangan kulit dan anemia. Konsumsilah vitamin B6 ini secara teratur setiap hari untuk menjaga kehalusan kulit dan ketahanan tubuh. Vitamin B11 (Asam Folat) VItamin B11 atau Asam folat merupakan vitamin yang dapat anda peroleh dalam kacang-kacangan, ragi, hati, daging, pisang, lemon, dan sayuran hijau. Fungsi vitamin B11 memiliki hubungan dengan fungsi vitamin B6 yaitu pembuatan koenzim untuk produksi eritrosit dan membentuk asam nukleat untuk sintesis protein. Apabila terjadi kekurangan vitamin B11, ditandai atau terjadi anemia, diare, megaloblastosis (membesarnya eritrosit), dan terhambatnya pertumbuhan. Vitamin B12 Vitamin B12 atau Sianokabalin merupakan vitamin yang sering disebut sebagai anti anemia pernisiosa. Vitamin ini dapat anda dapatkan pada daging, unggas, ikan, telur, susu, keju, hati, udang. Vitamin B12 juga dapat anda dapatkan dengan menyantap kerang. Vitamin B12 ini juga memiliki hubungan dengan vitamin B11, dan B6 dari segi fungsi seperti metabolisme sel dan pertumbuhan jaringan serta pembentukan eritrosit. Kekurangan Vitamin B12 akan mengakibatkan kelelahan, pusing anemia. Kekurangan vitamin B12 dapat juga menyebabkan terjadinya peradangan saraf (kejang).
39
40
Vitamin H Vitamin H atau biotin merupakan vitamin yang berfungsi sebagai koenzim metabolisme karbohidrat, lemak dan protein di dalam usus atau sistem pencernaan kita. Vitamin H dapat kita temukan dalam kacang-kacangan, hati, kuning telur dan ginjal. Orang yang menderita kekurangan vitamin H akan mengalami depresi dan kurang nafsu makan. Vitamin C Vitamin C atau Asam askorbat merupakan vitamin yang apabila kekurangan akan menyebabkan pendarahan pada gusi serta persendian, otot-otot pada tubuh menjadi sakit, terjadinya degenerasi pada sel sel kulit manusia serta skorbut. Akan tetapi, hal tersebut dapat dihindari dengan banyak mengkonsumsi macam macam buah-buahan hijau dan berwarna seperti tomat, nanas, jeruk, pepaya, stroberi, serta macam macam sayuran segar. Vitamin C bila dikonsumsi secara benar akan membantu dala pembentukan serabut kolagen, menjaga elastisitas kapiler darah serta menjaga perlekatan akar gigi pada gusi. Vitamin C juga berfungsi sebagai koenzim reaksi metabolisme karbohidrat dan lemak.
40
41
BAB IX PEMENUHAN SUHU TUBUH A. Pengertian Suhu Tubuh Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang dproduksi oleh proses tubuh dan jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar.adapun tempat pengukuran suhu tubuh:suhu inti yaitu suhu jaringan dalam relatif konstan seperti rektum, membran timpani, esofagus, arteri pulmoner, kandung kemiih dan suhu permukaan seperti kulit, aksila, oral. Rasa suhu mempunyai dua submodalitas yaitu rasa dingin dan rasa panas. Reseptor dingin/panas berfungsi mengindrai rasa panas dan refleks pengaturan suhu tubuh. Reseptor ini dibantu oleh reseptor yang terdapat di dalam system syaraf pusat. Dengan pengukuran waktju reaksi, dapat dinyatakan bahwa kecepatan hantar untuk rasa dingin lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan hantaran rasa panas. Suhu tubuh manusia cenderung berfluktuasi setiap saat. Banyak faktor yang dapat menyebabkan fluktuasi suhu tubuh. Untuk mempertahankan suhu tubuh manusia dalam keadaan konstan, diperlukan regulasi suhu tubuh. Suhu tubuh manusia diatur dengan mekanisme umpan balik (feed back) yang diperankan oleh pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Apabila pusat temperatur hipotalamus mendeteksi suhu tubuh yang terlalu panas, tubuh akan melakukan mekanisme umpan balik. Mekanisme umpan balik ini terjadi bila suhu inti tubuh telah melewati batas toleransi tubuh untuk mempertahankan suhu, yang disebut titik tetap (set point). Titik tetap tubuh dipertahankan agar suhu tubuh inti konstan pada 37°C. Apabila suhu tubuh meningkat lebih dari titik tetap, hipotalamus akan merangsang untuk melakukan serangkaian mekanisme untuk mempertahankan suhu dengan cara menurunkan produksi panas dan meningkatkan pengeluaran panas sehingga suhu kembali pada titik tetap. Dengan anestesi blok rasa dingin/panas dapat diblok sehingga objektif maupun subjektif rasa dingin dan panas dapat dipisah yaitu: 1. Rasa suhu kulit yang tetap ( rasa suhu static ) Bila seseorang berendam di air hangat maka mula-mula rasa hangat akan dialami oleh orang tersebut. Lama-kelamaan rasa hangat tidak lagi dirasakan dan kalau ia keluar dari air dan masuk kembali maka ia akan merasakan hangat kembali. Hal ini terjadi karena suhu tubuh beradaptasi secara penuh terhadap suhu kulit yang baru. Adaptasi penuh ini terjadi pada uhu netral (suhu nyaman). Rasa hangat yang mantap akan dirasakan bila suhu berada di atas 36C dan rasa dingin dirasakan pada suhu 17C. 2. Rasa suhu kulit yang berubah ( rasa suhu dinamik ) Pada pengindraan suhu kulit yang berubah tiga parameter tertentu. Suhu awal kulit, kecepatan perubahan suhu dan luas kulit yang terpapar tehadap rangsangan suhu. Pada suhu kulit yang rendah, ambang rasa hangat tinggi sedangkan untuk rasa dingin rendah. Bila suhu meninkat ambang rasa hangat menurun dan ambang rasa dingin meningkat. Kecepatan perubahan suhu berpengaruh terhadap timbulnya rasa panas/dingin. Luasnya daerah kulit yang terpapar juga berpengaruh pada rasa timbulnya panas/dingin. 3. Titik rasa dingin dan panas
41
42
Pada permukaan kulit bagian-bagian yang peka terhadap rangsangan dingin dan panas terlokasi pada titik-titik tertentu. Kepadatan titik-titik rasa suhu lebih rendah dibandingkan dengan titik rasa raba/tekan. Titik rasa dingin lebih banyak dibandingkan dengan titik rasa panas. Kulit wajah daerah yang paling peka terhadap rasa suhu. Kepadatan titik-titik rasa dingin paling tinggi. B. Asal Panas Pada Tubuh Manusia Pembentukan panas (heat production) dalam tubuh manusia bergantung pada tingkat metabolisme yang terjadi dalam jaringan tubuh tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh: 1) BMR, terutama terkait dengan sekresi hormon tiroid. 2) Aktivitas otot, terjadi penggunaan energi menjadi kerja dan menghasilkan panas. 3) Termogenesis menggigil (shivering thermogenesis); aktivitas otot yang merupakan upaya 4) Termogenesis tak-menggigil (non-shivering thermogenesis) Hal ini terjadi pada bayi baru lahir. Sumber energi pembentukan panas ini ialah brown fat. Pada bayi baru lahir, brown fat ditemukan pada skapula, aksila, dan area ginjal. Brown fat berbeda dengan lemak biasa, ukurannya lebih kecil, mengandung lebih banyak mitokondria, banyak dipersarafi saraf simpatis, dan kaya dengan suplai darah. Stimulasi saraf simpatis oleh suhu dingin akan meningkatkan konsentrasi cAMP di sel brown fat, yang kemudian akan mengativasi fosforilasi oksidatif di mitokondria melalui lipolisis. Hasil dari fosforilasi oksidatif ialah terbentuknya panas yang kemudian akan dibawa dengan cepat oleh vena yang juga banyak terdapat di sel brown fat. Brown fat ini merupakan sumber utama diet-induced thermogenesis. Pengeluaran panas (heat loss) dari tubuh ke lingkungan atau sebaliknya berlangsung secara fisika. Permukaan tubuh dapat kehilangan panas melalui pertukaran panas secara radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi air. Radiasi ialah emisi energi panas dari permukaan tubuh dalam bentuk gelombang elektromagnetik melalui suatu ruang. Konduksi ialah perpindahan panas antara obyek yang berbeda suhunya melalui kontak langsung obyek tersebut. Konveksi ialah perpindahan panas melalui aliran udara/ air. Evaporasi ialah perpindahan panas melalui ekskresi air dari permukaan kulit dan saluran pernapasan saat bernapas. Keseimbangan panas (Silverthorn, 2004) C. Macam – macam suhu tubuh Macam-macam suhu tubuh menurut (Tamsuri Anas 2007) : 1) Hipotermi, bila suhu tubuh kurang dari 36°C 2) Normal, bila suhu tubuh berkisar antara 36 – 37,5°C 3) Febris / pireksia, bila suhu tubuh antara 37,5 – 40°C 4) Hipertermi, bila suhu tubuh lebih dari 40°C Berdasarkan distribusi suhu di dalam tubuh, dikenal suhu inti (core temperatur), yaitu suhu yang terdapat pada jaringan dalam, seperti kranial, toraks, rongga abdomen, dan rongga pelvis. Suhu ini biasanya dipertahankan relatif konstan (sekitar 37°C). selain itu, ada suhu permukaan (surface
42
43
temperatur), yaitu suhu yang terdapat pada kulit, jaringan sub kutan, dan lemak. Suhu ini biasanya dapat berfluktuasi sebesar 20°C sampai 40°C. D. Sistem Pengaturan Suhu Tubuh Suhu tubuh adalah suatu keadaan kulit dimana dapat diukur dengan menggunakan thermometer yang dapat di bagi beberapa standar penilaian suhu, antara lain : normal, hipertermi, hipotermi, dan febris. Suhu dapat di bagi, antara lain: 1) Suhu inti (core temperature) Suhu inti menggambarkan suhu organ-organ dalam (kepala, dada, abdomen) dan C.°dipertahankan mendekati 37 2) Suhu kulit (shell temperature) Suhu kulit menggambarkan suhu kulit tubuh, jaringan subkutan, batang tubuh. Suhu ini berfluktuasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan. 3) Suhu tubuh rata-rata (mean body temperature) merupakan suhu rata-rata gabungan suhu inti dan suhu kulit. E. Mekanisme Tubuh Ketika Suhu Tubuh Berubah Mekanisme tubuh ketika suhu tubuh meningkat yaitu : Vasodilatasi Vasodilatasi pembuluh darah perifer hampir dilakukan pada semua area tubuh. Vasodilatasi ini disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasokontriksi sehingga terjadi vasodilatasi yang kuat pada kulit, yang memungkinkan percepatan pemindahan panas dari tubuh ke kulit hingga delapan kali lipat lebih banyak. Berkeringat Pengeluaran keringat melalui kulit terjadi sebagai efek peningkatan suhu yang melewati batas kritis, yaitu 37°C. pengeluaran keringat menyebabkan peningkatan pengeluaran panas melalui evaporasi. Peningkatan suhu tubuh sebesar 1°C akan menyebabkan pengeluaran keringat yang cukup banyak sehingga mampu membuang panas tubuh yang dihasilkan dari metabolisme basal 10 kali lebih besar. Pengeluaran keringat merupakan salh satu mekanisme tubuh ketika suhu meningkat melampaui ambang kritis. Pengeluaran keringat dirangsang oleh pengeluaran impuls di area preoptik anterior hipotalamus melalui jaras saraf simpatis ke seluruh kulit tubuh kemudian menyebabkan rangsangan pada saraf kolinergic kelenjar keringat, yang merangsang produksi keringat. Kelenjar keringat juga dapat mengeluarkan keringat karena rangsangan dari epinefrin dan norefineprin. Penurunan pembentukan panas Beberapa mekanisme pembentukan panas, seperti termogenesis kimia dan menggigil dihambat dengan kuat. Mekanisme tubuh ketika suhu tubuh menurun, yaitu : Vasokontriksi kulit di seluruh tubuh Vasokontriksi terjadi karena rangsangan pada pusat simpatis hipotalamus posterior. Piloereksi Rangsangan simpatis menyebabkan otot erektor pili yang melekat pada folikel rambut berdiri. Mekanisme ini tidak penting pada manusia, tetapi pada binatang tingkat rendah, berdirinya bulu ini akan berfungsi sebagai isolator panas terhadap lingkungan.
43
44
Peningkatan pembentukan panas panas oleh sistem metabolisme meningkat melalui mekanisme menggigil, pembentukan panas akibat rangsangan simpatis, serta peningkatan sekresi tiroksin. F. Reseptor Suhu Setimulus dapat datang dari lingkungan luar salinitas, suhu udara, kelembapan,cahaya. Alat penerima rangsang reseptor,sedangkan alat penghasil tanggapan disebut efektor. Reseptor saraf yang paling sederhana hanya berupa ujung dendrit dari suatu sel syaraf (neuron) , tidak meliputi selubung / selaput myelin dan dapat di temukan pada reseptor rasa nyeri (free nerve ending) atau nociresetor Berdasarkan Lokasi Sumber Rangsangan 1. INTERORESEPTOR adalah reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang dari dalam tubuh. 2. KHEMORESEPTOR adalah reseptor yang berfungsi memantau pH,kadar gula dalam darah dan kadar kalsium dalam cairan tubuh atau darah. 3. EKSTERORESEPTOR adalah reseptor yang berfungsi menerima rangsang dari lingkungan di luar tubuh Reseptor penerima gelombang suara (pada alat pendengaran) dan cahaya (dalam alat pengelihatan). 4. HUBUNGAN ANTARA RESEPTOR DENGAN EFEKTOR Dalam system syaraf,reseptor biasanya berhubungan dengan syaraf sensorik (AFFERENT) sedang efektor erat dengan syaraf motorik(EFERENT). Reseptor berfungsi sebagaipengubah energy, mengubah bentuk suatu energy menjadi bentuk tertentu. dan di dalam reseptor semua energy di ubah menjadi energy listrik dan selanjutnya akan membawa ke perubahan elektrolit sehingga timbul potensial aksi. Apabila suatu resektor menerima rangsangan yang sesuaimaka membrane reseptor akan mengalami peritiwa potensial aksi. Jika rangsangan yang diterima reseptor cukup kuat potensial reseptor yang timbul akan lebih kuat. Makin besar rangsangan yang di terima, makin besar pula potensial local yang di hasilkan sehingga dapat melampoi batas ambang perangsangan pada membrane potensial generator. G. Penjaluran Sinyal Suhu Tubuh Pada Sistem Saraf Pusat pengaturan suhu tubuh yang berfungsi sebagai termostat tubuh adalah suatu kumpulan neuron-neuron di bagian anterior hypothalamus yaitu: Preoptic area. Area ini menerima impuls-impuls syaraf dari termoreseptor dari kulit dan membran mukosa serta dalam hipotalamus. Neuron-neuron pada area peroptic membangkitkan impuls syaraf pada frekwensi tinggi ketika suhu darah meningkat dan frekwensi berkurang jika suhu tubuh menurun. Impulsimpuls syaraf dari area preoptic menyebar menjadi 2 bagian dari hipotalamus diketahui sebagai pusat hilang panas dan pusat peningkatan panas, dimana ketika distimulasi oleh area preoptic, mengatur kedalam serangkaian respon operasional yang meningkatkan dan menurunkan suhu tubuh secara berturutturut. Termoregulasi adalah proses fisiologis yang merupakan kegiatan integrasi dan koordinasi yang digunakan secara aktif untuk mempertahankan
44
45
suhu inti tubuh melawan perubahan suhu dingin atau hangat (Myers, 1984). Pusat pengaturan tubuh manusia ada di Hipotalamus, oleh karena itu jika hipotalamus terganggu maka mekanisme engaturan suhu tubuh juga akan terganggu dan mempengaruhi thermostat tubuh manusia. Mekanisme pengaturan suhu tubuh manusia erat kaitannya antara kerja sama system syaraf baik otonom, somatic dan endokrin. Sehingga ketika membahas mengenai pengaturan suhu oleh system persyarafan maka tidak lepas pula kaitannya dengan kerja system endokrin terhadap mekanisme pengaturan suhu tubuh seperti TSH dan TRH. H. Faktor Yang Mempengaruhi Suhu Tubuh Setiap saat suhu tubuh manusia berubah secara fluktuatif. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai factor yaitu : Exercise Semakin beratnya exercise maka suhunya akan meningkat 15 x, sedangkan pada atlet dapat meningkat menjadi 20 x dari basal ratenya. Hormon (Thyroxine dan Triiodothyronine) adalah pengatur pengatur utama basal metabolisme rate. Hormon lain adalah testoteron, insulin, dan hormon pertumbuhan dapat meningkatkan metabolisme rate 5-15%. Sistem syaraf Selama exercise atau situasi penuh stress, bagian simpatis dari system syaraf otonom terstimulasi. Neuron-neuron postganglionik melepaskan norepinephrine (NE) dan juga merangsang pelepasan hormon epinephrine dan norephinephrine (NE) oleh medulla adrenal sehingga meningkatkan metabolisme rate dari sel tubuh. Suhu tubuh Meningkatnya suhu tubuh dapat meningkatkan metabolisme rate, setiap peningkatan 1 % suhu tubuh inti akan meningkatkan kecepatan reaksi biokimia 10 %. Asupan makanan Makanan dapat meningkatkan 10 – 20 % metabolisme rate terutama intake tinggi protein. Berbagai macam factor seperti: Gender, iklim dan status malnutrisi. Usia Pada saat lahir, mekanisme kontrol suhu masih imatur. Produksi panas meningkatseiring dengan pertumbuhan bayi memasuki masa anak-anak. regulasi suhu akannormal setelah anak mencapai pubertas.Lansia sensitif terhadap suhu yang ekstrem akibat turunnya mekanisme kontrolsuhu (terutama kontrol vasomotor), penurunan jumlah jaringan subkutan,penurunan aktivitas kelenjar keringat, penurunan metabolism Olahrag Aktivitas otot memerlukan peningkatan suplai darah dan metabolisme lemak dankarbohidrat.
45
46
Kadar Hormon Suhu tubuh wanita lebih fluktuatif dibandingkan pria Irama sirkardiansuhu tubuh berubah secara normal 0,5-1 derajat Celcius selama periode 24 jam.suhu tubuh rendah antara pukul 01:00 dan 04:00 dini hari. Stres Stress fisik dan emosi meningkatkan suhu tubuh melalui stimulasi hormonal dan persyarafan Lingkungan Mekanisme kontrol suhu tubuh akan dipengaruhi oleh suku disekitar. Walaupun terjadi perubahan suhu tubuh, tetapi tubuh mempunyai mekanisme homeostasis yang dapat dipertahankan dalam rentang normal. Suhu tubuh yang normal adalah mendekati suhu tubuh inti yaitu sekitar 37 0 C. suhu tubuh manusia mengalami fluktuasi sebesar 0,5 – 0,7 0 C, suhu terendah pada malam hari dan suhu tertinggi pada siang hari. Panas yang diproduksikan harus sesuai dengan panas yang hilang. Demam ( peradangan ). Proses peradangan dan demam dapat menyebabkan peningkatan metabolisme sebesar 120% untuk tiap peningkatan suhu 10°C. I. Fisiologi Terkait Dengan Mekanisme Pengaturan Suhu Bagian otak yang berpengaruh terhadap pengaturan suhu tubuh adalah hipotalamus anterior dan hipotalamus posterior. Hipotalamus anterior (AH/POA) berperanan meningkatkan hilangnya panas, vasodilatasi dan menimbulkan keringat. Hipotalamus posterior (PH/ POA) berfungsi meningkatkan penyimpanan panas, menurunkan aliran darah, piloerektil, menggigil, meningkatnya produksi panas, meningkatkan sekresi hormon tiroid dan mensekresi epinephrine dan norepinephrine serta meningkatkan basal metabolisme rate. Jika terjadi penurunan suhu tubuh inti, maka akan terjadi mekanisme homeostasis yang membantu memproduksi panas melalui mekanisme feed back negatif untuk dapat meningkatkan suhu tubuh ke arah normal (Tortora, 2000). Thermoreseptor di kulit dan hipotalamus mengirimkan impuls syaraf ke area preoptic dan pusat peningkata panas di hipotalamus, serta sel neurosekretory hipotalamus yang menghasilkan hormon TRH (Thyrotropin releasing hormon) sebagai tanggapan.hipotalamus menyalurkan impuls syaraf dan mensekresi TRH, yang sebaliknya merangsang Thyrotroph di kelenjar pituitary anterior untuk melepaskan TSH (Thyroid stimulating hormon). Impuls syaraf dihipotalamus dan TSH kemudian mengaktifkan beberapa organ efektor. Berbagai organ fektor akan berupaya untuk meningkatkan suhu tubuh untuk mencapai nilai normal, diantaranya adalah : Impuls syaraf dari pusat peningkatan panas merangsang syaraf sipatis yang menyebabkan pembuluh darah kulit akan mengalami vasokonstriksi. Vasokonstriksi menurunkan aliran darah hangat, sehingga perpindahan panas dari organ internal ke kulit. Melambatnya kecepatan hilangnya
46
47
panas menyebabkan temperatur tubuh internal meningkatkan reaksi metabolic melanjutkan untuk produksi panas. Impuls syaraf di nervus simpatis menyebabkan medulla adrenal merangsang pelepasan epinephrine dan norepinephrine ke dalam darah. Hormon sebaliknya, menghasilkan peningkatan metabolisme selular, dimana meningkatkan produksi panas. Pusat peningkatan panas merangsang bagian otak yang meningkatkan tonus otot dan memproduksi panas. Tonus otot meningkat, dan terjadi siklus yang berulang-ulang yang disebut menggigil. Selama menggigil maksimum, produksi panas tubuh dapat meningkat 4x dari basal rate hanya dalam waktu beberapa menit. Kelenjar tiroid memberikan reaksi terhadap TSH dengan melepaskan lebih hormon tiroid kedalam darah. Peningkatan kadar hormon tiroid secara perlahan-lahan meningkatkan metabolisme rate, dan peningkatan suhu tubuh. Jika suhu tubuh meningkat diatas normal maka putaran mekanisme feed back negatif berlawanan dengan yang telah disebutkan diatas. Tingginya suhu darah merangsang termoreseptor yang mengirimkan impuls syaraf ke area preoptic, dimana sebaliknya merangsang pusat penurun panas dan menghambat pusat peningkatan panas. Impuls syaraf dari pusat penurun panas menyebabkan dilatasi pembuluh darah di kulit. Kulit menjadi hangat, dan kelebihan panas hilang ke lingkungan melalui radiasi dan konduksi bersamaan dengan peningkatan volume aliran darah dari inti yang lebih hangat ke kulit yang lebih dingin. Pada waktu yang bersamaan, metabolisme rate berkurang, dan tidak terjadi menggigil. Tingginya suhu darah merangsang kelenjar keringat kulit melalui aktivasi syaraf simpatis hipotalamik. Saat air menguap melalui permukaan kulit, kulit menjadi lebih dingin. Respon ini melawan efek penghasil panas dan membantu mengembalikan suhu tubuh kembali normal. Skema Mekanisme Feedback Negatif Menghemat Atau Meningkatkan Produksi Panas Menurun.
47
48
BAB X KONSEP OBAT A. DEFINISI PEMBERIAN OBAT
Obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang di maksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia (joenoes,2001). B. BENTUK OBAT
Kaplet : bentuk dosis padat untuk pemberian oral; bentuk seperti kapsul bersalut, sehingga mudah ditelan Kapsul : bentuk dosis padat untuk pemberian oral; obat dalam bentuk bubuk, cairan, atau minyak dan dibungkus oleh selongsong gelatin, kapsul diwarnai untuk membantu identifikasi produk Eliksir : cairan jernih berisi air dan alkohol; dirancing untuk penggunaan oral; biasanya di tambah pemanis Tablet enterik bersalut : tablet untuk pemberian oral,yang dilapisi bahan yang tidak larut dalam lambung; lapisan larut di dalam usus, tempat obat diabsorbsi. Ekstrak : bentuk obat pekat yang dibuat dengan memindahkan bagian aktif obat dari komponen lain obat tersebut ( misalnya, ekstrak cairan adalah obat yang dibuat menjadi larutan dari sumber sayur-sayuran ) Gliserit : larutan obat yang di kombinasi dengan gliserin untuk penggunaan luar, berisi sekurang-kurangnya 50% gliserin Cakram intraokular ( intraocular disk) : bentuk oval, fleksibel berukuran kecil terdiri dari dua lapisan luar yang lunak dan sebuah lapisan tengah berisi obat. Saat dilembabkan oleh cairan okuler (mata), cakram melepas obat sampai satu minggu Obat gosok (liniment) : preparat biasanya mengandung alkohol, minyak atau pelembut sabun yang dioles pada kulit Losion : obat dalam cairan, suspense yang di oles pada kulit untik melindunginya
48
49
Salep : semisolid (agak padat), preparat yang di oles pada kulit, biasanya mengandung satu atau lebih obat Pasta : preparat semisolid, lebih kental dan lebih kaku dari pada salep; diabsorbsi melalui kulit lebih lambat dari pada salep Pil : bentuk dosis padat berisi satu atau lebih obat, dibentuk kedalam bentuk tetesan, lonjong, atau bujur; pil yang sesungguhnya jarang digunakan karena telah digantikan oleh tablet Larutan : preparat cairan yang dapat digunakan per oral, parenteral, atau secara eksternal; dapat juga dimasukkan ke dalam organ atau rongga tubuh (mis. Irigasi kantong kemih); berisi air dan mengandung satu atau lebih senyawa terlarut; harus steril untuk penggunaan parenteral Supositoria : bentuk dosis padat yang di campur dengan gelatin dan dibentuk dalam bentuk peluru untuk dimasukkan ke dalam rongga tubuh (rektum atau vagina); meleleh saat mencapai suhu tubuh, melepas obat untuk diabsorbsi Suspense : partikel obat yang dibelah sampai halus dan larut dalam media cair, saat dibiarkan, partikel berkumpul di bagian bawah wadah; umumnya merupakan obat oral dan tidakdiberikan perintravena Sirup : obat yang larut dalam larutan gula pekat, mengandung perasa yang membuat obat terasa lebih enak Tablet : bentuk dosis bubuk yang dikomperesi ke dalam cakram atau slinder yang keras; selain obat utama, mengandung zat pengikat (perakat untuk membuat bubuk menyatu), zat pemisah ( untuk meningkatkan pelarutan tablet), lubrika (supaya mudah dibuat di pabrik), dan zat pengisi (supaya ukuran tablet cocok) Cakram atau lempeng transdermal : obat beradadalam cakram (disks) atau patch membrane semipermeable yang membuat obat dapat diabsorbsi perlahan-lahan melalui kulit dalam periode waktu yang lama Tingtura : alkohol atau larutan obat air-alkohol Tablet isap (troche, lozenge) : bentuk dosis datar, bundar mengandung obat, citarasa, gula, dan bahan perekat cair; larut dalam mulut untuk melepas obat
49
50
C. PRINSIP DASAR PEMBERIAN OBAT
Sebelum memberikan obat pada pasien,ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan untuk menjamin keamanan dalam pemberian obat,diantaranya Tepat obat Sebelum
mempersiapkan
obat
ke
tempatnya
petugas
medis
harus
memerhatikan kebenaran obat sebanyak 3x, yakni : ketika memindahkan obat dari tempat penyimpanan obat, saat obat di programkan, dan mengembalikan obat ketempat penyimpanan Tepat dosis Untuk menghindari kesalahan dalam pemberian obat,maka penentuan dosis harus diperhatikan dengan menggunakan alat standar seperti obat cair harus dilengkapi alat tetes,gelas ukur,spuit atau sendok khusus : alat untuk membelah tablet; dan lain-lain. Dengan demikian,perhitungan dosis benar untuk diberikan ke pasien. Tepat pasien Obat yang diberikan hendaknya benar pada pasien yang di programkan. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi identitas kebenaran obat,yaitu mencocokan nama,nomor register,alamat,dan program pengobatan pada pasien Tepat Jalur Pemberian Kesalahan rute pemberian dapat menimbulkan efek sistematik yang fatal pada pasien. Untuk itu,cara pemberiannya adalah dengan cara melihat cara pemberian atau jalur obat pada label yang ada sebelum memberikannya ke pasien. Tepat waktu Pemberian
obat
harus
benar-benar
sesuai
dengan
waktu
yang
diprogamkan,karena berhubungan dengan kerja obat yang dapat menimbulkan efek terapi dari obat (A.Aziz Alimul Hidayat,2009). Tepat pendokumentasi Dokumentasi snagat penting,jadi setelah memberikan obat kita harus segera memberikan obat ke format dokumentasi dengan benar. Fungsi dokumentasi
50
51
adalah sebagai catatan perkembangan pasien dan sebagai alat untuk bukti melakukan tindakan.
51
52
BAB XI CARA PEMBERIAN OBAT ORAL DAN INHALASI A. DEFINISI PEMBERIAN OBAT Obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang di maksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian
badan manusia
(joenoes,2001). B. Bentuk Oral Pemberian obat oral dilakukan melalui mulut. Dalam pemberian obat oral,ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat,yaitu adanya alergi terhadap obat yang akan diberikan,kemampuan klien untuk menelan obat,adanya muntah atau diare yang dapat mengganggu absorpsi obat,efek samping obat,interaksi obat dan kebutuhan pembelajaran mengenai obat yang diberikan. Bentuk oral ini adalah tablet,kapsul dan lozenges (obat isap) Tablet Bentuk,ukuran dan berat tablet itu bervariasi. Tablet itu dapat mengandung obat murni,atau diencerkan dengan subtansi inert agar mencapai berat sesuai,atau mengandung dua atau lebih obat dalam kombinasi. Tablet ini dapat berupa tablet padat biasa,tablet sublingual (di larutkan di bawah lidah),tablet bukal (dilarutkan antara pipi dan gusi),tablet bersalut-gula (menutupi bau atau rasa tidak enak),tablet bersalut enteric (untuk mencegahnya larut dalam lambung dan sampai di usus halus baru pecah),atau tablet lepas berkala (untuk melepaskan obat selang waktu panjang) Kapsul Kapsul mengandung obat berupa bubuk,butiran bersalut dengan ketebalan berbeda agar larut dengan kecepatan berbeda,yaitu kapsul keras,atau cairan dalam kapsul lunak. Lozenges Obat padat ini akan larut secara berangsur dalam mulut. Mereka berguna bila diperlukan kerja setempat di mulut atau tenggorokan Tujuan:
Memberi obat yang memiliki efek lokal atau sistematik melalui saluran cerna.
Memberi obat tanpa harus merusak kulit dan jaringan.
52
53
Memberi obat tanpa menimbulkan nyeri
53
54
BAB XII PROSES PENCERNAAN OBAT DIDALAM TUBUH A. Pengertian Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel atau dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat mengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar asam lambung). Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi dengan membran sel. Setelah sifat sel berubah, obat mengeluarkan pengaruhnya. Mekanisme kerja obat yang paling umum ialah terikat pada tempat reseptor sel. Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor berinteraksi dengan obat karena memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan reseptor saling berikatan seperti gembok dan kuncinya. Ketika obat dan reseptor saling berikatan, efek terapeutik dirasakan. Setiap jaringan atau sel dalam tubuh memiliki kelompok reseptor yang unik. Misalnya, reseptor pada sel jantung berespons pada preparat digitalis. Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membrane biologis. Jika obat diberikan melaluirute subkutan, intramuscular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat proses (subfase):absorpsi, distribusi, metabolisme
(atau
biotransformasi),
dan
ekskresi.
Dalam
fase
farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis. Fase Farmasetik (Disolusi) Sekitar
80%
obat
diberikan
melaui
mulut;
oleh
karena
itu,
farmasetik(disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi. Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan
54
55
pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam obat sperti ion kalium (K)dan natrium (Na)dalam kalium penisilin dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak diabsorbsi. Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorbsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya, obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam yang mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa. Orang muda dan tua mempunyai keasaman lambung yang lebih rendah sehingga pada umumnya absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat yang diabsorpsi terutama melalui lambung. Obat-obat dengan enteric-coated,EC (selaput enterik) tidak dapat disintegrasi oleh asam lambung, sehingga disintegrasinya baru terjadi jika berada dalam suasana basa di dalam usus halus. Tablet anti coated dapat bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama; sehingga, oleh karenanya obat-obat demikian
kurang
efektif
atau
efek
mulanya
menjadi
lambat.
Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat menggaggu pengenceran dan absorpsi obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga cairan atau makanan diperluan untuk mengencerkan konsentrasi obat.
55
56
Fase Farmakokineti Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh, mencapai tempat kerjanya, dimetabolisme, dan keluar dari tubuh. Dokter dan perawat menggunakan pengetahuan farmakokinetiknya ketika memberikan obat, memilih rute pemberian obat, menilai resiko perubahan keja obat, dan mengobservasi respons klien.Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah : absorpsi, distribusi, metabolism (biotransformasi), dan ekskresi (eliminasi). Absorpsi Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi tinggi dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsipasif, absorpsi aktif, rinositosis atau pinositosis. Absorpsi aktif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan carier atau pembawa untuk bergerak melawan konsentrasi. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran dengan proses menelan. Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan, makanan
dan
pH.
Sirkulasi
yang
buruk
akibat
syok,
obat-obat
vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi. Setiap rute pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi obat, bergantung pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat ditembus zat kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat. Membran mukosa dan saluran nafas mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa dan permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang diberikan per oral harus melewati sistem pencernaan untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi
56
57
secara keseluruhan melambat. Injeksi intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat karena dengan rute ini obat dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung pada bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia dalam bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau kapsul. Bentuk dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung dengan cepat. Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus halus. Kondisi di tempat absorpsi mempengaruhi kemudahan obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergoles, obat topikal lebih mudah diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogamkan untuk memperoleh efek lokal dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan kulit. Adanya edema pada membran mukosa memperlambat absorpsi obat karena obat membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi ke dalam pembuluh darah. Absorpsi obat parenteral yang diberikan bergantung pada suplai darah dalam jaringan.Sebelum memberikan sebuah obat melalui injeksi, perawat harus mengkaji adanya faktor lokal, misalnya; edema, memar, atau jaringan perut bekas luka, yang dapat menurunkan absorpsi obat. Karena otot memiliki suplai darah yang lebih banyak daripada jaringan subkutan (SC), obat yang diberikan per intramuskular (melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang disuntikan per subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat lebih dipilih karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama. Apabila perfusi jaringan klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute pemberian obat yang terbaik ialah melalui intravena. Pemberian obat intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan. Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan. Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke duodenum, sehingga absorpsi melambat. Beberapa makanan dan antasida membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati lapisan saluran cerna.
57
58
Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin. Beberapa obat hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama makan. Selubung enterik pada tablet tertentu tidak larut dalam getah lambung, sehingga obat tidak dapat dicerna di dalam saluran cerna bagian atas. Selubung juga melindungi lapisan lambung dari iritasi obat. Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan. Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda, berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat menelan tablet maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup. Pengetahuan tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi obat membantu perawat melakukan pemberian obat dengan benar. Makanan di dalam saluran cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkuan obat ke dalam saluran cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat harus mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap obat yang diberikan. Contohnya, obat seperti aspirin, zat besi, dan fenitoin, natrium (Dilantin) mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah makan. Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat, misalnya kloksasilin natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan tersebut harus diberikan satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga jam setelah makan. Sebelum memberikan obat, perawat harus memeriksa buku obat keperawatan, informasi obat, atau berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien. Distribusi Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah (dinamika sirkulasi), afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, berat dan komposisi badan, dan efek pengikatan dengan protein. Dinamika Sirkulasi Obat lebih mudah keluar dari ruang interstial ke dalam ruang intravaskuler daripada di antara kompartemen tubuh. Pembuluh darah dapat ditembus oleh kebanyakan zat yang dapat larut, kecuali oleh partikel obat yang besar atau
58
59
berikatan dengan protein serum. Konsentrasi sebuah obat pada sebuah tempat tertentu bergantung pada jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat vasodilasi atau vasokonstriksi lokal, dan kecepatan aliran darah ke sebuah jaringan. Latihan fisik, udara yang hangat, dan badan yang menggigil mengubah sirkulasi lokal. Contoh, jika klien melakukan kompres hangat pada tempat suntikan intramuskular, akan terjadi vasodilatasi yang meningkatkan distribusi obat. Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat. Barier darah-otak hanya dapat ditembus oleh obat larut lemak yang masuk ke dalam otak dan cairan serebrospinal. Infeksi sistem saraf pusat perlu ditangani dengan antibiotik yang langsung disuntikkan ke ruang subaraknoid di medula spinalis. Klien lansia dapat menderita efek samping (misalnya konfusi) akibat perubahan permeabilitas barier darah-otak karena masuknya obat larut lemak ke dalam otak lebih mudah. Membran plasenta merupakan barier yang tidak selektif terhadap obat. Agens yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat menembus plasenta dan membuat janin mengalami deformitas (kelainan bentuk), depresi pernafasan, dan pada kasus penyalahgunaan narkotik, gejala putus zat. Wanita perlu mengetahui bahaya penggunaan obat selama masa hamil. Berat dan Komposisi Badan Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan jumlah jaringan tubuh tempat obat didistribusikan. Kebanyakan obat diberikan berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa. Perubahan komposisi tubuh dapat mempengaruhi distribusi obat secara bermakna. Contoh tentang hal ini dapat ditemukan pada klien lansia. Karena penuaan, jumlah cairan tubuh berkurang, sehingga obat yang dapat larut dalam air tidak didistribusikan dengan baik dan konsentrasinya meningkat di dalam darah klien lansia. Peningkatan persentase leak tubuh secara umum ditemukan pada klien lansia, membuat kerja obat menjadi lebih lama karena distribusi obat di dalam tubuh lebih lambat. Semakin kecil berat badan klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam cairan tubuhnya, dan dan efek obat yang dihasilkan makin kuat. Lansia mengalami penurunan massa jaringan tubuh dan tinggi badan dan
59
60
seringkali memerlukan dosis obat yang lebih rendah daripada klien yang lebih muda. Ikatan Protein Ketika obat didistribusikan di dalam plasma kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin). Dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazeipam (valium) yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein dan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif,dan bagian obat selebihnya yanhg tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan proteinyang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon farmakologik. Kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana obat itu berikatan dengan protein. Seorang perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat pengikatan dengan protein sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi. Tergantung dari obat yang diberikan akibat hal ini dapat mengancam nyawa.Abses, aksudat, kelenjar dan tumor juga menggangu distribusi obat, antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata dan otot. Metabolisme Atau Biotransformasi Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons farmakologik, penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolisme obat. Waktu paruh, dilambangkan dengan t ½,
60
61
dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi, metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan terus – menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat. Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90% obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650mg aspirin (miligram) dan waktu paruhnya adalah 3jam, maka dibutuhkan 3jam untuk waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325mg, dan waktu paruh kedua 9 atau 6jam untuk mengeliminasi 162mg berikutnya, dan seterusnya sampai pada waktu paruh keenam atau 18jam dimana tinggal 10mg aspirin terdapat dalam tubuh, waktu paruh selama 4-8jam dianggap singkat, dan 24jam atau lebih dianggap panjang. Jika obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin: 36 jam), maka diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya, waktu paruh obat juga dibicarakan dalam bagian berikut mengenai farmakodinamik, karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat. EkskresiAtau Eliminasi Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru- paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas yang tidak berkaitan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan
bebas
dan
akhirnya
akan
diekskresikan
melalui
urin.
pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin, suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam.
61
62
Fase Farmakodinamik Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologi primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (benadryl) suatu antihistamin. Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan.
62
63
BAB XIII PROSES PEMBERIAN OBAT SECARA INJEKSI A. Pengertian Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel atau dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat mengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar asam lambung). Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi dengan membran sel. Setelah sifat sel berubah, obat mengeluarkan pengaruhnya. Mekanisme kerja obat yang paling umum ialah terikat pada tempat reseptor sel. Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor berinteraksi dengan obat karena memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan reseptor saling berikatan seperti gembok dan kuncinya. Ketika obat dan reseptor saling berikatan, efek terapeutik dirasakan. Setiap jaringan atau sel dalam tubuh memiliki kelompok reseptor yang unik. Obat parenteral diberikan melalui pembuluh darah menggunakan spuit,yaitu dengan memberikan obat dengan menginjeksi ke seluruh tubuh,bisa dengan cara intracutan,subcutan,intra muscular dan intravena. Tujuan Menyediakan obat yang memberi reaksi lebih cepat disbanding pemberian obat melalui rute lain. Memicu reaksi setempat,misalnya tes alergi Membantu
pemeriksaan
diagnostic,misalnya
menyuntikan
zat
kontras.(Aswidiastoeti Hartana,2013) B. Pemberian Obat Melalui Jaringan Intracutan Memberikan atau memasukkan obat ke dalam jaringan kulit dilakukan sebagai tes reaksi alergi terhadap jenis obat yang akan di gunakan . pemberian obat melalui jaringan intrakutan ini dilakukan di bawah dermis atau epidermis. Secara umum, dilakukan pada daerah lengan, tangan bagian ventral. (A.Aziz Alimul Hidayat,2009)
63
64
C. Pemberian Obat Melalui Jaringan Subcutan Pemberian obat melalui suntikan di bawah kulit dapat dilakukan pada daerah lengan atas sebelah luar atau 1/3 bagian dari bahu, paha sebelah luara, daerah dada, dan daerah sekitar umbilicus (abdomen). Umumnya, pemberian obat melalui jaringan subkutan ini dilakukan dalam program pemberian insulin yang digunakan untuk mengontrol kadar gula darah. Terdapat dua tipe larutan insulin yang diberikan,yaitu jernih dan keruh. Larutan keruh dimaksudkan sebagai insulin tipe reaksi cepat (insulin regular). Larutan yang keruh termasuk tipe lambat karena adanya penambahan protein sehingga memperlambat absorpsi obat. D. Pemberian Obat Melalui Intravena (secara langsung) Memberikan obat melalui vena secara langsung, diantaranya vena mediana cubitus/cephalika (daerah lengan), vena saphenous (tungkai), vena jugularis (leher), vena frontalis/temporalis di daerah frontalis dan temporal dari kepala. Tujuannya agar eaksi berlangsung cepat dan langsung masuk pada pembuluh darah. E. Pemberian Obat Melalui Wadah Intravena (secara tidak langsung) Memberikan obat intravena melalui wadah merupakan pemberian obat dengan menambahkan atau memasukkan obat ke dalam wadah cairan intravena. Tujuannya untuk meminimalkan efek samping dan mempertahankan kadar terapeutik dalam darah F. Pemberian Obat Melalui Intramuskular Memberikan obat melalui intramuskular merupakan pemberian obat dengan memasukkannya kedalam jaringan otot. Loasi penyuntikannya dapat dilakukan di dorsog luteal (posisi tengkurap), ventrogluteal (posisi berbaring), vastus lateralis (daerah paha), atau deltoid (lengan atas). Tujuannya agar absorpsi obat dapat lebih cepat
64
65
BAB XIV RANGE OF MOTION A. Pengertian ROM ( Range of Motion) adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, transversal, dan frontal. Pengertian ROM lainnya adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). Range of motion adalah gerakan dalam keadaan normal dapat dilakukan olehsendi yang bersangkutan (Suratun, dkk, 2008). Latihan range of motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas atau batasan gerakan sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan ataupun untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal Garis Potongan Pada Tubuh Potongan sagital, yaitu garis yang melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan transversal, yaitu garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah. Potongan frontal, yaitu melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan dan belakang B. Tujuan ROM 1. Meningkatkan atau mempertahankan fleksibiltas dan kekuatan otot 2. Mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan 3. Mencegah kekakuan pada sendi
65
66
C. Manfaat ROM ROM bermanfaat untuk : 1. Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan 2. Mengkaji tulang, sendi,dan otot 3. Mencegah terjadinya kekakuan sendi 4. Memperlancar sirkulasi darah 5. Memperbaiki tonus otot 6. Meningkatkan mobilisasi sendi 7. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan D. Jenis – Jenis ROM ROM itu ada dua jenis, yaitu : ROM Aktif, yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Keuatan otot 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif . ROM Pasif, yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun, dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. E. Jenis Gerakan Macam-macam gerakan ROM, yaitu: 1. Fleksi, yaitu berkurangnya sudut persendian. 2. Ekstensi, yaitu bertambahnya sudut persendian.
66
67
3. Hiperekstensi, yaitu ekstensi lebih lanjut. 4. Abduksi, yaitu gerakan menjauhi dari garis tengah tubuh. 5. Adduksi, yaitu gerakan mendekati garis tengah tubuh. 6. Rotasi, yaitu gerakan memutari pusat dari tulang. 7. Eversi, yaitu perputaran bagian telapak kaki ke bagian luar, bergerak membentuk sudut persendian. 8. Inversi, yaitu putaran bagian telapak kaki ke bagian dalam bergerak membentuk sudut persendian. 9. Pronasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak ke bawah. 10. Supinasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak ke atas. 11. Oposisi, yaitu gerakan menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama. Sendi Yang Digerakan ROM Aktif Seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif. ROM Pasif 1. Seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri. 2. Leher (fleksi/ekstensi, fleksi lateral) 3. Bahu tangan kanan dan kiri ( fkesi/ekstensi, abduksi/adduksi, Rotasi bahu) 4. Siku tangan kanan dan kiri (fleksi/ekstensi, pronasi/supinasi) 5. Pergelangan tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi, abduksi/adduksi) 6. Jari-jari tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi, abduksi/adduksi, oposisi) 7. Pinggul
dan
lutut
(fleksi/ekstensi,
abduksi/adduksi,
rotasi
internal/eksternal) 8. Pergelangan kaki (fleksi/ekstensi, Rotasi) 9. Jari kaki (fleksi/ekstensi) F. Indikasi
67
68
1. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran 2. Kelemahan otot 3. Fase rehabilitasi fisik 4. Klien dengan tirah baring lama G. Kontra Indikasi 1. Trombus/emboli pada pembuluh darah 2. Kelainan sendi atau tulang 3. Klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung) H. Gerakan ROM Berdasarkan bagian tubuh, yaitu : Leher Fleksi
: menggerakkan dagu menempel ke dada.
Ekstensi
: mengembalikan kepala ke posisi tegak.
Hiperekstensi
: menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin.
Fleksi lateral
: memiringkan kepala sejauh mungkin kearah setiap bahu.
Rotasi
: memutar kepala sejauh mungkin ke arah setiap bahu.
Bahu Fleksi
: menaikkan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke
posisi diatas kepala. Ekstensi : mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh. Hiperekstensi : menggerakkan lengan ke belakang tubuh, siku tetap lurus. Abduksi
: menaikkan lengan ke posisi samping diatas kepala dengan
telapak tangan jauh dari kepala Adduksi : menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh mungkin. Rotasi dalam : dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakkan lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang Rotasi luar
: dengan siku fleksi, menggerakkan lengan sampai ibu jari ke
atas dan samping kepala. Sirkumduksi
: menggerakan lengan dengan gerakan penuh.
68
69
Siku Fleksi
: menekuk siku sehingga lengan bawah bergerak ke depan sendi
bahu dan tangan sejajar bahu. Ekstensi : meluruskan siku dengan menurunkan lengan. Lengan Bawah Supinasi : memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke atas Pronasi
: memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap
ke bawah Pergelangan Tangan Fleksi
: menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan
bawah Ekstensi
: menggerakkan jari-jari sehingga jari-jari, tangan dan lengan
bawah berada dalam arah yang sama Hiperekstensi : membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh .mungkin. Abduksi
: menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari
Adduksi
: menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari
Jari-Jari Tangan Fleksi
: membuat genggaman
Ekstensi
: meluruskan jari-jari tangan
Hiperekstensi
: menggerakkan jari-jari tangan ke belakang sejauh
mungkin Abduksi Adduksi
: meregangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain : merapatkan kembali jari-jari tangan
Ibu Jari Oposisi
: menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan
yang sama. Pinggul Fleksi : menggerakkan tungkai ke depan dan ke atas Ekstensi : menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain Hiperekstensi : menggerakkan tungkai ke belakang tubuh
69
70
Abduksi : menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh Adduksi : menggerakkan kembali tungkai ke posisi medial dan melebihi jika mungkin Rotasi dalam : memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain Rotasi luar
: memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain
Sirkumduksi : menggerakkan tungkai memutar Kaki Inversi : memutar telapak kaki ke samping dalam (medial) Eversi
: memutar telapak kaki ke samping luar (lateral)
Jari-Jari Kaki Fleksi
: melengkungkan jari-jari kaki ke bawah
Ekstensi : meluruskan jari-jari kaki Abduksi : merenggangkan jari-jari kaki satu dengan yang lain Adduksi : merapatkan kembali bersama-sama.
70
71
71
72
Pemberian obat melalui intervena Memberikan obat secara langsung, diantaranya vena mediana cubitus / cephalika (daerah lengan), vena frontalis / temporalis di daerah frontalis dan temporal dari kepala. Tujuanya agar reaksi berlangsung cepat dan langsung masuk pada pembuluh darah. Persiapan alat dan bahan: 1. Daftar buku obat / catatan, jadwal pemberian obat. 2. Obat dalam tempatnya 3. Spuit sesuai dengan jenis ukuran. 4. Kapas alkohol dalam tempatnya 5. Cairan pelarut 6. Bak injeksi 7. Bengkok 8. Perlak dan alasnya 9. Karet pembendung. Prosedur kerja : a. Cuci tangan b. Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan. c. Bebaskan daerah yang akan dilakukan penyuntikan dari pakaian. apabila tertutup, pakaian dibuka atau dikeataskan d. Ambil onbat dari tempatnya dengan spuit, sesui dengan dosis yang akan diberikan. Apabila obat berada dalam bentuk sediaan bubuk, maka lartkan dengan pelarut (akuades sterill). e. Pasang perlak atau pengalas di bawah vena yang akan dilakukan penyuntikan. f. Kemudian tempatkan obat yang telah di ambil pada bak injeksi g. Disinfeksi dengan kapas alkohol h. Pada bagian atas daerah yang akan dilakukan pemberian obat dapat dilakukan peningkatan dengan karet pembandung (torniquet) , tegangkan dengan tangan / minta bantuan, atau membendung di atas vena yang akan dilakukan penyuntikan. i. Ambil spuit yang berisi obat j. Lakukan penusukan dengan lubang menghadap ke atas dengan memasukkan ke pembuluh darah . k. Lakukan aspirasi. Bila sudah ada daerah ,lepskan karet pembendung dan langsung semprotkan obat hingga habis. l. Setelah selesai, ambil sempuit dengan menarik dan lakukan penekanan pada daerah pennusukan dengan kapas alkohol . letakkan spuit yang telah digunakan ke dalam bengkok. m. Catat reaksi pemberian , tanggal, waktu, dan dosis pemberian obat n. Cuci tangan.
72
73
Pemberian obat melalui wadah intervena Memberikan obat melalui wadah intrvena merupakan pemberian obat dengan menambahkan atau memasukkan obat ke dalam wadah cairan intervena. dengan bertujuan untuk meminimalkan efek samping dan mempertahankan kadar terapeutik dalam darah. Persiapan alat dan bahan : a. Spuit dan jarum yang sesuai dengan ukuran . b. Obat dalam tempatnya c. Wadah cairan (kantong / botol) d. Kapas alkohol. Prosedur kerja : Cuci tangan a. Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan b. Periksa identitas pasien, kemudian ambil obat dan masukkan ke dalam spuit. c. Cari tempat penyuntikan obat pada daerah kantong. d. Lakukan desinfeksi dengan kapas alkohol dan stop aliran e. Lakukan penyuntikan dengan memasukkan jarum spuit hingga menembus bagian tengah dan memasukkan obat perlahan-lahan ke dalam kantong / wadah cairan f. Setelah selesai , tarik spuit dan campur larutan dengan membalikan kantong cairan secara perlahan-lahan dari satu ujung ke ujung lain. g. Periksa kecepatan infus h. Cuci tangan i. Catat reaksi pemberian , tanggal,waktu, dan dosis pemberian obat Pemberian obat melalui selang intervena Persiapkan alat dan bahan : a. Spuit dan jarum sesuai dengan ukuran b. Obat dalam tempatnya c. Selang intrevena d. Kapas alcohol Prosedur kerja: a. Cuci tangan b. jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan c. Periksa identitas pasien, kemudian ambil obat dan masukkan ke dalam spuit d. Cari tempat penyuntikan obat pada selang intervena e. Lakukan disinfeksi dengan kapas alcohol dan stop aliran f. Lakukan penyuntikan dengan memasukkan jarumspuit hingga menembus bagian tengah dan memasukkan obat secara perlahan-lahan ke dalam selang intervena g. Setelah selesai, tarik spuit h. Periksa kecepatan infus dan obsevasi reksi obat i. Cuci tangan j. Catat obat yang telah diberikan dosisnya
73
74
Pemberian obat melalui intramuscular Memberikan obat melalui intramuskuler merupakan pemberian obat dengan memasukannya ke dalam jaringan otot. Lokasi penyuntikan dapat dilakukan di dorosogluteal (posisi tengkurap), ventrogluteal (posisi bebaring), avastus lateralis (daerah paha), deltoid (lengan atas ). Dengan tujuan agar absorpasi obat dapat lebih cepat. Persiapa alat dan bahan : o Daftar buku obat / catat, jadwal pemberian obat o Obat dalam tempatnaya o Spuit dan jarum sesuai dengan ukurannya : untuk orang dewasa, panjang nya 2,5-3,7 cm; sedangkan untuk anak , panjangnya 1,25-2,5 cm o Kapas alcohol dalam tempatnya o Cairan pelarut o Bak injeksi o Bengkok Perosedur kerja: o Cuci tangan o jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan o ambil obat kemudian masukkan ke dalam spuit sesuai dengan dosis. Setelah itu letakkan pada bak injeksi o periksa tempat yang akan dilakukan penyuntikan. o Disinfeksi dengan kapas alcohol pada tempat yang akan dilakukan penyuntikan o Dilakukan penyuntikan o Lakukan penusukan menggunakan jarum dengan posisi tegak lurus o Setelah jarum masuk , lakukan aspirasi spuit.bila tidak ada darah, semperotkan obat secara perlahan-lahan hingga habis o Setelah selesai, ambil spuit dengan menariknya, tekan daerah penyuntikan dengan kapas alcohol, kemudian letekkan spuit yang telah digunakan pada bengkok o Catat reaksi pemberian , jumlah dosis obat, dan waktu pemberian o Cuci tanga Pemberian obat melalui rectum Pemberian obat melalui rectum merupakan pemberian obat dengan memasukkan obat melalui anus dan kemudian rectum,dengan tujuan memberikan efek local dan sistematik. Tindakan pengobatan ini disebut pemberian obat supositoria yang bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat, menjadiakan lunak pada daerah feses, dan merangsang buang air besar. Pemberian obat efek local , seperti obat ducolac supositoria, berfungsi untuk meningkatkan defekasi secara local. Pemberian obat dengan sistemik, seperti obat aminofilin supositoria, berfungsi mendilatasi bronchus. Pemberian obat supositoria ini diberikan tepat pada dinding rectal yang melewati sphincter anti interna. Kontraindikasi pada pasien yang mengalami pembedahan rectal. Persiapan alat dan bahan: o Obat supositoria pda tempatnya o Sarung tangan o Kain kasa o Vaselin/pelican/pelumas
74
75
o Kertas tisu Prosedur kerja: o Cuci tangan o Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan o Gunakan sarung tangan o uka pembungkus obat dan pegang dengan kain kasa o Oleskan pelican pada ujung obat supositoria o Regangkan glutea dengan tangan kiri.kemudian masukkan supositoria b perlahan melalui anus,sphincter anal interna, serta mengenai dinding rectal 10 cm pada orang dewasa, 5 cm pada bayi atau anak . o Setelah selesai, tarik jari tangan dan bersihkan daerah sekitar anal dengan tisu o Anjurkan pasien untuk tetap berbaring terlentang atau miring selama 5 menit o Cuci tangan o Cata obat, jumlah dosis, dan cara pemberian
75
76
Pemberian obat melalui jaringan subkutan Pemberian obat melalui suntikan di bawah kulit dapat dilakukan pada daerah lengan atas sebelah luar atau 1/3 bagian dari bahu, paha sebelah luar, daerah dada, dan daerah sekitar umbilicus(abdomen) . umumnya, pemberian obat melalui jaringan subkutan ini dilakukan dalam program pemberian insulin yang di gunakan untuk mengontrol kadar gula darah. Terdapat dua tipe larutan insulin yang diberikan , yaitu jernih dan keruh.larutan jernih dimaksudkan sebagai insulin tipe reaksi cepat (insulin reguler). Larutan yang keruh termasuk tipe lambat karena adanya penambahan protein sehingga memperlambat absorpsi obat. Persiapan alat dan bahan: 1. Daftar buku obat/ catatan, jadwal pemberian obat 2. Obat dalam tempatnya. 3. Spuit insulin. 4. Kapas alkohol dalam tempatnya 5. Cairan 6. Bak injeksi 7. Bengkok 8. Perlak dan alasnya Prosedur kerja: 1. cuci tangan. 2. jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan 3. bebaskan daerah yang akan disuntikkan atau bebaskan suntikan dari pakaian . apabila menggunakan baju , dibuka atau di ataskan . 4. ambil obat pada tempatnya sesuai dengan dosis yang akan diberikan . setelah itu, tempatkan pada bak injeksi. 5. Disinfeksikan dengan kapas alkohol. 6. Tegangkan dengan tangan kiri (daerah yang akan dilakukan suntikan subkuntun). 7. Lakukan penusukan dengan jarum suntik menghadap ke atas , dengan sudut 45 pada permukaan kulit.
76
77
8. Lakukan dengan aspirasi bila tidak ada darah, semprotkan obat perlahanlahan hingga habis 9. Tarik spuit dan tahan dengan kapas alkohol. Masukan spuit yang telah dipakai kedalam bengkok. 10. Catat reaksi pemberian, tanggal, waktu pemberian, dan jenis / dosis obat. 11. Cuci tangan.
77
78
Pemberian obat melalui jaringan intrakutan Memberikan atau memasukkan obat kedalam jaringan kulit dilakukan sebagai tes reaksi alergi terhadap jenis obat yang akan digunakan . pemberian obat melalui jaringan intrakutan ini dilakukan di bawah dermis atau epidermis secara umum, dilakukan pada daaerah lengan , tangan bagian venteral Persiapan alat dan bahan : 1. Daftar buku obat /catatan, jadwal pemberian obat. 2. Obat dalam tempatnya. 3. Spuit 1cc /spuit insulin 4. Kapas alkhol dalam tempatnya. 5. Cairan pelarut 6. Bak seteril dilapisi kas steril 7. Bengkok 8. Perlak dan alasanya Prosedur kerja : 1. Cuci tangan 2. Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan 3. Bebaskan daerah yang akan disuntik.bila menggunakan baju lengan panjang, buka dan ke ataskan. 4. Pasang perlak di bawah bagian yang di suntik. 5. Ambil obat untuk tes alergi ,kemudian larutkan / encerkan dengan akuades (cairan pelarut). Selanjutnya , ambil 0,5 cc dan encerkan lagi sampai
1 cc
lalu siapkan pada bak injeksi atau seteril 6. Desinfeksi dengan kapas alcohol pada daerah yang disuntik 7. Tegangkan daerah yang akan disuntik dengan tangan kiri. 8. Lakukan penusukan dengan lubang mennghadap ke atas yang sudutnya 9. terhadap permukaan kulit. 10. Semperotkan obat hingga terjadi gelembung 11. Tarik supit dan tidak boleh dilakukan massage 12. Cuci tangan
78
79
13. Catat reaksi pemberian , hasil pemberian obat / tes obat, tanggal, waktu, dan jenis obat
79
80
ROM ROM itu ada dua jenis, yaitu : ROM Aktif, yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Keuatan otot 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif . ROM Pasif, yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun, dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. A. Jenis Gerakan Macam-macam gerakan ROM, yaitu: 1. Fleksi, yaitu berkurangnya sudut persendian. 2. Ekstensi, yaitu bertambahnya sudut persendian. 3. Hiperekstensi, yaitu ekstensi lebih lanjut. 4. Abduksi, yaitu gerakan menjauhi dari garis tengah tubuh. 5. Adduksi, yaitu gerakan mendekati garis tengah tubuh. 6. Rotasi, yaitu gerakan memutari pusat dari tulang. 7. Eversi, yaitu perputaran bagian telapak kaki ke bagian luar, bergerak membentuk sudut persendian. 8. Inversi, yaitu putaran bagian telapak kaki ke bagian dalam bergerak membentuk sudut persendian. 9. Pronasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak ke bawah.
80
81
10. Supinasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak ke atas. 11. Oposisi, yaitu gerakan menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama. Sendi Yang Digerakan ROM Aktif Seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif. ROM Pasif 1. Seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri. 2. Leher (fleksi/ekstensi, fleksi lateral) 3. Bahu tangan kanan dan kiri ( fkesi/ekstensi, abduksi/adduksi, Rotasi bahu) 4. Siku tangan kanan dan kiri (fleksi/ekstensi, pronasi/supinasi) 5. Pergelangan tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi, abduksi/adduksi) 6. Jari-jari tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi, abduksi/adduksi, oposisi) 7. Pinggul
dan
lutut
(fleksi/ekstensi,
abduksi/adduksi,
rotasi
internal/eksternal) 8. Pergelangan kaki (fleksi/ekstensi, Rotasi) 9. Jari kaki (fleksi/ekstensi) B. Indikasi 5. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran 6. Kelemahan otot 7. Fase rehabilitasi fisik 8. Klien dengan tirah baring lama C. Kontra Indikasi 4. Trombus/emboli pada pembuluh darah 5. Kelainan sendi atau tulang 6. Klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung)
81
82
D. Gerakan ROM Berdasarkan bagian tubuh, yaitu : Leher Fleksi
: menggerakkan dagu menempel ke dada.
Ekstensi
: mengembalikan kepala ke posisi tegak.
Hiperekstensi
: menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin.
Fleksi lateral
: memiringkan kepala sejauh mungkin kearah setiap bahu.
Rotasi
: memutar kepala sejauh mungkin ke arah setiap bahu.
Bahu Fleksi
: menaikkan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke
posisi diatas kepala. Ekstensi : mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh. Hiperekstensi : menggerakkan lengan ke belakang tubuh, siku tetap lurus. Abduksi
: menaikkan lengan ke posisi samping diatas kepala dengan
telapak tangan jauh dari kepala Adduksi : menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh mungkin. Rotasi dalam : dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakkan lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang Rotasi luar
: dengan siku fleksi, menggerakkan lengan sampai ibu jari ke
atas dan samping kepala. Sirkumduksi
: menggerakan lengan dengan gerakan penuh.
Siku Fleksi
: menekuk siku sehingga lengan bawah bergerak ke depan sendi
bahu dan tangan sejajar bahu. Ekstensi : meluruskan siku dengan menurunkan lengan. Lengan Bawah Supinasi : memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke atas
82
83
Pronasi
: memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap
ke bawah Pergelangan Tangan Fleksi
: menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan
bawah Ekstensi
: menggerakkan jari-jari sehingga jari-jari, tangan dan lengan
bawah berada dalam arah yang sama Hiperekstensi : membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh .mungkin. Abduksi
: menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari
Adduksi
: menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari
Jari-Jari Tangan Fleksi
: membuat genggaman
Ekstensi
: meluruskan jari-jari tangan
Hiperekstensi
: menggerakkan jari-jari tangan ke belakang sejauh
mungkin Abduksi Adduksi
: meregangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain : merapatkan kembali jari-jari tangan
Ibu Jari Oposisi
: menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan
yang sama. Pinggul Fleksi : menggerakkan tungkai ke depan dan ke atas Ekstensi : menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain Hiperekstensi : menggerakkan tungkai ke belakang tubuh Abduksi : menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh Adduksi : menggerakkan kembali tungkai ke posisi medial dan melebihi jika mungkin Rotasi dalam : memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain Rotasi luar
: memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain
Sirkumduksi : menggerakkan tungkai memutar Kaki
83
84
Inversi : memutar telapak kaki ke samping dalam (medial) Eversi
: memutar telapak kaki ke samping luar (lateral)
Jari-Jari Kaki Fleksi
: melengkungkan jari-jari kaki ke bawah
Ekstensi : meluruskan jari-jari kaki Abduksi : merenggangkan jari-jari kaki satu dengan yang lain Adduksi : merapatkan kembali bersama-sama.
84
85
Daftar Pustaka Adib, M., 2009, Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi Jantung & Stroke, Yogyakarta: Dianloka Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan Buku 1, Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan Buku 2, Jakarta: Salemba Medika Price S.A. and Wilson L.M., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Buku II, Jakarta: EGC Smeltzer, C. Suzanne, 2002, Brunner & Suddarth:.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa: Waluyo Agung, Yasmin Asih, Juli, Kuncara, I Made Karyasa, Jakarta: EGC Wartonah, Tarwoto. 2010. Kebutuhan Dasar manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika Wartonah, Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Edisi Ketiga. Jakarta : Salemba Medika.
85