Pemanfaatan Dana Kebijakan Bantuan Biaya Personal Pendidikan (Studi Kuantitatif Penerima Kartu Jakarta Pintar Peserta Didik Lima Sekolah Menengah Atas Negeri Di Lima Wilayah Kota Administratif Provinsi DKI Jakarta)
Mulki dan Sofyan Cholid
Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas tentang Pemanfaatan Dana Kebijakan Bantuan Biaya Personal Pendidikan (Studi Kuantitatif Penerima Kartu Jakarta Pintar Peserta Didik Lima Sekolah Menengah Atas Negeri Di Lima Wilayah Kota Administratif Provinsi DKI Jakarta). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner terhadap responden. Penelitian ini menggambarkan penerimaan peserta didik dan pengeluaran peserta didik dari keluarga tidak mampu untuk kebutuhan personal yang menunjang aktivitas bersekolah. Hasil penelitian juga menunjukkan penggunaan dana bantuan oleh peserta didik sesuai dengan tujuan program di bidang pendidikan, konsumsi dan transportasi. Selain itu juga dalam temuan di lapangan terdapat peserta didik yang menggunakan dana bantuan untuk kebutuhan lainnya yang tidak termasuk tujuan program.
Utilization of “Bantuan Biaya Personal Pendidikan” (Study on Beneficiaries of “Kartu Jakarta Pintar” at Five Senior High Schools In Jakarta)
Abstract
This thesis discusses about Utilization of “Bantuan Biaya Personal Pendidikan” (Study on Beneficiaries of “Kartu Jakarta Pintar” at Five Senior High Schools In Jakarta). This research uses quantitative approach with descriptive type of research and questionnaires as a measuring instrument. This research describes the receipt and expenditure of student from 1 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
poor families for personal needs that support school activities. The results also shows the use of funds by student in accordance with the program objectives in the field of education, consumption and transportation. In addition, the findings shows student that use the fund for other needs that do not include the program objectives.
Keywords: Kartu Jakarta Pintar (KJP), Social assistance, Personal cost, Expenditure student
2 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
Pendahuluan
Masalah kemiskinan menjadi salah satu kajian permasalahan sosial dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial. Kemiskinan yang identik dengan serba kekurangan dijadikan dasar pemikiran definisi kesejahteraan sosial menurut James Midgley. Kesejahteraan sosial menurut James Midgley (dalam Adi, 2008, h. 45) adalah suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik, ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi, dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalkan. Dari pengertian mengenai kesejahteraan sosial tersebut kita dapat melihat bahwa pada dasarnya kesejahteraan sosial diartikan sebagai tujuan untuk mengakhiri kemiskinan. Topik mengenai pendidikan dikenal sebagai salah satu dari lima bidang utama dalam upaya pembangunan kesejahteraan sosial yang dikenal dengan nama big five, 4 bidang lainnya adalah bidang kesehatan, bidang perumahan, bidang pekerjaan sosial dan bidang jaminan sosial (Adi, 2008, h. 4). Rendahnya pendidikan masyarakat menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab kemiskinan. Menurut World Bank (2001) setidaknya ada tiga faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu: 1. Rendahnya pendapatan dan aset untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti: makanan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan dan pendidikan. 2. Ketidakmampuan untuk bersuara dan ketiadaan kekuatan didepan institusi negara dan masyarakat. 3. Rentan
terhadap
guncangan
ekonomi,
terkait
dengan
ketidakmampuan
menanggulanginya. Masih banyak orang miskin yang memiliki keterbatasan akses dalam memperoleh pendidikan bermutu antara lain karena imbas dari mahalnya biaya pendidikan. Di perkotaan, kemiskinan tidak hanya terkait dengan kurangnya pendapatan dan tingkat konsumsi, tetapi juga akses pendidikan dan kesehatan yang tidak terjangkau bukan karena keberadaan layanan yang terbatas tetapi lebih karena masalah biaya. Berdasarkan data Survei Ekonomi Nasional (Susenas 2005) untuk kelompok 20% rumah tangga termiskin, misalnya persentase biaya pendidikan per anak mencapai 10% untuk peserta didik SD, 18,5 % untuk peerta didik SMP dan 28,4% untuk peserta didik SMA (BPS, 2005). Meskipun telah mengakses pendidikan, masih saja terjadi siswa yang berasal dari rumah tangga miskin mengalami putus sekolah.
3 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
Bahkan Jumlah anak putus sekolah di DKI Jakarta pun masih banyak dan didominasi pelajar di tingkat menengah atas. Tabel 1. Jumlah Siswa Putus Sekolah pada Sekolah Menengah Umum di Provinsi DKI Jakarta Tahun Akademik 2012/2013 2011/2012 2010/2011 2009/2010 2008/2009
I 174 270 352 339 568
Kelas II 103 146 239 208 259
III 34 103 95 71 116
Jumlah 311 519 686 618 943
Sumber: Jakarta dalam Angka 2013, BPS Jakarta (diolah)
Penyebab utama angka putus sekolah tersebut tiada lain adalah faktor kemiskinan ataupun ekonomi, menurut pengamatan Lembaga Penelitian SMERU tahun 2003 bahwa lebih dari 70% pekerja anak dan anak-anak bukan pekerja yang putus sekolah menyebutkan bahwa variabel-variabel yang berkaitan dengan kemiskinan misalnya biaya, alasan keuangan, alasan membantu orang tua, dan sebagainya. Di DKI Jakarta biaya untuk mengikuti pendidikan di tiap jenjang level pendidikan masih tergolong tinggi. Pada tahun 2009 (periode Januari s.d. Juni) berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), rata-rata biaya pendidikan per siswa pada tiap level pendidikan di Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut. Tabel 2. Rata-rata Biaya Pendidikan per Siswa di tiap Tingkat Pendidikan di Provinsi DKI Jakarta Periode Januari s.d. Juni 2009 Tingkat pendidikan SD/MI SMP/MTS SMA/SMK/MA
Rata-rata biaya per siswa (dalam rupiah) 1.267.867 2.370.387 3.875.011
Sumber: Statistik Pendidikan Susenas 2009 BPS
Selama periode Januari s.d. Juni 2009 rata-rata biaya yang diperlukan per siswa untuk mengikuti proses pendidikan di tiap level meningkat, pada level pendidikan dasar biaya per siswa yang dikeluarkan adalah Rp. 1.267.867 untuk SD/MI dan Rp. 2.370.387 untuk tingkat SMP/MTS, dan yang paling banyak adalah untuk tingkat pendidikan menengah, dimana biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 3.875.011. Jadi biaya yang harus dikeluarkan perbulan untuk level pendidikan dasar per siswa adalah sebesar Rp. 211.131,17 untuk SD/MI, 4 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
Rp 395.064,5 untuk tingkat SMP/MTS, sedangkan untuk tingkat SMA/MA adalah Rp. 645.835,17. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan dalam pasal 5 ayat 1, menyatakan bahwa “warga masyarakat yang berusia 7 sampai 18 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar sampai tamat”. Pasal 16 huruf f menyebutkan bahwa ”pemerintah daerah wajib menyediakan dana guna terselenggaranya wajib belajar 12 tahun khususnya bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu dan anak terlantar”. Dalam rangka mewujudkan program Wajib Belajar 12 Tahun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menjamin seluruh warga usia sekolah untuk mendapatkan pelayanan pendidikan minimal sampai jenjang pendidikan menengah serta mengatasi kesulitan yang dihadapi orang tua untuk menyekolahkan anak maka diluncurkan Bantuan Biaya Personal Pendidikan (BBPP) atau lebih dikenal dengan program Kartu Jakarta Pintar (KJP) sejak tanggal 1 Desember 2012 dengan sasaran 332.465 peserta didik. Tabel 3. Kebutuhan dan Besaran Biaya BBPP melalui KJP Unit Cost/Tahun/Satuan Pendidikan SD/SDLB/MI
SMP/SMPLB/ MTs
SMA/SMALB/ SMK/SMKLB/ MA
Transport ke dan dari Sekolah
Rp. 900.000,-
Rp. 1.200.000,-
Rp. 1.320.000,-
2
Buku, Alat Tulis, dan Tas Sekolah
Rp. 400.000,-
Rp. 450.000,-
Rp. 450.000,-
3
Baju dan Sepatu Sekolah
Rp. 560.000,-
Rp. 560.000
Rp. 710.000,-
4
Tambahan Makan dan Minum
Rp. 300.000,-
Rp. 335.000,-
Rp. 400.000,-
Rp. 2.160.000,-
Rp. 2.520.000,-
Rp. 2.880.000,-
No
Unit Kebutuhan
1
Jumlah Total
Sumber: Dinas Pendidikan DKI Jakarta 2013
Tentunya ini bukanlah angka yang kecil untuk di pegang para siswa penerima bantuan dan penggunaannya harus tepat sasaran. Anggaran untuk program KJP ini adalah senilai Rp 804 Miliar yang di bagi dua sebesar Rp 703 Miliar dalam APBD DKI Jakarta dan Rp 101 Miliar dalam APBD Perubahan. Program ini diluncurkan dengan menggunakan sistem banking payment, yang difasilitasi oleh Bank DKI. Kartu Jakarta Pintar dapat digunakan seperti kartu ATM melalui Bank DKI. 5 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
Penggunaan dana bantuan oleh siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu tersebut dapat memberikan kita gambaran terkait permasalahan akses yang dihadapi orang miskin yang coba diatasi oleh pemerintah daerah melalui intervensi dengan model pemberian dana bantuan. Dari penggunaan dana bantuan tersebut kita bisa melihat apakah memang sudah sesuai dengan yang diharapkan untuk menunjang mereka dalam memenuhi kebutuhan sekolah
mereka
(perlengkapan
sekolah,
konsumsi
dan
transportasi).
Sehingga
keberlangsungan peserta didik dalam menempuh pendidikan terjamin. Hal ini mengingat permasalahan kemiskinan menjadi faktor utama siswa rentan putus sekolah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa bantuan sosial pendidikan pada prinsipnya harus diarahkan untuk memberi dorongan bagi siswa dari golongan miskin untuk memiliki sumber daya untuk mengikuti sekolah, maka penelitian ini mencoba merumuskan permasalahan dengan menjawab pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana penggunaan dana bantuan BBPP atau KJP oleh peserta didik Sekolah Menegah Atas Negeri yang berasal dari keluarga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, konsumsi dan transportasi.
Kerangka Teori
Ellis (dalam Sumodiningrat, 1999, h. 46) menjelaskan kemiskinan bersifat multidimensional, tidak hanya mengacu pada dimensi material atau ekonomi seperti tingkat pendapatan saja, melainkan dimensi lainnya seperti dimensi sosial dan budaya, maupun berdimensi struktural dan politik Pada dasarnya kemiskinan diartikan sebagai kondisi dimana terjadinya kekurangan materi jika dibandingkan dengan standar hidup masyarakat yang ada. Hal ini mengacu pada kemiskinan menurut Suparlan (1993, h. 12) yang didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang yang dibandingkan dengan standar kehidupan umum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. World Bank (2001) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketercabutan dari kehidupan yang layak. Miskin adalah keadaan kelaparan, kurang tempat tinggal, kurang sandang dan kurang pendidikan. Menurut defenisi ini, orang menjadi miskin bukan karena kelemahan mereka, namun karena hal itu terjadi diluar kendali mereka. Biasanya, karena kebijakan yang buruk dari institusi negara atau masyarakat yang tidak memperhatikan suara mereka.
6 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan penerima BBPP atau KJP ialah siswa yang berasal dari keluarga pengkategorian miskin menurut BPS. BPS membaginya menjadi 3 golongan, yaitu a. Sangat miskin (chronic poor, apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya setara Rp 120.000,- per orang per bulan). Kelompok ini merupakan yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin dimana secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial; b. Miskin (poor), apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya setara Rp 150.000 per orang per bulan. Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta huruf); dan c. Mendekati miskin (near poor, apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya Rp. 175.000 per orang per bulan). Kelompok rentan (vulnerable group), kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemisikinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok sebelumnya, namun rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya dan dapat berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial (Suharto, n.d. ). Dalam pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Pendidikan juga seringkali ditujukan sebagai upaya yang paling efektif untuk memerangi kemiskinan dan mengurangi ketidakadilan sosial diberbagai negara berkembang dan negara tertinggal. Secara jangka panjang pendidikan memberikan dampak positif yang sangat positif bagi sektor publik maupun swasta dan masyarakat secara keseluruhan. Namun pada saat yang sama, hingga saat ini yang menjadi permasalahan adalah tidak mudahnya usaha untuk mengatasi skill gap yang terjadi diantara latar belakang sosial ekonomi yang berbeda. Seringkali golongan masyarakat miskin belum mendapatkan akses 7 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
kepada pendidikan yang berkualitas yang sama dengan golongan masyarakat yang lebih mampu secara perekonomian (Leuven,2007). Gunawan (2010) menulis putus sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya. Putus sekolah bisa disebabkan karena berbagai alasan dan faktor. selain faktor yang berasal dari dalam diri (faktor internal) anak didik sendiri seperti faktor kemalasan dan ketidakmampuan diri, bisa juga karena faktor di luar (faktor eksternal) anak didik, seperti ketiadaan biaya dan sarana pendidikan, sebagaimana menurut Baharuddin M (1981), faktor yang menyebabkan terjadinya putus sekolah adalah, faktor kependudukan, faktor ledakan usia sekolah, faktor biaya (ekonomi), faktor kemiskinan, faktor sarana, faktor sekolah, faktor IQ (intelegensi) dan faktor mentalitet anak didik. Mare (1981) juga mengemukakan bahwa mereka yang gagal menyelesaikan sekolah berasal dari keluarga paling miskin. Hubungan yang terjadi antara pendapatan keluarga dengan pendidikan dapat kita lihat pada Juswanto (2001) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi permintaan masyarakat terhadap pendidikan adalah pendapatan keluarga, tingkat pendidikan orang tua, jumlah keluarga dan ketersediaan beasiswa. Keadaan peserta didik secara sosio ekonomi sangat mempengaruhi pencapaian dalam proses belajar mereka, dimana tingkat pendapatan keluarga berkorelasi secara positif dengan tingkat pencapaian anak dalam belajar. Kebutuhan akan sumber daya pendidikan akan mudah dipenuhi dalam keluarga yang memiliki tingkat pendapatan yang cukup, baik dari segi nutrisi, materi dan juga hal lain seperti ketenangan mereka dalam belajar tanpa ikut memikirkan tentang permasalahan ekonomi dalam keluarga. Kebijakan Sosial adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map) atau strategi, yang dirancang unutuk menterjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah kedalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (social welfare) (Suharto, 2010). Terkait dengan indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan sosial, Spicker (dalam Adi, 2005, h. 123) menggambarkan usaha kesejahteraan sosial, dalam kaitannya dengan kebijakan sosial itu sekurang-kurangnya mencakup lima bidang utama yang disebut dengan “big five”, yaitu kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial. kelima bidang ini sering dijadikan standar minimum untuk mengukur kesejahteraan masyarakat. 8 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
Suharto (2008) mendefinisikan kebijakan sosial (social policy) sebagai ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental). Sebagai kebijakan publik, kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya. Menurut pasal 14 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2009 bentuk perlindungan sosial yang dapat dilaksanakan, adalah melalui bantuan sosial, advokasi sosial dan/atau bantuan hukum. Dalam lanjutannya, yaitu pasal 15 ayat 1, bantuan sosial dimaksudkan agar seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar. Bantuan sosial dapat bersifat sementara dan/atau berkelanjutan dalam bentuk bantuan langsung, penyediaan aksesibilitas, dan/atau penguatan kelembagaan. Bantuan sosial dengan model peningkatan pendapatan, yaitu melalui bantuan uang tunai yang diberikan sebagai kompensasi penerima bantuan karena telah melaksanakan syarat yang ada (conditionality). Peningkatan pendapatan ini, guna membantu penerima bantuan dalam mengkonsumsi makanan bergizi, kesehatan dan pendidikan. Tabor (2002, h. 8) menggambarkan bahwa pemberian bantuan melalui bentuk bantuan tunai (cash transfer) memberikan kontribusi bagi penerima bantuan (beneficiaries) dalam hal peningkatan pendapatan serta kebebasan dalam memilih digunakan untuk apa. Dalam posisi seperti ini, pemberian bantuan melalui pemberian uang tunai harus dicermati secara cermat penentuan jumlahnya agar jumlah yang diberikan bisa membantu penerima secara tepat. Model bantuan in-cash pun memiliki kelemahan. Salah satunya seperti yang ditegaskan oleh Myrdal (dalam Gilbert, 1998, h. 117) yaitu bantuan melalui bentuk uang tunai susah untuk mengontrol penggunaannya sesuai dengan tujuan program. Menurut pasal 1 Ayat 1 dan 2 Permendikbud Nomor 24 Tahun 2013 menjelaskan bahwa belanja bantuan sosial di bidang pendidikan dan kebudayaan yang selanjutnya disebut belanja bantuan sosial adalah pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat di bidang pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan, risiko sosial di bidang pendidikan dan 9 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
kebudayaan yang selanjutnya disebut risiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan Belanja Bantuan Sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar di bidang pendidikan dan kebudayaaan. Dalam pasal 62 PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang dimaksudkan dalam biaya pendidikan dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Biaya investasi, antara lain biaya penyediaan sarana dan prasarana. 2. Biaya operasional, antara lain adalah gaji pendidik, barang habis pakai serta pembiayaan sarana penunjang lainnya; dan 3. Biaya personal, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh peserta didik untuk mengikuti proses pendidikan. Biaya yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah adalah pada biaya investasi dan operasional pendidikan. Biaya investasi adalah biaya penyelenggaraan pendidikan yang sifatnya lebih permanen dan kurun waktu melebihi waktu satu tahun yang pada umumnya berupa sarana dan prasarana. Biaya investasi memerlukan biaya yang relatif besar, antara lain berupa, bangunan sekolah, alat peraga, alat praktik, sumber belajar, buku-buku, media belajar, yang pada umumnya dapat dipakai lebih dari satu tahun. Biaya operasional adalah biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk menunjang proses pembelajaran, sehingga mampu menunjang proses dan hasil proses belajar mengajar sesuai dengan yang diharapkan. Biaya ini secara merata harus dialokasikan bagi terciptanya kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat agar dapat mengakses layanan pendidikan dengan kualitas yang memiliki standar yang sama. Sedangkan biaya personal merupakan tanggung jawab dari orang tua peserta didik, dalam bentuk penyediaan fasilitas pendukung anak mereka untuk mengikuti proses pendidikan, seperti uang saku/uang jajan, transport anak dari rumah ke sekolah pergi-pulang, peralatan tulis serta perlengkapan sekolah (seragam sekolah, sepatu, tas dan sebagainya). Dalam penelitian sebelumnya, Meirawan, Permana dan Triatna (2009), melakukan penelitian tentang Model Peta Pembiayaan Pendidikan Kab./Kota dalam Konteks Otonomi Daerah. Salah satu hasil dari penelitian ini menunjukkan biaya personal peserta didik SMA di Jawa Barat sebesar Rp 2.020.000 untuk sekolah bermutu rendah, Rp 3.515.000 untuk sekolah bermutu sedang, Rp 4.148.000 untuk sekolah bermutu tinggi per anak per tahun. Dengan proporsi biaya transport mencapai 38,06 persen, alat perlengkapan sekolah 19,31 persen, 10 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
uang saku yang diberikan orang tua menyumbang 33,28 persen, bimbel 6,34 persen, dan ekskul 3,01 persen. Selain itu, biaya yang dikeluarkan orang tua siswa SMA melalui biaya operasional melebihi biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah melalui dana BOS.
Metodologi Penelitian
Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk menggambarkan penerimaan uang peserta didik yang diterima bersumber dari orang tua dan dana bantuan KJP, pengeluaran peserta didik di pendidikan, konsumsi dan transportasi serta pemanfaatan dana bantuan BBPP melalui KJP oleh peserta didik SMA Negeri dari keluarga tidak mampu untuk ketiga bidang tersebut, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Dijelaskan bahwa dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha menemukan kebenaran yang berlaku dengan berfokus pada pengukuran umum untuk topik yang diteliti dan menguji teori dan hipotesis secara objektif (Neuman, 2007). Berdasarkan tujuan penelitiannya, jenis penelitian ini bersifat deskriptif. Menurut Neuman (2006), tujuan penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan secara lengkap sehingga didapatkan gambaran yang akurat, menemukan data baru yang berbeda dengan data-data yang telah ada, membetuk sebuah kategori atau klasifikasi, mengklarifikasi suatu masalah secara bertahap atau bertingkat. Penelitian deskriptif disajikan dalam bentuk data grafik yang berguna untuk (Nasution, 2007): a. Mengetahui karakteristik dari objek penelitian. b. Menggambarkan aspek pada kondisi tertentu. c. Dapat memberikan ide bagi penelitian selanjutnya. d. Digunakan untuk mengambil keputusan sederhana. Penelitian ini membahas bagaimana pemanfaatan dana bantuan oleh peserta didik penerima bantuan setelah mereka memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan bantuan. Bantuan yang diberikan ditujukan untuk warga usia sekolah di DKI Jakarta yang berasal dari kalangan masyarakat tidak mampu dapat menamatkan pendidikan minimal sampai dengan jenjang pendidikan menengah. Hal inilah yang ingin dilihat dalam penelitian ini, bagaimana pemanfaatan dana bantuan menunjang peserta didik SMA Negeri dari keluarga tidak mampu dapat menyelesaikan studinya serta meningkatkan kualitas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta secara signifikan. Hasil akhir yang dicapai dalam penelitian ini akan memberikan 11 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
gambaran tentang pola pemanfaatan dana bantuan yang diberikan kepada peserta didik SMA Negeri penerima bantuan Bantuan Biaya Personal Pendidikan melalui Kartu Jakarta Pintar. Melihat populasi yang besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi karena keterbatasan aksesibilitas, dana, tenaga dan waktu. Peneliti memilih populasi peserta didik SMA karena melihat biaya pendidikan yang harus di tanggung orang tua lebih besar dibandingkan orang tua peserta didik SMK. Selain itu, peneliti memilih SMA Negeri didasarkan jumlah peserta didik yang lebih besar dibandingkan SMA Swasta. Data yang ada pada Dinas Pendidikan DKI Jakarta Tahun 2012 pun menunjukkan peserta didik SMA Negeri yang putus sekolah berjumlah 342 orang dibandingkan peserta didik SMA Swasta yang putus sekolah berjumlah 177 orang. Tabel 4. Jumlah Populasi dan Sampel Kabupaten/Kota Administratif
Populasi Peserta Didik
Sampel Sekolah
Banyaknya Peserta Didik
Banyaknya Sampel
Jakarta Barat
1164
SMAN 17 Jakarta
145
20
Jakarta Pusat
873
SMAN 7 Jakarta
128
15
Jakarta Selatan
553
SMAN 74 Jakarta
108
15
Jakarta Timur
1097
SMAN 58 Jakarta
115
15
Jakarta Utara
1262
SMAN 92 Jakarta
225
25
721
90
Total
Sumber: Penerima Kartu Jakarta Pintar SMA/SMK/MA Semester II Tahun 2013, Dinas Pendidikan DKI Jakarta (diolah)
Dalam penelitian ini data diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden penelitian. Menurut Sugiyono (2009) kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Terdapat 2 konsep yang ditanyakan kepada responden, yaitu pertama, Penerimaan Peserta Didik, merupakan uang masuk yang diperoleh oleh peserta didik SMA Negeri dari keluarga tidak mampu bersumber dari orang tua dan dana bantuan KJP selama satu bulan terakhir saat pengambilan data berlangsung. Kedua, Pengeluaran Peserta Didik, merupakan uang keluar yang digunakan peserta didik SMA Negeri yang berasal dari keluarga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan (perlengkapan sekolah), konsumsi, dan transportasi (pergi-pulang dari tempat tinggal ke sekolah). 12 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
Hasil Penelitian
Potret kemiskinan peserta didik penerima bantuan BBPP melalui KJP ini dapat dilihat dari latar belakang rumah tangga peserta didik. Pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh orang tua peserta didik adalah buruh. Dapat dikatakan keluarga peserta didik tersebut masuk ke dalam kategori miskin menurut BPS yang menjadi acuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan penerima bantuan BBPP melalui KJP. Salah satu faktor peserta didik mengalami putus sekolah yang di ungkap Baharuddin adalah faktor eksternal, dengan kondisi yang ditemukan saat penelitian peserta didik sangat rentan terhadap keberlangsungan aktivitasnya di sekolah. Seperti yang Juswanto kemukakan dimana tingkat pendapatan keluarga, pendidikan orang tua dan pekerjaan rang tua berkorelasi secara positif dengan tingkat pencapaian anak dalam belajar. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan penerima bantuan BBPP melalui KJP ini berdasarkan data PPLS Tahun 2011 serta terdapat persyaratan yang harus dipenuhi peserta didik. Menurut tujuannya BBPP melalui KJP ini termasuk dalam bantuan sosial yang berfungsi preventif, mencegah anak putus sekolah. Akan tetapi sayangnya, sebagian besar peserta didik tidak mendapat besaran bantuan yang sesuai. Beberapa peserta didik mengaku dalam rekeningnya dana yang terpotong sebesar Rp 1.000 sampai Rp 50.000. Hal ini menunjukkan belum berfungsi dengan baik sistem banking payment yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dan Bank DKI karena besaran dana yang diterima oleh peserta didik berbedabeda. Baik peserta didik yang menerima bantuan sesuai dengan besarannya atau tidak sesuai, sebagian besar menerima uang dari orang tua sebesar Rp 10.000 – Rp 20.000, hal ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya terkait latar belakang rumah tangga peserta didik yang rata-rata tergolong miskin. Hal ini berarti setiap bulannya peserta didik menerima uang yang di berikan orang tua sebesar Rp 300.000 sampai Rp 600.000. Jika di total dengan dana bantuan BBPP melalui KJP yang diterima peserta didik sebesar Rp 240.000, setiap bulannya peserta didik mengantongi uang sebesar Rp 540.000 sampai Rp 840.000. Hal ini belum ditambah jika peserta didik memiliki pendapatan lain. Biaya personal peserta didik merupakan kebutuhan pendukung anak mengikuti proses pendidikan dan merupakan tanggung jawab orang tua. Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan 13 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
Rp 1.160.000 untuk perlengkapan sekolah (seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis) serta kebutuhan fotocopy dan penugasan. Pengeluaran peserta didik di pendidikan (perlengkapan sekolah dan lainya) terlihat bervariasi. Dari alokasi dana BBPP melalui KJP sebesar Rp 1.160.000 untuk perlengkapan sekolah, terlihat peserta didik hanya memanfaatkan sepertiga dana bantuan untuk kebutuhan perlengkapan sekolah. Total pengeluaran peserta didik untuk perlengkapan sekolah yang terdiri dari pakaian seragam sekolah, sepatu dan kaos kaki, tas serta alat tulis berkisar sebesar Rp 350.000 – Rp 400.000 lebih dalam 1 semester, dengan demikian alokasi Pemprov DKI Jakarta dapat dikatakan sangat cukup untuk kebutuhan perlengkapan sekolah. Pemberian dana BBPP melalui KJP dilakukan 6 bulan sekali atau 1 kali dalam 1 semester membuat dana terkumpul cukup besar bagi peserta didik yaitu sebesar Rp 1.440.000. Alhasil peserta didik pun membelanjakan dana bantuan yang diterima untuk membeli perlengkapan sekolah yang baru, meskipun demikian terdapat beberapa peserta didik yang tidak membeli perlengkapan sekolah yang baru. Jika melihat hasil penelitian Meirawan, dkk (2009) memang pengeluaran peserta didik untuk perlengkapan sekolah tidak terlalu besar, yaitu 19,31 persen. Hanya dimanfaatkan sebagian dari alokasi yang ditetapkan untuk perlengkapan sekolah, peserta didik pun dapat memanfaatkan alokasi perlengkapan sekolah untuk kebutuhan lain, seperti konsumsi dan transportasi. Dalam hal pengeluaran peserta didik untuk konsumsi yang terdiri dari makanan pokok, makanan ringan, makanan jadi dan minuman juga terlihat bervariasi. Total pengeluaran peserta didik untuk konsumsi sebesar Rp 30.000 – Rp 40.000 setiap harinya. Alokasi konsumsi yang di berikan Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 400.000 per tahun jelas tak mencukupi kebutuhan konsumsi peserta didik meskipun dalam standar baku penggunaan BBPP melalui KJP, kebutuhan tambahan makanan dan minuman bersifat tentatif. Hal ini pula yang menyebabkan pemanfaatan dana BBPP untuk konsumsi rawan dialihkan peserta didik untuk kebutuhan lainnya atau biaya darurat yang dibutuhkan keluarga karena kebutuhan konsumsi peserta didik dapat menggunakan uang yang diterima orang tua. Sedangkan dalam hal transportasi, cermin peserta didik berasal dari keluarga tidak mampu terlihat dari hampir sebagian besar menaiki angkutan umum dari tempat tinggal ke sekolah. Biaya transportasi peserta didik cukup besar bahkan terhitung separuh dari biaya konsumsi mereka, pengeluaran biaya transportasi peserta didik setiap hari berkisar Rp 5.000 – Rp 10.000. Dalam sebulan ongkos yang harus dikeluarkan sebesar Rp 150.000 sampai Rp 300.000. Tak heran jika Pemprov DKI Jakarta mengganggarkan porsi terbesar dari BBPP melalui KJP ini untuk biaya transportasi peserta didik sebesar Rp 1.320.000 per tahun untuk 14 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
2-4 perjalanan pergi-pulang peserta didik dari tempat tinggal ke sekolah. Hal ini semakin mempertegas hasil penelitian Meirawan, dkk (2009) bahwa biaya transport peserta didik SMA mencapai 38,06 persen dari total biaya personal yang dibutuhkan untuk mengikuti pendidikan. Tabel 5. Perbandingan Besaran Biaya BBPP dan Hasil Penelitian
No
Unit Kebutuhan
Besaran biaya BBPP per peserta didik SMA per tahun
1
Transport dari tempat tinggal ke sekolah (pergipulang)
Rp 1.320.000
Rp 5.000 – Rp 10.000
2
Perlengkapan sekolah (pakaian seragam sekolah, sepatu, tas, dan alat tulis)
Rp 1.160.000
Rp 350.000 – Rp 400.000
3
Tambahan Makan dan Minum
Rp 400.000
Rp 30.000 – Rp 40.000
Rp 2.880.000
Dalam 1 tahun total biaya personal peserta didik lebih besar dibandingkan besaran biaya BBPP yang dialokasikan
Total
Hasil Penelitian
Sumber: hasil olahan penelitian
Dari tabel diatas dapat disimpulkan, Pemerintah provinsi DKI Jakarta perlu mengalokasikan besaran biaya bantuan BBPP kembali untuk ketiga unit kebutuhan yang ditetapkan, yaitu, transportasi, pendidikan (perlengkapan sekolah), dan konsumsi (tambahan makan dan minum). Untuk besaran biaya dana bantuan BBPP untuk perlengkapan sekolah dapat dikatakan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, karena peserta didik pun hanya memanfaatkan sepertiga alokasi untuk perlengkapan sekolah dalam 1 semester. Sedangkan, besaran biaya bantuan BBPP untuk transportasi peserta didik dari tempat tinggal ke sekolah (pergi-pulang) tidak mencukupi kebutuhan peserta didik, dalam sebulan peserta didik membutuhkan pengeluaran sebesar Rp 150.000 – Rp 300.000 untuk transportasi. Untuk konsumsi (tambahan makan dan minum), besaran biaya bantuan BBPP bahkan sangat jauh 15 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
untuk mencukupi konsumsi peserta didik yang setiap harinya sebesar Rp 30.000 – Rp 40.000. Namun demikian, peserta didik merasa bantuan BBPP melalui KJP cukup membantu kebutuhan personal mereka untuk mengikuti pendidikan di sekolah. Meskipun, sebagian kecil peserta didik masih merasa bantuan BBPP tidak mencukupi kebutuhan mereka dan besaran biaya bantuan BBPP melalui KJP perlu ditingkatkan. Masih ditemukan beberapa peserta didik yang memanfaatkan dana BBPP melalui KJP tidak sesuai standar baku penggunaan. Peserta didik bahkan dengan orang tua menggunakannya untuk kebutuhan yang lain. Bahkan ada peserta didik yang membeli handphone dan pakaian baru menggunakan dana BBPP melalui KJP. Dana BBPP melalui KJP pun terlihat dimanfaatkan peserta didik untuk biaya darurat, seperti digunakan untuk keperluan berobat anggota rumah tangga yang sakit, terkena bencana alam, banjir awal tahun. Sangat disayangkan dana BBPP melalui KJP digunakan beberapa orang tua peserta didik untuk membayar hutang dan kredit motor, jelas tidak sesuai dengan standar baku penggunaan bantuan. Peran pihak sekolah untuk mengawasi peserta didik dan orang tua sangat diperlukan karena mekanismenya pun sudah di atur. Secara keseluruhan, pengeluaran peserta didik yang dilihat dari penelitian ini adalah pengeluaran untuk pendidikan, konsumsi dan transportasi. Selain itu, juga terdapat pengeluaran lainnya yang dibutuhkan peserta didik. Dari pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner, secara umum peserta didik memanfaatkan dana bantuan sesuai standar baku program, yaitu untuk kebutuhan personal peserta didik. Tabor menggambarkan dengan sifatnya yang sepenuhnya dikontrol oleh penerima bantuan, dana bantuan yang diterima digunakan bervariasi oleh peserta didik. Temuan lapangan memperlihatkan adanya penggunaan dana bantuan yang digunakan untuk kebutuhan lain, selain kepentingan pendidikan, konsumsi dan transportasi. hal ini mengingat lemahnya kontrol terhadap bantuan dengan model in-cash menurut Myrdal. Walaupun begitu terdapat temuan menarik dalam penggunaan dana bantuan oleh peserta didik yang dialokasikan pada bidang lainnya. Seperti penggunaan dana bantuan yang oleh peserta didik dipakai untuk membeli sepeda. Hal ini di satu sisi berdampak positif bagi peserta didik, untuk transportasi dari tempat tinggal ke sekolah menggunakan sepeda. Dengan adanya bantuan BBPP melalui KJP peserta didik dapat terus mencukupi kebutuhan personal pendukung selama mengikuti jenjang pendidikan. Merujuk pengertian kesejahteraan sosial menurut Midgley yang mengartikan kesejahteraan sosial sebagai suatu 16 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik; ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi, dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalkan, dapat disimpulkan bahwa peserta didik yang dapat memenuhi kebutuhan personalnya untuk mengikuti proses pendidikan dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk mencapai kondisi kesejahteraan sosial. Apabila peserta didik berada pada kondisi ini, peningkatan mutu pendidikan pun tercapai.
Kesimpulan
Gambaran nyata biaya personal peserta didik SMA Negeri di Jakarta. Untuk pengeluaran peserta didik secara umum masih lebih besar dibandingkan penerimaan peserta didik yang berasal dari uang yang diterima dari orang tua setiap hari. Dalam hal pemanfaatan dana bantuan, peserta didik menggunakannya untuk pos-pos yang ada pada standar baku penggunaan bantuan BBPP melalui KJP, yaitu pendidikan (perlengkapan sekolah dan lainnya), konsumsi (tambahan makan dan minum) dan transportasi (pergi-pulang dari tempat tinggal ke sekolah). Pada pengeluaran peserta didik untuk pendidikan (perlengkapan sekolah dan lainnya) hampir seluruh peserta didik sanggup mencukupi kebutuhannya ditambah pula dengan adanya bantuan BBPP melalui KJP ini. Dalam 1 semester, peserta didik pun hanya memanfaatkan sepertiga dari alokasi bantuan BBPP yang telah ditetapkan untuk pengeluaran pendidikan (perlengkapan sekolah dan lainnya). Untuk pengeluaran konsumsi, peserta didik bersusah payah untuk memenuhi kebutuhannya karena latar belakang peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu. Alokasi BBPP untuk konsumsi (tambahan makan dan minum) pun sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Dalam transportasi, pengeluaran peserta didik cukup besar. Meskipun besaran biaya bantuan BBPP yang diperuntukkan transportasi paling besar, itupun belum mampu mencukupi kebutuhan peserta didik. Pemanfaatan dana bantuan oleh peserta didik bahakan orang tua untuk kebutuhan lainnya memperlihatkan penggunaan dana bantuan yang tidak dapat dikontrol. Hal ini sesuai dengan kelemahan model bantuan in-cash yang penggunaannya sulit untuk dikontrol oleh pembuat kebijakan. Meskipun dana bantuan BBPP mendongkrak penerimaan peserta didik setiap bulannya selain dari uang yang diterima dari orang tua, dana bantuan dapat dikatakan belum 17 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
proporsional untuk membantu kebutuhan personal peserta didik di bidang pendidikan, konsumsi dan transportasi.
Saran
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu menghitung kembali alokasi besaran biaya untuk kebutuhan personal peserta didik, yaitu pendidikan (perlengkapan sekolah dan lainnya), konsumsi (tambahan makan dan minum) dan transportasi (pergi-pulang dari tempat tinggal ke sekolah). Hasil penelitian menunjukkan, pengeluaran terbesar peserta didik untuk konsumsi dan transportasi. Untuk pendidikan, peserta didik sudah cukup mampu memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mengalokasikan besaran dana lebih besar untuk transportasi dan konsumsi diambil dari pos pendidikan. Melihat adanya pemanfaatan dana bantuan untuk kebutuhan lainnya yang dilakukan peserta didik bahkan orang tua, pengawasan dari pihak sekolah sangat diperlukan agar pemanfaatan dana bantuan sesuai standar baku penggunaan bantuan. Selain itu, pihak sekolah mengetahui kondisi peserta didik apakah memang layak mendapat bantuan atau tidak.
18 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
Daftar Referensi
Adi, Isbandi Rukminto. (2005). Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: FISIP UI Pers. Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers. Badan Pusat Statistik. (2005). Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. (2009). Statistik Pendidikan SUSENAS 2009. Jakarta: BPS. Baharuddin M. (1982). Putus Sekolah dan Masalah Penanggulangannya. Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda ’66. BPS Jakarta. (2013). Jakarta dalam Angka 2013. Jakarta: BPS Jakarta. Dinas Pendidikan DKI Jakarta. (2013). Pedoman Bantuan Biaya Personal Pendidikan (BBPP) bagi Peserta Didik dari Keluarga Tidak Mampu melalui Kartu Jakarta Pintar. Jakarta: Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Dinas Pendidikan DKI Jakarta. (2013). Penerima Kartu Jakarta Pintar SMA/SMK/MA Semester II Tahun 2013. Jakarta: Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Edwin Leuven, M.L. (2007). The Effect of Extra Funding for Disadvantaged Pupils on Achievements. The Review of Economics and Statistic. Gilbert, Neil., Terrell , Paul. (1998). Dimension of Social Welfare Policy. Massachusetts: Allyn and Bacon. Gunawan, Ary H. (2010). Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Juswanto, Wawan (2010). Distribution of Government Expenditure and Demand for Education
Services
:
The
Case
of
Indonesia.
April
28,
2014.
http://www.ecomod.org/files/papers/875.pdf Mare, R.D. (1981). Change and Stability in Educational Stratification. American Sosiological Review Meirawan, Permana dan Triatna. (2009). Model Peta Pembiayaan Pendidikan Kab./Kota dalam Konteks Otonomi Daerah. FIP UPI. 19 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014
Nasution, Mustafa Edwin dan Usman Hardius. (2007). Proses Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia. Neuman, W. Lawrence. (2007). Basic of Social Research Qualitative and Quantitative Approaches Second Edition. Boston: Pearson Education, Inc. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Pedoman Umum Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. SMERU. (2003). Newsletter No. 06: Apr-Jun/2003. Jakarta Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta CV. Suharto, E. (n.d.). Konsep dan Strategi Pengentasan Kemiskinan Menurut Perspektif Pekerjaan
Sosial.
Mei
18,
2014.
http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_13.htm Suharto, Edi. (2008). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta CV.
Suharto, Edi. (2010). Analisis Kebijakan Publik Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta. Sumodiningrat, G., Santosa, B., dan Maiwan, M. (1999). Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan. Jakarta: IMPAC. Suparlan, Parsudi (ed). (1993). Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tabor, Steven R. (2002). Assisting the Poor with Cash: Design and Implementation of Social Transfer Program.Washington D.C, USA: The World Bank. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. World Bank. (2001). World Development Report 2000/2001 Attacking Poverty. Washington DC: Oxford University Press
20 Pemanfaatan dana kebijakan bantuan ..., Mulki, FISIP UI, 2014