“KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DAN AGAMA TENTANG KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH” (Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memporelah Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh: MOHAMMAD MIQDAD 1112051000075
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M
ABSTRAK KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA TENTANG KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH (Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso) Berbicara Sunni dan Syiah, kedua golongan besar dalam Islam ini seakan tidak berujung, dan selalu tidak lepas dengan konflik terkait dengan adanya beberapa perbedaan pemahaman antara keduanya perihal; Imamah (kepemimpinan), fiqih dan perayaan tradisi keislaman. Hal ini, yang kemudian menjadi pemicu terciptanya konflik didaerah-daerah, begitu pula di daerah Jambesari pada tahun 2006. Desa Jambesari merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Jambesari Darus sholah. di Desa Jambesari, golongan Syiah secara terang-terangan berkelompok dan menyampaikan keyakinan keSyiah-annya, mereka hidup berkelompok akan tetapi tetap terbuka dengan kelompok lainnya, sehingga tercipta kehidupan yang rukun. Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan Bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama (KAAB) golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari dalam membangun kerukunan? Sedangkan pertanyaan minornya adalah Mengapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari berhasil membangun kerukunan? Pada tahun 2006 dapat dikatakan bahwa tidak terjalin dengan baik komunikasi antarbudaya pada masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari, sehingga terjadinya bentrokan antara pengikut kedua golongan tersebut. Namun, lambat laun masyarakat Jambesari pengikut kedua golongan tersebut semakin dewasa dalam memahami perbedaan. Untuk meganalisis dan memahami komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah, peneliti menggunakan teori Edward T.Hall yang menyatakan communication is culture and culture is communication dan teori dua puluh Andi Faisal Bakti, konservatif dan transformatif. Serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjalinnya komunikasi antarbudaya menurut Alo Liliweri. Adapun metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis. Berhasilnya masyarakat golongan Sunni dan Syiah dalam menimalisir faktorfaktor yang menghambat komunikasi antarbudaya dan agama, yang hal ini terekam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jambesari, menjadikan masyarakat golongan Sunni dan Syiah desa Jambesari hidup dengan penuh kedamaian dan kerukunan. Kata kunci: Komunikasi antarbudaya dan agama, Sunni, Syiah, Kerukunan
i
KATA PENGANTAR Bismillahi ar-rahmani ar-rahim… Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Alih Sayyidina Muhammad… Alhamdulillahi Rabbil Alamin, Puji dan Syukur yang sebesar-besarnya atas kehadirat Allah SWT yang tiada henti memberikan rahmat dan karunia kepada hamba-hamba-Nya. Serta Sholawat dan Salam semoga selalu Allah limpahkan kepada kekasih-Nya, penutup kenabian, Baginda Agung Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan parasahabatnya, yang telah menjadi suri tauladan untuk kita melangkah dalam jalan kebenaran. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu demi sempurnanya skripsi ini, penulis sangat membutuhkan dukungan dan sumbangsih pikiran yang berupa kritik dan saran yang bersifat membangun. Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta Ali Rahbini dan Siti Fadilah, yang telah tulus ikhlas memberikan kasih sayang, cinta, do’a, perhatian, dukungan moral dan materil yang telah diberikan selama ini. Terima kasih telah meluangkan segenap waktunya untuk mengasuh, mendidik, membimbing, dan mengiringi perjalanan hidup penulis dengan dibarengi alunan do’a yang tiada henti agar penulis sukses dalam menggapai cita-cita.
ii
Dengan terselesaikannya skripsi yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya Dan Agama Tentang Kerukunan Umat Beragama Golongan Sunni Dan Syiah (Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso Jawa Timur) ini, perkenankanlah saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), Suparto, M. Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan. 2. Drs. Masran, M.A selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 3. Dr. A. Ilyas Ismail, MA Selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skiripsi ini, ditengah-tengah kesibukannya beliau selalu menyempatkan diri untuk memberikan pemikirannya dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skiripsi yang baik. 4. Umi Musyarofah, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik. 5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang bermanfaat bagi penulis, selama penulis berada dibangku perkuliahan. 6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan juga Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullaj Jakarta yang telah
iii
memberikan kemudahan penulis untuk mendapatkan berbagai referensi dalam penyelesaian skiripsi ini. 7. Segenap staff dan karyawan Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwan dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan pelayanan terbaik kepada penulis perihal surat-menyurat. 8. Maltup Al-Hidayah, SH selaku Kepala Desa Jambesari. Bapak Qurdi selaku Sekretaris Desa Jambesari. Serta kepada Bapak H.Abdullah, Bapak Ahmad Rawi, Bapak Mukhlis, yang telah meluangkan waktunya dan bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini. 9. Kifliah Batul kakak pertama dan suaminya Imam Ghozali, mereka adalah orang tua penulis selama berada ditanah perantauan, kedua anaknya; Mahdi dan Mahda yang selalu menemani dan menghibur penulis. Serta keluarga kakak kedua, Siti Sofiah A.Noval dan Najmah, yang selalu mensupport penulis. Terimakasih atas do’a dan nasihat-nasihat kalian. 10. Keluarga Besar Bani Soekarno, Bani Rafi’I, dan Bani Ami, Bani Rajidin. 11. Teman-teman KPI 2012 terkhusus teman-teman KPI C, kelompok KKN KATULISTIWA, LASKAR 14, PANDU AB, dan TOP yang selalu meberikan pelajaran mengenai arti petemanan, persaudaraan, atau bahkan percintaan. Semoga persaudaraan kita tetap terjalin. 12. Habib Husein Jakfar al-Hadar, Kak Husein bin Abu Thalib al-Mudor, kawankawan di Omah Jibriel; Bang Fadel BSA, Soivi, Khudori, Hasan M yang selalu menyadarkan penulis untuk menjadi manusia paripurna. iv
13. Sedulur Lir-ilir; Kang Syech, Mas Faisal, Ka Eidith, Ka Andini, Mas Abram, Mas Sule, Mas Dana, Ali A, Bagier, Harsya dan Ali P, yang tak segan-segan untuk selalu berbagi pengalaman dan pengetahuannya. 14. Ka Samsul, kaka senior yang telah bersedia meminjamkan buku-bukunya. Serta kawan-kawan seperjuangan Skiripsi, Sari Setianingrum, Dewi Mufarikah, Melqy A, Falahul Mualim Y, Rifqi M, Haris M yang selalu saling berbagi motivasi. 15. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, namun tanpa mengurangi rasa hormat, penulis ucapkan terimakasih. Akhir kata dari penulis, semoga segala bentuk motivasi, dukungan dan do’a yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang berlimpah dan ridha dari Allah SWT. Amin.
Jakarta, 1 Agustus 2016
Mohammad Miqdad
v
DAFTAR ISI: ABSTRAK …………………………………………………………………………… i KATA PENGANTAR ……………..…………………………………………………ii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….. vi DAFTAR TABEL ..………………………………………………………………… ix DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………….. ix BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………… 1 A. Latar Belakang Masalah .…………………………………………………1 B. Batasan Dan Perumusan Masalah ……………………………………….. 6 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………... 6 D. Signifikansi Penelitian …………………………………………………... 7 E. Metodologi Penelitian……………………………………………………. 7 F. Teknik Analisis Data ……………………………………………………13 G. Pedoman Penelitian……………………………………………………...15 H. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………….. 15 I. Sistematika Penelitian ………………………………………………….. 17 BAB II KAJIAN TEORI…………………………………………………………….19 A. Teori Komunikasi Antarbudaya dan Agama…………………………….19 1. Hakikat Agama dalam Komunikasi Antarbudaya………………….. 22
vi
2. Agama sebagai kelompok etnik ……………………………………. 23 J. Teori komunikasi Antaragama dan Budaya (KAAB) Andi Faisal Bakti………………………………………..………………………….... 25 B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya…………. 31 1. Faktor Kognitif……………………………………………………... 31 2. Faktor gaya pribadi …...……………………………………………. 32 3. Faktor-faktor Lain …………………………………………………. 37 C. Konsep Kerukunan Umat Beragama ……..……………………………. 38 D. Golongan Sunni dan Syiah ……………………………………………...41 1. Definisi Sunni dan Syiah ……………………………………………41 2. Pokok-pokok Ajaran Sunni dan Syiah ………………………………42 BAB III GAMBARAN UMUM DESA JAMBESARI ……………………………..45 A. Kondisi Geografis desa Jambesari ………………………………………45 B. Kondisi Demografis ……………………………………………………..47 C. Kehidupan Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari…52 BAB IV TEMUAN DAN HASIL ANALISIS………………………………………56 A. Komunikasi Antarbudaya dan Agama Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari …………………………………………………57 B. Analisis Komunikasi Antarbudaya dan Agama Golongan Sunni dan Syiah menurut teori Andi Faisal Bakti (teori duapuluh) ……………………….60
vii
C. Faktor yang mempengaruhi komunikasi Antarbudaya dan Agama Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari ……………..66 1. Faktor Kognitif Golongan Sunni dan Syiah ……………………….. 66 2. Faktor Gaya Pribadi Golongan Sunni dan Syiah …………………... 67 3. Faktor-faktor lain golongan Sunni dan Syiah ……………………… 80 D. Interpretasi Data ………………………………………………………... 85 BAB V PENUTUP ………………………………………………………………… 88 A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 88 B. Saran …………………………………………………………………… 90 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 91 LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………………… 95
viii
DAFTAR TABEL TABEL 2.1 ……………………………………………………………………..
25
TABEL 3.1 ……………………………………………………………………..
46
TABEL 3.2 ……………………………………………………………………..
48
TABEL 3.3 ……………………………………………………………………..
49
TABEL 3.4 ……………………………………………………………………..
51
DAFTAR GAMBAR GAMBAR 3.1 ……………………………………………………………………
44
GAMBAR 3.2……………………………………………………………………..
50
GAMBAR 4.1……………………………………………………………………..
61
GAMBAR 4.2……………………………………………………………………..
63
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. apalagi bagi yang hidup dengan keragaman kebudayaan, menuntut manusia untuk memahami dan berinteraksi dengan budaya lain. Setiap sesuatu yang berkaitan dengan cara hidup manusia adalah budaya. Setiap manusia pun akan berusaha berada dalam tatanan budaya tersebut. Misalnya, cara berbicara, kebiasaan makan dan minum, bahasa sehari-hari dan kegiatan keagamaan tertentu. Hal tersebut merupakan hasil dari penyesuaian serta respon dari manusia, baik individu maupun sosial, terhadap pola-pola budaya yang dikenalnya. Mereka lahir dan dibesarkan dalam bentuk budayanya masing-masing.1 Semakin luas pergaulan dan pengetahuan tentang budaya lain, maka makin besar fungsi, peranan dan tanggung jawab sosial seseorang. Makin sering seseorang terlibat dalam proses komunikasi, maka akan berpegaruh terhadap tingkah lakunya, karena komunikasi pada dasarnya adalah proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang (pesan) yang mengadung
1
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2009), h.18
1
2
makna antara komunikator dan komunikannya dengan tujuan mewujudkan kesamaan makna dan kebersamaan. Artinya dengan adanya proses komunikasi yang baik maka akan meminimalisir terjadinya kesalahpahaman baik antar individu, etnik, kelompok atau antar seseorang yang berbeda latar belakang budayanya. Beberapa tahun terakhir ini, di Indonesia seringkali terdengar konflik terkait dengan suku, agama dan ras (SARA); perusakan rumah ibadah pengikut Ahmadiyah, pembakaran rumah masyarakat Syiah di Sampang pada tahun 2012, konflik Tolikara pada tahun 2015, pelarangan perayaan Asyuro masyarakat Syiah di Bogor, pembakaran rumah ibadah di Singkil, Aceh dan lainnya.
Alhasil,
Peristiwa
pelanggaran
kebebasan
beragama
atau
berkeyakinan sepanjang tahun 2014 dari hasil riset The Wahid Institute berjumlah 158 peristiwa dengan 187 tindakan. Dari jumlah tersebut, 80 peristiwa melibatkan 98 aktor negara; sementara 78 peristiwa melibatkan 89 aktor non-negara. Adapun jumlah korban dari peristiwa pelanggaran ini adalah anggota Syiah dengan 235 korban.2 Konflik internal dalam agama Islam, antara pengikut Sunni dan Syiah tak ada habisnya diperbincangkan oleh masyarakat. Sunni dan Syiah merupakan dua aliran besar dalam perkembangan teologi Islam. Sunni dan Syiah tidak berbeda pendapat perihal fundamen agama, melainkan perbedaan
2
The Wahid Institute, Laporan tahunan kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi (Jakarta; The Wahid Institute, 2014)
3
diantara mereka terjadi dalam memahami hukum-hukum yang bersifat partikular (al-a]hkam al-Far’iyyah), karena perbedaan cara pandang mereka, khususnya dalam mengambil istinbat dari al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang digunakan oleh kalangan Sunni dan akal yang digunakan oleh Syiah Imamiyah. Karena itu perbedaan mereka dalam hal-hal yang bersifat parsial merupakan rahmat, berkah, potensi, dan keluasan.3
Perbedaan ini, yang
kemudian dijadikan alasan bagi kaum intoleran untuk menyesatkan dan membolehkan perusakan seperti yang terjadi di desa Karanggayam, Omben Sampang 2012 silam. Jika di daerah lain gesekan antara pengikut Sunni dan Syiah masih sering terjadi. Di Jambesari, desa yang berjarak 12 kilometer ke arah selatan dari Kota Bondowoso, Jawa Timur ini masyarakat golongan Syiah hidup bekelompok dan secara terang-terangan menyatakan keyakinan keSyiahannya hidup berdampingan dengan masyarakat golongan Sunni penuh dengan keharmonisan. Memang tak dapat dipungkiri, sebelumnya di desa ini Sunni dan Syiah juga pernah terjadi konflik, yakni pada tahun 2006 perusakan rumah dan mobil pengikut Syiah yang sedang menggelar pengajian. Di tahun selanjutnya, 2007 kembali terjadi perseteruan, yakni pembakaran rumah salah seorang tokoh Syiah. Tak hanya itu, dalam prilaku keseharian pun masyarakat Syiah yang minoritas sering mendapat perlakuan yang berbeda. Misalkan,
3
Mustofa Rafi’I, Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syiah (Jakarta: Fitrah, 2013), cet ke-1, h.3.
4
masyarakat Syiah yang notabane bekerja sebagai buruh tani dan kuli bangunan, tidak dipercaya lagi sehingga jarang dipekerjakan. Dalam acara keIslamanpun seperti, akad nikah, selametan sunatan, perayaan maulid Nabi, dan tradisi lainnya, masyarakat Syiah tidak diundang karena sudah dianggap sesat atau bahkan kafir yakni bukan bagian dari Islam. Namun, saat ini di lingkungan ini masyarakat Sunni dan Syiah, kembali hidup rukun dengan mengedepankan persamaan dan tidak mempermasalahkan perbedaan. Pada dasarnya banyak kesamaan antara Ahlus Sunnah Wal Jamaah atau (NU) sebutan lain dari Sunni dengan Syi’ah. “NU itu Syi’ah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Demikian pernyataan populer Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Selain itu Gus Dur juga pernah menyatakan bahwa NU adalah “Syi’ah Kultural”. Agus Sunyoto mengungkapkan maksud dari pernyataan Gus Dur bahwa NU adalah “Syiah kultural” dari kacamata kebudayaan. Maksudnya, tradisi keIslaman yang dijalankan orang NU memiliki kesamaan secara kultural dengan yang dijalankan orang-orang Syiah, meskipun kedua juga memiliki perbedaan.4 Daniel dan Mahdi sebagaimana yang dikutip oleh Larry A.Samovar dkk, juga menjelaskan walaupun Sunni dan shiite (Syiah) memiliki perbedaan sejak tahun 632, namun Sunni dan shiite (Syiah) memiliki banyak kesamaan. Dalam tulisannya Daniel dan Mahdi menjelaskan,
4
Purkon Hidayat, Jalan Tasawuf Kebangsaan Gus Dur diakses pada tanggal 12 januari 2016 dari http://www.gusdurian.net/id
5
“Mereka menggunakan kitab suci yang sama qur’an, memercayai pandangan yang sama mengenai Tuhan, menghormati Nabi yang sama, melakukan shalat yang sama, berdo’a kearah yang sama kepada Tuhan yang sama, berpuasa dalam jumlah hari yang sama, dan lain.”5 Mereka juga berbagi “etnis, bahasa, makanan, dan pakaian yang sama.”6 Prof. Dr.Syekh Ahmad Muhammad Ahmad ath-thayyeb pun mengatakan dalam pesannya saat melakukan kunjungan ke Indonesia; Hentikan Konflik Sunni-Syiah kalian bersaudara. Grand Syekh Al-Azhar mengatakan bahwa; “Syiah beragam, namun mereka adalah saudara, mereka tetap Muslim, kita tidak bisa serta-merta menghakimi mereka keluar Islam hanya karena satu perkara. Memang tedapat sikap berlebihan, tidak di semua Syiah dan tidak semua ulama mereka demikian…..”7 Dua aliran kepercayaan dalam Islam ini, dalam kajian komunikasi antarbudaya, dikenal dengan subkultur. Menurut porter dan Samovar subkultur, yaitu komunitas yang menjadi pembeda dengan subkultur lainnya. Dalam kebudayaan masyarakat yang ada dalam lingkungan tempat tumbuh berkembangnya komunitas tersebut ataupun ditempat lain. Adapun yang menjadi pembeda pada komunitas subbudaya adalah ras, etnik, regional, e konomi, dan bahkan perilaku sosial yang menjadikan ciri tersendiri bagi komunitas tersebut.8
5
Samovar L.A, Richard E.P, Edwin R.Mc Daniel, Komunikasi Lintas Budaya (Jakarta: Salemba Humanika. 2010), h.149. 6 Samovar L.A, Richard E.P, Edwin R.Mc Daniel, Komunikasi Lintas Budaya h.149. 7 m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-nusantara diakses pada tanggal, 25 Maret 2016. 8 Deddy Mulyana dan jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) h.18.
6
Berdasarkan pada latar belakang di atas, penulis memberi judul: KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA
DAN
AGAMA
TENTANG
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH (Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso Jawa Timur) B. Batasan Dan Perumusan Masalah 1. Batasan Masalah Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah komunikasi yang dilakukan oleh golongan Sunni dan Syiah terkait menjalin kerukunan beragama khususnya di desa jambesari. Komunikasi yang difokuskan kepada komunikasi antarbudaya dan agamanya. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, disusunlah rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari dalam membangun kerukunan? 2. Mengapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari berhasil membangun kerukunan?
7
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: A. Untuk mengetahui bagaimana komunikasi antar budaya dan agama golongan Sunni dan Syiah tentang kerukunan di Desa Jambesari. B. Untuk mengetahui mengapa golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari berhasil membangun kerukunan. D. Signifikansi Penelitian Dilihat dari tujuan penelitian tersebut maka manfaat dari penelitian ini dapat dilihat dari segi akademis dan praktis. 1. Manfaat akademis Peneliti berharap penelitia ini memberikan konstribusi teoritis, dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penelitian selanjutnya dalam studi komunikasi antarbudaya dan agama, serta memberikan konstribusi pada aspek kebudayaan itu sendiri. 2. Manfaat Praktis Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang komunikasi antarbudaya dan agama masyarakat Sunni dan Syiah di Desa Jambesari dalam membangun kerukunan.
8
E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata.9 Pada penelitian ini paradigma yang digunakan adalah konstruktivisme. Realitas yang ada merupakan hasil konstruksi dari kemampun berfikir seseorang. Dalam paradigma ini, perlu adanya interaksi antara peneliti yang diteliti, agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif.10 Untuk itu peneliti akan melakukan penelitian terhadap golongan Sunni dan Syiah agar mampu merekonstruksi realitas yang ada. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sifat penelitian deskriptif. Menurut Whitney (1960) dikutip oleh Nazir, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.11 Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan,
9
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2010) cet
ke-7. h.9.
10
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi Komunikasi di Masyarakat), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.238. 11 Moh Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013) Cet ke-8. h.54
9
serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.12 Jenis metode penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus (case study). Menurut John W. Creswell, studi kasus merupakan strategi penelitian, dimana peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses atau sekelompok individu.13 Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan
waktu
yang
telah
ditentukan.14
Dilihat
dari
objek
penelitiannya, jenis studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumental tunggal (single instrumental case study). Yakni penelitian studi kasus yang dilakukan dengan menggunakan kasus untuk suatu isu atau perhatian. Peneliti memperhatikan dan mengkaji suatu isu yang menarik perhatiannya, dan menggunakan sebuah kasus sebagai sarana (instrument) untuk menggambarkannya secara terperinci. Dalam hal ini, yakni “konflik antara masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa
Jambesari
pada
tahun
2006,
sebagai
instrument
untuk
menggambarkan secara terperinci komunikasi antarbudaya dan agama
12
Moh Nazir, Metode Penelitian h.55 John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2008), h.19. 14 John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, h.19. 13
10
golongan Sunni dan Syiah dalam membangun kerukunan antar umat beragama”. Maka pada penelitian ini peneliti mengamati dan berhubungan dengan golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari melalui teknik pengumpulan data wawancara, dokumentasi, dan observasi langsung pada aktifitas komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari dalam membangun kerukunan. 3. Subjek dan Objek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi Subjek penelitian adalah Golongan Sunni dan golongan Syiah di Desa Jambesari yang menjadi sumber bagi peneliti untuk memperoleh keterangan dalam data. Sedangkan objek penelitiannya adalah bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah tentang kerukunan di Desa Jambesari. 4. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Jambesari, Kecamatan Jambesari Darus Solah, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.
Adapun waktu
penelitian yakni sejak diturunkannya surat ijin melaksanakan penelitian tanggal 27 April-21Juni 2016. a. Pada tanggal 7 Mei 2016 pukul 09.00 WIB, peneliti melakukan wawancara dengan Qurdi, selaku Sekretaris desa yang bertempat di kantor balai desa Jambesari.
11
b. Pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 10.00 WIB peneliti melakukan wawancara dengan H.Abdullah selaku tokoh masyarakat golongan Sunni di desa Jambesari. c. Pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 10.00 WIB peneliti melakukan wawancara dengan Ahmad Rowi, selaku tokoh masyarakat Syiah desa Jambesari, bertempat dikediamannya di RT 07 RW 012 desa Jambesari. d. Pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 13.00 WIB peneliti melakukan wawancara dengan Mukhlis, selaku salah seorang tokoh masyarakat Syiah di kediamannya yang bertempat di RT 07 RW 012 desa Jambesari. e. Pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 13.00 WIB peneliti melakukan wawancara dengan Abdur Rahim, salah seorang golongan Sunni yang bekerja sebagai buruh tani. 5. Sumber Data Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, disini peneliti menggunakan data primer dan data sekunder. a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber berupa hasil temuan penelitian observasi serta wawancara dengan masyarakat Syiah dan Sunni di desa Jambesari. b. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terdapat dalam buku, jurnal, kutipan-kutipan, dokumenatasi atau arsip-arsip
12
dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian mengenai komunikasi antarbudaya, masyarakat syi’ah dan Sunni.
6. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini, peneliti menggunakan tiga tehnik dalam pengumpulan data, yaitu: a. Observasi Observasi yaitu dasar semua ilmu pengetahuan, karena ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data atau fakta mengetahui dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Marshall mengatakan bahwa melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut.15 Dalam hal ini peneliti mengamati langsung proses komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah. b. Interview (wawancara) mendalam Untuk
memperoleh
menggunakan
teknik
data
yang
pengumpulan
diperlukan, data
dengan
peneliti metode
wawancara, suatu teknik yang dianggap tepat dalam mendapatkan informasi. Karena itu, peneliti melakukan wawancara bebas terpimpin (semi structured interview), yaitu wawancara dengan menggunakan interview guide atau pedoman wawancara yang 15
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,2010), hal-64
13
dibuat berupa daftar pertanyaan.16 Wawancara dilakukan secara bebas, tetapi menggunakan pedoman wawancara yang baik dan benar agar pertanyaan terstruktur dan terarah. Dalam hal ini peneliti telah melakukan tanyajawab/wawancara kepada beberapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari. Wawancara ini bertujuan untuk menggali keterangan lebih mendalam seputar kerukunan golongan Sunni dan Syiah di desa tersebut. Adapun Narasumber pada penelitian ini adalah; Bapak Qurdi selaku Sekretaris desa Jambesari, Bapak H.Abdullah selaku tokoh masyarakat golongan Sunni, Bapak Abdur Rahim selaku masyarakat golongan Sunni. Bapak Ahmad Rawi selaku tokoh masyarakat golongan Syiah, dan Bapak Mukhlis selaku tokoh masyarakat golongan Syiah. c. Dokumentasi Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.17 Menurut Burhan Bungin, metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodelogi penelitian
16
Denzin, Norman K, Lincoln, Yonna S, Handbook of Qualitative Research, Dariyanto dkk (edisi terjemahan Indonesia), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009). 17 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. hal.82
14
sosial. Pada intinya, metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. 18 F. Teknik Analisis Data Pada penelitian studi kasus kualitatif teknik analisis datanya adalah Description, Themes, Assertions19 sebagai berikut: a) Description Sejak kehadirannya pada tahun 2006 di desa Jambesari, paham Syiah tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini, diduga karena paham Syiah memiliki ajaran yang berbeda dengan ajaran yang dipahami masyarakat setempat, khususnya ajaran dari para sesepuh desa Jambesari. Beragam isu negatif yang ditujukan kepada masyarakat golongan Syiah, mulai dari cara shalat berbeda, bisa tukar menukar istri, al-Qur’annya berbeda, dan semacamnya. Sehingga terjadinya bentrokan antara pengikut kedua golongan tersebut. Namun, lambat laun masyarakat Jambesari pengikut kedua golongan tersebut semakin dewasa dalam memahami perbedaan. b) Themes Jika di daerah lain gesekan antara pengikut Sunni dan Syiah masih sering terjadi. Di Jambesari, desa yang berjarak 12 kilometer ke 18
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif: Komunikas, Ekonomi, kebijakan Publik, dan Ilmu sosial Lainnya (Jakarta: kencana Prenada Media group,2005) Cet ke-1, h.121 19 Michael Quinn Patton, How to Use Qualitative Methods in Evaluation (London: SAGE Publications, 1991), hlm. 23
15
arah selatan dari Kota Bondowoso, Jawa Timur ini nampak harmonis. Memang tak dapat dipungkiri, sebelumnya di desa ini golongan Sunni dan Syiah juga pernah terjadi konflik, yakni pada tahun 2006. Namun, saat ini di lingkungan ini masyarakat Sunni dan Syiah, kembali hidup rukun. c) Assertions Dalam bermasyarakat dengan beragam aliran kepercayaan, perlu
adanya
saling
mengedepankan
persamaan
dan
tidak
mempermasalahkan perbedaan. Sebab perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tak perlu dipermasalahkan. G. Pedoman Penelitian Pedoman penelitian ini adalah buku Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karangan Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Jakarta 2015. H. Tinjauan Pustaka Dalam menentukan judul ini peneliti sudah melakukan tinjauan terhadap skripsi atau penelitian terdahulu. Harus diakui bahwa kajian mengenai Sunni dan Syiah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Berdasarkan pengamatan langsung peneliti di perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengenai skripsi ataupun tesis yang
16
membahas tentang Sunni dan Syiah. Peneliti meninjau pada skiripsi atau penelitian yang sudah ada, yang berkaitan dengan judul yang dianalisis peneliti seperti; Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Ahmad
Syukri,
Mahasiswa
Komunikasi dan Penyiaran Islam tahun 2013, dengan judul “Komunikasi Antarbudaya (Studi pada Pola Komunikasi Masyarakat Suku Betawi dengan Madura dikeluarahan Condet Batu Ampar)”. Penelitian tersebut menekankan pola lain dari komuikasi antarbudaya masyarakat suku Betawi dengan Suku Madura, dalam konteks keagamaan. Serta, lebih banyak mengunakan pola komunikasi antarpribadi dan kelompok. Adapun perbedaanya dengan penelitian ini adalah terletak pada subjek penelitiannya. Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian Ahmad adalah warga suku Betawi dan Madura di kelurahan Condet Batu Ampar. Sedangkan Subjek pada penelitian ini adalah golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Namun objek penelitian dari keduanya
yaitu
sama-sama
membahas
tentang
kajian
komunikasi
antarbudaya. Penelitian lain yang dilakukan Ita Anastianah, dengan judul “Elite & Konflik Komunal Keagamaan (Studi kasus Konflik Sunni-Syiah Sampang”. Penelitian tersebut mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik komunal Sunni dan Syiah di desa Karang Gayam, Sampang. Adapun perbedaanya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak pada objek penelitian. Yang menjadi objek penelitian dalam penelitian Ita
17
adalah konflik komunal antara Sunni dan Syiah yang terjadi di Sampang, Madura. Sedangkan objek penelitian penulis adalah komunikasi antarbudaya golongan Sunni dan Syiah. Namun subjek penelitian keduanya sama-sama golongan Sunni dan Syiah, meskipun lokasi penelitiannya berbeda. Serta penelitian yang di lakukan oleh Siti Asiyah, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam tahun 2013 dengan judul “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama (Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang). Penelitian tersebut menemukan pola komunikasi dalam proses akulturasi, asimilasi, dan enkulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04 kelurahan Mekarsari Tangerang. Adapun perbedaanya dengan penelitian ini adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian Siti Asiyah adalah warga Tionghoa dengan Muslim pribumi di RW 04 kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan Subjek penelitian penulis adalah golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama membahas dari segi kajian komunikasi antarbudaya. I. Sistematika Penelitian Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan dalam penelitian ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan ke dalam
18
Lima bab. Dimana masing-masing bab dibagi ke dalam sub-sub dengan penulisan sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
: KAJIAN TEORI Terdiri dari teori komunikasi antarbudaya dan agama, hakikat agama dalam
komunikasi
antarbudaya, agama sebagai
kelompok etnik, teori duapuluh andi faisal bakti, komunikasi antarbudaya yang efektif, konsep kerukunan umat beragama, serta konsep golongan Sunni dan Syiah. BAB III
: GAMBARAN UMUM Adalah gambaran umum objek penelitian yang terdiri dari keadaan geografis, kondisi demografis desa jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, serta gambaran umum tentang kehidupan masyarakat golongan Sunni dan Syiah setempat.
BAB IV
:
KOMUNIKASI
GOLONGAN JAMBESARI
ANTARBUDAYA
SUNNI
DAN
DAN
SYIAH
DI
AGAMA DESA
19
Adalah penyajian data-data yang diperoleh dari hasil penelitian, berikut analisanya. Yaitu tentang komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah tentang kurukunan di Desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Serta mengapa golongan Sunni dan Syiah berhasil menjalin kerukunan. BAB V
: PENUTUP Adalah bab penutup dari tulisan ini yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Komunikasi Antarbudaya dan Agama Istilah “antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice). Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurutnya, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu: source, messages, channel, receiver.1 Menurut teori komunikasi antarbudaya, Edward T. Hall, teori hall mengaitkan komunikasi dengan budaya memiliki hubungan sangat erat. Menurutnya, communication is culture and culture is communication. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu cara untuk menyebarluaskan normanorma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya secara turun temurun. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
1
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) Cet ke-II h.1.
20
21
Pada dasarnya, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satusama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisikondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.2 Adapun
pengertian
komunikasi
antarbudaya
(intercultural
Communication) adalah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang dari kultur yang berbeda, yakni antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai dan cara berperilaku kultur yang berbeda. 3 Berikut pengertian komunikasi antarbudaya menurut para ahli; 1) Andrea L.Rich dan Dennis M.Ogawa mendefinisikan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antara etnik dan ras, antar kelas social.4 2) Charley H.Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili 2
Mulyana dan Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orangorang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005) h.20. 3 Devito, Joseph A. Komunikasi Antar Manusia (Tangerang: Kharisma Publishing Group. 2011) h. 535 4 Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013) h.10
22
pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. 3) Andi Faisal Bakti dalam beberapa teori dua puluh sering menyebutkan bahwa komunikasi antarbudaya melibatkan suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya menurut Andi Faisal Bakti adalah komunikasi yang terjadi melibatkan orang secara individu atau kelompok yang mempunyai latar belakang yang berbeda.5 Komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan non verbal menurut budaya-budaya bersangkutan, bahasa bisa saja sama, tetapi kemungkinan bisa berbeda maknanya. Menurut Alo liliweri, Pendekatan komunikasi antarbudaya memiliki wajah ganda.6 Pertama, jika ditinjau dari perspektif sosiologi komunikasi, komunikasi antarbudaya membahas peranan agama dan kelompok keagamaan dalam proses pembudayaan dan pembudidayaan, pengalihan nilai dan norma (penyebaran) agama dari dan ke suatu kelompok dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini berarti sosiologi komunikasi mempelajari bentuk, sifat, cara, metode, teknik “penyebarluasan dan norma dan nilai agama terhadap intrakelompok maupun terhadap ekstern agama dan kelompok keagamaan.
5
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, (Jakarta: INIS, 2004) h. 128. 6 Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) Cet ke-II h.254.
23
Kedua, kelompok keagamaan dan bahkan agama sekalipun dapat dipandang sebagai satu etnik yang tetap mempertahankan sistem norma dan nilai sehingga menimbulkan kesan agama bersifat eksklusif, tertutup, sehingga tentu ada tatanan yang mengatur cara seorang menjadi anggota suatu agama. Pada akhirnya sangat penting dalam pembelajaran komunikasi antarbudaya, memahami terhadap apa yang dipercayai orang tentang bagaimana dunia ini kelihatannya dan berjalan. Sebagaimana dikatakan Paden dalam Samovar; “Belajar tentang agama...mempersiapkan kita untuk memasuki tempat dan kebiasaan lain dan berbagai versi dari hal yang sakral maupun tidak sakral; juga untuk menerjemahkan dan menghargai bahasa dan perilaku yang berbeda. Oleh karena itu, pengetahuan tentang orang lain mempunyai peranan yang penting.”7 1. Hakikat Agama dalam komunikasi antarbudaya Sulit dipisahkan antara masyarakat dengan agama, sebab agama menurut Liliweri adalah sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat yang menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan suci.8 Sebagai suatu sistem keyakinan yang membentuk perilaku keseharian penganut agamanya, maka sangat erat kaitannya antara agama dengan budaya yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa dari manusia. Hal
h.126. 2, h.254
7
Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya (Jakarta; Salemba Humanika, 2010)
8
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Jakarta; Pustaka Pelajar 2011) Cet ke-
24
ini juga dipertegas Lamb dalam samovar mengatakan kaitan antara agama dan budaya adalah sangat jelas. Guruge juga mengatakan agama dan peradaban saling bergandengan tangan dalam evolusi manusia sampai tahap yang tidak dapat disimpulkan seseorang dimana keduanya setara dan berdampingan.9 Pada akhirnya, agama dan budaya saling mengisi dan melengkapi dimana agama mempengaruhi dan membentuk budaya sedangkan budaya dibatasi dengan nilai-nilai agama, sehingga sulit memisahkan hubungan keduanya. 2. Agama sebagai kelompok etnik Manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, kepercayaan, iman terhadap sesuatu yang bersifat sakral disebut kelompok agama. Karena itu, agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik. Secara historis dapat disaksikan bahwa agama sebagai kelompok etnik itu mewakili suatu populasi tertentu yang kita kenal keberadaannya dalam suatu masyarakat. 10 Sebagai contoh, masyarakat yang berkeyakinan Syiah adalah kelompok internal dalam agama islam yang memiliki ciri berbeda dengan kelompok yang laiinya. Keberadaan kelompok agama dapat dilihat berupa simbol dan tanda, materi, pesan-pesan verbal dan nonverbal, petunjuk berupa materi dan immaterial, bahkan sikap dan cara berpikir yang sifatnya abstrak.
9
Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya, h.126. Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Cet ke-2, h.255
10
25
Pada akhirnya menurut Alo Liliweri setiap kelompok agama hadir dan diakui karena: 1) Para anggota kelompok mampu berkembang dan bertahan dengan mempunyai jumlah tertentu. 2) Kehadiran kelompok itu diterima karena tidak membawa bibit perpecahan 3) Adanya kesamaan nilai antar kelompok yang diimani secara sadar, sehingga menumbuhkan rasa untuk selalu bersama-sama. 4) Membangun komunikasi dalam kelompok secara teratur. 5) Mampu menentukan perbedaan ciri-ciri kelompok dengan kelompok yang lainnya. 6) Terkadang memiliki wilayah pengaruh dan kekuasaan.11 Secara universal agama berfungsi sebagai; fungsi edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, transformatif dan persaudaraan. 1) Fungsi Edukatif. Yakni, agama berperan mengajarkan kepada para pemeluknya nilai-nilai dan norma serta membimbing untuk menjalankan dalam kehidupan. 2) Fungsi Penyelamatan. Yakni, agama berperan untuk menyadarkan para pemeluknya terhadap keselamatan di dunia dan akhirat.
11
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Cet ke-2, h.257
26
Sehingga dengan adanya kesadaran terhadap keselamatan, akan mempengaruhi sikap atau perilaku penganutnya untuk selalu berbagi kebaikan kepada seluruh mahluk. 3) Fungsi Pengawasan Sosial. Yakni agama menjadikan penganutnya peka terhadap segala persoalan dalam kehidupan, sehingga dengan adanya kepekaan tersebut tidak bisa menjadikan para penganutnya hanya berdiam diri menyaksikan suatu persoalan. 4) Fungsi memupuk persaudaraan, Artinya setiap agama mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati keyakinan setiap orang baik intern umat beragama maupun antar umat beragam. 5) Fungsi transformatif, agama mewariskan nilai-nilai baru kepada masyarakat, misalnnya inkulturasi yang proses penerapannya melalui pemanfaatan media digital untuk menyebarkan agama. 6) Fungsi khusus agama, menjalankan tugas dan fungsinya melalui pemeliharaan ciri khas, kekhususan, inkulturasi dengan masyarakat budaya lokal. Misalnya kesatuan sosiologis unsur kesamaan darah, Bahasa, dan daerah.12 B. Teori Komunikasi Antar Agama dan Budaya (KAAB) Andi Faisal Bakti Teori dua puluh ini menunjukkan keadaan budaya kolektif yang masih kaku (konservatif) dan lawannya yaitu keadaan budaya yang sudah elastis,
12
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Cet ke-2, h.258
27
dapat mengadopsi budaya lain di luar budayanya sendiri (transformatif).13 Teori ini menggambarkan keadaan peradaban timur dan barat. Lalu, dalam teori dua puluh ini dimunculkan pula solusi yang ditawarkan oleh Islam atas dua corak komunikasi antarbudaya yang tergambar dari teori duapuluh. No
Kaum Konservatif
Kaum Transformatif
Islam
1
(Être pensé par sa culture) Suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang dikendalikan atau dikontrol oleh budayanya (masa lalu).
(Penser sa culture) Suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilainilai persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berupaya untuk mengubah budayanya. Baik itu yang sekarang maupun masa depan. Hal ini sangat berkaitan dengan budaya lain yang dikembangkan untuk masa depan.
Almuhafadzo tu „ala alqadim alsholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah.
2
Hériter la culture: Suatu kelompok,golongan,agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mewarisi budayanya dari masa lalu dan mewariskannya kepada generasi yang akan datang.
Acquérir la culture: Suatu kelompok ,golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berupaya untuk mendapatkan kultur-kultur yang baru dan berbeda dari warisan keluarga dan budayanya. Dengan kata lain lebih produktif
Almuhafadzo tu „ala alqadim alsholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah.
13
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, (Jakarta: INIS, 2004) h. 128.
28
dalam mendapatkan kultur yang baru. 3
Submission: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang hanya tunduk kepada budayanya sendiri dan tidak terpengaruh dengan ajaran lain yang bertentangan dengan budayanya sendiri.
Egalitarian/Emancipation: al-Islam Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang mengikuti aturan-aturan lain dan bersikap egaliter atau tidak tunduk serta ingin bebas dari cengkraman yang sudah ada.
4
Adoration of scriptures: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab sucinya).
Interpretation of sciptures Ijtihād. (ijtihād): Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memaknai atau memahami teks (kitab suci) yang menjadi pegangannya
5
Textualist: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang percaya teks sebagai suatu kebenaran. Dengan kata lain teks yang berkata-kata atau berbicara.
Contextualist: Sekelompok al-tafsir masyarakat, agama, dan budaya yang percaya kepada konteks dan pemahamannya tidak secara harfiah.
6
Gemeinschaft: masyarakat, agama, yang ingin kelompoknya komunitasnya.
Gesellschaft: Sekelompok al-ummah masyarakat, agama, dan budaya yang ingin membangun kelompoknya berdasarkan societas.
7
Reproduction: Sekelompok Creation and trust in foreigners: Almasyarakat, agama, dan budaya Sekelompok masyarakat, Amanah. yang memproduksi budaya dan agama, dan budaya yang tidak harus memproduksi generasi
Sekelompok dan budaya membangun berdasarkan
29
8
9.
keluarganya.
yang sama. Akan tetapi dari budaya yang sama dan memiliki kreasi dengan keadaan sekarang
Fundamentalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berdasarkan pada pondasi utama ajaran agama, bangsa, negara, dan masyarakat tertentu. Dengan kata lain dianggap sebagai kekuatan yang absolut. Fundamentalism berasal dari Protestan yang anti teknologi dan sains.
Rationalism/Secularization: Ihsan. Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berdasarkan rasionalisme atau akal bukan pada kitab dan lebih mementingkan dunia. Kedua teori tersebut dalam Islam disebut dengan ihsan.
Geographical immobility: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang tidak mau pindahpindah dan lebih mengutamakan menetap di suatu tempat.
Geographical mobility: Hijrah. Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang lebih mengutamakan berpindahpindah.
10. Je me souviens: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung mengingat masa lalunya yang harus dipertahankan. Dan ini lebih mengarah kepada
Déracinement: Pemikiran AlKAAB yang terdiri atas nilai- Hadharah. nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang tercerabut dari akar-akarnya. Artinya meninggalkan masa lalu untuk menatap masa depan yang lebih
30
hal-hal yang negatif.
baik dan lebih pasti.
11. Paganism (Idol worshipping): Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang melakukan penyembahan kepada yang selain Tuhan. Baik itu terhadap sesajen, jimat, dukun atau membaca ayatayat tertentu untuk tujuan tertentu.
Monotheism (Idol Al-Tauhid. destruction)/Humanism (God created by humans): Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang percaya kepada Tuhan yang satu.
12. Imposition/Holy war/Proselytism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung memaksakan agama dengan caracara berupa bujukan, rayuan, paksaan, tekanan, intimidasi atau dengan cara melalui perang suci.
Negotiation: Pemikiran KAAB Alyang terdiri atas nilai-nilai, musyawar persepsi, adat istiadat, ah kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mengutamakan sama rata dan sama rasa.
13. Nationalism/Tribalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang sangat menekankan nasionalisme atau kesukuan/fanatik.
Universalism/Internationalism: AlPemikiran KAAB yang terdiri Ta„Aruf. atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang sangat mengutamakan universal. Dalam arti tanpa ada sekatsekat.
31
14. Orthodoxy/Traditionalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang ingin mempertahankan budaya tradisional yang ada dan masih bersifat ortodoks.
Protestantism/Modernism: AlPemikiran KAAB yang terdiri Maslahah. atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mengikuti perkembangan secara modern dan lebih maju.
15
Sectarian communitarianism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yag patuh hanya kepada golongan/ komunitasnya saja.
Global communitarianism: Al-Qaum. Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang lebih terbuka tetapi hanya kepada agamanya saja
16. Cul./Lang./Competence/Inheritenc e: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berdasarkan kemampuan berbahasa budaya yang didapat atau diperoleh atau diwariskan dari masa lalu.
Cult./Lang./Competence al-Ta„lim. acquisition: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang memiliki penguasaan bahasa melalui proses pembelajaran.
17. Dependency/Egoism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung kepada orang/bangsa yang mampu
Interdependency/Solidarity: AlPemikiran KAAB yang terdiri Ta„Awun. atas nilai- nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mengutamakan
32
dan egois akan tetapi sangat saling tolong-menolong bergantung kepada yang lain. bantu-membantu.
dan
18. Exclusivism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang menolak orang lain untuk masuk ke dalam kelompoknya.
Inclusivism: Pemikiran KAAB Alyang terdiri atas nilai-nilai, Washatiya persepsi, adat istiadat, h. kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang bersedia menerima orang lain.
19. Vernacular language: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung belajar bahasa sendiri/lokal
Vehicular language: Pemikiran Al-Lisan. KAAB yang terdiri atas nilainilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang belajar bahasa pengetahuan/bahasa lain.
20. Parochialism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang menyampaikan ajaran secara kaku.
Flexibility: Pemikiran KAAB Tasamuh. yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang menyampaikan ajaran secara elastis/lentur.
Tabel 2.1 Tabel di atas menjelaskan tentang karakteristik pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan,
33
pola pikir dan perasaan setiap kelompok masyarakat, agama maupun budayanya. Lebih lanjut, Teori ini menerangkan tentang macam-macam budaya dengan beberapa ketentuan dan pengelompokannya. Teori tersebut berjumlah dua puluh. C. Faktor yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya Kebudayaan merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.14 Komunikasi antarbudaya diharapkan dapat membantu memahami perbedaan budaya yang dapat mempengaruhi praktik-praktik komunikasi. Komunikasi antarbudaya juga diharapkan dapat mengidentifikasi hambatan-hambatan yang muncul dalam komunikasi antarbudaya sekaligus mengatasi masalah tersebut. Hammer (1989), Ruben (1977) Olebe dan Koester 1989, serta Kealey (1989) sebagaimana dikutip Alo Liliweri, mengemukakan bahwa paling tidak ada dua faktor yag paling berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya,15 yakni; 1. Faktor Kognitif Ruben (1977) mengemukakan bahwa terjalinnya komunikasi antarbudaya pada umumnya dan perilaku antarbudaya pada khususnya ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman dan pikiran 14
Deddy Mulyana dan jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h.18. 15 Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013) h.265.
34
yang membentuk konsep antarbudaya.16 Kata Ruben, seseorang yang bekerja
dalam
suatu
organisasi,
melaksanakan
komunikasi
antarbudaya secara intensif hanya jika dia mempunyai apresiasi terhadap pekerjaan dan tugas yang dibebankan kepadanya. Yang terpenting adalah bagaimana dia menampilkan kekuatan untuk membangun kebudayaan pribadinya melalui gaya antarpribadi, dan kerjasama antarbudaya. Dengan demikian, perhatian terhadap kebudayaan tetaplah penting dalam proses komunikasi antarbudaya. 2. Faktor Gaya Pribadi Gaya pribadi atau perilaku gaya sering disebut (selforiented).17Studi ini mengacu pada pendapat Kealey bahwa komunikasi antarbudaya yang berdasarkan orientasi diri dapat mengubah
efektivitas
komunikasi
menjadi
komunikasi
yang
disfungsional. Hal ini disebabkan karena orang terlalu menampilkan self-oriented yang berlebihan sehingga orang itu menjadi congkak, dan menunjukkan gagasan yang tidak menarik atau membosankan. Berikut beberapa bentuk gaya pribadi yang seringkali tampil dalam komunikasi antarpribadi; a) Etnosentrisme
16 17
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.266. Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.266.
35
Etnosentrisme adalah suatu perasaan superior atau keunggulan dari suatu kelompok orang yang menganggap kelompok lain lebih inferior dan kurang unggul.18 Perasaan merasa dirinya atau kelompoknya lebih unggul dari yang lainnya ini, dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya. Menurut Tucker dan Baier (1985) dikutip Alo Liliweri, kemampuan komunikasi saja belum cukup membuat seseorang bersikap kritis atau cermat dalam penyesuaian antarbudaya tetapi mencoba untuk menghilangkan sikap merasa diri lebih unggul daripada orang lain. b) Toleransi, Sikap Mendua dan Keluwesan Dalam proses komunikasi antarbudaya seringkali orang kurang mampu bereaksi terhadap sebuah situasi baru atau situasi yang mendua, dengan kata lain komunikasi antarbudaya mengandung sifat mendua,19 karena kita menghadapi dua ketidakpastian kebudayaan, yakni kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Hal ini sekaligus yang menjadi hambatan
dalam
efektivitas
komunikasi
antarbudaya.
Singkatnya, apabila dua orang atau lebih yang berbeda latabelakang budayanya berhasil menghadapi situasi yang tidak
18 19
Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya, h.214. Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya.hlm 267
36
dapat dipahami, atau situasi yang mendua maka orang tersebut telah bersikap toleran terhadap situasi ini. c) Empati Empati merupakan kemampuan untuk merasakan, melihat secara akurat, dan memberikan respons secara tepat kepada
kepribadian,
hubungan,
dan
lingkungan
sosial
seseorang.20 Broome dalam samovar mengatakan bahwa empati merupakan hal yang penting dalam kompetensi komunikasi yang umum dan merupakan karakter utama dari komunikasi antarbudaya yang kompeten dan efektif.21 Maka dari itu dapat dikatakan bahwa empati merupakan dasar untuk terjalinnya komunikasi antar orang-orang yang berbeda latarbelakang budayanya. d) Keterbukaan Devito (1989) dalam penelitiannya mencatat bahwa keterbukaan pribadi (Self-disclosure) dan keluwesan pribadi (Self flexibility) merupakan faktor penting untuk menciptakan relasi antarpribadi yang maksimum.22 Dengan keterbukaan bukan berarti bahwa setiap orang harus membuka diri seluasluasnya, namun membuka kesempatan untuk sama-sama 20
Larry A.Samovar dkk,Komunikasi Lintas Budaya, h.466 Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya h.214. 22 Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya.h. 268. 21
37
mengetahui informasi tentang diri maupun tentang lawan bicara. e) Kompleksitas Kognitif Kompleksitas kognitif mengacu pada kemampuan pribadi untuk mengetahui, dan mengalami orang lain. Secara umum dapat dikatakan bahwa kompleksitas kognitif individu membuat
seorang
semakin
akurasi
menentukan
dan
mengembangkan kesan terhadap orang lain. f) Kenyamanan Antarpribadi Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan dan interaksi antarpribadi berkaitan dengan prinsip efektivitas. Apabila anda merasa tidak nyaman, tidak tenang dan tidak percaya dengan relasi antarpribadi dalam kebudayaan anda, maka anda pun merasa tidak lebih nyaman, tidak tenang, dan tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan anda. g) Kontrol Pribadi Terjalinnya
komunikasi
antarbudaya
juga
sangat
tergantung pada sejauh mana perseorangan dapat mengontrol pribadi terhadap lingkungan sekitarnya. Tucker dan Baier (1985) dikutip oleh Liliweri menemukan ada hubungan yang signifikan antara kontrol pribadi dan tampilan pribadi dengan penyesuaian budaya. Penelitian lain menunjukkan bahwa ada
38
hubungan antara pandangan hidup pribadi, kecenderungan untuk pasrah dengan penyesuaian pribadi (Dood 1987). 23 h) Kemampuan Inovasi Inovasi merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang
dilakukan
melalui
penyebarluasan
informasi
dan
teknologi baru melalui sistem sosial suatu masyarakat. i) Harga diri Harga diri (self esteem) sangat menentukan terjalinnya komunikasi antarbudaya. Seorang komunikator dituntut untuk memiliki inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri dengan komunikan.
Artinya,
seorang
komunikator
tidak
mempertahankan harga dirinya, sebab komunikator akan semakin sulit berkomunikasi dengan komunikan, begitupun sebaliknya,
jika
perasaan
“rendah
diri”
menyelimuti
komunikator maka keadaan psikologis itu dapat menghambat komunikasi antarbudaya. j) Keprihatinan dan Kecemasan Komunikasi Dodd (1987) dikutip oleh Liliweri (2013) mengatakan bahwa kecemasan komunikasi antarpribadi, kecemasan dalam kelompok, serta kecemasan atas publisitas dapat berdampak
23
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.269.
39
atas
penyesuaian
antarbudaya
yang
pada
gilirannya
mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya. 3. Faktor-faktor Lain Adapun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi terjalinnya komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut; a) Faktor Keramahtamahan Faktor
keramahtamahan
atau
friendliness
juga
merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi efektivitas
komunikasi
antarbudaya.
Meskipun
batas
keramahtamahan antarbudaya yang satu dengan yang lain sangat relatif tetapi pada umumnya setiap kebudayaan mengajarkan keramahtamahan dalam komunikasi antarpribadi. b) Faktor Motivasi Motivasi merupakan satu aspek psikologi, antarbudaya. Berbagai fakta menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi ditentukan oleh orang yang memperhatikan faktor-faktor psikologi, atau memperhatikan faktor-faktor apa saja yang mendorong komunikasi. c) Faktor Akulturasi Akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan pencampuran
40
unsur-unsur tersebut namun perbedaan diantara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak. d) Faktor Umur Dalam
beberapa
kebudayaan,
penghargaan
antarmanusia sangat ditentukan oleh umur. Dikalangan orang jawa, mereka yang berusia lebih muda tidak diperkenankan menatap mata orang yang lebih tua. Hal semacam ini, menunjukkan bahwa perbedaan umur antarpribadi sangat mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya. e) Faktor Pekerjaan Dalam masyarakat yang distratifikasi berdasarkan jenis-jenis pekerjaan menunjukkan bahwa faktor pekerjaan turut menghambat efektivitas komunikasi. Misalnya, seorang atasan dengan bawahan, hubungan antarpekerja ini akan ditentukan oleh aturan organisasinya. D. Konsep Kerukunan Umat Beragama Secara etimologi kata kerukunan berasal dari bahasa Arab, yaitu ruknun yang berarti tiang, dasar, sila. Jamak dari ruknun ialah arkan yang berarti bangunan sederhana yang terdiri atas berbagai unsur. Jadi, kerukunan itu merupakan satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur yang berlainan
41
dan setiap unsur tersebut saling menguatkan.24 Dalam bahasa Indonesia arti rukun ialah: 1. Rukun (nominal), berarti: Sesuatu yang harus di penuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti tidak sahnya manusia dalam sembahyang yang tidak cukup syarat, dan rukunya asas, yang berarti dasar atau sendi: semuanya terlaksana dengan baik tidak menyimpang dari rukunnya agama. 2. Rukun (ajektif) berarti: Baik dan damai tidak bertentangan: hendaknya kita hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati, sepakat. Merukunkan berarti: (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan: (1) perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan: kerukunan hidup bersama.25 Kerukunan juga diartikan sebagai kehidupan bersama yang diwarnai oleh suasana baik dan damai. Hidup rukun berarti tidak bertengkar, melainkan bersatu hati, dan sepakat dalam berfikir dan bertindak demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Didalam kerukunan semua orang bisa hidup bersama
24
Said agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antaragama (Jakarta: Ciputat Press, 2003)
h.4. 25
Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta, Puslitbang, 2008), h.525.
42
tanpa kecurigaan, dimana tumbuh semangat dan sikap saling menghormati dan kesediaan untuk bekerjasama demi kepentingan bersama.26 Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dipolakan dalam Trilogi Kerukunan27, yaitu: 1) Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama Ialah kerukunan di antara aliran-aliran/paham-pahm/mazhabmazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama. 2) Kerukunan di antara umat/komunitas agama yang berbeda-beda Ialah kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang berbeda-beda yaitu di antara pemeluk Islam dengan pemeluk Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. 3) Kerukunan antar umat/komunitas agama dengan pemerintah Ialah supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat pemerintah dengan saling memahami dan menghargai tugas masing-masing dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang beragama.
26
M.Zainuddin Daulay, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia (Jakarta:Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2001) h.67 27 Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, 1997), hal. 8-10
43
E. Golongan Sunni dan Syiah 1. Definisi Sunni dan Syiah Sunni dan Syiah merupakan dua aliran besar dalam teologi Islam. Kedua aliran ini muncul berawal dari persoalan siapa yang berhak menjadi pemimpin pasca wafatnya Rasulullah Saw. Kaum Syiah meyakini bahwa Sayyidina Ali adalah pemimpin pengganti Rasul yang sah. Secara bahasa Syiah berasal dari يشيع- شاعsya‟aYasyi‟u yang berarti mengikuti juga berarti menemani. Syiah juga berarti kelompok. Dan berarti pula penolong.28 Yang kemudian diidentikkan dengan pengikut sayyidina Ali (Syiah Ali). sedangkan Sunnah secara harfiah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orangorang yang seara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw.,29 dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat beliau. Maka dari itu, Dr.Muhammad at-Tijani dikutip Husein Ja’far menyatakan as-Syiah hum Ahlussunnah (Kelompok Syiah [imamiyah] mereka itulah Ahlussunnah).30 Sebab, Sayyidina Ali merupakan salah satu sepupu, sahabat, sekaligus menantu
28
Nabi
yang
konsisten
mengikuti,
meneladani,
dan
HM.Attamimy, SYI‟AH; Sejarah, Doktrin dan Perkembangan di Indonesia (Yogyakarta: Graha Guru, 2009) h.1. 29 M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera Hati, 2007) h.57. 30 Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, (Jakarta; MAARIF Institute, 2015) Vol.10, No.2. h.107
44
mengajarkan pengikutnya untuk taat pada Sunnah Nabi, sehingga Nabi sendiri dalam hadis mutawatir menyebutnya sebagai pintu Kota ilmu Nabi “ana madinatul ilmi wa aliyun babuha”. Oleh karena itu, sejak Nabi wafat, Sayyidina Ali menjadi rujukan utama (termasuk oleh tiga khalifah sebelumnya) tentang berbagai urusan agama. Hingga Khalifah umar penah menyatakan; “jika tidak ada Ali, maka celakalah Umar, (laula Ali lahalaka Umar)”.31 Begitu pula Sunni, secara bahasa berarti Syiah. Sebab Sunni juga pecinta dan pengikut Sayyidina Ali sebagai salah satu khalifah dari Khulafa ar-Rasyidin. Tentu ulama dan kaum Sunni sangat keberatan jika mereka tidak digolongkan sebagai pecinta dan pengikut Sayyidina Ali. Karenanya secara bahasa, Ahlussunnah hum asy-Syiah. 2. Pokok-pokok Ajaran Sunni dan Syiah Kelompok Sunni dan Syiah sama-sama memiliki pokok ajaran. Pokok ajaran keduanya hanya berbeda dalam istilah sedangkan maknanya sama. Kaum Syiah menyebut rukun Islam dengan istilah furu‟ad-din dan rukun iman dengan istilah ushul ad-din. Kaum Sunni menyebut rukun iman dengan Arkanul Iman dan Arkanul Islam untuk rukun Islam.
31
Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, Vol.10, No.2. h.107
45
Menurut Syaikh Muhammad Husein al-Kasyif al-Ghitha seorang ulama besar Syiah dikutip oleh Quraish Syihab, pada prinsipnya rukun iman mengandung tiga poin. “Islam dan iman adalah sinonim, yang keduanya secara umum bertumpu pada tiga rukun yaitu: Tauhid (Keesaan Tuhan), Kenabian, dan Hari Kemudian. Jika seseorang mengingkari salah satu dari ketiganya, maka dia bukanlah seorang mukmin, bukan juga seorang Muslim, tetapi apabila ia percaya tentang keesaan Allah, kenabian penghulu para nabi, yakni Nabi Muhammad SAW., serta percaya tentang hari pembalasan (kiamat), maka adalah seorang muslim yang benar. Dia mempunyai hak sebagaimana hak-hak orang-orang Muslim yang lain. Darah, harta, dan kehormatannya haram diganggu. Kedua kata itu juga (Iman dan Islam) memiliki pengertian khusus yaitu ketiga rukun tersebut ditambah dengan rukun keempat yang terdiri dari tonggak-tonggak, yang atas dasarnya Islam dibina, yaitu shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad.32 Keempat rukun inilah yang merupakan prinsip-prinsip iman dan Islam bagi umat Islam secara umum, dan menurut Syaikh Muhammad Husein, tidak ada perbedaan antara golongan Syiah (imamiyah) dengan Ahlussunnah dalam hal itu. Selanjutnya, Syaikh Muhammad Husein dikutip Quraish Syihab menyatakan; “Syiah imamiyah menambahkan rukun kelima, yaitu kepercayaan kepada Imam, yang maknanya adalah percaya bahwa imamah adalah kedudukan yang bersumber dari Tuhan sebagaimana kenabian (yang juga bersumber dari Tuhan).33
32
M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera Hati, 2007) h.86 33 M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera Hati, 2007) h.87
46
Imamah atau kepercayaan terhadap imam dalam tradisi syiah bukan merupakan ushuluddin, melainkan hanya ushul al-madzhab yakni hasil elaborasi sesuai tafsiran dan identitas mazhab masingmasing, sebagaimana ditegaskan Ruhullah Imam Khomeini dikutip oleh Husein Ja’far menyatakan bahwa; “imamah dalam syiah bukanlah ushuluddin, melainkan ushul al-mazhab oleh karena itu, yang mengingkarinya dinilai bukan atau keluar dari Syiah, bukan atau keluar dari Islam.”34 Ahlussunnah juga berpendapat, sebagaimana kelompok syiah, bahwa iman dan Islam sinonim, serta memiliki perngertian umum dan khusus. Namun, mayoritas Ahlussunnah menyatakan bahwa iman terdiri dari enam rukun, yaitu keimanan kepada: 1) Allah SWT, 2) Para malaikat, 3) Kitab-kitab Suci, 4) Para Rasul, 5) Hari Kemudian, 6) Percaya tentang Qadha dan Qadar. Sedangkan Rukun Islamnya ada Lima hal yaitu, 1) Syahadat, 2) Shalat, 3) Zakat, 4) Puasa, dan 5) Haji.35
34
Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, Vol.10, No.2. h.109 35 M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, h.87
BAB III GAMBARAN UMUM DESA JAMBESARI A. Kondisi Geografis Desa Jambesari
Gambar 3.1 Desa jambesari adalah salah satu desa yang berada dikecamatan Jambesari Darus Solah, Kabupaten Bondowoso. Luas desa Jambesari 467,2 Ha atau 4,672 km2. Menurut keterangan masyarakat desa setempat, bahwa kata-kata Jambesari berarti pinang yang berbunga. Diceritakan dahulu sebelum desa jambesari berbentuk sebuah desa, daerah tersebut banyak sekali tumbuh pohon pinang; di pekarangan, ladang dan terbanyak di persawahan. Menjelang musim berbuah tiba, Pohon-pohon pinang tersebut mulai mengeluarkan bunga-bunga yang indah, sehingga dinamakanlah daerah yang banyak dengan pohon pinang yang berbunga tersebut dengan nama Jambesari. Desa yang memiliki jarak sekitar 12 kilometer dari ibu Kota kabupaten/Kota Bondowoso ini memiliki batas wilayah; 1. Sebelah utara
: Desa Grujugan Lor
47
48
2. Sebelah selatan
: Sumber Kemuning
3. Sebelah timur
: Jambe Anom
4. Sebelah barat
: Pejagan
Desa Jambesari termasuk daerah dataran rendah dengan luas 405 Ha atau 4,05 km2. Selain itu wilayahnya terdiri dari lima dusun yaitu dusun Krajan, dusun Gabugan, dusun Karang Malang, dusun Beddian, dan dusun Angsanah. Lahan di desa Jambesari sebagian besar dimafaatkan untuk lahan pertanian. Sebagaimana data berikut; Sawah irigasi teknis
148,7 Ha
Sawah irigasi ½ Teknis
135,5 Ha
Sawah tadah hujan
40 Ha
Tegal/ ladang
15 Ha
Pemukiman
9,7 Ha
Pekaragan Tanah bengkok Sawah desa Perkantoran pemerintah
111,3 Ha 13 Ha 5 Ha 4,3 Ha
Pertokoan
9 Ha
Dan lain lain
5 Ha
Dari data diatas dijelaskan bahwa desa jambesari memiliki potensi sumberdaya alam dibidang pertanian, sehingga tidak heran jika sebagian besar
49
masyarakat desa jambesari memilih bertani dan menjadi buruh tani sebagai pekerjaan kesehariannya, Disamping terdapat juga masyarakat memilih sebagai wiraswasta. B. Kondisi Demografis 1. Penduduk Berdasarkan data dari profil desa dan kelurahan kabupaten bondowoso pada tahun 2015, jumlah penduduk desa Jambesari 7.507 jiwa, dengan perbandingan penduduk laki-laki
3.916 orang,
sedangkan penduduk perempuannya 3.591 orang. Berikut data penduduk desa Jambesari berdasarkan usia; Tabel 3.1 Data Penduduk Desa Jambesari Berdasarkan Usia Kelompok Umur
Laki-laki (Orang)
Perempuan (Orang)
0-14
727
724
15-20
394
335
21-25
253
292
26-30
326
302
31-35
346
285
35-40
303
266
41-45
318
260
46-50
278
267
50
51-55
273
231
56-60
209
151
61-65
175
168
66-70
122
123
71-75
117
99
Diatas 75
74
84
3916
3591
Total
Kehidupan masyarakat desa Jambesari masih sangat kental dengan kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya, yakni tradisional dan sederhana. Masyarakat desa jambesari saling menghargai dan menghormati satu dengan lainnya. Meskipun, sempat adanya provokasi terkait dengan keyakinan keagamaan yakni perbedaan paham ajaran. Namun, dengan karakter kekerabatan yang kuat, dan solidaritas yang tinggi masyarakat jambesari menjalin kehidupan yang harmonis. Hal ini, dapat diketahui ketika misalkan, salah satu warga mengalami musibah kematian, warga lainnya akan berbondong-bondong untuk berkunjung sekaligus turut berduka cita, biasanya dengan membawa seserahan semacam beras, gula ataupun lainnya.
51
2. Mata Pencaharian Pokok Desa jambesari yang memiliki potensi sumberdaya alam di bidang persawahan sehingga menjadikan masyarakat jambesari memilih
petani
sebagai
pekerjaan
utamanya,
disamping
ada
masyarakat berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), buruh migran dan lainnya. Hal ini sesuai dengan data profil desa dan kelurahan kabupaten bondowoso pada tahun 2015, sebagai berikut; Tabel 3.2 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Jambesari No Jenis Pekerjaan
Laki-Laki (Orang)
Perempuan (Orang)
1
Petani
968
302
2
Buruh Tani
208
117
3
Buruh migran
152
124
4
Pegawai negeri sipil
16
2
5
Peternak
4
-
6
Bidan swasta
-
1
7
Pensiunan
6
2
8
Wiraswasta
966
90
9
Lain-lain
1599
2953
Jumlah
3916
3591
Jumlah Total Penduduk
7507
52
3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan di Desa Jambesari masih dapat dikatakan rendah, sebab masih banyaknya masyarakat desa Jambesari yang hanya tamat sekolah Dasar (SD) dengan perbandingan jumlah lakilakinya 1731 orang dan perempuannya 1622 orang. Sedangkan masyarakat yang tamat S-1/Sederajat dengan perbandingan jumlah laki-lakinya 48 orang dan perempuannya 20 orang. Berikut tabel tingkat pendidikan masyarakat desa jambesari sesuai dengan profil desa dan kelurahan kabupaten Bondowoso pada tahun 2015. Tabel 3.3 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Jambesari No Tingkat Pendidikan
4
LakiLaki (Orang) Usia 7-18 tahun yang tidak pernah 96 sekolah Usia 7-18 tahun yang sedang 621 sekolah Usia 18-56 tahun tidak pernah 518 sekolah Usia 18-56 tahun tidak tamat SD 540
5
Usia 18-56 tahun tidak tamat SMP
629
603
6
Usia 18-56 tahun tidak tamat SMA
321
337
7
Tamat SD/sederajat
1731
1622
1 2 3
Perempuan (Orang) 74 624 650 724
53
8
Tamat SMP/sederajat
511
296
9
Tamat SMA/sederajat
36
35
10
Tamat D-1/sederajat
2
-
11
Tamat D-2/sederajat
2
1
12
Tamat D-3/sederajat
12
14
13
Tamat S-1/sederajat
48
20
14
Tamat S-2/sederajat
3
2
15
Tamat S-3/sederajat
-
-
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat jambesari ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi. Dengan kehidupan yang serba pas-pasan tidak sedikit masyarakat desa jambesari yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi. Selain itu pula, kesadaran akan pentingnya dunia pendidikan untuk anak-anaknya juga menjadi faktor rendahnya tingkat pendidikan di desa Jambesari. 4. Agama
54
Gambar 3.2 Jumlah penduduk dari segi
keagamaan,
masyarakat
desa
Jambesari mayoritas beragama Islam. Hal ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut; Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agamanya No Agama
Laki-Laki (Orang)
Perempuan (Orang)
3916
3591
1
Islam
2
Kristen
-
-
3
Katholik
-
-
4
Hindu
-
-
5
Budha
-
-
6
Konghucu
-
-
3916
3591
Jumlah
Adapun terkait dengan golongan kepercayaan dalam agama Islam, mayoritas masyarakat desa Jambesari meyakini ahlussunnah waljamaah
sebagai
aqidahnya.
Disamping
terdapat
keyakinan
55
masyarakat desa Jambesari terhadap ajaran Syiah dengan jumlah 250 orang.1 C. Kehidupan Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari Masyarakat desa yang berjarak 12 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten/ Kota Bondowoso tersebut masih tergolong tradisional, hal ini dapat diketahui dengan minimnya pengetahuan masyarakat desa jambesari terhadap dunia modern. Masyarakat desa Jambesari mayoritas meyakini agama Islam sebagai dasar keyakinan dalam menjalankan kehidupan kesehariannya. Dalam agama Islam terdapat beberapa aliran yang hingga saat ini masih dikenal dan diikuti oleh sekolompok masayarakat, misalnya aliran Sunni dan Syiah. Golongan Sunni berlandaskan kepada al-quran dan Sunnah Nabi Saw sebagai pedomannya, sedangkan golongan Syiah berlandasakan kepada Al-Qur’an dan Ahlulbayt Nabinya. Keduanya sama-sama meyakini al-qur’an sebagai landasan untuk menjalankan kehidupan, dan berbeda pada Sunnah dan ahlulbayt, meskipun pada dasarnya keduanya sama saja, maksudnya ahlulbayt yang berarti keluarga Nabi kumpulan yang paling dekat dengan Nabi Saw tentunya melaksanakan Sunnah yang diajarkan oleh Nabinya. Akan tetapi hal ini msih banyak belum disadari oleh masyarakat pada umumnya. Sehingga
1
Data pribadi Mukhlis (tokoh Syiah) desa Jambesari, “Data Masyarakat/Ikhwan Jambesari”.
56
ketika berbicara Sunni dan Syiah sudah pasti tidak jauh dari pembahasan konflik antara keduanya. Ketika didaerah lain golongan Sunni dan Syiah selalu terjadi gesekan, di desa Jambesari justru hal sebaliknya yang nampak, yakni kerukunan antara penganut golongan yang berbeda tersebut. Masyarakat golongan Sunni dan Syiah telah menyatu. Hal ini terlihat ketika salah satu dari keduanya sedang melaksanakan tradisi atau ritual keagamaan, mereka saling menghargai dengan tidak melarang untuk mengadakan tradisi tersebut. Adapun tradisi keagamaan yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat setempat adalah; 1. Hari-hari besar dalam Islam. Kegiatan keagamaan dalam menyambut hari-hari besar dalam Islam yang masih sering dilaksakan oleh masyarakat desa Jambesari adalah Muludan, Isra’Miraj dan lainnya. Muludan dan Isra’ Mi’raj Nabi adalah kegiatan keagamaan yang dilakukan masyarakat muslim pada umumnya, yakni merayakan hari lahir Nabi besar Muhammad SAW dan Isra’ Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram ke Masjid Al-Aqsa. Biasanya dilaksanakan di Masjid-masjid dengan membaca, do’a-do’a, shalawatan atau puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW dan ceramah agama oleh Habaib/Kiyai/tokoh agama setempat atau sengaja mendatangkan dari daerah lain.
57
2. Yasinan Yasinan adalah kegiatan keagamaan berupa pembacaan surat Yasin dan Tahlil serta do’a yang biasanya dilaksanakan setiap malam Jum’at, setelah shalat Maghrib, yang diadakan di musholamushola. Peserta Yasinan biasanya adalah jama’ah shalat Maghrib di Mushola. Selain dilaksanakan secara rutin pada malam Jum’at, kegiatan Yasinan
sering
dilaksanakan
pada
saat-saat
memperingati
meninggalnya seseorang, istilahnya lok telloen yang dilaksanakan pada hari ke-3, hari ke-7 (tok Petto’en), hari ke-40 (empak polo arenah), hari ke-100 (nyatos), hari ke-1000 (nyibuh). 3. Anjangsana Anjangsana adalah kegiatan membaca tahlil dan shalawat nariyah yang dilakukan oleh perangkat desa, biasanya dilaksanakan dirumah-rumah perangkat desa secara bergiliran. Menurut keterangan warga setempat, anjangsana berarti berkeliling dengan adanya tujuan, yakni silaturrahmi guna mempererat hubungan antar pengurus desa. Golongan Sunni dan Syiah sama-sama meyakini dan melaksanakan tradisi-tradisi keagamaan tersebut. Sehingga dengan adanya tradisi tersebut, masyarakat Sunni dan Syiah saling berbaur satu dengan yang lainnya.
58
Meskipun ada tradisi keagamaan yang dilakukan oleh golongan Sunni dan Syiah secara masing-masing, misalkan golongan Syiah setiap malam jumat selain membaca tahlil, mereka juga membaca do’a kumail, yang konon adalah do’a yang diajarkan oleh para imam yang mereka yakini. Selain itu juga, golongan Syiah sering mengadakan peringatan kelahiran maupun kematian para imam mereka. Kegiatan tersebut biasanya hanya dilakukan oleh intern golongan Syiah.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA Setelah penulis melakukan penelitian di desa Jambesari, terus berkembangnya ajaran Sunni umumnya, dan ajaran Syiah khususnya di desa Jambesari ini tidak lepas dari komunikasi, dan kebudayaan yang terdapat pada ajaran Sunni maupun Syiah, sehingga tidak jarang ditemukan bahwa terdapat saling mempengaruhi antara komunikasi dan budaya dalam keseharian masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 2, Menurut teori komunikasi antarbudaya Edward T. Hall, Hall mengaitkan komunikasi dengan budaya memiliki hubungan sangat erat. Menurutnya, communication is culture and culture is communication. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini terlihat pada masyarakat desa Jambesari golongan Sunni maupun Syiah. Dimana dalam menjelaskan keyakinan ataupun ajaran yang dipahaminya, seperti memaknai kehidupan didunia, tatacara beribadah ataupun berinteraksi terhadap sesama keyakinan ataupun berbeda keyakinan, komunikasi dijadikan alat utamanya.
59
60
Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Dalam ajaran Sunni dan Syiah, yang keduanya merupakan dua aliran besar dalam Islam, memiliki kebudayaan masing-masing, yang sekilas berbeda namun pada hakikatnya sama, yakni mengikuti al-Quran dan Sunnah Nabinya. Misalkan yang baru-baru ini dilaksanakan oleh masyarakat desa Jambesari yakni menyambut dan merayakan salah satu hari besar dalam Islam Isra’ Mi’raj Nabi SAW. Masyarakat desa Jambesari merayakannya dengan berkumpul dimasjid atau musholla membaca do’a dan solawatan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW. A. Komunikasi Antarbudaya dan Agama Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari Sejak kehadirannya pada tahun 2006 di desa Jambesari, paham Syiah tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini, diduga karena paham Syiah memiliki ajaran yang berbeda dengan ajaran yang dipahami masyarakat setempat, khususnya ajaran dari para sesepuh desa Jambesari. Beragam isu negatif yang ditujukan kepada masyarakat golongan Syiah, mulai dari cara shalat berbeda, memperbolehkan untuk tukar menukar istri, alQur’annya berbeda, dan isu-isu yang mengandung unsur provokatif lainnya. Berikut hasil kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang tokoh Syiah, Bapak Mukhlis;
61
“Ya tadi itu, bisa tukar menukar istri, bukan bicara mut’ah, bukan. Kalo mati dihadapkan ketimur, dibungkus kain hitam, kalo caci maki sahabat kan lagu lama, ya paling nggak sholat jumat padahal shalat jumat, ga suka tahlil, padahal sering tahlil, kalo mati dibungkus kain hitam, padahal kain putih meskipun ada tulisan jausyannya.1 Beredarnya isu-isu negatif dan berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya, yang terdengar dikalangan masyarakat Jambesari yang sengaja disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini, menjadikan salah pahamnya masyarakat golongan non Syiah menilai masyarakat golongan Syiah. Sehingga meletuplah kerusuhan di desa Jambesari pada tahun 2006 tersebut. Dampak dari isu-isu provokatif tersebut, beragam perlakuan yang didapatkan dan dirasakan oleh masyarakat golongan Syiah; pembakaran rumah milik seorang tokoh Syiah, pengajian yang dibubarkan paksa, tidak saling tegur sapa antara masyarakat golongan Syiah dengan golongan masyarakat Sunni, hingga terputusnya tali silaturrahmi dan berakibat kehilangan pekerjaannya. Dalam hal kekeluargaan misalnya, antara paman dengan ponakan bermusuhan karena salah satunya mengikuti ajaran Syiah yang dianggap sesat. Muda mudi yang bertunangan pun dibatalkan karena perbedaan keyakinan tersebut. Begitu pula dalam hal pekerjaan, masyarakat Jambesari yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani, sulit mendapatkan pekerjaan 1
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
62
karena perbedaan keyakinan tersebut. Seorang berpaham Sunni pemilik lahan, tidak mempekerjakan petani untuk menggarap sawahya yang berpaham Syiah, dan begitu pun sebaliknya. Seiring berjalannya waktu, kehidupan masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari mulai kondusif, yang mulanya masyarakat tertutup sekarang sudah terbuka. Yang mulanya, masyarakat Syiah tidak mendapat pekerjaan, sekarang mendapat pekerjaan yang layak, seperti masyarakat lain pada umumnya. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang Syiah, Ahmad Rowi; “Dulu, semenjak adanya penyerangan itu masyarakat Sunni menutup diri terhadap masyarakat Syiah, contohnya saat tahlilan, walimah kita masyarakat syiah tidak diundang, ketika bekerja pun banyak ihwan kita tidak di percaya lagi, tapi saya tetap men-sabarkan mereka. Dan mengatakan kalo kerja ya kerja degan benar, jangan banyak ngomong. Dan Alhamdulillah sekarang justru ihwan kita yang dipercaya sebagai kepala di sawah. Dan masyarakat disini sudah mulai mengerti dan tidak mempermasalahkan perbedaan itu.”2 Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa, lambat laun masyarakat Jambesari memahami terkait beragamnya keyakinan dalam Islam. Meskipun terdapat perbedaan dalam beberapa hal, masyarakat Jambesari lebih memperhatikan persamaan antara kedua keyakinan yang berbeda ini. Seakan memang terlihat tidak acuh terhadap perbedaan, akan tetapi masyarakat Jambesari justru semakin dewasa menyikapi perbedaan 2
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmad Rawi, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016, Pukul 10.00 WIB.
63
karena prinsip masyarakat Jambesari yang terpenting adalah ketentraman dan kerukunan dalam menjalani kehidupan. Berikut hasil wawancara peneliti dengan bapak Mukhlis: “Sama-sama punya prinsip yang Syii, Syii; yang Sunni; Sunni, ayo kita bangun kerukunan. Entah itu Sunni, entah itu Syii yang penting kita bisa baca syahadat itu Islam. Banyak yang mengatakan seperti ini sudah. Sama-sama Islam kok.”3 B. Analisis Komunikasi antarbudaya dan Agama Golongan Sunni dan Syiah menurut Teori Andi Faisal Bakti (teori duapuluh) Setelah peneliti melakukan analisis terhadap komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah diatas, peneliti akan melakukan analisis data dengan menggunakan teori yang dikemukakan Andi Faisal Bakti melalui teori komunikasi antaragama dan budaya (KAAB) yang berjumlah dua puluh. Dalam analisis ini, peneliti menggunakan beberapa teori dari hasil temuan dilapangan. Dari dua puluh teori hanya digunakan beberapa teori saja. Pertama, Adoration of Scriptures lawan dari teori ini adalah Interpretation of Scriptures. Kedua, Monotheism (idol destriction) / Humanism (God created by Humans) lawan dari teori ini adalah paganism (idol worshipping). Ketiga, Sectarian Communitarism lawan dari teor ini adalah Global Communitarism. Tiga teori inilah temuan peneliti yang akan peneliti analisis.
3
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
64
1. Adoration of scriptures Adoration of scriptures adalah sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab sucinya). Lawan dari teori ini adalah Interpretation of Scriptures adalah sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memaknai atau memahami teks (kitab suci) yang menjadi pegangannya. Dalam Islamteori ini sejalan dengan Ijtihad. Dalam tradisi golongan Sunni dan Syiah, ketika terdapat salah seorang meninggal dunia, selain masyarakat membantu mengurus prosesi memandikan hingga menguburkan, setiap malam selama tujuh malam diadakan pembacaan tahlil yang dikhususkan untuk orang yang meninggal tersebut. Biasanya, masyarakat yang hadir hanya membaca dan tanpa mengetahui maknanya. Secara keseluruhan bacaan yang dibaca dalam perayaan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Serangkaian do’a fatihah yang diperuntukkan kepada Nabi, keluarga nabi, para sahabat-sahabat Nabi, para Wali, para pengikut Nabi, para orang-orang baik dan para malaikat,kemudian para ahli kubur terutama dari keluarga yang membaca tahlil. Biasanya pembacaannya dipisah-pisah dengan masing-masing pembacaan surat Al-Fatihah. 2) Pembacaan surat Al-Ikhlas sebanyak tiga kali, Al-Falaq satu kali dan Al-Nas satu kali. Pada setiap akhir pembacaan masing-masing
65
surat itu dipisah dengan pembacaan Lailahaillahu Allahu Akbar Walillahil Hamdu. Ada pula yang membacakan surat yasin. 3) Pembacaan surat Al-Fatihah dan dilanjutkan dengan pembacaan beberapa penggalan ayat-ayat Al-Qur‟an, diantaranya surat AlBaqarah dari ayat 1-5, Al-Baqarah ayat 163, Al-Baqarah ayat 255 atau ayat kursi, Al-Baqarah 284-286, dipisah dengan bacaan irhamna ya arhamarrahimin sebanyak tujuh kali, kemudian dilanjutkan dengan surat Hud ayat 73, surat Al-Ahzab ayat 33, AlAhzab ayat 56, lalu dilanjutkan dengan pembacaan sholawat, setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan surat Ali Imran ayat 173, Al-Anfal ayat 40, dan ditutup dengan kalimat Tahlil sebanyak seratus kali. Sebagai penutupnya bianya dibacakan do’a tahlil Selain tahlil, golongan Sunni dan Syiah dalam menyambut hari besar dalam Islam juga menggelar pengajian. Adapun pengajian yang baru-baru ini digelar yakni Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad. Gambar 4.1
66
Gambar diatas tampak Bapak Ahmad Rawi memimpin pengajian, dengan melantunkan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW, dan masyarakat dengan khidmat mengikuti pengajian tersebut. 2. Monotheism (idol destriction) / Humanism (God created by Humans) Monotheism (Idol destruction) / Humanism (God created by humans) adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang percaya kepada Tuhan yang satu. Lawan dari teori ini adalah paganism (idol worshipping) yakni melakukan penyembahan kepada yang selain Tuhan. Baik itu terhadap sesajen, jimat, dukun atau membaca ayatayat tertentu untuk tujuan tertentu. Dalam Islam teori ini sejalan dengan at-Tauhid. Golongan Sunni dan Syiah sebagai dua aliran besar dalam Islam sudah tentu sama-sama meyakini dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah yang patut disembah dan Muhammad utusan Allah (Assyhadu anla ilaha illa Allah Wa asyhadu anna Muhammadun rasulullah). Dengan bersaksi bahwa hanya Allah lah yang patut disembah, masyarakat golongan Sunni dan Syiah mengerjakan segala sesuatu yang telah diperintahkan serta menjauhi segala larangan-larangan-Nya.
67
Gambar 4.2 Gambar
diatas
tampak
masyarakat
golongan
Syiah
sedang
melaksanakan ibadah shalat Jum’at, yang merupakan kewajiban bagi umat Muslim untuk melaksanakannya. 3. Sectarian Communitarism Sectarian communitarianism adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang patuh hanya kepada golongan/komunitasnya saja. Lawan dari teori ini adalah Global Communitarism. Dalam Islam teori ini sejalan dengan al-Qoum. Sebagai golongan yang sama-sama besar dalam islam, tentu golongan Sunni dan Syiah memiliki pengaruh besar terhadap para penganutnya, sehingga tidak heran jika rasa cinta terhadap golongannya juga sangat besar. Di desa Jambesari, kedua penganut golongan tersebut sangat mencintai dan membangga-banggakan alirannya. Sehingga dengan adanya rasa unggul dari golongan lain tersebut, menjadikan masyarakat golongan
68
Sunni dan Syiah konflik. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak Mukhlis; “Kalo dulu iya, merasa paling benar sampe-sampe temanteman disini nyari lawan untuk berdialog, sampe-sampe ada statement dari temen-temen kalo dalam Bahasa maduranya “mun lambek eberik ngakan calatong, satiyah eberik ngakan roti, yeh nyaman “(kalo dulu dikasi makan kotoran, sekarang dikasi makan roti, ya merasa bangga. Terus kiyai-kiyai disini dibodoh-bodohkan sama teman-teman. “mun kiyaenah been roh buduh” ( kiyai kamu itu bodoh). Dan emang ada dasarnya, iya kan. Sampe terjadi gejolak. Terus saya redam, kiai dengan teman-teman saya redam. Yang mulutnya agak tajam ini dikumpulkan tiap malam ada pengkajian-pengkajian, dan sekarang sudah aman-aman sajah.”4 Banyaknya sikap merasa dirinya paling unggul dikalangan masyarakat Syiah ini, tidak dibenarkan oleh tokoh Syiah sendiri yakni Ahmad Rawi. Sehingga beliau menekankan untuk tidak merasa unggul dan selalu menjunjung ukhuwah Islamiyah. “Ketika saya diminta berceramah, yang saya tekankan adalah ukhuwah Islamiyah. Jangan saling merasa unggul, karena kita tidak tau siapa yang lebih unggul, Itu urusan ALLAH SWT. Orang Sunni punya alesan sendiri kenapa mereka iku syiah, dan orang syiah juga punya alasan. Yah intinya jangan merasa paling benar.”5 Sebagai salah seorang yang didengar nasehat-nasehatnya, setelah mengeluarkan statement tersebut, masyarakat golongan Syiah patuh. Sehingga mulai lebih dewasa memahami perbedaan dan selalu menjalin
4
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB. 5 Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmad Rawi, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016, Pukul 10.00 WIB.
69
ukhuwah Islamiyah, sehingga terjalinnya komunikasi antarbudaya masyarakat golongan Sunni dan Syiah. C. Faktor yang Mempengaruhi komunikasi Antar Budaya dan Agama Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari Terjalinnya kerukunan antar golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari, disebabkan terjalinnya komunikasi antarbudaya dan agama yang dilakukan masyarakat golongan Sunni dan Syiah dalam kehidupan sehariharinya. Hal ini, terlihat jelas bahwa Golongan Sunni dan Syiah dalam komunikasi antarbudaya dipengaruhi beberapa faktor, yakni Faktor Kognitif, faktor gaya pribadi, dan faktor lainnya. 1. Faktor Kognitif Golongan Sunni dan Syiah Faktor kognitif yang dimaksud adalah pengetahuan, pengalaman dan pikiran seseorang yang membentuk konsep antarbudaya. Pengetahuan akan budaya sendiri dan orang lain ini nantinya akan mempegaruhi perilaku dan efektivitas komunikasi antarbudaya. Dalam keseharian masyarakat golongan Sunni dan Syiah sama-sama telah mengetahui mengenai adanya beberapa perbedaan dalam ajaran Sunni dan Syiah. Berikut adalah hasil kutipan wawancara peneliti dengan H.Abdullah (salah satu tokoh Sunni) terkait adanya perbedaan antara Sunni dan Syiah: “Yah paling Adzan itu. Kalo Syiah menambahkan Hayya ala hairil Amal. Karena pake speaker jadi kedengaran. Tentang lainnya saya tidak tau, Bagaimana do’anya orang Syiah, saya tidak tau.
70
Sepengetahuan saya sekilas, wudlu. Shalat, Cuma saya tidak pernah melihat langsung. Tetapi informasi yang beredar di masyarakat, shalatnya bisa digabung (rangkos), kalau punya pekerjaan takut ga nutut waktu asharnya, jadi digabungin di waktu dzuhurnya. Seperti itu informasi yang beredar dimasyarakat. Tetapi saya tidak mengetahui bettul, yang penting shalatnya sendiri benerin. Apa yang diajarkan sesepuh dulu, itu yang di ikuti.”6 Sadar
dengan
adanya
perbedaan
dalam
kegiatan
keseharian
masyarakat golongan Sunni dan Syiah tidak menjadikan masyarakat kedua golongan tersebut terus-terusan mempermasalahkan perbedaan, justru mereka tidak acuh terhadap perbedaan tersebut, dan fokus untuk menjalankan ajarannya masing-masing. 2. Faktor Gaya Pribadi Golongan Sunni dan Syiah Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga ditentukan oleh perilaku gaya berdasarkan gaya pribadi (self-oriented). Seseorang yang terlalu menampilkan self-orieted menjadikannya congkak, dan menunjukkan gagasan yang tidak menarik atau membosankan. Berikut beberapa bentuk gaya pribadi yang seringkali tampil dalam komunikasi antarpribadi, yang nantinya peneliti jadikan indikator dalam efektivnya komunikasi antarbudaya masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari; a. Etnosentrisme
6
WIB.
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00
71
Etnosentrisme
yakni
adanya perasaan lebih unggulnya
golongan atau kelompok sendiri dibandingkan dengan golongan yang lainnya. Sikap demikian ini yang menjadikan sulit terjalinnya komunikasi antarbudaya. Sejak kehadirannya, pada tahun 2006 dan masyarakat Jambesari berbondong-bondong mengikuti ajaran Syiah, masyarakat golongan Syiah merasa sedang berada dijalan kebenaran, dan hanya mereka yang benar. Adanya perasaan paling benar dibandingkan dengan golongan yang lainnya ini, menyulitkan masyarakat golongan Syiah berkomunikasi dengan golongan yang lainnya. Sehingga, tidak heran jika pada tahun 2006 tersebut, masyarakat Syiah dijauhi atau bahkan terjadi konflik dengan masyarakat non-Syiah. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan Bapak Mukhlis salah seorang tokoh Syiah; “Kalo dulu iya, merasa paling unggul. sampe-sampe teman-teman disini nyari lawan untuk berdialog, sampe-sampe ada statement dari temen-temen kalo dalam Bahasa maduranya “mun lambek eberik ngakan calatong, satiyah eberik ngakan roti, yeh nyaman “(kalo dulu dikasi makan kotoran, sekarang dikasi makan roti, ya merasa bangga. Terus kiyai-kiyai disini dibodoh-bodohkan sama teman-teman. “mun kiyaenah been roh buduh” ( kiyai kamu itu bodoh). Dan emang ada dasarnya, iya kan. Sampe terjadi gejolak.” 7 Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa, Adanya sikap etnosentris yakni merasa paling benar yang ditunjukkan
7
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
72
masyarakat golongan Syiah terhadap ajaran agama Islammenjadikan masyarakat golongan Sunni tidak terima, sehingga meruntuhkan kerukunan dan menimbulkan konflik. Hal ini menunjukkan bahwa etnosentrisme
dapat
mempengaruhi
efektivitas
komunikasi
antarbudaya. b. Toleransi, Sikap Mendua dan Keluwesan Golongan Syiah yang memiliki perbedaan dalam beberapa hal dengan keyakinan golongan Sunni pada umumnya, tidak serta merta langsung diterima kehadirannya. Tidak menyapa, jaga jarak merupakan beberapa contoh yang terekam dalam keseharian masyarakat Jambesari, hal ini menunjukkan tidak efektivnya komunikasi antarbudaya kedua golongan tersebut. Namun, tingginya kesadaran masyarakat Jambesari akan toleransi dengan golongan yang berbeda, mendukung efektivnya komunikasi antarbudaya sehingga terbentuk kehidupan yang rukun. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan H.Abdullah; “Terkait kekeluargaan, sudah tidak ada masalah apaapa, karena masyarakat tidak memperpanjang persoalan perbedaan, ya si Sunni jalan apa adanya dengan keyakinannya dan yang Syiah juga sperti itu (Tak nabheng lanjheng) sudah membiarkan jalan sendiri-sendiri.”8
8
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
73
Berdasarkan hasil wawancara diatas, masyarakat Jambesari Golongan Sunni dan Syiah, sama-sama saling menunjukkan adanya rasa keluwesan, yakni masyarakat Jambesari tidak terus-terusan membahas perbedaan, dan mempersilahkan untuk menjalankan ibadahnya sesuai keyakinan masing-masing.
Berikut kutipan
wawancara peneliti bersama dengan bapak Ahmad Rawi; “Alhamdulillah sekarang responnya sudah baik, jika acara besar dalam Islamtidak sedikit masyarakat golongan sunni yang ikut bareng. Tetapi kalo acara milad atau menyambut kelahiran para imam masyarakat golongan sunni tidak ikut berpartisipasi dikarenakan kami mengadakannya hanya kecil-kecilan dan masyarakat responnya juga baik.”9 Berdasarkan hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa, dengan adanya tradisi keagamaan yang sama-sama diyakini dan dilaksanakan oleh golongan Sunni dan Syiah, menjadikan penganut kedua golongan tersebut saling berinteraksi, dan bertoleransi sehingga menjadikan komunikasi antarbudaya efektif dan tercipta kehidupan yang rukun antar masyarakat golongan Sunni dan Syiah. c. Empati Empati merupakan kemampuan untuk merasakan, melihat secara akurat, dan memberikan respons secara tepat kepada kepribadian, hubungan, dan lingkungan sosial seseorang.10 Sebagai
9
Wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Rowi, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB. 10 Larry A.Samovar dkk,Komunikasi Lintas Budaya, h.466
74
masyarakat yang hidup dipedesaan, golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari sering kali ikut merasakan hal-hal yang terjadi terhadap seseorang. Terdapat sesuatu yang unik pada masyarakat Jambesari perihal empati. Misalkan salah seorang golongan Sunni meninggal dunia, masyarakat desa Jambesari terlepas Sunni dan Syiah semuanya turut berduka dan mendatangi rumahnya, dan membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkannya. Berikut adalah hasil kutipan wawancara peneliti dengan bapak Mukhlis: “...Kalau ada kifayah, orang meninggal, Sunni Syii ngumpul sekarang, ngelayat semua. Ya kalo yang meninggal orang Syii, yang didepan mensholati orang Syii, kalo yang meninggal Sunni yang didepan orang Sunni. Secara upcaranya seperti itu.”11 Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa Empati tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan keseharian masyarakat Jambesari. Masyarakat golongan Sunni dan Syiah, sama-sama mengesampingkan keyakinannya disaat terdapat seseorang yang mengalami musibah. Sehingga dengan munculnya empati ini, komunikasi antara golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari berjalan efektif. d. Keterbukaan Semakin dewasanya masyarakat golongan Sunni dan Syiah memahami perbedaan, menjadikan pengikut kedua golongan tersebut
11
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
75
lebih terbuka dan memiliki keluwesan pribadi. Sedangkan menurut Devito sikap keterbukaan juga merupakan faktor untuk menciptakan relasi antarpribadi yang maksimum. Berikut hasil wawancara peneliti dengan H.Abdulah perihal sikap luwes masyarakat Jambesari; “Tidak, Semua ini tergantung lingkungan, tokoh terutama pimpinan desa. Alhamdulillah di sini setiap bulan ada shalawatan, orang sunni dan syiah di undang, karena sama-sama rakyatnya tidak dibedakan, atau mungkin bisa jadi dengan cara-cara seperti ini mereka kembali lagi ke tujuannya.”12 Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa setelah masyarakat Sunni mengetahui adanya perbedaan dengan ajaran Syiah, mereka tidak meyatakan golongan lain itu sesat, begitupun sebaliknya. Sehingga kedua golongan tersebut mau duduk bersama mengikuti acara bulanan yang di selengarakan oleh pimpinan desa. Acara tersebut biasanya diakhiri dengan berbincang-bincang santai oleh hadirin mengenai berbagai persoalan yang terjadi di desa Jambesari. Sehingga hal ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Jambesari baik golongan Sunni maupun Syiah. e. Kompleksitas Kognitif Kompleksitas kognitif mengacu pada kemampuan pribadi untuk mengetahui, dan mengalami orang lain. Perbedaan pemahaman mengenai ajaran Sunni dan Syiah hampir semua masyarakat 12
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB.
76
Jambesari mengetahui. Tentu pasti berbeda tingkatan pemahamannya. Meskipun adanya perbedaan antara kedua golongan tersebut, tak menjadi persoalan bagi masyarakat Jambesari. Hal ini yang membedakan masyarakat Jambesari dengan masyarakat lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh H.Abdullah sebagai berikut; “Bedanya masyarakat Jambesari dengan masyarakat lainnya, tidak memperpanjang persoalan. Orang syiah mau ngadain acara apapun selama dilingkungannya sendiri tidak masalah, karena itu emang sudah ajarannya. Yang menjadikan konflik itu kan memperpanjang persoalan perbedaan itu, debat, kalo aqidahnya ga kuat, trus panas dan marahmarah.”13 Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa masyarakat Jambesari mengetahui akan adanya perbedaan keyakinan, namun mereka tetap bersikap luwes selama tidak meresahkan kehidupan masyarakat Jambesari. f. Kenyamanan Antarpribadi Kenyaman antarpribadi, juga menjadi faktor efektivitas komunikasi antarbudaya. Apabila anda merasa tidak nyaman, tidak tenang dan tidak percaya dengan relasi antarpribadi dalam kebudayaan anda, maka anda pun merasa tidak lebih nyaman, tidak tenang, dan tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan anda. Hal ini yang dirasakan pengikut Syiah, pada awal kehadirannya.
13
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB.
77
Pengikut Syiah merasa terasing jika berada ditengah-tengah golongan Sunni. Tentu hal ini berdampak pada tidak efektivnya komunikasi antarbudaya. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Muhlis; “Kadang-kadang, kalo sempet ya dateng. Liat situasi dan kondisi kalau yang hadir kurang begitu suka yah ga hadir.”14 Berdasarkan kutipan hasil wawancara diatas, menunjukkan komunikasi antarbudaya akan berjalan efektiv, jika orang-orang yang berbeda budaya tersebut merasakan adanya kenyamanan dan ketenangan dalam berkomunikasi. Hal ini justru yang tidak dirasakan oleh masyarakat Syiah pada mulanya, sehingga ketika di undang mengahadiri acara yang diselenggarakan oleh golongan Sunni, mereka melihat siapa yang akan hadir terlebih dahulu. Akan tetapi berbeda halnya saat ini, masyarakat Jambesari sudah merasa saling memahami, sehingga kenyamanan pribadi pun tercipta. Berikut hasil wawanara peneliti dengan Bapak Muhlis; “Kalo sekarang sudah nyaman. Bukan Cuma saya, teman-teman juga sekarang sudah merasa nyaman. Bayangkan pekerjanya kiai matrawi ini Sunni, keluar masuk dapurnya. Dulu jangan kan masuk kerumahnya kiai matrawi, lewat aja gak mau. Ya klo sekarang keluar masuk sudah ga masalah.”15 g. Kontrol Pribadi
14
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB. 15 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
78
Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga sangat tergantung pada sejauh mana perseorangan dapat mengontrol pribadi terhadap lingkungan sekitarnya. Seseorang yang tidak terkontrol tentu akan menyebabkan perseteruan. Hal ini yang terjadi di Jambesari seseorang yang baru mengenal Syiah, menganggap Syiah itu ajaran yang paling benar dan selain Syiah salah. Sedangkan mayoritas masyarakat di Jambesari meyakini Sunni sebagai golongannya. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Muhlis; “Iyaa, merasa unggul, merasa paling benar. Biasa lah dek, namanya orang baru tau kok. Kayak punya barang baru, pengen ditonjolkan terus.”16 Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa masyarakat yang baru mengenal Syiah, merasa dirinya sudah paling benar. Dengan timbulnya perasaan paling benar tersebut menjadikan pengikut golongan Syiah ingin membenarkan segala yang dianggap salah atau tidak sesuai dengan ajarannya. Kurangnya kontrol terhadap diri sendiri, dan minimnya penyesuaian diri terhadap golongan Sunni, meresahkan masyarakat Sunni yang lebih lama hadir dan diyakini oleh masyarakat Jambesari pada umumnya. Lagi-lagi hal ini lah yang menjadikan gagalnya komunikasi antar masyarakat Sunni dan Syiah di Jambesari pada tahun 2006 silam. Sehingga dapat dikatakan bahwa
16
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
79
kontrol terhadap pribadi sangat diutamakan dalam terjalinnya komunikasi antarbudaya, dimana komunikator yang berbeda budaya dan
agama,
sama-sama
untuk
mengontrol
pribadinya
serta
penyesuaian terhadap budayanya. h. Kemampuan Inovasi Masyarakat golongan Syiah Jambesari memiliki program penggemukan sapi, yang program ini belum pernah ada sebelumnya. Program ini sengaja di bentuk oleh lembaga Syiah yang ada di desa Jambesari, melihat potensi desa Jambesari yang cukup strategis untuk mengembangkan program tersebut. Adanya inovasi ini, menjadi daya tarik tersendiri baik bagi kalangan masyarakat Syiah maupun masyarakat Sunni. Adapun yang dipercaya untuk mengurus sapi-sapi tersebut adalah salah seorang dari golongan Sunni meskipun program tersebut milik golongan Syiah. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Mukhlis: “Disini madrasah punya program menggemukkan sapi, yang ngerawat orang Sunni. Yah silahkan, kan tidak ada masalah.”17
17
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
80
Sehingga dengan adanya
inovasi
di
bidang program
penggemukan sapi ini menjadikan, lebih seringnya berkomunikasi antara pengikut gologan Sunni dan Syiah. i. Harga diri Harga diri (self esteem) juga sangat menentukan terjalinnya komunikasi antarbudaya. Dimana seorang komunikator dituntut untuk memiliki inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri dengan komunikan. Dalam relasi keseharian masyarakat golongan Sunni dan Syiah, saling bergantian posisi sebagai komunikator dan komunikan, sebab sifat komunikasinya yakni dua arah. Sehingga untuk menciptakan komunikasi yang efektif, diperlukan inisiatif untuk berelasi oleh kedua pengikut golongan tersebut. Hal ini yang dialami Bapak Mukhlis sebagai tokoh Syiah jika diundang untuk menghadiri acara golongan Sunni, beliau secara tidak langsung, mau atau tidak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan budaya golongan Sunni. Dalam isi pembicaraan pun, beliau hanya membahas ahlak. Karena ahlak atau berperilaku baik terhadap diri sendiri maupun orang lain sangat dianjurkan dan tidak mengenal golongan.
Berikut hasil
wawancara peneliti dengan bapak Mukhlis; “Kalo saya kumpul-kumpul dengan mereka, ya yang saya bicarakan masalah ahlak. Tapi ada pengecualiannya nih, biasanya saya ada tamu dan nanya-nanya tentang Syii ya sudah, saya sampaikan. Kalo saya berkomunikasi dengan mereka, saya tidak menyampaikan keyakinan-keyakinan.
81
Kecuali saya ditanya, ya terpaksa kan. Ya kalo orang mau beli ya saya jual. Saya sampaikan dengan cara-cara yang tidak menyinggung mereka, kita beri pengertian.”18 Berdasarkan hal diatas, adanya inisiatif yang dilakukan bapak Muhlis untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Sunni, dengan tidak membicarakan hal-hal yang berbeda dalam keyakinan kedua golongan tersebut. Hal ini juga ditekankan oleh bapak Muhlis terhadap masyarakat golongan Syiah yang lainnya. Sehingga dengan adanya rasa untuk menyesuaikan terhadap budaya yang berbeda akan menjadikan komunikasi antarbudaya berjalan efektif, serta terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun. j. Keprihatinan dan Kecemasan Komunikasi Munculnya rasa cemas yang dialami masyarakat golongan Syiah,
karena
disebabkan
beredarnya
penyesatan
terhadap
golongannya. Serta munculnya kecemasan yang dialami oleh masyarakat golongan Sunni, karena hadirnya keyakinan Syiah yang dianggap sesat dan tidak di perbolehkannya untuk berinteraksi dengan golongan tersebut, menyebabkan gagalnya komunikasi antarbudaya Sunni dan Syiah tersebut. Hal ini terjadi saat baru pertama kali hadirnya keyakinan Syiah di desa Jambesari, sehingga timbul konflik antar kedua golongan tersebut.
18
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
82
Semakin tingginya kecemasan untuk berinteraksi dengan golongan yang berbeda budaya sebagaimana yang dialami masyarakat Sunni dan Syiah di Jambesari, maka semakin kecil kemungkinan terjadinya komunikasi yang efektif. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kecemasan yang dialami oleh pengikut kedua golongan tersebut, maka akan membawa komunikasi kearah yang lebih baik, sehingga perbedaan diantara kedua golongan tersebut tertutupi karena adanya peleburan budaya yang dirasakan oleh pengikut golongan Sunni dan Syiah. Berikut hasil wawancara peneliti dengan bapak muhlis, terkait dengan semakin rendahnya
rasa
cemas
masyarakat
golongan
Syiah
untuk
berkmounikasi dengan masyarakat golongan Sunni: “Kalo sekarang sudah nyaman. Bukan Cuma saya, teman-teman juga sekarang sudah merasa nyaman. Bayangkan pekerjanya kiai matrawi ini Sunni, keluar masuk dapurnya. Dulu jangan kan masuk kerumahnya kiai matrawi, lewat aja gak mau. Ya klo sekarang keluar masuk sudah ga masalah.”19 Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat terlihat adanya rasa nyaman yang dirasakan oleh masyarakat Sunni dan Syiah dalam berkomunikasi. Bahkan orang-orang Sunni bersedia untuk bekerja dengan orang Syiah. Hal ini terjadi karena minimnya kecemasan untuk berinteraksi dengan yang berbeda golongan yakni Syiah.
19
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
83
3. Faktor-faktor Lain Golongan Sunni dan Syiah Adapun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi terjalinnya komunikasi antarbudaya golonagan Sunni dan Syiah di desa Jambesari adalah sebagai berikut; a. Faktor Keramahtamahan Pada dasarnya, keramahtamahan bersifat relatif. Akan tetapi pada umumnya setiap kebudayaan mengajarkan keramahtamahan dalam komunikasi antarpribadi. Terlebih lagi masyarakat pedesaan yang sangat kental dengan hubungan kekeluargaannya. Masyarakat golongan Sunni dan Syiah yang memiliki beberapa perbedaan, mereka tetap bersifat ramah antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat diketahui dari prilaku masyarakat yang saling tegur sapa dimanapun mereka berjumpa. Berikut hasil wawancara peneliti dengan H.Abdullah: “Jika orang syiah mengucapkan salam kepada saya, ya wajib saya jawab.” 20 Keramahtamahan masyarakat Sunni dan Syiah di desa Jambesari juga di pengaruhi kesamaan suku. Dalam budaya suku Madura, maka dikenal sebagai “Taretan dhibik” (saudara sendiri).
20
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB.
84
Budaya taretan dhibik ini merupakan budaya dasar orang Madura yang menunjukkan sikap solidaritas yang tinggi sesama suku Madura. Dimana pun, kapan pun, dalam keadaan apa pun, orangorang Madura akan tetap memegang budaya tersebut. Hal ini yang menumbuhkan ikatan emosional masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Keramahtamahan yang ditunjukkan masyarakat golongan Sunni dan Syiah, berdampak kepada kehidupan masyarakat Jambesari yang semakin tentram dan aman. Hal ini terbukti ketika peneliti mengajukan pertanyaan, jika ada orang yang mencoba memprovokasi agar golongan Sunni dan Syiah kem bali berseteru, jawaban dari pihak Sunni dan Syiah sama-sama tidak akan mendengarkan dan tidak akan terpengaruh, karena hal itu hanya ingin meruntuhkan kerukunan desa Jambesari. Berikut hasil wawancara peneliti dengan H.Abdullah terkait jika ada orang yang mencoba memprovokasi: “Tak mengikuti orang luar, karena orang luar hanya membakar atau mendorong dengan tujuan bagaimana Jambesari ini hancur. Jadi saya tidak ikut-ikut.”21 Hal serupa juga dikatakan bapak Mukhlis, bahwa Sunni dan Syiah sudah kembali rukun, jika ada yang berusaha memecah belah
21
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB.
85
kembali masyarakat sudah tidak terpengaruh. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Mukhlis: “Kalo ada yang mencoba mengadu domba, kita cuek ajah. Ga usah ditanggepin. Seperti acara barusan, acara penggagalan milad sayidah Fatimah az-zahara itukan penggerak masanya orang Jambesari, orang Jambesarinya gak ada yang mau. Jadi kalo ada provokator masuk ke Jambesari, sudah tidak ditanggapi dengan mereka. Apalagi dengan teman-teman. Mereka sendiri Orang Sunni sendiri tidak menanggapi sudah. Statementnya mereka kita sudah rukun “engkok lah rukun bik taretan masak gik erosakah pole” saya sudah rukun dengan saudara masa masih mau dibentrokkan lagi. Banyak yang mengatakan seperti itu, Ini peryataan orang Sunni loh yah, bukan orang-orang Syii.”22 Berdasarkan hal diatas dapat diketahui bahwa sikap keramahtamahan mendorong adanya komunikasi antarpribadi yang baik. Sehingga menjadikan kehidupan orang-orang yang berbeda budayapun penuh dengan keharmonisan dan kerukunan. b. Faktor Motivasi Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat Sunni dan Syiah yang sama-sama bersuku Madura, memiliki budaya Taretan dhibi (saudara sendiri). Hal ini merupakan salah satu motivasi masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari dalam berkomunikasi. Adanya budaya taretan dhibi ini membangkitkan
sikap
emosional
masyarakat
Madura
pada
umumnya, dan terkhusus masyarakat golongan Sunni dan Syiah di 22
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul 13.00 WIB.
86
desa Jambesari untuk saling membantu dan bergotong royong untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. c. Faktor Akulturasi Sunni dan Syiah sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya merupakan dua aliran besar dalam islam. Kehadiran Sunni di desa Jambesari boleh dikatakan lebih awal dari Syiah. Dalam hal kebudayaan, kedua aliran ini memiliki beberapa perbedaan yang dipengaruhi oleh pemikiran para tokohnya. Jika Sunni hanya melaksanakan ritual khusus pada hari-hari besar islam, golongan Syiah juga melaksanakan hari-hari besar menurut keyakinan mereka, misalkan Asyuro yakni memperingati wafatnya imam mereka yang ketiga Husein bin Ali bin Abu tholib, perayaan Ghadir khum yakni hari bersejarah pengangkatan Sayyidina Ali sebagai pemimpin pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, dan berbagai perayaan kedukaan maupun kebahagiaan. Tentu mereka melaksanakan acara tersebut dengan adanya penyesuaian dengan budaya setempat yakni Jambesari. d. Faktor Umur Dalam beberapa kebudayaan, penghargaan antarmanusia sangat ditentukan oleh umur. Dikalangan Sunni dan Syiah, mereka yang berusia lebih muda tidak diperkenankan menatap mata orang yang lebih tua serta menghormatinya, sedangkan yang tua
87
menghargai yang muda. Hal semacam ini, menunjukkan bahwa perbedaan umur antarpribadi sangat mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya. e. Faktor Pekerjaan Dalam hal pekerjaan mayoritas masyarakat Jambesari bekerja sebagai petani. Pekerjaan ini juga menunjukkan bahwa turut mempengaruhi efektivitas komunikasi masyarakat golongan Sunni dan Syiah. Dimana kesamaan pekerjaan, dapat mempererat tali silaturrahmi pengikut kedua golongan tersebut. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Abdur Rahim, yang bekerja sebagai buruh tani: “Saya punya temen orang syiah, biasa ajah sekarang. Sama-sama bekerja sebagai buruh tani. Kalo dulu temen saya ini tidak diajak bekerja, semenjak ketauan dia Syiah. Karena sesat katanya. Tapi sekarang dia sudah begabung lagi dengan kami. Bahkan dia ditunjuk sebagai orang kepercayaan pemilik sawah dek.”23 Hal serupa juga dijelaskan H.Abdullah, bahwa dalam pekerjaanlah berkomunikasi.
masyarakat Berikut
Sunni hasil
dan
Syiah
wawancara
paling peneliti
sering dengan
H.Abdullah:
23
Wawancara pribadi dengan Bapak Abdur Rahim, masyarakat Sunni, 15 Mei 2016. Pukul 09.00 WIB.
88
“Antara hubungan pekerjaan, Misalkan saya punya sawah (sunni) dan anda kerja sebagai buruh tani (syiah) yah sudah tidak ada apa-apa. Bekerja seperti biasa. Terkait dengan bedabedanya kita tidak mengikuti si A mengang si , dan begitu juga si B. ini kondusifnya Jambesari. Antara sunni dan Syiah, yah yang sunni, sunni yang syiah Syiah. Sehingga tidak ada meributkan masalah keyakinan. Dan juga tergantung pimpinan desa, karena pengaturannya enak dibawah juga enak.”24 Berdasarkan hal diatas dapat diketahui bahwa dengan adanya kesamaan pekerjaan, masyarakat golongan Sunni dan Syiah saling berinteraksi tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan. Sehingga hal ini, menjadikan terjadinya komunikasi yang efektif antar keduanya. D. Interpretasi Data Terciptanya kehidupan yang rukun antara pengikut golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari, di tentukan dengan terjalinnya komunikasi antarbudaya diantara kedua golongan tersebut. Mustahil akan tercipta kerukunan jika tidak terjadinya komunikasi, sedangkan komunikasi sulit dipisahkan dari budaya, sebagaimana dikatakan Edward T.Hall bahwa komunikasi adalah budaya, dan budaya adalah komunikasi. Jelas berbeda budaya golongan Sunni dan Syiah. Pengikut golongan Syiah mengacu kepada Iran, negara terbesar penganut ajaran Syiah, sebagai rujukan untuk melaksanakan tradisi-tradisi keIslaman maupun dalam berperilaku sehari-hari. Sedangkan golongan Sunni lebih condong ke Arab, karena mengikuti para 24
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00 WIB.
89
leluhur terdahulu yang banyak belajar keislaman dari tanah Arab. Adanya perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan ini akan menununjukkan adanya perbedaan-perbedaan pula pada praktik-praktik komunikasinya. Sebagaimana dikatakan Mulyana, bahwa kebudayaan merupakan landasan komunikasi, bila budaya beraneka ragam, maka beraneka rragam pula praktik-praktik komunikasinya. Berdasarkan hasil temuan dilapangan, golongan Syiah hadir dan diakui keberadaannya di desa Jambesari, dikarenakan beberapa hal; 1. Para anggota kelompok mampu berkembang dan bertahan dengan mempunyai jumlah tertentu. Dalam hal ini, pengikut golongan Syiah yang mulanya hanya beberapa orang saja yakni hanya keluarga besar ahmad Rawi, saat ini menyebar kepada masyarakat yang tinggal disekitar kediaman Ahmad Rawi, yakni sekitar 300 orang, hal ini berdasarkan data keanggotaan milik Mukhlis. 2. Kehadiran Syiah diterima karena tidak membawa bibit perpecahan. Sejak kehadirannya pada tahun 2006, para pengikut golongan Syiah melaksanakan ritual keagamaanya dengan bebas, meskipun terdapat konflik pada tahun tersebut, hal ini disebabkan karena terdapat kesalahpahaman antara pengikut kedua golongan tersebut dalam memahami
ajarannya
masing-masing.
Pada
akhirnya,
dengan
munculnya kesadaran mengenai terdapat kesamaan-kesamaan dalam ajaran, kesamaan dalam kebudayaan, serta tidak membawa bibit
90
perpecahan, menjadikan golongan Syiah diterima dan diakui oleh masyarakat Jambesari. 3. Adanya kesamaan nilai antar golongan Sunni dan Syiah yang diimani secara sadar, sehingga menumbuhkan rasa untuk selalu bersama-sama. Dengan meyakini bahwa Tuhan Maha Esa dan Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul-Nya, menuntut pengikutnya selalu menciptakan kedamaian di muka bumi. Berdasarkan kesadaran akan hal tersebut, menjadikan pengikut Golongan Sunni dan Syiah hidup berdampingan dengan penuh kerukunan. 4. Membangun komunikasi dalam kelompok secara teratur. Dalam hal ini baik masyarakat golongan Sunni dan Syiah, saling mengingatkan dan menasehati perihal perilaku yang telah diajarkan dalam keyakinannya. 5. Golongan Syiah Mampu menentukan perbedaan ciri-ciri golongannya dengan golongan yang lainnya. Golongan Syiah di desa Jambesari memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan golongan Sunni setempat. Dalam ritual keagamaan golongan Syiah sering kali mengadakan pengajian-pengajian untuk mengenang hari kelahiran maupun hari wafatnya 12 imam mereka, ataupun berbagai perbedaaan yang lainnya. Adanya perbedaan antara kedua golongan ini, bukan berarti faktor untuk dijadikan bibit perpecahan, melainkan dijadikan alat untuk saling melengkapi kekurangan satu dengan yang lainnya, serta dijadikan alat untuk lebih mengedepankan persamaan dari perbedaannya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan data-data yang peneliti kumpulkan mengenai komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah pada masyarakat desa Jambesari, peneliti dapat menyimpulkan bahwa: Pertama, komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah di Jambesari dapat terjalin dengan baik, sehingga terciptanya kehidupan yang rukun diantara keduanya. Hal ini, terbukti bahwa yang mulanya masyarakat saling tidak menyapa, sekarang sudah menjalin hubungan dengan baik. Masyarakat golongan Syiah yang mulanya tidak mendapat pekerjaan, sekarang sudah mendapat pekerjaan, serta saling membantu tanpa memandang dari golongan mana berasal. Selain itu, yang mulanya dalam melaksanakan tradisi keagamaan semacam, tahlilan, maulidan, isra’mi’raj, dan lainnya mereka melaksanakan hanya dengan golongannya masing-masing, namun sekarang mereka sudah menyatu dan merayakan bersama tradisi keagamaan dalam Islam tersebut. Kecuali, tradisi keagamaan yang jelas berbeda dengan golongan Sunni, yakni Asyuro, Ghadirkhum, pembacaan do’a Kumayl, golongan Syiah melaksanakan hanya di intern golongannya. Hal ini, dibebaskan oleh masyarakat golongan Sunni dengan syarat tidak meresahkan masyarakat Jambesari. Sikap toleransi, dan keluwesan serta rendahnya
91
92
etnosentrisme menjadikan komunikasi antarbudaya dan agama kedua golongan efektif. Selain, dalam pelaksanaan tradisi keagamaan yang memiliki kesamaan, peran pemerintah setempat yakni pimpinan desa Jambesari yang tidak membeda-bedakan golongan juga merupakan faktor terciptanya kehidupan masyarakat desa Jambesari yang rukun dan damai. Kedua, terciptanya kerukunan masyarakat pada Jambesari ini di tetentukan oleh beberapa faktor, yakni (1) Faktor Kognitif, berupa pengetahuan masyarakat Jambesari terhadap adanya perbedaan dan kesamaan pada kedua golongan tersebut. Semakin masyarakat mengetahui lebih banyaknya kesamaan dari pada perbedaan menjadikan pengikut kedua golongan tersebut semakin dewasa dalam menyikapi hal tersebut. (2) Faktor gaya pribadi berupa perilaku keseharian masyarakat golongan Sunni dan Syiah desa Jambesari, meliputi: a) Etnosentrisme b) Toleransi, sikap mendua dan keluwesan c) Empati d) Keterbukaan e) Kompleksitas kognitif f) Kenyamanan antarpribadi g) Kontrol pribadi h) Kemampuan inovasi i) Harga diri j) Keprihatinan dan kecemasan komunikasi. Serta (3) Faktor Lain, meliputi: a) Faktor keramahtamahan b) Faktor motivasi c) faktor akulturasi d) faktor umur dan e) faktor pekerjaan. Masyarakat Jambesari, dalam hal ini pengikut golongan Sunni dan Syiah berhasil meminimalisir faktor-faktor yang dapat menghambat efektifitas komunikasi antarbudaya dan agama, yang hal ini terekam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jambesari. Sehingga
93
menjadikan masyarakat golongan Sunni dan Syiah desa Jambesari hidup dengan penuh kedamaian dan kerukunan. B. Saran Setelah peneliti memberikan kesimpulan terkait dengan komunikasi antarbudaya dan agama masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari, peneliti mengemukakan beberapa saran; 1. Peneliti berharap masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari tetap dan terus menjaga kerukunan antar golongan. Dengan menanamkan dalam diri bahwa “perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan, yang tak perlu dipermasalahkan”. Sehingga masyarakat Jambesari dapat menjadi contoh bagi masyarakat di daerah lainnya. 2. Sebagai umat Islam dan mengaku sebagai pecinta Nabi Muhammad SAW, hendaknya menjadi pelopor dalam perdamaian dengan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, terhadap sesama muslim atau bahkan kepada non-Muslim sekalipun, sehingga terciptanya dimuka bumi ini kehidupan yang rukun dan penuh dengan kedamaian.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku dan Artikel Agil Husin Al-Munawar, Said, Fikih Hubungan Antaragama, Jakarta:Ciputat Press, 2003. Anastianah, Ita, Elite dan Konflik Komunal Keagamaan: Studi Kasus Konflik Sunni Syiah Sampang, Kudus: Parist, 2012. Arifin, Samsul, Komunikasi Antarbudaya Melalui Folklo “Haul Cuci Pusaka Keramat Tajug” Di Kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan, Jakarta: Skiripsi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. A.Samovar, Larry, dkk. Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta: Salemba Humanika, 2010. Attamimy, HM, SYI’AH; Sejarah, Doktrin dan Perkembangan di Indonesia, Yogyakarta: Graha Guru, 2009 Bungin, Burhan, Metode Penelitian Kualitatif: Komunikas, Ekonomi, kebijakan Publik, dan Ilmu sosial Lainnya, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005. Cet ke-1 Cangara, Hafied, Ilmu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Daulay, M.Zainuddin, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia, Jakarta:Badan Litbang Agama da Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2001.
94
95
Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, 1997. Devito, Joseph A, Komunikasi Antarmanusia, Jakarta: Profesional Books, 1997 Effendy, Onong Uchajana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Faisal Bakti, Andi, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, Jakarta: INIS, 2004. Ja’far al-hadar, Husein, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, Jakarta; MAARIF Institute, 2015. Vol.10, No.2. Kriyantono, Rachmat, Tehnik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Cet ke-4. Liliweri, Alo, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2001. Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Mulyana, Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
96
Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja Rosadakarya, 2000. Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010. Cet ke-7. Nazir, Moh, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2013. Cet ke-8. Patton, Michael Quinn, How to Use Qualitative Methods in Evaluation, London: SAGE Publications, 1991. Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif, Jenis Karakter dan Keunggulannya, Jakarta: PT Grasindo, 2010. Rafi’I, Mustofa. Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syiah, Jakarta: Fitrah, 2013. Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi contoh analisis statistic, Bandung: Remaja Rosdakarya 2000. Syaukani, Imam, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, Jakarta, Puslitbang, 2008. Sihabudin, Ahmad, Komunikasi Antarbudaya; Satu Perspektif Multidiensi, Jakarta; Bumi Aksara, 2013. Shihab, M.Quraish, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Jakarta; Lentera Hati, 2007. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2010. The Wahid Institute, Laporan tahunan kebebasan beragama/ berkeyakinan dan intoleransi, Jakarta: The Wahid Institute, 2014.
97
B. Sumber dari Internet http://www.gusdurian.net/id/article/opini/Jalan-Tasawuf-Kebangsaan-Gus-Dur/ m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-nusantara. http://mediamadura.com/madura-budaya-unik/
C. Wawancara Pribadi 1. Bapak Qurdi (Sekretaris Desa Jambesari) 2. Bapak H.Abdullah (Golongan Sunni) 3. Bapak Abdur Rahim (Golongan Sunni) 4. Bapak Ahmad Rawi (Golongan Syiah) 5. Bapak Mukhlis (Golongan Syiah)
LAMPIRAN-LAMPIRAN FOTO
Foto.1: Peneliti saat wawancara dengan H.Abdullah (Tokoh Masyarakat Golongan Sunni)
Foto.2: Peneliti saat wawancara dengan Bapak Mukhlis (Tokoh Masyarakat Golongan Syiah)
Foto.3: Peneliti saat wawancara dengan Bapak Ahmad Rowi (Tokoh Masyarakat Golongan Syiah)
Foto.4 : Peneliti saat wawancara dengan Bapak Abdur Rohim (Masyarakat golongan Sunni)
Foto.4: Masyarakat Jambesari sedang bekerja di sawah. Foto.5: Perangkat desa doa bersama pada acara Anjangsana