ETIKA Oleh Sofwan Dahlan INTRODUKSI Etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethokos’ atau bahasa Latin ‘ethicus’, yang artinya adat kebiasaan. Makna terminologiknya, menurut Catalano, adalah sebuah sistem penilaian terhadap prilaku dan keyakinan untuk menentukan perbuatan yang pantas guna menjamin adanya perlindungan atas hak-hak individu. Didalamnya mencakup cara-cara pembuatan keputusan untuk membantu membedakan perbuatan yang baik dari yang buruk serta untuk mengarahkan yang seharusnya. Ia berlaku bagi individu-individu, komunitas-komunitas kecil dan masyarakat. Menurut
Franz
Magnis
Suseno,
etika
merupakan
filsafah
yang
merefleksikan ajaran moral. Didalamnya mengandung pemikiran rasional, kritis, mendasar, sistematis dan normatif. Ia merupakan sarana guna memperoleh orientasi
kritis
sehubungan
dengan
berbagai
masalah
moralitas
yang
membingungkan. Sedangkan menurut Gene Bloker, etika merupakan cabang ilmu filsafah moral yang mencoba mencari jawaban guna menentukan dan mempertahankan secara rasional teori yang berlaku umum tentang apa yang benar dan yang salah serta apa yang baik dan yang buruk sebagai sebuah perangkat prinsip moral yang dapat digunakan untuk pedoman bagi prilaku manusia. Selain ketiga definisi diatas masih banyak lagi yang dikemukakan oleh para ahli (etisis) berdasarkan perspektifnya masing-masing sehingga ada banyak definisi yang berbeda pengungkapannya, namun kesemuanya mengandung esensi yang sama. Wilayah studi etika mencakup etika normatif (normative ethics) dan etika nonnormatif (nonnormative ethics). Etika nonnormatif juga dibagi menjadi dua, yaitu etika diskriptif (discriptive ethics) dan etika kritikal (critical ethics atau metaethics).
1
Etika normatif membahas tentang sejauh mana suatu prilaku dianggap benar (pantas) atau salah (tidak pantas) secara moral serta memberikan alasannya. Etika diskriptif mengkaji pengetahuan empiris berkaitan dengan prilaku dan keyakinan dari sisi moral. Ia tidak mengkaji tentang apa yang seharusnya diperbuat manusia melainkan tentang apa perbuatan dan alasannya. Sementara etika kritikal (metaethics) membahas analisis suatu ungkapan (language), konsep, pemikiran, dan objek etika. Ia mengkaji misalnya tentang makna sebenarnya dari terminologi krusial (seperti hak, kewajiban, sifat baik, tanggungjawab dan sebagainya) berdasarkan logika, pertimbangan moral dan jastifikasinya. Sebenarnya etika dan moral mempunyai makna asal yang sama, yaitu adat kebiasaan (custom) atau jalan hidup (way of life). Keduanya saling kaitmengkait sehingga orang harus menyinggung moral ketika berbicara tentang etika, dan begitu pula sebaliknya. Namun terminologi etika cenderung merujuk pada kajian tentang prilaku moral (the study of moral conduct), sementara terminologi ‘moral’ lebih merujuk pada perbuatannya itu sendiri (to refer to the conduct itself) yang dikaitkan dengan baik dan buruk atau benar dan salah. Contoh konkritnya, jika dokter berkata bahwa aborsi merupakan perbuatan yang salah (immoral) maka apa yang dibicarakannya itu adalah masalah moral, tetapi jika seorang dokter ahli obstetri-ginekologi menimbangnimbang apakah akan melakukan aborsi atau tidak terhadap pasiennya yang hamil disertai penyakit jantung atau ginjal yang berat maka yang sedang ditimbang-timbang itu adalah masalah etika. Dalam kasus nyata seperti itu maka pandangan moral (yang menyatakan bahwa aborsi itu salah atau immoral) dikritisi, dianalisis secara sistematis dan rasional (logic) guna didapatkan jastifikasinya. Jadi moral membahas tentang benar dan salah sesuatu perbuatan dari aspek yang paling dalam (filosofis), sementara etika mengkaji tentang baik dan buruk atau pantas dan tidaknya sesuatu perbuatan untuk dilakukan berdasarkan analisis yang rasional dan kritis terhadap pandangan moralnya.
2
Joseph Fletcher sendiri juga membedakan antara moral dari etika. Beliau menyatakan bahwa “morality is what people do in fact believe to be right and good, while ethics is a critical reflection about morality and the rational analysis of it”. Dalam setiap pembahasan masalah etika tentunya kedua terminologi tersebut (dan terminologi-terminologi terkait lainnya) harus benar-benar difahami maknanya agar tidak mendapat kesulitan di belakang hari. Pesan George Barkeley dari Edinburgh pada abad XVIII ialah, agar jangan mengaburkan kata dan bahasa karena hal itu sama saja artinya dengan menaburkan debu didepan mata sehingga dikemudian hari tidak dapat lagi melihat sesuatu didepannya dengan jelas. SEJARAH ETIKA Auguste Comte, seorang filosof kondang pencetus aliran positivisme dari Perancis, pernah berkata: “You can know little of any idea, untill you know the history of that idea”. Atas dasar itulah maka orang harus mempelajari lebih dahulu sejarah timbulnya sesuatu ide, termasuk etika, jika ingin memahami lebih banyak tentang ide tersebut. Dilihat dari sejarahnya, etika memang tidak dapat dipisahkan dari filsafah sebab ia tumbuh dan berkembang dari serta berakar pada filsafah (yaitu ilmu yang mencoba mencari jawaban tentang berbagai masalah kehidupan beserta alam semesta dari aspek yang paling dasar atau hakiki). Oleh sebab itu tidaklah salah apabila orang kemudian menyebut etika sebagai bagian dari filsafah atau tepatnya filsafah moral. Perlu disadari bahwa ilmu-ilmu yang ada dimuka bumi ini pada awalnya dipelajari dengan menggunakan pendekatan filsafati, atau dengan kata lain, segala macam ilmu yang ada (termasuk ilmu-ilmu khusus) menginduk pada filsafah. Namun dalam perkembangannya beberapa ilmu khusus memisahkan diri menjadi disiplin ilmu tersendiri. Diawali oleh matematika dan fisika yang memisahkan diri pada zaman Renaissance dan kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu khusus lainnya. Meski demikian, filsafah tetap eksis dan bahkan mampu
3
mengembangkan diri sebagai akibat ketidak-mampuan ilmu-ilmu yang telah memisahkan diri itu untuk memecahkan banyak masalahnya. Wilayah kerja filsafah itu sendiri sekarang mencakup banyak hal; antara lain teologi, metafisika, politik, agama, logika, hukum, sejarah, antropologi, estetika dan juga etika. Khusus mengenai etika, utamanya bioetika, pada akhir-akhir ini mulai mendapatkan perhatian serius oleh para ahli guna menjawab berbagai masalah dan paradok yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagaimana diketahui bahwa dalam kurun waktu lima puluh tahun belakangan ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran begitu pesat, utamanya dalam bidang biologi molekuler yang sudah sampai pada teknologi nano. Dengan kemajuan itu maka banyak penyakit yang dahulunya tidak dikenal samasekali, sekarang sudah dapat diidentifikasi. Sementara penyakit-penyakit yang sudah lama dikenal juga dapat didiagnosis lebih akurat dan lebih dini. Akibatnya lebih banyak gangguan kesehatan dapat diatasi pada saat yang tepat. Alat-alat kedokteran canggih untuk keperluan diagnosis (seperti CT Scan, USG, IMR dan alat-alat imaging lainnya) maupun untuk kepentingan terapi (seperti artificial respirator dan hemodialisa) diproduksi secara besar-besaran, sementara obat-obat baru yang lebih bermutu juga ditemukan. Dampak positifnya adalah tidak terbilang lagi jumlah orang yang dapat dihindarkan dari kematian dini, dipulihkan kesehatannya dan ditingkatkan daya ciptanya untuk kemudian disumbangkan kembali kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Dari satu sisi kemajuan tersebut sangat menggembirakan, namun di sisi lain (utamanya dalam pandangan para filosof) benar-benar mengkhawatirkan dan menakutkan. Masalahnya adalah karena ilmu dan teknologi bukanlah apaapa sampai ilmu dan teknologi tersebut benar-benar bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia serta tidak merusak makna dasar dan nilai-nilai kemanusiaannya. Sebagaimana disinyalir oleh Alvin Toffler dalam bukunya “Future Shock” dan Ivan Illich dalam bukunya “Limit to Medicine”, bahwa
4
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya dapat menjamin bakal tercapainya kesejahteraan umat manusia. Aplikasinya justru acapkali memunculkan berbagai paradok yang dapat menjauhkannya dari tujuan semula. Kenyataannya lagi bahwa kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran sekarang ini benar-benar telah meninggalkan kemampuan etika dan hukum dalam menyelesaikan problem yang ditinggalkan oleh kemajuan tersebut. Menanggapi kenyataan tersebut maka Kunto Wibisono, dalam Seminar Nasional Pertama Bioetika di Yogyakarta Tahun 2000, sempat mengingatkan agar dalam abad positivisme (yang didominasi oleh peran ilmu pengetahuan) masalah
kebenaran
dan
kenyataan
janganlah
diukur
hanya
dari
sisi
positifistiknya saja; sehingga apa yang dianggap benar dan baik haruslah bersifat konkrit, eksak, akurat, dan bermanfaat. Peringatan tersebut disampaikan karena orang tidak lagi memandang penting segala sesuatu yang abstrak karena dianggap tidak ilmiah, sulit diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari dan hanya akan membuang-buang waktu disaat banyak masalah teknis dan praksis berada di hadapan mata dan sedang menunggu untuk segera diselesaikan. Gagasan konseptual-mendasar yang mengandung nilai-nilai filsafati (seperti etika dan moral) juga layak mendapatkan perhatian serius. Intinya adalah bahwa hal-hal mendasar yang bersifat abstrak (seperti kearifan, kejujuran, kepantasan, kepatutan, keadilan dan kebebasan) juga harus difahami dan dihayati dengan sungguh-sungguh. Jika dicermati lebih lanjut maka etika sesungguhnya merupakan masalah yang sifatnya pluralistik sehingga setiap individu boleh saja menyatakan ketidaksetujuan atas apa yang disebut baik dan buruk atau berbudi dan tidak berbudi. Kalaulah orang bisa bersetuju akan sesuatu isu, bisa saja persetujuan tersebut berangkat dari alasan berbeda. Dalam banyak masyarakat, ketidaksetujuan adalah sesuatu hal yang normal. Bagi masyarakat tradisional seringkali dibutuhkan kesepakatan atau tekanan sosial agar orang mau bertindak menurut cara tertentu. Sedangkan untuk masyarakat tertentu, kultur dan agama seringkali memiliki peran dominan dalam menentukan kepantasan sesuatu prilaku (ethical behaviour).
5
Lalu siapa yang seharusnya menentukan keetisan atau kepantasan bagi masyarakat kebanyakan? Untuk masyarakat liberal yang individualistis maka tiap-tiap individu mempunyai kebebasan menentukan sendiri walau bisa saja dipengaruhi oleh famili, teman, agama, media dan sumber-sumber eksternal lainnya. Namun dalam masyarakat tradisional yang memiliki peran menentukan adalah famili, para tetua, pemegang otoritas agama atau pemimpin politik. Walau seperti itu keaneka-ragamannya dalam masyarakat, namun pada umumnya orang bersetuju terhadap prinsip-prinsip fundamental dari etika (fundamental
ethical
principles).
Prinsip-prinsip
fundamental
inilah
yang
kemudian lebih dikenal sebagai hak asasi manusia (the basic of human rights) yang telah dideklarasikan oleh the United Nations Universal Declaration of Human Rights. Dalam kaitannya dengan profesi kedokteran, sungguh ironis sekali sebab sesudah lebih dari 2000 tahun lamanya Hippocrates dan pengikut-pengikut Pythagoras mempublikasikan hasil pemikirannya, barulah profesi ini memiliki sebuah acuan dasar etika yang dapat digunakan secara universal, yakni selepas World Medical Association mengeluarkan the WMA Ethics Manual. Acuan tersebut kemudian direspon secara positif oleh berbagai persatuan dokter di berbagai belahan dunia untuk dijadikan acuan dasar dalam menyusun kode etik di negara masing-masing. Bahkan kemudian direkomendasikan untuk dijadikan bagian dari kurikulum pendidikan dokter. Maka sejak saat itu pulalah proses pengembangan the basic teaching on medical ethics dimulai dengan mengacu pada kebijakan dari persatuan dokter sedunia tersebut. Meskipun demikian, pembelajaran etika kedokteran di berbagai fakultas kedokteran di negeri ini masih belum sebagaimana yang diharapkan oleh banyak pihak. Pembelajaran etika masih banyak bertolak dari dan bersumber pada Sumpah Hippocrates dan Kode Etik Profesi belaka serta belum menyentuh halhal mendasar yang menjadi dasar arah paradigmatiknya. Etika dasar, bioetika, etika klinik dan hak-hak asasi manusia yang berkaitan dengan masalah kesehatan belum banyak disentuh, disamping metode pembelajarannyapun
6
belum
menggunakan
pendekatan
merangsang mahasiswa
problem
based
learning
yang
dapat
lebih aktif mengembangkan knowledge, skill, dan
personal moral. Bahkan yang lebih parah lagi, para pengajar matakuliah tersebut hanya ditunjuk berdasarkan siapa yang mau (karena memang belum ada acuannya) meski kadang-kadang diantara mereka secara moral telah kehilangan legitimasi
mengingat
efektifitas
pembelajaran
matakuliah
etika
lebih
membutuhkan tokoh panutan (role model). Banyak pengajar etika yang dari sudut moralitas personalnya dipertanyakan. Tetapi negeri ini tidaklah sendiri sebab negara-negara lain juga mengalami problem yang sama. Penelitian yang dilakukan di Finlandia dan negara-negara kawasan Nordic mengenai pembelajaran bioetika misalnya, membuktikan bahwa: a.
koordinasi dalam lingkup nasional (national coordination) serta rencana strategis nasional (national strategic planning) dalam pembelajaran bioetika masih sangat kurang.
b.
ada kebutuhan mendesak akan tersedianya pengajar berkompeten yang memiliki motivasi.
c.
tidak ada sistem terpadu (organized system) yang dapat dipakai oleh pengajar dalam memberikan matakuliah bioetika.
d.
tidak memiliki bahan ajar yang relevan dan teruji (relevant and tested materials), termasuk buku-buku teks dalam bahasa Finlandia.
e.
terdapat kebingungan menyangkut metode yang paling baik untuk pembelajaran bioetika.
f.
penelitian mengenai pengaruh pembelajaran bioetika terhadap prilaku anak didik masih sangat kurang.
g.
belum ada ketentuan baku mengenai siapa sebenarnya yang berkompeten dan berwenang, baik lokal maupun nasional, untuk mengampu matakuliah bioetika. Apa yang dialami oleh negara-negara kawasan Nordic sama seperti apa
yang berlaku di Indonesia. Maka janganlah heran apabila banyak profesional (seperti dokter, perawat dan bidan) tidak banyak faham tentang banyak hal dan
7
aspek yang berkaitan dengan etika. Bahkan pemahaman mengenai berbagai terminologi di bidang etika (seperti basic ethics, human rights, professional ethics, medical ethics, clinical ethics atau bioethics) sangat memprihatinkan dan kacau balau karena tidak diajarkan oleh pengajar yang berkompeten. PERLUNYA ETIKA DALAM KEHIDUPAN Berbeda dari makhluk lain maka manusia merupakan makhluk sempurna yang memiliki kebutuhan; terdiri dari kebutuhan fisik (physical demands), kebutuhan psikologi dan sosial (psychological and social demands) serta kebutuhan intelektual dan spiritual (intellectual and spiritual demands). Dalam rangka memenuhi kebutuhan itulah maka manusia perlu membuat keputusan sebelum mulai melakukan perbuatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh sebab itu setiap manusia, dalam hidupnya, akan selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan, yang pada hakekatnya merupakan pilihan moral (moral choices). Sebagian dari pilihan tersebut barangkali
saja tidak terlalu
penting sehingga tidak memerlukan pertimbangan serius, namun sebagiannya lagi pastilah penting karena dapat mempengaruhi integritas. Beruntung sekali bahwa manusia dianugerahi perasaan dan akal yang dapat digunakan untuk merasakan dan menimbang-nimbang apakah keputusan dan pelaksanaan keputusannya dapat merusak reputasinya sendiri sebagai manusia beradab dan bermartabat. Di sisi lain manusia juga harus hidup dan berinteraksi dengan individu lain dalam masyarakat. Dalam berinteraksi itulah maka manusia juga harus membuat keputusan sebelum memulai tindakannya yang bisa mempengaruhi individu diluar dirinya dan masyarakat. Mengingat individu dan masyarakat juga memiliki hak
dan
kebutuhan
maka
keputusan
dan
perbuatan
manusia
harus
dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh agar tidak menciderai individual rights dan individual interests serta social rights dan social interests. Untuk itulah diperlukan landasan moral dan etika agar mampu menetapkan dan meletakkan garis keseimbangan yang pantas antara individual rights dengan social rights dan antara individual interests dengan social interests.
8
Pendek kata, sebagai manusia yang hidup dengan individu-individu lain harus bisa berprilaku etis (etika individual) dan sebagai bagian dari masyarakat juga harus mampu berprilaku etis dengan masyarakat (etika sosial). Harapan setiap anggota masyarakat tentunya agar proses interaksi dapat berlangsung harmonis, tertib, damai, saling menyayangi dan menghargai serta saling menghormati. Untuk mewujudkan tujuan itulah perlu dibuat pengertianpengertian, prinsip-prinsip dan kesepakatan-kesepakatan. Mengingat moral merupakan acuan dasar bagi pembentukan kaidah kehidupan (baik etika maupun hukum) maka moral tidak dapat dipisahkan dari ruang-lingkup kehidupan umat manusia. Namun moral itu sendiri dalam perjalanan sejarahnya juga mengalami evolusi dan perkembangan. Perlunya dibuat kesepakatan karena menurut Jurgen Habermas, pelopor etika diskursus, bahwa hanya terhadap norma moral yang telah disepakati saja yang dapat berlaku universal serta berhak menuntut untuk dipatuhi. Barangkali karena alasan itulah maka Unesco, dalam merancang standar universal (dalam bidang bioetik misalnya) merasa perlu membuat kesepakatan menyangkut halhal penting sesudah berkonsultasi dengan negara-negara anggota, organisasiorganisasi internasional dan agama-agama besar. Jangan pernah dilupakan bahwa dalam masyarakat sebetulnya sudah ada banyak sekali kesepakatan yang secara tidak tersadari telah tertanam dalam bentuk tradisi dan kebiasaan. Tidak ada satupun masyarakat di dunia ini (mulai dari zaman primitif sampai sekarang) yang tidak memiliki tradisi, kebiasaan, aturan dan bahkan kode etik. Mengingat kehidupan terus berkembang dan berubah maka moralitas juga mengalami perkembangan dan evolusi. Oleh sebab itu pelaksanaan moral (moral practices) dan standar moral (moral standards) juga mengalami perubahan sesuai tingkat perkembangan sosial, intelegensia secara umum serta tingkat pengetahuan masyarakat. Jadi etika diperlukan dalam kehidupan karena ia merupakan
kaidah,
dalam bentuk standar dan kode etik (a set of moral standards and a code for behavior) yang akan membimbing manusia dalam berinteraksi dengan individu dan masyarakat. Ia membimbing manusia tentang cara membuat keputusan dan
9
membedakan perbuatan yang baik dari yang buruk serta untuk mengarahkan kepada apa yang seharusnya. Sebagai pedang bermata dua maka selain untuk kepentingan manusia diluar dirinya dan masyarakat, etika juga penting bagi diri sendiri. Karena alasan itulah setiap manusia wajib mengaktualisasikan diri sebagai manusia beradab, bermartabat dan berbudi luhur melalui sikap dan prilakunya. Jika melanggar etika yang berlaku maka selain dapat merugikan manusia diluar dirinya dan masyarakat, ia sendiri juga akan mendapatkan stigma sebagai manusia tak bermoral (immoral) serta akan mendapatkan sanksi etika berupa kata, bahasa, ungkapan, isyarat, atau tindakan tertentu (seperti cibiran, cemohan atau pengucilan);
yang
kesemuanya
itu
menggambarkan
ketidaksukaan
komunitasnya. Sanksi hukum juga bisa ditambahkan manakala melakukan pelanggaran etika berat (gross immorality). Dikatakan pelanggaran etika berat manakala melanggar fundamental of ethical principles, atau yang lebih dikenal dengan sebutan hak asasi manusia (the basic of human rights).
LANDASAN ETIKA Sama halnya hukum maka etika juga berpijak pada dasar pijakan moral. Hanya saja etika dihasilkan oleh pemikiran yang lebih luas dan mendalam. Etika (dalam hal ini etika normatif) menghendaki agar setiap manusia menggunakan hati nuraninya untuk melakukan perbuatan yang benar dan baik dan menghindari apa yang buruk dan salah dengan berlandaskan pada nilai moralitas. Hati nurani itu sendiri diartikan sebagai bisikan (inner voice) yang membimbing manusia kearah prilaku baik serta memberi peringatan kepada prilaku salah (yang dapat menimbulkan penyesalan). Otoritas hati nurani itu sendiri sering diperkuat oleh keyakinan agama (Divine Will) yang mendasari prinsip-prinsip moral sehingga hati nurani seseorang memperoleh perintah atau aba-aba. Gagasan hati nurani ini sangat penting bagi pelaksanaan profesi medis maupun keperawatan. Meski kedua profesi ini benar-benar dipisahkan dari
10
institusi keagamaan (utamanya dalam masyarakat barat) namun eksistensi hati nurani tetap diakui. Tentang nilai moralitas, perlu ditegaskan bahwa berangkat dari dasar pijakan moral inilah keetisan sesuatu sikap dan prilaku ditentukan. Dengan kata lain, etika dihasilkan oleh refleksi kritis dan pemikiran analitis yang rasional terhadap moral. Hukum juga berlandaskan pada moral sehingga oleh karena itu Ronald Dworkin menyatakan bahwa prnisip-prinsip moral merupakan landasan bagi pembentukan hukum (moral principles is the foundation of law). MORAL Menurut Catalano, moral diartikan sebagai standar tentang benar dan salah yang dipelajari lewat proses hidup bermasyarakat. Biasanya moral dikaitkan dengan individu-individu atau kelompok-kelompok kecil dan dilandasi oleh keyakinan agama serta diwujudkan sebagai prilaku yang diselaraskan dengan kebiasaan kelompok atau tradisi. Sedangkan menurut Franz Magnis Suseno dan kawan-kawan (1996), ajaran moral memuat nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat diantara sekelompok manusia. Moralitas itu sendiri dapat berasal dari sumber tradisi, adat, agama atau ideologi. Dari kedua definisi tersebut nampak jelas kaitan antara agama dengan moral. Dalam tradisi agama Yahudi misalnya, doktrin ‘ubar yerechimo’ (janin sebagai bagian tubuh perempuan hamil) sangat kuat mempengaruhi moralitas bangsa Yahudi terhadap tindakan aborsi. Demikian pula tradisi agama Katolik tentang aborsi dan Keluarga Berencana yang juga sangat kuat mempengaruhi moralitas umatnya. Maka jangan heran jika dalam banyak diskusi yang bersifat sekulerpun diakui betapa pentingnya pengaruh agama terhadap moral. Bahwa ajaran agama dinilai belum cukup karena agama bersifat wahyu dogmatis sehingga masih diperlukan kajian yang bersifat kritis dan rasional. Pada kenyataannya hasil kajian tersebut (dalam banyak hal) mengindikasikan pembenaran dan penguatan terhadap kebenaran wahyu dogmatis.
11
MUATAN AJARAN MORAL Sebagaimana diutarakan oleh Franz Magnis Suseno dan kawan-kawan pada bagian depan bahwa ajaran moral memuat nilai-nilai dan norma-norma. Oleh karena itu dalam setiap pembicaraan tentang moral, kedua kata tersebut tidak mungkin ditinggalkan. Kalau begitu lalu apa yang disebut nilai dan apa pula norma? Nilai adalah suatu konsep atau keinginan ideal yang memberi arti kepada kehidupan seseorang dan oleh karenanya akan selalu dijadikan motivasi bagi individu yang bersangkutan dalam bertindak (membuat keputusan dan melaksanakan keputusan) guna mencapai apa yang dianggap bernilai. Selain tidak konkrit, nilai juga bersifat subjektif. Ia lebih dilekatkan pada individu, bukan kelompok; yang bisa meliputi kepercayaan agama, orientasi seks, hubungan famili atau aturan permainan. Jika misalnya seseorang memilih agama Islam atau Katolik, atau menjalani hidup sebagai homosek atau heterosek adalah karena pilihan seperti itu bernilai baginya. Dikatakan tidak konkrit karena nilai bukan merupakan fakta yang dapat diobservasi secara empiris dan dikatakan subjektif karena ia mendasari keinginan, harapan, cita-cita dan pertimbangan internal-batiniyah (sadar ataupun tidak) ketika bersikap, bertindak ataupun berprilaku tertentu (Agus Purwadianto, 2000). Akibat pertimbangan internal tersebut maka sesuatu bisa bernilai buat seseorang, tetapi tidak demikian halnya bagi orang lain. Konflik nilai bisa saja muncul manakala seseorang secara terpaksa harus berhadapan dengan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini. Contohnya,
seorang
dokter
kristiani
yang
karena
ajaran
agamanya
mengharamkan aborsi, boleh jadi akan mengalami konflik nilai tersendiri ketika harus merawat pasien-pasien yang mengalami komplikasi selepas menjalani aborsi. Mengenai norma, sebenarnya ia memiliki banyak arti. Terminologi ini biasanya digunakan dalam ilmu sosial untuk merujuk kepada suatu bentuk kriteria sikap dan prilaku yang dapat diterima dalam masyarakat atau kelompok, atau merujuk kepada kriteria statistik rerata. Berbeda dengan nilai yang sifatnya
12
tidak konkrit dan subjektif maka norma merupakan bentuk konkrit dan objektif dari suatu nilai sehingga oleh karenanya dapat digunakan secara langsung untuk menentukan seseorang telah melanggar atau tidak terhadap nilai-nilai yang berlaku umum. Jika umpamanya perbuatan A melanggar norma maka siapapun yang melakukan perbuatan A dipastikan melanggar norma, tetapi jika seseorang menganggap B bernilai baginya maka orang lain tidak harus menganggap demikian. Dikenal dua macam norma, yaitu norma umum (ordinary norms) dan norma khusus (misalnya professional norms). Jika norma menetapkan agar setiap orang merawat anak-anaknya dengan baik atau tidak melakukan pembunuhan terhadap siapapun maka kedua hal itu merupakan norma umum. Harus dibedakan dengan norma profesional yang tidak mengaplikasikan semua bentuk norma umum kepada setiap profesional. Norma profesional hanya memfokuskan pada prilaku dan aktifitas dalam profesi (professional conduct and activities) saja. Pendek kata, norma mengekspresikan pedoman prilaku yang kemudian dipilah dan dituangkan kedalam tiga bentuk; yaitu prinsip (moral principles), standar (moral standard), dan aturan (moral rules). Prinsip
adalah
perumuman
atau
penyamarataan
dasar
(basic
generalization) yang diterima sebagai kebenaran sehingga dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan atau prilaku (a basic generalization that is accepted as true and can be used as a basis for reasoning or conduct). Didalamnya hanya menjelaskan tentang tanggungjawab (responsibilities) serta tidak menetapkan secara spesifik mengenai apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu. Namun prinsip memberikan ruang bagi dilakukannya suatu diskresi atau kebijaksanaan. Jikalau umpamanya prinsip memberikan tanggungjawab kepada setiap arsitek agar dalam mendesain bangunan memperhatikan prinsip keamanan maka prinsip tersebut sebenarnya menjelaskan tentang tanggungjawab yang harus diemban dalam merancang suatu gedung yang aman. Ia tidak
13
merumuskan tentang detail-detail struktur dan fungsinya secara spesifik, sebab mengenai rincian tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai cara. Prinsip atau asas itu sendiri memiliki sifat lebih kokoh karena dihasilkan oleh pemikiran filosofis yang paling mendasar sehingga tidak mudah diguncang oleh perubahan dan evolusi dalam masyarakat. Gunanya untuk membantu merumuskan standar dan aturan (rules). Ia juga dapat digunakan untuk membenarkan (justify) atau menguji kesahihan suatu aturan yang telah dibuat. Disamping itu prinsip juga dapat dipakai sebagai pedoman prilaku tertentu yang tidak tercakup dalam aturan mengingat tidak semua prilaku dalam profesi dapat dirumuskan dalam bentuk aturan. Standar merupakan parameter yang dapat dipakai untuk menilai apakah prilaku seseorang baik atau buruk, lebih baik atau lebih buruk, bijak atau tidak serta untuk mengukur seberapa jauh tingkat kepatuhannya terhadap norma. Standar juga membimbing prilaku manusia dengan memberikan ciri-ciri prilaku bijak agar bisa diikuti dan ciri-ciri prilaku jahat agar dapat dihindari. Sedangkan aturan (rules) menjelaskan tentang bentuk-bentuk prilaku spesifik yang wajib dipatuhi dan ia tidak memberikan ruang bagi dilakukannya diskresi dan kebijaksanaan. Jika aturan mengharuskan agar setiap eksperimen terhadap subjek manusia harus disertai izin (informed consent) maka prosedur tersebut harus dipatuhi. Peneliti tidak lagi dibenarkan membuat diskresi ataupun menimbang-nimbang perlu tidaknya informed consent. Lalu prilaku etik yang bagaimanakah yang dapat dirumuskan normanya dalam bentuk aturan (moral rules)? Michael Bayles menyatakan bahwa hanya terhadap prilaku yang hampir selalu benar atau hampir selalu salah saja yang dapat dibuatkan aturannya. Aturan tersebut kemudian dikompilasi kedalam bentuk kode etik. Prilaku selebihnya yang tidak mungkin dituangkan dalam bentuk aturan (moral rules) harus merujuk kepada prinsip. Dengan kata lain, jika untuk menyelesaikan problem etika tidak ditemukan aturannya dalam kode etik maka untuk menyelesaikan problem etik tersebut harus mengacu pada prinsip (moral principles).
14
Kesimpulannya adalah bahwa standar membahas tentang parameter prilaku,
prinsip membahas tentang tanggungjawab, dan aturan membahas
tentang tugas dan kewajiban. MAKNA ‘BAIK’ Bagi kebanyakan orang makna kata ‘baik’ sudah jelas, final dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Namun bagi sebagian orang, lebih-lebih bagi para filosof yang selalu ingin melihat segala sesuatu dari sisi lain yang paling dalam (second look), makna kata ‘baik’ masih perlu diperdebatkan. Celakanya lagi bahwa dalam memperdebatkan kata tersebut masing-masing dari mereka mendasarkan pada perspektifnya sendiri-sendiri sehingga tidaklah aneh jika ada banyak batasan tentang ‘baik’. Kaum hedonis (pencari kesenangan duniawi), sebagaimana dijelaskan oleh George Edward Moore yang dikutip oleh Franz Magnes Suseno dalam bukunya Etika Abad Kedua Puluh, mengartikan ‘baik’ sebagai nikmat; sehingga sesuatu yang dapat mendatangkan kenikmatan sajalah yang boleh disebut baik. Etisis psikologik seperti Hume mengartikan ‘baik’ sebagai sesuatu yang diinginkan orang. Etisis Teonom (ahli etika berketuhanan) mengartikannya sebagai sesuatu yang diinginkan Tuhan sehingga apa-apa yang menurut wahyu Tuhan adalah baik maka itulah baik. Sementara Spencer mendefinisikan ‘baik’ sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi evolusi.
PENGERTIAN AMORAL DAN IMORAL Banyak orang mengartikan amoral secara keliru, yaitu sebagai perbuatan yang melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral. Pengertian seperti itu salah besar dan harus dikoreksi. Amoral sesungguhnya merupakan terminologi yang tidak ada sangkutpautnya dengan masalah moral (being outside the sphere to which moral judgments apply). Sedangkan imoral (immorality) merupakan terminologi yang merujuk pada perbuatan yang melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral, atau yang tidak
15
konsisten dengan moralitas yang murni atau baik (inconsistent with purity or good morals), atau perbuatan yang secara moral dianggap salah (morally wrong).
FALSAFAH Kata ‘filsafah’ berasal dari bahasa Yunani, yakni ‘philos’ yang berarti cinta (loving) dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan (wisdom) sehingga makna harfiyahnya adalah “cinta kepada kebijaksanaan (the love of wisdom) atau cinta kepada ilmu pengetahuan”. Filosof pertama yang menggunakan kata filsafah (atau tepatnya philosophos) adalah Pythagoras (582 - 507 SM). Pada masa Socrates (469 - 339 SM) dan Plato (427 - 347 SM) sebutan tersebut menjadi lebih populer dan lazim dipakai dalam percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Arab, filsafah acapkali disebut ‘hikmah’, yang artinya tali kendali kuda. Dipilihnya kata itu, dalam pengertiannya sebagai kebijaksanaan atau pengetahuan, menurut Mustafa Abdurraziq dari Mesir adalah karena hikmah menghalangi orang yang memilikinya untuk melakukan perbuatan rendah dan hina. Setidaknya ada dua alasan utama mengapa orang, entah sebagai ilmuwan
ataupun
profesional,
dalam
rangka
memahami
etika
secara
konprehensip harus memahami filsafah lebih dahulu. Pertama, karena etika dari segi hakekat dan historisnya merupakan bagian tak terpisahkan dari filsafah. Dengan mempelajari filsafah lebih dahulu maka orang selain akan menemukan pintu masuk yang tepat juga akan mendapatkan pengetahuan tentang sejarahnya, dan secara tidak langsung akan menemukan pula benang merahnya sehingga pemahaman mengenai etika menjadi lebih sempurna. Kedua, karena sebagai ilmuwan ataupun profesional tidak mungkin dapat dipisahkan dari umat manusia beserta kehidupannya. Melalui pendekatan filsafati diharapkan para ilmuwan dan profesional akan lebih mampu memahami manusia secara utuh; baik sebagai subjek (individu pelaku) maupun objek (individu sasaran) sesuai hakekat dan essensinya masing-masing guna
16
mendapatkan orientasi kritis dan arahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Dalam situasi yang ditandai oleh kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (sebagai akibat peningkatan kegiatan riset, termasuk riset terhadap manusia), tentunya pemahaman tentang filsafah menjadi lebih diperlukan lagi. Barangkali karena alasan inilah William Barrett menyatakan dalam bukunya “The Illusion of Technique” (sebagaimana dikutip oleh Titus, Smith dan Nolan dalam buku “Living Issues in Phylosophy”) bahwa untuk masa-masa sekarang semestinya lebih dari masa-masa lampau, yaitu perlu menempatkan kembali seluruh gagasan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam jalinan baru dengan kehidupan manusia. Beliau mengingatkan agar filsafah modern memberikan respon yang memadai atas kemajuan tersebut, atau kalau tidak maka umat manusia akan kehilangan tujuan, arahan dan kebebasan secara permanen. Sadar ataupun tidak sebenarnya setiap individu sudah memiliki filsafah yang berkaitan dengan objek-objek fisik, manusia, hidup, mati, benar dan salah, baik dan buruk, sang pencipta alam dan sebagainya. Gambaran dari pikiran mereka tentang objek-objek tadi diperoleh lewat berbagai macam cara, yang barangkali masih samar-samar atau bahkan membingungkan. Dalam tahuntahun awal dari kehidupannya orang lebih banyak memperoleh masukan dari keluarga, kawan dekat, dan dari berbagai macam individu dan kelompok. Gambaran pikiran yang kemudian menimbulkan sikap pandang terhadap objek-objek tertentu yang diamatinya itu masih bisa dipengaruhi lagi oleh kehadiran film, lirik musik, televisi, buku dan sebagainya. Boleh jadi sikap pandang mereka merupakan hasil refleksi dari dalam dirinya sendiri atau bisa juga merupakan hasil dari kebiasaan atau emosi yang bersifat bias. Pengertian populer yang masih bersifat umum tentang filsafah seperti itu tidaklah cukup sebab belum menggambarkan tugas dan kerja filsafah secara jelas. Masih diperlukan pengertian yang lebih spesifik, tidak samar-samar, tidak kacau-balau dan dangkal.
17
Setidaknya ada lima buah definisi yang kemukakan oleh Titus, Smith dan Nolan dalam bukunya “Living Issues in Philosophy”. Pertama, filsafah
merupakan
seperangkat
sikap
atau
keyakinan
terhadap kehidupan beserta alam semesta, yang seringkali tidak dapat diganggu gugat (a set of attitudes or beliefs toward life and the universe which are often held uncritically). Batasan tersebut merujuk kepada perspektif yang lebih luas dan pola yang lebih besar mengenai sesuatu. Jika orang ketika menghadapi suatu krisis atau problem berkata “filosofi saya adalah ............................…”, maka hal itu mengacu kepada pengertian filsafah yang bersifat personal dan informal, sehingga oleh karenanya seringkali tidak dapat dikritik. Jadi definisi diatas baru merujuk pada arti filsafah sebagai sebuah pandangan hidup (having a philosophy). Biasanya orang-orang yang memiliki filosofi akan lebih mampu menghadapi berbagai krisis atau problem dengan penuh ketenangan dan kesabaran. Kedua, filsafah
merupakan
sebuah
proses
refleksi
dan
kritisi
terhadap keyakinan maupun sikap sampai ke tingkat paling dalam (a process of reflecting upon and criticizing our most deeply held beliefs and attitudes). Batasan tersebut merujuk pada pengertian yang lebih bersifat formal, yakni “doing philosophy”. Kendati pengertian “having a philosophy” dan “doing philosophy” saling kait-mengkait tetapi dengan “having a philiosophy” saja tidaklah cukup untuk melaksanakan proses refleksi dan kritisi. Ciri dari sikap filsafati yang sebenarnya adalah selalu ingin mencari tahu dan bersikap kritis (a searching and critical attitude); yaitu dengan pandangan terbuka disertai toleransi melihat semua sisi dari sesuatu isu tanpa prasangka. Berfilsafah maknanya tidak cukup dengan hanya membaca dan memahami filsafah. Masih diperlukan penguasaan ketrampilan beragumen, teknik analisis serta seperangkat bahan yang diperlukan agar dapat merasakan dan berpikir dalam wacana filsafati. Melalui proses refleksi dan kritisi maka orang akan dapat melihat setiap sesuatu dari sisi lain (second look), yang tentunya bisa
18
berbeda dari pandangan umum kebanyakan orang yang masih bersifat dangkal. Mereka melihat dari sisi lain yang lebih mendalam, mendasar dan abstrak. Melalui pandangan yang bersifat filosofis maka para profesional (dokter, perawat, dan bidan) akan menjadi lebih mudah dalam membuat keputusan ketika menghadapi problem klinik (yang pada hakekatnya juga problem etik) sebab ada orientasi dan arahannya; misalnya tentang kapan suatu tindakan penyembuhan (curing) perlu diteruskan dan kapan pula harus dihentikan karena sudah bersifat mubazir (futile), serta kapan tindakan perawatan (caring) boleh dihentikan. Ketiga, filsafat merupakan sebuah upaya memperoleh pandangan atau gambaran umum (world view) dengan mencoba mengkombinasikan konklusikonklusi dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia ke dalam bentuk pandangan universal yang konsisten. Dengan pandangan tersebut para filosof bermaksud mencoba melihat kehidupan tidak dari pandangan spesialistik seorang ilmuwan, seorang pengusaha ataupun seorang seniman semata; tetapi justru dari pandangan umum oleh seseorang yang menyadari kehidupan sebagai suatu yang bersifat totalitas. Keempat,
fillsafah
merupakan
bentuk
analisis
logis
yang
akan
memperjelas sesuatu ungkapan atau konsep (the logical analysis of language and the clarification of the meaning of words and concepts). Kelima, filsafah dilukiskan sebagai kajian terhadap seperangkat problem kehidupan umat manusia yang oleh para filosof selalu ingin dicari jawabannya (a group of perennial problems which interest mankind and for which philosophers have always sought answer). Para ahli memang bisa berbeda dalam mengungkapkan batasan mengenai filsafah disebabkan perspektifnya masing-masing. Plato sendiri mendefinisikan filsafah sebagai ilmu pengetahuan untuk mencari hakekat kebenaran yang asli. Sementara Aristoteles, yang lebih menitikberatkan pemikirannya pada pembagian ilmu filsafah, menjelaskan bahwa filsafah adalah pengetahuan yang mengandung kebenaran mengenai ilmu fisika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Beliau juga menyatakan bahwa filsafah adalah ilmu
19
yang mencari kebenaran yang pertama atau ilmu tentang segala apa yang ada, yang menunjukkan adanya sesuatu yang mengadakan sebagai penggerak pertama. Sebagaimana halnya Plato, ia belum sampai pada konsepsi adanya Tuhan yang menciptakan. Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM), seorang Romawi yang piawai dalam banyak hal (antara lain dalam hal berpidato dan berfilsafah) mengemukakan bahwa filsafah adalah pengetahuan tentang sesuatu yang Maha Agung serta berupaya untuk mencapai yang Maha-Agung tersebut. Sedangkan Al Farabi, salah seorang filosof muslim, mendefinisikan filsafah sebagai ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud (nyata) dan bertujuan menyelidiki hakekat yang sebenarnya. Pendek kata filsafah, sebagaimana disimpulkan oleh Harun Nasution, merupakan pengetahuan tentang hikmah, prinsip-prinsip atau dasar-dasar pencarian kebenaran dan tentang dasar-dasar pembahasan mengenai apa yang dipermasalahkan. Berpikir filsafati menurut pendapat beliau adalah berpikir menurut tata-tertib (logika) dengan bebas tanpa terikat oleh tradisi, dogma dan agama sampai sedalam-dalamnya hingga menembus ke dasar persoalan. Mengenai latar belakang atau alasan mengapa orang berfilsafah adalah karena: a. adanya rasa kagum terhadap sesuatu. b. adanya rasa ketidakpuasan akan sesuatu. c.
adanya hasrat bertanya tentang sesuatu.
d. adanya keragu-raguan akan sesuatu. Rasa kagum akan sesuatu dapat menimbulkan hasrat untuk menyelidiki tentang segala sesuatu yang dikagumi tersebut. Hal ini dialami sendiri oleh Plato, bahwa mata kita memberi pengamatan akan bintang-bintang, matahari dan bulan. Pengamatan tersebut memberi dorongan kepada kita untuk menyelidiki benda-benda itu sehingga akhirnya sampai ke asal-muasal alam semesta. Ketidakpuasan terhadap sesuatu (misalnya tentang mitos dan mite) juga dapat melahirkan keinginan untuk melakukan penyelidikan.
20
Perlu diketahui bahwa sebelum filsafah lahir, berbagai mitos dan mite (termasuk di bidang kedokteran) memainkan peranan penting dalam kehidupan umat manusia, utamanya dalam masyarakat Yunani. Meski mitos dan mite telah berupaya keras menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi di alam semesta (meliputi sifat-sifat dan asal-muasalnya), namun penjelasan tersebut tetap tidak memuaskan. Ketidakpuasan inilah yang mendorong orang untuk mencari kebenaran hakiki. Munculnya ilmu-ilmu sosial dan sain adalah berkat pemikiran para filosof. Dengan kata lain, semua ilmu yang ada pada awalnya dipelajari dalam wacana filsafati. Ilmu kedokteran itu sendiri pada awalnya, yaitu pada zaman Mesir kuno dan Babilonia (sekitar 4000 tahun yang lalu) juga diwarnai oleh hal-hal yang bersifat supranatural. Penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan atas dosadosa yang diperbuat manusia atau diyakini sebagai perbuatan roh-roh jahat yang berperang melawan dewa-dewa pelindung manusia sehingga oleh karenanya penyembuhannyapun harus dilakukan oleh para pendeta melalui doa-doa atau upacara-upacara pengorbanan. Mitos seperti iniah yang menjadikan profesi kedokteran tidak dapat dipisahkan dari pengaruh pendeta (Priestly Medicine). Sesudah ilmu kedokteran dibawa dari Mesir dan Babilonia ke
Yunani
sekitar 500 tahun SM, barulah profesi kedokteran mengalami sekularisasi. Pengaruh pendeta mulai meluntur dan selanjutnya diambil alih oleh para filosof. Melalui pengamatan, proses pemikiran logis dan deduksi maka para filosof berhasil merubah praktek kedokteran yang berbau mistik menjadi lebih rasional. Maka tidaklah salah jika kemudian Auguste Comte berpendapat bahwa sesungguhnya yang terjadi di Yunani pada masa-masa itu adalah pergumulan antara mitologi dan logos. Beliau juga membagi sejarah manusia menjadi tiga tahapan, yang masing-masing ditandai oleh cara berpikir; yaitu teologik, metafisik dan positivistik. Adapun mengenai hasrat bertanya perlu dijelaskan bahwa hasrat tersebut muncul sebagai akibat ketakjuban manusia akan sesuatu yang dilihatnya. Ketakjuban inilah yang membuat orang tak habis-habisnya bertanya sehingga
21
pada akhirnya memaksa mereka melakukan pengamatan, penelitian dan penyelidikan. Sedangkan mengenai keraguan, perlu diungkapkan disini bahwa Augustinus dan Rene Descartes memulai berfilsafah bukan karena kekaguman dan ketakjuban, melainkan justru bermula dari keraguan dan kesangsiannya. Dari keraguan itulah kemudian kedua filosof tersebut berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan kebenaran hakiki. Filsafah pada awalnya terbagi menjadi tiga cabang sesuai bidang telaahannya; yaitu tentang apa yang disebut benar dan salah (filsafah ilmu), apa yang dianggap baik dan buruk (filsafah etika) serta tentang apa yang disebut indah dan tidak indah (filsafah estetika). Selaras dengan sifat dasarnya yang spekulatif maka filsafah juga mentelaah segala apa yang dapat dipikirkan manusia, sehingga pada akhirnya berkembang meliputi berbagai bidang. Aristoteles misalnya, membagi disiplin ini menjadi filsafat spekulatif atau teoritis, filsafah praktika, dan filsafat produktif. Plato membaginya menjadi dialektika, fisika dan etika. Sedangkan Will Durant membagi filsafah menjadi logika, estetika, etika, politika dan matematika. Sekarang cabang ilmu filsafah meliputi epistimologi, metafisika (ontology, kosmologi, metafisika dan antropologi), logika, etika, estetika dan filsafah tentang berbagai disiplin ilmu (seperti filsafah agama, pendidikan, ilmu, hokum, sejarah, matematika dan filsafat politik). Bahwa filsafah terus dipelajari karena ia diperlukan sebagai orientasi dan arahan. Buah pemikirannya akan dapat dipakai sebagai acuan dasar dalam menentukan moralitas, sementara
moralitas itu sendiri juga dapat dipakai
sebagai pedoman dalam menetapkan keetisan sesuatu sikap dan prilaku. Ibarat tanaman maka filsafah adalah rabuknya, yang akan menyuburkan moral. Sementara moral dipakai sebagai dasar dalam menentukan keetisan, walau pelaksanaannya masih memerlukan kritisi dan analisis rasional. Prinsip-prinsip moral juga dipakai sebagai landasan bagi pembentukan hukum.
22
GUNA FILSAFAH BAGI KEHIDUPAN MANUSIA Sebagaimana diuraikan diatas bahwa filsafah memberikan kepada umat manusia suatu kebenaran dari aspek yang paling dalam (hakiki). Dengan kebenaran tersebut maka orang selain akan mendapatkan orientasi juga arahan sehingga tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh keadaan yang semakin tidak menentu. Selain itu, filsafah juga akan memperkaya pemikiran tentang moral. Umat manusia harus sadar bahwa mereka sekarang sedang berada dalam periode yang mirip masa-masa akhir dari peradaban Graeco-Roman, Renaissance, Reformasi dan Revolusi Industri; yang ditandai oleh adanya pergeseran mendasar dalam hal nilai, tradisi, dan cara berpikir. Perubahan demi perubahan yang terjadi sekarang ini sudah menyentuh hal-hal yang paling mendasar dari kehidupan manusia dan masyarakat. Sekarang umat manusia telah memiliki modal dasar yang amat besar untuk menguasai alam (termasuk angkasa luar) sehingga mampu membuat terobosan dan langkah raksasa di area sain dan teknologi, agrikultur, kedokteran, ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. Dalam abad ke XX yang baru saja berlalu, utamanya dalam beberapa dekade terakhirnya, orang telah banyak menyaksikan atau bahkan mungkin merasakan sendiri bagaimana pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk di bidang kedokteran dan biologi molekuler. Kalangan medis juga harus bangun dari tidurnya bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran telah menciptakan pula berbagai macam paradok (medical paradox). Paradok pertama adalah bahwa apa yang dahulu mustahil, sekarang menjadi mungkin. Melalui pemeriksaan pra-lahir (intra-uterine screening atau prenatal screening) para dokter di bagian obstetri-ginekologi sudah dapat mendeteksi penyakit pada janin yang gejala-gejala dan tanda-tandanya baru akan muncul kelak ketika dewasa (adult onset disease) dan dengan alat penunjang
kehidupan
(artificial
respirator)
mereka
juga
sudah
dapat
mempertahankan proses kehidupan sampai dua atau tiga minggu lamanya pada
23
tubuh wanita hamil yang sudah dinyatakan mati (to keep dead people alive) guna mempertahankan kehidupan janin yang belum layak (nonviabel) untuk dilahirkan. Kesemuanya itu belumlah apa-apa jika dibandingkan dengan rekayasa genetika (genetic engineering) yang secara teoritis mampu membuat replika manusia serta menciptakan ras-ras baru dari formulasi dan kombinasi gen-gen lintas species atau lintas kingdom, misalnya antara gen manusia dengan gen binatang sehingga menjadi makhluk human-animal (chimeras) atau bahkan antara manusia dengan mesin sehingga menjadi makhluk human-machine (cyborg). Paradok ke dua adalah bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia kedokteran telah mampu mengidentifikasi kondisi medik tanpa gejala (asymptomatic medical conditions) dan risiko (risks) untuk dikategorikan sebagai penyakit (disease) sehingga untuk masa-masa sekarang dan masamasa mendatang tidak lagi mudah membedakan keadaan illnesses dan nonillnesses. Contohnya, jika dalam pemeriksaan prenatal screening ditemukan adult onset desease maka pertanyaannya, sehat atau sakitkah bayi yang dilahirkan dari janin seperti itu? Bagi orang awam yang tidak memahami ilmu kedokteran maka hal semacam itu, sebagaimana digambarkan oleh Profesor John Ladd dari Brown University, “like identifying dark clouds with a thunderstorm”. Tentunya masih banyak lagi paradok lain yang tidak perlu disebutkan satu per satu, tetapi yang jelas, paradok-paradok di bidang kedokteran sangat potensial memunculkan konflik sebagai akibat perbedaan konsep lama yang telah lebih dahulu tertanamkan dengan konsep baru. Maka tantangan utama dalam menghadapi penerapan berbagai teknologi maju adalah bagaimana memahami conseptual tranformation dari teknologi tersebut. Hal ini menjadi penting sebab setiap perubahan konsep selalu membawa implikasi etik, baik positif maupun negatif. Sah-sah saja jika kalangan medis (bahkan orang awam) merasa kagum, gembira, dan bangga atas keberhasilan White dan kawan-kawan melakukan percobaan transplantasi otak seekor monyet ke monyet lainnya sehingga mampu hidup sampai satu minggu lamanya. Aplikasinya pada manusia hanyalah soal
24
waktu dan keberanian saja, mengingat binatang tersebut dilihat dari sudut biologi amat mirip dengan manusia. Namun pertanyaan mendasar yang sampai sekarang
belum
bisa
dijawab
oleh
para
ilmuwan
sesungguhnya terjadi jika pada suatu saat nanti
adalah,
apa
yang
para dokter berhasil
memindahkan otak seorang penjahat yang mati tertembak jantungnya ke rongga kepala
seorang
profesor
yang
menderita
kanker
otak?
Dokter
telah
menyelamatkan profesor dengan memberikan otak baru (yaitu otaknya penjahat) ataukah justru telah menyelamatkan si penjahat dengan memberikan tubuh baru (yaitu tubuhnya profesor)? Lalu siapakah yang sebenarnya menjadi donor dan siapa pula yang menjadi resipien? Organ manakah yang sebenarnya menjadi subjek transplantasi; yaitu otak ataukah justru tubuh? Sungguh tidak akan pernah ada jawaban yang pasti tanpa disertai pemahaman yang bersifat filsafati, utamanya tentang tujuan hakiki dari profesi medis itu sendiri dikaitkan dengan hakekat manusia (human nature) yang merupakan kesatuan yang utuh dari unsur jiwa dan raga. Unsur jiwa itu sendiri terdiri atas tiga buah unsur esensial yang membedakan manusia dari benda atau makhluk hewani; yaitu akal (intellect), rasa (emotion) dan kehendak (will). Dalam filsafat jawa ke tiga unsur tadi lebih dikenal dengan sebutan roso, karso dan karyo. Barangkali karena itu pulalah Profesor Heyder bin Heyder, guru besar ilmu bedah pada Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dalam sebuah diskusi ilmiah berkata: “Jikalau saya harus mendonorkan organ tubuh saya maka janganlah sekali-kali berharap bahwa saya akan mendonorkan otak saya karena saya tak ingin seluruh rahasia kehidupan saya jatuh ke orang lain”. Sedang bercandakah beliau dengan ucapannya itu? Samasekali tidak, sebab apa yang dikatakannya itu justru berangkat dari pemikirannya yang mendalam (filsafati), yaitu tentang hakekat manusia (baik sebagai resipien maupun donor) dikaitkan dengan tujuan hakiki profesi medis (the nature of medicine’s genuine business) itu sendiri. Pemikiran filsafati seperti ini seharusnya dijadikan orientasi bagi setiap profesional di bidang medis,
25
keperawatan, dan kebidanan ketika sedang berhadapan dengan problem sulit dalam klinik. Benar bahwa berdasarkan kode etik para profesional harus berupaya sekuat tenaga untuk menyembuhkan pasien, tetapi pertanyaan kritis yang perlu diketengahkan adalah, apakah upaya penyembuhan (curing) harus terusmenerus dilakukan tanpa batas waktu? Bukankah penggunaan alat penunjang kehidupan (supportive life) seperti respirator secara berkepanjangan merupakan bentuk penyalahgunaan peralatan medis (abused of equipment) yang justru melanggar etika? Para profesional tidak boleh bekerja seperti mesin. Mereka mesti memahami pula apa tujuan hakiki (true goals) dari profesinya sebagai orientasi dan
arahan
dalam
menetapkan
kebijakan
klinis.
Untuk
itulah
Tobin
mempertanyakan, apakah tujuan hakiki profesi kedokteran untuk menciptakan kebahagiaan umat manusia (medicine aims at human happiness) ataukah untuk memperpanjang hidup manusia (medicine aims at prolongation of life)? Tidak akan ada satupun jawaban yang benar-benar memuaskan, kata beliau, sebab pada kenyataannya banyak pasien merasa bahagia meski mengidap penyakit kronis sepanjang hayatnya dan apa pula artinya hidup dapat diperpanjang kalau hanya bisa terbaring di kamar ICU lengkap dengan peralatan canggih yang mahal-mahal, dipisahkan dari sanak keluarga, dan ditemani oleh orang-orang yang tidak dikenalnya? Walau sedikit ragu, Tobin mencoba memberikan jawabannya, bahwa tujuan hakiki profesi kedokteran (the nature of medicine’s genuine business) adalah untuk memelihara atau memperbaiki kesehatan (rather the maintenance or restoration of health). Pertanyaan yang lebih menukik ke problem klinis sehari-hari adalah, apakah para dokter boleh melepas segala macam peralatan penunjang kehidupan (supportive life) ketika segala macam upaya penyembuhan (curing) sudah sampai pada tahapan mubazir (futile)? Bolehkah terhadap pasien semacam itu hanya diberikan perawatan (caring) saja sampai pasien meninggal dunia? Lalu tindakan paliatif apa saja yang boleh dilakukan terhadap pasien seperti itu?
26
Jawaban
filosofis
Tobin
diatas
agaknya
mengindikasikan
bahwa
pelepasan alat penunjang kehidupan dapat dibenarkan manakala upaya penyembuhan (curing) sudah sampai pada tahapan mubazir, walau tindakan perawatan (caring atau hospice care) harus terus diberikan sampai pasien meninggal dunia. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Council on Ethical Judicial Affairs of the American Medical Associaton, bahwa “Physicians have no obligation to provide futile CPR, if fails to specify any level of statistical certainty at which the judgment is warranted”. Lebih jauh Hastings Center and the Society of Critical Care menyatakan bahwa “Providing intensive care to patients in a persistent vegetative state is generally a misuse of resources”. Meski maxim menyebutkan bahwa dalam etika akan lebih banyak pertanyaan daripada jawabannya, namun pemikiran filosofis akan dapat membantu menyelesaikan problem etika. Contohnya dapat dilihat pada kasus dibawah ini: Corinne Parpalaix, seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris pada Departemen Kepolisian di Marseille, mengajukan permintaan kepada sebuah bank sperma di Perancis untuk mendapatkan sperma almarhum suaminya yang telah meninggal dunia karena kanker. Permintaan itu diajukan karena ia (sebagai janda) ingin memiliki kenangan, yaitu memiliki anak dari sperma almarhum suaminya. Tetapi pihak bank menolak menyerahkannya karena selain tidak ada wasiat apapun dari almarhum suaminya, bank tersebut juga menganggap bahwa sperma merupakan bagian dari tubuh manusia walau sudah terpisah lama dari tubuhnya. Oleh sebab itu sprema yang tersimpan tersebut harus ikut mati ketika yang empunya meninggal dunia. Contoh lain yang menggambarkan pentingnya pemikiran filosofis dalam menyelesaikan problem etika adalah sebagai berikut: Seorang pasien yang masih tergolong anak-anak, yaitu Gerti, menderita kanker pada tulang kakinya. Ia sendiri tidak berkeberatan atas rencana dokter memotong kakinya, namun karena pasien secara hukum belum dianggap cakap untuk memberikan informed consent maka dokter meminta kepada orangtuanya untuk memberikan persetujuannya sebagai landasan melakukan amputasi. Ternyata orangtua Gerti menolak memberikan persetujuannya karena tak ingin melihat anaknya menjadi pincang sehingga akhirnya dokter melakukan amputasi
27
tanpa informed consent atas dasar keinginannya untuk menyelamat nyawa Gerti. Oleh sebab itulah dokter digugat di pengadilan. Karena putusan hakim pada pengadilan tingkat rendah tidak berpihak kepadanya maka dokter mengajukan kasasi. Ternyata hakim pada Mahkamah Agung mengabulkan permohonannya berdasarkan argumen yang bersifat filosofis, yaitu keselamatan anak jauh lebih penting daripada keberatan orangtuanya. Dari kedua kasus diatas nampak jelas akan pentingnya argumentasi yang bersifat filosofis guna menylesaikan problem di bidang medis, dalam kaitannya dengan etika maupun hukum.
ETIKA SITUASI Joseph Fletcher, sebagaimana dikutip oleh Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Abad Kedua Puluh, menolak adanya norma-norma moral umum mengingat
kewajiban
moral
bergantung
pada
situasi
konkrit.
Beliau
mendasarkan pada kenyataan bahwa setiap situasi itu unik dan tidak terulang. Selain itu, setiap situasi akan merubah masalahnya. Oleh sebab itu Joseph Fletcher berpendapat bahwa: a.
kewajiban moral bergantung pada situasi konkrit;
b.
jika situasinya berbeda maka kewajiban moralnya juga berbeda walau subjeknya sama;
c.
tindakan apapun yang dilandasi cinta kasih adalah benar; dan
d.
prinsip moral konvensional (tradisional) boleh saja dipertimbangkan, tetapi
tidak mengikat. Contohnya, kewajiban mendapatkan informed consent dari pasien merupakan kewajiban moral (juga kewajiban hukum) yang harus dipenuhi sebelum melakukan operasi. Namun jika pasien dalam kondisi emergensi maka kewajiban moral tersebut dapat ditiadakan atas dasar cinta kasih untuk menyelematkan nyawa pasien. Alasannya, selain prosedur informed consent memerlukan komunikasi dua arah (two way traffic communication) sehingga memerlukan waktu yang cukup, juga mensyaratkan kondisi kesadaran compos mentis. Padahal tindakan penyelamatan (emergency care) membutuhkan
28
kecepatan bertindak untuk mencegah kematian dan kecacatan tetap. Situasi inilah yang merubah kewajiban moralnya sehingga tidak diperlukan lagi informed consent. Justru dokter dapat dipersalahkan apabila tidak melakukan tindakan penyelamatan (emergency care) hanya karena tidak ada informed consent. Dalam dunia pelayanan kesehatan akan banyak sekali dijumpai dilema yang disebabkan oleh situasi ambigi (mendua) dan ketidakpastian (situations of ambiguity and uncertainty), yaitu manakala tindakan dokter tidak dapat diprediksi konsekuensinya dan manakala prinsip-prinsip moral umum (general princples) tidak mampu lagi menolong atau mengarahkannya. Dalam hal situasi pasien sedemikian
rupa
maka
pertanyaan
yang
muncul
ialah,
lebih
penting
mempertahankan hidup pasien ataukah menghormati prinsip-prinsip moral tanpa disertai analisis kritis? Tugas etika situasi (situation ethics) yang sesungguhnya adalah merespon ambigi dan ketidak-pastian tersebut dengan melakukan kalkusi, sehingga etika situasi seringkali disebut calculus morality. Ia selalu mencoba bergerak dari diskripsi situasi khusus menuju analisis prinsip-prinsip universal dan konsep.
ETIKA DISKURSUS Menurut Jurgen Habermas, sebagaimana dikutip oleh Franz Magnes Suseno dalam bukunya Etika Abad Kedua Puluh, bahwa manusia moderen tidak luput dari tuntutan yang khas bagi modernitas. Keyakinan-keyakinan moral harus dilegitimasi (disahkan) lebih dahulu secara rasional. Menurut beliau, pendasaran pada pandangan dunia dan tradisi-tradisi agama tidaklah cukup dalam budaya pasca-tradisional. Hanya terhadap norma-norma yang dapat diperlihatkan berlaku universal sajalah yang berhak menuntut untuk dipatuhi. Meski pendapatnya bertolak dari teori imperative kategoris Emmanuel Kant, namun Jurgen Habermas tidak menyetujui cara Emmanuel Kant dalam memberlakukan norma moral sebagai norma yang berlaku universal. Menurut beliau tidaklah cukup kalau setiap orang secara sendirian (monologis) dapat
29
menetapkan keberlakuan sebuah norma. Norma moral harus disepakati bersama, utamanya menyangkut masalah yang sangat urgen. Ada banyak hal atau peristiwa yang melatar-belakangi perlunya dibuat kesepakatan, antara lain sejarah kelam menyangkut penelitian terhadap manusia pada zaman Nazi, yang selain tidak mengindahkan harkat dan martabat juga melanggar hak-hak asasi manusia (peristiwa Holocaust). Juga penelitian penyakit sipilis yang merendahkan ras kulit hitam yang dilakukan di Amerika (kasus Tuskegee). Peristiwa-peristiwa seperti inilah yang kemudian melahirkan kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk deklarasi; antara lain Declaration of Helsinski, dan Declaration of Geneve. Kadangkala kesepakatan juga dapat dituangkan dalam kode etik, misalnya Nuremberg Code on Human.
KAITAN FILSAFAH, MORAL, ETIKA DASAR DAN ETIKA TERAPAN Mengacu pada apa yang sudah dibahas di bagian depan maka filsafah memberikan orientasi dan arahan serta memperkaya pembahasan menyangkut moralitas, sementara moral dipakai sebagai acuan dalam menentukan keetisan sesuatu prilaku. Etika dasar membahas tentang teori etika (ethical theory), cara-cara pembuatan keputusan etik (ethical decision making), dan model-model pembuatan keputusan etik
(ethical decision making model). Cara-cara
pembuatan keputusan etik membahas tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
keputusan
serta
prinsip-prinsipnya
(beneficence,
nonmaleficence, autonomy, dan justice). Sedangkan model-model pembuatan keputusan
etik
membahas
tentang
bentuk-bentuk
peta-jalan
yang
menggambarkan langkah-langkah pembuatan keputusan. Etika terapan membahas tentang penerapan etika dasar kedalam kehidupan umat manusia. Mengingat banyaknya bidang dan aspek dalam kehidupan maka akan banyak dijumpai etika terapan.
30
KODE ETIK Ciri utama profesi adalah memiliki kode etik yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam mengambil keputusan atas dilema etik yang timbul dalam pelaksanaan suatu profesi. Selain itu juga dapat dipakai sebagai pedoman bersikap dan berprilaku. Meski cakupannya lebih luas namun kode etik tidak pernah berbenturan dengan hukum. Sedangkan keberlakuannya menuntut haati nurani, bukan paksaan. Jadi kode etik adalah daftar ketentuan tertulis (written list) dari aturan (moral rule) yang didalamnya mengandung nilai-nilai dan norma-norma dalam profesi, yang sekaligus dipakai sebagai standar berprilaku. Sifat kode etik tidaklah statis, melainkan dinamis dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat dan profesi. Tentunya setiap anggota suatu profesi, apapun jenisnya, wajib bertanggungjawab terhadap tegaknya nilai-nilai dan norma-norma dalam profesi yang telah dituangkan kedalam kode etiknya masing-masing. Dalam hal kode etik tidak atau belum mengatur hal-hal tertentu dalam profesi maka sebagai acuan penyelesaian problem etika adalah dengan mengacu pada prinsip-prinsip etika.
SANKSI ETIKA Sebagaimana halnya hukum, etika juga memiliki sanksi. Hanya saja sanksi etika tidak dapat dipaksakan kepada pelanggarnya, bukan saja karena ia tidak memiliki sarana pemaksa seperti halnya hukum, tetapi juga karena sifat dasarnya yang menghendaki agar prilaku etik dilaksanakan berdasarkan hati nurani. Pada
pelanggaran
etika
tertentu
yang
kualitasnya
berat
(gross
immorality), yakni pelanggaran terhadap hak asasi manusia (fundamental of ethical principles), selain sanksi etika juga sanksi hukum (yang bersifat paksaan) dapat diberlakukan. Dalam hal ini wilayah pelanggarannya bertumpang-tindih antara etika dan hukum. Wilayah inilah yang seringkali disebut Etiko-Legal.
31
Lalu bagaimana pastinya bentuk sanksi etika dan apakah sanksi tersebut diterapkan hanya pada pelanggaran etika berat (gross immorality) saja ataukah juga pelanggaran etika ringan? Bentuk sanksi etika adalah berupa kata, bahasa, isyarat (seperti cemohan dan cibiran), atau tindakan tertentu (seperti pengucilan dari komunitasnya); yang kesemuanya itu merefleksikan ketidak-sukaan komunitasnya. Sanksi ini perlu diterapkan terhadap semua bentuk pelanggaran etika, baik yang ringan maupun berat. Mengingat pelanggaran etika berat berarti juga pelanggaran hukum (etikolegal) maka selain diberikan sanksi etika juga sanksi hukum.
32