The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
NASIONALISME RELIGIUS: IDENTITAS WAWASAN KEBANGSAAN UMAT ISLAM INDONESIA Oleh: Anhar** Negara bangsa (Nation State) akhirnya menjadi pilihan mayoritas mutlak umat Islam Indonesia. Pilihan ini diambil setelah melalui konflik ideologis tentang dasar negara, terutama antara Islam dan Nasionalis “Neutral Agama.” Sesuatu yang mengherankan kemudian khususnya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tokoh-tokoh umat Islam di panggung politik Nasional tidak lagi mengusung ideologi Islam sebagai ideologi Negara kecuali hanya sebagai slogan politik oleh partai politik tertentu yang biasa disampaikan untuk mengundang simpati rakyat pada musim kampanye Pemilu. Bahkan sejak era reformasi 1998, ideologi Islam sebagai ideologi bangsa dipandang tidak aktual lagi untuk diusung dan diwacanakan di pentas politik. Mengapa demikian? Bagaimana sesungguhnya wawasan kebangsaan umat Islam Indonesia? Pertanyaan inilah yang akan dicari jawabannya dalam makalah ini. Makalah ini pertama-tama akan membahas panjang lebar perjalanan historis umat Islam merumuskan wawasan kebangsaan, yang dari sana akan diambil butir-butir untuk menjelaskan pembahasan berikutnya yakni sintesis nasionalis ‘neutral agama’ (nasionalis sekuler) dan Islam, baru dilanjutkan dengan nasionalisme religius, umat Islam dan masa depan bangsa. Makalah ini diakhiri dengan simpulan tulisan yang ditempatkan pada bagian penutup. I.
Perumusan Wawasan Kebangsaan: Perspektif Historis Secara formal, kebangsaan Indonesia di perdengarkan pertama kali pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Namun, jika dirujuk masa yang lebih jauh, benih-benih kebangsaan Indonesia (Nasionalisme Indonesia) itu telah ada pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Pasca Majapahit, wilayah Nusantara terbagi-bagi kepada wilayah kekuasaan kesultanan atau kerajaan Islam. Berbarengan dengan itu, misi dagang Belanda masuk ke Indonesia pada 1596, dan kemudian sejak 1602 melakukan penguasaan wilayah (penjajahan). Di satu sisi, penjajahan sangat merugikan Nusantara, tetapi belakangan memberi dampak kepada bersatunya kerajaan-kerajaan Islam untuk suatu negara bangsa, yakni Indonesia. Pada awal abat ke-20, Belanda menjalankan kebijakan politik etis (balas jasa) yakni dengan memberi ruang kepada bumi putra untuk menikmati pendidikan. Hal ini dilakukan Belanda dengan cara mendirikan sekolah-sekolah formal seperti HIS, MULO, STOVIA, dll. Kebijakan ini berdampak terhadap kesadaran dan pengetahuan kaum terpelajar terhadap kondisi masyarakat Indonesia. yang sedang terjajah. Gerakan kaum terpelajar bermunculan, seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain sebagainya. Dalam masyarakat Islam lahir gerakan sosial keagamaan seperti Sarekat Dagang Islam (SDI), Persyarikatan Ulama di Majalengka, Muhammadiyah, Persis, NU, Perti, dan partai-partai politik seperti Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan Partai Islam Indonesia (PII). Gerakangerakan keagamaan Islam dan organisasi-organisasi kaum terpelajar inilah selanjutnya yang membangun karakter nasionalisme bangsa dalam pengertian modern. Namun, nasionalisme yang dikembangkan ketika itu baru dalam pengertian etik, yakni membangun visi, karakter dan paham kebangsaan. Dalam perjalanannya kemudian, sebagian tokoh muda melihat bahwa nasionalisme etik perlu dirubah menjadi nasionalisme dalam pengertian politik. Tokoh muda muslim yang secara langsung mengambil peran yang demikian adalah HOS Tjokroaminoto. Hal ini dilakukannya ketika ia memimpin SI (semula SDI) sejak bulan Mei 1912. Pada dekade pertama, SI di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto mengejewantah menjadi organisasi politik besar yang merekrut anggota dari berbagai kelas dan aliran. Pekerjaan ini dengan mudah dilakukan, karena ideologi bangsa ketika itu hanya satu yakni persatuan dan anti-kolonialisme. SI berupaya memperjuangkan lahirnya pemerintahan yang berdaulat bagi penduduk Indonesia. Namun dibelakang hari, cita-cita yang besar ini tidak dapat digarap oleh SI. Hal ini sebagai akibat
Makalah dipresentasekan pada Annual Conference on Islamic Studies IX Tahun 2009 Surakarta tanggal 2 s.d. 5 November 2009 di Surakarta. Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padangsidimpuan Sumatera Utara. Email:
[email protected]
**
Surakarta, 2-5 November 2009
2 perpecahan yang disebabkan oleh pertentangan ideologis yakni Islam, Komunisme, dan belakangan Nasionalisme “neutral agama”. Dalam konteks hubungan Islam dengan kenegaraan atau nasionalisme, masa-masa ini adalah fase dialektika pemikiran yang penuh ujian dan tantangan. Tesis tokoh-tokoh Islam (terutama HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, A. Hassan, dan M. Natsir) tentang integrasi keislaman dan kebangsaan (atau nasionalisme Islam) yang dipertahankan selama ini, ditantang dengan keras oleh golongan Nasionalis “neutral agama”. Mereka menuduh Islam sebagai “biang kerok” perpecahan di tubuh SI, dan H. Agus Salim dituduh menjerumuskan SI menjadi partai pendeta yang menelantarkan kepentingan sosial dan ekonomi rakyat demi agama. Tokoh-tokoh umat Islam di panggung politik merespon segala tuduhan itu. Tokoh yang paling intens memberi respon adalah HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, A. Hassan, dan M. Natsir. Meskipun perjuangan dipanggung politik mengalami benturan keras oleh karena perbedaan ideologi, namun tokoh-tokoh umat Islam tidak kehilangan semangat dalam memperjuangkan suatu Indonesia yang merdeka. Tahun 1937, organisasi Islam bersatu dalam sebuah konfederasi, MIAI (Majlis Islam A’laa Indonesia). Dua tahun kemudian, tepatnya 1939, partai-partai politik membentuk sebuah federasi yang bertujuan membangun sinergi partai dalam memperjuangkan kemerdekaan. Federasi partai itu bernama GAPI (Gabungan Politik Indonesia). GAPI mengeluarkan seruan politik agar Indonesia berparlemen dengan tujuan agar ada wakil bangsa yang secara legal dan formal memperjuangkan kepentingan bangsa dalam pemerintahan Hindia Belanda. Sementara Belanda sedang dihadapkan kepada masalah global, yakni Perang Dunia II, tokoh-tokoh GAPI berhasil membangun komitmen bangsa memperkuat daya penekan politik terhadap kolonial Belanda, yang sudah tentu berdampak terhadap melemahnya otoritas dan moral politik kaum penjajah. Dalam kaitan dengan konflik ideologis yang terjadi, perlu ditegaskan di sini, bahwa GAPI tidak berhasil menjadi wahana peredam konflik dimaksud, meskipun dalam wadah GAPI, partai-partai politik merapatkan barisan. Pada awal 1940-an, Soekarno berusaha masuk ke dalam wacana perdebatan ideologis tersebut. Ia melontarkan pemikiran dengan maksud memberi pencerahan kepada tokoh-tokoh Islam tentang hubungan agama dan negara, sehingga konflik ideologis dapat redam. Dengan cara ini Soekarno menunjukkan sikapnya membela kaum Nasionalis. Bagi Soekarno, di negeri seperti Indonesia yang plural, ada pilihan antara “persatuan staat-agama, tetapi zonder (tanpa) demokrasi, atau demokrasi, tetapi staat dipisahkan dari agama”. Ia berpendapat bahwa ajaran Islam dapat saja mempengaruhi undang-undang, tetapi harus melalui suara terbanyak di parlemen. Kalau mayoritas wakil rakyat yang terpilih bukan muslim, itu berarti “Tuan punya rakyat belum rakyat Islam!” (Noer, 1980: 307). Namun, dalam banyak kesempatan lain, Soekarno memuji Kemal Attaturk yang bereksperimentasi membangun politik Turki dengan memisahkan agama dari Negara. Ia berharap, Turki menjadi model bagi Indonesia merdeka. Soekarno, tidak saja mendapat kritik dari tokoh-tokoh politik muslim seperti M. Natsir, tetapi juga dari Nahdlatul Ulama. Tentang pernyataan Soekarno supaya umat Islam memperjuangkan cita-cita kenegaraannya melalui parlemen, NU memberi respon sebagai berikut: Djikalaoe Soekarno tidak bitjara diatas awan ideal, dan hendak bitjara diatas bumi kenjataan, boemi reëel, ia reëel dan sekali lagi reëel hendaklah Soekarno memperhatikan sikap oemat Islam didalam Kongres Ra’yat Indonesia tempoh hari. Sekalipoen Indonesia berisi 90% oemat Islam, namoen tidak ada satoe wakil Islam jang menoentoet soepaja Parlement jang ditjita-tjitakan itoe parlement Islam. Bahkan dikala membicarakan bendera persatoean, tidak ada jang mengemoekakan toentoetan soepaja bendera itoe bendera…Islam. (Feillard, 1995: 28). Pada 1942, dinamika politik mengalami perubahan. Jepang (imperialis baru) datang ke Indonesia setelah berhasil mengusir Belanda. Dalam hal ini satu hal penting perlu dicatat bahwa kedatangan Jepang memberi energi baru bagi partai-partai Islam yang sebelumnya mengalami kemunduran. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan Nasionalis “sekular”, dan mengenyampingkan pemimpin tradisional (raja dan bangsawan lama). Jepang berpendapat bahwa organisasi-organisasi Islamlah yang sebenarnya mempunyai massa yang patuh, dan dengan pendekatan agama, penduduk Indonesia mudah dimobilisasi. Pandangan inilah yang mendasari kebijakan politik Jepang yang memperkenankan organisasiorganisai Islam meneruskan kegiatannya, sementara organisasi-organisasi non-keagamaan tidak mendapat perhatian Jepang.
3 Tahun 1943 MIAI dibubarkan oleh Jepang dan Masyumi (Madjilis Syuro Muslimin Indonesia) berdiri. Lembaga baru ini loyal terhadap Jepang. Hanya saja, Jepang membatasi varian muslim yang boleh menjadi anggotanya, yakni hanya NU dan Muhammadiyah. Dalam konteks ideologi politik, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu tahun 1945, perbedaan antara pendukung ideologi Islam dengan Nasionalis sekular tetap menganga lebar. Hal ini diakibatkan oleh dikotomi Islam-nasionalis yang dipelihara oleh Jepang, terutama tindakan Jepang yang membuat frontfront tentara yang berbeda afiliasinya. Hizbullāh dan Sābilillāh berafiliasi ke ormas Islam, sedangkan tentara nasional (PETA) dikuasai oleh nasionalis yang “neutral agama”. Namun perlu dicatat, ada kesamaan pendapat di kalangan tokoh nasionalis ― dari Soekarno hingga Mohammad Hatta, dari Supomo hingga Ki Hadjar Dewantara ― tentang corak nasionalisme Indonesia yakni lebih mementingkan “kebersamaan”, kolektivisme, prinsip kekeluargaan dan gotong-royong dari pada individualisme, intelektualisme, materialisme dan demokrasi parlementer model Barat, serta keyakinan bahwa kebijaksanaan (kearifan) tradisional bangsa dapat digunakan sebagai penunjuk jalan untuk memilih halhal yang baik yang bisa diserap dari dunia Barat. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, tahun 1945 terjadi perdebatan hangat mengenai: batas-batas wilayah Negara, kepala negara (presiden, raja atau imam), bentuk negara (kesatuan atau federasi), dan penduduk minoritas (keturunan Tionghoa atau Arab). Dari sekian topik perdebatan itu, yang paling seru dan berdampak pada jurang pemisah antara kelompok Islam dan Nasionalis adalah tentang Islam vis-à-vis Negara. Menurut Saifuddin Zuhri, Negara nasional bagi pendukung Negara Islam dipandang sebagai inkarnasi Kerajaan Majapahit, sedangkan bagi pendukung negara sekular, negara Islam adalah sama dengan Arab Saudi yang melakukan potong tangan bagi pelaku pencurian. Patut dicatat bahwa, meskipun mengalami perdebatan seru tetapi perdebatan dimaksud senantiasa mengerucut kepada tujuan terbentuknya sebuah negara merdeka dan berdaulat. Pada bulan April 1945, di dalam “Panitia 62” (Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai atau BPUPKI) yang ditugaskan menyusun Undang-Undang Dasar bakal Republik, masalah bentuk negara kembali diperdebatkan. Soekarno, untuk pertama kali memanfaatkan institusi BPUPKI, meletakkan dasar-dasar bakal negara Indonesia, sebagaimana diperlihatkan nanti. Menurut kesaksian Kiai Masykur, umat Islam memberi sumbangan yang besar terhadap definisi Pancasila. Menurutnya, sebuah diskusi yang panjang terjadi akhir Mei 1945 antara Soekarno dengan tiga pemimpin muslim, yaitu Kiai Wahid Hasyim, Kiai Masykur dan Kiai Kahar Muzakkir. Berikut transkripsi kisahnya: …di rumahnya Mohammad Yamin, saya, Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dari Yogyakarta. Bertiga, berempat dengan Yamin. Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu. -Lantas Bung Karno Tanya: ‘Ada apa?’ -‘Kita ini ingin dasar Islam, tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah. Bagaimana kira-kira bisa umat Islam bela tanah air, tapi tidak pecah?’ -Bung Karno katakan: ‘Coba kita Tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini?’ -Yamin mengatakan: ‘Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan. Minta keselamatan, minta apa begitu.’ -Lantas Bung Karno katakan: ‘Nah! Ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan,’ Kata Bung Karno, ‘Kalau begitu, negara kita dari dulu itu sudah ketuhanan! Sudah ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman ketuhanan. Mufakat? Bangsa ketuhanan? Tulis! Tulis! Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?’ -Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau waktu makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai² kalau sama² menemani.’ -Kalau begitu, ‘kata Bung Karno, ‘bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang perikemanusiaan. Satu sama lain suka menolong. Kerjasama, perikemanusiaan.’ -Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita…: ‘Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah putrid Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau salah, ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya, benar, benar ini memang. ………..…
4 Ramai… dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai subuh. Ini dijadikan oleh Bung Karno Pancasila, menjadikan penggantinya dasar Islam Negara. Kita umat Islam mengatakan kalau dasar Islam itu isimnya diambil, kalau Pancasila itu musamahnya yang diambil… Sila² itu musamahnya Islam. Lima ini kita umat Islam, ini sebagai musamahnya, isi Islam, isim Islam, musamahnya, Pancasila. Saya, Wahid Hasyim… -Lantas Bung Karno katakan: ‘Mau saya usulkan, Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau!’ (Kiai Masykur ketawa imitasi Bung Karno), ‘Awas!’ Kita tak boleh bantah. Lantas diusulkan Bung Karno itu. Lima sila itu. Saya piker waktu itu dengan kawan², Pak Yusuf Hasyim apa, kalau dasar Islam belum tentu menjalankan Islam. Kadang² negara ada tokoh² Islam, atau prakteknya tidak Islam. Ini kita ambil musamahnya, isimnya kita tinggalkan. (Feillard, 1995: 32-35). Dalam perbincangan tersebut, nampak bahwa ketiga pemimpin muslim lebih mementingkan pemikiran tentang persatuan Indonesia dari pada memaksakan syariat, yakni lebih berpikir “substansialis” dari pada “skripturalis” atau literalis. Artinya lebih mementingkan nilai-nilai keislaman, dari pada simbolisme keislaman. Jika benar diskusi dimaksud berlangsung seperti yang dikisahkan Kiai Masykur, berarti Pancasila benar-benar tampak sebagai perpaduan konsep nasionalisme dan Islam. Namun dalam sidang BPUPKI selanjutnya, yakni pada tanggal 1 Juni 1945, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, menurut Hatta sesumbar melemparkan pertanyaan tentang dasar negara. Akibatnya muncul perdebatan sengit antara golongan nasionalis dengan Islam. Pada sidang hari pertama, Soekarno dengan panjang lebar berpidato tanpa teks merespon pertanyaan Dr. Radjiman dimaksud, yang kemudian dikenal dengan nama Lahirnya Pancasila. Dalam pidato 1 Juni 1945 yang sangat terkenal, ia mengusulkan agar Indonesia didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, yaitu: 1) Kebangsaan, 2) Internasionalisme, peri-kemanusiaan, 3) Permusyawaratan, perwakilan, mufakat, 4) Kesejahteraan, 5) Ke-Tuhanan. Pidato Soekarno itu mendapat sambutan yang luar biasa dari para anggota, dan ini dipercayai sebagai tanda persetujuan. Sementara golongan Islam mengusulkan agar Islam yang dijadikan dasar negara. Pada sidang selanjutnya, yakni pada hari keempat, Pancasila secara formal dimunculkan. Dengan demikian ada dua alternatif dasar negara yang dimunculkan. Kejadian ini adalah pertama kali dalam sejarah konstitusi bangsa ini, dimana Islam berhadapan dengan Pancasila. Pergumulan antara Islam dan Pancasila selama beberapa hari berlangsung dengan tendensi yang sangat tinggi. Masing-masing mencoba bertahan pada pendiriannya. Dalam perdebatan itu, harus jujur diakui bahwa tidak ada yang menandingi konsepsi Seokarno yang dirumuskan dalam bentuk Pancasila itu. Sebenarnya, wakil umat Islam dalam BPUPKI itu hanya berkisar 20%. Hanya saja suatu kenyataan sosiologis yang tidak dapat dibantah bahwa umat Islam di negeri ini mayoritas. Dikhawatirkan bahwa bila data sosiologis ini diabaikan, maka konflik politik yang parah akan terjadi. Oleh karena itu forum sidang BPUPKI tidak serampangan memutuskan dasar negara Indonesia, dan dicarikan suatu modus vivendi untuk mendekatkan pendirian masing-masing pihak. Modus vivendi itu dikerjakan oleh Panitia Sembilan yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Panitia Sembilan dibentuk pada mulanya adalah untuk merumuskan kembali isi pidato Soekarno pada 1 Juni itu. Setelah Panitia Sembilan bekerja keras, akhirnya sebuah solusi politik, sekalipun hanya berumur 57 hari, dalam bentuk Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dapat disepakati. Dalam piagam ini, Pancasila sebagai dasar negara telah diterima, tapi sila Ketuhanan ― yang dalam pidato Soekarno diletakkan paling akhir ― ditempatkan sebagai sila pertama, dan diikuti oleh anak kalimat: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Anak kalimat strategis konstitusional ini tidak saja ditempatkan pada Pembukaan UUD 1945, tapi juga dalam pasal 29 ayat 1. Dalam perjalanan berikutnya, pihak Kristen ternyata tetap keberatan dalam menerima Piagam Jakarta, sekalipun anak kalimat setelah Ketuhanan, tidak mengikat mereka. Iklim merasa tertekan ini telah memaksa diadakan rapat mendadak antara Bung Hatta, Ki Bagus Hadikusuma, Teuku Muhammad Hasan, dan Kasman Singodimedjo di Jakarta pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Hasil rapat yang hanya sekitar 15 menit, menghasilkan kesepakatan untuk menghilangkan tujuh kata setelah Ketuhanan, tetapi atribut strategis “Yang Maha Esa” dikukuhkan sebagai penggantinya. Bung Hatta menulis, “Pada waktu itu kami menginsafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemelukpemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Lebih eksplisit Bung Hatta berkata: …tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariah Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat
5 Islam Indonesia. Dengan cara begitu, lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem Syariah Islam yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Al-Quran dan Hadis, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang. (Hatta, 1978: 457). Apa yang dikemukakan oleh Bung Hatta itu kelihatannya adalah solusi cerdas terbaik bagi bangsa Indonesia. Sebab, kalau pun anak kalimat Ketuhanan yang tujuh kata itu dipaksakan, maka dapat berakibat fatal bagi Indonesia yang baru satu hari menyatakan kemerdekaannya. Lagi pula, kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 berada di bawah naungan UUD 1945 sebagaimana yang dirumuskan dan disepakati pada 22 Juni 1945. Dengan demikian, perubahan yang terjadi pada 18 Agustus 1945, sebagaimana Bung Hatta telah menyatakannya, tidak akan dapat menghapus benang merah sejarah itu. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 1955, Islam dan Pancasila kembali mengalami pergumulan. Dasar negara kembali diperdebatkan. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi Pemilu 1955 yang diamanahi tugas membentuk parlemen dan konstituante. Materi yang diperdebatkan tidak banyak berbeda dengan apa yang diperdebatkan dalam BPUPKI pada 1945. Bedanya terletak pada kenyataan bahwa anggota Majelis adalah anggota yang dipilih lewat Pemilu yang demokratis, tidak hanya diangkat atau dicomot seperti keanggotaan BPUPKI. Di samping itu jumlahnya lebih besar, yaitu sekitar 520. Selain perdebatan mengenai dasar negara yang ternyata masih tetap alot, pembicaraan mengenai materi-materi yang lain berjalan lancar. (Maarif, 1993: 197). Dalam sidang Majelis Konstituante ada tiga draft yang diusulkan untuk menjadi dasar Negara, yaitu Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi. Draft yang terakhir hanya didukung oleh Partai Buruh dan Partai Murba yang memiliki anggota sangat kecil di Majelis. Oleh karena itu, yang akhirnya berhadapan alot adalah Pancasila dan Islam. Wakil-wakil Islam saat itu lebih siap dalam konsep dan argumentasi ketimbang wakil-wakil Islam pada BPUPKI, karena wakil-wakil kali ini adalah kombinasi kekuatan dunia pesantren dan dunia intelektual berpendidikan umum. Di antara tokoh-tokoh yang menonjol dari pihak Islam adalah Mohammad Natsir, K.H. Saifuddin Zuhri, Z.A. Ahmad, Osman Raliby, K.H. Syukri Ghazali, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, K.H. Masykur, Kasman Singodimedjo, Hamka, Muhammad Taher Abubakar, dan Syamsiyah Abbas. Sementara dari pendukung Pancasila di antaranya yang terkemuka adalah Ruslan Abdulgani, St. Takdir Ali Sjahbana, Soedjatmoko, Prof. Suripto, Arnold Mononutu, Njoto, Karkono Partokusuwo, dan Suwiryo. Gambaran perdebatan dalam sidang konstituante misalnya sebagai berikut: Mohammad Natsir mengatakan bahwa Pancasila itu adalah sekular dan netral. Bila kenetralannya hilang, maka raison d’etrenya tidak ada lagi. Pendapat ini direspon oleh Ruslan Abdulgani dengan mengutip pendapat Kahin, bahwa “Pancasila adalah sebuah sintesis dari gagasan-gagasan Islam modern, ide demokrasi, Marxisme, dan gagasan demokrasi asli seperti yang dijumpai dalam komunalisme penduduk asli.” Bantahan lain terhadap Mohammad Natsir juga datang dari Arnold Mononutu yang mengatakan bahwa Pancasila tidak benar bercorak sekular. Penjelasan mengenai perdebatan anggota konstituante tentang kelebihan Islam dari Pancasila, A. Syafii Maarif menuliskan: …Kasman Singodimedjo misalnya mengatakan, bahwa Pancasila itu tidak dapat dibandingkan dengan Islam, sebab Islam itu adalah serba sila. Dalam pada itu, Natsir memperingatkan umat Islam bahwa bilamana berpindah dari Islam ke Pancasila samalah artinya “melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa.” Pernyataan puitis dari Natsir ini disambut Mononutu dengan berucap: “Dari ideologi Pancasila ke negara Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat Kristen adalah ibarat: melompat dari bumi, yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya sebagai manusia Indonesia yang volwaardig, ke ruang kosong, vacuum, tak berhawa.” (Maarif, 1993: 198). Perdebatan alot tentang dasar negara, akhirnya hanya berlangsung sampai sidang yang berakhir 2 Juni 1959, tanpa tercapainya suatu keputusan. Hal ini berarti bahwa amanah yang diberikan kepada Majelis Konstituante untuk membuat UUD yang permanen gagal total. Pada hal sebetulnya sudah 90% pekerjaan tersebut rampung. Di tengah-tengah berlarutnya perdebatan itu, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya membubarkan Konstituante serta menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian, Pancasila hasil kesepakatan Panitia Sembilan dinobatkan menjadi dasar negara, tapi dengan tetap mempertimbangkan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945, dan juga merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan UUD tersebut.
6 Dalam perjalanan sejarah bangsa berikutnya, suara-suara ideologi Islam, pelan-pelan hilang dari panggung politik. Bahkan pada era reformasi ini, tidak ada satu pun partai politik Islam yang memperjuangkan negara Islam. Nampaknya, apa yang pernah terucap oleh Hatta benar-benar mengaktual dalam generasi bangsa hari ini. II. Sintesis Nasionalis ‘Neutral Agama’ dan Islam Perjalanan sejarah pembentukan ideologi dan wawasan kebangsaan Indonesia (Keindonesiaan) yang mengalami dinamika cukup pelik dan rumit, menurut hemat penulis, telah berhasil melahirkan suatu sintesis ideologi negara yang khas Indonesia, yaitu nasionalisme yang berketuhanan. Istilah yang populer untuk ini adalah Nasionalisme Religius. Nasionalisme Religius adalah sintesis Nasionalis ‘neutral agama’ dengan Islam. Disamping itu, terdapat faktor lain yang mempengaruhi seseuai dengan konteks kesejarahan pembentukan Nasionalisme Indonesia. Faktor dimaksud adalah kearifan tradisonal bangsa dan sosialisme-komunisme. Berdasarkan ‘ramuan’ berbagai faktor dimaksud, maka terbentuklah suatu Nasionalisme Indonesia yang berbeda dengan di tempat lahir nasionalisme yaitu Eropa Barat dan Amerika, dan bahkan ditempat lainnya. Hal lain yang membenarkan konsep nasionalisme yang ber-Ketuhanan (nasionalisme religius) tersebut adalah realitas empirik kepribadian para perumus Pancasila ― khususnya Panitia Sembilan. Selain golongan Islam, tokoh-tokoh golongan nasionalis ― kecuali A.A. Maramis ― juga muslim. Dengan demikian tentu tidak adil jika golongan nasionalis dituduh sebagai sekularis yang benar-benar netral agama; yang mengenyampingkan nilai-nilai agama dan keberagamaan bangsa ini. Alasannya, mereka adalah beragama Islam (muslim) yang telah menjalankan agama dan dibesarkan dalam pelataran nilai-nilai tradisional bangsa yang religius. Mereka itu adalah Soekarno, Hatta, Ahmad Subardjo dan Muhammad Yamin. Di samping itu, keempat tokoh bangsa yang disebut terakhir juga telah menunaikan ibadah Haji. Terlebih lagi, jika dilihat sosok Hatta (Wakil Panitia Sembilan), yang dikenal sebagai sosok muslim yang taat beragama. Oleh karena itu secara ekstrinsik, keislaman mereka tidak diragukan. Para perumus yang lain, yaitu tokoh-tokoh Muslim, tentu tidak diragukan lagi kemuslimannya. Mereka itu adalah Abikusno Tjokrosudjoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim dan Wahid Hasyim. Panitia Sembilan itu telah merumuskan konsep-konsep dasar yang dapat dianalogikan dengan semacam kalimatun sawa` (doktrin ideologi negara yang bersumber dari titik temu atau persamaan dari beberapa ideologi atau budaya yang berbeda) yang berfungsi menjamin kohesivitas sosial warga bangsa Indonesia yang plural. Oleh karena itu, Pancasila dapat dipandang sebagai kalimatun sawā’ yang merupakan simpul-simpul nilai yang strategis yang sama-sama ada pada Islam, Nasionalis, Nilai-nilai Kearifan Bangsa, dan Sosialisme. Keberatan pihak Islam pada masa-masa awal terhadap Pancasila, kelihatannya karena terjebak pada formalisme atau simbolisme agama, ditambah dengan ketakutan tokoh-tokoh muslim dengan gebrakan Soekarno yang tertarik untuk mencontoh gerakan sekularisme politik Mustafa Kemal Attaturk di Turki pasca keruntuhan Daulah Usmaniyah. Setelah masa berlalu, barulah di era reformasi ini sejarah memperlihatkan dengan gamblang bahwa kekhawatiran tokoh-tokoh muslim itu sebenarnya tidak substantif. Sebab, Pancasila dan UUD 1945 telah menjamin kebebasan setiap warga Indonesia menjalankan agama dan kepercayaannya. Artinya Negara memberikan perlindungan terhadap hak dasar memeluk suatu agama dan beribadah menurut agama yang dianut. Di samping itu, dapat pula dikatakan bahwa ketakutan yang berlebihan terhadap usulan ideologi Islam tentu berlebihan dan cenderung bersifat Islamofobia. Dikatakan demikian, karena mereka yang dengan keras menolak usulan negara Islam tidak pernah membaca secara komprehensif tentang isi syariat Islam yang berkaitan dengan kenegaraan. Realitas yang berkembang ketika itu, syariat Islam dipandang akan memasung hak-hak keagamaan non-muslim, dan implementasi hukum Islam dipandang tidak manusiawi, terutama soal potong tangan bagi pelaku pencurian. III. Nasionalisme Religius, Umat Islam dan Masa Depan Bangsa Dewasa ini, nasionalisme religius adalah konsep dan karakter kebangsaan paling cocok dan relevan bagi negara Indonesia yang plural (plural society). Sedangkan Pancasila adalah kalimah sawa` (titik temu) pluralitas agama, etnis dan budaya yang mengejewantah menjadi ideologi dan dasar negara. Sedangkan UUD 1945 adalah konstitusi dasar yang merupakan turunan senyawa Pancasila. Di atas falsafah nasionalisme seperti ini, setiap umat beragama dan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta setiap etnis dan budaya dapat memainkan perannya dalam membangun bangsa.
7 Umat Islam sebagai warga bangsa terbesar di negeri ini memiliki kesempatan dan peluang yang terbuka lebar untuk bersungguh-sungguh mengisi Pancasila dengan nilai agama (atau nilai syariat Islam), dan begitu juga mengimplisitkan nilai agama dalam penafsiran dan penerapan UUD 1945. Sumbangan dominan umat Islam dalam mengisi Pancasila akan dapat menjadikan Indonesia menjadi Muslim dalam arti etika atau substansial, bukan dalam pengertian formal atau simbolik sebagaimana keinginan masa lalu menjadi Negara Islam. Untuk menyebut contoh pengisian Pancasila dengan nilai Islam adalah perintah AlQur`an tentang musyawarah (QS Ali Imrān/3: 159; Asy-Syurā/42: 38). Perintah ini telah inhern dalam Pancasila dan UUD 1945 tanpa harus menyebut bahwa nilai musyawarah adalah nilai Islam. Namun, upaya substansialisasi ini membutuhkan proses panjang. Nurcholish Madjid menjelaskan: Proses ini saya kira masih terus akan berlanjut, mudah-mudahan kadar reaktifnya semakin tidak berarti. Yang kita tunggu sekarang adalah proses pematangan (umat Islam, pen.). Insya Allah, kalau sudah diterima sebagai keyakinan yang merata untuk seluruh lapisan masyarakat, Islam akan menyatakan diri dalam perwujudan etis dan moral yang kuat. Sehingga nanti Indonesia tumbuh sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah Islam. Ini bukan hanya masalah keyakinan, tapi juga keyakinan sosiologis, karena masyarakat Indonesia itu kan mayoritas Islam. (Madjid, 1998: 109). Menurut Madjid, bahwa agama mayoritas di suatu bangsa, lalu menjadi basis etika bangsa itu, bukan suatu yang ganjil dan apa lagi dipandang tidak masuk akal. Di negara lain hal ini telah terjadi. Contohnya di Amerika. Madjid menjelaskan: Civil Religion di Amerika itu sebetulnya dasarnya Kristen Protestan, yakni dari White Anglo Saxon Protestant (WASP). Di antara ide-idenya berasal dari Thomas Jefferson. Padahal ia sendiri bukan Kristen ortodoks. Dia seorang unitarianis-deis-universalis. Tuhan yang ditulis dalam deklarasi kemerdekaannya pun (kemerdekaan Amerika, pen.) adalah “The God of Nature” dan “Nature’s God”. Jadi tidak khas Kristen, karena Thomas Jefferson yang merenungkannya. Tapi begitu sampai ke masyarakat, ide itu mengalami Kristenisasi. (Madjid, 1998: 109). Di bagian lain, Madjid menjelaskan: AS adalah negera yang dipandang dari segi etisnya adalah negara Kristen yang Protestan. Malahan bisa disebut Protestan Putih dari kalangan Anglo Saxon. Tapi meskipun AS itu secara etis itu sebuah negara Kristen, namun pada tingkat nasional, nilai-nilai dari Kristen itu diungkapkan dalam rumusan-rumusan universal, sehingga tidak lagi khusus dimengerti oleh orang Kristen, tetapi menjadi rumusan yang bisa disertai (dipahami, pen.) oleh orang lain. Artinya, walaupun itu diambil dari etika Kristen, tetapi ketika dijadikan nilai yang umum, maka orang Yahudi atau orang Katolik, atau orang Islam dapat turut menikmati. Misalnya kebebasan, hak pribadi, hak asasi, tertib hukum. Itu semua adalah pemunculan ke atas dari nilai-nilai khusus yang lahir dari agama. (Madjid, 1998: 172). Oleh karena itu, Indonesia harus terus tumbuh sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah Islam. Sebuah bangsa yang tumbuh dalam basis etika yang kuat akan terantar menjadi bangsa yang maju dan kuat. Masalahnya bangsa Indonesia adalah tergolong soft state; konsep baik dan buruk rada-rada kabur. Etos furqān (pembeda antara yang benar dan yang salah) bangsa ini lemah. Menurut Madjid, hal ini terjadi karena cara penganutan agama sebagian besar umat Islam bersifat formal dan simbolik, yang terkungkung oleh kategori historis-sosiologis. Akibatnya simbolisme lebih dipentingkan dari pada substansi, misalnya Negara Islam atau Syariat Islam, atau embel-embel Islam lainnya. Sehingga hal tersebut tidak jarang bersifat kontraproduktif dengan nilai-nilai Islam yang benar. Substansialisasi nilai-nilai Islam yang telah diuniversalkan ― meskipun dalam ungkapan ― ke dalam Pancasila dan UUD 1945, adalah tantangan umat Islam masa kini dan masa datang. Di sinilah dituntut kreativitas umat Islam warga bangsa ini terus-menerus, terutama kreativitas para intelektualnya. Dan ini pulalah yang menentukan corak nasionalisme bangsa di kemudian hari, yang akan menjamin kelanggengan, keutuhan dan kemajuan bangsa. IV. Penutup Dialektika Islam dan Nasionalisme dalam konteks sejarah konstitusionalisme Indonesia telah melahirkan suatu nasionalisme yang berkarakter keindonesiaan, yakni nasionalisme berketuhanan (nasionalisme religius). Nasionalisme religius dimaksud adalah pengejewantahan nilai yang bersumber terutama dari Islam, nasionalisme modern, dan kearifan tradisional bangsa. Bentuk nyata nasionalisme religius itu telah dirumuskan dalam bentuk dasar, falsafah atau ideologi negara yaitu Pancasila dan konstitusi negara yaitu UUD 1945. Sedangkan Pancasila dan UUD 1945 secara
8 nyata adalah kalimatun sawā` (titik temu) warga bangsa yang plural yang berfungsi mengikat dan menjamin kohesivitas berbangsa dan bernegara. Sebagai kalimatun sawā`, maka umat Islam dapat mengisi Pancasila dengan nilai-nilai Islam. Substansialisasi nilai-nilai keislaman ke dalam Pancasila dan UUD 1945 menjadi tantangan bagi kreatifitas umat Islam, khususnya para intelektual. Upaya kreatif inilah yang akan memposisikan umat Islam dalam konteks nasionalisme Indonesia pada posisi yang proporsional dan bertanggung jawab. Wallāhu a’lam. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik (Ed.,), Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, 1991. Almez (Ed.). HOS Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangan. Jakarta: Bulan Bintang, 1952. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. 16. Jakarta: P.T. RajaGRafindo Persada, 2004. Boland, B.J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, 1982. Feillard, Andrée. NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana. LKiS dan The Asia Foundation, 1995. Hatta, Mohammad. Memoir. Jakarta: Tintamas, 1978. Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Jilid 1. Jakarta: PT Gramedia, 1987. Leirissa, R.Z., (Ed.,). Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Maarif, Ahmad Syafii. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1993. Madjid, Nurcholish. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer.Cet. I. Jakarta: Paramadina, 1998. Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. 9. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980. Soeharto, P. dan S. Zainul Ihsan (Ed.). Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok. Jakarta: Gunung Agung, 1982. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Perbandingan, Edisi 5. Jakarta: UI Press, 1993. Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidrakarya Agung, 1981. Padangsidimpuan, 14 September 2009