NASIONALISASI DAN KOMPENSASI Dr. Rustanto, S.H., LL.M. Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Bandung Abstract A sovereign state has in its jurisdiction right to nationalize foreign property provided some requirements are fulfilled, i.e. it is for public purpose or public interest, in accordance with due process of law, on nondiscriminatory basis and should be accompanied by payment of compensation. Law No. 25 of 2007 on Investment applies some principles, amongst others. to cover legal certainty, accountability, and equal treatment without differentiating the foreign investment’s home country. This Law’s nationalization clause provides that the Government will not conduct nationalization or taking of investor’s property, except executed by law and accompanied by compensation the amount of which shall be determined based on market value. It goes without saying that this clause is in harmony with nationalization practice under international law. As such, this Law has given legal certainty and justice, both for foreign investor and the Republic of Indonesia. However, considering the abstract nature of the notion of justice itself which widely opens for subjective interpretation, there always be a possibility that the foreign investors whose interests are unsatisfied find themselves as unfairly treated. Keywords: Legal certainty, justice, foreign capital, foreign investment, nationalization compensation. A. PENDAHULUAN Kemajuan teknologi telah membuat dunia seolah tanpa batas. Fenomena ini membawa konsekuensi dalam tata ekonomi dunia. Modal dan keahlian mengalir dari satu kawasan ke kawasan lam. Mengacu pada penanaman modal asing (PMA), timbul pertanyaan apakah ia membawa manfaat nyata bagi negara penerima ataukah hanya menguntungkan investor asing saja. Pertanyaan ini bukan semata ada di ranah ekonomi, tetapi juga sosial, politik dan kedaulatan negara. Filosofi kebijakan PMA adalah bahwa modal asing diperlukan guna melengkapi modal dalam negeri yang tidak cukup kuat memutar roda perekonomian negara. Tetapi manakala modal asing itu kemudian mendominasi perekonomian nasional, dan menyebabkan ketergantungan ekonomi, sering timbul sikap permusuhan terhadap PMA. Sikap tidak bersahabat ini dapat diwujudkan dalam keputusan politik untuk menasionalisasi atau mengambilalih modal asing. Nasionalisasi juga dapat dilatarbelakangi oleh dekolonisasi ekonomi, yakni keinginan untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional. Dalam wacana tentang penanaman modal asing kontemporer, nasionalisasi dan konsekuensi-konsekuensi hukum, ekonomi dan politiknya memang bukan merupakan masalah utama. Jika menggunakan kuadran manajemen risiko, maka kemungkinan terjadinya (likelihood) adalah kecil (unlikely); akan tetapi apabila itu terjadi, maka dampaknya (impact) bagi perusahaan yang bersangkutan sangat besar (severe). Nasionalisasi dianggap sebagai salah satu risiko terbesar PMA pascaperiode kolonialisme. Apalagi ketika negara asal modal asing tidak bisa lagi memberikan perlindungan
kepada investor yang bersangkutan dengan kekuatan angkatan perang, karena dilarang oleh Piagam PBB dan juga kekhawatiran akan kutukan dunia internasional terhadap penggunaan militer semacam itu. Perlindungan terhadap ancaman nasionalisasi kemudian dilakukan melalui instrumeninstrumen hukum internasional. B. PEMBAHASAN 1. Nasionalisasi Menurut UUPM Klausula nasionalisasi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) mengakomodasi asas-asas hukum umum yang telah diterima dalam hukum internasional bahwa nasionalisasi harus dilakukan dengan undang-undang disertai pemberian kompensasi. Ketentuan ini termuat dalam suatu Pasal sebagai berikut : “Pasal 7 (1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. (2) Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. (3) Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.” Ketentuan tentang kompensasi ini jelas tidak sesuai dengan dua teori utama tentang kompensasi untuk nasionalisasi yaitu Doktrin Calvo atau Calvo Clause dan Doktrin Hull atau The Hull Formula. Klausula penyelesaian sengketa yang langsung merujuk pada arbitrase tanpa keharusan untuk lebih dahulu mengajukannya pada pengadilan nasional negara tuan rumah berarti telah meninggalkan prinsip exhaustion of local remedies. Dengan demikian tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa penanam modal asing dirugikan oleh perlakuan tidak adil dari sistem hukum nasional negara penerima investasi (host state).
Perlakuan Terhadap PMA Yurisdiksi
Doktrin Calvo
Hukum dan Pengadilan Nasional
Nasionalisasi Hak mutlak Negara tuan rumah investasi asing. Kompensasi berdasarkan “national treatment”, perlakuan sama dengan investor domestik.
Doktrin Hull
Hukum Internasional
Hak Negara, tetapi tunduk pada hukum internasional. Kompensasi diberikan secara “prompt, adequate, and effective”.
2. Nasionalisasi Dalam Hukum Internasional Meskipun istilah nasionalisasi, ekspropriasi dan konfiskasi sering dipertukarkan dan dianggap mempunyai makna serupa, sebenarnya terdapat perbedaan di antara ketiganya. Nasionalisasi adalah pengambilalihan secara menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan asing dengan tujuan untuk mengakhiri penanaman modal asing di dalam ekonomi atau sektor-sektor ekonomi dalam negeri, sedangkan ekspropriasi mengacu pada pengambilalihan perusahaan tertentu demi kepentingan umum atau kepentingan ekonomi tertentu. Sementara itu, konfiskasi adalah pengambilalihan hak milik yang dilakukan oleh penguasa demi kepentingan pribadi. Konfiskasi biasa terjadi di negara-negara yang diperintah oleh diktator atau oligarki. Pada masa lalu, konfiskasi sering menimpa para pedagang yang merambah mancanegara dan tidak berdaya menghadapi kekuatan totaliter para diktator di negara-negara tempat mereka berbisnis (Sornarajah, M., 2004: 344-349). Dalam rumusan OECD, “In general, expropriation applies to individual measures taken for a public purpose while nationalization involves largescale takings on the basis of an executive or legislative act for the purpose of transferring property or interests into the public domain.” (Directorate for Financial and Enterprise Affairs, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2004:3) Survei yang dilakukan oleh The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menemukan bahwa hukum internasional tidak melarang tindakan nasionalisasi atas modal asing yang dilakukan oleh negara penerima investasi sepanjang memenuhi sejumlah persyaratan. Disebutkan bahwa “Customary international law does not preclude host states from expropriating foreign investments provided certain conditions are met. These conditions are: the taking of the investment for a public purpose, as provided by law, in a non- discriminatory manner with compensation”. (Directorate for Financial and Enterprise Affairs, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2004: 3) Perjanjian internasional di bidang penanaman modal didasari oleh konsep untuk mendorong aliran modal asing demi kemakmuran bersama negara penerima modal asing, negara asal modal asing dan barang tentu penanam modal asing sendiri. Sesuai denga adagium “pacta sunt servanda”, perjanjian internasional harus dilaksanakan dengan iktikad baik (good faith) atau dengan penuh ketaatan (uberrima fides atau with utmost fidelity). Hal ini penting untuk digarisbawahi, bahwa persoalan nasionalisasi tidak semata-mata menyangkut urusan hukum dan ekonomi, tetapi juga politik yang kadang-kadang terasa tidak rasional dan berkembang menjadi emosional seperti dilukiskan Sweeney dan kawan-kawan. “The modern nationalization problem in international law must be viewed against the backdrop of strong psycho-political pressures in certain taking states. These tend to induce irrationality, not only in the decision to nationalize, but also in the stance of the nationalizing state in relationship to its international interests and obligations. Also, the dispossessed alien owners, even when from rich and highly developed states, tend to become emotional about the issues involved. Thus where, as is usually the case, such
owners are influential persons in the essentially democratically responsive rich nation, both the sending and the host states become involved in escalations of tension that make it necessary for things to cool before either diplomacy or law can act effectively.” (Sweeney, Joseph Modeste & Oliver, Covey T & Leech, Noyes E, 1981: 1103-1104) Perserikatan Bangsa Bangsa nyata nyata mengakui hak negara tuan rumah, penerima penanaman modal asing, untuk melakukan nasionalisasi dengan beberapa persyaratan tertentu. Pengakuan ini merupakan penghormatan terhadap kedaulatan negara yang bersangkutan. Paragraf 4 Resolusi Majelis Umum PBB Tentang Kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam, Nomor 1803 Tahun 1962 (United Nations General Assembly Resolution on Permanent Sovereignty over Natural Resources) menyatakan bahwa: “Nationalization, expropriation or requisitioning shall be based on grounds or reasons of public utility, security or the national interest which are recognized as overriding purely individual or private interests, both domestic and foreign. In such cases the owner shall be paid appropriate compensation, in accordance with the rules in force in the State taking such measures in the exercise of its sovereignty and in accordance with international law. In any case where the question of compensation gives rise to a controversy, the national jurisdiction of the State taking such measures shall be exhausted. However, upon agreement by sovereign States and other parties concerned, settlement of the dispute should be made through arbitration or international adjudication”. (GA Res. 1803 (XVII), UN GAOR, 17th Session, Agenda Item 39 para. 4, UN Doc.A/RES/1803 (XVII)(1962)) Hukum yang berlaku di suatu negara, sebagaimana tercermin dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangannya, adalah produk politik. Oleh karena itu, merupakan hal yang normal apabila perubahan haluan politik negara menyebabkan perubahan di dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Kebijakan dalam bidang penanaman modal asing di Rusia adalah salah satu contoh yang dapat dikemukakan. Rusia semula tergabung dalam dan menjadi pemimpin Uni Republik Republik Sosialis Soviet (Union of Soviet Socialist Republics atau Uni Soviet), sebelum akhirnya Uni Soviet bubar pada thun 1991 menyusul keruntuhan komunisme di Eropa Timur. Semasa Perang Dingin, ekonomi dunia mengenal adanya negara-negara penganut pasar bebas (market economy) di satu sisi dan ekonomi terkontrol (nonmarket economy) di sisi lain di mana ekonomi dipusatkan pada dan dikontrol oleh negara. Sisi pertama dikenal sebagai negara-negara kapitalis, sedangkan sisi kedua dikenal sebagai negara-negara sosialis atau komunis. Pada paruh kedua dasawarsa 1980-an Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev mengeluarkan kebijakan yang disebut glasnost dan perestroika. Makna glasnost adalah keterbukaan atau transparansi, termasuk kebebasan informasi, sedangkan perestroika berarti restrukturisasi. Dengan demikian, kebijakan tersebut membawa lembaga-lembaga pemerintah Uni Soviet ke arah yang lebih terbuka dan diikuti dengan restrukturisasi sistem politik dan ekonomi. Perkembangan dalam kebijakan tersebut di atas membuktikan bahwa politik, ekonomi dan hukum memang saling berkelindan satu sama lain. Dalam kaitan ini, Toby T. Gati memperjelas bahwa: “Increased supervision and control over foreign investment reflect a general strengthening of the state’s role in Russian political and economic life and a general wariness towards foreign investment. It is also, in part, a response to new legislation in
the United States and elsewhere which will raise barriers to Russian and other foreign investments “. (http://www.akingump.com/files/upload/Foreign Investment%20m %20Russian%20Strategic%20Sectors%20%20by%20Toby%20T.%20Gati.pdf, tanggal akses 14 Mei 2010: 21) Lebih lanjut is berpendapat bahwa: “Whether the more restrictive law on foreign investment in strategic sectors and the growth of state corporations will affect the level of investment in Russia will very much depend on the government’s assessment of how important foreign investment is to continued economic growth, on the general business climate in Russia, and on the responsiveness of government bureaucrats and officials to the requirements of the new law”. (http://www.akingump.com/files/upload/Foreign Investment%20in%20Russian %20Strategic%20Sectors%20-%20by20Toby %20T.%20Gati.pdf, tanggal akses 14 Mei 2010: 22) Hukum penanaman modal yang diberlakukan oleh negara-negara penerima modal asing pada umumnya mencantumkan klausula senada tentang nasionalisasi. Undang -Undang Republik Rakyat Cina Tentang Perusahaan Modal Asing (Law of the People’s Republic of China on Foreign Capital Enterprise), yang disahkan oleh Konggres Rakyat Nasional tanggal 12 April 1986 dan kemudian diubah oleh Konggres Rakyat Nasional pada tanggal 31 Oktober 2000, menyatakan pada Pasal 5 bahwa “The State does not nationalize or requisition any enterprise with foreign capital. However, under special circumstances when public interests require, enterprises with foreign capital may be requisitioned through legal procedures and appropriate compensation shall be made”. Keputusan Presiden Filipina sebagaimana tertuang dalam Executive Order No. 226 Tahun 1987, yang dikenal sebagai The Omnibus Investments Code of 1987, memberikan hak-hak dasar dan jaminan berupa perlindungan investasi kepada penanam modal asing pada Pasal 38 butir (d) yang pada intinya menyatakan bahwa pengambilalihan tidak akan dilakukan kecuali demi kepentingan umum, demi kesejahteraan rakyat atau untuk kepentingan pertahanan negara. Dalam usaha mewujudkan tujuan tersebut di atas, OECD melakukan serangkaian negosiasi dalam kurun waktu tahun 1995-1998 untuk menyusun draf Multilateral Agreement on Investment (MAI). Meskipun negosiasi hanya berlangsung di kalangan negara-negara anggota, tetapi OECD membuka kemungkinan bagi negara-negara non-anggota untuk ikut menjadi pihak dalam perjanjian termaksud sepanjang dapat menyetujui isinya. MAI dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah multilateral, sehingga negara-negara dapat mengatur mvestasi internasional secara lebih sistematis dan seragam. Draf MAI pada gilirannya mendapat banyak kecaman, terutama dari kelompok aktivis dan negaranegara berkembang, karena dianggap akan menimbulkan kesulitan dalam mengatur investasi asing. Pada tahun 1998 Prancis, sebagai tuan rumah OECD, mengumumkan pembatalan dukungan terhadap MAI. Sejak itulah proses MAI terhenti. Meskipun MAI tidak jadi ditandatangani, tetapi OECD tetap melakukan advokasi terhadap penanaman modal asing antara lain dengan mengeluarkan Declaration on International Investment and Multinational Enterprises pada tahun 2000. Lampiran I Deklarasi berjudul The OECD Guidelines for Multinational Enterprises merupakan rekomendasi bagi tingkah-laku perusahaan-perusahaan multinasional agar senantiasa sesuai dengan hukum yang berlaku. Di antara prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Guidelines ini adalah penggunaan mekanisme penyelesaian persengketaan yang tepat, termasuk arbitrase, bilamana terdapat persoalan hukum perusahaan-perusahaan tersebut dengan pemerintah negara tempat mereka beroperasi.
Dari pengamatannya atas praktek nasionalisasi, August Remisch sampai pada kesimpulan bahwa dalam hukum kebiasaan mtemasional nasionalisasi diperbolehkan, tetapi dengan sejumlah pembatasan seperti telah disebutkan di muka. “Legality of Expropriations - Custom In customary international law, there is authority for a number of limitations or conditions that relate to: • the requirement of a public purpose for the taking; • the requirement that here should be no discrimination; • the requirement that the taking should be accompanied by payment of compensation; and • the requirement of due process.” (Reinisch, August, Indirect Expropriation and the Return of the Legality Issue, http://public.univic.ac.at/fileadmin/user upload/legal/_studies/Downloads/IndirectExpropriation.pdf, tanggal akses 24 Maret 2010: 40.) Resolusi Majelis Umum PBB nomor 3281 Tahun 1974 tentang Charter of Economic Rights and Duties of States mengakui hak setiap negara untuk secara bebas melaksanakan kedaulatannya, termasuk dalam pemilikan dan penggunaan sumberdaya alam dalam kegiatankegiatan ekonominya. Pelaksanaan hak ini antara lain mencakup tindakan nasionalisasi. Pasal 2 Ayat 2 huruf c Resolusi ini menyatakan bahwa setiap negara berhak untuk melakukan nasionalisasi atau ekspropriasi dengan beberapa syarat. Rumusan selengkapnya adalah sebagai berikut: “To nationalize, expropriate or transfer ownership of foreign property, in which case appropriate compensation should be paid by the State adopting such measures, taking into account its relevant laws and regulations and all circumstances that the State considers pertinent. In any case where the question of compensation gives rise to controversy, it shall be settled under the domestic law of the nationalizing State and by its tribunals, unless it is freely and mutually agreed by all States concerned that other peaceful means be sought on the basis of the sovereign equality of States and in accordance with the principle of free choice of means.” Di tengah kekosongan konvensi internasional dalam bidang penanaman modal asing, perjanjian investasi bilateral (bilateral investment treaty/BIT) memegang peran penting dalam mengatur masalah penanaman modal lintasnegara. Dalam hubungan dengan nasionalisasi, salah satu tujuan utama BIT adalah untuk melindungi para investor asing dari nasionalisasi yang tidak sah, sewenang-wenang atau diskriminatif yang akan mengurangi minat mereka menanamkam modal di negara-negara lain. Meskipun kemungkinan bagi nasionalisasi tidak akan pernah tertutup tetapi, jika hal itu terjadi, akan dilakukan berdasarkan syarat-syarat yang ketat dan fair bagi pemodal asing maupun negara penerima modal asing. Perlindungan atau bantuan diplomatik dalam hal terjadi nasionalisasi hanya dapat diberikan oleh suatu negara terhadap perusahaanyang menyandang kewarganegaraan (nasionalitas) negaranya. Nasionalitas termaksud ditandai oleh fakta bahwa perusahaan yang bersangkutan didirikan berdasar dan tunduk kepada hukum negara tersebut. Posisi inilah yang diambil oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam perkara Barcelona Traction, Light & Power, Co. Ltc (Belgium v. Spain). Dalam kasus in Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Belgia tidak berhak untuk mengajukan tuntutan untuk kepentingan suatu perusahaan yang didirikan di Kanada dan beroperasi Spanyol, meskipun para pemegang
sahamnya adalah warga negara Belgia. Menurut Mahkamah Internasional yang berhak mengajukan tuntut dalam hal ini adalah Kanada, bukan Belgia. Prinsip “demi kepentingan umum” sebagai salah satu persyaratan keabsahan nasionalisasi telah lama diakui dalam hukum internasional. Pasal 4 Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1803 Tahun 1962 tentang Permanent Sovereignty over Natural Resources mendefinisikan kepentingan Umum (public interest) sebagai “grounds or reasons of public utility, security or the national interest which are recognized as overriding purely individual or private interests”. Saat ini, salah satu syarat keabsahan nasionalisasi itu sudah termaktub pada hampir semua perjanjian internasional mengenai investasi, termasuk di dalam BIT banyak negara. Istilah yang digunakanpun bervariasi, antara lain public purpose, public interest, public benefit, public purpose related to the internal needs dan a purpose which is in the public interest. (Remisch, August, 2009: 178-179). 3. Pengalaman Indonesia Dalam Hal Nasionalisasi Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955), kecenderungan untuk melakukan Indonesianisasi hak milik asing dan sentimen negatif terhadap modal asing menguat. Kabnet ini menempatkan proses Indonesianisasi sebagai agenda utama. Menurut Herbert Feith, sebagaimana disitir oleh Charles Himawan, Indonesianisasi berarti : 1. Suatu perubahan dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional melalui pengenalan diversifikasi produksi, menghilangkan ketergantungan pada ekspor bahan mentah; 2. Suatu pembangunan ekonomi dan kemakmuran untuk rakyat, dan bukan untuk pemerintah kolonial; 3. Perubahan pengendalian dan pengelolaan kegiatan ekonomi dari tangan asing ke pihak Indonesia; 4. Memperkuat modal asing yang sudah ada (Charles Himawan, 1980: 233). Kecenderungan ini berubah pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955Maret 1956), yang lebih menekankan kebijakan perluasan produksi daripada Indonesianisasi. Dalam rangka perluasan produksi ini, modal asing tetap diperlukan meskipun harus dikontrol agar sesuai dengan arah pembangunan ekonomi. Dalam masa pemerintahannya yang singkat itu, hal terpenting yang dapat dilakukannya adalah usaha untuk merebut kembali kepercayaan dunia dan komunitas bisnis (Charles Himawan, 1980: 234235). Kabinet Burhanuddin Harahap secara sepihak membatalkan Perjanjian Den Haag pada tanggal 13 Pebruari 1956. Pembatalan secara sepihak ini kemudian dikukuhkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1956, yakni ketika pemerintahan sudah beralih ke Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957), melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956 Tentang Pembatalan Hubungan Indonesia-Nederland Berdasarkan Perjanjian Konperensi Meja Bundar. Undang-Undang ini disahkan pada tanggal 3 Mei 1956, diundangkan pada tanggal 22 Mei 1956 dan mempunyai daya surut sampai tanggal 15 Pebruari 1956. Dengan pembatalan ini, maka Indonesia terbebas dari kewajiban untuk memenuhi janji-janji terhadap penanaman modal asing sebagaimana termaktub dalam Perjanjian Den Haag. Menanggapi kebijakan ini, perusahaan-perusahaan PMA, terutama milik Belanda, banyak yang melikuidasi aset mereka dengan cara menjualnya kepada warga negara asing keturunan Cina dan pembeli-pembeli asing lainnya. Pada tanggal 2 Desember 1957 Kabinet memerintahkan pemogokan selama 24 jam pada perusahaan-perusahaan Belanda, dan keesokan harinya diikuti dengan pengambilalihan KPM, perusahaan pelayaran Belanda, oleh para buruh. Minggu berikutnya terjadi penyitaan perusahaan-perusahaan Belanda di seluruh penjuru tanah air. Angkatan Darat, melalui keputusan
yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Nasution pada tanggal 13 Desember 1957, melarang tindakan penyitaan lebih lanjut dan menempatkan semua perusahaan yang telah disita di bawah kontrol militer (Charles Himawan, 1980:237-243). Setelah tahun 1957, proses Indonesianisasi tersebut di atas semakin menjadi jadi dengan dilakukannya nasionalisasi secara langsung, dan sejak tahun 1963 tidak ada lagi modal asing di Indonesia (Charles Himawan, 1980: 297). Dalam hubungan dengan penanaman modal asing, dapat dikatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia tersebut adalah suatu ironi. Kebijakan nasionalisasi ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaanperusahaan Milik Belanda Yang Berada Di Dalam Wilayah Republik Indonesia (“Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda”) tanggal 27 Desember 1958 dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 1958, hanya sekitar dua bulan setelah penerbitan Undang Undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing tanggal 14 Oktober 1958 dan diundangkan pada tanggal 27 Oktober 1958. Penerbitan Undang Undang Tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda ini praktis membuat Undang Undang Penanaman Modal asing menjadi tidak efektif. Nasionalisme menjadi faktor penting yang mempengaruhi kebijakan politik-ekonomi Indonesia pascakemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia nampaknya belum sempurna karena masih banyak aset dan sumberdaya alam yang dimiliki atau dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, khususnya milik Belanda. Tindakan nasionalisasi diambil untuk mengganti kekuatan ekonomi kolonial menjadi kekuatan ekonomi nasional agar memberi manfaat sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengambilalihan perusahaan-perusahaan PMA tersebut telah menghancurkan dominasi yang mereka nikmati dalam struktur ekonomi kolonial. Meskipun demikian, tujuan nasionalisasi tidaklah sama dari waktu ke waktu. Richard Robison sependapat bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia merupakan pembalasan atas kebijakan politik Belanda mengenai Irian Barat dan kebijakan Inggeris dalam pembentukan Federasi Malaysia. Tetapi ia juga mengemukakan bahwa pemerintah Indonesia tidak bermaksud melenyapkan modal asing, melainkan mengubah bentuknya menjadi berkarakter lebih ramah dan tidak membahayakan perekonomian nasional. Bentuk-bentuk lain tersebut antara lain adalah kontrak bagi hasil dalam bidang minyak dan gas bumi ataupun pinjaman antarpemerintah. “Expropriation of foreign capital in the period 1957-65 destroyed the dominance it had enjoyed within the structure of the colonial economy. In 1957 and 1958 the Dutch trading and estate enterprises, the core of Dutch colonial capital, were expropriated together with Dutch shipping, banking and industrial enterprises. These were followed by expropriation of British, American and other Western capital in 1963-65. However, the expulsion of foreign capital was neither as complete nor as permanent as might have seemed. While it is true that nationalizations were politically inspired retaliation for Dutch policies in West Irian and British involvement in the formation of Malaysia, the Indonesian government did not seek to eliminate foreign capital but to change its form. In part, this meant dismantling investments which were considered exploitative and replacing them with more benign forms of investment such as production sharing or government-to-government loans.” (Robison, Richard, 1987: 7879) Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda disahkan pada tanggal 27 Desember 1958 dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 1958, tetapi mempunyai daya surut sampai tanggal 3 Desember 1957. Pasal 2 Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda menegaskan bahwa kepada para pemilik perusahaan-perusahaan tersebut diberi ganti kerugian
yang besarnya ditetapkan oleh sebuah Panitia yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh Pemerintah. Atas keputusan Panitia tersebut maka, baik pemilik perusahaan maupun Pemerintah, dapat mengajukan banding kepada Mahkamah Agung yang akan memberi keputusan terakhir. Sesuai dengan Penjelasan Umum Undang Undang ini, tujuan nasionalisasi adalah untuk lebih memperkokoh potensi nasional dan untuk melikuidasi kekuasaan ekonomi kolonial, dalam hal ini ekonomi kolonial Belanda. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Pemerintah membentuk Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (“Banas”) untuk mengatur serta mengawasi kelancaran jalannya nasionalisasi. Banas bertanggungjawab kepada Dewan Menteri. Dari sejumlah Peraturan Pemerintah tentang penentuan perusahaanperusahaan Belanda tertentu yang dikenakan nasionalisasi sebagai tersebut di atas, dapat dicatat beberapa hal sebagai berikut: 1. Keseriusan pemerintah Indonesia untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi. Sebagai pelaksanaan Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 Tentang Pokok Pokok Pelaksanaan Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda menetapkan Panitia Penetapan Ganti Kerugian sekurang kurangnya terdiri dari wakil-wakil Kementerian Kehakiman dan Kementerian Keuangan. Di samping itu, Perdana Menteri dapat mengangkat beberapa orang partikelir atau dari jawatan/instansi lain sebagai anggota Panitia. 2. Hampir semua Peraturan Pemerintah termaksud mulai berlaku pada hari diundangkan tetapi berlaku surut atau mempunyai daya surut sampai tanggal 3 Desember 1957, kecuali Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1959 Tentang Penentuan Pengenaan Nasionalisasi Percetakan Kebayoran P.T. yang mempunyai daya surut sampai tanggal 1 Januari 1958. Sesuai dengan bunyi alinea terakhir Penjelasan Umum Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, “Tanggal 3 Desember 1957 diambil selaku patokan oleh Pemerintah, sebagai tanggal untuk memberi pertanggung-jawab atas tindakan nasionalisasi”. Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1959 berlaku surut sampai tanggal 1 April 1959, atau hanya satu hari sebelum ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 2 April 1959. Tanggal 3 Desember 1957 tercatat dalam sejarah nasional sebagai hari tatkala terjadi pemogokan selama 24 jam pada perusahaan-perusahaan Belanda yang diikuti dengan pengambilalihan perusahaan pelayaran KPM oleh para buruh, dan minggu berikutnya disusul dengan penyitaan perusahaan-perusahaan Belanda di segenap penjuru tanah air Indonesia. 3. Penentuan perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi nampak dilakukan dengan tergesa-gesa, sehingga kurang cermat dan belum semua perusahaan milik Belanda tercakup. Konsiderans Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1960 Tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi menyatakan bahwa ada perusahaan-perusahaan pertanian/perkebunan, cabang produksi yang penting bagi masyarakat dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, milik Belanda yang belum dikenakan nasionalisasi. Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah (PP) tersebut menyatakan bahwa dengan PP ini dirasa akan dapat diusahakan adanya penguasaan atas perusahaan-perusahaan pertanian/perkebunan secara keseluruhan, sehingga tidak ada yang ketinggalan lagi. Sejumlah perusahaan farmasi juga “ketinggalan” dikenakan nasionalisasi, sebagai ternyata dari penambahan perusahaan-perusahaan farmasi yang dikenakan nasionalisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1960.
4. Tidak semua perusahaan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi dikelola oleh instansi pemerintah pusat atau badan usaha milik negara tingkat pusat Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1960 Tentang Penentuan Perusahaan Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi menyerahkan N.V. Denis (Se Eerste Nederlandsch Indische Shareholding), berkedudukan di Bandung, berikut anak-anak perusahaannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat. 5. Di antara perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi, ada yang diputuskan untuk dinyatakan bubar atau dilikuidasi. Pembubaran atau likuidasi ini menimpa N.V. K.P.M. (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1960. Tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah telah membawa Indonesia ke kancah litigasi internasional dalam “Kasus Tembakau Bremen”, menghadapi gugatan yang diajukan oleh mantan pemilik NV Verenigde Deli Maatschappijen dan NV Senembah Maatschappij, yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Sebagai tindaklanjut dari Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, NV Verenigde Deli Maatschappijen dan NV Senembah Maatschappij dikenakan nasionalisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1959 tanggal 23 Pebruari 1959, yang mempunyai daya surut sampai 3 Desember 1957. Pihak Belanda/para penggugat tidak mengakui keabsahan nasionalisasi berdasarkan Undang Undang Nomor 86 Tahun 1958 dengan alasan bahwa nasionalisasi tersebut bertentangan dengan azas-azas hukum internasional dan melanggar ketertiban umum (public order) yang dikenal dalam hukum perdata internasional. Perkara ini dimenangkan oleh Republik Indonesia, dan telah menjadi tonggak dalam hukum intemasional bahwa nasionalisasi dalam rangka dekolonisasi dapat dibenarkan. 4. Kompensasi Menurut UUPM Hukum penanaman modal di Indonesia, baik Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (WPM) yang berlaku saat ini maupun undang-undang yang pernah berlaku pada masa lalu tidak membuat kategorisasi pengambilalihan (taking) ke dalam nasionalisasi dan ekspropriasi ataupun pencabutan hak (onteigening) ke dalam pencabutan hak secara global dan pencabutan hak secara individual. UUPM hanya mengenal istilah tunggal “nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal”, sedangkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) menggunakan istilah “nasionalisasi/pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus perusahaan yang bersangkutan”. Sementara itu, Undang Undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing mengistilahkannya sebagai “pemilikan perusahaan industri asing oleh negara” atau “pengubahan-perusahaan industri asing menjadi milik nasional”. Dengan demikian, dalam pemberian kompensasi atas nasionalisasi itupun hukum Indonesia hanya mengenal satu formula. Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tidak secara spesifik menentukan besaran kompensasi. Pasal 7 Ayat (2) Undang Undang ini hanya menyebutkan bahwa, dalam hal pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan, pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Menurut Penjelasan atas Pasal 7 Ayat (2) ini, yang dimaksud “harga pasar” adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai mdependen yang ditunjuk oleh para pihak. Jadi, secara tidak langsung, besaran kompensasi akan ditentukan oleh pihak ketiga tersebut berdasarkan formula mereka sendiri. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) Undang Undang ini, jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti
rugi, penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Ketentuan pada Ayat (3) ini menyiratkan bahwa jumlah kompensasi yang ditetapkan oleh penilai independen, yang ditunjuk oleh para pihak tersebut, belum bersifat final. Jumlah final adalah yang diputuskan oleh arbitrase yang disepakati para pihak. Keputusan lembaga arbitrase tersebut dikatakan final karena atas keputusan itu tidak dapat diajukan banding. Tadi telah disebutkan bahwa, menurut Penjelasan atas Pasal 7 Ayat (2) UUPM, yang dimaksud “harga pasar” adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh para pihak. Bank Dunia (World Bank, dengan nama resmi International Bank for Reconstruction and Development/IBRD) adalah salah satu lembaga yang menawarkan cara menentukan harga pasar. Cara itu termuat dalam World Bank Guidelines on the Treatment of Foreign Direct Investment 1992, Bagian IV tentang Expropriation and Unilateral Alterations or Termination of Contracts. Dalam hal ini, Bank Dunia menyebut pengertian harga pasar yang wajar (fair market value). Menurut Pedoman Bank Dunia tersebut, penentuan harga pasar yang wajar dapat diterima apabila dilakukan dengan metode yang disetujui oleh para pihak, yaitu negara yang melakukan nasionalisasi/ekspropriasi dan investor asing yang bersangkutan, atau oleh pengadilan atau badan lain yang ditunjuk oleh para pihak. Apabila para pihak tidak membuat persetujuan termaksud, maka harga pasar yang wajar dapat ditentukan oleh negara tersebut berdasarkan kriteria yang pantas atau masuk akal (“reasonable”) terkait dengan nilai pasar investas yakni suatu jumlah yang normalnya dibayarkan oleh pembeli kepada penjual setelah mempertimbangkan sifat investasi, perkiraan kondisi bisnis di masa mendatang dan karakteristik spesifik yang ada, termasuk berapa lama perusahaan telah menjalankan bisnis, proporsi aset berwujud dalam investasi keseluruhan dan faktor-faktor lain yang relevan. Selanjutnya Pedoman Bank Dunia tersebut menyatakan bahwa penentuan nilai pasar dari investasi itu dianggap reasonable jika dilakukan seperti berikut: 1. Untuk “going concern” dengan catatan laba yang nyata, berdasarkan nilai “discounted cash flow”. 2. Untuk perusahaan yang tidak terbukti sebagai “going concern” menunjukkan ketiadaan laba, berdasarkan nilai likuidasi (“liquidation value”). 3. Untuk asest-aset lain, berdasarkan (a) nilai penggantian (“replacement value”) atau (b) nilai buku (“book value”) dalam hal nilai tersebut baru saja ditaksir atau telah ditetapkan pada tanggal pengambilalihan dan oleh karena itu dapat dianggap merepresentasikan nilai penggantian yang layak. Hukum perdata di Indonesia menganut asas kepantasan dalam menentukan besar kompensasi atau ganti rugi. Asas kepantasan dalam penentuan jumlah ganti rugi ini dapat ditemukan penerapannya dalam berbagai putusan pengadilan, antara lain dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 610K/SIB/1968 tanggal 29 April 1970 dengan pertimbangan “bahwa dalam hal pihak yang mengajukan tuntutan ganti rugi berhak untuk mendapatkan ganti rugi, tetapi jumlah yang dituntutnya tidak pantas, hakim berwenang menetapkan jumlah yang sepantasnya harus diberikan” (Sudargo Gautama, 2004:130). 5. Kompensasi Dalam Hukum Internasional Nasionalisasi modal asing sebagai hak suatu negara yang berdaulat, dengan beberapa persyaratan tertentu, telah mendapat pengakuan luas dalam hukum internasional. Namun masalah kompensasi sebagai akibat nasionalisasi tersebut, terutama besaran atau jumlah yang harus diberikan, sedikit banyak masih menjadi kontroversi. Dalam hal ini masih terjadi perbedaan pendapat antara satu negara dengan negara lain, pun di antara para sarjana. Perbedaan
pendapat itu berada di kisaran cukup panjang, di antara kutub ekstrem yang satu dengan kutub ekstrem yang lain, meskipun di antara mereka senantiasa tersedia jalan tengah atau kompromi. Kutub ekstrem pertama menghendaki pemberian ganti rugi sepenuhnya, bahkan sampai memperhitungkan keuntungan yang seharusnya bisa diraih pada masa mendatang andaikata tidak terjadi nasionalisasi, sementara kutub ekstrem yang lain menolak pemberian kompensasi sama sekali. Perbedaan pendapat yang bisa sangat tajam tersebut dipengaruhi oleh kepentingan nasional masing-masing negara. Kepentingan negara-negara pengekspor modal asing barang tentu berlawanan dengan kepentingan negara-negara tuan rumah penanaman modal asing. Dalam praktek tarik-menarik modal asing dewasa ini, kecuali di Amerika Latin, sepintas kelihatan bahwa nasionalisasi dan kompensasi tidak menjadi persoalan lagi. Terlebih ketika negara-negara berkembang membutuhkan modal asing dalam jumlah besar, sementara modal asing yang tersedia berjumlah sangat terbatas. Kondisi ini memaksa negara-negara berkembang, sebagaimana tercermin dalam kebijakan yang termaktub dalam peraturan perundangundangannya, untuk menahan diri dari mengenakan peraturan yang keras bagi penanaman modal asing. Negara-negara berkembang, yang sedang berusaha keras menarik modal asing untuk kepentingan pembangunan ekonomi mereka, cenderung membuat peraturan perundangundangan yang kondusif bagi modal asing, yang membuat investor asing tenang dalam menjalankan bisnis. Tetapi keadaan ini dapat saja berubah setiap saat, sesuai dengan dinamika politik dan ekonomi global maupun nasional. Tidak ada jaminan bahwa keadaan tidak akan berubah, juga dalam hubungan dengan kompensasi sebagai akibat nasionalisasi modal asing. M. Sornarajah menyampaikan analisis yang menarik dalam kaitan dengan masalah ini. “When the present philosophy of investment-led growth gives way to some other philosophy inimical to continued dependence on foreign investment, there will once more be hostility to foreign investment. Such hostility is all the more likely because many of the fund-and aidgiving organisations have imposed conditions which require the liberalisation of the entry offoreign investment as a requirement for the granting of such aid. When hostility to these measures gathers momentum, foreign investment may suffer and nationalisation may once more come into vogue. For these reasons, the issue of compensation for nationalisation, though dormant now, could become, once more, a hotly debated issue in the future”. (Somarajah, M., 2004: 435) Jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan sering menjadi persoalan karena memang sulit membuat kesepakatan tentang kompensasi yang adil bagi para pihak. Berikut adalah gambaran yang diberikan oleh Sweeney dan kawan-kawan: “In nationalization cases valuation is often a serious problem. However, in several nationalizations in Latin America the regime in control of the state has not contested its general responsibility to pay compensation, or even the amount, but has sought to offset the claim with charges for alleged back taxes, improper exploitation or illegality ab initio of removals, despite the good faith nature of the alien’s operation. Whether such situations will fall into the category of denial of justice or be dealt with as defenses to taking cannot now be foretold”. (Sweeney, Joseph Modeste & Oliver, Covey T & Leech, Noyes E, 1981:1131) Persoalan standar minimum kompensasi memang masih menjadi kontroversi dan menimbulkan perbedaan pendapat antara negara negara maju dengan negara-negara berkembang sebagaimana disebutkan oleh Barton & Fisher:
“There is an elaborate, but highly contested, body of international law governing expropriation. It is generally assumed that a nation always has a right to expropriate a firm, national or foreign, save perhaps in the presence of a stabilization clause in the founding agreement between the nation and the firm. There may be limitation that the taking be for public purposes. The most controversial substantive issues go to the duty of compensation, with developed nations (DCs) holding to a standard of “prompt, adequate, and just compensation”, while developing nations (LDCs) urge a more flexible standard”. (Barton, John H. and Fisher, Bart S., 1986: 913) Pandangan Amerika Serikat tentang kompensasi yang harus memenuhi syarat “prompt, adequate, and effective” termasuk salah satu teori yang diakui dalam hukum internasional. Paling tidak, ia diakui oleh The Energy Charter Treaty (ECT) dan North American Free Trade Agreement (NAFTA). Dokumen resmi OECD menyebutkan bahwa negara-negara berkembang sangat mendukung penerapan Doktrin Calvo, dan ini terefleksikan dalam pelbagai Resolusi Majelis Umum PBB yang dikeluarkan pada dekade 1960 sampai dengan 1970an. Contoh adalah Resolusi tentang Permanent Sovereignty over Natural Resources tahun 1962 dan Resolusi tentang Charter of Economic Rights and Duties of States tahun 1974. Dalam perkembangan kemudian, Formula Hull dalam berbagai versinya sering digenakan dan diterima sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional.1 Tetapi dengan usainya Perang Dingin dan perkembangan perjanjian bilateral dalam bidang investasi (BIT), nampak bahwa semakin lama Formula Hull semakin dapat diterima dan diterapkan sebagai standar kompensasi. C. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Tentang keharmonisan pengertian nasionalisasi modal asing dalam hukum Indonesia dengan nasionalisasi dalam perspektif hukum internasional. 1) UUPM tidak memberikan definisi nasionalisasi. Tetapi hal ini bukanlah sesuatu yang tidak lazim, sehingga dapat dibenarkan, karena sejumlah perjanjian internasional dalam bidang investasi juga tidak mencantumkan defmisi nasionalisasi. 2) Klausula nasionalisasi dalam UUPM sudah harmonis dengan hukum internasional yang mengakui bahwa negara berdaulat mempunyai hak di dalam yurisdiksinya untuk melakukan nasionalisasi dengan sejumlah persyaratan, yakni: 1) Demi kepentmgan umum (public policylpublic interest) 2) Dilakukan dengan undang-undang 3) Tidak bersifat diskriminatif (nondiscriminatory) 4) Disertai dengan kompensasi atau ganti rugi. b. Tentang kepastian hukum dan keadilan dalam perspektif nasionalisasi modal asing. 1) Tentang kepastian hukum a) Kepastian hukum berarti bahwa segala sesuatu harus berdasarkan hukum, sehingga setiap tindakan yang akan diambil sudah dapat dikalkulasi dan diprediksi. Kepastian hukum dalam nasionalisasi modal asing dapat diperoleh dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan suatu negara dan di dalam perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur mengenai penanaman modal. b) Pada UUPM, kepastian hukum ini tercermin dalam: 1
Directorate for Financial and Enterprise Affairs, Organisation for Economic Co-operation and Development Op. Cit., hlm. 2.
(1)
Asas-asas penyelenggaraan penanaman modal, terutama asas kepastian hukum dan asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. (2) Klausula nasionalisasi, yang menyebutkan bahwa Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi, kecuali dengan undang-undang dan disertai kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. (3) Sengketa mengenai kompensasi akan diselesaikan melalui arbitrase, dan Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. (4) Indonesia sangat berhati-hati dalam menangani masalah nasionalisasi. Kendatipun terdapat payung hukum untuk melakukannya, tetapi pascanasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1958 serta Malaysia, Inggeris dan Amerika Serikat pada pertengahan dasawarsa 1960an, sampai sekarang tidak ada lagi tindakan nasionalisasi yang dilakukan Indonesia. 2) Tentang keadilan Keadilan berarti memberikan kepada seseorang atau sesuatu pihak apa yang menjadi haknya, sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-wenang. Klausula nasionalisasi dalam UUPM sudah dapat memenuhi keadilan bagi Indonesia maupun investor asing karena: a) Bagi Indonesia : (1) Karena dilakukan dengan undang-undang, berarti tindakan nasionalisasi telah disetujui oleh rakyat melalui wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Nasionalisasi dilakukan demi kepentingan umum, antara lain mengurangi ketergantungan terhadap modal asing. (3) Kompensasi yang diberikan harus memenuhi asas akuntabilitas. Berarti sudah memperhitungkan kemampuan negara dan kepentingan masyarakat. b) Bagi investor asing: (1) Sesuai dengan UUPM, nasionalisasi harus memenuhi asas efisiensi berkeadilan dan tidak membedakan asal negara. (2) Pemerintah akan memberikan ganti rugi atau kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. (3) Sebagai pengusaha tentu harus siap dengan kemungkinan untung dan rugi dalam bisnis, sehingga kemungknan nasionalisasi sudah diantisipasi sebagai calculated risk. (4) Klausula penyelesaian sengketa langsung merujuk pada arbitrase tanpa keharusan untuk lebih dahulu mengajukannya ke pengadilan nasional tuan rumah. Berarti telah meninggalkan prinsip exhaustion of local remedies. Dengan demikian mengurangi kemungkinan adanya denial of justice dari sistem hukum nasional. c. Tentang pemenuhan kepastian hukum dan keadilan secara bersamaan dalam nasionalisasi modal asing. Kepastian hukum mempunyai makna jelas, bahwa segala sesuatu harus dilakukan berdasarkan hukum; sedangkan keadilan bersifat abstrak. Sifat abstrak ini membuka lebar kemungkinan bagi penafsiran subyektif. Oleh karena itu, dalam konteks nasionalisasi modal asing menurut UUPM, kepastian hukum dapat diberikan sedangkan keadilan yang memuaskan pemodal asing belum tentu dapat diberikan oleh Pemerintah. 2. Saran
Guna menciptakan mekanisme nasionalisasi yang lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan, baik bagi negara dan rakyat Republik Indonesia maupun investor asing, ketentuan nasionalisasi dalam UUPM perlu dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih operasional, misalnya Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Instrumen hukum ini hendaknya mengatur secara rinci hal-hal yang berkaitan dengan nasionalisasi, termasuk definisi nasionalisasi, syarat-syarat nasionalisasi, mekanisme pemberian kompensasi dan mekanisme penyelesaian sengketa tentang kompensasi. D. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Barton, John H. and Fisher, Bart S., International Trade And Investment, Regulating International Business, Little, Brown and Company, BostonToronto, 1986. Charles Himawan, The Foreign Investment Process in Indonesia, Gunung Agung (S) Pte. Ltd., Singapore, 1980. Reinisch, August (ed.), Standards of Investment Protection, Oxford University Press Inc., New York, 2009. Robison, Richard, Indonesia: The Rise of Capital, Allen & Unwin Pty Ltd, Sydney, Australia, Third impression, 1987. Somarajah, M., The International Law on Foreign Investment, Cambridge University Press, Cambridge, UK, Second edition, 2004. Sudargo Gautama, Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Sweeney, Joseph Modeste & Oliver, Covey T & Leech, Noyes E, Cases and Materials on the International Legal System, Second Edition, The Foundation Press, Inc., Mineola, New York, 1981. 2. Jurnal/Makalah Directorate for Financial and Enterprise Affairs, Organisation for Economic Co-operation and Development “Indirect Expropriation “ And The “Right to Regulate “In International Investment Law, Working Papers on International Investment, Number 2004/4, September 2004. Gati, Toby T., Russia’s New Law on Foreign Investment in Strategic Sectors and the Role of State Corporations in the Russian Economy, http://www.akingump.com/files/upload/Foreign_Investment%20in%20Rusian %20Strategic%20Sectors%20%20by%20Toby%20T.%20Gati.pdf. Tanggal akses 14 Mei 2010. Reinisch, August, Indirect Expropriation and the Return of the Legality Issue, http://public.univic.ac.at/fileadmin/user_upload/legal/_studies/Downloads/IndirectExprop riation.pdf Tanggal akses 24 Maret 2010.
3. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang Undang Nomor 13 Tahun 1956 Tentang Pembatalan Hubungan IndonesiaNederland Berdasarkan Perjanjian Konperensi Meja Bundar. _____________, Undang Undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing Undang Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan Perusahaan Milik Belanda Yang Berada Di Wilayah Republik Indonesia _____________, Undang Undang Nomor 15 Pip. Tahun 1960 Tentang Perubahan Undang Undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing _____________, Undang Undang Nomor 16 Tahun 1965 Tentang Pencabutan Undang Undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing Yang Telah Diubah Dan Ditambah Dengan Undang Undang Nomor 15 Prp. Tahun 1960 _____________, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing _____________, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1968 Tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal _____________, Undang Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri _____________, Undang Undang Nomor 11 Tahun 1970 Tentang Perubahan Dan Tambahan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing _____________, Undang Undang Nomor 12 Tahun 1970 Tentang Perubahan Dan Tambahan Undang Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri _____________, Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa _____________, Undang Undang Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal _____________, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 Tentang Pokok Pokok Pelaksanaan Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda _____________, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda _____________, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1959 Tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Tembakau Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi
_____________, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959 Tentang Tugas Kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan Perusahaan Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi Dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian _____________, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1960 Tentang PenentuanPerusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi _____________, Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1960 Tentang PenentuanPerusahaan Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi _____________, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1960 Tentang Nasionalisasi N.V. K.P.M. _____________, Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1960 Tentang Penambahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 4) Tentang Penentuan Perusahaan Perusahaan Farmasi Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi _____________, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 Tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards _____________, Keputusan Menteri Pertama Nomor 485/M.P/1959 Tentang Ketentuan Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap Perusahaan Perusahaan Milik Belanda Dan Perusahaan Perusahaan Asing Di Indonesia 4. Dokumen Lain Energy Charter Treaty Executive Order of the President of the Philippines No. 226 (The Omnibus Investments Code of 1987) Law of the People’s Republic of China on Foreign Capital Enterprise of 2000 North American Free Trade Agreement, Part Five: Investment, Services and Related Matters. Philippines Chapter Eleven: Investment Foreign Investment Act of 1991 United Nations General Assembly Resolution No. 1803 of 1962 on Permanent Sovereignty over Natural Resources United Nations General Assembly Resolution No. 3201 of 1974 on the Declaration on the Establishment of a New International Economic Order United Nations General Assembly Resolution No. 3281 (XXIX) of 1974 on Charter of Economic Rights and Duties of States World Bank Guidelines on the Treatment of Foreign Direct Investment 1992