PENGARUH DAERAH PERALIHAN TERHADAP DISTRIBUSI HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION, TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN, PROVINSI LAMPUNG
MOHAMMAD FARIKHIN YANUAREFA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PENGARUH DAERAH PERALIHAN TERHADAP DISTRIBUSI HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION, TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN, PROVINSI LAMPUNG
MOHAMMAD FARIKHIN YANUAREFA
Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN MOHAMMAD FARIKHIN YANUAREFA. E34052783. Peralihan terhadap Distribusi Herpetofauna di Kawasan Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Lampung. Dibimbing oleh: MIRZA DIKARI KUSRINI PRASETYO.
Pengaruh Daerah Tambling Wildlife Selatan, Provinsi dan LILIK BUDI
Efek tepi merupakan kecenderungan perbedaan komposisi jenis atau kelimpahan di daerah peralihan dan daerah inti. Kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) merupakan bagian dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Kawasan TWNC terdiri dari berbagai tipe habitat berbeda yang diduga akan mempengaruhi komposisi, keanekaragaman dan distribusi herpetofauna di wilayah tersebut. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan komposisi dan keanekaragaman serta distribusi jenis herpetofauna antar daerah peralihan dan daerah inti. Penelitian dilakukan di TWNC dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Fakultas kehutanan IPB pada bulan Agustus 2009-Januari 2010. Metode untuk pengambilan data satwa yaitu Visual Encounter Survey (VES) dengan desain transek pada hutan pantai, hutan dataran rendah, kebun, daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah serta daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah. Jumlah amfibi yang ditemukan adalah 19 jenis. Semua jenis amfibi ini ditemukan di dalam jalur pengamatan. Sementara itu untuk reptil, jumlah jenis yang ditemukan sebanyak 33 jenis diantaranya 18 jenis ditemukan di dalam jalur pengamatan dan 15 jenis ditemukan di luar jalur pengamatan. Komposisi jenis herpetofauna berbeda pada setiap tipe habitat baik daerah peralihan maupun daerah inti. Pada daerah inti, hutan dataran rendah mempunyai jumlah jenis amfibi terbanyak (14 jenis), diikuti kebun (8 jenis) dan hutan pantai (3 jenis). Sedangkan untuk reptil, hutan dataran rendah dan hutan pantai mempunyai jumlah jenis yang sama (8 jenis) dan kebun (7 jenis). Daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah ditemukan 5 jenis amfibi dan 2 jenis reptil dan daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah ditemukan 2 jenis amfibi dan 2 jenis reptil. Perbedaan tipe habitat tidak berpengaruh terhadap nilai keanekaragaman jenis herpetofauna akan tetapi mempengaruhi jumlah individu per jenis. Amfibi banyak dijumpai di hutan dataran rendah sementara reptil dijumpai terbanyak di habitat hutan pantai. Distribusi spasial pada amfibi cenderung mengelompok pada daerah hutan dataran rendah yang memiliki beragam mikro habitat, dekat dengan sumber air tawar dan terlindung dari kekeringan. Sedangkan distribusi reptil cenderung acak karena mempunyai mobilitas yang lebih tinggi daripada amfibi. Dengan sedikitnya herpetofauna yang ditemukan pada daerah peralihan dibandingkan dengan daerah inti maka efek tepi memberikan pengaruh negatif bagi distribusi herpetofauna terutama pada daerah yang terfragmentasi. Kata kunci: herpetofauna, distribusi, habitat, daerah peralihan.
SUMMARY MOHAMMAD FARIKHIN YANUAREFA. E34052783. Effect of Transition Area on Herpetofauna Distributions in Tambling Wildlife Nature Conservation Area Bukit Barisan Selatan National Park, Lampung Province. Supervised by: MIRZA DIKARI KUSRINI and LILIK BUDI PRASETYO. Edge effect is tendency of differences in species composition or abundance of the transition area and core area. Tambling Wildlife Nature Conservation Area (TWNC) is part Bukit Barisan Selatan National park. TWNC area consists of various types of habitats which are expected to affect composition, diversity and distribution of herpetofauna in the area. Research was carried out to determine differences in species composition, species diversity and distribution between the transition area and core area. Research was carried out in Tambling Wildlife Nature Conservation and Laboratory of Environmental Analysis and Modelling of Spatial Faculty of Forestry IPB, in August 2009-January 2010. Amphibian and reptile were collected using Visual Encounter Survey (VES) with transect design method in coastal forests, lowland forests, gardens, transition area between the coastal forest and lowland forest as well as the transition area between the garden and lowland forest. Total amphibians found are 19 species. All species of amphibians are found along transects. There were 33 species of reptiles, consisting of 18 species found in transects and 15 species outside transects. Herpetofauna species composition differs among habitat types, as well as between transition area and core area. In core area, lowland forests have the highest number of amphibian species (14 species), followed by garden (8 species) and coastal forest (3 species). Lowland forests and coastal forest have the same number of species (10 species) of reptiles and garden (8 species). Number of species in transition area is 5 species of amphibians and 2 species of reptiles between coastal forest and lowland forest and 2 species of amphibians and 2 species of reptiles between garden and lowland forests. Differences in habitat type did not influence the value of species diversity index except for number of individual. More amphibians are found in low land forest area whereas reptile is found more on coastal forest. Spatial distribution of amphibian tends to congregate in lowland forest area consisting more micro habitats, close to fresh water source and protected from dessication. Reptile tends to distributed randomly due to its higher mobility that amphibian. Lower number of herpetofauna found at the transition area compared to core area, show that edge effects is negatively impacted the distribution of herpetofauna especially in fragmented area. Keywords: Herpetofauna, distribution, habitat, transition area.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyataan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Daerah Peralihan terhadap Distribusi Herpetofauna di Kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Provinsi Lampung adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pemimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi ataupun lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2010
M. Farikhin Yanuarefa NRP E34052783
Judul Penelitian
:
Pengaruh
Daerah
Peralihan
terhadap
Distribusi
Herpetofauna di Kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Provinsi Lampung Nama
: Mohammad Farikhin Yanuarefa
NRP
: E34052783
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. NIP. 196511 14 199002 2 001
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. NIP. 196203 16 198803 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB
Prof. Dr. Ir Sambas Basuni, M.S. NIP. 195809 15 198403 1 003
Tanggal Pengesahan:
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Mohammad Farikhin Yanuarefa dilahirkan di Kendal pada tanggal 24 Januari 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Moch Ichsan Hisjam dan Ibu Sri Mulyati. Penulis mulai pendidikan pada tahun 1992 di Taman Kanak-Kanak Busthanul Athfal dan lulus pada tahun 1993. Penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar pada tahun 1993 di SDN Krajankulon II Kaliwungu, pada tahun 1997 pindah ke SDN Patukangan I Kendal dan lulus pada tahun 1999, kemudian pada tahun 1999 melanjutkan ke SLTPN II Kendal dan lulus pada tahun 2002, setelah itu melanjutkan ke SMAN I Kendal dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2006 diterima pada program mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dengan program minor Perlindungan Hutan. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif di berbagai organisasi diantaranya aktif sebagai anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Fokma Bahurekso Kendal (2005-2007), anggota Biro Pengembangan Sumber Daya Manusia HIMAKOVA (2006-2007), Kelompok Pemerhati Herpetofauna “Python” dan pernah menjadi ketua Kelompok Pemerhati Herpetofauna periode 2007-2008. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Ekologi Satwaliar (2008-2009) dan Analisis Spasial Lingkungan (2010). Pengalaman lapangan penulis meliputi Eksplorasi Flora dan Fauna Indonesia (RAFFLESIA) I di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi pada tahun 2007, RAFFLESIA II di Cagar Alam Gunung Simpang Cianjur pada tahun 2008, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan pada tahun 2007, SURILI di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kalimantan Barat pada tahun 2008, Praktek Pengenalan Ekosistem hutan (PPEH) di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Cagar Alam Kamojang pada tahun 2007, Praktek Umum Konservasi Ex-situ di PUSPIPTEK Tanggerang dan CV Megacitrindo Bogor pada tahun 2008, Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur pada tahun 2009 dan pada tahun 2010 penulis menjadi surveyor satwaliar di Semenanjung Kampar, Riau. Untuk menyelesaikan tugas sebagai syarat meraih gelar Sarjana Kehutanan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pengaruh Daerah Peralihan terhadap Distribusi Herpetofauna di Kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Provinsi Lampung” dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirabbil `aalamiin. Puji dan syukur dipanjatkan ke-Hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dorongan semangat, nasehat dan bimbingannya. 2. Orang tuaku tercinta yaitu Bapak Moch Ichsan Hisjam dan Ibu Sri Mulyati serta adik-adikku Akhmad Fadhlul Mubin dan Elsanti Rizki Amalia yang memberikan doa, dorongan serta semangat selama kegiatan penelitian ini. 3. Dr. Ir. Bachruni, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan, Effendi Tri Bachtiar, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan, Ir. Iwan Hilwan, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Silvikultur. Terimakasih atas arahan dan masukan untuk penulis. 4. Pihak PT. Adhiniaga Kreasinusa atas kesediaannya memberikan fasilitas kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di kawasan TWNC. Penghargaan penulis untuk pimpinan Artha Graha Bapak Tomi Winata atas dana penelitian yang diberikan, Ibu Hannalilies, Ibu Intan, dr Lia, dr Nola, Mas Gilang, Pak Dadiel DK, Mas Daniel dan seluruh staf TWNC atas bantuannya di lapangan. 5. Bang Icuk, Bang Dede, Bang Kastari, Bang Hafizon, Bang 2 Hendra, Bang Rofik, Bang Forhan, Bang Khoirudin, Bang Maruza, dan abang-abang Security Group Artha (SGA) lainnya yang telah menemani dan mendampingi penulis selama di lapang. 6. Bapak Kurnia Rauf, Bapak Afrizal, Ibu Tri, Mas Dono, Mas Mardiansyah, Bapak Khoirudin, Bapak Endang, Bapak Fitrik beserta seluruh staf TNBBS atas izin dan bantuan selama penelitian.
7. Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. yang telah memfasilitasi penulis untuk mendapatkan bantuan akomodasi dan dana dari PT. Adhiniaga Kreasinusa. 8. Saudara seperjuangan penelitian di TWNC (Lina, Berry, Dera, dan Arif) atas kebersamaan di lapangan melewati hari-hari penuh pelajaran berharga. 9. Teman-Teman Laboratorium Katak yang telah memberikan saran dan masukannya. 10. Teman-teman
Laboratorium
SDAF
atas
bantuannya
dan
semangat
perjuangannya. 11. Keluarga besar HIMAKOVA dan KPH ”Python”, khususnya periode kepengurusan tahun 2006-2008 atas segala kebersamaan, kekompakan, serta pengalaman yang telah dilalui. 12. Keluarga besar KSHE 42 tanpa terkecuali, atas segala kebersamaan, kekompakan, kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, suka duka, serta semua hal yang telah dilakukan bersama hingga menjadi pengalaman dan pembelajaran hidup yang sangat berarti bagi penulis. 13. Keluarga Wisma Evergreen (Rino, Rifka, Aji, Taufik, Eka, Bayu, Revan, Jowo, Andi & Alfa), Kelurga Pondok Mandala (Ardi, Berry dan Jamal) dan Kelurga Wisma Taman Surga (Harri, Budi, Iqbal, Fadli, Dera, Willi, dan Mahe) atas kebersamaannya melewati hari-hari penuh pengalaman dan kenangan. 14. Keluarga besar DKSHE atas bantuannya yang sudah membantu penulis selama menimba ilmu di IPB. 15. Dian Thursina atas motivasi, semangat, dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama penelitian. 16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini apapun bentuknya.
i
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penyusun panjatkan ke-Hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam penyusun panjatkan kepada suri tauladan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Penelitian ini berjudul “Pengaruh Daerah Peralihan terhadap Distribusi
Herpetofauna
di
Kawasan
Tambling
Wildlife
Nature
Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Provinsi Lampung” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) merupakan wilayah bagian dari kawasan TNBBS. Pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh PT Adhiniaga Kreasi Nusa (Artha Group), melalui kerja sama operasional (KSO). Sebagai suatu kawasan konservasi dengan pengelolaan intensif, TWNC membutuhkan data dan informasi tentang keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya agar pengelolaannya lebih optimal. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian tentang distribusi herpetofauna di berbagai habitat baik daerah inti maupun daerah peralihan di TWNC. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala bentuk kritik dan masukan yang bertujuan untuk memperbaiki skripsi ini sangat diharapkan penulis. Akhir kata penulis hanya dapat berharap semoga karya yang telah dibuat ini dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2010 Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... ii DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2. Tujuan ....................................................................................... 2 1.3. Manfaat ..................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4 2.1. Ekologi dan Penyebaran Herpetofauna di Sumatera ................ 4 2.1.1. Amfibi............................................................................. 4 2.1.2. Reptil .............................................................................. 8 2.2. Edge (Daerah Peralihan) dan Core (Daerah Inti) ..................... 10 2.3. Penginderaan Jauh, Sistem Informasi Geografis dan Aplikasinya ............................................................................... 12 BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 16 3.1. Waktu dan Lokasi ..................................................................... 16 3.2. Alat dan Bahan ......................................................................... 17 3.3. Jenis Data.................................................................................. 17 3.3.1. Data Primer ..................................................................... 17 3.3.2. Data Sekunder ................................................................ 17 3.4. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 17 3.4.1. Data Primer ..................................................................... 17 3.4.2. Data Sekunder ................................................................ 22 3.5. Analisis Data ............................................................................ 22 3.5.1. Analisis Data Satwa ....................................................... 22 3.5.2. Analisis Data Habitat...................................................... 24 3.6. Diagram Alur Pembuatan Peta Distribusi Herpetofauna.......... 24
iii
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ................................ 26 4.1. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ................................... 26 4.2. Tambling Wildlife Nature Conservation .................................. 28 4.2. Karakteristik Habitat Lokasi Peneltian ..................................... 29 BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 34 5.1. Hasil .......................................................................................... 34 5.1.1. Komposisi Jenis dan Respon Jenis terhadap Daerah Peralihan.......................................................................... 34 5.1.2. Indeks Keanekaragaman Jenis ........................................ 41 5.1.3. Indeks Kesamaan Jenis ................................................... 43 5.1.4. Uji Beda Keanekaragaman Jenis .................................... 46 5.1.5. Distribusi Spasial ............................................................ 47 5.2. Pembahasan .............................................................................. 72 5.2.1. Komposisi Jenis dan Respon Jenis terhadap Daerah Peralihan.......................................................................... 72 5.2.2. Indeks Keanekaragaman dan Kesamaan Jenis ............... 78 5.2.3. Distribusi Spasial ............................................................ 81 5.2.4. Status Jenis Herpetofauna............................................... 81
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 84 6.1. Kesimpulan ............................................................................... 84 6.1. Saran ......................................................................................... 84 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 85 LAMPIRAN......... ........................................................................................... 91
iv
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian................................... 17
2.
Rincian Waktu Pengambilan Data Satwa pada Jalur Penelitian ............... 21
3.
Distribusi Herpetofauna di Daerah Inti dan Daerah Peralihan di TWNC. 35
4.
Jumlah Individu Herpetofauna yang Ditemukan pada Jalur di TWNC .... 37
5. Jenis-Jenis Herpetofauna Spesialis yang Dijumpai pada Lokasi Penelitian ................................................................................................... 39 6.
Jenis-Jenis Herpetofauna Generalis yang Dijumpai pada Lokasi Penelitian ................................................................................................... 39
7.
Nilai t Hitung antar Tipe Habitat .............................................................. 46
8.
Distribusi Herpetofauna pada Jalur Daerah Peralihan .............................. 47
9.
Distribusi Herpetofauna pada Jalur Daerah Inti ........................................ 59
v
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Daerah inti dan daerah peralihan berdasarkan ukuran bentuk patch ........ 11
2.
Berbagai respon spesies terhadap daerah peralihan .................................. 12
3.
Peta kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation ........................... 16
4.
Ilustrasi penentuan daerah peralihan ......................................................... 18
5.
Ilustrasi jalur pengamatan herpetofauna ................................................... 20
6.
Diagram alur penelitian ............................................................................. 25
7.
Kondisi lokasi pengamatan pada daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah. ......................................................................... 30
8.
Kondisi lokasi pengamatan pada daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah ................................................................................. 31
9.
Kondisi lokasi pengamatan di hutan pantai .............................................. 32
10. Kondisi lokasi pengamatan di hutan dataran rendah ................................ 33 11. Kondisi lokasi pengamatan di hutan kebun .............................................. 33 12. Kurva akumulasi jenis herpetofauna ........................................................ 41 13. Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah...................................................... 42 14. Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah................................................................ 43 15. Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada daerah inti di setiap tipe habitat 43 16. Dendrogram kesamaan jenis (a) amfibi dan (b) reptil pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah .......................... 44 17. Dendrogram kesamaan jenis (a) amfibi dan (b) reptil pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah ................................... 45 18. Dendrogram kesamaan jenis (a) amfibi dan (b) reptil pada daerah inti di setiap tipe habitat .................................................................................. 45 19. Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah di Sekawat I........................................... 48 20. Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah di Sekawat II ......................................... 49
vi
21. Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah di Blambangan I .................................... 50 22. Peta distribusi herpetofauna pada daerah jalur peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah di Blambangan II................................... 51 23. Jumlah (a) amfibi dan (b) reptil yang ditemukan pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah ......................... 52 24. Jumlah (a) amfibi dan (b) reptil yang ditemukan pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah .................................... 54 25. Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah di Tanjung Mas I .............................................. 55 26. Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah di Tanjung Mas II ............................................ 56 27. Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah di Penangkaran I .............................................. 57 28. Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah di Penangkaran II ............................................. 58 29. Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan pantai di Sekawat .............. 60 30. Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan pantai di Seyleman............ 61 31. Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan pantai di Blambangan ....... 62 32. Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan pantai di Belimbing .......... 63 33. Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan dataran rendah di Duku Satu I ......................................................................................................... 64 34. Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan dataran rendah di Duku Satu II ........................................................................................................ 65 35. Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan dataran rendah di Way Seyleman I................................................................................................. 66 36. Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan dataran rendah di Way Seyleman II ............................................................................................... 67 37. Peta distribusi herpetofauna pada jalur kebun di Pulau-Pulau I ............... 68 38. Peta distribusi herpetofauna pada jalur kebun di Pulau-Pulau II .............. 69 39. Peta distribusi herpetofauna pada jalur kebun di Penangkaran................. 70 40. Peta distribusi herpetofauna pada jalur kebun di Pengekahan .................. 71
vii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Data Iklim (Suhu Udara, Kelembaban dan Cuaca) di Lokasi Penelitian .. 92
2.
Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis pada Jalur Daerah Peralihan antara Hutan Pantai dan Hutan Dataran Rendah .......... 94
3.
Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis pada Jalur Daerah Peralihan antara Kebun dan Hutan Dataran Rendah .................... 95
4.
Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis pada Daerah Inti ............................................................................................................. 96
5.
Pehitungan Indeks Kesamaan Jenis pada Jalur Daerah Peralihan antara Hutan Pantai dan Hutan Dataran Rendah ................................................. 97
6.
Pehitungan Indeks Kesamaan Jenis pada Jalur Daerah Peralihan antara Kebun dan Hutan Dataran Rendah............................................................ 98
7.
Pehitungan Indeks Kesamaan Jenis pada Daerah Inti ............................... 99
8.
Uji Statistik pada Jalur Daerah Peralihan antara Hutan Pantai dan Hutan Dataran Rendah ......................................................................................... 100
9.
Uji Statistik pada Jalur Daerah Peralihan antara Kebun dan Hutan Dataran Rendah ......................................................................................... 102
10. Uji Statistik antar Daerah Inti ................................................................... 104 11. Deskripsi Jenis Amfibi yang Dijumpai di Kawasan TWNC ................... 107 12. Deskripsi Jenis Reptil yang Dijumpai di Kawasan TWNC ..................... 115
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen. Fragmentasi habitat yang disebabkan oleh aktivitas manusia diyakini merupakan ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di muka bumi. Fragmentasi memberi efek bagi keanekaragaman hayati dalam bentuk pembentukan habitat yang terpisah satu sama lain dengan luas yang semakin kecil dari kondisi semula. Kondisi ini selanjutnya akan menimbulkan dampak berupa hadirnya efek tepi (Primack et al. 1998). Efek tepi merupakan kecenderungan perbedaan komposisi jenis atau kelimpahan di daerah peralihan dan daerah inti (Forman 1981). Lingkungan mikro daerah peralihan berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Oleh karena jenis tumbuhan dan hewan biasanya beradaptasi untuk suhu, kelembaban dan intensitas cahaya tertentu (Yoza 2005). Fragmentasi banyak memberikan dampak negatif bagi habitat sehingga menyebabkan terjadinya penurunan bahkan kepunahan jenis pada habitat tersebut, tetapi seringkali jumlah jenis dan kepadatan populasi dari beberapa jenis lebih besar di daerah peralihan daripada di komunitas yang mengapitnya karena daerah peralihan dianggap sebagai daerah berbeda yang mempunyai jenis gabungan dari jenis asli daerah peralihan dan jenis tambahan yang berasal dari komunitas yang mengapitnya (Odum 1993). Menurut Prasetyo (2007), respon satwa terhadap daerah peralihan pada prinsipnya dibagi menjadi dua yaitu menyukai daerah peralihan (edge exploiter) dan menghindari daerah peralihan (edge avoider). Bukit Barisan Selatan ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui surat keputusan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982. Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) meliputi areal seluas ± 365.000 hektar yang membentang dari ujung selatan bagian barat Provinsi Lampung sampai bagian selatan Provinsi Bengkulu. TNBBS mempunyai potensi keragaman hayati yang sangat tinggi, hingga saat ini telah terindentifikasi 200 jenis pohon, 126 jenis anggrek, 17 jenis rotan dan 15 jenis bambu. Sedangkan kekayaan fauna kawasan
2
ini menyimpan 83 jenis mamalia, 300 jenis burung, 59 jenis herpetofauna (amfibi dan reptil) dan 51 jenis ikan (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 2004). TNBBS mempunyai keanekaragaman jenis herpetofauna cukup tinggi. Menurut penelitian HIMAKOVA IPB (2004) yang hanya melakukan pengamatan di satu lokasi dalam TNBBS, ditemukan 26 jenis herpetofauna yang terdiri dari 13 jenis amfibi dan 13 jenis reptil sedangkan UlHasanah (2006) dan Endarwin (2006) yang melakukan penelitian di areal yang lebih luas dari penelitian HIMAKOVA IPB, menemukan 44 jenis amfibi dan 51 jenis reptil. Kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) merupakan wilayah bagian dari kawasan TNBBS. Kawasan ini mempunyai luas ± 45.000 hektar. Pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh PT Adhiniaga Kreasi Nusa (Artha Group), melalui kerja sama operasional (KSO). Kawasan TWNC terdiri dari berbagai tipe habitat yaitu mulai dari hutan pantai sampai hutan hujan dataran rendah. Perbedaan habitat tersebut diduga akan mempengaruhi komposisis, keanekaragaman dan distribusi herpetofauna di wilayah tersebut, selain itu terdapat perbedaan pada daerah peralihan (edge) antar tipe habitat. Sebagai suatu kawasan konservasi dengan pengelolaan intensif, TWNC membutuhkan data dan informasi tentang keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya agar pengelolaannya lebih optimal. Informasi tentang kondisi daerah peralihan baik vegetasi dan satwanya diperlukan bagi pengelolaan di TWNC, salah satunya herpetofauna. Informasi ini dapat menjadi masukan kepada pengelola dalam melakukan kegiatan konservasi untuk menghindari kepunahan herpetofauna.
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui: 1.
Perbedaan komposisi jenis antar daerah peralihan dan daerah inti.
2.
Perbedaan keanekaragaman jenis antar daerah peralihan dan daerah inti.
3.
Distribusi herpetofauna di setiap tipe habitat
3
1.3. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Melengkapi data dan informasi mengenai jenis, distribusi serta karakteristik habitat herpetofauna.
2.
Memberikan masukan kepada pengelola terutama dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan keanekaragaan jenis herpetofauna.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi dan Penyebaran Herpetofauna di Sumatera 2.1.1. Amfibi Amfibi merupakan satwa poikilotherm atau ektotermik yang berarti amfibi tidak dapat menggunakan proses metabolisme di dalam tubuhnya untuk dijadikan sebagai sumber panas, tetapi amfibi memperoleh sumber panas dari lingkungan untuk mendapatkan energi, oleh karena itu amfibi mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (Mistar 2003). Satwa poikiloterm mempunyai metabolisme yang rendah, oleh karena itu mereka mampu tidak makan dalam waktu yang relatif lama. Namun demikian, beberapa jenis katak makan setiap hari atau beberapa hari sekali, kecuali pada saat dorman dimana mereka bisa tidak makan sampai beberapa bulan (Kusrini 2009). Keadaan dorman dilakukan pada saat kondisi lingkungan tidak mendukung kehidupan amfibi (Cogger 1999). Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lingkungan. Suhu dan kelembaban yang sesuai sangat diperlukan bagi kehidupan amfibi. Menurut Duellman and Trueb (1994) bangsa salamander di Amerika Utara dan Selatan mempunyai kisaran suhu -2-30 ºC untuk dapat hidup, sedangkan bangsa anura mempunyai kisaran suhu antara 3-35,7 ºC yang dapat ditolerir untuk menunjang kehidupannya. Beberapa jenis amfibi di iklim dingin berjemur untuk menaikkan suhu tubuh agar tetap stabil (Cogger 1999). Kebanyakan amfibi nokturnal dan hanya aktif ketika kondisi lingkungannya cukup lembab untuk mengurangi dehidrasi pada tubuhnya (Cogger and Zweifel 2003). Kelembaban dibutuhkan untuk membuat kulit amfibi tidak kering karena kulit berfungsi sebagai alat pernafasan. Selain itu kulit katak bersifat permeabel dimana berungsi sebagai tempat keluar masuk air dan udara (Cogger 1999). Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air (Iskandar 1998). Air dapat menjaga perubahan temperatur pada tubuhnya sehingga amfibi selalu berada dekat dengan air. Jumlah air dalam tubuh kira-kira 70-80 % dari berat tubuh amfibi (Hofrichter 2000). Ada beberapa jenis amfibi tinggal di daerah yang jauh dari air,
5
sehingga mereka mengembangkan berbagai strategi untuk mempertahankan kandungan air dalam tubuhnya. Cyclorana platycephalus mempunyai kandung kencing sangat besar dan dapat menyimpan air sampai separuh berat badannya, hal ini dilakukan untuk menyimpan cadangan air pada musim kemarau (van Hoeve 1992). Amfibi dewasa bernafas menggunakan paru-paru, sedangkan pada amfibi muda (saat baru menetas disebut sebagai berudu) umumnya bernafas dengan insang. Pada saat metamorfosis, terjadi perubahan dari segi morfologis dimana bentuk serupa ikan pada berudu yang bernafas dengan insang ini berubah menjadi vertebrata bertungkai yang bernafas dengan paru-paru. Air sangat dibutuhkan oleh amfibi pada saat fase berudu. Menurut Mistar (2003) fase berudu merupakan bagian dari proses evolusi amfibi yang paling kompleks, dan apabila gagal dalam fase ini maka selamanya tidak akan pernah menjadi katak/ kodok Untuk mempertahankan diri dari pemangsa dan penyakit, amfibi mempunyai berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Menurut Kusrini (2009) mekanisme pertahanan diri tersebut antara lain pewarnaan pada warna kulit amfibi. Pewarnaan berfungsi sebagai kamufalse atau memperingatkan predator bahwa amfibi tersebut beracun/ berbahaya. Beberapa jenis amfibi yang tidak berbahaya kadang-kadang mempunyai warna yang serupa dengan amfibi berbahaya, hal tersebut digunakan untuk mengelabuhi predator mereka. Bentuk dan warna amfibi yang menyerupai lingkungan sekitar juga digunakan amfibi untuk menyulitkan predator memangsa mereka, seperti yang dilakukan oleh katak terestrial yang hidup di lantai hutan biasanya mempunyai bentuk yang mirip dengan serasah (Duellman and Trueb 1994). Amfibi mempunyai kulit yang tetap lembab yang berfungsi untuk mencegah masuknya bakteri atau patogen lainnya. Beberapa jenis katak mempunyai kelenjar beracun, racun tersebut berwarna susu atau bening akan dikeluarkan oleh katak jika mengalami gangguan/ ancaman (van Hoeve 1992). Penelitian yang dilakukan oleh Daly et al. (2004) di Thailand, beberapa jenis amfibi dari bangsa anura mempunyai zat bioaktif pada kulitnya yang berfungsi sebagai racun. Amfibi juga mempunyai mekanisme pertahanan diri dengan cara menggigit, terdapat beberapa jenis katak yang menggigit jika dipegang seperti Asterophrys turpicola dari Niugini, Ceratobatrachus guantheri
6
dari Solomon serta marga Hemipharactus dan Ceretophrys dari Amerika (Iskandar 1998). Amfibi hidup pada daerah yang dekat dengan air. Tetapi ada beberapa jenis yang hidup pada daerah yang jauh dari air seperti pada amfibi terestrial dan katak pohon (Iskandar 1998). Amfibi mempunyai habitat yang bervariasi mulai dari habitat sawah, rawa dan kolam (Fitri 2002), sedangkan menurut Iskandar (1998) habitat amfibi bervariasi mulai di sawah, rawa, sekitar sungai di dataran rendah sampai tinggi, bahkan di pundak pohon di hutan-hutan pegunungan. Hampir 5,000 jenis amfibi di dunia tergantung pada hutan sebagai tempat hidupnya. Habitat terestrial lain tidak begitu disukai oleh amfibi khususnya tempat yang kering, seperti padang rumput dan gurun (IUCN 2008). Beberapa jenis amfibi merupakan jenis-jenis yang mempunyai habitat/ hanya dapat hidup pada daerah yang spesifik (mikrohabitat) yang masih alami amfibi seperti ini disebut amfibi spesialis. Contoh dari amfibi spesialis ini yaitu kongkang jeram (Huia massonii) yang hanya hidup pada daerah yang masih alami dimana hidup didaerah yang beraliran deras dan mempunyai air yang jernih. Beberapa jenis lagi merupakan amfibi yang dapat hidup dalam tekanan/ dekat lingkungan yang tercemar/ dekat dengan hunian manusia. Jenis ini merupakan jenis-jenis amfibi yang semakin banyak seiring dengan meningkatnya populasi manusia dimana dalam hidupnya jenis-jenis ini mampu bertahan atau bahkan dapat hidup baik dengan kondisi lingkungan yang sudah tidak alami. Jenis-jenis amibi ini umumnya merupakan jenis yang umum dijumpai atau disebut sebagai amfibi generalis. Contoh dari amfibi generalis yaitu kodok buduk (Bufo melanostictus) dan kongkang kolam (Rana chalconota). Menurut Mistar (2003), secara umum menurut tipe habitat dan kebiasaan hidupnya amfibi terbagi menjadi empat kelompok yaitu: 1) Terestrial - hidup diatas permukaan tanah, diantaranya Megophrys nasuta, Megophrys montana, Megophrys aceras, Bufo quadriporcatus, Bufo parvus, Pedostibes hosii, Kalophrynus pleurostigma, Kalophrynus punctatus 2) Arboreal - kelompok yang hidup diatas pohon diwakili oleh famili Rhacophoridae, dua spesies famili Microhylidae dan satu spesies katak puru pohon Pedostibes hosii
7
3) Akuatik - amfibi yang sepanjang hidupnya selalu terdapat di sekitar sungai atau air diantaranya Bufo asper, Bufo juxtasper, Occidozyga sumatrana, Rana kampeni, Rana signata, Limnonectes spp. 4) Fossorial - kelompok yang hidup di dalam lubang-lubang tanah diwakili oleh famili Microhylidae Menurut penelitian van Kampen pada tahun 1923, di Pulau Sumatera tercatat 61 jenis amfibi. Tetapi seiring banyaknya survei, di temukan banyak jenis baru di Sumatera, seperti penelitian Inger and Iskandar (2005) yang menemukan jenis baru di Sumatera Barat yaitu Megophrys parallela. Publikasi terbaru menunjukkan bahwa Pulau Sumatera mempunyai 85 jenis amfibi dan 23 jenis diantaranya merupakan endemik (Inger 2005). Sedangkan amfibi yang ditemukan di Sumatera terdiri atas Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae (Iskandar and Colijn 2000). Mistar (2003) mencatat 69 jenis amfibi di kawasan ekosistem Leuser. Sementara Darmawan (2008) melakukan penelitian di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi dan menemukan 37 jenis amfibi dari 5 famili yang terdiri dari Bufonidae, Megophrydae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Jumlah jenis yang ditemukan tergantung dari luasan wilayah yang diteliti dan usaha pencarian. Sebagai contoh, HIMAKOVA (2004) menemukan 13 jenis amfibi dari Ordo Anura di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, sedangkan di lokasi yang sama Ul-Hasanah (2006) menemukan 44 jenis amfibi yang terdiri dari Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae.
Di Taman Nasional Kerinci Seblat penelitian intensif yang
dilakukan oleh Kurniati (2007) menemukan 70 jenis amfibi, Sudrajat (2001) menemukan 25 jenis amfibi dari Ordo Anura di Musi Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas Sumatera Selatan. Widyananto (2009) melakukan penelitian di kawasan Siberut Conservation Program dan menemukan 14 jenis amfibi. HIMAKOVA (2006) menemukan 18 jenis amfibi dari Ordo Anura di Taman Nasional Way Kambas.
8
2.1.2. Reptil Reptil mempunyai berbagai macam bentuk, ukuran dan strategi yang mengesankan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti kura-kura dengan tubuhnya yang diselimuti cangkang, ular dengan dengan tubuhnya yang panjang dan berkelok-kelok, gerakan lincah dari kadal dan tubuh yang besar dari buaya (Cogger and Zweifel 2003). Reptil adalah satwa ektotermal, yaitu mereka memerlukan sumber panas eksternal untuk melakukan kegiatan metabolismenya (Cogger and Zweifel 2003). Pada saat kondisi lingkungan panas, reptil khususnya kadal memperoleh panas dengan cara berjemur dibawah sinar matahari atau berpindah ke tempat yang panas dengan cara mengekspose sebagian besar tubuhnya sehingga memperoleh panas dengan optimal. Sedangkan pada saat kondisi lingkungan dingin, kadal hanya mengekspose sebagian kecil tubuhnya untuk menyimpan panas (Cogger 1999). Sebagian besar kadal mengatur suhu tubuhnya dengan cara mengubah warna tubuhnya. Pada waktu pagi hari dan sore hari, kulit dari kadal berwarna lebih gelap sehingga dapat menyerap panas dari sinar matahari secara optimal dan pada waktu tubuhnya telah panas, maka warna kulitnya berubah menjadi lebih terang. Beberapa jenis kadal dan ular di daerah tropis aktif pada malam hari karena suhu pada waktu malam hari lebih stabil (Cogger 1999). Berbeda dengan semua reptilia lain, yang baru aktif benar pada suhu antara 20oC dan 40oC, tuatara terasa nyaman pada suhu 12oC (van Hoeve 1992). Menggigit merupakan perilaku paling umum dijumpai dari reptil untuk mempertahankan diri dari gangguan. Tetapi terdapat berbagai strategi yang digunakan reptil seperti ular dari famili elapidae dan viperidae memproduksi racun untuk
mempertahankan diri. Beberapa jenis kadal
memipihkan,
mengembangkan dan meninggikan tubuhnya untuk membuat meraka kelihatan menjadi lebih besar. Beberapa jenis ular dan bunglon menyamarkan diri menyerupai dengan lingkungan sekitarnya (Cogger and Zweifel 2003). Reptil hampir ditemukan di seluruh dunia sampai ketinggian lebih dari 4.500 meter diatas permukaan laut. Mereka tersebar di semua benua kecuali Antartika, bahkan beberapa reptil ditemukan pada pulau yang terpencil. Mereka hidup di hutan hujan, hutan tanaman, savana, padang rumput, gurun, dan semak
9
belukar (Cogger and Zweifel 2003). Reptil jika dibagi berdasarkan habitatnya, menurut Cogger and Zweifel (2003) terdiri dari reptil terstrial, reptil arboreal, reptil subterranean, reptil akuatik, dan reptil di pulau terpencil. Kebanyakan jenis reptil dijumpai pada daerah tropis dan sub tropis. Di daerah beriklim sedang, reptilia melaksanakan hibernasi selama musim salju. Ini terpaksa dilakukannya karena tak mampu mengatur suhu badannya sendiri. Lagi pula, selama musim itu tidak tersedia makanan. Pada musim semi, reptilia muncul kembali dan segera mulai musim kawin (van Hoeve 1992). Penyu hidup di laut daerah temperate dan tropis, sedangkan kura-kura air tawar hidup air tawar seperti kolam, danau, sungai besar maupun anak sungai. Tuatara hidup di hutan dataran rendah dan semak belukar, biasa ditemukan bersembunyi di lantai hutan. Semua buaya hidup secara semiakuatik dan tidak pernah jauh dari air. Kebanyakan buaya hidup di air tawar tetapi beberapa spesies yang hidup di daerah yang mempunyai salinitas tinggi seperti di rawa dan muara. Kadal dapat ditemukan diberbagai tipe habitat. Beberapa hidup di daerah temperate, beberapa hidup di daerah sangat panas dan sangat dingin. Amphisbaenia menghabiskan waktunya di bawah tanah. Mereka lebih memilih daerah yang lembab sebagai tempat tinggalnya. Ular tersebar hampir di seluruh dunia kecuali daerah yang sangat dingin (Cogger 1999). Penelitian tentang reptil di Sumatera berkembang bersamaan dengan penelitian amfibi di Sumatera karena biasanya penelitian reptil selalu dilakukan bersamaan dengan penelitian amfibi. Beberapa contoh penelitian keanekaragaman reptil yang ada di Sumatera antara lain penelitian di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dilakukan oleh HIMAKOVA (2004) dan menemukan 13 jenis reptil sedangkan (Endarwin 2006) melakukan peneltian yang lebih luas pada kawasan yang sama dan menemukan 51 jenis reptil.
Pada kawasan Musi
Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas Sumatera Selatan, terdapat 27 jenis reptil (Sudrajat 2001). Di Taman Nasional Kerinci Seblat penelitian intensif yang dilakukan oleh Kurniati (2007) menemukan 38 jenis reptil. HIMAKOVA (2006), menemukan 13 jenis reptil di Taman Nasional Way Kambas. Pada kawasan Siberut Conservation Program ditemukan 26 jenis reptil (Widyananto 2009),
10
Yusuf (2006) melakukan penelitian di di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi dan menemukan 31 jenis reptil.
2.2. Edge (Daerah Peralihan) dan Core (Daerah Inti) Odum (1993) mendefinisikan daerah peralihan sebagai peralihan antara dua atau lebih komunitas yang berbeda. Sedangkan menurut Forman (1981) daerah peralihan berarti bagian dari suatu ekosistem yang berdekatan dengan garis kelilingnya (perimeter) dimana pengaruh-pengaruh dari patches yang berdekatan dapat menyebabkan perbedaan lingkungan antara daerah inti suatu patch dengan tepinya. Efek tepi (edge effect) ini meliputi perbedaan komposisi spesies atau kelimpahan di bagian luar patch. Komunitas daerah peralihan biasanya banyak mengandung organisme dari masing-masing komunitas yang saling tumpang tindih dan sebagai tambahan organisme-organisme yang khas dan sering kali terbatas hanya pada daerah peralihan. Sering kali, jumlah jenis dan kepadatan populasi dari beberapa jenis lebih besar di daerah peralihan daripada di komunitas yang mengapitnya. Kecenderungn untuk meningkatnya keanekaragaman dan kepadatan pada pertemuan komunitas dikenal sebagai pengaruh tepi (edge effect) (Odum 1993). Di dalam lanskap yang kontinyu, seperti suatu hutan ke daerah berkayu yang terbuka, lokasi daerah peralihan pastinya kabur dan kadang-kadang dibedakan oleh gradien lokal melalui suatu ambang batas, seperti halnya suatu titik dimana penutupan pohon menurun di bawah 35 persen (Turner et al. 2001) Bentuk, luas dan konfigurasi spasial daerah peralihan mempengaruhi proses ekosistem pada daerah peralihan. Daerah peralihan yang sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah. Matriks yang terfragmentasi, akan menimbulkan banyak daerah peralihan. Fragmentasi adalah proses perubahan dari matriks homogen yang kompak, menjadi matriks heterogen yang terpecah-pecah. Kondisi matriks yang terpecah ini akan berbeda dengan matriks awal dalam hal: (a) matriks yang terfragmen akan mempunyai area daerah peralihan yang lebih luas (b) jarak pusat matriks dengan daerah peralihan menjadi lebih dekat (c) daerah inti menjadi lebih sempit. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan komposisi atau biodiversitasnya (Prasetyo 2007).
11
Ukuran dan bentuk patch beragam, ada yang membulat (isodiametric) dan memanjang (elongated). Isodiametric patch memiliki areal daerah inti yang lebih besar daripada daerah peralihannya, sebaliknya elongated patch memiliki daerah peralihan area yang lebih luas. Dengan kata lain isodiametric patch menampung fauna interior lebih banyak dari elongated patch. Sebaliknya elongated patch akan memiliki keunggulan dari keanekaragaman spesies interiornya. Untuk mengukur bentuk patch ini, biasanya digunakan perhitungan interior-to-edgeratio. Semakin besar nilai perhitungan interior-to-edge-ratio nya maka bentuk patch tersebut semakin mendekati lingkaran/ membulat (Farina 2000). Gambar 1, memberikan gambaran daerah inti dan daerah peralihan. Size
Patch Interior
Small
Isodiametric
Intermediete
Elongated
Patch Edge
Large
Narrow Elongated
Gambar 1 Daerah inti dan daerah peralihan berdasarkan ukuran bentuk patch.
Menurut Sisk et al. 1997, terdapat tiga kategori respon fauna terhadap daerah peralihan yaitu meningkat kelimpahannya (b), beberapa menurun (c) dan beberapa secara relatif tidak terpengaruh (a) (Gambar 2).
12
a).Edge Neutral
Daerah 1
DP
c). Edge Avoider
b). Edge Exploiter
Daerah 1
DP
Daerah 2
Daerah 2
Daerah 1
DP
Daerah 2
Gambar 2 Berbagai respon jenis terhadap daerah peralihan.
2.3. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Georafis serta Aplikasinya Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer 1990). Menurut Lo (1996), penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya
dari
jarak
jauh
tanpa
sentuhan
fisik.
Prahasta (2008)
mengemukakan remote sensing sebagai ilmu (dan seni) dalam mendapatkan informasi objek, luasan (area), atau bahkan suatu fenomena alamiah melalui suatu analisis terhadap data yang diperoleh dari perangkat (sensor dan platform) tanpa kontak (menyentuh) langsung. Sedangkan menurut Soenarmo (2003), penginderaan jauh secara umum didefinisikan ilmu, teknik, seni untuk memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda atau objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak langsung dengan benda atau target tersebut. Sensor yang digunakan adalah sensor jauh yaitu sensor yang secara fisik berada jauh dari benda atau obyek tersebut. Untuk itu digunakan sistem pemancar (transmitter)
13
dan penerima (receiver). Ilmu disini menggambarkan ilmu atau sains yang diperlukan baik dalam konsep, perolehan data maupun pengelolaan dan analisis, untuk mendapatkan teknik pelaksanaan pengambilan data yang tepat dan baik serta sesuai dengan tujuan perolehan data. Sedangkan teknik, menunjukkan bahwa teknologi INDERAJA memerlukan kemampuan merancang bangun untuk semua peralatan yang menyaing baik wahana, sensor, sistem sensor, stasiun di bumi maupun sistem penerimaan data dan pengolahannya. Karena data yang diperoleh pada umumnya berbentuk keruangan atau spasial, maka dalam pengolahannya memerlukan seni tampilan yang serasi, menarik dan mudah dimengerti (Soenarmo 2003). Sistem Informasi Georafis atau Georaphic Information Sistem (GIS) merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Sistem ini menyimpan, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi (Aini 2007). SIG adalah sistem komputer yang dapat merekam, menyimpan dan menganalisis
suatu
informasi
tentang
keadaan
rupa
bumi.
Dengan
menggabungkan data-data yang berhubungan dengan spesies ke dalam SIG, maka hasil itu dapat ditampilkan. Pada dasarnya, sistem informasi geografis adalah suatu sistem terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait (berhubungan) dalam mencapai suatu sasaran, berdasarkan informasi (data, fakta, kondisi, fenomena) berbasis geografis (daerah, spasial, keruangan) yang dapat dicek posisinya di permukaan bumi (bergeoreferensi). Kedua jenis data, baik spasial maupun tabular/ tekstual disimpan dalam suatu sistem yang dikenal dengan basis data SIG. Sistem basis data ini merupakan komponen utama yang harus tersedia dalam SI, disamping komponen lain seperti komputer, sumberdaya manusia dan organisasi atau wadah pengelolaan yang mengendalikan penggunaan SIG (Soenarmo 2003). SIG merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yaitu subsistem masukan data, subsistem proses subsistem keluaran data dimana data tersebut secara spasial terkait dengan muka bumi (Atmawijadja 1996). Data yang menjadi masukan data meliputi data inderaja maupun peta serta
14
data statistik. Secara umum data ini terdiri dari data titik, garis dan polygon. Sub sistem kedua adalah proses yang meliputi manipulasi, analisa, dan pengelolaannya dimana proses tersebut sekarang dilakukan menggunakan komputer. Sedangkan keluaran data meliputi data hasil proses yang dilakukan dapat berupa peta-peta modeling maupun pemantauan serta deskripsi peta-peta tersebut sehingga dapat digunakan untuk kegiatan evaluasi sumberdaya alam untuk pengambilan keputusan. Tujuan utama penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Penginderaan jauh diaplikasikan guna mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk mengartikan berbagai macam komponen lingkungan kita yang lebih baik. Penginderaan jauh terutama berperan penting sebagai alat dalam survei inventarisasi dan pemetaan pada kenampakan lingkungan (Lo 1996). Bidang-bidang ilmu yang biasanya memanfaatkan penginderaan jauh adalah meteorologi, klimatologi, oseanografi, studi pantai, sumberdaya air, teknik sipil, tata guna lahan, bencana alam, geologi, arkeologi dan antropologi serta kartografi (Soenarmo 2003). Sedangkan menurut Jensen (2000) remote sensing dapat diaplikasikan pada bidang ilmu geografi, taksonomi tanah, biogeografi, geologi, hidrologi, perencanaan kota, pertanian, kelautan dan kehutanan. Sedangkan dalam bidang ekologi, Odum (1993) menyatakan bahwa teknik penginderaan jarak jauh dapat diaplikasikan ke dalam empat kategori yaitu: 1.
Inventarisasi dan pemetaan sumberdaya
2.
Mengubah data lingkungan menjadi data kuantitatif
3.
Mencandra aliran materi dan energi dalam ekosistem
4.
Mengevaluasi perubahan yang terjadi serta penyelesaian alternatif untuk mengelola lingkungan. Menurut Prahasta (2002), aplikasi SIG antara lain dapat digunakan dalam
aspek sumberdaya alam, perencanaan, kependudukan, lingkungan dan pertahanan. Pada aspek sumberdaya alam, SIG digunakan dalam kegiatan inventarisasi, manajemen, serta analisis kesesuaian lahan untuk pertanian, kehutanan, perencanaan tata guna lahan, analisis daerah rawan banjir, dan lain sebagainya. Penggunaan SIG untuk aplikasi konservasi satwa liar sudah mulai banyak dilakukan di Indonesia beberapa diantaranya seperti pemodelan spasial kesesuaian
15
habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) (Rudiansyah 2007), pemetaan kesesuaian habitat banteng (Bos javanicus) (Destriana 2008) dan penggunaan ruang habitat oleh badak jawa (Rhinoceros sundaicus) (Muntasib 2002). Aplikasi SIG untuk herpetofauna di Indonesia belum banyak dilakukan, beberapa diantaranya yaitu Lubis (2006) tentang pemodelan spasial habitat katak pohon jawa (Rhacophorus javanus), Husna (2006) tentang sebaran spasial dan keanekaragaman ular di berbagai tipe penggunaan dan Purbatrapsila (2009) tentang studi keanekaragaman jenis dan sebaran spasial ular pada beberapa tipe habitat.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
dilaksanakan
di
kawasan
Tambling
Wildlife
Nature
Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan data (Gambar 3). Untuk pengolahan dan analisis data penelitian dilaksanakan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan Agustus 2009 Januari 2010. Kegiatan pengambilan data di lapang dilakukan pada empat bulan pertama dan dua bulan selanjutnya digunakan untuk kegiatan pengolahan dan analisis data.
Gambar 3 Peta kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation.
17
3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan kegunaannya (Tabel 1). Tabel 1 Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian No. 1.
Kegunaan Pembuatan jalur pengamatan
2.
Pengambilan data satwa
3. 4. 5.
Pengambilan data habitat Dokumentasi Analisis data
Alat dan Bahan Meteran (50 m), GPS (Global Positioning System), flagging tape GPS, headlamp, baterai, jam tangan/ stopwatch, kantong spesimen, spidol permanen, field guides (buku panduan lapang amfibi dan reptil), kaliper, timbangan pegas, kaca pembesar Termometer, pH meter, Dry Wet Kamera digital, alat tulis, tally sheet Komputer dengan perangkat lunak ArcGis 9.3, Minitab 14 dan Microsoft Office 2007, peta rupa bumi, Citra Spot 5
3.3. Jenis Data 3.3.1. Data Primer Data primer diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan, antara lain: 1.
Data satwa: nama jenis, jumlah individu jenis, waktu ditemukan, posisi (vertikal dan horizontal), koordinat, substrat, aktivitas, ukuran panjang dan massa tubuh.
2.
Data habitat: tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/lingkungan, komposisi vegetasi, suhu udara, kelembaban udara, penutupan tajuk dan data fisik lainnya.
3.3.2. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan, antara lain: 1.
Peta tipe penutupan lahan kawasan TWNC
2.
Peta batas kawasan TWNC
3.
Kondisi umum lokasi penelitian
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer a. Data satwa Metode yang digunakan dalam pengambilan data satwa yaitu Visual Encounter Survey (VES) dengan desain transek (Heyer et al., 1994) pada hutan
18
pantai, hutan dataran rendah, kebun, daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah serta daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah. Tahapan pengambilan datanya yaitu: 1.
Survei pendahuluan Survei pendahuluan dilakukan sebelum pengambilan data. Survei
dilakukan dengan cara mendeliniasi kawasan sehingga jelas perbedaan antar tipe habitat. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakteristik habitat di setiap lokasi penelitian sehingga mempermudah penentuan lokasi. 2. Penentuan daerah peralihan Daerah peralihan ditentukan dengan cara mengasumsikan daerah gabungan antara dua daerah inti yang mengapitnya. Luasan daerah peralihan terdiri dari setengah daerah inti 1 dan setengah daerah inti 2. Daerah peralihan merupakan gabungan daerah pinggir dari suatu habitat yang berbatasan langsung dengan daerah pinggir habitat lainnya sehingga mempunyai pengaruh dari kedua habitat yang mengapitnya (Gambar 4).
Daerah I
DP Daerah I
DP Daerah II
Daerah II
Daerah Peralihan
Gambar 4 Ilustrasi penentuan daerah peralihan.
19
3. Pembuatan jalur Jalur dibuat di setiap tipe habitat dan daerah peralihan antar tipe habitat. Tipe habitat yang diamati yaitu hutan pantai, hutan dataran rendah, kebun, daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah serta daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah. Jalur pengamatan dibuat sepanjang ± 900 meter, dan menandai jalur dengan GPS dan flagging tape untuk setiap 100 meter. Jalur ditempatkan secara acak pada setiap tipe habitat. Pada setiap tipe habitat dibuat 4 jalur dan dilakukan 2 kali ulangan untuk setiap jalurnya. Pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah, jalur dibuat memotong mulai dari hutan pantai sampai masuk ke hutan dataran rendah. Daerah peralihan pada jalur ini tidak tampak jelas, daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah ditandai oleh mulai terjadi perubahan vegetasi dari vegetasi khas hutan pantai ke vegetasi hutan dataran rendah serta mulai hilangnya substrat pasir pada hutan pantai menjadi tanah. Berdasarkan kondisi lapangan, jalur diasumsikan terbagi menjadi 3 bagian habitat yaitu habitat hutan pantai sepanjang 100 meter, habitat daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah sepanjang 100 meter dan habitat hutan dataran rendah sepanjang 700 meter (Gambar 5). Pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah, jalur dibuat memotong mulai dari kebun sampai masuk ke hutan dataran rendah. Pada habitat ini kebun tidak langsung berbatasan langsung dengan hutan dataran rendah. Tanaman kebun tidak ditanam dekat dengan hutan dataran rendah yang mempunyai pohon dengan tajuk yang besar dan rapat. Terdapat ruang kosong yang cukup lebar bekas bukaan untuk kebun yang tidak ditanami oleh tanaman yang memisahkan daerah antara kebun dan hutan dataran rendah sehingga daerah peralihan yang ada jelas terlihat. Jalur ini diasumsikan terbagi menjadi 3 bagian habitat yaitu habitat kebun sepanjang 400 meter, habitat daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah sepanjang 200 meter dan habitat hutan dataran rendah sepanjang 300 meter (Gambar 4). Sedangkan untuk jalur hutan pantai, kebun dan hutan dataran rendah dibuat total semuanya pada masingmasing habitat tersebut sepanjang 900 meter (Gambar 4).
20
Keterangan : Jalur hutan pantai HP
900 m : Jalur kebun KB
900 m : Jalur hutan dataran rendah HDR : Jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah HP
DP HP-HDR
100 m 100 m
HDR
700 m
: Jalur daerah peralihan kebun dan hutan dataran rendah 900 antara m KB
400 m
Sumber: Presetyo (2010) yang dimodifikasi.
Gambar 5 Ilustrasi jalur pengamatan herpetofauna.
DP KB-HDR
HDR
200 m
300 m
21
4.
Pengumpulan data satwa Pengumpulan data satwa dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2009 – 13
November 2009. Penangkapan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan mendatangi jalur pengamatan pada siang dan malam hari selama dua kali ulangan untuk setiap jalur. Pengamatan siang hari dilakukan pada pukul ±09.00-12.00 WIB sedangkan pengamatan malam hari dilakukan pada pukul ±20.00-23.00 WIB. Pengamatan dimulai pada titik nol pada jalur dan difokuskan pada tempattempat
yang
diperkirakan
menjadi
sarang
atau
tempat
persembunyian
herpetofauna, seperti ranting pohon, di bawah kayu lapuk, diantara akar-akar pohon, di celah-celah batu, di lubang dalam tanah, di bawah tumpukan serasah, atau di tepi sungai. Pengamatan dilakukan dengan jumlah pengamat sebanyak 2 orang. Berikut merupakan rincian waktu pengambilan data satwa selama penelitian (Tabel 2). Tabel 2 Rincian Waktu Pengambilan Data Satwa pada Jalur Penelitian Bulan Agustus
September Oktober
November
Tanggal
Jalur
15 17 18 21 23 30 6 7 13 15 16 23 25 27 28 3 4 5 7 13
H Pantai-H Dataran Rendah (Sekawat I) H Pantai (Sekawat) H Pantai-H Dataran Rendah (Sekawat II) Kebun-H Dataran Rendah (Tj Mas I) Kebun-H Dataran Rendah (Tj Mas II) H Pantai (Seyleman) Kebun (Pulau-Pulau I) Kebun (Pulau-Pulau II) H Pantai-H Dataran Rendah (Blambangan I) H Pantai (Blambangan) H Pantai-H Dataran Rendah (Blambangan II) H Dataran Rendah (Duku Satu I) H Dataran Rendah (Duku Satu II) H Dataran Rendah (Way Seyleman I) H Dataran Rendah (Way Seyleman II) Kebun (Penangkaran) Kebun-H Dataran Rendah (Penangkaran II) Kebun-H Dataran Rendah (Penangkaran II) Kebun (Pengekahan) H Pantai (Belimbing) Total
Usaha Pencarian (Jam/Orang) Siang Malam Total 3 3 6 3 3.3 6.3 2.8 3.2 6 3 3 6 2.5 2.7 5.2 2.3 2.8 5.1 2.5 2.7 5.2 3 3.2 6.2 2.7 3 5.7 2.5 2.8 5.3 3 3 6 2.3 2.8 5.1 3 3.2 6.2 3 3 6 2.8 3.2 6 2 3 5 3 3 6 3 3 6 2.7 2.8 5.5 2.7 2.8 5.5 54.8 59.5 114.3
Setiap individu yang tertangkap pada jalur pengamatan dimasukan ke dalam kantong dan dicatat datanya Jenis herpetofauna yang ditemukan diluar jalur dan waktu pengamatan juga tetap dicatat datanya. Data yang dicatat meliputi
22
jenis, koordinat, waktu ditemukan, aktivitas, posisi horizontal dan vertikal, subtrat. Herpetofauna yang berhasil dikumpulkan,dibawa untuk diukur panjang dan massa tubuhnya lalu diidentifikasi. Identifikasi satwa dilakukan dengan menggunakan buku Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini (Iskandar 2000), Panduan Lapang Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser (Mistar 2003), Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar 1998), A Photographic Guide to Snakes and Other Reptiles of Peninsular Malaysia, Singapore and Thailand (Cox et al. 1998), Snakes of Malaya (Tweedie 1983) dan The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago (d’Rooij
1915). b. Data habitat Komponen habitat yang yang diamati meliputi suhu udara, kelembaban udara, substrat, komposisi vegetasi dan penutupan tajuk. Suhu udara dan kelembaban udara dicatat sebelum dan sesudah pengamatan pada jalur pengamatan. Sedangkan substrat, komposisi vegetasi dan penutupan tajuk dicatat pada siang hari setelah melakukan pengamatan pada siang hari.
3.4.2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka dan wawancara dengan pengelola dan masyarakat yang dijumpai di kawasan tentang kondisi umum lokasi penelitian. Sedangkan untuk peta penutupan lahan didapatkan dari hasil proses gabungan antara delineasi lapang dan pengolahan Citra Spot 5.
3.5. Analisis Data 3.5.1. Analisis Data Satwa 1. Kekayaan Jenis Untuk menduga besarnya kekayaan jenis total pada seluruh habitat di lokasi penelitian digunakan Indeks Kekayaan Jenis Jackknife (Krebs 1985). Persamaan indeks ini yaitu:
Keterangan : S : Indeks kekayaan jenis Jackknife s : Total jumlah jenis yang teramati
23
n : Banyaknya unit contoh k : Jumlah jenis yang unik (yang hanya ditemukan pada satu unit contoh) Adapun keragamaman dari nilai dugaan (S) tersebut dihitung dengan persamaan berikut :
Keterangan : var (S) : Keragaman dugaan Jackknife untuk kekayaan jenis fj : Jumlah unit contoh di mana ditemukan jenis unik ( j = 1, 2, 3,…..s) k : Jumlah jenis unik n : Jumlah total unit contoh dengan demikian, maka penduga selang bagi indeks kekayaan jenis Jackknife adalah sebagai berikut :
di mana tα diperoleh dari tabel t-student dengan nilai derajat bebas = n-1 2. Keanekaragaman Jenis Jenis yang ditemukan ditentukan Indeks Keanekaragaman Jenis dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener (Odum 1994):
Keterangan : H’ : Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener ni : Jumlah individu jenis ke-i N : Jumlah individu seluruh jenis dengan kriteria : H’ < 1 1 < H’ < 3 H’ > 3
: Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang rendah : Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang sedang : Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi
3. Kesamaan Jenis Indeks kesamaan jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan komunitas antar lokasi pengamatan berdasarkan tipe habitat. Kesamaan lokasi pengamatan dianalisis dengan menggunakan Ward’s Linkage Clustering dalam program Minitab 14.
24
4. Uji Statistik Uji-t digunakan untuk mengetahui apakah keanekaragaman jenis amfibi dan reptil antara daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah, daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah, hutan pantai, hutan dataran rendah dan kebun berbeda pada tingkat kepercayaan 95% dengan menggunakan keputusan hipotesa: H0 :
tidak ada perbedaan keanekaragaman jenis amfibi maupun reptil pada habitat 1 dan habitat 2.
H1 :
ada perbedaan keanekaragaman jenis amfibi maupun reptil pada habitat 1 dan habitat 2.
Jika t hitung < t tabel, maka terima H0 Jika t hitung > t tabel, maka tolak H0 dan terima H1, dengan: Perhitungan digunakan Software Minitab 14.
3.5.2. Analisis Data Habitat Data habitat yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif berdasarkan kondisi lokasi sampel amfibi dan reptil yang ditemukan di lapangan
3.6. Diagram Alur Pembuatan Peta Distribusi Herpetofauna Langkah-langkah pembuatan peta sebaran herpetofauna di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5.
25
Citra Spot 5
Delineasi lapang
Peta Penutupan Lahan TWNC
Pembuatan Jalur pengamatan
Inventarisasi Herpetofauna
Peta Distribusi herpetofauna di TWNC
Gambar 6 Diagram alur penelitian.
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1.Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) meliputi areal seluas ± 365.000 hektar yang membentang dari ujung selatan bagian barat Provinsi Lampung sampai bagian selatan Provinsi Bengkulu yang secara geografis terletak pada 4o29’-5o57’ LS dan 103o24’-104o44’BT. Kawasan TNBBS terletak di ujung Selatan dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan, sehingga memiliki topografi yang cukup bervariasi yaitu mulai datar, landai, bergelombang, berbukit-bukit curam dan bergunung-gunung dengan ketinggian berkisar antara 01964 mdpl. Lereng timurnya cukup curam sedangkan lereng barat ke arah Samudera Hindia agak landai. Daerah berdataran rendah (0-600 mdpl) dan berbukit (600-1.000 mdpl) terletak di bagian selatan taman nasional sementara daerah pegunungan (1.000-2.000 mdpl) terletak di bagian tengah dan utara taman nasional. Keadaan lapangan bagian utara bergelombang sampai berbukit-bukit dengan kemiringan bervariasi antara 20-80%. Bagian selatan merupakan daerah yang datar dengan beberapa bukit yang agak tinggi dan landai dimana makin ke selatan makin datar dengan kemiringan berkisar antara 3-5% (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 2004) Kawasan TNBBS merupakan kawasan yang dapat menghasilkan keseimbangan iklim. Pengaruh rantai pegunungan Bukit Barisan Selatan mengakibatkan kawasan ini memiliki dua tipe iklim (tipe iklim A di sisi barat taman nasional dan tipe iklim B yang lebih kering di sisi timur taman nasional). Di bagian barat taman nasional curah hujannya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 3.000-3.500 mm per tahun dan bagian timur taman nasional berkisar antara 2.5003.000 mm per tahun. Musim hujan berlangsung dari bulan Novemper sampai Mei. Musim kemarau dari bulan Juni sampai Agustus. Bulan agak kering adalah September sampai Oktober. Jumlah hari hujan di musim penghujan rata-rata tiap bulannya 10-16 hari dan dimusim kemarau 4-8 hari. Keadaan angin musim hujan lebih besar dari musim kemarau dan taman nasional mempunyai kelembaban
27
udara antara 80% sampai 90% dan temperatur berkisar antara 20ºC-28ºC (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 2004) Secara umum di TNBBS telah teridentifikasi 514 jenis pohon dan tumbuhan
bawah dengan jenis dominan
dari famili Dipterocarpaceae,
Euphorbiaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Fagaceae, Annonaceae, dan Meliaceae. Terdapat sedikitnya 15 jenis bambu dari 5 marga, yaitu Bambussa, Dendrocalamus, Dinochloa, Gigantochloa, dan Schizatochyum, 26 jenis rotan serta 126 jenis anggrek dari 59 genus yang beberapa diantaranya telah dibudidayakan, diantaranya anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis), anggrek kalung (Coelogyne dayana), dan anggrek merpati (Dendrobium crumenatum). Selain itu terdapat 11 flora endemik Sumatera yaitu Baccaurea multiflora, Madhuca magnifolia, Memecylon multiflorum, Drypetes subsymetrica, Drypetes simalurensis,
Ryparosa
multinervosa
dan
lain-lain
(Direktorat
Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 2004). Fauna yang telah teridentifikasi sedikitnya 90 jenis mamalia termasuk 7 jenis primata, 322 jenis burung termasuk 9 jenis rangkong, 51 jenis ikan dan 52 jenis herpetofauna hidup di kawasan ini. Mamalia antara lain badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis), ajag (cuon alpinus), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), rusa sambar (Cervus unicolor), kancil (Tragulus javanicus), kerbau (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), ungko (Hylobates agilis), siamang (H. syndactylus), simpai (Presbytis melalophos fuscamurina), cecah (Presbytis melalophos), tarsius (Tarsius bancanus), dan kalong (Pteropus vampyrus) (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 2004). Menurut Kartika (2008) terdapat 19 jenis kelelawar dari 5 famili yang dijumpai di kawasan TNBBS. Sedangkan jenis burung antara lain kuau kerdil (Polyplectron chalcurum), pitta raksasa (Pitta caeurella), dan juga terdapat jenis burung yang dilaporkan tidak pernah ditemukan lagi sejak tahun 1916 dan saat ini dijumpai di TNBBS, yaitu jenis tokthor sunda (Carpococyx viridis) (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 2004).
28
4.2. Tambling Wildlife Nature Conservation Kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) yang dikenal dengan nama Tambling merupakan wilayah bagian dari kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Kawasan ini mempunyai luas ± 45.000 hektar dari luas lahan TNBBS yang sekitar adalah ± 356.800 hektar. Pengelolaan kawasan wisata Tambling mulanya dilaksanakan oleh PT Sac Nusantara di atas lahan seluas 100 hektar sesuai dengan SK Menteri Kehutanan Nomor: 415/KptsII/1992. Kawasan wisata Tambling kini dikelola oleh PT Adhiniaga Kreasi Nusa (Artha Group) melalui kerja sama operasional (KSO) dengan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi (Tambling Wildlife Nature Conservation 2009) Sejak dikelola oleh Artha Group berbagai jenis hewan dilepas di kawasan ini seperti berbagai spesies burung, buaya muara, kerbau liar sampai menjangan untuk melengkapi beberapa satwa yang telah ada sejak lama. Sebagai tambahan seekor penyu sisik berukuran besar juga siap dilepas. Kawasan ini pada nantinya diharapkan menjadi kawasan konservasi yang ideal dengan beragam hewan dan tumbuhan hutan (Tambling Wildlife Nature Conservation 2009). Kawasan ini terdiri dari ekosistem hutan pantai sampai hutan hujan dataran rendah yang relatif masih asli, yang merupakan habitat penting bagi berbagai jenis flora penyusun hutan pantai dan hutan hujan dataran rendah. Jenisjenis satwa liar langka yang berada di kawasan ini seperti rusa (Cervus unicolor), kerbau liar (Bubalus bubalis), mentok rimba (Caerina sp.), gajah sumatera (Elephas maximus sumateranus), binatang hantu (Tarsius bancanus), tapir (Tapirus indicus), beruang (Helarctos malayanus), dan ratusan jenis burung (Tambling Wildlife Nature Conservation 2009). Di kawasan Muara Way Sleman terdapat Pulau Endapan yang didominasi oleh jenis Nipah (Nypa fruticans) dan merupakan tempat mencari makan bagi populasi kalong yang jumlahnya ribuan ekor. Selain itu dapat dijumpai pantai pasir yang panjang dan indah habitat bagi penyu belimbing. Pantai Karang Sawang Bajau, savana Kobakan Bandeng, Way Sleman, Way Blambangan, Danau Menjukut (habitat buaya), mercusuar setinggi 70 meter yang dibangun Belanda pada tahun 1879 pada masa pemerintahan Z.M. Willem III, pusat penangkaran
29
rusa, dan enklave Pemekahan (habitat bagi lobster) (Tambling Wildlife Nature Conservation 2009).
4.3. Karakteristik Habitat Lokasi Peneltian Habitat yang menjadi lokasi penelitian dibedakan menjadi dua tipe, yang pertama yaitu habitat daerah peralihan (edge) yang terdiri dari daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah serta daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah. Sedangkan yang kedua yaitu habitat inti (core area) yang terdiri dari hutan pantai, hutan dataran rendah dan kebun. Habitat daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah yang dijadikan lokasi pengamatan terdiri dari dua lokasi yaitu Sekawat yang terdiri dari dua jalur pengamatan dan Blambangan yang juga terdiri dari dua jalur pengamatan. Pada habitat ini jalur dibuat memotong dari hutan pantai menuju hutan dataran rendah sehingga melewati daerah peralihan diantara keduanya. Daerah peralihan antara kedua habitat ini diasumsikan sebagai daerah yang terdiri dari hutan pantai yang masih mendapat pengaruh dari hutan dataran rendah dan hutan dataran rendah yang dianggap masih terpengaruh oleh hutan pantai. Daerah peralihan dari hutan pantai menuju hutan dataran rendah mempunyai substrat pasir yang mulai menghilang dan vegetasi pantai yang tergantikan dengan vegetasi hutan dataran rendah. Topografi pada hutan pantai datar dan agak miring dan bergelombang pada saat mulai memasuki hutan dataran rendah. Habitat ini mempunyai ketinggian 5-58 mdpl. Vegetasi yang ada pada habitat ini terdiri dari campuran vegetasi yang ada di hutan pantai dan vegetasi yang ada di hutan dataran rendah. Vegetasi pada hutan pantai mempunyai strata ketinggian tajuk yang hampir sama, sedangkan ketika mulai memasuki hutan dataran rendah strata tajuk mulai bervariasi. Jalur pada daerah Blambangan mempunyai penutupan tajuk yang lebih rapat serta kondisi lantai hutan yang lebih lembab dan basah dibandingkan dengan jalur pada daerah Sekawat. Berikut ini merupakan kondisi lokasi pengamatan pada daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah (Gambar 7).
30
Gambar 7 Kondisi lokasi pengamatan pada daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah. Selama pengamatan suhu udara rata-rata di habitat ini yaitu 28,38 °C (siang) dan 26,75 °C (malam). Kelembaban udara rata-rata yaitu 79,38 % (siang) dan 86,3 % (malam). Pada habitat ini sering dijumpai bekas kubangan rusa dan babi, baik kubangan baru maupun lama. Habitat daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah yang dijadikan menjadi lokasi pengamatan terdiri dari dua lokasi yaitu Penangkaran dan Tanjung Mas, dimana pada masing-masing lokasi terdiri dari dua jalur pengamatan. Jalur dibuat melintasi kebun dan hutan dataran rendah sehingga melewati darerah peralihan diantara kedua habitat tersebut. Daerah peralihan pada habitat ini lebih lebar dari pada daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah. Pada habitat ini kebun tidak langsung berbatasan langsung dengan hutan dataran rendah. Tanaman kebun tidak ditanam dekat dengan hutan dataran rendah yang mempunyai pohon dengan tajuk yang besar dan rapat. Terdapat ruang kosong yang cukup lebar bekas bukaan untuk kebun yang tidak ditanami oleh tanaman yang memisahkan daerah antara kebun dan hutan dataran rendah. Substrat dasar pada kebun didominasi oleh rumput dan tanah dengan sedikit serasah, sedangkan topografi jalur pengamatan pada daerah Penangkaran datar dan pada daerah Tanjung Mas topografinya miring hingga mencapai 45 %. Vegetasi yang ada pada habitat ini terdiri dari campuran vegetasi yang ada di kebun dan vegetasi yang ada di hutan dataran rendah (Gambar 8). Habitat ini mempunyai ketinggian mulai dari 35-115 mdpl.
31
Suhu udara rata-rata pada saat pengamatan di habitat ini yaitu 28,75 °C (siang) dan 27,13 °C (malam). Sementara itu, kelembaban udara rata-rata yaitu 75,13 % (siang) dan 77 % (malam).
. Gambar 8 Kondisi lokasi pengamatan pada daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah. Habitat hutan pantai yang dijadikan lokasi pengamatan terdiri dari empat jalur yaitu jalur 1 berada di daerah Sekawat, jalur 2 di daerah Blambangan, jalur 3 di daerah Seyleman, dan jalur 4 berada di daerah Belimbing. Hutan pantai pada keempat lokasi penelitian mempunyai karakteristik yang hampir sama diantaranya yaitu topografi yang landai dan kondisi lantai hutan berupa tanah berpasir. Pada daerah Sekawat, Seyleman dan Belimbing mempunyai penutupan tajuk yang cukup rapat, sedangkan pada daerah Blambangan daerahnya agak terbuka. Vegetasi yang mendominasi pada hutan pantai yaitu nyamplung (Callophyllum inophyllum), keben (Barringtonia asiatica), waru laut (Hibiscus tiliaceus), cemara laut (Casuarina equisetifolia), bayur (Pterospermum sp), jambuan (Eugeia sp), dan ketapang laut (Terminalia catappa) (Gambar 9). Pada habitat ini ketinggian berkisar antara 0-20 mdpl. Selama pengamatan suhu udara rata-rata di hutan pantai yaitu 28,63 ° C (siang) dan 27 ° C (malam). Kelembaban udara rata-rata yaitu 77,75 % (siang) dan 78,9 % (malam). Pada hutan pantai terdapat sumber air berupa muara dari sungai yang mengalir dan sumber air sementara berupa kubangan air.
32
Gambar 9 Kondisi lokasi pengamatan di hutan pantai.
Hutan dataran rendah yang dijadikan lokasi penelitian terdapat di Duku Satu dan Way Sleman dimana setiap lokasi terdiri dari dua jalur. Pada habitat hutan dataran rendah mempunyai penutupan tajuk yang rapat dimana tajuk yang menutupi terdiri dari berbagai strata. Pada lantai hutan sebagian besar tertutup oleh lapisan serasah yang cukup tebal. Habitat ini mempunyai ktinggian antara 45-70 mdpl. Topografi pada habitat ini datar dengan sedikit gelombang (Gambar 10). Vegetasi yang mendominasi pada jalur pengamatan yaitu damar batu (Shorea ovalis), medang (Litsea sp), kayu amplas (Sterculia rubiginosa), laban (Vitex quinana). Komposisi vegetasi pada hutan dataran rendah di dominasi oleh jenis meranti (Shorea spp.) dan kruing (Dipterocarpus spp). yang seringkali menjadi pohon emergent dengan tinggi mencapai 35 m (Imanudin 2009).
Selama
pengamatan suhu udara rata-rata di hutan dataran rendah yaitu 28,75 ° C (siang) dan 26,75 ° C (malam). Kelembaban udara rata-rata yaitu 78 % (siang) dan 86,1 % (malam).
Gambar 10 Kondisi lokasi pengamatan di hutan dataran rendah.
33
Jalur kebun yang ada terbagi menjadi tiga lokasi yang terdiri dari dua jalur di daerah Pulau-Pulau dan masing-masing satu jalur di daerah Penangkaran dan Pengekahan. Kebun tersebut merupakan kebun campuran dari tanaman kopi (Coffea robusta) dan cokelat (Theobroma cacao) bekas perambahan masyarakat. Selain itu terdapat juga pohon dadap (Erythrina sp) yang digunakan sebagai peneduh untuk tanaman kopi dan cokelat. Habitat ini terletak pada ketinggian 27117 mdpl. Tanaman kopi mempunyai jarak tanam 1,5-2 meter, tanaman cokelat mempunyai jarak tanam 2-3 meter sedangkan pohon dadap memepunyai jarak tanam ± 6 meter (Gambar 11). Substrat lantai kebun didominasi oleh rumput dan sedikit serasah. Jalur pada daerah Pulau-Pulau mempunyai karakteristik yang cukup berbeda dengan di daerah Penangkaran dan Pengekahan karena kebun yang ada di daerah Pulau-Pulau merupakan kebun yang sudah lama ditinggal. Kebun tersebut merupakan kebun bekas dari perambahan. Kebun di daerah tersebut sudah banyak ditumbuhi oleh semak belukar, terutama pada jalur Pulau-Pulau II. Selama pengamatan suhu udara rata-rata di habitat ini yaitu 29 °C (siang) dan 27,38 °C (malam). Kelembaban udara rata-rata yaitu 72,63 % (siang) dan 81,6 % (malam). Pada habitat ini terdapat sumber air berupa parit buatan yang berfungsi sebagai sumber air bagi kebun tersebut.
Gambar 11 Kondisi lokasi pengamatan di kebun.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Komposisi Jenis dan Respon Jenis terhadap Daerah Peralihan Jumlah total herpetofauna yang ditemukan pada lokasi penelitian yaitu 52 jenis. Amfibi yang ditemukan yaitu sebanyak 19 jenis yang terdiri dari 4 famili. Jumah jenis amfibi dari masing-masing famili yaitu famili Bufonidae (4 jenis), famili Microhylidae (3 jenis), famili Ranidae (9 jenis) dan famili Rhacophoridae (3 jenis). Semua jenis amfibi ini ditemukan di dalam jalur pengamatan. Sementara itu untuk reptil, jumlah jenis yang ditemukan sebanyak 33 jenis diantaranya 18
jenis ditemukan di dalam jalur pengamatan dan 15 jenis
ditemukan di luar jalur pengamatan. Reptil yang ditemukan terdiri dari 12 famili, yaitu Boidae (1 jenis), Colubridae (15 jenis), Hydrophiidae (1 jenis), Varanidae (2 jenis), Lacertidae (1 jenis), Scincidae (1 jenis), Geckonidae (3 jenis), Agamidae (3 jenis), Crocodylidae (1 jenis), Geomydidae (2 jenis) dan Cheloniidae (3 jenis). Komposisi jenis herpetofauna berbeda di setiap tipe habitat pengamatan. Pada daerah inti, hutan dataran rendah mempunyai jumlah jenis amfibi yang paling banyak yaitu 14 jenis kemudian kebun mempunyai 8 jenis dan yang paling sedikit yaitu hutan pantai yang hanya dijumpai 3 jenis. Sedangkan untuk reptil hutan dataran rendah dan hutan pantai mempunyai jumlah jenis yang sama yaitu 8 jenis dan kebun dijumpai 7 jenis. Pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah ditemukan 11 jenis amfibi dan 5 jenis reptil. Hutan pantai pada jalur ini hanya ditemukan 1 jenis amfibi dan 2 jenis reptil, daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah 5 jenis amfibi dan 2 jenis reptil dan hutan dataran rendah ditemukan 10 jenis amfibi dan 3 jenis reptil. Pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah ditemukan 13 jenis amfibi dan 8 jenis reptil. Kebun pada jalur ini ditemukan 6 jenis amfibi dan 6 jenis reptil, daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah ditemukan 2 jenis amfibi dan 2 jenis reptil dan hutan dataran rendah ditemukan 10 jenis amfibi dan 4 jenis reptil. Tabel berikut merupakan distribusi herpetofauna yang ditemukan di lokasi penelitan (Tabel 3).
35
Tabel 3 Distribusi Herpetofauna di Daerah Inti dan Daerah Peralihan di TWNC Inti
Amfibi ∑ Famili ∑ Jenis ∑ Individu Reptil ∑ Famili ∑ Jenis ∑ Individu Keterangan: HP HDR KB DP
: : : :
Tipe Habitat Daerah Peralihan DP HP-HDR DP KB-HDR HP DP HDR KB DP HDR
Total
HP
HDR
KB
3 3 7
4 14 75
4 8 12
1 1 1
4 5 7
4 10 61
3 6 10
2 3 3
6 10 32
4 19 208
4 8 22
4 8 19
4 7 11
2 2 2
2 2 3
3 3 11
5 6 9
2 2 2
3 4 4
6 18 83
Hutan Pantai Hutan Dataran Rendah Kebun Daerah Peralihan
Jumlah individu seluruh jenis yang dijumpai adalah 310 individu. Jumlah tersebut terdiri dari 103 individu reptil yang dijumpai termasuk diantaranya 20 individu ditemukan di luar jalur pengamatan dan 208 individu amfibi yang semuanya ditemukan pada jalur pengamatan (Tabel 4). Famili yang mempunyai jumlah individu terbanyak pada amfibi yaitu famili Ranidae yang mempunyai jumlah 102 individu, kemudian famili Microhylidae dan famili Rhacophoridae mempunyai jumlah individu yang sama yaitu 42 individu, dan famili Bufonidae mempunyai jumlah individu yang paling sedikit yaitu 22 individu. Pada tingkat individu jenis, jenis Microhylla palmipes mempunyai jumlah individu yang paling banyak ditemukan yaitu 40 individu, sedangkan yang paling sedikit ditemukan yaitu Microhylla sp, Kaloula baleata, dan Rhacophorus appendiculatus yang hanya ditemukan 1 individu dari tiap jenis. Pada reptil, famili yang mempunyai jumlah individu terbanyak yaitu famili Scincidae. Famili ini mempunyai jumlah individu sebanyak 35 individu, padahal famili ini hanya mempunyai satu jenis yaitu Eutropis multifasciata. Sedangkan famili yang mempunyai jumlah individu paling sedikit terdiri dari 2 famili yaitu famili Boidae dan Crocodylidae yang masing-masing ditemukan 1 individu. Untuk tingkat individu, terdapat 17 jenis reptil yang hanya ditemukan 1 individu pada saat pengamatan. Jenis-jenis tersebut yaitu Python reticulatus, Aplopeltura boa, Elaphe flavolineata, Gonyosoma oxycephalum, Lycodon subcinctus, Boiga dendrophila, Psammodynastes pictus, Dryophiops rubescens, Chrysopelea paradise, Varanus rudicolis, Gecko smithii,
36
Draco volans, Gonocephalus camelianthinus, Crocodylus porossus, Cyclemys oldhamii, Chelonia mydas dan Lepidochelys olivacea.
37
Tabel 4 Jumlah Individu Herpetofauna yang Ditemukan pada Jalur di TWNC Famili
Bufonidae
Microhylidae
Ranidae
Rhacophoridae
Inti
Jenis Amfibi Bufo melanostictus Bufo biporcatus Bufo quadriporcatus Leptophryne borbonica Microhylla palmipes Microhylla sp Kaloula baleata Rana chalconota Rana nicobariensis Rana picturata Occidozyga sumatrana Fejervarya limnocharis Fejervarya cancrivora Limnonectes macrodon Limnonectes crybetus Limnonectes blythii Polypedates macrotis Polypedates leucomystax Rhacophorus appendiculatus
HP
HDR
KB
0 2 0 0 2 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 2 1 4 16 0 0 18 1 2 5 12 0 2 2 2 1 7 0
0 0 1 1 0 0 0 0 2 0 0 2 1 1 0 3 0 1 0
Tipe Habitat Daerah Peralihan DP HP-HDR DP KB-HDR HP DP HDR KB DP HDR 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 2 0 0 1 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
0 4 0 2 10 0 1 1 9 0 8 3 0 0 0 0 14 9 0
1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 3 0 3 1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 1 10 1 0 6 1 0 1 4 0 0 0 0 3 4 1
Total
2 10 2 8 40 1 1 25 20 2 17 23 4 4 2 5 18 23 1
38
Tabel 4 (lanjutan) Famili
Colubridae
Varanidae Lacertidae Scincidae Geckonidae Agamidae
Inti
Spesies Reptil Aplopeltura boa Dendrelaphis caudolineatus Dendrelaphis pictus Lycodon subcinctus Psammodynastes pulverulentus Psammodynastes pictus Ahaetulla prasina Natrix trianguligera Macropisthodon rhodomelas Cerberus rynchops Varanus salvator Takydromus sexlineatus Eutropis multifasciata Hemydactylus frenatus Cyrtodactylus cf fumosus Draco volans Draco melanopogon Gonocephalus camelianthinus
HP
HDR
KB
0 1 1 0 0 1 0 0 1 3 4 1 10 0 0 0 0 0
1 1 0 0 1 0 0 3 1 0 1 0 8 0 2 0 0 0
0 0 1 1 1 0 3 0 0 0 0 0 3 1 0 1 0 0
Tipe Habitat Daerah Peralihan DP HP-HDR DP KB-HDR HP DP HDR KB DP HDR 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 9 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2 2 0 0 2 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0
0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
Total
1 4 4 1 3 1 3 4 2 3 7 3 36 3 2 1 3 1
39
Diantara jenis herpetofauna yang dijumpai pada lokasi pengamatan, terdapat jenis-jenis yang hanya ditemukan pada 1 tipe habitat. Jenis-jenis tersebut disebut jenis spesialis. Amfibi spesialis yang ditemukan di lokasi pengamatan berjumlah 8 jenis yang terdiri dari 7 jenis spesialis hutan dataran rendah dan 1 jenis spesialis kebun. Sedangkan untuk reptil, terdapat 9 jenis spesialis yang terdiri dari 2 jenis spesialis hutan pantai, 3 jenis spesialis hutan dataran rendah dan 4 jenis spesialis kebun (Tabel 5). Tabel 5 Jenis-Jenis Herpetofauna Spesialis yang Dijumpai pada Lokasi Penelitian Tipe Habitat Hutan Pantai Hutan Dataran Rendah
Kebun
Amfibi
Microhylla sp Kaloula baleata Rana chalconota Rana picturata Limnonectes crybetus Polypedates macrotis Rhacophorus appendiculatus Fejervarya cancrivora
Reptil Psammodynastes pictus Cerberus rynchops Aplopeltura boa Cyrtodactylus cf fumosus Gonocephalus camelianthinus
Lycodon subcinctus Ahaetulla prasina Hemydactylus frenatus Draco volans
Selain jenis spesialis, terdapat pula jenis yang ditemukan di beberapa tipe habitat yang disebut jenis generalis. Berikut ini merupakan jenis herpetofauna generalis yang ditemukan di lokasi penelitan (Tabel 6). Tabel 6 Jenis-Jenis Herpetofauna Generalis yang Dijumpai pada Lokasi Penelitian Jenis
Tipe Habitat DP KB HP-HDR
DP KB-HDR
HP
HDR
Amfibi Bufo melanostictus
-
-
X
X
-
Bufo biporcatus
X
X
-
X
-
Bufo quadriporcatus
-
X
X
-
-
Leptophryne borbonica
-
X
X
-
-
Microhylla palmipes
X
X
X
X
-
Rana nicobariensis
X
X
X
X
-
Occidozyga sumatrana
-
X
X
-
X
Fejervarya limnocharis
-
X
X
-
X
Respon Terhadap Edge Generalist Edge Exploiter Generalist Edge Exploiter Generalist Edge Avoider Generalist Edge Avoider Generalist Edge Exploiter Generalist Edge Exploiter Generalist Edge Exploiter Generalist Edge Exploiter
40
Jenis
Tipe Habitat DP KB HP-HDR X -
DP KB-HDR -
HP
HDR
Limnonectes macrodon
-
X
Limnonectes blythii
-
X
X
-
-
Polypedates leucomystax
-
X
X
X
X
Reptil Dendrelaphis caudolineatus
X
X
-
-
-
Dendrelaphis pictus
X
X
X
-
-
Psammodynastes pulverulentus
-
X
X
-
-
Natrix trianguligera
-
X
X
-
-
Macropisthodon rhodomelas
X
X
-
-
-
Varanus salvator
X
X
-
-
-
Takydromus sexlineatus
X
-
X
X
-
Eutropis multifasciata
X
X
X
X
X
Draco melanopogon
-
X
-
X
Respon Terhadap Edge Generalist Edge Avoider Generalist Edge Avoider Generalist Edge Exploiter Generalist Edge Avoider Generalist Edge Avoider Generalist Edge Avoider Generalist Edge Avoider Generalist Edge Avoider Generalist Edge Avoider Generalist Edge Exploiter Generalist Edge Exploiter Generalist Edge Exploiter
Keterangan: X : Dijumpai Generalist Edge Avoider : Jenis yang menghindari daerah peralihan Generalist Edge Exploiter : Jenis yang menyukai daerah peralihan
Kurva pertambahan jenis herpetofauna yang ditemukan selama 12 minggu pengamatan dijelaskan pada Gambar 12. Jumlah jenis herpetofauna yg dijumpai tiap minggu pengamatan terus mengalami pertambahan. Untuk amfibi, memasuki minggu ke 10 mulai tidak terjadi penambahan jenis baru yang ditandai dengan kurva pertambahan jenis yang mulai mendatar, sedangkan untuk reptil, kemungkinan masih terjadi penambahan jenis baru yang ditemukan jika dilakukan penambahan usaha pencarian lebih lanjut. Kondisi ini ditandai dengan terus naiknya kurva pertambahan jenis. Usaha pencarian dilakukan oleh 2 orang untuk setiap pengamatan baik pada siang dan malam hari yang terdiri dari pengamat dan guide yang menemani dari pihak TWNC. Hasil perhitungan dengan Jackknife menunjukan bahwa kemungkinan jenis herpetofauna yang ada di lokasi tersebut masih bisa terus bertambah. Untuk jenis amfibi masih bisa bertambah antara 18,1 ≅ 18 sampai 27,5 ≅ 28 dengan standard deviasi 2,22 (selang kepercayaan 95%) dan jumlah jenis yang ditemukan di satu jalur sebanyak 4 jenis. Sedangkan untuk
41
jenis reptil masih bisa bertambah 19,5 ≅ 20 sampai 27,9 ≅ 28 standar deviasi 2,22 (selang kepercayaan 95%) dan jumlah jenis yang ditemukan di satu jalur sebanyak 6 jenis.
Gambar 12 Kurva akumulasi jenis herpetofauna.
5.1.2. Indeks Keanekaragaman Jenis Nilai keanekaragaman jenis yang dibandingkan yaitu keanekaragaman jenis pada jalur daerah peralihan yang terdiri dari daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah serta daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah. Sedangkan yang kedua yaitu habitat daerah inti yang terdiri dari hutan pantai, hutan dataran rendah dan kebun.
42
Gambar 13 Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah. Di jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah (Gambar 13), hutan dataran rendah mempunyai nilai keanekaragaman jenis amfibi tertinggi dengan nilai 2,04, diikuti daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah dengan nilai 1,55. Sedangkan hutan pantai mempunyai nilai keanekaragaman 0. Untuk reptil, ketiga habitat tersebut mempunyai nilai keanekaragaman yang hampir sama yaitu hutan pantai (0,69), daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah (0,64) dan hutan dataran rendah (0,60).
Gambar 14 Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah.
43
Di jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah (Gambar 14), daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah mempunyai nilai keanekaragaman jenis terendah baik amfibi maupun reptil dengan nilai 0,64 (amfibi) dan 0,69 (reptil). Nilai keanekaragaman jenis amfibi tertinggi terdapat pada hutan dataran rendah dengan nilai 1,96 sedangkan nilai keanekaragan jenis reptil tertinggi terdapat pada kebun dengan nilai 1,74.
Gambar 15 Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada daerah inti di setiap tipe habitat. Berdasarkan Gambar 15, daerah inti yang mempunyai keanekaragaman jenis amfibi tertinggi yaitu hutan dataran rendah dengan nilai 2,16, diikuti kebun dengan nilai 1,98 dan hutan pantai dengan keanekaragaman terendah dengan nilai 1,08. Pada reptil, kebun mempunyai nilai keanekaragaman tertinggi dengan nilai 1,80 sedangkan hutan dataran rendah mempunyai keanekaragaman yang terendah dengan nilai 1,59.
5.1.3. Indeks Kesamaan Jenis Setiap kelompok amfibi dan reptil dibuat kesamaanya dengan menggunakan Ward`s Linkage Clustering berdasarkan habitatnya. Pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah terbagi menjadi tiga habitat yaitu hutan pantai, daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah serta hutan dataran rendah. Jenis amfibi yang terdapat pada daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah mempunyai kesamaan lebih dekat dengan hutan pantai, dengan
44
nilai 77,95% dan kemudian keduanya bergabung dengan hutan dataran rendah dengan nilai 54,42%. Sedangkan jenis reptil pada daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah mempunyai kesamaan lebih dekat dengan hutan dataran rendah dengan nilai 91,55%, kemudian keduanya bergabung dengan hutan pantai dengan nilai 2,24% (Gambar 16). 2.24
Kesamaan
Kesamaan
54.42
69.61
84.81
100.00
HP
DP HP-HDR
Tipe Habitat
HDR
34.83
67.41
100.00
HP
DP HP-HDR
HDR
Tipe Habitat
(a) (b) Gambar 16 Dendrogram kesamaan jenis (a) amfibi dan (b) reptil pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah. Di jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah, jenis amfibi pada pada daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah mempunyai kesamaan lebih dekat dengan hutan dataran rendah (60,94%), kemudian keduanya bergabung dengan hutan dataran rendah dengan nilai 27,35%. Sedangkan untuk jenis reptil pada daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah mempunyai kesamaan yang lebih dekat dengan kebun dengan nilai 83,36%, kemudian keduanya bergabung dengan hutan pantai dengan nilai 23,20% (Gambar 17).
45
23.20
Kesamaan
Kesamaan
27.35
51.56
75.78
100.00
KB
DP KB-HDR
48.80
74.40
100.00
HDR
KB
Tipe Habitat
DP KB-HDR
HDR
Tipe Habitat
(a) (b) Gambar 17 Dendrogram kesamaan jenis (a) amfibi dan (b) reptil pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah. Berdasarkan Gambar 18, hutan dataran rendah mempunyai kesamaan jenis baik amfibi maupun reptil yang lebih dekat dengan hutan pantai daripada kebun. Pada amfibi, hutan pantai bergabung dengan hutan dataran rendah dengan nilai 52,51%, kemudian keduanya bergabung dengan kebun dengan nilai 44,01%. Untuk reptil, hutan pantai bergabung dengan hutan dataran rendah dengan nilai 87,93%, kemudian keduanya bergabung dengan kebun dengan nilai 64,73%. 64.73
Kesamaan
Kesamaan
44.02
62.68
81.34
100.00
HP
HDR
Tipe Habitat
KB
76.49
88.24
100.00
HP
HDR
KB
Tipe Habitat
(a) (b) Gambar 18 Dendrogram kesamaan jenis (a) amfibi dan (b) reptil pada daerah inti di setiap tipe habitat. 5.1.4. Uji Beda Keanekaragaman Jenis Perhitungan dengan menggunakan uji t diperlukan untuk melihat sejauh mana suatu komunitas jenis memiliki perbedaan atau persamaan dengan komunitas lain. Komunitas jenis amfibi dan reptil yang dibandingkan yaitu komunitas di daerah peralihan dengan daerah inti serta antar daerah inti.
46
Parameter yang dibandingkan yaitu indeks keanekaragaman jenis (H’) pada masing-masing habitat di setiap jalur pengamatan. Tabel berikut merupakan hasil perhitungan uji t antara daerah peralihan dengan daerah inti serta antar daerah inti (Tabel 7). Tabel 7 Nilai t Hitung antar Tipe Habitat HP Amfibi Reptil
Habitat Amfibi DP HP-HDR
*ns
Reptil Amfibi
DP KB-HDR HP
Amfibi Amfibi
KB Amfibi Reptil
3,73 s * ns
0,58 ns * ns
* ns 0 ns
Reptil Reptil
HDR
HDR Amfibi Reptil
3,93 s
0,43 ns 0,78 ns
0,7 ns
0,13 ns 1,96 ns
Reptil
0,6 ns
Keterangan: * : All values in column are identical ns : non significat s : significant
Berdasarkan Tabel 7, terdapat 4 perbandingan keanekaragaman antar tipe habitat yang tidak menghasilkan nilai. Perbandingan tersebut terdapat pada hutan pantai dengan daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah baik amfibi maupun reptil, amfibi pada kebun dengan daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah, serta amfibi pada hutan dataran rendah dengan daerah peralihan antara kebun dengan hutan daratan rendah. Semua uji menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antar habitat kecuali amfibi pada hutan dataran rendah dengan daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah serta amfibi pada hutan pantai dengan hutan dataran rendah.
5.1.5. Distribusi Spasial Herpetofauna yang terdapat pada jalur antara hutan pantai dan hutan dataran rendah tersebar pada 4 jalur pengamatan yaitu Sekawat yang terdiri dari 2 jalur pengamatan dan Blambangan yang juga terdiri dari 2 jalur pengamatan. Sedangkan herpetofauna yang terdapat pada daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah tersebar pada 4 jalur yaitu 2 jalur di Penangkaran dan 2 jalur
47
Tanjung Mas. Distribusi herpetofauna pada jalur darah peralihan disajikan berikut ini (Tabel 8; Gambar 19-22 dan Gambar 25-28). Tabel 8 Distribusi Herpetofauna pada Jalur Daerah Peralihan Habitat
Jalur Sekawat I
Sekawat II DP HP-HDR Blambangan I
Blambangan II
Tanjung Mas I
Tanjung Mas II DP HP-HDR Penangkaran I
Penangkaran II
HP DP HDR HP DP HDR HP DP HDR HP DP HDR KB DP HDR KB DP HDR KB DP HDR KB DP HDR
Amfibi Jenis Individu 0 0 0 0 6 10 0 0 1 1 4 10 1 1 4 6 8 24 0 0 0 0 7 17 1 1 0 0 5 12 3 6 1 1 2 3 0 0 1 2 8 17 3 3 0 0 0 0
Reptil Jenis Individu 1 1 2 3 1 3 1 1 0 0 2 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 2 5 4 6 0 0 2 2 1 1 2 2 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0
Jenis 1 2 7 1 1 6 1 4 9 0 0 9 5 0 7 4 3 3 1 1 9 4 0 0
Total Individu 1 3 13 1 1 12 1 6 25 0 0 22 7 0 14 7 3 4 1 2 18 4 0 0
48
Gambar 19 Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah di Sekawat I.
49
Gambar 20 Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah di Sekawat II.
50
Gambar 21 Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah di Blambangan I.
51
Gambar 22 Peta distribusi herpetofauna pada daerah jalur peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah di Blambangan II.
52
(a)
(b) Gambar 23 Jumlah (a) amfibi dan (b) reptil yang ditemukan pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah. Jumlah total individu yang ditemukan pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah yaitu 85 individu yang terdiri dari 69 individu dari 11 jenis amfibi dan 16 individu dari 5 jenis reptil (Gambar 23). Amfibi yang terdapat di hutan pantai pada jalur ini hanya 1 individu, sedangkan untuk reptil dijumpai 2 individu dari 2 jenis. Pada daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah ditemukan 7 individu dari 5 jenis amfibi dan 3
53
individu dari 2 jenis reptil. Sedangkan hutan dataran rendah mempunyai jumlah individu terbanyak yaitu 72 individu yang terdiri dari 61 individu dari 10 jenis amfibi dan 11 individu dari 3 jenis reptil. Berdasarkan gambar 23 (a), daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah mempunyai jumlah jenis dan jumlah individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan pantai, tetapi lebih rendah jika dibandingkan dengan hutan dataran rendah. Terlihat bahwa kelimpahan individu kecil pada hutan pantai (posisi 0-100 meter) dan bertambah pada daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah (100-200 meter), kemudian bertambah pada hutan dataran rendah (200-900 meter). Kelimpahan tertinggi terdapat pada posisi 500-600 meter. Sedangkan untuk reptil (Gambar 23 b), sebaran individu di ke tiga habitat cukup merata tiap 100 meter. Hanya saja hutan dataran rendah yang mempunyai jalur lebih panjang mempunyai kelimpahan dan jumlah jenis yang lebih tinggi di bandingkan dengan hutan pantai serta daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah. Jumlah total individu yang ditemukan pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah yaitu 60 individu yang terdiri dari 45 individu dari 13 jenis amfibi dan 15 individu dari 8 jenis reptil (Gambar 24). Amfibi yang terdapat di kebun pada jalur ini yaitu 10 individu dari 6 jenis, sedangkan untuk reptil dijumpai 9 individu dari 6 jenis. Pada daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah ditemukan 3 individu dari 2 jenis amfibi dan 2 individu dari 2 jenis reptil. Sedangkan hutan dataran rendah mempunyai jumlah individu terbanyak yaitu 36 individu yang terdiri dari 32 individu dari 10 jenis amfibi dan 4 individu dari 4 jenis reptil. Berdasarkan gambar 24 (a), daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah (400-600 m) mempunyai jumlah individu dan jenis amfibi yang lebih rendah dibandingkan dengan kebun (0-400 m) dan hutan dataran rendah (600-900 m). Jumlah individu amfibi ketika mendekati daerah peralihan mengalami kenaikan. Hal itu terlihat pada jalur 300-400 m yang lebih tinggi dibandingkan pada jalur 0-300 m. Habitat hutan dataran rendah memiliki jumlah individu yang terbanyak diantara habitat kebun maupun daerah peralihan antara kebun dah hutan dataran rendah. Sedangkan untuk reptil (Gambar 24 b), jumlah individu dan jenis lebih banyak terdapat pada habitat kebun. Sedangkan daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah mempunyai jumlah jenis
54
dan individu paling rendah dibandingkan dengan habitat kebun dan hutan dataran rendah.
(a)
(b) Gambar 24 Jumlah (a) amfibi dan (b) reptil yang ditemukan pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah.
55
Gambar 25 Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah di Tanjung Mas I.
56
Gambar 26 Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah di Tanjung Mas II.
57
Gambar 27 Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah di Penangkaran I.
58
Gambar 28 Peta distribusi herpetofauna pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah di Penangkaran II.
59
Di jalur habitat inti, jumlah herpetofauna total yang ditemukan 146 individu yang terbagi kealam 3 habiat inti yaitu hutan pantai sebanyak 29 individu, hutan dataran rendah sebanyak 94 individu dan kebun sebanyak 23 individu. Distribusi herpetofauna pada jalur habitat inti disajikan sebagai berikut (Tabel 9; Gambar 29-40). Tabel 9 Distribusi Herpetofauna pada Jalur Daerah Inti Habitat
Jalur
Sekawat Seyleman Hutan Pantai Blambangan Belimbing Jumlah Total Duku Satu I Hutan Duku Satu II Dataran Way Seyleman I Rendah Way Seyleman II Jumlah Total Pulau-Pulau I Pulau-Pulau II Kebun Penangkaran Pengekahan Jumlah Total
Jenis 3 0 1 1 3 8 8 5 4 14 2 7 0 1 8
Amfibi Individu 4 0 2 1 7 24 14 26 11 75 2 9 0 1 12
Jenis 3 2 5 0 8 6 0 4 4 8 2 4 3 1 7
Reptil Individu 12 2 8 0 22 8 0 5 6 19 2 5 3 1 11
Jenis 6 2 6 1 11 14 8 9 8 22 4 11 3 2 15
Total Individu 16 2 10 1 29 32 14 31 17 94 4 14 3 2 23
60
Gambar 29 Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan pantai di Sekawat.
61
Gambar 30 Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan pantai di Seyleman.
62
Gambar 31 Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan pantai di Blambangan.
63
Gambar 32 Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan pantai di Belimbing.
64
Gambar 33 Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan dataran rendah di Duku Satu I.
65
Gambar 34 Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan dataran rendah di Duku Satu II.
66
Gambar 35 Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan dataran rendah di Way Seyleman I.
67
Gambar 36 Peta distribusi herpetofauna pada jalur hutan dataran rendah di Way Seyleman II.
68
Gambar 37 Peta distribusi herpetofauna pada jalur kebun di Pulau-Pulau I.
69
Gambar 38 Peta distribusi herpetofauna pada jalur kebun di Pulau-Pulau II.
70
Gambar 39 Peta distribusi herpetofauna pada jalur kebun di Penangkaran.
71
Gambar 40 Peta distribusi herpetofauna pada jalur kebun di Pengekahan.
72
5.2 Pembahasan 5.2.1. Komposisi Jenis dan Respon Jenis terhadap Daerah Peralihan Jumlah jenis herpetofauna yang ditemukan pada daerah peralihan baik daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah serta daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah ternyata lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah inti yang mengapitnya (hutan pantai, hutan dataran rendah dan kebun). Hal ini tidak sesuai dengan teori efek tepi yang menyatakan bahwa jumlah jenis dan kepadatan populasi dari beberapa jenis lebih besar di daerah peralihan daripada di komunitas yang mengapitnya (Odum 1993). Hal tersebut terjadi karena luasan daerah peralihan yang lebih sempit dibandingkan dengan daerah yang mengapitnya sehingga habitat tersebut hanya dapat menampung jenis yang lebih sedikit dibandingkan dengan daerah yang mengapitnya. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Schlaepfer and Gavin (2001) dan Lehtinen et al. (2003) yang menyatakan bahwa herpetofauna, terutama amfibi, umumnya lebih menyukai daerah inti karena mempunyai suhu yang lebih dingin, lebih lembab sehingga lebih kondusif untuk kelangsungan hidup khususnya selama periode kering. Hillers et al. (2008) juga menyatakan bahwa degradasi habitat akan membentuk suatu daerah peralihan sehingga menyebabkan berkurangnya serasah yang membuat penurunan populasi dari katak serasah. Sedangkan menurut penelitian Dawson and Hostetler (2008) tidak menemukan perbedaan nyata dalam komposisi dan kekayaan jenis pada daerah peralihan dan daerah inti. Menurut Urbina-Cardona et al. (2006) tutupan tajuk, tutupan serasah, kepadatan tumbuhan bawah, kedalaman serasah, dan variasi suhu yang mempengaruhi perbedaan komposisi dan kekayaan jenis herpetofauna antara daerah peralihan dan daerah inti. Berbeda dengan satwa lain, beberapa herpetofauna merupakan satwa yang mempunyai habitat yang spesifik dengan kondisi iklim yang berbeda dengan iklim di daerah sekitarnya, atau dikenal dengan istilah mikrohabitat. Herpetofauna seperti ini disebut sebagai herpetofauna spesialis. Selain itu ada juga jenis herpetofauna generalis (hidup pada habitat yang umum, bahkan pada kondisi habitat
yang
tercemar).
Dengan
adanya
perbedaan
tersebut,
membuat
herpetofauna sangat baik jika digunakan sebagai bioindikator kesehatan
73
lingkungan. Mereka pada umumnya dianggap sebagai indikator biologi karena mereka tinggal pada habitat yang spesifik dan mempunyai kepekaan/ sensifitas yang tinggi terhadap perubahan lingkungan. Secara fisiologis, herpetofauna khususnya amfibi mempunyai telur dan kulit yang memiliki sifat permeabilitas, dimana air dan gas dapat keluar masuk dan dapat menyerap polutan/ bahan pencemar seperti bahan kimia beracun, dan unsur lain dari sekitar lingkungan (Stebbins and Cohen 1997). Suatu lingkungan yang masih baik tentu terdapat jenis-jenis herpetofauna spesialis yang biasa hidup pada kondisi yang tertentu masih alami. Jika terjadi kerusakan lingkungan maka jenis-jenis herpetofauna spesialis tersebut akan hilang dan akan tergantikan oleh jenis-jenis yang mampu bertahan terhadap lingkungan yang tercemar atau rusak. Pada lokasi penelitian, amfibi spesialis yang ditemukan pada lokasi pengamatan berjumlah 8 jenis yang terdiri dari 7 jenis spesialis hutan dataran rendah yaitu Microhylla sp, Kaloula baleata, Rana chalconota, Rana picturata, Limnonectes crybetus, Polypedates macrotis dan Rhacophorus appendiculatus Satu jenis lagi yaitu Fejervarya cancrivora yang merupakan amfibi spesialis kebun. Menurut Iskandar (1998), jenis ini bukan hanya ditemukan di daerah kebun saja tetapi jenis ini merupakan jenis yang banyak ditemukan pada daerah terganggu. Pada hutan pantai tidak dijumpai amfibi spesialis karena air yang terdapat pada hutan pantai yaitu air asin sehingga tidak begitu baik untuk menunjang kehidupan amfibi. Menurut Iskandar (1998), tidak ada jenis katak yang tahan terhadap air asin dan air payau kecuali pada dua jenis katak salah satunya yaitu Fejervaria cancrivora. Jenis-jenis amfibi lain yang ditemukan di hutan pantai kebanyakan ditemukan pada tempat yang dekat dengan kubangan. Kubangan tersebut merupakan kubangan sementara yang sumber airnya berasal dari air hujan. Banyaknya jenis amfibi spesialis yang ditemukan pada hutan dataran rendah karena hutan dataran rendah lebih menunjang kehidupan bagi amfibi dibandingkan dengan habitat lainnya dengan mempunyai berbagai macam strata tajuk, sehingga sinar matahari yang sampai pada dasar hutan menjadi sedikit. Dengan keadaan ini hutan dataran rendah mempunyai kondisi dalam hutan (mikrohabitat) yang lebih dingin dan sejuk dibandingkan dengan habitat lainnya. Hal tersebut yang membuat amfibi lebih memilih pada hutan dataran rendah
74
karena kebanyakan jenis amfibi hidup di kawasan berhutan karena membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi tubuh dari kekeringan. Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung yang digunakan oleh satwaliar untuk tempat penyesuaian terhadap perubahan suhu (thermal cover) (Alikodra 2002). Selain itu hutan dataran rendah mempunyai lebih banyak jenis vegetasi dibandingkan dengan habitat lain. Semakin tinggi keanekaragaman jenis vegetasi maka semakin tinggi pula keanekaragaman satwaliarnya (Odum 1993; Primack et al. 1998; Alikodra 2002). Pada reptil, jenis spesialis yang ditemukan berjumlah 9 jenis yang terdiri dari 2 jenis spesialis hutan pantai yaitu Psammodynastes pictus dan Cerberus rynchops, 3 jenis spesialis hutan dataran rendah yaitu Aplopeltura boa, Cyrtodactylus cf fumosus dan Gonocephalus camelianthinus serta 4 jenis spesialis kebun yaitu Lycodon subcinctus, Ahaetulla prasina, Hemydactylus frenatus dan Draco volans. Banyaknya jenis spesialis pada habitat kebun karena kebanyakan jenis reptil lebih menyukai daerah yang tidak terlalu tertutup. Daerah terbuka diperlukan agar sinar matahari dapat masuk ke dasar. Banyak jenis reptil yang mengeksposekan sebagian besar tubuhnya dibawah terik sinar matahari pada waktu pagi dan siang hari. Sinar matahari diperlukan untuk membuat tubuh menjadi panas sehingga panas tersebut dapat digunakan menjalankan proses metabolisme pada reptil. Perilaku ini dikenal dengan istilah basking (berjemur), dan dilakukan kebanyakan oleh jenis kadal-kadalan (Cogger 1999). Sedangkan pada jenis generalis (jenis yang ditemukan di beberapa tipe habitat) terbagi menjadi dua macam jika dilihat responnya terhadap daerah peralihan yaitu jenis generalist edge avoider dan jenis generalist edge exploiter. Amfibi yang termasuk ke dalam generalist edge avoider yaitu Bufo quadriporcatus, Leptophryne borbonica, Limnonectes macrodon dan Limnonectes blythii. Keempat jenis ini tidak ditemukan pada daerah peralihan, tetapi ditemukan pada daerah inti pada habitat hutan dataran rendah dan kebun. Sedangkan amfibi yang termasuk ke dalam generalist edge exploiter terdiri dari 7 jenis yaitu Bufo biporcatus, Bufo melanostictus, Microhylla palmipes, Polypedates leucomystax, Occidozyga sumatrana, Rana nicobariensis dan Fejervarya limnocharis. Diantara semua jenis amfibi generalis, terdapat 3 jenis yang mempunyai penyebaran paling
75
luas yaitu Microhylla palmipes, Polypedates leucomystax dan Rana nicobariensis. Ketiga jenis amfibi ini tersebar pada 4 dari 5 tipe habitat yang diteliti termasuk daerah peralihan. Polypedates leucomystax ditemukan pada kebun, hutan dataran rendah, daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah serta daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah. Sedangkan Microhylla palmipes dan Rana nicobariensis ditemukan pada seluruh habitat kecuali pada daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah. Ketiga jenis ini merupakan jenis yang umum dijumpai bahkan bisa hidup pada habitat terganggu di dekat hunian manusia. Selain itu ketiga jenis ini mempunyai penyebaran yang luas (Iskandar 1998). Reptil yang tergolong ke dalam jenis generalist edge avoider terdiri dari 6 jenis yaitu Dendrelaphis caudolineatus, Dendrelaphis pictus, Psammodynastes pulverulentus, Natrix trianguligera, Macropisthodon rhodomelas dan Varanus salvator. Sedangkan reptil yang tergolong ke dalam jenis generalist edge exploiter terdiri dari 3 jenis yaitu Takydromus sexlineatus, Draco melanopogon dan Eutropis multifasciata. Eutropis multifasciata merupakan jenis reptil generalis yang mempunyai penyebaran paling luas. Jenis ini ditemukan pada semua tipe habitat yang diteliti termasuk daerah peralihan. Menurut Cox et al. (1998), Eutropis multifasciata merupakan jenis yang umum dijumpai dekat dengan hunian manusia dan hutan dataran rendah. Jenis ini tersebar luas mulai dari India Timur sampai Hainan dan Papua Nugini. Jenis spesialis merupakan jenis yang lebih rentan mengalami kepunahan jika terjadi gangguan dan perubahan lingkungan dibandingkan dengan jenis generalis karena jenis spesialis hanya mampu hidup pada habitat spesifik, jika terjadi gangguan pada habitat tersebut maka jenis-jenis spesialis tidak mampu berpindah dan hidup di habitat yang baru. Sedangkan jenis generalis merupakan jenis yang mampu bertahan di berbagai tipe habitat karena jenis generalis biasanya mempunyai kemampuan adaptasi dan toleransi terhadap lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis spesialis. Jenis-jenis spesialis tersebut merupakan jenis yang harus menjadi prioritas dalam suatu pengelolaan karena kerentanannnya terhadap kepunahan jika terjadi gangguan. Menurut Lehtinen et al. (2003) yang melakukan penelitian pada amfibi dan reptil
76
Madagaskar menyatakan bahwa jenis yang ditemukan di pedalaman hutan, yang cenderung menghindari tepi lebih rentan terhadap kepunahan. Pada (Gambar 11) kurva akumulasi jenis reptil dan amfibi, terlihat bahwa dari seluruh total jenis reptil dan amfibi yang ditemukan terus mengalami peningkatan jumlah jenis di setiap minggunya. Hal tersebut dikarenakan oleh penemuan jumlah reptil yang terus meningkat. Terus meningkatnya jumlah reptil pada kurva diduga disebabkan oleh sifat dan keberadaan reptil yang lebih sulit dijumpai dari pada amfibi, Reptil mempunyai mobilitas yang tinggi dibandingkan dengan amfibi sehingga selalu memungkinkan untuk menemukan jenis-jenis baru. Oleh karena itu dibutuhkan waktu penelitiannya yang lebih lama untuk mendapatkan kondisi kurva yang stabil atau mendatar. Menurut informasi dari masyarakat terdapat jenis-jenis reptil yang ada pada kawasan TWNC tetapi tidak ditemukan pada saat penelitian diantaranya yaitu labi-labi (Dogonia sublana), ular kobra (Naja sp), ular koros (Pytas korros), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), ular viper (Trimeresurus hageni), ular weling (Bungarus candidus) dan kadal perut hijau (Dasia olivacea). Sementara kurva akumulasi jenis amfibi dari tiap minggunya mengalami peningkatan dan diakhiri dengan kondisi stabil pada akhir minggu pengamatan. Hal tersebut dikarenakan oleh penemuan amfibi yang lebih mudah kita jumpai, namun hasil tersebut masih memungkinkan untuk menemukan jenis baru jika waktu penelitiannya dilakukan lebih lama. Jumlah jenis amfibi yang ditemukan di TWNC dengan jumlah 19 jenis tergolong sedikit jika dibandingkan dengan penelitian lain yang ada di Sumatera. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan penelitian oleh Sudrajat (2001) sebanyak 26 jenis pada lokasi Musi Banyuasin, Rahat dan Musi Lawas Sumatera Selatan dan Darmawan (2008) pada lokasi Eks-HPH PT RKI kabupaten Bungo, Jambi sebanyak 37 jenis, Ul-Hasanah (2006) pada lokasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebanyak 44 jenis dan Kurniati (2007) pada lokasi Taman Nasional Kerinci Seblat sebanyak 70 jenis. Tetapi jumlah jenis amfibi di TWNC lebih banyak dibandingkan dengan penelitian Widyananto (2009) yang menemukan 14 jenis amfibi pada kawasan Siberut Conservation Program (SCP), Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Sedangkan untuk reptil di TWNC ditemukan 33 jenis reptil. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan
77
dengan Sudrajat (2001) pada lokasi Musi Banyuasin, Rahat dan Musi Lawas Sumatera Selatan yakni sebanyak 27 jenis. Yusuf (2008) pada lokasi Eks-HPH PT RKI kabupaten Bungo, Jambi sebanyak 31 jenis. Tetapi jumlah tersebut lebih sedikit jika dibandingkan dengan Kurniati (2007) pada lokasi Taman Nasional Kerinci Seblat sebanyak 38 jenis dan Endarwin (2006) pada lokasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebanyak 51 jenis. Perbedaan jumlah jenis amfibi dan reptil yang ditemukan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti perbedaan usaha dalam pencarian, lama waktu penelitian dan cakupan wilayah penelitian baik dalam ketinggian maupun luasan area. Pada lokasi penelitian di TWNC ketinggian mulai dari 0-117 mdpl. Sementara penelitian yang dilakukan di daratan Sumatera umumnya dilakukan pada ketinggian yang bervariasi dan luasan yang berbeda, seperti penelitian Endarwin (2006) dan Ul-Hasanah (2006) yang dilakukan pada ketinggian 50 1200 mdpl. Penelitian Widyananto (2009) pada ketinggian 15-20 mdpl serta penelitian Darmawan (2008) dan Yusuf (2008) pada ketinggian 350-550 mdpl. Adanya perbedaan ketinggian ini membuat jenis-jenis herpetofauna yang ada pada daerah dataran tinggi tidak ditemukan pada penelitian ini. Herpetofauna merupakan satwa poikiloterm sehingga tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri. Panas tubuh didapatkan dari lingkungan, sehingga lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan herpetofauna. Herpetofauna khususnya reptil biasanya mangeksposekan tubuhnya di bawah cahaya matahari dalam rangka meningkatkan temperatur badan mereka. Karena kebiasaan ini maka herpetofauna sangat peka terhadap radiasi sinar Ultra Violet (UV-B), jika terjadi peningkatan sinar UV-B maka akan membahayakan bagi kehidupan herpetofauna. Pengurangan lapisan ozon di atmosfer menyebabkan meningkatnya radiasi UV-B ke bumi. Sementara itu, tempat-tempat dengan ketinggian atau tempat dengan vegetasi jarang lebih rentan terhadap efek radiasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa radiasi UV-B ambient dapat membunuh beberapa telur amfibi, selain itu radiasi UV-B dapt menimbulkan kerentanan amfibi terhadap penyakit (Kusrini 2009). Suhu dan kelembaban merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan herpetofauna. Pada lokasi pengamatan suhu udara yang diperoleh
78
berkisar 26° sampai 30°C. Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian lainnya yang ada di Sumatera, suhu penelitian di TWNC tidak jauh berbeda, seperti penelitian Sudrajat (2001) di beberapa lokasi di Sumatera Selatan yaitu di Muara Banyuasin suhu berkisar antara 25° sampai 27°C, Lahat antara 23° sampai 25°C dan di Musi Rawas antara 24° sampai 27°C. Penelitian Endarwin (2006) dan UlHasanah (2006) yang dilakukan di TNBBS mendapat kisaran suhu udara 19,46° sampai 25,77°C. Penelitian Darmawan (2006) dan Yusuf (2006) di lokasi EksHPH PT RKI kabupaten Bungo, Jambi suhu berkisar antara 20° sampai 32°C dan Widyananto melakukan penelitian di SCP dengan suhu berkisar antara 23° sampai 29°C. Hal tersebut sesuai dengan Goin and Goin (1971) yang menyatakan bahwa katak memiliki toleransi suhu antara 3° sampai 41°C. van Hoeve (2003) yang menyatakan reptil hidup aktif pada suhu antara 20° sampai 40°C. Kelembaban pada lokasi penelitian diperoleh berkisar antara 64% – 92%. Hal tersebut menunjukan kondisi tajuk yang lebih relatif terbuka dibandingkan dengan lokasi penelitian Endarwin (2006) dan Ul-Hasanah (2006) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang sebesar 84%-99% dan Widyananto (2009) di SCP dengan kelembaban berkisar antara 81% – 85% . Namun bila dibandingkan dengan Sudrajat (2001) pada lokasi Musi Banyuasin, Rahat dan Musi Lawas Sumatera Selatan yang memperoleh kelembaban 30% - 90%, Darmawan (2008) dan Yusuf (2008) pada lokasi Eks-HPH PT RKI kabupaten Bungo, Jambi dengan kelembaban 36 – 83 %, kondisi tajuk di TWNC lebih tertutup. Kelembaban yang tinggi diperlukan bagi amfibi untuk mencegah kulitnya kekeringan (Iskandar 1988).
5.2.2. Indeks Keanekaragaman dan Kesamaan Jenis Nilai keanekaragaman amfibi dan reptil berbeda pada setiap tipe habitat. Nilai keanekaragaman pada lokasi penelitian berkisar antara 0-2,18 untuk amfibi dan 0,6-1,8 untuk reptil. Nilai keanekaragaman tersebut tergolong rendah sampai sedang baik untuk amfibi maupun reptil. Pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah, nilai keanekaragaman reptil hampir sama pada setiap tipe habitat pada jalur ini Sedangkan untuk amfibi, nilai keanekaragaman jenis cenderung naik mulai dari pantai hingga hutan dataran rendah (Gambar 12),
79
hal tersebut diduga semakin kearah hutan dataran rendah semakin rapat tutupan tajuknya sehingga semakin lembab dan stabil habitatnya maka sesuai untuk menunjang kehidupan amfibi. Pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah, nilai keanekaragaman jenis amfibi maupun reptil lebih rendah pada daerah peralihan daripada habitat inti yang mengapitnya. Rendahnya nilai keanekaragaman pada daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah diduga karena daerah tersebut merupakan ruang kosong yang bekas bukaan untuk kebun yang tidak ditanami oleh tanaman yang memisahkan daerah antara kebun dan hutan dataran rendah. Pada habitat inti, hutan pantai memiliki nilai keanekaragaman
terendah baik
amfibi maupun
reptil, sedangkan nilai
keanekaragaman tertinggi untuk amfibi yaitu hutan dataran rendah, sedangkan yang tertinggi untuk reptil yaitu kebun. Nilai keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas bukan hanya dipengaruhi oleh banyaknya jumlah jenis tetapi juga kelimpahan dari masing-masing jenis dalam suatu komunitas (Odum 1993). Menurut Krebs (1978), terdapat 6 faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis yaitu waktu, heterogenitas ruang, persaingan, lingkungan yang stabil, pemangsaan dan produktivitas. Indeks kesamaan jenis menunjukkan seberapa besar hubungan antar komunitas di lokasi penelitian. Pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah, daerah peralihan mempunyai kesamaan jenis amfibi lebih dekat dengan hutan pantai karena meskipun hutan pantai hanya ditemukan 1 jenis yaitu Rana nicobariensis yang juga ditemukan di daerah peralihan dan di hutan dataran rendah, tetapi terdapat banyak jenis amfibi di hutan dataran rendah yang tidak ditemukan di daerah peralihan. Sedangkan reptil pada daerah peralihan mempunyai kesamaan yang lebih dekat dengan hutan dataran rendah karena ditemukan jenis yang sama yaitu Eutropis multifasciata. Pada jalur daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah, daerah peralihan mempunyai kesamaan jenis amfibi lebih dekat dengan hutan dataran rendah karena kedua jenis amfibi yang ditemukan di daerah peralihan yaitu Fejervarya limnocharis dan Polypedates leucomystax juga ditemukan di hutan dataran rendah, tetapi tidak ditemukan di kebun. Sedangkan untuk reptil, daerah peralihan mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan kebun karena 2 jenis reptil yang ditemukan di
80
daerah peralihan yaitu Eutropis multifasciata dan Draco melanpogon ditemukan juga pada kebun, tetapi hanya Eutropis multifasciata yang ditemukan pada hutan dataran rendah. Pada habitat inti, hutan pantai mempunyai kesamaan jenis baik amfibi dan reptil yang lebih dekat dengan hutan dataran rendah dibandingkan dengan kebun karena jenis yang pada hutan pantai mempunyai banyak jenis yang sama dengan hutan dataran rendah dibandingkan dengan kebun. Kesamaan jenis tersebut diduga disebabkan jarak yang tidak jauh antara hutan pantai dan hutan dataran rendah yang langsung terhubung. Sedangkan pada kebun dan hutan dataran rendah terdapat sedikit ruang kosong yang bekas bukaan untuk kebun yang tidak ditanami oleh tanaman. Selain itu struktur dan komposisi vegetasi pada hutan pantai lebih mirip dengan hutan dataran rendah dibandingkan dengan kebun. Hutan pantai dan hutan dataran rendah mempunyai karakteristik yang alami, sedangkan kebun merupakan habitat buatan manusia. Berdasarkan uji statistik (Tabel 7) yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya perbedaan nyata antar habitat yang diuji, ternyata terdapat 4 uji perbandingan nilai keanekaragaman yang tidak menghasilkan nilai yaitu uji antara hutan pantai dengan daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah baik amfibi maupun reptil, amfibi pada kebun dengan daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah, serta amfibi pada hutan dataran rendah dengan daerah peralihan antara kebun dengan hutan daratan rendah. Tidak adanya nilai yang muncul pada uji tersebut karena nilai rata-rata pada salah satu habitat yang diuji yaitu 0. Nilai tersebut menunjukkan bahwa jumlah jenis yang ditemukan pada jalur di habitat tersebut tidak lebih dari satu jenis sehingga nilai keanekaragaman jenisnya 0. Beda nyata nilai keanekaragaman jenis terlihat pada uji nilai keanekaragaman jenis amfibi pada hutan dataran rendah dengan daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah serta amfibi pada hutan pantai dengan hutan dataran rendah. Adanya beda nyata karena hutan dataran rendah mempunyai jumlah amfibi yang lebih banyak baik jumlah jenis maupun jumlah individu dibandingkan dengan hutan pantai maupun daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah. Sedangkan delapan uji lainnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata pada uji keanekaragaman jenis. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis yang ditemukan tidak jauh berbeda antar
81
tipe habitat. Hal tersebut dikarenakan tiap habitat mempunyai letak yang bersebelahan dan luasan habitat yang diteliti tidak terlalu luas.
5.3.3. Distribusi Spasial Jumlah individu seluruh jenis herpetofauna yang dijumpai adalah 310 individu dari 52 jenis. Habitat hutan dataran rendah merupakan habitat yang mempunyai jumlah individu maupun jenis terbanyak untuk amfibi. Jumlah tersebut terdiri dari 75 individu dari 14 jenis amfibi. Sedangkan reptil, mempunyai jumlah jenis dan jumlah individu terbanyak pada habitat hutan pantai dengan 22 individu dari 8 jenis reptil. Jika dilihat pada Gambar 22 dan 23, maka distribusi spasial amfibi berbeda dengan distribusi spasial pada reptil. Distribusi spasial pada amfibi cenderung mengelompok pada daerah tertentu, sedangkan pada reptil cenderung acak. Hal tersebut terjadi karena adanya genangan-genangan air yang terdapat pada jalur pengamatan. Banyak jenis amfibi yang selalu ditemukan pada atau dekat dengan air, seperti Occidozyga sumatrana, Bufo quadriporcatus, Bufo biporcatus, Polypedates macrotis dan
Polypedates leucomystax. Hal tersebut
sesuai dengan sifat amfibi yang hidup selalu berasosiasi dengan air untuk menjaga permukaan kulitnya agar tetap lembab (Iskandar 1998). Sedangkan untuk reptil penyebarannya cenderung acak karena reptil mempunyai mobilitas yang lebih tinggi sehingga mempunyai daerah jelajah yang lebih luas dibandingkan dengan amfibi. Perbedaan distribusi spasial jenis herpetofauna yang dijumpai pada lokasi penelitian berkaitan dengan kondisi setiap tipe habitat. Setiap tipe habitat yang ada memiliki karakteristik tersendiri yang dapat mendukung dan menunjang kebutuhan hidup herpetofauna, baik berupa cover untuk berlindung maupun kemudahan memperoleh satwa mangsa (Purbatrapsila 2009).
5.2.4. Status Jenis Herpetofauna Dari 52 jenis herpetofauna yang dijumpai, terdapat beberapa jenis yang masuk kedalam daftar CITES, IUCN dan PP no: 7 tahun 1999. CITES (The Convention on Inernational Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) adalah suatu kesepakatan bersama tingkat internasional yang dicanangkan pada tahun 1973 dan mulai diaktifkan peraturan konvensinya pada tanggal 1 Juli
82
1975 dalam hal perdagangan internasional hidupan liar (flora dan fauna). Perjanjian ini dibentuk setelah adanya kerisauan akan semakin menurunnya populasi hidupan liar akibat adanya perdagangan internasional. Sedangkan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) merupakan suatu organisasi profesi tingkat dunia yang memantau keadaan populasi suatu jenis hidupan liar (flora dan fauna) dan banyak memberikan rekomendasi dalam hal penanganan terhadap suatu jenis hidupan liar yang hampir punah. Sedangkan PP no: 7 tahun 1999 merupakan peraturan pemerintah Republik Indonesia yang berisi jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Jenis amfibi yang ditemukan tidak ada satupun yang masuk ke dalam daftar CITES (2009) dan PP no: 7 tahun 1999. Sedangkan menurut kategori IUCN (2009), amfibi yang ditemukan termasuk kedalam kategori Vulnerable (VU), Near Threatened (NT) dan Least Concern (LC). Vulnerable diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam kategori Critically Endangered (CR) atau Endangered (EN) namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat sehingga dapat digolongkan dalam Extinct in the wild (EW). Suatu taxon disebut Near Threatened setelah penilaian yang dilakukan tidak sesuai dengan criteria CE, E, atau VU pada masa sekarang tetapi lebih dekat untuk mengelompokkannya pada suatu kategori terancam di masa dekat mendatang. Sedangkan suatu taxon disebut Least Concern setelah penilaian yang dilakukan tidak sesuai dengan CE, E, atau VU dan NT pada masa sekarang. Pada kondisi kategori ini takson-takson tersebar luas dan melimpah (IUCN 2001). Terdapat 1 jenis amfibi yang termasuk ke dalam status VU yaitu Limnonectes macrodon. Status NT juga hanya terdapat 1 jenis amfibi yaitu Limnonectes blythii. Terdapat 4 jenis amfibi yang tidak termasuk kategori IUCN karena belum dievaluasi yaitu Microhylla palmipes, Microhylla sp, Rana nicobariensis dan Limnonectes crybetus. Sedangkan sisanya yang terdiri dari 13 jenis amfibi tergolong ke dalam status LC. Dari 32 jenis reptil yang ditemukan terdapat 8 jenis yang masuk dalam kategori CITES. Tiga jenis yaitu Chelonia mydas, Eretmochelys imbricata dan Lepidochelys olivacea yang termasuk kedalam golongan penyu laut masuk ke dalam kategori Appendix I. Sedangkan 5 jenis lainnya yaitu Python reticulatus,
83
Varanus salvator, Varanus rudicolis, Crocodylus porossus dan Cuora amboinensis masuk ke dalam kategori Appendix II. Jenis yang termasuk kedalam Apendiks I yaitu jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Perdagangan komersial untuk jenis-jenis yang termasuk kedalam Appendix I ini sama sekali tidak diperbolehkan. Sedangkan kategori Appendix II yaitu semua jenis kehidupan liar walau tidak dalam kondisi terancam dari kepunahan, tetapi mempunyai kemungkinan untuk terancam punah jika perdagangannnya tidak diatur (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Diantara 32 jenis reptil, terdapat 4 jenis yang dilindungi menurut PP No:7 Tahun 1999, yaitu Chelonia mydas, Eretmochelys imbricata dan Lepidochelys olivacea dan Crocodylus porossus. Terdapat 4 jenis reptil yang masuk ke kategori dalam IUCN (IUCN 2009). Reptil yang ditemukan termasuk kedalam kategori Vulnerable (VU), Endangered (EN) dan Critically Endangered (CR). Reptil yang masuk kategori VU terdapat 2 jenis yaitu Cuora amboinensis dan Lepidochelys olivacea. Chelonia mydas masuk ke dalam kategori ED dan Eretmochelys imbricata masuk ke dalam kategori CE. Endangered diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam kategori CR namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan dimasukkan ke dalam kategori EW jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti terhadap populasinya tidak dilakukan. Sedangkan kategori Critically Endangered diterapkan pada takson yang mengalami resiko kepunahan yang sangat ekstrim di alam dan dimasukkan ke dalam kategori EW jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti terhadap populasinya tidak dilakukan (IUCN 2001).
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Komposisi jenis herpetofauna berbeda pada setiap tipe habitat baik, namun memiliki kesamaan pola. Pada daerah inti, jumlah total herpetofauna tertinggi di hutan dataran rendah dilanjutkan dengan hutan pantai dan kebun. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah individu yang dijumpai. Sementara jumlah jenis dan jumlah individu yang dijumpai pada daerah peralihan lebih sedikit daripada daerah inti. 2. Perbedaan tipe habitat tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna kecuali pada keanekaragaman jenis amfibi di hutan pantai dengan hutan dataran rendah dan daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah dengan hutan dataran rendah. 3. Terdapat perbedaan distribusi antara amfibi dan reptil. Amfibi banyak dijumpai di hutan dataran rendah sementara reptil dijumpai terbanyak di habitat hutan pantai. Distribusi spasial pada amfibi cenderung mengelompok pada daerah hutan dataran rendah yang memiliki beragam mikrohabitat, dekat dengan sumber air tawar dan terlindung dari kekeringan. Sedangkan distribusi reptil cenderung acak karena mempunyai mobilitas yang lebih tinggi daripada amfibi.
6.2. Saran 1. Penelitian ini hanya dilakukan pada tiga jenis habitat yang mendominasi di kawasan TWNC. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tambahan mengenai distribusi dan keanekaragaman herpetofauna pada tipe habitat lainnya, baik daerah inti dan daerah peralihan di kawasan TWNC. 2. Penelitian ini dilakukan pada jangka pendek, yaitu bulan Agustus-November
(musim kering). Perlu dilakukan penelitian pada musim hujan mengingat pengaruh iklim sangat berpengaruh terhadap pola perilaku herpetofauna.
DAFTAR PUSTAKA Aini A. 2007. Sistem Informasi Geografis Pengertian dan Aplikasinya. Jurnal Ilmiah DASI (Data Manajemen dan Teknologi Informasi) 8 (2): 22-39. Alikodra HS. 2002. Penegelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Atmawijadja R. 1996. Manfaat Potret Udara dan Citra Satelit dalam Memonitor Lingkungan dan Sumberdaya Hutan. Di dalam: Pelatihan Penggunaan Potret Udara untuk Penyusunan Rencana Teknik Tahunan Kelas Perusahaan Jati dan Pinus di Jawa. Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dengan Perum Perhutani. CITES.
2009. Appendices I, II, and http://www.cites.org/eng/app/appendices.shtml. [2 Februari 2010].
III.
Cogger HG. 1999. The Little Guide Reptiles and Amphinians. Fog City Press. San Francisco. USA. Cogger HG and Zwiefel RG. 2003. Encyclopediea of Reptiles and Amphibians. Fog City Press. San Francisco. USA. Cox MJ, Van Dijk PP, Nabhitabhata J, Thirakhupt K. 1998. A Photographic Guide to Snakes and another Reptiles of Peninsular Malaysia, Singapore and Thailand. New Holland. Singapore. Daly JW, Kaneko T, Wilham J, Garraffo HM, Spande TF, Espinosa A and Donnelly MA. 2002. Bioactive alkaloids of frog skin: Combinatorial bioprospecting reveals that pumiliotoxins have an arthropod source. PNAS 99(22): 13996–14001. Darmawan B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dawson DE and Hostetler ME. 2008. Herpetofaunal Use of Edge and Interior Habitats in Urban Forest Remnants. Urban Habitats 5: 1541-7115. Destriana AH. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Ujung Kulon (Studi Kasus Padang Pengembalaan Cidaon). [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
86
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2004. 50 Taman Nasional di Indonesia. Pusat Informasi Konservasi Alam. Bogor. Duellman WE and Trueb L. 1994. Biology of Amphibians. London: Johns Hopkin Univ. Pr. Endarwin W. 2006. Keanekaragaman Jenis Reptil dan Biologi Cyrtodactylus of fumosus Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, Bengkulu. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Farina A. 2000. Prinsiple and Methods in Lanscape Ecology. Boston. Kluwer Acad Pub. Fitri A. 2002. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Kebun Raya Bogor. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Forman RTT. 1981. Landscape Ecology. New York: John Wiley & Sons. Goin CJ and Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. Second Edition. San Francisco: Freeman. Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC and Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity : Standard Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press. Washington. Hillers A, Veith M, and R odel MO. 2008. Effects of Forest Fragmentation and Habitat Degradation on West African Leaf-Litter Frogs. Conservation Biology, Volume 22 (3): 762–772 [HIMAKOVA IPB] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. 2004. Laporan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2004: Eksplorasi Ilmiah Keanekaragaman Hayati Satwa Indikator Kesehatan Lingkungan Hutan dan Tumbuhan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. [HIMAKOVA IPB] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. 2006. Laporan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2006: Eksplorasi Keanekaragam Hayati Flora Fauna dan Nilai Budaya Masyarakat Lokal untuk Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Hofrichter R. 2000. The Encyclopediea of Amphibians. Weltbuild. Augsburg. Husna N. 2006. Sebaran Spasial dan Keanekaragaman Ular di Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di SKW I Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo.
87
[skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Imanudin. 2009. Komunitas Burung di bawah Tajuk pada Hutan Primer dan Hutan Sekunder di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Inger RF. 2005. The Frog Fauna Of The Indo–Malayan Region As It Applies To Wallace’s Line. An International Conference on Biogeography and Biodiversity. 2005. Inger RF and Iskandar DT. 2005. A collection of amphibians from West Sumatra, with description of a new spesies of Megophrys (Amphibia: Anura). The Raffles Bulletin of Zoology 53 (1): 133–142. Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan. Puslitbang – LIPI. Bogor. Iskandar DT. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. Palmedia Citra. Bandung. Iskandar DT and Colijn E. 2000. Premilinary checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna. Treubia: A Journal on Zoology of the IndoAustralian Archipelago. 31(3):1–133. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Conservation International, and NatureServe. 2008. Habitat Preferences. http://www.iucnredlist.org/amphibians/habitat_preferences.htm. [26 April 2009]. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Conservation International, and NatureServe. 2001 Categories & Criteria. http://www.iucnredlist.org/static/categories_criteria_3_1 [10 Februari 2010]. Kartika KF. 2008. Keanekaragaman Kelelawar Pemakan Serangga Sub Ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Krebs CJ. 1978. Ecological Methodology. New York: Harper dan Row Publisher. Kurniati H. 2007. Biodiversity And Natural History Of Amphibians And Reptiles In Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia (2005, 2006, 2007). RSG Final Report 2007.
88
Kusrini MD. 2009. Pedoman Penelitian dan Survey Amfibi di Alam. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Indonesia. Lillesand TM and Kiefer RW. 1990. Penginderaan jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Lehtinen RM, Ramanamanjato JB, and Raveloarison JG. 2003. Edge effects and extinction proneness in a herpetofauna from Madagascar. Biodiversity and Conservation 12: 1357–1370 Lo CP. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). Lubis MI. 2006. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus Javanus Boettger 1893) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jarak Jauh di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: The Gibbon Foundation dan PILI-NGO Movement. Muntasib EKSH. 2002. Penggunaan ruang habitat oleh Badak Jawa (Rhinoceros sundaicus Desm 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Prahasta E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung. . 2008. Remote Sensing: Praktis Penginderaan Jauh & Pengolahan Citra Dijital Dengan Perangkat Lunak ER Mapper. Informatika. Bandung. Prasetyo A. 2010. Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Tambling Wildlife Nature Conservation Taman Nasional Bulit Barisan Selatan. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prasetyo LB. 2007. Pertimbangan Spasial dalam Lanskap. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
89
Purbatrapsila A. 2009. Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rudiansyah. 2007. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Resort Ipuh-Seblat, Seksi Konservasi Wilayah II Taman Nasional Kerinci Seblat. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Schlaepfer MA and Gavin TA. 2001. Edge effects on lizards and frogs in tropical forest fragments. Conservation Biology 15: 1079–1090 Sisk TD, Haddad NM, and Ehrlich PR. 1997. Bird assemblages in patchy woodlands: modeling the effects of edge and matrix habitats. Ecological Applications, 7(4), pp. 1170–1180 Soehartono T dan Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: Japan Internasional Cooperation Agency (JICA). Soenarmo SH. 2003. Penginderaan Jarak Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografi untuk Bidang Ilmu Kebumian. Program Studi Geofisika & Meteorologi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Stebbin RC and NW Cohen. 1997. A Natural History of Amfibians. New Jersey: Princeton Univ. Pr. Sudrajat. 2001. Keanekaragaman dan Ekologi Herpetofauna (Reptil dan Amfibi) di Sumatera Selatan. [skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tambling Wildlife Nature Conservation. 2009. Tambling Wildlife Nature Conservation The Corner of The Earth, Southern Tip of Sumatera Island. http://www.twnc.info/ [26 Juni 2009]. Turner MG, Gardner RH and O’Neill RV. 2001. Landscape Ecology in Theori and Prectice: Pattern and Process. New York: Springer Verlay. Tweedie MWF. 1983. The Snake Of Malaya. Singapore: Singapore National Prienter Ltd. Ul-Hasanah AU. 2006. Amphibian diversity in Bukit Barisan Selatan National Park, Lampung-Bengkulu. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
90
Urbina-Cardona JN, Olivares-Perez M, Reynoso VH. 2006. Herpetofauna diversity and microenvironment correlates across a pasture-edge-interior ecotone in tropical rainforest fragments in the Los Tuxtlas Biosphere Reserve of Veracruz, Mexico. Biological Conservation 132: 61–75 van Hoeve BVUW. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna: Reptilia dan Amfibia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. van Kampen PN. 1923. The Amphibia of The Indo Australian Archipelago. E.J. Brill Ltd. Leiden. Yoza D. 2005. Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau. [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yusuf LM. 2008. Keanekaragaman Jenis Reptil pada Beberapa Tipe Habitat di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
92
Lampiran 1 Data Iklim (Suhu Udara, Kelembaban dan Cuaca) di Lokasi Penelitian Bulan Agustus
Tanggal 15 17 18 21 23 30
September
6 7
Oktober
13 15 16 23 25
Tipe Habitat (Lokasi) H Pantai-H Dataran Rendah (Sekawat) H Pantai (Sekawat) H Pantai-H Dataran Rendah (Sekawat) Kebun-H Dataran Rendah (Tanjung Mas) Kebun- H Dataran Rendah (Tanjung Mas) H Pantai (Seyleman) Kebun (Pulau-Pulau) Kebun (Pulau-Pulau) H Pantai-H Dataran Rendah (Blambangan) H Pantai (Blambangan) H Pantai-H Dataran Rendah (Blambangan) H Dataran Rendah (Duku Satu) H Dataran Rendah (Duku Satu)
Waktu Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam
Kondisi Cuaca Cerah Cerah Cerah Mendung Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Mendung Mendung Mendung Mendung Cerah Cerah Mendung Mendung Mendung Mendung
Awal 27 27 28 27 29 27 28 27 28 28 28 27 28 27 29 27 28 26 29 28 29 28 29 28 28 26
Dry (°C) Akhir 28 26 29 27 29 26 28 27 28 27 29 26 29 27 29 26 28 26 29 28 29 28 29 27 28 26
Mean 27.5 26.5 28.5 27 29 26.5 28 27 28 27.5 28.5 26.5 28.5 27 29 26.5 28 26 29 28 29 28 29 27.5 28 26
Awal 25 25 26 25 26 25 25 24 25 24 25 25 25 25 25 24 25 25 25 25 26 25 25 26 26 24
Wet (°C) Akhir 26 25 26 25 26 25 24 23 25 24 24 24 25 25 25 24 25 25 25 26 26 25 25 26 26 24
Mean 25.5 25 26 25 26 25 24.5 23.5 25 24 24.5 24.5 25 25 25 24 25 25 25 25.5 26 25 25 26 26 24
Kelembaban (%) Awal Akhir Mean 84 85 84.5 84 92 88 85 78 81.5 84 84 84 78 78 78 84 92 88 77 70 73.5 77 70 73.5 77 77 77 70 77 73.5 77 64 70.5 77 76 76.5 77 71 74 84 84 84 71 71 71 77 84 80.5 77 77 77 92 92 92 71 71 71 77 85 81 78 78 78 77 77 77 71 71 71 85 92 88.5 85 85 85 84 84 84
93
Lampiran 1 (Lanjutan) Bulan September
Tanggal 27 28
Oktober
3 4 5
November
7 13
Lokasi H Dataran Rendah (Way Seyleman) H Dataran Rendah (Way Sleman) Kebun (Penangkaran) Kebun-H Dataran Rendah (Penangkaran) Kebun-H Dataran Rendah (Penangkaran) Kebun (Pengekahan) H Pantai (Belimbing)
Waktu
Kondisi Cuaca
Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam Siang Malam
Cerah Mendung Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Mendung Cerah Mendung Cerah Cerah Cerah Mendung
Awal 29 27 29 27 29 28 29 27 29 28 29 28 28 27
Dry (°C) Akhir Mean 29 29 27 27 29 29 26 26.5 29 29 28 28 30 29.5 26 26.5 30 29.5 27 27.5 30 29.5 28 28 29 28.5 26 26.5
Awal 26 25 26 25 26 25 26 25 26 25 25 26 26 25
Wet (°C) Akhir Mean 26 26 26 25.5 26 26 24 24.5 26 26 25 25 26 26 24 24.5 26 26 24 24.5 26 25.5 26 26 26 26 24 24.5
Kelembaban (%) Awal Akhir Mean 78 78 78 84 92 88 78 78 78 84 84 84 78 78 78 77 77 77 78 72 75 84 84 84 78 72 75 77 77 77 71 72 71.5 85 85 85 85 78 81.5 77 76 76.5
Lampiran 2 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis pada Jalur Daerah Peralihan antara Hutan Pantai dan Hutan Dataran Rendah Amfibi Jenis Bufo melanostictus Bufo biporcatus Leptophryne borbonica Microhylla palmipes Kaloula baleata Rana chalconota Rana nicobariensis Occidozyga sumatrana Fejervarya limnocharis Polypedates macrotis Polypedates leucomystax Jumlah Counta E
HP Jumlah
H'
1
0
1
0 1
DP HP-HDR Jumlah H' 1 0.28 2 0.36 1
0.28
2
0.36
1 7
0.28 1.55 5 0.96
HDR Jumlah H' 4 2 10 1 1 9 8 3 14 9 61
0.18 0.11 0.30 0.07 0.07 0.28 0.27 0.15 0.34 0.28 2.04 10 0.89
Reptil Jenis Dendrelaphis caudolineatus Dendrelaphis pictus Varanus salvator Takydromus sexlineatus Eutropis multifasciata Jumlah Counta E
HP Jumlah
H'
1
0.35
1
0.35
2
0.69 2 1.00
DP HP-HDR Jumlah H'
1 2 3
0.37 0.27 0.64 2 0.92
HDR Jumlah H'
1 1
0.22 0.22
9 11
0.16 0.60 3 0.55
95
Lampiran 3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis pada Jalur Daerah Peralihan antara Kebun dan Hutan Dataran Rendah Amfibi Jenis Bufo melanostictus Leptophryne borbonica Microhylla palmipes Microhylla sp Rana chalconota Rana nicobariensis Occidozyga sumatrana Fejervarya limnocharis Fejervarya cancrivora Limnonectes macrodon Polypedates macrotis Polypedates leucomystax Rhacophorus appendiculatus Jumlah Counta E
KB Jumlah H' 1 0.23 1
0.23
1 3
0.23 0.36
3 1
0.36 0.23
10
1.64 6 0.92
DP KB-HDR Jumlah H'
2
0.27
1
0.37
3
0.64 2 0.92
HDR Jumlah H' 1 10 1 6 1 1 4
0.11 0.36 0.11 0.31 0.11 0.11 0.26
3 4 1 32
0.22 0.26 0.11 1.96 10 0.85
Reptil Jenis Dendrelaphis pictus Psammodynastes pulverulentus Natrix trianguligera Takydromus sexlineatus Eutropis multifasciata Hemydactylus frenatus Draco melanpogon Gonocephalus camelianthinus Jumlah Counta E
KB Jumlah H' 1 0.24 1 1 2 2 2
0.24 0.24 0.33 0.33 0.33
9
1.74 6 0.97
DP KB-HDR Jumlah H'
1
0.35
1
0.35
2
0.69 2 1
HDR Jumlah H' 1 0.35 1 0.35
1
0.35
1 4
0.35 1.39 4 1
96
Lampiran 4 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis pada Daerah Inti Amfibi Nama Jenis Bufo biporcatus Bufo quadriporcatus Leptophryne borbonica Microhylla palmipes Rana chalconota Rana nicobariensis Rana picturata Occidozyga sumatrana Fejervarya limnocharis Fejervarya cancrivora Limnonectes macrodon Limnonectes crybetus Limnonectes blythii Polypedates macrotis Polypedates leucomystax Jumlah Counta E
HP Jumlah H' 2 0.36
2
0.36
3
0.36
7
1.08 3 0.98
HDR Jumlah H' 2 0.10 1 0.06 4 0.16 16 0.33 18 0.34 1 0.06 2 0.10 5 0.18 12 0.29 2 2 2 1 7 75
0.10 0.10 0.10 0.06 0.22 2.18 14 0.83
KB Jumlah H' 1 1
0.21 0.21
2
0.30
2 1 1
0.30 0.21 0.21
3
0.35
1 12
0.21 1.98 8 0.95
Reptil Nama Jenis Aplopeltura boa Dendrelaphis caudolineatus Dendrelaphis pictus Lycodon subcinctus Psammodynastes pulverulentus Psammodynastes pictus Ahaetulla prasina Natrix trianguligera Macropisthodon rhodomelas Cerberus rynchops Varanus salvator Takydromus sexlineatus Eutropis multifasciata Hemydactylus frenatus Cyrtodactylus cf formosus Draco volans Jumlah Counta E
HP Jumlah H' 1 1
0.14 0.14
1
0.14
1 3 4 1 10
22
0.14 0.27 0.31 0.14 0.36
1.64 8.00 0.79
HDR Jumlah H' 1 0.15 1 0.15
2
0.24
3 1
0.29 0.15
1
0.15
8
0.36
2
0.24
19
1.75 8.00 0.84
KB Jumlah H'
1 1 1
0.22 0.22 0.22
3
0.35
3 1
0.35 0.22
1 11
0.22 1.80 7.00 0.92
97
Lampiran 5 Pehitungan Indeks Kesamaan Jenis pada Jalur Daerah Peralihan antara Hutan Pantai dan Hutan Dataran Rendah Amfibi Cluster Analysis of Variables: HP, DP HP-HDR, HDR Correlation Coefficient Distance, Ward Linkage Amalgamation Steps
Step 1 2
Number of clusters 2 1
Similarity level 77.9508 54.4213
Distance level 0.440983 0.911574
Clusters joined 1 2 1 3
New cluster 1 1
Number of obs. in new cluster 2 3
Reptil Cluster Analysis of Variables: HP, DP HP-HDR, HDR Correlation Coefficient Distance, Ward Linkage Amalgamation Steps
Step 1 2
Number of clusters 2 1
Similarity level 91.5538 2.2442
Distance level 0.16892 1.95512
Clusters joined 2 3 1 2
New cluster 2 1
Number of obs. in new cluster 2 3
98
Lampiran 6 Pehitungan Indeks Kesamaan Jenis pada Jalur Daerah Peralihan antara Kebun dan Hutan Dataran Rendah Amfibi Cluster Analysis of Variables: KB, DP KB-HDR, HDR Correlation Coefficient Distance, Ward Linkage Amalgamation Steps
Number Number
Step 1 2
of clusters 2 1
of obs. Similarity Distance level level 60.9434 0.78113 27.3468 1.45306
Clusters joined 2 3 1 2
New cluster 2 1
in new cluster 2 3
Reptil Cluster Analysis of Variables: KB, DP KB-HDR, HDR Correlation Coefficient Distance, Ward Linkage Amalgamation Steps
Step 1 2
Number of clusters 2 1
Similarity level 82.3575 23.2013
Distance level 0.35285 1.53597
Clusters joined 1 2 1 3
New cluster 1 1
Number of obs. in new cluster 2 3
99
Lampiran 7 Pehitungan Indeks Kesamaan Jenis pada Daerah Inti
Amfibi Cluster Analysis of Variables: HP, HDR, KB Correlation Coefficient Distance, Ward Linkage Amalgamation Steps
Step 1 2
Number of clusters 2 1
Similarity level 52.5109 44.0192
Distance level 0.94978 1.11962
Clusters joined 1 2 1 3
New cluster 1 1
Number of obs. in new cluster 2 3
New cluster 1 1
Number of obs. in new cluster 2 3
Reptil Cluster Analysis of Variables: HP, HDR, KB Correlation Coefficient Distance, Ward Linkage Amalgamation Steps
Step 1 2
Number of clusters 2 1
Similarity level 87.9347 64.7305
Distance level 0.241307 0.705390
Clusters joined 1 2 1 3
100
Lampiran 8 Uji Statistik pada Jalur Daerah Peralihan antara Hutan Pantai dan Hutan Dataran Rendah Amfibi Two-Sample T-Test and CI: HP, DP HP-HDR * ERROR * All values in column are identical.
Two-Sample T-Test and CI: HDR, DP HP-HDR Hipotesis, H0 : µHDR = µDP HP-HDR Two-sample T for HDR vs DP HP-HDR
HDR DP HP-HDR
N 4 4
Mean 1.663 0.333
StDev 0.259 0.665
SE Mean 0.13 0.33
Difference = mu (HDR) - mu (DP HP-HDR) Estimate for difference: 1.33000 95% CI for difference: (0.45703, 2.20297) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.73 DF = 6 Both use Pooled StDev = 0.5045
P-Value = 0.010
Kesimpulan : karena t hitung (3,73) > t tabel (2,447) maka dengan tingkat kepercayaan 95% tolak H0, bahwa ada perbedaan keanekaragaman amfibi pada hutan dataran rendah dan daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah. Reptil Two-Sample T-Test and CI: HP, DP HP-HDR * ERROR * All values in column are identical.
Two-Sample T-Test and CI: HDR, DP HP-HDR Hipotesis, H0 : µHDR = µDP HP-HDR Two-sample T for HDR vs DP HP-HDR
HDR DP HP-HDR
N 4 4
Mean 0.298 0.160
StDev 0.352 0.320
SE Mean 0.18 0.16
Difference = mu (HDR) - mu (DP HP-HDR) Estimate for difference: 0.137500 95% CI for difference: (-0.444671, 0.719671) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.58 DF = 6 Both use Pooled StDev = 0.3365
P-Value = 0.584
101
Kesimpulan : karena t hitung (0,58) < t tabel (2,447) maka dengan tingkat kepercayaan 95% terima H0, bahwa tidak ada perbedaan keanekaragaman reptil pada hutan dataran rendah dan daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah.
102
Lampiran 9 Uji Statistik pada Jalur Daerah Peralihan antara Kebun dan Hutan Dataran Rendah Amfibi Two-Sample T-Test and CI: KB, DP KB-HDR * ERROR * All values in column are identical.
Two-Sample T-Test and CI: HDR, DP KB-HDR * ERROR * All values in column are identical.
Reptil Two-Sample T-Test and CI: KB, DP KB-HDR Hipotesis, H0 : µKB = µDP KB-HDR Two-sample T for KB vs DP KB-HDR
KB DP KB-HDR
N 4 4
Mean 0.333 0.173
StDev 0.665 0.345
SE Mean 0.33 0.17
Difference = mu (KB) - mu (DP KB-HDR) Estimate for difference: 0.160000 95% CI for difference: (-0.756572, 1.076572) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.43 = 6 Both use Pooled StDev = 0.5297
P-Value = 0.684
DF
Kesimpulan : karena t hitung (0,43) < t tabel (2,447) maka dengan tingkat kepercayaan 95% terima H0, bahwa tidak ada perbedaan keanekaragaman reptil pada kebun dan daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah. Two-Sample T-Test and CI: HDR, DP KB-HDR Hipotesis, H0 : µHDR = µDP KB-HDR Two-sample T for HDR vs DP KB-HDR
HDR DP KB-HDR
N 4 4
Mean 0.173 0.173
StDev 0.345 0.345
SE Mean 0.17 0.17
Difference = mu (HDR) - mu (DP KB-HDR) Estimate for difference: 0.000000 95% CI for difference: (-0.596929, 0.596929) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.00 = 6 Both use Pooled StDev = 0.3450
P-Value = 1.000
DF
103
Kesimpulan : karena t hitung (0) < t tabel (2,447) maka dengan tingkat kepercayaan 95% terima H0, bahwa tidak ada perbedaan keanekaragaman reptil pada kebun dan daerah peralihan antara kebun dan hutan dataran rendah.
104
Lampiran 10 Uji Statistik antar Daerah Inti Amfibi Two-Sample T-Test and CI: HDR, HP Hipotesis, H0 : µHDR = µHP Two-sample T for HDR vs HP N 4 4
HDR HP
Mean 1.565 0.260
StDev 0.410 0.520
SE Mean 0.20 0.26
Difference = mu (HDR) - mu (HP) Estimate for difference: 1.30500 95% CI for difference: (0.49508, 2.11492) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.94 = 6 Both use Pooled StDev = 0.4681
P-Value = 0.008
DF
Kesimpulan : karena t hitung (3,93) > t tabel (2,447) maka dengan tingkat kepercayaan 95% tolak H0, bahwa ada perbedaan keanekaragaman amfibi pada hutan dataran rendah dan hutan pantai. Two-Sample T-Test and CI: KB, HP Hipotesis, H0 : µKB = µHP Two-sample T for KB vs HP
KB HP
N 4 4
Mean 0.630 0.260
StDev 0.864 0.520
SE Mean 0.43 0.26
Difference = mu (KB) - mu (HP) Estimate for difference: 0.370000 95% CI for difference: (-0.863326, 1.603326) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.73 = 6 Both use Pooled StDev = 0.7128
P-Value = 0.491
DF
Kesimpulan : karena t hitung (0,73) < t tabel (2,447) maka dengan tingkat kepercayaan 95% terima H0, bahwa tidak ada perbedaan keanekaragaman amfibi pada kebun dan hutan pantai.
105
Two-Sample T-Test and CI: HDR, KB Hipotesis, H0 : µHDR = µKB Two-sample T for HDR vs KB
HDR KB
N 4 4
Mean 1.565 0.630
StDev 0.410 0.864
SE Mean 0.20 0.43
Difference = mu (HDR) - mu (KB) Estimate for difference: 0.935000 95% CI for difference: (-0.234430, 2.104430) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.96 = 6 Both use Pooled StDev = 0.6759
P-Value = 0.098
DF
Kesimpulan : karena t hitung (1,96) < t tabel (2,447) maka dengan tingkat kepercayaan 95% terima H0, bahwa tidak ada perbedaan keanekaragaman amfibi pada hutan dataran rendah dan kebun. Reptil Two-Sample T-Test and CI: HDR, HP Hipotesis, H0 : µHDR = µHP Two-sample T for HDR vs HP
HDR HP
N 4 4
Mean 1.060 0.725
StDev 0.731 0.609
SE Mean 0.37 0.30
Difference = mu (HDR) - mu (HP) Estimate for difference: 0.335000 95% CI for difference: (-0.828485, 1.498485) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.70 = 6 Both use Pooled StDev = 0.6724
P-Value = 0.508
DF
Kesimpulan : karena t hitung (0,70) < t tabel (2,447) maka dengan tingkat kepercayaan 95% terima H0, bahwa tidak ada perbedaan keanekaragaman reptil pada hutan dataran rendah dan hutan pantai.
106
Two-Sample T-Test and CI: KB, HP Hipotesis, H0 : µKB = µHP Two-sample T for KB vs HP
KB HP
N 4 4
Mean 0.780 0.725
StDev 0.583 0.609
SE Mean 0.29 0.30
Difference = mu (KB) - mu (HP) Estimate for difference: 0.055000 95% CI for difference: (-0.976749, 1.086749) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.13 = 6 Both use Pooled StDev = 0.5963
P-Value = 0.900
DF
Kesimpulan : karena t hitung (0,13) < t tabel (2,447) maka dengan tingkat kepercayaan 95% terima H0, bahwa tidak ada perbedaan keanekaragaman reptil pada kebun dan hutan pantai. Two-Sample T-Test and CI: HDR, KB Hipotesis, H0 : µHDR = µKB Two-sample T for HDR vs KB
HDR KB
N 4 4
Mean 1.060 0.780
StDev 0.731 0.583
SE Mean 0.37 0.29
Difference = mu (HDR) - mu (KB) Estimate for difference: 0.280000 95% CI for difference: (-0.863871, 1.423871) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.60 = 6 Both use Pooled StDev = 0.6611
P-Value = 0.571
DF
Kesimpulan : karena t hitung (0,60) < t tabel (2,447) maka dengan tingkat kepercayaan 95% terima H0, bahwa tidak ada perbedaan keanekaragaman reptil pada kebun dan hutan pantai.
107
Lampiran 11 Deskripsi Jenis Amfibi yang Dijumpai di Kawasan TWNC Famili Bufonidae Bufo melanostictus Schneider, 1799 Nama Inggris: Asian Toad Nama Indonesia: Kodok Buduk, Kodok Puru Deskripsi: Memiliki benjolan-benjolan hitam yang terbesar di bagian atas tubuh dengan moncong yang runcing. Jenis ini mempunyai alur supraorbital yang bersambung dengan alur supratimpatik dan tidak memiliki alur parietal. Terdapat pula kelenjar parotoid yang berbentuk elips. Jari kaki dan jari tangan hamper sama dalam keadaan tumpul. Pada jari Foto by: MF Yanuarefa kaki terdapat selaput yang melebihi setengah jari. Habitat: Jenis ini merupakan kodok paling umum ditemukan di berbagai termasuk perkampungan dan kota yang luas, lahan olahan, tempat terbuka, kebun, parit di pinggiran jalan serta biasa berada di tanah kering, di atas rumput dan di atas serasah Penyebaran Regional: China, India, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Ambon dan Papua. Bufo biporcatus Gravenhorst, 1892 Nama Inggris: Crested Toad Nama Indonesia: Kodok Puru Hutan
Foto by: MF Yanuarefa
Deskripsi: Ukuran tubuh sedang , tekstur kulit kasar dan tidak rata, dengan bintilbintil berwarna merah kegelapan. Kelenjar parotoid kecil, berbentuk agak segitiga sampai lonjong dan terlihat jelas. Antara mata dan daerah parietal terdapat sepasang pertulangan (alur parietal). Sesudah kelenjar paratoid terdapat alur/deretan bintil besar yang menyerong ke arah paha. Beberapa individu jantan memiliki leher berwarna kemerahan
sampai kehitaman. . Habitat: Jenis ini lebih mudah ditemukan di dekat kolam, genangan air atau daerah berair tenang. Jenis ini sering berpindah dan bergerak lambat bila terganggu. Penyebaran Regional: Jenis ini mempunyai penyebaran di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, dan Sulawesi (Introduksi)
108
Bufo quadriporcatus Boulenger, 1887 Nama Inggris: Swamp Toad Nama Indonesia: Kodok Puru Rawa Deskripsi: Kodok puru gemuk pendek berukuran kecil sampai sedang, moncong pendek, menyempit dengan sepasang tonjolan kecil antar mata, kelenjar paratoid panjang sampai sisi tubuh. Tekstur seluruh permukaan berbintilbintil, dengan warna cokelat sampai kehitaman tanpa motif. Habitat: Hidup di lantai hutan, dekat Foto by: MF Yanuarefa sungai/ genangan, di hutan rawa. Penyebaran Regional: Aceh, Deli, Musibanyuasin, Palembang, Kepulauan Natuna, Kalimantan, Semenanjung Malaysia. Leptophryne bobonica Tschudi, 1838 Nama Inggris: Hour-Glass Toad Nama Indonesia: Kodok Jam Pasir Deskripsi: Kodok kecil, kelenjar paratoid tidak jelas. Terdapat tanda berbentuk seperti jam pasir di bagian belakang dan tanda berbentuk segitiga di belakang mata. Warna cokelat keabuan dan belakang paha kemerahan.Tekstur kulit bintil-bintil berpasir hampir seluruh permukaan tubuh, lebih kasar pada bagian sisi tubuh. Habitat: Kodok ini terdapat di daerah Foto by: MF Yanuarefa yang basah dengan air jernih dengan aliran lambat. Penyebaran Regional: Semenanjung Malaysia, Thailand, dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan dan Jawa)
109
Famili Microhylidae Microhyla palmipes Boulenger, 1897 Nama Inggris: Palmated Chorus Frog Nama Indonesia: Percil Berselaput
Foto by: MF Yanuarefa
Deskripsi: Katak berukuran kecil, moncong membulat. Jari kaki depan dan belakang membesar pada ujungnya. Duapertiga atau tigaperempat kaki berselaput. Tekstur kulit halus. Warna kecokelatan dengan pola anak panah ganda, sisi kehitaman, sebuah bintil bulat di atas bagian belakang pelupuk mata. Habitat: Biasanya ditemukan di sekitar rawa basah, rerumputan, hutan sekunder sampai primer. Penyebaran Regional: Jawa, Sumatera,
Nias, Bali, Malaysia Microhylla sp Nama Inggris: Nama Indonesia:-
Foto by: MF Yanuarefa
Deskripsi: Katak berukuran kecil, moncong membulat. Ukuran lebih kecil dari Microhyla palmipes. Kaki mempunyai warna kekuningan. Pada bagian sisi tubuh sedikit terdapat garis hitam yang memanjang. Habitat: Ditemukan di lantai hutan dataran rendah yang berserasah berserasah Penyebaran Regional:
Kaloula baleata Muller, 1836 Nama Inggris: Brown Bullfrog, Smooth-fingered Narrow-mouthed Frog Nama Indonesia: Belentuk Deskripsi: Katak bertubuh gembung, kaki belakang sangat pendek, ujung jari kaki seperti sendok (bentuk T). Tekstur berbintil-bintil dengan beberapa bintil tersebar di seluruh punggung. Warna biasanya cokelat sampai mendekati hitam. Lipatan paha biasanya berwarna merah bata, tetapi kadang juga berwarna kuning. Bintil pada punggung berujung putih. Foto by: MF Yanuarefa
110
Habitat: Hutan primer dan hutan sekunder, lahan bekas tebangan bahkan ditemukan di pemukiman. Penyebaran Regional: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sumba, Sulawesi, Semenanjung Malaysia, Filipina.
Famili Ranidae Rana chalconota Schlegel, 1837 Nama Inggris: White-lipped Frog Nama Indonesia: Kongkang Kolam Deskripsi: Katak berukuran kecil sampai sedang. Kaki panjang dan ramping. Jari kaki berselaput penuh sampai ke ujung dan paha bagian bawah berwarna kemerahan. Bibir berwarna putih. Kulit biasanya berwarna abu-abu kehijauan sampai coklat kekuningan. Tekstur kulit relatif tertutup oleh bintil-bintil yang sangat halus. Foto by: MF Yanuarefa Habitat: Katak ini hidup di hutan primer sampai pemukiman. Penyebaran Regional: Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi) dan Semenanjung Malaysia Rana nicobariensis Stoliczka, 1870 Nama Inggris: Cricked Frog Nama Indonesia: Kongkang Jangkrik
Foto by: MF Yanuarefa
Deskripsi: Katak berukuran kecil sampai sedang, bertubuh ramping dengan kaki panjang dan jari kaki belakang setengah berselaput. Warna tubuh bagian atas berwarna coklat muda sampai cokelat tua. dengan sisi tubuh berwarna lebih gelap. Tekstur kulit halus tanpa adanya bintil atau benjolan. Habitat: Katak ini hidup di habitat yang telah terganggu, pemukiman dengan sekelilingnya air mengalir lambat atau
menggenang. Penyebaran Regional: Thailand, Pulau Nicobar sampai Semenanjung Malaysia, dan Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan).
111
Rana picturata Boulenger, 1920 Nama Inggris: Spotted Stream Frog Nama Indonesia: Kongkang Bertotol Deskripsi: Katak berukuran kecil sampai sedang, kepala segitiga sam dengan badan, tympanum sangat jelas. Lebih dari setengah kaki belakang berselaput. Terkstur kulit halus dengan anggota tubuh bagian atas berwarna hitam dengan beercak-bercak berwarna kuning terang. Habitat: Hidup di hutan primer sampai Foto by: MF Yanuarefa hutan sekunder datran rendah, pada aliran sungai berukuran sedang sampai anak sungai kecil yang tidak terlalu deras. Penyebaran Regional: Sumatera, Kalimantan, Malaysia dan Filipina Occidozyga sumatrana Peters, 1877 Nama Inggris: Sumatran Puddle Frog Nama Indonesia: Bancet Rawa Sumatera Deskripsi: Katak berukuran kecil sampai sedang, jari kaki berselaput seluruhnya sampai ke piringan sendi. Warna seragam kecokelatan sampai keabu-abuan di bagian atas dan bawah. Tekstur kulit berbintil-bintil. Habitat: Tedapat di kolam, genangan air di dalam hutan atau bekas tebangan Penyebaran Regional: Sumatera, Jawa, Foto by: MF Yanuarefa Bali, Kalimantan, Flores, Sulawesi, Birma, Siam, Filipina dan Semenanjung Malaysia. Fejervarya limnocharis Boie, 1835 Nama Inggris: Grass Frog Nama Indonesia: Katak Tegalan Deskripsi: Katak berukuran kecil, kepala runcing dan jari kaki setengah berselaput sampai pada ruas terakhir. Tekstur kulit berkerut, tertutup oleh bintil-bintil tipis yang biasanya memanjang, pararel dengan sumbu tubuh. Warna kulit kotor seperti lumpur dengan bercak-bercak yang lebih gelap yang kurang jelas tetapi simetris, terkadang dengan warna merah kehijauan Foto by: MF Yanuarefa dan sedikit semu kemerahan. Habitat: Katak ini hidup di sawah dan padang rumput di dataran rendah.
112
Penyebaran Regional: Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, Hong Kong, India, Indonesia, Japan, Laos, Macau, Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Filipina, Singapura; Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Fejervarya cancrivora Gravenhorst, 1829 Nama Inggris: Crested Toad Nama Indonesia: Kodok Puru Hutan Deskripsi: Merupakan katak berukuran sedang sampai besar, tekstur kulit memiliki lipatan-lipatan dan bintil-bintil memanjang searah dengan sumbu tubuh. Warna kulit bervariasi, coklat lumpur kotor dengan bercak gelap. Ada yang berwarna hijau, kadang-kadang disertai garis dorsolateral lebar. Jari-jari kaki meruncing, selaput renang mencapai Foto by: MF Yanuarefa ujung kecuali 1 atau 2 ruas jari kaki keempat (yang terpanjang). Habitat: Jenis ini sangat banyak dijumpai di sawah-sawah. Jenis ini jarang ditemukan di sepanjang sungai, tetapi dapat ditemukan tidak jauh dari sungai. Terdapat dalam jumlah banyak di sekitar rawa dan bahkan di daerah berair asin, seperti tambak atau hutan bakau. Penyebaran Regional: Jenis ini tersebar luas di Indo-Cina, Hainan sampai ke Filipina, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya (Introduksi). Limnonectes macrodon Dumeril & Bibron, 1841 Nama Inggris: Stone Creek Frog, Giant Jawan Frog, Fanged River Frog Nama Indonesia: Bangkong Batu, Bangkong Raksasa, Saklon Deskripsi: Katak berukuran besar dengan kepala besar. Tekstur kulit halus dengan sedikit bintil kecil. Jari kaki berselaput sampai ujungnya. Warna tubuh seragam berwarna cokelat kemerahan sampai cokelat kehitaman. Habitat: Sering ditemukan pada sungai dan anak sungai yang mempunyai air jernih Foto by: MF Yanuarefa Penyebaran Regional: Jawa, Lampung, Sumatera Selatan
113
Limnonectes crybetus Nama Inggris:Nama Indonesia: Bangkong
Foto by: MF Yanuarefa
Deskripsi: Katak berukuran sedang dengan warna coklat dengan bercak hitam. Jari kaki berselaput penuh. Tekstur kulit berbintil-bintil. Warna tubuh cokelat kemerahan sampai cokelat kehitaman. Beberapa individu terdapat warna kuning memanjang pada bagian atas tubuh. Habitat: Katak ini ditemukan di sungai yang tidak terganggu dataran rendah. Penyebaran Regional: Sumatera
Limnonectes blythii Boulenger, 1920 Nama Inggris: Blyth's Frog Nama Indonesia: Katak Panggul Deskripsi: Katak berukuran besar, kaki belakang panjang dan kuat, moncong tajam. Jari kaki berselaput sampai ke ujung. Kulit halus dengan warna merah sampai coklat. Terdapat garis berwarna coklat gelap dari hidung sampai mata. Jantan memiliki kepala yang lebih besar daripada betina. Habitat: Terdapat di hutan primer sampai hutan sekunder Foto by: MF Yanuarefa Penyebaran Regional: Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaysia, dan ndonesia (Sumatera, Pulau Anambas dan Pulau Natuna). Famili Rhacophoridae Polypedates macrotis Boulenger, 1891 Nama Inggris: Dark-Eared Tree Frog Nama Indonesia: Katak Pohon Telinga Gelap Deskripsi: Katak pohon berukuran sedang sampai besar. Kebala berbentuk segitiga, mata besar. Tekstur kulit kulit halus. Warna kulit coklat dan terdapat garis berwarna coklat gelap yang menutupi timpanum sampai ke sisi tubuh. Bagian bawah kepala biasanya bertotol cokelat. Habitat: Terdapat di hutan primer dan hutan sekunder Foto by: MF Yanuarefa Penyebaran Regional: Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan
114
Polypedates leucomystax Gravenhorst, 1829 Nama Inggris: Striped Tree Frog Nama Indonesia: Katak Pohon Bergaris Deskripsi: Katak berukuran sedang, jari melebar dengan ujung rata. Kulit kepala menyatu dengan tengkorak. Jari tangan setengahnya berselaput, sedangkan jari kaki hampir sepenuhnya berselaput. Tekstur kulit halus tanpa bintil dan lipatan. Bagian bawah berbintil granular yang jelas. Warna biasanya coklat keabuabuan, satu warna atau dengan bintik hitam atau dengan garis yang jelas Foto by: MF Yanuarefa memanjang dari kepala sampai ujung tubuh. Habitat: Katak ini hidup di antara tetumbuhan atau sekitar rawa dan bekas tebangan hutan sekunder Penyebaran Regional: India, Cina Selatan, Indo-Cina, Filipina, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Rhacophorus appendiculatus Guenther, 1858 Nama Inggris: Frilled Tree Frog, Southeast Asian Tree Frog Nama Indonesia: Katak Pohon Kaki Bergerigi Deskripsi: Katak pohon berukuran kecil sampai sedang, bentuk kepala segitiga dengan bintik berbentuk kerucut di bagian moncong. Tekstur kulit bagian atas tertutup oleh garis kecil memanjang dan menonjol, membesar pada bagian sisinya. Warna tubuh bagian atas abu-abu kehijauan sampai cokelat, bagian sisi kepala dan badan keputihan, sedikit Foto by: MF Yanuarefa kekuningan. Habitat: Hutan sekunder, hutan primer dataran rendah sampai pegunungan. Penyebaran Regional: Sumatera, Kepulauaan Mentawai, Kalimantan, Filipina.
115
Lampiran 12 Deskripsi Jenis Reptil yang Dijumpai di Kawasan TWNC Famili Boidae Python reticulatus Schneider, 1801 Nama Inggris: Reticulated Python Nama Indonesia: Sanca Batik Deskripsi: Jenis ular terpanjang di dunia dengan panjang dapat mencapai lebih dari 10 m. Pupil vertikal, terdapat lubang sensor panas pada labial. Kepala berwarna coklat, terdapat garis hitam di belakang mata sampai dibelakang sisik labial. Dorsal cokelat dengan pola garis hitam tidak teratur dengan tepi kuning. Bagian samping terdapat pola segitiga Foto by: LK Dewi gelap dengan warna putih ditengah. Termasuk jenis ular yang tidak berbisa. Habitat: Umum dijumpai di dekat sungai dan dataran rendah. Penyebaran Regional: Seluruh kawasan Asia Tenggara, Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi). Famili Colubridae SubFamili: Pareinae Aplopeltura boa Boie, 1828 Nama Inggris: Blunt-headed Tree/Slug Snake Nama Indonesia: Ular Pohon Kepala Tumpul Deskripsi: Tubuh ular ini sangat ramping, sisik vertebralnya lebih besar dari sisik dorsal. Warna tubuhnya ada yang kekuningan, keabu-abuan atau cokelat gelap dengan titik-titik lebih gelap. Kepalanya pendek, tumpul dan besar. Bibirnya berwarna putih dan matanya berukuran besar. Sisik pada bibir atas tidak menyentuh mata karena dibatasi Foto by: MF Yanuarefa oleh sisik sub-okular. Termasuk jenis ular yang tidak berbisa. Habitat: Ular yang makanan utamanya adalah siput, keong dan kadal ini hidup secara arboreal di pohon. Penyebaran Regional: Myanmar, Brunei, Thailand selatan, Malaysia, Indonesia (Nias, Sumatera, Bangka, Kep Natuna, Kalimantan, Jawa) dan Filipina.
116
SubFamili: Colubrinae Elaphe flavolineata Schlegel, 1837 Nama Inggris: Common Malayan Racer, Black Copper Rat Snake Nama Indonesia: Ular Racer Berbelang Kuning/ Ular Babi Deskripsi: Ular ini memiliki pola dibadannya yaitu tidak adanya garis hitam memanjang pada bagian dorsalnya, akan tetapi terdapatnya bercakbarcak putih dibagian depan tubuhnya. Selain itu pada bagian kepala ular ini tidak memiliki garis hitam yang menyilang akan tetapi warna putih dibagian atas lehernya. Termasuk jenis Foto by: MF Yanuarefa ular tidak berbisa. Habitat: Hutan hujan dataran rendah, hutan Montana, dan tanah pertanian dari ketinggian sampai 1500 mdpl Penyebaran Regional: Indonesia (Bangka, Belitung, Jawa, Kalimantan, Mentawai Archipelago, Nias, Riau Archipelago, Simeuleue, Sumatra, We); Brunei Darussalam; Malaysia (Malaysia, Pulau Tioman, Myanmar. Gonyosoma oxycpehalum Boie, 1827 Nama Inggris: Red-tailed Racer Nama Indonesia: Ular Bangka Hijau, Ular Racer Berekor Merah Deskripsi: Jenis ular berukuran relatif besar dengan panjang dapat mencapai lebih dari 2 m. Dorsal 23-25 baris halus atau sedikit berlunas. Ventral membentuk sudut pada tepi luar sisik.. Kepala hijau kekuningan, dorsal hijau terang, ventral kuning terang, dan ekor abu-abu. Termasuk jenis ular tidak berbisa. Habitat: Daerah peralihan/ekoton (edge), Foto by: MF Yanuarefa tegakan sekunder dan kebun pada dataran rendah Penyebaran Regional: India, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Indonesia (Nias, Mentawai, Sumatera, Bangka, Belitung, Riau, Natuna, Karimata, Bali, Lombok, Sulawesi, Kalimantan, Jawa).
117
Dendrelaphis caudolineatus Gray, 1834 Nama Inggris: Striped Bronze-back Nama Indonesia: Ular Tampar Deskripsi: Jenis ular berukuran sedang dengan panjang mencapai 1,5m. Dorsal 13 baris halus, berkurang menjadi 11 sebelum anal. Ventral dan subcaudal berlunas pada tepi luar sisik. Dorsal cokelat tua, terdapat garis memanjang hingga ujung caudal. Ventral hijau terang. Termasuk jenis ular tidak berbisa. Habitat: Hutan primer, hutan sekunder, Foto by: MF Yanuarefa kebun, serta pemukiman. Penyebaran Regional: Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Indonesia (Nias, Mentawai, Sumatera, Riau, Natuna, Bangka, Belitung, Kalimantan, Jawa, Kangean). Dendrelaphis pictus Gmelin, 1789 Nama Inggris: Paited Bronze-back Nama Indonesia: Ular Tali
Foto by: MF Yanuarefa
Deskripsi: Jenis ular berukuran sedang dengan panjang mencapai 1,5m. Dorsal 15 baris halus, berkurang menjadi 11 sebelum anal. Ventral dan subcaudal berlunas pada tepi luar sisik.. Supralabial 8 baris dengan sisik ke4-6 menyentuh mata. Dorsal berwarna cokelat tua. Pada bagian samping terdapat garis memanjang hingga anal. Ventral hijau terang. Termasuk jenis ular tidak berbisa. Habitat: Hutan primer, hutan sekunder,
kebun, serta pemukiman. Penyebaran Regional: India, Nepal, China, Bangladesh, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Indonesia (Mentawai, Sumatera, Bangka, Belitung, Riau, Natuna, Nusa Penida, Bali, Lombok, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Buton, Sangihe, Halmahera, Ternate).
118
Lycodon subcinctus Reinwardt, 1827 Nama Inggris: White Banded Wolf Snake Nama Indonesia: Ular Cecak Belang Deskripsi: Ular ini mengalami perubahan pewarnaan dan corak tubuh berdasarkan usia. Anakan memiliki 20 belang berwarna putih, semakin bertambah usia semakin berkurang. Pada saat dewasa berwarna cokelat tua atau hitam dan terdapat warna putih putus-putus pada leher. Sisik analnya terbagi dua, sisik bibir atas berjumlah 8 dan sisik ke-3,4,5 Foto by: MF Yanuarefa menyentuh mata; panjang tubuh bisa mencapai 118 cm. Termasuk jenis ular tidak berbisa. Habitat: Ular ini bersifat nokturnal dan hidup secara terrestrial pada areal hutan sampai ketinggian 1.770 mdpl. Penyebaran Regional: China, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia (Sumatera, Jawa, Lombok, Nias, Mentawai) Boiga dendrophila Boie, 1827 Nama Inggris: Yellow-ringed Cat Snake, Mangrove Snake Nama Indonesia: Ular Cincin Mas, Ular Mangrove Deskripsi: Kepala lebih lebar dibandingkan lehernya dengan moncong relatif pendek dan mata yang besar, tubuh agak memipih dengan garis vertebral pada punggungnya. Tubuh berwarna hitam mengkilat dengan cincin sempit berwarna kuning berselingan. Kepala berwarna hitam pada bagian bawahnya dan bagian atas samping. Bibir atas berwarna kuning dengan garis sempit berwarna hitam. Foto by: MF Yanuarefa Termasuk jenis ular tidak berbisa. Habitat: Ular ini biasa ditemukan di hutan mangrove karena sesuai dengan namanya, namun dapat juga ditemukan di hutan primer dan area pertanian Penyebaran Regional: Jawa, Malaysia, Sumatra, Selat sunda, Sulawesi, Philiphina dan Kalimantan.
119
Psammodynastes pulverulentus Boie, 1827 Nama Inggris: Common Mock Viper Nama Indonesia: Ular Viper Tiruan Deskripsi: Kepala jelas dan berbentuk segitiga, tetapi tidak berbahaya; mata besar dan pupil vertikal. Secara umum tubuhnya bulat dan sisiknya halus. Warna punggungnya cokelat dan kemerahan; perutnya berwarna cokelat terang atau merah muda; corak pada tubuhnya bervariasi; sisik anal tidak terbagi, sisik ekor berpasangan, sisik pada bibir atas Foto by: MF Yanuarefa berjumlah 8 (sisik ke- 3,4,5) menyentuh mata, panjang tubuhnya bisa mencapai 600 mm. Habitat: Hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan sampai ketinggian 1500 mdpl. Penyebaran Regional: China, Asia Selatan, Asia Tenggara, Indonesia (Sumatera, Kep Mentawai, Kep Riau, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Komodo, Sulawesi, Kep Togean, Alor, Lomben). Psammodynastes pictus Günther, 1858 Nama Inggris: Painted Mock Viper Nama Indonesia: Ular Viper Tiruan Deskripsi: Jenis ular kecil dengan bentuk kepala menyerupai ular viper. Panjang mencapai 65 cm. Infralabial pertama menyatu dengan sisik tengah dagu. Supralabial 8 baris dengan sisik ke 3-5 menyentuh mata. Dorsal cokelat atau abuabu dengan corak gelap tidak beraturan. Terdapat corak garis cokelat atau hitam dari moncong hingga leher. Ventral Foto by: MF Yanuarefa cokelat atau abu-abu dengan bintik hitam dan putih. Termasuk jenis ular tidak berbisa. Habitat: umum dijumpai pada dataran rendah hingga ketinggian 600 mdpl di sepanjang tepi sungai dengan posisi menggantung pada ranting kecil diatas permukaan air Penyebaran Regional: Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia (Simeulue, Sumatera, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan, Jawa).
120
Ahaetulla prasina Boie, 1827 Nama Inggris: Oriental Whip Snake Nama Indonesia: Ular Pucuk
Foto by: MF Yanuarefa
Deskripsi: Jenis ular yang panjang dan ramping dengan ukuran mencapai 2m. Pupil mata horizontal, panjang moncong dua kali diameter mata. Dorsal 15 baris halus, berkurang menjadi 13 baris sebelum anal.. Supralabial 8-9 baris dengan sisik ke 4-6 menyentuh mata. Dorsal berwarna hijau dan ventral hijau terang. Termasuk jenis ular tidak berbisa. Habitat: Hutan primer, hutan sekunder, kebun, pemukiman pada dataran rendah
hingga ketinggian 1200 mdpl. Penyebaran Regional: Bhutan, India, China, Bangladesh, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Indonesia (We, Nias, Simeulue, Mentawai, Riau, Sumatera, Bangka, Belitung, Sebuku, Natuna, Kalimantan, Panaitan, Jawa, Bali, Karimun Jawa, Bawean, Kangean, Sumbawa, Sulawesi, Buton, Sangihe, Ternate). Dryophiops rubescens Gray in Gray & Hardwicke, 1834 Nama Inggris: Kell-bellied Whip Snake Nama Indonesia: Ular Daun Deskripsi : Jenis ular yang ramping dengan panjang mencapai 1m. dorsal 15 baris halus. Ventral berlunas pada tepi luar sisik. Supra labial 9 baris dengan sisik ke 4-6 menyentuh mata. Dorsal abu-abu kemerahan dengan corak bintik gelap. Labial putih dengan sedikit bintik gelap. Ventral cokelat kehijauan. Termasuk jenis ular tidak berbisa. Habitat : Hutan primer, hutan sekunder, Foto by: MF Yanuarefa dan kebun pada dataran rendah. Penyebaran Regional: Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Indonesia (Mentawai, Sumatera, Natuna, Kalimantan, Jawa).
121
Chrysopelea paradisi Boie, 1827 Nama Inggris: Paradise Tree Snake Nama Indonesia: Ular Pohon Paradise
Foto by: MF Yanuarefa
Deskripsi: Mata besar, berdiameter sama dengan jarak mata dan nostril. Dorsal 17 baris halus, berkurang menjadi 13 sebelum anal. Ventral dan subcaudal berlunas pada tepi luar sisik. Supralabial 8-9 dengan sisik ke 5-6 menyentuh mata. Dorsal berwarna hitam dengan bintik hijau terang di tengah setiap sisik dan terdapat corak garis merah atau merah muda diatas kepala. Ventral hijau terang. Termasuk jenis ular berbisa menengah,
namun tidak berbahaya bagi manusia. Habitat : hutan primer, hutan sekunder, dan kebun pada dataran rendah hingga ketinggian 1500 mdpl. Penyebaran Regional: India, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Indonesia (We, Nias, Mentawai, Sumatera, Riau, Natuna, Bangka, Belitung, Kalimantan, Jawa, Bali). SubFamili: Natricinae Natrix trianguligera Boie, 1827 Nama Inggris: Triangle Kellblack Nama Indonesia: Ular Segitiga Merah
Foto by: MF Yanuarefa
Deskripsi: jenis ular berukuran relatif besar dengan panjang dapat mencapai lebih dari 1m. Dorsal 19 baris berlunas, berkurang menjadi 17 baris sebelum anal. Supralabial 9 baris dengan sisik ke 4-6 menyentuh mata. Dorsal gelap, pada bagian samping tubuh terdapat corak segitiga merah. ventral kuning keputihan. Termasuk jenis ular tidak berbisa. Habitat: Hutan primer, hutan sekunder, rawa, daerah perairan sepanjang sungai pada dataran rendah hingga ketinggian
1350 mdpl. Penyebaran Regional: India, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia (Nias, Mentawai, Sumatera, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Buton, Sangihe).
122
Macropisthodon rhodomelas Boie, 1827 Nama Inggris: Blue-necked Kellblack Nama Indonesia: Ular Picung Leher Biru Deskripsi: Ular berukuran kecil sampai sedang. Cokelat atau merah dengan dengan garis vertebral hitam pada tubuh bagian atas. Leher samping berwarna biru muda. Perut berwarna pink atau kuning dengan sedikit bercak hitam. Ketika dalam keadaan terganggu maka lehernya dapat memipih dan membesar seperti ular kobra. Habitat: Umum dijumpai di dataran Foto by: MF Yanuarefa rendah baik di hutan maupun perkebunan Penyebaran Regional: Thailand Selatan, Malaysia, Singapura dan Indonesia Sub Famili: Homalopsinae Cerberus rynchops Schneider, 1799 Nama Inggris: Dog-faced Water Snake Nama Indonesia: Ular Tambak Deskripsi: Ular berukuran sedang dengan mata kecil yang terletak diatas kepalanya. Kepalanya lebih besar dari lehernya. Lubang hidung berkatup (valvular), terletak di bagian atas permukaan moncongnya. Berwarna abu-abu muda seperti batu tulis, dengan corengan berwarna gelap memanjang dari lubang hidung lewat mata ke samping lehernya, Foto by: MF Yanuarefa dan terkadang ada garis melintang tak seragamyang berwarna lebih tua. Perut berwarna kuning atau agak jingga dengan bercak berbentuk sama yang berwarna cokelat tua atau hitam. Habitat: Hutan-hutan bakau di muara, dan di air tawar atau laut yang menggenang atau mengalir perlahan di dekat pantai Penyebaran Regional: Seluruh India, Asia Tenggara, Indonesia, New Guinea, Australia Utara
123
Famili Hydrophiidae Lapemis curtus Shaw, 1802 Nama Inggris: Short Sea Snake Nama Indonesia: Ular Laut Pendek Deskripsi: Ular laut bertubuh pendek. Kepalanya pendek dan lebar, tubuhnya lebar, tebal badannya lebih dari lebarnya. Bagian atas kepala berwarna cokelat. Bagian bawah tubuh dan perutnya berwarna cokelat muda, dengan gelang-gelang berwarna gelap di bagian atas, terlebar dibagian tulang belakang dan menyempit di bagian perut. Ujung ekor tidak berloreng Foto by: LK Dewi Habitat: Berbagai perairan pesisir Penyebaran Regional: Perairan pesisir Teluk Persia, India, sebelah utara Asia Tenggara sampai Taiwan, Filipina, Indonesia, New Guinea dan Australia bagian utara.
Famili Varanidae Varanus salvator Laurenti, 1878 Nama Inggris: Malayan Water Monitor Nama Indonesia: Biawak Air Asia Deskripsi: Bentuknya seperti kadal biasa tetapi mempunyai ukuran yang besar dan struktur badan yang kuat. Bagian atas kepala ditutupi sisik yang relative besar di banding tubuh lainnya. Ekor berbentuk silindris atau agak rata dan memipih pada bagian ujungnya. Pada biawak muda warna tubuhnya terlihat lebih cerah dan terdapat warna kuning berbentukgaris atau Foto by: MF Yanuarefa bercak pada tubuhnya terlihat jelas, dan semakin memudar dengan bertambahnya usia. Habitat: Tempat-tempat yang dekat dengan sumber air seperti sepanjang sungai, rawa-rawa dan mangrove. Penyebaran Regional: Sri Lanka, India, China Selatan, Hongkong, Philipina, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
124
Varanus rudicolis Gray, 1845 Nama Inggris: Rough Neck Monitor Nama Indonesia: Biawak Leher Kasar
Foto by: TWNC
Deskripsi: Bentuknya seperti kadal biasa tetapi mempunyai ukuran yang besar dan struktur badan yang kuat. Sisik kepala tidak terlalu besar. Sisik badan berukuran kecil dan berlunas. Sedangkan sisik pada leher besar. Tubuh berwarna kehitaman pada bagian atas. Leher agak kekuningan. Terdapat 3 garis memanjang di sepanjang tubuhnya. Bagian bawah berbatik dengan hitam. Habitat: Ditemukan di hutan pada
pepohonan Penyebaran Regional: Sumatera, Kalimantan, Senemanjung Malaya, Filipina
Famili Lacertidae Takydromus sexlineatus Daudin, 1802 Nama Inggris: Asian Grass Lizard atau Six-striped, Long-tailed Lizard Nama Indonesia: Kadal Ekor Panjang Deskripsi: Kadal jenis ini memiliki ukuran kecil, tubuhnya ramping. Ekornya bulat dan sangat panjang mencapai 6 kali panjang tubuhnya. Sisik ventral dan pada ekor besar dan meruncing. Kepala meruncing, rostral berbentuk lima sisi; sisik loreal ada dua, tubuh memanjang dan berwarna coklat kehijauan, diselingi dua buah garis bewarna hijau terang dilapisi Foto by: MF Yanuarefa garis hitam, kemudian bagian tengah ke bagian bawah tubuhnya berwarna hijau muda terang. Habitat: Jenis ini menyukai area yang berumput, semak belukar, rumpun bambu karena pewarnaan tubuhnya bisa berkamuflase di substratnya tersebut. Kadal ini merupakan satwa diurnal yang bisa hidup hingga ketinggian 1.500 mdpl, banyak ditemukan di areal pertanian. Penyebaran Regional: Asia Tenggara, Indonesia (Sumatera, Kalimantan dan Jawa).
125
Famili Scincidae Eutropis multifasciata Kuhl, 1820 Nama Inggris: Many-lined Sun Skink Nama Indonesia: Kadal Kebun Deskripsi: Kadal ini bisa mencapai ukuran besar dan cukup berat; biasanya terdapat 5 atau 7 garis kehitaman pada punggungnya yang berwarna perunggu; terkadang ditemui individu yang berwarna oranye pada sisi kirikanan tubuhnya; panjang ekornya kurang dari dua kali panjang tubuhnya; moncong pendek; tympanum (telinga) bulat dan cukup Foto by: MF Yanuarefa besar; terdapat sepasang sisik nukal Habitat: Kadal ini mudah ditemukan pada pagi hari ketika sedang berjemur di bebatuan atau batang pohon untuk menyerap sinar matahari, terutama dekat pinggiran sungai, di lantai hutan dan mampu beradaptasi dengan pemukiman manusia. Penyebaran Regional: Jenis ini umum dan mudah ditemui karena memiliki penyebaran yang luas dari wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara sampai Papua New Guinea. Famili Geckonidae Hemidactylus frenatus Schlegel, 1836 Nama Inggris: Common House Gecko Nama Indonesia: Cicak Kayu Deskripsi: Ciri utama yaitu terdapat aluralur duri pada setiap sisi ekornya; moncong lebih panjang daripada jarak mata dengan telinga. Dahi cekung dan telinga bulat sangat kecil. Kepala tersusun dari sisik granular yang kecil, sisik paling besar pada moncong. Nostril dibatasi oleh rostral. Sisik pada bibir atas berjumlah 1012 dan bibir bawah berjumlah 8-10. Ekor Foto by: MF Yanuarefa bulat dan tersusun oleh sisik-sisik yang sangat kecil. Jari yang paling dalam panjangnya kurang dari setengah panjang jari kedua. Pewarnaan umum coklat dengan beragam kepekatan dan alur/corak berwarna kehitaman yang seragam. Mata lebar dan pupil vertikal. Habitat: Cicak ini merupakan satwa nokturnal tapi terkadang sore juga sudah kelihatan dan kedengaran suara khasnya. Jenis ini makanan utamanya adalah serangga kecil, sehingga sering menunggu mangsanya tersebut di dinding dekat lampu. Penyebaran Regional: Indo-China, Peninsular Malaysia, Sumatra.
126
Cyrtodactylus cf fumosus Nama Inggris: Jawa River Gecko Nama Indonesia: Cicak Hutan Deskripsi: Warna abu-abu, cokelat abu abu atau cokelat kemerahan dengan titiktitik hitam yang membentuk garis tak beraturan pada bagian atas tubuhnya, terdapat coretan gelap mulai dari mata sampai ke bahu. Ekor bulat, meruncing, tertutupi oleh sisik-sisik kecil yang rata dan membesar dipermukaan bagian bawah. Memiliki jari-jari yang tidak Foto by: MF Yanuarefa bersalaput seperti jenis-jenis cicak yang lainnya. Habitat: Ditemukan pada hutan dataran rendah Penyebaran Regional: Sumatera
Gekko smithi Gray, 1842 Nama Inggris : Smith`s Green-eyed Gecko Nama Indonesia: Tokek Mata Hijau Deskripsi : Berbeda dengan tokek lain dalam suku Geckonidae, tokek ini memiliki mata yang berwarna hijau; Tubuhnya berwarna cokelat keabuabuan dan mampu mencapai ukuran besar dan panjang tubuhnya bisa mencapai 16 cm, sedangkan panjang totalnya bisa 30 cm. Terdapat alur bintik-bintik berwarna putih pada Foto by: A Ul-Hasanah Foto by: MF Yanuarefa punggung hingga ekor; suara yang dikeluarkan sangat berbeda dengan tokek lain yaitu ‘ket ket....ket ket ket...’ Empat jari terluar memiliki cakar yang kuat, sedangkan jari terdalam tidak bercakar. Habitat : Merupakan jenis satwa nokturnal dan arboreal, namun sering dijumpai pada dinding-dinding dan atap bangunan. Penyebaran Regional: Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura
127
Famili Agamidae Draco volans Linnaeus, 1758 Nama Inggris: Common Flying Dragon Nama Indonesia: Cicak terbang Deskripsi: Kadal yang berukuran agak kecil, panjang total hingga 200 mm. Sayap (Patagium) berupa perpanjangan enam pasang tulang rusuk yang diliputi kulit. Sisi atas patagium dengan warna kuning hingga jingga, berbercak hitam. Sisi bawah abu-abu kekuningan, dengan totol-totol hitam. Kepala berbingkulbingkul, bersegi-segi dan mengkerut Foto by: MF Yanuarefa dengan kantung dagu berwarna kuning (jantan) atau biru cerah (betina), dan sepasang sibir kulit di kiri kanan leher. Habitat: Jenis ini tidak terlalu sering dijumpai di dalam hutan-hutan hujan, tetapi sering dijumpai disekitar lahan pertanian atau didekat pemukinan. Penyebaran Regional: Thailand dan Semenanjung Malaya di barat; Kepulauan Filipina di utara; Sumatra, Mentawai, Riau, Natuna, Borneo, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga Maluku di timur. Draco melanopogon Boulenger, 1887 Nama Inggris: Black-barbed Flying Dragon Nama Indonesia: Cicak Terbang Deskripsi: Kadal terbang ini merupakan salah satu kadal terkecil; memiliki kepala yang kecil, tympanum (telinga) terlihat jelas; jantan mudah dapat dikenali dengan adanya kantung panjang berwarna kuning pada tenggorokannya; patagium berwarna hitam dengan alur bintik-bintik kuning. Sisik perut halus, meruncing dan seragam; panjang ekor sekitar 1,75 kali panjang hingga tubuhnya. Panjang Foto by: MF Yanuarefa kepala tubuhnya mencapai 85 mm dan panjang ekor 240 mm. Habitat: Jenis ini sering terlihat pada batang dan kanopi pohon. Kadal ini adalah satwa arboreal dan lebih memilih hutan dataran rendah dan sedang sampai ketinggian 800 mdpl. Penyebaran Regional: Thailand selatan, Malaysia, Singapura, Indonesia (Sumatera, Kep Natuna, Kalimantan)
128
Gonocephalus chamaeleontinus Laurenti, 1768 Nama Inggris: Chameleon Anglehead Lizard Nama Indonesia: Bunglon Tanduk Deskripsi: Sama dengan jenis bunglon lainnya, baik jantan atau betina pada jenis ini bisa berubah warna menjadi hijau, cokelat, kemerahan dan hitam, tapi ukuran tubuh betina lebih kecil; Sisik penyusun perutnya halus dan lebih besar daripada sisik punggung; tympanum (telinga) jelas, Tubuhnya cukup keras dan kaku; ekor lebih keras, kaku danwarnanya terdiri dari warna terang dan gelap. Setelah dewasa, Foto by: MF Yanuarefa terlihat jelas duri pada nukal menyambung dengan dorsal dan lebih tinggi daripada dorsal; Kaki panjang dan ramping; jari keempat lebih panjang daripada jari ke-tiga Habitat: Bunglon ini merupakan satwa diurnal dan arboreal pada hutan hujan yang masih alami; lebih menyukai batang pohon yang tidak terlalu besar disekitar aliran sungai. Penyebaran Regional: Malaysia, Indonesia (Sumatera, Kep Mentawai, Kep Natuna, Jawa). Famili Crocodylidae Crocodylus porossus Schneider, 1801 Nama Inggris: Estuarine Crocodile, Salt Water Crocodile Nama Indonesia: Buaya Muara Deskripsi: Merupakan jenis buaya terbesar di dunia yang panjangnya dapat mencapai 10 meter. Warna tubuh bagian atas abu-abu kekuningan seperti warna buah zaitun dan kuning pada tubuh bagian bawah. Jari-jari kaki berselaput. Terdapat sedikit bercak-bercak hitam pada kepalanya dan bercak semakin banyak saat mencapai tubuh dan ekornya. Foto by: TWNC Habitat: Umum dijumpai di sungai besar di dataran rendah, kadang-kadang juga dijumpai di laut Penyebaran Regional: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Ambon, New Guinea, Australia Utara, Kepulauaan Salomon, Filipina, Semenanjung Malaya, Singapura, India, Myanmar, Siam, dan China.
129
Famili Geomydidae Cuora amboinensis Daudin, 1801 Nama Inggris: Asian Box Terrapin, Southeast Asian Box Turtle Nama Indonesia: Kura-Kura Batu Deskripsi: Kura-kura ini mempunyai perisai perut yang dapat ditutup sepenuhnya. Ada garis kuning dikepalanya yang melingkar mengikuti tepi bagian atas kepala. Pada bagian pipi dan bibir juga terdapat garis kuning. Perisai perut umumnya berwarna putih kotor atau krem dengan bercak-bercak hitamberukuran besar pada setiap Foto by: MF Yanuarefa kepingnya. Pada kaki depan juga terdapat sebuah garis kuning memanjang. Habitat: Sungai besar maupun kecil, dengan arus lambat sampai sedang dan juga sering dijumpai di sawah Penyebaran Regional: Seluruh Indonesia barat, Sulawesi, Maluku, Sumbawa, Timor, Philipina Cyclemys oldhamii Gray, 1831 Nama Inggris: Oldham's leaf turtle Nama Indonesia: Kura-kura Garis Hitam Deskripsi: Perisai punggung umumnya berwarna kuning cokelat dengan tepi keeping cnderung gelap. Perisai perutnya yang dipenuhi dengan garis-garis hitam tersusun radial dan agak tebal. Lehernya berwarna hitam dengan sejumlah garis berwarna merah yang sempit dan hampir tidak terlihat. Kakinya berwarna hitam, tetapi kulit berwarna kuning muda polos. Habitat: Sungai besar maupun kecil Foto by: TWNC dengan arus lambat sampai sedang Penyebaran Regional: India, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Malaysia, Nias, Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali
130
Famili Cheloniidae Chelonia mydas Linnaeus, 1758 Nama Inggris: Green Turtle Nama Indonesia: Penyu Hijau Deskripsi: Warna tubuh, lemak dan dagingnya agak kehijau-hijauan. Perisai berbentuk hati dengan tepi rata. Semua sisik kepalanya mempunyai tepi berwarna putih. Kaki depannya dipenuhi dengan sisik yang relative berukuran sama sehingga jari-jarinya tidak terlihat jelas. Anakannya berwarna hitam, sedangkan bagian bawahnya berwarna Foto by: GF Ramadhan putih. Habitat: Sering terdapat diantara terumbu karang pada daerah berlaut lepas Penyebaran Regional: Semua laut tropika dan subtropika Eretmochelys imbricata Linnaeus, 1766 Nama Inggris: Hawksbill Turtle Nama Indonesia: Penyu Sisik Deskripsi: Penyu sisik mudah dikenal karena keping-keping perisai punggungnya saling menutupi seperti genting, berwarna hijau cokelat dan agak transparan. Moncongnya serupa paruh. Rahang atas serupa dengan moncong burung kakatua, agak melengkung ke bawah dan relative tajam. Anakan berwarna hitam, dan bagian bawahnya Foto by: TWNC juga berwarna kehitaman. Habitat: Sering terdapat diantara terumbu karang pada daerah berlaut lepas, tetapi ditemukan juga pada laut dangkal. Penyebaran Regional : Semua laut tropika dan subtropika
131
Lepidochelys olivacea Eschscholts, 1829 Nama Inggris: The Olive Ridley Nama Indonesia: Penyu Lekang/ Penyu Abu-abu
Foto by: BTNAP
Deskripsi: Jenis ini berwarna abu-abu gelap sampai hitam kusam, tanpa bercak-bercak. Bagian bawahnya berwarna putih. Anakan berwarna hitam dan bagian bawahnya berwarna cokelat. Kepalanya berukuran agak besar. Habitat: Sering terdapat diantara terumbu karang pada daerah berlaut lepas. Penyebaran Regional: Semua laut tropika dan subtropika, kecuali
Samudera Atlantik.