MULTI DRUG RESISANT TUBERCULOSIS (MDR-TB): PENGOBATAN PADA DEWASA Sumardi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUGM / KSM Pulmonologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Abstract Tuberculosis treatment in Indonesia has been strictly followed the WHO guideline since 1982, Direct Observe Treatment Short course (DOTS). However, DOTS has not been implemented by all health service institution. The incidence of resistant bacili is increased globally, since the first time reported streptomycin resistant in 1940. The tuberculosis treatment becomes more complicated with the emergence of MDRTB and XDR-TB. It is very important to have guidelines for MDR-TB treatment. This paper discus the treatment guidelines for MDR-TB case in adult. Keywords: therapy, tuberculosis, adult Abstrak Sistem pengobatan tuberkulosis (TB) di Indonesia menganut sistem yang sudah ditetapkan WHO sejak 1982 yaitu Direct Observe Treatment Short course (DOTS). Namun demikian, belum semua instalasi kesehatan menerapkan strategi DOTS secara tepat dan benar (seperti: Rumah Sakit, Dokter Praktek Swasta) dalam pengobatan pasien TB. Secara global insidensi resistensi kuman terhadap OAT terus meningkat sejak pertama kali resistensi terhadap Streptomycin ditemukan pada pertengahan tahun 1940. Pengobatan tuberkulosis menjadi lebih sulit dengan adanya isolat MDR-TB dan XDR-TB. Untuk itu telah ditetapkan panduan untuk mengobati kasus MDR-TB.
1
Tulisan ini membahas tentang pengobatan kasus MDR-TB pada orang dewasa. Kata kunci: terapi, tuberkulosis, dewasa Pendahuluan Sistem pengobatan tuberkulosis (TB) di Indonesia menganut sistem yang sudah ditetapkan WHO sejak 1982 yaitu Direct Observe Treatment Short course (DOTS). Sejak 2006 diperbaharui dengan International Standard Tuberculosis Care (ISTC), dimana komponen DOTS merupakan komponen utama. Strategi DOTS terdiri dari lima komponen, yaitu: 1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana; 2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung; 3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO); 4. Kesinambungan persediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek untuk pasien; 5. Pencatatan dan pelaporan yang baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program TB. Untuk menjamin keberhasilan penanggulangan TB, kelima komponen tersebut di atas harus dilaksanakan secara bersamaan. Saat ini masih belum semua instalasi kesehatan menerapkan strategi DOTS secara tepat dan benar (seperti: Rumah Sakit, Dokter Praktek Swasta) dalam pengobatan pasien TB. Hal tersebut meningkatkan risiko terjadinya resistensi (kekebalan) kuman terhadap obat anti TB (OAT). Faktor-faktor lain yang berisiko menimbulkan terjadinya resistensi OAT adalah produksi OAT yang tidak bermutu, pemberian
2
paduan OAT yang tidak adekuat, dosis dan waktu pengobatan yang tidak tepat, keengganan dan ketidak tahuan pasien untuk melanjutkan pengobatan sampai selesai. Kondisi ini meningkatkan kemungkinan terjadinya MDR-TB dan XDR-TB. International Standard Tuberculosis Care (ISTC) pada tahun 2014 mendefinisikan Multi Drug Resistant- tuberculosis (MDR-TB) adalah TB yang disebabkan oleh kuman TB yang telah resisten terhadap 2 jenis OAT lini pertama, yaitu INH dan Rifampisin. Penatalaksanaan TB MDR lebih sulit dan membutuhkan masa pengobatan yang lebih lama dengan tingkat kesembuhannya rendah sehingga membutuhkan strategi khusus yang dahulu dikenal sebagai ”Strategi DOTS Plus”. Saat ini istilah yang disepakati digunakan untuk penanganan kasus MDR-TB adalah Programatic Management on Drug-resistant TB atau disingkat PMDT. Penerapan PMDT tetap menggunakan prinsip dasar strategi DOTS yang dikembangkan sesuai kebutuhan penatalaksanaan pasien MDR-TB. Bila pengobatan TB MDR ini tidak dipantau dengan ketat, akan terjadi TB Extended Drug Resistant Tuberculosis (XDR-TB), dimana resisten kuinolon dan atau salah satu obat injeksi Kanamisin, Amikasin. Pengobatan XDR-TB semakin sulit, bahkan bisa berakibat Total Drug Resistant –tuberculosis (TDR-TB). MDR TB Sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat Kekebalan kuman TB terhadap OAT telah muncul sejak lama, bahkan pada tahun 1970-an telah terjadi resistensi terhadap rifampisin. WHO Stop TB Department tahun 2008 memperkirakan 490.000 kasus MDR-TB muncul setiap tahun dengan angka kematian lebih dari 110.000 di dunia. Prevalensi di dunia diperkirakan 2-3 kali lipat lebih tinggi dari insidens. Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Kemungkinan terjadi resistensi pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah sebesar 4 kali lipat,
3
sedanAgkan untuk terjadinya MDR-TB sebesar 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum pernah diobati. Pasien MDR-TB sering tidak bergejala sebelumnya sehingga tanpa diketahui dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain bahkan sebelum ia menjadi sakit. Oleh karena itu prevalensi MDR-TB diperkirakan 3 kali lebih besar dari insidensi sebenarnya yaitu sekitar 1 juta. Penatalaksanaan pasien MDR-TB di Indonesia saat ini belum terstandarisasi, sehingga diperlukan upaya pembakuan penatalaksanaan MDR-TB yang berlaku secara Nasional. Upaya tersebut meliputi tersedianya sarana dan prasarana untuk diagnosis dan pengobatan yang berkualitas. Saat ini pasien MDR-TB di Indonesia belum mendapat akses pengobatan yang memadai karena belum semua obat yang dibutuhkan untuk pengobatan TB MDR tersedia di Indonesia. Berdasar laporan survei resistensi global yang ke-4 tahun 2008, 93 wilayah surevi yang berasal dari 83 negara didapatkan situasi resistensi sebagai berikut: Pada pasien TB baru: l Resistensi semua: 0% - 56.3% l MDR-TB: 0% - 22.3% l Resisten INH semua: 0% - 40.8% Pada pasien yang pernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya: l Resisten semua: mulai dari sangat rendah sampai 85.9% l MDR-TB: 52.1% - 62.5%. l Resisten terhadap INH semua: 0% - 81.2% Saat ini menurut WHO (2009) Indonesia menduduki peringkat ke delapan (8) jumlah kasus MDR-TB dari 27 negara. WHO memperkirakan angka MDR pada pasien TB yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT sekitar 2%. Saat ini data dasar resistensi OAT termasuk TB MDR di Indonesia belum ada. Survey
4
resistensi OAT yang pertama di provinsi Jawa Tengah. Meskipun demikian hasil sementara yang didapat tidak jauh berbeda dengan perkiraan, yaitu angka MDR-TB pada pasien yang berlumpernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya sekitar 2 % dan sekitar 16 % bagi yang pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya. Pada 2007 Pemantapan Mutu External (PME) untuk biakan dan tes kepekaan yang dilakukan pada 60 isolat dari 2 laboratorium rujukan TB: 24 isolat menunjukkan TB MDR. Enam (6) dari 24 isolat menunjukkan TB MDR dan resisten terhadap ofloxacine; sedang satu (1) dari 24 isolat menunjukkan XDR TB (MDR-TB + resisten terhadap ofloxacine dan amikacin). Dengan demikian memang sudah saatnya Indonesia mulai dengan penanggulangan pasien TB yang kebal obat anti TB (OAT), terutama mereka yang didiagnosis sebagai pasien TB dengan resistensi ganda (MDR-TB) Secara global insidensi resistensi kuman terhadap OAT terus meningkat sejak pertama kali resistensi terhadap streptomisin ditemukan pada pertengahan tahun 1940. Sedangkan MDR mulai ditemukan sejak semakin luasnya penggunaan rifampisin, yaitu sejak sekitar tahun 1970-an. Munculnya resistensi kuman terhadap OAT mempersulit upaya penanggulangan TB sehingga akan memperbesar masalah kesehatan masyarakat karena tingginya biaya pengobatan, keberhasilan pengobatan yang rendah dan sebagainya. Terjadinya resistensi terhadap OAT Faktor utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah manusia yaitu penatalaksanaan pasien TB tidak adekuat; yang dapat ditinjau dari sisi: l Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena : - Diagnosis tidak tepat, - Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,
5