Menakar Kembali Perlindungan Minoritas di Indonesia Oleh Ruby Kholifah
5 Juni 2013 lalu, Kementrian Kordinator Kesejahteraan Rakyat mengundang saya untuk menghadiri Focus Group Discussion (FGC) dengan tema “Mencari Solusi Perlindungan Hak-Hak Minoritas” sebagai respon dari mengerasnya aksi-aksi anarkisme yang dilakukan oleh kelompok masyarakat anti toleransi yang mengakibatkan kelompok minoritas agama kehilangan hak perdata mereka. Warga Shia yang berasal dari Desa Karang Gayam Kecamatan Omben sudah sepuluh bulan menempati GOR Sampang akibat penyerangan masa intoleran yang terjadi pada 26 Agustus 2012. Di Nusa Tenggara Barat, jemaat Ahmadiyah terpaksa pergi dari kampungnya di Ketapang, Lingsar, Lombok Barat, karena penyerangan massa intoleran. Saat ini mereka telah menghuni asrama pengungsian sejak 2007. Dalam hal pemenuhan kebutuhan pengungsi, melalui Pemerintah Daerah, negara telah menggelontorkan sejumlah uang untuk penanganan pengungsi, terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan taktis mereka seperti makan, air bersih, sanitasi, kesehatan, dan juga menjadwalkan pengamanan untuk pengungsi sebagai antisipasi kelompok intoleran menyerang warga mengungsi. Bukan hanya itu, kunjungan pemerintah untuk melakukan asesmen di lapangan juga sudah dilakukan. Namun mengapa belum kunjung tiba tawaran penyelesaian masalah dari pemerintah untuk menyelamatkan para pengungsi ini. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan sudut pandang berbeda dalam penyelesaian masalah minoritas, khususnya di Sampang, dengan menggunakan pendekatan rekonsiliatif berperspektif perempuan perdamain. Mengapa penting? Sudah banyak pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan persetruan Sunni dan Shia di Sampang, khususnya di Desa Karang Gayam. Namun, sepertinya menemukan jalan buntu. Pihak Shia secara gigih menuntut keadilan baik untuk pimpinan Shia Ustads Tajul Muluk, maupun untuk kesejahteraan para pengungsi yang ingin kembali ke kampung halaman mereka dengan rasa aman. Sementara dari pihak Sunni yang didalamnya terdiri dari koalisi kyai yang tergabung dalam forum Basra, Pemda Sampang, serta simpatisan Sunni menginginkan kelompok shia direlokasi di luar Sampang. Keduanya mengeras seperti batu. Pilihan-pilihan solusi diarahkan pada dua kutub yang berlawanan; membela Shia atau pro terhadap Sunni. Sejak penyerangan 26 Agustus 2012, warga Shia telah menempati GOR Sampang. Kabar teranyar dari Asisten Deputi Dua Kemenko Polhukam yang baru saja melakukan kunjungan ke Sampang, menemukan saat ini ada 146 orang yang masih bertahan di GOR. Berkurang drastis dari jumlah awal 280 orang (75 KK). Pemkot bekerja sama dengan Pemda memberikan bantuan makanan, air bersih dan keamanan untuk pengungsi di GOR. Beberapa kali bantuan sempat dihentikan karena alasan dana untuk emergensi telah dialokasikan semua. Terakhir bantuan dihentikan pada tanggal 1 Mei 2013. Menurut Pemda semua anggaran telah terkuras habis untuk memberi makan pengungsi termasuk biaya operasional menangani pengungsi. Laporan lapangan Asisten Deputi Dua Kemenko Polhukam itu juga menyebutkan bahwa sejak 1/7
September 2012 sampai dengan bulan Mei 2013, Pemda Sampang telah menghabiskan dana sebesar Rp. 2.767.257.500. Belum ada laporan studi yang bisa menjelaskan secara detil penggunaan dana di atas. Apakah sejumlah itu dipergunakan hanya untuk kebutuhan pengungsi dalam hal ini makan, air bersih, dan kebutuhan lainnya. Tetapi bahwa tidak tersedianya dana saat ini untuk warga Shia di GOR bukan berarti kemudian pemerintah daerah berhenti tanggungjawabnya. FGD yang diselenggarakan oleh Kemenkokesra pada dasarnya ingin melakukan review atas berbagai pendekatan yang pernah dilakukan oleh aktor pemerintah dan non pemerintah untuk menyelesaikan persoalan Sampang. Pendekatan Penanganan konflik Pendekatan hukum Pendekatan hukum atau juga disebut rights-based approach adalah upaya penyelesaian konflik dengan menggunakan aturan-aturan yang telah disepakati seperti Undang-Undang dan kovensi yang berlaku di tingkat nasional dan internasional, peraturan, kebijakan, kontrak, dan adat istiadat. Pendekatan ini lebih berorientasi melihat hitam dan putih, dimana korban selalu benar dan pelaku selalu salah. Sehingga proses yang dijalankan adalah mencari pelanggar HAM dan menghukum seberat-beratnya. Dalam konteks konflik Sampang, rights-based approach ini tidak efektif karena tidak ditunjang oleh komitmen penegakan hukum yang obyektif dimana perspektif penegak hukum masih condong menyalahkan satu pihak. Keputusan yang dihasilkan pun, alih-alih mengadili pihak pelaku pelanggaran HAM, pengadilan justru menjatuhkan vonis 4 tahun penjara pada Tajul Muluk, yang dianggap pihak yang memprovokasi dan melakukan penodaan agama. Sementara Rois Al Hukama, pelaku kunci penyerangan dibebaskan dari dakwaan oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada 16 April 2013 karena tidak terbukti melakukan pelanggaran. Ini merupakan pukulan berat terhadap janji pemerintah yang berkomitmen untuk memperbaiki perlindungan hak-hak minoritas di Indonesia dan menjamin kebebasan beragama dan beribadat menurut agama dan keyakinan masing-masing. Konsekuensi dari keputusan diatas adalah pihak sunni merasa menang dan benar, sehingga semakin yakin bahwa dua tawaran solusi yaitu “masuk sunni” bagi yang ingin kembali ke kampung halaman dan relokasi bagi yang ingin mempertahankan keyakinannya merupakan alternatif penyelesaian yang masuk akal. Sebaliknya pihak Shia merasa kalah dan mulai kehilangan harapan akan keadilan. Oleh karenanya sebagian dari pengikut Shia yang ingin kembali ke kampung halaman dalam waktu dekat, mereka rela menandatangani surat kontrak “masuk Sunni”. Kelemahan dari pendekatan berbasis hak adalah memperkeras hubungan sosial Shia dan Sunni bukan saja di Sampang tapi juga berdampak di luar Sampang, meskipun tidak sampai pecah kekerasan. Terkait dengan proses, penyelesaian dengan menggunakan pendekatan hukum memakan waktu yang lama. Upaya penyelesaian berpihak pada korban yang selama ini diperjuangkan oleh masyarakat sipil, secara tidak sadar menghalangi kita untuk melihat persoalan lebih obyektif dengan melihat sisi positif kelompok Sunni dan sisi negatif kelompok shia. Dari sini sebenarnya akan menggiring kita pada pembacaan yang lebih jelas dalam memetakan connectors dan dividers untuk penyelesaian konflik Sampang yang lebih 2/7
bermartabat. Pendekatan “noisy” Pendekatan noisy merupakan upaya penyelesaian konflik Sampang dengan menggunakan kekuatan public, khususnya media untuk mendorong pengambil kebijakan segera mengadili pelaku pelanggaran. Dibukanya semua upaya proses penyelesaian Sampang di media, diharapkan bisa mendapatkan dukungan lebih luas dari berbagai pemangku kepentingan terkait dengan penyelesaian konflik. Ada dua bentuk pendekatan “noisy” yaitu membuka akses publik bagi pengungsi di tingkat lokal dan menasionalisasi penyelesaian konflik. “Satu pintu” merupakan pendekatan melokalisir persoalan Sampang yang dilakukan oleh Pemda Sampang begitu pengikut Shia mulai menempati GOR pada Agustus 2012. Berbagai kunjungan yang dilakukan oleh pihak pemerintah pusat akan diarahkan untuk tidak secara langsung bertemu dengan para korban. Perspektif dan kemampuan Pemda Sampang yang tidak bisa obyektif dalam melihat permasalah kasus Sampang akan memperparah situasi. Atas dasar inilah, kemudian CSO membuka akses seluas-luasnya setiap orang untuk bertemu dengan pengungsi di GOR Sampang. Berbagai lembaga dan individu dari berbagai daerah menunjukkan solidaritasnya pada korban dengan memberikan bantuan kemanusiaan dan tenaga relawan yang siap membantu pemenuhan kebutuhan pengungsi pada tiga bulan pertama. Strategi ini cukup berhasil dalam membangun wacana solidaritas sehingga warga Shia yang sedang mengungsi mendapatkan perhatian nasional maupun dunia. Dampaknya adalah Pemda Sampang tetap menyediakan kebutuhan dasar pengungsi sampai hari ini, meski dengan sindiran dan stigmatisasi pada pengungsi. Nasionalisasi konflik Sampang cukup efektif. Ini dibuktikan respon dari masyarakat sipil di tingkat nasional terkait dengan kasus Sampang sangat marak. Sebuah jaringan yang bernama Solidaritas untuk kasus Sampang telah menggalang dukungan dan melakukan advokasi hak-hak minoritas terkait dengan akses keadilan pimpinan Shia, Tajul Muluk dan juga akses keadilan bagi pengungsi yang sering mendapatkan ancaman pemutusan akses kebutuhan dasar mereka selama di pengungsian karena alasan krisis keuangan di pemerintah daerah. Nasionalisasi kasus Sampang juga berhasil menggiring media nasional untuk mengekspos konflik Sampang dengan spektrum yang lebih luas yaitu melihat persoalan pendidikan, kesehatan, akses tanah dan pekerjaan, dan sebagainya. Bahkan kasus Sampang menambah daftar kasus pelanggaran hak-hak minoritas yang tidak tertangani dengan baik oleh negara. Kasus Sampang telah menuai banyak perhatian publik, dan menggerakkan sumber-sumber fin ancial negara untuk membantu pemerintah daerah dalam menangani pengungsi dan juga upaya pemulihan dan rehabilitasi nantinya. Misalnya Kementerian Sosial telah menyiapkan program Bantuan Bangunan Rumah (BBR) untuk mendukung pengungsi Sampang yang akan membangun kembali rumah mereka, tentu saja dengan syarat bahwa sudah terjadi kesepakatan antara Sunni dan Shia. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal juga sudah menyiapkan sebuah program baru yang bernama Peace through Development in Disadvantaged Area (PTDDA), yang juga siap membantu pemulihan pengungsi dan juga non pengungsi untuk mengembalikan tingkat livelihood mereka paska reintegrasi. Belum lagi komitmen Kementerian Agama, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Dalam Negeri yang semuanya mendukung opsi reintegrasi. 3/7
Dampak negatif dari pendekatan noisy adalah semakin mengerasnya relasi Sunni dan Shia di Sampang. Ini karena Sunni selalu dalam posisi salah dan Shia dalam posisi benar dalam kaca mata pembela HAM. Resistensi antara lokal dan nasional semakin mengkristal. Eksistensi lokal semakin merasa ditantang untuk menyelesaikan persoalan dalam kerangka kemandirian otonomi daerah yang dipahami secara salah kaprah. Sebut saja perpecahan suara di dalam Nahdatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dimana sikap nasional yang jelas dengan statemen politik bahwa Shia tidak sesat , bukan melunakkan sikap petinggi NU dan MUI di Sampang, sebaliknya mereka membalasnya dengan dikeluarkannya Fatwa MUI Sampang A035/MUI/spg/2012 tentang kesesatan ajaran Shiah. . Gerakan Pemuda Ansor yang kerap jadi “pagar betis” pada saat peringatan natal, justru berbalik menyerang Shia. Bahkan Pengurus Pusat NU tidak memberikan instruksi apapun untuk mendukung penyelesaian konfik dengan jalan damai. Saat ini, masyarakat sipil menemukan jalan buntu. Rekonsiliasi belum dilakukan secara serius. Pintu-pintu rekonsiliasi masih tertutup rapat. Berbagai statemen politik berseliweran di media, tetapi tak satupun berdampak pada proses rekonsiliasi kedua belah pihak. Pendekatan berbasis kepentingan Pendekatan berbasis kepentingan (interest based approach) secara sederhana diartikan sebagai upaya penyelesaian konflik dengan mengakomodasi semua kepentingan kelompok-kelompok kunci di Sampang. Kewenangan pendekatan ini adalah pada semua pihak yang terlibat di dalam perundingan. Model penanganan berbasis kepentingan dianggap paling ideal dibandingkan dengan penanganan berbasis HAM dan juga berbasis pengaruh karena model penanganan ini sangat mensyaratkan sebuah kebersamaan dalam mencari pemecahan masalah. Kebutuhan mendasar penanganan berbasis kepentingan adalah pemahaman akan kepentingan setiap kelompok. Memahami tentang kepentingan setiap kelompok membutuhkan waktu yang cukup dan teknik door to door yang jitu sehingga setiap kelompok merasa nyaman dan terakomodasi kepentingannya. Pendekatan ini juga menganjurkan sebuah bacaan teliti tentang siapa connectors dan dividers. Ini penting karena kejelasan siapa teman dan lawan akan membuat langkah-langkah pemecahan semakin mudah, karena semua pihak memiliki tujuan yang sama yaitu mencari jalan keluar yang bermartabat. Keuntungan dari pendekatan berbasis pada kepentingan adalah semua kelompok kepentingan merasa setara dan mendorong pada kepedulian satu dengan lainnya. Pendekatan ini juga menghindarkan praktek-praktek diskriminasi dan kekerasan karena power control ada pada setiap kelompok. Bukan hanya itu, penggunaan mekanisme penyelesaian lokal sangat dimungkinkan digunakan dengan memegang prinsip-prinsip keadilan. Ini adalah model terbaik untuk diterapkan untuk mendorong pada proses demokratisasi yang substantif. Relokasi vs Reintegrasi: Sebuah Tawaran Ada dua wacana bentuk penyelesaian kasus Sampang yang mencuat di media, yaitu relokasi 4/7
dan reintegrasi. Slamet Efendi Yusuf dari Majelis Ulama Indonesia menegaskan dalam FGD bahwa secara konstitusi tidak dibenarkan melakukan relokasi pada warga Shia di Sampang. Karena UUD 1945 secara jelas menjamin setiap warga negara untuk hidup di bumi persada nusantara ini. Secara hukum Islam juga tidak dibenarkan karena bagi orang yang memiliki tanah, rumah, kebun dan seperangkat penghidupan, tidak dibenarkan diusir dari kampungnya. Sehingga dalam hal ini relokasi tidak tepat sebagai solusi. Karena semua warga Shia yang sedang mengungsi di GOR Sampang, mereka memiliki tempat tinggal yang sah, memiliki lahan pertanian yang mencukupi kebutuhan hidup mereka, dan memiliki legalitas sebagai warga negara. Relokasi akan mendatangkan masalah baru. Selain isu adaptasi para warga Shia di tempat yang baru dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, juga yang tak kalah pentingnya adalah jaminan keselamatan mereka di tempat baru. Isu keberlanjutan ( sustainability) juga harus menjadi pertimbangan serius dalam mengambil opsi relokasi. Bisa dibayangkan bahwa pemerintah harus mempersiapkan warga Shia dan warga lokal sebagai penerima. Kedua tidak mudah karena stigma yang dibangun oleh media cukup menyulitkan negosiasi. Relokasi juga pilihan yang buruk karena tidak memberikan pembelajaran penanganan konflik yang baik. Warga yang direlokasi akan merasa kalah dan warga yang tinggal merupakan kelompok yang menang. Dalam kaca mata HAM, relokasi tentu saja jauh dari idealisme penegakan HAM dan hukum di Indonesia. Sementara reintegrasi tentu saja bukan semudah membalik telapak tangan. Meskipun kita yakin bahwa reintegrasi adalah pilihan terbaik dalam penyelesaian konflik Sampang, pemerintah harus secara serius mengawal proses ini. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan di dalam reintegrasi adalah terakomodasinya kepentingan semua pihak agar proses rekonsiliasi bisa terjadi. Artinya bahwa prinsip-prinsip perlindungan HAM tetap harus dijalankan. Untuk itu, perlu pengetahuan yang cukup tentang apa-apa yang perlu dinegosiasikan. Tentu saja ini ada batasan yang jelas. Nilai dan prinsip tidak bisa dinegosiasikan. Tetapi praktek dan tradisi seharusnya bisa lebih fleksible dimodifikasi sesuai dengan kepentingan orang banyak. Misalnya saja Shia adalah salah satu madzab yang diakui oleh dunia Islam, sama seperti Sunni. Itu hal yang prinsip. Bahwa praktek beribadah dan tradisi ke-shia-an atau ke-sunni-an seharusnya bisa dinegosiasikan. Reintegrasi akan memberikan pembelajaran yang baik pada praktek beragama dan juga berdemokrasi di Indonesia. Ini juga bagian dari konsistensi negara memegang empat pilar bangsa yaitu UUD 1945, Pancasila, Bhinneka tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Model ini juga memberikan peluang yang baik untuk meningkatkan peran perempuan dalam penyelesaian konflik. Pendekatan pada perempuan sebagai entry point juga penting untuk dipikirkan oleh tim mediasi. Hasil rekaman survey AMAN Indonesia di lapangan tahun lalu mengindikasikan bahwa baik perempuan Sunni dan Shia menginginkan perdamaian. Ini karena mereka sangat memahami perasaan kehilangan. Perempuan lebih menghargai kehidupan karena mereka lebih merasakan bagaimana memulai kehidupan di dalam rahimnya. Bukan hanya itu, perempuan Sunni dan Shia sama-sama merupakan korban yang paling parah akibat tindak kekerasan brutal yang dilakukan oleh laki-laki. Maka, melibatkan mereka dalam proses perdamaian adalah alternatif yang berani dalam kultur Madura dimana laki-laki sangat dominan dalam pengambilan keputusan. Tentu saja ini dibutuhkan taktik yang juga mempertimbangkan sensitifitas budaya sehingga tidak menuai resistensi yang merugikan. *** 5/7