MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
ETIKA DAKWAH: MENYIKAPI FENOMENA DA’I BERTARIF
Oleh: Dr. Mohammad Rofiq, S.Ag., M.Si.
Abstrak : Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul “Da’i Berbulu Musang”. Artikel ini dimaksudkan untuk menasihati dan mengkritisi para da’i yang prilaku kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang disampaikannya. Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah daripada sekadar da’i berbulu musang. Muncul oknum da’i yang berani memungut imbalan alias upah dari masyarakat yang didakwahinya. Alias Da’i Walakedu (jual ayat kejar duit). PENDAHULUAN Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballighin, organisasi para da’i yang dipimpin KH. Syukron Ma’mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam musyawarah nasional (Munasnya yang ke-4), yang dihadiri 350 peserta, para ulama dan da’i seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode etik dakwah itu, da’i tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang didakwahi. Apa yang dirumuskan Munas Ittihadul Muballighin mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu dr. Tarmizi Taher. Kendati demikian, fenomena da’i berbulu musang maupun da’i yang memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan jauh lebih parah, karena berkembangnya da’i-da’i yang memasang tarif dalam berdakwah. Seringkali masyarakat kecewa terhadap oknum-oknum da’i yang memasang tarif dalam berdakwah. Banyak masyarakat yang gagal mendatangkan seorang da’i
239
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
karena setelah tawar-menawar seperti layaknya berdagang sapi mereka tidak mampu membayar tarif yang diminta da’i yang bersangkutan. Dalam kajian fiqh memang ada tiga pendapat yang berkembang terkait dengan memungut imbalan, yang pertama: pendapat yang mengharamkan secara mutlak, baik ada perjanjian sebelumnnya maupun tidak, pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat baik dari al-Qur’an maupun Hadis. Pendapat kedua yang membolehkan berdakwah dengan memungut imbalan, pendapat ini berlandaskan kepada Hadis riwayat Imam Bukhori, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya adalah al-Qur’an.” Dalil ini memang kuat, namun penggunaan (Istidlal) hadits ini untuk membolehkan memungut imbalan dalam berdakwah sangat lemah, karena berdasarkan sabab wurud hadits ini, hadits ini tidak berkaitan dengan berdakwah melainkan berkaitan dengan mengobati orang yang sakit dengan pengobatan Ruqyah (membacakan surah alFatihah). Sementara pendapat ketiga, yang mengatakan, apabila ada perjanjian sebelumnya seorang da’i akan menerima upah dalam dakwahnya hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada perjanjian apa-apa kemudian da’i diberi uang saku, hal itu dibolehkan.1 Dakwah Islamiyah merupakan aktivitas suci yang tidak pernah padam sejak zaman kenabian hingga akhir zaman. Ruh ajaran Islam adalah aktivitas menyeru dan mengajak manusia agar selalu tetap dalam ruang dan waktu yang benar untuk berpikir, bersikap, berperilaku, dan bertindak. Namun, pernahkah kita berfikir: Apa sebenarnya fungsi dan tujuan berdakwah itu? Setiap bentuk aktivitas dan disiplin ilmu mempunyai fungsi serta tujuan. Begitu pula dengan
1
Ibid.
240
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
berdakwah, yakni mempunyai beberapa fungsi dan tujuan. Seyogyanya seorang da’i harus memperhatikan cara-cara dalam menyampaikan dakwahnya agar tercapai apa yang diinginkan. Seorang da’i yang profesional adalah seorang yang tekun, sabar dan tahan godaan, senantiasa dinamis dan mencari kreatifitas baru dalam berdakwah, karena itu memang umat Islam tidak akan pernah setuju dan rela jika dakwah ini vakum, berjalan di tempat dan tidak mendapat tempat di hati umat. Ruang dakwah ke depan memang akan menuntut lebih profesional dalam konteks “keilmuan” yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga citra dakwah tersebut akan tetap baik seiring dengan permasalahan dan perkembangan dunia global yang lebih menantang. Oleh sebab itu, dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya shalat dan puasa, kendati tidak menjadi rukun Islam. Surah al-Baqarah ayat 159 mengancam orang-orang yang tidak mau berdakwah, mereka akan dilaknat Allah SWT dan para makhluk yang melaknat. Orang yang tidak mau berdakwah kecuali diberi imbalan sama artinya dia tidak mau berdakwah kalau tidak ada imbalan. Berangkat dari judul dan latar belakang di atas, penulis akan mencoba menjawab beberapa problem akademik yang muncul dalam artikel ini yaitu: (1) Bagaimanakah menyikapi fenomena da’i bertarif? (2) Bagaimanakah seharusnya menjadi seorang da’i yang profesional itu?
MENYIKAPI FENOMENA DA’I BERTARIF
Dunia hiburan tanah air akhir-akhir ini memang pernah dihangatkan oleh kasus seorang da'i yang begitu menohok nurani. Lepas dari kontroversi tarif
241
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
yang diminta oleh da’i tersebut, sungguh amat hina dan memalukan jika memang hal tersebut benar-benar terjadi. Penulis berharap, semoga saja kasus tersebut tidak terjadi terhadap da’i tersebut. Alla>hu a’lam biss{awa>b (hanya Allah yang mengetahui kebenaran). Fenomena memungut imbalan tersebut belakangan ini sungguh sangat memprihatinkan karena banyak da’i yang dalam dakwahnya memakai cara berdagang sapi dengan tawar-menawar, per-jam, per-titik, dan sebagainya. Menurut berita yang beredar di masyarakat, bahwa tarif termahal dalam berdakwah ini adalah Rp 100 juta satu kali ceramah (satu titik) dan yang paling murah adalah Rp 10 juta. Wajar bila masyarakat mengeluh terhadap fenomena pasang tarif ini, karena uang yang mereka kumpulkan adalah uang sumbangan dari orang-orang miskin yang mengumpulkan dengan memeras keringat kemudian ‘dirampok’ begitu saja oleh oknum da’i berbulu musang itu.2 Da’i seyogyanya adalah orang yang memecahkan masalah umat bukan orang yang membuat masalah bagi umat. Da’i adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang yang membebani umat. Da’i-da’i yang kepingin cepat kaya lebih baik berdagang sapi saja, karena terbukti banyak orang yang berdagang sapi mendapatkan uang ratusan milyar rupiah, mobil pun banyak dan istri pun berderet-deret. Bersyukurlah bagi da’i yang dibuka aibnya oleh Allah SWT di dunia karena ia masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat. Dan celakalah da’i ketika aibnya dibuka oleh Allah SWT di akhirat karena dia tidak punya kesempatan lagi untuk bertaubat. 3 Meskipun Munas Ittihadul Muballighin dengan keputusan kode etik dakwah telah berlalu sekian tahun yang lalu. Apakah 2
Ibid. Ibid.
3
242
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
Da’i-da’i Walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat ke hari kiamat fenomena munculnya Da’i Walakedu semakin ramai. Bahkan, sering dibarengi dengan apa yang disebut dengan Managemen
Walakedu. Perlu penulis tegaskan di sini bahwa seorang da’i yang menyeru kepada jalan Allah SWT adalah manusia yang lebih utama bersifatkan dan berhias dengan adab-adab dan akhlaq Islami pada dirinya, yang mana hal itu memiliki pengaruh atau dampak yang bersifat langsung di jalan dakwah Ilalla>h dan juga dalam bermuamalah dengan manusia. Ini merupakan indikasi singkat mengenai pentingnya sifat dan akhlaq yang mulia, yang harus terkumpul dalam diri seorang da’i yang menyeru kepada jalan Allah SWT. Sifat dan akhlaq ini terkumpul menjadi sebuah istilah kode etik dakwah. Kode etik ini sebagaimana telah dirumuskan oleh organisasi mubaligh yang bernama Ittihadul Muballighin pada tahun 1996. Rumusan kode etik itu diharapkan dapat menjadi pedoman para da’i atau mubaligh dalam menjalankan dakwahnya, sehingga mereka dapat mewarisi tugas para nabi atau para rasul, dan bukan justru mendapat laknat dari Allah SWT dalam berdakwah. Sekurang-kurangnya, ada tujuh kode etik dakwah. Sebagaimana dirumuskan oleh Munas Ittihadul Muballigin.4 Kode etik pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Kode ini diambil dari Alquran surah al-S{a>ff ayat 2-3.
4
Ibid.
243
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.5 Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah SAW di mana secara umum beliau tidak memerintahkan sesuatu, kecuali beliau melakukannya. Kode etik kedua, tidak melakukan toleransi agama. Toleransi antarumat beragama memang sangat dianjurkan sebatas tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah. Dalam masalah keduniaan (muamalah), Islam sangat menganjurkan adanya toleransi. Bahkan, Nabi SAW banyak memberikan contoh tentang hal itu, sementara toleransi dalam akidah dan ibadah dilarang dalam Islam. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Kafirun ayat 6,
“Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku.”6 Dalam Hadis Riwayat Imam ibn Hisyam juga disebutkan, “Orangorang Yahudi Kabilah Bani Auf
adalah satu bangsa bersama orang-orang
mukmin, bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang mukmin agama mereka.” Kode etik ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini diambil dari surah al-An’am ayat 108.
5
Al-Qur-a>n, 61 (al-S{a>ff): 6. Al-Qur-a>n, 109 (al-Kafirun): 6.
6
244
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”7 Kode etik keempat, tidak melakukan diskriminasi. Ketika Nabi SAW masih berada di Makkah dan mengajarkan Islam kepada orang-orang miskin, antara lain, Bilal al-Habsyi, Shuhaib al-Rumi, Salman al-Farisi, dan lain-lain, tiba-tiba datang kepada Nabi SAW sejumlah tokoh bangsawan Quraisy yang juga hendak belajar Islam dari beliau. Namun, bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan dengan rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi SAW untuk mengusir Bilal dan kawan-kawannya itu. Nabi kemudian menyetujui permintaan tersebut, namun Allah menurunkan ayat yang mengkritik perilaku Nabi itu, yaitu surah al-An’a>m ayat 52.
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap
7
Al-Qur-a>n, 6 (al-An’a>m):108.
245
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim).”8 Kode etik kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil antara lain dari Alquran surah Saba’ ayat 47.
“Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu".9 Demikian pula perilaku para Nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah, mereka tidak pernah memungut imbalan, apalagi pasang tarif, tawar-menawar, dan lain sebagainya. Kode etik keenam, tidak mengawani pelaku maksiat. Para da’i yang runtang-runtung, gandeng-renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Akhirnya, justru Allah SWT melaknat mereka semua. Hal itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil seperti diceritakan dalam surah al-Maidah ayat 78-79.
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang 8
Al-Qur-a>n, 6 (al-An’a>m): 52. Al-Qur-a>n, 34 (Saba’): 47.
9
246
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”10 Dan, kode etik ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kode etik ini diambil dari surah al-Isra ayat 36.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”11 MENJADI DA’I YANG PROFESIONAL
Seorang da’i harus memiliki sifat profesional dalam berdakwah. Karakteristik seorang profesional di antaranya adalah bertanggung jawab penuh terhadap tugasnya dan selalu berinisiatif untuk melakukan sesuatu yang terbaik. Dia ingin selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai tugas di luar peranan yang ditugaskan kepadanya. Seorang da’i profesional akan terus belajar untuk meningkatkan kemampuannya khususnya kemampuan untuk dapat melayani dengan baik. Selain itu, dia juga selalu mendengar apa saja kebutuhan orang lain yang harus dilayaninya. Dia juga dapat berperan sebagai pemain yang baik dalam satu tim. Seorang profesional dalam melaksanakan tugasnya dapat dipercaya, jujur, terus-terang, dan loyal. Seorang da’i profesional juga harus tahu benar objek dakwah yang akan didakwahinya, serta dituntut mengetahui pula cara yang paling tepat untuk berdakwah. Seorang da’i yang profesional harus memiliki sikap yang sabar dan ulet pada berbagai 10
Al-Qur-a>n, 5 (Al-Maidah): 78-79. Al-Qur-a>n, 17 (Al-Isra>’): 36.
11
247
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
rintangan yang menghadang, baik itu rintangan kecil maupun besar. Seorang da’i profesional juga selalu terbuka terhadap kritik yang konstruktif dan mau meningkatkan serta menyempurnakan dirinya dalam upaya meningkatkan kualitas pekerjaan tersebut. Selain hal di atas, untuk melaksanakan tugas secara profesional, seorang da’i harus memiliki bekal antara lain: (1) Pengetahuan tentang tugas yang dikerjakan dan bagaimana cara melaksanakan pekerjaan itu; (2) Memiliki sikap atau etos kerja yang diperlukan untuk mengerjakan tugasnya dengan baik; (3) Memiliki keahlian dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai tugas; (4) Memiliki kondisi mental dan fisik yang baik untuk melaksanakan tugas secara efektif dan efisien.12 Seorang da’i memang seorang pribadi yang dengan senang hati menyebarluaskan ajakan kebaikan kepada siapa saja. Da’i pada masa sekarang ternyata tidak hanya berlaku bagi mereka yang secara ikhlas menyebarkan ajakan kebaikan. Melainkan telah bertransformasi menjadi profesi. Dapat dilihat dengan maraknya da’i bertarif sebagaimana yang penulis sebutkan di atas. Menurut Frank H. Blackington dari buku School, Society, and the Professional Educator, yang dikutip Jusuf Amir Feisol, bahwa profesi adalah “A profession must satisfy an indispensable social need and be based upon well established and socially acceptable scientific principles” (sebuah profesi harus memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat diperlukan dan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang diterima oleh masyarakat). Kata Blackington, makna 12
Lihat Nizar Fahmi, “Profesionalisme Seorang Da'i”, dalam http://nizarfahmi19.blogspot.co.id/ 2014/04/ profesionalisme-seorang-da.html (12 September 2015).
248
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
profesi adalah memahami kewajibannya terhadap masyarakat dan mendorong anggotanya untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan etika yang sudah diterima dan sudah mapan. Sementara menurut Leiberman dalam bukunya Education A Profession, yaitu tekanan utamanya terletak pada pengabdian yang harus dilaksanakan ketimbang pada keuntungan ekonomi, sebagai dasar organisasi (profesi), penampilan, dan pengabdian yang dipercayakan oleh masyarakat kepada kelompok profesi.13 Dalam pandangan Vollmer –seorang ahli sosiologi- melihat makna profesi dari tinjauan sosiologis. Ia mengemukakan bahwa profesi menunjuk kepada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan, tetapi menyediakan suatu model status pekerjaan yang bisa diperoleh bila pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi dengan penuh.14 Dengan demikian kata “Profesional” di sini bermakna bahwa para da’i ituntut duntuk memiliki nilai-nilai profesional dalam pekerjaannya. Selain itu, profesionalisme berarti The expertness of a professional
person.15 Kalimat tersebut mempunyai arti bahwa , “karakteristik dari seorang profesional”. Dengan melihat kalimat tersebut saja, sudah dapat dipastikan bahwa seorang yang profesional harus memiliki keahlian di bidangnya, termasuk seorang da’i. Profesionalisme sebenarnya mencerminkan kepribadian diri seseorang.
13
Lihat Jusuf Amir Feisol, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 173174. 14 Lihat HM. Vollmer and D.L. Mills (eds), Professionalization, (Englewood Cliffs, N.J: PrenticeHall., 1996), Vii. 15 Lihat Sandy Brooks, "In Need of Paraprofessional Help." American Libraries (May 1998): 3645.
249
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
Seorang da’i professional mesti menguasai beberapa hal16 di bawah ini; 1. Menguasai Pekerjaannya; bahwa seorang da’i dapat disebut profesional apabila ia mengetahui apa yang harus dikerjakan. Dalam hal ini, seorang da’i harus mengetahui materi yang akan ia sampaikan kala berdakwah nanti, medan dakwah seperti apa yang akan ia pijak dan kendala apa saja yang akan ia hadapi di kala melaksanakan tugasnya. Ada tiga hal pokok yang dapat dilihat pada diri seorang da’i untuk menentukan apakah ia profesional atau tidak, yaitu; (a) Melihat bagaimana ia bekerja; (b) Melihat bagaimana ia mengatasi persoalan, dan; (3) Melihat bagaimana ia menguasai hasil kerjanya. Seorang da’i profesional akan menjadikan dirinya sebagai pemecah persoalan (problem solver) bukan sebagai pembuat masalah (trouble maker) bagi pekerjaannya. 2. Mempunyai Loyalitas; bahwa seorang da’i profesional akan memandang pekerjaannya sebagai sebuah ladang jihad, kebun pahala, bukan sebagai beban dalam hidupnya. Bagi seorang da’i, loyalitas ini akan menggiringnya melakukan suatu pekerjaan tanpa menunggu perintah, atau ia akan senantiasa mendengarkan kata hatinya ketika memandang sesuatu. 3. Mempunyai Integritas; bahwa yang diperlukan dari seorang da’i tidak hanya pintar beretorika, pintar bercerita di atas podium. Lebih penting lagi, bahwa seorang da’i profesional harus memiliki kejujuran, keadilan dan rasa kebenaran di dalam dirinya. Tidak hanya itu, seorang da’i harus memiliki integritas pada pekerjaannya. Hal ini akan membuatnya mampu bertahan dalam kondisi tidak menentu sesakit apapun dalam pekerjaannya.
16
Lihat ibid, juga lihat R. B. Khatib Pahlawan Kayo, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, Jakarta: Amzah, 2007, 1-7.
250
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
4. Mampu Bekerja Keras, bahwa seorang da’i profesional tidak akan pernah memilihmilih dengan siapa ia akan bekerja sama, sehingga ia mampu mengembangkan dan meluaskan hubungan kerja sama dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. 5. Mempunyai Kebanggaan; bahwa seorang da’i profesional harus mempunyai kebanggaan dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya terhadap profesi yang dijalaninya. Komitmen yang didasari oleh munculnya rasa bangga terhadap profesi dan jabatannya akan menggerakkan seorang profesional untuk mencari hal-hal yang lebih baik dan senantiasa memberikan kontribusi yang besar terhadap apa yang ia lakukan. 6. Mempunyai Motivasi; bahwa dalam situasi dan kondisi apa pun, seorang da’i yang profesional tetap harus bersemangat dalam melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang da’i yang profesional harus mampu menjadi motivator bagi dirinya sendiri, sehingga seburuk apa pun kondisi dan situasinya, ia mampu memotivasi dirinya sendiri untuk tetap dapat mewujudkan hasil yang maksimal. Ia mengerti, kapan dan di saat-saat seperti apa ia harus memberikan motivasi untuk dirinya sendiri. Dengan memiliki motivasi tersebut, seorang da’i profesional akan tangguh dan mantap dalam menghadapi segala kesulitan yang dihadapinya. Ia tidak mudah menyerah kalah dan selalu akan menghadapi setiap persoalan dengan optimis. Motivasi membantu seorang da’i profesional mempunyai harapan terhadap setiap waktu yang ia lalui, sehingga dalam dirinya tidak ada ketakutan dan keraguan untuk melangkahkan kakinya. 7. Mempunyai Komitmen; bahwa seorang da’i profesional harus memiliki komitmen tinggi dan tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu yang akan menghancurkan nilainilai profesi yang dianutnya. Dengan komitmen yang dimilikinya, seorang da’i yang
251
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
profesional akan tetap memegang teguh nilai-nilai profesionalisme yang ia yakini kebenarannya.
Berdasarkan paparan di atas, jika dihubungkan dengan kehidupan Rasulullah SAW, penulis bisa melihat bahwa beliau adalah seorang da'i yang profesional. Beliau adalah seorang yang ahli dan kompeten dalam bidang dakwah ini. Ketika berdakwah, beliau melakukannya secara full timer. Sebagai da'i, beliau memiliki empat potensi yang bisa dijadikan bekal dalam memikul tugasnya. Yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan fathanah.17 Dua potensi yang pertama merupakan tuntutan etika dan dua potensi yang terakhir merupakan tuntutan keahlian. Seorang da'i tidak hanya dituntut memiliki kejujuran dan sikap amanah, tetapi harus memiliki keahlian komunikasi (tabligh) dan kecerdasan yang tinggi (fathanah). Bertolak dari pemikiran di atas, bisa penulis katakan bahwa profesi memerlukan dua persyaratan, yaitu komitmen, loyalitas (ketaatan), dan kecintaan terhadap profesi serta keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan keahlian tertentu. Dua tuntutan itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa saling dipisahkan. Bila salah satunya cacat, maka uang itu tidak akan bisa berfungsi sebagai alat tukar lagi. Jika kejujuran dan sikap mental amanah tidak lagi dijadikan pegangan dalam melakukan kegiatan profesi, sekalipun ilmu dan keahliannya selangit, maka sebagai profesional akan menemui kegagalan. Bahkan sosok seperti ini sangat membahayakan. Keahlian dan ilmu yang dimiliki digunakan untuk kepentingan pribadinya. Sebagai misal, bahwa betapa banyak
17
Lihat Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas. 1993), 12.
252
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
orang yang memiliki posisi strategis dengan mudah menyalahgunakan jabatan dan hak-hak istimewanya untuk interes pribadi dan golongan. Dengan demikian keahlian atau ilmu yang dimiliki itu tidak dibarengi sikap mental dan komitmen terhadap kode etik (tata nilai) yang telah diketahuinya secara baik. Akibatnya, prilaku mereka menjurus kepada sikap sadis dan brutal. Keahlian dan ilmu semata terbukti tidak menjamin seseorang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Bahkan aktivitas yang dilakukannya dapat mencoreng nama baiknya. Seorang da’i yang profesional sudah tentu dituntut memiliki keahlian dan kualitas ilmu yang luas dan mendalam. Bagi mereka perlu melaksanakan kode etik profesi, maka yang demikian itu sangat diperlukan karena banyak kasus penyalahgunaan agama untuk kepentingan tertentu. Apalagi bidang garap seorang da'i adalah manusia. Jika salah dalam membina, mengasuh, mendidik dan mengarahkan serta membimbing manusia, maka akan berakibat sangat fatal. Bisa saja terjadi bahan baku yang ideal dari mad'u (objek dakwah) menghasilkan out-
put yang mengecewakan. Seseorang yang semula berasal dari lingkungan baikbaik kemudian menjadi anak nakal karena salah asuh dan salah didik. Itu akibat anak didik yang diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya. Potensi kebaikan yang dimiliki tidak tergali secara optimal, bahkan kecenderungan fujur (keburukan)-nya berkembang tanpa kendali. Selain itu, persoalan mendasar yang tidak kalah pentingnya dengan persoalan yang berkembang di masyarakat adalah persoalan kurangnya teori dakwah untuk melihat kenyataan. Jika diperhatikan di lapangan, masih banyak
253
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
para mubaligh yang belum memiliki peta dakwah. Sehingga, meskipun ilmu pengetahuan yang dimiliki cukup tinggi, tetapi tidak sesuai dengan objek dakwah (sasaran dakwah). Masih banyak mubaligh yang menyampaikan materi dakwah yang disampaikan sama pada semua kalangan. Istilah penulis adalah seperti ‘budaya kaset’, yaitu menyampaikan materi dakwah yang sama di mana saja dan untuk siapa saja tanpa memperhatikan kondisi mad’u. Padahal setiap masyarakat memiliki problematika, budaya, dan karakteristik yang berbeda-beda pula.18 Dalam arti bahwa seorang mubaligh hendaknya tidak boleh menyamaratakan
mad’u. Untuk dapat meminimalisir problematika Islam yang semakin kompleks, maka perlu adanya perencanaan dakwah yang profesional. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan subjek dakwah (da’i/mubaligh) dengan baik. Sebuah rencana dan strategi yang baik tidak akan berjalan dengan baik manakala para pelakunya tidak memiliki kapabilitas dan kompetensi yang mumpuni. Pelaku dakwah bukan hanya seorang da’i, tetapi juga harus ada perencana dan pengelola dakwah.19 Ketiganya dapat disebut sebagai da’i. Oleh sebab itu, di sinilah kenapa perlu menyiapkan para mubaligh (da’i) yang profesional. Profesionalisme seorang da’i dapat diukur dari kompetensi yang dimiliki oleh seorang da’i.20 Secara garis besar ada dua kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang subjek dakwah yaitu komptensi substantif dan kompetensi metodologis. 18
Lihat Hamzah Ya’qub, Publistik Islam, Teknik dakwah dan leadership, (Jakarta: Diponegoro, 1992), 23. 19 Lihat Abdul Rosyad Sholeh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 7. Lihat pula Zainal Muchtarom, Dasar-dasar Manajemen Dakwah, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996), 16. 20 Lihat Muhammad Munir, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Rahmat Semesta, 2009) 22.
254
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
Kompetensi substantif yaitu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang da’i dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan kepribadian yang baik, karena sebagai teladan bagi objek dakwahnya. Kompetensi Metodologis merupakan kompetensi yang harus dimiliki dalam menguasai kegiatan dakwah mulai dari identifikasi masalah, perencanaan sampai pelaksanaan dakwah, bahkan sampai pada evaluasi dakwah. Namun realitasnya di masyarakat ternyata masih ada kesenjangan antara realitas dengan idealitas. Masih banyak mubaligh yang berdakwah tanpa mempersiapkan perencanaan terlebih dahulu. Mereka hanya mengandalkan kompetensi substantif semata. Itu pun, masih belum maksimal. Karena terkadang masih ditemukan seorang mubaligh yang attitude-nya belum sesuai dengan apa yang dikatakan. Yang menjadi permasalahannya adalah ketika para mubaligh berdakwah tanpa diiringi dengan perencanaan yang matang dan follow up yang serius. Padahal perencanaan dakwah sangat mempengaruhi keberhasilan dakwah, dan sebagainya. Jika berdakwah tanpa mengetahui bagaimana budaya, psikologi,21 dan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat, maka dakwahnya tidak efektif. Ibarat orang yang sakit kepala, maka ia membutuhkan obat sakit kepala, tetapi jika yang diberikan adalah obat sakit perut, maka sakit yang dialami tidak akan berkurang, bisa jadi malah semakin parah. Selain itu, berdakwah tanpa menggunakan metode yang tepat sesuai dengan objek dakwah pun dapat menimbulkan permasalahan baru. Meskipun niat seorang da’i sudah baik, tetapi cara dan strateginya salah, maka tujuan dakwah akan sulit tercapai 21
Lihat Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, (Surabaya: Indah Surabaya. 1993) 27.
255
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
dengan baik. Dengan demikian setidaknya profesionalisme seorang da’i secara individual harus dimiliki oleh seorang da’i tersebut agar kegiatan dakwah bisa berjalan dengan lancar dan sukses.
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis dalam tulisan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa da’i seyogyanya adalah orang yang dapat memecahkan masalah umat, bukan orang yang membuat masalah bagi umat. Da’i adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang yang membebani umat dalam arti mematok tarif ketika berdakwah. Rumusan kode etik dakwah diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para da’i atau mubaligh dalam menjalankan dakwahnya, sehingga mereka dapat mewarisi tugas para nabi atau para rasul. Oleh sebab itu, sekurang-kurangnya ada tujuh kode etik dakwah yang menjadi dasar bagi seorang da’i dalam melaksanakan dakwahnya yaitu: (1) Tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan; (2) Tidak melakukan toleransi agama; (3) Tidak mencerca sesembahan agama lain; (4) Tidak melakukan diskriminasi; (5) Tidak memungut imbalan; (6) Tidak mengawani pelaku maksiat; (7) Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kesemua kode etik tersebut hendaknya dapat dijadikan dasar berpijak oleh para da’i dalam berdakwah di tengah-tengah masyarakat agar dakwah yang dilaksanakan bisa berjalan dengan baik. Kemudian simpulan yang kedua bahwa untuk melaksanakan tugas secara profesional, seorang da’i harus memiliki bekal antara lain: (1) Pengetahuan tentang tugas yang dikerjakan dan bagaimana cara melaksanakan pekerjaan itu;
256
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
(2) Memiliki sikap atau etos kerja yang diperlukan untuk mengerjakan tugasnya dengan baik; (3) Memiliki keahlian dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai tugas; dan (4) Memiliki kondisi mental dan fisik yang baik untuk melaksanakan tugas secara efektif dan efisien. Selain itu, seorang da’i profesional mesti menguasai beberapa hal yaitu: (1) Menguasai pekerjaannya; (2) Mempunyai loyalitas; (3) Mempunyai integritas; (4) Mampu bekerja keras, (5) Mempunyai kebanggaan; (6) Mempunyai motivasi; dan (7) Mempunyai komitmen.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur-a>n al-Kari>m. Anshari, Hafi, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: Al-Ikhlas. 1993. Brooks, Sandy. "In Need of Paraprofessional Help." American Libraries (May 1998): 36. Fahmi,
Nizar, “Profesionalisme Seorang Da'i”, http://nizarfahmi19. blogspot.co.id/2014/04/ profesionalisme-seorang-da.html (12 September 2015).
Feisol, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Kafie, Jamaluddin, Psikologi Dakwah, Surabaya: Indah Surabaya. 1993. Kayo, R. B. Khatib Pahlawan, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, Jakarta: Amzah, 2007. Mills, HM. Vollmer and D.L. (eds), Professionalization, Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall., 1996.
257
MIYAH VOL.XI NO. 02 AGUSTUS TAHUN 2015
Muchtarom, Zainal, Dasar-dasar Manajemen Dakwah, Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996. Munir, Muhammad, Manajemen Dakwah, Jakarta: Rahmat Semesta, 2009. Shaleh, Abdul Rosyad, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Ya’qub, Ali Mustafa, “Kode Etik Dakwah” dalam http://budisansblog. blogspot.com /2012/06/kode-etik-dakwah.html. (12 September 2015). Ya’qub, Hamzah, Publistik Islam, Teknik dakwah dan leadership, Jakarta: Diponegoro, 1992.
258