PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA DI KAMPUNG BUDAYA SINDANG BARANG, DESA PASIR EURIH, KECAMATAN TAMANSARI, KABUPATEN BOGOR (Pendekatan Community Based Planning)
Oleh : MOHAMMAD ZAINI DAHLAN A44052777
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA DI KAMPUNG BUDAYA SINDANG BARANG, DESA PASIR EURIH, KECAMATAN TAMANSARI, KABUPATEN BOGOR (Pendekatan Community Based Planning)
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : MOHAMMAD ZAINI DAHLAN A44052777
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Al Baqarah : 32)
RINGKASAN MOHAMMAD ZAINI DAHLAN. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya di Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor (Pendekatan Community Based Planning). (Dibimbing oleh NURHAYATI H. S. ARIFIN) Studi ini bertujuan untuk membuat suatu perencanaan lanskap pendukung kegiatan wisata budaya pada Kampung Budaya Sindang Barang dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, sejarah, sosial dan budaya sebagai obyek dan daya tarik wisata serta memberdayakan partisipasi aktif masyarakat dalam proses perencanaan. Studi ini diharapkan dapat membantu melestarikan kebudayaan tradisional Sunda khas Bogor. Selain itu melalui kegiatan kepariwisataan akan meningkatkan devisa negara, pendapatan daerah dan tentunya kesejahteraan masyarakat setempat. Studi perencanaan lanskap kawasan wisata budaya ini dilakukan di Kampung Budaya Sindang Barang yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kampung Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam proses perencanaan lanskap kawasan wisata budaya adalah dengan pendekatan sumber daya dan aktivitas yang dikemukakan oleh Gold (1980) dengan penyesuaian terhadap sisi sediaan ruang wisata budaya dilihat dari obyek dan daya tarik serta daya dukung fisik kawasan wisata (Gunn, 1994). Dalam pelaksanaan setiap tahapan perencanaan dilakukan bersama masyarakat setempat (Community Based Planning) melalui aplikasi teknik Partisipatory Rural Appraisal (PRA). Tahapan perencanaan ini mencakup kegiatan persiapan, pengumpulan data dan informasi, analisis karakter fisik, sosial, sejarah dan budaya tapak, sintesis (penyusunan konsep), perencanaan lanskap dan penyusunan laporan. Pada dasarnya konsep yang dikembangkan merupakan upaya peningkatan fungsi dan nilai tapak sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai kawasan wisata budaya dengan beragam obyek dan daya tarik wisata yang disajikan baik berupa fisik maupun atraksi. Ragam obyek dan daya tarik budaya tersebut diarahkan sebagai penunjang utama aktivitas wisata pada tapak, sehingga kawasan tersebut mampu memberikan pengalaman yang menarik, pengetahuan yang baru serta rasa kenyamanan dan kepuasan bagi wisatawan. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, konsep dielaborasi lebih lanjut ke dalam rencana ruang dan program ruang, akses dan sirkulasi, ragam dan tata letak fasilitas, jalur perjalanan wisata serta tata hijau yang dapat meningkatkan daya tarik dari kawasan tersebut sebagai satu kesatuan lanskap budaya yang meliputi obyek dan daya tarik wisata secara alami maupun buatan (man made). Konsep ruang pada dasarnya diarahkan untuk menjaga kelestarian dari nilai sejarah dan budaya yang ada di kawasan Sindang Barang umumnya dan khususnya di KBSB serta disesuaikan dengan kebutuhan wisata. Tapak dikembangkan menjadi tiga ruang utama (inti, penyangga dan pengembangan). Ruang inti (core zone) merupakan ruang utama yang berfungsi sebagai pusat dari berbagai obyek dan daya tarik serta aktivitas wisata. Ruang inti baik inti budaya maupun sejarah diarahkan sebagai ruang konservasi baik fisik maupun nilai dari
sejarah dan budaya Sindang Barang. Ruang inti budaya KBSB sebagai refleksi dari ruang budaya/sosial kawasan Sindang Barang secara umum perlu dikembangkan secara lebih teliti sebagai upaya menjaga kelestarian budaya yang ada. Pengembangan ruang disertai dengan perencanaan fasilitas dan aktivitas yang representatif baik secara budaya maupun wisata. Fasilitas yang dikembangkan pada ruang inti budaya adalah fasilitas yang memiliki keterkaitan erat dengan nilai budaya yang ada, seperti bangunan pembentuk kampung budaya Sunda. Dengan demikian aktivitas yang dilakukan pun perlu bersinergi secara utuh dengan fungsi dari kawasan tersebut, seperti menginterpretasi dan memvisualisasi informasi budaya pada tapak. Begitu pula dengan ruang inti sejarah dengan elemen sejarah berupa situs peninggalan kerajaan Sunda dan Pakuan Pajajaran perlu dikembangkan secara lebih teliti untuk mencegah degradasi fisik maupun nilai dari elemen sejarah yang ada. Fasilitas yang dikembangkan diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan sebagai ruang sejarah, seperti dengan melakukan pencagaran secara fisik (biological atau mecanical engineering) dan penataan kawasan situs yang lebih representatif. Adapun untuk aktivitas yang dilakukan lebih bersifat interpretasi dan visualisasi informasi sejarah pada tapak Ruang penyangga (buffer zone) merupakan ruang penghubung antara ruang inti dengan ruang pengembangan. Ruang penyanggan difungsikan sebagai ruang transisi yang mengarahkan wisatawan dari ruang pengembangan menuju ruang utama. Ruang penyangga berfungsi juga sebagai ruang budaya/sosial Sindang Barang secara umum, sehingga dalam ruang tersebut perlu dihadirkan barbagai elemen sejarah maupun budaya yang dapat memperkuat karakter kawasan KBSB. Dengan demikian wisatawan akan lebih tertarik untuk mengunjungi dan menikmati beragam obyek serta daya tarik wisata yang ada pada ruang utama. Adapun ruang pengembangan (development zone) merupakan ruang yang berfungsi sebagai ruang penunjang wisata budaya pada tapak. Ruang pengembangan direncanakan untuk memenuhi fungsi pelayanan dan penerimaan wisata. Sehingga rencana fasilitas diarahkan untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna dan memberikan suasana yang menarik perhatian, mengundang serta menyambut wisatawan (restaurant, parking area, souvenir shop, rest area, dsb). Adapun aktivitas yang dilakukan pada ruang pengembangan lebih bersifat pasif disesuaikan dengan fasilitas yang disediakan. Konsep sirkulasi dan aksesibilitas yang akan dikembangkan berorientasi pada pencapaian seluruh obyek dan daya tarik wisata yang ada pada tapak, baik dalam ruang inti, penyangga maupun pengembangan. Dengan konsep tersebut wisatawan dapat menikmati, mengamati dan memvisualisasikan seluruh obyek dan daya tarik wisata secara utuh (unity), berurutan (sequence) dan terkait satu sama lain (connected). Dalam hal ini akses dan sirkulasi dibagi dalam dua bentuk sirkulasi, yaitu bentuk sekuensial (di luar kawasan dengan pendekatan model berkeliling (circuit/looping)) dan eksplorasi (digunakan untuk sirkulasi di dalam kawasan dengan pendekatan model penyebaran (dispersing)). Touring plan merupakan rencana perjalanan wisata yang dikembangkan untuk memudahkan wisatawan dalam menginterpretasi berbagai obyek dan daya tarik wisata yang disesuaikan dengan tujuan dari kedatangan ke daerah tujuan wisata sehingga akan memberikan pengalaman yang menarik bagi wisatawan.
Penyusunan rencana jalur wisata diarahkan untuk menyatukan berbagai obyek dan daya tarik wisata dalam satu konsep perjalanan wisata yang utuh dengan mempertimbangkan faktor waktu dan biaya. Perencanaan pada kawasan hijau diarahkan untuk memaksimalkan potensi fisik dan ekologis dari vegetasi baik lokal maupun introduksi yang disesuaikan dengan fungsi tapak untuk mewadahi aktivitas pengguna dalam suasana yang nyaman, indah dan tanaman dapat dipelihara. Dalam perencanaan dan pengembangan kawasan hijau direncanakan pembagian ruang hijau menjadi dua zona inti yaitu zona hijau (greenery zone) dan zona pengembangan (development zone). Adapun hasil dari perencanan lanskap kawasan wisata budaya secara keseluruhan disajikan dalam produk arsitektur lanskap berupa gambar block plan, access-circulation and touring plan serta landscape plan.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya di Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupten Bogor (Pendekatan Community Based Planning)“ disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini terdorong oleh keinginan untuk memberikan kontribusi positif bagi Kabupaten Bogor dalam pengembangan daerahnya melalui sektor kepariwisataan. Di samping itu pula sebagai upaya dalam memotivasi masyarakat Bogor pada umumnya dan khususnya bagi masyarakat setempat untuk dapat mengenal potensi yang unik dan khas dari kawasan Kampung Budaya Sindang Barang. Dengan demikian diharapkan dapat menumbuhkan kepedulian dan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat untuk melestarikan lanskap budaya yang ada di kawasan Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Nurhayati Hadi Susilo Arifin, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikannya. 2. Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa. 3. Dr. Ir. Aris Munandar, MS dan Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukkan dalam penyempurnaan penulisan skripsi. 4. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan banggakan, Bapak dan Ibu yang telah memberikan kasih sayang, doa, bimbingan, kepercayaan serta dukungan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. 5. Kedua adikku, Ayu dan Tia atas dukungan, perhatian dan kasih sayangnya.
6. Bapak Achmad Mikami Sumawijaya selaku ketua adat Kampung Budaya Sindang Barang atas informasi, pengalaman serta bimbingannya selama penulis melakukan penelitian. 7. Para kokolot dan keluarga besar Kampung Budaya Sindang Barang (Pak Encem, Pak Karna, Pak Karbet, Pak Jaja, Pak Oo, Pak Sawab, Pak Odih, Ust. Yadi, Pak Ukat, Pak Sudiya, Kang Abel, Kang Jae, Kang Aseng, Teh Putri, Teh Ati dan Umi Enih) atas keramahan dan bantuan selama penulis melakukan penelitian. 8. Kepala Desa Pasir Eurih, ketua RT dan RW dan seluruh masyarakat Desa Pasir Eurih yang telah memberikan kemudahan dalam perolehan data. 9. Keluarga besar Arsitektur Lanskap 42 atas cinta dan persahabatan selama ini. 10. Keluarga besar Arsitektur Lanskap 43 dan 44 atas dukungan dan persahabatan selama ini. 11. Keluarga besar Arsitektur Lanskap (staf pengajar dan staf penunjang) atas ilmu, bimbingan dan kekeluargaan selama penulis menjadi mahasiswa. Pada akhirnya, harapan penulis semoga studi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dan berguna sebagai referensi bagi penelitian di masa yang akan datang. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin. Bogor, Agustus 2009
Penulis
Judul
Nama NRP Departemen
: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya di Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupten Bogor (Pendekatan Community Based Planning). : Mohammad Zaini Dahlan : A44052777 : Arsitektur Lanskap
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Nurhayati Hadi Susilo Arifin, M.Sc. NIP. 19620121 198601 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS NIP. 19591106 198501 1 001
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Mohammad Zaini Dahlan dilahirkan di Bandung pada tanggal 23 Desember 1986 dari pasangan Drs. H. Ahmad Mulyadiprana, M.Pd dan Dra. Hj. Iis Mardiana dan merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar di SDPN Dr. Setiabudhi Bandung, SDN Manonjaya 5 Tasikmalaya dan menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Sukahati 1 Bandung. Penulis melanjutkan pendidikan menengah di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Darul Arqam Muhammadiyah Garut hingga menyelesaikan pendidikan pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kegiatan yang mendukung dalam peningkatan softskill penulis baik dalam kegiatan keprofesian, akademis maupun penunjang lainnya. Penulis pernah menjadi wakil ketua Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (Himaskap) periode 2006-2007 dan pengurus divisi PSDM periode 2007-2008. Selain itu penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lises Gentra Kaheman, Komunitas Hijau Greenconcept IPB dan menjadi volunteer program Kampus Sehat Bersih Indah dan Nyaman (KS BERIMAN) IPB. Dalam bidang keprofesian dan akademis, penulis pernah menjadi juara harapan I dalam Lomba Desain Taman Keluarga Taman Bunga Nusantara 2009, peserta Seyembara Pengkayaan Desain Arsitektur Lanskap dan Arsitektur Master Plan Kebun Raya (Lemor Lombok NTB) oleh IALI 2008 dan Seyembara Perancangan Taman Kota Tebet 2008. Disamping itu penulis pernah menjalankan beberapa pekerjaan keprofesian diantaranya pekerjaan Exhibition Design “Oceanfresh” di BTM Bandung 2008, pekerjaan Intersection Project: Ecological Concept for Sustainable 2008, pekerjaan Desain Taman Rumah di La Vanoise Village Bukit Sentul/Blok C No. 2, Bogor 2008. Selain aktif dalam bidang keprofesian, penulis juga aktif dalam bidang akademis seperti aktif sebagai asisten dosen MK. Teknik Penulisan Ilmiah dan MK. Teknik Studio Departemen Arsitektur Lanskap IPB tahun ajaran 2008-2009.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR..............................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xv
I.
II.
PENDAHULUAN .........................................................................
1
1.1. Latar belakang .......................................................................
1
1.2. Tujuan ...................................................................................
3
1.3. Manfaat .................................................................................
3
1.4. Kerangka Pikir Penelitian ......................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA................................................................
6
2.1. Lanskap Budaya ....................................................................
6
2.2. Pelestarian Lanskap Budaya ..................................................
7
2.3. Pemanfaatan Lanskap Budaya untuk aktivitas Wisata ...........
8
2.3.1. Pengertian Wisata Budaya............................................
8
2.3.2. Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Wisata...............
9
2.3.3. Lanskap Wisata Budaya ...............................................
11
2.4. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata..................................
12
2.4.1. Perencanaan Lanskap Wisata .......................................
12
2.4.2. Pendekatan Community Based Planning: Partisipatory Rural Appraisal (PRA) .................................................
14
III. METODOLOGI............................................................................
16
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................
16
3.2. Batasan Penelitian .................................................................
16
3.3. Tahapan dan Metode Perencanaan .........................................
17
3.3.1. Pengumpulan Data dan Informasi.................................
18
3.3.2. Analisis dan Sintesis ....................................................
22
3.3.3. Konsep.........................................................................
33
3.3.4. Perencanaan Lanskap ...................................................
34
HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................
36
4.1. Data Kondisi Umum ..............................................................
36
IV.
4.1.1. Lokasi, Sirkulasi, dan Aksesibilitas ..............................
36
4.1.2. Tata Guna Lahan..........................................................
42
4.1.3. Biofisik ........................................................................
44
4.1.3.1. Kondisi Tanah (Klasifikasi Tanah) .................
44
4.1.3.2. Kondisi Tanah (Klasifikasi Kesesuaian Lahan) ...........................................................
47
4.1.3.3. Kondisi Hidrologi...........................................
49
4.1.3.4. Kondisi Iklim ................................................
51
4.1.3.5. Kondisi Vegetasi dan Satwa ...........................
52
4.1.4. Kependudukan .............................................................
54
4.1.5. Karakter Lanskap Alami Tapak....................................
56
4.2. Data Kesejarahan Kawasan....................................................
58
4.2.1. Sejarah Kawasan Sindang Barang ................................
58
4.2.2. Sejarah Terbentuknya Kawasan KBSB ........................
60
4.2.3. Elemen Lanskap Sejarah Kawasan ...............................
62
4.3. Data Pola Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat.............
69
4.3.1. Struktur Kelembagaan dan Kehidupan Sosial ...............
69
4.3.2. Pola Perkampungan......................................................
71
4.3.3. Elemen Lanskap Budaya ..............................................
82
4.3.4. Persepsi, Harapan, dan Intervensi Masyarakat..............
92
4.4. Data Kepariwisataan..............................................................
94
4.4.1. Perkembangan Kepariwisataan.....................................
94
4.4.2. Potensi Kepariwisataan ................................................
95
4.4.3. Wisata Andalan............................................................
96
4.4.4. Obyek dan Daya Tarik Wisata......................................
97
4.4.4.1. Lanskap Alami................................................
98
4.4.4.2. Lanskap Sosial................................................
102
4.4.4.3. Lanskap Sejarah dan Budaya...........................
104
4.4.5. Fasilitas Wisata ............................................................
107
4.4.6. Aktivitas Wisata...........................................................
109
4.4.7. Hubungan dengan Obyek Wisata Lain .........................
113
4.4.8. Karakteristik Wisatawan ..............................................
116
4.4.9. Organisasi dan Kelembagaan .......................................
119
4.4.10. Aspek Legal dan Kebijakan Pengelolaan....................
122
4.5. Sintesis ..................................................................................
128
PERENCANAAN LANSKAP ......................................................
147
5.1. Konsep Perencanaan Lanskap ..................................................
147
5.2. Rencana Tata Ruang dan Program Ruang.................................
147
5.1.1. Ruang Inti ....................................................................
148
5.1.2. Ruang Penyangga.........................................................
149
5.1.3. Ruang Pengembangan ..................................................
150
5.2. Rencana Sirkulasi dan Aksesibilitas.......................................
151
5.3. Rencana Tata Hijau ...............................................................
154
5.4. Rencana Operasional dan Fasilitas .........................................
164
5.5. Rencana Perjalanan Wisata (Touring Plan)............................
166
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................
174
6.1. Kesimpulan ...........................................................................
174
6.2. Saran .....................................................................................
176
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
177
LAMPIRAN ...........................................................................................
179
V.
VI.
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Jadwal Penyusunan Skripsi .............................................................
16
2. Jenis Data dan Sumber Perolehannya ..............................................
20
3. Kriteria Penilaian Obyek dan Daya tarik Wisata..............................
25
4. Kriteria Kesesuaian Lahan Kategori Ordo untuk Padi dan Tanaman Upland (Tim P4S-IPB dan Tim NEDESCO, 1977) ..........................
28
5. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Tanpa Ruang Bawah Tanah (USDA, 1983) ......................................................................
28
6. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata (USDA, 1968) ............
28
7. Jenis Kualitas dan Karakteristik Lahan (Puslittanak, 1993)..............
30
8. Kriteria Klasifikasi Kesesuaian Lahan Permanen (Arsyad, 1961) ....
30
9. Kriteria Klasifikasi Kesesuaian Lahan Permanen (Survei, 2009) .....
31
10. Data Iklim Kawasan........................................................................
51
11. Konsep Dasar Tata Ruang Sunda ....................................................
72
12. Ragam Obyek dan Daya Tarik Wisata.............................................
100
13. Hubungan Aktivitas Wisata dengan Tujuan Wisatawan...................
110
14. Matriks SWOT................................................................................
127
15. Analisis dan Sintesis Aspek-Aspek Perencanaan .............................
135
16. Analisis Obyek dan Daya Tarik Wisata ...........................................
137
17. Jenis Ruang, Fungsi, Aktivitas dan Fasilitas ....................................
153
18. Rencana Perjalanan Paket Wisata ...................................................
170
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kerangka Pikir Penelitian................................................................
5
2. Peta Orientasi Lokasi Penelitian ......................................................
16
3. Tahapan Perencanaan Lanskap........................................................
17
4. Skema Kegiatan dalam Evaluasi Lahan (FAO, 1976) ......................
27
5. Pendekatan Dua Tahap dan Pararel dalam Evaluasi Lahan (FAO, 1976)....................................................................................
34
6. Peta Administratif Desa Pasir Eurih ................................................
36
7. Peta Akses dan Sirkulasi Munuju Tapak..........................................
38
8. Skema Transportasi Angkutan Umum Menuju Tapak......................
39
9. Kondisi Eksisting Aksesibilitas dan Sirkulasi ..................................
41
10. Peta Penggunaan Lahan Desa Pasir Eurih........................................
42
11. Peta Jenis Tanah..............................................................................
45
12. Sumber Daya Air Utama pada Tapak (a) Sungai Ciapus (b) Mata Air ....................................................................................
50
13. Tanaman Paku Jajar .......................................................................
53
14. Karakter Lanskap Alami (Daerah Berbatu)......................................
57
15. Good View pada Tapak....................................................................
57
16. Peta Sebaran Situs Bersejarah Sindang Barang................................
63
17. Situs Bersejarah Batu Karut ............................................................
64
18. Situs Bersejarah (a) Batu Dolmen, (b) Batu Fosil Pohon, (c) Batu Kursi, (d) Batu Dakon .....................................................................
64
19. Situs Bersejarah Sumur Keramat Jalatunda.....................................
65
20. Situs Bersejarah Taman Sri Bagenda...............................................
65
21. Situs Bersejarah Punden Majusi ......................................................
66
22. Kondisi Pintu Masuk Punden Majusi ..............................................
67
23. Situs Bersejarah (a) Batu Situs dan (b) Batu Meja ...........................
67
24. Situs Bersejarah Punden Surawisesa ...............................................
68
25. Hutan Keramat (Leuweung Tutupan)...............................................
68
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Ragam Vegetasi pada Tapak ..........................................................
180
2. Sebaran Situs Bersejarah Sindang Barang .......................................
181
3. Paket Wisata Kampung Budaya Sindang Barang.............................
183
4. Ragam Aktivitas di Kampung Budaya Sindang Barang ...................
184
5. Data Obyek dan Daya Tarik Wisata Kab. Bogor..............................
188
6. Daftar Kunjungan Wisatawan KBSB...............................................
190
xiii
26. Kondisi di Situs Batu Karut.............................................................
69
27. Sturktur Adat Kampung Budaya Sindang Barang ...........................
70
28. Pola Perkembangan Permukiman Sunda Secara Umum...................
72
29. Ilustrasi Konsep Elemen Ruang.......................................................
73
30. Ilustrasi Konsep Orientasi dan Mitos Ruang....................................
74
31. Ilustrasi Konsep Orientasi KBSB ...................................................
75
32. Ilustrasi Konsep Luhur-Handap KBSB (Tampak Samping).............
75
33. Bentuk Atap Berdasarkan Filosofi Dagu Kodok (Gado Bangkong) dan Sayap Terbuka (Julang Meber) ................................................
76
34. Ilustrasi Konsep Elemen KBSB.......................................................
77
35. Ilustrasi Pola Tata Ruang Rumah dan Pekarangan (Outdoor) ..........
78
36. Ilustrasi Pola Tata Ruang Dalam (Indoor) .......................................
78
37. Ilustrasi Tata Ruang Vertikal...........................................................
79
38. Imah Gede (Rumah Ketua Adat) .....................................................
80
39. Leuit (Lumbung Padi).....................................................................
80
40. Saung Lisung (Tempat Menumbuk Padi).........................................
81
41. Saung Talu (Tempat Kesenian) .......................................................
81
42. Pawon (Dapur) dan Bale Pangriungan (Aula).................................
82
43. Upacara Ungkal Biang ....................................................................
83
44. Upacara Pernikahan Adat Sunda .....................................................
85
45. Kesenian Berbalas Pantun Sunda dalam Upacara Pernikahan Adat Sunda..............................................................................................
85
46. Kesenian Parebut Seeng..................................................................
86
47. Prosesi Upacara Seren Taun (a) Helaran (b) Majikeun Pare (c) Pare Rama (d) Pare Ambu.......................................................................
89
48. Prosesi Parebut Dongdang..............................................................
89
49. Alat Musik Angklung dan Dongdang Lojor .....................................
90
50. Kesenian Angklung Gubrag.............................................................
91
51. Pencak Silat Cimande......................................................................
91
52. Kesenian Rengkong.........................................................................
92
53. Kondisi Topografi Kawasan Sindang Barang ..................................
98
54. View Point pada Tapak....................................................................
99
xiv
55. View Vegetasi Kirei.........................................................................
99
56. Ruang Aktivitas Sosial Masyarakat .................................................
102
57. Aktivitas Sosial Memanen Padi.......................................................
102
58. Aktivitas Memberi Pakan Ternak (Feeding) ....................................
103
59. Atraksi Kerbau (Membajak Sawah).................................................
103
60. Atraksi Randu Tulub .......................................................................
106
61. Imah Warga dan Pasanggrahan ......................................................
107
62. Tajug dan Tampian .........................................................................
107
63. Batik Iket Khas KBSB dan Perbedaan dengan Batik Iket Badui.......
112
64. (a) Kujang (b) Suling (c) Gangsing Bambu (d) Wayang Golek........
113
65. Peta Obyek Wisata Kabupaten Bogor 2008 .....................................
114
66. Kampung Budaya Sindang Barang dan Kampung Adat Urug ..........
115
67. Struktur Kepengurusan Acara Seren Taun .......................................
121
68. Analisis dan Sintesis Aspek Kepariwisataan....................................
141
69. Analisis dan Sintesis Aspek Kepariwisataan Hasil FGD ..................
142
70. Tahapan Analisis Spasial Tapak ......................................................
143
71. Analisis dan Sintesis Spasial Aspek Fisik Tapak .............................
144
72. Rencana Ruang Budaya Kawasan KBSB Secara Umum..................
145
73. Rencana Ruang Budaya Kawasan Inti Wisata Budaya KBSB..........
146
74. Ilustrasi Pembagian dan Aksesibilitas Ruang...................................
148
75. Ilustrasi Sirkulasi Ruang .................................................................
151
76. Rencana Tata Hijau Kawasan Wisata Budaya KBSB.......................
158
77. Rencana Lanskap Kawasan KBSB Secara Umum (Hasil FGD) .......
159
78. Rencana Lanskap Kawasan Inti Wisata Budaya KBSB I .................
160
79. Rencana Lanskap Kawasan Inti Wisata Budaya KBSB II (Hasil FGD dengan Masyarakat Setempat) ................................................
161
80. Rencana Lanskap Kawasan Inti Wisata Budaya KBSB (Final I)......
162
81. Rencana Lanskap Kawasan Inti Wisata Budaya KBSB (Final II).....
163
82. Keterkaitan antara Aspek Pelayanan dan Fasilitas ...........................
164
83. Rencana Pengembangan Fasilitas Wisata pada Tapak......................
165
84. Rencana Perjalanan Wisata Budaya-Sejarah....................................
168
85. Rencana Perjalanan Wisata Budaya-Alam.......................................
169
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Dewasa ini sektor kepariwisataan merupakan industri yang sangat vital
dalam menunjang pendapatan suatu negara selain sektor migas dan otomotif. Kepariwisataan merupakan hal yang luar biasa dalam menyangga kondisi politik dan ekonomi yang merugikan dan perkembangannya tidak dapat dielakkan sebagai pasar yang menarik. Indonesia adalah negara yang kaya akan kenekaragaman alam hayati dan budaya yang bersumber dari sumber daya hutan alam tropis yang kaya dengan beragam spesies endemik langka dan unik serta ragam etnik yang tinggi. Hal tersebut merupakan suatu potensi untuk dikembangkan menjadi suatu daya tarik wisata yang bernilai tinggi. Permintaan terhadap produk wisata meningkat seiring meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu perubahan paradigma, pola pikir dan pengetahuan masyarakat yang terus berkembang, berdampak pada permintaan (demand) akan produk wisata yang tidak hanya bersifat rekreatif semata, namun juga pada produk wisata yang bersifat peningkatan pengetahuan akan budaya masyarakat yang secara kultur berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki oleh wisatawan tersebut. Bogor sebagai bagian dari wilayah Indonesia tentunya memiliki potensi wisata yang unik yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Kekayaan lanskap yang dimiliki oleh Bogor pada umumnya dan Kabupaten Bogor khususnya, baik alami maupun hasil campur tangan manusia (man made) memiliki nilai sejarah, budaya, sosial, ekonomi dan ekologi yang tinggi. Hal ini sangat potensial untuk dikembangkan
menjadi
salah
satu
sumber
pendapatan
daerah
melalui
pengembangan sektor wisata. Saat ini pengembangan sektor wisata di wilayah Kabupaten Bogor masih terfokus pada kawsan Puncak dan sekitarnya. Namun demikian, seiring menurunnya daya dukung kawasan baik dari segi ekologis (biofisik) maupun sosial (rekreasi) menuntut pemerintah daerah untuk mencari lokasi wisata alternatif yang mampu mengakomodasi kebutuhan pengguna akan objek wisata,
2
dan salah satunya adalah kawasan Kampung Budaya Sindang Barang sebagai solusi alternatif lokasi wisata berbasis budaya. Wisata berbasis budaya merupakan solusi alternatif yang tepat terutama bagi daerah yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Hal ini diperkuat dengan semakin besarnya pengaruh budaya luar yang semakin mengkikis eksistensi dari budaya lokal (tradisional). Kondisi inilah yang dirasakan etnis Sunda sebagai etnis terbesar yang menempati wilayah Bogor dimana eksistensinya semakin terancam. Tentu saja hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah daerah khusunya dan umumnya masyarakat Bogor untuk melakukan upaya pelestarian terhadap keberadaan nilai budaya dari etnis Sunda. Dan hal inilah yang tercermin dari keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang yang menjadi salah satu manifestasi keberadaan budaya etnis Sunda khas Bogor. Kampung Budaya Sindang Barang merupakan suatu kawasan yang dibentuk sebagai upaya pengembangan dan pelestarian kebudayaan etnis Sunda yang hampir punah, seperti Angklung Gubrag, Rengkong dan Uyeg yang dilestarikan dan dikembangkan kembali secara utuh dan menyeluruh. Selain itu keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang merupakan media untuk berbagai acara kebudayaan etnis Sunda, seperti acara Upacara Seren Taun. (http://www.kpsindangbarang.com/ 3 November 2008).
Berbagai obyek daya tarik budaya yang dimiliki oleh Kampung Budaya Sindang Barang merupakan potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi objek wisata berbasis budaya. Suatu lokasi dapat menjadi tujuan wisata karena memiliki objek dan atraksi wisata yang terdiri dari sumber daya kepariwisataan dan prasarana kebutuhan wisatawan. Salah satu sumber daya tersebut adalah budaya yang dapat berupa peninggalan atau tempat bersejarah (artifak) atau pun peri kehidupan (adat-istiadat) yang berlaku di tengah masyarakat. Saat ini kondisi Kampung Budaya Sindang Barang belum mampu memberikan kesan yang menarik dan kepuasan bagi pengunjung sebagai salah satu tujuan wisata budaya. Dengan demikian untuk memberikan kepusan bagi wisatawan serta menambah pengetahuan wisatawan terhadap nilai budaya yang berada dalam kawasan wisata, dibutuhkan suatu upaya perencanaan kawasan wisata budaya yang bersifat preservasi dan konservasi sebagai upaya pelestarian
3
dari berbagai perubahan negatif atau merusak keberadaan nilai dan fisik yang dimilikinya. Upaya ini pula bermanfaat untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik dengan membuat program wisata yang menarik, kreatif, dan berkelanjutan dalam konsep wisata budaya yang berbasis pada partisipasi aktif masyarakat setempat dengan memperhitungkan estimasi ekonomi. 1.2.
Tujuan Studi ini bertujuan untuk membuat suatu perencanaan lanskap pendukung
kegiatan wisata budaya di Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, yang dapat meningkatkan dan melestarikan budaya lokal juga memberikan kesejahteraan dan kenyamanan sosial serta kelestarian ekologi. Dalam studi ini dilakukan pendekatan metode partisipatif masyarakat setempat (community based planning) sebagai dasar untuk memperoleh informasi mengenai persepsi dan harapan masyarakat yang mendukung dalam proses perencanaan kawasan wisata budaya. Pendekatan metode tersebut, dilakukan dalam tahap inventarisasi data, analisis-sintesis hingga tahap perencanaan. Selain itu, dalam studi ini dilakukan pula analisis karakteristik alami, sosial, budaya, aspek legal dan standar-standar perencanaan, sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan sintesa sebagai dasar perencanaan kawasan wisata berbasis budaya di Kampung Budaya Sindang Barang Bogor. Perencanaan berorientasi pada peningkatan potensi dan pengurangan dari dampak negatif yang ada pada tapak 1.3.
Manfaat Hasil dari studi ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
karakteristik lanskap kawasan Kampung Budaya Sindang Barang yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi serta estetika alami. Hasil studi berupa perencanaan lanskap dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam merencanakan dan mengembangkan daerahnya terutama dalam sektor kepariwisataan berbasis budaya yang secara sosial, budaya, ekologi, finansial maupun ekonomi dapat memberikan manfaat yang besar.
4
1.4.
Kerangka Pikir Penelitian Kampung Budaya Sindang Barang merupakan salah satu kampung
tradisional yang dibangun sebagai upaya revitalisasi, konservasi, replikasi, imitasi dan periode setting kebudayaan tradisional Sunda khususnya Sunda khas Bogor yang semakin ditinggalkan dan dikhawatirkan akan punah. Keberadaan kampung budaya menjadi contoh dari pola kehidupan sosial dan budaya masyarakat Sunda yang mempengaruhi bentuk fisik dan tata ruang lanskap di sekitar kawasan. Sistem sosial, budaya, ekonomi dan ekologi yang ada pada kawasan menjadi potensi yang sangat menguntungkan untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata dengan menyajikan kekayaan budaya yang unik dari budaya Sunda. Hal ini tercermin dari pola tata ruang kawasan dan fasilitas pendukung lainnya
juga
dari
perilaku
dan
kebiasaan
masyarakat
setempat
yang
mencerminkan budaya asli masyarakat Sunda. Selain itu, atraksi budaya yang disuguhkan secara alami oleh masyarakat setempat mencerminkan kuatnya masyarakat dalam mempertahankan seni dan budaya tradisional Sunda, hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk menyaksikan setiap atraksi yang disajikan. Kampung Budaya Sindang Barang yang telah ada saat ini belum mampu mewadahi dan menciptakan citra sebagai kawasan budaya. Karakter budaya Sunda Bogor yang menjadi orientasi utama dalam upaya revitaslisasi dan konservasi belum tercermin dalam kawasan. Kuatnya pengaruh budaya luar berdampak pada semakin hilangnya motivasi masyarakat setempat dalam menjaga kelestarian budaya lokal, sehingga berpengaruh dalam upaya pengembangannya. Perencanaan kawasan yang ada saat ini belum dilakukan secara optimal, perencanaan masih berorientasi pada pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata serta kawasan yang ada, dengan tidak begitu memperhatikan kesesuaian lahan dan daya dukung serta potensi lain yang dapat dikembangkan. Dengan demikian perlu adanya suatu perencanaan kawasan sebagai kawasan wisata berbasis budaya, dengan memaksimalkan potensi budaya lokal yang ada dan partisipasi aktif masyarakat setempat, sehingga mampu menciptakan suatu kawasan wisata budaya yang kuat akan nilai dan karakter budaya lokal serta sesuai dengan daya dukung kawasan secara ekologis.
5
Kampung Budaya Sindang Barang direncanakan menjadi suatu kawasan wisata dengan mempertimbangkan aspek tata ruang wisata untuk kenyamanan pengunjung serta mempertimbangkan aspek arsitektur lanskap sehingga terbentuk suatu obyek dan daya tarik wisata yang khas. Selanjutnya output dari proses perencanaan tersebut akan disajikan dalam produk rencana lanskap (landscape plan) yang dielaborasi lebih lanjut dalam rencana perjalanan wisata, rencana program dan aktivitas wisata, rencana fasilitas wisata dan rencana tata hijau di Kampung Budaya Sindang Barang Bogor yang berkelanjutan (Gambar 1). Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor
Kampung Budaya Sindang Barang
Fisik (tangible): Karakter Lanskap Alami View (good atau bad view) Karakter Fisik Kawasan KBSB (Arsitektural dan Tata Ruang)
Non-Fisik (intangible): Struktur Adat dan Sosial Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Kearifan Lokal Nila Sejarah dan Budaya Aktivitas Sosial dan Ekonomi Ruang Budaya/Sosial
Kondisi Umum Kawasan
Aspek Pendukung Wisata
Wilayah Administrasi Aksesibilitas dan Sirkulasi Sistem Transportasi Kependudukan Tata Guna Lahan Topografi, Iklik, Hidrologi, Tanah, Vegetasi dan Satwa.
Kebijakan Pariwisata (UU, Kepmen dan Perda) Kebijakan Tata Ruang Dukungan Pemerintah dan Masyarakat Kedekatan dengan ODTW lain Aktivitas dan Fasilitas yang Ada Sarana dan Prasaran Terkait
KARAKTERISTIK LANSKAP BUDAYA Obyek dan Daya Tarik
Daya Dukung Kawasan
PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA (Zonasi Ruang Wisata, Aksesibilitas dan Sirkulasi, Jalur Interpretasi, Fasilitas Wisata, Ragam dan Ruang Aktivitas, Tata Hijau, Sarana dan Prasarana.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Lanskap Budaya Menurut Simonds (1983) mendefinisikan lanskap sebagai suatu bentang
alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu secara harmoni dan alami untuk memperkuat karakter lanskapnya. Lanskap juga dinyatakan sebagai suatu lahan yang memiliki elemen pembentuk, komposisi, dan karakteristik tertentu sebagai pembedanya. Dikenal adanya lanskap alami (natural landscape) dan lanskap binaan (man made landscape) sebagai dua bentuk lanskap utama yang dipilah berdasarkan intensitas intervensi manusia ke dalam lanskap tersebut. Lanskap binaan merupakan satu bentuk lanskap yang menerima campur tangan, masukkan atau binaan, pengelolaan dari manusia dari tingkat intensitas yang kecil hingga intensitas yang tinggi (Nurisyah dan Pramukanto, 2001). Gold (1980) membedakan elemen lanskap kepada tiga elemen, yaitu elemen lanskap makro, mikro dan buatan manusia (man made). Elemen lanskap makro meliputi iklim (curah hujan, suhu, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin) serta kualitas visual tapak. Elemen mikro meliputi topografi (kontur, kemiringan lahan dan pola drainase), jenis tanah dan keadaaanya, vegetasi, satwa dan hidrologi. Elemen lanskap binaan (man made) manusia meliputi jaringan transportasi, tata guna lahan, pola permukiman dan struktur bangunan. Nurisyah dan Pramukanto (2001) menambahkan lanskap budaya (cultural landscape) merupakan satu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dan ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur dan struktur bangunan serta lainnya.
7
Menurut Tishler dalam Nurisyah dan Pramukanto (2001) menyatakan bahwa lanskap budaya memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia, performa budaya dan juga nilai dan tingkat estetika, termasuk kejadian-kejadian kesejarahan yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Dinyatakannya bahwa kebudayaan merupakan agen atau perantara dalam proses pembentukan lanskap tersebut, kawasan alami merupakan medium atau wadah pembentukannya dan lanskap budaya merupakan hasil atau produknya yang dapat dilihat dan dinikmati keberadaannya baik secara fisik maupun psikis. Lanskap budaya sangat penting untuk dilestarikan keberadaannya, karena apabila suatu lanskap yang memiliki budaya dan tradisi kehidupan masyarakat hilang maka akan terjadi kehilangan apa yang menjadi bagian penting dari diri dan sejarah kehidupan pada masa lampau. 2.2.
Pelestarian Lanskap Budaya Indonesia dengan segala kekayaan sumber daya alam dan budayanya patut
disyukuri dengan tetap menjaga dan melestarikannya. Kebesaran suatu bangsa selain dinilai dari tingkat kesejahteraan dan kestabilan ekonominya, juga dinilai dari bagaimana masyarakat dan bangsa tersebut memperlakukan dan menghargai budaya dan adat istiadatnya serta dalam hal ini mencakup upaya pelestarian berbagai obyek peninggalan budaya yang begitu bernilai yang pernah dimiliki oleh bangsanya. Kegiatan pelestarian merupakan usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya. Pelestarian tersebut tidak hanya memberi manfaat pada obyek yang dilestarikan, namun juga memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasarkan kekuatan aset-aset budaya lama dan melakukan pencangkokan program-program yang menarik, kreatif, berkelanjutan serta merencanakan program partisipatif dengan memperhitungkan estimasi ekonomi (Nurisyah dan Pramukanto, 2001).
8
2.3.
Pemanfaatan Lanskap Budaya untuk Aktivitas Wisata
2.3.1. Pengertian Wisata Budaya Menurut Marpaung (2002) wisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Sedangkan menurut Nurisyah (2004) wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan di luar dari lingkungan tempat tinggalnya, yang didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap. Gunn (1994) menjelaskan bahwa wisata (tour) adalah perpindahan orang untuk sementara dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar tempat dimana mereka biasa tinggal dan bekerja. Pelaku wisata atau wisatawan pergi ke suatu obyek wisata karena didasari motivasi yang bersifat rekreatif (motif tamasya dan rekreasi) dan non-rekreatif (motif kebudayaan, olah raga, bisnis, konvensi, spiritual, kesehatan dan interpersonal). Pada prinsipnya ada tiga sektor yang terdapat dalam kegiatan wisata, yaitu sektor bisnis, non-bisnis dan pemerintah. Berdasarkan UU No. 10 tahun 2009 mengenai kepariwisataan, dinyatakan bahwa pengusahaan obyek dan daya tarik wisata secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis wisata, yaitu wisata alam yang menonjolkan sifat dan karakteristik sumber daya alam daratan dan perairan, wisata budaya yang menyajikan nilai dan monumen budaya atau tempat-tempat bersejarah dengan penekanan tertentu pada aspek pendidikan atau pengamatan spiritual serta wisata minat khusus yang menyajikan obyek dan daya tarik wisata khusus seperti wisata agro, wisata tirta dan sebagainya. Menurut Soebagjo (1996) suatu obyek dapat menjadi tujuan wisata karena memiliki atraksi wisata, yang terdiri dari sumber daya kepariwistaan dan prasarana kebutuhan wisatawan. Salah satu sumber daya tersebut adalah budaya, yang dapat berupa peninggalan atau tempat bersejarah (artifak) atau pun peri kehidupan (adat istiadat) yang berlaku di tengah masyarakat. Dalam hal ini Suwantoro (1997) menjelaskan bahwa objek wisata budaya mempunyai daya tarik yang tertinggi karena nilai yang terkandung pada karya
9
manusia di masa lampau, atraksi kesenian, upacara adat serta adat istiadat suatu daerah yang mempunyai ciri khusus. Pengembangan wisata budaya dapat memberikan manfaat secara tangible maupun intangible dalam peningkatan kualitas kehidupan bangsa, baik dari segi kebudayaan, pendidikan, pariwisata dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) terkait dengan tujuan upaya pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya. 2.3.2. Faktor yang mempengaruhi Aktivitas Wisata Pariwisata diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk aktivitas wisata baik yang bersifat aktif maupun pasif (rekreasi). Berpindahnya seseorang menuju tempat wisata tentunya memiliki motivasi baik dalam memenuhi kebutuhan fisik maupun psikis. MacKinnon et al (1986) dalam Keksi (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung adalah: 1. Letak/jarak kawasan terhadap kota 2. Aksesibilitas ke kawasan tersebut mudah dan nyaman 3. Keaslian, keistimewaan dan kekhasan kawasan 4. Atraksi yang menonjol di kawasan tersebut 5. Daya tarik dan keunikan serta penampilan kawasan 6. Fasilitas, sarana dan prasarana di lokasi wisata yang mendukung bagi wisatawan. Adapun dalam Analisa Daerah Operasi (ADO) Obyek Wisata Alam yang diterbitkan oleh Komisi Koordinasi Pemanfaatan Obyek Wisata Alam (KKPO) dan ADO Wisata Budaya yang dikeluarkan oleh Komisi Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Wisata Budaya terdapat faktor-faktor yang menentukan dalam keberlangsungan aktivitas wisata. Faktor-faktor
tersebut
diantaranya
adalah
daya
tarik
(potensi
obyek/kawasan), peluang pasar, kemudahan pencapaian, kondisi lingkungan, tingkat pengelolaan/pelayanan, kondisi iklim, sarana akomodasi, prasarana dan sarana penunjang, ketersediaan air bersih, sanitasi dan higienis serta hubungan dengan obyek wisata lain.
10
Dari keterangan tersebut secara umum faktor yang mempengaruhi aktivitas wisata adalah faktor fisik kawasan serta obyek dan daya tarik wisata. Faktor-faktor tersebut perlu diakomodasi secara terpadu untuk memberikan kepuasan dan pengalaman yang optimal bagi wisatawan. Untuk mengetahui potensi dan kendala serta metoda/pendekatan yang sesuai dalam perencanaan, perlu dilakukan analisis yang sesuai dengan konsep, tujuan dan sasaran perencanaan. Terkait dengan faktor fisik kawasan, dikenal istilah daya dukung kawasan (land capability). Menurut Nurisyah, Pramukanto dan Wibowo (2003), daya dukung kawasan menjadi hal yang mendasar dalam kegiatan pengelolaan suatu sumber daya alam dan lingkungan yang lestari melalui ukuran kemampuannya. Konsep daya dukung dikembangkan terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumber daya alam dan lingkungan sehingga kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat terwujud, dan masyarakat sebagai pengguna dapat merasakan kesejahteraan dan tidak dirugikan. Begitu pula dengan faktor obyek dan daya tarik wisata, dalam sebuah aktivitas wisata daerah tujuan wisata (DTW) memiliki sumber daya wisata yang merupakan daya tarik bagi pengunjung. Diantara obyek dan daya tarik wisata yang berpotensi untuk menarik wisatawan adalah sebagai berikut: 1. Benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta yang dalam istilah wisata disebut dengan natural amenities sepeti iklim, bentuk tanah dan pemandangan, hutan belukar, flora dan fauna serta pusat-pusat kesehatan yang termasuk dalam kelompok ini. 2. Hasil ciptaan manusia antara lain benda-benda yang memiliki nilai sejarah, keagamaan dan kebudayaan. 3. Tata cara hidup masyarakat setempat. Dengan
demikian
perencanaan
kawasan
wisata
perlu
dilakukan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi dengan
memelihara
integritas
kultural,
proses
ekologi
keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan.
yang
esensial,
11
2.3.3. Lanskap Wisata Budaya Nurisyah dan Pramukanto (2001) menerangkan bahwa lanskap budaya (cultural landscape) merupakan satu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dan ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur dan struktur bangunan serta lainnya. Di sisi lain menurut Nurisyah (2004), wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan pesinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan di luar dari lingkungan tempat tinggalnya, yang didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap. Dengan memperhatikan batasan pengertian lanskap budaya dan wisata, maka dapat diberi batasan mengenai pengertian lanskap wisata budaya adalah bentukan lanskap hasil interaksi manusia dan lingkungannya yang mencerminkan ekspresi, adaptasi dan intervensi manusia dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam, sehingga dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata ke kawasan tersebut. Dengan nilai keunikan dan kekhasan yang terkandung dari lanskap budaya, menjadikan lanskap wisata budaya memiliki potensi yang sangat signifikan dalam pengembangan kepariwisataan. Hal ini diperkuat dengan perubahan paradigma masyarakat terhadap usaha kepariwisataan yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian fungsi rekreasi semata, namun demikian telah berkembang ke arah pencapaian fungsi penerimaan pengetahuan dan pengalaman yang baru dari daerah tujuan wisata yang dikunjungi, khususnya dalam hal budaya yang secara kultural berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh wisatawan tersebut.
12
2.4.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata
2.4.1. Perencanaan Lanskap Wisata Perencanaan lanskap adalah salah satu bentuk produk utama dalam kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap ini merupakan suatu bentuk kegiatan penataan yang berbasis pada lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetika dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan termasuk kesehatannya. Secara praktikal dinyatakan bahwa kegiatan perencanaan suatu lanskap adalah suatu proses pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep ke arah suatu bentuk lanskap atau bentang alam yang nyata. (Nurisyah dan Pramukanto, 2008). Masih menurut Nurisyah dan Pramukanto (2008) bahwa perencanaan lanskap berfungsi utama sebagai suatu panduan saling keterkaitan yang komplek antara berbagai fungsi yang ada pada suatu lahan, bentang alam atau ekosistem. Sebagai
contoh
dengan
memisahkan
fungsi-fungsi
lahan
yang
tidak
berkesesuaian, menyatukan yang sesuai dan memilih yang kompetitif serta menghubungkan setiap fungsi yang dikhususkan pada keseluruhan kawasan lanskap yang dilihat sebagai suatu bentuk wadah kehidupan. Simonds (1983) menambahkan bahwa proses perencanaan merupakan suatu alat yang sistematik yang digunakan untuk menentukan saat awal, keadaan yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai keadaan tersebut. Hal-hal yang harus dilestarikan antara lain pemandangan dari suatu lanskap, ekosistem serta unsur-unsur yang langka untuk mencapai penggunaan terbaik dari suatu lanskap. Begitu pula dengan Gold (1980), bahwa perencanaan lanskap merupakan penyesuaian program dengan suatu lanskap untuk menjaga kelestariannya. Proses tersebut terdiri atas enam tahap, yaitu: persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis, perencanaan dan perancangan. Dalam perencanaan lanskap suatu daerah dimana didalamnya
terdapat
aktivitas
rekreasi,
membutuhkan
informasi
yang
mengintegrasikan manusia dengan waktu luang dimana pengalokasian sumber daya dilakukan untuk menghubungkan waktu luang dengan kebutuhan masyarakat
13
dan areal perencanaan. Proses perencanaan lanskap tersebut dapat didekati melalui empat cara yaitu: 1. Pendekatan sumber daya, dimana dalam hal ini sumber daya fisik atau alami akan menentukan tipe dan jumlah aktivitas pada tapak. Pertimbangan terhadap lingkungan akan menentukan perolehan dan penyelamatan ruang dimana kebutuhan pemakai atau pun sumber dana tidak terlalu dipertimbangkan. 2. Pendekatan aktivitas, dimana aktivitas yang ada pada masa lampau dan saat ini dijadikan dasar pertimbangan perencanaan sarana dan prasarana dalam tapak di masa yang akan datang. Perhatian difokuskan pada permintaan dimana faktor sosial lebih dipertimbangkan dari pada faktor lainnya. 3. Pendekatan ekonomi, dimana tingkat ekonomi dan sumber finansial masyarakat digunakan untuk menentukan jumlah, tipe dan lokasi yang potensial untuk dikembangkan. Dalam hal ini faktor ekonomi merupakan pertimbangan utama. 4. Pendekatan perilaku, dimana dalam hal ini yang menjadi pusat perhatian adalah rekreasi sebagai pengalaman, alasan berapresiasi, bentuk aktivitas yang diinginkan dan dampak aktivitas tersebut terhadap seseorang. Merencanakan suatu kawasan wisata adalah upaya untuk menata dan mengembangkan suatu areal dan jalur pergerakan pendukung kegiatan wisata sehingga kerusakan lingkungan akibat pembangunannya dapat diminimumkan tetapi pada saat yang bersamaan kepuasan wisatawan dapat terwujudkan (Nurisyah, 2004). Perencanaan kawasan wisata sangat diperlukan dalam rangka menahan wisatawan untuk tinggal lebih lama (length of stay) di daerah tujuan wisata dan bagaimana agar wisatawan membelanjakan uangnya sebanyak-banyaknya selama melakukan perjalanan wisata. Semakin lama wisatawan berada di suatu tempat akan meningkatkan pengeluaran mereka dan kemungkinan mendorong semakin banyak orang akan ikut pada kunjungan berikutnya jika kesan yang dibawa setelah berwisata adalah pengalaman wisata yang menarik. Hal ini tentunya berdampak pada bangkitnya aspek penunjang wisata lainnya, seperti perusahaan jasa transportasi, hiburan, akomodasi dan jasa lainnya yang mendukung penyelenggaraan perjalanan wisata.
14
2.4.2. Pendekatan Community Based Planning: Partisipatory Rural Appraisal (PRA) Kata partisipatori menurut FAO (1989) dalam Mikkelsen (2001) merupakan keterlibatan secara sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri dalam hal pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka. Dalam hal ini pemberdayaan masyarakat menjadi aspek penting dalam pelaksanaannya. Begitu halnya dalam upaya mengembangkan suatu kawasan yang berkelanjutan,
perlu
dilakukan
inovasi
dalam
pendekatan
kegiatan
perencanaannya. Konsep top-down saat ini banyak ditinggalkan karena tidak begitu memberikan hasil yang nyata. Dengan demikian pendekatan secara bottomup dimana masyarakat dilibatkan secara aktif dalam setiap proses perencanaan, perlu diupayakan lebih maksimal. Menurut Pretty dan Guijt (1992) dalam Mikkelsen (2001) menjelaskan implikasi praktis dari pendekatan ini dimana pendekatan pembangunan partisipatoris harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem
kehidupan
mereka
sendiri.
Pendekatan
ini
harus
menilai
dan
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka dan memberikan sarana yang perlu bagi mereka supaya dapat mengembangkan diri. Ini memerlukan perombakan dalam seluruh praktik dan pemikiran, disamping bantuan pembangunan. Ringkasnya perlu adanya suatu paradigma baru dengan pelibatan masyarakat secara langsung dalam pemilihan, perencanaan, perancangan dan pelaksanaan program. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa persepsi masyarakat setempat, pola sikap dan pola berpikir serta nilai-nilai dan pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh. Dengan hal ini pula akan diperoleh umpan balik (feed back) yang positif yang pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan perencanaan. Dan salah satu metode yang saat ini banyak digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menggunakan metode Partisipatory Rural Appraisal (PRA). Prinsip Rural Partisipatory Appraisal (PRA) merupakan pendekatan yang menekankan suatu reorientasi antara mereka yang datang dari luar (orang luar)
15
dan orang dalam yang merupakan subjek kegiatan pembangunan atau kegiatan penelitian. Metode ini merupakan proses saling belajar yang menggantikan studi satu arah mengapa dan bagaimana (transfer of know-how) (Mikkelsen, 2001). Menurut Wowno (2006) Partispatory Rural Appraisal atau lebih dikenal dengan metode PRA, merupakan sebuah metode pemahaman lokasi dengan cara belajar dari, untuk dan bersama masyarakat untuk mengetahui, menganalisis dan mengevaluasi hambatan dan kesempatan melalui multi disipilin dan keahlian untuk menyusun informasi, merencanakan dan mengambil keputusan sesuai kebutuhan. Masih menurut Wowno (2006), PRA merupakan gambaran dari bentuk eksplorasi
dimana
diupayakan
belajar
mengetahui
segala
hal
tentang
permasalahan dari persepsi masyarakat setempat, juga bentuk topikal dimana pengetahuan tentang topik tertentu dikaji lebih tajam dan mendalam. Dengan demikian dalam prosesnya diperlukan partisipasi aktif dari masyarakat secara optimal untuk memperoleh informasi yang sesuai.
III. METODOLOGI 3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian Obyek penelitian adalah kawasan Kampung Budaya Sindang Barang, Desa
Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan mulai pertengahan bulan Februari sampai pertengahan bulan Mei 2009 (Tabel 1).
Gambar 2. Peta Orientasi Lokasi Penelitian Tabel 1. Jadwal Penyusunan Skripsi
3.2.
Batasan Penelitian Penelitian ini merupakan studi perencanaan lanskap kawasan wisata
budaya untuk mendukung berlangsungnya kegiatan wisata budaya di Kampung Budaya Sindang Barang. Perencanaan lanskap wisata budaya dalam studi ini mencakup rencana tata ruang (zonasi), tata hijau, program rauang dan aktivitas wisata (objek dan atraksi), sistem sirkulasi, jalur perjalanan wisata serta fasilitas pendukung wisata budaya. Penelitian dibatasi sampai tahap perencanaan lanskap dalam bentuk hasil perencanaan (produk arsitektur lanskap) berupa rencana lanskap (landscape plan).
17
Kawasan Kampung Budaya Sindang Barang (KBSB) Kabupaten Bogor
Kondisi Umum: -Kondisi fisik alami (topografi, tanah, iklim, hidrologi, vegetasi dan satwa serta view) -Kondisi fisik nonalami (lokasi, akses, sirkulasi, land form, land use, obyek, aktivitas dan fasilitas wisata
Kesejarahan: -Sejarah Sindang Barang -Alus sejarah kawasan KBSB -Kondisi elemen sejarah
Kondisi Masyarakat: -Sosial-budaya -Sosial-ekonomi -Aktivitas dan kepentingan pengguna -Persepsi, harapan dan intervensi masyarakat
Kondisi Umum: Tata ruang Kepariwisataan Pengembangan wisata Pengembangan masyarakat
Inventarisasi: Pendekatan Community Based Planning dengan metode PRA (Partisipatory Rural Appraisal)
Karakter Lanskap kawasan KBSB (cakupan sejarah, budaya, sosial dan ekologis) Obyek dan Daya tarik wisata (fisik dan atraksi) Analisis: Pendekatan Community Based Planning dengan metode PRA (Partisipatory Rural Appraisal)
Perencanaan lanskap Pengembangan perencanaan lanskap Sintesis: Pendekatan Community Based Planning
Rencana Lanskap Kawasan Kampung Budaya Sindang Barang Bogor (Zonasi Ruang Wisata, Aksesibilitas dan Sirkulasi, Jalur Perjalanan Wisata, Program ruang dan Aktivitas Wisata, Tata Hijau, Fasilitas, Sarana dan Prasarana Wisata) Produk Perencanaan lanskap
Gambar 3. Tahapan Perencanaan Lanskap 3.3.
Tahapan dan Metode Perencanaan Metode yang digunakan dalam tahapan perencanaan lanskap kawasan
wisata budaya KBSB adalah dengan pendekatan sumber daya dan aktivitas yang dikemukakan oleh Gold (1980) dengan penyesuaian terhadap sisi sediaan ruang wisata budaya dilihat dari obyek dan daya tarik serta daya dukung fisik kawasan wisata (Gunn, 1994). Dalam pelaksanaan setiap tahapan perencanaan dilakukan bersama dengan masyarakat setempat (Community Based Planning) melalui aplikasi teknik Partisipatory Rural Appraisal (PRA).
18
Partisipasi aktif masyarakat diakomodasi dan difasilitasi dalam setiap tahapan perencanaan metode Gold (1980) mulai tahap inventarisasi data primer, analisis, sintesis hingga tahap perencanaan. Adapun kaitannya dengan pendekatan metode sediaan ruang menurut Gunn (1994), masyarakat dilibatkan secara aktif dalam menilai (sintesis) dan menyusun konsep pra perencanaan (sintesis) hingga penentuan ruang yang sesuai dengan tujuan dari perencanaan. Dengan demikian dapat dihasilkan produk perencanaan yang mencerminkan hasil partisipasi masyarakat setempat (Community Based Planning). Sehingga manfaatnya selain dapat memberikan produk perencanaan yang estetika dan fungsional namun juga tetap terjaga kelestariannya (sustainable) sebagai ekspresi rasa memiliki (sense of belonging) dari masyarakat setempat. Tahapan perencanaan ini mencakup beberapa jenis kegiatan yang diantaranya adalah persiapan, pengumpulan data dan informasi secara primer maupun sekunder, analisis tapak, sintesis (penyusunan pra-perencanaan: ilustrasi inventarisasi, tahapan analisis-sintesis dan concept plan), penyusunan konsep perencanaan (block plan, site development plan, landscape plan dan tourism development plan), perencanaan lanskap (landscape plan) serta penyusunan skripsi (Gambar 3). 3.3.1. Pengumpulan Data dan Informasi Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung dilapangan, sedangkan data sekunder diperoleh
dari
data
yang
telah
dipublikasikan
sebelumnya.
Tabel
2
memperlihatkan jenis data beserta sumber data yang digunakan dalam pencapaian tujuan penelitian. Dalam memperoleh data primer, dilakukan melalui pendekatan partisipasi aktif masyarakat setempat atau Partisipatory Rural Appraisal (PRA), dimana dalam hal ini masyarakat diajak secara aktif dalam perolehan data berdasarkan persepsi dan intervensi masyarakat. Dalam hal ini pendekatan metode PRA yang digunakan tidak secara menyeluruh mengikuti syarat ideal pelaksanaan PRA. Menurut Daniel (2005) dalam pelaksanaan PRA masyarakat merupakan pihak yang menggali informasi, menilai hingga merumuskan perencanaan yang
19
dilakukan, sedangkan peneliti hanya berfungsi sebagai fasilitator dan katalisator. Pada penelitian ini tidak seluruhnya murni hasil perumusan oleh masyarakat, namun demikian dikombinasikan dengan data kondisi tapak dan kaidah-kaidah perencanaan lanskap.. Metode PRA ini dilakukan dengan menggunakan berbagai hal, diataranya Focus Group Discussion (FGD), wawancara terstruktur dan semi terstruktur, penyebaran kuesioner dan survei lapang secara langsung. Dalam aplikasi FGD disajikan beberapa permasalahan secara topikal yang terkait dengan proses perencanaan untuk memperoleh data yang beragam dari berbagai macam responden. Pertanyaan yang diajukan dalam proses FGD berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap kondisi lanskap alam, sosial maupun budaya yang ada saat ini maupun yang telah hilang. Selain itu, diajukan pula perihal keberadaan dari Kampung Budaya Sindang Barang dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Adapun dalam proses wawancara baik terstruktur maupun semi terstruktur dilakukan pada narasumber yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan rekomendasi yang valid (purposive). Wawancara terstruktur dan semi terstruktur dilakukan untuk menggali informasi yang secara validitas lebih terjamin karena diperoleh secara langsung dari sumber informasi (informant). Wawancara dilakukan terhadap beberapa tokoh masyarakat (Kokolot), para ahli dan perwakilan dari masyarakat baik yang terkait langsung secara administratif wilayah (Ketua RT, Ketua RW, dan Kepala Desa) maupun kelembagaan (Gapoktan, Kelompok Tani, Pemimpin Pesantren, dsb). Dalam perolehan data melalui kuesioner dilakukan probability sampling1 dengan menggunakan cara sampel acak sederhana (simple random sampling2). Cara ini dipilih karena anggota populasi dianggap sama (homogen), sehingga cara pengambilan sampel dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada 1
Probability sampling adalah teknik sampling yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel (Sumber: http://tatugasakhir.blogspot.com/probability-sampling.html. (1 Juli 2009)) 2
Simple random sampling adalah cara pengambilan sampel dari semua anggota populasi secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Cara demikian apabila anggota populasi dianggap homogen (Sumber: http://ta-tugasakhir.blogspot.com/simple-randonsampling.html. (1 Juli 2009))
20
Tabel 2. Jenis Data dan Sumber Perolehannya No. 1.
2.
Jenis Data Kampung Budaya Sindang Barang
Aspek Pendukung Wisata Budaya
Unsur Data
Sumber Data
a. Kesejarahan Latar belakang sejarah dan budaya, sumber utama sejarah, sejarah Sindang Barang, sejarah Kampung Budaya Sindang Barang, elemen lanskap sejarah; obyek dan lokasi.
Diperoleh secara primer melalui wawancara terstruktur maupun tidak kepada narasumber yang memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan budaya Sindang Barang secara umum. Juga dengan survei langsung pada tapak.
b. Kondisi Umum Peta tanah, peta topografi, peta tata guna lahan, data hidrologi, data iklim, data demografi, data geografis, data/peta sirkulasi dan aksesibilitas, view, elemen lanskap alami serta data vegetasi dan satwa.
Diperoleh secara primer melalui survei langsung pada tapak juga melalui penelaahan data sekunder yang diperoleh dari dinas pemerintah terkait (Bappeda, Disparbud, BMG, Puslit. Tanah, dsb).
c. Kondisi Masyarakat Setempat Sistem kehidupan masyarakat (sosial, budaya dan ekonomi), ragam aktivitas (sosial, ekonomi dan budaya), kepentingan penggunaan tapak, persepsi, harapan, intervensi masyarakat serta elemen lanskap budaya.
Diperoleh secara primer melalui survei langsung, wawancara dan kuesioner serta melalui FGD terhadap beberapa masyarakat secara random.
a. Sistem Wisata Budaya Karakteristik wisatawan, aktivitas wisata, sirkulasi dan aksesibiltas, sarana dan prasarana wisata, fasilitas wisata, obyek dan daya tarik wisata serta elemen lanskap alami maupun buatan yang berpotensi.
Diperoleh secara primer melalui survei langsung pada tapak dan wawancara. Dilakukan pula penelaahan data sekunder yang diperoleh dari dinas terkait (Disparbud) dan berbagai sumber sekunder lain yang relevan.
b. Kebijakan Pengelolaan/Aspek Legal Sistem pengelolaan saat ini, kebijakan pengelolaan, kebijkan tata ruang, dukungan pemerintah, swasta dan masyarakat, rencana pengembangan kawasan.
Diperoleh secara primer melalui wawancara dan penelaahan data sekunder dari dinas terkait dan data relevan lainnya.
21
dalam populasi itu. Dalam penelitian ini kuesioner yang disebar telah melalui uji reliabilitas dan validitas. Metode uji reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas test-retest3, yaitu dengan cara mengulang tes yang sama dua kali dan mengkorelasikan skor tes tersebut. Adapun metode uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas relasi kriteria, yaitu dengan membandingkan skor responden dengan satu atau lebih variabel eksternal. Dari hasil uji reliabilitas dan validitas diperoleh bahwa instrumen yang digunakan layak untuk disebarkan dan dijadikan sebagai data penunjang yang reliabel dan valid. Selanjutnya data yang diperoleh secara langsung dari lapangan akan dikombinasi dan dikomparasikan dengan data sekunder yang merupakan data yang telah dipublikasikan sebelumnya. Data sekunder yang diperoleh disesuaikan dengan kebutuhan dalam pencapaian tujuan dari perencanaan. 3.3.2. Analisis dan Sintesis Metode yang digunakan dalam tahap analisis dan sintesis meliputi metode deskriptif, kualitatif, kuantitatif serta spasial. Disamping itu untuk menilai segi kelayakan pengembangan kepariwisataan di kawasan Kampung Budaya Sindang Barang dilakukan analisis SWOT dan Marketing Mix. Analisis deskriptif digunakan untuk membuat deskripsi dari
karakter
lanskap pada tapak penelitian secara sistematis, faktual dan akurat yang meliputi fakta dan sifat fisik maupun sosial pada tapak (Suryabrata, 1992). Dalam tahap analisis ini diperoleh data dan informasi mengenai potensi, kendala, amenity maupun danger signals yang terkait dengan kondisi tapak. Analisis deskriptif digunakan dalam menganalisis data umum kawasan baik dari segi lokasi, sirkulasi, aksesibilitas, biofisik, kependudukan maupun karakter lanskap alami pada tapak. Dalam pengembangan lebih lanjut dilakukan analisis spasial dengan memberikan skor terhadap aspek-aspek tersebut untuk memperoleh nilai kesesuaian lahan terhadap rencana pengembangan kawasan.
3
Test-retest merupakan suatu koefisien reliabilitas yang diperoleh dengan mengadministrasikan tes yang sama dua kali dan mengkorelasikan skor tes tersebut. Dalam konsep, hal ini merupakan ukuran konsistensi skor yang sempurna sebab memungkinkan pengukuran konsistensi langsung dari suatu ujian ke ujian berikutnya (Sumber: http://pustekkom.depdiknas.go.id/ (1 Juli 2009))
22
Selain itu, digunakan pula dalam analisis data kesejarahan dalam hal keterkaitan antara sejarah masa lalu dengan kondisi saat ini, terutama mengenai keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang. Begitu pula dalam analisis data pola kehidupan sosial dan budaya masyarakat dilakukan analisis deskriptif yang dilanjutkan dengan analisis kualitatif mengenai persepsi masyarakat terhadap obyek yang dianalisis. Untuk data kepariwisataan, analisis deskriptif kualitatif dan kuantitaif digunakan dalam menentukan titik-titik obyek (fisik maupun atraksi) yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata. Adapun untuk analisis kualitatif dan atau kuantitatif digunakan untuk menentukan kualitas karakter lanskap dari tapak yang meliputi elemen mayor maupun minor pembentuknya. Selain itu, kombinasi antara analisis tersebut dengan analisis ruang (spasial) digunakan dalam menentukan kesesuaian dan daya dukung lahan terhadap rencana pengembangan tapak. Tahap penentuan kesesuaian tersebut dilakukan terlebih dahulu dengan mendeskripsikan kualitas dari aspek yang dianalisis yang kemudian dilakukan penilaian (scoring) dengan menggunakan skala pengukuran Likert4. Skala Likert digunakan untuk mempermudah dalam penilaian aspek yang dianalisis. Dalam menggunakan skala Likert sebelum penilaian terlebih dahulu dilakukan penentuan variabel yang diukur dan dijabarkan menjadi indikator variabel. Setelah dilakukan penilaian (scoring) dilanjutkan dengan analisis tabulatif (ranking) dengan mengurutkan nilai skor hasil penjumlahan dari setiap aspek. Kemudian nilai tersebut disesuaikan dengan nilai skor akumulasi yang diperoleh dengan menggunakan skala pengukuran Guttman5. Skala pengukuran tersebut digunakan untuk memperoleh hasil yang pasti dimana data yang diperoleh berupa data interval dari sangat potensial, cukup potensial dan tidak potensial. 4
Skala Likert merupakan skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang obyek penelitian. Dengan skala Likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap item instrumen mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif (Sumber: http://ta-tugasakhir.blogspot.com/skala-pemgukuran.html. (1 Juli 2009)). 5
Skala pengukuran dengan tipe jawaban yang tegas, diantaranya: ‘ya’ dan ‘tidak’; ‘benar-salah’ dan lain-lain. Data yang diperoleh dapat berupa data interval atau rasio dikhotomi (dua alternatif) (Sumber: http://ta-tugasakhir.blogspot.com/skala-pemgukuran.html. (1 Juli 2009))
23
Disamping itu, metode tersebut digunakan pula dalam menganalisis kualitas dari obyek dan daya tarik wisata yang terdiri dari elemen lanskap sejarah, sosial maupun. Penentuan obyek dan daya tarik tersebut dilakukan berdasarkan pendekatan terhadap kriteria MacKinnon et al. (1986) dalam Keksi (2002) dan kriteria Obyek dan Daya Tarik Wisata Andalan (2001), dengan beberapa penyesuaian terhadap kondisi dan kebutuhan penelitian. Kriteria-kriteria tersebut adalah daya tarik wisata (obyek fisik maupun atraksi); letak dan aksesibilitas; potensi pasar; kondisi lingkungan; pelayanan wisata; fasilitas, sarana dan prasarana wisata. Untuk mempermudah penilaian, maka digunakan skala pengukuran Guttman dalam menentukan kualitas dan kuantitas aspek yang dinilai. Dalam penilaian ini faktor-faktor penentu penilaian dinilai secara umum untuk seluruh obyek dan daya tarik wisata. Namun demikian untuk memperoleh hasil yang lebih signifikan, maka dilakukan penyesuaian terhadap aspek-aspek yang terkait dengan obyek dan daya tarik wisata tersebut. Terutama dalam penilaian elemen sejarah yang secara lokasi cukup jauh dari ruang utama. Dalam tahap penilaian digunakan skala pengukuran Likert dan selanjutnya digunakan skala Guttman. Dengan menggunakan skala pengukuran Likert ditentukan skala nilai sebagai indikator berupa data interval dari 0 sampai 4. Nilai 0 diperuntukan untuk aspek yang hanya memiliki 1 faktor dari 5 faktor dalam setiap kriteria penilaian dan nilai 4 untuk aspek yang memiliki seluruh faktor. Penilaian dilakukan secara subyektif oleh peneliti dengan faktor yang disajikan sebagai variabel bersifat positif. Penilaian dilakukan berdasarkan skala Guttman dengan data interval sesuai dan tidak sesuai. Nilai sesuai untuk aspek yang berkolerasi positif dengan faktor penilaian sedangkan nilai tidak sesuai untuk aspek yang berkorelasi negatif. Tabel 3 merupakan kriteria penilaian obyek dan daya tarik wisata dengan faktor penentu sebagai variabel indikator dalam pengukuran. Selanjutnya dilakukan penjumlahan nilai skor pada masing-masing kriteria. Hasil penjumlahan nilai skor kemudian disesuaikan dengan hasil skala pengukuran Guttman, yaitu untuk jumlah skor total 0-5 termasuk dalam kategori tidak potensial, skor 6-11 termasuk kategori kurang potensial, skor 12-17 termasuk kategori cukup potensial dan skor 18-24 termasuk kategori sangat
24
potensial. Sehingga diperoleh kesimpulan untuk obyek dan daya tarik wisata yang sesuai untuk dikembangkan pada tapak. Di samping itu, untuk memperoleh korelasi dengan tujuan perencanaan lanskap maka dilakukan analisis secara keruangan (spasial) untuk memperoleh kesesuaian (land suitability) dan daya dukung lahan (land capability) terhadap rencana pengembangan tapak. Dengan demikian produk perencanaan lanskap yang dihasilkan tidak hanya dapat mempertahankan keberadaan dan kelestarian tapak hasil pengembangan (developed site) secara fisik, namun juga dalam menjaga kenyamanan dan keamanan pengguna tapak termasuk keberlangsungan kehidupan didalamnya. Dalam hal ini semua aspek kesesuaian lahan (land suitability) dianalisis dan dihasilkan sintesis untuk memperoleh kesesuaian lahan yang optimal. Adapun terkait dengan daya dukung lahan (land capability) dalam hal ini faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan lahan dianalisis secara tingkat tinjau (reconnaisance) dengan menilai kemampuan maksimal lahan (tangible dan intangible) dalam menunjang berbagai aktivitas (fisik dan atraksi) yang direncanakan. Dalam penilaian daya dukung lahan, dilakukan melalui pendekatan faktor pembatas, evaluasi dampak, keawetan dan kerusakan area (ekosentrik) serta kepuasan pemakai (antroposentrik) terhadap daya dukung ekologis dan sosial menurut Tivy (1972) dalam Nurisyah et al (2003). Menurut Pigram (1983) dalam Nurisyah et al (2003) dinyatakan daya dukung ekologis merupakan tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan/ekosistem, baik berapa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasi didalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis kawasan/ekosistem tersebut termasuk estetika alami yang dimilikinya. Dalam hal ini terdapat beberapa kawasan yang menjadi perhatian utama dalam penilaian daya dukung secara ekologis, yaitu kawasan hutan di sekitar kawasan KBSB dan sungai Ciapus serta kawasan KBSB. Penilaian tersebut diarahkan untuk menjaga kelestarian serta mencegah degradasi dari sumber daya dan lingkungan, sehingga keberadaan fisik dan fungsinya dapat tetap lestari.
25
Tabel 3. Kriteria Penilaian Obyek dan Daya Tarik Wisata No. 1.
2.
2.
3.
4.
5.
Kriteria Daya Tarik Wisata
Faktor
a. Keaslian, keunikan dan kekhasan terjaga b. Kemudahan kunjungan dapat disaksikan sewaktu-waktu c. Keindahan, kenyamanan dan kebersihan kawasan terjaga d. Keragaman ODTW lebih dari tiga variasi bentuk e. Kemampuan lokasi (daya tampung) lebih dari 15 orang Peluang Pasar a. Memiliki kedekatan jarak dari target pasar b. Memiliki aksesibilitas mudah c. Memiliki kedekatan dengan permukiman d. Memiliki citra positif dari obyek e. Memiliki promosi dan akomodasi yang baik Letak dan Aksesibilitas a. Memiliki jarak dari ruang utama kurang dari radius 1-3 km b. Memiliki kondisi jalan yang representatif untuk kendaraan (beraspal dan lebih dari 3 m) c. Memiliki kondisi jalan yang representatif untuk pedestrian (berbatu dan lebih dari 1 m) d. Memiliki kemudahan aksesibilitas (point to point) e. Memiliki sarana transportasi umum menuju lokasi Kondisi Lingkungan a. Memiliki daya dukung fisik kawasan yang susuai Fisik dan Sosial b. Memiliki dampak sumber daya hayati yang rendah c. Memiliki citra/penilaian masyarakat yang positif d. Memiliki status kepemilikan lahan yang jelas (milik adat) e. Memiliki jumlah penduduk yang rendah (radius 20-100 m) Pelayanan Wisata a. Memiliki tingkat pengelolaan dan perawatan yang baik b. Memiliki kemudahan dalam memperoleh informasi yang valid c. Memiliki kelancaran dan keramahan pelayanan d. Memiliki kecakapan dalam berkomunikasi dan berbahasa e. Memiliki penguasaan materi yang baik Fasilitas, Sarana dan a. Memiliki fasilitas khusus untuk anak-anak, orang tua dan berkebutuhan khusus Prasarana b. Memiliki fasilitas penunjang dengan daya tampung >10 orang (shelter, tempat duduk, dsb.) c. Memiliki sarana dan prasarana utama (jalan, transportasi umum, penginapan, dsb.) d. Memiliki kedekatan dengan sarana dan prasarana penunjang (warung, rumah makan, dsb.) e. Memiliki kedekatan dengan prasarana tertentu (wartel, warnet, puskesmas, dsb.)
0 1 poin
1 2 poin
Nilai 2 3 poin
3 4 poin
4 5 poin
1 poin
2 poin
3 poin
4 poin
5 poin
1 poin
2 poin
3 poin
4 poin
5 poin
1 poin
2 poin
3 poin
4 poin
5 poin
1 poin
2 poin
3 poin
4 poin
5 poin
1 poin
2 poin
3 poin
4 poin
5 poin
26
Untuk memperoleh nilai daya dukung yang optimal maka ditentukan dua faktor penting menurut Ortolano (1984) dalam Nurisyah et al (2003), yaitu faktor pertumbuhan (growth variable) dan faktor pembatas (limiting factor). Faktor pertumbuhan terdiri dari populasi penduduk (jumlah pertambahan penduduk per tahun) atau ukuran aktivitas manusia (jumlah pengunjung per hari). Adapun faktor pembatas yang dianalisis terdiri dari elemen fisik lahan (tanah, topografi, iklim, vegetasi, satwa, hidrologi dan interaksi manusia didalamnya). Adapun untuk konsep daya dukung sosial merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan. Konsep ini terkait dengan tingkat comfortability atau kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu tapak (Nurisyah et al, 2003). Daya dukung sosial dinyatakan oleh Piagram (1983) dalam Nurisyah et al (2003) sebagai batas maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan suatu kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung akan menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pemakai pada kawasan. Dalam hal ini dilakukan penyesuaian terhadap aspek wisata dimana karateristik wisatawan, pengelolaan dan sumber daya kawasan menjadi faktor pertumbuhan dan pembatas dalam proses penilaian daya dukung. Di samping itu, analisis spasial dilakukan pula dalam penilaian data kesejarahan berupa sebaran elemen sejarah kawasan juga terhadap data kepariwisataan dalam hal ragam obyek dan daya tarik wisata, aktivitas wisata dan fasilitas wisata. Dalam tahapannya dilakukan rekapitulasi dan deliniasi seluruh data terkait dari proses analisis sebelumnya ke dalam bentuk peta untuk selanjutnya dikombinasikan dengan analisis spasial melalui metode overlay. Dalam mengevaluasi kondisi fisik kawasan untuk memperoleh hasil kesesuaian lahan yang optimal, maka dilakukan tahapan kegiatan evaluasi lahan secara umum dengan pendekatan kegiatan evaluasi lahan menurut FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007). Gambar 4 menerangkan tahap kegiatan dalam evaluasi lahan menurut FAO (1976), namun demikian dalam implementasinya dilakukan penyesuaian terhadap kondisi aktual pada tapak.
27
Adapun dalam penentuan syarat penggunaan dan kualitas lahan hingga penentuan klasifikasi kesesuaian lahan hasil perbandingan kedua hal tersebut, digunakan kelas kesesuaian lahan menurut USDA6 (Klingebiel dan Montgomery, 1961) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007). Data yang diperlukan dalam kelas klasifikasi kesesuaian lahan menurut USDA (1961) berupa data sifat fisik/morfologi dari elemen lahan yang dapat diamati secara langsung tanpa melakukan pengamatan lebih detil di laboratorium. Seperti dalam mengamati karakteristik tanah (tekstur tanah) yang diamati dengan cara mengambil secara langsung sampel tanah dan menilai dengan meninjau (reconnaisance) sifat fisiknya apakah lempung, liat, berdebu, berpasir, dsb.
Konsultasi Pendahuluan (Tujuan, Data dan Asumsi dan Rencana Kerja) Jenis Penggunaan Lahan (Secara Umum dan Terperinci)
Syarat Penggunaan Lahan
Pembandingan Syarat Penggunaan Lahan dengan Kualitas Lahan (Pembandingan, Analisis Sosial-Ekonomi dan Analisis Dampak Lingkungan)
Satuan Peta Tanah (Lahan)
Kualitas Lahan
Klasifikasi Kesesuaian Lahan Penyajian Hasil (Peta dan Laporan)
Gambar 4. Skema Kegiatan dalam Evaluasi Lahan (FAO, 1976) Berdasarkan skema tersebut maka tahap pertama yang dilakukan adalah menentukan tujuan dari jenis penggunaan lahan potensial yang direncanakan. Secara umum penggunaan lahan potensial yang direncanakan berupa ruang 6
Klasifikasi kemampuan lahan USDA merupakan pengelompokan yang dilakukan secara kualitatif dan dapat dikatakan merupakan pendekatan pertama dari pendekatan dua tahap menurut FAO (1976). Klasifikasi USDA menggunakan data tentang sifat fisik/morfologi lahan yang dapat diamati langsung di lapang tanpa memerlukan data yang harus dianalisis di laboratorium (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
28
budaya yang terdiri dari permukiman, pertanian dan pariwisata. Selanjutnya untuk memperoleh kesesuaian antara tujuan dengan kondisi fisik aktual kawasan maka diperlukan
syarat-syarat
dari
masing-masing
penggunaan
lahan
yang
direncanakan. Syarat tersebut selanjutnya dibandingkan dengan variabel-variabel penciri dari kualitas lahan yang relevan dengan tujuan perencanaan. Berikut merupakan syarat-syarat dari masing-masing penggunaan lahan yang direncanakan berdasarkan syarat-syarat kesesuaian lahan yang dikemukakan oleh Tim P4S-IPB dan Tim NEDESCO (1977) untuk pertanian dan kehutanan (Tabel 4), USDA (1968) untuk permukiman (Tabel 5) dan USDA (1968) untuk pariwisata (Tabel 6) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007). Tabel 4. Kriteria Kesesuaian Lahan Kategori Ordo untuk Padi dan Tanaman Upland (Tim P4S-IPB dan Tim NEDESCO, 1977) dengan Penyesuaian. No. A. 1. 2. 3.
Faktor Padi Kedalaman efektif (cm) Lereng (%) Drainase
B. 1. 2.
Tanaman Upland Kedalaman efektif (cm) Lereng (%) Drainase
Sesuai
Sesuai Bersyarat
Tidak Sesuai
>30 <8, ≤25;<5, <25 Baik, agak baik, agak buruk, buruk
15-30 8-15, >25; 5-8,<25 Sangat buruk, sangat cepat
<15 Sangat cepat sekali, air tergenang
>30 <8, ≤25;<5, <25 Baik, agak baik, agak buruk, buruk
15-30 8-15, >25; 5-8,<25 Sangat buruk, sangat cepat
<15 Sangat cepat sekali, air tergenang
Tabel 5. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Tanpa Ruang Bawah Tanah (USDA, 1983) No.
Sifat Tanah Baik
1. 2. 3. 4. 5.
Kedalaman hamparan batuan (cm) -Keras -Lunak Kedalaman cadas keras (cm) -Tebal -Tipis Lereng (%) Banjir Longsor
Kesesuaian Lahan Sedang
Buruk
>100 >50
50-100 <50
<50 -
>100 >50 <8 Tanpa Tanpa
50-100 <50 8-15 Tanpa Tanpa
<50 >15 Jarang Ada
Tabel 6. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata (USDA, 1968) No. A.
Sifat Tanah Area Terbuka (lapang)
Kesesuaian dan Faktor Penghambat Lahan Baik Sedang Buruk
29
1.
Drainase
2.
Banjir
3.
Permeabilitas
4. 5.
Lereng (%) Tekstur* permukaan tanah
6. 7. 8. B. 1.
Dalamnya batuan (cm) Batu (>25 cm) (%) Batuan (bedrock) (>60 cm) (%) Area Rekreasi dan Piknik Drainase
2.
Bahaya banjir
3. 4. 5. 6. C. 1.
Lereng (%) Tekstur* permukaan tanah Batu (%) Batuan (%) Jalan Setapak Drainase tanah
2.
Bahaya banjir
3. 4. 5. 6.
Lereng (%) Tekstur* permukaan tanah Batu (%) Batuan (%)
Cepat, agak cepat, baik dan agak baik Tidak pernah
Agak baik dan agak jelek
Agak jelek, sangat jelek
Sangat cepat, cepat sedang 0-2 lp, lph, lpsh, l, ld
Sekali dalam setahun Agak lambat, lambat 2-6 lli, llip, llid, pl
> 1kali dalam 2 th Sangat lembat
>100 0 0
50-100 0.01-3 0.01-0.1
>6 lip, lid, li, p, tanah organik <50 >3 >0.1
Cepat, agak cepat, baik dan agak baik, Tanpa
Agak baik dan agak jelek
Jelek, sangat jelek
1-2 kali selama semusim 8-15 lli, llip, llid, pl, p 3-15 0.1-3
2 kali selama semusim >15 lip, lid, li >15 >3
Agak jelek
Jelek, sangat jelek
2-3 kali setahun
>3 kali setahun
15-25 llid, llip, lli, pl 3-15 0.1-3
>25 lip, lid, li >15 >3
0.8 lp, lph, lpsh, l, ld 0-3 0-0.01 Cepat, agak cepat, baik dan agak baik 1 kali setahun/kurang 0-15 lp, lph, lpsh, l, ld 0-3 0-0.1
*) lp=lempung berpasir, lph=lempung berpasir halus, lpsh=lempung berpasir sangat halus, l=lempung, ld=lempung berdebu, lli=lempung liat, llip=lempung liat berpasir, llid=lempung liat berdebu, pl=pasir berlempung, lip=liat berpasir, lid=liat berdebu, li=liat, p=pasir. Selain syarat-syarat untuk penggunaan lahan yang direncanakan, ditentukan pula jenis kualitas dan karakteristik/penciri lahan (Puslittanak, 1993) yang dipertimbangkan dalam evaluasi lahan, serta parameter penilaian untuk kriteria karakteristik/penciri lahan (Arsyad, 1979) yang menentukan kualitas lahan tersebut. Kriteria yang digunakan merupakan hasil modifikasi dari kriteria USDA (1961) terhadap faktor-faktor penghambat yang bersifat permanen atau sulit dapat diubah. Tabel 7 menerangkan jenis kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan dalam evaluasi. Adapun Tabel 8 menerangkan kriteria lebih lanjut dari karakteristik/penciri yang digunakan sebagai parameter dalam evaluasi lahan,
30
dengan penyesuian terhadap kondisi aktual dalam penelitian. Disamping itu untuk mempermudah dalam penilaian secara kuantitatif maka dilakukan pembobotan (scoring) terhadap masing-masing kriteria secara subyektif oleh peneliti. Tabel 7. Jenis Kualitas dan Karakteristik Lahan (Puslittanak, 1993) A.
B.
C.
Evaluasi Tingkat Tinjau Persyaratan Ekologi/Tumbuhan/Tanaman 1. Rejim suhu - Suhu rata-rata tahunan (0C) 2. Ketersediaan air - Curah hujan (mm/th) 3. Media perakaran - Drainase (kelas) - Tekstur (kelas) - Kedalaman tanah (cm) 4. Bahaya banjir - Peripde banjir (minggu) - Frekuensi banjir 5. Bahaya erosi - Kemiringan (%) Persyaratan Pengelolaan 1. Potensi mekanisasi - Kemiringan lereng (%) - Batu permukaan (%) - Singkapan batu (%) Persyaratan Konservasi 1.Bahaya erosi -kemiringan lereng (%)
Evaluasi Tingkat Semi Detil 1. Rejim suhu - Suhu rata-rata tahunan (0C) 2. Rejim radiasi - Panjang penyinaran (jam/hari) 3. Ketersediaan air - Curah hujan (mm/th) 4. Media perakaran - Drainase (kelas) - Tekstur (kelas) - Kedalaman tanah (cm) 5. Bahaya banjir - Peripde banjir (minggu) - Frekuensi banjir 6. Bahaya erosi - Kemiringan (%) 1. Kemudahan pengelolaan - Kelas kemudahan pengelolaan (kelas) 2. Potensi mekanisasi - Kemiringan lereng (%) - Batu permukaan (%) - Singkapan batu (%) 1. Bahaya erosi - Tingkat bahaya erosi (rumus USLE)
Tabel 8. Kriteria Klasifikasi Kesesuaian Lahan Permanen (Arsyad, 1961) No. 1.
Faktor Tekstur Tanah (kelas)
Kualitas dan Kuantitas Halus:5 Liat berdebu, liat Agak halus:4
2.
Kedalaman Tanah (cm)
3.
Lereng (%)
4.
Drainase Tanah
Keterangan
Sedang:3 Agak kasar:2 Kasar:1 Dalam:5
Liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir Debu, lempung berdebu, lempung Lempung berpasir Pasir berlempung, pasir >90
Sedang:4 Agak dangkal:3 Dangkal:2 Sangat dangkal:1 Datar:5 Landai/berombak:4 Agak miring:3 Curam:2 Sangat curam:1 Baik:5
90-75 75-50 50-25 <25 0-3 3-8 8-15 15-45 >45 Peredaran udara baik, seluruh profil tanah
31
Agak baik:4 Agak buruk:3
5.
Batuan Lepas
Buruk:2 Sangat buruk:1 Tidak ada:5 Sedikit:4
Sedang:3 Banyak:2 Sangat banyak:1 6.
Batuan tersingkap
Tidak ada:5 Sedikit:4 Sedang:3 Banyak:2 Sangat banyak:1
7.
Bahaya banjir
Tidak pernah:5 Jarang:4 Kadang-kadang:3 Sering:2 Sangat sering:1
terang dan tidak terdapat bercak Peredaran udara baik, profil tidak terdapat bercak berwarna kuning, cokelat atau kelabu Peredaran udara baik, profil atas tidak terdapat bercak kuning, cokelat atau kelabu, lapisan bawah terdapat bercak Lapisan horison atas terdapat bercak Seluruh lapisan horison terdapat bercak < 0.01 % luas area 0.01-3 % permukaan tanah tertutup, pengolahan tanah dengan mesin terganggu tetapi tidak mengganggu pertumbuhan tanaman 3-15 % permukaan tanah tertutup, pengolahan tanah tertutup dan produktivitas terganggu 15-90 % permukaan tanah tertutup, pengolahan dan pertumbuhan terganggu >90 % permukaan tanah tertutup, tanah tidak dapat dikelola dan ditanami <2 % permukaan tanah tertutup 2-10 % permukaan tanah tertutup, pengolahan dan penanaman agak terganggu 10-50 % permukaan tanah tertutup, pengolahan dan penanaman terganggu 50-90 % permukaan tanah tertutup, pengolahan dan penanaman sangat terganggu >90 % seluruh permukaan tertutup dan tidak dapat dilakukan pengolahan dan penanaman Dalam periode 1 tahun tidak pernah tertutup banjir untuk waktu >24 jam Dalam periode < 1 bulan terjadi banjir dalam waktu >24 jam (tidak teratur) Dalam periode 1 bulan dalam setahun terjadi banjir dengan waktu >24 jam (teratur) Dalam periode 2-5 bulan dalam setahun terjadi banjir dengan waktu >24 jam (teratur) Dalam periode ≥6 bulan terjadi banjir dengan waktu >24 jam (teratur)
Adapun untuk kriteria dari faktor suhu dan faktor terkait lainnya dijabarkan secara subyektif oleh peneliti berdasarkan pengamatan langsung di lapang dengan penyesuaian terhadap sumber data dan informasi sekunder. Berikut merupakan kriteria yang digunakan untuk menilai lahan berdasarkan faktor permanen (Tabel 9). Tabel 9. Kriteria Klasifikasi Kesesuaian Lahan Permanen (Survei, 2009) No. 1.
Faktor Suhu (0C)
Kualitas dan Kuantitas Baik:5 Agak baik:4 Agak buruk:3 Buruk:2
Keterangan Nyaman ternaungi vegetasi Nyaman cukup ternaungi vegetasi Cukup nyaman kurang ternaungi vegetasi Kurang nyaman kurang ternaungi vegetasi
32
2.
Curah Hujan (mm/th)
3.
Intensitas (%)
4.
5.
Penyinaran
Kelembaban (%)
Kecepatan Angin (km/jam)
6.
Kualitas Hidrologi
7.
Kualitas Visual (View)
Sangat buruk:1 Baik:5 Agak baik:4 Agak buruk:3 Buruk:2 Sangat buruk:1 Baik:5
Tidak nyaman tidak ternaungi vegetasi Drainase baik tidak berdampak negatif Drainase cukup baik tidak berdampak negatif Drainase kurang baik cukup berdampak negatif Drainase kurang baik berdampak negatif Drainase buruk dan berdampak negatif Banyak vegetasi penaung
Agak baik:4 Agak buruk:3 Buruk:2 Sangat buruk:1 Baik:5 Agak baik:4
Cukup banyak vegetasi penaung Cukup vegetasi penaung Kurang vegetasi penaung Tidak ada vegetasi penaung Banyak vegetasi penanung dan ground cover Cukup banyak vegetasi penanung dan ground cover Cukup vegetasi penanung dan ground cover Kurang vegetasi penanung dan ground cover Sedikit vegetasi penanung dan ground cover Ada vegetasi wind breaker dan filter
Agak buruk:3 Buruk:2 Sangat buruk:1 Baik:5 Agak baik:4 Agak buruk:3 Buruk:2 Sangat buruk:1 Baik:5 Agak baik:4 Agak buruk:3 Buruk:2 Sangat buruk:1 Baik:5 Agak baik:4 Agak buruk:3 Buruk:2 Sangat buruk:1
8.
Vegetasi
Baik:5 Agak baik:4 Agak buruk:3 Buruk:2 Sangat buruk:1
Banyak vegetasi wind breaker dan filter Cukup banyak vegetasi wind breaker dan filter Cukup vegetasi wind breaker dan filter Tidak ada vegetasi wind breaker dan filter Kualitas visual air baik Kualitas visual air agak baik Kualitas visual air agak buruk Kualitas visual air buruk Kualitas visual air sangat buruk Keaslian dan keunikan obyek sangat menarik, laju degradasi nilai visual sangat lambat. Keaslian dan keunikan obyek agak menarik, laju degradasi nilai visual agak lambat. Keaslian dan keunikan obyek kurang menarik, laju degradasi nilai visual agak cepat. Keaslian dan keunikan obyek tidak menarik, laju degradasi nilai visual cepat. Keaslian dan keunikan obyek sangat tidak menarik, laju degradasi nilai visual sangat cepat. Kondisi vegetasi baik (dominasi tegakan pohon) Kondisi vegetasi baik (semi dominasi tegakan pohon) Kondisi vegetasi baik (tegakan pohon cukup) Kondisi vegetasi baik (sedikit tegakan pohon) Kondisi vegetasi baik (sangat sedikit tegakan pohon)
Penilaian dilakukan secara spasial per aspek dan untuk mempermudah penilaian, nilai dikelompokkan menjadi tiga (nilai 1, 2 dan 3). Setelah dilakukan penilaian, nilai skor pada masing-masing kriteria dijumlahkan dan hasil penjumlahan disesuaikan dengan skala pengukuran Guttman, yaitu untuk jumlah skor total 1-2 termasuk dalam kategori tidak potensial, skor 3-4 termasuk kategori
33
potensial dan skor 5-6 termasuk kategori sangat potensial. Selanjutnya hasil nilai skor disesuaikan dengan standar/parameter kesesuian lahan sesuai rencana pengembangan, sehingga diperoleh kesimpulan untuk lahan dengan fungsi yang sesuai untuk dikembangkan pada tapak. Tingkat kerincian evaluasi lahan yang dilakukan dalam proses penilaian adalah tingkat tinjau (Reconnaisance) dengan menentukan kriteria penentu berdasarkan rujukan data sekunder dan subyektivitas peneliti. Sebagai contoh dalam mengukur faktor curah hujan didasarkan pada kualitas lahan berupa kerentanan
erosi
pada
tapak,
dalam
hal
ini
faktor
pembatas
yang
mempengaruhinya adalah tingkat drainase, vegetasi dan tekstur tanah. Pengukuran dilakukan dengan menilai interaksi antara faktor pembatas tersebut. Bila bernilai positif (tidak berdampak negatif) maka kawasan tersebut sangat potensial untuk dikembangkan. Penilaian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif sederhana, adapun untuk analisis sosial-ekonomi dilakukan secara umum. Mengenai produktivtas hasil pertanian dari rencana penggunaan tapak yang direncanakan dan relevansinya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam analisis kondisi fisik dan sosial-ekonomi dilakukan pendekatan dua tahap menurut FAO (1976). Tahap pertama dilakukan evaluasi lahan secara kualitatif, sedangkan tahap dua (bila diperlukan) terdiri dari analisis sosial-ekonomi (Gambar 5). Klasifikasi kesesuaian lahan dalam tahap pertama didasarkan pada kecocokan hasil perbandingan antara kriteria kesesuaian lahan yang direncanakan dengan kualitas lahan pada tapak. Hasil pada tahap satu disajikan dalam bentuk peta kesesuaian lahan dan laporan. Hasil tersebut yang selanjutnya dilakukan analisis spasial (overlay) untuk memperoleh pembagian ruang yang sesuai dengan rencana pengembangan tapak. Adapun untuk tahap dua berupa analisis lebih lanjut terhadap aspek sosial dan ekonomi dilakukan bila diperlukan segera atau pun beberapa waktu kemudian. Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis lebih lanjut terhadap aspek sosial-ekonomi pada tahap dua.
34
Dua Tahap
Pararel
Konsultasi Pendahuluan
Survei Lahan
Survei Lahan
Tahap pertama
Klasifikasi Lahan Kualitatif
Klasifikasi Lahan Kualitatif dan Kuantitif
Analisis Sosial dan Ekonomi
Analisis Sosial dan Ekonomi Tahap kedua
Klasifikasi Kuantitatif Lahan Perencanaan
Gambar 5. Pendekatan Dua Tahap dan Paralel dalam Evaluasi Lahan (FAO, 1976) Dalam tahap ini pula dilakukan evaluasi atau sintesis terhadap berbagai hal yang terkait dengan proses perencanaan pada tapak. Tahap sintesis merupakan tahap
penyusunan
pra-perencanaan
dalam
mencari
alternatif
konsep
pengembangan potensi dan pemecahan masalah untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan perencanaan lanskap. Dengan demikian diperoleh hasil sintesis berupa konsep dasar perencanaan (concept plan) yang dielaborasi dalam pembagian
penggunaan
ruang
budaya
(zonasi)
secara
umum
dengan
mempertimbangan aspek sosial dan ekonomi masyarakat setempat juga aspek kesesuaian serta daya dukung lahan. 3.3.3. Konsep Konsep merupakan tahap pengembangan perumusan dalam perencanaan kawasan wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dinginkan. Konsep disusun berdasarkan hasil analisis dan sintesis yang memakasimalkan potensi yang ada dan mengurangi dampak negatif dari kendala pada tapak dengan tetap berorientasi pada partisipasi aktif masyarakat. Konsep dijabarkan dalam sebuah rencana konsep (concept plan).
35
3.3.4. Perencanaan Lanskap Dari hasil sintesis dan penyesuaian terhadap konsep, tujuan serta sasaran perencanaan, diperoleh alternatif perencanaan lanskap terpilih yang sesuai untuk dikembangkan pada tapak. Perencanaan lanskap tersebut dinyatakan sebagai rencana lanskap dan disajikan dalam bentuk produk arsitektur lanskap berupa gambar rencana lanskap (landscape plan) yang merupakan hasil elaborasi lebih lanjut dari rencana penggunaan ruang budaya (block plan) secara umum. Adapun terkait dengan aspek kepariwisataan maka konsep dikembangkan dalam bentuk rencana penggunaan ruang wisata, rencana akses dan sirkulasi (access-circulation plan), rencana jalur perjalanan wisata (touring plan), rencana fasilitas, promosi wisata serta rencana program wisata budaya yang dapat meningkatkan daya tarik dari kawasan tersebut sebagai satu kesatuan lanskap budaya yang meliputi objek dan daya tarik wisata secara alami maupun buatan (man made).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Kondisi Umum 4.1.1. Lokasi, Sirkulasi, Aksesibilitas dan Transportasi Studi ini dilakukan di kawasan Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa pasir Eurih terletak pada posisi geografis 06037’10” - 06038’40” LS dan 106042’45” 106047’25” BT dengan luas kawasan 316 ha. Berada pada ketinggian 350-500 meter dpl. dan berjarak lima km dari kota Bogor atau 60 km dari kota Jakarta. Secara administratif Desa Pasir Eurih berbatasan dengan Kecamatan Ciomas di sebelah utara, Desa Tamansari di sebelah selatan, Desa Sirnagalih di sebelah timur, dan Desa Sukaresmi disebelah barat (Gambar 6).
Gambar 6. Peta Administratif Desa Pasir Eurih
37
Kampung Budaya Sindang Barang termasuk ke dalam wilayah administratif Desa Pasir Eurih dengan luas total kawasan tiga hektar dan saat ini baru dikembangkan seluas 8.600 m2. Batas kawasan dari Kampung Budaya Sindang Barang adalah area persawahan di sebelah utara, timur dan barat serta permukiman penduduk dibagian selatan. Jalur sirkulasi menuju kawasan Kampung Budaya Sindang Barang dapat dicapai dengan berbagai bentuk alat transportasi darat (mobil kecil, sedang, bus mini dan motor) dengan kondisi jalan beraspal mulai dari pintu masuk kecamatan hingga pintu masuk utama kawasan. Adapun kondisi jalan dari pintu masuk utama hingga memasuki kawasan berupa jalan berbatu, hal ini didasari konsep elemen dari sebuah kawasan kampung budaya yang lebih berorientasi pada alam. Aksesibilas menuju kawasan dapat ditempuh melalui dua jalur akses utama, yaitu jalur utara dan selatan. Jalur utara merupakan akses utama dari pintu masuk kecamatan dengan kondisi jalan yang sempit dan kawasan sekitar yang dipadati permukiman. Adapun jalur selatan dari arah Ciapus menjadi jalur alternatif dengan kondisi fisik jalan yang relatif sama namun memiliki kondisi sekitar jalan yang lebih lenggang. Pada Gambar 7 dapat dilihat ilustrasi akses dan sirkulasi menuju tapak. Berdasarkan gambar akses dan sirkulasi, bagi wisatawan luar Bogor sebelum menuju kawasan dapat mengakses melalui dua moda transportasi yaitu transportasi kereta api (stasiun) dan kendaraan bermotor (terminal). Kemudian dilanjutkan dengan mengikuti rute menuju kawasan utama. Untuk wisatawan yang menggunakan jasa transportasi kereta api maka dapat dilanjutkan dengan mengikuti angkutan umum trayek 02 (Sukasari-Bubulak) hingga berhenti di depan Bogor Trade Mall (BTM) dan dilanjutkan dengan trayek 03/04 (Ramayan-SBR) berhenti di depan welcome gate Kampung Budaya Sindang Barang. Dari tugu selamat datang dapat dilanjutkan dengan berjalan kaki atau menggunakan jasa transportasi motor (ojek) hingga mencapai kawasan utama KBSB.
38
Gambar 7. Peta Akses dan Sirkulasi Menuju Tapak Adapun bagi wisatawan yang menggunakan jasa transportasi bus, setelah sampai di terminal Baranang Siang Bogor dapat dilanjutkan dengan menggunakan angkutan umum trayek 06 (Ramayana-Ciheuleut) atau trayek 05 (RamayanaCimahpar) hingga berhenti di depan Bogor Trade Mall (BTM) dan dilanjutkan dengan trayek 03/04 (Ramayana-SBR) berhenti di depan welcome gate Kampung Budaya Sindang Barang. Dari tugu selamat datang dapat dilanjutkan dengan berjalan kaki atau menggunakan jasa transportasi motor (ojek) hingga mencapai
39
tapak. Waktu tempuh untuk perjalanan dari BTM hingga pintu masuk kawasan wisata kurang lebih 30 menit dengan jarak lima kilo meter. Adapun untuk perjalanan dari pintu masuk kawasan hingga kawasan inti kurang lebih 10 menit untuk pejalan kaki dan lima menit untuk kendaraan dengan jarak 800 meter. Gambar 8 merupakan ilustrasi skema transportasi bagi wisatawan yang menggunakan jasa transportasi umum. Bagi wisatawan yang menggunakan kendaraan pribadi setelah memasuki kawasan Bogor baik dari arah Jagorawi, Cibinong, Parung, Ciawi maupun Dramaga/Bogor Barat dapat dilanjutkan menuju jalan Ir. H. Djuanda dan berputar di kawasan Pasar Bogor menuju ke arah Ciapus dan selanjutnya dapat dilanjutkan menuju kawasan Kampung Budaya Sindang Barang.
Gambar 8. Skema Transportasi Angkutan Umum Menuju Tapak
40
Keberadaan akses sirkulasi dan fasilitas transportasi yang representatif akan memberikan kemudahan bagi wisatawan dalam mengunjungi kawasan wisata. Dengan demikian pendapatan daerah dari bidang kepariwisataan akan meningkat seiring meningkatnya kunjungan wisatawan yang diharapkan akan menghabiskan sebagian besar waktu luang dan membalanjakan uangnya di Daerah Tujuan Wisata (DTW). Dalam hal ini, secara umum aksesibilitas, sirkulasi dan transportasi menuju kawasan Kampung Budaya Sindang Barang cukup baik (Gambar 9). Namun demikian terdapat beberapa hal yang dapat mengurangi kenyamanan pengunjung seperti kondisi jalan masih banyak yang berlubang dan lebar jalan yang cukup sempit. Dengan demikian perlu adanya suatu upaya perencanaan dan penataan jalur sirkulasi yang sesuai dengan konsep pengembangan terpadu yang dapat menambah tigkat kenyamanan pengguna jalan terutama wisatawan dalam mengakses tapak. Beberapa titik kritis yang perlu dilakukan perbaikan adalah jalan Pajajaran dan jalan Ir. Djuanda hingga jalan Empang-Pulo yang sering terjadi kemacetan dan terdapat beberapa kerusakan fisik. Begitu pula dengan jalan Kapten Yusuf sebagai akses utama menuju tapak yang sering mengalami kemacetan dan kerusakan fisik, perlu dilakukan perbaikan dan pelebaran jalan. Selain itu, kondisi jalan Desa Pasir Eurih (Jalan Nurkim, E. Sumawijaya hingga jalan Kampung Budaya Sindang Barang) cukup sempit dan rusak sehingga tidak dapat diakses oleh pengunjung yang menggunakan kendaraan berukuran besar. Upaya perbaikan dan pelebaran jalan diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi kelancaran usaha kepariwisataan di kawasan Sindang Barang khususnya dan umumnya Kabupaten Bogor. Di samping itu untuk memudahkan pengunjung dalam mengakses tapak terutama wisatawan yang menggunakan jasa transportasi umum, perlu disediakan shuttle car yang menghubungkan tapak dengan moda transportasi (stasiun, terminal, bandara, dsb.). Tentunya dengan adanya shuttle car dapat merangsang jasa pariwisata lainnya, seperti tour operator dengan kreativitas dan inovasi dalam memberikan pelayanan bagi wisatawan.
42
4.1.2. Tata Guna Lahan Penggunaan lahan di wilayah Desa Pasir Eurih secara umum terdiri dari lahan terbangun (93.11 ha/29 %) dan lahan terbuka (223.26 ha/71 %). Untuk lahan terbangun masyarakat menggunakannya sebagai permukiman yang terdiri dari rumah penduduk, masjid bangunan bale pertemuan, madrasah dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan untuk lahan terbuka digunakan sebagai lahan pertanian (sawah dan ladang), pemakaman umum, makam leluhur, sungai dan hutan keramat (leuweung tutupan) (Gambar 10).
Gambar 10. Peta Penggunaan Lahan Desa Pasir Eurih Pola perkembangan Desa Pasir Eurih sebagian besar mengikuti alur sirkulasi/jalan (Strip Development). Hal ini berdampak pada perubahan penggunaan lahan (land use changes) baik dari segi sosial maupun ekonomi. Dari segi sosial, masyarakat yang berada di sepanjang jalan memiliki adaptasi terhadap perubahan yang lebih cepat dibanding masyarakat yang jauh dari jalan. Ini dapat dilihat dari model rumah yang banyak menggunakan bahan konkrit dibandingkan dengan bahan kayu dan bambu (bilik) yang banyak digunakan oleh masyarakat yang jauh dari jalan.
43
Selain dari segi sosial, perubahan ini sangat berpengaruh terhadap tingkat ekonomi dimana dalam hal ini telah terjadi kenaikan harga sewa (land rent) dan jual tanah (land sale) yang berada di sepanjang jalan dua kali lipat bahkan hingga empat kali lipat dalam selang waktu 2-3 tahun terakhir. Terlebih semenjak dibangun dan dibukanya kawasan Kampung Budaya Sindang Barang sebagai kawasan wisata yang menjadikan wilayah tersebut banyak dikunjungi oleh wisatawan. Dengan kondisi seperti ini banyak dari masyarakat setempat yang lebih memilih menjual tanahnya pada pengembang untuk dijadikan sebagai fasilitas penunjang wisata di kemudian hari. Hal ini pula berdampak pada perubahan status kepemilikan tanah yang banyak berubah sehingga banyak dari masyarakat yang tidak menjadi tuan atas tanah mereka sendiri terutama tanah yang berada di sepanjang jalan. Adapun untuk penggunaan lahan di kawasan kampung Budaya Sindang Barang, lahan terbangun terdiri dari 1 unit Imah Gede (rumah ketua adat), 1 unit Girang Seurat (sekretariat), 2 unit Imah Kokolot (rumah sesepuh adat), 6 unit Imah Warga (rumah penduduk), 1 unit Bale Pangriungan (aula), 1 unit Imah Talu (tempat kesenian), 6 unit Saung Leuit (lumbung padi), 1 unit Saung Lisung (tempat menumbuk padi), 1 unit Pawon (dapur), 2 Tampian unit (kamar mandi), dan fasilitas penunjang lainnya. Lahan terbuka di kawasan Kampung Budaya Sindang Barang sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian baik sawah, ladang maupun sawah huma 8. Pemanfaatan lainnya digunakan sebagai alun-alun dalam (rencana akan dibangun alun-alun luar) dan lahan parkir yang merupakan hibah penggunaan dari Pemerintah Desa Pasir Eurih. 8
Huma (Ngahuma) merupakan cara menanam padi khas masyarakat Sunda. Dalam teknisnya padi huma ditanam di lereng tanpa diairi dan bergantung pada air hujan. Benih yang ditanam pun bukan dari benih yang disemaikan terlebih dahulu, namun benih yang langsung ditanam dalam lubang. Ketika penanaman didahului dengan ritual dan diiringi (digiring) oleh Angklung Gubrag. Dalam perawatannya padi huma tidak diberi pupuk kimia dan umur untuk sekali panen padi huma adalah 6-7 bulan, sehingga kualitas dari padi Huma berbeda dengan padi pada umumnya. Setelah padi dipanen maka akan disimpan di dalam lumbung padi (Leuit) untuk menjaga padi tetap dalam kondisi baik selama tidak diperlukan. Ketika padi diperlukan maka padi akan diambil dan ditumbuk di dalam Lesung (Lisung) sehingga diperoleh bulir-bulir padi yang baik (Ensiklopedi Sunda, 2000).
44
Secara umum penggunaan lahan baik di wilayah Desa Pasir Eurih maupun di kawasan Sindang Barang telah digunakan secara optimal. Peralihan fungsi lahan yang terjadi tidak terlalu signifikan, hal ini dapat dilihat dari jumlah lahan untuk pertanian yang masih tergolong luas, sekitar 71% dari total lahan desa. Namun demikian ini tidak menjadi jaminan bahwa lahan petanian akan tetap dalam jumlah besar. Melihat kondisi saat ini dimana kawasan Kampung Budaya Sindang Barang yang telah menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Kabupaten Bogor akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap perubahan penggunaan lahan. Perubahan yang paling signifikan akan terlihat pada konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Hal ini diperkuat dengan karakter masyarakat setempat yang lebih memilih untuk bekerja di bidang industri dibandingkan dengan bidang pertanian. Dengan demikian permintaan (demand) terhadap fasilitas industri akan semakin meningkat dan tentunya akan mengurangi penggunaan lahan di bidang pertanian. Untuk mengurangi dampak negatif yang lebih besar dari perubahan pengguanan lahan, maka perlu dilakukan sosialisasi bagi masyarakat akan manfaat ke depan dari keberlangsungan usaha kepariwisataan, sehingga timbul kesadaran masyarakat untuk tetap menjaga lahan terbuka mereka dari peralihan fungsi menjadi lahan terbangun. Tentunya dalam hal ini perlu adanya insentif bagi masyarakat atas upaya konservasi yang dilakukan. Peningkatan produksi pertanian melalui penyuluhan dan pendampingan oleh pihak terkait menjadi salah satu solusi yang dapat direalisasikan di masyarakat. 4.1.3. Biofisik 4.1.3.1. Kondisi Tanah (Klasifikasi Tanah) Desa Pasir Eurih memiliki tanah yang tergolong ke dalam jenis Regosol (80%), Latosol (15%), dan Lainnya (5%) (Gambar 11). Menurut klasifikasi tanah Throp dan Smith, tanah Regosol termasuk ke dalam golongan azonal dimana tanah Azonal tidak ditentukan oleh faktor iklim atau salah satu proses pembentukan tanah, tetapi oleh sifat bahan induk (BI).
45
Gambar 11. Peta Jenis Tanah Tanah Regosol merupakan tanah sangat muda dan duduk di atas endapan mineral yang dalam, lunak, bercerai-berai dan tidak berbatu. Regosol biasa dijumpai di bukit pasir, lava dan daerah aliran hasil letusan gunung berapi. Tanah Regosol masih satu golongan dengan tanah Aluvial yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi bila digunakan sebagai lahan pertanian. Jenis tanah Regosol dengan bahan induk abu volkan dan bahan sedimen merupakan jenis tanah yang berada di daerah pegunungan. Regosol menempati horizon A hingga horizon C dengan warna tanah kelabu kekuningan. Tekstur dari Regosol adalah pasir dan debu (>60%). Kandungan bahan organiknya rendah sehingga kemampuan tanah dalam menjerap air rendah dan peka terhadap erosi. Untuk mengurangi dampak negatif dari kondisi demikian maka dibutuhkan upaya pencegahan dan penanggulangan erosi, yaitu dengan melakukan penanaman dengan tipe perakaran tanaman yang luas dan dalam. Adapun untuk jenis tanah Latosol merupakan jenis tanah yang banyak terdapat di daerah beriklim sedang-panas, curah hujan >2000 mm/th. Latosol banyak terdapat di daerah tropik dengan ketinggian 10 sampai 1000 mdpl. dan vegetasi utama adalah hutan hujan tropik lebat. Dibandingkan dengan jenis tanah lain di Indonesia, tanah Latosol tergolong ke dalam tanah yang subur. Tanah Latosol menurut Kellog (1949) dalam Soepardi (1983) memiliki sifat-sifat yang dapat dengan mudah ditemukan, diantaranya adalah warna dari
46
tanah Latosol yang dominan merah atau kuning dan terbentuknya keadaan granular. Keadaan tersebut merangsang drainase dalam tanah yang sangat baik. Selanjutnya liat-hidoksida yang dimiliki oleh Latosol yang tidak mempunyai sifat plastisitas dan kohesi yang menjadi ciri liat silikat daerah sedang. Hal tersebut memungkinkan pengolahan tanah Latosol segera setelah hujan lebat tanpa menyebabkan keadaan fisik tanah yang tidak baik. Dalam kata lain Latosol dapat digunakan untuk pertanian meskipun di bawah tekanan curah hujan yang tinggi yang justru berdampak buruk bagi tanah jenis lainnya. Keberadaan tanah Latosol yang sebagian besar dimiliki oleh Desa Pasir Eurih menjadikan wilayah tersebut memiliki produksi pertanian yang baik. Dengan kondisi tersebut banyak dari masyarakat yang memanfaatkan lahannya untuk bercocok tanam terutama padi dengan sistem sawah irigasi, palawija dan tanaman perkebunan. Masyarakat menjadikan padi sebagai komoditi utama selain menjadi bahan pangan utama juga menjadi bahan utama dalam upacara Seren Taun (Sedekah Guru Bumi) yang biasa dilakukan setiap selesai panen raya. Kepercayaan masyarakat
9
setempat kepada Sanghyang Ambu Sri
Rumbiyang Jati atau yang lebih dikenal dengan Dewi Sri sebagai pemberi kesuburan dan hasil yang baik, juga kepada Sanghyang Ayah Kuwera Guru Bumi atau Batara Patanjala sebagai pemberi kesuburan dan kesejahteraan berpengaruh terhadap cara mereka bertani. Penggunaan bahan kimia secara bijak baik itu pupuk maupun insektisida menjadi salah satu contoh kearifan lokal masyarakat setempat untuk menghargai jasa Dewi Sri yang secara tidak langsung mengurangi laju degradasi tanah. Dalam hal ini, sebagian kecil masyarakat setempat telah menggunakan sistem pertanian organik. Dengan sistem pertanian organik yang digalakan dan hasil produksi yang baik, menjadikan wilayah Desa Pasir Eurih sebagai daerah percontohan pertanian padi organik di Kabupaten Bogor. Hal ini menjadi nilai lebih bagi Desa Pasir Eurih yang tidak hanya memiliki objek wisata berupa Kampung Budaya Sindang Barang juga memiliki produk pertanian yang dapat diunggulkan.
9
Sumber: Wawancara dengan Ketua Adat (Pupuhu) dan Sesepuh Adat (Kokolot)
47
4.1.3.2. Kondisi Tanah (Klasifikasi Kesesuaian Lahan) Terkait dengan kesesuaian antara jenis tanah dengan pemanfaatannya, maka menurut klasifikasi kesesuaian lahan yang dibuat oleh Jawatan Pengawetan Tanah dan Air Amerika Serikat/USDA (Klingebiel dan Montgomery, 1961) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) tanah di kawasan Desa Pasir Eurih tergolong ke dalam kesesuaian kelas I dan II. Tanah yang tergolong dalam kesesuaian kelas I mempunyai hambatan sedikit yang dapat membatasi pemanfaatannya. Tanah yang tergolong kelas ini dapat ditanami secara intensif, digunakan untuk padang rumput, hutan, atau juga untuk cagar alam. Tanahnya dalam, berdrainase baik, dan permukaannya hampir datar (0%-3%). Selain itu golongan kelas I memiliki kesuburan alami dan mempunyai ciri-ciri yang mendorong tanaman memiliki respon baik terhadap pemupukan. Begitu juga dalam hal kapasitas menahan air dimana golongan kelas I memiliki kapasitas yang tinggi. Lahan kelas I hanya memerlukan pengelolaan tanaman yang biasa untuk mempertahankan produktivitasnya. Hal ini meliputi penggunaan pupuk dan kapur, pengembalian sisa tanaman serta pupuk hijau atau pupuk kandang. Selain itu rotasi tanaman pun perlu dilakukan untuk mejaga stabilitas tanah. Luas lahan yang termasuk ke dalam golongan kelas I di wilayah Desa Pasir Eurih kurang lebih 30% dari total keseluruhan lahan. Lahan tersebut banyak digunakan sebagai lahan pertanian sawah dengan menggunakan sistem irigasi terbuka. Adapun lahan yang tergolong ke dalam kelas II mempunyai beberapa hambatan yang mempersempit pemilihan tanaman dan memerlukan tindakan pengawetan tanah yang sedang. Meskipun demikian, lahan kelas II dapat ditanami oleh tanaman yang sama untuk kelas I, namun kurang dapat menunjang sistem pertanian intensif. Penggunaan lahan kelas II mungkin dibatasi oleh satu atau dua faktor seperti (a) lereng berombak, (b) bahaya erosi sedang, (c) kedalaman tanah kurang, (d) struktur dan daya olah tanah yang sedikit kurang sempurna, (e) keadaan sedikit alkilin atau salin dan (f) drainase sedikit terbatas. Lahan yang tergolong ke dalam kelas II menjadi lahan yang mendominasi wilayah Desa Pasir Eurih. Menurut Arsyad (1979) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dengan kondisi topografi yang sebagian besar datar sampai
48
berombak dengan tingkat kemiringan 0%-8% sangat sesuai untuk dikembangkan sebagai daerah pertanian. Dan hal ini terbukti dengan pemanfaatan lahan yang sebagaian besar dijadikan lahan pertanian (sawah dan ladang) dengan komoditi yang diusahakan sama dengan komoditi pada lahan kelas I. Selain itu di beberapa titik terdapat lahan dengan tingkat kemiringan 8%15% yang dijadikan sebagai hutan keramat oleh masyarakat setempat. Pemanfaatan lahan tersebut sangat sesuai sebagai upaya konservasi lahan dimana lahan dengan kemiringan >8% tidak sesuai untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian maupun konstruksi dan harus tetap dipertahankan sebagai hutan atau secara hati-hati dapat digunakan untuk aktivitas yang terbatas. Untuk menjaga stabilitas tanah kelas II yang mendominasi wilayah desa maka diperlukan beberapa upaya pengelolaan meliputi pembuatan teras (terraccing), pola tanam secara strip (striping), pengelolaan tanah secara berkontur, rotasi tanaman yang meliputi rumput dan legum, dan sistem drainase yang ditumbuhi rumput. Selain itu upaya pengelolaan yang digunakan pada lahan kelas I dapat digunakan pula pada lahan kelas II untuk hasil yang lebih optimal Soepardi (1983). Selain untuk pemanfaatan pertanian, masih menurut Soepardi (1983) bahwa tanah Latosol yang memiliki daya dukung tanah yang cukup baik dan stabil dapat pula dimanfaatkan untuk pengembangan konstruksi dengan memperhatikan daya dukungnya. Sehingga dapat dilakukan pembangunan fasilitas pendukung wisata pada tapak dengan syarat tetap memperhatikan daya dukung tanah dan tipe konstruksinya. Kondisi tersebut didukung oleh kondisi batuan (geologi) di Desa Pasir Eurih yang cukup baik. Menurut peta sebaran geologi Kabupaten Bogor (2008) kawasan Desa Pasir Eurih memiliki lapisan batuan yang cukup dalam (>90 meter dari permukaan tanah). Dengan demikian maka upaya konstruksi sederhana dapat dilakukan tanpa adanya kendala yang serius. Terlebih dengan kondisi tanah Latosol dan Regosol yang memiliki tekstur tanah halus hingga agak kasar (liat, berdebu,lempung dan berpasir) yang dapat menopang konstruksi yang sederhana (Arsyad, 1979).
49
Penggunaan pondasi panggung/umpak 10 pada bangunan yang berada di Kampung Budaya Sindang Barang menjadi solusi yang baik sebagai upaya adaptasi terhadap kondisi lingkungan. Tentunya hal tersebut perlu diberdayakan kepada masyarakat luas selain sebagai upaya adaptasi namun juga upaya peletarian terhadap nilai kearifan masyarak lokal dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungan. Begitu pula secara kepariwisataan hal ini akan menjadi daya tarik dan penguat karakter sebagai kawasan kampung Sunda dengan ciri khas rumah panggung. 4.1.3.3. Kondisi Hidrologi Kawasan Sindang Barang secara umum dan khususnya Desa Pasir Eurih merupakan daerah dengan sumber daya air yang melimpah. Hal ini dikarenakan posisi dari Desa Pasir Eurih yang berada di kaki Gunung Salak dan dilalui oleh aliran sungai besar yaitu Sungai Ciapus (Gambar 12). Sumber air yang digunakan oleh masyarakat setempat berasal dari dua sumber yaitu cinyusu (mata air) dan walungan (air sungai) dengan kualitas visual dan kuantitas air yang sangat baik. Berdasarkan wawancara 11 dengan masyarakat diperoleh data primer (obyektif) bahwa selama kurun waktu lebih dari 10 tahun kondisi air di Desa Pasir Eurih belum pernah mengalami kekurangan dan mengalami bencana banjir. Kondisi ini berdampak pada kelancaran pengairan untuk pertanian dan juga untuk keperluan masyarakat sehari-hari. Untuk pengairan ke lahan pertanian masyarakat menggunakan sumber air sungai dengan memanfaatkan sistem irigasi terbuka (open irigation system). Adapun untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci dan sebagainya, masyarakat menggunakan dua sumber air yang tersedia di tapak. Bagi masyarakat yang jauh dari sungai maka mereka menggunakan sumber dari mata air yang disalurkan ke rumah penduduk atau lansung digunakan melalui pancuran (toilet umum). Sedangkan bagi masyarakat yang dekat dengan sungai mereka secara langsung menggunakan sumber air dari sungai.
10 Umpak merupakan pondasi khas Sunda yang tahan gempa, dikarenakan sistem strukturnya elastis yang bisa mengakomodasi dari gempa dan bencana alam lainnya (Purnama, 2007). 11
Wawancara melalui metode Focus Group Discussion (FGD)
50
Gambar 12. Sumber Daya Air Utama pada Tapak (a) Sungai Ciapus (b) Mata Air Dengan sumber daya air yang melimpah ini mengakibatkan produksi pertanian di Desa pasir Eurih cukup stabil, meskipun pada musim kemarau masyarakat masih bisa bertani. Namun demikian dilihat dari sanitasi masyarakat dapat dikatakan kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat yang secara langsung menggunakan air sungai dan air irigasi untuk keperluan sehari-harinya. Dalam hal ini peran serta pemerintah setempat terutama bidang kesehatan perlu melakukan pembinaan secara berkala bagi masyarakat demi terciptanya masyarakat yang bersih dan sehat. Di samping itu, terkait dengan aspek kepariwisataan kondisi hidrologi di tapak cukup untuk menunjang aktivitas wisata. Peningkatan pelayanan dengan menambah fasilitas air bersih perlu dilakukan untuk memberikan kenyamanan bagi wisatawan. Pemanfaat air secara langsung dari mata air melalui sarana berupa pancuran atau penampungan air secara alami (embung) dapat menjadi daya tarik yang menarik bagi wisatawan. Sungai Ciapus sebagai salah satu sumber air utama pada tapak dapat memberi keuntungan lain sebagai daya tarik wisata. Beberapa hal yang dapat dikembangkan diantaranya tracking menelusuri sungai, atraksi menambang dan memecah batu, mandi di sungai dan sebagainya. Selain itu karakter dari Sungai Ciapus sebagai sungai aluvial yang banyak memiliki kandungan bahan mineral dari letusan Gunung Salak menyuguhkan kualitas visual yang baik tidak hanya ke arah sungai namun juga ke arah Gunung Salak sebagai sumber air dan batuan yang ada pada tapak (Daniel, 2005).
51
4.1.3.4. Kondisi Iklim Kawasan studi termasuk ke dalam kawasan dengan iklim tropik basah dengan jumlah curah hujan rata-rata tahunan 3.500 mm/th sampai 4500 mm/th dan jumlah hari hujan 284 hari. Suhu harian rata-rata 200C-300C, dengan rata-rata tahunan 260C. Kelembaban udara rata-rata 84%, intensitas matahari rata-rata sekitar 64,8% dan kecepatan angin rata-rata 2,3 km/jam (Tabel 10). Tabel 10. Data Iklim Kawasan
Kondisi tersebut sangat bermanfaat bagi perkembangan kawasan terutama dalam bidang pertanian. Dengan curah hujan dan tingkat penyinaran matahari yang cukup tinggi bermanfaat bagi peningkatan produktivitas dari komoditi pertanian yang diusahakan. Namun demikian hal ini berpengaruh pula pada tingkat kestabilan daya dukung lingkungan. Tingginya curah hujan akan berdampak pada tingkat erosi yang tinggi. Sehingga diperlukan upaya konservasi dan preservasi di kawasan dengan kemiringan yang rentan (>15%) dan jumlah tegakan pohon yang cukup banyak untuk menjaga stabilitas daya dukung lahan. Masyarakat Desa Pasir Eurih dengan kepercayaan terhadap adanya larangan untuk menggunakan secara bebas leuweung tutupan (hutan keramat) memberikan solusi terbaik bagi terciptanya kestabilan ekosistem. Dalam hal ini kawasan hutan keramat yang berada di kawasan yang lebih tinggi dari kawasan
52
permukiman akan tetap terjaga kelestariannya sehingga manfaatnya (intangible) akan tetap dirasakan oleh masyarakat setempat. Berkaitan dengan tingkat kenyamanan manusia (THI12) yang dilihat dari korelasi suhu dengan kelembaban rata-rata kawasan, dengan THI berkisar antara 25-27 menjadikan kawasan tersebut berada dalam kondisi yang nyaman bagi pengguna. Begitu pula dengan kecepatan angin yang sedang akan menciptakan sirkulasi udara yang baik sehingga memberikan kenyamanan bagi pengguna. Adapun mengenai tingkat penyinaran matahari yang cukup tinggi, dapat mengurangi kenyamanan dari pengguna tapak. Namun demikian hal ini dapat direkayasa dengan penanaman tanaman peneduh di beberapa tempat dimana masyarakat maupun pengunjung melakukan aktivitas luar ruangan (outdoor). 4.1.3.5. Kondisi Vegetasi dan Satwa Kawasan Sindang Barang secara umum merupakan kawasan yang subur dengan keanekaragaman vegetasi baik lokal maupun introduksi. Keanekaragaman vegetasi yang ada dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung, diantaranya faktor iklim tropik yang sangat sesuai untuk perkembangan varietas vegetasi. Selain itu dengan posisi kawasan yang dilalui oleh aliran sungai besar, mengakibatkan suplai air untuk areal pertanian cukup lancar. Menurut hasil survei pada tapak, terdapat beberapa vegetasi dominan yang ada di kawasan Sindang Barang umumnya dan khususnya di Desa Pasir Eurih (Tabel Lampiran 1). Selain vegetasi yang secara umum terdapat di wilayah Sindang Barang, menurut sejarah dari beberapa narasumber13 disebutkan bahwa terdapat beberapa vegetasi yang menjadi vegetasi khas kawasan Sindang Barang, dimana vegetasi tersebut terdapat dalam sejarah Pantun Bogor. Diantara vegetasi tersebut adalah Hanjuang Beureum (Hanjuang Merah), Paku Jajar (Hanjuang Siang), Handeuluem Sieum, Tanjung, Kirai, dan Kawung. Vegetasi tersebut memiliki fungsi yang secara budaya erat kaitannya dengan hubungan antara manusia dengan penciptanya. Diantaranya adalah
12 THI dihitung dengan menggunakan rumus 0.8T + (RH x T/500) dengan ketinggian tapak yang digunakan sebagai acuan adalah 320 mdpl. 13
Wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat berdasarkan sumber sejarah Pantun Bogor.
53
Hanjuang Merah yang merupakan pohon suci yang dipercaya sebagai tempat turunnya Karuhun. Begitu juga dengan Handeluem yang berfungsi sebagai pohon keramat yang dipercaya sebagai tempat turunnya Sanghyang Tunggal. Adapun Paku Jajar merupakan simbol dari kerajaan Pakuan Pajajaran dan hanya terdapat di kawasan kerajaan Pakuan Pajajaran, sehingga Paku Jajar tidak dapat ditemukan lagi dalam jumlah yang besar (Gambar 13). Selain itu terdapat juga vegetasi yang dipercaya sangat ditakuti oleh makhluk halus yaitu pohon Tanjung.
Gambar 13. Tanaman Paku Jajar Disamping keanekaragaman vegetasi yang dimiliki, kawasan Sindang Barang juga memiliki jenis satwa baik lokal maupun introduksi yang dengan kekhasan dan keunikan yang dimilikinya. Sama halnya dengan kondisi vegetasi, menurut sejarah 14 yang termaktub di dalam pantun Bogor, terdapat beberapa satwa khas yang dipercaya pernah hidup di kawasan Sindang Barang. Diantara satwa tersebut adalah Maung (Harimau Jawa), Heulang (Elang Jawa), Peucang (Kancil) dan Burung Engrang. Diantara satwa tersebut terdapat beberapa satwa yang dipercaya memiliki kekuatan dan kaitan yang erat dengan kerajaan Pakuan Pajajaran, yaitu Harimau yang menjadi simbol Prabu Siliwangi dan Heulang (Elang) yang dijadikan gelar bagi raja-raja Pakuan Pajajaran. Namun demikian, diantara satwa-satwa tersebut hanya Burung Elang dan Kancil yang masih ada di kawasan Sindang Barang. Keberagaman (biodiversity) vegetasi dan satwa yang dimiliki oleh kawasan Sindang Barang baik lokal maupun non lokal tidak hanya menjadi kekayaan alam yang perlu dilestarikan namun juga berpotensi untuk dijadikan 14
Wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat berdasarkan sumber sejarah Pantun Bogor.
54
daya tarik wisata. Terutama jenis vegetasi dan satwa yang unik dan khas yang dapat menarik perhatian wisatawan. 4.1.4. Kependudukan Kampung Budaya Sindang Barang termasuk ke dalam wilayah administratif Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dari segi pemerintahan wilayah Desa Pasir Eurih terbagi ke dalam 14 RW dengan jumlah penduduk Desa Pasir Eurih pada tahun 2009 berjumlah 11.098 jiwa atau 2.666 KK dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan 15 penduduk sebesar 3,4% atau rata-rata 313 jiwa per tahun16. Dengan prediksi pertumbuhan hingga tahun 2010 (12.834 jiwa) dan tahun 2015 (15.181 jiwa), tingkat laju pertumbuhan tersebut tegolong tinggi. Dengan demikian untuk mengurangi dampak negatif dari tingginya laju petumbuhan penduduk (pengangguran) perlu adanya perencanaan kawasan potensial dan alternatif lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Mayoritas penduduk Desa Pasir Eurih beragama Islam (90%) dan merupakan etnis Sunda. Masyarakat masih memegang sistem kekeluargaan yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat masih berlangsung tradisi-tradisi yang dapat mempererat hubungan antar penduduk, seperti tradisi Tahlilan, Nadran, Nyaba, Akekahan, Rajaban, Maulidan, Tujuh Bulanan dan sebagainya. Dengan mayoritas masyarakat berasal dari etnis Sunda akan memperkuat karakter Kampung Budaya Sindang Barang sebagai revitaslisasi, replikasi, imitasi dan periode setting kawasan kampung budaya Sunda tempo dulu. Begitu juga dengan ajaran agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat setempat berdampak pada pola kehidupan sosial yang lebih agamis, ditambah dengan nilai budaya Sunda yang luhur yang masih dijalankan oleh sebagian besar masyarakat. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Desa Pasir Eurih adalah petani dan pengrajin sandal-sepatu (home industry). Dalam hal ini telah terjadi
15
Menggunakan rumus laju pertumbuhan: F(t)=Po(r+1)t (t = waktu (tahun), r = persentase pertumbuhan dan P0 = nilai awal) (Sumber: software wolfram mathematica 6.0)
16
Data demografi penduduk Desa Pasir Eurih tahun 2009
55
perubahan aktivitas penduduk yang pada awalnya banyak berprofesi sebagai petani, saat ini berpindah profesi menjadi pedagang dan pengrajin. Berdasarkan data profil desa diketahui bahwa terjadi perubahan profesi yang sangat signifikan pada profesi di bidang pertanian menjadi perdagangan dan industri dengan tingkat perubahan 23% atau sekitar 134 jiwa per tahun yang beralih profesi. Hal ini akan terus meningkat seiring menurunnya laju pertumbuhan pendidikan, dimana banyak masyarakat yang tidak melanjutkan pendidikannya. Secara ekonomi penghasilan yang diperoleh dari bidang perdagangan dan industri dapat dikatakan jauh lebih menguntungkan dibandingkan bidang pertanian. Namun demikian bila melihat dari potensi alam yang dimiliki Desa Pasir Eurih dengan sumber daya alam yang sangat melimpah, sangat disayangkan bila hal ini tetap berlangsung dan tidak dilakukan upaya pengendalian. Dengan kondisi tersebut maka pengembangan usaha kepariwisataan di wilayah Desa Pasir Eurih menjadi salah satu solusi terbaik untuk menunjang ekonomi penduduk. Di samping itu dengan multiplier effect dari usaha kepariwisataan akan memacu pertumbuhan sektor lainnya, khususnya industri kerajinan dan produk lokal masyarakat setempat (something to buy). Dari segi pendidikan, Desa Pasir Eurih memiliki tingkat pendidikan yang tergolong rendah. Jumlah penduduk yang belum bersekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi masih tergolong tinggi. Laju pertumbuhan pendidikan sebesar 12.3% atau 274 jiwa per tahun. Laju tersebut masih berada di bawah laju pertumbuhan penduduk yang rata-rata meningkat 313 jiwa per tahun, sehingga masih ada masyarakat yang tidak mengikuti pendidikan formal. Bila kondisi aktual saat ini terus dibiarkan maka kualitas pendidikan masyarakat di Desa Pasir Eurih akan semakin menurun. Berdasarkan prediksi jumlah masyarakat yang tidak bersekolah akan mengalami peningkatan hingga 7.288 jiwa (tahun 2010) dan 13.026 jiwa (tahun 2015). Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa tokoh masyarakat mengenai tingkat pendidikan di Desa Pasir Eurih, sebagian besar narasumber menyatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Hal ini terkait dengan faktor ekonomi dimana banyak masyarakat usia kerja yang lebih tertarik untuk bekerja di industri sandal dan sepatu dibandingkan melanjutkan sekolah.
56
Paradigma masyarakat yang menganggap uang adalah yang utama berdampak pada pola kehidupan sosial yang tidak berkembang. Banyak dari masyarakat yang tidak berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Sangat sedikit dari masyarakat yang menerusakan sekolah ke tingkat SMP, SMA bahkan Universitas. Mayoritas dari mereka hanya selesai pada tingkat SD dan itu pun dalam jumlah yang sedikit. Hal ini dipengaruhi pula oleh pandangan mereka bahwa sekolah adalah untuk memperoleh uang, sehingga daripada menghabiskan waktu untuk melanjutkan sekolah lebih baik langsung memperoleh uang dengan bekerja. Kondisi demikian merupakan kendala bagi perkembangan kepariwisataan di kawasan tersebut, karena peran serta dari masyarakat sangat berpengaruh bagi terciptanya kondisi pariwisata yang ideal. Dengan kondisi masyarakat yang berpendidikan rendah dikhawatirkan tidak akan mampu menyesuaikan dengan kondisi wisatawan yang berpendidikan rata-rata lebih tinggi. Sehingga efektivitas dan efisiensi komunikasi antara wisatawan dan penduduk setempat sulit tercapai. Dengan demikian upaya pihak pengelola untuk memberdayakan masyarakat setempat dengan melakukan pendidikan dan pelatihan sangat dibutuhkan untuk memberikan pelayanan yang prima bagi pengunjung. 4.1.5. Karakter Lanskap Alami Tapak Kondisi lanskap alami kawasan Desa Pasir Eurih sebelum revitalisasi nilai dan pembangunan fisik (replikasi dan imitasi) Kampung Budaya Sindang Barang merupakan kawasan pertanian. Di Desa Pasir Eurih terdapat karakter lanskap alam yang khas, yaitu melimpahnya sumber daya alam mineral (material batuan) hasil letusan gunung Salak. Menurut sejarahnya bahwa pada tahun 1699 Gunung Salak pernah meletus dan mengeluarkan berbagai macam material, sehingga saat ini di kawasan Sindang Barang banyak terdapat berbagai macam batuan alam dan terkenal dengan nama kampung batu17. Dengan sumber daya tersebut dan adanya binaan dari masyarakat setempat menghasilkan suatu karya lanskap yang menarik, yaitu tipe persawahan yang 17
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Sindang Barang. Saat ini nama kampung batu lebih dikenal dengan kota batu dan menjadi nama salah satu desa/kelurahan di Kota Bogor (Kelurahan Kota Batu).
57
menggunakan tumpukan batu sebagai benteng penguat sekaligus pembatas dari setiap petakan sawah sebagai batas kepemilikan lahan (Gambar 14). Selain itu penggunaan umpakan batu digunakan pula dalam menata beberapa jalur pedestrian dan pekarangan di kawasan Sindang Barang. Hal ini pula menjadi ciri dari situs-situs yang berada di kawasan Sindang Barang yang sebagian besar berbentuk batu. Budaya ini memberikan karakter yang kuat bagi tapak sebagai kawasan yang memiliki sejarah dan budaya yang tinggi, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obyek dan daya tarik wisata.
Gambar 14. Karakter Lanskap Alami (Daerah Berbatu) Selain karakter tersebut, dengan posisi kawasan di perbukitan kaki Gunung Salak dan kondisi topografi yang berbukit menjadikan kawasan tersebut memiliki banyak vantage point yang menyuguhkan view yang indah (good view) terutama ke arah kota Bogor, Gunung Salak dan Gunung Gede-Pangrango (Gambar 15 ).
Gambar 15. Good View pada Tapak
58
Dengan keindahan lanskap yang dimiliki oleh Desa Pasir Eurih, berdampak pada pola kehidupan beberapa masyarakat setempat yang tetap menjaga kelestarian kawasan Desa Pasir Eurih. Kepercayaan terhadap keramatnya leuweung tutupan menjadikan mereka tidak dengan mudah merubah fungsi lahan yang dipercaya sebagai leuweung tutupan. Adapun terjadinya perubahan land use dari lahan petanian menjadi kawasan wisata Kampung Budaya Sindang Barang secara umum masyarakat setuju dan berharap bahwa kawasan mereka dapat menjadi lebih maju dengan adanya usaha kepariwsataan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungannya. 4.2. Data Kesejarahan Kawasan 4.2.1. Sejarah Kawasan Sindang Barang Sumber utama sejarah Sunda umumnya dan khususnya kawasan Sindang Barang 18 adalah sumber lisan atau lebih dikenal dengan nama Pantun 19 yang dibawakan oleh juru pantun dengan diiringi kecapi. Sang juru pantun akan menjelaskan alur sejarah dengan jelas dan mampu menceritakan dalam waktu yang cukup lama, tergantung cerita yang dibawakannya. Pada saat sang juru pantun akan menceritakan sebuah sejarah maka sebelumnya dilakukan ritual dengan sesajian yang dipersembahkan bagi leluhur, hal tersebut dipercaya akan memberikan kekuatan ingatan dari sang juru pantun dalam menceritakannya. Kepercayaan tersebut dapat terbukti dengan kondisi juru pantun yang sebagian besar tidak dapat melihat (buta) sehingga penglihatan secara batin dan kekuatan ingatan yang digunakan ketika bercerita. Saat ini kampung adat yang masih memiliki juru pantun adalah kampung adat Sunda di Lebak Banten (Badui) dan di Sukabumi (Pancer Pangawin). Adapun untuk Bogor sendiri sudah tidak memiliki juru pantun dan tidak ada yang menjadi penerusnya.
18 19
Hasil wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat Sindang Barang
Pantun adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan (prolog), dialog dan seringkali dinyanyikan. Seni Pantun itu dilakukan oleh seorang juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kecapi yang dimainkannya sendiri.Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng, yakni Pantun Bogor.(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pantun_Sunda)
59
Mengenai sejarah dari Sindang Barang terdapat dua sumber yang menerangkan tentang sejarah kawasan Sindang Barang, yaitu menurut Babat Pakuan20 dan menurut Pantun Bogor. Nama Sindang Barang telah dikenal dan tercatat dalam Babad Pakuan sebagai salah satu daerah penting kerajaan Sunda dan Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan di kawasan Sindang Barang terdapat salah satu keraton kerajaan yang merupakan tempat tinggal salah satu istri dari Prabu Siliwangi/Pamanah Rasa/Sri Baduga yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda. Adapun penguasa Sindang Barang saat itu adalah Surabima Panjiwirajaya atau Amuk Murugul. Bahkan Putra Prabu Siliwangi dan Kentring Manik Mayang Sunda yang bernama Guru Gantangan lahir dan dibesarkan di Sindang Barang. Adapun pusat dari kerajaan Pajajaran sendiri berada di wilayah Cipaku, Batu Tulis dan Lawang Gintung. Menurut Pantun Bogor sejarah Sindang Barang dikenal dengan nama Lembur Taman yang dibangun pada tahun 1611 oleh Mbah Camplang dan hingga saat ini masih ada bukti keberadaannya. Pada jaman Prabu Wisnu Barata, Lembur Taman dijadikan sebagai pusat perkembangan agama Sunda dan di kawasan tersebut dibangun punden (bukit berundak) untuk sarana beribadah menurut agama Sunda. Oleh karena itu tidak mengherankan saat ini di Sindang Barang terdapat 94 titik sebaran situs purbakala dan baru 54 situs yang telah teridentifikasi dengan 33 buah situs berupa punden berundak21. Nama Sindang Barang memiliki dua arti, salah satu sumber menyatakan sebagai tempat menyimpan barang. Hal ini terlihat dari arti dari masing-masing kata yaitu sindang berarti berdiam dan barang yang berarti benda. Adapun menurut Pantun Bogor arti dari Sindang Barang yaitu meninggalkan kebisingan dunia (menyepi). Pernyataan ini lebih mendekati karena pada kawasan Sindang Barang banyak ditemukan situs-situs yang berupa punden berundak yang befungsi sebagai tempat bersemedi (menyepi). 20 Babad adalah cerita yang bertalian dengan sesuatu tempat atau kerajaan yang dipercaya sebagai sejarah. Sebagai pengaruh dari jawa, kebanyakan Babad ditulis dalam bentuk Wawacan, misalnya Babad Godog, Babad Panjalu, Babad Cirebon, Babad Banten, Babad Sumedang dan Babad Pakuan. Ditinjau dari ilmu sejarah, Babad bukanlan bukti yang dapat dijadikan sumber sejarah, paling bisa hanya hanya sebagai perbandingan (Ensiklopedi Sunda, 2000). 21
Hasil penelitian DR. Agus Arismunandar dari Fakultas Ilmu dan Bahasa Universitas Indonesia (Sumber: http://kp-sindangbarang.com).
60
4.2.2. Sejarah Terbentuknya Kawasan KBSB Kampung Budaya Sindang Barang (KBSB) terbentuk oleh inisiatif dari beberapa sesepuh (kokolot) di Sindang Barang yang memiliki kepedulian dan kekhawatiran terhadap degradasi nilai budaya dari etnis Sunda (Kasundaan) 22 . Atas dasar inilah maka pada tahun 2004 didirikan Padepokan Seni Sunda Giri Sundapura yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kampung Budaya Sindang Barang. Keberadaan sanggar tersebut menjadikan seni Sunda yang terancam punah kembali terangkat dan kembali mendapat kepercayaan dari masyarakat. Banyak anak-anak dan remaja dari masyarakat setempat yang mengikuti program sanggar, dan puncaknya pada saat peringatan HUT RI ke-59 dimana masyarakat mulai mengenali dan mencintai kembali kesenian warisan leluhur yang hampir punah. Hal ini berdampak pada keinginan dari para Sesepuh untuk mencari dan menggali kembali nilai dan budaya lain yang pernah dilaksanakan di kawasan Sindang Barang. Hingga akhirnya beberapa sesepuh merekomendasikan Upacara Sedekah Guru Bumi (Seren Taun) dan berbagai tradisi, seni, dan kebudayaan lainnya untuk direvitalisasi. Dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan tidak selamanya berjalan dengan baik. Pro dan kontra mengenai revitalisasi Upacara Seren Taun berdampak pada kondisi masyarakat menjadi tidak kondusif. Upacara Seren Taun dipandang oleh beberapa tokoh masyarakat sebagai tradisi yang bukan berasal dari ajaran Islam, sehingga tidak sesuai untuk dilaksanakan di kawasan Sindang Barang yang mayoritas beragama Islam. Namun akhirnya hal tersebut dapat dipahami oleh sebagian masyarakat dan Upacara Seren Taun dapat dilaksanakan secara akbar pada tahun 2006. Pelaksanaan Seren Taun tersebut menjadi berkah bagi para sesepuh Sindang Barang, dimana Achmad Mikami Sumawijaya (ketua adat) diundang oleh Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan untuk koordinasi mengenai kegiatan budaya di Sindang Barang. Pertemuan tersebut berakhir dengan penawaran dana oleh pihak Provinsi Jawa Barat kepada sesepuh Sindang Barang untuk mengembangkan kawasan Sindang Barang sebagai kawasan wisata budaya.
22
Hasil wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat Sindang Barang.
61
Penawaran tersebut ditindaklanjuti dengan dibangunnya Kampung Budaya Sindang Barang yang dibangun di atas tanah seluas 8.600 m2 dengan fasilitas berupa 1 unit Imah Gede (rumah ketua adat), 1 unit Girang Seurat (sekretariat), 2 unit Imah Kokolot (rumah sesepuh adat), 6 unit Imah Warga (rumah penduduk), 1 unit Bale Pangriungan (aula), 1 unit Imah Talu (tempat kesenian), 6 unit Saung Leuit (lumbung padi), 1 unit Saung Lisung (tempat menumbuk padi), 1 unit Pawon (dapur), 2 Tampian unit (kamar mandi), dan fasilitas penunjang lainnya seperti jalan beraspal. Dalam penentuan letak Kawasan Kampung Budaya Sindang Barang dan pembangunan fisik bangunan-bangunan adat didasarkan pada tuntunan dari Anis Djatisunda 23 yang bersumber dari Pantun Bogor. Dalam tata letak kawasan diharuskan tempat yang akan dijadikan sebagai kawasan Kampung Budaya Sindang Barang adalah tempat yang berada di daerah tinggi sebagai penghormatan bagi ketua adat. Selain itu tempat yang akan dijadikan sebagai kawasan kampung adat harus berada diantara dua aliran sungai dan tentunya memiliki keterkaitan yang kuat dengan sejarah Sunda tempo dulu. Dengan ketentuan demikian, maka ditetapkan desa Pasir Eurih sebagai kawasan Kampung Budaya Sindang Barang karena berada di daerah yang tinggi dan diapit oleh dua aliran sungai, yaitu Sungai Ciapus dan Sungai Ciomas selain memang sebagian besar tanah milik keluarga Sumawijaya berada di daerah Sindang Barang terutama desa Pasir Eurih. Keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang tidak terlepas dari keberadaan dua kampung adat yang hingga saat ini masih terjaga kelestariannya, yaitu Kampung Adat Lebak Banten dan Kampung Adat Cipta Gelar Sukabumi. Kedua kampung tersebut merupakan kampung adat Sunda yang hingga saat ini masih menggunakan adat istiadat dan kebudayaan Sunda dalam kehidupan masyarakatnya. Berdasarkan sejarah24 , Kampung Adat Cipta Gelar dan Kampung Adat Lebak Banten dibentuk akibat penyerangan kerajaan Banten, Demak dan Cirebon 23
Anis Dajtisunda atau lengkapnya Anis Johanis Djatisunda (Sukabumi, 7 Mei 1939) merupakan seorang seniman, pengarang lagu dan tokoh budaya Jawa Barat. Beliau aktif di dalam sandiwara, karawitan, musik, pencak dan kesenian rakyat tradisional (Ensiklopedi Sunda, 2000). 24
Hasil wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat Sindang Barang .
62
terhadap kerajaan Pakuan Pajajaran yang menyebabkan larinya raja dan para panglimanya ke beberapa kawasan di Jawa. Diantara pasukan Raja Pajajaran yang melarikan diri, terdapat pasukan pengawal raja (Pancer Pangawin) yang melarikan diri ke kawasan Pakidulan dan diantara meraka empat pasukan kembali ke Bogor dan sisanya tetap tinggal di Pakidulan (Sukabumi) hingga berkembang menjadi Kampung Adat Sunda Cipta Gelar. Keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang saat ini merupakan upaya revitalisasi dan pembangunan fisik berupa replikasi dan imitasi untuk menampilkan periode setting dari perkampungan tradisional Sunda tempo dulu yang pernah ada di Sindang Barang Kabupaten Bogor. Adapun untuk upaya revitalisasi, dilakukan terhadap pelestarian dan pengembangan nilai-nilai sejarah dan budaya yang tinggi dari kawasan Sindang Barang. Nilai-nilai tersebut tercermin secara tangible berupa pola permukiman (termasuk didalamnya aspek kosmologi), kesenian dan elemen fisik sejarah serta budaya lainnya, maupun intangible dalam pola kehidupan sosial masyarakat. 4.2.3. Elemen Lanskap Sejarah Kawasan Sebelum KBSB direvitalisasi dan dibangun, banyak dari elemen sejarah Sindang Barang yang hilang dan terancam punah. Beberapa elemen lanskap sejarah yang khas dari Sindang Barang yang erat kaitannya dengan keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang adalah situs-situs25 yang berada di sebagian kawasan Sindang Barang yang menjadi bukti keberadaan sejarah keberadaan Sindang Barang di masa lalu. Saat ini sejumlah situs telah ditemukan dan diidentifikasi sebagai benda yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Para peneliti dari Universitas Indonesia telah mengidentifikasi kurang lebih 57 situs yang tersebar di kawasan Sindang Barang (Tabel Lampiran 2 dan Gambar 16) serta masih ada sejumlah 40 situs yang belum teridentifikasi dan terdaftar sebagai situs bersejarah. Beberapa situs bersejarah yang telah teridentifikasi diantaranya adalah Batu Karut (Gambar 17) yang berada di sebelah selatan dari Kampung Budaya Sindang Barang.
25
Hasil wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat Sindang Barang .
63
Gambar 16. Peta Sebaran Situs Bersejarah Sindang Barang Selain Batu Karut di kawasan selatan masih banyak terdapat situs bersejarah lainnya diantaranya adalah Batu Korsi (Batu Kursi), Batu Dolmen, Batu Dakon, dan Batu Fosil Pohon (Gambar 18) yang hingga saat ini masih sering dikunjungi oleh wisatawan. Adapun situs yang berada di sebelah utara Kampung
64
Gambar 17. Situs Bersejarah Batu Karut Budaya Sindang Barang diantaranya adalah sumur keramat Jalatunda, taman Sri Bagenda, Punden Majusi, Temu Gelang, Puden Surawisesa, Leuweung Keramat, beberapa mata air yang dikeramatkan seperti Cimaeja, Cimalipah, Cikubang, Cipamali dan sebagainya.
Gambar 18. Situs Bersejarah (a) Batu Dolmen, (b) Batu Fosil Pohon, (c) Batu Kursi, (d) Batu Dakon Sumur Jalatunda merupakan sumur yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat yang dipercaya sebagai sumur yang dapat memberikan kebekahan bagi kehidupan (Gambar 19). Dalam sejarahnya sumur Jalatunda merupakan sumur yang digunakan bersemedi oleh putra raja selama 40 malam. Hingga saat ini
65
sumur Jalatunda masih digunakan oleh masyarakat setempat juga masyarakat pendatang sebagai tempat yang dikeramatkan.
Gambar 19. Situs Bersejarah Sumur Keramat Jalatunda Sumur Jalatunda merupakan sumber air bagi Taman Sri Bagenda yang berukuran 15x45 m2. Air yang mengalir dari sumur Jalatunda merupakan air yang dianggap suci sehingga Taman Sri Bagenda tidak diizinkan untuk digunakan oleh sembarang orang, dan kepercayaan tersebut masih berlaku hingga saat ini. Dalam sejarahnya, Taman Sri Bagenda merupakan taman yang disediakan bagi anak raja untuk beristirahat (Gambar 20 ).
Gambar 20. Situs Bersejarah Taman Sri Bagenda Kawasan berbukit dan berbatu yang menjadi ciri khas kawasan Sindang Barang memperkuat karakter kawasan sebagai kawasan yang memiliki bukti sejarah berupa situs berbentuk punden berundak-undak, seperti diantaranya Punden Majusi dan Punden Surawisesa. Kedua punden tersebut berfungsi sebagai
66
tempat peribadatan masyarakat setempat yang dulu masih menganut dan menjalankan ajaran agama Sunda Wiwitan26.
Gambar 21. Situs Bersejarah Punden Majusi Punden Majusi berada di kawasan perbukitan dengan kondisi kawasan dipenuhi tegakan pohon (Gambar 21). Dalam sejarahnya punden Majusi dipercaya sebagai pintu masuk kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini terlihat dari adanya dua batu besar yang menyerupai pintu gerbang (Gambar 22). Kondisi di sekitar punden masih terjaga dan tampak alami. Kondisi ini diperkuat dengan kepercayaan masyarakat setempat terhadap keramatnya tempat tersebut, sehingga tidak ada masyarakat yang melakukan kegiatan yang dapat merusak kelestarian kawasan situs.
26
Agama Sunda Wiwitan merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Kanekes atau Baduy sebagai orang sunda yang dipandang paling sedikit dipengaruhi oleh agama dan kebudayaan yang datang dari luar (Hindu, Budha, Islam, Nasrani). Disebut juga agama Jatisunda dalam Carita Parahiyangan. Kata wiwitan sendiri berarti mula, pertama, asal, pokok dan isi ajaran agama ini hanya sedikit diketahui, karena sikap penganutnya yang serba tertutup. Kekuasaan tertinggi berada pada Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut pula Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam) dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung (alam yang paling atas), dibawahnya ada Buana Panca Tengah (tempat tinggal manusia dan makhluk lain) dan dibawahnya lagi ada Buana Larang (Neraka). Sang Hyang Keresa menurukan 7 batara, yang paling tua adalah Batara Cikal (leluhur orang Kanekes). Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas merupakan bagian dunia yang paling suci, bagian luarnya secara berurutan tingkat kesuciannya adalah kampung dalam, kampung luar (panamping), Banten, Tanah Sunda dan luar Sunda (Ensiklopedi Sunda, 2000).
67
Gambar 22. Kondisi Pintu Masuk Punden Majusi Di kawasan Punden Majusi terdapat beberapa situs bersejarah lainnya yang masih memiliki keterkaitan dengan sejarah kerajaan Pajajaran, seperti Batu Meja dan Batu Situs (Gambar 23). Dalam sejarahnya 27 kedua situs bersejarah tersebut merupakan tempat bersemedinya raja Pakuan Pajajaran .
Gambar 23. Situs Bersejarah (a) Batu Situs dan (b) Batu Meja Selain Punden Majusi, terdapat pula Puden Surawisesa yang merupakan tempat peribadatan bagi agama Sunda Wiwitan. Punden tersebut berada di atas perbukitan dengan kondisi kawasan berupa lahan pertanian. Di kawasan Punden Surawisesa terdapat batu yang sangat khas dan unik berbentuk limas yang mengarah ke gunung Salak. Dalam sejarahnya, batu tersebut digunakan oleh raja sebagai alat untuk memfokuskan diri ketika beribadat dengan mengarahkan pandangan ke arah Gunung Salak (Gambar 24).
27
Hasil wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat Sindang Barang.
68
Gambar 24. Situs Bersejarah Punden Surawisesa Disamping itu terdapat kawasan yang dikeramatkan oleh masyarakat atau lebih dikenal dengan Leuweung Tutupan. Hutan tersebut tidak digunakan secara bebas oleh masyarakat, hanya beberapa aktivitas yang dapat dilakukan di dalam kawasan dan itu pun dengan perizinan dari para sesepuh kawasan (Gambar 25).
Gambar 25. Hutan Keramat (Leuweung Tutupan) Dari hasil survei ke beberapa situs yang ada di sekitar Kampung Budaya Sindang Barang, banyak dari kawasan bersejarah tersebut yang tidak terawat baik dari obyek maupun sarana dan prasarana untuk menuju ke tapak. Sehingga tidak dapat memberikan informasi penguat bagi para pengunjung tentang sejarah dari kawasan tersebut, seperti kondisi kawasa di situs Batu Karut yang kurang representatif. Hal tersebut dapat dilihat pada kondisi akses menuju situs, terlihat kurangnya peran serta masyarakat setempat yang peduli dengan adanya situs bersejarah di wilayahnya. Padahal saat ini wilayah mereka banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara (Gambar 26).
69
Gambar 26. Kondisi di Situs Batu Karut Hingga saat ini faktor kepercayaan masyarakat terhadap kekeramatan dari beberapa situs bersejarah menjadi salah satu kunci tetap terjaganya lingkungan di sekitar situs. Sehingga hal ini dapat dijadikan solusi untuk meningkatkan nilai dan kualitas dari obyek wisata tersebut. Namun demikian kurangnya informasi yang diperoleh masyarakat tentang nilai sejarah dari situs di kawasan Sindang Barang menjadikan kawasan tersebut kurang mendapat perhatian. Dengan demikian perlu adanya koordinasi yang baik antara pihak pengelola dengan masyarakat setempat agar tercipta kerjasama yang saling menguntungkan antar kedua pihak, sehingga tercipta kondisi yang representatif bagi kegiatan wisata yang dilakukan. 4.3. Data Pola Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat 4.3.1. Struktur Kelembagaan Kampung Budaya Sindang Barang merupakan sebuah kawasan hasil rekonstruksi dari perkampungan etnis Sunda yang dulu pernah tinggal di kawasan Sindang Barang. Dengan demikian struktur kelembagaan yang ada saat ini masih mengikuti kelembagaan yang telah melembaga dan merupakan hasil musyawarah para sesepuh dan tokoh masyarakat Sindang Barang. Dalam penentuan struktur kelembagaan sebuah kampung adat diperlukan syarat-syarat bagi yang akan dicalonkan 28 , seperti untuk seorang Kokolot (sesepuh adat) disyaratkan harus merupakan orang asli Sindang Barang dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai sejarah dari Sindang Barang. Khusus untuk penentuan Pupuhu (ketua adat) yang akan menjadi pemimpin dari sebuah kampung adat haruslah memiliki jiwa kepemimpinan yang 28
Hasil wawancara dengan Ketua Adat dan Sesepuh Adat Sindang Barang .
70
baik sebagai tauladan bagi masyarakat. Dalam hal ini untuk menentukan seorang Pupuhu maupun penerusnya, terdapat syarat dan ketentuan yang harus dijalankan. Diantaranya adalah penerus kedudukan kepala adat ditetapkan secara adat dimana penerus harus memiliki keturunan darah dengan ketua adat sebelumnya. Yang berkedudukan sebagai penerus ketua adat lebih diutamakan anak kandung laki-laki dari ketua adat, dan bila tidak memiliki anak laki-laki, maka dapat diwariskan kepada saudara laki-laki sedarah. Penetapan pewaris tidak selalu diberikan kepada anak laki-laki paling tua, namun tergantung dari ciri yang secara budaya menentukan orang tersebut sebagai pewaris ketua adat. Dalam sejarahnya, bila ketua adat akan mewariskan kedudukannya kepada pewarisnya, maka sebelum hari penentuan akan terlihat cahaya putih yang dipercaya sebagai simbol karuhun yang menuju salah satu rumah dari anak lakilaki ketua adat. Dari petunjuk itu dapat ditetapkan anak laki-laki tersebut yang akan menjadi pewaris sebagai ketua adat selanjutnya. Disamping itu kesiapan dari calon pewaris menjadi salah satu penentu ditetapkannya sebagai pewaris ketua adat.
Gambar 27. Sturktur Adat Kampung Budaya Sindang Barang
71
Secara struktur adat Kampung Budaya Sindang Barang dipimpin oleh seorang ketua adat (Sang Rama) dengan didukung seperangkat pengurus adat yang terdiri dari Serat, Sang Ambu, Ambu Sukla, Pre Ambu, Panengeun, Pangiwa, Panengkes, Kukuh, Jaba, Pamatang, Pangawin, Bareusan dan Panglarap (Gambar 27). Sang Rama merupakan pemimpin dari sebuah kampung adat, di Kampung Budaya Sindang Barang ketua adat dipegang oleh Achmad Mikami Sumawijaya yang merupakan cucu dari Etong Sumawijaya (Sesepuh Sindang Barang). Adapun dalam menjalankan kebijakan, disosialisasikan oleh Panengkes yang terdiri dari para sesepuh adat. Kebijakan tersebut dijalankan untuk disosialisasikan lebih lanjut ke masyarakat oleh Kukuh dan Jaba untuk masalah pertanian, Pamatang untuk peternakan, Pangawin untuk masalah keamanan keluarga Pupuhu, Bareusan untuk keamanan luar dan Panglarap untuk masalah umum. Saat ini Kampung Budaya Sindang Barang belum menjadi sebuah kampung adat secara utuh, karena syarat untuk menjadi sebuah kampung adat sangatlah berat. Diantaranya dalam sebuah kawasan kampung adat harus dihuni oleh masyarakat adat yang hidup sesuai dengan aturan adat, dan ini belum tercermin dalam kehidupan keseharian di Kampung Budaya Sindang Barang. 4.3.2. Pola Perkampungan Kampung Budaya Sindang Barang merupakan refleksi dari kampung tradisional Sunda Bogor tempo dulu. Keunikan dan kekhasan arsitektur bangunan dan pola permukiman etnis Sunda memberikan kekuatan karakter sebagai kawasan kampung Sunda. Di Kampung Budaya Sindang Barang masih diterapkan dan dilestarikan tata ruang khas Sunda yang semakin ditinggalkan oleh masyarakat Sunda secara umum. Menurut Purnama (2007) diterangkan bahwa dalam kebudayaan Sunda konsep tentang perkembangan tempat (patempatan) terjadi dalam tiga tahap, yaitu tahap awal yang terdiri dari satu hingga tiga rumah dan disebut dengan Umbalan. Kemudian berkembang menjadi Babakan yang terdiri dari empat hingga enam
72
rumah dan berkembang menjadi kawasan yang lebih besar dengan jumlah rumah lebih dari enam dan disebut dengan Kampung (Gambar 28). Di samping itu, dalam kebudayaan masyarakat Sunda diterapkan beberapa aturan dalam penataan ruang yang menjadi ciri khas bagi permukiman Sunda. Aturan tersebut berdasarkan informasi yang bersumber dari literatur Sunda (Pantun Bogor) dalam cerita Sanghyang Siksa Kandang Karesian bahwa terdapat tiga konsep patempatan dalam kebudayaan Sunda (Purnama, 2007). Ketiga konsep tersebut tersaji dalam Tabel 11. Tabel 11. Konsep Dasar Tata Ruang Sunda No. 1. 2. 3.
Konsep Elemen Orientasi Mitos
Uraian Cai nyusu, Imah, Pipir dan Buruan Sanghyang Wuku, Luhur, Tengah, Handap Alam ( Jagat) padanan tubuh manusia
Gambar 28. Pola Perkembangan Permukiman Sunda Secara Umum Konsep elemen merupakan tata ruang mikro dalam permukiman Sunda dimana dalam sebuah ruang kecil dibentuk oleh elemen sumber air (Cai Nyusu), rumah (Imah), (Pipir) dan pekarangan (Buruan) (Gambar 29). Adapun untuk
73
konsep orientasi saat ini lebih dikenal dengan konsep Lemah-Cai, Luhur Handap dan Kaca-Kaca. Di samping itu terdapat mitos dalam konsep ruang masyarakat Sunda yang menerangkan bahwa merupakan manifestasi dari alam yang dipadankan dengan manusia yang memiliki wadah (tubuh) dan isi (jiwa). Ruang harus berfungsi sebagai wadah bagi seluruh aktivitas dari masyarakat dan juga harus memiliki isi atau menjadi sumber kekuatan dalam menjaga stabilitas dalam kehidupan. Dalam hal ini isi dapat berupa bentuk fisik maupun non-fisik. Bentuk fisik biasa disimbolkan dengan batu, makam, pohon atau benda lainnya yang dianggap keramat oleh masyarakat. Sedangkan bentuk non-fisik biasa disimbolkan dengan kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau dikenal dengan istilah karuhun (Purnama, 2007).
Gambar 29. Ilustrasi Konsep Elemen Ruang Gambar 30 mengilustasikan konsep orientasi tata ruang Sunda dan konsep mitos ruang yang merupakan manisfestasi dari alam yang dipandankan sebagai tubuh (wadah) dan jiwa (isi) manusia.
74
Gambar 30. Ilustrasi Konsep Orientasi dan Mitos Ruang Konsep Lemah-Cai merupakan gambaran dari sumber kehidupan manusia yang berasal dari tanah dan air. Dengan demikian dalam konsep tata ruang Sunda elemen tanah dan air menjadi elemen penting dalam sebuah kawasan permukiman (kampung). Konsep Luhur-Handap merupakan gambaran hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam. Adapun konsep Kaca-Kaca merupakan gambaran dari batasan ruang lingkup kehidupan manusia yang tidak selamanya berada dalam kebebasan. Dalam hal ini kehidupan manusia dibatasi oleh aturan dan norma yang mengikat serta menjadi pembatas dalam berperilaku dan bertindak. Dengan demikian kehidupan akan berjalan harmoni baik secara vertikal maupun horizontal (Purnama, 2007). Diantara konsep patempatan Lemah-Cai yang masih diterapkan pada kawasan Sindang Barang adalah penempatan tanah dan sumber air yang menjadi sumber kehidupan. Dalam hal ini tanah digunakan sebagai lahan bercocok tanam/pertanian yang menjadi sumber pendapatan masyarakat juga penempatan tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat (makam, batu, dsb.). Adapun untuk konsep air
terdapat beberapa sumur yang
menjadi sumber air
keberlangsungan kehidupan masyarakat (Gambar 31).
bagi
75
Gambar 31. Ilustrasi Konsep Orientasi KBSB Dalam penerapan konsep Luhur-Handap yang masih diterapkan adalah penempatan
permukiman
yang berada
diantara
hutan
adat
(Leuweung
Tutupan/Leuweung Kolot) dan lahan pertanian. Pembagian ruang secara umum yang dibagi menjadi tiga tahap (Gambar 32) merupakan pembagian ruang yang diadasari oleh kepercayaan masyarakat Sunda akan keberadaan leluhur yang berada di atas, kemudian kehidupan manusia yang berada di tengah, dan sumber rizki yang diberikan leluhur berupa lahan untuk beraktivitas (pertanian) yang berada di bawah. Konsep ini berlaku juga dalam penataan bangunan secara vertikal yang dibagi menjadi tiga strata utama (luhur-tengah-handap).
Gambar 32. Ilustrasi Konsep Luhur-Handap KBSB (Tampak Samping)
76
Selain pembagian ruang secara umum (Leuweung Tutupan, Kampung dan Lahan Tani), dalam penataan ruang yang lebih sempit (permukiman) diterapkan beberapa aturan yang merupakan kebudayaan asli etnis Sunda. Diantaranya adalah penempatan bangunan yang menghadap ke arah halaman (alun-alun/buruan) dan ke arah timur untuk bangunan yang tidak menghadap halaman (alunalun/buruan), dan hal ini pula berlaku untuk penempatan pintu rumah. Adapun dalam aturan atap bangunan, ditetapkan harus mengarah ke timur dan barat serta jatuhnya air mengarah ke utara dan selatan. Atap rumah khas Sunda Sindang Barang Bogor dinamakan Suhunan Gado Bangkong (dagu kodok) karena menyerupai kodok yang siap meloncat dan Julang Meber (sayap lebar) (Gambar 33). Dalam sejarahnya, diambilnya kodok sebagai filosofi atap rumah Sunda adalah sebagai perumpaman bahwa siapa saja yang tinggal di dalam rumah harus tetap bersiap siaga terhadap hal-hal yang akan terjadi. Ini membuktikan bagaimana sikap kodok yang akan segera melompat bila terjadi gangguan terhadap dirinya. Adapun filosofi untuk atap Imah Gede yang diambil dari bentuk sayap yang terbuka menandakan keterbukaan.
Gambar 33. Bentuk Atap Berdasarkan Filosofi Kodok (Gado Bangkong) dan Sayap Terbuka (Julang Meber) Dalam penerapan konsep elemen ruang, di Kampung Budaya Sindang Barang ditetapkan beberapa aturan, diantaranya rumah kepala adat (Imah Gede) harus berada di tempat yang lebih tinggi diantara bangunan lainnya. Hal ini dikarenakan kedudukan kepala adat yang dipercaya sebagai titisan leluhur yang patut di hormati oleh masyarakat. Selain itu, penempatan bangunan penunjang
77
seperti lumbung padi (Leuit) berada di sebelah kanan dan menghadap ke timur untuk mendapat sinar matahari secara langsung (Gambar 34).
Gambar 34. Ilustrasi Konsep Elemen KBSB Ruang sekretariat (Girang Seurat) dan rumah pagelaran seni (Bale Talu) berada di samping kiri Imah Gede, rumah sesepuh (Imah Kokolot) berada di kanan-kiri dan menghadap ke arah lapangan (Alun-alun), dan rumah pertemuan (Bale Pangriungan) berada di depan Imah Gede dan juga menghadap ke arah lapangan. Adapun untuk rumah penduduk (Imah Warga), dapur (Pawon), kamar mandi (Tampian) berada di area bawah dengan posisi tetap menghadap ke arah lapangan. Dalam penataan ruang bangunan dibagi menjadi dua penataan yaitu penataan ruang luar dan ruang dalam. Untuk ruang luar (outdoor/landscape) berdasarkan sejarah dalam Pantun Bogor, diterapkan penggunaan parit (Susukan) di sekeliling bangunan sebagai fungsi drainase dengan pembatas berupa batu kali. Selain itu digunakan tanaman Damida di sekeliling bangunan yang memiliki fungsi sebagai penyerap air dan juga penggunaan tanaman Berenuk yang berfungsi sebagai pemisah antar bangunan. Namun demikian, keberadaan ke dua tanaman khas tersebut yang sulit ditemukan, maka digunakan tanaman jenis lain tetapi dengan fungsi yang sama (Gambar 35).
78
Gambar 35. Ilustrasi Pola Tata Ruang Rumah dan Pekarangan (outdoor) Adapun dalam penataan ruang dalam (indoor) ditetapkan beberapa aturan diantaranya, pembagian ruang menjadi tiga ruang utama yaitu (1) ruang depan yang berfungsi sebagai tempat penerimaan tamu, (2) ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang kumpul keluarga, dan (3) ruang belakang yang berfungsi sebagai ruang tempat beraktivitas para wanita seperti dapur (pawon) dan kamar mandi (tampian). Gambar 36 merupakan ilustrasi dari pembagian ruang dalam (indoor) dalam sebuah rumah masyarakat Sunda.
Gambar 36. Ilustrasi Pola Tata Ruang Dalam (Indoor) Disamping itu, rumah khas Sunda memiliki tiga strata, yaitu Dasar, Tengah dan Atap. Dasar merupakan bagian yang menjadi alas (tanah) dan dipercaya menjadi ruang hidup bagi makhluk halus. Bagian tengah merupakan ruang hidup manusia, sehingga rumah Sunda dibentuk seperti panggung. Adapun
79
bagian atap merupakan ruang yang dipercaya sebagai tempat tinggalnya Syanghyang Tunggal, sehingga manusia tidak boleh menempatinya. Gambar 37 merupakan ilustrasi tata ruang khas Sunda secara vertikal. Selain pola tata ruang kawasan, di Kampung Budaya Sindang Barang terdapat beberapa bangunan tradisional dengan arsitektural yang khas dan mencerminkan nilai budaya yang tinggi. Di antara bangunan tersebut adalah Imah Gede (rumah ketua adat), Imah Kokolot (rumah sesepuh adat), Imah Warga (rumah warga), Leuit (lumbung padi), Saung Lisung (tempat menumbuk padi), Saung Talu (tempat kesenian), Bale Pangriungan (tempat pertemuan/aula) dan Pawon (dapur).
Gambar 37. Ilustrasi Tata Ruang Vertikal Imah Gede atau rumah Ketua Adat merupakan tempat tinggal ketua adat dengan konstruksi bangunan bergaya arsitektur Sunda. Imah Gede berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu yang berkunjung ke Kampung Budaya Sindang Barang (Gambar 38). Begitu juga dengan Imah Kokolot dan Imah Warga, kedua bangunan ini memiliki kesamaan dengan Imah Gede dalam arsitekturnya. Perbedaannya terdapat pada luasan bangunan yang lebih kecil, ornamen, arsitektural dan fungsi dari bangunan tersebut.
80
Gambar 38. Imah Gede (Rumah Ketua Adat) Imah Kokolot merupakan rumah bagi para sesepuh adat yang ada di kawasan Kampung Budaya Sindang Barang dan posisinya berada di atas Imah Warga. Sedangkan Imah Warga merupakan rumah yang dihuni oleh masyarakat umum dan berada di posisi yang lebih rendah dari pada Imah Gede dan Imah Kokolot. Dalam hal penyimpanan hasil pertanian terutama padi, masyarakat Sunda memiliki tradisi menyimpan di dalam Leuit (Lumbung). Leuit yang ada di Kampung Budaya Sindang Barang terdiri dari Leuit Ratna Inteun (Pare Rama), Leuit Ambu (Pare Ambu), dan Leuit Rakyat (Gambar 39). Selain Leuit, bangunan yang memiliki arsitektur dan fungsi yang khas adalah Saung Lisung dan Saung Talu. Saung Lisung berfungsi sebagai tempat menumbuk padi yang diambil dari lumbung untuk dijadikan beras.
Gambar 39. Leuit (Lumbung Padi) Dalam prosesnya terlebih dahulu padi ditumbuk di lubang Lisung yang lebih besar untuk menggugurkan padi dari tangkainya (Ngagugurkeun). Kemudian
81
setelah dipisahkan dari tangkainya, padi dipindahkan ke dalam lubang yang lebih kecil untuk dipisahkan dari kulitnya (Mepegan) yang sebelumnya ditapi terlebih dahulu. Dan setelah itu padi ditumbuk kembali (Ngasakeun) untuk dihaluskan dan selanjutnya ditapi untuk dimasak (Gambar 40).
Gambar 40. Saung Lisung (Tempat Menumbuk Padi) Adapun Saung Talu merupakan tempat untuk penampilan berbagai kesenian tradisional Sunda, seperti tari Jaipongan, Reog, Calung, Angklung dan sebagainya. Saung Talu terdiri dari panggung utama dan area untuk penonton. Posisi Saung Talu berada di samping kiri Imah Gede, dan menurut sejarahnya Saung Talu berfungsi sebagai tempat penghibur raja dengan berbagai kesenian yang disajikan (Gambar 41).
Gambar 41. Saung Talu (Tempat Kesenian) Selain bangunan untuk hunian, terdapat pula Pawon yang berfungsi sebagai tempat aktivitas memasak. Bagi masyarakat Sunda, pawon atau dapur merupakan pusat aktivitas bagi kaum wanita, dimana dalam hal ini segala bentuk pekerjaan rumah terutama yang berkaitan dengan padi (menumbuk, menapi
82
hingga menanak) adalah tanggung jawab dari kaum wanita. Selain itu terdapat pula bangunan yang dijadikan sebagai pusat aktivitas masyarakat dalam bermusyawarah dan berkumpul yang disebut dengan Bale Pangriungan (tempat pertemuan/aula). Konstruksi dari Bale Pangriungan tidak berdinding penuh dan hanya dibatasi oleh pembatas ruang dengan ketinggian kurang lebih 50 cm, dan pada bagian dalam berupa ruang terbuka yang luas (Gambar 42).
Gambar 42. Pawon (Dapur) dan Bale Pangriungan (Aula) 4.3.3. Elemen Lanskap Budaya Sebelum Kampung Budaya Sindang Barang dibangun dan direvitalisasi, kondisi budaya di kawasan Sindang Barang tidak begitu mendapatkan perhatian dari mayarakat setempat. Kuatnya pengaruh budaya luar yang dengan mudah mempengaruhi khasanah budaya lokal, berdampak pada hilangnya karakteristik budaya khas Sindang Barang. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua adat dan sesepuh adat, banyak terdapat budaya lokal yang menjadi ciri khas Sindang Barang, diantaranya upacara Seren Taun (Sedekah Guru Bumi Sindang Barang) dan Parebut Seeng (berebut seeng). Kedua upacara tersebut memiliki nilai budaya yang sangat tinggi dan perlu dilestarikan keberadaannya, sehingga karakteristik budaya Sindang Barang akan tetap ada dan lestari. Selain itu, beberapa ritual yang dari dulu hingga saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Sindang Barang diantaranya Runjakeun, Majikeun Pare, Serbet Kasep, Rengkong dan Angklung Gubrak. Beberapa elemen lanskap budaya yang menjadi ciri khas dari kawasan Sindang Barang dapat dikelompokan ke dalam tiga kelompok yaitu ritual, adat
83
(tradisi) dan kesenian. Berikut merupakan penjelasan dari beberapa elemen lanskap budaya di kawasan Sindang Barang: a. Ritual 1. Rengkong, merupakan ritual yang dilakukan ketika mengambil padi hasil panen menuju lumbung padi (leuit). 2. Majikeun Pare, merupakan ritual yang dilakukan ketika menyimpan padi hasil panen ke dalam leuit (lumbung). 3. Runjakan, merupakan ritual melak menyan (menyimpan menyan) di dalam tempat beras (padaringan atau goah). Ritual tersebut dilakukan sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi untuk Sanghyang Dewi Sri. 4. Serbet Kasep, merupakan ritual yang diadakan sebelum dilaksanakan khitanan masal bagi anak-anak masyarakat Sindang Barang. b. Adat 1. Ungkal Biang (Batu Induk) Upacara Ungkal Biang merupakan upacara peletakan batu pertama atau tugu peringatan yang biasa dilakukan sebelum berdirinya kampong adat Sunda di tataran adat Sunda. Tujuan dari upacara tersebut adalah sebagai batu peringatan dan lambing persatuan kampung budaya dan dilakukan satu kali untuk selamanya. Untuk menentukan batu induk yang akan dijadikan tugu peringatan kampung adat tidak dapat ditentukan dengan mudah. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebagai Batu Induk. Diantarnya adalah batu Ungkal Beuneur atau batu padat berisi dengan panjang minimal 1,5 meter dan berbetuk agak pipih (Gambar 43).
Gambar 43. Upacara Ungkal Biang
84
Dalam proses menempatkan Ungkal Biang, sebelumnya dilakukan beberapa upacara dan ritual. Diantaranya batu yang didapat dari Sungai Cipakali diiringi oleh warga setempat dengan iringan angklung dan tumpeng sebanyak tujuh buah. Pengangkutan dengan perjalanan yang cukup jauh dari tempat ditemukannya batu menuju kampung budaya harus dilakukan secara bergotong royong, sehingga akhirnya batu diletakkan di samping Imah Gede. Sebelum diletakkan, beberapa sesaji telah disimpan oleh pemuka adat yang terdiri dari tujuh macara rujakeun (buah aren, pisang emas, kelapa muda, asem, gula merah dan jambu kulutuk), kemenyan, daun sirih, kapur sirih, bubur merah-putih dan ditambah air tujuh rupa. Dalam upacara tersebut, suasana mistis cukup terasa, terutama ketika proses mengelilingi Ungkal Biang dengan memegang ayam putih sebanyak tiga kali. Adapun filosofi dari pemilihan ayam putih yang dijadikan mediator upacara adalah jika masih ada energi negatif dalam batu diharapkan jangan menggangu manusia, tetapi mengganggu ayam. Setelah dibacakan doa kemudian air di dalam kendi dibasuhkan kepada Ungkal Biang untuk mengusir energi negatif yang ada di dalam batu dan dipindahkan ke mediator berupa ayam putih. 2. Parebut Seeng Parebut Seeng merupakan adat yang khas dari kawasan Sindang Barang yang dilakukan ketika acara pernikahan sebelum ijab kabul. Seeng merupakan alat masak khas Sindang Barang yang menjadi alat utama upacara Parebu Seeng. Upacara ini dilakukan ketika calon pengantin lakilaki akan meminang calon perempuan, dalam pelalsanaannya kedua belah pihak mengirim jawara (jagoan) yang akan saling bertarung. Ketika pertarungan berlangsung, setiap jawara saling melemparkan pertanyaan (berbalas pantun), terutama jawara dari pihak calon pengantin perempuan yang mempertanyakan kesiapan dan kepantasan calon laki-laki untuk
85
meminang. Jagoan dari pihak laki-laki yang akan mempertahankan seeng, sedangkan jagoan pihak perempuan harus merebut seeng (Gambar 44).
Gambar 44. Upacara Pernikahan Adat Sunda Dalam adat tataran Sunda sesungguhnya, pihak laki-laki yang diperebutkan wanita. Jika seorang wanita ingin dinikahi oleh seorang lakilaki, dia harus memiliki jawara yang handal untuk merebut seeng dari pendekar laki-laki. Menurut ketua adat, dalam tataran Sunda laki-laki sangat berharga. Walau pun jelek, laki-laki akan menjadi kepala rumah tangga. Begitu juga dengan seeng, sejelek-jeleknya seeng pasti banyak manfaatnya.
Adapun
kepastian
dilaksanakannya
pernikahan
akan
ditentukan bila jawara dari calon perempuan dapat menepuk seeng milik jawara dari calon laki-laki, dan bila gagal maka pernikahan akan ditangguhkan untuk sementara waktu (Gambar 45).
Gambar 45. Kesenian Berbalas Pantun Sunda dalam Upacara Pernikahan Adat Sunda Upacara ini telah menjadi adat bagi setiap masyarakat Sindang Barang yang akan melaksanakan pernikahan, namun saat ini upacara
86
Parebut Seeng sudah jarang dilakukan karena pengaruh budaya luar yang semakin kuat dan pandangan negatif dari masyarakat terhadap budaya tersebut karena sulitnya syarat-syarat yang harus dipenuhi. Sehingga untuk saat ini, upacara Parebut Seeng hanya dilakukan sebagai upacara hiburan dengan tanpa melaksanakan ritual-ritual namun tetap mencirikan sebagai warisan budaya leluhur Sindang Barang (Gambar 46).
Gambar 46. Kesenian Parebut Seeng 3. Seren Taun Sindang Barang Seren Taun Sindang Barang merupakan adat dari masyarakat Sindang Barang yang telah dilakukan secara turun temurun dan menjadi warisan dari leluhur Sindang Barang. Seren Taun dilakukan sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi yang telah diberikan oleh Tuhan. Dalam sejarahnya Seren Taun telah melalui dua masa pengaruh ajaran agama, yaitu agama Sunda dan agama Islam. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa proses pelaksanaannya, seperti penentuan bulan pelaksanaan yang awalnya dilakukan sesuai penanggalan Pajajaran yang dirubah menjadi bulan Muharam sesuai dengan penanggalan Islam (Hijriyah). Selain itu dapat terlihat juga dari doa dan bacaan yang dibacakan ketika upacara ritual telah menggunakan doa dan bacaan sesuai dengan syariat Islam, begitu juga dengan proses Ngarak Munding (menuntun kerbau) yang telah menghilangkan tradisi mengubur kepala kerbau dan melemparinya dengan uang, dan diganti menjadi lebih bermanfaat dengan membagikan menerimanya.
seluruh
bagian
kerbau
untuk
pihak
yang
berhak
87
Seren Taun dilakukan selama enam hari dimulai pada hari Senin dan berakhir pada hari Minggu di bulan Muharam, dan dilakukan berbagai kegiatan yang mencakup ritual, adat serta kesenian. Berikut merupakan rangkaian upacara Seren Taun yang dilakukan di Sindang Barang umumnya dan khususnya di Kampung Budaya Sindang Barang: a. Hari pertama (Senin) Dilakukan kegiatan Netepkeun Iman (teguhkan iman) yang dilakukan oleh seluruh kokolot (sesepuh) dipimpin oleh pemuka agama Islam (ustadz) di lingkungan Sindang Barang. Kegiatan tersebut dilakukan untuk memberikan pesan bagi para kokolot akan makna dari Seren Taun agar terlepas dari perbuatan yang tidak baik seperti iri, dengki, takabur, dsb. b. Hari kedua (Selasa) Dilakukan kegiatan ziarah ke makam leluhur dan tempattempat yang dikeramatkan seperti makam Mbah Jamaka, Mama Haji Ali, dsb. c. Hari ketiga dan keempat (Rabu dan Kamis) Dilakukan kegiatan khitanan masal yang diawali dengan pawai pengantin sunat (ngarak panganten) dan ritual Serbet Kasep bagi anak-anak masyarakat Sindang Barang. d. Hari kelima (Jum’at) Dilakukan upacara pengambilan air dari tujuh mata air yang dikeramatkan untuk dikumpulkan menjadi satu (dalam tampayan) yang melambangkan persatuan (siloka) dan dipercaya menjadi air suci yang memberikan banyak manfaat bagi yang menggunakannya. Ketujuh mata air tersebut adalah mata air Cipamali, Cimaeja, Cikubang, Cimalipah, Jalatunda, Ciputri dan Cieming. Setelah dilakukan upacara pengambilan tujuh mata air, kemudian pada malam harinya dilakukan kegiatan ceramah keagamaan (tausyah) yang dibawakan melalui kesenian bagi seluruh masyarakat Sindang Barang.
88
e. Hari keenam (Sabtu) Diadakan upacara Sedekah Kue dimana dalam pelaksanaannya dilakukan ijab kabul (ngijabkeun), Sedekah Kue dan Pecah Kue. Dalam upacara ini masyarakat berbondong-bondong menyedekahkan bermacam-macam kue yang nantinya akan disedekahkan untuk masyarakat lainnya. Makanan tradisional yang biasa disajikan dalam upacara Sedekah Kue berjumlah 40 tampan/nyiru yang terdiri dari ranginang, jipang, dodol, bubur suro (40 jenis bahan dibuat satu), dan sebagainya. Dalam upacara Pecah Kue Sang Ambu mengiris dodol sebagai simbol pemecahan masalah dan nantinya dibagikan kepada masyarakat. Selain upacara Sedekah Kue, dilakukan juga riungan para sesepuh adat untuk merapatkan helaran yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Setelah riungan selesai selanjutnya dilakukan upacara Ngarak Munding (mengarak kerbau) dimana kerbau yang dijadikan simbol makhluk besar dan bodo diselimuti lawon bodas (kain putih) yang berarti suci dan diruntui kembang (dikalungi bunga) yang berarti harum. Setelah kerbau diarak mengelilingi kampung kemudian
disembelih
di
lapangan
dan
dagingnya
sebagian
disedekahkan kepada masyarakat setempat dan sisanya disajikan dalam resepsi. Hari keenam ditutup oleh pagelaran berbagai macam kesenian tradisional dan biasanya dilakukan hingga larut malam. f. Hari ketujuh (Minggu) Merupakan puncak upacara Seren Taun yang diawali Helaran Ngarak Dondang (pawai hasil bumi), ritual Majikeun Pare (ritual menyimpan padi ke dalam lumbung) yang diawali dengan menyimpan pare rama (padi ayah) dan pare ambu (padi ibu) yang dilanjutkan padi rakyat. Upacara Seren taun ditutup oleh pembacaan doa keselamatan oleh pemuka agama yang dilanjutkan oleh prosesi Parebut Dongdang (berebut isi dongdang) (Gambar 47 ).
89
Gambar 47. Prosesi Upacara Seren Taun (a) Helaran (b) Majikeun Pare (c) Pare rama (d) Pare Ambu Dalam prosesi tersebut masyarakat yang telah berkumpul dilapangan dipersilahkan untuk mengambil berbagai macam makanan yang tersedia di dalam dongdang (Gambar 48). Setelah prosesi selesai dilanjutkan dengan pagelaran seni tradisional seperti Rengkong, Angklung Gubrag, Calung, Gendang Penca, Reog dan penampilan dari para tamu undangan. Setelah semua rangakian acara selesai maka selesai pula upacara Seren Taun yang diadakan selama sepekan.
Gambar 48. Prosesi Parebut Dongdang
90
c. Kesenian 1. Angklung Gubrag Angklung Gubrag merupakan perangkat angklung yang ditabuh terutama sehubungan dengan ritual penanaman padi. Dipercaya oleh masyarakat adat Sunda dapat mempersubur pertumbuhan padi. Angklung Gubrag terdiri dari sembilan buah angklung yang besarnya berurutan dan dua buah Dogdog Lojor, yaitu: 3 buah angklung kecil (Roel) salah satu dipegang oleh dalang; 2 buah angklung Kurulung, 2 buah angklung Engklok, 2 buah angklung Gangling, 2 buah angklung Dogdog Lojor yang berfungsi sebagai gendang (Gambar 49).
Gambar 49. Alat Musik Angklung dan Dogdog Lojor Permainan Angklung Gubrag terdiri dari tiga adegan, yaitu: (1) Iring-iringan dimana rombongan menabuh Angklung Gubrag sambil berjalan. Lagu yang dinyanyikan yaitu Goyong-goyong yang memberi kesan kegagahan. (2) Nyanyian yang tidak selamanya diiringi angklung. Dalang menyanyi sambil berjongkok dan angklung ditabuh sambil berdiri, lagu yang pertama Adulilang Sri Lama (ditujukan kepada Dewi Sri), lagu kedua Kidung Sulanjana yang liriknya mengenai pendidikan budi pekerti bernafaskan Islam dan (3) Ngadu (bertanding) dimana semua pemain berdiri sambil menabuh tapi tidak menari (Gambar 50).
91
Gambar 50. Kesenian Angklung Gubrag Dalam pertandingan ini yang bergerak hanyalah penabuh Dogdog Lojor. Penabuh diharuskan menyentuk kulit Dogdog lawannya sambil menabuh Dogdog masing-masing. Angklung Gubrag dimainkan pada upacara Seren taun, ritual sebelum menanam padi (nandur) atau pada acara hajatan keluarga, perhelatan hari raya, dll. 2. Pencak Silat Cimande Nama Cimande merupakan nama tempat diperbatasan Bogor dengan Sukabumi. Karena lahir ditempat itu maka gaya Penca cipataan Abah Kohir yang tinggal di Cimande sehingga akhirnya disebut Gaya Cimande (Gambar 51).
Gambar 51. Pencak Silat Cimande Keistimewaan dari Cimande ialah pada kekeuatan memukul dan menahan. Jarang menghindar. Setiap serangan dibalas dengan serangan pula.
Jurus
dasar
Cimande
sangat
sederhana
dimana
banyak
mempergunakan gerak tangan daripada gerak kaki, dan lebih banyak bergerak di atas dengan sikap tangan terbuka. Pada dasarnya gaya
92
Cimande lebih banyak mempergunakan gerak tangan Baplang (posisi tangan terbuka). Diantara para pendekar Cimande Bah Ace (alm), Bah Surma, Bah Soleha, Eyang haji Somad, dan Uyuh Suwanda. 3. Rengkong Rengkong merupakan kesenian khas Sindang Barang yang dilakukan setiap upacara Seren Taun. Dalam kesenian ini para pemain memikul padi yang telah dipanen dan menggoyang-goyangkan pikulannya sehingga menghasilkan bunyi yang indah (Gambar 52).
Gambar 52. Kesenian Rengkong 4.3.4. Persepsi, Harapan, dan Intervensi Masyarakat Keberadaaan Kampung Budaya Sindang Barang menajadi kebanggan tersendiri bagi masyarakat Bogor pada umumnya dan khususnya bagi masyarakat Desa Pasir Eurih. Hal ini terlihat dari banyaknya responden (n=30) yang merasa bangga sebesar 70% dan sisanya merasa biasa bahkan tidak merasakan dampak positif dari keberadaan Kampung Budaya tersebut. Namun demikian dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penduduk setempat mempunyai akseptabilitas dan apresiasi yang tinggi terhadap keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang. Kurangnya informasi dan pemahaman masyarakat terhadap kekayaan obyek dan daya tarik wisata serta manfaat dari usaha kepariwisataan menjadi faktor penghambat penerimaan KBSB sebagai daerah tujuan wisata. Berdasarkan data hasil wawancara terhadap beberapa masyarakat dapat dilihat keberagaman persepsi masyarakat terhadap keberadaan Kampung Budaya
93
Sindang Barang. Keberagaman persepsi tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan mereka terhadap sejarah masa lalu dari kerajaan Pajajaran secara umum dan khususnya mengenai kawasan Sindang Barang. Banyak dari responden yang mengetahui sekilas tentang keajaan Pajajaran sebagai kerajaan yang pernah ada di wilayah Bogor namun tidak banyak dari responden yang mengetahui bahwa kawasan Sindang Barang merupakan bagian dari kerajaan Pajajaran. Sejarah dari kawasan Sindang Barang diperoleh secara turun temurun dan tidak secara formal diajarkan dalam dunia pendidikan, sehingga banyak dari masyarakat yang mengetahui sejarah kawasan tersebut berasal dari orang tua mereka yang diajarkan secara turun temurun. Kondisi ini berdampak pada pengetahuan masyarakat setempat yang rendah terhadap keberadaan nilai dan budaya yang tinggi dari kawasan Sindang Barang. Namun demikian masyarakat yang mengetahui secara jelas alur sejarah dari kawasan Sindang Barang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengangkat dan mengembangakan nilai budaya tersebut, sehingga pengetahuan masyarakat terhadap sejarah kawasan Sindang Barang dapat merata. Hal tersebut diharapkan mampu memberikan informasi yang cukup bagi masyarakat lokal akan pentingnya keberadaan Kampung Budaya dalam menjaga kelestarian dari nilai dan budaya yang sangat tinggi tersebut. Dengan demikian persepsi yang positif dari masyarakat akan semakin meningkat dan tentunya menunjang terhadap keberlanjutan dari Kampung Budaya Sindang Barang. Sejauh ini persepsi masyarakat lokal terhadap keberadaan Kampung Budaya dapat
dikatakan cukup baik, terlebih dengan keberadaan Kampung
Budaya sebagai kawasan wisata budaya. Keberadaan KBSB berdampak pada perubahan di beberapa aspek yang tentunya memberikan dampak positif dan negatif bagi masyarakat setempat. Diantara perubahan positif yang terjadi dalam aktivitas masyarakat lokal yaitu masyarakat mulai mengenal kembali nilai dan budaya lokal yang sejak lama ada namun tidak dijalankan dalam keseharian mereka. Selain itu perubahan dari segi ekonomi dengan adanya Kampung Budaya Sindang Barang adalah pengaspalan jalan akses menuju kawasan kampung budaya yang bedampak pada kelancaran sirkulasi bagi masyarakat terutama dalam mendistribusikan hasil
94
pertanian dan produk dari industri sandal dan sepatu yang banyak terdapat di kawasan Sindang Barang, khususnya di Desa Pasir Eurih. Adapun dampak negatif dari keberadaan kampung budaya diantaranya adalah turunnya eksistensi kepemilikan lahan oleh masyarakat lokal terutama pada lahan yang berada di sepanjang jalan akibat adanya pembenahan jalur akses menuju kampung budaya. Selain itu, akibat lancarnya arus distribusi hasil industri yang berdampak pada lancarnya penerimaan pendapatan, maka banyak dari masyarakat usia kerja yang lebih memilih bekerja di bidang industri dibandingkan pertanian terlebih di bidang budaya. Di samping itu semua, karena peran Kampung Budaya Sindang Barang yang dirasa begitu vital dalam melestarikan nilai budaya Sunda, maka peran aktif dari masyarakat setempat perlu dibina untuk bersama membangun dan menjaga keletarian dari budaya mereka. Dengan demikian persepsi yang positif dari masyarakat akan semakin meningkat dan tentunya menunjang terhadap keberlanjutan dari usaha kepariwisataan di kawasan Kampung Budaya Sindang Barang yang optimal. 4.4.
Data Kepariwisataan
4.4.1. Perkembangan Kepariwisataan Potensi pariwisata di Kabupaten Bogor cukup menjanjikan, namun belum dikelola secara optimal, proporsional dan profesional serta belum ditempatkan sebagai kegiatan industri pariwisata. Potensi pariwisata yang saat ini dimiliki oleh Kabupaten Bogor cukuplah banyak, baik wisata alam, budaya maupun minat khusus. Kepariwisataan bukanlah suatu hal yang dapat dilihat hanya dari satu sisi saja, namun perlu ditinjau dari berbagai sisi sehingga keberadaan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor dapat termanfaatkan secara optimal. Dalam UU No.10 tahun 2009 yang membahas mengenai kepariwisataan, dinyatakan bahwa kepariwisataan merupakan keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan
95
masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha. Dengan demikian, sangat diperlukan peran serta dari semua pihak dalam upaya pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Bogor, terlebih dengan status Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah tujuan wisata (DTW) yang banyak dikunjungi di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah wisatawan 2.039.652 orang pada tahun 2008 (Dinas Periwisata dan Budaya Kabupaten Bogor, 2008). Pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata menjadi semakin penting karena sektor ini telah menunjukkan kontribusi nyata dalam peningkatan kehidupan sosial, ekonomi, budaya juga kelestarian lingkungan. Namun demikian dalam pengembangan sebuah kawasan wisata perlu direncanakan dan dirancang sebaik mungkin sehingga dapat memberikan dampak positif yang optimal dan pengurangan dari dampak negatif. Oleh karena itu dalam pengembangannya tetap mengacu pada asas penyelenggaraan kepariwisataan yang telah diatur dalam UU No.10 tahun 2009, yaitu: manfaat, kekeluargaan, adil merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan dan kesatuan. Jelaslah dalam hal ini bahwa dalam setiap pengembangan kawasan wisata, partisipasi masyarakat terutama masyarakat lokal pelu diikutsertakan secara aktif dalam setiap proses pengembangan, sehingga output yang dihasilkan tidak hanya bemanfaat bagi pihak pengembang namun juga bagi kesejahteraan masyarakat. Dan inilah yang perlu dilakukan dalam pengembangan kawasan wisata di Kampung Budaya Sindang Barang sebagai salah satu obyek wisata budaya andalan di Kabupaten Bogor. 4.4.2. Potensi Kepariwisataan Kampung Budaya Sindang Barang termasuk ke dalam kelompok obyek dan daya tarik wisata budaya. Dalam Undang-undang No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, telah diamanatkan bahwa pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa, baik dari segi kebudayaan, pendidikan, pariwisata dan sebagainya. Dengan demikian
96
Benda Cagar Budaya baik yang bergerak maupun yang tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata dengan tetap memperhatikan pelestariannya. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 dinyatakan bahwa kawasan adat tertentu dan kawasan konservasi warisan budaya merupakan kawasan strategis untuk tujuan pariwisata. Menurut UU kepariwisataan kawasan strategis pariwisata merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Dengan demikian Kampung Budaya Sindang Barang dengan berbagai potensi baik keanekaragaman hayati maupun keunikan dari kehidupan sosial dan budaya yang dimilikinya sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan dengan obyek dan daya tarik wisata andalan. 4.4.3. Wisata Andalan Dengan memperhatikan batasan pengertian batasan pengertian obyek wisata serta pengertian mendasar mengenai andalan, maka dapat diberikan batasan pengertian obyek dan daya tarik wisata andalan adalah sumber daya alam dan budaya yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kegiatan pariwisata atau pada dasarnya telah berkembang yang memiliki ciri khas, unik, asli sebagai jati diri keadaan alam maupun budaya setempat yang menjadi unggulan sebagai daya tarik utama. Untuk pengembangan kawasan wisata menjadi suatu kawasan wisata andalan, diperlukan beberapa kriteria penilaian sebagai dasar penentuan suatu obyek dan daya tarik wisata sebagai wisata andalan. Inskeep (1991) dalam Pedoman Obyek dan Daya Tarik Wisata Andalan (2001) menetapkan komponenkomponen dasar yang harus dievaluasi terhadap suatu obyek wisata. Komponen tersebut adalah:
97
a. Daya tarik dan kegiatan yang terdapat didalamnya. Termasuk dalam hal ini daya tarik alam, budaya, minat khusu dan segala bentuk kegiatan yang menyebabkan wisatawan untuk datang. b. Akomodasi yang merupakan tempat dimana wisatawan menginap selama kunjungan. c. Fasilitas dan kemudahan wisata. Dalam hal ini semua fasilitas dan pelayanan yang dibutuhkan termasuk ketersediaan usaha travel biro, restaurant, souvenir shop, money changer, tourist information dan sebagainya. d. Transportasi termasuk dalam hal ini adalah aksesibilitas menuju negara tujuan, transportasi regional, sistem transportasi internal dan keterkaitan moda transportasi. e. Sarana dan prasarana pariwisata, ketersediaan air bersih, tenaga listrik, pembuangan samapah, telekomunikasi dan sebagainya. f. Kelembagaan yang merupakan sistem yang diperlukan untuk membangun dan mengembangkan
obyek,
seperti
perencanaan
tenaga
kerja,
program
pendidikan dan pelatihan, strategi promosi, struktur organisasi, keterlibatan pihak swasta dan pemerintah, peraturan dan perundangan yang berlaku, kebijakan tentang penanaman modal dan sebagainya. Bila melihat potensi yang dimiliki oleh Kampung Budaya Sindang Barang, sangat besar kemungkinan dapat menjadi salah satu wisata andalan yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor, tentunya dengan upaya perencanaan dan pengembangan yang lebih baik dan optimal. 4.4.4. Objek dan Daya Tarik Wisata Kampung Budaya Sindang Barang memiliki berbagai obyek dan daya tarik wisata yang merupakan potensi utama dalam pengembangan wisata andalan di kawasan ini. Menurut keputusan Menteri Kepariwisataan, Pos dan telekomunikasi No.KM.98/PW.102/MPPT-87 tentang ketentuan Usaha Obyek Wisata menerangkan bahwa obyek wisata merupakan tempat atau keadaan alam yang memiliki daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan. Adapun daya tarik wisata merupakan segala sesuatu yang memiliki
98
keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan keunjungan manusia (UU No.10 tahun 2009) Obyek dan daya tarik wisata yang dimiliki oleh Kampung Budaya Sindang Barang terbagi ke dalam tiga kelompok penentu yaitu kelompok lanskap alami, lanskap sosial dan lanskap budaya. Setiap obyek dan daya tarik memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri sehingga sangat besar potensinya untuk dapat dikunjungi oleh wisatawan (Tabel 12). 4.4.4.1. Lanskap Alami Obyek dan daya tarik wisata yang termasuk ke dalam kelompok lanskap alami diantaranya elemen biofisik seperti keanekaragaman vegetasi dan satwa yang ada di kawasan Sindang Barang secara umum, terutama menyangkut sejarah keberadaan vegetasi dan satwa lokal yang pernah bahkan masih ada hingga saat ini. Selain itu kondisi iklim tropik yang sejuk juga posisi kawasan yang berada pada daerah dataran tinggi menyuguhkan pemandangan (view) kota Bogor yang sangat indah untuk dinikmati terutama pada malam hari dan view lain yang menarik (Gunung Salak, Gunung Gede dan Pangrango, dsb). Kondisi topografi kawasan Sindang Barang yang sebagian besar berbukitbukit/berudak-undak memberikan kekuatan karakter terhadap kawasan Sindang Barang sebagai kawasan yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi terutama kaitannya dengan kerajaan Pakuan Pajajaran. Kondisi ini dapat menggambarkan sebuah punden raksasa yang tentunya dapat mewakili kawasan Sindang Barang yang menyimpan berbagai macam bukti peninggalan sejarah dan budaya yang salah satunya adalah punden berudak-undak (Gambar 53).
Gambar 53. Kondisi Topografi Kawasan Sindang Barang
99
Keberadaan Sungai Ciapus yang menjadi bukti sejarah tentang meletusnya Gunung Salak purba dengan banyak ditemukan batuan didalamnya juga menawarkan daya tarik tersendiri selain keindahan dan kejernihan airnya. Selain itu hamparan sawah yang berundak-undak dengan berbagai aktivitas masyarakat setempat dapat menyuguhkan atraksi yang menarik bagi wisatawan. Disamping itu pula terdapat beberapa titik (vantage point) pada tapak yang menyuguhkan obyek pemandangan yang menarik dan dapat dikembangkan sebagai obyek dan daya tarik wisata. Diantaranya adalah ventage point sebelum menuju tapak yang menyuguhkan kawasan Kampung Budaya Sindang Barang secara menyeluruh, juga view hamparan sawah yang indah (Gambar 54).
Gambar 54. View Point pada Tapak Selain pemandangan yang dapat diekspose secara luas, pada tapak terdapat pula vantage point yang menyuguhkan view yang lebih spesifik, seperti view ke arah vegetasi Kirei yang memiliki keunikan dan menjadi vegetasi lokal yang terancam kelestariannya. Keunikan dari vegetasi tersebut adalah sebagai penentu adanya mata air alami. Dimana tedapat populasi Kirei maka dapat dipastikan di kawasan tersebut terdapat sunber mata air (Gambar 55).
Gambar 55. View vegetasi Kirei
100
Tabel 12. Ragam Obyek dan Daya Tarik Wisata No. 1.
2.
3.
Obyek dan Atraksi Lanskap Alami Keberagaman vegetasi dan satwa serta pemandangan dari karakter alami (good view). Lanskap Sosial Keberagaman aktivitas masyarakat (industri, pertanian dan peternakan) serta, keberagam tradisi kemasyarakatan (Tahlilan, Nadran, Nyaba, Maulidan, Tarawehan, Rajaban, Muharaman, Akekahan, dsb).
Ruang Wisata
Waktu
Keterangan
Ruang dalam dan luar kawasan.
Setiap waktu
Terdapat karakter alami yang khas seperti vegetasi Kirei, good view ke arah Gunung Salak dan Gunung Gede-Pangrango, Sungai Ciapus, dan bentukan persawahan menyerupai punden berundak.
Ruang penunjang (permukiman, persawahan, perladangan dan pekarangan).
Setiap waktu dan pada saat tertentu seperti kematian, hari kelahiran, bulan Islam (Rajab, Muharam, Ramadhan, Syawal), dsb.
Terdapat aktivitas industri sandal dan sepatu dengan hasil produk hand made yang khas. Juga terdapat aktivitas pertanian seperti ngabajak, nandur, panen, dsb. serta aktivitas peternakan seperti pengenalan hewan ternak dan manfaatnya. Tahlilan dan Nadran merupakan tradisi yang terkait dengan kematian (pembacaan doa bagi yang meninggal). Nyaba merupakan tradisi silaturahmi ketika Idul Fitri dan waktu tertentu. Maulidan, Rajaban dan Muharaman merupakan peringatan hari besar Islam. Akekahan dan Tujuh Bulanan merupakan tradisi yang terkait dengan kelahiran.
Lanskap Sejarah dan Budaya a. Situs bersejarah
Ruang penunjang
Setiap waktu
Terdapat berbagai situs bersejarah peninggalan leluhur dari jaman Sunda Wiwitan hingga kerajaan Pajajaran.
b. Acara ritual - Rengkong
Rung inti dan penunjang
Pada waktu Upacara Seren Taun Pada waktu Upacara Seren Taun Pada waktu Upacara Seren Taun Pada waktu Upacara Seren Taun
Merupakan ritual yang dilakukan ketika mengambil padi hasil panen menuju lumbung padi (leuit). Merupakan ritual yang dilakukan ketika menyimpan padi hasil panen ke dalam Leuit (lumbung). Merupakan ritual melak menyan (menyimpan menyan) di dalam tempat beras (padaringan atau goah). Merupakan ritual yang diadakan sebelum dilaksanakan khitanan masal bagi anak-anak masyarakat Sindang Barang
Pada waktu Seren Taun dan festival Parebut Seeng
Merupakan adat khas Sindang Barang yang pada awalny merupakan adat dalam pernikahan. Namun saat ini hanya dilakukan sebagai atraksi wisata
- Majikeun Pare
Rung inti dan penunjang
- Runjakan
Rung inti dan penunjang
- Serbet Kasep
Rung inti dan penunjang
c. Acara Adat - Parebut Seeng
Ruang inti (alun-alun)
101
- Seren Taun d. Acara Kesenian - Angklung Gubrag
Ruang inti kawasan
Pada waktu Seren Taun (1 tahun sekali selama sepekan).
Merupakan upacara adat sebagai bukti rasa syukur terhadap Tuhan YME atas hasil pertanian yang diperoleh. Dilakukan berbagai ritual, dan kesenian serta bakti sosial bagi masyarakat.
Ruang inti dan penyangga
Pada saat ritual dan Seren Taun Pada saat Seren Taun dan festival Pencak Silat Cimande. Pada saat Seren Taun
Merupakan kesenian yang syarat akan mistis, dilakukan pada saat ritual tertentu seperti Majikeun Pare, Nandur dan sebagainya. Merupakan kesenian adu ketangkasan (pencak silat) khas Bogor dengan ciri khas mengandalkan kekuatan tangan dan gaya menyerang serta menahan. Merupakan kesenian memikul padi dari tempat panen menuju lumbung (Leuit) dengan cara menggoyang-goyangkan padi.
- Pencak Silat Cimande
Ruang inti
- Rengkong
Ruang inti
Catatan: Ruang wisata secara umum berada dalam ruang budaya/sosial kawasan Sindang Barang.
102
4.4.4.2. Lanskap Sosial Dilihat dari segi lanskap sosial, Kampung Budaya Sindang Barang khususnya dan umumnya kawasan Sindang Barang memiliki obyek dan daya tarik yang mampu menarik perhatian wisatawan. Diantaranya adalah ruang kehidupan sosial masyarakat setempat yang sangat unik dengan beragam aktivitas seperti dalam pengelolaan lahan pertanian, perternakan serta produksi sandal dan sepatu. Pertanian menjadi salah satu mata pencaharian utama masyarakat setempat dan dengan pertanian inilah mereka berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Hamparan area persawahan yang unik dan usaha gigih mereka tentunya memiliki nilai dan sangat berpotensi untuk menjadi daya tarik bagi wisatawan (Gambar 56).
Gambar 56. Ruang Aktivitas Sosial Masyarakat Aktivitas mereka dalam mengelola lahan pertanian merupakan obyek yang unik untuk dinikmati, mulai dari persiapan lahan, pemilihan benih, penyemaian, hingga pemanenan tentunya memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Terlebih dengan adanya adat dan tradisi yang menjadi kearifan lokal dan masih dilestarikan terkait dengan aktivitas pertanian mereka, seperti ritual majikeun pare sebelum padi disemai (nandur) atau penggunaan kolecer (kincir) yang dipercaya dapat mempercepat pertumbuhan padi (Gambar 57)
Gambar 57. Aktivitas Sosial Memanen Padi
103
Berbagai obyek dan daya tarik lainnya yang dapat dikembangkan sebagai potensi wisata dari aktivitas pertanian dan peternakan, diantaranya adalah atraksi satwa unggas seperti ayam, bebek, angsa dan burung. Dalam hal ini wisatawan dapat melakukan aktivitas pemberian pakan (feeding) pada satwa tersebut (Gambar 58). Disamping itu pula satwa unggas dapat dijadikan obyek dan atraksi yang menarik seperti atraksi adu cepat burung merpati, atrasksi adu terbang angsa serta atraksi adu ketangkasan ayam dan bebek.
Gambar 58. Aktivitas Memberi Pakan Ternak (Feeding) Begitu pula dengan aktivitas peternakan hewan besar seperti kambing, domba, kerbau, dan sapi. Kerbau berpotensi untuk menyajikan atraksi membajak sawah dan dapat dijadikan daya tarik bagi wisatawan sebagai hewan tunggang dan dapat dilakukan photo shooting (Gambar 59). Selain kerbau, obyek dan atraksi satwa ternak lainnya adalah domba dengan atraksi adu domba yang menjadi tradisi khas bagi masyarakat Sunda. adapun dengan satwa kambing dan sapi dapat menyajikan atraksi memeras susu kambing dan sapi. Obyek dan daya tarik tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan sehingga dapat meningkatkan daya tarik dari kawasan Kampung Budaya Sindang Barang.
Gambar 59. Atraksi Kerbau (Membajak Sawah)
104
Selain dalam bidang pertanian dan peternakan, aktivitas masyarakat dalam industri pembuatan sandal dan sepatu berpotensi sebagai obyek dan daya tarik bagi wisatawan. Proses produksi dari awal hingga pengemasan dapat menarik wisatawan untuk mengenal dan memahami cara pembuatan sandal dan sepatu khususnya dengan menggunakan tangan (hand made). Dengan kualitas pekerjaan yang baik akan memberikan nilai lebih bagi produk yang dihasilkan, sehingga dapat memberikan kesan yang baik bagi wisatawan terhadap produk lokal masyarakat tersebut. Pengembangan dalam sektor industri dapat memberikan manfaat yang cukup besar bagi masyarakat. Kondisi saat ini dengan adanya pergeseran paradigma masyarakat mengenai pendapatan yang lebih besar dari sektor industri dibandingkan pertanian berdampak pada meningkatnya permintaan (demand) terhadap sektor industri. Dengan demikian hal ini perlu diakomodasi oleh pemerintah setempat dengan memberikan penyuluhan dan pendampingan bagi pelaku usaha industri dalam peningkatan produktivitas dan kualitasnya. Tentunya hal tersebut tetap berada dalam ambang kewajaran dengan perkembangan sektor lainnya terutama sektor pertanian. 4.4.4.3. Lanskap Sejarah dan Budaya Dalam hal lanskap sejarah dan budaya, Kampung Budaya Sindang Barang memiliki banyak elemen lanskap sejarah dan budaya yang unik dan khas sehingga dapat dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata. Kekuatan sejarah dari kerajaan Pajajaran sebagai salah satu kerajaan hindu terbesar di Indonesia pada zamannya menjadikan kawasan Sindang Barang sebagai salah satu elemen lanskap sejarah yang sangat bernilai. Keberadaan salah satu istana kerajaan Pakuan Pajajaran yang didiami oleh salah satu istri Prabu Siliwangi menjadikan kawasan ini memiliki peninggalan sejarah baik cerita maupun benda cagar budaya yang sangat menarik perhatian wisatawan. Dapat dilihat pada kawasan Sindang Barang punden berundak-undak yang memiliki panjang 400 meter dengan keunikan pada batu yang berbentuk limas dan mengarah ke Gunung Salak. Selain itu dapat pula dilihat beberapa situs
105
yang sudah teridentifikasi seperti Batu Karut, Batu Meja, Batu Kursi dan sebagainya. Adapun mengenai elemen lanskap budaya yang dimiliki sangatlah beragam dan hal ini dapat dilihat dari segi ritual, adat dan kesenian. Ritual yang dapat dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata diantaranya Rengkong, Majikeun Pare, Runjakan dan Serbet Kasep. Adapun adat yang masih dilestarikan dan berpotensi dapat menarik wisatawan diantaranya adalah Parebut Seeng dan Seren Taun. Adat Parebut Seeng merupakan adat yang khas dari masyarakat Sindang Barang yang digunakan pada acara pernikahan. Sedangkan Seren Taun merupakan adat yang masih lestari yang dilaksanakan setelah panen raya sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan YME atas hasil bumi yang telah diberikan. Begitu juga dengan kesenian, Sindang Barang memiliki beberapa kesenian yang unik dan khas sehingga berpotensi untuk dikembangkan seperti Angklung Gubrag dan Pencak Silat Cimande. Keduanya merupakan obyek an daya tarik kesenian yang unik dan khas dan dapat disuguhkan sebagai atraksi yang menarik. Selain elemen lanskap budaya yang bersifat atraksi, juga terdapat elemen lanskap budaya yang bersifat obyek. Diantaranya dapat dilihat dari keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang yang secara fisik memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Seperti pada pola tata ruang kawasan, pola tata ruang bangunan baik luar (outdoor) maupun dalam (indoor), atau pola tata ruang antar bangunan (neigborhood). Selain itu nilai budaya tercermin pula pada arsitektur dan struktur bangunan di Kampung Budaya Sindang Barang. Dengan filosofi yang kuat dari sejarah Sunda di Sindang Barang menghasilkan karakter arsitektur Sunda yang unik dan khas, hal ini akan memberikan daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Begitu juga keunikan dan keberagaman perkakas yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk berbagai aktifitas menjadi obyek wisata yang unik bagi wisatawan. Peralatan dapur seperti Hawu (tungku), Suluh (kayu bakar), Seeng (tempat masak air), Aseupan (tempat masak nasi), Dulang (tempat menanak nasi), Hihid (kipas untuk menanak nasi), Boboko (tempat menyimpan nasi) dan sebagainya.
106
Selain keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata sejarah dan budaya yang telah diberdayakan saat ini, masih banyak terdapat elemen sejarah dan budaya lainnya yang berpotensi untuk dikembangkan. Diantaranya adalah ragam kesenian dan permainan tradisional yang khas dan unik dari masyarakat Sunda, seperti permainan Gala Asin, Bebentengan, Gatrik, Ucing Sumput, Oray-Orayan, dan beberapa permainan yang dilakukan pada waktu tertentu seperti pada saat terang bulan (purnama). Dalam hal ini pula, pihak pengelola telah merencanakan beberapa pengembangan obyek dan daya tarik wisata seperti upacara Mandai yang dilakukan pada dua hari sebelum puncak Upacara Seren Taun. Upacara Mandai merupakan upacara yang menurut sejarah Pantun Bogor merupakan kebiasaan dari raja Pajajaran yang senang menangkap ikan di sungai (marak lauk). Dalam pelaksanaannya, panitia menyediakan ikan dalam jumlah yang besar dan dilepaskan di sungai yang telah ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya masyarakat dipersilahkan untuk menangkap ikan tersebut dengan diiringi Kendang Pencak selama upacara berlangsung. Selain upacara Mandai, direncanakan juga pelaksanaan budaya Moro Peucang (berburu kancil) dengan menggunakan sumpit dan atraksi Randu Tulub (menyumpit buah randu). Atraksi Randu Tulub (Gambar 60) atau atraksi sumpit dengan sasaran buah randu yang digantung dan dipasang pada jarak 15-20 meter sudah menjadi pemandangan yang langka bagi masyarakat sunda. Sumpit atau tulub merupakan salah satu senjata yang digunakan masyarakat Sunda dalam masa perjuangan sebelum kemerdekaan. Menurut ketua adat dalam sejarahnya tulub digunakan terakhir kali sekitar tahun 1988 yang digunakan untuk berburu bajing (tupai) dan peucang (kancil).
Gambar 60. Atraksi Randu Tulub
107
4.4.5. Fasilitas Wisata Penyediaan fasilitas wisata yang berupa sarana dan prasarana pelayanan wisata berfungsi untuk mengakomodasi segala kebutuhan wisatawan selama dia berada dalam kawasan wisata. Saat ini Kampung Budaya Sindang Barang memiliki beberapa fasilitas penunjang wisata yang cukup memadai diantaranya penginapan yang berjumlah 6 unit rumah penduduk (Imah Warga) dan 1 unit rumah singgah (Pasanggrahan) (Gambar 61).
Gambar 61. (a) Imah Warga (b) Pasanggrahan Selain penginapan fasilitas lainnya adalah 1 unit aula (Bale Pangriungan), 2 unit kamar mandi (Tampian), 1 unit tempat penjualan souvenir (Warung), 1 unit dapur (Pawon), 1 unit information center (Girang Seurat), 1 unit kolam ikan (Kulah), 1 unit mushala (Tajug) dan lahan terbuka (alun-alun, sawah, dan ladang) (Gambar 62). Secara fisik fasilitas yang ada saat ini masih cukup baik dan memadai, namun untuk memberikan kepuasan bagi wisatawan yang lebih baik maka diperlukan pengembangan beberapa fasilitas penunjang yang representatif.
Gambar 62. (a) Tajug (b) Tampian
108
Fasilitas penunjang wisata yang diperlukan oleh Kampung Budaya Sindang Barang adalah kamar mandi tambahan, tandon air (water reservoir), tempat pengolahan akhir sampah (TPA) dan fasilitas penunjang lainnya. Dalam upaya menjadi kawasan wisata andalan maka Kampung Budaya Sindang Barang harus mampu memberikan fasilitas penunjang wisata yang memadai dan representatif bagi pengunjungnya. Adapun fasilitas yang berkaitan dengan transportasi dan aksesibilitas, Kampung Budaya Sindang Barang belum memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai. Dilihat dari prasarana yang dimiliki seperti jalan akses menuju tapak masih belum representatif. Jalan akses utama masih dalam kondisi rusak di beberapa titik dan selalu terjadi kemacetan pada jam-jam tertentu selain lebar badan jalan yang relatif kecil. Begitu pun dari segi sarana belum memiliki sistem transportasi internal yang memandu wisatawan langsung menuju kawasan dari beberapa titik moda transportasi seperti dari terminal dan stasiun. Sistem transportasi yang hingga saat ini berjalan masih mengikuti sistem transportasi secara umum, dimana wisatawan yang menggunakan jasa transportasi umum diharuskan mengikuti rute angkutan umum yang telah ada. Secara umum hal ini bermanfaat bagi masyarakat lokal secara luas, namun tidak halnya bila dilihat dari efektifitas dan efisiensi waktu dimana banyak waktu terbuang selama perjalanan dibandingkan lama tinggal wisatawan di kawasan wisata. Dengan demikian perencanaan secara terpadu sistem transportasi untuk mempermudah aksesibilitas wisatawan sangat diperlukan dalam menunjang tercapainya wisata andalan. Kepuasan wisatawan menjadi acuan utama bagi pengelola untuk tetap mengusahakan yang terbaik bagi wisatawan, sehingga wisatawan dapat tinggal lebih lama dan tentunya akan meningkatkan pengeluaran uang mereka. Dalam hal pengembangan fasilitas wisata, pihak pengelola telah merencanakan
pengembangan
kawasan
yang
tercantum
dalam
rencana
pengembangan jangka pendek dan panjang. Dalam program jangka pendek akan dilakukan pembenahan dan penambahan fasilitas Kampung Budaya Sindang Barang. Berdasarkan pemaparan dari ketua adat, untuk menjadi sebuah kampung
109
adat harus memenuhi syarat tersedianya fasilitas yang menyokong keberadaan dari kampung adat. Syarat-syarat tersebut meliputi fasilitas berupa Rumah Sesepuh Adat (Kokolot), Rumah Warga, Alun-Alun Luar, Bale Pangriungan, Saung Leuit, Saung Pareak Saji (tempat ritual), Saung Parabot (gudang), Saung Lisung (tempat menumbuk padi), Saung Conat (menara pandang), Bale Kambang (tempat di tengah kolam), Tampian (kamar mandi), dan fasilitas penunjang lainnya. Saat ini KBSB memliki luas kawasan kurang lebih 8.600 m2, dan akan dikembangkan di lahan milik keluarga E. Sumawijaya (kakek dari ketua adat) dengan luas area sebesar tiga hektar dari keseluruhan lahan sebesar 32 ha. Selain pengembangan kawasan, akan direncanakan juga pengembangan dalam bidang kesenian dan budaya. Sementara untuk program jangka panjang, akan dilakukan sosialisasi dan pembangunan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai sejarah, budaya dan aspek penunjang wisata di wilayah Kampung Budaya Sindang Barang serta pelibatan unsur pemerintah desa untuk terjun bersama-sama menata infrastruktur sebagai pendukung kawasan wisata di kampung Budaya Sindang Barang. 4.4.6. Aktivitas Wisata Beragam karakteristik pengunjung berdampak pada ragam aktivitas yang dapat dilakukan di Kampung Budaya Sindang Barang. Begitu juga dengan tujuan wisatawan yang beragam menimbulkan aktivitas yang beragam pula. Dalam kunjungannya ke tapak , wisatawan dapat melihat dan menikmati beragam obyek dan daya tartik (atraksi dan fisik) yang disuguhkan, melakukan kegiatan yang dapat menambah pengetahuan dan pengalaman akan budaya hingga membeli cinderamata sebagai kenang-kenangan. Aktivitas wisata yang disuguhkan di kawasan Kampung Budaya Sindang Barang sangat beragam dan disesuaikan dengan tujuan dari wisatawan. Tabel 13 menerangkan hubungan antara tujuan wisatawan dengan ragam aktivitas yang diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa pengunjung kawasan wisata Kampung Budaya Sindang Barang.
110
Tabel 13. Hubungan aktivitas wisata dengan tujuan wisatawan No. 1.
Tujuan Kunjungan Wisatawan
Aktivitas Wisata
Lokasi Wisata
Menambah pengalaman dan pengetahuan
Wawancara,
Imah Gede,
dengan mempelajari sejarah dan budaya dari
pengamatan lapang,
kawasan KBS dan
Kampung Budaya Sindang Barang termasuk
home stay dan
situs-situs.
pengenalan situs sejarah (study tour dan
tracking.
penelitian). (18 responden) 2.
Melihat aktivitas sosial masyarakat setempat
Wawancara,
Permukiman dan
(pertanian dan industri) dan keanekaragaman
kunjungan lapang,
kawasan di sekitar
lanskap alami. (7 responden)
photo hunting dan
KBS.
home stay. 3.
Rekreasi atau sekedar jalan-jalan untuk
Wawancara, jalan-
mengetahui KBS. (5 responden)
jalan, istirahat dan
Kawasan KBS
photo huntting. Catatan:
Seluruh aktivitas wisata diarahkan untuk menginterpretasi nilai budaya/sosial kawasan Sindang Barang umumnya dan khususnya Kampung Budaya Sindang Barang.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar wisatawan berkunjung dengan tujuan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan direvitalisasinya kawasan Kampung Budaya Sindang Barang
yang
ditujukan
untuk
wisata
pendidikan.
Namun
demikian,
pengembangan potensi lain yang mampu meningkatkan nilai jual dari Kampung Budaya Sindang Barang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti secara terpadu. Dengan demikian wisatawan yang berkunjung tidak hanya bertujuan untuk pendidikan saja, namun juga dapat mengenal sumber daya lokal lainnya baik yang alami maupun buatan. Dalam hal mengelola ragam aktivitas yang ada di Kampung Budaya Sindang Barang, pihak pengelola menawarkan beberapa paket wisata yang dapat dinikmati oleh pengunjung (Tabel Lampiran 3). Paket wisata yang ditawarkan disesuaikan dengan tujuan dan karakteristik dari pengunjung. Tabel 4 dalam lampiran merupakan deskripsi dari ragam aktivitas yang disediakan oleh pihak pengelola dalam paket wisata Kampung Budaya Sindang Barang Selain mengikuti program yang ditawarkan dalam paket, banyak dari wisatawan yang datang ke tapak untuk tujuan khusus seperti photo shooting untuk pernikahan (pre wedding), perpisahan sekolah, reuni, rapat organisasi, arisan dan acara keluarga serta tujuan lainnya.
111
Dalam menikmati ragam aktivitas yang disuguhkan, selain dapat menikmati aktivitas wisata yang dapat disaksikan dalam kunjungan harian, terdapat pula aktivitas wisata yang disaksikan hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti Upacara Sedekah Guru Bumi (Seren Taun) yang diadakan setahun sekali dan memiliki serangkaian obyek dan daya tarik wisata yang dapat diunggulkan. Seren Taun yang dilakukan selama enam hari dapat menarik wisatawan untuk tinggal dikawasan wisata dalam waktu yang lama. Begitu pula dengan aktivitas yang dilakukan yang mencakup ritual, adat dan kesenian dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Berikut merupakan beberapa aktivitas upacara Seren Taun yang dilakukan di Kampung Budaya Sindang Barang yang dapat menjadi daya tari wisata. Diataranya adalah Netepkeun Iman (teguhkan iman) pada hari pertama, ziarah ke makam leluhur pada hari kedua, khitanan masal yang diawali ritual Serbet Kasep pada hari ketiga dan keempat. Selanjutnya pada hari kelima wisatawan dapat mengikuti upacara pengambilan air dari tujuh mata air yang dikeramatkan untuk dikumpulkan menjadi satu (dalam tampayan) dan dipercaya menjadi air suci yang memberikan banyak manfaat bagi yang menggunakannya. Ketujuh mata air tersebut adalah mata air Cipamali, Cimaeja, Cikubang, Cimalipah, Jalatunda, Ciputri dan Cieming. Dengan mengikuti upacara tersebut secara tidak langsung wisatawan diajak untuk mengenal tempat-tempat bersejarah dan dianggap keramat oleh masyarakat. Setelah dilakukan upacara pengambilan tujuh mata air, kemudian pada malam harinya dilakukan kegiatan ceramah keagamaan (tausyah) bagi seluruh masyarakat Sindang Barang. Pada hari keenam wisatawan dapat mengikuti upacara Sedekah Kue dimana wisatawan dapat mengetahui pola sosial masyarakat setempat yang masih menjalankan sistem gotong royong. Selain itu juga wisatawan dapat mengenal dan mencoba makanan tradisional yang biasa disajikan dalam upacara Sedekah Kue yang berjumlah 40 tampan/nyiru yang terdiri dari ranginang, jipang, dodol, bubur suro (40 jenis bahan dibuat satu) dan sebagainya. Selain upacara Sedekah Kue, wisatawan disuguhkan dengan upacara Ngarak Munding (mengarak kerbau) dan penyembelihan kerbau yang dagingnya
112
akan disedekahkan kepada masyarakat setempat dan sisanya disajikan dalam resepsi. Setelah itu wisatawan dapat menikmati pagelaran berbagai macam kesenian tradisional hingga larut malam. Dan pada puncak acara wisatawan dapat mengikuti Helaran Ngarak Dongdang, ritual Majikeun Pare (ritual menyimpan padi ke dalam lumbung), prosesi Parebut Dongdang (berebut isi dongdang) dan menyaksikan pagelaran seni tradisional Sunda. Dalam upaya menarik wisatawan untuk berkunjung maka perlu dilakukan pengembangan secara terpadu antara potensi obyek dan daya tarik ayang ada dengan ragam aktivitas yang dapat dilakukan. Dalam hal ini terdapat beberapa aktivitas wisata yang dapat dikembangkan seperti aktivitas pembuatan alat kesenian dan permainan tadisional khas Sunda. Dalam pelaksanaannya wisatawan disajikan
berbagai informasi mengenai
keanekaragaman
alat
dan
cara
pembuatannya dengan mengikuti workshop. Alat kesenian dan permainan tradisional yang dapat dikembangkan diantaranya adalah Wayang Golek, Batik Iket (Gambar 63), Gangsing, Suling, Angklung dan pembuatan alat tradisional khas Bogor yaitu Kujang (Gambar 64).
Gambar 64. (a) Batik Iket Khas Kampung Budaya Sindang Barang (b) Perbedaan dengan Batik Iket Badui Keberagaman aktivitas yang dapat disuguhkan oleh pihak pengelola Kampung Budaya Sindang Barang merupakan potensi untuk dijadikan sebagai obyek dan daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke tapak. Pengenalan terhadap ragam aktivitas yang berpotensi untuk dikembangkan dan pengelolaan yang optimal menjadi kunci bagi terciptanya usaha kepariwisataan yang efektif dan efisien.
113
Gambar 64. (a) Kujang (b) Suling (c) Gangsing Bambu (d) Wayang Golek 4.4.7. Hubungan dengan Obyek Wisata Lain Dalam UU No.10 tahun 2009, pengusahaan obyek dan daya tarik wisata secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam 3 yaitu obyek dan daya tarik wisata alam, wisata budaya, dan wisata minat khusus. Adapun menurut data kunjungan wisatawan ke obyek wisata di Kabupaten Bogor, tercatat beberapa potensi wisata seperti wisata alam, budaya dan minat khusus yang disajikan dalam peta penyebaran obyek wisata di Kabupaten Bogor (Gambar 65). Berdasarkan peta tersebut, obyek wisata di Kabupaten Bogor tersebar sesuai dengan kondisi biofisik, sosial dan budaya dari lokasi dimana obyek wisata tersebut berada. Seperti obyek wisata alam Goa Godawang yang terletak di Cigudek yang merupakan cerminan dari kawasan yang memiliki kandungan kapur cukup tinggi berupa formasi karst Ciampea, sehingga berpotensi untuk membentuk struktur goa. Begitu juga dengan Kampung Budaya Sindang Barang yang memiliki potensi wisata budaya yang berdasarkan pada kawasan Sindang Barang yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Dengan demikian pengembangan potensi di Kabupaten Bogor telah sesuai dengan kriteria penentuan obyek dan daya tarik wisata andalan. Namun demikian hal tersebut belum menjadi penentu bahwa kawasan wisata tersebut merupakan kawasan wisata andalan.
114
Gambar 65. Peta Obyek Wisata Kabupaten Bogor 2008
115
Bila melihat sebaran obyek dan daya tarik wisata di Kabupaten Bogor (Tabel Lampiran 5), yang termasuk ke dalam wisata budaya memiliki jumlah yang sedikit dibandingkan dengan wisata alam dan minat khusus. Begitu pula dengan obyek dan daya tarik wisata yang secara khusus menyajikan keunikan dan kekhasan dari nilai-nilai sejarah dan budaya yang dimiliki, hanya ada di Kampung Budaya Sindang Barang dan Kampung Adat Urug (Gambar 66).
Gambar 66. (a) Kampung Budaya Sindang Barang (b) Kampung Adat Urug Dengan demikian pengembangan secara terpadu kawasan Kampung Budaya Sindang Barang memiliki potensi yang sangat besar terlebih dengan posisi dari kedua kawasan wisata budaya tersebut yang cukup jauh. Selain itu keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang yang dekat dengan Kota Bogor memudahkan pengunjung untuk mengakses tapak dengan sarana dan prasarana transportasi yang cukup memadai. Keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang dilihat dari jarak dengan obyek wisata jenis lain, yang paling dekat adalah dengan Curug Nangka dan Bumi Perkemahan Sukamantri. Kedua kawasan wisata tersebut tidak tergolong kedalam kelompok wisata budaya, sehingga status Kampung Budaya Sindang Barang sebagai satu-satunya kawasan wisata budaya di kawasan selatan Kabupaten Bogor dapat tetap diunggulkan Dengan beberapa kelebihan yang dimiliki oleh Kampung Budaya Sindang Barang, dapat diprediksikan bahwa sebaran pengunjung yang akan mengunjungi tapak cukup berpotensi akan melebihi kawasan wisata lainnya. Hal ini dapat dilihat dari data kunjungan wisatawan ke Kampung Budaya Sindang Barang pada tahun 2008 yang berjumlah 6.448 wisatawan. Dengan umur kawasan yang
116
tergolong masih muda dibandingkan kawasan wisata lainnya, jumlah kunjungan tersebut cukup besar. Dengan demikian Kawasan Sindang Barang sangat berpotensi untuk menjadi kawasan wisata budaya terpadu. 4.4.8. Karakteristik Wisatawan Berdasarkan data kunjungan wisatawan yang diperoleh dari manajemen Kampung Budaya Sindang Barang (Tabel Lampiran 6) dapat diketahui dari total pengunjung selama satu tahun (Juni 2008-Juni 2009) yang berjumlah 6.448 wisatawan, bahwa sebagian besar pengunjung adalah pelajar sekolah baik tingkat dasar, menengah maupun tingkat tinggi (5.475 wisatawan). Kelompok tersebut mengunjungi kawasan dengan tujuan untuk mencari informasi mengenai kawasan Kampung Sunda. Banyak dari mereka yang memanfaatkan kesempatan berkunjung dengan mencari informasi mengenai sejarah, budaya, maupun sosial ekonomi masyarakat setempat. Kunjungan mereka sebagian besar karena mengikuti mata pelajaran Muatan Lokal yang mengharuskan ada kegiatan kunjungan ke tempat wisata budaya. Kelompok pengunjung lainnya yang banyak mengunjungi tapak adalah kelompok keluarga, organisasi dan umum (973 wisatawan). Keluarga dan organisasi berkunjung dengan tujuan untuk rekreasi, acara keluarga, rapat organisasi, reuni akbar, arisan dan aktivitas kelompok lainnya. Adapun untuk kelompok pengunjung umum, mereka berkunjung ke tapak hanya untuk sekedar mengetahui kawasan tanpa melakukan aktivitas yang khusus. Aktivitas yang dilakukan merupakan aktivitas pasif seperti menikmati suasana kawasan, photo shooting dan sebagainya. Berdasarkan domisili dari wisatawan yang berkunjung ke tapak, menurut hasil wawancara dan data pengunjung dari pengelola, pengunjung didominasi oleh wisatawan lokal dibandingkan dengan mancanegara. Wisatawan lokal yang berkunjung berasal dari wilayah JABODETABEK dan daerah lainnya seperti Bandung, Cianjur, Sukabumi dan sebagainya. Adapun untuk wisatawan mancanegara (wisman) banyak berasal dari Jepang, Korea Selatan, Amerika, Belanda, Jerman dan sebagainya.
117
Dilihat dari waktu kunjungan wisatawan, untuk pengunjung siswa sekolah maupun mahasiswa banyak mengunjungi kawasan pada masa aktif sekolah. Namun demikian banyak dari kelompok ini yang juga memanfaatkan waktu libur untuk berkunjung ke tapak. Untuk kelompok pengunjung dewasa/umum banyak berkunjung pada waktu hari libur. Adapun untuk waktu kunjungan bagi wisatawan mancanegara lebih teratur yaitu pada saat acara Sedekah Guru Bumi (Seren Taun), selain ada beberapa wisatawan yang berkunjung di luar acara tahunan (annual event) tersebut. Waktu kedatangan wisatawan erat kaitannya dengan dengan lama kunjungan (lenght of stay) wisatawan berada di kawasan wisata. Dalam hal ini para pengunjung memiliki lama waktu kunjungan yang beragam. Pengunjung yang mengikuti paket yang ditawarkan oleh pihak pengelola, berada di dalam kawasan sesuai dengan waktu yang disediakan (1-3 hari). Adapun untuk pengunjung yang datang tanpa mengikuti paket kunjungan, memiliki waktu yang lebih fleksibel tergantung dari keinginan pengunjung berada di dalam kawasan. Begitu pula bagi wisatawan mancanegara yang berkunjung pada saat acara Seren Taun dapat berada dalam kawasan selama acara berlangsung (7 hari), kurang bahkan lebih dari waktu tersebut. Lama kunjungan wisatawan sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan pengalaman wisatawan dalam menginterpretasi tapak. Berdasarkan hasil wawancara dilihat dari pengetahuan wisatawan mengenai sejarah dari kawasan Sindang Barang, banyak dari pengunjung yang tidak begitu paham mengenai sejarah Sindang Barang dan asal muasal dari keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang, tetapi mereka sedikit mengetahui tentang sejarah dari kerajaan Pakuan Pajajaran yang ada kaitannya dengan kawasan Sindang Barang. Namun demikian dengan kunjungan mereka ke kawasan Kampung Budaya Sindang Barang dan mengikuti berbagai aktivitas wisata yang disajikan, mereka memperoleh berbagai pengetahuan dan pengalaman yang baru mengenai sejarah, sosial dan budaya dari kawasan Sindang Barang termasuk keberadaan dari Kampung Budaya Sindang Barang. Sehingga tujuan dari adanya kawasan wisata budaya ini sebagai media pendidikan dapat tercapai.
118
Kunjungan wisatawan ke kawasan wisata akan memberikan pemasukan secara ekonomi bagi daerah yang menjadi tujuan wisata tersebut. Pemasukan yang diperoleh tergantung dengan berapa banyak uang yang dibelanjakan wisatawan di kawasan tersebut, dan hal ini pula terkait dengan kepuasan wisatawan terhadap produk dan jasa yang diberikan pihak pengelola termasuk didalamnya kualitas cendramata (souvenir) yang disediakan bagi wisatawan untuk dibawa sebagai kenangan. Berdasarkan harga peket kunjungan bagi wisatawan, setiap pengunjung Kampung Budaya Sindang Barang memiliki jumlah pengeluaran uang per hari antara Rp.30.000,00 hingga Rp.120.000,00. Namun demikian bila pengunjung ingin membeli souvenir untuk kenangan, maka uang yang dikeluarkan antara Rp.50.000,00 hingga Rp.100.000,00 untuk pembelian souvenir. Sehingga total pengeluaran setiap pengunjung antara Rp.80.000,00 hingga Rp.220.000,00. Jumlah di atas merupakan jumlah yang cukup signifikan bila dilihat dari pemasukan per bulan bagi daerah yang memiliki kawasan wisata tersebut. Dengan pemasukan rata-rata yang diperoleh pihak pengelola per wisatawan sebesar Rp.150.000,00 per hari memberikan masukan yang positif bagi perkembangan kepariwisataan di daerah tersebut. Terlebih bila dijumlahkan dengan pemasukan yang diperoleh dari aspek lainnya seperti transportasi dan akomodasi lain diluar yang disediakan oleh pengelola. Wisatawan merupakan objek pelaku dari industri kepariwisataan, sehingga pemahaman terhadap karakteristik dari wisatawan sangat diperlukan untuk membuat sebuah perencanaan pariwisata yang baik. Wisatawan berkunjung ke sebuah kawasan wisata bertujuan untuk mengetahui hal baru yang ada di daerah tujuan wisata. Namun demikian pada umumnya tarjadi pertentangan antara keinginan dan perasaan mereka. Di satu pihak mereka ingin mencari sesuatu yang baru yang akan diperoleh di daerah tujuan wisata, namun di lain pihak mereka merasakan suatu ketidakpastian dalam lingkungan yang akan dikunjungi. Dalam kondisi tersebut mereka khawatir terhadap kondisi masyarakat yang tidak bersahabat, keamanan selama mereka berwisata, jaminan kelancaran komunikasi dan pelayanan yang baik dari pengelola (Yoeti, 1997).
119
Dengan demikian dirasa sangat penting untuk membuat sebuah perencanaan dan pengembangan wisata yang terpadu. Sehingga tujuan untuk memberikan kepuasan bagi wisatawan selama berwisata dapat terpenuhi. Dalam hal ini peran serta dari pemerintah, pengelola serta masyarakat setempat sangat diperlukan dalam menyusun rencana yang terpadu sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. 4.4.9. Organisasi dan Kelembagaan Sebuah obyek dan daya tarik wisata tidak akan mampu bertahan tanpa adanya pengelolaan dan perawatan dari pihak pengelola kawasan. Pengelolaan dan perawatan merupakan aspek yang harus diperhatikan dan ditingkatkan, karena hal ini yang terkait erat dengan tingkat kepuasan dan kelestarian dari obyek dan daya tarik wisata itu sendiri. Kurangnya peranan pengelola dalam mengelola kawasan akan berdampak pada penurunan kualitas dari kawasan wisata dan tentunya akan berdampak pada tingkat kunjungan dan pemasukan ekonomi dari aktivitas wisata tersebut. Dengan demikian keberadaan dari sebuah pengelolaan yang baik sangat diperlukan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan bagi wisatawan dan perawatan obyek dan daya tarik wisata yang ada. Dalam hal ini, berdasarkan Analisis Daerah Operasi (ADO) Obyek Wisata Budaya terdapat beberapa kriteria yang terkait dengan aspek organisasi dan kelembagaan, yaitu unsur kemantapan organisasi/pengelolaan, mutu pelayanan dan sarana perawatan. Kriteria tersebut merupakan penentu dari kualitas pengelolaan dari sebuah kawasan wisata budaya untuk menjadi kawasan wisata andalan. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang dapat dikategorikan telah memiliki sistem pengelolaan yang baik dimana dalam hal ini struktur manajemen telah dibentuk dan dijalankan sesuai dengan fungsinya. Secara umum struktur pengelola kawasan wisata tidak jauh berbeda dengan struktur kelembagaan adat di Kampung Budaya Sindang Barang. Ketua adat tetap menjadi pemimpin utama dalam strukur pengelola kawasan wisata selain menjadi ketua adat dalam struktur adat. Namun demikian terdapat
120
beberapa perbedaan dalam beberapa posisi kepengurusan yang diisi oleh pengurus yang hanya termasuk ke dalam pengelola kawasan wisata. Selain struktur pengelola secara umum, dalam beberapa acara disusun struktur kepengurusan baru dan hanya digunakan pada saat acara berlangsung, seperti pada acara Seren Taun Guru Bumi (Gambar 67). Dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan, pengelola selalu mengikut sertakan peran aktif masyarakat setempat dalam pengelolaannya. Adapun bila dilihat dari mutu pelayanan, pihak pengelola kawasan wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang telah menjalankan beberapa poin kewajiban dari setiap pengusaha pariwisata yang tercantum di dalam UU No. 10 tahun 2009 pasal 16 mengenai kepariwisataan. Diantara kewajiban yang telah dijalankan adalah menjaga dan menghornati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat, memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab, memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan, keamanan dan keselamatan wisatawan. Pelayanan prima yang diberikan oleh pihak pengelola tentu saja didukung oleh keberadaan sarana dan prasarana yang baik dan memadai bagi wisatawan. Secara umum kondisi dari sarana dan prasarana yang ada di tapak tergolong cukup baik, namun demikian terdapat beberapa kekurangan dalam hal perawatan dan pelayanan baik dari jenis maupun jumlahnya. Kondisi tersebut diakibatkan oleh kurangnya sumber daya finansial yang diperoleh pihak pengelola. Hingga saat
ini
pihak
pengelola
masih
menggunakan
dana
mandiri
dalam
penyelenggaraan usaha pariwisatanya. Untuk menutupi segala kebutuhan dalam pengelolaan, pihak pengelola melakukan penarikan retribusi bagi wisatawan yang mengikuti paket wisata yang disediakan. Namun demikian bagi wisatawan yang berkunjung hanya untuk mengetahui kawasan Kampung Budaya Sindang Barang tanpa mengikuti program wisata tidak dipungut biaya. Berdasarkan data yang diperoleh dari pihak pengelola bahwa retribusi yang ditarik dari setiap kunjungan tamu sebesar Rp. 30.000,00 dari jumlah tersebut sebesar Rp.20.000,00 murni dikembalikan kepada pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan, baik keamanan, penari, tukang masak maupun pengisi acara.
121
Gambar 67. Struktur Kepengurusan Acara Seren Taun Selanjutnya sebesar Rp.1.500,00 untuk PAD Desa Pasireurih, sementara Rp.8.500,00 digunakan untuk biaya perawatan. Hanya saja, jumlah tersebut belum bisa memenuhi biaya perawatan yang jumlahnya rata-rata Rp. 8 juta per bulan. Hal ini disebabkan oleh jumlah kunjungan wisatawan yang hanya berkisar antara 200-300 wisatawan per bulan. Adapun terkait dengan sarana dan prasaran wisata, berdasarkan pengamatan langsung di tapak dan wawancara terhadap beberapa wisatawan, didapatkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan oleh pengelola.
122
Diantaranya adalah sarana dan prasaran ketersediaan air bersih, tenaga listrik, pembuangan sampah, telekomunikasi dan transportasi. Begitu juga dengan sistem kelembagaan yang diperlukan dalam menjaga dan meningkatkan kepuasan serta obyek dan daya tarik wisata, seperti perencanaan tenaga kerja, program pelatihan dan pendidikan, strategi pemasaran dan program promosi, keterlibatan pemerintah, swasta dan sebagainya. 4.4.10. Aspek Legal dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan adat tertentu dan kawasan konservasi warisan budaya termasuk ke dalam kawasan strategis pariwisata. Dengan potensi yang dimiliki untuk pengembangan pariwisata di kawasan yang bersangkutan, diharapkan mampu memberikan pengaruh yang positif dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan. Dengan demikian perlu adanya suatu kebijakan pengelolaan yang terpadu yang mampu menyediakan barang dan jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelengaraan pariwisata. Tentunya dalam pelaksanaan kebijakan perlu bersinergi dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan baik dalam skala nasional, provinsi maupun rencana induk kabupaten/kota, dan hal ini merupakan bagian yang terintegrasi dengan rencana pembangunan jangka panjang nasional (UU No.10 pasal 9 tentang kepariwisataan). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupeten Bogor tahun 2005-2025 disebutkan arahan pengelolaan kawasan pariwisata, yaitu: 1. Kegiatan pariwisata harus tetap melestarikan alam sekitar 2. Kegiatan pariwisata harus menjaga dan melestarikan peninggalan bersejarah 3. Meningkatkan
pencarian/penelusuran
terhadap benda bersejarah untuk
menambah koleksi budaya 4. Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana transportasi ke obyek-obyek wisata alam, budaya dan minat khusus 5. Merencanakan kawasan wisata sebagai bagian dari urban/regional desain untuk keserasian lingkungan
123
6. Meningkatkan daya tarik wisata melalui penetapan jalur wisata, kalender wisata, informasi dan promosi wisata 7. Menjaga keserasian lingkungan alam dan buatan sehingga kualitas visual kawasan wisata tidak terganggu 8. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian obyek wisata dan daya jual/saing. Berdasarkan acuan tersebut maka semua kebijakan yang dibuat oleh pengelola harus berorientasi pada pencapaian tujuan kepariwisataan Kabupaten Bogor. Terlebih dengan status Kampung Budaya Sindang Barang sebagai salah satu kawasan strategis wisata budaya yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Dalam hal ini pihak pengelola telah menyusun visi dan misi kepariwisataan di Kampung Budaya Sindang Barang sebagai hasil dari elaborasi kebijakan yang dibuat. Visi dan misi yang telah disusun oleh pihak pengelola wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang, yaitu: 1. Untuk keperluan Upacara Seren Taun 2. Revitalisasi kampung budaya Sunda 3. Menjaga kelangsungan kesenian dan kebudayaan Sunda 4. Memelihara nilai tradisional yang merupakan jati diri dan perlambangan daerah 5. Sebagai tempat mengekspresikan karya seni dan budaya Sunda 6. Meningkatkan mutu kesenian Sunda 7. Meningkatkan kepedulian, kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap seni dan budaya Sunda 8. Menghimpun berbagai ragam kesenian dan kegiatan budaya sunda 9. Membuka wawasan kepada generasi muda akan kekayaan seni dan budaya Sunda 10. Merupakan aset Kabupaten Bogor dan Provinsi Jawa Barat Dalam menentukan kebijakan, selain harus bersinergi dengan rencana induk pembangunan daerah dan tujuan kepariwisataan daerah, juga dalam hal ini pengelola harus mampu menjalankan hak dan kewajiban baik bagi pengelola maupun bagi wisatawan. Dalam UU kepariwisataan telah diatur secara jelas hak
124
bagi wisatawan, diantaranya memperoleh informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, pelayanan kepariwisataan sesuai standar, perlindungan hukum dan keamanan, pelayanan kesehatan, perlindungan hak pribadi dan perlindungan asuransi. Begitu juga dengan pihak pengelola yang berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan, membentuk dan menjadi anggota sosiasi kepariwisataan, mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha, dan mendapatkan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan undangundang. Dengan memahami hak diantara pihak yang terkait diharapkan mampu memberikan dampak yang positif bagi perkembangan kepariwisataan. Adapun mengenai kewajiban dari wisatawan diantaranya menjaga dan menghormati norma, agama, adat istiadat, budaya dan nilai yang hidup dalam masyarakat setempat, memelihara dan melestarikan lingkungan, turut serta menjaga ketertiban dan keamanan serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum. Sedangkan
kewajiban
bagi
pengelola
diantaranya
menjaga
dan
menghormati peraturan dalam masyarakat setempat, memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab, memberikan pelayanan yang prima (termasuk pemberian asuransi) dan tidak diskriminatif, mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil dan koperasi setempat serta mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat setempat, pihak pengelola berkewajiban untuk memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal dan meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan. Sama halnya dalam aspek sosial dan lingkungan dimana pengelola harus berperan serta dalam mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan hukum. Selain itu harus mampu memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya serta menjaga citra negara dan bangsa Indonesia. Dengan demikian pengelola harus mampu menyusun sebuah rencana strategis yang terpadu, yang dapat mengsinergikan berbagai aspek yang terkait. Keterpaduan antar aspek dan pihak yang terkait menjadi kunci keberhasilan dalam usaha kepariwisataan, sehingga usaha kepariwisataan yang dilakukan dapat
125
memenuhi seluruh atau sebagian dari tujuan kepariwisataan yang tercantum dalam UU Kepariwisataan. Menurut Donald E. Lunberg et al (dalam Yoeti, 2001) dinyatakan suatu strategi merupakan suatu rencana yang direkayasa untuk menyelesaikan suatu visi dan misi. Strategi tersebut direncanakan dengan melihat kekuatan (strength), kelemahan (weekness), kesempatan (opportunities) dan ancaman (treaths) atau yang lebih dikenal dengan analisis SWOT. Pada dasarnya analisis SWOT diarahkan untuk menghasilkan penilaian terhadap sumber daya internal dan kemampuan pengelola serta berbagai peluang di lingkungan baik yang positif maupun megatif. Berdasarkan analisis tersebut, pihak pengelola dapat mengidentifikasi relung strategis yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan (profit). Berdasarkan hasil survei di lapangan, diperoleh beberapa kesimpulan dari kondisi aktual yang disesuaikan dengan aspek-aspek yang dianalisis dalam analisis SWOT, diantaranya adalah: 1. Strength (Kekuatan) a. Lingkungan kawasan yang masih asri dan berkarakter b. Kecenderungan wisatawan berpergian ke tempat yang baru c. Replika kampung tradisional Sunda d. Produk wisata yang ditawarkan sangat menjual 2. Weekness (Kelemahan) a. Fasilitas, sarana dan prasarana kurang representatif b. Kondisi aksesibilitas dan sirkulasi kurang menunjang aktivitas wisata c. Minimnya modal untuk biaya pengembangan dan pengelolaan d. Kurangnya promosi mengenai produk wisata e. Rendahnya pendidikan masyarakat setempat, sehingga berdampak pada rendahnya penerimaan kegiatan wisata di daerahnya. 3. Opportunities (Kesempatan) a. Kawasan memiliki potensi wisata yang menarik untuk dinikmati b. Satu-satunya kawasan wisata budaya di wilayah selatan Bogor
126
c. Wisata baru yang sangat berpotensi untuk dikembangkan dan aspek promosi sangat diperlukan sehingga dapat mendatangkan banyak wisatawan 4. Treaths (Ancaman) a. Terjadinya pro dan kontra dalam pengembangan usaha kepariwisataan, dimana banyak masyarakat yang belum mengerti mengenai kepariwisataan (potensi dan kendalanya) b. Kurangnya SDM untuk mengelola tempat wisata Berdasarkan hasil analisis SWOT yang disajikan dalam matriks SWOT (Tabel 14), maka dapat disusun beberapa strategi untuk memperoleh rencana pengembangan kawasan wisata budaya yang terpadu. Menurut Soebagjo (1996) dinyatakan bahwa keberhasilan dari sebuah usaha apa pun adalah dilihat dari proses penjualan produk yang ditawarkan. Dalam hal ini diterapkan sebuah konsep yang digunakan sebagai ukuran keberhasilan dari penjualan. Konsep tersebut adalah Marketing Mix yang terdiri dari variabel produk (product), harga (price), promosi (promotion) dan tempat (place). Dengan konsep tersebut maka kegiatan usaha kepariwisataan di Kampung Budaya Sindang Barang dapat dilihat sejauh mana keberhasilannya. Dalam konsep marketing mix dianalisis variabel produk untuk melihat sejauh mana kualitas dan kuantitas produk yang dijual, variabel harga untuk mengetahui tingkat harga produk yang disesuaikan dengan daya beli wisatawan, varibel tempat untuk melihat efektivitas penjualan produk di pasar dan variabel promosi untuk melihat efektivitas pengenalan produk pada target pasar. Aspek-aspek tersebut merupakan kunci dan prasyarat dari keberhasilan proses penjualan produk wisata. Penjualan inilah yang menjadi tujuan dari semua kegiatan kepariwisataan, penjualan yang baik akan mendatangkan banyak wisatawan, datangnya wisatawan akan menghasilkan uang dan uang merupakan penentu keuntungan dari segi marketing.
127
Tabel 14. Matriks SWOT Esternal Factor Evaluation (EFE)
Internal Factor Evaluation (IFE) Strengths (Kekuatan) a. Lingkungan kawasan yang masih asri dan berkarakter b. Kecenderungan wisatawan berpergian ke tempat yang baru c. Replika kampung tradisional Sunda d. Produk wisata yang ditawarkan sangat menjual Weaknesses (Kelemahan) a. Fasilitas, sarana dan prasarana kurang representatif b. Kondisi aksesibilitas dan sirkulasi kurang menunjang aktivitas wisata c. Minimnya modal untuk biaya pengembangan dan pengelolaan d. Kurangnya promosi mengenai produk wisata e. Rendahnya pendidikan masyarakat setempat, sehingga berdampak pada rendahnya penerimaan kegiatan wisata di daerahnya.
Opportunities (Peluang) a. Kawasan memiliki potensi wisata yang menarik untuk dinikmati b. Satu-satunya kawasan wisata budaya di wilayah selatan Bogor c. Wisata baru yang sangat berpotensi untuk dikembangkan dan aspek promosi sangat diperlukan sehingga dapat mendatangkan banyak wisatawan Strategi S-O a. Merencanakan dan mengembangkan kawasan sebagai wisata andalan di Kab. Bogor b. Meningkatkan strategi promosi yang lebih efektif dan efisien c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas fasilitas, sarana dan pra sarana wisata Strategi W-O a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas fasilitas, sarana dan prasarana yang representatif b. Melakukan koordinasi dengan pihak pemerintah dan swasta dalam masalah pembiayaan pengembangan dan pengelolaan c. Meningkatkan promosi mengenai produk wisata
Threats (Ancaman) a. Terjadinya pro dan kontra dalam pengembangan usaha kepariwisataan, dimana banyak masyarakat yang belum mengerti mengenai kepariwisataan (potensi dan kendalanya) b. Kurangnya SDM untuk mengelola tempat wisata
Strategi S-T a. Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dengan mengadakan pelatihan dan pendidikan terutama terkait dengan usaha kepariwisataan b. Meningkatkan akseptabilitas masyarakat dengan menjadikan masyarakat sebagai pelaku usaha kepariwisataan Strategi W-T a. Melakukan sosialisasi terhadap masyakat menganai keuntungan dan kekurangan dari aktivitas wisata
Berdasarkan hal tersebut, dilihat dari segi produk dengan keanekaragaman produk yang ditawarkan menjadi nilai tambah bagi kawasan wisata Kampung Budaya Sindang Barang. Namun demikian keberadaan produk dan fasilitas penunjang wisata yang menentukan kepusasan bagi wisatawan belum dikelola dengan baik sehingga banyak produk dan fasilitas wisata yang tidak terawat dan berdampak pada ketidakpuasan wisatawan. Dalam hal ini suatu produk
128
membutuhkan dukungan promosi yang efektif, dimana bila produk semakin dikenal maka semakin efektif penjualannya. Dalam hal harga, bila disesuaikan dengan tujuan dikembangkannya kawasan wisata budaya tersebut sebagai wahana edukasi, maka harga yang ditawarkan oleh pengelola harus disesuaikan dengan target pasar yang akan membeli produk yang ditawarkan. Dalam hal ini pihak pengelola telah menyusun paket wisata dengan harga yang sesuai dengan produk yang ditawarkan. Begitu pula dalam pemilihan tempat, pihak pengelola telah melakukan pemilihan tempat yang cukup baik namun belum optimal. Kondisi aksesibilitas, sarana dan prasarana transportasi yang belum optimal berdampak pada sulitnya wisatawan dalam mengakses tapak. Dalam menyusun strategi pemasaran, promosi menjadi kunci keberhasilan suatu proses penjualan produk. Banyaknya wisatawan yang berkunjung ke tapak merupakan hasil dari efektivitas promosi mulut ke mulut (word of mouth promotion) yang selama ini berlangsung. Namun demikian cara promosi tersebut tidak akan efektif apabila faktor pelayanan dan keberadaan dari fasilitas penunjang wisata tidak dapat diakomodasi secara optimal. Dengan demikian promosi yang dilakukan perlu disinergikan dengan peningkatan pelayanan dan pengembangan fasilitas wisata. Selain itu perlu dikembangkan pula bentuk promosi selain word of mouth promotion, seperti advertising promotion (brochure, leaflet, billboard, dsb), direct promotion atau sales promotion. 4.5
Sintesis Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap berbagai faktor terkait
dalam perencanaan kawasan wisata budaya di KBSB, diperoleh hasil berupa potensi dan kendala pada tapak yang terkait dengan rencana pengembangan tapak sebagai
wisata
budaya
(Tabel
15
dan
Gambar
68).
Adapun
untuk
merepresentasikan hasil perencanaan berbasis masyarakat (community based planning) maka dilakukan cross check dengan hasil analisis menurut masyarakat setempat melalui Focus Group Discussion (Gambar 69). Dari hasil penilaian terhadap potensi dan kendala tersebut diperoleh karakter kawasan Sindang Barang sebagai kawasan yang memiliki karakteristik budaya dan sejarah yang kuat
129
dengan sumber daya alami yang indah dan berpotensi sebagai obyek dan daya tarik wisata. Beragam potensi obyek dan daya tarik wisata yang ada pada tapak perlu disesuaikan dengan kondisi fisik tapak sehingga diperoleh suatu produk perencanaan kawasan yang estetik, fungsional dan berkelanjutan. Dalam kaitannya dengan perencanaan kawasan sebagai kawasan wisata budaya, maka dilakukan pembagian ruang berdasarkan hasil kesesuaian antara lahan dengan usaha kepariwisataan. Kesesuaian lahan dihasilkan dari analisis berbagai aspek fisik lahan (topografi, tanah, hidrologi, iklim dan vegetasi) (Gambar 70 dan 71). Dari analisis tersebut diperoleh tiga zonasi ruang budaya (block plan) kawasan KBSB secara umum, yaitu ruang permukiman, pertanian dan pariwisata (Gambar 72). Untuk
pengembangannya,
lahan
dijadikan
sebagai
dasar
dalam
menentukan ruang pengembangan wisata budaya baik dari segi penggunaan ruang (block plan) kawasan wisata, obyek dan daya tarik wisata, aktivitas maupun fasilitas wisata (Gambar 73). Dalam hal ini ruang dibagi menjadi tiga ruang utama, yaitu inti, penyangga dan pengembangan yang disesuaikan dengan kesesuain lahan. Ruang inti diperuntukan bagi obyek dan daya tarik utama yang ada pada kawasan wisata yang terdiri dari elemen fisik, sejarah, pola kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Kondisi eksisting tapak tetap dipertahankan namun dapat dilakukan penambahan (rekayasa) pada beberapa hal untuk meningkatkan daya tarik dan kenyamanan dalam berwisata. Ruang penyangga merupakan ruang wisata pendukung dari wisata inti. Dalam ruang penyangga berbagai obyek dan daya tarik wisata yang berada di luar kawasan inti merupakan daya tarik bagi wisatawan, termasuk didalamnya ruang terbuka hijau (tata hijau). Adapun untuk ruang pengembangan merupakan ruang yang berfungsi sebagai area penerimaan dan pelayanan, juga pada ruang tersebut tersedia berbagai fasilitas penunjang aktivitas wisata. Keberadaan obyek dan daya tarik wisata yang menarik tidak dapat dinikmati tanpa adanya akses dan sirkulasi yang representatif. Dengan demikian perencanaan akses dan sirkulasi dilakukan untuk mempermudah wisatawan dalam mengakses tapak. Begitu pula dengan perencanaan program ruang, ragam aktivitas, fasilitas, sarana dan prasarana perlu dilakukan secara cermat, karena
130
aspek-aspek tersebut memiliki keterkaitan erat dengan tingkat kepuasan pengunjung. Dalam upaya menghasilkan produk perencanaan yang optimal, maka pemberdayaan berbagai potensi sumber daya lokal dapat memberikan nilai tambah bagi kawasan wisata yang akan dikembangkan. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat setempat dan obyek serta daya tarik wisata yang ada pada tapak perlu dilakukan secara terpadu. Sehingga selain bermanfaat dalam peningkatan pemasukan bagi pengelola juga dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun demikian dari beragam sumber daya yang ada pada tapak, tidak semua berpotensi untuk dikembangkan menjadi obyek dan daya tarik wisata. Sehingga diperlukan penilaian terhadap berbagai potensi yang ada untuk diperoleh obyak dan daya tarik yang sesuai untuk dikembangkan baik dari segi kualitas obyek maupun kesesuaian dengan kondisi fisik tapak. Dalam hal ini dilakukan penilaian secara kuantitatif dan tabulatif (skoring) terhadap obyek dan daya tarik wisata berdasarkan kriteria penilaian suatu obyek dan daya tarik wisata menurut Pedoman Obyek dan Daya Tarik Wisata Andalan (2001) yang selanjutnya dilakukan analisis spasial (overlay) terhadap kondisi fisik tapak (Tabel 16). Berdasarkan analisis tersebut dapat diperoleh hasil analisis berupa obyek dan daya tarik wisata yang sesuai untuk dikembangkan pada tapak. Penilaian tersebut disesuaikan dengan kondisi fisik, sosial dan budaya dimana potensi tersebut berada. Penilaian dilakukan terhadap potensi lanskap sejarah, budaya, sosial dan alam yang berada pada tapak. Secara umum hasil yang diperoleh tidak begitu beragam, namun demikian kondisi tersebut dapat mewakili obyek dan daya tarik wisata mana saja yang berpotensi untuk dikembangkan. Adapun hasil analisis untuk potensi lanskap sejarah dilihat dari daya tariknya, diperoleh hasil bahwa seluruh situs memiliki keaslian, keunikan, keutuhan, nilai arkeologi dan kenyamanan yang sesuai untuk dikembangkan. Namun demikian, dari segi peluang pasar untuk situs yang berada jauh dari ruang inti dan letak yang jauh dari permukiman tidak begitu berpotensi untuk dikembangkan.
131
Begitu pula dengan aspek aksesibilitas, secara umum seluruh situs tidak dapat diakses oleh sarana transportasi umum. Selain itu kenyamanan dan kondisi jalan menuju situs belum representatif. Namun demikian untuk memperkuat karakter kawasan sebagai lokasi bersejarah dan kaya akan sumber daya berupa batuan alam, aksesibiltas yang baik dengan kondisi jalan yang alami (berbatu) berpotensi untuk dipertahankan dan dikembangkan. Dari aspek lingkungan, hal penting yang mempengaruhi pengembangan tapak adalah persepsi masyarakat terhadap obyek dan daya tarik wisata tersebut. Secara umum masyarakat belum mengetahui nilai sejarah yang terkandung dari potensi tersebut, sehingga berdampak pada kurangnya partisipasi masyarakat dalam mendukung pengembangan kepariwisataan pada tapak. Dengan demikian sosialisasi yang efektif terhadap masyarakat perlu dilakukan baik oleh pengelola maupun pihak pemerintah setempat. Adapun untuk pelayanan, secara umum pengelola telah memberikan pelayanan terbaik melalui penguasaan dan validitas informasi, keramahan pelayan juga komunikatif dalam melayani wisatawan. Namun demikian kendala dalam penguasaan bahasa baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing sangat mempengaruhi dalam efektivitas komunikasi. Dengan demikian pelatihan, pemberdayaan dan pengembangan kinerja pegawai perlu dilakukan oleh pengelola. Begitu pula dengan aspek sarana dan prasarana perlu dikembangkan terutama untuk mengakomodasi wisatawan berkebutuhan khusus seperti anakanak, orang tua dan orang berkebutuhan khusus. Untuk hasil analisis dari elemen lanskap budaya, secara umum seluruh potensi dilihat dari daya tarik dan peluang pasar sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini diperkuat dengan aksesibilitas yang mudah menuju tapak dengan kondisi jalan yang berkarakter (berbatu) dan lingkungan alami serta masyarakat yang mendukung. Namun demikian untuk potensi yang belum dikembangkan memiliki citra yang kurang baik dari wisatawan dan kurangnya dukungan masyarakat karena terkait dengan kurangnya informasi yang diperoleh. Adapun untuk aspek pelayanan, sarana dan prasarana, dalam upaya peningkatan kualitas perlu diperhatikan sumber daya manusia sebagai pelaku utama dari budaya tersebut, terutama dalam hal pelaksanaan beragam aktivitas
132
wisata budaya. Kurangnya SDM dalam melaksanakan beragam aktivitas dan kurangnya sarana serta prasarana yang representatif berdampak pada kurangnya kepuasan bagi wisatawan, sehingga akan menurunkan kualitas kawasan dan kuantitas kunjungan. Selain potensi lanskap sejarah dan budaya, tapak memiliki potensi lanskap sosial dan alami yang beragam. Berdasarkan hasil analisis diperoleh berbagai obyek dan daya tarik wisata yang berpotensi untuk dikembangkan. Semua potensi tersebut secara umum memiliki daya tarik yang optimal, peluang pasar yang baik, aksesibilitas yang mudah, lingkungan yang mendukung, pelayanan yang prima dan sarana serta prasarana yang cukup representatif. Namun demikian terdapat beberapa kekurangan yang dapat menurunkan kualitas dari potensi tersebut. Di antara kekurangan tersebut adalah kurangnya promosi yang berdampak pada kurangnya informasi yang diperoleh mengenai potensi yang ada, sehingga peluang pasar akan menurun. Begitu pula dengan aksesibilitas menuju tapak yang belum direncanakan secara optimal juga kurangnya sarana, prasarana dan fasilitas khusus yang disediakan oleh pengelola, namun hal tersebut dapat ditanggulangi dengan pengelolaan yang lebih efektif. Setelah melalui tahapan analisis, penerapan konsep wisata budaya pada tapak akan dielaborasi dalam sebuah concept plan dan selanjutnya dideliniasi dalam bentuk landscape plan. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) bersama perwakilan dari aparatur Desa, tokoh masyarakat serat perwakilan dari masyarakat umum diperoleh beberapa kesepakatan dalam beberapa hal terkait dengan rencana pengembangan kawasan wisata di KBSB. Diantaranya adalah mengenai rencana pembagian ruang yang dalam perencanaan dibagi menjadi tiga ruang (inti, penyangga dan pengembangan). Dalam hal ini, secara umum masyarakat setuju dengan yang direncanakan dimana kawasan KBSB merupakan inti dari usaha kepariwisataan di Desa Pasir Eurih dan kawasan lainnya menjadi area penyangga. Begitu pula dengan rencana pengembangan di setiap bagian ruang terutama ruang inti sejarah yang memiliki situs bersejarah dan berada di sekitar kawasan penyangga (permukiman). Dalam hal ini, masyarakat memahami dan menyadari akan nilai penting dari situs yang ada, sehingga mereka berinisiatif untuk melestarikan dan menerima beberapa solusi yang ditawarkan. Diantara
133
solusi yang ditawarkan adalah mengenai aksesibilitas menuju situs bersejarah yang kurang representatif untuk menjadi jalur wisata, dimana ditawarkan untuk menata akses dan jalur sirkulasi dengan menggunakan batuan. Selain memanfaatkan sumber daya lokal, hal ini akan memperkuat karakter kawasan sebagai daerah yang kaya akan batu. Di samping itu, peneliti mengusulkan solusi untuk mempertahankan kawasan tegakan pohon yang secara budaya di percaya sebagai hutan keramat. Khusus untuk kawasan tegakan pohon di selatan KBSB, dijadikan sebagai refleksi dari konsep orientasi Luhur-Handap yang merupakan tata ruang khas Sunda. Selain secara ekologi menjadi upaya konservasi tanah dan air. Dalam hal ini pula penulis menginisiasi berbagai obyek baik fisik maupun atraksi yang berpotensi sebagai daya tarik dan bernilai ekonomi. Beragam aktivitas sosial kemasyarakatan yang unik dan khas disarankan untuk tetap dipertahankan dan dilestarikan, berikut elemen fisik seperti perkampungan dan area persawahan. Khusus untuk permukiman disarankan pula untuk memulai kembali melestarikan arsitektur Sunda (rumah panggung) sebagai upaya dalam memperkuat karakter kawasan sebagai kawasan kampung tradisional Sunda. Adapun kaitannya dengan rencana pengembangan di kawasan inti wisata budaya,
diusulkan beberapa rencana
pengembangan diantaranya adalah
pengembangan fasilitas penunjang wisata yang sesuai dengan rencana pengembangan tahap dua KBSB. Dalam hal ini peneliti lebih mengusulkan dalam hal penataan ruang yang sesuai untuk pengembangan fasilitas dengan memperhatikan aspek ekologi. Peneliti mengusulkan tiga rencana alternatif pengembangan dimana rencana pertama tidak dilakukan ekspansi terhadap luas kawasan dan hanya meningkatkan fungsi dari potensi yang ada pada tapak. Adapun rencana kedua dan ketiga dilakukan penambahan luas kawasan beserta fasilitas penunjang lainnya. Rencana kedua dan ketiga didasarkan pada rencana pengelola dalam pengembangan kawasan Kampung Budaya Sindang Barang tahap dua dimana direncanakan penambahan elemen budaya pembentuk kampung tradisional adat Sunda secara utuh.
134
Dalam hal ini peneliti mencoba mengakomodasi rencana pengelola dengan mempertimbangkan antara aspek arsitektur lanskap dan nilai budaya pada tapak. Hasil penilaian pada berbagai aspek terkait dielaborasi dalam dua rencana tapak dengan perbedaan pada hal yang mendasari perencanaannya. Rencana pertama didasarkan pada pemenuhan kebutuhan wisata dimana dilakukan penambahan fasilitas penunjang wisata (area parkir, restoran, toko sovenir, dsb.) yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan wisata secara maksimal. Adapun rencana kedua lebih diarahkan kepada penguatan karakter kawasan sebagai ruang budaya yang diekspresikan dalam kawasan pertanian sawah. Dalam hal ini peneliti berorientasi pada rencana induk Kabupaten Bogor dimana dinyatakan bahwa pengembangan daerah Kecamatan Tamansari khususnya Desa Pasir Eurih diarahkan sebagai sentra produksi pertanian, terlebih dengan adanya program Pemda Kabupaten Bogor yang menjadikan Desa Pasir Eurih sebagai kawasan percontohan pertanian padi organik di Kabupaten Bogor. Dengan demikian rencana pengembangan wisata di KBSB tetap dilakukan pengembangan luas kawasan dan fasiitas penunjang, namun tetap berorietasi pada nilai budaya kawasan sebagai ruang budaya (pertanian) dan rencana induk Kabupaten Bogor. Adapun kaitannya dengan penerapan Community Based Planning, secara umum masyarakat setuju dengan rencana pertama, namun demikian terdapat beberapa hal yang dipertimbangkan dalam rencana kedua dan ketiga. Terutama terkait dengan penataan ruang untuk fasilitas penunjang wisata yang bersinggungan dengan aturan adat. Dalam hal ini aturan adat mengatur semua fasilitas harus mengarah ke alun-alun dalam, namun demikian hal ini kurang sesuai dengan daya dukung fisik kawasan yang memiliki topografi berumpak. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan diperoleh solusi (win-win solution) menganai hal tersebut dimana untuk fasilitas penunjang wisata umum (parking area, restaurant, souvenir shop, rest area, dsb.) diperbolehkan untuk tidak mengatahui aturan adat namun tetap menerapkan konstruksi dengan arsitektur khas Sunda Bogor. Adapun untuk fasilitas yang memiliki fungsi sebagai elemen budaya dan wisata (imah warga, leuit, girang serat, tampian, saung conat, dsb.) tetap mengikuti aturan adat.
135
Tabel 15. Analisis dan Sintesis Aspek-Aspek Perencanaan Analisis No. 1.
Data Umum a. Lokasi dan Aksesibilitas b. Tata Guna Lahan c. Biofisik (tanah, hidrologi, iklim, vegetasi dan satwa)
d. Kependudukan
e. Karakter Alami 2.
Kesejarahan a. Sejarah Kawasan b. Elemen Lanskap Sejarah
3.
Sosial dan Budaya Masyarakat a. Struktur Kelembagaan
Potensi
Kendala
Sintesis
Lokasi tapak strategis, potensial dan dekat pusat kota Bogor serta aksesibilitas cukup baik . Didominasi oleh lahan terbuka dan kearifan lokal dalam penggunaan lahan. Kondisi tanah (latosol) subur dan cocok untuk konstruksi, iklim sejuk dan nyaman, hidrologi baik serta vegetasi-satwa yang unik, khas dan beragam. Keramahan penduduk setempat, ragam aktivitas sosial-sudaya yang menarik serta produk indutri dan pertanian yang khas. Banyak terdapat vantage point (good view), memiliki karakter yang khas serta potensi alam yang beragam
Kondisi jalan sempit, rusak, tidak ada jalur alternatif dan tidak ada prasarana transportasi internal. Perubahan harga jual dan sewa lahan, konversi lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Tanah latosol yang berpasir rentan untuk konstruksi, curah hujan yang tinggi, dampak aktivitas penambang pasir terhadap kualitas air sungai dan eksistensi vegetasi-satwa lokal. Kurangnya pengetahuan dan informasi tentang sejarah kawasan dan manfaat keberadaan kampung budaya serta rendahnya tingkat pendidikan. Kurangnya pengenalan potensi lokal yang ada.
Dilakukan pelebaran dan perbaikan jalan, merencanakan jalur alternatif dan pengadaan transportasi internal. Optimalisasi pemanfaatan lahan terbuka dengan didasari kearifan lokal masyarakat setempat. Dilakukan rekayasa pada tanah untuk penggunaan konstruksi, konservasi lahan kritis, pengontrolan aktivitas penambangan di hulu dan melestarikan vegetasi-datwa endemik. Dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (pendidikan) serta pemberdayaan masyarakat dalam usaha kepariwisataan. Dilakukan pengembangan potensi lokal (obyek dan daya tarik wisata).
Merupakan warisan leluhur yang tetap dipertahankan secara turun temurun. Keanekaragaman situs bersejarah sebagai bukti kesejarahan.
Tidak meratanya pengetahuan masyarakat terhadap nilai sejarah dan budaya kawasan. Kurangnya perawatan akibat keterbatasan pengetahuan masyarakat.
Dilakukan sosialisasi secara menyeluhur mengenai nilai sejarah dan budaya kawasan Sindang Barang. Dilakukan revitalisasi terhadap seluruh situs bersama masyarakat dan dilakukan sosialisai tentang situs pada masyarakat.
Masih mempertahankan sistem kelembagaan tradisional Sunda dalam kelembagaan budaya.
Struktur kelembagaan belum begitu melembaga pada masyarakat.
Dilakukan sosialisasi mengenai struktur kelembagaan budaya pada masyarakat.
136
b. Pola Permukiman c. Elemen Lanskap Budaya 4.
Kepariwisataan a. Wisatawan b. Obyek dan Daya Tarik c. Fasilitas Wisata d. Aktivitas Wisata e. Organisasi dan Kelembagaan
f. Aspek Legal dan Kebijakan
Memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri serta berpotensi sebagai daya tarik wisata. Memiliki keunikan dan kekhasan budaya (adat, ritual dan kesenian).
Tidak diperkuat dengan pola permukiman disekitar kawasan kampung budaya. Banyak potensi budaya yang belum digali dan dikembangkan.
Dilakukan sosialisasi pada masyarakat mengenai karakter pola permukiman tradisional Sunda. Dilakukan peningkatan kualitas elemen yang ada dan pengembangan potensi lain.
Berasal dari berbagai daerah dan negara, memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Berbagai obyek dan daya tarik lokal yang mememiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Berorientasi pada nilai tradisional Sunda (arsitentural bangunan, elemen penunjang, properti, dsb). Keragaman aktivitas yang menarik bagi wisatawan. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam mengelola aktivitas wisata serta keramahan dari pihak pengelola dalam pelayanan. Sesuai dengan rencana pengembangan pariwisata Kabupaten Bogor serta pemberdayaan peran aktif masyarakat setempat.
Perbedaan karakter (budaya, adat, kebiasaan, agama, dsb) serta harapan terhadap kawasan yang dikunjungi. Kurangnya kreativitas dan inovasi dalam mengelola obyek dan daya tarik wisata serta promosinya. Banyak dari fasilitas belum sesuai standar dan belum menunjang bagi aktivitas wisata. Kurangnya pengelolaan dalam merangkai ragam aktivitas wisata. Kurangnya peningkatan kualitas serta kuantitas pengelola dalam pelayanan serta rendahnya bantuan finansial untuk operasional. Kurangnya pemahaman terhadap manfaat dari usaha kepariwisataan, kurangnya peran pemerintah dalam pengelolaan serta rendahnya peran aktif masyarakat lokal dalam pemberdayaan potensi wisata.
Dilakukan pengenalan karakter wisatawan (pelatihan) serta peningkatan kesadaran pengelola dan wisatawan. Dilakukan pengelolaan yang optimal dalam peningkatan kualitas, kuantitas serta promosi obyek dan daya tarik wisata. Dilakukan pengembangan fasilitas untuk menunjang aktivitas wisata yang representatif. Dilakukan peningkatan kualitas pelayanan dalam pelaksanaan aktivitas wisata. Dilakukan peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan (pendidikan dan pelatihan) serta peran aktif pemerintah dalam membantu pengelolaan. Dilakukan kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak pengelola, pemerintah maupun swasta dan peningkatan pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan wisata dengan didasari analisis terhadap konsep pemasaran produk wisata (marketing mix) yang ditawarkan.
137
Tabel 16. Analisis Obyak dan Daya Tarik Wisata Kriteria Penilaian Linkungan
Pelayanan
Fasilitas
Jumlah
Elemen Lanskap Sejarah 1. Batu Congklak 2. Batu Bergores 3. Batu Kursi Dukuh Menteng 4. Batu Bergores Dukuh Menteng 5. Sindang Barang 1 6. Punden Cibangke 7. Punden Dukuh Menteng 8. Batu Temu Gelar Pasir Keramat 9. Batu Bergores Batu Karut 1 10. Batu Bergores Batu Karut 2 11. Batu Kursi Batu Karut 12. Punden pasir keramat 13. Punden Batu Karut 14. Temu Gelang Batu Karut 15. Batu Dakon Leuweung Kramat 1 16. Batu Bergores Leuweung Kramat 1 17. Temu Gelang Sawah Lega 18. Batu Segi Tiga 19. Leuweung Kramat 3 20. Punden Surawisesa 21. Batu Ki Majusi 2 22. Batu Meja 23. Batu Tapak Sg.Cipamali
Status
Peluang Pasar Aksesibilitas
1.
Obyek dan Daya Tarik Wisata
Daya Tarik
No.
3 3 3 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3
3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3
3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 3 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
15 15 15 15 16 15 16 17 18 19 19 17 18 17 18 18 17 18 18 18 18 18 16
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
CP CP CP CP CP CP CP CP SP SP Sp CP SP CP SP SP CP SP SP SP SP SP CP
Keterangan
Penilaian dilakukan secara subyektif terhadap 57 titik situs bersejarah di kawasan Sindang Barang. Berdasarkan hasil penilaian (skoring) diperoleh kesimpulan untuk: a. Daya tarik: secara umum ODTW memiliki nilai keaslian, keunikan dan nilai sejarah/arkeologi yang tinggi dengan perolehan nilai dominan antara 3 dan 4. Untuk kemudahan kunjungan setiap elemen sejarah dapat dikunjungi setiap waktu. Adapun dari keindahan, kenyamanan dan kebersihan tapak, untuk elemen no.1 sampai no.43 memiliki kondisi yang baik, namun untuk no.44 sampai no.57 berhubung peneliti belum mengunjungi tapak sehingga tidak diberi penilaian. Begitu pula dengan faktor keragaman ODTW dan daya tampung tapak maksimal tidak diberi penilaian. Dengan demikian Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada 2 nilai (1) dan ada 1 nilai (0) b.Peluang pasar dilihat dari jarak dari ruang inti dekat; aksesibilitas mudah; dekat dengan permukiman; citra positif dari obyek; promosi dan akomodasi baik; Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada 2 nilai (1) dan ada 1 nilai (0) c. Aksesibilitas dilihat dari jarak ≤ 3 km; akses yang mudah; kondisi jalan (kendaraan dan manusia) baik; terdapat kendaraan umum Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada nilai (1) dan ada 1 nilai (0)
138
24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57.
Batu Kursi Mbah Gabuk Batu Sindang Barang Punden Sindang Barang 3 Punden Ki Majusi 2 Cineng Cipamali Cikubang Cimaeja Cimalipah Ciputri Sumur Jala Tunda Makam Ki Majusi Makam H.Ali Makam Ki Muewalih/Mbah Cemplang Makam Paranggong Jaya Makam Keluarga Pupuhu Cieureun Menhir Sindang Barang 3 Taman Sri Bagenda Pohon Paku Jajar Batu Bolong Kabandungan Makam Mbah Dalem Temu Gelang Kodok Budug Punden Hunyur Cikareo Batu Bangkong Batu Cikolawing Tugu Cikolawing Punden Cilegok 1 Batu Kursi Cilegok Batu Lisung Batu Congklak dan Tapak Batu Congkak Laladon
3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 15 15 17 18 19 18 18 18 18 19 18 18 18 18 18 18 15 18 18 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
CP CP CP CP SP SP SP SP SP SP SP SP SP SP SP SP SP CP SP SP TP TP TP TP TP TP TP TP TP TP TP TP TP TP
d.Lingkungan dilihat dari kondisi lingkungan alam maupun masyarakat dalam radius 100 m dari batas luar obyek, seperti kondisi fisik lahan sesuai; dampak terhadap SDH; status tanah lokasi obyek milik adat; penduduk sedikit (radius min. 20 m); persepsi masyarakat positif dan kondisi fisik menunjang Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada nilai (1) dan ada 1 nilai (0) e. Pelayanan dilihat dari tingkat pengelolaan dan perawatan ODTW; kelancaran dan keramahan pelayanan; kemudahan memperoleh informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan; penguasaan materi; kemampuan komunikasi dan bahasa Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada nilai (1) dan ada 1 nilai (0) f. Sarana dan prasarana dilihat dari adanya sarana dan prasarana yang ada pada radius 1 km dari batas area obyek, yaitu prasarana penunjang (rumah makan, warung, toilet, dsb.); prasarana khusus (wartel, warnet, puskesmas, dsb.); sarana utama (jalan, transportasi umum, penginapan, dsb), fasilitas khusus (untuk anak-anak, orang tua dan orang berkebutuhan khusus); fasilitas penunjang kegiatan wisata (minimal untuk 10 orang, bila kurang dianggap tidak ada) Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada nilai (1) dan ada 1 nilai (0)
139
2.
Elemen Lanskap Budaya a. Ritual 1. Majikeun pare 2. Runjakeun 3. Serbet Kasep 4. Rengkong b. Adat 1. Seren Taun 2. Sedekah Kue 3. Parebut Seeng 4. Ungkal Biang 5. Mindai 6. Moro 7. Randu Tulub c. Kesenian 1. Angklung Gubrag 2. Rengkong 3. Reog 4. Jaipong 5. Penca Silat Cimande 6. Angklung 7. Calung 8. Ngadongdang d. Permainan 1. Ucing Sumput 2. Gala Asin 3. Bebentengan 4. Gatrik 5. Engrang 6. Oray-Orayan 7. Kokoleceran e. Arsitektural Bangunan 1. Imah Gede 2. Imah Penengeun/Pangiwa
4 4 4 4
4 4 4 4
4 4 4 4
4 4 4 4
4 4 4 4
3 3 3 3
23 23 23 23
SP SP SP SP
4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3
23 23 23 23 23 32 23
SP SP SP SP SP SP SP
4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3
23 23 23 23 23 23 23 23
SP SP SP SP SP SP SP SP
4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3
22 22 22 22 22 22 22
SP SP SP SP SP SP SP
4 4
4 4
4 4
4 4
4 4
3 3
23 23
SP SP
Penilaian dilakukan secara subyektif terhadap elemen lanskap budaya di kawasan Sindang Barang. Penilaian (skoring): a. Daya tarik dilihat dari keaslian, keunikan, nilai budaya; kemudahan kunjungan; keindahan, kenyamanan dan kebersihan tapak; keragaman ODTW; daya tampung tapak maksimal. Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada nilai (1) dan ada 1 nilai (0) b. Peluang pasar dilihat dari jarak dari ruang inti dekat; aksesibilitas mudah; dekat dengan permukiman; citra positif dari obyek; prpmosi dan akomodasi baik; Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada nilai (1) dan ada 1 nilai (0) c. Aksesibilitas dilihat dari jarak 1 km; akses yang mudah; kondisi jalan (kendaraan dan manusia) baik; terdapat kendaraan umum Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada nilai (1) dan ada 1 nilai (0) d. Lingkungan dilihat dari kondisi lingkungan alam maupun masyarakat dalam radius 100 m dari batas luar obyek, seperti kondisi fisik lahan sesuai; dampak terhadap SDH; status tanah lokasi obyek milik adat; penduduk sedikit (radius min. 100 m); persepsi masyarakat positif dan kondisi fisik menunjang Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada nilai (1) dan ada 1 nilai (0) e. Pelayanan dilihat dari tingkat pengelolaan dan perawatan ODTW; kelancaran dan keramahan pelayanan; kemudahan memperoleh informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan; penguasaan materi; kemampuan komunikasi dan bahasa Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada nilai (1) dan ada 1 nilai (0) f. Sarana dan prasarana dilihat dari adanya sarana dan prasarana yang ada pada radius 1 km dari batas area obyek, yaitu prasarana penunjang (rumah makan, warung, toilet, dsb.); prasarana khusus (wartel, warnet, puskesmas, dsb.); sarana utama (jalan, transportasi
140
3.
4.
3. Imah Warga 4. Leuit 5. Bale Pangriungan 6. Saung Talu 7. Saung Lisung f. Pola Tata Ruang (kosmologi) g.Peralatan Tradisional (masak, pertanian, kesenian, dsb) h. Aktivitas Sosial (local wisdom) Elemen Lanskap Sosial a. Kawasan lahan dan industri pertanian b.Kawasan aktivitas sosial masyarakat c. Kawasan industri sandal/sepatu d.Kawasan industri makanan tradisional e. Kawasan industri peralatan tradisional Elemen Lanskap Alam a. View sungai Ciapus b. View gunung Salak c. View gunung Gede-Pangrango d. View kota Bogor (siang/malam) e. View vegetasi Kirei f. Pertanian sawah g. Pertanian palawija h. Pertanian sayuran
4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3
23 23 23 23 23 23 23
SP SP SP SP SP SP SP
4
4
4
4
4
3
23
SP
4 4 4 4 4
3 3 3 3 3
4 4 4 4 4
3 3 3 3 3
3 3 3 3 3
3 3 3 3 3
20 20 20 20 20
SP SP SP SP Sp
4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3
22 22 22 22 22 22 22 22
SP SP SP SP SP SP SP SP
umum, penginapan, dsb), fasilitas khusus (untuk anak-anak, orang tua dan orang berkebutuhan khusus); fasilitas penunjang kegiatan wisata (minimal untuk 10 orang, bila kurang dianggap tidak ada) Ada 5 nilai (4), ada 4 nilai (3), ada 3 nilai (2), ada nilai (1) dan ada 1 nilai (0)
Keterangan : TP (TIdak Potensial), CP (Cukup Potensial) dan SP (Sangat Potensial)
V.
PERENCANAAN LANSKAP
5.1. Konsep Perencanaan Lanskap Konsep perencanaan lanskap kawasan Kampung Budaya Sindang Barang pada dasarnya merupakan upaya peningkatan fungsi dan nilai tapak sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai kawasan wisata budaya. Dengan demikian kawasan tersebut mampu memberikan pengalaman yang menarik, pengetahuan yang baru serta rasa kenyamanan dan kepuasan, sehingga tercipta kepuasan bagi wisatawan. Dalam sebuah perencanaan kawasan wisata, kepuasan dari wisatawan serta tetap lestarinya obyek dan daya tarik wisata menjadi tujuan utama disamping peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
setempat
dari
adanya
aktivitas
kepariwisataan. Kepuasan mereka akan tercapai bila pengelola mampu memberikan pelayanan yang prima terutama terkait dengan apa yang akan mereka lihat (something to see), apa yang akan mereka lakukan (something to do) , apa yang akan mereka beli (something to buy) sebagai kenangan, serta apa yang dianjurkan untuk dilihat, dan mana yang tidak boleh dilakukan di daerah yang dikunjungi. Dengan demikian perencanaan yang terpadu perlu dilakukan untuk menciptakan kawasan wisata yang andal yang dapat memberikan manfaat bagi wisatawan, masyarakat, pengelola maupun pemerintah setempat. Hasil dari perencanaan tersebut tersaji dalam rencana lanskap (landscape plan) (Gambar 60). Adapun dalam pengembangannya digunakan metode Gunn (1994) dengan pendekatan kesesuaian antara sumber daya (fisik maupun non fisik) dan aktivitas yang dikembangkan menjadi konsep ruang dan lanskap, akses dan sirkulasi, tata letak fasilitas, jalur interpretasi dan program ruang. 5.2. Rencana Tata Ruang dan Program Ruang Rencana tata ruang dikembangkan berdasarkan konsep yang telah disusun dan disesuaikan dengan hasil analisis yang diperoleh sebelumnya. Konsep ruang pada dasarnya diarahkan untuk menjaga kelestarian dari nilai sejarah dan budaya yang ada di kawasan Sindang Barang umumnya dan khususnya di Kampung
148
Budaya Sindang Barang serta disesuaikan dengan kebutuhan wisata. Tapak yang akan dikembangkan dibagi menajadi tiga ruang utama (inti, penyangga dan pengembangan) dengan beberapa sub ruang didalamnya (Gambar 74).
Gambar 74.. Ilustrasi Pembagain dan Aksesibilitas Ruang 5.1.1. Ruang Inti Ruang inti (core core zone) zone) merupakan ruang utama yang berfungsi sebagai pusat dari berbagai obyek dan daya tarik serta aktivitas wisata. Ruang inti baik inti budaya maupun sejarah diarahkan sebagai ruang konservasi baik fisik maupun nilai dari sejarah dan budaya Sindang Barang. Ruang Ruang inti budaya KBSB sebagai refleksi dari ruang budaya/sosial kawasan Sindang Barang secara umum perlu dikembangkan secara teliti sebagai upaya menjaga kelestarian budaya yang ada. Pengembangan ruang disertai dengan perencanaan fasilitas dan aktivitas yang ng representatif baik secara budaya maupun wisata. Fasilitas yang dikembangkan pada ruang inti budaya adalah fasilitas yang memiliki keterkaitan erat dengan nilai budaya daya yang ada, seperti bangunan-bangunan bangunan pembentuk kampung budaya Sunda khas Bogor. Dengan demikian aktivitas yang dilakukan pun perlu bersinergi secara utuh dengan fungsi dari kawasan tersebut, seperti menginterpretasi dan memvisualisasi informasi budaya pada tapak.
149
Begitu pula dengan ruang inti sejarah dengan elemen sejarah berupa situs peninggalan kerajaan Sunda dan Pakuan Pajajaran perlu dikembangkan secara lebih teliti untuk mencegah degradasi fisik maupun nilai dari elemen sejarah yang ada. Fasilitas yang dikembangkan diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan sebagai ruang sejarah, seperti dengan melakukan pencagaran secara fisik (biological atau mecanical engineering) dan penataan kawasan situs yang lebih representatif. Adapun untuk aktivitas yang dilakukan lebih bersifat interpretasi dan visualisasi informasi sejarah pada tapak Dalam menunjang pengembangan tapak sebagai kawasan wisata budaya, pada ruang inti disediakan berbagai fasilitas penunjang untuk memberikan kenyamanan, keamanan dan kepuasan bagi pengunjung. Fasilitas yang direncanakan akan dikembangkan pada tapak disesuaikan dengan rencana jangka pendek dari pengelola kawasa, yaitu melengkapi fasilitas yang menjadi syarat terbentuknya sebuah kampung adat. Fasilitas yang direncanakan untuk dikembangkan adalah penambahan Rumah Sesepuh (Imah Kokolot), Rumah Warga (Imah Warga), Alun-Alun Luar, Saung Leuit, Saung Pareak Saji (tempat ritual), Saung Parabot (gudang), Saung Lisung (tempat menumbuk padi), Saung Conat (menara pandang), Bale Kambang (tempat di tengah kolam), Tampian (kamar mandi), dan fasilitas penunjang lainnya. 5.1.2. Ruang Penyangga Ruang penyangga (buffer area) merupakan ruang yang menghubungkan antara ruang inti dengan ruang pengembangan. Ruang tersebut berfungsi sebagai area transisi yang mengarahkan wisatawan dari ruang pengembangan menuju kawasan utama (ruang inti). Pada ruang penyangga dihadirkan berbagai elemen yang dapat memperkuat karakter Kampung Budaya Sindang Barang. Dengan demikian wisatawan akan lebih tertarik untuk mengunjungi kawasan dan menikmati beragam obyek dan daya tarik wisata yang disajikan pada ruang utama. Pada ruang penyangga tetap disajikan beragam obyek dan daya tarik serta fasilitas wisata yang tentunya menunjang dalam aktivitas wisata. Berdasarkan kondisi biofisik kawasan, obyek dan daya tarik wisata yang dapat dikembangkan
150
pada ruang penyangga adalah berupa kualitas visual tapak yang menyuguhkan berbagai atraksi menarik. Diantaranya adalah good view ke arah Gunung Salak, Gunung Gede-Pangrango, Sungai Ciapus, persawahan dan elemen lanskap alami lainnya. Adapun untuk fasilitas yang dapat dikembangkan pada ruang penyangga adalah fasilitas yang mampu mengoptimalkan fungsi dari ruang tersebut. Diantaranya adalah vantage point yang berfungsi untuk menikmati good view, shelter yang berfungsi untuk rest area dan sebagainya. 5.1.3. Ruang Pengembangan Ruang pengembangan (development area) merupakan ruang yang berfungsi sebagai penunjang kegiatan wisata. Dalam ruang pengembangan terdapat berbagai fasilitas yang bertujuan untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna, baik wisatawan maupun pengelola. Dalam pengembangannya ruang tersebut dibagi menjadi dua sub ruang, yaitu sub ruang penerimaan dan sub ruang pelayanan. Sub ruang penerimaan merupakan ruang yang bersifat menarik perhatian, mengundang dan menyambut wisatawan yang bekunjung pada kawasan wisata. Pada sub ruang tersebut disediakan fasilitas yang mampu menciptakan kesan menarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Diantaranya adalah pintu gerbang kawasan wisata (main gate) yang menjadi muka utama dari kawasan Kampung Budaya Sindang Barang. Konsep dari bangunan pintu gerbang yang akan dikembangkan disesuaikan dengan karakter bangunan secara umum yang ada di tapak, dan tentunya berdasarkan bentuk arsitektur Sunda. begitu pun dengan pengembangan fasilitas bangunan lainnya, disesuaikan dengan bentuk arsitektur Sunda untuk memperoleh kesatuan karakter kawasan yang utuh (unity). Dengan demikian wisatawan akan lebih mudah memahami dan memaknai dari setiap obyek dan daya tarik wisata yang disajikan. Adapun untuk sub ruang pelayanan akan dikembangkan fasilitas penunjang wisata yang difungsikan untuk melayani kebutuhan dari setiap pengguna, terutama wisatawan. Fasilitas yang dapat dikembangkan pada ruang
151
tersebut adalah pusat informasi (information center), kantor pengelola (management office), pusat souvenir (souvenir center), kafetaria (cafetaria), penginapan
(cottage),
toilet
umum,
dan
fasilitas
lainnya.
Tabel
17
memperlihatkan hubungan antara jenis ruang, fungsi, aktivitas dan fasilitas pada tapak. 5.2. Rencana Sirkulasi dan Aksesibilitas Konsep sirkulasi dan aksesibilitas yang dikembangkan pada kawasan wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang berorientasi pada pencapaian seluruh obyek dan daya tarik wisata yang ada pada tapak, baik dalam ruang inti, penyangga maupun pengembangan. Dengan konsep tersebut wisatawan dapat menikmati, mengamati dan memvisualisasikan seluruh obyek dan daya tarik wisata secara utuh (unity), berurutan (sequence) dan terkait satu sama lain (connected). Gambar 75 merupakan ilustrasi dari konsep sirkulasi yang dikembangkan pada tapak.
Gambar 75. Ilustrasi Sirkulasi Ruang Secara umum pengembangan akses dan sirkulasi akan dibagi dalam dua bentuk sirkulasi, yaitu bentuk sekuensial dan eksplorasi. Bentuk sekuensial digunakan untuk sirkulasi di luar kawasan dengan pendekatan model berkeliling
152
(circuit/looping) adapun bentuk eksplorasi digunakan untuk sirkulasi di dalam kawasan dengan pendekatan model penyebaran (dispersing). Bentuk sekuensial didasarkan pada letak dari obyek dan daya tarik wisata pada tapak berupa situssitus bersejarah dan ragam aktivitas sosial masyarakat setempat. Bentuk sirkulasi tersebut menghubungkan obyek dan daya tarik wisata yang ada berdasarkan kemudahan dalam mengaksesnya, sehingga faktor kenyaman, kemudahan dan keselamatan pengunjung dapar terjaga. Adapun bentuk sirkulasi eksplorasi didasarkan pada keberagaman obyek dan daya tarik wisata yang ada pada ruang utama, sehingga diperlukan bentuk sirkulasi yang dapat memudahkan wisatawan untuk menikmati setiap potensi wisata yang disajikan. Dengan model pengembangan menyebar (dispersing) diharapkan wisatawan mampu menikmati seluruh ragam obyek dan daya tarik wisata dalam ruang dan waktu yang bersamaan. Dengan konsep tersebut dan dipadu dengan program aktivitas wisata berkelompk (grouping), akan memudahkan bagi pengelola dalam mengatur wisatawan agar tetap berada dalam jalur sirkulasi wisata yang telah ditentukan. Disamping itu pula akan tercipta kepuasan bagi wisatawan dalam menginterpretasi berbagai potensi wisata yang ada, dan hal tersebut akan berdampak pula pada peningkatan waktu dan pengeluaran uang selama berwisata (Gunn, 1994). Selain itu, dalam pengembangan konsep sirkulasi dan aksesibilitas perlu didasarkan pula pada kebutuhan dari pengguna sirkulasi dan akses tersebut. Untuk pedestrian, sirkulasi dan akses yang dikembangkan berdasarkan pada kebutuhan manusia seperti keinginan untuk mencapai sesuatu melalui jalur sirkulasi jarak pendek, sedikit bahaya, point to point dan kondisi sirkulasi yang nyaman. Adapun untuk sirkulasi dan akses kendaraan lebih ditekanan pada kemudahan dalam mengakses tapak dan didasari oleh faktor kenyamanan, keselamatan serta efisiensi waktu dan biaya (Simonds, 1983). Dengan demikian untuk menciptakan konsep sirkulasi dan akses yang baik maka kedua hal tersebut perlu diakomodasi, sehingga keterkaitan antara kebutuhan pengguna dan kondisi fisik kawasan dapat bersinergi dan menghasilkan sistem sirkulasi dan aksesibilitas yang terpadu.
153
Tabel 17. Jenis Ruang, Funsi, Aktivitas dan Fasilitas No. 1.
Ruang Inti (core area)
Sub Ruang
Fungsi
Sejarah
Wisata utama
Aktivitas
Fasilitas
Mencari informasi mengenai sejarah
Situs bersejarah di sekitar tapak,
kawasan, tracking ke situs bersejarah, photo
aksesibilitas menuju tapak, rest area,
hunting, diskusi, penelitian, berkomunikasi
dsb.
dengan masyarakat setempat, mengenal karakter sejarah tapak.
Budaya
Mencari informasi mengenai budaya,
Kampung Budaya
mengenal pola tata ruang, arsitektural, aktivitas (ritual, adat dan kesenian) tradisional Sunda, photo hunting, berdiskusi, mengenal karakter budaya tapak, dsb. 2.
Penyangga
-
Wisata penunjang
(buffer area)
Tracking di area persawahan, mengenal
Aksesibilitas menuju tapak, vantage
ragam aktivitas sosial masyarakat setempat,
point, shelter, sitting area, ruang
mengenal karakter alami tapak, menikmati
terbuka hijau, dsb.
good view pada tapak, rekreasi, dsb. 3.
Pengembangan
Penerimaan
Welcome area
(development area)
Pelayanan
Service area
Mencari informasi mengenai aktivitas wisata
Pitu gerbang kawasan (main gate) dan
pada kawasan dan registrasi.
pos jaga (security).
Menginap (home stay), makan, minum,
Penginapan umum (cottage) atau rumah
berbelanja, berdiskusi, beribadah,
penduduk (home stay), restauran,
pengelolaan sampah (waste), suplai air dan
kafetaria, pusat souvenir, TPA,
listrik, dsb.
penampungan air, gardu listrik, area parkir, kantor pengelola, mushola, dsb.
154
5.3. Rencana Tata Hijau Dalam perencanaan dan pengembangan kawasan hijau (tata hijau) direncanakan pembagian ruang hijau menjadi dua zona inti yaitu zona hijau (greenery zone) dan zona pengembangan (development zone). Zona hijau dibagi menjadi lima sub zona, yaitu zona tanaman pangan (food crops zone), zona tanaman palawija (second crops zone), zona tanaman horticultura (horticultural crops zone), zona tanaman perkebunan campur (mix plantation zone) dan zona tanaman kayu (tree plants zone). Pembagian ruang tersebut didasari oleh kondisi vegetasi eksisting yang disesuaikan dengan kondisi fisik kawasan dan kemungkinan pengembangan pada tapak. Zona pengembangan (development zone) diarahkan untuk pengembangan lahan terbangun yang menunjang aktivitas kepariwisataan pada tapak dengan tetap mempertimbangkan faktor budaya pada tapak. Rencana pengembangan pada zona tersebut diantaranya adalah area parkir (parking area), penginapan (cottage), rumah makan (restaurant), terminal (terminal) dan sebagainya. Adapun untuk zona hijau (greenery zone) diarahkan untuk preservasi dan konservasi kawasan hijau sebagai upaya menjaga kestabilan ekosistem pada tapak dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dari sektor pertanian. Greenery zone yang dibagi menjadi lima sub zona disesuaikan dengan jenis komoditi yang dihasilkan. Food crops zone diarahkan untuk menjaga eksistensi produksi padi (organik dan anorganik), second crops zone untuk tanaman pengganti padi (jagung, ubi, kacang-kacangan, dsb.), horticultural crops zone untuk tanaman sayuran dataran rendah (kangkung, bayam, dsb.), mix plantation zone untuk tanaman perkebunan campuran (beragam buah-buahan) dan tree plants zone untuk tanaman kayu (mahoni, jati, albasiah, suren, dsb.). Adapun untuk perencanaan kawasan hijau di dalam dan di sekitar kawasan wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang dilakukan pengembangan pada lahan terbuka dengan berorientasi pada tata ruang tradisional Sunda. Menurut hasil wawancara dengan sesepuh adat, tata ruang luar (outdoor) tradisional Sunda dikenal dengan istilah pakuwon (pekarangan). Dalam tata ruang pakuwon tidak terdapat penataan khusus untuk vegetasi, namun demikian terdapat syarat-syarat
155
yang harus dipenuhi untuk sebuah pakuwon, yaitu adanya susukan (parit) dan tanaman pagar (hedge) bahkan dapat ditambah dengan buruan (pelataran). Disamping itu, dalam penataan pakuwon vegetasi dibiarkan tumbuh secara alami (random) dan tidak ada penataan atau pola khusus dalam penanamannya. Hal ini sesuai dengan perilaku masyarakat pedesaan pada umumnya dan khususnya masyarakat Sunda yang terbiasa membuang sampah organik di pekarangan termasuk didalamnya biji-bijian. Dengan pola perilaku tersebut berdampak pada penyebaran biji-bijian yang tidak merata sehingga biji-bijian tumbuh secara alami di kawasan pekarangan. Dengan demikian perencanaan disesuaikan dengan penataan ruang Sunda berupa penataan secara alami (pola acak) dengan jenis vegetasi yang beragam. Namun demikian untuk memaksimalkan fungsi dari tanaman dan karakter tapak maka dalam penataan dikembangkan menjadi tiga pola penanaman, yaitu basic planting, special effect planting dan alternate planting. Basic planting dilakukan untuk penataan tanaman yang mendominsi pada tapak, hal ini disesuaikan dengan sifat fisik tanaman dalam memperkuat karakter tapak. Contoh dari pola penanaman tersebut adalah penanaman rumpun bambu (Arundinaria pumila, Bambusa multiplex atau Bambusa vulgaris). Special effect planting dilakukan untuk menonjolkan secara kuat ciri tertentu dari tanaman. Dalam hal ini pola tersebut dilakukan dalam penataan tanaman khas, unik dan memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi di Kampung Budaya Sindang Barang seperti Hanjuang Merah, Paku Jajar (Hanjuang Siang), Handeuluem Sieum, Tanjung, Kirai dan Kawung. Adapun untuk alternate planting diterapkan pada penataan tanaman secara acak dengan kombinasi berbagai tanaman dengan pola tertentu (pola tradisional Sunda). Vegetasi yang digunakan berupa tanaman hias, pangan, hortikultura, kayu dan perkebunan campuran. Penataan tanaman hias diarahkan untuk memberikan keindahan, kenyamanan dan rekayasa lingkungan pada tapak dengan ciri fisik dan ekologis yang dimiliki oleh tanaman. Ragam tanaman hias yang digunakan berupa penutup tanah, semak, perdu hingga pohon dengan dominansi penggunaan jenis tanaman lokal/eksisting yang ada pada tapak.
156
Adapun untuk tanaman pangan dan horticultura diarahkan untuk memperkuat karakter fisik dan sosial sebagai kawasan pertanian dan masyarakat bertani. Dengan demikian jenis tanaman yang digunakan adalah padi dan tanaman substitusi pangan, terutama padi besar yang menjadi ciri khas produk pertanian masyarakat Sindang Barang tempo dulu. Disamping itu untuk tanaman kayu dan perkebunan campuran diarahkan untuk memberikan kenyamanan sebagai ameliorasi iklim mikro, rekayasa lingkungan, produksi kayu dan produksi tanaman perkebunan (buah-buahan, rempah-rempah, dsb.). Jenis tanaman yang digunakan untuk fungsi keindahan adalah tanaman yang memiliki bentuk fisik/arsitektural yang dapat diindera baik pada tajuk, daun, bunga, biji, buah, maupun batang. Dalam pengembangan fungsinya dapat diarahkan sebagai pengarah (director), pemberi aksen (focal point), penyekat (screen), pembatas (border), pembingkai view (vista) maupun penguat karakter (emphasis). Adapun untuk fungsi ameliorasi iklim adalah tanaman yang dapat memberi naungan dari sinar matahari pada kawasan publik yang terbuka, memodifikasi suhu udara, menambah kelembaban udara, menahan angin dan menahan silau sehingga tercipta kenyamanan bagi pengguna. Diantara tanaman yang dapat memberi naungan adalah tanaman dengan sifat fisik tajuk lebar seperti ki hujan (Samanea saman), beringin (Ficus benjamina), sengon (Paraserianthes f.), albasia (Albizia falcata) dan sebagainya. Untuk fungsi penahan hujan dan silau sinar matahari adalah tanaman dengan bentuk fisik berdaun jarum dan jarang seperti bambu jepang (Arundinaria pumila), damar (Agatis damara), dan sebaginya. Adapun untuk fungsi penahan hujan dan penambah kelembutan adalah tanaman dengan bentuk fisik berdaun lebat seperti mahoni (Switenia mahagoni), kirei payung (Felicium decipiens), beringin (Ficus benjamina) dan sebagainya.
157
Adapun untuk fungsi rekayasa lingkungan digunakan tanaman dengan fungsi fisik berakar papan untuk mengontrol erosi seperti flamboyan (Delonix regia), kapuk randu (Ceiba pantandra) dan sebagainya, berakar serabut untuk sistem hidrologi seperti kirei (Nypa fruticans) bambu (Bambusa multiplex) dan sebagainya, berdaun jarum, berbulu, kasar dan lengket untuk mereduksi polusi seperti asam keranji (Tamarindis indica), flamboyan (Delonix regia), nangka (Arthocarpus
integra),
bougenvil
(Bougenville
spectabilis),
nusa
indah
(Mussaenda philipica) dan berbau harum untuk mereduksi bau seperti cempaka (Michelia champaca), kenanga (Cananga odorata), kayu putih (Eucaliptus alba), kemuning (Murraya paniculata), melati (Jasminum sambac), mawar (Rosa sp) dan sebagainya. Perencanaan
pada
kawasan
hijau
(tata
hijau)
diarahkan
untuk
memaksimalkan potensi fisik dan ekologis dari vegetasi baik lokal maupun introduksi yang disesuaikan dengan fungsi tapak untuk mewadahi aktivitas pengguna dalam suasana yang nyaman, indah dan tanaman dapat dipelihara. Dengan demikian korelasi positif antara kawasan wisata dengan penataan lanskap dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan bagi pengguna kawasan wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang. Gambar 76 menjelaskan rencana tata hijau yang direncanakan pada tapak. Kombinasi dari rencana ruang, program ruang, akses dan sirkulasi serta tata hijau mengahasilkan kesatuan karakter lanskap kawasan wisata budaya Kampung Budaya Sindang Barang yang dideliniasi dalam gambar produk arsitektur lanskap berupa rencana lanskap (landscape plan) kawasan KBSB secara umum hasil FGD (Gambar 77), kawasan inti wisata budaya KBSB I (Gambar 78), kawasan inti wisata budaya KBSB II Hasil FGD (Gambar 79), kawasan inti wisata budaya KBSB final I (Gambar 80) dan kawasan inti wisata budaya KBSB final II (Gambar 81).
164
5.4. Rencana Operasional dan Fasilitas Dalam pengembangan sebuah kawasan wisata perlu diperhatikan aspek operasional dan fasilitas yang menunjang kelancaran aktivitas wisata. Dalam hal ini segala hal yang terkait dengan kunjungan wisatawan mulai dari keberangkatan dari daerah asal, dalam perjalanan, di daerah tujuan wisata, pada obyek dan daya tarik wisata hingga kembali lagi ke tempat asal perlu diperhatikan untuk terciptanya kepuasan pada wisatawan. Menurut Yoeti (1997) terdapat kaitan antara aspek pelayanan terhadap wisatawan dengan ragam fasilitas yang memungkinkan wisatawan melakukan kunjungan wisata (Gambar 82). Berdasarkan gambar tersebut wisatawan baik domestik maupun mancanegara memiliki keinginan yang kuat untuk mengetahui sesuatu yang baru di tempat yang akan dikunjunginya. Wisatawan terlebih dahulu mengenal kondisi tempat yang dituju dari informasi dan promosi yang dilakukan oleh pengelola. Setelah wisatawan memutuskan untuk berwisata maka akan dilakukan perjalanan menuju daerah tujuan wisata (DTW) dengan harapan akan memperoleh something to see, something to do, something to buy dan fasilitas yang representatif.
Gambar 82. Keterkaitan antara Aspek Pelayanan dan Fasilitas
166
Dengan demikian untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi wisatawan atas kunjungannya, maka penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana perlu direncanakan dengan baik dan terpadu. Dalam hal ini aspek operasional dan fasilitas yang direncanakan adalah fasilitas utama kawasan Kampung Budaya Sindang Barang yang belum dibangun sebagai upaya memenuhi persyaratan untuk menjadi sebuah kampung adat, seperti imah kokolot, imah warga, alun-alun luar, bale pangriungan, saung leuit, saung pareak saji, saung parabot (gudang), saung lisung, saung conat dan bale kambang. Selain itu direncanakan pula pengembangan dalam fasilitas penunjang aktivitas wisata seperti pintu gerbang utama, pos jaga, kantor pengelola dan pusat informasi, area parkir, TPA, penampungan air (pancuran), toko suvenir, restoran, penginapan, shelter, vantage point, sign board, toilet, wartel, money changer, toko serba ada (mini market) dan elemen tapak lainnya (bangku dan tempat sampah). Dalam pengembangannya, fasilitas didesain dengan pola penataan dan arsitektur tradisional. Untuk fasilitas utama disesuaikan dengan bentuk dan pola fasilitas yang sudah ada saat ini. Begitu pula dengan fasilitas penunjang lainnya disesuaikan dengan bentuk dan pola fasilitas yang ada namun dengan penyesuaian fungsi yang berbeda. Gambar 83 menjelaskan rencana pengembangan fasilitas wisata pada tapak. 5.5. Rencana Perjalanan Wisata (Touring Plan) Touring plan merupakan rencana perjalanan wisata di daerah tujuan wisata yang dikembangkan dalam paket wisata. Untuk memberikan pengalaman yang menarik bagi wisatawan maka diperlukan perencanaan jalur sirkulasi wisata yang terpadu yang mampu menyatukan berbagai obyek dan daya tarik wisata dalam satu konsep perjalanan wisata yang utuh dengan mempertimbangkan faktor waktu dan biaya. Rencana
jalur
wisata
akan
memudahkan
wisatawan
dalam
menginterpretasi berbagai obyak dan daya tarik wisata yang disesuaikan dengan tujuan dari kedatangan ke daerah tujuan wisata. Penyusunan rencana jalur wisata berorientasi pada rencana sirkulasi dan aksesibilitas serta terintegrasi secara utuh
167
dengan paket wisata yang ditawarkan (Gambar 84), dengan demikian wisatawan yang mengikuti program paket wisata akan menyesuaikan diri dengan rencana wisata yang dibuat. Dalam hal ini direncanakan dua paket wisata yang berorientasi pada pemanfaatan secara maksimal potensi yang terdapat pada tapak dan disesuaikan dengan paket wisata yang telah disusun sebelumnya. Paket wisata yang akan dikembangkan berdasarkan obyek dan aktivitas wisata adalah paket wisata budaya dan sejarah serta paket wisata budaya dan alam. Adapun paket wisata yang didasarkan pada panjang waktu yang tersedia adalah paket wisata satu hari (one day visit) dan dua hari satu malam (two days one night). Rencana perjalanan pada paket yang ditawarkan dapat dilihat pada Tabel 18. Paket wisata sehari (one day visit) diarahkan untuk wisatawan yang tidak memiliki banyak waktu untuk tinggal di kawasan wisata. Aktivitas yang dilakukan terbatas namun tetap menyuguhkan obyek dan daya tarik yang menarik. Secara umum aktivitas yang dilakukan pada waktu pagi hingga siang hari relatif sama, namun berbeda untuk aktivitas siang hingga sore hari. Untuk paket wisata budaya-sejarah dilakukan napak tilas ke situs bersejarah (tracking) dengan persentase waktu lebih besar dibandingkan menikmati potensi alam. Adapun untuk paket wisata budaya-alam persentase waktu terbesar digunakan untuk tracking ke kawasan dengan potensi alam yang menarik. Disamping paket sehari, untuk wisatawan yang ingin mengetahui secara lebih detil mengenai berbagai potensi di tapak dan memiliki waktu wisata lebih lama dapat mengikuti paket wisata dua hari satu malam (two days one night ). Secara umum aktivitas yang dilakukan baik pada paket wisata budaya-sejarah maupun budaya-alam tidak jauh berbeda. Namun demikian terdapat perbedaan pada alokasi waktu yang diberikan pada obyek dan daya tarik utama pada masingmasing paket dengan jumlah yang lebih besar. Selain paket yang direncanakan tersebut, paket yang telah disusun oleh pihak pengelola dapat dilanjutkan dengan penyesuaian lebih lanjut terhadap kondisi fisik kawasan dan wisatawan. Dengan demikian pelayanan yang diberikan bagi wisatawan dapat ditingkatkan sehingga kepuasan wisatawan dapat meningkat.
170
Tabel 18. Rencana Perjalanan Paket Wisata Paket Wisata
Waktu Wisata
Ruang Wisata
Satu hari
Penerimaan dan pelayanan
Aktivitas Wisata
Waktu (menit)
- Parkir kendaraan
10’
- Mendapat informasi
10’
- Registrasi
5’
- Penerimaan di Bale Pangriungan (opening)
15’
- Penjelasan singkat tentang kawasan KBSB
30’
- Pengenalan bangunan adat dan kosmologinya
30’
- Pengenalan pertanian tradisonal Sunda
45’
- Marak lauk, bangkong dan belut
60’
- Istirahat
30’
Budaya-Sejarah-
- Napak tilas ke situs dan potensi alam
180’
Sosial
- Pertujukan kesenian Sunda
60’
- Penutupan (closing)
15’
- Parkir kendaraan
10’
- Mendapat informasi
10’
- Registrasi
5’
- Penerimaan di Bale Pangriungan (opening)
15’
(one day visit) Inti dan Penyangga
Dua hari satu malam
Penerimaan dan pelayanan
Hari pertama
(home staying)
Inti dan Penyangga
- Opening art - Penjelasan tentang kawasan KBSB
20’
- Pengenalan pertanian tradisonal Sunda
30’
- Marak lauk, bangkong dan belut
45’
171
Hari kedua
Inti dan Penyangga
Satu hari (one day visit)
Penerimaan dan pelayanan
- Ngangon itik dan numpak munding
45’
- Istirahat
60’
- Pengenalan bangunan adat dan kosmologinya
60’
- Pengenalan permainan tradisional Sunda
60’
- Istirahat
60’
- Pengenalan permainan tradisional Sunda
30’
- Pengenalan aktivitas tradisional Sunda
60’
- Istirahat
90’
- Pertujukan kesenian Sunda
60’
- Penutupan (farewell)
120’
- Persiapan
30’
- Morning exercise
30’
- Napak tilas situs bersejarah
180’
- Istirahat
30’
- Napak tilas situs bersejarah (lanjutan)
150’
- Istirahat
30’
- Pengenalan aktivitas sosial
45’
- Closing art
30’
- Penutupan (farewell)
15’
- Parkir kendaraan
10’
- Mendapat informasi
10’
- Registrasi
5’
172
- Penerimaan di Bale Pangriungan (opening)
15’
- Penjelasan singkat tentang kawasan KBSB
30’
- Pengenalan bangunan adat dan kosmologinya
30’
- Pengenalan pertanian tradisonal Sunda
45’
- Marak lauk, bangkong dan belut
60’
Budaya-Alam-
- Istirahat
30’
Sosial
- Napak tilas ke situs dan potensi alam
180’
- Pertujukan kesenian Sunda
60’
- Penutupan (closing)
15’
- Parkir kendaraan
10’
- Mendapat informasi
10’
- Registrasi
5’
- Penerimaan di Bale Pangriungan (opening)
15’
- Opening art
20’
- Penjelasan tentang kawasan KBSB
30’
- Pengenalan pertanian tradisonal Sunda
45’
- Marak lauk, bangkong dan belut
45’
- Ngangon itik dan numpak munding
60’
- Istirahat
60’
- Pengenalan bangunan adat dan kosmologinya
60’
- Pengenalan permainan tradisional Sunda
60’
- Istirahat
30’
Inti dan Penyangga
Dua hari satu malam
Penerimaan dan pelayanan
Hari pertama
(home staying) Inti dan Penyangga
173
- Pengenalan permainan tradisional Sunda
60’
- Pengenalan aktivitas tradisional Sunda
90’
- Istirahat
60’
- Pertujukan kesenian Sunda
120’
- Penutupan (farewell)
Hari kedua
Inti dan Penyangga
- Persiapan
30’
- Morning exercise
30’
- Napak tilas situs dan potensi alam
180’
- Istirahat
30’
- Fieldtrip ke potensi alam (lanjutan)
150’
- Istirahat
30’
- Pengenalan aktivitas sosial
45’
- Closing art
30’
- Penutupan (farewell)
15’
Keterangan: lama waktu kunjungan wisatawan sembilan jam (paket sehari/one day visit) dan 33 jam (paket dua hari satu malam/home staying)
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang telah banyak berkontribusi positif terhadap pelestarian dan pengembangan nilai budaya Sunda. Kampung Budaya Sindang Barang dibangun sebagai upaya revitalisasi nilai sejarah dan budaya masyarakat Sunda di kawasan Sindang Barang dan pembangunan fisik kawasan sebagai refleksi dari kampung tradisional Sunda khas Sindang Barang Kabupaten Bogor tempo dulu melalui upaya pelestarian periode setting, replikasi dan imitasi kawasan. Kampung budaya tersebut memiliki beragam keunikan dan kekhasan sejarah, budaya serta sosial yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek dan daya tarik wisata andalan. Dalam upaya pengembangan tapak sebagai kawasan wisata budaya andalan dan
peningkatan
pelayanan
untuk
kepuasan
wisatawan
serta
peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat perlu dilakukan perencanaan lanskap yang terpadu. Penataan lanskap dilakukan pada aspek tata ruang, aksesibilitas dan sirkulasi, operasional dan fasilitas, jalur wisata serta tata hijau. Pembagian ruang (zonasi) diarahkan untuk menjaga kelestarian dari nilai sejarah dan budaya yang ada di kawasan Kampung Budaya Sindang Barang serta disesuaikan dengan kebutuhan wisata. Dengan demikian ruang dibagi menjadi tiga ruang, yaitu ruang inti, penyangga dan pengembangan yang dibedakan berdasarkan fungsi, obyek dan daya tarik serta aktivitas wisata. Sebagai akses dan penghubung antar ruang, dibuat jalur sirkulasi dan aksesibilitas yang berorientasi pada pencapaian seluruh obyek dan daya tarik wisata yang ada pada tapak. Dengan konsep tersebut wisatawan dapat menikmati, mengamati dan memvisualisasikan seluruh obyek dan daya tarik wisata secara utuh (unity), berurutan (sequence) dan terkait satu sama lain (connected). Secara umum pengembangan akses dan sirkulasi akan dibagi dalam dua bentuk sirkulasi, yaitu bentuk sekuensial (looping) dan eksplorasi (dispersing).
175
Adapun dalam pengembangannya, zonasi ruang dan jalur sirkulasi serta aksesibilitas yang dibuat dijadikan dasar dalam perencanaan operasional dan fasilitas, jalur wisata serta tata hijau pada tapak. Perencanaan operasional dan fasilitas didasarkan pada penyesuaian obyek dan daya tarik wisata dengan kondisi fisik kawasan dan permintaan (demand) dari wisatawan. Begitu pula dengan perencanaan jalur wisata yang didasarkan pada penyesuaian obyek dan daya tarik wisata didasarkan pada penyesuaian ragam obyek dan daya tarik wisata dengan sistem sirkulasi dan aksesibilitas yang dibuat. Disamping itu untuk pengembangan rencana tata hijau, direncanakan pembagian ruang (zonasi) ke dalam dua zona inti yaitu zona pengembangan dan zona hijauan. Zona hijauan (greenery zone) dikembangkan lagi menjadi lima sub zona yaitu zona tanaman pangan, tanaman palawijaya, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan campuran dan tanaman kayu. Perencanaan zona pengembangan (development zone) diarahkan untuk pengembangan lahan terbangun yang menunjang aktivitas kepariwisataan pada tapak. Adapun untuk zona hijauan (greenery zone) diarahkan untuk preservasi dan konservasi kawasan hijau sebagai upaya menjaga kestabilan ekosistem pada tapak dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dari sektor pertanian. Karena dirasa pentingnya perencanaan tersebut, maka perencanaan dan pengembangan lanskap pada kawasan Kampung Budaya Sindang Barang sebagai kawasan wisata budaya andalan perlu dilakukan. Dengan demikian perencanaan dan pengembangan lanskap yang terpadu dapat melestarikan nilai sejarah dan budaya pada tapak, menjaga kelestarian lingkungan, meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat, meningkatkan kepuasan wisatawan dan menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah.
176
6.2. Saran Berikut merupakan saran-saran yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi pengembangan kawasan usaha kepariwisataan pada tapak. 1. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan perencanaan lebih detail yang dilanjutkan pada perancangan kawasan dengan tetap berorientasi pada pencapaian tujuan sebagai kawasan wisata budaya andalan. 2. Dalam aspek organisasi perlu dilakukan pembenahan secara internal, pemberian perhatian khusus kepada pengelola SDM, pengembangan manajemen yang didasarkan pada kerja sama tim, peningkatan manajemen dengan menghadirkan tenaga ahli kepariwisataan, peningkatan kualitas produk dengan kreasi dan inovasi produk serta penyusunan strategi pemasaran dan promosi yang baik. 3. Dalam aspek pengelolaan dan pengembangan perlu dilakukan pembenahan sarana dan prasarana dalam hal aksesibilas, fasilitas komunikasi serta fasilitas wisata lainnya yang menunjang kegiatan kepariwisataan. 4. Perlu adanya pelibatan secara aktif baik dari pemerintah maupun swasta dalam bersama-sama mengembangkan kawasan Kampung Budaya Sindang Barang sebagai kawasan wisata budaya andalan. 5. Tetap menjaga dan mempertahankan nilai sejarah dan budaya yang agung untuk kelesatarian khasanah budaya daerah (Sunda) dan budaya nasional.
DAFTAR PUSTAKA [Bappeda]. 2004. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Usaha Pariwisata. Pemda Kab. Bogor. [Bappeda]. 2005. Rancangan Rencana Pembangunan Jangkan Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. Pemda Kab. Bogor. Bodgan, R. dan Taylor, J. S. Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian. Affandi, K. penerjmah. Surabaya: Usaha Nasional. Terjemahan dari Qualitative. Daniel, M. 2005. Partisipatory Rural Appraisal. Jakarta: PT Bumi Aksara. Darsoprajitno S. 2002. Ekologi Pariwisata: Tata Laksana Pengelolaan Obyek dan Daya Tarik Wisata. Bandung: Angkasa. [Depdikbud]. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. [Disparbud]. 2008. Data Kunjungan Wisatawan ke Kawasan Wisata di Kab. Bogor. Pemda Kab. Bogor _____. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Direktorat Jenderal Pengembangan Produk Pariwisata. 2001. Pedoman Obyek dan Daya Tarik Wisata Andalan. Djatisunda, A. 2008. Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuna Menurut Berita Pantun dan Babad. Disampaikan pada Gotra Sawala (Seminar) Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang 19-20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang Kabupaten Bogor. Gold, S. M. Recreation Planning and Design. New York: McGraw-Hill Book Co. Gunn, C. A. 1994. Tourism Planning, Basics, Concepts, Cases. USA: Taylor and Francis. Hardjowigeno dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan
dan
Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Keksi, R. 2002. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Kampung Sade, di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lunberg, Donald E dkk. 1997. Ekonomi Pariwisata. Jakarta: Gramedia Marpaung, H. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung: Alfabeta.
178
Mauladi, R. 2006. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya di Kampung Senaru, Kecamatan Bayan, Pulau Lombok. Skripsi. Sarjana
Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor. Nuraini, R. 2008. Marketing. Laporan Praktek Kerja. D 3 Bidang Pariwisata Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Nurisjah, S. Dan Q. Pramukanto. 2001. Perencanaan Kawasan Untuk Pelestarian Lanskap dan Taman Sejarah. Program Studi Arsitektur Pertamanan, Jurusan
Budi
Daya
Pertanian,
Fakultas
Pertanian,
IPB
(tidak
dipublikasikan). Bogor. _____ 2008. Penuntun Praktikum Perencanaan Lanskap. Departemen Arsitektur lasnkap, Fakultas Pertanian, IPB (tidak dipublikasikan). Bogor. _____ 2003. Daya Dukung dalam Perencanaan Tapak. PS. Arsitektur lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. (tidak dipublisikan). Bogor. Patimah dan The Toyota Foundation. 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi ed.1. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. Purnama, S. 2007. Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. Bandung: PT. Cipta Sastra Salura. Simonds, J. O. 1983. Landscape Architecture. McGraw-Hill Book Co., Inc. New York. Soebagjo, R. G. 1996. Anatomi Pariwisata. Jakarta: Gramedia. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Suryabrata, S. 1992. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali. Suwantoro, G. 1997. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Yoeti, Oka A. 2001. Ilmu Pariwisata. Jakarta: Pertja. _____ 2002. Perencanaan Strategi Pemasaran Daerah Tujuan Wisata. Jakarta: PT Pradnya Paramita. _____ 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT. Pradyna Paramita. http://radar-bogor.co.id http://www.kp-sindangbarang.com http://ta-tugasakhir.blogspot.com
LAMPIRAN
180
Tabel 1. Ragam Vegetasi pada Tapak No. 1. 2.
3.
4.
Nama Lokal Pangan (Food Crops) - Padi Palawija (Second Food Crops) - Singkong - Ubi Jalar - Kacang Tanah - Kedelai - Jagung - Talas Hortikultura (Horticultural Crops) - Mentimun - Cabe Besar - Tomat - Terung - Selada - Kangkung - Bayam - Melinjo Kayu (Wood Plants) - Jati - Mahoni - Sengon - Nangka - Kelapa - Albasia
Nama Latin Oryza sativa Manihot esculenta Ipomea batatas L. Arachis hipogea Glicyne max Zea mays Colocasia esculenta
Cucumis sativus Capsicum annum L. Lycopersicum sculentum Solanum melongena L. Lactuca sativa L. Ipomea aquatica Amaranthus spp. Gnetum gnemon Tectona grandis Switenia mahagoni Paraserianthes f. Artocarpus integra Cocos nucifera Albizia falcate
No. 5.
Hias (Flora) - Lidah Buaya - Rumput Gajah - Aerva - Aglonema - Kucai - Lili Paris - Serai Wangi - Simbang Darah - Lantana - Cendrawasih - Spatipilum - Tapak Dara - Seruni Rambat - Pacar Cina - Kana - Walisongo - Bunga Tahi Kotok - Bambu Jepang - Kembang Sepatu - Honje - Puring - Hanjuang - Loli Pop - Bunga Merak - Paku Tiang - Daun Kupu-Kupu - Sapu Tangan - Pohon Sukun - Melati Air
No. 6. Aloe vera Axonopus compressus Aerva sanguinulenta Agloanema sp. Carex marrowii Chlorophytum comosum Cymbopogon nardus Iresine herbastii Lantana camara Phyllantus nuriri Sphatypyllum c. Vinca rosea Widelia biflora Ardisia crenata Canna sp. Schefflera sp. Tagetes patula Arundinaria pumila Hibiscus sp. Nicolia sp. Codiaeum sp. Cordyline sp. Pachystachys lutea Caesalpinia pulcherrima Dicksonia squarrosa Bauhinia blakeana Maniltoa grandiflora Artocarpus communis Echinodorus sp.
Nama Lokal Perkebunan Campur (Plantation Crops) - Belimbing - Alpukat - Durian - Jambu Biji - Jambu Air - Mangga - Jeruk - Manggis - Nangka - Rambutan - Nanas - Pepaya - Kapuk Randu - Kelapa Gading - Pisang - Sawo - Sawo Kecik - Pinang - Kirai/Sagu - Lengkeng - Dukuh - Lengkeng - Salak - Kelapa - Karet - Kopi
Nama Latin
Averrhoa blimbi L. Persea americana Durio zibethinus Psidium guajava Syzygium guajava Mangifera indica Citrus grandis Garcinia mangostana Artocarpus integra Nephellium lappaceum Ananas comosus Carica papaya Ceiba pentandra Cocos nucifera capitata Musa sapientum L. Achras zapota Manikara kauki Areca catechu Metroxylon sagu Euphorbia longana Lansium domesticum Nephellium longanum Salacca magnifica Cocos nucifera Havea brasiliensis Coffea sp.
181
Tabel 2. Sebaran Situs Bersejarah Sindang Barang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51.
Nama Situs Batu Congklak Batu Bergores Batu Kursi Dukuh Menteng Batu Bergores Dukuh Menteng Sindang Barang 1 Punden Cibangke Punden Dukuh Menteng Batu Temu Gelar Pasir Keramat Batu Bergores Batu Karut 1 Batu Bergores Batu Karut 2 Batu Kursi Batu Karut Punden pasir keramat Punden Batu Karut Temu Gelang Batu Karut Batu Dakon Leuweung Kramat 1 Batu Bergores Leuweung Kramat 1 Temu Gelang Sawah Lega Batu Segi Tiga Leuweung Kramat 3 Punden Surawisesa Batu Ki Majusi 2 Batu Meja Batu Tapak Sg.Cipamali Batu Kursi Mbah Gabuk Punden Sindang Barang 3 Punden Ki Majusi 2 Cineng Cipamali Cikubang Cimaeja Cimalipah Ciputri Sumur Jala Tunda Makam Ki Majusi 1 Makam H.Ali Makam Ki Muewalih/Mbah Cemplang Makam Paranggong Jaya Makam Keluarga Pupuhu Cieureun Menhir Sindang Barang 3 Taman Sri Bagenda Pohon Paku Jajar Batu Bolong Kabandungan Makam Mbah Dalem Temu Gelang Kodok Budug Punden Hunyur Cikareo Batu Bangkong Batu Cikolawing Tugu Cikolawing
Jenis Batu Batu Batu Batu Menhir Punden Berundak Punden Berundak Batu Batu Batu Batu Punden Berundak Punden Berundak Menhir Batu Batu Batu Batu Punden Berundak Punden Berundak Batu Batu Batu Batu Punden Berundak Punden Berundak Mata Air Mata Air Mata Air Mata Air Mata Air Mata Air Mata Air Makam Makam Makam Makam Makam Menhir Menhir Kolam Pohon Batu Menhir Makam Batu Batu Punden Berundak Batu Batu Batu
Lokasi Kp. Dukuh Menteng Kp. Dukuh Menteng Kp. Dukuh Menteng Kp. Dukuh Menteng Kp. Dukuh Menteng Kp. Dukuh Menteng Kp. Dukuh Menteng Kp. Batu Karut Kp. Batu Karut Kp. Batu Karut Kp. Batu Karut Kp. Batu Karut Kp. Batu Karut Kp. Batu Karut Kp. Sawah Lega Kp. Sawah Lega Kp. Sawah Lega Kp. Sawah Lega Kp. Sawah Lega Kp. Sawah Lega Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Kp. Sindang Barang Ds. Sirnagalih Ds. Sirnagalih Ds. Sirnagalih Ds. Parakan Ds. Parakan Ds. Parakan Kp. Cikolawing Kp. Cikolawing Kp. Cikolawing
182
52. 53. 54. 55. 56. 57.
Punden Cilegok 1 Batu Kursi Cilegok Batu Lisung Batu Tapak Batu Congklak Batu Congklak Laladon
Punden Berundak Batu Batu Batu Batu Batu
Kp. Cilegok Kp. Cilegok Kp. Cilegok Ds. Sukaresmi Ds. Sukaresmi Ds. Laladon
183
Tabel 3. Paket Wisata Kampung Budaya Sindang Barang Keterangan Fasilitas Akomodasi
Paket Nyaba Kampung Adat Bale Pangriungan (Aula) Penginapan 3 hari 2 malam Makan 6 kali/orang Transportasi (tiket)
Aktivitas
Pertunjukan kesenian tradisional Sunda, marak lauk, pengenalan rumah adat, tracking ke situs purbakal, touring of village, kunjungan ke Kp. Adat Ciptamulya, Gong Home, dan kebun Duren.
Biaya
Rp.800.000,00/pax min.5 pax (kurang dari 5 pax +15%
Paket Ngalanglang di Bogor Bale pangriungan (Aula) Penginapan 2 hari 1 malam Makan 3 kali/orang Transportasi, tour, dan arung jeram (asuransi) Pertunjukan kesenian tradisional Sunda, touring ke Agrowisata tamansari, Gong Home, Bogor Art Craft Center, dan lokasi Arung Jeram
Rp.400.000,00/pax min.8 orang
Paket Wisata Paket Mulih ka Lembur Bale pangriungan (Aula) Penginapan 2 hari 1 malam Makan 3 kali/orang Pengenalan bangunan adat dan kosmologinya, marak lauk, bermain di sungai Ciapus, pertunjukan kesenian tradisional Sunda, tracking ke situs purbakala, pengenalan pertanian tradisonal Sunda. Rp.150.000,00/pax min.30 pax (kurang dari 30 pax +15%
Paket Mulih ka Lembur (1 hari) Bale pangriungan (Aula) -
Paket Outing Bale pangriungan (Aula) -
Pengenalan sejarah, pengenalan bangunan adat dan kosmologinya, pengenalan pertanian tradisonal Sunda, napak tilas ke situs purbakala, marak lauk, dan pertunjukan kesenian tradisional Sunda
Pertunjukan kesenian tradisional Sunda, marak lauk, bermain di sungai Ciapus, tracking ke situs purbakala, outbond, dan flying fox.
Pelajar/mahasiswa Rp.30.000,00/pax min.60 pax Umum/domestik Rp.50.000,00/pax min.30 pax Wisman Rp.75.000,00/pax min.30 pax
Rp.225.000,00/pax min.30 pax (kurang dari 30 pax +15%
184
Tabel 4. Ragam Aktivitas di Kampung Budaya Sindang Barang No. 1
Jenis Aktivitas Aktivitas Seni: a. Reog
Deskripsi Kesenian yang terdiri dari empat orang dengan satu pemimpin. Menggunakan alat musik dog-dog dan menampilkan tarian, nyanyian..
b. Tari Jaipong atau Tari Merak
Kesenian berupa tarian yang ditampilkan secara solo maupun grup (rampak) dan diiringi musik Degung.
c. Pengenalan Alat Musik
Beberapa alat musik tradisional Sunda seperti Angklung, Calung, Dog-Dog, Saron, Goong, Kendang, dan sebagainya.
Ilustrasi
185
2
Aktivitas Tani: a. Nandur Pare
Aktivitas menanam padi di sawah
b. Ngahuma
Aktivitas menanam padi di ladang
c. Nutu Pare
Aktivitas menumbuk padi di lisung
186
d. Pawon
3
Aktivitas Air: a. Marak Lauk
b. Mapay Walungan
Aktivitas di dalam dapur, mengenal peralatan dan cara memasak tradisional Sunda
Aktivitas di dalam kolam untuk menangkap ikan dan hasilnya menjadi milik wisatawan
Aktivitas menyusuri dan bermain di sungai Ciapus dengan daya tarik Sungai yang dipenuhi oleh bebatuan dan air yang jernih
187
4
Aktivitas Sejarah: Napak Tilas
Aktivitas mengunjungi beberapa situs bersejarah yang ada di kawasan Sindang Barang
5
Outbond dan Flying Fox
Aktivitas menguji ketangkasan, kreativitas, dan game building.
188
Tabel 5. Data Obyek dan Daya Tarik Wisata Kab. Bogor No. 1
Jenis Wisata Wisata Alam
No. Lokasi 15 15 15 15 14 7 8 7 9 9 9 9 9 9 3 13 13
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Nama Lokasi Telaga Warna Curug Cilember Curug Kembar Curug Cisuren Curug Panjang Curug Nangka Curug Luhur Indah Bumi Perkemahan Sukamantri Curug Cigamea Curug Seribu Curug Ngumpet Bumi perkemahan Gunung Bunder Eko wisata Kawah Ratu Curug Cihurang Goa Gudawang Kawah Hitam Curug Luhur Perhutani
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Obyek Danau dan hutan tropis Air terjun Air terjun Air terjun Air terjun Air terjun Air terjun Kawasan perkemahan Air terjun Air terjun Air terjun Kawasan perkemahan Kawah gunung merapi Air terjun Goa alam Kawah gunung merapi Air terjun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Daya Tarik Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami Ekosistem alami
2
Wisata Budaya
5 5 7 1 18
1. 2. 3. 4. 5.
Museum Pasir Angin Situs Batu Tulis Ciaruteun Kampung Budaya Sindang Barang Kampung Adat Urug Museum Mobil dan Keramik Sentul
1. 2. 3. 4. 5.
Benda cagar budaya Benda cagar budaya Kawasan tradisional kampung Sunda Kawasan t adat Sunda Etalase jenis mobil dan keramik
1. 2. 3. 4. 5.
Nilai sejarah dan budaya Nilai sejarah dan budaya Nilai sejarah dan budaya Nilai sejarah dan budaya Nilai budaya dan pendidikan
3
Wisata Khusus
15 15 15 10 10 15 12 11 15
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Taman Safari Indonesia Wisata Agro Gunung Mas Taman Wisata Riung Gunung Taman Rekreasi Lido Wana Wisata Bodogol Taman Melrimba Wisata Agro Kapol Wana Wisata Pancawati Wana Wisata Citamian
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Satwa dan Vegetasi Tropis Perkebunan Teh Perkebunan Teh Taman rekreasi Taman rekreasi Taman rekreasi Perkebunan Taman rekreasi Taman rekreasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pertunjukan satwa liar Good view, teawalk Good view, teawalk, Rekreasi keluarga Rekreasi alam Rekreasi keluarga Goodview, edutourism Rekreasi keluarga Rekreasi keluarga
189
12 15 12 9 6 2 18 13 13 13 19 16 17 17
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Warso Farm Taman Wisata Matahari Desa Kampung Bambu Air panas Gunung Salak Endah Kampung Wisata Cinangneng Air Panas Tirta Sanita Kebun Wisata Pasir Mukti Taman Wisata Alam Gunung Pancar Air Panas Gunung Pancar Air Panas Giri Tirta Taman Buah Mekarsari Wana Wisata Giri Jaya Wana Wisata Cipamingkis Wana Wisata Pulo Cangkir
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Agrowisata Taman rekreasi Taman rekreasi Pemandian air panas Taman rekreasi Taman rekreasi Agrowisata Taman rekreasi Pemandian air panas Pemandian air panas Agrowisata Taman rekreasi Taman rekreasi Taman rekreasi
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Rekreasi keluarga Rekreasi keluarga Rekreasi keluarga Rekreasi keluarga Rekreasi keluarga Rekreasi keluarga Rekreasi keluarga Rekreasi alam Rekreasi keluarga Rekreasi keluarga Rekreasi keluarga Penangkaran rusa Rekreasi keluarga Rekreasi keluarga
190
Tabel 6. Daftar Kunjungan Wisatawan KBSB Bulan Juni 2008
Juli Agustus
September Oktober November Desember
Januari 2009 Februari Maret
Jumlah 60 279 100 40 70 70 70 60 75 17 434 43 85 15 40 0 150 100 50 45 25 243 40 34 67 120 100 41 20 156 20 7 5
Total
689 135
634 0 250 50
353 101 261
Keterangan Tk Ar Rifai Bogor SD Polisi 5 Bogor SD Otista Bogor SD Zulfanur Bogor SD Cileubut Bogor SMA 1 Tangerang MOKA Disbudpar Bogor Fakultas Psikologi UI SMA 7 Bogor Dosen UI SD Gunung Batu Yayasan Dimandiri Umum Mahasiswa UI UPTD Tamansari SMA Wijaya Jurusan Bahasa Korea UI Siswa Regina Pacis Bogor Mutiara Montessary School Mahasiswa Arkeologi UI SD Panaragan 2 Bogor SMP Al Ghozaly SMA 2 Cibinong Bogor SMP Global Telkom UNER 2 JKT SMP Madania SMA 9 Bogor PGTKA Bogor SMP 19 Bogor SMK PGRI Umum Umum
Bulan
April
Mei
Jumlah 11 40 30 212 25 200 100 200 40 120 50 60 10 10 6 74 35 75 5 20 10 58 10 100 437 12 10 45 170 200 66 107 60
Total
1.001
515
Keterangan Umum SLB Al Irsyad SMA 1 Bogor SMA Mutiara JKT SD Bojong Gede SD Panaragan 3 Bogor STP Sahid JKT SD Regina Pacis Bogor SMA 3 Bogor SMP Madania Bogor SMP Marsudirini Bogor SD Polisi 4 Bogor Umum Mahasiswa UI Umum Sekolah Melati Indonesia Bee Paradise SMA 70 Jakarta Keluarga SMK Kimia Analisis Babacak Mutiara Montessory Umum TK Granada SDI Al-Suqro Umum Umum TK Darul Qur’an Puspa Indah Wisata Indosat SD Sindang Barang SDI Chikal Harapan Umum
191
5 90 55 60 50 10 75 80 46 200
Juni
1179
Umum SMA Muhammadiyah DVL SMK Pondok Labu RAPI Umum TK. Agri Ananda SD. Bina Insani SD. Al Ghazali SD Ciomas 1
Kelompok Usia (tahun) 5-12
JABODETABEK
Sekolah Menengah
12-18
JABODETABEK
Sekolah Tinggi
18-30
JABODETABEK
Sekolah Dasar
Umum Total
>18
Domisili
Dalam dan luar JABODETABEK Serta Mancanegara
34 80 37 66 24 133 34 30 50 TOTAL
1.280 6.448
Karakteristik Pengunjung Tujuan Mengikuti mata pelajaran Mulok, outbond, perpisahan kelas, wisuda sekolah, dsb. Mengikuti mata pelajaran Mulok, outbond, perpisahan kelas, rekreasi, dsb. Tugas kuliah (MK. Arkeologi, Pariwisata, Arsitektur Lanskap, dsb.), rekreasi, dsb. Reuni, acara keluarga, arisan keluarga, rapat organisasi, seminar, pelatihan, rekreasi, dsb.
MOKA Kab.Bogor SDIT Aliya SD Cibalagung TK Nurul Fallak SMA 1 Tangerang SDIT Al Yasmin SMA 1 Cibinong Ericsson TK Al Islam Wisatawan dalam Setahun
Waktu Wisata Masa Aktif Sekolah
Jumlah (jiwa) 3.397
Masa Aktif Sekolah
1.611
Masa Aktif Kuliah
467
Fleksibel
973 6.448