1
Moratorium Hutan Berbasis Pancasila Bernadinus Steni1 2011
Mengapa Indonesia Berdiri Para pendiri bangsa telah membayangkan sejak dini bahwa Indonesia adalah Republik untuk rakyat banyak. Hingga kini bayangan itu masih terpampang jelas dalam pembukaan UUD 1945 dan pada dasar negara_Pancasila_meski maknanya barangkali terus mengkerut seiring dengan ketidakpedulian yang makin akut dari para pengelola negara terhadap dua fundamen negara tersebut. Paragraf terakhir pembukaan UUD 1945 menegaskan sebagai berikut: Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan pembukaan UUD 1945 di atas merupakan kekuatan politik paling sahih yang seharusnya menjadi dasar legitimasi pemerintahan yang berkuasa di negeri ini. Rumusan ini sekaligus mengukur seberapa jauh kesahihan pemerintah dalam mengelola negara untuk mencapai tujuan utama pembentukannya. Ukuran-ukuran konstitusional yang menjadi alasan mengapa pemerintahan terbentuk sangatlah jelas, yakni: (1) melindungi bangsa dan tanah air; (2) memberikan kesejahteraan kepada semua warga negara; (3) mencerdaskan warga; (4) berkontribusi dalam menciptakan tatanan dunia yang damai. Namun faktanya, satu per satu tujuan tersebut ditelikung oleh berbagai kepentingan lain yang membuat keempatnya lebih sering menjadi pemanis bibir dalam propaganda politisi menjelang PEMILU. Manifesto ini melihat bahwa dalam hal pencapaian kesejahteraan umum saja, terutama dalam hal manfaat dari hasil kekayaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah ruah, pemerintah gagal mendistribusikan dan mengelola aset sumber daya alam bangsa secara adil dan berkelanjutan. Padahal pasal 33 ayat (3) konstitusi telah menegaskan bahwa Negara wajib mempergunakan sumber daya alam untuk kesejahteraan umum, bukan pribadi, golongan atau hanya segelintir elit tertentu. Rumusan ayat tersebut menegaskan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apakah benar bahwa sumber daya alam di Indonesia memang sudah dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat ? 1
Program Manager HuMa
1
2
Fakta-Fakta bahwa Sumber Daya Hutan TIDAK Dipergunakan Sebesar-besarnya untuk Kemakmuran Rakyat Fakta pertama menunjukan bahwa setelah 67 tahun Indonesia merdeka, masyarakat di sekitar hutan yang kaya sumber daya justru mengalami kemiskinan yang paling parah dalam segala aspek. Menurut data Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), besarnya persentase keluarga miskin yang tinggal di desa hutan lebih dari dua kali persentase keluarga miskin di Indonesia. Setidaknya, terdapat dua lapis kategori kemiskinan di kawasan hutan. Pertama, dari 848.575 keluarga yang memperoleh pendapatan seluruhnya dari kawasan hutan, 45% di antaranya masuk dalam kategori keluarga miskin. Kedua, dari sebanyak 8.456.684 keluarga yang memperoleh sebagian pendapatan dari kawasan hutan, 37,7 % di antaranya masuk kategori keluarga miskin.1 Sementara itu, data Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi dengan hutan dan 71,06% dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.2 CIFOR (2006) menyebutkan bahwa 15% dari 48 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat miskin.3 CIFOR (2007) juga mencatat bahwa ada korelasi yang kuat di antara tingkat kemiskinan dan luas tutupan hutan.4 Data lain dari Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010 – 2014 menunjukkan bahwa pada tahun 2003, terdapat sekitar 10,2 juta orang miskin yang berada di sekitar wilayah hutan.5 Sementara itu, data lain yang dirilis oleh Dephut dan BPS di tahun 2007 memperlihatkan masih adanya 5,5 juta orang yang tergolong miskin di sekitar kawasan hutan.6 Sementara itu, kebijakan pemberdayaan masyarakat melalui skema perijinan berupa HKm, Hutan Desa, maupun HTR berjalan sangat lambat. Sejak kebijakan ini diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2007, hingga Desember 2010 baru ditetapkan areal kerja HKm seluas 78.901,36 hektar, Hutan Desa seluas 13.351 hektar dan HTR seluas 631.638 hektar. Sedangkan untuk perizinan sampai Desember 2010, Bupati/Walikota telah menerbitkan 11 IUPHKm dengan luas 19.711,39 hektar, Gubernur menerbitkan 5 HPHD dengan luas 10.310 hektar dan Bupati/Walikota menerbitkan 54 IUPHHK-HTR dengan luas 90.414,89 hektar. Pencapaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan perijinan yang diberikan pemerintah kepada pengusahaan hutan skala besar. Jumlah unit HPH (IUPHHK-HA) pada tahun 2009 saja sebanyak 304 unit HPH dengan luasan 25,7 juta hektar, sedangkan jumlah unit HPHTI (IUPHHK-HT) sampai tahun 2008 sebanyak 227 unit dengan luasan 10,03 juta hektar. Kesenjangan penguasaan atas kawasan hutan ini menciptakan ketimpangan sosial luar biasa yang harus ditangani dan dibalikkan kecenderungannya. Fakta lain memperlihatkan bahwa dari 133 juta kawasan hutan di Indonesia, lebih dari separuhnya dialokasikan untuk kepentingan industri kehutanan dengan asumsi bahwa kesejahteraan akan mengalir deras dari kantong para pemodal ke warga miskin yang hidup di dalam dan sekitar sumber daya hutan. Namun, hingga saat ini tidak ada bukti bahwa hasil operasi industri sekala besar tersebut memang memberikan kemakmuran sebesar-besarnya untuk rakyat. Dalam pembagian hasil keuntungan, misalnya, bahkan kawasan lindung yang diperuntukan untuk tambang hanya dihargai Rp 300 per meter per segi.7 Di Papua, proyek LNG Tangguh menghargai tanah warga dengan Rp 15 per meter segi. Nilai tersebut bukan hanya melanggar ukuran “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tetapi juga penghinaan terhadap rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di Republik ini dan pelanggaran terhadap standar kemanusiaan. Fakta selanjutnya memperlihatkan bahwa kebijakan kehutanan yang menetapkan kawasan hutan berbasis klaim penunjukan sejak 1970-an hingga saat ini hanya dilakukan lewat kajian-kajian di atas meja dan peta-peta vegetasi berdasarkan citra penginderaan jarak jauh dan didukung oleh proses penilaian bio-fisik yang sangat rumit, sama sekali tidak disertai kriteria sosial yang melibatkan rakyat yang berdaulat dan seharusnya memiliki otoritas penuh terhadap sumber daya alam. Meksipun 2
3 pasca-kejatuhan regim otoriter Soeharto lahir otonomi daerah yang melahirkan kompromi terhadap luas kawasan melalui padu serasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, namun rakyat tidak pernah hadir sebagai subyek yang menentukan arah kebijakan kehutanan termasuk manfaat sebesar-besarnya untuk rakyat.8 Padu serasi tersebut malah tetap mengukuhkan penguasaan Kementrian Kehutanan terhadap 62% daratan di Indonesia sebagai kawasan hutan. Fakta berikutnya adalah klaim negara untuk menunjuk kawasan hutan diperoleh dari konsep hukum kolonial, domein verklaring, atau penguasaan negara. Konsep ini sepenuhnya merupakan kelanjutan dari konsep kolonial yang diperkenalkan Raffles pada 1813 untuk memperketat kontrol penjajah atas tanah.9 Pasca-kemerdekaan, konsep ini dipertahankan dan diterjemahkan sebagai Hak Menguasai Negara (HMN). Dalam perkembangan selanjutnya, konsep HMN oleh pejabat publik bahkan para hakim diterjemahkan tidak lagi menjadi hak publik yang melekat pada negara dan bisa didelegasikan ke pemerintah dan masyarakat hukum adat (Harsono, 2007: 23-24) tetapi segera dipahami sematamata sebagai hak pemerintah yang pada prakteknya memangkas dan mengabaikan hak-hak warga negara (Subadi, 2010: 86 – 88).10 Pada level kebijakan, pemahaman ini menjadi masalah serius yang mengangkangi hak dasar untuk hidup dan bertempat tinggal. Misalnya, melalui P. 50/MenhutII/2009, Kementrian Kehutanan membuat aturan “pemutihan” dengan mengatakan bahwa meskipun status kawasan hutan hanya berupa penunjukan Menteri dan belum menempuh proses tata batas, status hutan dianggap sah sebagai kawasan hutan yang mempunyai kekuatan hukum.11 Artinya, semua hutan yang sudah ditunjuk dianggap sebagai hutan negara yang tidak dibebani jenis hak apapun. Orang yang tinggal di dalam hutan tersebut dianggap mendiami hutan negara secara ilegal yang suatu saat bisa saja dikeluarkan atau dipidana karena dikategorikan sebagai penghuni ilegal. Akibat lenyapnya pertimbangan hak dalam penentuan kawasan hutan, konflik antara masyarakat yang mendiami kawasan hutan pun meletus. Jaringan masyarakat sipil mencatat banyak laporan mengenai hal ini. HuMa, misalnya, mencatat 85 konflik konflik sumber daya alam di bidang kehutanan di enam propinsi dengan luas wilayah yang dipersengketakan seluas 2.445.539,31 hektar. Konflik paling banyak terjadi antara komunitas dengan perusahaan (91,14%) diikut dengan konflik dengan Pemerintah Pusat (7,93%), Pemerintah Daerah (0,45%), selanjutnya BUMN (0,42%) dan terakhir konflik dengan kelompok masyarakat yang dibentuk untuk suatu proyek atau program tertentu. Akibat konflik ini, banyak masyarakat yang kehilangan hak atas hutan dan bahkan dipenjara karena dianggap menghuni kawasan hutan negara secara melawan hukum atau illegal. Fakta lain memperlihatkan bahwa institusi negara yang diberi mandat untuk mengelola hutan justru gagal mempertahankan kelestariannya semata-semata untuk melanggengkan bisnis sekelompok orang yang bertahun-tahun merusak hutan. Hingga saat ini, laju deforestasi tidak berkurang dari 1 juta hektar per tahun. Pemicu utama deforestasi dan degradasi hutan adalah pemberlakuan kebijakan deforestasi terpimpin lewat berbagai produk hukum sejak 1967 sampai saat ini yang memberikan dasar hukum pembukaan hutan dan lahan gambut secara brutal tanpa pembatasan berarti. Dari studi Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) laju deforestasi di hutan gambut terbesar dari tahun 2000-2005 terjadi di area untuk penggunaan lain (APL) sebesar 36% diikuti oleh hutan produksi, HP (31%), Hutan Produksi untuk Konversi, HPK (15%), Hutan Lindung, HL (10%) dan Hutan Produksi Terbatas, HPT (8%) (MoFo, 2008). Sebagian besar wilayah-wilayah ini adalah lokasi konsesi atau bekas konsesi yang salah urus oleh pemegang izin (perusahaan) maupun pemerintah.
Saatnya Berhenti dan Mengkoreksi Diri Persoalan kemiskinan, distribusi sumber daya hutan yang tidak adil, konflik sosial dan punahnya hutan harusnya menjadi alasan yang cukup untuk melakukan jeda eksploitasi terhadap hutan. Dalam konteks inilah perlunya kebijakan moratorium. Per definisi, moratorium bukanlah konsep baru tapi 3
4 merupakan bagian dari tindakan hukum atau langkah hukum untuk menunda kewajiban hukum.12 Syarat pertamanya adalah adanya ancaman yang jelas dan nampak (clear and present danger). Mempertimbangkan fakta-fakta di atas, moratorium harus segera dilakukan untuk mencegah kerusakan dan kehancuran lebih besar. Kedua, proporsionalitas. Artinya, jika melihat ancaman yang ada saat ini maka tindakan moratorium yang proporsional adalah berbasis capaian tertentu, bukan periode, dengan menargetkan pelaku yang terbukti secara sosial memicu konflik dan melanggengkan kemiskinan dan secara ekologis tidak mampu mengelola hutan secara lestari. Obyek moratorium yang proporsional harusnya mencakup seluruh hutan yang diklaim sebagai kawasan hutan. Ketiga, moratorium merupakan bagian dari kepemimpinan (art of leadership). Dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan berani mengambil sikap tegas terhadap pengabaian hak dasar warga negara yang telah terjadi puluhan tahun sekaligus ancaman kehancuran hutan yang mengurangi kualitas hidup generasi Indonesia ke depan. Keempat, peluang hukum yang relevan sudah tersedia. Dalam regim hukum Internasional, Indonesia terlibat dalam skema REDD+ yang mendesak agar negara-negara yang menguji coba skema REDD+ menyediakan perlindungan dan pemenuhan hak yang memadai dari masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Dalam COP 16 di Cancun Mexico, keputusan COP FCCC/CP/2010/7/Add.1 antara lain memberikan sejumlah rekomendasi ke negara-negara berkembang agar mengadopsi rambu-rambu pengaman (safeguards) dalam REDD untuk melindungi hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Paragraf 70, menyebutkan: Negara-negara berkembang diminta untuk mengembangkan "... sebuah sistem untuk memberikan informasi mengenai bagaimana safeguards yang disebut dalam Lampiran I ... ditangani dan dihormati di seluruh [pelaksanaan kegiatan REDD], sambil menghormati kedaulatan." Lampiran 1 menyebutkan sejumlah safeguards yang harus dipromosikan dan didukung, antara lain: Menghormati pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dengan memperhatikan kewajiban internasional terkait…..dan mengingat bahwa Majelis Umum PBB telah mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat Masyarakat Sebagai pihak dalam COP tersebut, Indonesia harus konsisten dalam sikap moral dan taat secara hukum. Selain itu, konstitusi dan aturan hukum nasional memiliki rumusan yang mengharuskan adanya sejumlah perubahan dan penyesuaian cara pembangunan karena alasan lingkungan hidup. Misalnya, TAP MPR No IX/MPR/2001, Undang-Undang Tata Ruang, Undang-undang Hak Asasi Manusia. Bahkan pasal 121, UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan dua langkah hukum bagi semua jenis usaha. Pertama, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, sejak berlakunya UU ini, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup. Kedua, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup. Audit lingkungan dan dokumen pengelolaan lingkungan dalam Undang-undang ini adalah tindakan review untuk memeriksa ketaatan pelaku usaha terhadap peraturan yang ada. Dalam kaitannya
4
5 dengan hak masyarakat, jika ditemukan bahwa pelaku usaha melanggar hak-hak masyarakat dan memicu konflik, seharusnya diberikan sanksi yang tegas.
Moratorium Adalah Tindakan Konstitusional dan ProPancasila Menimbang semua alasan konstitusional dan syarat hukum di atas maka kebijakan moratorium adalah sah secara hukum dan Pancasila (Suparto Wijoyo, 2011). Pertama, moratorium adalah upaya satu-satunya untuk menghentikan praktik pengabaian mandat konstitusi untuk mempergunakan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Fakta kemiskinan, konflik dan deforestasi puluhan tahun menunjukan pemerintahan dari masa ke masa gagal menjalankan mandat konstitusi. Kedua, moratorium adalah implementasi dari tujuan mendirikan negara dan membentuk pemerintah yakni menyejahterakankehidupan bangsa. Fakta kemiskinan dan kehancuran lingkungan akibat praktek pembangunan selama ini sama sekali tidak menunjukan orientasi pemerintahan dari waktu ke waktu yang menyejahterakan kehidupan bangsa. Sebaliknya, pemerintah memberi ruang penghancuran hutan secara sistematis dan pengabaian hak-hak konstitusional warga negara. Alasan-alasan konstitusional ini merupakan dasar untuk memberlakukan moratorium dalam arti yang luas, di sini dan sekarang ini. Berdasarkan alasan-alasan ini, maka kami melihat bahwa Inpres No 10 Tahun 2011 yang dikeluarkan untuk merespons usulan moratorium merupakan langkah hukum setengah hati dan bukan merupakan moratorium berbasis Pancasila, bukan pula moratorium yang konstitusional. Moratorium yang Pancasilais dan konstitusional adalah moratorium dalam arti yang luas sebagaimana kami lampirkan dalam manifesto ini. Moratorium dalam arti luas tersebut didukung oleh jaringan masyarakat sipil dan rakyat yang hidup di dalam dan sekitar hutan yang merupakan pemegang kedaulatan tertinggi di Republik ini dan mendesak pemerintah untuk melakukan perbaikan regim pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan, secara menyeluruh, demi mewujudkan mandat konstitusi. Hanya dengan itu, regim pemerintahan saat ini akan dikenang sebagai regim yang menjalankan konstitusi, berjiwa pancasila dengan mengakui hak-hak rakyat dan melestarikan lingkungan. Endnotes 1
Dudi Krisnadi, 30 Sept 2010, lihat http://www.kabarbisnis.com/opini/2814996Masyarakat_Desa_Hutan__Komunitas_yang_Terabaikan.html, 30 Sept 2010 2
Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2007, Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007, Jakarta: Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statisitk 3 Rositah, Erna, 2006, Kemiskinan Masyarakat Desa Sekitar Hutan dan Penanggulangannya (Governance Brief), Bogor: CIFOR 4 W.D. Sunderlin, Sonya Dewi and Atie Puntodewo, 2007. Poverty and forests: multi-country analysis of spatial association and proposed policy solutions. Bogor: CIFOR 5 Permenhut P.51/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan 2010 – 2014 6 Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2007, Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007, Jakarta: Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik. 7 Lihat Perpres No 2 Tahun 2008
5
6
8
Arnoldo Contreras dan Chip Fay, 2006, Memperkokoh Pengelolaan Hutan di Indonesia melalui Pembaruan Penguasaan Tanah, World Agroforestry Centre, Bogor, hal. 18 9 Lynch dan Harwell, 2002, Whose Natural Resources ? Whose Common Good ?, Elsam, HuMa, Jakarta, hal. 19-43 10 Lihat interpretasi Hak Menguasai Negara dalam putusan judicial review atas UU Migas. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_eng_PUTUSAN%20PUU%20%20002-I2003%20(UU%20Migas)%20-%20English.pdf) 11 Menurut UU Kehutanan ada empat proses pengukuhan kawasan hutan: (1) penunjukan kawasan hutan, (2) penataan batas kawasan hutan, (3) pemetaan kawasan hutan, dan (4) penetapan kawasan hutan. Lihat pasal 15 UU Kehutanan. Tetapi proses ini dipangkas oleh Permenhut 50/2009 dengan mengatakan bahwa Kawasan hutan telah mempunyai kekuatan hukum apabila : a. telah ditunjuk dengan keputusan Menteri; atau b. telah ditata batas oleh Panitia Tata Batas; atau c. Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan telah disahkan oleh Menteri; atau d. Kawasan Hutan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Artinya, dengan menempuh salah satu dari empat tahapan ini saja, status hutan sah menjadi kawasan hutan negara (lihat pasal 2 ayat 1 Nomor : P. 50/Menhut-II/2009) 12 Benny Danang Setianto, “Mission Impossible”, materi presentasi dalam diskusi Argumentasi Hukum untuk Moratorium, Hotel Cemara, 27 April 2011
6