Report Monitoring Moratorium II “Menakar Implementasi Moratrium dan Komitmen Perlindungan Hutan Tersisa Di Kalimantan Tengah” Draft _1
OLEH: FANDY AHMAD CHALIFAH
A.
Pendahuluan
Komitmen penurunan emisi Indonesia sebesar 26%-41% dari BAU (Business As Usual) pertama kali di umumkan di Pittsburgh dalam sebuah pertemuan negara-negara yang tergabung dalam G20, pada September 2009. Pengumuman atas komitmen tersebut mendapat sambutan yang cukup hangat dari negara-negara anggota G20, bahkan dunia internasional yang berharap komitmen tersebut akan mengubah dinamika perundingan perubahan iklim menjadi lebih maju. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam pidato kenegaraan dalam acara Pertemuan Puncak Perubahan Iklim di Copenhagen, Desember 2009. Dimana Presiden SBY secara jelas menegaskan dalam pidatonya untuk tetap mempertahankan hutan dari pada menebangnya "Keep the trees up than chop them down… the only dogma is human survival”. Hal ini menjadi catatan tersendiri, terutama bagi negara yang hampir 80% emisinya bersumber dari dari deforestasi dan perubahan peruntukan lahan hutan (LULUCF). Secara politik statement ini adalah sebuah langkah maju dari sebuah komitmen. Komitmen penurunan emisi Indonesia mendapat sambutan baik dari negara donor terutama Norwegia untuk membantu terwujudnya penurunan emisi tersebut. Hal tersebut bermuara pada sebuah penandatanganan Surat Niat (Letter of Intent) dimana Norway akan mengucurkan dana sebesar U$1 milliar serta Indonesia akan melaksanakan beberapa hal antara lain, Memilih propinsi percontohan; Merancang Strategi Nasional untuk REDD+; Mendirikan Lembaga Pelaksana REDD; Membangun mekanisme dan lembaga untuk Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MRV); serta Membangun Lembaga Pendanaan serta mekanisme distribusi. Disebutkan pula bahwa Indonesia akan melakukan penundaan pemberian ijin baru di atas hutan alam selama dua tahun. Di samping itu penyelesaian konflik juga menjadi salah satu perhatian dalam surat Niat yang ditandatangani 26 Mei 2010 tersebut. Surat niat baik yang ditandatangani dengan Norway tersebut hanya salah satu dari beberapa bantuan lainnya, yang juga menunjukan dukungan atas komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi. Sebut saja bantuan dari Pemerintah Australia melalui IAFCP, Pemerintah Jerman dengan proyek percontohan REDD di Sumatera Selatan dan beberapa inisiatif bantuan lainnya1. Penundaan penerbitan ijin baru atas pemanfaatan hutan (baca; moratorium) diharapkan dapat menjadi titik awal pembenahan tata kelola sektor kehutanan di Indonesia. INPRES No.10 tahun 2011 tentang Moratorium yang kemudian diperpanjang dengan INPRES No. 6 tahun 2013. Ini dapat dikatakan sebagai sebuah langkah maju secara politik hanya saja langkah maju tersebut tidak diimbangi dengan substansi yang cukup berarti bagi penyelamatan hutan Indonesia dan pengurangan emisi.
1
BRIEFING PAPER: Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia & Iklim Global MEMBACA INPRES NO. 10 TAHUN 2011 TENTANG PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARU DAN PENYEMPURNAAN TATA KELOLA HUTAN ALAM PRIMER DAN LAHAN GAMBUT
Di masa jeda ini, pemerintah seharusnya bisa melakukan upaya untuk mereformasi total manajemen kehutanan di Indonesia, baik dari segi tata kelola maupun tata kuasa. Masa jeda tebang telah berjalan selama 3 tahun, namun dalam praktiknya pemerintah gagal melindungi hutan Indonesia, bahkan sebalikya menggunakan moratorium sebagai instrumen untuk melegalkan perusakan hutan dengan memberikan kemudahan izin konsesi kehutanan. Hal tersebut mengakibatkan tekanan dan kerusakan pada hutan dan konflik semakin luas. Praktiknya, pemerintah masih saja mengakomodir dan mengeluarkan izin alih fungsi hutan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, dan pertambangan, serta proyek-proyek nasional MP3EI lainnya. Kebijakan tersebut gagal melindungi pengelolaan hutan yang lestari dan mengamankan hak-hak masyarakat2. B.
Lingkup Moratorium
Untuk mengoptimalkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut, Presiden harus menutup berbagai celah hukum yang melegalkan konversi hutan alam dan gambut, memperketat pengawasan dan penegakan hukum serta meninjau ulang berbagai kebijakan pembangunan yang justru mengancam lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat. Inpres merupakan seperangkat perintah presiden kepada kementerian dan lembaga pemerintahan lain yang terkait. Sebagai dokumen nonlegislatif, Inpres tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan. Inpres No. 10/2011 dan Inpres No. 6/2013 memberi perintah kepada tiga menteri (Kehutanan, Dalam Negeri dan Lingkungan Hidup) dan kepala lima lembaga (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional dan lembaga yang dibentuk untuk mengelola REDD+), serta para gubernur dan bupati. Inpres ini menjelaskan tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga selama masa berlakunya Inpres. Dua kementerian penting yang sangat terkait dengan deforestasi dan emisi berbasis lahan tidak disebutkan dalam Inpres, yaitu: Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kedua lembaga ini tidak dimasukkan dalam Inpres mungkin karena terkait dengan peran mereka dalam program ketahanan pangan dan energi nasional. Pembatasan penerapan moratorium pada kegiatan di sektor-sektor ini dapat melemahkan kemampuan pemerintah untuk memenuhi tujuan Inpres itu sendiri, serta komitmen Presiden untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Inpres ini berlaku bagi hutan alam primer dan lahan gambut. Istilah yang baru saja diperkenalkan ‘hutan alam primer’ – dan bukan ‘hutan alam’, sebagaimana digunakan dalam LoI – telah ditafsirkan berbeda oleh berbagai pemangku kepentingan. Istilah baru dalam Inpres ini menguatkan penafsiran bahwa sasaran moratorium hanya hutan yang tidak tersentuh, tidak terkelola dan tidak terganggu. Sedangkan sebagian pihak menafsirkan bahwa LoI mencakup kisaran hutan yang lebih luas. Penggunaan istilah ‘hutan alam primer’ juga mempengaruhi 2
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global, Briefing Paper: Evaluasi Tiga Tahun Kebijakan Moratorium dan PerlindunganEkosistem Gambut Indonesia (Tugas Utama Pemimpin Indonesia Baru), 2014.
ruang lingkup moratorium karena tidak memasukkan hutan alam sekunder atau hutan bekas tebangan. Perbedaannya besar sekali – sebagaimana diuraikan lebih lanjut di bawah ini, karena jika menggunakan istilah ‘hutan alam’ luas kawasan yang tercakup moratorium dapat mencapai dua kali lipat, bergantung pada berapa bagian dari luas hutan ini yang telah diberi HPH. Namun demikian, teks tentang lahan gambut dalam Inpres ini menyiratkan bahwa moratorium mencakup seluruh lahan gambut tanpa membedakan jenis, kedalaman, letak, wilayah administrasi dan tingkat kerusakannya. Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (No. 14/Permentan/FL.110/2/2009), hanya lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 m yang dilindungi dari konversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Gubernur dan bupati, yang menerbitkan izin pengembangan kelapa sawit, perlu menafsirkan Inpres lebih bijaksana setelah sekian lama memegang peraturan menteri tersebut sebagai acuan3. C. C.1.
Gambaran umum kondisi tenurial di Kalimantan tengah Keadaan Daerah
Kalimantan tengah merupakan provinsi terbesar ketiga di Indonesia setelah papua dan Kalimantan timur dengan luas 157.983 km² dan berpenduduk sekitar 2.202.599 jiwa menurut hasil sensus tahun 20104. Serta mempunyai kawasan hutan yang mencapai luas 10.294.853,52 hektar atau 64 persen dari luas keseluruhan Kalteng berdasar perda No. 8 tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng dan dilintasi oleh 11 sungai besar yang membelah provinsi ini.
Suber: Statistik Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 20085 Berdasarkan penelitian dan pemetaan tanah eksplorasi oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor, tanah di Kalimantan Tengah umumnya dapat digolongkan pada tanah-tanah golongan IV, V, VI dan VII, yang umumnya kurang cocok untuk usaha pertanian pangan. Sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Tengah merupakan dataran rendah, ketinggiannya berkisar antara 0 s/d 150 meter dari permukaan laut. Kecuali sebagian kecil di wilayah Utara merupakan daerah perbukitan dimana terbentang pegunungan Muller-Schwanner dengan 3
Murdiayarso, Daniel.; Dewi, Sonya.; Lawrence, Deborah.; Seymour, Frances., 2011. Moratorium Hutan Indonesia Batu loncatan Untuk Memperbaikai Tata kelola Hutan Indonesia. Working Paper 77, Bogor: CIFOR 4 http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah. 10 September 2012 5 Statistik Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2008: Ditjen Bina Produksi Bina Kehutanan, BP2HP Wilayah XII. Palangkaraya.
puncak tertingginya (Bukit Raya) mencapai 2.278 meter dari permukaan laut. Bagian selatan umumnya merupakan daerah rawa-rawa pasang surut, dengan kegiatan penduduk yang utama di bidang pertanian pangan dan perikanan. Di bagian tengah yang umumnya merupakan daerah hutan produksi sebagian besar pemilik HPH melakukan kegiatan produksi mereka. Kalimantan Tengah termasuk daerah beriklim tropis yang lembab dengan curah hujan rata-rata mencapai 2300 mm per tahun6. Selain itu Kalimantan tengah juga mempunyai kawasan gambut yang cukup luas mencapai 3.010.640 ha dengan kedalaman yang bervariasi: dari yang kedalamannya kurang dari 0.5m sampai yang lebih dari 8 m. Namun umumnya didominasi oleh kedalaman gambut yang dalamnya lebih dari 2 meter yang luasnya mencapai 41, 06% atau sekitar 1.236.071 ha7. Pada awalnya Kalimantan Tengah hanya memiliki lima kabupaten, namun sejak pemekaran tahun 2002, jumlah kabupaten dikalimantan tengah menjadi 13 kabupaten dan satu kota. Pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan dalam RTRWP Kalteng 2009 menetapkan bahwa sebanyak 82% dari lahan di Kalteng merupakan areal hutan, dimana sisanya sebesar 18% merupakan lahan untuk produksi dan pemukiman. Namun, RTRWP hasil tim terpadu Departemen Kehutanan tersebut kemudian mendapat sanggahan dari pemerintah daerah Provinsi Kalteng yang mengusulkan kawasan hutan di Kalteng hanya sebesar 52%, dan sisanya untuk berbagai kepentingan produksi. Saat ini, 12 juta hektar lahan atau sekitar 80% dari lahan yang ada di Kalimantan Tengah telah diberikan pengelolaannya pada berbagai investor, dimana 7,5 jutahektar diantaranya mengalami tumpang tindih perizinan. Sejak berdirinya provinsi tahun 1957, perubahan nyata yang amat dominan di daerah ini adalah pada lahan hutannya yang mengalami degradasi mutu hutan alam tropis yang semakin berkurang nilai komersialnya, nilai tambah dari eksploitasi hutan dan sumberdaya alam lainnya yang amat diharapkan dapat kembali dalam bentuk percepatan pembangunan segala bidang di daerah ini tidak secara alamiah terjadi. Pola ekonomi yang dominan dari proses investasi di daerah ini adalah pola “hit and run” dan “backwash effects” atau divestasi. C.2.
Komposisi Penggunaan lahan di Kalimantan Tengah dan kontrofersinya
Kalimantan tengah dengan luas 15,4 juta hektar atau satu setengah kali luas pulau jawa secara umum kawasanya kini telah di kuasai oleh infestor. Dari data yang di himpum oleh walhi Kalimantan tengah terkait peruntukan lahan di kalteng mencatat bahwa lahan yang di kuasai infestor untuk industry HPH, Pertambangan dan Perkebunan sawit telah mencapai 12,9 juta hektar artinya dari luas kalteng hanya tersisa 2,5 juta hektar atau 78% dari total lahan secara keseluruhan. Perincian penguasaan lahan oleh HPH, Pertambangan dan Perkebunnan sawit adalah sebagai berikut. a. Jumlah perkebunan sawit ada 332 unit dengan luas area 4,1 juta hektar 6
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/5895/. 10 September 2012 Muhajir, Mumu, 2010. Bersiap Tanpa Rencana: Tinjauan Tanggapan Kebijakan Pemerintah Terhadap Perubahan Iklim/ REDD di Kalimantan Tengah. Kertas Kerja Epistema No.06/2010, Epistema Institute. Jakarta. 7
b. Jumlah perusahaan tambang ada 875 unit dengan luas area 3,9 juta hektar c. Jumlah perusahaan IUPHHK-HPH/HTI/IPK/RE ada 89 unit dengan luas area 4,9 juta hetar8
Sumber: Walhi Kalteng Secara umum gambaran penggunaan lahan di kalteng telah terjadi demikian. Namun jika dilihat dari jumlah luasan total perizinan per kabupaten akan Nampak sejumlah persoalan di dalamnya seperti terlihat pada grafik berikut.
8
Data olahan walhi kalteng 2011.
Sumber: Walhi Kalteng Dari grafik perijinan per kabupaten yang kita sajikan di atas Nampak bahwa ada tiga kabupaten yang luas total perijinan di dalamnya melebihi luas wilayah adminitrasi kabupaten itu sendiri. Yaitu: a. Kabupaten Gunung Mas dengan Luas 1.080.400 hektar namun total izin yang sudah ada adalah 1.351.485 hektar sehingga kabupaten ini ada deficit wilayah seluas 271.085 hektar b. Kabupaten Barito Timur dengan Luas 383.400 hektar namun total izin yang sudah ada adalah 493.696 hektar sehingga kabupaten ini ada deficit wilayah seluas 110.296 Hektar c. Kabupaten Barito Utara dengan Luas 830.000 hektar namun total izin yang sudah ada adalah 1.618.357 hektar sehingga kabupaten ini ada deficit wilayah seluas 788.357 hektar Situasi ini tak urung menyimpan benih-benih konflik, karena ruang kelola rakyat semakin terdesak oleh kepentingan infestasi. Tiga kabupaten yang mengalami deficit wilayah karena overload izin, bagaimana menempatkan ruang kelola masyarakat? Sementara secara dejure wilayah mereka sudah habis untuk kepentingan infestasi bahkan melebihi kapasitas wilayah itu sendiri. Dari sisi implementasi moratorium sendiri tentunya akan mengalami banyak kendala karena sebagian besar ruang telah dikuasai oleh perusahaan. Dan moratorium sendiri memberikan pengecualian bagi izin-izin yang diterbitkan sebelum keluarnya inpres. Artinya perusahaan yang mendapat izin sebelum keluarnya inpres tidak terpengaruh maka potensi deforestasi terus tinggi mengingat besarnya jumlah perizinan yang telah eksis sebelumnya. D.
Pemantauan Moratorium: Lokasi dan Metodologi
Kegiatan monitoring ini dilaksanakan di 5 kabupaten yaitu: Kab. Gunung Mas, Kab. Kotawaringin Timur, Kab. Katingan, Kab. Kapuas dan Kab. Pulang Pisau. Fokus dari monitoring ini tidak hanya melihat bagaimana implementasi moratorium tetapi juga melihat kawasan non moratorium guna mengetahui keadaan tutupun hutan dan tingkat keterancaman kawasan tersebut. Menjadi penting untuk melihat bagaimana kondisi kawasan di non moratorium dengan keadaan tutupan hutanya yang relatif alami dengan karakter ekosistem dan potensi sebagai tempat stok karbonya. Banyak konsesi mengalami tumpang tindih dengan kawasan yang seharusnya menjadi ekosistem hutan tetap. Hal ini tentunya menjauhkan semangat dari pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Perikehidupan masyarakat terancam untuk hilang dengan kehadiran konsesi, disamping itu ekosistem hutan alam dan gambut juga terancam hilang. Sementara metode yang digunakan dalam kegiatan monitoring ini adalah 1. Melakukan obeservasi lapangan. Pengambilan data di lapangan dilakukan pada 11 perusahaan perkebunan sawit baik yang berada di dalam kawasan mortorium maupun non moratorium. No Nama Perusahaan Lokasi 1. PT. Berkala Maju Bersama (PT. BMB) Kab. Gunung Mas
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
PT. Kahayan Agro Plantation(PT. KAP) PT. Borneo Sawit Perdana (PT. BSP) PT. Rimba Harapan Sakti (PT. RHS) PT. Arjuna Utama Sawit (PT. AUS) PT. Mitra Jaya Cemerlang (PT. MJC) PT. Sakti Mait Jaya Langit (PT. SMJL) PT. Usaha Handalan Perkasa (PT. UHP) PT. Agro Green Lestari (PT. AGL) PT. Citra Agro Perkasa Abadi (PT. CAPA) PT. Andalan Sukses Makmur (PT. ASM)
Kab. Gunung Mas Kab. Kotawaringin Timur Kab. Kotawaringin Timur Kab. Katingan Kab. Katingan Kab. Kapuas Kab. Kapuas Kab. Pulang Pisau Kab. Pulang Pisau Kab. Kotawaringin Barat
2. Melakukan anlisis peta indikatif moratorium Moratorium sendiri adalah kebijakan yang didasari pada semangat untuk perbaikan tatakelola kehutanan dengan cara menghentikan sementara pemberian izin baru dan pembukaan di hutan alam primer dan lahan gambut. Selama masa jedah ini adalah mengambil waktu yang cukup untuk membenahi segala macam persoalan yang ada pada sektor kehutan kita selama ini guna mendorong tercapainya target penurunan emisi yang pernah di janjikan oleh presiden SBY beberapa tahun yang lalu. Pada kontek ini kami ingin melihat semangat untuk perbaikan tata kelola kehutanan dan terget penurunan emisi di ejawantahkan dengan baik di lapangan atau kah hanya sekedar kebijakan saja namun minim implementasi dan penerapan moratorium sendiri berdasarkan peta indikatif yang di buat oleh depatemen kehutanan. Apakah peta indikatif moratorium ini dari setiap revisi cenderung berkurang atau malah bertambah? Penting untuk melihat setiap perubahan peta indikatif moratorium untuk mengukur tingkat keseriusan pemerintah dalam menghentikan perusakan hutan untamanya yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit. Karena menurut logika kami, semakin luas kawasan yang dimoratorium maka potensi hutan yang bisa diselamatkan semakin besar dan jika area moratorium semakin diperkecil maka potensi hutan yang diselamatkan juga kecil. 3. Analisis dokumen Analisis dokumen ini difokuskan pada aspek legalitas yang dimiliki oleh perusahaanperusahaan yang menjadi obyek monitoring. Telah menjadi rahasia umum bahwa di Kalimantan Tengah banyak perusahaan yang telah operasional namun tanpa dibekali perizinan yang lengkap khususnya perusahaan perkebunan sawit. Jika kita melihat laporan dinas perkebunan provinsi per Desember 2012 bahwa dari 238 perkebunan sawit yang sudah existing hanya 82 perusahaan yang bersetatus clear and clean9. Artinya selama ini masih banyak praktek pelanggaran yang masih dibiarkan. E. Study Kasus E.1. Analisis Terhadap Peta PIPIB di Kalimantan Tengah E.1.1. Pengurangan Terhadap Wilayah Moratorium Dalam melakukan monitoring ini, kami menggunakan analisis peta PIPIB awal hingga PIPIB revisi V untuk melihat perubahan yang terjadi pada kawasan-kawasan yang berada didalam moratorium.
9
Laporan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, 2012: Perkembangan Usaha Perkebunan Besar Provinsi Kalimantan Tengah, Posisi 31 Desember 2012. Palangka Raya.
Dari hasil analisis yang kami lakukan terhadap peta PIPIB menunjukan dari setiap revisi cenderung mengalami penurunan luasan areal moratorium sebagaiamana di uraikan berikut: No 1 2 3 4 5 6
PIPIB 0 I II III IV V
No SK Menhut SK.323/Menhut-II/2011 SK.7416/Menhut-VIII/IPSDH/2011 SK.2771/Menhut-VII/IPSDH/2012 SK.6315/Menhut-VII/IPSDH/2012 SK. 2796/ Menhut-VII/ IPSDH/ 2013 SK.6018/ Menhut-VII/IPSDH/2013
Tanggal 20 juni 2011 22-Nov-2011 16 Mei-2012 19-No-2012 13 Mei 2013 13 November 2013
Luas (ha) 5.784.212 4.217.821 4.186.473 4.041.543 3.639.708,23 3.781.090
7 VI Dalam keterangan pemerintah yang kami cuplik dari salah satu media online bahwa perubahan tersebut terjadi karena berbagai hal, antara lain karena pemutakhiran dan perkembangan data, laporan hasil survey dan konfirmasi perizinan. Dan ini justru membuat peciutan wilayah moratorium yang cukup besar di kalimantan tengah yang yang notabene menjadi wilayah percontohan REDD+ hasil dari kesepakatan LoI Indonesia dan Norwegia, termasuk moratorium. Sementara kalau kita lihat perubahan dari SK Menhut No. 323/Menhut-II/2011 ke SK Menhut No. 6018/Menhut-VII/IPSDH/2013 terjadi penurunan wilayah yang cukup signifikan yaitu 2.003.122 hektar. Status kalimantan Tengah sebagai wilayah percontohan REDD+ tidak serta merta membuat pemerintah memberikan perlakuan khusus untuk penyelamatan kawasan hutan yang masih tersisa di povinsi ini. Sebagaimana kita tahu bahwa REDD+ merupakan kolaborasi antara negara maju yang tidak banyak memiliki lahan hutan dengan negara berkembang yang memiliki hutan tropis yang luas dalam upaya penurunan emisi GRK. REDD+ menyertakan tiga peran hutan yaitu conservation, suistanable management of forest dan enhancment of carbon stock10. Namun disisi lain, pemerintah masih saja mengakomodir dan mengeluarkan izin alih fungsi hutan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan pertambangan serta proyek-proyek nasional MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) lainnya. Wilayah hutan yang harusnya dimoratorium justru malah dialih fungsikan. Bahkan juga ditemukan bahwa wilayah kelola masyarakat dimasukan dalam cakupan moratorium sementara konsesi yang dimiliki korporasi dapat dengan mudah keluar dan masuk dalam cakupan moratorium11.
E.1.2. Perbandingan Kawasan Moratorium dengan Kawasan Lindung dan Taman Nasional Jika kita melihat luasan moratorium di kalimantan tengah dengan mengacu pada PIPIB revisi V dengan Luas Dari Total Luasan 3.781.090 hektar dengan berbanding dengan luas kawasan lindung dan taman nasional seluas 2,976,894 hektar artinya moratorium di kalteng hanya melindungi kawasan hutan dan gambut seluas 804,196 hektar.
10
http://hmrh.sith.itb.ac.id/redd-konservasi-karbon-dalam-pemanfaatan-hutan-yang-berkelanjutan/ http://www.voaindonesia.com/content/tiga-tahun-moratorium-tak-selesaikan-masalah-hutan/1920854.html 11
Kawasan lindung dan taman nasional sejatinya mempunyai perangkat perlindungan secara hukum yang lebih tinggi dari pada inpres moratorium itu sendiri. Tanpa adanya inpres moratorium pun kawasan lindung dan taman nasional tidak akan diganggu oleh pihak lain karena akan langsung bertentangan dengan undang-undang. Namun wilayah-wilayah yang sudah mempunyai perlindungan hukum yang relatif stabil ini tetap saja di masukan dalam peta indikatif moratorium. Dengan demikian, kami memandang bahwa penerapan moratorium di kawasan lindung maupun taman nasional ibarat menabur garam di tengah lautan, sama halnya itu adalah usaha yang sia-sia. Sementara disisi lain masih banyak kawasan hutan yang tersisa tidak menjadi target dari kebijakan moratorium dan tidak menjadi prioritas. sementara saat ini kondisi hutan-hutan tersebut sedang terancam oleh aktifitas perusahaan extractive seperti perkebunan dan pertambangan.
Kawasan Lindung
Kawasan Moratorium
Taman Nasional
Gambar peta moratorium V yang di overlay dengan kawasan lindung dan taman nasional
E.2.
Hasil penggalian data lapangan dan legalitas perusahaan
Perinsip legalitas merupakan hal yang mendasar patut di penuhi oleh setiap badan usaha sebelum memulai usahanya karena negara ini merupakan negara hukum. Artinya persyaratan yuridis yang menjadi ketentuan dalam bentuk peraturan dan undang-undang harus dijalankan oleh setiap pelaku usaha guna terjaminya ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. Karena negara membentuk peraturan tak lain tujuanya dalah untuk kepentingan rakyat. Kalimantan tengah merupakan salah satu provinsi diindonesia yang mempunyai kekayaan alam yang cukup besar sehingga menjadi incaran banyak investor untuk menanamkan modalnya. Tak
kurang dari 238 perizinan untuk perkebunan sawit12, 875 perizinan tambang dan 89 perizinan HPH13 menunjukan banyak sumber daya alam yang bisa diangkut dari bumi kalimantan tengah. Dengan begitu banyaknya izin yang bersifat extractif tersebut membuat hutan dan lingkungan menjadi korban karena eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Isu perubahan iklim menjadi warning bagi seluruh dunia agar lebih peduli lagi terhadap lingkungan. REDD dipandang menjadi salah satu solusi untuk mengurangi dampak perubahan iklim ini dengan menjaga kelstarian hutan dan lahan gambut. Namun disisi lain hutan dan lahan gambut megalami banyak tekanan akibat aktifitas industri yang tak terkendali. Demikian pun pemeritah indonesia telah memberikan komitmenya untuk mengurangi emisinya. 80% emisi indonesia dihasilkan dari perusakan hutan dan lahan gambut. Oleh karena itu komitmen ini tentunya diberengi dengan evaluasi besar-besaran terhadap pengelolaan sektor kehutanan selama ini dan memperbaharuinya. Moratorium merupakan langkah untuk melakukan perbaikan tatakelola kehutanan kita. Disisi lain, kalimatan tengah juga di pilih sebagai povinsi percontohan untuk implementasi REDD+. Banyak pihak yang menaruh harapan besar pada kebijakan mrtorium ini karena melihat begitu banyaknya problem kehutan yang terus dibiarkan sehingga menjadi masalah besar pada saat sekarang. Moratorium sudah berjalan lebih dari 3 tahun dan banyak pihak yang merasa bahwa selama 3 tahun ini kebijakan tersebut belum mampu menyelesaikan kasus klasik yang ada pada kontek kehutanan kita seperti pelanggaran legalitas, tidak patuh aturan, berkonflik dengan masyarakat lokal, dsb. Pada study ini kami mengambil study kasus di 11 perusahaan perkebunan sawit dengan menelusuri legalitas mereka serta melihat kasus-kasus/isu-isu yang berkenaan dengan isu moratorium maupun kasus yang berhubungan dengan masyarakat. Untuk itu kami telah membuat tabulasi dari hasil obeservasi lapangan dan merangkumnya sebagai berikut:
Nama Perusahaan PT. Berkala Maju Bersama
12
Lokasi Kec. Kurun, Kab. Gunung Mas
Legalitas/Bentuk Izin Yang Dimiliki Izin Prinsip No. 521.53/77/ADPER& SDA/VII/2011 Izin Usaha Perkebunan (IUP) No. 39 tahun 2012. Seluas 13.490 ha. Izin Pelepasan Kawasan Hutan seluas 13.490 ha14.
Isu / Deskripsi Kasus Menggarap di kawasan hutan lindung yang di tetapkan oleh Bupati Gunug Mas dengan No. 130 Tahun 2004. Kawasan lindung tersebut meliputi: 1. Air terjun batu mahasur 2. Air terjun bawin kameloh 3. Irigasi sakata juri Mendapat protes dari warga karena di duga mencemari sungai sakata juri yang menjadi sumber irigasi bagi pertanian dan waduk sakata juri Adanya konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan.
Ibid. Walhi Kalteng, Op. Cit. 14 http://lpp.dephut.go.id/media.php?module=izin&sub=listing&izin=4 13
PT. Kahayan Agro Plantation
Desa Tumbang Marikoi, Kab. Gunung Mas
Izin Usaha Perkebunan (IUP) No. 21 tahun 2010 dengan luas 17.500 ha. SK Dishut No. 522.1.200/SK/346/ DISHUT tentang Izin Pemanfaantan Kayu (IPK) Seluas + 3.328,60 ha
PT. Borneo Sawit Perdana
Kec. Cempaga dan Kec. Seranau, Kab. Kotim
Izin Prinsip/Arahan Lokasi No. 525.26/477/IX/EK/SDA/2009 Izin Lokasi No. 153.400.9.62.02/III/ 2010 Izin Usaha Perkebunan (IUP) No. 525.26/06/II/Ekk.S DA/2010. Seluas 16.277 ha
Beberapa sungai kecil di timbun oleh perusahaan. Membuka lahan di areal waduk sakata juri. Jarak pembukaan lahan dengan waduk + 125 meter15. Membuka lahan diluar izin yang diberikan untuk areal pembibitan16. Lokasi yang digarap perusahaan merupakan hutan primer yang bersetatus HP dan HPK Di duga melakukan penebangan kayu melebihi ketentuan IPK dan mengoperasikan 5 buah sawmill tanpa izin17. Belum memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH)18. Tidak mengindahkan Surat Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 540/647/EK, tanggal 28 Juni 2013 tentang Pemberhentian Pengoperasian Kegiatan yang belum Clear dan Clean pada sektor Pertambangan (Kuasa Pertambangan, Ijin Usaha Pertambangan), Perkebunan (Pembukaan Lahan) dan Kehutanan Melakukan penggarapan lahan di luar peta perizinan19. Masih terjadi konflik lahan dengan masyarakat Pada peta PIPIB revisi I sebagian wilayah perkebunan masuk dalam kawasan moratorium. Kemudian pada peta PIPIB Revisi II-IV telah di keluarkan dari kawasan moratorium. Tahun 2011, Permohonan pelepasan kawasan hutan oleh perusahaan ditolak oleh departemen kehutanan karena berada dalam kawasan gambut 20. Beroperasi diatas lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 1 meter. Berdasarkan surat Badan Planologi No.S.748/VII-KUH/2013 tertanggal 29 Mei 2013, PT.BSP dibebani dengan kewajiban melaksanakan penataan batas kawasan hutan, yang dicadangkan
15
Laporang hasil pengecekan lapangan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Kab. Gunung Mas, tanggal 21 April 2014. 16 Ibid. 17
http://sorotborneo.blogdetik.com/2014/01/04/aktivitas-ptkhl-dan-ptkap-diduga-rambah-hutan/ http://gwirman.blogspot.com/2013/02/warga-tumbang-pesangon-khawatir-pt-kap.html 19 http://klipingmediaonline.blogspot.com/2012/03/warga-tujuh-desa-demo-dprd-tolak.html 20 http://binpers.wordpress.com/2013/06/17/pt-borneo-sawit-perdana-pt-bsp-garap-lahan-gambut-kotim-kalteng/ 18
sebagaimana dalam peta lampiran surat Menteri Kehutanan No.S280/MenhutII/2013 tanggal 24 April 2013, pelaksanaan tapal batas agar berkoordinasi dengan BPKH wilayah lima Banjar Baru dan memperhatikan hasil tapal batas yang diberikan sebelumnya. Sampai proses tapal batas belum selesai PT.BSP belum diperkenankan untuk melakukan penanaman, pengarapan atau melakukan aktivitas dilapangan21. Namun fakta dilapangan sekarang, mereka tetap beroperasi. Permohonan pelepasan kawasan
hutan oleh perusahaan di tolak menhut seluas 3.700 ha karena merupakan lahan gambut22.
PT. Rimba Harapan Sakti
Desa Pondok Damar, Kec. Mentaya Hilir Utara
PT. Mitra Jaya
Desa Telok,
Arahan Lokasi No. 500/220/EK/2004 seluas 13.800 ha Izin Lokasi No. 374 tahun 2007 seluas 13.800 ha Izin Usaha Perkebunan No. 525/109/EK/2009 seluas 13.800 ha Izin Pelepasan Kawasan Hutan No. 100/Menhut-II/2005 seluas 16.702 ha Hak Guna Usaha No. 26/HGU/BPN RI/2011 seluas 13.789 ha Arahan Lokasi No.
Tidak mengindahkan Surat Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 540/647/EK, tanggal 28 Juni 2013 tentang Pemberhentian Pengoperasian Kegiatan yang belum Clear dan Clean pada sektor Pertambangan (Kuasa Pertambangan, Ijin Usaha Pertambangan), Perkebunan (Pembukaan Lahan) dan Kehutanan Masih memiliki konflik lahan dengan masyarakat. Menutup/Menimbun sungai Jemaras yang berada di Desa Jemaras. Beroperasi di atas lahan Gambut Berkonflik lahan dengan masyarakat Pernah ditemukan 5 bangkai orang utan di lokasi perusahaan
Perusahaan belum mengantongi IPKH
21
http://binpers.wordpress.com/2013/09/09/pemkab-kotim-tutup-mata-pt-borneo-sawit-perdana-bsp-garap-lahangambut/ 22
http://binpers.wordpress.com/2013/06/17/pt-borneo-sawit-perdana-pt-bsp-garap-lahan-gambut-kotim-kalteng/
Cemerlang
Kec. Pulau Malan, Kab. Katingan
PT. Arjuna Utama Sawit
Desa Jahanjan, Kab. Katingan
PT. Sakti Mait Jaya Langit
Desa Tabore, Kec. Mentangai Kab. Kapuas
PT. Usaha Handalan Perkasa
Kec. Mentangai, Kab. Kapuas
23
530/370/ekbang. 68-2007 seluas 15.000 ha Izin lokasi No. 525/306/Kpts/X/XII /2010 seluas 15.000 ha Izin Usaha Perkebunan (IUP) No. 525.21/355/Kpts/XI I/2010 dengan Luas 15.000 ha. Izin Arahan Lokasi No. 503/241/EKBANGS. 21-6-2006. Dengan luas 11.250 ha Izin Lokasi No. 234 tahun 2006 (26-82006) Dengan luas 11.250 ha Izin Usaha Perkebunan No. 255 tahun 2009 (14-92009) dengan luas 11.250 ha Arahan Lokasi No. 525/474/Disbun/III /2007 seluas 15.000 ha Izin Lokasi No. 591.1/1962/BPN/08 seluas 10.000 ha. Izin Usaha Perkebunan (IUP) No. 946/Disbunhut/08 seluas 10.000 ha. Arahan Lokasi No. 525/295/Disbunhut. 2012 (29-2-2012). Dengan luas 19.938 ha Izin Lokasi No. 637/BPN thn 2011 (5-12-2011). Dengan luas 15.750 ha
dan HGU23. Mempunyai konflik lahan dengan masyarakat. Beroperasi diatas lahan gambut. Memanfaatkan kayu tanpa IPK
Pada peta PIPIB I-III, PT. AUS masih berada dalam kawasan moratorium, selah PIPIB IV, PT. AUS sudah dikeluarkan dari kawasan moratorium. Berkonflik lahan dengan masyarakat Melakukan penutupan beberapa sungai salah satunya sungai runen Beraktifitas diatas lahan gambut
Izinya telah dicabut melalui surat bupati No. 525.460/Disbunhut/2013 tertanggal 13 Juli 2013. Meskipun telah dicabut izinya, namun perusahaan tetap menjalankan aktifitasnya. Belum memiliki AMDAL Belum memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan Beroperasai diatas lahan Gambut. Memiliki konflik dengan masyarakat terkait sengketa lahan. SK Menhut 323/ menhut –II/2011 tanggal 17 juli 2011 masuk dalam PIPIB seluas -/+ 4.367 ha Lahan tumpangtindih dengan milik masyarakat sehinggan berujung pada konflik.
http://www.sinarharapan.co/news/read/27399/pt-mjc-menggarap-lahan-tanpa-hgu
Izin Usaha Perkebunan (IUP) No. 187 tahun 2012 (30-1-2012) Izin lokasi No. 332 Tahun 2011 tanggal 28 September 2011.
PT. Agrindo Green Lestari (Belum Operasional)
Desa Bawan, Kec. Kahayan Tengah, Kab. Pulang Pisau
PT. Citra Agro Perkasa Abadi (Belum Operasional)
Desa Bawan, Kec. Kahayan Tengah, Kab. Pulang Pisau
Izin Lokasi No. 333 Tahun 2011 tanggal 28 September 2011.
PT. Andalan Sukses Makmur
Desa Sekonyer, Kec. Kumai, Kab. Kotawaring in Barat
Arahan Lokasi No. 590/105/Pem-XI/2012 tanggal 21 November 2012 Izin Lokasi nomor. 525/68/XII/2012 seluas 9.276,5 ha
Izin diterbitkan dimasa moratorium Lokasi perizinan diatas wilayah moratorium Rencana masuknya perusahaan mendapat penentangan sebagian besar warga karena khawatir lingkunganya terancam Izin diterbitkan dimasa moratorium Lokasi perizinan diatas wilayah moratorium Rencana masuknya perusahaan mendapat penentangan sebagian besar warga karena khawatir lingkunganya terancam Izin diterbitkan di dalam kawasan moratorium
Dari tabulasi tersebut, kami meyoroti beberpa persoalan yang kami anggap penting untuk di ungkap guna memberikan gambaran bagaimana praktek moratorium dalam semangat melindungi kawasan hutan yang selama ini di dengungkan oleh pemerintah guna mencapai target penurunan emisi yang di harapkan dan bagaimana juga praktek-praktek pelanggaran yang selama ini terjadi namun terkesan tidak ada tindakan. Diantara hal-hal yang kami rangkum tersebut di uraikan sebagai berikut: 1. Pelanggaran perizinan: Dapatkah Perusahaan Perkebunan Beroperasi Tanpa IPKH, HGU dan AMDAL? Tentang Ketentuan Memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH). Bagi perusahaan perkebunan yang beroperasi dai dalam kawasan hutan menjadi wajib mengurus Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) sebagaimana yang diatur dalam UU 41/1999 tentang kehutanan pasal 6 menyebutkan hutan berdasar fungsi pokok meliputi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pada pasal 19 menyebutkan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan di dasarkan pentelitian terpadu. Berdasar PP 10/2010 tentang tatacara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan menyebutkan bahwa pelepasan kawasan hutan adalah pengubahan status kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dengan keputusan menteri kehutanan. Semua pihak yang menggunakan kawasan hutan harus seizin dari menteri kehutanan
walaupun kanyataan di lapangan banyak rekomendari pembukaan hutan tidak dilengkapi izin dari menteri kehutanan24. Artinya jika perusahaan sudah operasional namun belum mengantongi IPKH maka perusahaan tersebut bisa dijerat oleh pasal 50 dan 78 Undang-Undang Kehutanan. Tentang Ketentuan Memiliki HGU. Salah satu aturan yang memiliki peran vital dalam usaha perkebunan dan hampir selalu menjadi pemicu konflik agraria adalah Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 yang kemudian direvisi dengan Permentan No.98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Permentan ini merupakan turunan UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, khususnya mengenai penggunaan tanah untuk perkebunan; luasan tanah tertentu; izin usaha perkebunan, serta pola kemitraan. Permentan baru ini mengatur beberapa kewajiban perusahaan perkebunan, mulai membangun kebun masyarakat seluas 20% dari luas wilayah izinnya dengan cara masyarakat yang menyediakan lahan, kewajiban memegang hak atas tanah (SK HGU), serta pembatasan lahan perkebunan25. Dalam revisi Permentan Pasal 48 ayat (1) diberikan batas waktu 2 tahun untuk perusahaan menyelesaikan alas haknya atas tanah setelah penerbitan IUP, jika tak kunjung memegang HGU dari BPN RI, maka IUP-B, IUP-P, atau IUP akan dicabut, setelah 3 kali peringatan tertulis tak diindahkan. Namun sayangnya ketentuan ini masih memungkinkan perusahaan beroperasi tanpa alas hak yang sah. Padahal, seharusnya persoalan alas hak sudah diselesaikan di depan sebelum mulai perusahaan perkebunan beroperasi, demi menghindari konflik terhadap masyarakat lokal26. Pada kegiatan monitoring ini setidaknya ditemukan 5 perusahaan perkebunan yang telah operasional namun belum mengantongi izin pelepasan kawasan hutan dan atau HGU. Diantara perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT. KAP, PT. BSP, PT. MJC, PT. SMJL dan PT. UHP. PT. SMJL belum mempunyai AMDAL. Sebagai salah satu kelengkapan izin agar perusahaan bisa operasional adalah adanya Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). AMDAL sendiri merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Setidaknya ada beberapa Undang-undang yang mengatur tentang kewajiban AMDAL diantaranya UU 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 22, UU 18/2004 Tentang Pekebunan pasal 25, PP 27/2012 dan Permen LH 5/2012. 24
Wasef, Mouna dan Firdaus Ilyas. (2011): Merampok Hutan dan Uang Negara (Kajian Penerimaan Keuangan Negara dari Sektor Kehutanan dan Perkebuna.n Study Kasus: di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah). ICW: Jakarta. 25
Andi Muttaqien. Melanjutkan Ketimpangan Lewat Revisi Pedoman Izin Usaha Perkebunan: Pelaksana Program Bidang Advokasi Hukum,ELSAM. (Link:https://docs.google.com/document/d/10efxBKEp7OmZfzIaZKvZcVF6HFc3_fa9DEWSYvArqiM/edit) 26
Ibid.
Sementara pada posisi sekarang PT. SMJL belum mempunyai AMDAL namun telah memiliki IUP. Pada ketentuan UU 18/2004 pasal 25 ayat 2 menyebutkan Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup, sebelum memperoleh izin usaha perkebunan, perusahaan perkebunan wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup; artinya IUP yang diberikan kepada perusahaan tidak sah karena bertentangan dengan UU 18/2004 pasal 25 karena IUP diberikan sebelum mempunyai AMDAL. 2. Penerbitan izin dimasa moratorium Sebagaimana kita ketahui semua bahwa inpres moratorium adalah perangkat kebijakan yang yang diterbitkan oleh presiden untuk menunda pemberian ijin diatas wilayah indikatif moratorium. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk membantu terpenuhinya target penurunan emisi yang di akibatkan oleh deforestasi dan degradasi lahan. Dalam cakupan lokasi yang menjadi target monitoring moratorium ini setidaknya ada 3 perusahaan perkebunan sawit yang mandapat izin lokasi dari bupati setempat di saat pemberlakuan moratorium diantaranya PT. AGL dan PT. CAPA yang keduanya mendapat izin dari bupati pulang pisau pada tangga 28 September 2011, serta PT. ASMR mendapat izin dari Bupati Kotawaringin Barat pada Tanggal 19 Desember 2012. Dari ketiga perusahaan yang teridentifikasi tersebut salah satunya positif berada di dalam wilayah moratorium yaitu PT. ASMR.
Areal PT. ASM yang berada di atas kawasan moratoirum
3. Konflik dengan masyarakat Sejauh hasil observasi kami di masing-masing perusahaan, seluruhnya berkonflik dengan masyarakat. Konflik ini di dominasi oleh sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan. Kedua belah pihak saling mengklaim sebagai pemilik sah atas lahan yang disengketakan tersebut. Dari pihak masyarakat beranggapan bahwa merekalah yang paling berhak atas lahan tersebut karena sebelum datangnya perusahaan, mereka
telah mengelola lahan secara turun temurun, sementara pihak perusahaan merasa sudah punya legalitas untuk menggarap lahan dari pemerintah walaupun legalitas tersebut hanya berupa IUP.
Konflik Lahan: Kebun karet warga a/n Pak Ringkai yang dijadikan tempat pembibitan PT. BMB
4. Beroperasi dilahan gambut Ada beberapa perusahaan yang menjalankan aktifitasnya di atas lahan gambut yaitu PT. BSP, PT. AUS dan PT. UHP. Mengacu pada inpres moratorium bahwa kebijakan ini bermaksud melindungi lahan gambut dan hutan alam. Namun demikian, teks tentang lahan gambut dalam Inpres ini menyiratkan bahwa moratorium mencakup seluruh lahan gambut tanpa membedakan jenis, kedalaman, letak, wilayah administrasi dan tingkat kerusakannya. Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (No. 14/Permentan/FL.110/2/2009), hanya lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 m yang dilindungi dari konversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Gubernur dan bupati, yang menerbitkan izin pengembangan kelapa sawit, perlu menafsirkan Inpres lebih bijaksana setelah sekian lama memegang peraturan menteri tersebut sebagai acuan. Artinya jika mengacu pada inpres moratorium maka kegiata tersebut bisa di kategorikan melanggar.
Pengambilan sampel gambut di PT. AUS yang mencapai kedalaman 360 cm.
Pengambilan sampel gambut di PT. BSP yang mencapai kedalaman 110 cm.
Pengambilan sampel gambut di PT. UHP yang mencapai kedalaman 100 cm.
5. Beroperasi tanpa izin Kasus yang terjadi di PT. SMJL bahwa perusahaan ini telah dicabut izinya oleh Bupati dengan Nomor. 525.460/Disbunhut/2013 tertanggal 13 Juli 2013. Namun fakta dilapangan perusahaan ini tetap beroperasi sebagaimana perusahaan legal lainya.
Deretan sawit di perkebunan PT. SMJL
6. Menggarap Hutan Lindug Perusahaan ini selalu di jaga ketat oleh satpam. Namun yang kami lihat mereka tidak berpakaian satpam sebagaimana satpam pada umumnya, mereka tidak berseragam dan hanya berpakaian biasa layaknya masyarakat lainya. Namun dari keterangan masyarakat yang mendampingi kami bahwa mereka adalah satpam perusahaan. Perusahaan tersebut terkesan dijaga ketat dan tidak memperbolehkan orang luar untuk masuk keperusahaan. Kegiatan kami waktu itu adalah untuk melihat lokasi yang disebutkan warga bahwa perusahaan menggarap lahan di kawasan hutan lindung. Namun oleh masyarakat kami disarankan untuk tidak melewati jalan perusahaan karena menurut mereka tidak semua orang bebas keluar masuk melalu jalan yang dijaga satpam tersebut. Akhirnya mayarakat membawa kami lewat jalur lain yang biasa dipakai untuk melihat kebun. Berkenaan dengan kawasan lindung tersebut bahwa telah mendapat surat keputusan bupati dengan Nomor. 130 Tahun 2004. Kawasan lindung tersebut meliputi: Air terjun batu mahasu, Air terjun bawin kameloh dan Irigasi sakata juri. Sesungguhnya kawasan lindung ini menjadi sumber air yang mempunyai arti penting bagi kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar. Selain itu itu didalamnya terdapat sungai sakata juri yang menyuplay air ke waduk sakata juri. Namun aktifitas perusahaan saat ini telah mendekati bibir sungai + 250 meter. Waduk itu sendiri merupakan sarana penting bagi bagi pertanian warga karena air irigagasi disuplai dari waduk. Sungguh masyarakat mengkhawatirkan jika aktifitas perusahaan tidak dikendalikan maka akan berpotensi sungai mengalami pencemaran, menurunya kualitas air, pendanggkalan dan mengancam keberlangsungan waduk tersebut.
Aktifitas pembukaan lahan oleh PT. BMB yang mendekati sungai sakata juri
Tidak hanya PT. BMB yang beraktifitas di dalam kawasan hutan lindung. Di Kapuas tepatnya di Kec. Mentangai tetap beroperasi PT. SMJL meskipun kawasan yang di kerjakan berada di dalam kawasan lindung jika dilihat dalam peta yang dikeluarkan Menteri Kehutanan nomor: SK.529/menhut-II/2012, tanggal 25 September 2012, bahwa kawasan hutan disekitar Sei Baguruh Desa Tabore tersebut termasuk hutan lindung, dimana saat ini kondisinya sudah musnah akibat dibabat oleh, PT.SMJL27. 7. Hutan alam yang terancam. Hutan ini terletak di sekitar Desa Tumbang Marikoi, Kec. Damang Batu Kab. Gunung Mas. Dari bentuknya ketika melakukan observasi, kami beranggapan bahwa Ini adalah merupakan salah satu hutan yang masih dalam alami dan terjaga dengan baik karena disana masih banyak ditemukan berbagai jenis kayu yang berkuran besar dengan diameter + 1-3 meter dengan tingkat kerapatan yang cukup tinggi. Namun keberadaannya saat ini terancam oleh aktifitas pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dari perusahaan PT. KAP. Dimana perusahaan ini telah mengantogi Izin Pemanfaatn Kayu (IPK) dari dinas kehutanan provinsi Kalteng seluas 11.385 ha. Status kawasan hutan yang di tempati oleh PT. KAP menurut Bappeda Gunung Mas di dominasi kawasan HP dan HPK28.
Hasil analisa kawasan oleh BAPPEDA Gunung Mas
27
28
http://eksposrakyat.net/2013/11/babat-hutan-lindung-tanpa-izin-pt-smjl-diadukan-warga-ke-bupati/
Bappeda Kabupaten Gunung Mas: Analisa kawasan PBS operasinal, PBS non operasional dan dicabut PBS non operasional Kabupaten Gunung Mas berdasarkan Kepmenhut Nomor. 292/Menhut-II/2011.
Tumpukan kayu loging di lokasi PT. KAP
Gambaran kawasan hutan di sekitar PT. KAP yang belum di garap
8. Penutupan sungai Sungai bagi sebagian besar masyrakat sekitar perkebunan menjadi sarana penting bagi kebutuhan sehari-hari, baik untuk sarana transportasi, kebutuhan MCK bahkan untuk irigasi pertanian. Demikian pula, kawasan sumber air juga dilindungi oleh undangundang seperti UU 41/1999 tentang kehutanan pasal 50 dan UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan pasal 13. Namun dari hasil obersevasi lapangan banyak kami temukan praktek perusahaan yang tidak memperhatikan peraturan Undang-Undang tersebut dengan melakukan penutupan bahkan menimbun sungai baik yang berukuran sedang maupun kecil.
Penimbunan Sungai Selirong di Kec. Kurun oleh PT. BMB
F. Kesimpulan Setelah berjalan lebih 3 tahun pelaksanaan moratorium nyatanya praktek perusakan hutan terus berlanjut. Walaupun pemerintah tetap menyatakan bahwa moratorium masih menjadi salah satu senjata guna menghadang laju deforestasi Indonesia29. Moratorium memberikan pesan yang jelas dan tegas mengenai pentingnya melindungi hutan dan lahan gambut khususnya; menerjemahkan pesan Inpres ini dalam bentuk tindakan nyata akan mendorong pengurangan emisi dalam jumlah sangat besar. Namun demikian, Inpres ini tidak menetapkan sanksi sehingga dalam pelaksanaannya masih tetap menghadapi tantangan.
29
Pernyataan yuyu rahayu Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kemenhut (http://alumniipb.org/berita/detail/130)
Masalah yang perlu diurai mengenai tata kelola kehutanan adalah penegakan hokum, masalahpenerbitan izin konsesi dan izin perluasan perkebunan di hutan alam yang menerabas aturan, tumpang tindih kawasan kehutanan hingga konflik lahan karena tidak diakuinya hutan ulayat untuk masyarakat adat. Keberhasilan pemerintah Indonesia memperbaiki tata kelola kehutan selama masa berlakumoratorium akan membantu tingkat pengurangan emisi dari deforestasi dan degaradasi lahansebanyak 26% hingga 2020. Lebih dari itu keberhasilan program ini diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup dan bergantung terhadap hasil hutan. Perlu ada keberanian dari pemerintah untuk melakukan perubahan, pemerintah harus melakukan audit perijinan yang telah diterbitkan disektor kehutanan. Sebabnya, konflik kehutanan yang muncul antara masyarakat dengan perusahaan juga disebabkan proses penerbitan izin yang carut marut. Namun implementasi moratorium di kalimantan tengah masih belum secara efektifmenurunkan deforestasi dan perbaikan tata kelola kehutanan sehingga belum mencapai target seperti yang diharapkan. Kesimpulan ini didasarkan pada masih ditemukanya beberapa bentuk pelanggaran dan rencana yang tidak berjalan dilapangan sebagaimana telah diuraikan diatas Untuk meningkatkan capaian moratorium, seharusnya dalam setiap revisi PIPIB, Kemenhut menargetkan menambah wilayah. Misal, dari kawasan yang diambil alih dari wilayah perusahaan pelanggar UU Kehutanan, UU Perkebunan dan Minerba. Dan kemudian Revisi PIPIB, semestinya menjadi kesempatan bagi kawasan kritis dipulihkan. Revisi PIPIB, seharusnya tak diterjemahkan dengan satu defenisi “pengurangan.’ Namun, harus memunculkan makna positif dengan penambahan kawasan yang dilindungi lewat moratorium30.
30
http://www.mongabay.co.id/2013/05/28/revisi-pipib-iv-hutan-primer-dan-gambut-susut-hampir-165-ribuhektar/
DAFTAR REFERENSI 1. BRIEFING PAPER: Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia & Iklim Global (MEMBACA INPRES NO. 10 TAHUN 2011 TENTANG PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARU DAN PENYEMPURNAAN TATA KELOLA HUTAN ALAM PRIMER DAN LAHAN GAMBUT) 2. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global, Briefing Paper: Evaluasi Tiga Tahun Kebijakan Moratorium dan PerlindunganEkosistem Gambut Indonesia (Tugas Utama Pemimpin Indonesia Baru), 2014. 3. Murdiayarso, Daniel.; Dewi, Sonya.; Lawrence, Deborah.; Seymour, Frances., 2011. Moratorium Hutan Indonesia Batu loncatan Untuk Memperbaikai Tata kelola Hutan Indonesia. Working Paper 77, Bogor: CIFOR 4. http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah. 10 September 2012 5. Statistik Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2008: Ditjen Bina Produksi Bina Kehutanan, BP2HP Wilayah XII. Palangkaraya. 6. www.bappenas.go.id/get-file-server/node/5895/. 10 September 2012 7. Muhajir, Mumu, 2010. Bersiap Tanpa Rencana: Tinjauan Tanggapan Kebijakan Pemerintah Terhadap P erubahan Iklim/REDD di Kalimantan Tengah. Kertas Kerja Epistema No.06/2010, Epistema Institute. Jakarta. 8. Data olahan walhi kalteng 2011. Tentang kompilasi penguasaan lahan di Kalimantan Tengah 9. Laporan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, 2012: Perkembangan Usaha Perkebunan Besar Provinsi Kalimantan Tengah, Posisi 31 Desember 2012. Palangka Raya. 10. http://hmrh.sith.itb.ac.id/redd-konservasi-karbon-dalam-pemanfaatan-hutan-yangberkelanjutan/ 11. http://www.voaindonesia.com/content/tiga-tahun-moratorium-tak-selesaikan-masalah-hutan/1920854.html 12. http://lpp.dephut.go.id/media.php?module=izin&sub=listing&izin=4 13. Laporang hasil pengecekan lapangan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Kab. Gunung Mas, tanggal 21 April 2014. 14. http://sorotborneo.blogdetik.com/2014/01/04/aktivitas-ptkhl-dan-ptkap-diduga-rambahhutan/ 15. http://gwirman.blogspot.com/2013/02/warga-tumbang-pesangon-khawatir-pt-kap.html 16. http://klipingmediaonline.blogspot.com/2012/03/warga-tujuh-desa-demo-dprd-tolak.html 17. http://binpers.wordpress.com/2013/06/17/pt-borneo-sawit-perdana-pt-bsp-garap-lahangambut-kotim-kalteng/ 18. http://binpers.wordpress.com/2013/09/09/pemkab-kotim-tutup-mata-pt-borneo-sawitperdana-bsp-garap-lahan-gambut/ 19. http://binpers.wordpress.com/2013/06/17/pt-borneo-sawit-perdana-pt-bsp-garap-lahangambut-kotim-kalteng/ 20. http://www.sinarharapan.co/news/read/27399/pt-mjc-menggarap-lahan-tanpa-hgu 21. Wasef, Mouna dan Firdaus Ilyas. (2011): Merampok Hutan dan Uang Negara (Kajian Penerimaan Keuangan Negara dari Sektor Kehutanan dan Perkebuna.n Study Kasus: di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah). ICW: Jakarta. 22. Andi Muttaqien. Melanjutkan Ketimpangan Lewat Revisi Pedoman Izin Usaha Perkebunan: Pelaksana Program Bidang Advokasi Hukum,ELSAM. (Link:https://docs.google.com/document/d/10efxBKEp7OmZfzIaZKvZcVF6HFc3_fa9DEWSYvArqi M/edit) 23. http://eksposrakyat.net/2013/11/babat-hutan-lindung-tanpa-izin-pt-smjl-diadukan-warga-kebupati/
24. Bappeda Kabupaten Gunung Mas: Analisa kawasan PBS operasinal, PBS non operasional dan dicabut PBS non operasional Kabupaten Gunung Mas berdasarkan Kepmenhut Nomor. 292/Menhut-II/2011. 25. Pernyataan yuyu rahayu Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kemenhut (http://alumniipb.org/berita/detail/130) 26. http://www.mongabay.co.id/2013/05/28/revisi-pipib-iv-hutan-primer-dan-gambut-susuthampir-165-ribu-hektar/