Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
Migrasi Internasional: Strategi Kelangsungan Hidup pada Era Krisis Ekonomi1 Setiadi2
Gambaran Kemiskinan: Sekitar Dampak Krisis Ekonomi Setelah dalam beberapa dekade menikmati stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, sejak pertengahan tahun 1997 yakni ketika angin krisis ekonomi menerpa perekonomian Asia, Indonesia secara dramastis masuk dalam lubang krisis ekonomi yang cukup dalam. PDB per kapita jatuh dari US$1.079 pada 1997 ke angka US$380 pada 1998 (Far Eastern Economic Review, 29 Oktober 1998 dalam Hugo, 2002). Pada akhir tahun 1997, nilai tukar rupiah tertekan dan jatuh dari kisaran Rp2.400 per US$ ke Rp4.800. Pada Januari 1998, rupiah benar-benar terpuruk, menjadi Rp15.000 per US$. Untuk tiga catur wulan pertama tahun 998 nilai rupiah berfluktuasi cukup besar, tetapi pada akhir tahun rupiah menguat dan stabil pada kisaran Rp6.000 dan Rp7.000 per US$. Sejak saat itu sampai pemerintahan presiden Abdurachman Wahid menduduki jabatannya, nilai tukar rupiah berada pada kisaran Rp6.750 per US dolar. Namun demikian, rupiah menunjukkan penurunan nilai tukar pada tahun 2001 ketika rupiah terpuruk lagi pada level Rp11.350, yang berimplikasi pada kenaikan berbagai harga produk khususnya yang berbasis bahan baku impor, dengan kenaikan hampir 90 persen (Widharto, 2002). Dampak krisis ekonomi cukup bervariasi apabila dilihat antar wilayah, antar kelompok sosial ekonomi, dan antar kelompok demografis. Dampak negatif sangat dirasakan oleh mereka yang berpendapatan tetap dan mereka yang hidupnya menggantungkan diri dari sektor konstruksi dan jasa. Pada sisi lain, kesempatankesempatan baru banyak diraih oleh mereka yang bekerja pada sektor perdagangan misalnya ekspor (Frankenberg, et. al., 1999). Satu topik yang sering dibicarakan terkait dengan dampak krisis ini adalah bagaimana dampak krisis terhadap kehidupan ekonomi penduduk. Diskusi tersebut biasanya merujuk pada dua indikator yakni kemiskinan dan pengangguran. Terdapat cukup banyak variasi terkait dengan estimasi jumlah penduduk miskin sejak krisis ekonomi. Hal yang cukup menarik adalah bahwa estimasi yang dibuat pada tahun 1998 (khususnya pertengahan tahun) pada umumnya sangat pesimistik. Krisis ekonomi seakan dilihat sebagai sebuah petaka atau kiamat bagi Indonesia. Sebagaimana dicatat Feridhanusetyawan (2000), ILO, sebagai contoh, mengestimasikan bahwa pada tahun 1998 terdapat 98,8 juta penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Angka ini berarti hampir separo penduduk Indonesia miskin. BPS, untuk hal yang sama, mengestimasikan 39 persen pada pertengahan 1998. Tentu saja, angka-angka tersebut menggambarkan suatu jumlah yang jauh lebih tinggi dari angka yang pernah dikeluarkan pemerintah satu tahun sebelum krisis, 1996, yakni sebesar 11 persen. Apabila berbagai estimasi tersebut benar maka berarti kondisi Indonesia kembali seperti pada tahun 1970-an. Hal yang cukup menarik adalah berbagai gambaran kemiskinan
1 Versi lengkap paper ini akan terbit dalam Jurnal Populasi Bulan Desember 2002 dengan judul “Is International Migration A Way Out Of Economic Crisis?” (ditulis bersama Drs. Sukamdi, M.Sc). 2 Staf Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Dosen FIB UGM
S. 315, November 21, 2002
1
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
tersebut dikutip secara luas baik oleh wartawan, pemerintah bahkan juga para mahasiswa baik di dalam maupun luar negeri. Estimasi yang lain, yang mempertimbangkan tingkat inflasi perpropinsi (didasarkan pada data dari 44 kota) menunjukkan bahwa secara keseluruhan, proporsi rumahtangga yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 25 persen, dengan peningkatan yang cukup besar di perkotaan dibandingkan diperdesaan (penjelasan lebih lanjut lihat: Frankenberg, et. al., 1999). Pada kenyataannya, berbagai estimasi tersebut ternyata tidak terbukti. Situasi tahun 1998 tidak seburuk yang telah diestimasikan. Pada pertengahan tahun 1999 BPS mengeluarkan estimasi resmi tentang kemiskinan tahun 1998. Berdasarkan SUSENAS yang dilaksanakan Desember 1998. Tingkat kemiskinan nasional sebesar 24,2 persen. Hal ini berarti mengalami peningkatan cukup besar dibandingkan tahun 1996 (11,3 persen) tetapi tidak sedramatis angka estimasi sebelumnya. Data juga menunjukkan bahwa wilayah perkotaan lebih keras terimbas dampak krisis. Dalam hitungan absolut, jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat dari 22,5 juta tahun 1996 pada tahun 1996 menjadi 49,5 juta pada tahun 1998. Untuk wilayah perkotaan, meningkat dari 7,2 juta pada 1996 menjadi 17,6 juta tahun 1998; pada sisi lain, wilayah perdesaan mengalami peningkatan dari 15,3 juta menjadi 31,9 juta untuk periode yang sama (BPS, 1997 and 1998). Ketidakakuratan estimasi mengundang banyak pendapat. Mubyarto (2000) mengungkapkan bahwa ketidakakuratan tersebut disebabkan oleh adanya miskonsepsi tentang kemiskinan dan sikap panik serta pesimistik diantara para ahli, pengambil kebijakan, dan lembaga donor. Asahi Shimbun (26 January, 1999) menggambarkan situasi tersebut sebagai "exaggerate poverty and unemployment level for an effort to get aid (penekanan dari penulis)". Dengan data dan metode yang lebih memungkinkan, memang dapat dimengerti kalau kemudia banyak estimasi dapat dihasilkan. Suryahadi et. al. (1999) telah mencoba menunjukkan dan membuat suatu estimasi yang lebih konsisten, berdasarkan berbagai sumber data dan estimasi yang kadang-kadang saling bertolakbelakang, untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi sejak Februari 1996 sampai dengan agustus 1999. Seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Tren Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia tahun 1996-1998 Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
Tingkat Setengah Pengangur Under Employment (%)
Tahun
Penduduk Miskin (%)
1990
15.08
3.17
34.06
1993
13.67
2.76
37.35
1996
11.34
4.89
36.24
1998
24.20
5.46
36.64
Sumber: BPS, 1998 Sejauh ini, peningkatan kemiskinan (dalam pengertian prosentase maupun absolut) kelihatannya terjadi pada penduduk yang bekerja pada semua sektor dengan sektor pertanian yang mengalami dampak terburuk. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua sebab. Pertama, terdapat kecenderungan bahwa penduduk yang bekerja pada sektor pertanian pada umumnya memang sudah miskin dibandingkan mereka yang bekerja di sektor lainnya. Kedua, ketrampilan yang diperlukan untuk bekerja di sektor ini cukup S. 315, November 21, 2002
2
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
minimal, dan dalam hal ini sektor pertanian dengan mudah menyerap tenaga kerja dari penduduk yang terlempar dari pekerjaan sektor lain. Dengan demikian, proses yang terjadi adalah pembagian kemiskinan. Sektor pertanian telah menjadi bemper krisis ekonomi bagi sebagian masyarakat dan arena perebutan sumber daya ekonomi yang sebenarnya sudah sangat terbatas. Tabel 2 Tingkat Kemiskinan (Estimasi “Consistent”), Februari 1996 – Februari 1999 Sumber data/ dilaporkan oleh
Bulan/tahun
Estimasi Estimasi aktual yang Penyesuaian dilaporkan
Februari 1996
Susenas Core/ Gardiner
11.47
9.75
Februari 1997
Susenas Core/ Gardiner
9.36
7.64
Mei 1997
100 Villages/ SMERU
7.53
7.53
11.0
6.57
Agus-Okt 1997 IFLS 2+/ RAND & LDUI Februari 1998
Susenas Core/ Gardiner
14.82
13.10
Agust 1998
100 Villages/ SMERU
16.07
16.07
Sept-Des 1998
IFLS 2+/ RAND & LDUI
19.9
17.35
Desember 1998 100 Villages/ SMERU
16.79
13.15
Februari 1999
Susenas/ SMERU
16.27
16.27
Mei 1999
100 Villages/ SMERU
11.29
11.29
Agust 1999
Susenas/ SMERU
9.79
9.79
Prosentase Perubahan dari terendah ke tertinggi
10.78 (164%)
Sumber: Suryahadi et. al. (2000) Sebagaimana ditunjukkan oleh Strauss, et. al. (2002) kemiskinan tidak meningkat secara signifikan pada periode 1997-2000. Terdapat tendensi penurunan kemiskinan di perkotaan dan perdesaan di 7 dari 13 propinsi. Namun, kita juga dapat melihat bahwa terdapat peningkatan kemiskinan yang cukup besar misalnya di perdesaan Nusa Tenggara Barat. Sedangkan penurunan cukup besar juga terjadi misalnya di perdesaan Sumatra Selatan. Secara singkat, diskusi tersebut menunjukkan bahwa dampak krisis ekonomi telah masuk dalam berbagai sendi kehidupan ekonomi, dengan berbagai variasi untuk setiap sektor dan tidak sedramatis seperti yang diperkirakan tahun 1998. Terkait dengan dampak krisis, mungkin tepat kalau dikatakan bahwa krisis telah menyebabkan turunnya kemampuan ekonomi penduduk pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh dua faktor yang bekerja secara bersamaan dan simultan yakni penurunan pendapatan riil dan peningkatan biaya hidup keseharian. Tinjauan singkat tersebut tidak bermaksut memberikan kesimpulan-kesimpulan umum tentang dampak krisis khususnya terhadap kesejahteraan. Banyak aspek yang berpengaruh dan berbagai kajian menunjukkan bahwa dalam konteks lintas wilayah, lintas perspektif dan kajian mikro, dampak krisis cukup menarik dan saling kontradiksi, tergantung berbagai aspek. Beberapa peneliti memberikan rambu-rambu untuk hati-hati menganalisis hal tersebut (lihat misalnya Husken, 1999; de Jong, 1999 dan Breman 1999).
S. 315, November 21, 2002
3
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
Pengangguran dan Upah Pekerja: Permasalahan Tanpa Akhir Terkait dengan banyaknya aspek dampak krisis, hal yang utama adalah banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan. Swasono (1998), mengestimasikan bahwa akibat krisis terdapat antara 1,5 juta sampai 3,6 juta orang yang terpaksa berhenti bekerja. Sekelompok orang yang lain menjadi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada umumnya, mereka yang pada awalnya terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan formal dan berasal dari klas menengah. ILO (1998) mengestimasikan bahwa pada tahun 1998 pengangguran terbuka sekitar 13,7 juta yang dapat dirinci: 5.8 juta pengangguran berasal dari tahun 1998, 5,2 juta berasal dari mereka yang kehilangan pekerjaan karena krisis dan 2,7 angkatan kerja baru yang mencari kerja. Pada tahun 2001, pengangguran terbuka sekitar 8 juta, dengan jumlah penganggur mencapai peningkatan 8,1 persen dari sebelumnya. Data ini tentu saja menunjukkan peningkatan hampir dua laki lipat dari sebelum krisis yang mencapai angka 4,7 persen (Kompas, 28 Mei, 2002). Estimasi yang lain (Swasono dan Anung Anindita, 2002) dengan menggunakan PDB 1998, yang minus 15 persen, pengangguran terbuka akan meningkat menjadi 17 juta atau 18 persen dari angkatan kerja, dan setengah penggangguran akan meningkat duakali lipat tahun 1996. Total pengangguran terbuka dan setengah penganggur akan mencapai 35 juta atau 377,9 persen angkatan kerja. Walaupun tidak terdapat kesepakatan tentang gambaran tersebut, tetapi tentu saja semua setuju bahwa krisis ekonomi memiliki dampak yang cukup serius terhadap penurunan kesempatan kerja yang akan berimbas secara langsung terhadap meningkatnya secara serius permasalahan pengangguran. Permasalahan yang krusial lain dalam konteks perkembangan ekonomi Indonesia adalah masalah upah tenaga kerja. Secara historis, pemerintah telah menetapkan upah minimum untuk semua wilayah. Pada kenyataannya, pada tahun 1992 ditemukan bahwa upah minimum regional tersebut dibawah kecukupan untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum (ILO, 1996). Pada beberapa tahun kemudian upah meningkat, tetapi masih terdapat enam propinsi yang menetapkan upah minimum dibawah kebutuhan fisik minimum (Nachrowie dan Wangkeraren, 1996). Kebijakan pengupahan tersebut merupakan kebijakan upah buruh terendah di bandingkan beberapa negara Asia. Pada akhir tahun 1990-an upah buruh kasar di perkotaan sekitar Rp1.176 dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar antara 1.842,8 sampai 2,252. Upah ini dalam catatan Bank pembangunan asia merupakan upah yang setara atau bahkanlebih rendah dari yang diterima oleh sebagian besar buruh di Bangladesh, India dan Pakistan. Negara yang sebenarnya secara ekonomi tidak lebih baik dibandingkan Indonesia (ADB, 1996). Migrasi Internasional pada Era Krisis Ekonomi Pada kenyataannya, adalah sulit untuk menemukan angka pasti jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja diluar negeri, terlebih besarnya jumlah pekerja ilegal. Namun demikian, tidak terbantahkan bahwa jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja diluar negeri meningkat dengan pesat. Seperti terlihat pada Tabel 3, pada periode 1998-1999 terdapat peningkatan yang cukup signifikan jumlah pekerja Indonesia diluar negeri. Data terbaru menunjukkan bahwa dua tahun terakhir (1999-2001), jumlah TKI sebanyak 968.260, dengan rata-rata penempatan 387.304 pekerja dalam setiap tahun. Dari total, 47,52 persen pekerja bekerja di negara ASEAN, 34,5 persen di Timur Tengah, 17,52 persen di Asia Pasifik, 0,7 persen di Eropa dan AS dan 0,06 persen di negara lainnya. Krisis ekonomi telah mendorong orang untuk mencari pekerjaan diluar negeri (Romdiati, Handayani and Rahayu, 1998).
S. 315, November 21, 2002
4
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
Tabel 3 Pekerja Migran Indonesia dan Bidang Pekerjaan (1998 dan 1999) Periode Bidang Pekerjaan
1998
1999
N
%
Pertanian dan kehutanan
24.144
6,35
63.434 14,83
Pabrik
44.977 11,82
91.828 21,47
Konstruksi Restoran/hotel Transportasi Perawat
N
%
1.470
0,39
1.355
0,32
47
0,01
56
0,01
25.966
6,82
26.628
6,23
445
0,12
1.860
0,43
Jasa Perorangan dan kemasyarakatan 222.682 58,53 184.630 43,18 Lainnya
60.472 15,89
Total
57.828 13,52
380.472 100,0 427.619 100,0
Sumber: Tara bakti. H. Soeprobo dan Nur Hadi Wiyono (2002) Tabel 3 juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang cukup besar jumlah pekerja Indonesia yang masuk dalam sektor industri walaupun juga tampak nyataa bahwa sektor jasa tetap menjadi pilihan. Satu alasan mengapa kecenderungan pekerjaan migran demikian adalah rendahnya tingkat pendidikan migran. Beberapa karakteristik migran lainnya adalah pendidikan rendah, keterbatsan ketrampilan dan pengetahuan, dan usia antara 15-40 tahun. Penelitian di beberapa daerah (Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa tengah) menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen responden lulusan SD dan tidak lulus SD (Kementrian Tenaga Kerja, 1997) Raharto (2002) yang mewawancarai 133 migran di Cianjur dan Indramayu menemukan hal yang sama. Sebanyak 93 persen responden tidak lulus sekolah dasar dan bahkan tidak sekolah. Hal ini merupakan penyebab utama mengapa pekerja Indonesia hanya terserap pada sektor dan jenis pekerjaan yang tidak memerlukan ketrampilan seperti di perkebunan dan pabrik sebagai buruh untuk laki-laki dan sebagai pembantu rumahtangga untuk perempuan (Bandiyono dan Alihar, 2000). Tirtosudarmo, (2002) menunjukkan bahwa sebagian besar migran (56,45 persen) bekerja pada sektor formal dan 43,55 persen pada sektor informal. Tabel 4 Jumlah Migran Indonesia di Beberapa Negara (1996-2000) Negara
1996
1997
1998
1999
2000
Malaysia
38.652
317.685
95.033
169.177
170.067
Singapura
29.065
31.928
42.031
34.829
20.456
8.888
9.445
14.109
29.372
41.620
115.209
116.844
177.404
131.157
108.734
Taiwan Saudi Arabia
Sumber: Tara Bakti H. Soeprobo dan Nur hadi Wiyono. 2002 Gambaran jumlah migran Indonesia di beberapa negara Asia dan perkembangannya tampak pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4 menunjukkan bahwa untuk tujuan ke Taiwan terdapat peningkatan yang cukup konsisten, sedangkan beberapa negara lainnya menunjukkan adanya fluktuasi. Migrasi dengan tujuan Singapura
S. 315, November 21, 2002
5
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
terdapat kecenderungan penurunan cukup drastis. Pada sisi lain, kecenderungan ke Malaysia mengalami peningkatan. Hanya tahun 1998 terdapat penurunan dan kemudian meningkat dengan tajam. Penurunan tahun 1998 terjadi karena pada tahun tersebut Malaysia terimbas krisis ekonomi Thailand dan Indonesia. Pada waktu itu, banyak pekerja migran dari Indonesia pulang. Namun dampak krisis bagi Malaysia hanya sebentar dan taun berikutnya bisa dikatakan ekonomi Malaysia kembali bangkit. Kecenderungan yang cukup menarik terjadi pada daerah tujuan di Timur Tengah. Tabel 5 menunjukkan bahwa pekerja migran yang bekerja di Arab Saudi sebelum krisis meningkat dari 115.209 menjadi 116.844 pada 1997 dan 177.404 pada 1998. Tetapi pada periode 1998-2000 terjadi penurunan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadi pergeseran negara tujuan dari Timur Tengah ke Asia Pasifik, dengan menempatkan Malaysia sebagai negara tujuan utama. Table 5 Indonesia: Estimated Stocks of Overseas Contract Worker Around 2000 Destination Arab Saudi Uni Emirat Arab Malaysia
Estimated Stocks
Source
425.000 Indonesian Embassy. Riyadh 35.000 Asian Migration News. 30 April 1999 1.900.000 Kassim. 1997
Hongkong
32.000 DEPNAKER
Singapura
70.000 Asian Migration News. 15 May 1999
Taiwan
46.762 Kyodo. 24 may 2000
Korea Selatan
11.700 Asian Migration Yearbook. 1999:182
Jepang Philipina Brunei Lain Total
3.245 Asian Migration Yearbook. 1999:128 26.000 South China Morning Post. 10 December 1998 2.426 Asian Migration Yearbook. 1999:125 20.000 DEPNAKER 2.572.133
Sumber: Hugo. 2002: 19 Perilaku migrasi dapat dijelaskan berdasarkan beberapa perspektif. Salah satunya adalah pendekatan ekonomi neoklasik dalam perspektif makro. dalam perspektif ini, migrasi terjadi sebagai akibat perbedaan-perbedaan antar wilayah dalam hal penawaran dan permintaan tenaga kerja khususnya antara daerah asal dan daerah tujuan. Hal ini merupakan faktor utama yang menjadi pendorong individu untuk melakukan migrasi (Massey, et.al., 1993). Ketidakseimbangan pasar kerja menyebabkan peningkatan pengangguran di Indonesia dan meningkatkan permintaan akan pekerjaan, setidaknya untuk beberapa jeniss pekerjaan. Sementara itu, permintaan tenaga kerja dari negara tetangga, yangrelatif tidak terimbas krisis ekonomi merupakan peluang bagi pekerja dari Indonesia. Dalam perspektif mikro, pendekatan neoklasik menjelaskan pola kalkulasi untung rugi dalam perspektif individu pelaku migrasi. dalam konteks ini, perbedaan upah menjadi sangat signifikan mempengaruhi keputusan migrasi seseorang. Beberapa penelitian mendukung perspektif ini (lihat Mantra. 1999; Sukamdi. et. al.. 2001).
S. 315, November 21, 2002
6
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
Salah satu isu penting terkait dengan migrasi adalah dampak ekonomi, khususnya aspek remitan. Bahkan remitan menjadi isu utama dalam kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia. Penggunaan istilah “eksport tenaga kerja” berimplikasi pada pengertian bahwa migran diharapkan membawa remitan berupa uang tidak hanya bagi keluarganya tetapi juga untuk negara. Penekanan pada aspek remitan sering menjadi penyebab tidak dihiraukannya aspek jaminan keamanan oleh negara baik ketika di daerah tujuan maupun sekembalinya dari luar negeri (lihat Mantra, 2001). temuan beberapa penelitian menunjukkan bahwa remitan lebih banyak digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar konsumsi. Sangat jarang ditemukan remitan digunakan sebagai sumber pembiayaan investasi atau kegiatan produktif lainnya. Sehingga mungkin benar bahwa pengertian kita tentang dampak remitan untuk mengatasi kemiskinan perlu untuk ditinjau ulang. Namun demikian, pada sisi lain juga tidak dapat dipungkiri bahwa migrasi membawa keuntungan-keuntungan ekonomi bagi migran dan keluarganya. Minimal, migran memperoleh keuntungan mendapatkan pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan dibandingkan di daerah asal. Pada sisi lain, pemahaman tentang dampak negatif migrasi perlu mendapat perhatian yang cukup. Penelitian tentang perempuan migran kembali dari arab Saudi (Sukamdi. et. al.. 2001) di Yogyakarta menunjukkan bahwa migran kembali mengalami berbagai problem sosial dan psikologi. Di negara tujuan mereka memperoleh berbagai perlakuan tidak senonoh. Dalam perjalanan pulang, migran menjadi sasaran perampokan, dan ketika mereka sampai di tempat tujuan, mereka harus menyesuaikan dengan permasalahan adaptasi sosial dan psikologi. Mungkin benar bahwa keuntungan ekonomi yang mereka terima pada dasarnya tidak sebanding dengan pengorbananpengorbanan yang harus dilakukan oleh migran. Migrasi memberikan kontribusi untuk peningkatan perekonomian keluarga berupa remitan yang dikirim (Haris, 1987; Mantra, et.al., 1999). Perbedaan upah antara daerah tujuan dan asal merupakan faktor pendorong individu untuk migrasi (Raharto. 1999). Migran dari Lombok Tengah menggunakan sebagian remitan untuk membayar utang, pembiayaan kehidupan sehari-hari, dan sebagian untuk membayar pendidikan anak. Migran di Yogyakarta (sebanyak 60,5 persen) menggunakan remitan untuk hal yang sama. Hanya sedikit yang memanfaatkan untuk hal yang produktif (Sukamdi. et. al. 2001). Penelitian di NTB dan NTT juga mengindikasikan hal yang tidak jauh berbeda. Sebagian besar migran (63,8 persen) menyatakan remitan untuk pendidikan anak (Keban. 1999). Khusus untuk kegiatan produktif, sebagian besar migran menggunakan remitan untuk investasi dalam bentuk tanah. Hal yang menarik adalah bahwa 31,7 persen migran memiliki tanah karena remitan dan hanya 28,0 persen yang berasal dari pewarisan. hal ini berarti bahwa remitan memegang peranan penting sebagai sumber investasi keluarga (Sukamdi, 2001). Apabila dilihat dalam perspektif demografis, terdapat perubahan yang cukup signifikan pola migrasi sebelum dan sesudah krisis ekonomi (1995-2000). Berdasarkan sex rasio, secara umum migrasi tenaga kerja didominasi oleh perempuan. Hal ini ditunjukkan oleh sex rasio migrasi kurang dari 100. Seperti terlihat dalam Tabel 6.
S. 315, November 21, 2002
7
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
Tabel 6 Sex Ratio Pekerja Migran di Empat Negara Tujuan (1996-2000) Negara Tujuan
Sex Ratio 1996
1997
1998
1999
2000
Malaysia
15
157
50
90
138
Singapura
21
17
11
10
13
349
257
257
25
14
3
7
9
9
10
Taiwan Saudi Arabia
Sumber: Tara Bakti H Soeprapto dan Nur Hadi Wiyono. 2002. Kesimpulan apa yang dapat diambil dari diskusi tersebut? Pertama, mungkin benar bahwa migrasi internasional memberikan keuntungan ekonomi bagi keluarga migran, tetapi adalah masih cukup terbuka lebar untuk diskusi panjang apabila dampak migrasi dilihat mampu sebagai faktor yang penting bagi migran untuk keluar dari kemiskinan. Alasan utamanya adalah bahwa penggunaan remitan sebagian besar hanya untuk halhal yang bersifat konsumtif dan cukup sedikit yang digunakan sebagai sumber kegiatan produktif. Dengan demikian, pada dasarnya dampak ekonomi migrasi dalam keluarga tidak signifikan. Migrasi internasional, kemudia, merupakan bagian dari suatu strategi kelangsungan hidup. Secara singkat dapat dikatakan bahwa remitan, sebagai dampak ekonomi migrasi, merupakan penolong yang membantu kehidupan keluarga migran keluar dari himpitan krisis, dan bukan membantu untuk keluar dari kondisi kemiskinan secara relatif permanen. Pustaka Breman. Jan. 1999. “Krismon the Javanese Desa: the Dynamics of Inclusion and exclusion in the reconstruction of Indonesia’s New Order Regime” Paper presented at the Workshop on The Economic Crisis and Social Security in Indonesia Berg-en Dal. January Breman. Jan. 2000. “The Impact of Asian Economic Crisis on Work and Welfare in Village Java”. Dies Natalis Address delivered on 12 October 2000 on the Occasion of the 48th Anniversary of the Institute of Social Studies. The Hague De Jong. H. 1999. “Street and Beach Sellers During the Crisis” Paper presented at the Workshop on The Economic Crisis and Social Security in Indonesia Berg-en Dal. January Feridhanusetyawan. Tubagus. "The Social Impact of the Indonesian Economic Crisis. " a report prepared for the Thailand Development Research Institute (TDRI). 2000. Frankenberg. Elizabeth. Duncan Thomas. dan Kathleen Beegle. 1999. “The real Costs of Indonesia’s Economic Crisis: Preliminary Finding from the Indonesia Family Life Surveys”. Labor and Population . Working Paper Series 99-04. Hugo. Graeme. 2002. “Efects of International Migration on the Family in Indonesia”. Asian and Pasific Migration Journal. vol. 11. no. 1. P: 13- 46. Husken. F. 1999. “Crisis. What Crisis? The Village Community of Gondosari during the Krismon”. Paper presented at the Workshop on The Economic Crisis and Social Security in Indonesia Berg-en Dal. January ILO Regional Office for Asia and the Pacific . 1998. Globalization with Equity: Policies for Growth. International Labour Organization ILO Regional Office for Asia and the Pacific . 1998. Globalization with Equity: Policies for Growth. International Labour Organization
S. 315, November 21, 2002
8
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
Mantra. Ida Bagoes. Kasto dan Yeremias T Keban. 1999. Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia: studi kasus Flores Timur. Lombok Tengah. dan Pulau Bawean. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan. Menaker: Tingkat Pengangguran Capai 36.9 juta Orang Selasa. 28 Mei 2002 Jakarta. http://www.kompas.com/bisnis/news/0205/28/021317.htm Mubyarto. 2000. “Krisis Ekonomi. Ekonomi Rakyat. dan Optimisme Menghadapi pemulihan Ekonomi” [Economic Crisis. People Economy. and Optimism facing Economic Recoverty]. speech at the Opening of Workshop on Youth in West Nusa Tenggara. Denpasar: Collaboration Agro Economic Foundation (YAE) and Pemda segugus Nusa Tenggara. 15 February.. Raharto. Aswatini (ed). 1999. Migrasi dan Pembangunan di Kawasan Timur Indonesia: Isu Ketenagakerjaan. Jakarta: PPT-LIPI. Setiadi. 1999. Konteks Sosio-kultural Migrasi Internasional: Kasus Lewotolok. Flores Timur. Populasi: Buletin Penelitian Kebijakan Kependudukan. 10(2) P: 17- 38. Soeprobo. Tara Bakti H. and Nur Hadi Wiyono. 2002. The Process of The International Labor Migration from Indonesia. Makalah Seminar Nasional Isu Kebijakan Gender dalam Pembangunan. Surakarta: Kerjasama Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Ford Foundation. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret. Soeprobo. Tara bakti H. dan Nur Hadi Wiyono. 2002. “The Process of The International Labor Migration from Indonesia”. Makalah Seminar Nasional Isu Kebijakan Gender dalam Pembangunan. Yogyakarta. Strauss. John. et.al.. 2002. Indonesian Living Standards Three Years After The Crisis: Evidence From The Indonesia Family Life Survey (forth coming). Sukamdi et.al... 2001. Female Labour Migration in South-East Asia: Change and Continuity. Country Study: Indonesia. Bangkok: Asia Pacific Migreation Network and Asian Research Center for Migration. Institute of Asian Studies. Suryahadi. Asep. Sudarno Sumarto. Yusuf Suharso dan lant Pritchett. The Evolution of Poverty During the Crisis in Indonesia. 1996 to 1999. Seminar on Methodology of Poverty Calculation in Indonesia. Organized joinly by the Center for Statistical Services. World Bank. and SMERU. Jakarta: November 30. 1999. Swasono. Yudo dan Anung Anindita. Kondisi Ketenagakerjaan Pada Masa Krisis Dan Era Globalisasi http://202.159.18.43/jsi/91yudo.htm Tamtiari. Wini. 1999. “Dampak Sosial Migrasi Tenaga Kerja ke Malaysia”. In Populasi. vol. 10. no 2. Tirtosudarmo. Riwanto. 2002. “Migrasi Lintas Batas Negara: Posisi Indonesia. Konteks Politik dan Perebutan Ruang Publik”. Lokakarya Nasional Migrasi Lintas Batas Negara dan Seksualitas. Yogyakarta: Kerjasama PSKK UGM dan Rockefeller Foundation Widharto. 2002. “Challenges in accessing scientific and technological information in Indonesia during the economic crisis “ American Society for Information Science. Bulletin of the American Society for Information Science; Apr/May 2002; vol 28 no 4 pp 25-27 Keban. Yeremias T. 1999. Migrasi Internasional dan Pembangunan: Determinan dan Dampak Migrasi ke Malaysia terhadap Pembangunan Daerah NTB dan NTT (Analisis Kuantitatif).
S. 315, November 21, 2002
9