1
NASIONALISASI PEGAWAI PRAJA MANGKUNEGARAN TAHUN 1946-1950 Dwi Erlita Meindarwati C0507018
Abstract Situasion social and politic not condussive in Surakarta region, status of Kingdom Mangkunegaran was depended by Government Decision num. 16/ SD dated July,15th 1946. The freezing of self-government was also not free from government policy of Surakarta in trying to combine government office of Mangkunegaran to government office of Republic of Indonesia and it`s authority holded by DPD Surakarta. This Nationalization showed up when the parties and party leaders of the movement demanded to Swapraja (self government) to deleted. Then to clarify the status of the officers Mangkunegaran, regional government of Surakarta issued instruction of residence of Surakarta number 1/343 Kars dated July 18th 1950 regarding appointment of Mangkunegaran officers as the officer of Republic of Indonesia. Government policy has gotten the attention of the officer Mangkunegaran. On the other hand, an officer wanted to show his love by faithfully serving the Mangkunegaran. Another, officers wanted to improved the lives of it was economy by becoming an officer of the Republic Indonesia. This was because all of the wealth Mangkunegaran took over by the government of the Republic Indonesia. Key words: nationalization, revolution social, officers Mangkunegaran,,
PENDAHULUAN Pemerintahan Praja Mangkunegaran adalah pemerintahan di bawah kepangeranan yang memiliki wilayah, hak, wewenang, dan otonomi sendiri yang berdiri pada masa Sri Mangkunegara I tahun 1757 Masehi. Menurut falsafah Tri Dharma, Praja Mangkunegaran di dalam mengendalikan pemerintahannya selalu berusaha kearah tercapainya “Praja Sejati”. Dalam status kepangeranan ini, Sri Mangkunegara sebagai
penguasa tertinggi
Praja Mangkunegaran
dalam
menjalankan pemerintahannya dibantu oleh Bupati Patih dan para pegawainya. Keberadaan pegawai yang bekerja di dalam keraton berperan sebagai penggerak jalannya roda pemerintahan Praja Mangkunegaran. Bagi para pegawai,
2
bekerja di keraton merupakan tanggung jawab moral. Mereka bekerja tidak memperhitungkan masalah untung rugi, tetapi pengabdian mereka terhadap praja. Dalam perkembangannya, birokrasi pemerintahan Praja Mangkunegaran selalu mengalami perubahan yang disebabkan oleh perkembangan zaman. Hal ini terutama terjadi pada masa kemerdekaan Indonesia yang merupakan masa transisi dari pemerintahan kolonial, Jepang ke pemerintahan Republik. Pasca kemerdekaan Indonesia, persoalan peralihan kekuasaan dari pemerintahan Mangkunegaran kepada Pemerintah Indonesia menjadi isu yang cukup menarik. Persoalannya adalah bahwa peralihan kekuasaan ke tangan Pemerintah Republik Indonesia tidak hanya terjadi pada perusahaan-perusahaan milik Mangkunegaran. Para pegawai Mangkunegaran juga diambil alih oleh Pemerintah RI dan diurus langsung di bawah Dewan Pertahanan Daerah (DPD) Surakarta. Pegawai-pegawai yang dulu setia mengabdi kepada praja Mangkunegaran harus dialihkan menjadi pegawai Republik Indonesia karena krisis sosial politik yang terjadi di Surakarta tahun 1946. Keputusan tersebut berdasarkan Maklumat Wakil Pemerintah Pusat Surakarta tanggal 14 Juni 1946 yang menyatakan bahwa pegawai Mangkunegaran adalah menjadi Pegawai Republik Indonesia.1 Awalnya Surakarta mengalami pergolakan sosial pada permulaan tahun 1946. Pergolakan tersebut disebabkan oleh krisis sosial politik. Krisis sosial politik yang terjadi dikenal sebagai revolusi sosial. Revolusi sosial yang terjadi di Surakarta merupakan keinginan partai-partai dan pemuka-pemuka pergerakan agar swapraja dihapuskan.2 Walaupun pergolakan itu mempengaruhi keadaan Praja Mangkunegaran, tetapi Mangkunegaran tetap berdiri dan tidak kehilangan kekuatan.3 1
Maklumat Wakil Pemerintah Pusat Di Surakarta Tanggal 14 Mei 1946 Tentang Pegawai-Pegawai Mangkunegaran adalah Menjadi Pegawai Republik Indonesia, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. 1729. 2 Nasution, A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2. Diplomasi atau Bertempur, (Bandung: Angkasa, 1977), hlm. 552. 3 Panitya Penyusun Kerabat Mangkunegaran., Mangkunegaran Selayang Pandang, (Surakarta: Reksa Pustaka, 1971), hlm. 14.
3
Sejalan dengan semakin tegangnya pergolakan, maka tarik ulur keberadaan pemerintahan Swapraja berakhir setelah dikeluarkannya Penetapan Pemerintah No. 16 / s.d tanggal 15 Juli 1946 tentang status Praja Mangkunegaran menjadi Karesidenan Surakarta. Dengan berakhirnya status pemerintahan Mangkunegaran, maka semua lembaga yang bernaung di bawah Mangkunegaran diambil alih pengelolaannya oleh pemerintahan Republik Indonesia atau dinasionalisasikan, termasuk pegawainya. Pada tanggal 17 Desember 1949, Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Sejak saat itu dilakukan penertiban oleh Menteri Dalam Negeri dengan surat No. F.K.3/1/13 tanggal 3 Maret 1950 dengan mengambil tindakan yaitu jawatan-jawatan pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran dibekukan.4 Setelah adanya penertiban jawatan-jawatan Mangkunegaran, di Surakarta terjadi demonstrasi massal dari berbagai organisasi yang tergabung dalam gerakan anti Swapraja yang menuntut agar pemerintahan Mangkunegaran benar-benar dihapuskan. Untuk mengatasi hal tersebut, akhirnya Pemerintah Pusat Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 10 tahun 1950 dengan keputusan bahwa daerah Karesidenan Surakarta berstatus sebagai Karesidenan biasa dalam lingkungan Provinsi Jawa Tengah.5 Setelah melalui masa transisi selama lima tahun, tahun 1950 kekuasaan Pemerintah Mangkunegaran akhirnya dihapuskan dan menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Kemudian Mangkunegaran diberi hak otonomi hanya sebatas di dalam lingkungan istana Mangkunegaran saja. Selanjutnya pihak Mangkunegaran beserta para pegawainya berusaha untuk menerima keputusan Pemerintah Agung RI. Meskipun demikian, kondisi ini sangat memprihatinkan dan memaksa para pegawainya melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup, karena masa peralihan ini membuat situasi keuangan Mangkunegaran mengalami kesulitan. Hal ini berdampak pada gaji para pegawai Mangkunegaran. 4
Soedarmono, 1973, “Pergolakan Sosial Politik Masyarakat Surakarta Dalam Menentang Pemerintahan Daerah Istimewa Tahun 1945-1950”, Tesis Ilmu Sejarah UGM Yogyakarta, hlm. 95. 5 Ibid., hlm. 96.
4
Sejak saat itu, pegawai-pegawai Mangkunegaran disuruh memilih untuk pindah menjadi pegawai Republik Indonesia atau tetap mengabdi kepada Mangkunegaran. Di sisi lain diadakan pendaftaran pegawai Mangkunegaran menjadi pegawai Republik Indonesia. Melalui Intruksi Residen Surakarta No. 1/343 Kars tanggal 18 Juli 1950 mengeluarkan peraturan tentang penerimaan pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran sebagai pegawai Pemerintah Republik Indonesia.6 Berdasarkan Intruksi Residen Surakarta tersebut bagi pegawaipegawai yang diperbantukan kepada jawatan Republik Indonesia diharuskan mendaftarkan diri ke kantor Karesidenan. Apabila tidak mendaftarkan diri dianggap bukan sebagai pegawai Republik Indonesia. Selain itu, bagi pegawai Mangkunegaran yang ingin masuk menjadi pegawai RI juga diharuskan untuk menyerahkan surat ingin masuk menjadi pegawai RI ke Karesidenan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kompleks Praja Mangkunegaran yang terletak di Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Dalam kondisi sekarang kompleks Praja Mangkunegaran digunakan sebagai pelestari peninggalan budaya leluhur Praja Mangkunegaran. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang sangat relevan dalam penelitian sejarah. Metode sejarah adalah proses mengumpulkan, menguji, dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman-rekaman dan peninggalan masa lampau.7 Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui beberapa cara, yaitu: (a) Studi Dokumen. Sumber dokumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: berupa arsip-arsip yang berasal dari arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran. (b) Wawancara. Pengumpulan data dengan wawancara 6
Turunan Intruksi Residen Surakarta No. 1/343 Kars Tanggal 18 Juli 1950 Tentang Penerimaan Pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran sebagai Pegawai Republik Indonesia, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. 1910. 7
Gottschalk, Louis., Mengerti Sejarah Notosusanto), (Jakarta: UI Press, 1975), hlm. 32.
(Terjemahan
Nugroho
5
dilakukan kepada informan yang dianggap mampu memberikan penjelasan tentang Nasionalisasi pegawai Praja Mangkunegaran sesuai dengan keperluan penelitian ini. Ada dua golongan informan yang digunakan. Informan pertama yang dapat diwawancarai dalam penelitian ini adalah Wijatmo Santodipuro, salah satu pegawai Mangkunegaran. Responden kedua adalah responden yang secara langsung bisa menambah perbendaharaan data dalam penelitian ini, yaitu Ny. Yatno, istri abdi dalem Mangkunegaran. Responden tersebut mampu memberikan informasi mengenai Nasionalisasi pegawai Praja Mangkunegaran. Teknik ketiga adalah (c) Studi Pustaka. Studi pustaka dilakukan sebagai bahan pelengkap data-data yang belum terungkap dari sumber primer. Sumber pustaka yang digunakan antara lain: buku, surat kabar, dan sumber lain yang memberikan informasi tentang tema yang diteliti. Sumber pustaka di dapat antara lain dari perpustakaan pusat UNS, perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, dan perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran. Penelitian ini kemudian dilakukan kritik sumber yang bertujuan untuk menganalisis keaslian sumber yang digunakan melalui kritik intern dan kritik ekstern.8 Kritik intern digunakan untuk mengkritisi keaslian dari isi sumber / data maupun isi dari wawancara. Kritik ekstern digunakan untuk mengkritisi keaslian bentuk sumber / keabsahan arsip serta kesahihan narasumber wawancara. Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif terhadap data deskriptif tentang fenomena yang ada. Kemudian penyusunan dilakukan secara deskriptif analisis. Deskriptif artinya memaparkan atau pun menggambarkan suatu fenomena yang terdapat dalam suatu peristiwa tertentu. Analisis artinya menganalisa data-data yag berhubungan dengan kajian permasalahan. Studi ini tidak hanya mempersoalkan masalah apa, dimana, dan kapan peristiwa itu terjadi, namun juga tidak akan mengabaikan hubungan sebab akibat serta aspek ruang dan waktu. 8
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 58.
6
PEMBAHASAN Suatu pemerintahan akan berjalan baik, jika didukung oleh birokrasi yang baik pula. Praja Mangkunegaran sebagai Swapraja yang memiliki otonomi sendiri, telah memiliki struktur birokrasi yang tertata dengan baik. Birokrasi merupakan suatu sistem kerja yang berdasar atas tata hubungan kerja sama antara jabatanjabatan secara langsung, tepat menurut aturan-aturan yang berlaku, dan berjiwa impersonal, artinya tidak ada pamrih atau prasangka-prasangka.9 Struktur birokrasi Pemerintahan sejak berdirinya Praja Mangkunegaran hingga abad XX telah mengalami beberapa kali perubahan. Awalnya, basis dari Praja Mangkunegaran ini adalah kerajaan tradisional, yakni Mataram Islam. Akan tetapi, semasa pendudukan kolonial Belanda birokrasi Praja Mangkunegaran lama kelamaan sangat terpengaruh dengan pola birokrasi Barat. Dengan demikian telah terjadi perpaduan antara birokrasi tradisional dengan birokrasi Barat.10 Pada masa pendudukan Jepang, struktur birokrasi pemerintahan Praja Mangkunegaran masih menggunakan sistem Belanda, tetapi ada juga perubahan dalam struktur pemimpin suatu daerah. Pada masa awal pemerintahan Sri Mangkunegara VIII (1944-1945), struktur birokrasi Praja Mangkunegaran tetap bertahan dan melanjutkan jawatanjawatan yang dimiliki Mangkunegaran pada masa sebelumnya hingga pertengahan tahun 1946, sebelum terjadi revolusi yang menginginkan Swapraja dihapuskan. Struktur birokrasi tersebut terbagi menjadi dua golongan, yaitu struktur birokrasi berdasarkan pangkat (kekuasaan) dan struktur birokrasi berdasarkan lembaga. Berdasarkan lembaga, Praja Mangkunegaran memiliki 14 kabupaten / bidang yang mempunyai pegawai dan tugas masing-masing. Melalui jawatan-jawatan inilah, para pegawai berperan penting dalam mendukung dan mempertahankan Mangkunegaran. 9
Prajudi Atmosudirdjo, Administrasi dan Manajemen Umum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 112. 10 Wasino, 1994 “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir abad XIX – Pertengahan abad XX)”, Tesis Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, hlm. 99.
7
Dalam rangka menyelenggarakan suatu pemerintahan yang baik, maka dibutuhkan suatu landasan operasional untuk mendukung semangat kerja para pegawai Mangkunegaran. Landasan operasional itu adalah motivasi. Motivasi menurut Maslow merupakan keadaan dorongan atau keinginan, perbuatan – perbuatan yang dilakukan agar sesuatu yang diinginkan terpenuhi, dan kepuasan yang diperoleh dengan dicapainya objek tujuan.11 Oleh karena itu, motivasi para pegawai bekerja di Praja Mangkunegaran adalah adanya kebutuhan rasa aman, keselamatan, dan kebutuhan akan rasa cinta serta rasa memiliki yang ditunjukkan dengan menjadi pegawai Mangkunegaran. Selain itu, motivasi bekerja di praja Mangkunegaran adalah memperoleh prestise sosial dan rahmat leluhur untuk keperluan rohani. Namun keadaan ini menjadi berubah ketika Surakarta mulai mengalami pergolakan sosial politik pada awal tahun 1946. Kedudukan Praja Mangkunegaran mulai terancam oleh kelompok anti Swapraja yang menginginkan agar swapraja dihapuskan. Sebelumnya Surakarta ditetapkan sebagai Daerah Istimewa (DIS) tanggal 19 Agustus 1945 dan Sri Mangkunegara VIII mengeluarkan statement tanggal 1 September 1945 untuk memperkuat legalitas pemerintahannya. Surakarta merupakan salah satu pusat feodalisme di Jawa yang masih hidup sampai awal kemerdekaan. Kasunanan dan Mangkunegaran adalah suatu Kerajaan dan Kepangeranan yang menjadi pusat dan mewarisi sisa feodalisme. Kerajaan dan Kepangeranan ini berada di dalam wilayah Surakarta yang tentu saja bermaksud untuk melestarikan sistem feodal yang sudah berlaku beberapa abad. Akan tetapi iklim politik kemerdekaan menghendaki hilangnya monopoli yang hanya dinikmati golongan bangsawan. Oleh karena itu, rakyat melakukan protes dan melahirkan gerakan anti Swapraja.12 Gerakan ini ada tiga macam antara lain: 1. Meminta dihapuskannya Daerah Istimewa / swapraja Surakarta. 11
Maslow, Abraham H, Motivasi Dan Kepribadian 1 (Teori Motivasi Dengan Pendekatan Hierarki Kebutuhan Manusia), (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 1993), hlm. 31. 12 Suhartono., Revolusi Agustus: Nasionalisme Terpasung Dan Diplomasi Internasional, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001), hlm. 164.
8
2. Meminta penggantian Raja / Susuhunan. 3. Meminta perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa yang tidak sesuai lagi dengan zamannya.13 Surakarta yang terus mengalami pergolakan, dan di mana-mana dijalankan propaganda anti Daerah Istimewa, berkat Tuhan Yang Maha Esa Praja Mangkunegaran tetap tenang dan tidak mengadakan pembelaan atau pembalasan, karena
Mangkunegaran
mengutamakan
ketentraman
daerah,
dan
besar
kepercayaannya kepada kebijaksanaan Pemerintah Pusat. Sebaliknya, ribuan mosi dan petisi diterima oleh Mangkunegaran dari seluruh penduduk Mangkunegaran yang menyatakan kecintaannya kepada Praja Mangkunegaran. Pada waktu itu Mangkunegaran tidak berhenti memberikan bantuannya yang berupa gedunggedung, berbagai perkakas, uang, barang-barang, baik keperluan masyarakat Surakarta maupun bagi daerah yang masuk dalam wilayah Mangkunegaran. Bantuan semacam itu biasanya diharapkan sekali dan tidak pernah ditolak.14 Saat gerakan anti Swapraja terus berlangsung, para pegawai tetap menunjukkan kesetiaannya kepada Mangkunegaran, bersikap tenang serta selalu memberikan
dukungan
kepada
Mangkunegaran
untuk
mempertahankan
pemerintahannya.15 Kondisi Surakarta yang semakin tegang, akhirnya pemerintahan Mangkunegaran dibekukan oleh tindakan badan pemerintah yang resmi tanggal 24 Juni 1946. Kemudian pemerintahan Mangkunegaran diurus langsung oleh DPD Surakarta. Kemudian semua buku pekerjaan pegawai Mangkunegaran ditutup pada hari itu juga tanggal 24 Juni 1946 dan dibuka lagi mulai tanggal 25 Juni 1946 untuk meneruskan pekerjaan masing-masing. Setiap pegawai diminta untuk bersikap tenang dan membantu usaha DPD Surakarta mencapai kesatuan yang utuh, serta semua pengeluaran uang dimintakan pengesahan lebih dahulu kepada DPD Surakarta. DPD juga 13
Woerjaningrat., Sekedar Uraian Tengtang Swapraja Surakarta Setelah Proklamasi, (Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran, 1956), hlm. 2. 14 15
Panitya Penyusun Kerabat Mangkunegaran., op.cit., hlm. 15-16. Wawancara dengan Widijatmo Sontodipuro tanggal 27 Oktober 2011.
9
menyatakan bahwa segala tindakan mengenai pemerintahan Mangkunegaran diberitahukan kepadanya.16 Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Penetapan Pemerintah No. 16 / s.d. tangal 15 Juli 1946 yang menyatakan bahwa sebelum bentuk pemerintahan daerah Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-undang, maka daerah tersebut dipandang untuk sementara waktu ditetapkan sebagai suatu Karesidenan. Sejak saat itu kedudukan pegawai Mangkunegaran dijadikan pegawai Republik Indonesia. Jawatan-jawatan Mangkunegaran banyak digabungkan dengan jawatan Republik Indonesia. Para pegawai Mangkunegaran diminta supaya dapat bekerja sama dengan pegawai Republik Indonesia. Kecuali, bagi pegawai dan jawatan Mangkunegaran yang hanya berhubungan langsung dengan diri Sri Paduka semata-mata tidak dapat dimasukkan dalam keputusan tersebut, seperti Patih Negeri Mangkunegaran, Kepeniteran Mangkunegaran (Kantor Natapraja), Kantor urusan keluarga Mangkunegaran (Kawedanan Satriya), Kantor Urusan Astana (Kabupaten Mandrapura), dan Kantor Reksa Pustaka.17 Proses Nasionalisasi pegawai Mangkunegaran ini mendapat sikap kooperatif dari pihak Mangkunegaran, termasuk pegawainya. Meskipun kekuasaan Mangkunegaran sudah dibekukan, namun pergolakan sosial politik di Surakarta masih terus berlangsung hingga tahun 1950. Gerakan anti Swapraja terus menuntut dihapuskannya Swapraja di Surakarta. Akhirnya Pemerintah Pusat Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 10 tahun 1950 dengan keputusan bahwa daerah Karesidenan Surakarta berstatus sebagai Karesidenan biasa dalam lingkungan Provinsi Jawa Tengah.18 Dengan demikian kekuasaan pemerintahan Mangkunegaran dihapuskan dan menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Kemudian Mangkunegaran diberi hak otonomi hanya sebatas di dalam lingkungan istana Mangkunegaran 16
Penetapan Dewan Pertahanan Daerah Surakarta Tanggal 24 Juni 1946, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. 767. 17 Berkas Masalah Panitya Penyelesaian Penyerahan Kantor-kantor Mangkunegaran Antara lain: Mengenai Petunjuk Penggabungan Djawatan Mangkunegaran ke Djawatan Republik, Tahun 1946, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. 737. 18 Soedarmono., loc.cit.
10
saja. Selain itu kekayaan yang semula milik Mangkunegaran juga diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Reaksi pihak Mangkunegaran, terutama para pegawainya setelah penghapusan Swapraja dan nasionalisasi ini berusaha untuk menerima keputusan Pemerintah Agung RI. Meskipun demikian, kondisi ini sangat memprihatinkan dan memaksa para pegawainya melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup, karena gaji yang diberikan kepada pegawai Mangkunegaran mengalami penurunan. Kemudian Sri Mangkunegara VIII selaku penguasa tertinggi praja Mangkunegaran memberikan penerangan kepada pegawai-pegawainya bahwa Mangkunegaran sekarang ini tidak dapat menjamin pegawai-pegawainya tentang lapangan pekerjaan, belum dapat menyesuaikan gaji dan upah pegawai karena keadaan
keuangan
Mangkunegaran
yang
belum
mengizinkan
setelah
pemerintahan Mangkunegaran dihapuskan dan aset-aset Mangkunegaran diambil alih oleh Pemerintah RI. Keadaan ini memaksa para pegawai Mangkunegaran untuk memilih pindah menjadi pegawai Republik Indonesia, namun tidak sedikit pula pegawai yang tetap mengabdi kepada Mangkunegaran. Sementara itu, Pemerintah Daerah Surakarta mengeluarkan kebijakan melalui Intruksi Residen Surakarta No. 1/343 Kars tanggal 18 Juli 1950 mengeluarkan
peraturan
tentang
penerimaan
pegawai
Kasunanan
dan
Mangkunegaran sebagai pegawai Pemerintah Republik Indonesia. Berdasarkan Intruksi Residen Surakarta tersebut bagi pegawai-pegawai yang diperbantukan kepada jawatan Republik Indonesia diharuskan mendaftarkan diri ke kantor Karesidenan. Apabila tidak mendaftarkan diri dianggap bukan sebagai pegawai Republik Indonesia. Selain itu, bagi pegawai pegawai Mangkunegaran yang ingin masuk menjadi pegawai Pemerintah Republik Indonesia juga diharuskan untuk mendaftarkan diri ke Karesidenan dengan menyatakan surat ingin masuk menjadi pegawai Republik Indonesia. Untuk mengetahui jumlah pegawai Mangkunegaran yang mendaftarkan diri ke Karesidenan Surakarta berdasarkan gaji dan pangkat saat bekerja di jawatan Mangkunegaran secara ringkas dapat disajikan melalui tabel berikut ini:
11
Tabel 1 Daftar Pegawai Mangkunegaran yang Mendaftarkan Diri ke Kantor Karesidenan Surakarta Bulan November 1949 No
Jawatan
Jumlah Pegawai 3 1 13
1 2 3
Hamongpradja Nitihardana Martapradja
4
15
6
Kabupaten Kota Mangkoenegaran Kaboepaten Wonogiri Kismapradja
7
Barajawijata
4
8
Jatnanirmala
8
9
Kartirahardja
3
10
Sindoepradja
17
5
Jumlah
4 7
Pangkat Demang, Rangga Wimbasara Djajar, Demang, Wimbasara Carik, Demang, Lurah, Rangga Demang, Rangga, Wimbasara Demang, Djajar, Mantri DJuru tulis, Kepala S.R Djuru tulis, Mantri, Juru rawat Djuru tulis, Wimbasara Mantri, Djuru tulis, Wimbasara, Mandor
Gaji Gulden (f) 95-125 66 30-140 24-125 30-125 55-195 45-165 60-260 30-66 30-235
75
Sumber: Daftar Pegawai Mangkunegaran yang Mendaftarkan Diri ke Kantor Karesidenan Surakarta Berdasarkan Pangkat dan Gaji Mangkunegaran Bulan November 1949, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. 1835. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sejak proses nasionalisasi pegawai tahun 1946, pada bulan November 1949 sudah banyak para pegawai Mangkunegaran yang mendaftarkan diri ke kantor Karesidenan Surakarta untuk menjadi status pegawai Republik Indonesia. Jumlah pegawai yang mendaftarkan diri ke kantor Karesidenan adalah 75 pegawai berdasarkan pangkat dan gaji. Dari jawatan Hamongpradja berjumlah 3 pegawai, jawatan Nitihardana berjumlah 1 pegawai, jawatan Martapradja 13 pegawai, Kabupaten kota Mangkunegaran berjumlah 15 pegawai, Kabupaten Wonogiri berjumlah 4 pegawai, jawatan Kismapradja 7 pegawai, jawatan Barajawijata 4 pegawai, jawatan Jatnanirmala 8 pegawai, jawatan Kartiraharja 3 pegawai, dan jawatan Sidoepraja berjumlah 17
12
pegawai. Jumlah pegawai yang mendaftar tersebut sekitar 25% dari jumlah pegawai Mangkunegaran. Jumlah pegawai Mangkunegaran pada masa Sri Mangkunegara VIII adalah 303 pegawai.19 Pengabdian yang selama ini dilakukan oleh para pegawai atau pun abdi dalem Mangkunegaran tidak dapat dipertahankan karena keadaan keuangan praja sedang kesulitan. Adanya Nasionalisasi pegawai Mangkunegaran ini membawa pengaruh dan perubahan yang besar, baik dalam struktur birokrasi Mangkunegaran maupun terhadap kondisi sosial ekonomi pegawai. Pengaruh Nasionalisasi pegawai Mangkunegaran
terhadap
struktur
birokrasi
Mangkunegaran
adalah
Sri
Mangkunegara VIII selaku pemimpin Praja Mangkunegaran melakukan penyederhanaan
struktur
birokrasi
pemerintahan
Mangkunegaran,
karena
Mangkunegaran diberikan hak otonomi hanya sebatas di dalam lingkungan praja Mangkunegaran, selain itu juga banyak jawatan-jawatan Mangkunegaran yang digabungkan dengan jawatan Republik Indonesia. Jawatan-jawatan
yang
masih
ada
di
dalam
lingkungan
Praja
Mangkunegaran kemudian ditata kembali menjadi struktur birokrasi sesudah pemerintahan Swapraja dihapuskan antara lain: Patih Negeri Mangkunegaran, Kepeniteran Mangkunegaran (Kantor Natapraja), Kantor urusan keluarga Mangkunegaran (Kawedanan Satriya), Kantor Urusan Astana (Kabupaten Mandrapura), dan Kantor Reksa Pustaka. Jawatan-jawatan inilah yang hanya berhubungan langsung dengan Sri Paduka semata-mata. Pengaruh Nasionalisasi pegawai Mangkunegaran dalam kehidupan sosial ekonomi pegawai Mangkunegaran yang memilih pindah menjadi pegawai Republik Indonesia adalah kehidupan perekonomian mereka menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan gaji yang diterima seorang pegawai Republik Indonesia lebih besar dibandingkan dengan gaji yang diterima sebagai pegawai Mangkunegaran. Selain gaji, mereka juga mendapatkan tunjangan hidup, seperti tunjangan keluarga, tunjangan kemahalan tempat, dan tunjangan istimewa. Tunjangan 19
Budi Daryanto, 1995, “Struktur Organisasi Dan Sistem Manajemen Kepegawaian Istana Mangkunegaran Masa Pemerintahan Mangkunegara VIII”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, hlm. 144.
13
tersebut juga diperuntukkan bagi pegawai Mangkunegaran yang masih setia mengabdi kepada Mangkunegaran. Meskipun kehidupan ekonomi mereka lebih baik, namun dalam kehidupan sosial prestise yang dulu melekat pada mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Sebelum pindah status menjadi pegawai Republik Indonesia, pegawai yang mengabdi kepada Mangkunegaran sangat berhasrat memasuki kehidupan sebagai abdi dalem demi prestise sosial. Motif uang dan ekonomi sangat kecil, karena mereka bekerja dengan tujuan untuk mendapatkan rahmat dari para leluhur mereka. Namun setelah Indonesia merdeka tahun 1945, dan Mangkunegaran menjadi pemerintahan yang tidak resmi karena segala urusan pemerintahan diambil alih oleh Pemerintah RI, citra pegawai Mangkunegaran yang berubah status menjadi pegawai RI mengalami perubahan. Pegawai mulai menyadari bahwa mereka tidak lagi bekerja hanya untuk Sri Mangkunegara, tetapi bekerja untuk suatu pemerintahan yang pegawaipegawainya berasal dari rakyat biasa. Pengabdian yang meliputi segala-galanya pada jabatan abdi dalem yang telah dibina dari generasi ke generasi dan terutama didasarkan pada loyalitas rakyat kepada penguasa tradisional, tidak bisa dipertahankan lagi dalam tatanan pemerintahan yang baru.20 Meskipun
zaman
telah
berubah
dan
ketika
banyak
pegawai
Mangkunegaran memilih untuk pindah status menjadi pegawai Republik Indonesia, ada juga pegawai maupun abdi dalem yang tetap setia mengabdi kepada Mangkunegaran. Bagi pegawai yang tetap setia mengabdi, tujuan untuk memperoleh rahmat leluhur masih penting bagi mereka, gaji masih menjadi nomor dua meskipun Mangkunegaran sudah tidak berkuasa lagi seperti dulu sebelum Swapraja dibekukan. Pengabdian yang tulus dan kesetiaan masih dapat mereka pertahankan. Sebagai contoh seorang abdi dalem Mangkunegaran bernama Yatno pada akhir masa pemerintahan Sri Mangkunegara VII adalah seorang anggota Legiun Mangkunegaran, kemudian pada saat terjadi perang 20
Selo Soemardjan., Perubahan Sosial Di Yogyakarta (Terjemahan H.J.Koesoemanto), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981), hlm. 102.
14
revolusi di Surakarta, beliau menjadi salah satu anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Namun setelah Indonesia merdeka dan mendapatkan pengakuan kedaulatan dari pihak Belanda, keahlian Yatno dalam bidang militer ini tidak dapat dipergunakan lagi karena segala urusan pemerintahan Mangkunegaran dibekukan, termasuk pula legiun Mangkunegaran. Oleh karena itu, Yatno hanya bekerja di dalam pemerintahan praja Mangkunegaran, namun bukan menjadi anggota legiun lagi melainkan menjadi abdi dalem Mangkunegaran sebagai penerjemah. Baginya menjadi abdi dalem Mangkunegaran merupakan suatu kebanggaan tersendiri, dan beliau tidak memilih untuk pindah menjadi pegawai Republik Indonesia.21 Hal itu berarti masih terdapat seorang abdi dalem yang menunjukkan kesetiaannya terhadap Mangkunegaran. Meskipun pemerintahan Mangkunegaran sudah dihapuskan, namun menjadi abdi dalem atau pegawai Mangkunegaran masih dihargai, karena beliau masih mempunyai wibawa dan kreatifitas di usia senja yang bekerja sebagai penerjemah di lingkungan Praja Mangkunegaran.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Nasionalisasi pegawai Mangkunegaran terjadi sebagai akibat dari pergolakan sosial politik yang terjadi di Surakarta. Kondisi keuangan Mangkunegaran yang mengalami kesulitan setelah adanya penghapusan status Swapraja di Surakarta menjadi faktor para pegawai Mangkunegaran memilih untuk pindah menjadi pegawai Republik Indonesia. Pengabdian dan kesetiaan para pegawai Mangkunegaran tidak dapat dipertahankan lagi, bahkan prestise sosial dan mendapatkan rahmat leluhur yang dulu menjadi motivasi para pegawai dalam bekerja juga tidak dapat dipertahankan. Para pegawai memilih pindah untuk menjadi pegawai Republik Indonesia bertujuan untuk memperbaiki kehidupan perekonomian mereka, meskipun dalam kehidupan sosial prestise yang dulu melekat pada mereka tidak dapat
21
Wawancara dengan Ny. Yatno tanggal 15 Februari 2012.
15
dipertahankan lagi. Kekuasaan resmi yang sekarang disandang tak mampu menaikkan mereka ke kelas yang lebih tinggi daripada yang ditempatinya sebelum memperoleh kedudukan resmi. Selain itu, pengaruh Nasionalisasi pegawai Mangkunegaran terhadap struktur
birokrasi
Mangkunegaran
menjadi
lebih
sederhana
karena
Mangkunegaran hanya diberikan hak otonomi sebatas di dalam lingkungan istana saja.
Jawatan-jawatan
yang
masih
terdapat
dalam
struktur
organisasi
Mangkunegaran diharapkan dapat berfungsi baik sesuai dengan tugasnya. Selain memiliki fungsi intern yaitu menjaga keberadaan dan keutuhan praja, jawatanjawatan Mangkunegaran juga memiliki fungsi ekstern yaitu sebagai alat pengelola pegawai atau abdi dalem yang bernaung di dalam lingkungan istana Mangkunegaran sekarang ini. Jawatan-jawatan Mangkunegaran inilah yang akan ikut melestarikan budaya luhur Mangkunegaran.
16
DAFTAR PUSTAKA A. Arsip Berkas Daftar Pegawai Mangkunegaran yang Mendaftarkan Diri ke Kantor Karesidenan Surakarta Berdasarkan Pangkat dan Gaji Mangkunegaran Bulan November 1949. Surakarta: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. 1835. Berkas
Masalah Panitia Penyelesaian Penyerahan Kantor-kantor Mangkunegaran Antara lain: Mengenai Petunjuk Penggabungan Djawatan Mangkunegaran ke Djawatan Republik Tahun 1946. Surakarta: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. 737.
Maklumat Wakil Pemerintah Pusat Di Surakarta Tanggal 14 Mei 1946 Tentang Pegawai-Pegawai Mangkunegaran adalah Menjadi Pegawai Republik Indonesia. Surakarta: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. 1729. Penetapan Dewan Pertahanan Daerah Surakarta Tanggal 24 Juni 1946. Surakarta: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. 767. Turunan Intruksi Residen Surakarta No. 1/343 Kars Tanggal 18 Juli 1950 Tentang Penerimaan Pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran sebagai Pegawai Republik Indonesia. Surakarta: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. 1910. B. Buku Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah (Terjemahan Nugroho Notosusanto). Jakarta: UI Press. Maslow, Abraham H. 1993. Motivasi Dan Kepribadian 1(Teori Motivasi Dengan Pendekatan Hierarki Kebutuhan Manusia). Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Nasution, A.H. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2. Diplomasi atau Bertempur. Bandung: Angkasa. Panitya Penyusun Kerabat Mangkunegaran. 1971. Mangkunegaran Selayang Pandang. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. Prajudi Atmosudirdjo. 1982. Administrasi dan Manajemen Umum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
17
Selo Soemardjan. 1981. Perubahan Sosial Di Yogyakarta (Terjemahan H.J.Koesoemanto). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suhartono. 2001. Revolusi Agustus: Nasionalisme Terpasung Dan Diplomasi Internasional. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Woerjaningrat. 1956. Sekedar Uraian Tengtang Swapraja Surakarta Setelah Proklamasi. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. C. Skripsi dan Thesis Budi Daryanto., 1995, “Struktur Organisasi Dan Sistem Manajemen Kepegawaian Istana Mangkunegaran Masa Pemerintahan Mangkunegara VIII”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Soedarmono. 1973. “Pergolakan Sosial Politik Masyarakat Surakarta Dalam Menentang Pemerintahan Daerah Istimewa Tahun 1945-1950”. Tesis Ilmu Sejarah UGM Yogyakarta. Wasino. 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir abad XIX – Pertengahan abad XX”. Tesis Pasca Sarjana UGM Yogyakarta.
18
DAFTAR INFORMAN 1. Nama
: K.P. Widijatmo Sontodipuro
Umur
: 84 tahun
Pekerjaan
: Pimpinan Redaksi Mbangun Tuwun
Alamat
: Jl. Letjen Sutoyo No. 95 Ngadisono RT. 02/14, Solo.
2. Nama
: Ny. Yatno (Istri abdi dalem Mangkunegaran)
Umur
: 60 tahun
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Alamat
: Jl. Punggawan, Solo