BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) merumuskan delapan tujuan
pembangunan, dua diantaranya adalah komitmen dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Menurunnya AKI dari 334 per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada SDKI tahun 2007 yang kemudian justru mengalami peningkatan menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan SDKI tahun 2012 merupakan gambaran status kesehatan ibu yang masih jauh dari yang diharapkan karena target MDGs untuk AKI tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2013b). Pencapaian AKB memang sudah mengalami penurunan namun besarnya belum mencapai target MGDs, dapat dilihat dari data hasil SDKI tahun 1997 yaitu sebesar 46 per 1.000 kelahiran hidup menurun menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada SDKI tahun 2007, dan mengalami penurunan kembali pada SDKI tahun 2012 yaitu sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target MDGs yaitu sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup, pencapaian AKB di Indonesia masih belum memenuhi harapan (Kemenkes RI, 2013b). Pencapaian AKI di Provinsi Bali berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2013 sebesar 72,1 per 100.000 kelahiran hidup, sudah lebih rendah jika dibandingkan dengan target MDGs yaitu sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.
1
2
Namun perlu diperhatikan dengan baik karena dalam tiga tahun terakhir AKI terus mengalami peningkatan yaitu 57,5 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010, meningkat menjadi 84,2 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2011, terus meningkat pada tahun 2012 yaitu menjadi 89,6 per 100.000 kelahiran hidup, kemudian baru mengalami penurunan pada tahun 2013 sebesar 72,1 per 100.000 kelahiran hidup namun tetap lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2010 . Sementara itu, pencapaian AKI di Kabupaten Karangasem tahun 2013 menduduki peringkat kedua tertinggi di Provinsi Bali yaitu sebesar 125,8 per 100.000 kelahiran hidup, masih belum mencapai target MDGs yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Provinsi Bali, 2014). Pencapaian AKB di Provinsi Bali menurut Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2013 adalah sebesar 5,5 per 1.000 kelahiran hidup, mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2012 yaitu sebesar 5,09 per 1.000 kelahiran hidup. Namun angka ini tetap lebih rendah dibandingkan dengan target MDGs yaitu sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, pencapaian AKB di Kabupaten Karangasem tahun 2013 sebesar 8,3 per 1.000 kelahiran hidup masih lebih tinggi dengan pencapaian AKB Provinsi Bali (Dinkes Provinsi Bali, 2014). Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia Tahun 2010 (Bappenas, 2010) menyebutkan bahwa keterjangkauan akses terhadap sarana kesehatan, transportasi, dan tidak meratanya distribusi tenaga terlatih terutama bidan, berkontribusi secara tidak langsung terhadap kematian ibu. Masih tingginya AKI dan AKB dipengaruhi dan didorong oleh faktor 4T (terlalu muda dan terlalu tua untuk hamil dan melahirkan, terlalu dekat jarak kehamilan atau persalinan dan terlalu banyak hamil atau melahirkan). Kondisi tersebut diperparah oleh adanya
3
keterlambatan penanganan kasus emergensi atau komplikasi maternal dan atau neonatal secara adekuat akibat kondisi 3T (Terlambat), yaitu: 1) Terlambat mengambil keputusan merujuk, 2) Terlambat mengakses fasyankes yang tepat, dan 3) Terlambat memperoleh pelayanan dari tenaga kesehatan yang tepat/ kompeten (Kemenkes RI, 2013a). Untuk mencapai tujuan MDGs dalam menurunkan AKI dan AKB, negaranegara di dunia menginvestasikan sumber daya yang lebih untuk menyediakan pelayanan kesehatan ibu yang adil dan memadai (WHO, 2009). Begitu pula dengan Indonesia, pemerintah menyadari pentingnya unit gawat darurat obstetri dan neonatal untuk mengurangi AKI dan AKB dengan membangun sarana kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan dasar lengkap dengan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) (Dwicaksono & Setiawan, 2013). Menurut the International Federation of Gynecology Obstetrics (FIGO) terdapat empat pintu untuk keluar dari kematian Ibu yaitu: 1) status perempuan dan kesetaraan gender; 2) Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi; 3) persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga yang kompeten 4) PONED-PONEK (Kemenkes RI, 2013a). Semua kehamilan dan persalinan merupakan kejadian berisiko, oleh karena itu setiap ibu hamil dan bersalin harus berada sedekat mungkin dengan pelayanan obstetrik emergensi dasar (WHO, 2009). Puskesmas mampu PONED adalah puskesmas rawat inap yang mampu menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi atau komplikasi tingkat dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Puskesmas mampu PONED melaksanakan
berbagai
upaya,
antara
lain
peningkatan
pengetahuan
dan
keterampilan tim dalam menyelenggarakan PONED, pemenuhan tenaga kesehatan,
4
pemenuhan ketersediaan peralatan, obat dan bahan habis pakai, manajemen penyelenggaraan serta sistem rujukannya (Kemenkes RI, 2013a). Puskesmas mampu PONED menjadi tempat rujukan terdekat dari desa dan mendekatkan akses pelayanan kegawatdaruratan pada ibu hamil dan bersalin. Pengembangan Puskesmas mampu PONED dengan melatih tenaga dokter, bidan, dan perawat serta melengkapi sarana dan prasarana sesuai syarat yang telah ditetapkan diharapkan dapat mencegah dan menangani komplikasi kehamilan dan persalinan (Kemenkes RI, 2013a). Kualitas yang buruk dari fasilitas kesehatan merupakan hambatan besar dalam upaya menurunkan kematian ibu dan bayi (UNICEF Indonesia, 2012). Agar Puskesmas mampu PONED dapat memberikan kontribusi pada upaya penurunan AKI dan AKB maka perlu dilaksanakan dengan baik agar dapat dioptimalkan fungsinya (Kemenkes RI, 2013a). Berdasarkan penelitian di Kabupaten Agam (Ariani, 2008), bahwa pada Puskesmas mampu PONED kurang lengkap akan meningkatkan risiko kegagalan penanganan kasus perdarahan dibandingkan dengan Puskesmas mampu PONED lengkap. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan suatu program dibutuhkan evaluasi yang dapat memberikan gambaran pelaksanaan program tersebut dan dapat mengetahui strategi untuk meningkatkan kinerja. Selain itu dengan adanya evaluasi akan diketahui data tentang aktivitas yang terjadi sehingga dapat diketahui sejauh mana keberhasilan yang telah diperoleh (Ayuningtyas, 2014). Hasil Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) Puskesmas 2011 menyebutkan di Provinsi Bali terdapat 30 Puskesmas mampu PONED dan hanya terdapat 16,7% diantaranya yang telah mendapatkan pengawasan, evaluasi, dan bimbingan lengkap (Kemenkes RI, 2012).
5
Puskesmas Mampu PONED di Kabupaten Karangasem pertama kali beroperasi mulai tahun 2009. Di Kabupaten Karangasem terdapat enam Puskesmas mampu PONED. Berdasarkan hasil wawancara pendahuluan dengan beberapa tim PONED, kasus kegawatdaruratan yang masuk dalam kewenangan PONED masih banyak yang tidak ditangani secara definitif di Puskesmas atau dirujuk ke rumah sakit, pengawasan dan evaluasi telah dilaksanakan namun tidak berkelanjutan dan terhadap masalah yang ditemukan masih belum dilakukan pembahasan secara mendalam untuk menemukan solusi. Dengan demikian penting untuk dilakukan evaluasi secara mendalam terkait implementasi Puskesmas mampu PONED. 1.2
Rumusan Masalah Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Kabupaten Karangasem
masih tinggi. Keberadaan Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangasem sebagai fasilitas pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang terdekat dengan masyarakat diharapkan mampu membantu menurunkan AKI dan AKB. Keberlangsungan program tersebut perlu dilakukan pengawasan, bimbingan, dan evaluasi guna meningkatkan keberhasilan program, namun pada kenyataannya bentuk evaluasi yang diberikan belum berkelanjutan dan belum secara mendalam. Oleh karena itu, peneliti merasa penting untuk dilakukan evaluasi terkait implementasi Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangasem.
1.3
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dapat dirumuskan
adalah: “Bagaimanakah Implementasi Puskesmas Mampu PONED di Kabupaten Karangasem Tahun 2015?”
6
1.4
Tujuan Penelitian
5.4.1
Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi implementasi
Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangasem. 5.4.2
Tujuan Khusus 1.
Untuk
mengetahui
ketersediaan
input
dalam
menyelenggarakan
Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangasem. 2.
Untuk mengetahui aktivitas manajerial dan aktivitas operasional dalam penyelenggaraan Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangasem.
3.
Untuk mengetahui pencapaian output dalam penyelenggaraan Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangasem.
4.
Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam penyelenggaraan Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangasem.
5.
Untuk mengetahui alternatif strategi untuk meningkatkan keberhasilan penyelenggaraan Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangasem.
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Manfaat Praktis 1.
Sebagai dasar informasi untuk melakukan evaluasi lanjutan terkait dengan pelaksanaan
Puskesmas mampu PONED di Kabupaten
Karangasem. 2.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja instansi Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangasem.
7
3.
Sebagai masukan kepada instansi penyelenggara Puskesmas mampu PONED dalam upaya peningkatan mutu dan kualitas pelayanan.
4.
Sebagai masukan bagi para stakeholder dalam rangka menyusun kebijakan dan strategi pengembangan pelaksanaan Puskesmas mampu PONED.
1.5.2
Manfaat Teoritis 1.
Dapat menambah pengetahuan mengenai pelaksanaan Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangasem.
2.
Dapat
menambah
pengalaman,
keterampilan,
dan
kemampuan
mahasiswa dalam mengkaji pelaksanaan program kesehatan. 3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan serta menjadi salah satu referensi bagi penelitian selanjutnya.
1.6
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah upaya evaluasi mengenai
implementasi Puskesmas mampu PONED di Kabupaten Karangsem, merupakan penelitian di bidang manajemen kesehatan yang mengukur input, proses, dan output. Waktu penelitian dimulai dari bulan Maret sampai Mei tahun 2015.