NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN PERKAWINAN DAN KUALITAS PERKAWINAN PADA SUAMI ISTRI
Oleh: Ghina Fitria 12320182
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2016
HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN PERKAWINAN DAN KUALITAS PERKAWINAN SUAMI ISTRI Ghina Fitria Hepi Wahyuningsih INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan pada pasangan suami istri. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah akan ada hubungan positif antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan pada pasangan suami istri. Subjek dalam penelitian ini adalah 100 orang subjek yang terdiri dari 44 suami dan 56 istri dengan rentang usia 18-63 tahun. Skala yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu skala komitmen perkawinan Sternberg’s Tringular Love Scale (STLS) yang mengacu pada teori Sternberg (1988) dengan nilai α=0,865. Dan skala kualitas perkawinan The Indonesian Moeslim Marital Quality Scale (IMMQS) dari Wahyuningsih (2013) dengan nilai α=0, 772. Metode analisis data dari Spearman. Hasilnya menunjukan ada hubungan positif antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan pada pasangan suami istri (r=0,520). Kata kunci: marital commitment, marital satisfaction, couples
PENGANTAR Kualitas perkawinan adalah hal yang sangat penting bagi pasangan suami istri. Karena dengan kualiats perkawinan yang baik maka pasangan suami istri akan merasa bahagia dengan pernikahannya. Pentingnya kepuasan pernikahan ini juga dipertegas oleh Lavenson, Carstensen, dan Gottman (1994) dalam penelitiannya menunjukan bahwa kepuasan bisa mempengaruhi kesehatan mental dan fisik. Dengan kata lain, pasangan dari pernikahan yang puas memiliki tingkat kesehatan mental dan fisik lebih baik dari pasangan yang merasa puas dengan pernikahannya. Kualitas perkawinan dan kepuasan perkawinan merupakan kedua istilah yang mencerminkan hal yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fincham dan Rogge (2010) bahwa istilah kualitas perkawinan, kepuasan perkawinan, penyesuaian perkawinan, keberhasilan perkawinan, dan persahabatan sering digunakan secara bergantian, namun pada kenyataannya istilah tersebut merupakan kualitas dari hubungan. Meskipun demikian, sejumlah realitas menunjukan bahwa pasangan suami istri yang menikah tidak banyak yang mengalami kualitas perkawinan yang tinggi dalam perkawinannya. Seperti data yang dilansir oleh (DREAM.CO.ID) kementrian agama menemukan temuan meningkatnya perceraian dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Dari dua juta pasangan menikah, sebanyak 15 hingga 20 persennya bercerai, sekitar 300.000 sampai 400.000 pasangan bercerai. Sementara jumlah kasus perceraian yang diputus Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia pada 2014 mencapai 382.321 naik sekitar 131.023 kasus
dibandingkan tahun 2010 sebanyak 251.208 kasus, sementara dalam persentase berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, dalam lima tahun terakhir terjadi kasus gugat cerai mencapai 59 persen hingga 80 persen . Selain itu, kasus di kota Sukabumi menurut Kementrian Agama pada tahun 2014 kasus perceraian hanya di kisaran 30 hingga 35 kasus setiap bulannya dari 450 pernikahan, namun kini pada tahun 2015 perceraian meningkat rata-rata hingga kisaran 60 kasus tiap bulannya (kemenag.go.id). Selain masalah perceraian, kualitas perkawinan yang rendah juga ditandai dengan seringnya pasangan suami istri mengalami pertengkaran atau cekcok dalam perkawinannya, karena hal tersebut bisa memicu kepada tindakan kekerasan jika pertengkaran tersebut tidak dapat diatasi. Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada tahun 2012, sedikitnya ada 8.315 kasus KDRT dalam setahun. Jumlah itu mengalami peningkatan di tahun 2013 yang mencapai 11.719 kasus atau naik 3.404 kasus dari tahun sebelumnya (Sindonews.com). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas perkawinan yaitu terpenuhinya kebutuhan materil akan memberikan kepuasan fisik dan biologis (dan juga memberikan kepuasan psikologis). Kepuasan fisik dan biologis yang terpenuhi, dapat diwujudkan dalam bentuk sadang, pangan dan papan, dan terawatnya kehidupan rumah tangga. Terpenuhinya kebutuhan seksual ditandai dengan kondisi hubungan seksual yang baik dan keharmonisan pasangan dalam rumah tangga. Pemenuhan kebutuhan psikologis untuk mencapai kualitas perkawinan adalah rasa aman, kerjasama, saling pengertian, dapat menerima
perasaan, saling menghormati, saling menghargai, dan adanya komitmen. menurut Saxton (Larasati 2012). Menurut Weigel (2003) komitmen pada pasangan suami istri ditemui dalam komunikasinya sehari-hari dan motivasi mempertahankan pernikahan, yang kemudian pasangan mengartikan komitmen sebagai kebersamaan, komunikasi, persahabatan, kepercayaan, kesamaan, menepati janji, dan saling memberikan dukungan. Lalu pasangan yang bermaksud melanjutkan hubungannya akan merasa lebih nyaman untuk menginvestasikan sumber dayanya di masa mendatang. Komitmen adalah bentuk dari adanya kepatuhan pada keputusan yang telah dibuat. Jika individu tidak dapat memelihara komitmen ini, maka dapat dikatakan individu tersebut tidak dapat bertanggungjawab pada keputusan yang telah dibuatnya. Pandangan yang jauh ke depan juga merupakan salah satu faktor dalam membuat suatu komitmen. Jika individu tidak berpikir jauh ke depan sebelum membuat suatu keputusan maka akan mudah bagi seseorang tersebut untuk goyah komitmennya dan merasa tidak cocok dengan keputusan yang telah dibuatnya (A.L. Waterman & S.L. Archer, 1993), dalam hal ini keputusan untuk menikah. Jika komitmen tersebut goyah maka bukan tidak mungkin individu akan mengambil keputusan untuk bercerai. Sejalan dengan hal di atas, Impett dkk (2008) menyebutkan, bahwa komitmen pernikahan dapat menjaga stabilisasi hubungan, termasuk hubungan pernikahan. Komitmen pernikahan merupakan sejauh mana seorang individu
mengalami orientasi jangka panjang terhadap hubungan, termasuk keinginan untuk mempertahankan hubungan untuk lebih baik atau lebih buruk. komitmen dalam perkawinan menjadi hal yang sangat penting bagi kelangsungan perkawinan pasangan suami istri, karena jika salah satu dari pasangan suami istri sudah tidak berkomitmen, maka hal yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka adalah komunikasi yang berkurang, tidak ada tanggung jawab seperti suami menafkahi istri atau istri melayani suami, kurangnya waktu untuk bersama, dan yang paling parah bisa terjadi perselingkuhan yang mengakibatkan perceraian pada pasangan suami istri yang akhirnya saling menyakiti satu sama lain. Hal-hal tersebut menjadi faktor rendahnya kualitas perkawinan yang dirasakan oleh pasangan suami istri. Saat ini komitmen perkawinan menjadi sesuatu yang sangat rentan dan nampaknya menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Indonesia, karena dilihat dari kasus-kasus perceraian yang semakin meningkat setiap tahunnya begitu pula kasus KDRT. Angka perceraian dan KDRT yang semakin meningkat menunjukan adanya permasalahan-permasalahn dalam pernikahan yang semakin kompleks dan menjadi bukti bahwa tidak tercapainya kualitas perkawinan yang diharapkan oleh pasangan suami istri merupakan masalah yang banyak terjadi saat ini.
METODE PENELITIAN Subjek Penelitian Subjek penelitian ini yaitu suami atau istri, berada di Desa Nyalindung Kabupaten Sukabumi, minimal memiliki 1 anak, bersedia menjadi subjek penelitian ini, dan usia antara 18 – 63 tahun. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuantitatif. Metode kuantitatif yaitu metode yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2010). Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Menurut Azwar (2010), kuesioner adalah bentuk instrumen pengumpulan data yang sangat fleksibel dan relatif mudah digunakan serta data yang didapatkan dari kuesioner merupakana data yang dapat dikategorikan sebagai data faktual. 1. Skala Kualitas Perkawinan Skala kualitas perkawinan dalam penelitian ini menggunakan skala kualitas perkawinan yang dibuat oleh Wahyuningsih (2013). Skala kualitas perkawinan
dari
Wahyuningsih
(2013)
mengungkap
3
aspek
yaitu
persahabatan, kepuasan terhadap anak, dan keharmonisan. Skala kualitas perkawinan terdiri dari 13 aitem. Skala ini menggunakan skala Likert dengan 4 pilihan jawaban dari setiap pernyataan yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Skor pada aitem ini yaitu SS=4, S=3, TS=2, STS=1. Kualitas perkawinan subjek dapat dilihat berdasarkan jumlah skor yang diperoleh subjek dari skala ini. Semakin tinggi
skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula kualitas perkawinan subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah pula kualitas perkawinan subjek. 2. Skala Komitmen Perkawinan Skala komitmen perkawinan dalam penelitian ini menggunakan skala komitmen yang di buat oleh Stenberg (1988), skala komitmen dari Stenberg (1988). Aspek komitmen perkawinan berjumlah 15 aitem , seluruh item pada Tringular Theory of Love Scale Stenberg merupakan aitem favorable. Pada alat ukur aslinya digunakan skala thurstone yang terdiri dari sembilan angka pilihan jawaban, dari pilihan “tidak sama sekali” yang tertulis di bawah angka satu, sampai “sangat” yang tertulis di bawah angka sembilan. Namun untuk kuisioner yang peneliti berikan kepada partisipan, peneliti memodifikasi skala yang ada dengan mengubahnya ke dalam bentul skala likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban saja, yakni STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), S (sesuai), SS (sangat sesuai). Modifikasi peneliti lakukan berdasarkan penilaian ahli (expert judgement) yang menyatakan bahwa akan lebih mudah bagi partisipan untuk mengisi kuesioner apabila pilihan jawaban yang ditawarkan dipersempit. Disamping itu, modifikasi juga dilakukan karena pada bentuk skala dengan sembilan angka pilihan jawaban, akan sulit bagi partisipan untuk membedakan pilihan jawaban yang jaraknya berdekatan atau tidak terlalu jauh, dan akan sulit pula bagi partisipan untuk mengetahui perbedaan dari angka-angka pilihan jawaban yang tidak ada keterangn tertulis di bawahnya. Setelah partisipan menuliskan
seluruh jawaban, respon partisipan akan dinilai dengan cara menjumlahkan setiap angka pilihan jawaban yang dituliskan oleh partisipan. Untuk mengukur tingkat komitmen, maka yang dijumlahkan hanya item-item yang mewakili komponen komitmen saja. Hasil Penelitian Subjek pada penelitian ini adalah suami atau istri dengan total subjek 100 orang. Berdasarkan data yang diperoleh dapat dijelaskan mengenai deskripsi dari subjek penelitian yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1 Deskripsi Subjek Penelitian Katergori Kelompok Jenis Kelamin Usia
Pekerjaan
Penghasilan
Buruh Wiraswasta PNS IRT