62
III. 3.1.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah
pada bulan Maret 2009 sampai dengan Maret 2010 dan dilanjutkan sampai tahun 2011 untuk pelengkapan data yang mendukung.
Secara geografis Kota
Semarang terletak pada 6o50’- 7o10’ LS dan 109 o35’-110o50’ BT. Adapun fokus penelitian adalah kawasan pesisir Kota Semarang dengan garis pantai sepanjang ± 13.6 km dan lebar 4 mil laut, yang mempunyai luas kurang lebih 223 Km2 meliputi 4 kecamatan, yakni: Genuk, Semarang Utara, Semarang Barat dan Tugu (Gambar 3.1). Adapun untuk pengamatan dampak pengelolaan waterfront di pesisir Semarang, cakupan penelitian diperluas ke wilayah Kecamatan sekitarnya yang masuk dalam wilayah Kota Semarang yaitu: Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Gayamsari, Pedurungan, dan selanjutnya jika diperlukan dapat diperluas ke Kecamatan sekitar yang lainnya (Gambar 3.2).
3.2
Rancangan Penelitian
3.2.1
Tahapan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebijakan dan strategi
pengelolaan wilayah tepian air Kota Semarang yang berkelanjutan. Kebijakan dan
strategi
pengelolaan
wilayah
didasarkan
pada
kondisi
sekarang,
kecenderungan perkembangan wilayah, dan preferensi semua stakeholder. Dalam
merumuskan kebijakan dan skenario
membangun model kebijakan pengelolaan
pengelolaan untuk
Semarang “water front city”,
dilakukan langkah seperti Gambar 3.3 dibawah ini, di mana data yang diperoleh di kelompokkan dalam 4 kelompok secara paralel dilakukan analisa terhadap: (a) Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Alam, (b) Keterpaduan/Keberlanjutan, (c) Sistem Dinamik dan (d) Sistem Dinamik Spasial.
63
Gambar 3.1 Peta Area Penelitian di Semarang Tepian Pantai 63
64
Gambar 3.2. Peta Area Penelitian di Kota Semarang
64
65
Gambar 3.3. Tahapan Penelitian
65
66
Dengan menggunakan Analyitical Hierarchy Process (AHP) diperoleh Alternatif Kebijakan Pengelolaan Semarang “water front city”, untuk selanjutnya ditentukan Strategi Kebijakan Semarang ”water front city”. Pada kelompok a, data diperoleh dari kajian pustaka, dilakukan analisis kelayakan pengelolaan SDA (mangrove, beach) dengan pendekatan Extended Cost Benefit Analysis (ECBA), Benefit Cost Ratio (BCR) untuk menghitung Net Present Value (NPV) dalam jangka proyek 20 tahun. Untuk opsi manejemen digunakan Comparative Performance Index (CPI). Output yang diperoleh berupa kelayaan pengelolaan SDA yang akan menjadi inputan bagi perumusan strategi kebijakan. Kelompok b, data berupa 92 atribut dari 5 dimensi (biofisik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan hukum & kelembagaan) yang diperoleh dengan cara wawancara, pengisian kuesioner. Dilakukan analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) untuk mengetahui tingkat keberlanjutan, faktor-faktor/faktor pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan “water front city”, menggunakan perangkat lunak (software) Rap-WITEPA. Output berupa indeks keberlanjutan dan faktor pengungkit yang diperoleh menjadi inputan bagi penyusunan diagram hirarki AHP untuk merumuskan kebijakan dan skenario pengelolaan. Kelompok c, data berupa data-data biofisik, ekonomi dan sosial yang bersifat time series. Dilakukan analisis dinamik dengan pendekatan sistem, menggunakan Powersim Studio 2005. Output yang dihasilkan berupa model sistem dinamis, suatu model abstrak dalam bentuk diagram alir dan persamaan komputer.
3.2.2
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitia ini terdiri dari dua jenis data,
pertama-tama adalah data yang diperoleh dengan cara observasi langsung di lapangan/lokasi penelitian, diskusi, wawancara langsung dengan pakar, pengisian kuisioner oleh stake holder di lokasi penelitian dan kedua adalah jenis data yang diperoleh bersumber dari penelusuran dokumen. Jenis data yang akan di kumpulkan dalam penelitian ini antara lain:
67
Tabel 3.1. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian No
Jenis Data
1
Faktor (MDS) Prioritas (AHP)
2
Satuan
Sumber Data
Kegunaan
Teknik Pengumpulan
Pengungkit
%
Stakeholder
Wawancara
Kebijakan
%
Stakeholder
Analisa Keberlanjutan Analisa Strategi Kebijakan
Ha
BPS /RTRW
Ha
BPS/RTRW
Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung
Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber
Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa spasial dinamik
Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran sumber Penelusuran sumber
Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung
Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber
Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cendeung Analisa Cenderung Analisa Cenderung
Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber
Data Biofisik 3 Lahan Permukiman dan Bangunan 4 Lahan Sawah 5
Lahan Hutan
Ha
BPS/RTRW
6
Ha
BPS/RTRW
Ha
BPS/RTRW
8
Lahan Tegal, Kebun & Lahan Kering Lainnya Lahan Tambak, Rawa dan Kolam Jumlah Sampah
Kg
SLHD
9
Jumlah Limbah
Kg
SLHD
10
Penggunaan Lahan
Ha
BPS
11
Reklamasi
Ha
RTRW
Peta tutupan lahan Photo udara (citra landsat) Data Ekonomi 13 Pendapatan sektoral
Lembar
Biotrop
Rp
BPS
14
Jumlah industri
Unit
BPS
15
Investasi
USD
BPS
Data Sosial 16 Jumlah Penduduk
Jiwa
BPS
17
Jiwa/km
BPS
7
12
Kepadatan Penduduk
2
18 19 20 21
Lapangan Kerja/Angkatan Kerja Angka Pengangguran Pertumbuhan Penduduk Jumlah Penduduk, Petani Nelayan
Jiwa
BPS
Jiwa
BPS
%
BPS
Jiwa
BPS
Wawancara
68
3.2.3
Teknik Pengambilan Contoh Teknik pengambilan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling. Pada teknik ini, contoh diambil berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang di dasarkan pada kebutuhan penelitian. Sebanyak 25 orang pakar berasal dari kalangan akademisi 6 (enam) orang, birokrasi 4 (empat) orang dan lembaga swadaya masyarakat 2 (dua) orang, pelaku usaha 4 (empat) orang, dan masyarakat (nelayan, pedagang ikan, perbankan) 9 (sembilan) orang, merupakan nara sumber yang memberikan pandangan dan wawasan bagi pengelolaan lingkungan wilayah pesisir Semarang.
3.3.
Teknik Analisis Data Pengelolaan wilayah tepian air Kota Semarang dirancang menggunakan
berbagai analisis seperti kinerja pengelolaan SDA, analisis keberlanjutan, pendekatan sistem, analisis spatial dinamik dan analisis hirarki proses. 3.3.1
Menentukan Kelayakan Sumberdaya Alam Sumberdaya alam tepian pantai Kota Semarang
berupa mangrove,
sumberdaya pantai (beach resourses), terumbu karang (diabaikan karena telah punah), rumput laut (diabaikan karena susah tumbuh di pesisir Semarang). Produk dari hasil kelayakan sumberdaya alam ini berupa kelayakan sumberdaya ini untuk dapat direkomendasikan sebagai investasi yang baik, opsi dan ranking pemilihan. (a) Dilakukan dengan analisis penilaian kelayakan pengelolaan sumberdaya melalui extended cost-benefit analysis (ECBA), yang digunakan untuk menentukan opsi pengelolaan sumberdaya wilayah tepian air secara lebih efisien. Extened cost-benefit analysis yang digunakan meliputi penaksiran net present value (NPV) terhadap eksternalitas dan/atau manfaat peningkatan kondisi lingkungan (environmental improvement benefits), biaya kerusakan (damage cost)dan biaya masyarakat atas langkah perlindungan lingkungan (cost of society of environmental protection measures). Persamaan yang digunakan dalam Extended cost-benefit analysis sebagai berikut: NPV =
(Bd-Cd)+(Be-Ce)-Cp
69
Dimana :
NPV
=
Net Present Value
Bd
=
manfaat langsung proyek (direct project benefits)
Cd
=
biaya langsung proyek ( direct project cost)
Be
=
eksternalitas dan/atau manfaat lingkungan (external and/or environmental benefits).
Ce
=
eksternalitas dan/atau biaya lingkungan (external and/orenvironmental cost), dan
Cp
=
biaya perlindungan/mitigasi lingkungan (environmental protection cost / mitigation cost).
Dengan menggunakan pendekatan cost-benefit analysis, sebuah proyek atau program dengan NPV positif direkomendasikan sebagai sebuah investasi yang baik dalam arti bahwa proyek tersebut akan menghasilkan manfaat yang lebih besar dan merupakan opsi pengelolaan sumberdaya terbaik di masa yang akan datang. Hal ini juga berlaku untuk BCR yang tinggi. Benefit dan cost dari opsi pengelolaan sumberdaya kota tepian air yang diusulkan dihitung sebagai berikut : T
Bi = ∑ t=0
T
Ci = ∑ t=0
Bit (1 + r )t Cit t
(1 + r )
Prosedur untuk mengevaluasi opsi pengelolaan sumberdaya wilayah tepian air di dasarkan pada nilai NPV dan BCR tertinggi, ditunjukkan oleh : NPVi = Bi - Ci Bi BCRi = Ci
Keterangan
:
Bi
=
present value dari total benefit pada alternatif i
Bit
=
total benefit pada alternatif i pada tahun t = 0, 1, 2,......., r
70
Ci
=
present value dari total cost pada alternatif i
Cit
=
total cost pada alternatif i pada tahun t = 0, 1, 2,....r
NPVi =
net present value pada alternatif i
BCRi =
benefit-cost ratio pada alternatif i
i
=
1 untuk alternatif pertama dan 2 untuk alternatif kedua
r
=
discount rate
Dari evaluasi diatas tersebut, diperoleh beberapa opsi/pilihan pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dilaksanakan di wilayah Kota Semarang tepian pantai disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Pilihan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Kota Semarang tepian pantai. No.
Sumberdaya/habitat
1.
Mangrove
2.
Pilihan pengelolaan * * * *
Beach
Sustainable management sylvofisheries Beach protected areas Set-back zone
(b) Teknik Perbandingan Indeks Kinerja Untuk menentukan peringkat dari beberapa opsi/pilihan pengelolaan sumberdaya wilayah Kota Semarang tepian pantai pada Tabel 3.2, digunakan teknik perbandingan indeks kinerja (comparative performance indeks, CPI). Menurut Marimin (2005) indeks gabungan kriteria dari setiap opsi dirumuskan sebagai berikut: xij Aij =
______
x 100 ; i = 1, 2, ......, n dan j = 1, 2, .... , m
x ij(min) m
Ii
= ∑ Aij Bj ;
i = 1, 2, .... , n dan j = 1, 2, ... , m
j=1
Keterangan:
Aij
=
nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j
xij
=
nilai awal alternatif ke-i pada kriteria ke-j
xij(min) =
nilai awal alternatif ke-i pada kriteria minimum ke-j
71
Bj
= bobot kepentingan kriteria ke -j
Ii
=
indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-i
3.3.2 Menentukan Tingkat Keberlanjutan dan Indikator-indikator Produk berupa tingkat keberlanjutan, indikator-indikator keberlanjutan dan faktor pengungkit atau atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan. Keberlanjutan Pengembangan Kota Wilayah Tepian Air di Kota Semarang dianalisis dengan menggunakan Metode Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut dengan pendekatan Rap-WITEPA (Rapid Appraisal Wilayah Tepian Air), yang merupakan pendekatan yang dimodifikasi dari program RAPFISH (Rapid Assessment Techchniques for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia (Kavanagh, 2001; Fauzia dan Anna, 2002). Metode MDS merupakan teknik analisis statistik berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak SPSS, yang melakukan transformasi
terhadap
setiap
dimensi
dan
multidimensi
keberlanjutan
pengembangan wilayah tepian air Kota Semarang. Adapun urutan metodologi dengan MDS ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.4. Analisis ini dilakukan secara bertahap dengan memasukkan atribut (dimensi) yang berpengaruh pada kelanjutan kegiatan.
Dengan metode MDS status
keberlanjutan kegiatan Pengembangan Kota Wilayah Tepian Air di Kota Semarang disusun berdasarkan indeks pada setiap dimensi secara gabungan maupun secara parsial. Dimensi yang merupakan faktor penentu disesuaikan dengan kondisi di Kota Semarang antara lain adalah: dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi infrastruktur dan teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan. Nilai Rap-WITEPA
ini kemudian divisualisasikan dengan diagram
layang (kite diagram). Analisis keberlanjutan dilakukan melalui
beberapa tahapan, yaitu
tahapan penentuan atribut fungsi-fungsi kota wilayah tepian air yang mencakup lima dimensi (dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan), tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, analisis ordinasi yang berbasis metode
72
“multidimensional scaling” (MDS), penyusunan indeks dan status keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air existing condition yang dikaji baik secara umum maupun pada setiap dimensi. Selanjutnya dilakukan pula analisis multidimensi dengan menggabungkan seluruh atribut dari lima dimensi keberlanjutan diatas. Analisis data dengan MDS dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, me-review atribut-atribut pada setiap dimensi keberlanjutan dan mendefinisikan atribut tersebut melalui pengamatan lapangan, serta kajian pustaka. Keseluruhan, terdapat 97 (sembilan puluh tujuh) atribut yang dianalisis, masing masing: 25 atribut dimensi ekologi, 18 atribut dimensi sosial dan budaya, 20 atribut dimensi ekonomi, 18 atribut dimensi infrastruktur dan teknologi dan 13 atribut dimensi hukum dan kelembagaan (Lampiran 3 halaman 261). Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, hasil perhitungan/analisis ataupun data sekunder yang tersedia maka setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pembangunan yang bersangkutan. Skor ini menunjukkan nilai yang “buruk” di satu ujung dan nilai “baik” di ujung yang lain. Nilai “buruk” mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi keberlanjutan fungsi-fungsi kota tepian air. Sebaliknya nilai “baik” mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Di antara dua ekstrim nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut akan ditentukan oleh tersedia atau tidaknya literatur yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah peringkat. Sebagai contoh untuk menentukan tingkat pemanfataan limbah kota masih belum jelas kriteria yang dapat digunakan sebagai acuan, oleh karena itu akan ditentukan berdasarkan ‘scientific judgement” dari pembuat skor. Pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan nilai terkecil ke nilai terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan bukan berdasarkan urutan nilai dari yang terburuk ke nilai yang terbaik. Sebagai contoh pada atribut sosialisasi pekerjaan, maka skor disusun dari yang terkecil,
yaitu dilakukan
secara individu (0) hingga yang dilakukan secara kelompok (2). Pada susunan yang demikian maka yang paling baik bernilai 2 dan yang paling buruk bernilai 0. Pada atribut yang lain misalnya frekuensi konflik antara masyarakat lokal
73
dengan masyarakat pendatang, nilai skor disusun secara sama dari nilai 0 = (frekuensi konflik tinggi), ke nilai 2 = (frekuensi konflik rendah). Dalam penentuan nilai skor baik atau buruk pada metode analisis keberlanjutan ini berkaitan dengan persepsi sehingga suatu atribut harus dilihat berdasarkan persepsi responden yang disesuaikan dengan data yang ada. Untuk selanjutnya nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multi dimensional untuk menentukan satu
atau
beberapa titik
yang
mencerminkan posisi keberlanjutan pengembangan kota wilayah tepian air yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik” (“good”) dan titik “buruk” (“bad”). Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. Tahap proses Rapfish
(Kavanagh,
ordinasi menggunakan perangkat lunak modifikasi 2001).
Perangkat
lunak
Rapfish
ini
merupakan
pengembangan MDS yang ada di dalam perangkat lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebalikan posisi (fliping), dan beberapa analisis sensitivitas telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS ini maka posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrem “buruk” diberi nilai skor 0% dan titik ekstrem “baik” diberi skor nilai 100%. Posisi keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrem tersebut. Nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan fungsi-fungsi pengembangan kota wilayah tepian air yang dilakukan pada saat ini. Teknik ordinasi (penentuanjarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n dengan persamaan
________________________________________
d = √ ﴾ | x1 - x2 |2 + | y 1 - y 2 |2 + |z 1 - z 2 | 2+ ........... ) Titik tersebut kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (dij) dengan persamaan: dij =
a + bdij + e
Dalam meregresikan persamaan diatas digunakan teknik least squared bergantian yang didasarkan pada akar dari Euclidian Distance (Squared distance) atau disebut metodealgoritma ASCAL. Metode ini mengoptimalisasi
74
jarak kuadrat (squared distance = o ijk) terhadap data kuadrat (titik asal = o ijk) yang dalam tiga dimensi (i,j,k) yang disebut S-stress dengan persamaan:
Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), nilai stress yang diperbolehkan adalah apabila berada dibawah nilai 0,25 (menunjukkan hasil analisis yang cukup baik). Sedangkan nilai R2 diharapkan mendekati nilai1 (100%) yang berarti bahwa atribut-atribut yang terpilih saat ini dapat menjelaskan mendekati 100 persen dari model yang ada. Analisis ordinasi ini juga dapat digunakan hanya untuk satu dimensi saja dengan memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis akan mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan dimensi tersebut, misalnya dimensi ekologi. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan maka analisis perbandingan keberlanjutan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) (Fauzi dan Anna, 2002). Skala indeks keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air mempunyai selang 0% - 100%. Jika
sistem yang dikaji mempunyai nilai
indeks lebih dari 50% (>50%) maka fungsi-fungsi tersebut berkelanjutan (sustainable), dan sebaliknya jika kurang dari 50% (<50%) maka sistem tersebut belum berkelanjutan (unsustainable).
Tabel 3.3. Kategori status keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air berdasarkan nilai indeks Nilai Indeks 0 – 25 >25 – 50 >50 – 75 >75 – 100
Kategori Buruk Kurang Cukup Baik
Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinasi fungsi-fungsi kota wilayah tepian air, digunakan analisis “Monte
75
Carlo”. Menurut Kanvanagh (2001), Fauzi dan Anna (2002) analisis “Monte Carlo” juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini : 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut; 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda; 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi); 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data); 5. Tingginya nilai ”stress” hasil analisis keberlanjutan, (nilai “stress”dapat diterima jika < 25%). Tahapan analisis keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air menggunakan metode MDS dengan aplikasi RAP-WITEPA.
Gambar 3.4. Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS
Komponen MDS salah satunya adalah leverage analysis, yang menggambarkan sensitivitas/kepekaan setiap atribut terhadap nilai keberlanjutan. Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap RAP-WITEPA di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root mean square” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu–x atau skala sustainabilitas. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai pada skala sustainabilitas,
76
atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam menentukan keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air di lokasi studi.
3.3.3
Membangun Model Pengelolaan Produk berupa Model Kebijakan Sistem Dinamis dan Dinamis Spasial
berikut simulasinya, yang dibangun menggunakan analisis dinamik dengan pendekatan sistem yang kemudian digabungkan dengan analisis dinamis spasial. Pendekatan sistem merupakan pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisisnya. Karena itu, didalam manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian pada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem (Marimin, 2004). Dengan demikian, sistem dapat diartikan sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling berkaitan dan terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Eryatno (1998), karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan (integritas) antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Penggunan pendekatan sistem (system approach), secara diagramatis disajikan pada Gambar 3.5.
Analisis Kebutuhan Pada tahap ini dinyatakan kebutuhan-kebutuhan yang ada, meliputi
stakeholders yang terdiri dari pemerintah, perusahaan dan pengusaha, masyarakat, LSM (lembaga swadaya masyarakat), dan perguruan tinggi. Kemudian dideskripsikan daftar kebutuhannya. Analisis kebutuhan dilakukan terhadap semua pelaku yang terlibat dalam sistem tersebut.
Formulasi Masalah Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan
masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan dengan mengetahui permasalahan-permasalahan
77
yang ada dari masing-masing stakeholder dengan adanya pengaruh dari stakeholder yang lain.
Identifikasi Sistem Identifikasi permasalahan yang ada merupakan tahapan awal dalam
melakukan pendekatan sistem sehingga dengan mengidentifikasi masalahmasalah awal dan mendasar maka diharapkan diperoleh alternatif penyelesaian masalah sesuai dengan tingkat permasalahan yang diangkat. Merupakan gambaran
suatu
hubungan
antara
kebutuhan
yang
ditetapkan dengan
permasalahan yang harus dipecahkan. Identifikasi sistem digambarkan dalam bentuk diagram simpal kausal dan dilanjutkan dengan interpretasi ke dalam diagram input-output.
Gambar 3.5 Tahapan Kerja dalam Pendekatan Sistem
78
Aplikasi Komputer. Merupakan tahap pewujudan model abstrak dalam bentuk diagram alir
dan persamaan komputer.
Pengembangan struktur dalam model dilakukan
dengan menggunakan software komputer Powersim Studio 2005.
Simulasi Model Model pengembangan kawasan kota wilayah tepian air dibangun
berdasarkan struktur model sebagaimana hubungan antar varaibel yang disajikan dalam bentuk hubungan sebab-akibat. dirumuskan
dalam
Hubungan antar variabel tersebut
bentuk persamaan matematis sesuai dengan hubungan
masing-masing variabel dan jumlah variabel yang menyusun suatu fungsi tertentu. Selanjutnya model yang dihasilkan tersebut dianalisis mengunakan sistem dinamis. Hasil simulasi model dianalisis pola dan kecenderungannya, ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola dan kecenderungan tersebut, dan dijelaskan bagaimana mekanisme kejadian tersebut berdasarkan analisis struktur model. Hasil simulasi model yang memunculkan variabel-variabel yang sensitif dianalisis sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan yang diperlukan dalam perbaikan kinerja sistem.
Validasi dan Verifikasi Model Suatu
Validasi Model model
dikatakan
valid
jika
struktur
dasarnya
dapat
menggambarkan perilaku yang polanya dapat menggambarkan perilaku sistem nyata, atau dapat mewakili dengan cukup akurat, data yang dikumpulkan sehubungan dengan sistem nyata atau asumsi yang dibuat berdasarkan referensi sesuai cara sistem nyata bekerja. Membuktikan validasi sebenarnya suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Dalam pengujian validasi suatu model, saat ini terdapat beberapa teknik. Pertama adalah teknik validasi yang mengacu pada ‘anjuran’ (Muhammadi, et. al., 2001). Uji validasi sederhana dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:
79
Causal loop (influence) diagram harus berhubungan dengan permasalahan.
Persamaan harus disesuaikan dengan Causal loop (influence) diagram khususnya tanda + atau – harus konsisten diantara persamaan dengan causal loop.
Dimensi dalam model harus valid.
Model tidak menghasilkan nilai yang tidak masuk akal, seperti stok negatif.
Perilaku model harus masuk akal, artinya apabila ada sesuatu yang seharusnya terjadi, maka harus sesuai dengan apa yang diharapkan dari model tersebut.
Massa model harus balance, artinya total kuantitas yang telah masuk dan keluar dari proses sistem tetap dapat dijelaskan.
Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute Mean Error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute Variation Error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 1-10%. AME= [(Si – Ai)/Ai]...............................................................................(1) Si = Si N, dimana S = nilai simulasi Ai = Ai N, dimana A = nilai aktual dan N = interval waktu pengamatan AVE= [(Ss – Sa)/Sa]................................................................................(2) Ss = ((Si – Si)2 N), dimana Ss = deviasi nilai simulasi Sa = ((Ai – Ai) 2 N), dimana Sa = deviasi nilai aktual
Verifikasi Model Bila dari hasil validasi struktur maupun kinerja model ada yang belum
terpenuhi, maka model harus diverifikasi, sehingga semua yang dipersyaratkan terpenuhi. Selanjutnya model digunakan untuk menduga perilaku pengembangan kawasan tepian air (Water Front ) kota Semarang selama 20 tahun kedepan.
80
3.3.4
Analisis Spatial Dinamik menggunakan Sistem Informasi Geografi Analisis Spatial (Keruangan) Untuk mengetahui kondisi eksisting pemanfaatan ruang pada berbagai
jenis peruntukkan, digunakan Sistim Informasi Geografi (SIG) yang merupakan analisis spasial dengan teknik tumpang tindih (overlay). Sistim Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information System (GIS) adalah sistim informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospasial untuk mendukung pengambilan keputusan. a.
Model Spasial Dinamik Dalam Model Spasial Dinamik, hasil analisis sistem dinamik yang berupa
data numerik dan grafik dijadikan input untuk analisis spasial dinamik. Hasil analisis spasial dinamik adalah peta perubahan penggunaan lahan pada beberapa tahun yang akan datang. Gabungan sistem dinamik dan spasial dinamik disajikan pada Gambar 3.6
Sistem Dinamik/Analisis Non Spasial
Perubahan Sosial – Ekonomi - Lingkungan
Perubahan Penggunaan Lahan
Spasial Dinamik/Analisis Spasial
Faktor Pendorong Perubahan Lokasi
Alokasi Penggunaan Lahan
Gambar 3.6. Gabungan Sistem Dinamik dan Spasial Dinamik
81
b.
Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam pemodelan spasial adalah citra satelit landsat
Enhanced Thematic Mapper+7 untuk wilayah tepian air Kota Semarang. Adapun data sosial ekonomi dan geofisik wilayah diperoleh dari berbagai sumber.
c.
Analisis Kesesuaian Lahan Dalam dimensi ekologis, penempatan satu kegiatan pembangunan dengan
yang lainnya haruslah sesuai dengan ciri biologi, fisik, kimianya, sehingga terbentuk suatu kesatuan yang harmonis dalam arti saling mendukung. Analisis kesesuaian lahan yang akan dilakukan di wilayah tepian air Kota Semarang meliputi kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman, pelabuhan, industri, hutan, budidaya dan pariwisata pantai. d.
Penyusunan peta kawasan Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan
tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan kedalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominasinya. Penyusunan peta wilayah tepian air Kota Semarang dilakukan dengan mengoverlaykan berbagai peta yang didapat dari berbagai sumber. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistim Informasi Geografis (SIG), yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip wilayah sehingga informasi spasialnya dapat diketahui: e.
Analisis Tataguna lahan dan Penyusunan Matriks Kesesuaian Kesesuaian lahan wilayah tepian air untuk berbagai pemanfaatan seperti
kawasan pemukiman, pelabuhan, industri, hutan, budidaya dan pariwisata pantai didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk setiap aktivitas. Kriteria ini dibuat berdasarkan parameter biofisik yang cocok untuk masing-masing aktivitas. Analisis didasarkan atas faktor pembatas untuk masing-masing peruntukan ditinjau dari aspek biofisik Matriks ini sangat penting untuk disusun, mengingat dari matriks tersebut akan dapat diketahui parameter data dan cara analisisnya sampai dengan hasil akhir.
82
Dalam penelitian ini kesesuaian lahan dibagi dalam 4 kelas yaitu:
Kelas S1 : Sangat sesuai (Higly Suitable), yaitu lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan (input) dari pengusahaan lahan tersebut.
Kelas S2 : Sesuai (Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan untuk pengusahaan lahan tersebut.
Kelas S3 : Tidak Sesuai Saat Ini (Currently Not Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, akan tetapi masih mungkin diatasi/diperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan mejadi sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan introduksi teknologi yang tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya yang rasional.
Kelas N : Tidak Sesuai Permanen (Permanently Not Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari.
Matriks kesesuaian lahan dibuat berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari pakar yang ahli dalam bidangnya, atau yang paling mudah adalah menggu nakan jasa analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil kesesuaian lahan untuk masing-masing peruntukan sebagai berikut: 1.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Permukiman Parameter yang digunakan meliputi 6 parameter yaitu: (i) kemi ringan lahan (ii) ketersediaan air tawar (iii) jarak dari pantai, (iv) jarak dari sarana jalan, (v) land use (vi) drainase. Berdasar hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap 4 kecamatan yang mempunyai akses langsung dengan wilayah pesisir Semarang, diperoleh Peta kesesuaian lahan untuk pemukiman di lokasi penelitian, Tabel Luas dan Lokasi Kesesuaian Lahan dengan kategori luasan : sangat sesuai,
83
sesuai, dan tidak sesuai. Untuk kemudian dapat dilakukan analisis dan kesimpulannya (untuk selanjutnya di aplikasikan pada kesesuaian lahan yang lain). 2.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Industri Besar Parameter yang digunakan meliputi 5 parameter yaitu: (i) kemiringan lahan (ii) jarak dari jalan (iii) ketersediaan air tanah (iv) drainase dan (v) land use.
3.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Tambak Parameter yang digunakan meliputi 7 parameter yaitu: (i) salini- tas perairan) (ii) jenis tanah (iii) jarak dari sungai (iv) jarak dari jalan (v) jarak dari pantai (vi) land use, dan (vii) kemiringan lahan
4.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Karamba Jaring Apung. Parameter yang digunakan meliputi 9 parameter yaitu: (i) kedalaman air dari dasar jaring (ii) temperatur perairan (iii) salinitas (iv) kecepatan arus (iv) tinggi pasang surut (v) Ph perairan (vi) oksigen terlarut (vii) nitrat dan (ix) posfat.
5.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum Parameter yang digunakan meliputi 6 parameter, antara lain 5 parameter untuk wilayah perairan yaitu (i) kedalaman perairan (ii) material dasar perairan
(iii)
tinggi
gelombang
(iv)
kecepatan
arus
dan
(v)
keterlindungan, serta 1 parameter untuk wilayah daratan yaitu kemiringan lahan. 6.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai Parameter yang digunakan meliputi 5 parameter, yaitu: (i) kedalaman perairan (ii) material dasar perairan (iii) kecepatan arus (iv) jarak dari pantai (v) penutupan lahan.
7.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pengolahan Ikan.
8.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi mangrove Parameter yang digunakan meliputi 8 parameter, yaitu: (i) kemiringan lahan (ii) jarak dari pantai (iii) vegetasi pantai (iv) vegetasi laut (v) temperatur perairan (vi) salinitas (vii) tekanan penduduk (viii) aspirasi masyarakat.
84
Tahapan pembuatan model spasial dinamik adalah sebagai berikut : 1.
Peta tutupan lahan dari Citra Landsat TM 7 seamless dari tahun 2005 2009 (eksisting) dikonversi ke dalam bentuk raster,
2.
Setiap jenis penggunaan lahan dibuat peta binarinya. Artinya setiap peta hanya mengandung satu jenis penggunaan lahan, wilayah dengan nilai 0 berarti pada wilayah itu tidak ada jenis penggunaan lahan tersebut. Pada wilayah dengan nilai 1 berarti terdapat jenis penggunaan lahan tersebut.
3.
Setiap peta tersebut dikonversi ke bentuk teks dengan cara diekspor dari program ArcView lalu diberi nama dengan cov1_0.0 sampai dengan cov1_6.0. Data setiap jenis penggunaan lahan ini menjadi variabel terikat atau dependen.
4.
Peta penggunaan lahan disajikan dalam bentuk raster dengan ukuran sel grid 250 meter. Sehingga 1 sel grid mempunyai luas 250 meter kali 250 meter sama dengan 6250 meter persegi atau 6.25 hektar. Peta penggunaan lahan dalam bentuk teks yang merupakan variabel tidak bebas (dependent variable) dipadankan dengan variabel bebas atau independent variable yang merupakan driving factors. Kemudian dianalisis secara statistik dengan program SPSS (Statistical Package for Social Science) dengan regresi logistik. Hasil regresi logistik ini dijadikan input data ke dalam program dari software spasial dinamik.
5.
Input data selanjutnya adalah matrik konversi setiap penggunaan lahan. Angka 1 menunjukkan konversi boleh terjadi sedangkan 0 adalah ketidakmungkinan terjadinya konversi. Pada baris pertama adalah matriks untuk Air, tampak bawah Air hanya akan terkonversi menjadi air lagi (nilai 1), sedangkan untuk menjadi jenis gunaan lain tidak mungkin (0).
6.
Input selanjutnya adalah nilai stabilitas yang berkisar antara 0 sampai 1. Semakin stabil, atau tidak mudah untuk terkonversi semakin mendekati nilai 1. Penetapan stabilitas untuk pemodelan adalah sebagai berikut. Air, Kawasan Terbangun dan Sawah diberi nilai 1 dengan asumsi bahwa ke tiga jenis penggunaan tanah tersebut stabil. Berikut disajikan contoh nilai stabilitas penggunaan lahan, Hutan dan perkebunan diberi nilai 0.8 dan Lainnya serta pertanian lahan kering dengan nilai 0.5. Dalam pemodelan
85
dengan spasial dinamik terdapat aturan pengambilan keputusan (decision rules) untuk menentukan konversi mana yang diperbolehkan. Indikator dalam penentuan keputusan tersebut adalah stabilitas. Selang nilai stabilitas adalah 0 sampai 1, stabilitas bernilai 0 (nol) artinya sangat dinamik (mudah dikonversi) dan nilai 1 (satu) artinya stabil yaitu tak dapat dikonversi. Regresi logistik merupakan bentuk dari regresi yang digunakan bila variabel tidak bebas (dependen) dichotomous dan variabel bebas (independen) kontinyu atau kategorial. Dichotomous mengandung arti bahwa jenis land cover tertentu dalam satu sel grid bernilai 0 atau 1. Nilai 0 berarti tidak ada sedangkan 1 berarti terdapat penggunaan lahan tersebut. Persamaan regresi yang digunakan adalah :
β : merupakan hasil langsung dari perhitungan regresi p : peluang munculnya jenis land use dan driving factor x Untuk menghitung pengaruh relatif dari setiap variabel terhadap penggunaan lahan, dihitung Exp (B). Exp (B) menunjukkan apakah peluang dari penggunaan lahan tertentu pada grid sel meningkat (lebih dari 1) atau menurun (lebih rendah dari 1) akibat dari satu peningkatan pada variabel bebas. Pada perhitungan relatif influence digunakan persamaan sebagai berikut : Pengaruh relatif = Exp(B X selang), untuk B >1 Pengaruh relatif = -1/Exp(B X selang), untuk B <1 (Verburg et al. 2003). Pengaruh relatif kemudian diurutkan sesuai dengan nilai yang tertinggi. Semakin
tinggi
nilainya
semakin
besar
pengaruhnya
terhadap
penggunaan lahan. Urutan pengaruh ini merupakan input untuk alokasi, dimasukan pula secara berurutan sesuai dengan hasil perhitungan. 7.
Setelah data siap dan lengkap sesuai program atau software yang dibuat, kemudian di run, berdasar pada skenario yang telah ditentukan. Simulasi yang dilakukan adalah 20 atau bisa juga untuk jangka waktu lainnya tahun. Bila data yang dimasukkan sesuai dengan program maka simulasi
86
akan berjalan. Hasil simulasi berupa data teks yang perlu dikonversi kedalam aplikasi GIS (Arc View atau Arc GIS) untuk dapat disajikan dalam bentuk spasial 8.
Peta yang digunakan dalam model spasial dinamik adalah: A. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000 B. Citra Landsat tahun 2009 C. Peta Tutupan Lahan dari Departemen Kehutanan D. Peta Jenis Tanah dari Puslitanah, Peta Kemiringan Lahan dll E. Peta Geologi dari Direktorat Geologi F. Peta Prasarana Wilayah dari Departemen Pekerjaan Umum G. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (draft) H. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau Jawa (draft) I. Penyusunan Peta Tata Ruang Wilayah tepian air Kota Semarang Hasil model spasial dinamik yang berupa pola pemanfaatan lahan pada
2030 tahun mendatang kemudian dioverlay dengan peta Rupa Bumi skala 1 : 50.000 dan struktur ruang dari Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWProv). Apabila RTRWP belum ada maka dapat dioverlay dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau (RTRWP).
Dari overlay tersebut akan
diperoleh Peta Rencana Tata Ruang Wilayah tepian air Kota Semarang (Gambar 3.7).
Gambar 3.7 Penyusunan Peta RTRW Semarang “water front city”
87
3.3.5
Merumuskan Kebijakan dan Skenario Pengelolaan Lingkungan Kebijakan Pengelolaan
lingkungan tepian air
pesisir
Semarang
berkelanjutan dirancang menggunakan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process), diolah menggunakan perangkat lunak Expert Choice 11. Produk berupa rumusan kebijakan pengelolaan dan skenario pengelolaan lingkungan, terdiri dari peranan stakeholder (ditentukan berdasar expert judgement), hirarki faktor pendukung (ditentukan berdasar faktor pengungkit atau atibute sensitive hasil analisis MDS), tujuan
dan alternatif kebijakan
(ditentukan berdasar expert judgemen dan kajian pustaka) untuk kemudian bisa dibuat rekomendasi kebijakan. Merupakan upaya penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, tetapi strategik, dan dinamis menjadi bagian-bagian serta menatanya dalam suatu hierarki yang berbasiskan pada expertise judgement (stakeholder, tujuan dan alternatif), sehingga pemilihan responden ditujukan pada responden yang benar-benar memahami permasalahannya, responden dipilih dari kalangan pemerintah, LSM, akademisi, tokoh masyarakat, pelaku usaha dan investor. Prinsip kerja Proses Hierarki Analitik adalah sebagai berikut (Marimin, 2004), seperti pada diagram alir Gambar 3.8.
Gambar 3.8. Diagram alir proses hierarki analitik
88
Tahapan dalam Analisis Hirarki Proses antara lain : a).
Identifikasi Sistem Mengidentifikasi seluruh elemen/level dan sub didalamnya, untuk dapat dilakukan penilaian.
b).
Penyusunan hirarki. Persoalan yang akan diselesaikan perlu diuraikan menjadi unsur-unsurnya yang tersusun secara hierarki, seperti stakeholder, faktor, tujuan dan alternatif. Alternatif atau strategi yang tersedia dalam membuat kebutuhan terletak pada tingkat yang paling bawah di dalam sebuah diagram. Gambar 3.9 merupakan diagram hirarki yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Penyusunan kriteria. Penyusunan kriteria ini
digunakan untuk membuat keputusan yang dengan uraian sub kriteria dan bentuk alternatif yang terkait masing-masing kriteria tersebut untuk dipilih sebagai keputusan tercantum pada tingkatan paling bawah.
89
FOKUS
PENGELOLAN KOTA SEMARANG TEPIAN AIR BEERKELANJUTAN
VISI MISI
STAKEHOLDER
FAKTOR
TUJUAN
ALTERNATIVE
MASYARAKAT
PENGANGGURAN TERBUKA
PENINGKATAN PAD
PEMERINTAH
EROSI DAN ABRASI
PENINGKATAN DAYA SAING
KONSERVASI
LSM
PEDAGANG
KELEMBAGAAN MITIGASI BENCANA
REDUKSI PENCEMARAN DNG. PENGOLAHAN LIMBAH (SANITASI)
TEKNOLOGI ECOPORT DAN PELABUHAN
ADAPTASI BANJIR DAN PENGELOLAAN AIR BERSIH
AKADEMISI
PENGUSAHA / INVESTOR
AKSES MASYARAKAT KE WATER FRONT
KESEHATAN MASYARAKAT & LINGKUNGAN
PERLUASAN LAPANGAN KERJA
REDEVELOPMENT
Input MDS
MINIMALISASI KONFLIK
REVITALISASI
DESAIN KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOTA TEPIAN AIR
Gambar 3.9. Hirarki Pengambilan Keputusan
89
90
Desain Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Air
90
91
c)
Pengisian Matriks pendapat individu. Unsur-unsur yang telah tersusun dan diagram kreteria itu dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983) dalam Marimin (2004) mengatakan bahwa untuk berbagai persoalan skala 1 sampai 9 adalah terbaik dalam mengekspresikan pendapat.
Skala perbandingan Saaty
dapat dilihat pada Tabel 3.4. Nilai perbandingan A dan B dalam tabel tersebut adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A.
Tabel 3.4. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan pada AHP Nilai 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8
Keterangan Kriteria/Alternatif A sama penting dengan Kriteria/Alternatif B A sedikit lebih penting dari B A jelas lebih penting dari B A sangat jelas lebih penting dari B A mutlak lebih penting dari B Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Penentuan prioritas dilakukan dengan menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk setiap kriteria dan alternatif. d)
CI:CR (memenuhi syarat <10%) Untuk mengetahui apakah dalam penentuan prioritas itu pakar yang memberikan penilaian konsisten atau tidak digunakan cara perhitungan CR (Consistency Ratio),
Bila nilai CR kurang dari 10 %, berarti
penilaian pakar itu konsisten dan sebaliknya. Apabila nilai >10%, maka perlu dilakukan revisi pendapat untuk menjadi konsisten. e)
Penyusunan Matrik Gabungan Matrik gabungan dilakukan untuk melihat hasil kecenderungan pendapat pakar, hal ini dilakukan setelah seluruh responden konsisten sehingga pendapat gabungan untuk penilaian juga konsisten. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan menggunakan matriks atau menentukan
melalui penyelesaian persamaan matematik untuk tingkat
relatif
dari
seluruh
alternatif
92
yang ada. Nilai rata-rata geometrik dari semua responden dari setiap nilai pendapat yang dibandingkan dan diolah. f)
Pengolahan vertikal Nilai-nilai yang diperbandingkan sangat mempengaruhi hasil pada level berikutnya sehingga pengolahan vertikal untuk memberikan porsi nilai yang ditentukan pada masing-masing kriteria level dibawahnya.
g)
Perhitungan vektor prioritas sistem Perhitungan dilakukan pada masing-masing vektor/sub yang terdapat didalam level untuk mengetahui prioritas dominan dari pakar terhadap penilaian yang ada.
h)
Pemeringkatan komponen level Analisis ini digunakan untuk menginterpretasi prioritas dari stakeholder, faktor,
tujuan
dan
alternatif
kebijakan
yang
mempengaruhi
pengembangan kota wilayah tepian air.
3.3.6
Menentukan Prospek atau Skenario Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Semarang “water front city” Produk berupa alternatif kebijakan, kriteria penentuan kebijakan sesuai jangka waktu pelaksanaan. a.
Analisis Prospektif Dilakukan dalam rangka menganalisis prospek pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan di pesisir Kota Semarang untuk masa yang akan datang dengan menggunakan faktor kunci (yang diperoleh dari hasil analisis MDS) yang berpengaruh terhadap kinerja sistem.
b.
Analisis Kebijakan berdasarkan Skenario Dari kombinasi antara faktor kunci hasil MDS, di lakukan analisis kebijakan
dengan
mengasumsikan
tiga
skenario
yang
kemungkinan terjadi, yang diberi nama: (1) Skenario Pesimis, (2) Skenario Moderat, dan (3) Skenario Optimis.