Eva Achjani Zulfa – Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia)
MENAKAR KEMBALI KEBERADAAN PIDANA MATI (SUATU PERGESERAN PARADIGMA PEMIDANAAN DI INDONESIA) Oleh: EVA ACHJANI ZULFA Dosen Fakultas Hukum – UIEU
[email protected]
ABSTRAK Hukuman mati dalam pandangan hukum Islam merupakan upaya terakhir atau jalan terakhir yang dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana tertentu yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana yang sangat serius atau berat, namun demikian, untuk pembunuhan berencana sekalipun penjatuhan pidana mati masih dapat dihindari bila ahli waris mau memaafkan perbuatan tersebut dengan atau tanpa diyat. Berbicara tentang pergeseran pandangan tentang pidana mati tak lepas dari fenomena adanya pergeseran paradigma pemidanaan secara umum. Bila memetakan keberadaan pidana mati di Indonesia, maka akan terlihat bahwa pidana mati yang ada saat ini hanya diberlakukan untuk beberapa tindak pidana saja. KUHP memang tidak mencantumkan dengan tegas dalam rumusannya mengenai tujuan dari dijatuhkannya suatu sanksi pidana. Namun dalam perjalanan sejarah pemidanaan yang berlaku di dunia selama ini pelaku menjadi pusat perhatian dari sistem pemidanaan yang ada. Kata Kunci: Pidana Mati, Pergeseran Paradigma, Pemidanaan di Indonesia.
posisi hak untuk hidup sebagai suatu hak
Pendahuluan Perdebatan tentang pidana mati merupakan masalah yang tak akan per-
konstitusional yang wajib bagi negara untuk melindunginya.
nah habis diperdebatkan. Di Indonesia,
Pasal 28 I ayat (1) merumuskan
masalah ini kembali mencuat terkait
bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk
dengan diangkatnya hak untuk hidup
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
bukan hanya sebagai hak asasi yang
dan hati nirani, hak beragama, hak untuk
dilindungi oleh undang-undang tetapi
tidak diperbudak, hak untuk diakui
juga merupakan hak konstitusional yang
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
pemenuhannya menjadi suatu keha-
hak untuk tidak dituntut atas dasar
rusan. Pasal 28a, Pasal 28b ayat (2),
hukum yang berlaku surut adalah hak
Pasal 28h ayat (1) dan Pasal 28i ayat (1)
asasi
Amandemen II UUD 1945, merupakan
dikurangi dalam keadaan apapun”.
pasal-pasal 93
manusia
yang menegaskan tentang Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007
yang
tidak
dapat
Eva Achjani Zulfa – Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia)
Namun dalam kenyataannya Instrumen
dari
HAM Internasional masih tetap mem-
paradigma pemidanaan secara umum.
berikan peluang atas keberlakuan huku-
Masalah pergeseran atau perubahan
man mati ini. Hal ini dapat dilihat dari
paradigma pemidanaan sesungguhnya
ketentuan Pasal 6 ayat 2 dari ICCPR
terjadi di dalam masyarakat manapun di
(International
and
dunia. Wacana pemikiran tentang pidana
menyatakan
dan pemidanaan dalam masyarakat pada
Political
Covenan
Rights)
yang
Civil
fenomena
adanya
pergeseran
bahwa:
dasarnya mengalami pergeseran searah
“In countries which hav not abolished the death penalty, sentence of death may imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present covenant and to the convention on the Pevention and Punishment of the Crime of Genoside. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court”.
dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Dalam
misalnya
pandangan
dalam
perumusan
Pounds, suatu
undang-undang yang terpenting adalah tujuan-tujuan sosial yang hendak dicapai oleh
hukum
dan
bukan
kepada
sanksinya. (Pounds, 1986). Tujuan-tujuan sosial yang ingin dicapai dengan menggunakan hukum sebagai
Permasalahan
alat
untuk
merekayasanya.
Pertanyaan yang muncul kemu-
Sanksi (pidana) dalam hal ini berfungsi
dian adalah apakah dengan adanya
sebagai alat untuk membantu penca-
landasan ketentuan dalam konstitusi
paian tujuan tersebut. Namun tetap saja
maka keberadaan Pasal 10 KUHP serta
pandangan terhadap sanksi yang ada
ancaman sanksi pidana mati dalam
dalam undang-undang sebagai bagian
berbagai ketentuan perundang-undangan
dari alat perekayasa sosial itu pun
harus ditiadakan. Pertanyaan ini ten-
bergantung dari pandangan masyarakat
tunya akan berujung kepada pertanyaan
terhadap sanksi (pidana) itu sendiri.
lainnya yaitu apakah pidana masih
Dimana pun diberbagai belahan
masih relevan dengan perkembangan
dunia, pergeseran ini telah terjadi, tak
pemikiran tentang tujuan dijatuhkannya
terkecuali di Indonesia. Perubahan ini
sanksi pidana di saat sekarang ini?
berkaitan dengan jenis sanksi pidana, lama atau jumlah sanksi yang dijatuhkan, maupun perubahan tentang sistem
Tinjauan Teori Berbicara tentang pergeseran pandangan tentang pidana mati tak lepas
atau pola penjatuhan sanksi pidana itu sendiri.
Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007
94
Eva Achjani Zulfa – Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia)
Dalam hukum pidana Indonesia, arah
ini
perubahan ini kelihatan nyata melalui
pembentuk undang-undang dan para
rancangan
penegak
Kitab
Undang-Undang
tertanam
dalam
hukum
benak
mengacu
para
pada
Hukum Pidana (selanjutnya disebut R-
paradigma tujuan pemidanaan dalam
KUHP).
bentuk
Meski
rancangan
undang-
keadilan
retributif,
yang
undang ini belum menjadi undang-
bertujuan semata-mata sebagai pemba-
undang, namun arah pemikiran para
lasan. Dalam hal ini pelaku dianggap
perancang undang-undang dalam me-
sebagai obyek penderita dan bersikap
nentukan tujuan dari hukum pidana
pasif dari proses pemidanaan yang
Indonesia terlihat jelas dari tujuan
berlangsung.
pemidanaan
yang
terumuskan
di
Tetapi makna keadilan tersebut
dalamnya. Pasal 51 R-KUHP meru-
di atas ternyata tidak memuaskan seba-
muskan tujuan pemidanaan sebagai a)
gian
pencegahan; b) pemasyarakatan ter-
Konsep tujuan pemidanaan yang ber-
pidana; c) penyelesaian konflik dan
kembang selama ini dianggap memiliki
pemulihan
serta
berbagai kelemahan terutama karena
d) pembebasan rasa bersalah terpidana.
dianggap sama sekali tidak memberikan
KUHP memang tidak men-
keuntungan apapun bagi korban dan
cantumkan dengan tegas dalam rumu-
masyarakat. Hal ini diperkuat lagi
sannya mengenai tujuan dari dijatuh-
dengan adanya perkembangan pemi-
kannya suatu sanksi pidana. Namun
kiran
dalam perjalanan sejarah pemidanaan
pidana diberbagai belahan dunia. Perge-
yang berlaku didunia selama ini pelaku
seran wacana ini disebabkan oleh tiga
menjadi pusat perhatian dari sistem
faktor utama yaitu perkembangan hak
pemidanaan yang ada. Konsep tersebut
asasi manusia, perubahan pandangan
jelas berbeda dengan tujuan poin c. dari
masyarakat atas kejahatan dan peru-
R-KUHP yaitu penyelesaian konflik dan
bahan pandangan masyarakat terhadap
pemulihan keseimbangan dalam masya-
penjahat itu sendiri.
keseimbangan,
para
pemikir
masyarakat
hukum
terhadap
pidana.
hukum
rakat dimana partisipasi korban dan
Perkembangan pemikiran ten-
masyarakat dibutuhkan dalam mewujud-
tang hak asasi manusia telah membawa
kan tujuan pemidanaan ini.
perubahan besar terhadap masyarkat
Tentu sangat dimaklumi jika
dalam memandang suatu hal yang ber-
makna keadilan yang ada berkaitan erat
kaitan dengan hidup dan kehidupannya.
dengan filosofi pemidanaan yang selama
Tak
95
terkecuali
Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007
pandangan
terhadap
Eva Achjani Zulfa – Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia)
pidana dan pemidanaan. Pidana dan
boleh
pemidanaan
dasarnya
penganiayaan atau perlakuan lain yang
memberikan pembenaran atas penja-
kejam, tidak manusiawi atau hukuman
tuhan satu derita kepada seseorang
yang merendahkan martabat manusia.
akibat
yang
suatu
tindak
pada
pidana
yang
seorangpun
Dalam
boleh
dikenakan
perkembangan
yang
dilakukannya sepintas lalu akan bertolak
lebih jauh PBB mengeluarkan konvensi
belakang dengan konsep-konsep yang
khusus yang langsung berkaitan dengan
ada dalam hak asasi manusia yang justru
pidana
memberikan perlindungan terhadap hak
Convention Against Torture and Other
asasi seseorang.
Cruel, Inhuman or Degrading Treatmen
dan
pemidanaan
yaitu
Dalam HAM diatur beberapa
or Punishment (CAT). Di Indonesia
hak mendasar yang sepintas lalu jelas
konvensi tersebut (CAT) telah diadopsi
amat bertolak belakang dengan pemi-
dalam Undang-undang No. 5 Tahun
danaan. Salah satu hak yang amat sering
1998 Tentang Pengesahan Convention
diperdebatkan dalam berbagai wacana
Against Torture And Other Cruel,
salah satunya adalah hak untuk hidup.
Inhuman Or Degrading Treatment Or
Pasal 3 DUHAM (Deklarasi Universal
Punishment
(Konvensi
tentang Hak Asasi Manusia) PBB yang
Penyiksaan
Dan
merumuskan tentang hak untuk hidup.
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Ketentuan serupa juga dapat dijumpai
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
dalam intrumen lain seperti Pasal 6
Manusia)
ICCPR (Internasional Covenan Civil
Faktor
Menentang
Perlakuan
kedua
yang
Atau
mem-
and Political Rights). Dalam ketentuan
pengaruhi pergeseran paradigma pemi-
yang lainnya hak untuk hidup juga
danaan adalah pandangan masyarakat
dilindungi dalam pasal 6 Konvensi Hak-
tentang jenis sanksi pidana dan sistem
Hak Anak
penjatuhannya. Sejalan dengan perkem-
Selain ketentuan tentang hal
bangan pemahaman tentang hak asasi
untuk hidup Pasal 5 DUHAM secara
manusia yang makin mengakar kuat
tegas melarang tindakan penyiksaan,
dalam kehidupan masyarakat dunia,
penghukuman
pemikiran
atau
perlakuan
yang
tentang
pemidanaan
pun
kejam, tidak manusiawi, merendahkan
mengalami pergeseran. Pasca lahirnya
derajat dan martabat kemanusiaan. Hal
CAT
yang sama juga ditegaskan dalam pasal
kemudian ditinjau ulang keberadaannya
7 ICCPR, yang menyatakan bahwa tidak
karena
misalnya
dianggap
Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007
sejumlah
tidak
hukuman
manusiawi. 96
Eva Achjani Zulfa – Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia)
Hukuman mati misalnya, suatu jenis
mati dalam hukum pidana disejumlah
hukuman yang dianggap tidak memberi
negara. (Roger Hood, 2002).
kesempatan kepada seorang manusia
Bila
untuk berubah jelas merupakan suatu
menyatakan
hukuman yang tidak sejalan dengan
”detterence” atau tujuan pefentif dari
HAM. Banyak kalangan menilai bahwa
pidana mati, maka pengalaman Thomas
penjatuhan satu pidana mati merupakan
Mores dan pandangan Beccaria di abad
suatu serangan fundamental terhadap
ke
keberadaan hak asasi manusia, karena
bayangan bahwa ancaman pidana berat
merupakan penyerangan terhadap mar-
tidak selalu menjadi faktor penentu yang
tabat kemanusiaan itu sendiri. (Roger
menjamin bahwa tindak pidana tersebut
Hood, 2002).
kemudian tidak dilakukan. Perkem-
Pro kontra terhadap keberadaan
18
bangan
ada
bahwa
akan
ini
pandangan adanya
mampu
tidaklah
yang efek
memberikan
mengherankan
sanksi ini banyak disampaikan dalam
mengingat pengalaman masal lalu yang
berbagai pembicaraan. Beberapa negara
memperlihatkan bahwa hukuman mati
yang setuju atas keberadaan hukuman
tidaklah selalu efektif untuk mengurangi
mati mengingatkan bahwa pada saat
jumlah pelaku tindak pidana.
pembahasan rumusan DUHAM PBB
Bonger, 1955).
(W.A.
yang menentang keberadaan hukuman mati hanya dari kalangan minoritas saja.
Pembahasan
(William Schabas, 1997). Mayoritas
Pidana Mati di Indonesia
negara (26 negara) yang mengikuti sessi
Bila
memetakan
keberadaan
kedua dari pembahasan ini setuju atas
pidana mati di Indonesia, maka akan
pasal tentang hak untuk hidup dengan
terlihat bahwa pidana mati yang ada saat
catatan bahwa:
ini hanya diberlakukan untuk beberapa
"Everyone has the right to life. This right can be denied only to persons who have been convicted under general law of some crime to which the death penalty is attached.".
tindak pidana saja yaitu:
Meski
demikian,
paham
abolisionist yang dibawa oleh negara minoritas
waktu
itu
justru
yang
berkembang pada saat ini yang ditandai
a. KUHP: (1) kejahatan terhadap keamanan negara yaitu pasal 104, pasal 111 (2), Pasal 124 (3), Pasal 140 (2 dan 3) (2) Pembunuhan berencana (pasal 340)
dengan dihapuskannya ancaman pidana 97
Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007
Eva Achjani Zulfa – Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia)
(3) Pencurian dengan pemberatan
7. Narkotika (Pasal 506 dan Pasal
(Pasal 365 (4))
508)
b. Diluar KUHP
8. Psikotropika (Pasal 515)
(1) Kejahatan terhadap sarana dan
9. Pembunuhan berencana (Pasal
prasarana
penerbangan
(Undang-Undang No.4/1976) (2) Undang-Undang
572) 10. Korupsi atas dana bagi bencana
Narkotika
alam (Pasal 684)
(Undang-Undang No. 22/1997 pasal 80)
Dari peta perumusan pidana mati
(3) Undang-undang
dalam
perundang-undangan
Psikotropika
Indonesia, hampir semua tindak pidana
(Undang-Undang No. 5 tahun
merupakan kejahatan serius yang secara
1997 pasal 52)
langsung mengancam nyawa dan tubuh
(4) Undang-Undang
Pelanggaran
manusia. Kecuali dalam tindak pidana
HAM Berat (Undang-Undang
narkotika
dan
psikotropika
dimana
26 tahun 2000)
pertimbangan bahayanya bukan anca-
(5) Undang-Undang Anti Terorisme
man terhadap nyawa dan tubuh secara
(Undang-Undang 15 tahun 2003
langsung dan korupsi terhadap dana
pasal 6)
yang diperuntukkan bagi bencana alam.
Sebagai pembanding dalam RKUHP:
Melihat dari jenis pidana dalam
1. Tindak pidana terhadap keama-
Peundang-undangan Indonesia yang ada
nan negara (Pasal 215 (1)
sekarang dengan RKUHP maka tidak
makar, Pasal 228 (menghasut
ada suatu perbedaan yang berarti.
sehingga terjadi perang), Pasal
Namun bila melihat dari model pen-
237(3) (penghianatan kepada
jatuhan pidananya maka terlihat disini
negara),
bahwa sudah sejak lama Indonesia tidak
2. Tindak pidana terorisme (Pasal 242, 244, 247, 250, 262)
Pelaksanaan Pidana Mati. Ketentuan
3. makar terhadap negara sahabat (Pasal. 269)
pada
Undang-Undang
no.2/Pnps/1964.
5. Tindak Pidana Terhadap Kemanusiaan (Pasal 395) Pidana
yang ada sekarang masih menggantungkan
4. Genocida (Pasal 394)
6. Tindak
pernah meninjau tentang Tata cara
Sementara di dalam Pasal 66 RKUHP dinyatakan bahwa Pidana mati
pada
Perang (Pasal 396-399)
Masa
merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan akan selalu diancamkan
Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007
98
Eva Achjani Zulfa – Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia)
sebagai pidana alternatif. Dalam pasal
waris
89 RKUHP ditentukan adanya masa
tersebut dengan atau tanpa diyat.
percobaan 10 tahun yang harus dijalani
mau
memaafkan
perbuatan
Beccaria, meskipun keberatan
terpidana untuk menentukan apakah
terhadap
keberadaan
pidana mati jadi dijatuhkan ataukah
namun masih menganggap jenis pidana
dapat diganti dengan pidana lainnya.
ini penting dipertahankan dengan alasan
Dalam hal ini pidana mati merupakan
sebagai sarana terakhir dalam menjaga
“Ultimum remedium”.
harkat
dan
pidana
martabat
mati,
manusia
dari
kejahatan yang mengancam kemanu-
Penutup
siaan itu sendiri. Karenanya, Beccaria
Kesimpulan
masih menyarankan agar pidana ini
Tanpa memposisikan diri dalam
tetap dipertahankan untuk dua jenis
kelompok yang pro ataupun kontra
tindak pidana yaitu:
terhadap keberadaan pidana mati, dalam
a. tindak pidana terhadap keamanan
pandangan penulis jenis sanksi ini harus
negara yang pada akhirnya berujung
dilihat keberadaannya yaitu meskipun
pada kondisi anarki atau memba-
hak
hayakan ketertiban umum atau,
untuk
hidup
merupakan
hak
konstitusi, namun apakah juga ketentuan
b. terhadap serangan yang memba-
itu harus diartikan sebagai larangan
hayakan
pemberlakukan dan penjatuhan sanksi
banyak
pidana mati?
sekarang
Hukuman dangan
hukum
mati
dalam
Islam
pan-
sekalipun,
keselamatan orang
”nyawa”
(dalam
barangkali
ini
konteks dapat
dipadankan dengan genosida dan kejahatan kemanusiaan).
merupakan upaya terakhir atau jalan
Dalam hal ini tetap harus dilihat
terakhir yang dapat dijatuhkan terhadap
bahwa kepentingan dalam rangka
tindak pidana tertentu yang diklasifi-
menjaga keselamatan masyarakatlah
kasikan sebagai tindak pidana yang
yang menjadi pertimbangan penja-
sangat serius atau berat. Adapun klasi-
tuhannya dan bukan karena dalam
fikasi tindak pidana serius atau berat
rangka mempertahankan kekuasaan
tersebut diantaranya pembunuhan beren-
(--pemerintah--).
murtad.
Berdasarkan hal tersebut di atas,
Namun demikian, untuk pembunuhan
maka sudah siapkah kita menakar
berencana sekalipun penjatuhan pidana
kembali keberadaan hukuman mati di
mati masih dapat dihindari bila ahli
Indonesia? Apakah memang pidana mati
cana,
99
pemberontakan
dan
Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007
Eva Achjani Zulfa – Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia)
yang selama ini ada merupakan anca-
Shabbir,
Mohammad.,
“Outlines
of
man serius terhadap HAM atau justru
Criminal Law and Jutice in
merupakan
Islam”, International Law Book
sarana
penjaminan
atas
keberadaan hak untuk hidup. (EAZ)
Services, Kuala Lumpur, 2002. Santoso, Topo, “Menggagas Hukum
Daftar Pustaka
Pidana Islam”, Asy Shamiil,
Beccaria, Cecare., “On Crime And
Jakarta, 2000.
Punishment”, Jane
Translated by
Grigson,
Marsilio
Publisher, New York, 1996. Bonger,
W.A., nologi”,
”Pengantar PT
Krimi-
Pembangunan,
Jakarta, 1955. Hood, Roger, “The Death Penalty: A Worldwide Perspective”, Third Edition,
University
Press,
Oxford, 2002. Pound, Roscoe, “Interpretation of Legal History”, Wm.W.Gaunt & Sons Inc, Florida, 1986. Saleh,
Roeslan,
”Stelsel
Pidana
Indonesia”,
Yayasan
Badan
Penerbit
Gajahmada,
Yogyakarta, 1962. Soesilo, R., ”Kitab Undang-undang Hukum Pidana”, Politea, Bogor, 1974. Schabas, William., “The Abolition of the Death Penalty in International Law”,1997.
Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007
100