NILAI LOKAL BAGI PEJABAT PUBLIK Oleh Asep Sumaryana1 Nilai merupakan hal penting untuk dijadikan landasan bagi pekerjaan public. Nilai lokalyang bertebaran di hampir banyak tempat perlu mendapat perhatian untuk digali diajarkan dan dijalankan agar prilaku pejabat publik bisa bertumpu pada bumi yang dipijaknya serta sesuai dengan norma dan kultur lokal dimana dirinya menjalankan tugasnya. Dengan memerhatikan nilai lokal, pejabat bisa menjadi singer dan matang. Kematangan seperti itulah yang memenuhi kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), spiritual (SQ). Pengantar Pandangan Dananjaya (1986) bisa digunakan dalam konteks diatas. Nilai senantiasa dikalkulasi penyandangnya dengan kebutuhan yang ada dalam dirinya. Mungkin nilai diabaikan tatkala kebutuhan lebih mendesak untuk dipenuhi. Bisa juga untuk penegakan nilai diperlukan sejumlah sumber daya yang perlu dipenuhi sehingga menjadi kebutuhan untuk penegakan nilai tersebut. Hanya saja dalam praktiknya, nilai berada secara berseberangan dengan kebutuhan sehingga menjadi pilihan bagi penyandangnya. Nilai bisa diperoleh dari agama atau juga dari leluhur yang diturunkan secara turun temurun. Pada dasarnya, nilai berkaitan dengan perbuatan yang baik dan senantiasa melarang untuk berbuat salah dan tercela. Dalam masyarakat Sunda, nilai yang ditularkan kepada anak dan keturunannya berkaitan dengan harapan agar keturunannya cageur, bageur, bener, pinter dan singer2. Cageur berkaitan dengan kondisi fisiknya yang tidak mudah sakit sehingga sehat, kuat dan berenergi. Bageur bertalian dengan hubungan sesama yang tidak menyakiti, suka menolong dan tidak carekeun. Bener berhubungan dengan prilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku sehingga tidak melakukan pelanggaran hukum ataupun norma yang ada. Pejabat Singer Pinter merupakan kondisi yang cerdas, baik secara intelektual (IQ), emosional (EQ) maupun spiritual (SQ). Bisa jadi orang cerdas secara intelektual tanpa kecerdasan emosional bisa jadi harung gampung3 dalam prilakunya. Hal tersebut dapat dilihat dari
1
Sekretaris LP3AN dan Staf Pengajar pada Jurusan llmu Administrasi Negara FISIP Unpad Lihat Suryalaga, Kasundaan, 2003 3 Sunda : sembrono, ceroboh. 2
prilaku yang tunggul dirarud, catang dirumpak4 tanpa perasaan serta mempertimbangkan efek panjang di depannya. Kondisi ini menimbulkan prilaku ditentukan oleh pikirannya, dengan sedikit saja memedulikan perasaan dan nilai yang dianutnya. Dengan demikian, maka prilaku dan tindakannya sering tercerabut dari akar kultural yang berlaku dimana dirinya berada. Dari kondisi diatas, dalam masyarakat sunda, kecerdasan ditempatkan tidak ada urutan pertama, tetapi setelah bener. Dengan demikian, cerdas bertumpu pada kecageuran, kebageuran dan kebenaran yang berlaku. Dengan demikian, kecerdasannya akan mempertimbangkan semua elemen penting yang ada pada konsepsi bener. Dari konsep pinter tersebut diharapkan orang tersebut menjadi singer yang mengerti hak dan kewajibannya serta terampil menjalankannnya. Pejabat singer memiliki konotasi positif. Suara rakyat yang dipimpinnya direkam dengan cerdas untuk ditafakuri5 dan selanjutnya dilaksanakan.
Dengan
demikian, seorang pejabat publik menjadi tajam pendengaran dan pandangannya. Kepentingan rakyat yang ada dapat dipahami secara baik untuk diimplementasikan melalui kebijakan dan keputusannya dalam pelaksanaan tugasnya. Hak dan kewajibannya dipadukan secara seimbang sehingga sebuah jabatan tidak dipandang sebagai sebuah hak yang mendatangkan keuntungan material dan keistimewaan, namun dianggap sebuah amanah yang wajib dilaksanakan dengan baik. Dengan kesingerannya, seorang pejabat mampu memengaruhi lingkungan yang ada. Lingkungan sosial dan lingkungan kerja (Kast, 1986) diwarnai dengan prilaku terpuji dan tanggung jawabnya sehingga kedua lingkungan tersebut menjadi lebih baik dan mampu mendukung pelaksanaan tugas secara optimal. Dengan kesingerannya, dirinya mampu menjadi teladan dalam kedua lingkungan diatas sehingga mampu digugu dan ditiru6. Dengan demikian, pejabat semacam itu bukan berposisi sebagai pangreh, namung sudah menjadi pamong. Kesingeran penting dalam menunaikan amanah. Pemilihan pejabat yang didasarkan beragam persyaratan seperti pendidikan, pengalaman, pangkat dan jabatan serta masa kerja seringkali meleset dari kebutuhan figur kepejabatan itu sendiri. 4
Sunda : hantam kromo, semua dilanggar. direnungi 6 Sunda, digugu= didengar; ditiru = diikuti 5
Dampaknya, kendati persyaratan seperti diatas terpenuhi, namun pejabat seringkali tidak berada pada tataran singer. Munculnya penyimpangan dan perkeliruan dalam pelaksanaan tugas tidak lepas dari pejabat yang mudah dipengaruhi lingkungannya sehingga yang sering mendapat kesempatan untuk berkembang adalah pegawai yang akur, balad, caket dan deuheus7 (ABCD). Munculnya praktik seperti diatas, tentu tidak lepas dari kemampuan rendah pejabat untuk memilih dan memilah pekerjaan dan orang yang dapat dipekerjakan. Bisa jadi karena anggapan bahwa jabatan adalah milik, bukan titipan. Atau mungkin mumpung ada kesempatan sepanjang kekuasaan ada dipihaknya. Hanya saja hal demikian akan memunculkan iklim kerja yang kurang sehat seperti kecemburuan, permusuhan, pengelompokkan, anak tiri-anak emas dan semacamnya. Oleh sebab itu, meminimalisasikan kondisi ini baru bisa dilakukan oleh pejabat yang singer. Pejabat Pengasuh Sorotan terhadap pejabat tidak cukup sampai figurnya saja, namun merembes sampai kepada keluarganya. Profil keluarga pejabat sering dikaitkan dengan kepemimpinan yang bersangkutan dalam rumahtangganya. Pejabat yang memiliki rumah dan mobil mewah seringkali menjadi ukuran keberhasilannya sebagai pejabat. Kondisi ini sudah meluas dan hampir sudah menjadi harapan semua orang sehingga berlomba untuk menjadi pejabat publik. Dengan demikian, ukuran seperti itu seringkali menambah kepercayaan diri pejabat dalam menunaikan tugasnya. Pergeseran mulai terjadi tatkala persoalan korupsi mengemuka dan menjadi sorotan publik. Pejabat kaya seringkali dicurigai sebagai koruptor. Mungkin hal demikian merupakan pergeseran nilai dari konsepsi bru di juru bro di panto ngalayah ditengah imah8 kearah manunggaling kawula gusti. Konsepsi terakhir ini tidak hanya digunakan untuk menyatunya manusia dengan Tuhannya, namun antara pejabat dengan rakyatnya. Penyatuan tersebut bermakna adanya hubungan harmonis antar-keduanya sehingga sarengkak saparipolah pejabat berada dalam dalam pantauan publik.
7 8
Lihat Sumaryana, Kompas, 26 Maret 2008. Sunda: segala kebutuhan material tersedia
Dalam kondisi seperti diatas voice9 publik menjadi penting untuk mengontrol prilaku pejabat. Kontrol ini dilakukan dalam konteks hubungan yang menyatu antarkeduanya sehingga satu dengan lainnya tidak merasa ada jarak. Dalam konteks tersebut karuhun Sunda menyebutnya sebagai asuh. Voice dalam pengasuhan menjadi nada harmonis yang ngelingan10 tanpa menyakitkan. Pengasuhan menjadi perlu untuk bisa memantau kebutuhan dan keinginan yang dipimpinnya agar setiap kebijakan dapat diambil tepat sesuai sasaran. Tampaknya hal seperti ini menjadi sulit dilakukan pejabat tatkala kesibukannya terlalu menumpuk. Kunjungan lapangan juga sering tidak mendapatkan apa-apa karena persiapan untuk itu dilakukan hampir sempurna. Voice dianggap sebagai loyalitas (Hirshman, 1970). Bawahan atau public yang vocal merupakan asset penting bagi keberlangsungan organisasi public. Kondisi sepertiini bisa dibangun dalam premis kesatuan dan interdependensi Bertalanffy11. Dalam kesatuan dan ketergantungan ini satu dengan lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan seperti halnya anggota tubuh manusia. Oleh sebab itu, pemukulan terhadap pipi karena ada nyamuk merupakan kesetiaan tangan yang didasarkan kecintaannya terhadap anggota tubuh yang lainnya sehingga terwujud sareundeuk saigel sabobot sapihanean12. Menjadi pejabat tentulah harus menjadi pengasuh yang setia setiap saat. Posisi ini kemampuan nalingakeun13 menjadi penting agar setiap gerak anggotanya dapat dipantau. Hanya saja prilaku dan suara sumbang bawahannya perlu ditafsirkan sebagai upaya introspeksi diri agar dapat meminimalisasikan kekurangan dan mengoptimalkan kekuatan. Kesumbangan suara yang dilakukan anggota ataupun public jangan sampai dimatikan karena akan berakibat exit. Keapatisan public terhadap prilaku sumbang pejabatnya bisa menjadi indicator exitnya public atas persoalan organisasi public. Apatisme public bisa membahayakan organisasi public. Hanya saja kebutuhan organisasi bisa berseberangan dengan kebutuhan pejabatnya. Pejabat yang kurang jeujeuhan14 seringkali merepotkan organisasi public yang berbasis kepentingan public. 9
Hirschman A, Exit Voice and Loyality. 1970 Sunda mengingatkan 11 Lihat Kusdi, Teori Organisasi dan Administrasi, 2009. 12 Sunda: Kompak 13 Sunda : memantau 14 Sunda : belum matang 10
Organisasi dijadikan kendaraan untuk memenuhi kebutuhannya yang bisa berseberangan dengan kebutuhan organisasi. Dampaknya, dukungan public menjadi berkurang yang disebabkan prilaku cul dog-dog tinggal igel 15pejabatnya. Prilaku pejabat seperti diatas bisa memunculkan voice anggota atau public. Hanya saja dengan tindakan
represif sering menjadi pilihan pejabat
public untuk
menghentikannya. Tindakan tersebut bukan hanya menjauhkan dirinya dari fenomena yang berkembang di publik, namun juga akan membungkam kemauan publik yang peduli dengan organisasi publik. Dampaknya organisasi tersebut terseret arus ambisi pejabatnya sementara kebutuhan organisasinya tenggelam. Menyeimbangkan kebutuhan organisasi dengan pejabatnya memerlukan kearifan pejabat yang mau menempatkan diri sebagai pengasuh. Dengan cara ini, setiap voice didengar dan ditelaah agar memperoleh benang merah yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Keberhasilan menjadi pengasuh akan mengurangi voice akibat input dan kritikan publik diakomodasi dan dilaksanakan dengan kaffah. Iklim demikian membangun loyalitas publik yang makin besar sehingga meringankan pejabat publik dalam menunaikan kewajibannya. Pejabat Matang Kemampuan mengasuh tidak lepas dari figur pejabat matang. Matang dalam konsepsi sunda bertalian dengan kemampuannya untuk landung kandungan laer aisan16. Kondisi tersebut menunjukkan figur pejabat yang matang dan singer dalam mendengar, berpikir dan memutuskan. Pertimbangan seperti itu menjadi penting terutama dalam membuat keputusan atau kebijakan yang menyangkut banyak orang agar tidak kejot borosot17. Tentu saja kondisi ini bisa dilakukan karena hubungan manusiawi pejabat dengan anggota maupun publik terjalin erat dengan handap asor, someah hade ka somah18. Ketiganya penting untuk mendorong agar figur pejabat publik menjadi pemimpin yang matang. Pejabat dapat dianalogikan dengan biji mangga. Ada dua tipe biji mangga. Mangga yang matang dan karbitan. Mangga matang tidak selamanya diindikasikan dengan merah 15
Sunda :meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya Sunda : bijaksana 17 Sunda : serampangan 18 Sunda, handap asor= rendah hati; someah hade ka semah= dekat dan erat dengan orang kecil 16
kulitnya. Kadang-kadang berwarna hijau. Orang awam sering keliru jika warna kulit hijau disangkanya mentah.Yang merah atau kuning seringkali menjadi indikator mangga matang kendati hasil karbitan. Orang pintar mengerti mana yang matang mana karbitan. Kulit merah tidak selalu ditafsirkan matang, demikian juga halnya hijau tidak berarti mentah. Kematangan mangga berangkat dari bijinya yang terus merangkak keluar sampai kulitnya. Sementara yang karbitan, kematangannya berangkat dari kulit terus merangkak ke biji. Warna merah kulit tidak dapat menjamin rasa manis buahnya. Seringkali yang manis hanya berkisar di kulitnya, sementara dekat biji masih sangat masam. Hal demikian bisa berarti bahwa kematangan seseorang berangkat dari hatinya yang direpresentasikan oleh prilaku yang tidak adigung adiguna19. Penampilannya dihiasi dengan kerendahan hatinya sehingga publik merasa segan bukan takut. Pejabat seperti ini bisa jadi langka sejalan dengan banyak dilahirkannya pejabat karbitan hasil nepotisme. Dampaknya seringkali dangkal memaknai fenomena yang ada sehingga keputusan dan kebijakan yang dihasilkannya juga mengkal. Mungkin juga meluasnya alih fungsi lahan serta lambannya pelayanan publik akibat figur yang terakhir ini. Lahirnya UU No25/09 menjadi bagi banyak pejabat publikuntuk pengamalannya, bukan untuk menyiasatinya. Banyaknya upaya rekayasa untuk menghindari dari kewajibannya sebagai pelayan publik menunjukkan masih kuatnya pejabat yang masih mengkal. Pejabat matang dapat melakukan regenerasi, sementara yang karbitan sulit diharapkan seperti itu. Regenerasi disadari dan diupyakan dengan iklim yang dipupuk secara alamiah dan sehat. Melalui interaksinya dengan anggota dan publik dapat dipantau tunas-tunas unggulan yang kelak mampu meneruskan cita-cita organisasi yang disepakati bersama. Bisa jadi tunas tersebut diuji melalui benturan untuk menguji ketahanan mental dan fisiknya, mungkin juga dibiarkan supaya teruji bahwa tunas tersebut dapat tumbuh tanpa fasilitas dan keistimewaan posisi. Melalui ujian seperti itulah tunas unggulan lahir dan bisa menjadi pejabat yang matang.
19
Sunda : Sombong
Publik dan anggota perlu memahami kawah candradimuka20 seperti itu agar tidak kabobodo tenjo kasamaran tingali21. Pejabat yang matang tidak menonjolkan kemampuan menumpuk material, namun lebih terfokus pada pengayaan sosial dan spiritual. Dengan demikian, kecerdasan sosialnya senantiasa terasah melalui hubungan kasih dengan sesama serta mengembangkan semangat asuh. Dirinya tidak unggut kalinduan teu gedag kaanginan22 dengan keputusan dan kebijakannya karena dilakukan dengan mempertimbangkan beragam hal dan resiko bagi organisasinya bukan bertumpu pada kepentingan dirinya.
Penutup Nilai yang berasal dari kearifan lokal menjadi penting untuk dipahami dan diamalkan pejabat publik. Langkanya pejabat yang mau menoleh pada nilai lokal seringkali disebabkan oleh kesilauannya atas praktik birokrasi negara maju yang menjadi panutannya, nilai impor yang dibawa melalui studi ataupun buku pinternya. Hanya saja, semuanya perlu ditafakuran agar ilmu yang diserap disesuaikan dengan kondisi empirik yang ada. Mungkin saja keberhasilan yang dialami pihak lain tidak selalu sama dengan hasil yang diraih bila dicontek. Hal demikian perlu menjadi pelajaran bagi seluruh pejabat publik agar mencontek dengan cerdas. Bila meniru praktik pihak lain tanpa reserve bisa jadi pejabat seperti itu sama dengan mangga mengkal yang dikarbit, atau bisa sama dengan pejabat leumpeuh yuni yang mudah dirayu dan tidak punya pendirian. Saatnya membangun figur pejabat yang singer agar anggita dan publik dapat menerima manfaat banyak dari kehadirannya, bukan malah mudharat. Masih ada waktu untuk berpacu, langkah pun masih panjang untuk menggapai kemuliaan organisasi publik demi melayani bangsa.
Rujukan Buku Dananjaya. A. 1986. Sistem Nilai Manager Indonesia. Jakarta : PT Pustaka Binaman
20
Dalam pewayangan tempat itu tepat penggemblengan calon pemimpin tangguh Sunda: tertipunya pandangan 22 Sunda: teguh pendirian 21
Hirschman A. 1970. Exit, Voice and Loyality : Response to Decline in Firm, Organization and State. Cambrigde Massachusetts: Harvard University Press Kast and Rosenweig. 1981. Organizational and Management. Tokyo : McGraw-Hill International Book Company. Kusdi. 2009. Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta : Salemba Humanika Suryalaga. H. 2003. Kasundaan. Bandung : Wahana Raksa Sumber Lain UU 25/ 2009 Tentang Pelayanan Publik Sumaryana. A. Keluarga dan Pemberantasan Korupsi. Kompas, 26 Maret 2008