NASKAH UNTUK DISKUSI
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia Apa yang Kita Ketahui dan Apa yang Sebaiknya kita Lakukan?
Iyanatul Islam dan Anis Chowdhury
Naskah Laporan Agustus 2008 Makalah untuk seminar Dialog Kebijakan: suatu strategi untuk menciptakan ketenagakerjaan yang layak dan produktif di Indonesia (Jakarta, 21-22 Agustus 2008)
1
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Tanggung jawab atas pendapat yang dikemukakan dalam makalah ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab para penulis, dan tidak mengandung suatu dukungan dari Kantor Perburuhan Internasional atas pendapat yang terdapat didalamnya.
2
Ucapan Terima Kasih
Rancangan ini, diminta oleh Departemen Kebijakan Ketenagakerjaan ILO, Jenewa, disiapkan oleh Iyanatul Islam dan Anis Chowdhury. Tulisan ini diangkat dari makalah pengantar teknis (yang direproduksi di sini sebagai lampiran teknis dan statistik) dan catatan lapangan yang dikumpulkan oleh Anis Chowdhury dengan kontribusi tambahan dari Iyanatul Islam. Makalah pengantar teknis dan catatan lapangan tersebut adalah hasil kunjungan ke Jakarta yang dilakukan oleh Chowdhury di bulan November 2007. Penulis juga berterima kasih kepada Dr Shafiq Dhanani yang telah membuka akses ke estimasi beragam indikator ketenagakerjaan yang baru. Estimasi-estimasi tersebut disiapkan dalam rangka peluncuran buku terbaru tentang pasar kerja Indonesia (dijadwalkan untuk diterbitkan oleh Routledge di awal tahun 2009). Penulis laporan ini adalah juga pengarang bersama dari Dr. Dhanani. Untuk menyiapkan laporan ini, kami telah berkonsultasi dengan sejumlah besar pembuat kebijakan senior yang utama di berbagai departemen dan departemen pemerintah yang bertanggung jawab atas beragam program dan kebijakan yang terkait dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan pengembangan pasar kerja. Kami juga telah berkonsultasi dengan sejumlah pemangku kepentingan yang penting, seperti para pejabat senior asosiasi pengusaha (Apindo), serikat-serikat pekerja, International Labor Organization dan Bank Dunia. Catatan hasil konsultasi ini terlampir dalam laporan ini. Berikut adalah daftar lengkap menurut urutan pertemuan-pertemuan kami: Kee Beom Kim (ILO), Tauvik Muhamad (ILO),Dr. Prasetyo Wijoyo (Wakil Menteri Bidang SDM, Kemiskinan dan UKM, Bappenas), Dr. Bambang Widanto (Staf Ahli Menteri Bidang SDM dan Kemiskinan, Bappenas), Dr. Komara Djaja (Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Ekonomi), Pawan Patil (Bank Dunia), Steisianasari Mileiva (Bank Dunia), Djoko (Kepala Bidang Perencanaan dan Kerjasama Internasional, Sekretaris Jenderal, Departemen Bidang Pembangunan dan Infrastruktur Daerah), Tati Hendarti (Sekretaris Direktur Jenderal Bidang Pelatihan dan Pengembangan, Produktivitas, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Besar Setyoko (Direktur Jenderal Bidang Pelatihan dan Pengembangan Produktivitas, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Sofjan Wanandi (Presiden, Asosiasi Pengusaha Indonesia/Apindo), Djimanto (Sekretaris Jenderal, Apindo), Susanto Joseph (Wakil Sekretaris Jenderal, Apindo), Rekson Silaban (Presiden, KSBSI – Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), Thamrin Mosii (Presiden, KSPI-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), Yanuar Rizky, (Presiden OPSI, Serikat Buruh), Timboel Siregar (Sekretaris OPSI), Dr. Sri Moertiningsih (Lembaga Demografi, UI), Omas (Lembaga Demografi, UI), Beta (Lembaga Demografi, UI), Heidy Passai (Lembaga Demografi, UI), Dr. Choirul Djamhari (Wakil Menteri Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha), Prijambodo (Asisten Deputi Bidang Peningkatan Jasa Pembangunan Usaha, Departemen Koperasi dan UKM), Dr. Sudrajat Rasyid (Wakil Menteri Bidang Kewirausahaan Kaum Muda dan Industri Olah Raga, Kementerian Negara Bidang Olah Raga dan Pemuda beserta tim-nya), Dr. Tirta Hidayat (Wakil Bidang Ekonomi, Sekretariat Kantor Wakil Presiden), Rahayubudi (Direktur, Biro Personil & Organisasi, Departemen Perdagangan) Dr. Agus Wahyudi
3
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
(Direktur, Pusat Sumber daya, Lingkungan Hidup, Energi, Litbang, Departemen Perdagangan), Euis Saedah (Deputi Direktur Kerjasama Internasional, Departemen Perdagangan), Bolormaa Amgaabazar (Bank Dunia, Program Pengembangan Kecamatan Decentralization Support Facility), Dr. Andin Hadiyanto (Direktur Pusat Penelitian dan Pengembangan Iklim Usaha, Departemen Perdagangan), Kasan Muhri (Deputi Direktur, Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan). Rancangan laporan teknis ini telah dipresentasikan dalam sesi debriefing di kantor ILO Jakarta, yang dihadiri oleh individu-individu tersebut di atas atau para wakilnya. Selama analisis teknis, kami dibantu oleh Dr. Hermanto Siregar, Profesor Bidang Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Dr. Iman Sugeman, Dosen Senior Bidang Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Saudara Zulfan Tadjeoddin, Ph.D. mahasiswa, University of Western Sydney, Australia, adalah asisten peneliti untuk proyek ini. Harap hubungi:
[email protected] atau
[email protected] sebelum mengutip.
4
Daftar Isi
Ucapan Terima Kasih
3
1.
Pengantar
7
2.
Tujuan dan sasaran
11
3.
Perdebatan dan Diagnosa
23
4.
Kebijakan dan Program
29
5.
Kesimpulan: rangkuman penemuan utama dan rekomendasi
43
Lampiran Teknis dan Statistik
51
5
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
6
1.
Pengantar
Selama era paska krisis perekonomian Indonesia tumbuh dengan tingkatan cukup baik,1 namun ada kekhawatiran yang luas akan “pertumbuhan pengangguran”. Menjawab kekhawatiran tersebut, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memotong tingkat pengangguran nasional yang 10 persen menjadi separuhnya sampai tahun 2009. Target ini dikaitkan dengan tujuan yang lebih luas dari upaya pengurangan kemiskinan secara berkelanjutan. Satu studi mengatakan bahwa hal ini akan menghasilkan 50 juta pekerjaan dalam kurun waktu lima tahun mendatang.2 Hampir tidak diragukan lagi bahwa jumlah pencari kerja yang diproyeksikan berjumlah besar adalah tantangan ketenagakerjaan bagi Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.3 Menjawab tantangan ini membutuhkan spesifikasi yang mendalam akan tujuan dan sasaran, pemahaman akan perdebatan yang ada tentang kondisi pasar kerja Indonesia dan penggunaan kerangka kerja diagnostik yang komprehensif, yang memungkinkan seseorang untuk mengevaluasi bukti-bukti yang ada, demi menyusun seperangkat kebijakan dan program yang layak. Pada dasarnya, satu kebutuhannya adalah pendekatan berbasis bukti dalam pembuatan kebijakan yang dapat menghindari improvisasi kebijakan “sambil jalan” dan pengumuman kebijakan secara cepat sebagai respon atas tekanan politik jangka pendek.4 Laporan ini berupaya untuk menggambarkan f itur pendekatan tersebut ketika diterapkan pada pasar kerja Indonesia dan mengadvokasikan penyebarannya dalam mesin pemerintah. Upaya sistematis apapun untuk mengembangkan pendekatan berbasis bukti untuk kebutuhan pembuatan kebijakan perlu dimulai dengan pernyataan tujuan dan sasaran secara jelas. Tujuan apakah yang harus menjadi fokus pemerintah? Apakah ini semata aspirasi mulia atau pernyataan pragmatis yang bisa dimonitor dengan sasaran yang sudah siap tersedia? Penyelesaian isu ini tidaklah sesederhana kelihatannya. Apakah kita harus fokus pada tingkat pengangguran “terbuka” yang agregat atau pada sekaligus antara pengangguran dan pengangguran terselubung? Atau haruskah kita fokus pada pengangguran kaum muda? Panduan global terkini tentang pembangunan – seperti dituangkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium PBB – difokuskan pada 1
Ekonomi tumbuh sekitar 5,5 persen per tahun sejak tahun 2000.
2
G. Sugiyarto (2005) ‘Creating better and more jobs in Indonesia: a blue print for policy action’, ERD Policy Brief No.43, Manila: Asian Development Bank
3
Tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah 1,8 persen per tahun.
4
Pendekatan ini mengangkat literatur “pembuatan kebijakan berbasis bukti” (EPB – evidence-based policy making) yang berasal dari Inggris di akhir tahun 1990an. Lihat W. Solesbury (2001) ‘Evidence Based Policy: Whence it came and Where it’s Going’, ESRC Centre for Evidence Based Policy, Queen Mary College London, October. Untuk kritiknya lihat G.Marston and R. Watts (2003) ‘Tampering with the Evidence: A Critical Appraisal of Evidence-Based Policy-Making’, The Drawing Board: An Australian Review of Public Affairs, 3(3): 143-163. Sumber-sumber literatur EPB dapat ditemukan di www.evidencenetwork.org. Meskipun sulit untuk tidak berargumen bahwa seseorang tidak bisa mendasarkan nasihat dan keputusan kebijakan pada bukti terbaik yang ada, kita harus sadar akan kekayaan dan kompleksnya jenis-jenis informasi yang bisa dikumpulkan dan bahwa bukti yang tersedia kerap diperdebatkan oleh para pakar. Jadi, batas dari literatur EPB harus diakui dan karenanya disarankan agar ada penggunaan bukti yang adil dalam mengarahkan pengembangan dan implementasi kebijakan.
7
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
implementasi “strategi untuk pekerjaan yang pantas dan produktif bagi kaum muda” karena hal ini akan mengurangi “kemiskinan antar generasi” dan mengurangi kecenderungan dari kaum muda yang belum pernah mempunyai pekerjaan dan menganggur untuk menjadi sumber “perilaku anti sosial, kekerasan atau kejahatan”. 5 Dalam kasus Indonesia, yang adalah penandatangan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), tingkat pengangguran kaum muda merupakan keprihatinan besar dan alasan utama adanya perhatian yang besar pada penciptaan lapangan pekerjaan. Seperti akan terlihat dalam diskusi berikut, para pembuat kebijakan telah, seperti terungkap dalam tujuan mereka, berkomitmen mengurangi tingkat pengangguran agregat dalam kerangka waktu tertentu, namun kedalaman statistik dan analisis tujuan dan sasarannya masih diragukan. Penyelesaian keraguan dan ketidakpastian ini sangat penting dalam strategi penciptaan lapangan kerja yang kredibel. Terkait erat dengan tujuan penciptaan lapangan kerja adalah konstruksi analitis dari elastisitas pekerjaan, yakni, tingkat penciptaan pekerjaan bagi tingkat pertumbuhan PDB tertentu. Memang menggoda untuk menyarankan agar para pembuat kebijakan berkonsentrasi pada elastisitas pekerjaan karena hal ini mewakili indikator yang bermanfaat dari pertumbuhan ekonomi yang ramah pekerjaan. Seperti akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini, yang lebih pantas adalah mengumumkan tujuan yang terfokus pada pertumbuhan berbasis produktivitas yang bisa menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan upah riil. Namun demikian, selanjutnya akan diutarakan pula, elastisitas pekerjaan - yakni bila informasi yang disampaikan digunakan dengan bijaksana – dapat menjadi indikator pasar kerja yang bermanfaat dan memainkan peranan integral dalam menentukan proyeksi pekerjaan. Sebagai akibat dari kerangka kerja yang terikat pada tujuan kembar penciptaan pekerjaan dan pertumbuhan upah riil, makalah ini juga mempertanyakan pandangan tentang bahwa “pekerjaan apapun” adalah lebih baik ketimbang “tidak ada pekerjaan”. Ada kesadaran yang tumbuh bahwa ‘pengangguran adalah salah satu aspek saja dari pasar kerja yang kurang berfungsi.’ Ada kebutuhan untuk melangkah menuju ‘definisi yang lebih luas dari pekerjaan yang layak dan produktif’. Hal ini berarti mempertimbangkan multidimensi dari pasar kerja yang berfungsi buruk, yang ditandai dengan ‘jam kerja panjang dengan pengaturan kerja yang tidak berkelanjutan dan tidak aman… produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah, proteksi tenaga kerja dan hak yang berkurang.’ Pemahaman dimensi-dimensi kinerja pasar kerja ini vital untuk memahami ‘kemajuan yang dicapai menuju tiadanya pengangguran bagi semua’. 6 Dari perspektif Indonesia, ide ‘tiadanya pengangguran bagi semua’ yang mengangkat agenda pekerjaan yang layak dan produktif perlu dinyatakan dengan penegasan yang baru demi melindungi dari kerangka kerja yang salah yang menyatakan bahwa ‘pekerjaan apapun’ adalah lebih baik daripada ‘tidak ada pekerjaan’. Pekerjaan yang layak akhirnya merupakan alat yang baik untuk mengurangi kemiskinan secara berkelanjutan. Begitu tujuan dan sasaran sudah ditentukan dengan tepat, tahap berikutnya adalah mengembangkan kerangka diagnosis untuk memahami inti hasil dari pasar kerja. Hipotesa yang berlaku nampaknya bahwa Indonesia saat ini adalah korban dari peraturan ketenagakerjaan yang kaku dan terlalu murah hati. Hal ini dianggap paling bertanggung jawab membuat biaya tenaga kerja sangat mahal dan karenanya menjadi alasan utama mengapa pasar kerja Indonesia saat ini terpuruk. Hipotesa yang disebut ‘cost push’ (tekanan biaya) terlihat telah memegang status orthodoks. Meskipun beberapa bukti yang dapat diterima telah muncul mendukung hipotesa ini, bukti macam ini perlu diuji dulu secara empiris. Kita harus hati-hati dengan hipotesa apapun yang berimplikasi monokausalitas. Meskipun faktor tekanan biaya tentu relevan, bagaimanakah 5
UN (2007) The Millennium Development Goals Report, New York, hal.31. Catatlah bahwa pekerjaan yang layak untuk keseluruhan warga kini (tahun 2008) telah menjadi target baru di bawah Tujuan Pembangunan Milenium.
6
UN (op.cit)
8
pentingnya faktor tersebut dibandingkan dengan variabel lain seperti pertumbuhan permintaan agregat dan komposisinya? Pendekatan bukti untuk pembuatan kebijakan tidak semata berakhir dengan evaluasi bukti yang ada. Ada lanjutannya yakni penggunaan pengetahuan yang ada untuk memformulasikan kebijakan dan program yang dapat memfasilitasi para pembuat kebijakan untuk mencapai rangkaian tujuan dan sasaran yang mereka tentukan. Di sini, isu pentingnya adalah untuk memahami perpaduan yang tepat antara kebijakan makro ekonomi dan kebijakan sektoral. Apakah kerangka kerja kebijakan makro ekonomi ramah terhadap tenaga kerja dan membantu tujuan kebijakan yang lain, yang paling penting diantaranya adalah stabilitas harga? Apakah kebijakan sektoral yang berkaitan dengan sektor formal kondusif untuk penciptaan lapangan kerja? Berapa kompatibel kebijakan-kebijakan sektoral tersebut dengan kebijakan makro ekonomi? Dalam kasus Indonesia, ada isu-isu luar biasa berkaitan dengan ketegangan antara stabilitas harga dan penciptaan lapangan kerja dan besarnya ‘informalisasi’ ekonomi dengan dampak negatifnya bagi upaya pencapaian pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua. Akhirnya, pendekatan bukti untuk pembuatan kebijakan juga perlu ditinjau dan diperbaharui secara berkala. Idenya adalah untuk belajar dari pengalaman dan menggunakan pengalaman tersebut untuk terus melakukan proses pemantauan dan evaluasi demi mendorong akuntabilitas publik dari kebijakan dan program. Apakah program tertentu, seperti program pekerjaan publik, atau ‘program pasar kerja aktif’, berfungsi mencapai tujuan-tujuan ini? Apa saja alternatif yang mungkin terlaksana? Dari perspektif Indonesia, konsep penerapan tinjauan dan pembaharuan secara berkala pada proses pembuatan kebijakan dapat mengarah pada perbaikan efektivitas kebijakan demi mengatasi tantangan tenaga kerja di negara ini. Selanjutnya makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian 2 secara kritis meninjau tujuan dan sasaran yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pasar kerja Indonesia. Bagian 3 meninjau paradigma dominan yakni faktor ‘tekanan biaya’ yang digerakkan oleh peraturan ketenagakerjaan yang kaku dan murah hati, yang mengarah pada keterpurukan hasil pasar kerja di Indonesia, serta mengusulkan kerangka kerja diagnostik alternatif untuk membingkai analisa pasar kerja. Bagian 4 dari makalah mengangkat perdebatan dan diagnosis pasar kerja Indonesia untuk meninjau kebijakan dan program, menyoroti wilayah yang sudah mengalami kemajuan dan wilayah yang masih perlu diperbaiki. Bagian 5 dari makalah menyajikan ringkasan hasil utama penemuan dan rekomendasi dan menyimpulkan dengan pernyataan tentang peranan pemantauan dan evaluasi sebagai alat untuk mengembangkan etos akuntabilitas publik bagi kebijakan dan program.
9
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
10
2.
Tujuan dan Sasaran
Pidato penting yang disampaikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada bulan Februari 2005 adalah visinya akan strategi ‘triple track’ (tiga jalur) untuk Indonesia berkaitan dengan:
Peningkatan pertumbuhan melalui ekspor dan investasi
Peningkatan pekerjaan dengan merangsang sektor riil
Mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan pembangunan pertanian dan pedesaan. Menjelaskan strategi triple track sebagai ‘pro-pertumbuhan, pro-pekerjaan, pro-kemiskinan’, Presiden
SBY mengatakan: “Selama (lima) tahun ke depan, pemerintahan saya bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi ratarata 6.6 persen per tahun tetapi, lebih penting lagi, kami ingin agar pertumbuhan dapat membantu mengurangi kemiskinan dari 16.6 persen menjadi 8.2 persen dan kami ingin agar pertumbuhan dapat mengurangi pengangguran (menjadi separuhnya) dari 9.5 persen menjadi 5.1 persen hingga tahun 2009.”7 Pernyataan tujuan yang eksplisit ini merupakan refleksi yang jelas dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah Indonesia (RJPM 2005-2009) yang ‘terfokus pada pencapaian tingkat pertumbuhan rata-rata 6.0 persen per tahun, penciptaan lapangan kerja, ketahanan lingkungan dan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG).’8 Memang, kini ada sejumlah besar dokumen yang berkaitan dengan payung tujuan dan sasaran dengan implikasi langsung maupun tidak langsung bagi pasar kerja Indonesia. Dokumendokumen ini mencakup (selain strategi pembangunan jangka menengah yang sudah disebut):
Makalah-makalah Strategi Pengurangan Kemiskinan
Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium Indonesia
Kebijakan dan Program Pemerintah Daerah, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pengangguran, Target penciptaan lapangan kerja dan elastisitas pekerjaan Keberadaan tujuan dan sasaran eksplisit berkaitan dengan tenaga kerja tidak berarti bahwa mereka sudah dipilih dengan hati-hati karena kecukupan empiris dan analitis dalam mewakili tujuan inti dari penciptaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua orang Indonesia yang bisa dan mau bekerja, serta neksus antara pekerjaan yang layak dan pengentasan kemiskinan. Ada praduga bahwa telah terjadi peningkatan tajam pengangguran dalam beberapa tahun belakangan ini, dengan beberapa bukti 7
S.B. Yudhoyono (2005) ‘Indonesia: The Challenge of Change’, The Singapore Lecture, Institute for Southesast Asian Studies, 16 Februari. Pada saat pidato disampaikan, usia kepresidenan SBY adalah tiga bulan.
8
M.A. Hasoloan (2006) ‘The Indonesian Labour Market’, Country Report disajikan dalam OECD Form tentang OECD Jobs Strategy.
11
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
pengurangan sejak tahun 2006. Misalnya, data yang dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka agregat meningkat dari 9.9 persen di tahun 2004 menjadi 11.2 persen di tahun 2005 sebelum membaik menjadi 9.8 persen di bulan Februari 2007. Ini adalah data statistik yang diandalkan pemerintah untuk menetapkan dan memonitor tujuan dan sasarannya. Sayangnya, perubahan secara definisi telah membuat tingkat pengangguran agregat menjadi tidak bisa dibandingkan dengan patokan-patokan sebelum 2001. Kita bisa mendeteksi lompatan pengangguran yang signifikan antara tahun 2000 dan 2001. Pada 9-10 persen, tingkat pengangguran yang kini dipublikasikan adalah yang tertinggi di wilayah Asia dan di dunia, dan wajar menjadi sumber keprihatinan pemerintah. Namun, tingkat pengangguran agregat berkurang menjadi 6 persen – yang akan membawa Indonesia lebih dekat pada norma regional dan global – ketika perubahan definisional ini dihapuskan untuk memunculkan data yang konsisten sepanjang waktu. Di sisi lain, kecenderungan-nya tidak terlalu terpengaruhi. Baik seri pengangguran ’lama’ (yang didasarkan pada definisi konsisten) maupun ’baru’ (yang didasarkan pada perubahan definisi) mencatat peningkatan pengangguran antara tahun 2001 dan 2005, meskipun tingkat pertambahannya jelas bervariasi. Kita dapat berargumen bahwa pemerintah tidak akan mengalami kebingungan analisa jika tetap berpegang pada satu seri data. Namun, ada kekhawatiran yang tersisa. Seri pengangguran yang ’baru’, tidak seperti pendahulunya, kini mencakup juga orang-orang yang biasanya tidak dianggap bagian dari stok penganggur. Jadi yang terjadi adalah pembesaran skala pengangguran dan karenanya juga skala respon pertumbuhan dan intervensi yang terkait, bahwa pemerintah perlu menangani masalah pengangguran. Kelihatannya, pada suatu titik, pemerintah Indonesia akan perlu mengambil keputusan strategis tentang cara menentukan tujuan dan sasaran terkait dengan pengangguran. Apakah perlu tetap bertahan dengan indeks yang mengikutkan orang-orang yang seharusnya tidak dimasukkan sebagai bagian penganggur, atau haruskah perhatian diarahkan pada seri alternatif? Melakukan hal ini dapat mengundang reaksi tidak menyenangkan di mana kritik dapat berkata bahwa pemerintah hanya berupaya untuk meminimalisir masalah pengangguran. Di sisi lain, karena ketertarikan akan transparansi, akuntabilitas publik yang lebih besar dan perdebatan publik yang lebih bijak, dapat dikatakan bahwa pemerintah harus berupaya menghasilkan seri data pengangguran yang konsisten dan digunakan sebagai basis bagi tujuan dan sasaran pasar kerja. Indeks relatif, seperti tingkat pengangguran agregat, tidak memberikan indikasi apapun tentang besaran absolut dari pengangguran maupun tingkat penciptaan lapangan kerja secara ex-ante dan ex-post. Di tahun 2006, misalnya, total jumlah penganggur 10,9 juta. Statistik ini, juga data pertumbuhan angkatan kerja, memungkinkan kita untuk menghitung tingkat penciptaan lapangan kerja secara keseluruhan demi menurunkan stok penganggur saat ini sekaligus juga menyerap para pekerja baru. Jadi, dalam menentukan tujuan dan sasaran, Pemerintah Indonesia harus menetapkan sasaran penciptaan lapangan kerja dalam kerangka waktu tertentu dan bukannya memfokuskan diri pada tingkat pengangguran agregat saja. Fokus penciptaan lapangan kerja formal adalah lebih relevan, khususnya jika ada sektor informal dan pertanian yang besar dan punya karakter setengah pengangguran serta pengangguran terselubung. Dalam menggambarkan tingkat penciptaan lapangan kerja, elastisitas tenaga kerja memainkan suatu peranan penting karena mereka adalah basis bagi proyeksi pekerjaan. Di sinilah penggunaan teknik statistik yang tepat menjadi penting. Perkiraan ad-hoc berguna untuk tujuan ilustratif tetapi tidak memadai untuk kebutuhan pembuatan kebijakan. Perkiraan terkini menggunakan teknik statistik yang terkait menunjukkan bahwa dengan skenario ‘bisnis seperti biasa’ dengan tingkat pertumbuhan yang ada yakni 5 hingga 6 persen, pemerintah akan gagal memenuhi target penciptaan lapangan kerja sampai tahun 2009. Misalnya, dengan pertumbuhan ekonomi 5-6 persen, total stok penganggur akan mencapai 8,2 persen, yang berarti tingkat pengangguran total 7,3 persen, yang berarti masih lebih dari target yang diumumkan sebesar 5,1 persen.
12
Lebih jauh lagi, sektor manufaktur tidak akan memainkan peranan memimpin proses penciptaan lapangan kerja. Selama periode waktu yang relevan (2006 hingga 2009), sektor manufaktur diharapkan menambah lebih dari 200.000 pekerja. Penciptaan lapangan kerja yang signifikan diharapkan terjadi di sektor pertanian, perdagangan dan konstruksi – semuanya bukanlah sektor-sektor berproduktivitas tinggi. Perlu ditekankan bahwa, karena sifat perkiraan statistik yang tidak persis dan dengan margin error yang tidak terhindarkan, para pembuat kebijakan harus menciptakan ‘confidence interval’ (interval kepercayaan) untuk target-target penciptaan lapangan kerja yang diumumkan kepada publik. Ini berarti penetapan batas bawah dan batas atas bagi target tersebut. Jika kecenderungan aktual dan proyeksi menunjukkan bahwa bahkan batas bawah pun tidak terpenuhi, maka akan muncul kebutuhan untuk melakukan analisis tambahan dan untuk mengambil tindakan perbaikan. Ada juga, tambahan lagi, isu tentang apakah para pembuat kebijakan harus menggunakan elastisitas tenaga kerja sebagai tujuan kebijakan ex-ante. Hal ini lebih problematik karena di luar batas tertentu, elastisitas tenaga kerja yang tinggi berarti produktivitas yang rendah. Beberapa praktisi kemudian menyarankan, berdasarkan pengalaman historis dari negara-negara Asia Timur dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang sukses mengelola fase surplus tenaga kerja, bahwa elastisitas tenaga kerja dalam jarak 0.5 hingga 0.7 mewakili batas yang baik.9 Meskipun ini saran yang bermanfaat, jelaslah bahwa usulan ini didasarkan pada normanorma historis dan bukannya berdasarkan prinsip-prinsip awal. Karena elastisitas tenaga kerja sebenarnya adalah ukuran tidak langsung dari produktivitas, adalah masuk akal untuk memfokuskan diri pada pertumbuhan produktivitas sebagai sasaran kebijakan yang luas. Baik dari perspektif analitis maupun normatif, sebaiknya tujuannya adalah pertumbuhan bermotorkan produktivitas yang berarti kombinasi yang menguntungkan dari peningkatan pekerjaan dan upah riil. Jadi, peranan apakah yang tertinggal untuk elastisitas pekerjaan dalam pemantauan pasar kerja? Sumber terkait dan energi intelektual sebaiknya diperluas untuk menjamin bahwa seseorang dapat memperoleh elastisitas tenaga kerja yang kredibel secara statistik pada tingkat dis-agregat yang memadai untuk memunculkan proyeksi pekerjaan yang bisa diandalkan dan untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan yang dibutuhkan untuk memenuhi sasaran penciptaan lapangan kerja yang sudah diumumkan. Jika ini dipraktikkan secara berkala, hasilnya adalah kontribusi penting untuk melacak tujuan dan sasaran yang terkait dengan pasar kerja Indonesia.
Setengah pengangguran dan pekerjaan sektor informal Tingkat pengangguran ‘terbuka’ yang agregat demikian juga dengan sasaran penciptaan lapangan kerja agregat merupakan indikator yang tidak bisa diandalkan untuk penciptaan pekerjaan yang pantas dan produktif. Lebih banyak perhatian harus diberikan pada isu setengah pengangguran. Survei tenaga kerja tahunan memungkinkan seseorang untuk memperkirakan insiden diinginkan maupun tidak diinginkan dari setengah pengangguran. Setengah pengangguran yang diinginkan didefinisikan sebagai mereka yang mau menerima kerja kurang dari 35 jam seminggu, sementara yang tidak diinginkan adalah mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu meskipun mereka sebenarnya siap untuk bekerja dengan waktu lebih panjang jika diberikan kesempatan. Ada suatu kecenderungan dalam diskursus publik untuk menggabungkan kedua jenis setengah pengangguran ini sehingga hasilnya 30,5 persen angkatan kerja di tahun 2006. Sebagai bagian dari penentuan tujuan dan sasaran bagi pasar kerja, konvensi untuk hanya melaporkan tingkat setengah pengangguran secara keseluruhan harus dihindari. Fokusnya seharusnya pada insiden setengah pengangguran 9
A.R.Khan (2007) ‘Asian Experience in Growth, Employment and Poverty: An Overview with Special Reference to Recent Case Studies’, Colombo, UNDP Regional Centre.
13
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
yang tidak diinginkan. Jenis inilah yang menopang penghasilan yang kecil dan produktivitas yang rendah, sementara underemployment yang diinginkan bisa diartikan sebagai kegiatan yang melengkapi penghasilan utama. Statistik yang ada menunjukkan bahwa indeks setengah pengangguran yang tidak diinginkan meningkat secara moderat dari 13,1 persen di tahun 2004 menjadi 14,4 persen di tahun 2006, bahkan ketika agregat pengangguran terbuka menurun selama kurun waktu tersebut. Divergensi antara kedua indikator memperkuat kebutuhan untuk memasukkan insiden setengah pengangguran yang tidak diinginkan – dalam hal besaran relativ dan absolut – dalam pengumuman pemerintah tentang tujuan dan sasaran bagi tenaga kerja. Fitur lain yang mengejutkan dari pasar kerja Indonesia adalah jumlah yang lebih besar dari kegiatan sektor informal – fitur yang kecil kemungkinannya akan muncul dalam tingkat pengangguran agregat. Alasan standarnya adalah bahwa tanpa skema tunjangan pengangguran yang komprehensif dan berfungsi baik, hanya sedikit orang mampu untuk terus menganggur secara terbuka dalam jangka waktu yang lama dan karenanya mereka mencari hidup dengan bekerja di sektor berproduktivitas rendah yakni sektor informal, bekerja tidak penuh waktu untuk penghasilan yang rendah. Selama krisis finansial 1997 dan setelahnya, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan mencari hidup di sektor informal. Bahkan setelah pertumbuhan ekonomi pulih, hanya ada sedikit bukti bahwa desakan besar informalisasi ekonomi sedang dalam tren menurun. Bahkan sebenarnya di antara tahun 2002 dan 2006, sektor pekerjaan informal tumbuh 4,5 persen sementara sektor pekerjaan formal tumbuh 2,2 persen. 10 Di tahun 2006, insiden pekerjaan sektor informal adalah 63 persen, hanya sedikit lebih rendah daripada batas (kira-kira 65 persen) yang terjadi di saat krisis finansial. Perkembangan antara 2006 dan 2007 menunjukkan gambaran yang lebih menjanjikan, di mana pekerjaan sektor formal tumbuh lebih cepat daripada pekerjaan sektor informal. Masih perlu dilihat apakah ini adalah kecenderungan jangka panjang atau hanya tahap siklikal jangka pendek. Singkatnya, kurangnya kemajuan jangka panjang dalam pengurangan setengah pengangguran yang tidak diinginkan serta besarnya sektor informal berarti bahwa, meskipun ada kemajuan dalam pengurangan keseluruhan tingkat pengangguran, pemerintah belum bisa berbuat banyak dalam upayanya menyediakan pekerjaan yang layak dan produktif bagi warga negaranya. Kekosongan fundamental ini harus memotivasi para pembuat kebijakan untuk melihat lagi tujuan dan sasarannya dan meninjau lagi strategi tenaga kerja mereka.
Pengangguran kaum muda dan dimensi gender dari pengalaman pasar kerja Laporan global MDG telah mengusulkan, sebagai salah satu sasarannya, penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi orang dewasa muda di negara-negara berkembang (didefinisikan sebagai mereka yang berusia antara 15-24 tahun). Selain itu, pencapaian kesetaraan gender dan pendidikan dalam pasar kerja adalah juga elemen penting dalam agenda pembangunan global. Indonesia telah mengadopsi MDG dalam kebijakan pembangunan nasional, namun dalam tinjauan ditemukan bahwa Indonesia akan gagal memenuhi target penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi warga dewasa mudanya sampai tahun 2015, apalagi sampai tahun 2009. Seperti dicatat di tahun 2006, 10 ILO, dalam mencatat kemajuan dalam pengurangan defisit pekerjaan yang layak di tingkat negara, kini menggunakan konsep ‘vulnerable employment’ (kerentanan tenaga kerja) sebagai pengganti untuk mengukur “informalisasi” ekonomi. Kerentanan tenaga kerja didefinisikan sebagai jumlah penghasilan sendiri dari pekerja dan anggota keluarganya sebagai proporsi dari angkatan kerja. Indikator ini kini merupakan bagian dari MDG 1. Lihat World/IMF (2008) ‘Monitoring the MDGs’, Washington DC.
14
ada sekitar 7 juta penganggur kaum muda. Tingkat pengangguran kaum muda mencapai 30,6 persen, mewakili lebih dari 60 persen total stok penganggur. Jumlah ini kurang diinginkan saat dilihat dari perspektif norma regional. Pembangunan antara 2006 dan 2007 memberi janji bahwa tingkat pengangguran kaum muda telah menurun cukup banyak (hingga sekitar 25 persen secara nasional). Isu pengangguran kaum muda tidak bisa dilihat terpisah dari kondisi laku tidaknya lulusan muda dari sistem pendidikan dan pelatihan di pasaran tenaga kerja. Sejumlah besar penganggur (63 persen di tahun 2006) punya pendidikan menengah. Apakah tingginya tingkat pengangguran kaum terdidik merupakan keprihatinan besar bagi kebijakan? Secara politis, tentu ini adalah isu sensitif, tetapi buktinya tidak ada disfungsi yang besar bagi tenaga kerja terdidik – setidaknya ketika dilihat dari perspektif indikator ‘ketidaktepatan keterampilan’ dan durasi pencarian pekerjaan. Jadi, misalnya, proporsi pekerja terdidik dengan pendidikan tinggi yang bekerja di kegiatankegiatan berketerampilan rendah sangatlah rendah (jauh di bawah satu persen). Juga kelihatan bahwa premi upah yang terkait dengan pendidikan tinggi tetap bertahan dalam tahun-tahun belakangan ini.11 Jadi, tidak ada bukti meyakinkan bahwa kembalinya (swasta) pada pendidikan telah berkurang secara signifikan. Cara lain untuk menguji isu pengangguran terdidik adalah dengan fokus pada proses pencarian kerja. Durasi dan strategi mencari kerja berbeda tergantung pada perolehan pendidikan. Yang keluar dengan pendidikan menengah dan lulusan pendidikan tinggi menghabiskan 10-11 bulan mencari pekerjaan, ini dibandingkan dengan masing-masing delapan, tujuh dan enam bulan untuk lulusan SMP dan SD dan kurang lagi bagi yang tidak lulus SD. Jumlah yang sama untuk median durasi pencari kerja adalah tiga bulan lebih singkat untuk semua kategori. Periode pencarian kerja (sedikit di bawah 10 bulan) tetap relatif stabil untuk semua kategori penganggur terdidik selama periode (1992-2007). Median durasi pencarian kerja juga stabil tetapi dengan tingkatan relatif lebih rendah yakni 5,4 bulan, yang berarti bahwa 50 persen pencari kerja mendapatkan pekerjaan hanya beberapa waktu setelah lima bulan. Durasinya lebih rendah di pedesaan daripada di daerah perkotaan dalam hal rata-rata dan median pencarian kerja. Jadi, meskipun ada peningkatan jumlah pendidikan dasar, menengah dan tinggi, durasi pencarian kerja untuk para pencari kerja yang lebih terdidik tetap relatif stabil. Lebih jauh lagi, rasio mereka mendapatkan kerja telah meningkat, dan usia serta tingkat pengangguran terbuka khusus untuk pendidikan tertentu tetap stabil. Jadi, jumlah yang besar dari mereka yang lebih terdidik di antara penganggur terbuka bisa mengindikasikan pencapaian pendidikan tinggi bagi umumnya generasi yang lebih muda. Analisis data pencarian kerja dan bukti stabilitas dalam indikator kinerja tenaga kerja sebaiknya tidak membuat kita puas akan pasar bagi tenaga kerja terdidik. Melainkan, ini mengindikasikan bahwa isu kebijakan yang utama mungkin terletak pada pencepatan transisi kaum muda dari sistem pendidikan dan pelatihan ke dunia kerja. Isu ini nanti dibahas lagi di bagian lain makalah ini. Disparitas gender dalam pasar kerja Indonesia dapat dilihat dari fakta bahwa di tahun 2006 pengangguran perempuan adalah sekitar 34 persen dibandingkan 28 persen untuk rekannya yang laki-laki. Pembangunan antara tahun 2006 dan 2007 menunjukkan gambaran yang lebih menjanjikan. Kesenjangan pengangguran laki-laki dan perempuan nampak sedikit menurun, mencerminkan pertumbuhan pekerjaan yang kuat mendukung para pekerja perempuan. Ketika membandingkan tingkat pengangguran berdasarkan gender, penting untuk memperhitungkan fakta bahwa tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan dalam angkatan kerja cukup bervariasi. Sekitar separuh jumlah keseluruhan perempuan masuk ke dalam angkatan kerja dibandingkan 80 persen untuk laki-laki. Ini akibat dari besarnya proporsi perempuan di luar angkatan kerja yang terlibat kegiatan mengurus rumah 11 Estimasi ini dengan baik hati telah disediakan oleh Dr Shafiq Dhanani.
15
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
tangga dan mengurus anak. Satu cara memperhitungkan perbedaan spesifik gender dalam tingkat partisipasi angkatan kerja adalah dengan memfokuskan diri pada tingkat pengangguran laki-laki-perempuan seperti tercermin dalam persentase usia populasi yang bekerja. Ketika hal ini dilakukan, tingkat pengangguran lakilaki ternyata lebih tinggi daripada tingkat pengangguran perempuan.12 Tujuan dari ilustrasi tersebut adalah tidak untuk mengecilkan keberadaan disparitas gender dalam pasar kerja Indonesia, melainkan untuk menekankan kenyataan bahwa partisipasi angkatan kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dapat menyimpangkan ukuran standar disparitas gender dalam hal tingkat pengangguran yang diamati. Tantangan kebijakan yang terkait adalah untuk meningkatkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan tanpa mengganggu peranan penting yang dimainkan perempuan dalam kegiatan rumah tangga dan membesarkan anak. Hal ini kemudian berarti bahwa isu disparitas gender dalam pasar kerja perlu mengatasi isu yang jauh lebih kompleks dalam hal peranan gender dalam kegiatan rumah tangga. Ada satu catatan di mana pasar kerja mengalami penurunan disparitas gender. Bukti yang ada menunjukkan bahwa disparitas gender dalam arti kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan telah berkurang dengan tetap. Penghasilan perempuan sebagai proporsi penghasilan laki-laki telah meningkat dari 50 menjadi 75 persen antara tahun 1982 dan 2007. Data didasarkan pada tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan dalam sistem pendidikan juga menunjukkan bahwa disparitas ini telah menurun dari waktu ke waktu. Karena bukti tersebut di atas, tujuan dan sasaran apakah yang sebaiknya dipakai pemerintah Indonesia untuk menangani isu pengangguran kaum muda maupun disparitas gender dalam pasar kerja? Lapangan Kerja bagi Kaum Muda Indonesia (IYEN – Indonesian Youth Employment Network) yang baru terbentuk telah menghasilkan ‘rencana aksi tenaga kerja muda’ untuk tahun 2004-2007 yang memungkinkan seseorang untuk merefleksikan poin ini. IYEN merekomendasikan ‘empat pilar’ bagi pengembangan strategi tenaga kerja muda: (1) menyiapkan kaum muda untuk bekerja; (2) menciptakan pekerjaan berkualitas bagi kaum muda laki-laki dan perempuan; (3) menumbuhkan kewirausahaan; (4) menjamin kesempatan yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Dalam kerangka kerja keempat pilar, IYEN menyarankan agar sasaran tenaga kerja ditetapkan untuk usia demografis ini dan dimasukkan dalam keseluruhan kerangka kebijakan. Hal ini termasuk: (1) pengurangan jumlah kaum muda yang ‘belum tergarap’ (entah mereka yang masih dalam pendidikan atau sudah dalam angkatan kerja); (2) pengurangan jumlah kaum muda yang ‘belum sepenuhnya digunakan’ (mereka yang menganggur atau setengah pengangguran); (3) peningkatan jumlah laki-laki dan perempuan di sector formal.13 Makalah ini mendorong tujuan tersebut, karena penekanan pada dimensi ‘pengarusutamaan’ gender dalam pasar kerja dan bukannya memperlakukan hal ini secara ’terpisah’. Perbedaan antara kaum muda yang ‘belum tergarap’ dan ‘belum sepenuhnya digunakan’ adalah inovatif. Hal ini mungkin bermanfaat untuk melengkapi arah umum yang dicatat di sini dengan target kuantitatif yang terikat waktu dalam cara pemerintah bertindak menyikapi tingkat pengangguran agregat, namun penekanannya seharusnya ada pada tingkat eksplisit penciptaan lapangan kerja.
12 Di tahun 1998-2000, misalnya, tingkat pengangguran laki-laki sebagai proporsi populasi usia kerja adalah 4,7 persen dibandingkan 3,7 persen untuk perempuan. 13 IYEN [2004] ‘Youth Action Plan : 2004-2007’, Jakarta
16
Migrasi dan pekerjaan di luar negeri Seorang menteri senior dalam Pemerintah Indonesia baru-baru ini mencatat bahwa, sebagai bagian dari strategi negara dalam hal tenaga kerja, akan ada perluasan ‘…kesempatan bagi pekerja migran Indonesia untuk bekerja di luar negeri’. Pada 2006, sekitar 680,000 orang Indonesia terdaftar bekerja di luar negeri dengan ramalan penambahan jumlah menjadi 800,000 sampai akhir tahun 2007.14 Angka ini mungkin kelihatan remeh karena besarnya jumlah angkatan kerja – tetapi jumlah yang terdaftar tidak mesti mencakup besaran sesungguhnya dari jumlah orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, khususnya karena besarnya insiden migrasi tanpa dokumentasi dan ilegal ke negara-negara tetangga di Asia. Dengan perkiraan 2,3 juta migran di luar negeri, Indonesia menjadi negara pengirim penting, khususnya di antara negara-negara ASEAN/Asia Timur. Jelas bahwa pemerintah bermaksud menggunakan migrasi ke luar negeri sebagai kendaraan untuk memperkuat penciptaan pekerjaan domestik. Para migran dapat pula memainkan peranan penting dalam mengurangi kemiskinan di tingkat rumah tangga melalui remitansi yang dapat meningkatkan standar hidup para tanggungan mereka. Beberapa praktisi telah berkata bahwa isu migrasi ke luar negeri sebagai cara melengkapi penciptaan lapangan kerja domestik harus menjadi bagian penting dari agenda pembangunan global. Beberapa estimasi menunjukkan bahwa meskipun terbatas, rezim liberalisasi tenaga kerja yang diatur dengan baik di seluruh dunia dapat menumbuhkan keuntungan yang akan lebih besar dibandingkan liberalisasi perdagangan secara penuh.15 Jelas pula bahwa wilayah Asia Timur saat ini terdiri dari campuran negara-negara dengan surplus tenaga kerja dan negara-negara yang kekurangan tenaga kerja. Kesempatan untuk muncul dari campuran ini, melalui migrasi regional yang lebih baik, belumlah mendapatkan prioritas dibandingkan isu perdagangan dan arus investasi. Karena berkembangnya kesempatan global dan regional ini, masuk akal bagi para pembuat kebijakan di Indonesia untuk mempertimbangkan migrasi ke luar negeri sebagai salah satu cara meningkatkan penciptaan lapangan kerja domestik. Mereka harus mengikutkan isu migrasi pekerja regional dan proteksi pekerja migran dalam negosiasi perjanjian perdagangan bebas, seperti AFTA.16 Seperti dalam kasus dimensi lain dari penciptaan pekerjaan, tujuan kebijakan yang terkait dengan migrasi ke luar negeri dapat dengan mudah dibatasi pada sasaran kuantitatif, misalnya meningkatkan keseluruhan jumlah orang yang mencari pekerjaan ke luar negeri, tetapi ada isu signifikan soal kualitas yang lebih perlu. Khususnya bahwa kaum perempuan muda Indonesia rentan terhadap eksploitasi. Industri migrasi juga perlu diatur dengan peraturan yang standar. Remitansi yang cepat, fleksibel dan aman perlu diterapkan. Isu-isu ini tidak bisa selalu siap diterjemahkan dalam sasaran-sasaran kuantitatif yang sederhana, tetapi mereka perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari latihan penetapan tujuan. Dengan kata lain, tujuan harus dibuat untuk menyediakan pekerjaan yang layak dan produktif bagi orang Indonesia di lokasi-lokasi di luar negeri.
Daya saing harga dan pasar kerja Perdebatan paska krisis tentang pasar kerja Indonesia telah didominasi oleh diskusi-diskusi tentang kondisi di mana harga tenaga kerja mempengaruhi keputusan pengusaha untuk merekrut dan bagaimana 14 A. Haswidi [2007] ‘Economics Minister pledges all out to reduce unemployment’, Jakarta Post, Maret. 15 L.Pritchett [2006] Let Their People Come: Breaking the Gridlock on Labour Mobility, Washington, Centre for Global Development 16 Lihat A. Chowdhury [2007] Indonesia’s Hesitance with AFTA and AFTA plus: A Political Economy Explanation”, Paper presented at “FTA, Regional Integration, and Development” Conference, Pusan National University, Busan, Korea, December 18-19, 2007; T. Hidayat and D. Widarti [2005], “Social Implications of ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) on Labour and Employment: The Case of Indonesia”, ILO/ASEAN Joint Study.
17
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
hal ini mempengaruhi daya saing harga dari ekonomi Indonesia. Ada praduga umum bahwa biaya tenaga kerja telah menjadi terlalu tinggi, pertumbuhan upah telah melebihi pertumbuhan produktivitas dan akibatnya ekspor produk padat karya telah menderita. Fokusnya pada peraturan ketenagakerjaan yang memberatkan dan kasus-kasus militansi serikat pekerja. Kekhawatiran-kekhawatiran ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang menyuarakan kebutuhan untuk ’menciptakan pasar kerja fleksibel dengan cara memperbaiki peraturan ketenagakerjaan’. Pada saat yang sama, Rencana tersebut menyoroti perlunya ’menggunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi (sic), dan ’menyediakan proteksi tenaga kerja yang mengarah pada kesejahteraan’. Tantangannya adalah untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara kekhawatiran tentang daya saing harga dan kesejahteraan pekerja. Di sini perdebatan publik yang bijak meminta pemerintah untuk memainkan peranan memimpin dalam mengembangkan panduan yang akan membantu para pembuat kebijakan untuk menemukan keseimbangan yang tepat dan meminimalkan potensi trade-off antara perlindungan hak-hak pekerja dan keharusan penciptaan pekerjaan. Tujuan yang tepat adalah untuk memastikan bahwa upah riil tumbuh sejalan dengan produktivitas. Hal ini adil dan juga efisien.
Kemiskinan dan pasar kerja17 Seperti telah disebut, pemerintah Indonesia telah punya sasaran yang diumumkan untuk mengurangi kemiskinan menjadi separuhnya bersamaan dengan sasaran untuk mengurangi pengangguran agregat sampai tahun 2009. Apakah ini pendekatan yang valid, mengingat pemahaman yang kini ada tentang neksus antara kemiskinan dan pasar kerja? Kita dapat menggunakan metode tidak langsung untuk mendapatkan suatu saran hubungan antara pengangguran dan kemiskinan di tingkat nasional. Prosedur ini tergantung pada dua pola yang sudah terbangun baik, satu diangkat dari SAKERNAS, yang lain dari SUSENAS. Yang pertama biasanya menunjukkan bahwa ada hubungan terbalik antara tingkat pengangguran yang diamati dan pencapaian pendidikan pekerja (pengangguran tinggi/pendidikan rendah); estimasi yang diangkat dari SUSENAS mengindikasikan bahwa ada juga hubungan terbalik antara insiden kemiskinan dan pencapaian pendidikan kepala keluarga (insiden kemiskinan tinggi/pendidikan rendah). Mengaitkan keduanya menghasilkan kemungkinan hubungan terbalik antara pengangguran dan kemiskinan di Indonesia, yakni bahwa tingkat pengangguran yang tinggi dapat diasosiasikan dengan tingkat kemiskinan yang rendah. Mereka dengan pendidikan dasar atau lebih rendah dari itu punya tingkat pengangguran di bawah 5 persen (seperti tercatat tahun 1999), namun insiden kemiskinan untuk kelompok ini bervariasi dari 29 persen hingga 48 persen. Pada sisi lain, mereka dengan pendidikan menengah atau lebih punya tingkat pengangguran yang berkisar antara 13 persen dan 16 persen, namun tingkat kemiskinan bervariasi antara 2 persen dan 13 persen. Jadi, perdebatan bahwa pengangguran punya relevansi terbatas untuk memahami kemiskinan di Indonesia kelihatannya lahir dari data yang ada.18 Secara umum, kaum miskin tidak mampu untuk tetap menganggur dalam waktu lama dan harus mencari pekerjaan apapun untuk tetap hidup. Akan bermanfaat, sebagai bagian dari strategi penelitian mendatang, untuk lebih mendalami lagi hubungan antara kemiskinan dan pengangguran. Pengamatan yang lebih hati-hati akan data SUSENAS dan SAKERNAS yang belum terbit tentang isu-isu tersebut sungguh layak jelajah. 17 Diskusi dalam bagian ini diangkat dari I.Islam [2002] “Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective”, laporan yang disiapkan untuk Recovery and Reconstruction Department, Geneva, ILO. 18 Pernyataan ini konsisten dengan semangat ‘agenda pekerjaan layak’ dari ILO karena penekanannya ada pada penciptaan pekerjaan yang produktif dan bertahan sebagai cara mengurangi kemiskinan dan bukannya untuk mengurangi tingkat pengangguran agregat.
18
Cara lain untuk mengekplorasi hubungan antara pengangguran dan kemiskinan adalah untuk melacak pergerakan keduanya di tingkat agregat. Kecenderungan terkini menunjukkan bahwa kemiskinan dan pengangguran telah berkembang ke arah berbeda – setidaknya ketika seseorang membandingkan seri yang resmi. Kemiskinan – berdasarkan rasio jumlah kepala di tingkat nasional (national head count ratio) – sesungguhnya telah meningkat antara tahun 2005 dan 2006 (dari 16,0 persen menjadi 17, 8 persen), sementara pengangguran menurun dari puncaknya 11,2 persen di tahun 2005 menjadi 10,3 persen di tahun 2006. Pada saat yang sama, meskipun tingkat pengangguran resmi meningkat tajam antara 2001 and 2005, kemiskinan agregat berdasarkan garis kemiskinan nasional menurun sepanjang periode itu.19 Secara umum data pergerakan bersama antara tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran antara 1996 dan 2006 menunjukkan bahwa keduanya bergerak ke arah yang berbeda. Karena kesangsian yang diajukan tentang hubungan antara kemiskinan dan pengangguran, bagaimana sebaiknya seseorang menganalisa neksus kemiskinan-tenaga kerja agar menghasilkan pengetahuan yang relevan? Seseorang harus mengadopsi pendekatan dis-agregat untuk menganalisa pekerjaan dan karakteristik keterampilan rumah tangga yang miskin. Ilustrasinya ditawarkan berikut ini. Sejumlah besar kaum miskin Indonesia dapat ditemukan di sektor pertanian. Misalnya, di tahun 1999, insiden kemiskinan dalam pertanian mencapai kira-kira 40 persen dibandingkan dengan tingkat kemiskinan yang hanya 5 persen untuk kepala rumah tangga yang mengidentifikasikan keuangan sebagai sektor pekerjaan mereka yang utama. Lebih jauh lagi, 58 persen dari kemiskinan secara nasional dapat dikatakan berasal dari sektor pertanian. Jadi, strategi pengurangan kemiskinan apapun di Indonesia akan perlu mengenali luasnya keberadaan rumah tangga miskin di bidang kegiatan pertanian. Data juga menunjukkan bahwa tidak ada bukti bahwa rumah tangga miskin entah secara substantif lebih muda atau lebih tua dari rumah tangga yang tidak miskin. Juga tidak ada bukti yang jelas tentang ‘feminisasi’ kemiskinan dalam arti bahwa cuma 16 persen dari rumah tangga yang dikepalai perempuan diklasifikasi sebagai miskin. Dalam hal status pekerjaan, nampak bahwa wirausaha informal adalah karakter utama kemiskinan. Jadi, 56 persen kepala rumah tangga yang berwirausaha masuk dalam kategori kelompok miskin dibandingkan 30 persen kepala keluarga yang dikelompokkan sebagai pegawai. Dalam hal jam kerja per minggu, ada perbedaan antara rumah tangga yang miskin dan yang tidak miskin. Jadi rumah tangga yang miskin di tahun 1999 bekerja rata-rata 33 jam per minggu dibandingkan rumah tangga yang tidak miskin yang bekerja rata-rata 36 jam per minggu. Ada perbedaan nyata antara rumah tangga yang miskin dan tidak miskin dalam bidang pendidikan. Mean tahun sekolah bagi rumah tangga yang miskin adalah 6,0 tahun di tahun 1999 dibandingkan 7,4 tahun bagi rumah tangga yang tidak miskin. Untuk menajamkan tujuan dan sasaran yang menekankan pada neksus kemiskinan-pasar kerja, beberapa poin perlu disebut. Pertama, pergerakan dalam tingkat pengangguran tidak nampak berkorelasi baik dengan perubahan dalam tingkat kemiskinan. Hal ini memperkuat pandangan bahwa kaum miskin tidak mampu bertahan menganggur untuk waktu yang lama karena ketiadaan skema tunjangan pengangguran. Di sisi lain, hubungan antara upah dan kemiskinan lebih kuat. Ada cukup banyak bukti bahwa konsumsi upah riil di tahun-tahun belakangan, khususnya antara 2005 dan 2006, telah mengalami stagnasi atau penurunan di semua sektor dan dalam sektor informal. Kecenderungan jangka panjang juga menunjukkan pergerakan bersama yang dekat antara kemiskinan dan upah riil. 19 Peningkatan yang tajam tetapi temporer untuk kemiskinan tahun 2005-2006 disebabkan utamanya oleh peningkatan tajam dalam tingkat inflasi yang digerakkan oleh pengurangan subsidi bahan bakar.
19
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Relatif lebih sedikit perhatian diberikan kepada insiden ‘orang miskin yang bekerja’, yakni mereka yang berpartisipasi dalam pasar kerja tetapi memiliki penghasilan yang tidak memadai. Satu studi perbandingan menyarankan bahwa dalam masa sebelum krisis, jumlah orang miskin yang bekerja ada kira-kira 16 persen dari angkatan kerja yang bekerja.20 Estimasi terkini menunjukkan bahwa insiden ‘orang miskin bekerja’ bervariasi signifikan, tergantung pada garis kemiskinan yang digunakan. Berdasarkan garis kemiskinan internasional 1 US$ per hari seperti diterapkan pada data 2006, ada sekitar 8 persen dari angkatan kerja, tetapi angkanya melonjak ke 52 persen dari angkatan kerja ketika angka 2 dolar per hari dipakai.21 Estimasi ini perlu diperbarui secara berkala. Upaya-upaya perlu diambil untuk mengembangkan konsep ’upah hidup’ (living wage) sebagai alat melacak kelompok-kelompok dalam angkatan kerja yang berada di bawah ‘upah hidup’. Lebih penting lagi, karakteristik pekerjaan dari ’orang miskin bekerja’ perlu lebih dipelajari lagi secara intensif. Pemerintah, dalam menerapkan MDG, juga menganut pandangan bahwa kemiskinan adalah konsep multidimensional yang terkait dengan kurangnya daya beli, kurangnya standar pembangunan sumber daya manusia serta kurangnya suara dan partisipasi kaum miskin dalam kehidupan sipil dan politik. Kecuali untuk pemberdayaan politik kaum miskin, MDG global didominasi oleh tujuan dan sasaran yang ingin memperbaiki kelemahan dalam hal pembangunan sumber daya manusia, khususnya kesehatan, nutrisi dan pendidikan. Kurangnya daya beli, atau kemiskinan penghasilan, hanyalah salah satu indikator yang diusulkan dalam MDG. Indonesia akan mencapai pengurangan kemiskinan penghasilan serta banyak indikator pembangunan lain yang diusulkan hingga tahun 2015. Jadi wajar bila dalam pengumuman dan sosialisasi tujuan terkait dengan neksus antara kemiskinan dan pasar kerja, pemerintah sebaiknya menjauh dari fokus yang terlalu sempit pada kemiskinan penghasilan. Penciptaan pekerjaan berbasis luas dan pertumbuhan upah riil memang bisa mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan daya beli, tetapi belum tentu menjamin bahwa semua warga negara akan lebih terdidik, lebih sehat dan tidak kekurangan gizi. Keharusan pembangunan sumber daya manusia ini juga terletak pada inti penjaminan bahwa warga negara memiliki kemampuan untuk punya pekerjaan yang layak dan produktif. Fokus yang sempit pada tinjauan kemiskinan penghasilan mengabaikan isu penting tentang kerentanan, yakni risiko episode kemiskinan sementara yang mungkin dialami manusia. Fitur yang menggelisahkan dalam kemiskinan di Indonesia adalah bahwa banyak individu dan rumah tangga yang terletak di garis kemiskinan, yang berarti bahwa satu saja ‘shock’ tidak terduga akan mendorong banyak orang untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Perkiraan terkini menunjukkan bahwa insiden kerentanannya adalah 29 persen – angka yang hampir dua kali tingkat kemiskinan saat ini. Isu kerentanan juga terkait dengan risiko pasar kerja, terkait dengan masalah pengangguran dan setengah pengangguran. Jadi, insiden kerentanan bagi ‘orang miskin yang bekerja’ adalah sekitar 44 persen dari angkatan kerja.22 Jadi, dengan memfokuskan diri pada kemiskinan penghasilan, pemerintah tidak memberi cukup perhatian pada kerentanan. Kerentanan bersifat luas dan perlu dikenali dengan cara memasukkannya dalam tujuan dan sasaran pemerintah dalam hal pasar kerja.
20 N.Majid [2001] ‘The Size of the Working Poor Population in Developing Countries’, ILO, Geneva, Employment Paper No.16 21 ILO [2008] ‘Labour and Social Trends in Indonesia: Decent work pathways towards job-rich development’, Jakarta, Bangkok and Geneva 22 Ini didapatkan dengan menghitung selisih antara insiden orang miskin yang bekerja dengan estimasi satu US$ per hari dan insiden orang miskin yang bekerja dengan estimasi dua US$ per hari. Estimasi ini, dikutip dalam teks, tersedia dalam ILO [2008] [op.cit: 10].
20
Tujuan dan sasaran: agregat nasional vs. keberagaman regional Indonesia, tentu saja, adalah negara yang luas dan beragam. Setelah beberapa dekade pemerintahan yang tersentralisasi, negara ini telah menerapkan program komprehensif untuk desentralisasi regional. Kebijakan pasar kerja dan pengentasan kemiskinan, seperti misalnya upah minimum dan Program Pemberdayaan Nasional, kini dilaksanakan di tingkat regional/lokal. Jadi, fokus pada agregat nasional – seperti pengurangan yang belum diumumkan tentang pengangguran dan kemiskinan – hanyalah awal dari upaya menetapkan tujuan dan sasaran kebijakan. Tingkat pengangguran nasional, misalnya, menyembunyikan variasi yang besar, yang berkisar antara 18,9 persen (di Banten) hingga 3,6 persen (di Nusa Tenggara Timur). Laporan Pembangunan Sumber daya Nasional terdahulu telah menunjukkan bahwa Indonesia secara keseluruhan akan mencapai banyak MDG hingga 2015, tetapi sejumlah wilayah/provinsi akan tertinggal jauh. Bagaimana caranya mencerminkan keberagaman yang begitu besar dari negara ini dalam tujuan dan sasaran kebijakan nasional? Satu pendekatan, yang diangkat dari karya yang diadvokasikan oleh Laporan Pembangunan Manusia Nasional 2000/2001 adalah untuk mengembangkan ‘perpaduan pembangunan manusia’ yang berupaya menanamkan visi bahwa semua orang Indonesia, di manapun lokasinya, harus berhak atas standar pembangunan manusia minimum yang nantinya diarahkan pada MDG. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa semua daerah mampu, dengan kerangka ikatan waktu, untuk mencapai standar pembangunan manusia yang sejalan dengan MDG. Ide ini nantinya dapat diterjemahkan dalam kerangka pasar kerja. Jadi tujuannya sebaiknya untuk menyebarluaskan tujuan dan sasaran yang terkait dengan penciptaan pekerjaan yang produktif yang secara eksplisit mengikutkan keberagaman wilayah negara. Hal ini berarti mengembangkan profil regional dari sejumlah indikator pasar kerja beserta pergerakannya sepanjang waktu yang dapat memandu para pembuat kebijakan dalam mengidentifikasi siapa yang memimpin dan tertinggal dalam penciptaan pekerjaan. Kelemahan kinerja pasar kerja dan tindakan perbaikan untuk merespon kelemahan tersebut kemudian dapat dinilai berdasarkan tolak ukur yang ditentukan secara nasional.
21
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
22
3.
Perdebatan dan Diagnosis
Pendekatan yang digerakkan oleh bukti untuk membuat bijakan berarti penganutan kerangka diagnostic yang akan memungkinkan seseorang untuk memahami mengapa pasar kerja Indonesia telah berfungsi dalam waktu yang baru lalu, bagaimana ia berfungsi sekarang, dan bagaimana perkembangannya di masa mendatang. Resolusi memuaskan dari pertanyaan-pertanyaan ini akan memberikan dasar analitis dan empiris tentang pembuat kebijakan mana yang dapat melabuhkan tujuan dan sasarannya dan mengukur pencapaian mereka dalam kerangka waktu yang sudah ditentukan.
Mendiagnosa hasil pasar kerja Indonesia: hipotesa tekanan harga Dalam mempelajari pasar kerja Indonesia, kita dapat mengurai narasi analisis tertentu yang kelihatannya berpengaruh. Hal ini, seperti telah dikatakan, adalah yang dikenal sebagai hipotesa ‘tekanan harga’. Premis dasarnya adalah bahwa Indonesia dilambangkan dengan peraturan ketenagakerjaan yang memberatkan, yang secara agresif mengejar upah minimum dan ketentuan lain seperti pesangon, yang meningkatkan upah riil hingga ke tingkat sangat tinggi, menghambat pertumbuhan pekerjaan di sektor formal dan berdampak negatif pada iklim investasi. Perkembangan ini umumnya dilihat berasal dari Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003 yang adalah produk lingkungan demokratis yang semakin liberal secara politik yang muncul setelah krisis finansial 1997. Hal ini mendorong harapan masyarakat akan peningkatan hak. Tidak seperti dulu, ketika rezim politik masih sangat tersentralisasi, pihak yang berwenang dalam pemerintah tidak bisa lagi semata-mata menekan serikat buruh dan kegiatan sipil. Sistem hubungan industrial sekarang nampak mencerminkan ‘koreksi berlebihan’ untuk represi masa lampau dalam hal hak-hak pekerja. Jadi, hal ini tercermin dalam penerapan yang begitu bersemangat akan kebijakan upah minimum, pesangon yang murah hati, pengaturan penggunaan kontrak pekerjaan temporer dan outsourcing produksi. Hal ini menciptakan lingkungan usaha biaya tinggi yang menjadi rem bagi investasi swasta yang sangat dibutuhkan, baik dari dalam maupun luar negeri. Investasi yang tidak memadai akhirnya menjadi rem bagi penciptaan pekerjaan di sektor formal. Berikut beberapa contoh yang umum tentang sudut pandang ini. Satu studi menyimpulkan: ‘beberapa perkembangan terkini dan yang belum muncul dalam kebijakan pasar kerja Indonesia mengancam peningkatan biaya perekrutan pekerja baru dan akhirnya memperlambat penciptaan pekerjaan modern.’23 Satu studi lain juga sepakat: ‘Telah terjadi perkembangan memburuk dalam kinerja pasar kerja Indonesia sejak krisis finansial Asia utamanya karena penurunan investasi dan pasar kerja yang lebih diatur’. 24 Satu lagi 23 Carl Aaron, et al [2004] ‘Strategic Approaches to Job Creation and Employment in Indonesia’, Laporan untuk USAID, Jakarta 24 G. Sugiyarto [op. cit]
23
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
pengamat mengecam Indonesia karena undang-undang ‘yang mengatur praktik rekrutmen dan pemecatan (telah) menciptakan pasar kerja yang disfungsional’ dan solusinya sungguh adalah dengan ‘menghapuskan pasar kerja yang kaku’.25 Cap intelektual tentang hipotesa ‘tekanan harga’ tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang salah satu tujuannya adalah restorasi peraturan pasar kerja menjadi lebih fleksibel. Di tahun 2006, pemerintah berupaya mereformasi Undang-undang Ketenagakerjaan 2003, namun penyelesaiannya belum ada. Makalah ini menawarkan tinjauan bukti yang ada seputar harapan yang dapat membantu dialog sosial yang hidup antara pemerintah, asosiasi pengusaha dan perwakilan pekerja melalui cara-cara terbaik di masa mendatang untuk merancang dan mempertahankan kerangka peraturan yang ramah-pengusaha dan sekaligus melindungi dan menghormati hak-hak pekerja. Mereka yang mendukung kesahihan hipotesa ‘tekanan harga’ dalam konteks Indonesia biasanya memberi perhatian pada evolusi terkini seputar upah minimum dan skema pesangon. Kewenangan untuk menetapkan upah minimum kini juga diletakkan di tingkat daerah, meskipun implementasinya diharapkan untuk terjadi sesuai panduan di tingkat nasional. Jelas bahwa upah minimum sudah naik tajam, khususnya setelah krisis finansial 1997. Upah minimum provinsi meningkat dari 61 persen dari rata-rata upah menjadi 69,4 persen dari rata-rata upah. Data yang ada menunjukkan bahwa selama tahun 2005-2006, upah minimum tumbuh lebih cepat di daerah dengan tingkat pengangguran di atas rata-rata dibandingkan daerah-daerah yang tingkat penganggurannya di bawah rata-rata.26 Dalam hal pesangon, kini Indonesia punya yang tertinggi di wilayah ini. Survey ’Doing Business’ dari Bank Dunia meranking Indonesia cukup buruk dalam hal ’indeks kekakuan ketenagakerjaan’. Posisinya nomor 154 dari 178 negara. Ketika penemuan ini digabungkan dengan peningkatan pengangguran antara tahun 2003 dan 2005 serta penurunan sirkuler dari porsi ekspor produk padat karya, kita tergoda untuk menyimpulkan bahwa hipotesa ’tekanan harga’ sungguhlah sahih. Diagnosis macam itu kemudian akan mendorong seseorang untuk mendukung upaya pemerintah untuk meninjau dan mengubah ketentuanketentuan yang memberatkan yang tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003.
Hasil pasar kerja dan hipotesa tekanan harga: bukti berlawanan dan kerangka kerja alternatif Namun, bukti yang ada tidaklah sejelas yang kelihatan. Sejumlah kisaran bukti berlawanan dapat dikumpulkan. Berikut beberapa di antaranya.
Survei ‘Doing Business’ dari Bank Dunia mendata peraturan pasar kerja sebagai salah satu saja dari sepuluh faktor yang memengaruhi keseluruhan indeks ‘kemudahan melakukan usaha’ di mana Indonesia ada di ranking 123 dari 178 negara.27 Survei global lain yang dibuat oleh World Economic Forum (lihat dibawah) menunjukkan bahwa peraturan-peraturan ketenagakerjaan mewakili hanya satu dari 14 faktor yang memengaruhi iklim usaha. Implikasi yang jelas adalah bahwa reformasi peraturan ketenagakerjaan tanpa terlebih dahulu mengatasi hambatan-hambatan lain hanya akan berpengaruh kecil pada perbaikan iklim usaha.
25 S. H. Hanke [2007] ‘Abolish rigid labour markets’, CATO Institute, July. Hanke sempat dalam waktu singkat bertugas sebagai penasihat mantan Presiden Suharto selama puncakmasa krisis di Indonesia. 26 Juga menarik untuk dicatat bahwa upah minimum provinsial meningkat rata-rata 9,1 persen di tahun 2006 di tujuh kabupaten/kota di mana pemilu langsung gubernur diselenggarakan di tahun 2005. Angka untuk propinsi-propinsi lain adalah 8,0 persen. Jadi, para pembuat kebijakan perlu mewaspadai apakah penyesuaian upah minimum telah menjadi alat untuk membeli suara.
24
Dalam hal survey daya saing global yang terkenal yang diselenggarakan oleh World Economic Forum (WEF) untuk 2007-2008, Indonesia berada di urutan ke 54 dari 131 negara – suatu perbaikan substansial dibandingkan dengan periode pertengahan tahun 2000an.
Dalam indeks agregat tersebut, Indonesia punya skor 30 dari 131 negara dalam hal ukuran ‘efisiensi pekerja’. Lebih penting lagi, Indonesia menerima urutan antara 31 dan 35 (dari 131) dalam hal praktik rekrutmen/pemecatan dan fleksibilitas upah. Dengan kata lain, ranking WEF akan pasar kerja Indonesia adalah jauh lebih baik daripada ranking Bank Dunia.28
Satu lagi survei global lain yang dihasilkan oleh Fraser Institute dapat dipakai untuk melacak apakah peraturan perundangan telah memburuk dalam kurun tahun belakangan. Kecenderungan yang muncul adalah bahwa keseluruhan indeks peraturan pasar kerja sebenarnya telah membaik antara tahun 2000 dan 2005, bersamaan dengan perbaikan keseluruhan dalam ‘Kebebasan Ekonomi’ selama periode yang sama.29 Seperti juga kasus survei ‘Doing Business’ dan survei WEF, peraturan ketenagakerjaan mewakili hanya satu komponen saja dari banyak hal lain yang memengaruhi keseluruhan indeks “Kebebasan Ekonomi’ yang diklaim oleh penulisnya sebagai memengaruhi pertumbuhan dan standar hidup. Jadi akibatnya, bahkan bila perubahan dalam peraturan ketenagakerjaan membuat Indonesia berubah menjadi negara yang paling ‘ramah bisnis’ di dunia, perubahannya hanya akan marginal saja dalam indeks ‘Kebebasan Ekonomi’ jika komponen-komponen lainnya tidak berubah.
Survei perusahaan menunjukkan bahwa masalah pekerja bukanlah kekhawatiran utama yang ditunjukkan para investor. Masalah itu menempati posisi tengah dalam daftar 12 faktor yang secara negatif memengaruhi persepsi iklim usaha. Lebih lanjut, survei 2007 tentang iklim investasi oleh Universitas Indonesia menunjukkan bahwa hanya sedikit saja perusahaan yang mengalami beragam masalah yang berkaitan dengan pekerja di tahun 2006.30
Biaya pekerja non-upah (sebagai persen biaya operasi perusahaan) sangatlah sejalan dengan normanorma regional, sementara total biaya pekerja sebagai proporsi biaya operasi perusahaan di sektor manufaktur yang formal tetaplah stabil di angka tujuh persen di tahun-tahun belakangan ini.
Baik upah produk riil maupun upah konsumsi riil entah stagnan atau menurun untuk beragam sektor ekonomi antara tahun 2004 dan 2006, meskipun upah minimum meningkat. Bahkan, upah minimum rata-rata yang riil di sektor manufaktur menunjukkan peningkatan yang lebih rendah lagi dibandingkan dengan pertumbuhan upah minimum nominal.
Unit biaya pekerja – ukuran daya saing yang banyak digunakan – telah turun sejak tahun 2001 dan kini berada di titik terendah sejak 1993. Hal ini menunjukkan kombinasi produktivitas tenaga kerja, di sektor manufaktur dan sektor lain, serta biaya pekerja yang kira-kira konstan – semuanya merupakan perkembangan yang bertentangan dengan klaim yang dibuat oleh para pendukung hipotesa ‘tekanan biaya’.
Sejumlah studi ekonometri telah dilakukan untuk mengidentifikasi konsekuensi-konsekuensi dari upah minimum pada tersedianya pekerjaan. Sejumlah studi ini menunjukkan adanya konsekuensi tenaga kerja yang negatif, namun perlu ada kehati-hatian dalam mengartikan hal ini. Pertama, sejumlah studi menunjukkan bahwa pekerjaan sektor formal dan sektor ekspor umumnya tidak terpengaruh oleh pertimbangan seputar upah minimum. Kedua, studi-studi tersebut sangat bergantung pada ‘elastisitas
27 Tersedia di www.gcr.weforum.org 28 Bahan utama kebebasan ekonomi, seperti dikonseptualisasikan oleh Fraser Institute adalah: pilihan personal, pertukaran pasar secara sukarela, kebebasan untuk masuk dan bersaing dalam pasar, perlindungan individu dan properti dari agresi pihak lain. Indeks ini terdiri dari lima sub-indeks: ukuran pemerintah; uang ‘sound’; struktur legal dan keamanan hak properti; perdagangan bebas; peraturan-peraturan ketenagakerjaan, kredit dan bisnis. Indeks-indeks ini punya nilai maksimum 10, sebagai skor terbaik. Almarhum Nobel Laureate Milton Friedman, sesepuh neo-liberal, diasosiasikan dengan kerja perdana dari Institut ini. 29 Survei WEF juga menunjukkan bahwa faktor-faktor lain yang terkait dengan infrastruktur, birokrasi dan ketidakstabilan politik menggantikan peraturan ketenagakerjaan sebagai faktor-faktor yang paling problematik bagi penyelenggaraan usaha di Indonesia.
25
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
sebagian’, yakni, apa yang akan terjadi pada pengangguran bila ada peningkatan upah minimum tetapi tidak ada perubahan lain yang terjadi. Sudah diketahui bahwa ketersediaan pekerjaan berespon positif pada pertumbuhan PDB – yang, tentu saja, merupakan alasan standar untuk memfokuskan diri pada elastisitas pekerjaan. Jadi, pertumbuhan PDB yang pesat – dan kondisi umum yang baik – dapat meringankan konsekuensi negatif dari peningkatan upah minimum.31 Namun demikian, elastisitas ‘sebagian’ dalam hal upah minimum (atau turunannya) di tingkat nasional biasanya cukup kecil, berkisar dari 0,1 hingga 0,03, dan beberapa diantaranya didasarkan pada fungsi-fungsi pekerja yang hampir tidak lolos tes statistik signifikansi yang standar. Estimasinya dengan demikian tidaklah besar dalam hal besaran dan tidak cukup kuat untuk dijadikan basis yang solid bagi resep kebijakan.
Bukti lintas negara menunjukkan bahwa upah minimum dan tunjangan wajib tidaklah mengganggu pertumbuhan (dan pekerjaan). Yang penting adalah ukuran relatif dari pekerja yang terorganisir dalam ekonomi tersebut.32 Penemuan ini punya relevansi tertentu di Indonesia, mengingat bahwa densitas serikat pekerja hanya sekitar 10 persen dari angkatan kerja. Bila hipotesa ‘tekanan biaya’ tidak berdasar pada pondasi empiris yang kuat, hipotesa alternatif apakah
yang dapat diajukan? Hasil tersedianya pekerjaan merupakan produk dari faktor-faktor tarikan-permintaan dan tekanan-biaya. Menekankan pada tekanan biaya saja dengan mengabaikan tarikan permintaan menimbulkan risiko pengambilan kerangka kerja diagnostik yang berimplikasi monokausalitas, yakni hanya biaya pekerja yang menentukan keputusan rekrutmen. Hal ini jelas tidak benar. Resep kebijakan yang muncul dari kerangka diagnostik macam itu akan salah. Untuk menguji pengaruh dari faktor tarikan permintaan dan tekanan biaya dalam memengaruhi hasil ketersediaan pekerjaan, makalah ini diangkat dari persamaan (equation) pekerjaan yang diestimasi secara ekonometris di mana pekerjaan adalah fungsi dari pertumbuhan PDB (mewakili faktor tarikan permintaan) dan upah produk riil (mewakili faktor tekanan biaya) ditambah satu istilah yang mewakili ‘path dependence’ (yakni, pekerjaan sekarang juga dipengaruhi oleh pekerjaan terdahulu). Persamaan ini diperkirakan secara terpisah untuk periode sebelum krisis (1993-1997) dan sesudah krisis (2000-2006) untuk lintas delapan sektor ekonomi yang utama. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun dalam masa sebelum krisis hubungan antara upah dan pekerjaan secara statistik signifikan di lima sektor yang ada, dalam masa sesudah krisis hanya dua sektor saja (pertambangan dan manufaktur) di mana neksus upah riil dan pekerjaan menjadi signifikan secara statistik. Sebaliknya, hubungan antara pekerjaan dan PDB adalah signifikan secara statistik di hampir semua sektor di masa paska krisis. Dengan kata lain, faktor tarikan permintaan (melalui saluran pertumbuhan) nampak lebih signifikan dibandingkan biaya pekerja dalam memengaruhi hasil pekerjaan. Interpretasi ini konsisten dengan stylized facts. Pertumbuhan pekerjaan lebih cepat di tahun 2006-2007 di saat pertumbuhan PDB telah relatif lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sejak krisis. Kemungkinannya interpretasi hasil pasar kerja telah dibelokkan oleh data pekerjaan untuk periode 20012005, yang mengindikasikan peningkatan tajam dalam pengangguran agregat. Hal ini, seperti telah dikatakan, sebagian adalah artefak statistik. Pengangguran, berdasarkan seri yang konsisten, menunjukkan baik tingkat yang lebih rendah dan peningkatan yang lebih rendah selama periode yang sama. Mengambil perspektif jangka yang lebih panjang, perubahan struktural dalam ekonomi Indonesia belumlah kondusif bagi penciptaan pekerjaan yang berbasis luas. Bagian ekspor dari produk padat karya telah terus menurun sejak 1993. Waktu dari penurunan tersebut menunjukkan bahwa upah minimum dan 31 Lihat lampiran teknis dan statistik dari laporan ini untuk detil lebih lanjut. 32 A.Forteza and M.Rama [2001] ‘Labour Market “Rigidity” and the Success of Economic Reforms Across More Than One Hundred Countries, World Bank Policy Research Working Paper No.2521, 10 Februari.
26
tunjangan wajib bukanlah faktor-faktor yang utama. Kondisi eksternal – khususnya ketidakmampuan Indonesia untuk bersaing dengan eksportir-eksportir produk padat karya lain, seperti China, mungkin telah ikut memainkan peran. Dalam segmen ekonomi yang tidak diperdagangkan, penurunan porsi PDB dari sektorsektor penyerap tenaga kerja belum dilengkapi dengan penciptaan pekerjaan yang kuat di sektor lain. Investasi – komponen penting dari permintaan agregat – umumnya telah dikalahkan selama periode paska krisis. Apa implikasi kebijakan yang muncul dari temuan-temuan ini? Hal ini dijabarkan dalam bagian berikut. Poin utama yang perlu disoroti pada tahap ini adalah bahwa para pembuat kebijakan harus menjauhkan diri dari risiko yang terpendam dalam monokausalitas atau bahkan selektivitas (yakni, bahwa peraturan pasar kerja adalah penghambat yang utama, atau satu-satunya, bagi penciptaan pekerjaan yang berbasis luas) karena baik logika maupun bukti tidak dapat mempertahankan posisi tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa peraturan pasar kerja yang sekarang tidak boleh ditinjau ulang, tetapi kita butuh pendekatan yang lebih punya nuansa. Jawaban terbaiknya terletak pada penganutan kerangka kerja diagnostik berbasis luas yang berupaya untuk memahami cara operasi pasar kerja Indonesia dengan cara membangun premis bahwa baik faktor tarikan permintaan maupun tekanan biaya memengaruhi hasil pasar kerja.
27
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
28
4.
Kebijakan dan Program33
Sejauh ini, diskusi kita telah berupaya menyoroti tujuan dan sasaran dari pasar kerja Indonesia dan telah berusaha mengidentifikasi penentu-penentu hasil pasar kerja. Bagian ini sekarang melakukan tinjauan kebijakan dan program dan mengaitkannya dengan tujuan dan sasaran serta kerangka diagnostik yang diajukan oleh pasar kerja. Untuk memperjelas, tujuan besarnya adalah penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua orang Indonesia yang mau dan bisa bekerja dan kondisi di mana agenda kerja yang layak dapat memungkinkan para pembuat kebijakan untuk mencapai pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan. Kebijakan dan program apakah yang mendukung tujuan fundamental ini? Sudahkah digariskan berdasarkan kerangka kerja diagnostik yang terspesifikasi dengan baik? Seberapa efektif? Apa yang perlu berubah? Isu-isu ini memandu keseluruhan sisa diskusi. Dalam mendiskusikan kebijakan dan program, perbedaan yang luas perlu dibuat antara kebijakan makro ekonomi, sektoral dan pasar kerja. Kebijakan makro ekonomi dan sektoral memengaruhi pola-pola pekerjaan dan tren melalui saluran pertumbuhan, sementara kebijakan pasar kerja terkait dengan campuran antara intervensi ’pro-aktif’ dan ’reaktif’ yang berupaya untuk mengubah hasil-hasil yang ditentukan pasar dan berupaya untuk memengaruhi perubahan dalam tuntutan pekerja dan suplai pekerja demi merespon pada keharusan-keharusan transformasi industrial. Penekanan dalam bagian ini adalah dalam hal kebijakan pasar kerja tetapi dengan pengamatan yang luas juga. Dalam membingkai kebijakan dan program yang tergantung pada pasar kerja, seseorang perlu membedakan antara paradigma non-intervensionis (NP) dan paradigma aktivis (AP). Dalam versi ketat NP, penekanannya ada pada perbaikan iklim usaha demi meningkatkan investasi yang akhirnya akan menggerakkan pertumbuhan dan mengarah pada penciptaan pekerjaan berbasis luas. Pasar kerja yang kaku dilihat sebagai penghambat utama bagi perbaikan iklim usaha. Jadi, kebijakan pekerjaan yang baik adalah yang diarahkan pada upaya peningkatan fleksibilitas pasar kerja. Peranan kebijakan makro ekonomi adalah untuk mempertahankan stabilitas harga melalui kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal, sementara kebijakan-kebijakan sektoral harus berupaya memperbaiki lingkungan peraturan (misalnya melalui reformasi kebijakan perdagangan, pengurangan hambatan untuk masuk ke berbagai industri) yang mendorong investasi baru. AP mengenali pentingnya pertumbuhan dalam penciptaan pekerjaan, namun berargumen bahwa hal itu membutuhkan lebih dari sekadar penekanan pada perbaikan iklim usaha yang menekankan pada fleksibilitas pasar kerja dan dengan meningkatkan kualitas lingkungan perundang-undangan. Tujuan yang 33 Bagian ini diangkat dari World Bank [2007], UNESCAP [2007], MENKO-EKONOMI [2007], ILO [2007] dan I. Islam dan A. Chowdhury [2007]. Lihat World Bank [2007] ‘Indonesia: Economic and Social Update’, November, Jakarta; UNESCAP [2007] ‘Indonesia: Public Private Partnership for Infrastructure Development’, High Level Expert Group Meeting, 1-3 Oktober, Republik Korea; MENKO-EKONOMI [2007] ‘Indonesia: Macroeconomic Update and Progress on Structural Reform’, Jakarta, 25 September; I. Islam dan A. Chowdhury [2007] ‘Growth, Employment and Poverty Reduction: The Case of Indonesia’, July, Geneva, ILO; ILO [2007] ‘Social Security in Indonesia: Advancing the Development Agenda’, Oktober, Jakarta dan Geneva
29
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
besar dari penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua membutuhkan pengenalan dengan jaminan bahwa kerangka kerja kebijakan makro ekonomi mendukung tujuan ganda dari stabilitas harga dan pekerjaan penuh. Investasi adalah jelas faktor utama untuk mempertahankan pertumbuhan, tetapi demikian pula halnya dengan inisiatif untuk memperbaiki faktor produktivitas melalui, misalnya, perbaikan keterampilan angkatan kerja dan investasi dalam infrastruktur. Lebih lanjut, para pekerja dan keluarganya perlu dibantu untuk bisa bertahan menghadapi risiko pasar kerja. Kerangka kerja kebijakan yang ada membawa ciri intelektual NP, tetapi kita juga dapat mendeteksi unsur AP, khususnya dalam domain pasar kerja, jaminan sosial dan kebijakan pengurangan kemiskinan dan dalam komitmen yang diperbarui untuk investasi di bidang infrastruktur. Tujuannya untuk menjamin bahwa pendekatan yang konsisten dan koheren sudah dikembangkan.
Keseluruhan kerangka kerja kebijakan: Inpres 6/2007 Banyak departemen yang berbeda sudah memiliki program dan kebijakan tertentu untuk menciptakan pekerjaan, namun kerangka kerja yang terpadu dan terkoordinasi masihlah kurang di Indonesia. Mengenali kekurangan ini, pemerintah telah berupaya mengharmonisasikan beberapa elemen kerangka kebijakannya yang berbeda. Hal ini tercermin dalam pengumuman paket kebijakan ekonomi terpadu (Inpres No.6/2007) yang ingin mengonsolidasikan inisiatif-inisiatif kebijakan yang sebelumnya diumumkan secara terpisah. Kini ada empat bidang yang luas: (1) peningkatan iklim investasi; (2) reformasi sektor keuangan; (3) akselerasi pembangunan infrastruktur; (4) pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah atau UKM. (1) –(3) diharapkan mendorong keseluruhan pertumbuhan, sementara (4) lebih dekat dengan penciptaan pekerjaan dan kebijakan pengurangan kemiskinan. Pemerintah telah memfokuskan diri pada tingkat pelaksanaan/pemenuhan. Targetnya akan selesai 180 aksi kebijakan sampai tahun 2007. Pemerintah mengklaim bahwa sampai Agustus 2007, 80 persen dari aksi kebijakan yang diusulkan akan selesai, dengan kebanyakan kemajuan untuk meningkatkan iklim investasi (lebih dari 90 persen) dan perkembangan yang terkecil dalam pemberdayaan UKM (sekitar 65 persen). Istilah perbaikan iklim investasi melalui tindakan kebijakan tertentu nampak dipengaruhi oleh survei “Doing Business” dari Bank Dunia. Kita ingat bahwa Indonesia ketinggalan jauh dalam hal norma regional dan global menurut keseluruhan ’indeks kemudahan berbisnis’ dari Bank Dunia. Jadi, ragam upaya dilakukan untuk memperbaiki pembukaan bisnis dan prosedur lisensi serta peningkatan efisiensi pengurusan pajak. Hal ini dilengkapi dengan upaya untuk: menerapkan prinsip perlakuan setara bagi semua investor, darimanapun asal negaranya, meningkatkan keamanan hak-hak atas tanah dan perkebunan, merasionalisasi peraturan perundangan daerah dan menyediakan insentif fiskal. Tindakan kebijakan berkaitan dengan sektor finansial bertujuan untuk mengkonsolidasikan stabilitas finansial, memperbaiki intermediasi keuangan dan peraturan yang bijak. Kesemua upaya ini merupakan peninggalan respon terhadap krisis finansial yang diartikan secara luas sebagai setidaknya bagian dari hasil kelemahan sistemik dalam sektor finansial. Harapannya adalah bahwa tindakan kebijakan saat ini akan memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia untuk krisis finansial masa mendatang. Krisis finansial 1997 juga menandai perubahan pengeluaran pemerintah dalam sektor infrastruktur dan sosial. Sebelum krisis, pengeluaran infrastruktur publik adalah sekitar 5-6 persen dari PDB dan sejak saat itu turun menjadi 3-4 persen dari PDB. Hal ini menghambat tingkat akses ke air bersih, energi, dan jasa sanitasi sampai ke titik di mana Indonesia gagal memenuhi target MDG untuk akses jasa sanitasi dasar. Juga disadari bahwa kegagalan mempertahankan investasi untuk infrastruktur publik juga memengaruhi pertumbuhan
30
secara negatif, sehingga kapasitas pemerintah untuk memenuhi penciptaan pekerjaan dan mencapai sasaran pengurangan kemiskinan juga terganggu. Pentingnya investasi infrastruktur dalam kerangka kerja kebijakan pemerintah telah tercermin dalam pertemuan tingkat tinggi infrastruktur 2005 yang membuat komitmen untuk investasi jalan, suplai air, energi, telekomunikasi dan infrastruktur dasar lain. Target saat ini adalah untuk menghabiskan 80,1 miliar US$ untuk pengeluaran infrastruktur baru jangka menengah, menggunakan kerangka kerja kemitraan sektor publikswasta, dengan harapan bahwa sektor swasta akan memainkan peranan keuangan yang besar. Pemberdayaan usaha mikro dan UKM umumnya telah mengambil bentuk pengaruh terhadap proses alokasi kredit di sektor ini, melalui jaminan kredit dan tingkat pinjaman yang efektif biaya. Beberapa unit sektor swasta telah direkapitalisasi sehingga mereka bisa masuk dalam program bail-out yang memengaruhi lebih dari 100,000 perusahaan mikro dan UKM. Harapannya adalah bahwa meskipun program bail-out hanya sukses sebagian, unit-unit yang terevitalisasi bisa menjadi sumber yang bermanfaat untuk menciptakan lapangan kerja. Secara keseluruhan, targetnya adalah perluasan UKM – melalui kredit baru dan bentukbentuk dukungan finansial lain – dari 3,28 juta unit yang mempekerjakan lebih dari 8 juta pekerja hingga 3,9 juta unit yang memperkerjakan lebih dari 10 juta pekerja hingga tahun 2009. Selain itu, beragam inisiatif dalam kebijakan industri dan perdagangan juga diharapkan dapat melengkapi pertumbuhan UKM. Termasuk diantaranya inisiatif kebijakan untuk mendorong kaitan antara perusahaanperusahaan besar dan kecil serta pengembangan industri prioritas yang padat karya melalui mesin pemerintahan regional yang bekerja bersama dengan bantuan pemerintah pusat. Singkatnya, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya yang patut dipuji untuk mengharmonisasikan beragam inisiatif kebijakan dibawah paket yang kini terpadu. Perlu dikatakan bahwa sejauh ini penekanannya ada pada penetapan sasaran dan penyelesaian tindakan-tindakan kebijakan ini. Hanya sedikit upaya dilakukan untuk menawarkan kerangka kerja evaluasi yang komprehensif bagi kebijakan-kebijakan ini. Sebagai ditekankan dalam Agenda Tenaga Kerja Global ILO (GEP), yang dibutuhkan adalah kejelasan strategi tenaga kerja nasional yang diumumkan yang memetakan mekanisme-mekanisme yang mungkin untuk mencapai tujuan ganda penciptaan pekerjaan yang layak dan mengurangi kemiskinan. Efektivitas kebijakan kemudian perlu dinilai berdasarkan berhasil tidaknya pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Beberapa kasus negara kini juga tersedia dalam jangkauan GEP – mulai dari China hingga Ghana – yang bisa dipelajari oleh para pembuat kebijakan di Indonesia dengan wawasan untuk mengambil ide-ide ‘praktik terbaik’ sampai persyaratanpersyaratan yang khusus. 34 Prinsip-prinsip yang berjalan, yang terbaik adalah yang berkaitan dengan ‘integrasi’ (yakni kebijakan-kebijakan terpadu dengan tujuan-tujuan mendasar untuk penciptaan pekerjaan yang layak dan pengurangan kemiskinan) serta ‘inclusion/pengikutsertaan’ (yakni kebijakan yang dibangun atas dasar dialog berkelanjutan dengan para pemangku kepentingan dalam masyarakat). Seperti telah dicatat oleh makalah ini, bahwa penekanan pemerintah Indonesia untuk mengurangi tingkat pengangguran terbuka pada tingkat agregat kelihatannya keliru karena memiliki relevansi terbatas pada penciptaan pekerjaan yang layak maupun pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan. Tambahan lagi, perlu diambil tindakan yang lebih besar untuk mengambil pendekatan konsultatif di mana semua pemangku kepentingan yang penting – pemerintah, pengusaha dan asosiasi pekerja – berpartisipasi dalam menyusun strategi tenaga kerja nasional. Tidaklah jelas bagaimana paket terpadu pemerintah yang sekarang mencerminkan periode sebelumnya yang berdasarkan consensus dengan mitra-mitra sosialnya.
34 Lihat ILO [2007] ‘Implementation of the Global Employment Agenda: Update’, March, ILO Governing Body, Committee on Employment and Social Policy, 298th session
31
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Perpaduan kebijakan makro ekonomi Selama krisis finansial 1997, kebijakan makro ekonomi telah ditandai dengan penargetan inflasi melalui penyesuaian tingkat suku bunga secara berkala dalam bidang kebijakan moneter serta konsolidasi fiskal untuk menangani beban hutang yang diakibatkan oleh krisis dalam kebijakan fiskal. Meskipun penekanan penargetan inflasi telah dipertahankan, tahun-tahun belakangan kita lihat pergerakan yang lebih besar untuk menggunakan kebijakan fiskal demi mendukung defisit anggaran yang rendah terkait dengan peningkatan pengeluaran bebas untuk mendanai komitmen untuk pembangunan infrastruktur dan sektor sosial. Keuntungan yang besar dari peningkatan tajam harga minyak telah memungkinkan pemerintah untuk menambah pengeluaran bebasnya, sementara perbaikan yang besar dalam hal ukuran hutang publik telah memungkinkan pemerintah untuk mengendurkan perhatiannya dalam hal konsolidasi fiskal. Selain itu, ada pula restrukturisasi keuangan publik. Ini terkait dengan pengurangan subsidi bahan bakar yang memungkinkan pemerintah untuk menambah sumber-sumber fiskalnya untuk pengeluaran kebijakan pengurangan kemiskinan. Kekhawatiran utamanya adalah apakah posisi fiskal yang ada kini terlalu konservatif dibandingkan dengan target ganda pemerintah untuk memotong separuh pengangguran agregat serta insiden kemiskinan. Di sisi lain, karena inersia kelembagaan, bahkan alokasi anggaran saat ini belum sepenuhnya dipergunakan oleh pemerintah-pemerintah daerah. Namun demikian, apakah kesalahan posisi fiskal membutuhkan kehatianhatian masih perlu dinilai berdasarkan kebutuhan-kebutuhan finansial akan tujuan serta sasaran yang kunci, termasuk diantaranya pencapaian MDG. Di sinilah di mana kerangka kerja pemantauan dan evaluasi yang tepat diperlukan. Lebih jauh lagi, ketahanan fiskal jangka panjang yang diarahkan pada pendanaan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan pengangguran mengharuskan Indonesia yang sekarang memiliki rasio pajak dengan PDB yang rendah – yang saat ini ada di tingkat 12 persen – untuk meningkatkannya. Kelihatannya kewenangan moneter masih sibuk dengan penargetan inflasi. Ini menimbulkan ketegangan antara tujuan stabilitas harga dan pekerjaan dengan pengentasan kemiskinan. Contoh yang baik adalah bahwa peningkatan tajam dalam tingkat inflasi di tahun 2005 telah melompat tajam lebih dari 15 persen. Ini dikombinasikan dengan penurunan sementara dalam PDB per kwartal di tahun 2004. Konsekuensinya adalah peningkatan tajam kemiskinan antara tahun 2005 dan 2006. Tekanan-tekanan inflasi kelihatan di luar sifat tekanan harga, dengan inflasi harga makanan dan energi memainkan peranan penting. Lebih-lebih lagi, peningkatan harga makanan dan energi telah disebabkan oleh faktor-faktor struktural dan merupakan bagian dari fenomena global.35 Namun, pihak moneter yang berwenang merespon selama ini dengan pengetatan tingkat suku bunga, karena Bank Indonesia diharuskan untuk menargetkan inflasi 5-7 persen dalam jangka menengah. Penyesuaian tingkat suku bunga tidak bisa sungguh merespon masalah peningkatan harga makanan. Kelompok-kelompok yang rentan dalam masyarakat – entah para operator bisnis kecil atau masyarakat biasa – dengan demikian mengalami tekanan besar yang dobel dari harga kredit yang tinggi dan harga makanan yang tinggi. Tujuan penargetan inflasi seperti yang sekarang dipraktikkan mungkin perlu ditinjau ulang. Tidak jelas bagaimana penargetan inflasi ditentukan. Norma historisnya bagi Indonesia adalah tingkat inflasi sekitar 10 persen yang terjadi selama masa-masa pertumbuhan tinggi selama ini. Dua isu lain juga memerlukan perhatian. Pertama, tantangan kebijakan di negara-negara berkembang adalah ketidakstabilan makro ekonomi yang dapat menekan pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan. 35 Pakar Australia mengatakan bahwa akan ada kekurangan makanan secara global yang sebagian besar akan disebabkan oleh permintaan internasional akan biji-bijian untuk membuat bio-fuel. Lihat P.Syvret [2007] ‘Fuel Quest may Create Food Crisis’, CourierMail, 28 November.
32
Penargetan inflasi adalah fenomena yang relatif baru di Indonesia. Masih perlu dilihat apaka pendekatan baru ini akan sungguh mendorong stabilitas makro ekonomi yang lebih stabil. Kedua, campuran kebijakan makro ekonomi belum mampu menghambat apresiasi nilai tukar – ditandai dengan surplus current dan capital account dalam balance of payment – yang telah mengikis daya saing Indonesia dalam hal ekspor padat karya.
Kebijakan pasar kerja: strategi ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ Perlu dibedakan di sini antara kebijakan ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ yang bertalian dengan pasar kerja. Kebijakan ‘reaktif’ bertujuan untuk menekan hasil-hasil yang ditentukan oleh pasar, yang dianggap para pembuat kebijakan sebagai tidak diinginkan. Jadi, misalnya, kebijakan upah minimum umumnya bisa dilakukan atas dasar bahwa upah yang ditentukan oleh pasar terlalu rendah dan tidak dapat mempertahankan kehidupan rata-rata pekerja dan keluarganya. Ukuran-ukuran tertentu – seperti penyediaan pekerjaan jangka pendek melalui program berbasus tujuan – mungkin bisa dilakukan untuk menghadapi risiko pasar kerja. Yang lain dapat fokus pada kelompok-kelompok tertentu, seperti perlindungan kondisi kerja bagi pekerja migrant. Kebijakan ‘proaktif’ bertujuan untuk memengaruhi perubahan dalam permintaan dan suplai pekerja demi merespon kebutuhan transformasi industrial. Contoh-contoh yang biasa mencakup perbaikan sistem pendidikan dan pelatihan yang menghasilkan angkatan kerja yang terampil dan bisa beradaptasi. Kebijakan ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ keduanya dibutuhkan. Yang satu tidak bisa menggantikan yang lain. Tambahan lagi, kebijakan pasar kerja dapat melengkapi, tetapi tidak dapat menggantikan kebijakan makro ekonomi dan sektoral yang tepat. Sisa diskusi kemudian meninjau kebijakan upah minimum, ukuran-ukuran jaminan sosial, termasuk inisiatif penciptaan pekerjaan jangka pendek dan kebijakan ’proaktif’ untuk menumbuhkan angkatan kerja yang lebih produktif.
Kebijakan upah minimum, tunjangan wajib dan hubungan industrial Makalah ini telah mengakui bahwa upah minimum telah meningkat tajam dalam tahun-tahun terakhir, tetapi ini tidak berarti bahwa hal ini adalah faktor utama di belakang lemahnya pasar kerja di Indonesia. Namun demikian perlu ada penilaian yang hati-hati tentang penyesuaian biaya hidup yang digunakan untuk mendukung kenaikan upah minimum dengan cara memberi perhatian lebih pada kondisi makroeknomi, khususnya dalam hal dampaknya pada penciptaan pekerjaan. Upah minimum dapat diartikan sebagai tolak ukur untuk tujuan tawar menawar dan bukannya sebagai instrumen wajib. Satu cara untuk melakukannya adalah dengan memperkenalkan konsep ‘upah hidup’ yang melacak insiden ‘orang miskin bekerja’. ‘Upah hidup’ macam ini kemudian menentukan tolak ukur untuk negosiasi tingkat upah di level perusahaan.36 Makalah ini juga mencatat bahwa tunjangan-tunjangan wajib, khususnya kewajiban pembayaran pesangon yang terlalu murah hati, telah menjadi sumber keprihatinan yang besar bagi banyak pengamat. Satu cara untuk merespon keprihatinan ini adalah dengan mempertimbangkan kemungkinan pengusulan skema Asuransi Tunjangan Pengangguran. Pengujian aktuarial awal menunjukkan bahwa 4% kontribusi upah dapat menyediakan tunjangan pengangguran 70% upah selama 25 minggu per tahun. Dampaknya bagi
36 Suatu prototype ‘upah hidup’ sudah ada di Indonesia. Tujuannya adalah untuk keluar dari pendekatan formula yang mengaitkan istilan ‘upah hidup’ pada penyesuaian upah minimum wajib menuju kerangka kerja yang lebih fleksibel dan berorientasi tolak ukur.
33
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
pengusaha dapat diminimalisir bila kontribusinya dibagi dengan pekerja dan bila tunjangan pesangon dikurangi karena hal ini akan digantikan secara substansial oleh tunjangan pengangguran.37 Upah minimum dan tunjangan wajib memang bagian yang penting, tetapi hanya satu bagian, dari keseluruhan sistem hubungan industrial. Kelazimannya adalah bahwa hubungan industrial saat ini (dan karenanya Standar Ketenagakerjaan Pokok (Core Labor Standard) yang dianut pemerintah Indonesia sejak 1999) cenderung untuk menaikkan biaya pekerja diatas produktivitas dan karenanya mengurangi daya saing, tidaklah didasarkan atas bukti. Berkaitan dengan Standar Ketenagakerjaan Pokok, studi baru-baru ini menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang solid untuk mendukung yang disebut ‘kelaziman’ bahwa investor luar negeri lebih menyukai negara-negara dengan standar pekerja yang lebih rendah, karena semua bukti signifikansi statistik mengarah ke arah yang berlawanan. 38 Penemuan ini diperkuat dengan studi lain yang menyimpulkan bahwa bukti internasional yang mendukung deregulasi dan pasar fleksibel akan memberikan hasil-hasil penyediaan pekerjaan yang lebih baik dari pasar kerja yang lebih terlembaga sebenarnya rapuh.39 Penganutan Standar Ketenagakerjaan Pokok sebaiknya dilihat sebagai bagian yang integral dari tanggung jawab sosial perusahaan. Memperlakukan pekerja dengan baik dan menghormati hak-haknya menunjukkan tindakan terpuji dari komunitas pengusaha karena mereka meningkatkan solidaritas sosial dan membantu harmoni industri. Lebih-lebih lagi, jika hubungan industrial yang baik membantu menghilangkan diskriminasi di tempat kerja, hal ini dapat menciptakan peluang-peluang baru bagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi – termasuk perempuan dan masyarakat adat – sehingga terjadi peningkatan keseluruhan partisipasi pasar kerja. Dengan demikian seseorang dapat berkata bahwa para pembuat kebijakan di Indonesia sebaiknya menekankan pada pentingnya peningkatan sistem hubungan industrial yang ramah pertumbuhan tanpa secara serampangan mengangkat ageda fleksibilitas pasar kerja.
Perlindungan sosial Istilah perlindungan sosial meliputi bantuan sosial (umumnya disponsori pemerintah, tidak memerlukan kontribusi dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar dan bukannya kebutuhan tertentu) dan asuransi sosial (di mana pekerja dan pengusaha membuat kontribusi asuransi bagi kejadian hidup tertentu). Sistem perlindungan sosial juga terkait dengan istilah jaring pengaman sosial (social safety nets). Jaring pengaman sosial ini terkait dengan kebijakan jangka pendek, dibatasi waktu, yang dirancang untuk menghadapi penyesuaian struktural dan ekonomi seperti misalnya transisi dari ekonomi terpimpin ke ekonomi pasar dan dampak buruk dari krisis ekonomi seperti yang terjadi di Asia Timur tahun 1997. Tujuan ganda dari perlindungan sosial adalah untuk melindungi dari kemiskinan dan mengurangi kerentanan.
Agenda perlindungan social di Indonesia: laporan kemajuan Agenda kebijakan saat ini adalah untuk menyediakan perlindungan sosial bagi semua orang di akhir masa transisi 10-15 tahun. Agenda ini juga berupaya menyediakan kontribusi jaminan sosial bagi semua pekerja termasuk yang bekerja di sektor-sektor formal, perkotaan dan informal pedesaan. Perkembangan 37 Misalnya estimasi besaran yang serupa untuk Indonesia dan negara-negara Asia lain, lihat Eddy Lee [1998] The Asian crisis: the challenge of social policy, Geneva, ILO and W. Vroman (1999) ‘Unemployment and unemployment protection in three groups of countries, Social Protection Discussion Paper 9911, May, Washington DC, World Bank 38 David Kucera, [2002] ‘Core labour standards and foreign direct investment’, International Labour Review, 141, (1-2), hal 31-70. 39 Dean Baker, et al [2002] ‘Labour market institutions and unemployment: a critical assessment of the cross-country evidence’, CEPA working paper no.2002-17, New York, New School University
34
penting dalam hal ini adalah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dianut bulan Oktober 2004. Meskipun ada pencapaian ini, rencana implementasi yang rinci masih belum ada. Di sisi lain, bantuan sosial yang menargetkan kaum miskin telah mendapatkan perhatian cukup besar dalam tahun-tahun terakhir ini. Skema-skema bantuan sosial ini, yang termasuk pula Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), asuransi kesehatan dan skema transfer tunai secara kondisional, sempat ditinjau. Skema jaminan pekerjaan nasional yang bereputasi baik juga sempat didiskusikan. PNPM adalah program replikasi nasional dari program pengembangan komunitas/desa yang diluncurkan bulan Agustus 2006 dan diterapkan melalui mekanisme pemerintahan daerah. Pemerintah telah mengalokasikan sekitar 4,5 miliar dollar untuk program ini dan tetap berkomitmen untuk melanjutkan operasinya, karena evaluasi positif bahwa hal ini telah membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Secara khusus, jutaan orang Indonesia telah punya akses 60 hari kerja. Namun, evaluasi yang sama juga mencatat keterbatasannya: hal ini hanya menangani kerentanan manakala keluarga dengan pekerja tidak terampil dan semi terampil membutuhkan pekerjaan. Program ini tidak bisa menggantikan pekerjaan penuhwaktu dan pekerjaan produktif yang sebenarnya penting untuk mengurangi kemiskinan jangka panjang.40 Perkembangan terkini adalah komitmen oleh pemerintah Indonesia untuk merancang dan menerapkan ‘National Employment Guarantee Program (NEGP)’. Program ini diangkat dari pengalaman keberhasilan model Maharashtra India untuk mengaitkan kontur dasar NEGP. Studi desain NEGP dipimpin oleh seorang pakar India dan disponsori oleh ILO.41 Tujuannya adalah untuk menjadikan sasaran 15 juta rumah tangga miskin dan hampir miskin dengan pengeluaran tahunan Rp 31,9 triliun (atau 3.2 miliar dollar atau 2,3 dolar per orang per hari). NEGP punya beberapa tujuan:
Penyediaan pekerjaan bagi kaum miskin, khususnya di daerah pedesaan dan terpencil selama maksimum tiga bulan per tahun
Formasi aset komunal yang produktif
Penciptaan kesempatan bagi pengembangan sumber daya manusia untuk pekerja yang berpartisipasi dan rumah tangganya. NEGP, ketika diterapkan, diharapkan untuk dipimpin oleh Dewan Nasional yang diketuai oleh Bappenas.
Badan lain dari pemerintah pusat dan daerah diharapkan untuk terlibat dekat, dengan penerapan program di tingkat distrik. Skema ini diharapkan untuk didanai oleh pajak umum dan tertentu. Meskipun pemerintah pusat akan paling bertanggung jawab atas pendanaan NEGP, level pemerintahan yang lain dan sektor swasta juga diharapkan untuk terlibat dalam pendanaannya. Jelas bahwa ada tumpang tindih yang cukup besar antara PNPM dan NEGP. Perbedaan utamanya kelihatannya ada pada target yang lebih ambisius (90 hari, dan bukannya 60 hari, untuk bekerja) dan pengudusan prinsip hak-hak wajib dalam akses pekerjaan jangka pendek. Kelihatannya karena nama ‘merek’ PNPM yang sudah lebih mantap dan komitmen politik yang bertahan di belakangnya, NGEP bisa jadi akan menjadi bagian dari PNPM. Ada juga perkembangan yang menjanjikan dalam cakupan asuransi kesehatan bagi orang miskin. Para pemegang kartu kesehatan berhak atas perawatan gratis di pusat-pusat kesehatan publik dan rumah sakit. Pada tahun 2007, 76,4 juta orang mewakili sekitar 35 persen dari penduduk Indonesia yang memiliki akses perawatan kesehatan gratis di fasilitas publik, suatu tingkat akses yang melebihi target cakupan untuk 60 juta orang. 40 Gustav F. Papanek [2007], “Employment and the PNPM Program”, Jakarta: The World Bank 41 Sarthi Acharya [2004] ‘A National Employment Guarantee Program for Indonesia’, ILO and BAPPENAS, Jakarta
35
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Pemerintah Indonesia juga telah memperkenalkan program transfer tunai bersyarat dengan memodifikasi program yang sudah ada. Program ini menargetkan rumah tangga dengan anak-anak berusia hingga 15 tahun. Rumah tangga tersebut akan menerima tunai (untuk periode maksimum enam tahun) tanpa syarat asalkan orang-orang muda di rumah tangga tersebut sehat dan bersekolah. Semua program yang ditinjau sejauh ini berada dalam rubrik bantuan sosial yang menargetkan kaum miskin. Kesemuanya merupakan inisiatif yang patut dipuji dan nampak memiliki cakupan yang ekstensif. Yang dibutuhkan adalah evaluasi yang dirancang dengan baik, sesuai dengan yang dilaksanakan untuk PNPM, yang bisa digunakan untuk menaksir keefektifannya dan untuk memperbaiki desain program dan pelaksanaannya. Program bantuan pro-orang miskin, namun, tidak bisa bertindak sebagai pengganti program asuransi sosial komprehensif yang formal, demikian pula program ini tidak bisa menjadi pengganti ketersediaan pekerjaan penuh waktu yang produktif bagi semua orang Indonesia.
Kebijakan pasar kerja pro-aktif: menciptakan angkatan kerja yang bisa beradaptasi dan terampil Pengangguran kaum muda merupakan kekhawatiran utama pemerintah Indonesia dan pengentasan masalah ini adalah salah satu sasaran MDG. Seperti dicatat, Indonesia kelihatannya tidak bisa mencapai target ini hingga 2015. Pemerintah telah merespon pada tantangan pengangguran kaum muda ini melalui inisiatif yang difokuskan pada peningkatan kewirausahaan kaum muda. Inisiatif-inisiatif ini bermanfaat, tetapi salah satu cara untuk menghadapi fenomena ganda kaum muda ‘yang belum digarap’ dan ‘belum dipakai sepenuhnya’ adalah untuk menerapkan kebijakan pasar kerja ‘proaktif’ melalui intervensi dalam sistem pendidikan dan pelatihan dan dengan menyiapkan kaum muda untuk transisi menuju dunia kerja. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan kaum muda untuk bekerja dan karenanya meletakkan dasar bagi angkatan kerja yang bisa beradaptasi dan terampil. Tujuan penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi kaum muda perlu untuk sejalan dengan neksus kemiskinan-pendidikan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa 87 persen orang miskin di Indonesia punya pendidikan dasar atau kurang dari itu. Dengan semata-mata meningkatkan pendidikan kepala keluarga menjadi SMP dapat diasosiasikan dengan penurunan tingkat kemiskinan dari 30 persen menjadi 17 persen.42 Statistik yang ada juga menunjukkan bahwa 62 persen dari orang miskin berumur dibawah 30 tahun.43 Korelasi yang kuat antara pendidikan dan kemiskinan dan antara usia dan kemiskinan berarti tertentu bagi kebijakan. Pertama, bahwa semua orang Indonesia perlu memiliki pendidikan setidaknya SMP – target yang sudah diterima oleh pemerintah Indonesia. Target ini juga sesuai dengan komunitas internasional yang mengakui kebutuhan akan “pendidikan bagi semua”44. Hal ini akhirnya menyoroti tantangan kebijakan yang utama: bagaimana memastikan partisipasi yang luas bagi kaum miskin dalam sistem pendidikan dan pelatihan. Korelasi yang kuat antara usia dan kemiskinan menunjukkan kebutuhan akan pendekatan siklus hidup untuk pengurangan kemiskinan: menargetkan pada keluarga miskin dengan sejumlah besar anak dan kaum muda dalam masa transisinya dari sekolah menuju kerja. Jaminan akses akan pendidikan yang berkualitas 42 Buktinya ditinjau dalam Islam, I [2002] “Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective”, laporan dipersiapkan untuk Departemen Pemulihan dan Pembangunan Kembali, Jenewa. 43 Nexus usia-kemiskinan didasarkan pada tabulasi khusus Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002 (SUSENAS) yang dengan baiknya disediakan kepada kantor ILO Jakarta oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 44 Mingat dan Winters [2002) menarik perhatian pada kebutuhan akan ‘pendidikan bagi semua’ sampai tahun 2015 – ini adalah tujuan yang ditetapkan oleh 180 negara dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal tahun 2000. Tujuan tersebut adalah kelanjutan agenda yang ditetapkan tahun 1990 dalam World Conference on ‘Education For All’ yang diselenggarakan di Thailand. Lihat Mingat, A and Winter, C [2002] “Education for all by 2015”, Finance and Development, 39 (1).
36
dan keterampilan yang relevan adalah penting untuk mematahkan pola kemiskinan antar generasi dan untuk mengurangi kerentanan serta kesementaraan kemiskinan yang banyak dialami banyak perempuan dan laki-laki muda dalam proses transisi dari sekolah menuju kerja.
Pendidikan dasar Keseluruhan investasi dalam pendidikan sebagai proporsi PDB di Indonesia tetaplah salah satu yang terendah di Asia dan di negara-negara dengan tingkat pendapatan nasional yang serupa.45 Sama pentingnya adalah bahwa Indonesia tidak hanya menginvestasikan sedikit saja untuk pendidikan, yang dilakukannya pun tidak cukup dipergunakan. Jadi, meskipun peningkatan investasi dalam pendidikan harus menjadi tujuan utama bagi negara yang ingin naik ke tingkat pembangunan yang lebih tinggi, hal ini tidak dapat memberi hasil nyata tanpa pertama-tama memperbaiki pengelolaan, efektivitas dan kualitas sistem pendidikan terdesentralisasinya yang terkini. Lebih-lebih lagi, untuk mencapai tujuan (sembilan tahun sekolah) pendidikan dasar universal sampai tahun 2010, diperlukan upaya untuk memperbaiki akses bagi kaum miskin untuk mendapatkan pendidikan menengah.
Membuat pendidikan dasar terjangkau bagi kaum miskin Jelas bahwa tidak memadainya jumlah sekolah-sekolah menengah yang didanai oleh negara adalah hambatan penting. Namun bagi keluarga-keluarga miskin, alasan lain bagi rendahnya tingkat pendaftaran sekolah di jenjang kelas menengah adalah biaya pendidikan. Secara teoretis, pendidikan hingga SMP adalah gratis, Namun bukti menunjukkan bahwa orangtua kerap harus mengeluarkan beragam jenis kontribusi uang untuk sekolah – suatu praktik yang berat khususnya bagi yang miskin.46 Misalnya, survei transisi sekolahke-kerja menunjukkan bahwa ada lebih dari 40 persen pencari kerja muda dan hampir 60 persen dari orang muda yang wirausaha setelah selesai sekolah karena alasan-alasan finansial.47 Hal ini entah karena keluarga mereka tidak lagi bisa membiayai pendidikannya atau karena mereka diminta untuk membantu menambah penghasilan bagi keluarganya. Penghapusan biaya tersembunyi bagi semua dan menurunkan tambahan biaya bagi yang miskin, seperti misalnya untuk seragam dan buku, sangatlah penting. Beasiswa tersasar juga dapat memainkan peranan penting. Evaluasi Program Beasiswa dan Hibah, satu komponen dari Jaring Pengaman Sosial Indonesia, menunjukkan bahwa hal ini meringankan dampak krisis pada sistem sekolah dan menjaga tingkat pendaftaran sekolah.48 Komitmen pemerintah untuk menyediakan bantuan bagi anak-anak usia sekolah serta sekolahsekolah yang termiskin adalah penting. Perubahan program juga perlu dipertimbangkan. Misalnya, programnya bisa menargetkan tidak hanya mereka yang sudah berpendidikan, tetapi juga dapat menyediakan insentif keuangan bagi keluarga-keluarga miskin dengan anak-anak putus sekolah, sehingga mereka bisa menjangkau pendaftaran sekolah bagi anak-anaknya. 45 OECD [2002] Education at Glance: OECD Indicators, 2002, Paris: OECD. Data terkini yang dikumpulkan oleh UNESCO menunjukkan bahwa pengeluaran publik sebagai proporsi PDB di Indonesia adalah 1 persen dibandingkan tingkat yang berkisar antara 2,2 persen hingga 8,5 persen di Asia Timur dan Pasifik. Lihat UNESCO [2007] Education for All: Global Monitoring Report, Paris, hal.15 46 Lihat World Bank [2003] “Indonesia: Maintaining Stability, Deepening Reforms”, World Bank Brief for the Consultative Group on Indonesia. SMERU [2001] mencatat kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang miskin dalam mendapatkan akses pendikan menengah. Lihat SMERU Newsletter, no.03, May-June. Laporan media juga menyoroti hambatan-hambatan yang cukup sulit yang dihadapi keluarga pada umumnya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang sekolah menengah. Tingkat putus sekolah bagi daerah tertentu di jenjang sekolah menengah adalah hampir 50 persen! Lihat Jakarta Post, 25 Maret 2002. Tren yang lebih baru disoroti dalam Jejaring Lapangan Kerja bagi Kaum Muda Indonesia [op.cit]. 47 Sziraczki, G and Reerink A [2003] “School-to-Work Transition in Indonesia”, unpublished report, ILO, Oktober 48 Hartono, D and Ehrmann, D [2001] The Indonesian Economic Crisis and its Impact on Educational Enrolment and Quality, Trends in Southeast Asia, No. 7, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, Mei
37
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Membuat desentralisasi berfungsi dalam penyediaan pendidikan dasar Desentralisasi mengoper tanggung jawab sistem pendidikan dan pelatikan ke tingkat kabupaten/kota. Ini menawarkan peluang penyediaan jasa yang lebih baik yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, dan untuk meningkatkan partisipasi serta akuntabilitas. Pada saat yang sama, ada banyak tantangan yang tersisa, misalnya keterpisahan yang jelas antara peran pemerintah pusat dan daerah, penetapan jasa minimum di tingkat nasional, standar kualifikasi dan keterampilan yang diakui. Standar-standar macam ini dapat membantu secara bertahap untuk mengurangi kesenjangan antara daerah-daerah miskin dan seluruh negeri. Penentuan bagaimana dan di tingkat mana standar minimum ini membutuhkan kolaborasi dekat antara pihak berwenang di pusat dan daerah. Untuk meningkatkan manajemen sistem pendidikan terdesentralisasi, dibutuhkan peningkatan kapasitas baik di tingkat kabupaten/kota maupun tingkat pusat/provinsial. Di tingkat provinsi, harus ada perubahan peran dari penyedia langsung menjadi pengatur, pemantau dan fasilitator kualitas, penyedia jasa dukungan pada pihak berwenang yang terkait di tingkat lokal.49 Komite serta dewan-dewan sekolah yang baru terbentuk, yang kini melibatkan tidak hanya para guru dan orang tua tetapi juga pemangku kepentingan lain di komunitas lokal, dapat memainkan peranan penting dalam manajemen akuntabilitas sekolah dan untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik.
Meningkatkan kualitas pendidikan Isu penting lain adalah kualitas pendidikan. Bukti menunjukan bahwa pengalaman belajar di Indonesia pada jenjang dasar dan menengah terbilang payah dibandingkan di negara-negara lain di Asia. Hal ini karena infrastruktur, materi pendidikan dan kualitas guru yang buruk.50 Tingkat pengulangan pelajar di sekolah dasar hingga kelas 5 (standar dasar untuk mencapai melek huruf) adalah jauh lebih tinggi di Indonesia dibandingkan di negara-negara Asia Timur lain kecuali Kamboja dan Laos. Titik terangnya adalah bahwa anak perempuan punya tingkat ‘bertahan’ (tidak putus sekolah) yang lebih tinggi hingga kelas lima dibandingkan anak laki-laki.51 Ada pula masalah penting tentang tidak memadainya kompensasi guru dan staf lain, serta pelatihan dan manajemen guru, termasuk distribusi yang tidak merata antara jenis-jenis sekolah yang berbeda (suatu faktor yang umumnya karena dis-insentif finansial dan profesional). Hasil murninya secara umum adalah buruknya pengajaran dan karenanya buruknya hasil pengajaran. Faktor yang penting yang menentukan kualitas pendidikan adalah status dan profesionalisme para guru yang mengajarkannya. Di Indonesia, tingkat pelatihan sebelum mengajar telah meningkat dalam tahuntahun belakangan ini, namun kurang dari 50 persen guru-guru jenjang dasar dan menengah yang memenuhi persyaratan minimum. Kualifikasi para guru sekolah swasta tidaklah lebih baik. Penyediaan pelatihan sambil mengajar tidak membantu, dan kini malah akan didesentralisasi dengan hasil yang belum jelas.52 Kesemuanya menyebabkan pondasi yang goyah bagi kualitas pengajaran.53
49 World Bank [2003] “Indonesia, World Bank, Country Assistance Strategy, FY04-07”, Indonesia Country Unit, October 50 World Bank [2003] "EFA in Indonesia: Hard Lessons About Quality", Jakarta: World Bank. 51 UNESCO [2003] EFA Global Monitoring Report, 2003/04. 52 H. Haribowo, H and M. Ali [2003] "Teacher status and professionalism (Indonesia)", makalah disajikan dalam Seminar tentang status dan profesionalisme guru, Chiang Mai, Thailand, Agustus. 53 Lebih jauh tentang status, kualitas, upah dan kondisi kerja guru, lihat B. Ratteree [2003] “PRSP and education in Indonesia”, Technical Briefing Note, ILO.
38
Struktur gaji bagi para guru di Indonesia didasarkan pada skala upah pemerintah yang seragam, yang belum tentu mempertimbangkan kompetensi serta persyaratan khusus yang diperlukan dalam pekerjaan tersebut. Lebih-lebih lagi, gaji guru adalah termasuk yang terendah di ASEAN, sehingga sulit untuk menarik dan mempertahankan individu-individu yang terbaik untuk mengajar.54 Jadi diperlukan pertimbanganpertimbangan untuk meningkatkan gaji guru, dipadukan dengan perbaikan yang substansial untuk status guru, kompetensi profesional serta materi pengajaran: ini semua adalah tahap-tahap penting menuju tujuan pendidikan yang berkualitas.
Pelatihan teknis dan kejuruan Penentuan prioritas bagi kebijakan pelatihan teknis dan kejuruan untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia perlu mempertimbangkan tingkat keburukan sistem pelatihan di negeri ini dan fakta bahwa pendidikan kejuruan serta sistem pelatihan yang efektif membutuhkan lebih banyak sumber daya dibandingkan pendidikan dasar. Secara tradisional, tanggung jawab pemerintah untuk pelatihan adalah tersebar di beberapa departemen. Juga, terdapat kurangnya koordinasi antara penyedia publik dan swasta, serta keterbatasan partisipasi industri dalam kebijakan dan perencanaan; ketiadaan standar dan pengakuan nasional, ketergantungan yang berlebihan pada pendanaan dari donor; dan terlalu besarnya fokus pada pekerjaan di sektor formal dan pengabaian ekonomi informal. Tambahan lagi, meskipun ada upaya untuk membuat sistem pelatihan lebih responsif, hal ini tetap digerakkan oleh suplai dan terhambat oleh kurangnya pendanaan dan informasi akan pasar kerja. Tidak ada rangkaian studi pelacakan yang dilakukan, sedikit sekali informasi yang tersedia tentang apa yang terjadi pada para lulusan beragam program, bagaimana mereka terserap ke pasar kerja, dan bagaimana pendidikan mereka sesuai dengan kebutuhan bisnis. Pemerintah Indonesia kini telah memulai proses reformasi sistem pelatihan teknis dan kejuruan. Hal ini melibatkan pembangunan Kerangka Sertifikasi Profesional Nasional, diikuti dengan pengembangan standar kualifikasi keterampilan utama, suatu sistem akreditasi dan pengakuan keterampilan serta pengaturan pendanaan yang baru. Ini adalah tugas besar, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penerapannya – meskipun ada tanda-tanda kemajuan. Badan sertifikasi independen, yang dibentuk tahun 2005, mencerminkan etos kemitraan publik-swasta dengan 10 anggota dari pemerintah dan 15 dari sektor swasta.
Peningkatan kemitraan antara pendidikan dan bisnis Pengalaman akan dunia kerja adalah bagian penting untuk persiapan kaum muda memasuki angkatan kerja, tidak hanya untuk membentuk karir pendidikan mereka sejak awal tetapi juga untuk memfasilitasi transisi dari sistem pendidikan ke lingkungan tempat kerja di mana dibutuhkan keterampilan baru serta perilaku yang berbeda. Namun, hanya 38 persen kaum muda yang tercakup dalam survei transisi sekolahke-kerja yang ikut dalam program pengalaman kerja sebagai bagian dari pendidikan atau pelatihan mereka. Hasil survei juga mengangkat kekhawatiran serius tentang efektivitas pengalaman kerja sesrta program magang yang ada. Lebih-lebih lagi, terpisah dari penawaran pengalaman kerja dan program magang, perusahaan-perusahaan yang disurvei jarang punya kerjasama lain dengan sektor pendidikan. Akibatnya, ada ketidakcocokan antara apa yang disediakan pendidikan kejuruan pada kaum muda dan apa yang diperlukan bisnis dalam hal pengetahuan, keterampilan dan perilaku. Lulusan sekolah yang tidak siap adalah biaya bagi pengusaha dan hambatan bagi peningkatan produktivitas atau untuk meningkatkan teknologi modern atau produksi.55 54 [2002] Education at Glance: OECD Indicators 2002, Paris: OECD. 55 G. Sziraczki and A. Reerink [2003] “School-to-Work Transition in Indonesia”, unpublished report, ILO, Oktober.
39
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Dengan kerjasama dekat dengan sekolah, bisnis dapat memastikan bahwa anggota-anggota mereka di masa mendatang dalam angkatan kerja sudahlah siap. Program pengalaman kerja yang efektif membantu pelajar untuk melihat hubungan antara belajar dan bekerja, untuk memahami bagaimana pengetahuan dan keterampilan tertentu diterapkan dalam konteks dunia nyata, dan untuk mengembangkan perilaku baru dan meraih kepercayaan diri. Di luar magang, ada banyak bentuk-bentuk lain untuk menunjukkan pada pelajar tentang pekerjaan di dunia nyata seperti program jumpa karir dan magang kerja. Para pengusaha dapat pula mendukung pekerjaan guru di beragam bidang, seperti standar teknologi dan industri, serta upaya pengembangan kurikulum. Organisasi pengusaha memainkan peranan penting sebagai penghubung antara pendidikan dan bisnis. Program macam itu dapat dibuat sesuai garis industri atau sebagai bagian dari inisiatif pembangunan ekonomi lokal. Mereka juga harus menjadi bagian dari upaya yang sedang berjalan untuk mengembangkan pendidikan kejuruan dan pusat-pusat pelatihan yang hebat di tingkat provinsi dan regional – model kelembagaan yang dapat menawarkan contoh-contoh baik dan pelajaran berharga bagi reformasi sistem pelatihan nasional. Semua inisiatif ini perlu memberikan perhatian khusus pada isu kesetaraan gender untuk mendorong partisipasi anak-anak perempuan dalam pelatihan untuk menghapuskan segregasi gender dalam pendidikan kejuruan yang cenderung untuk menyalurkan anak-anak perempuan ke industri-industri berupah murah yang didominasi perempuan.
Peningkatan pelatihan bagi perusahaan-perusahaan kecil dan pelaksana sektor informal Adalah sulit untuk menilai bagaimana pendidikan kejuruan memenuhi kebutuhan perusahaan kecil dan pelaksana sektor informal karena kurangnya informasi dan data. Hal yang sama berlaku juga pada sejumlah besar program khusus yang ada yang menawarkan pelatihan keterampilan dasar dan kewirausahaan kepada beragam kelompok target yang berbeda demi memulai kewirausahaan dan membuka bisnis kecil. Yang diperlukan adalah studi pelacak program kejurudan dan pelatihan dan survei terfokus pada ekonomi informal untuk mengidentifikasi kisah sukses berbiaya murah yang dapat direplikasi dalam skala lebih luas. Hanya studi-studi macam itu dapat menyediakan informasi tentang keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan terkait dengan produk, teknologi dan pasar; sumber-sumber akuisisi keterampilan bagi wiraswasta ekonomi informal; dan efektivitas program-program kejuruan dan pelatihan termasuk inisiatif berbasis komunitas.56 Identifikasi kisah sukses dan diseminasi informasi dapat menumbuhkan pembelajaran, membantu mereplikasi contoh-contoh yang baik dan meningkatkan inovasi di seluruh negeri.
Mempersiapkan kaum muda untuk memasuki pasar kerja Menurut survei data terkini, kurang dari 30 persen orang muda yang masih bersekolah, pencari kerja dan orang muda yang berwirausaha menerima saran/konseling tentang peluang kerja/karir.57 Jadi, banyak kaum muda yang punya harapan yang bertentangan dan tidak realistis dan mereka tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan.
56 Untuk detil lebih lanjut, lihat J. W. House [2003] “Decent work deficit in the informal economy in Indonesia”, unpublished report, ILO, Oktober. 57 G. Sziraczki, G and A. Reerink [2003] “School-to-Work Transition in Indonesia”, unpublished report, ILO, Oktober.
40
Persiapan yang lebih baik bagi para lulusan yang masuk ke pasar kerja dapat memfasilitasi proses pencocokan pekerjaan dan mengurangi masa pengangguran. Ini berarti kebutuhan akan informasi pasar kerja dan panduan karir yang sensitif gender untuk kaum muda di sekolah melalui pendidikan dan pelatihan dan untuk para pencari kerja muda melalui media. Lebih jauh lagi, orang muda memerlukan bantuan untuk belajar tentang teknik mencari kerja. Karena keterbelakangan layanan pekerjaan, panduan karir, teknik mencari kerja dan informasi pasar kerja dapat disediakan dengan terbaik melalui sistem pendidikan bagi mereka yang lulus sekolah. Hal ini nantinya membutunkan penguatan layanan panduan karir di sekolah, yang tersedia di kebanyakan lembaga jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Lebih-lebih lagi, tingkat migrasi yang tinggi pada anak-anak putus sekolah dan lulusan dari daerah pedesaan yang miskin menuju pusat-pusat perkotaan dan lokasi di luar negeri melahirkan tambahan tantangan bagi layanan macam itu. Penumbuhan kesadaran akan jaringan dukungan yang tersedia bagi para migran harus diberikan sejak awal dalam siklus pendidikan supaya menjangkau mereka yang paling mungkin untuk pindah (yakni yang kurang terdidik). Hal ini khususnya penting dalam hal migram perempuan muda yang kerap menghadapi risiko perdagangan. Para pengusaha perlu didorong untuk menggunakan praktik rekrutmen yang lebih transparan, dan bukannya sangat tergantung pada saluran-saluran rekrutmen yang informal. Secara umum, informasi pasar kerja yang lebih baik dan transparan membantu kaum muda yang miskin dan rentan untuk mencari kerja.
41
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
42
5.
Kesimpulan: rangkuman penemuan utama dan rekomendasi
Bagian ini menyediakan rangkuman penemuan utama dan rekomendasi. Diskusinya didasarkan pada tema-tema berikut yang membentuk kerangka dari makalah ini: (1) penetapan tujuan dan target; (2) penganutan kerangka kerja diagnostik berbasis luas yang memungkinkan seseorang untuk memahami tingkat tenaga kerja Indonesia dan evolusinya di masa mendatang; (3) evaluasi kebijakan dan program dari pemerintah Indonesia yang dikaitkan pada proses penciptaan pekerjaan serta kesejahteraan untuk keluarga bekerja. Jika Pemerintah Indonesia menerima sebagian atau semua dari rekomendasi ini, implementasinya akan membutuhkan kerangka kerja kelembagaan yang berarti koordinasi ketat antar departemen dengan mandat yang luas (khususnya Bappenas), departemen dengan tanggung jawab yang khusus sektor (khususnya Depnakertrans) dan komitmen politik bipartisan dari para pemangku kepentingan utama. Kerangka kerja implementasi yang koheren perlu didasarkan pada pemahaman yang jelas akan prinsip-prinsip analitis yang luas.
Penentuan tujuan dan sasaran Strategi ketenagakerjaan nasional apapun perlu untuk dimulai dengan tujuan dan sasaran yang dibuat dengan hati-hati, yang kredibel secara analitis dan empiris. Inilah komponen utama dari pendekatan berbasis bukti untuk pembuatan kebijakan yang berupaya untuk keluar dari improvisasi kebijakan dan keterburuburuan. Pemerintah Indonesia kini telah mengumumkan dua tujuan utama yang terikat waktu dan menarik karena kesederhanaannya. Pemerintah berkomitmen untuk memotong pengangguran nasional dan tingkat kemiskinan hingga separuhnya sampai tahun 2009. Sayangnya, dengan skenario ‘bisnis seperti biasa’, dengan tingkat pertumbuhan berkisar 5-6 persen, target ini tidak akan tercapai. Inilah premis untuk meninjau ulang tujuan dan sasaran kebijakan. Tujuan dasar haruslah berupa penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua orang Indonesia yang mau dan mampu untuk bekerja, dan perilaku di mana agenda kerja yang layak dapat mengarah pada pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan. Tujuan, sasaran dan indikator perlu dikembangkan dalam visi besar ini. Pengamatan kuat berikut dapat disebutkan.
Pemerintah harus meninjau tingkat pengangguran yang terpublikasi sambil mencakup kalangan yang secara artifisial menambah total stok pengangguran. Kasus bagus bisa diangkat untuk menunjukkan tingkat pengangguran dengan menggunakan seri yang konsisten. Latihan ini menguntungkan karena meningkatkan integritas statistik yang resmi dan dapat membuka perdebatan kebijakan yang lebih bijak.
Pemerintah harus beralih dari fokus pada tingkat pengangguran dan memperjelas sasaran penciptaan lapangan kerja sektor informal terlebih dahulu – di tingkat nasional, sektoral dan regional – yang dapat mengurangi stok penganggur dan menyerap mereka yang baru masuk ke angkatan kerja.
43
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Sumber daya yang tepat harus disediakan untuk memperhalus elastisitas pekerjaan yang diangkat dari kerangka statistik yang koheren yang dapat menumbuhkan proyeksi pekerjaan yang kredibel. Namun, elastisitas pekerjaan, bukanlah sasaran kebijakan yang penting sejak awal. Karena ini adalah ukuran tidak langsung dari produktivitas, tujuannya haruslah pencapaian pertumbuhan yang digerakkan oleh produktivitas yang dapat mengarah pada kombinasi yang bagus dari peningkatan pekerjaan dan upah riil.
Tujuan utama dari penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif tidaklah bisa memuaskan bila diukur dengan tingkat pengangguran agregat atau tingkat penciptaan lapangan kerja. Kita perlu fokus pada setengah pengangguran yang tidak diinginkan dan ukuran sektor informal. Inti tantangan pekerjaan di Indonesia terletak pada setengah pengangguran yang tidak diinginkan dan ukuran sektor informal yang besar.
Sebagai penandatangan global MDG, pemerintah Indonesia sudah tepat bila memfokuskan diri pada isu kaum muda dan dimensi gender dari pengangguran. Mekipun sudah ada perbaikan di tahun 20062007, pengangguran kaum muda masih tinggi dibandingkan norma-norma regional, namun sudah ada perbaikan yang dibuat berkaitan dengan kesenjangan gender dalam hasil-hasil pasar kerja. Tantangan utamanya adalah untuk memperbaiki tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan, namun kita perlu menangani isu yang kompleks dari peranan gender dalam rumah tangga dan kegiatan mengurus anak.
Indonesia tidak bisa memenuhi sasaran MDG bagi penyediaan pekerjaan bagi kaum muda hingga tahun 2015. Pemerintah harus memberi perhatian pada saran IYEN yang meminta agar tujuan dan sasaran terkait dengan kaum muda dan gender dimasukkan dalam kerangka kerja kebijakan nasional dengan menggunakan empat prinsip-prinsip panduan: mempersiapkan kaum muda untuk dunia kerja; menyiapkan pekerjaan yang berkualitas bagi kaum muda; mendorong kewirausahaan, menyediakan kesempatan yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Keuntungan IYEN adalah bahwa ia meng’arusutamakan’ dimensi gender dalam pasar kerja dan bukannya memperlakukan mereka sebagai isu ‘terpisah’.
Pemerintah Indonesia telah menekankan pada penggunaan migrasi ke luar negeri sebagai cara meningkatkan penciptaan lapangan kerja domestik. Ini adalah fokus yang tepat mengingat prospek keuntungan yang bisa mengalir dari rezim aliran tenaga kerja liberal yang diatur dengan baik di tingkat global dan regional. Target-target kuantitatif bagi orang Indonesia yang ingin ditempatkan di luar negeri seharusnya dilengkapi dengan perhatian pada penentuan tolak ukur untuk memperbaiki kualitas ‘industri migrasi’ yang dapat membawa keuntungan yang berkelanjutan bagi para pekerja migran.
Keprihatinan yang besar tentang memburuknya daya saing harga di Indonesia telah mengarah pada usulan untuk mengubah peraturan ketenagakerjaan yang ada dengan maksud untuk mengurangi biaya pekerja. Bukti menunjukkan bahwa daya saing belum tentu memburuk. Tujuan dasarnya adalah untuk memastikan bahwa upah riil tumbuh sejalan dengan pertumbuhan produktivitas.
Pemerintah Indonesia berupaya mengenali neksus kemiskinan-pasar kerja dengan menjajarkan jadwal pengurangan pengangguran dengan jadwal pengurangan kemiskinan. Sayangnya, kaitan antara kemiskinan-pasar kerja lemah, di mana peningkatan kemiskinan terkini justru muncul sejalan dengan pengurangan pengangguran. Hal ini bisa dimengerti, karena orang miskin tidak mampu bertahan sebagai penganggur dalam jangka panjang tanpa skema tunjangan pengangguran yang komprehensif.
Kaitan antara kemiskinan dan upah menjadi lebih signifikan dengan stagnasi dan penurunan upah minimum di semua sektor di tahun 2005-2006 sehubungan dengan peningkatan kemiskinan pada periode yang sama. Jadi, pemotongan upah sebagai instrumen penciptaan pekerjaan bisa kontraproduktif dengan sudut pandang penurunan kemiskinan.
44
Pemerintah Indonesia harus beralih dari fokus yang sempit pada kemiskinan upah, seperti yang sudah terjadi dalam kasus MDG, dan juga fokus pada insiden kerentanan yang sebenarnya jauh di atas tingkat kemiskinan saat ini. Ada cara melacak insiden ‘orang miskin bekerja’ dalam angkatan kerja menggunakan konsep ‘upah hidup’.
Tujuan kebijakan yang diarahkan kepada agregat-agregat nasional harus diperkuat dengan mencerminkan keberagaman daerah di negara ini. Indonesia kini secara administratif adalah masyarakat yang terdesentralisasi, dengan pasar kerja yang utama dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang beroperasi di tingkat regional/lokal. ‘Perpaduan perkembangan sumber daya manusia’ yang berupaya menjamin bahwa semua daerah mampu mencapai standar pembangunan sumber daya manusia minimum sesuai MDG adalah satu cara untuk mencerminkan keberagaman daerah dalam tujuan-tujuan kebijakan nasional. Pada saat yang sama, perlu dilakukan upaya-upaya untuk melacak dimensi-dimensi daerah dari kinerja pasar kerja daerah demi mengidenfikasi daerah-daerah yang maju dan terbelakang.
Menuju kerangka kerja diagnostik yang berbasis luas bagi pasar kerja Indonesia Makalah ini meninjau pondasi empiris dari hipotesa ‘tekanan harga’ yang telah berpengaruh dalam membentuk perdebatan kebijakan tentang pasar kerja selama masa paska krisis di Indonesia. Impetus intelektual dari hipotesa ‘tekanan harga’ mungkin memotivasi diikutkannya agenda fleksibilitas pasar kerja dalam kerangka kerja kebijakan pemerintah jangka menengah dan mengarah pada upaya yang terhambat untuk meninjau Undang-undang Ketenagakerjaan tahun 2003. Pada tingkatan yang superfisial, ada bukti yang muncul mendukung pandangan bahwa upah minimum dan tunjangan wajib telah menyebabkan peningkatan biaya pekerja yang tidak bisa dipertahankan dan karenanya berdampak negatif pada penciptaan pekerjaan. Pertumbuhan dalam upah minimum nominal dalam tahun-tahun terakhir, pesangon yang murah hati – yang adalah tertinggi di Asia – dan ranking yang buruk dalam hal ‘indeks kekakuan tenaga kerja’ semuanya menuju pada rezim pengaturan pasar modal yang jelas-jelas tidak ramah pembangunan, investasi dan penciptaan pekerjaan. Namun, bila bukti ini ditinjau dengan lebih hati-hati, ada alasan kuat untuk melakukan pendekatan yang lebih bernuansa. Makalah ini menyoroti fitur-fitur berikut dari bukti-bukti yang ada.
Mereka yang menggunakan survei ‘Doing Business’ dari Bank Dunia untuk menegur para pembuat kebijakan Indonesia bahwa mereka telah membangun idaman bagi pasar kerja yang terlalu kaku, haruslah lebih bijaksana. Yang ditunjukkan oleh survei adalah bahwa peraturan-peraturan pasar kerja hanyalah satu dari sepuluh faktor yang memengaruhi iklim usaha, yang artinya bahwa deregulasi pasar kerja hanya akan berdampak kecil pada perbaikan iklim usaha kecuali bila faktor-faktor lain yang sembilan juga ditangani.
Interpretasi ini konsisten dengan survei-survei lain di tingkat perusahaan yang menunjukkan bahwa kekhawatiran pasar kerja tidaklah ada di daftar teratas komunitas perusahaan sebagai penghambat investasi baru.
Survei lintas negara lain, seperti yang dilakukan oleh World Economic Forum dan the Fraser Institute, menunjukkan bahwa Indonesia diranking di atas rata-rata ekonomi lain dan telah menunjukkan perbaikan yang substansial di tahun-tahun belakangan ini.
Upah minimum riil di sektor manufaktur menunjukkan peningkatan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan upah minimum nominal.
45
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Studi-studi ekonometrik dari neksus upah minimum-pekerjaan termasuk beberapa studi yang menunjukkan konsekuensi-konsekuensi negatif dari pekerjaan, tetapi kesimpulannya perlu dilihat dengan hati-hati. Dampak murni dari upah minimum pada pekerjaan mungkin lebih sedikit ketika kita mempertimbangkan variabel-variabel lain, khususnya pertumbuhan PDB.
Upah produk riil telah entah mandek atau menurun dalam tahun-tahun belakangan dalam beragam sektor ekonomi, sementara unit upah pekerja menunjukkan penurunan sejak 2001 dan kini berada di titik terendah sejak 1993.
Baik biaya upah maupun non-upah sebagai bagian dari biaya operasi perusahaan tidaklah berlebihan dari norma-norma regional, dan tidak pula meningkat secara menyolok.
Estimasi ekonometrik dari penentu-penentu pekerjaan menggunakan kerangka tarikan permintaan dan tekanan biaya menunjukkan bahwa dalam periode pasca krisis, faktor-faktor sisi permintaan, seperti diukur dengan pertumbuhan PDB secara sektoral, adalah signifikan secara statistik di sebagian besar sektor ekonomi dibandingkan dengan faktor-faktor tekanan biaya, sebagaimana diukur dengan upah produk riil.
Estimasi-estimasi ekonometrik ini juga menunjukkan bahwa untuk menciptakan penambahan 1,8 persen dalam pekerjaan manufaktur akan berarti pemotongan secara substansial dalam upah riil rata-rata (sampai sekitar 10 persen) – resep yang cenderung tidak populer dalam suatu ekonomi dengan kemiskinan dan kerentanan yang besar.
Keprihatinan tentang peraturan pasar kerja mungkin dipengaruhi oleh pembacaan yang superfisial dari tren pekerjaan terkini. Benar bahwa pengangguran agregat meningkat antara 2001 dan 2005, tetapi angka ini telah menurun sejak disejajarkan dengan akselerasi pertumbuhan PDB, khususnya di antara tahun 2006 dan 2007. Lebih jauh lagi, bukti akan peningkatan yang tinggi dalam pengangguran bahkan antara 2001 dan 2005 perlu dilihat dengan fakta bahwa ada seri alternatif yang menunjukkan tingkat pengangguran yang lebih rendah dan peningkatan yang jauh lebih kecil.
Perspektif jangka yang lebih panjang dalam tren pekerjaan akan menunjukkan bahwa ada perubahanperubahan struktural. Bagian PDB dari sektor-sektor penyerap pekerja – seperti pertanian – telah menurun tanpa kompensasi yang signifikan dalam pertumbuhan pekerjaan di manapun. Pada saat yang sama, bagian dari ekspor padat karya dalam ekonomi Indonesia telah menurun sejak 1993. Waktu dari pertumbuhan-pertumbuhan ini menunjukkan bahwa sulit untuk mengaitkan ini semua pada perubahanperubahan besar dalam upah minimum dan tunjangan wajib. Kehati-hatian pada titik ini perlu diperjelas. Dalam mengevaluasi sifat bukti pada implikasi-implikasi
penciptaan pekerjaan dari peraturan ketenagakerjaan, maksudnya adalah untuk tidak mengabaikan atau meniadakan kekhawatiran yang meluas dalam komunitas bisnis dan akan upah minimum serta skema pembayaran pesangon yang tinggi. Akhirnya, dialog yang kuat dan berkelanjutan antara pemerintah, asosiasi pengusaha dan perwakilan-perwakilan pekerja akan diperlukan untuk merancang dan mengembangkan kerangka kerja pengaturan yang akan ramah bisnis sekaligus mampu melindungi dan menghormati hakhak pekerja. Tujuan makalah ini akan tercapai jika ia membantu proses dialog sosial ini.
Kebijakan dan program pemerintah Indonesia dan implikasiimplikasinya bagi penciptaan pekerjaan Makalah ini meninjau sejumlah luas kebijakan dan program yang memengaruhi kondisi pasar kerja di Indonesia. Kerangka kerja kebijakan yang ada sekarang mengandung catatan intelektual dari ‘paradigma non-intervensionis’, tetapi juga ada elemen-elemen ‘paradigma aktivis’. Keduanya setuju pada premis bahwa
46
pertumbuhan berbasis luas sangat dibutuhkan bagi penciptaan pekerjaan dan penurunan kemiskinan secara berkelanjutan, walaupun ada pula perbedaan yang penting. Versi terbatas dari paradigma ‘non-intervensionis’ menekankan pada pentignya peningkatan iklim usaha melalui reformasi peraturan dan peningkatan fleksibilitas pasar kerja dalam mendorong pertumbuhan yang digerakkan oleh investasi. ‘Paradigma aktivis’ melihat kebutuhan akan investasi publik dalam infrastruktur dan kaitan antara kebijakan pasar kerja yang ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ dalam mengarahkan pertumbuhan yang digerakkan oleh produktivitas yang dapat menciptakan pekerjaan utuh bagi semua rakyat Indonesia. Tinjauan kebijakan dan program menghasilkan penemuan berikut.
Pemerintah telah berupaya mengharmonisasikan berbagai elemen inisiatif kebijakan yang berdiri sendiri dengan meluncurkan paket kebijakan terpadu (Inpres 6/2007) yang memiliki empat komponen: (1) memperbaiki iklim usaha; (2) memperdalam reformasi sektor finansial; (3) komitmen untuk investasi baru dalam infrastruktur publik; (4) pemberdayaan usaha kecil sebagai sumber penciptaan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan.
Laporan kemajuan yang disiapkan oleh pemerintah mengklaim bahwa hingga Agustus 2007 telah ada pencapaian luar biasa (sekitar 80 persen) dalam hal aksi kebijakan, dengan kemajuan terkecil dalam inisiatif UKM dan usaha mikro.
Upaya-upaya untuk memperbaiki iklim usaha sedang dijalankan melalui rasionalisasi administrasi pajak, penyederhanaan pembukaan usaha dan prosedur perizinannya, dan undang-undang investasi yang menganut pendekatan non-diskriminatif soal negara asal investor, menyediakan jaminan hak atas nama tanah dan perkebunan, memfokuskan pada rasionalisasi peraturan perundangan yang tumpang tindih, dan menyediakan insentif fiskal.
Komitmen untuk investasi baru dalam infrastruktur muncul mengikuti Pertemuan Tingkat Tinggi Infrastruktur 2005. Kebutuhan pembiayaan bagi investasi tersebut ditetapkan 8,1 milyar dollar untuk jangka menengah menggunakan kerangka kemitraan publik-swasta. Harapannya adalah bahwa investasi yang diusulkan, bila terealisasi, akan mengarah pada penciptaan 27.000 hingga 28.000 pekerjaan per 1 triliun rupiah pengeluaran.
Upaya-upaya untuk mendukung sektor usaha mikro dan kecil dipandu oleh target untuk meningkatkan jumlah unit di sektor ini dari 3,28 juta (seperti tercatat di tahun 2005) menjadi 3,95 juta hingga 2009. Perangkat utama untuk mendukung sektor ini adalah melalui alokasi kredit.
Pemerintah, dalam menyampaikan paket terpadu dan laporan kemajuan telah menunjukkan kapasitas yang patut dipuji untuk mengejar inisiatif baru. Namun, fokusnya nampak pada tingkat pelaksanaan. Perlu perhatian lebih pada evaluasi yang mendalam akan efektivitas kebijakan dan program terkait dengan tujuan ganda penciptaan pekerjaan yang layak dan pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan. Di sini pemerintah Indonesia dapat mengambil kasus-kasus negara yang disoroti dalam Agenda Ketenagakerjaan Kerja Global ILO untuk mengekplorasi bentuk praktik terbaik yang bisa diambil untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Campuran kebijakan makro ekonomi ditandai dengan penargetan inflasi dalam kebijakan moneter dan perluasan yang berhati-hati dalam pengeluaran bebas (discretionary) sesudah bertahun-tahun melakukan konsolidasi fiskal. Penurunan dalam ukuran relatif utang publik, rasionalisasi subsidi bahan bakar dan keuntungan berlimpah dari kenaikan harga minyak terkini telah menambah sumber daya fiskal pemerintah.
Isu utamanya adalah apakah pemerintah telah mencapai keseimbangan yang tepat antara kestabilan harga dan tujuan serta sasaran yang berkaitan dengan penciptaan pekerjaan dan penurunan kemiskinan.
Pencapaian stabilitas harga nampak mendapatkan prioritas melalui pendekatan penargetan inflasi, namun tidak jelas seberapa efektifnya pendekatan ini untuk menangani tekanan inflasi yang sangat berakar
47
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
pada peningkatan harga makanan dan energi yang sifatnya struktural dan eksternal. Lebih jauh lagi, penargetan inflasi mungkin tidak akan efektif untuk menangani ketidakstabilan makroeknomi yang memainkan peranan penting dalam memengaruhi insiden kerentanan. Penargetan inflasi juga tidak efektif dalam menekan apresiasi nilai tukar riil yang telah mengganggu daya saing Indonesia dalam ekspor padat karya.
Kelihatannya ada alasan untuk pendekatan yang lebih pragmatis dalam kebijakan moneter. Perlu dicatat bahwa, selama fase pertumbuhan yang tinggi, Indonesia punya tingkat inflasi jangka panjang sekitar 10 persen, yang berarti bahwa target inflasi saat ini yang 5-7 persen tidaklah didasarkan pada pengalaman sejarah.
Ada pula isu tentang apakah kebijakan fiskal tetap terlalu konservatif, meskipun bukti dasarnya adalah bahwa karena kinerja kelembagaan, pemerintah daerah tidak bisa menggunakan sepenuhnya alokasi keuangan yang ada.
Ada alasan untuk upaya yang lebih besar dalam mengaitkan kebijakan fiskal untuk mendanai kebutuhan yang berakar pada tujuan-tujuan dan sasaran pemerintah, termasuk untuk pencapaian MDG. Hal ini akan lebih menyelaraskan kebijakan fiskal dengan penciptaan pekerjaan dan tujuan-tujuan pengurangan kemiskinan. Ketahanan fiskal jangka panjang yang diarahkan pada tujuan-tujuan ini juga berarti perlunya upaya untuk meningkatkan rasio pajak-PDB, yang pada tingkat 12 persen adalah kecil.
Ada kisaran yang luas akan kebijakan pasar kerja yang ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ yang dapat dikembangkan untuk mengatasi tantangan-tantangan ketenagakerjaan di Indonesia. Kebijakan ‘reaktif’ berupaya untuk mengakhiri hasil-hasil yang ditentukan pasar yang tidak dikehendaki (misalnya upah yang rendah dan kerentanan), sementara kebijakan ‘proaktif’ berupaya menciptakan angkatan kerja yang bisa beradaptasi dan terampil.
Kebijakan ‘reaktif’ yang penting yang penting untuk konteks Indonesia adalah yang terkait dengan rezim upah minimum dan tunjangan wajib dan perlindungan sosial.
Upah minimum dan pesangon murah hati sekarang telah menyebabkan kekhawatiran yang besar bagi para pengamat pasar kerja Indonesia. Mekipun pengamatan yang lebih hati-hati dari bukti ini membebaskan masalah ini dari hasil pasar kerja yang buruk, ada alasan untuk mengambil pendekatan yang lebih pragmatis akan upah minimum dan tunjangan wajib.
Ide upah minimum yang digerakkan oleh pemerintah daerah dapat digantikan dengan penggunaan ‘upah hidup’ sebagai panduan untuk melacak insiden ‘orang miskin bekerja’. Kemudian dalam menegosiasikan tingkat upah di perusahaan, pekerja dan pengusaha dapat mengunakan ‘upah hidup’ sebagai tolak ukur.
Tingkat pesangon yang sekarang memang murah hati dibandingkan standar regional, namun tunjangan wajib tersebut merupakan instrumen yang tegas untuk memperkuat kapasitas pekerja dalam menghadapi risiko pasar kerja. Ada alasan untuk memperkecil ini semua dengan cara menerapkan skema tunjangan pengangguran yang dirancang dengan baik.
Upah minimum dan tunjangan wajib hanyalah bagian dari sistem hubungan industrial secara keseluruhan. Tujuan seharusnya adalah konsolidasi sistem hubungan industrial yang ramah pertumbuhan yang berupaya menumbuhkan kerjasama antara pekerja dan pengusaha sambil menghormati hak-hak pekerja. Basis untuk sistem macam ini sudah ada, karena Indonesia sudah meratifikasi standar utama bagi pekerja.
Lolosnya Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di tahun 2004 merupakan tonggak kemajuan dan menentukan kerangka kerja besar bagi sistem jaminan sosial yang formal di Indonesia, namun komitmen bagi implementasinya kelihatan masih kurang.
Dalam kerangka bantuan sosial bagi kaum miskinlah seseorang dapat mendeteksi keberhasilankeberhasilan dengan jelas. Contohnya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), asuransi
48
kesehatan bagi orang miskin dan skema transfer tunai bersyarat. PNPM telah mendapatkan evaluasi positif dalam hal kontribusinya dalam mengurangi kerentanan melalui penciptaan pekerjaan jangka pendek. Meskipun cakupan dari inisiatif-inisiatif lain juga mengagumkan, evaluasi yang mendalam diperlukan sebelum keputusan akan efektivitas kebijakan ini dibuat.
Ada pula Skema Jaminan Tenaga Kerja Nasional (NEGP), namun ada tumpang tindih yang cukup besar antara inisiatif ini dengan PNPM. Karena nama ‘merek’ PNPM sudah ada, lebih masuk akal untuk memasukkan NEGP ke dalam kerangka kerja PNPM.
Walaupun intervensi dalam bantuan sosial bisa dipuji, perlu dicatat bahwa bantuan tersebut dimaksudkan untuk menangani tantangan pasar kerja tertentu dan tidak untuk menciptakan pekerjaan yang produktif dan jangka panjang.
Kita perlu untuk melengkapi kebijakan ‘reaktif’ dengan kebijakan yang ‘proaktif’ dengan tujuan menciptakan angkatan kerja yang bisa beradaptasi dan terampil. Kebijakan-kebijakan ini, berkaitan dengan intervensi dalam sistem pendidikan dan pelatihan dan persiapan orang dewasa muda dalam transisinya menuju dunia kerja, adalah beberapa cara terbaik yang bisa diambil untuk menangani fenomena orang muda yang ‘tidak tergarap’ dan ‘belum sepenuhnya terpakai’. Kebijakan-kebijakan ini dapat juga memperkuat upaya-upaya saat ini untuk menumbuhkan wirausahawan muda dan mempekerjakan diri sendiri.
Analisa neksus pendidikan-kemiskinan menunjukkan bahwa kita memerlukan pendekatan siklus hidup untuk kemiskinan dan untuk mendorong tujuan bahwa pendidikan menengah haruslah terjangkau buat semua orang Indonesia. Statistik yang ada menunjukkan bahwa setidaknya 40 persen orang muda pencari kerja dan hampir 60 persen orang muda yang mempekerjakan dirinya sendiri keluar dari sekolah karena alasan-alasan keuangan.
Ada pula isu kualitas pendidikan yang tesedia. Hasil belajar di tingkat dasar dan menengah di Indonesia relatif tidak memadai dibandingkan norma-norma regional. Investasi di infrastruktur, peningkatan materi belajar dan perbaikan kualitas guru akan membantu memperbaiki keseluruhan kualitas pendidikan dasar.
Sektor pendidikan dan pelatihan kejuruan juga harus diperbaharui supaya para lulusan memiliki kualitas yang menjawab kebutuhan pasar kerja. Tahap yang penting dalam proses ini telah diambil melalui penciptaan badan sertifikasi independen yang diambil dari orang-orang di sektor swasta dan publik.
Bukti menunjukkan bahwa kurang dari 40 persen orang mengikuti program pengalaman kerja. Karena itu, lembaga-lembaga pendidikan harus bekerja dekat dengan bisnis untuk meningkatkan program pengalaman kerja yang efektif, dalam konseling karir dan juga dalam pengembangan kurikulum.
Sistem pendidikan dan pelatihan juga perlu menjawab persyaratan khusus dari para operator perusahaan kecil dan sektor informal.
Bukti menunjukkan bahwa kurang dari 30 persen orang muda, baik dalam sistem pendidikan maupun dalam angkatan kerja menerima bentuk konseling apapun tentang peluang kerja. Jadi, inisiatif perlu diambil untuk persiapan yang lebih baik bagi para lulusan untuk masuk ke pasar kerja. Sebagai komentar penutup, kita dapat menyoroti poin bahwa pendekatan yang digerakkan oleh bukti
untuk pembuatan kebijakan harus ditinjau dan diperbaharui secara berkala. Idenya adalah untuk belajar dari pengalaman dan menggunakannya untuk melakukan proses pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutan demi menjaga akuntabilitas publik akan kebijakan dan program. Informasi ini tepat waktu. Audit berkala akan pasar kerja akan bermanfaat. Hal ini akan membangun acuan standar-seperti ‘Key Indicators of the Labour Market’ (KILM) dari ILO – yang dilengkapi dengan detil-detil sektoral dan regional yang tepat. Audit macam itu harus dilakukan dalam kerangka kerja forum publik untuk memfasilitasi umpan balik dari pemangku
49
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
kepentingan. Harus ada keterbukaan penuh tentang keseluruhan kebijakan dan program pasar kerja yang sedang diimplementasikan pemerintah sebagai bagian dari audit yang mendorong musyawarah dengan masyarakat dan membangun etos akuntabilitas publik. Internet sebaiknya dimanfaatkan untuk memfasilitasi ‘e-networking’ di antara para pemangku kepentingan yang relevan dengan kebijakan pasar kerja. Meskipun pemerintah Indoneisa layak dipuji untuk keterbukaannya tentang tingkat implementasi dalam kerangka kerja Inpres 6/2007, masih banyak yang harus dilakukan untuk memperbaiki kerangka untuk mengevaluasi keefektivan kebijakan dan program dalam hal cakupan, kecukupan sumber daya dan kemampuannya untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diumumkan.
50
Lampiran T eknis dan Teknis Statistik
Tujuan lampiran ini adalah untuk menyediakan informasi yang komprehensif tentang berbagai dimensi masalah pengangguran di Indonesia dan untuk mengekplorasi penyebab tersedianya pekerjaan dengan pandangan untuk menaksir elastisitas pekerjaan sektoral. Estimasi elastisitas sektoral digunakan untuk mensimulasikan beragam skenario untuk pekerjaan yang diproyeksikan dan untuk menentukan tingkat pertumbuhan sektoral yang diperlukan untuk tingkat pengangguran 5,1% sampai tahun 2009. Lampiran dimulai dengan catatan singkat tentang pasar kerja Indonesia. Lampiran diakhiri dengan audit kebijakan secara singkat dari kebijakan pemerintah saat ini soal pertumbuhan dan penciptaan pekerjaan.
Fitur-fitur yang kuat dari Angkatan Kerja dan Pekerjaan di Indonesia Angkatan Kerja Gambar 1 memberikan cuplikan angkatan kerja Indonesia. Gambar itu menunjukkan bahwa di bulan Februari 2007, ada sedikit lebih dari 162 juta orang usia kerja (15 tahun keatas). Dari jumlah tersebut, sedikit di atas 108 juta orang berada dalam angkatan kerja, diantaranya 97,5 juta bekerja dan 10,5 juta tidak punya pekerjaan. Gambar 1: Kondisi Angkatan Kerja, 2007 (Februari) Rumah Tangga 31.133.071 (19,2%)
Tidak dalam Angkatan Kerja 54.220.990 (33,4%) Populasi 15+ 162.352.048 (100%)
Bersekolah 14.320.491 (8,8%) Lain-lain 8.767.428 (5,4%) Bekerja 97.583.141 (60,1%)
Angkatan Kerja 108.131.,058 (66,6%)
Menganggur 10.547.917 (6,5%)
Catatan: persentase total populasi 15+ Menganggur = Mencari pekerjaan + Membangun usaha baru + Putus asa tidak mendapat pekerjaan + Punya harapan mendapat pekerjaan di masa mendatang Sumber: Sakernas, 2007, Februari
51
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Tabel 1 berusaha menangkap profil yang berganti dari angkatan kerja Indonesia. Angkatan kerja telah tumbuh dengan tingkatan yang sedikit cepat (antara 2,2% dan 3,5%) dibandingkan populasi usia bekerja. Ini berarti, ada tekanan yang konstan untuk menciptakan pekerjaan baru. Tingkat pertumbuhan angkatan kerja perempuan meningkat selama 1997-98, yang berarti bahwa perempuan berada dalam tekanan yang lebih besar untuk mencari pekerjaan demi menambah pendapatan keluarga selama krisis ekonomi. Meskipun populasi usia kerja kira-kira terbagi rata antara laki-laki dan perempuan, bagian laki-laki dalam angkatan kerja adalah sekitar 1,7 kali lebih besar dibandingkan perempuan.
Tabel 1: Mengubah Profil Angkatan Kerja % Perubahan Per Tahun 1990-97
Bagian (%)
1997-98
1998-02
2002-04
2004-06
Populasi Usia Kerja 2,5
2,6
1,8
1,7
2,2
100
100
100
100
Laki-laki
2,5
2,9
2,1
1,8
2,5
49,1
49,2
49,7
49,8
Perempuan
2,5
2,3
1,6
1,7
2,0
50,9
50,8
50,5
50,2
Perkotaan
6,2
5,1
5,0
0,7
1,8
30,9
40,5
45,3
44,3
Pedesaan
0,6
0,9
-0,3
2,6
2,6
69,1
59,5
54,7
55,7
Usia 15-24
1,6
3,3
-0,5
1,1
3,7
30
28,3
25,8
25,5
Usia 25-49
1990
1998
2002
2006
3
2,3
3,2
1,5
1,2
49,6
50,9
53,5
53,3
Usia 50+
2,8
2,4
1,7
3,2
3,0
20,4
20,7
20,7
21,2
Pendidikan dasar atau kurang
0,3
-0,3
0,2
-1,9
0,6
73,6
61,3
57,7
53,7
Menengah bawah
5,8
6,9
5,5
8,8
1,2
13,8
17,9
20,4
23,2
Menengah atas
8,6
7,8
2,8
4,6
6,2
11,2
17,5
18,1
19,1
Tinggi
13,2
10,1
6,4
5,3
11,5
1,5
3,2
3,8
4,1
Angkatan Kerja*
2,5
3,5
2,2
3,2
2,3
100
100
100
100
Laki-laki
2,6
2,7
2,9
4,1
2,8
61,2
61,2
63,5
63,4
Perempuan
2,3
4,8
1,0
1,5
1,6
38,8
38,8
36,5
36,6
Perkotaan
7,5
4,7
6,5
1,3
3,2
25,5
36,0
41,8
41,1
Pedesaan
0,4
2,9
-0,3
4,5
1,7
74,5
64,0
58,2
58,9
Usia 15-24
1,5
2,5
1,2
2,6
4,9
23,1
21,3
20,5
20,9
Usia 25-49
2,9
3,2
2,8
2,1
1,6
57,6
58,9
60,2
59,1
Usia 50+
2,6
5,5
1,4
7,2
1,7
19,3
19,8
19,3
19,9
Pendidikan dasar atau kurang
0
2
0,2
-4,8
-1,6
76,4
63,2
58,6
52,0
Menengah bawah
7,1
7,1
8,2
21,6
-0,8
10,1
14,2
17,4
19,8
Menengah atas
9,4
5,1
3,4
8,5
11,2
11,5
18,4
19,2
21,9
Tinggi
13,7
7,4
6,3
11,7
20,3
2,0
4,2
4,9
6,2
Catatan: * Angkatan kerja mencakup yang bekerja dan penganggur terbuka Peningkatan angkatan kerja perkotaan dipengaruhi oleh perubahan definisi dalam daerah-daerah perkotaan. Sumber: Sakernas
52
Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal dari angkatan kerja di perkotaan. Angkatan kerja perkotaan tumbuh lebih cepat dibandingkan angkatan kerja pedesaan. Bagian angkatan kerja perkotaan meningkat dari 25,5% di tahun 1990 menjadi 41% di tahun 2006 dan angkatan kerja pedesaan menurun dari 74,5% sampai 59% selama periode yang sama. Namun, ada kenaikan pertumbuhan angkatan kerja pedesaan selama krisis. Hal ini sejalan dengan pengamatan bahwa banyak pekerja perkotaan yang memilih untuk menolak kegiatan pedesaan atau pertanian ketika kehilangan pekerjaan. Indonesia nampak mengalami transisi demografis. Ada peningkatan yang besar dalam jumlah populasi usia kerja utama (25-49) yang bagiannya meningkat dari 49,6% di tahun 1990 menjadi 53,3% di tahun 2006. Sementara itu bagian dari populasi pekerja tua (50+) tetap stabil di kisaran 21%, bagian orang muda (usia 15-24) menurun dari 30% menjadi 25,5% selama 1990-2006. Hal ini telah tercermin dalam perubahanperubahan bagian dalam angkatan kerja dari kelompok usia tertentu. Pencapaian pendidikan angkatan kerja Indonesia juga telah meningkat. Bagian angkatan kerja dengan pendidkan dasar atau kurang menurun dari 76,4% di tahun 1990 menjadi 52% di tahun 2006. Penurunan ini sesuai dengan peningkatan bagian pasar kerja dengan pendidikan menengah dari 21,6% di tahun 1990 menjadi 41,7% di tahun 2006. Bagian dari pendidikan tenaga kerja juga meningkat dari 2% menjadi 6,2% selama periode yang sama. Partisipasi angkatan kerja bagi laki-laki tetap kurang lebih stabil di kisaran 83-84% sejak krisis; namun tingkat partisipasi perempuan menurun dari 51,2% di tahun 1998 menjadi 48,1% di tahun 2006 (Tabel 2). Telah ada peningkatan partisipasi perkotaan dari 59,6% di tahun 1998 menjadi 62,3% di 2006. Selama periode yang sama tingkat partisipasi pedesaan telah menurun dari 71,9% menjadi 69,2%.
Tabel 2: Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%), menurut gender dan wilayah 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Total
66,9
67,2
67,7
68,6
67,8
67,9
65,6
66,8
66,2
Laki-laki
83,2
83,6
84,2
85,8
85,6
85,7
86,0
84,9
84,2
Perempuan
51,2
51,2
51,6
51,8
50,1
50,2
49,2
48,4
48,1
Perkotaan
59,6
61,2
61,6
63,0
62,6
62,6
62,6
62,4
62,3
Pedesaan
71,9
71,6
72,6
73,1
72,0
72,1
71,5
70,2
69,2
Pekerjaan Tabel 3 menunjukkan perubahan profil pekerjaan di Indonesia. Ditunjukkan pertumbuhan yang pesat dari pekerjaan formal selama 1990-1997. Namun, telah terjadi penurunan tajam dalam pertumbuhan pekerjaan formal selama periode paska krisis. Tingkat pertumbuhan pekerjaan formal menurun dari 5,8% selama masa pra-krisis (1990-1997) menjadi 2,2% selama 2002-2006. Jadi bagian pekerjaan formal naik sangat tipis menjadi 37% setelah meningkat tajam dari 29% di tahun 1990 menjadi 35% di tahun 2002. Yang menarik, penurunan dalam pertumbuhan pekerjaan di sektor formal tidaklah dibarengi dengan peningkatan pertumbuhan pekerjaan informal. Tingkat pertumbuhannya tetap kurang lebih stabil di 0,4% setelah meningkat menjadi 7% selama krisis. Jadi pertumbuhan yang melambat untuk pekerjaan formal dan informal berkontribusi pada perlambatan keseluruhan pertumbuhan pekerjaan.
53
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Tabel 3: Perubahan Profil Pekerjaan % Perubahan Per Tahun 1990-1997 1997-1998 1998-2002 2002-2006 Formal
Bagian (%) 1990
1993
1998
2002
2006
5,8
-4,5
1,6
2,2
29,2
31,8
34,6
35,3
36,9
Pengusaha
14
4
16,2
0,6
0,8
0,9
1,7
3,0
3,0
Pekerja *
5,5
-4,9
0,7
2,4
28,4
30,9
32,9
32,3
33,9
Informal
0,4
6,9
0,8
0,4
70,8
68,2
65,4
64,7
63,1
Bekerja sendiri**
4,3
3,3
0,8
3,5
20,2
20,8
23,4
23,1
25,3
Bekerja sendiri dibantu keluarga
0,1
9,5
2,8
-2,4
24,4
22,7
22,5
24,0
20,9
Tidak dibayar
-2,8
8,3
-1,6
0,1
26,3
24,7
19,5
17,6
16,9
Sektor: Diperdagangkan
-0,7
7,3
1,3
-0,2
66,4
62,5
57,1
58,2
55,5
Agri. Kehutanan & Kelautan
-2,3
13,3
0,5
-0,3
55,5
50,6
45,0
44,3
42,0
Pertambangan
7,8
-23,9
-1,7
11,5
0,7
0,8
0,8
0,7
1,0
Manufaktur
5,6
-9,6
4,6
-0,5
10,1
11,1
11,3
13,2
12,5
Sektor: 6,2 Tidak Diperdagangkan
-3,4
-0,3
2,8
33,6
48,6
54,3
41,8
44,5
Konstruksi
10,7
-16,4
4,2
2,5
2,7
3,5
4,0
4,7
4,9
Perdagangan
6,4
-1,2
1
2,0
14,7
15,8
19,2
19,4
20,1
8,6
0,6
2,8
5,3
3,1
3,7
4,7
5,1
5,9
Fasilitas & jasa lain
4,9
-2,1
-3,4
3,0
13,1
25,5
26,3
12,6
13,5
Perkotaan
7,2
3,2
5,2
0,9
24,6
28,2
34,6
40,5
40,2
Pedesaan
0,2
2,3
-1,2
1,2
75,4
71,8
65,4
59,5
59,8
Usia 15-24
0,2
0,6
-2,3
0,9
21,8
20,3
18,7
16,3
16,2
Usia 25-49
2,7
2,4
2,2
0,8
58,4
57,5
60,5
62,9
62,3
Usia 50 +
2,6
5,3
0,7
1,9
19,8
22,3
20,9
20,8
21,5
Pendidikan dasar atau kurang
-0,2
1,7
-0,7
-1,7
77,7
74,5
65,5
60,9
54,5
Menengah bawah
6,8
5,4
5,9
4,9
9,9
10,9
13,9
16,7
19,2
Transportasi & Komunikasi
Menengah atas
9,1
3,2
2,6
4,8
10,5
12,2
16,6
17,6
20,1
Tinggi
13,3
6,7
5,9
8,7
1,9
2,4
4,0
4,8
6,2
Laki-laki
2,4
1,7
2,1
1,4
61,3
61,5
61,5
63,9
64,9
Perempuan
1,9
4,2
-0,5
0,3
38,7
38,5
38,5
36,1
35,1
73,4
79,2
87,7
91,6
95,5
Total Pekerjaan (juta)
* Termasuk pekerja lepas pertanian setelah 2000; ** Termasuk pekerja lepas non-pertanian setelah 2000 Sumber: Sakernas
54
Pertanian tetaplah pemberi kerja utama, meskipun bagiannya menurun dari 66,4% di tahun 1990 menjadi 55,5% di 2006. Pekerjaan di sektor pertambangan dan manufaktur tumbuh cukup pesat selama 1990-1997, sementara pekerjaan pertanian menyusut. Krisis menyebabkan pekerjaan manufaktur menurun 9,6%, namun pertumbuhannya membaik lagi menjadi 4,6% selama 1998-2002. Namun, sejak itu pertumbuhan pekerjaan manufaktur terhambat. Yang menarik, pekerjaan sektor yang tidak diperdagangkan tumbuh dengan tingkat lebih tinggi (6,2% per tahun) selama periode pra-krisis, sementara pekerjaan di sektor yang diperdagangkan menurun. Bagian dari sektor yang tidak diperdagangkan dalam pekerjaan total meningkat menjadi 54,3% di tahun 1998 dan kemudian menurun menjadi 44,5% di 2006. Sejalan dengan perubahan demografis, bagian pekerjaan untuk orang muda (usia 15-24) dan utama (25-49 tahun) meningkat sejak 1990. Ada juga lebih banyak orang terdidik diantara mereka yang bekerja sekarang dibandingkan tahun 1990. Konsisten dengan tingkat partisipasi laki-laki yang lebih tinggi, bagian pekerjaan untuk laki-laki hampir dua kali lipat perempuan. Jadi terjadi kesenjangan gender dalam pekerjaan, yang juga nampak dalam Tabel 4. Situasi pekerjaan sangat membaik dalam waktu 12 bulan terakhir (Februari 2006 – Februari 2007) bersama dengan penguatan pertumbuhan ekonomi.58 Pekerjaan selama periode ini meningkat 2,5% sehingga terbentuk 2,4 juta pekerjaan baru. Berita bagus yang lain adalah bahwa pekerjaan baru terkonsentrasi di sektor formal; pekerjaan sektor formal tumbuh hingga 4,8%. Namun, pertumbuhan pekerjaan baru terjadi di sektor yang tidak diperdagangkan. Pekerjaan di sektor yang tidak diperdagangkan tumbuh 3,5% dibandingkan pertumbuhan 1,6% di pekerjaan sektor yang diperdagangkan. Hal ini bisa mengakibatkan kekurangan pekerja terampil di sektor yang diperdagangkan dan menyebabkan apresiasi riil yang mengganggu sektor yang diperdagangkan. Konsisten dengan pertumbuhan pekerjaan formal, bagian pekerja upahan baik untuk laki-laki maupun perempuan antara meningkat antara 1990 and 2006 (Tabel 4). Sekarang ada lebih banyak laki-laki yang bekerja sendiri dalam usaha dengan punya pegawai. Bagian dari perempuan yang terlibat dalam usaha dengan pegawai tidak meningkat banyak. Ada penurunan yang signifikan dalam pekerja yang punya usaha sendiri maupun yang membantu usaha keluarga, dan ini sejalan dengan penurunan bagian di pekerjaan sektor informal.
58 Lihat World Bank (2007), Indonesia: Economic and Social Update, November, 2007.
55 Sumber: Sakernas
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Tabel 4: Status Pekerjaan, berdasarkan gender, 1990-99 (%) 1990
1995
1996
1997
1998
1999
2002
2006
Pekerja berupah, atau pegawai
31,9
39,1
38,4
39,4
36,1
36,2
29,4
35,2
Pekerja yang bekerja sendiri dengan pegawai
1,1
2,1
1,8
2,2
2,3
3,4
4,1
4,0
Punya usaha sendiri
53,6
50,1
52,1
50,3
52,7
51,9
59,4
53,2
Membantu usaha keluarga
13,5
8,7
7,7
8
8.8
8,5
7,0
7,7
Pekerja berupah, atau pegawai
22,8
29,2
27,4
29
27,7
28,1
37,3
31,5
Pekerja yang bekerja sendiri dengan pegawai
0,3
0,7
0,8
0,8
0,8
2
1,1
1,1
Punya usaha sendiri
30,2
36,8
38,5
34,5
34,9
35,8
25,4
33,2
Membantu usaha keluarga
46,6
33,3
33,4
35,7
36,6
34,2
36,2
34,1
Pekerja berupah, atau pegawai
28,4
35,6
34,2
35,5
32,9
33,1
32,3
33,9
Pekerja yang bekerja sendiri dengan pegawai
0,8
1,6
1,4
1,7
1,7
2,9
3,0
3,0
Punya usaha sendiri
44,5
45,4
46,9
44,3
45,9
45,7
47,2
46,2
Membantu usaha keluarga
26,3
17,4
17,5
18,5
19,5
18,3
17,6
16,9
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
Sumber: Sakernas
Tabel 5 menunjukkan bahwa ada lebih banyak pekerja perempuan di sektor jasa, sementara bagian pekerja laki-laki di industri lebih tinggi daripada perempuan. Perbedaan gender tidaklah signifikan di sektor pertanian. Tabel 5: Pekerjaan menurut Sektor, berdasarkan gender, 1990-2006 (%) 1990
1995
1996
1997
1998
1999
2002
2006
54,8
44
42,7
40,1
44,3
43,3
43,7
42,5
Laki-laki - Pertanian - Industri
14,8
19,6
19,7
20,8
17,8
19,3
20,4
20,3
- Jasa
30,4
36,4
37,6
39,1
38
37,5
35,8
37,1
56
44
44,8
41,8
46
43,1
45,4
41,1
Perempuan - Pertanian - Industri
12,3
15,6
15,8
16,2
13,9
15,5
15,8
15,3
- Jasa
31,8
40,3
39,4
42
40
41,4
38,8
43,5
55,2
44
43,5
40,7
45
43,2
44,3
42,0
Laki-laki + Perempuan - Pertanian - Industri
13,8
18,2
18,2
19,1
16,3
17,8
18,8
18,6
- Jasa
30,9
37,8
38,3
40,2
38,8
38,9
36,9
39,4
Sumber: Publikasi Tahunan Sakernas, BPS
56
Box 1: Mengapa ada pertumbuhan ‘penganggur’ saat ini? Jawabannya terletak pada:
Sumber pertumbuhan dan
Sifat perubahan struktural
Apakah sumber-sumber pertumbuhan Indonesia saat ini
Akumulasi modal lambat – iklim investasi tidak terlalu kondusif
Pertumbuhan pekerjaan rendah atau stagnan
Jadi, pertumbuhan harus dating dari TFP
Sumber-sumber pertumbuhan: peningkatan kontribusi TFP
Periode
Pertumbuhan PDB (%)
Kontribusi Pekerja (%)
Kontribusi Modal (%)
Kontribusi TFP (%)
1971-75
7,98
1,7
2,8
3,5
1976-80
7,62
2,1
2,9
2,6
1981-85
5,22
2,7
3,7
-1,2
1986-90
6,85
2,8
2,3
1,8
1991-95
7,54
0,8
2,7
4,1
1996-00
0,71
1,8
-3,3
2,2
2001
3,32
2,1
-3,0
4,2
1971-2001
5,83
2,0
1,7
2,2
Penurunan bagian PDB sektor-sektor penyerap pekerja – agrikultur, perdagangan, hotel & restoran – dan bagian yang stagnan dan sektor manufakturing menyebabkan pertumbuhan pekerjaan yang stagnan.
Export share of unskilled labour intensive manufacturing
44 40 32 28 24
(%)
Percent
36
20 16 2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
12
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Agriculture
Manufacturing
Trade, Hotel & Restaurant
Others
Penurunan bagian ekspor padat karya juga bertanggungjawab atas pertumbuhan pekerjaan yang stagnan. Catatan: Angka menunjukkan bagian ekspor dari ekspor manufakturing padat karya disediakan oleh Dr. Andin Hadiyanto, Direktur Litbang Iklim Usaha,Kementerian Perdagangan
Memahami masalah pengangguran Seperti bisa dilihat dari Tabel 6, tingkat pengangguran stabil di kisaran 2,5-2,8% selama 1986 – 1993. Perubahan definisi menyebabkan perubahan dalam tingkat pengangguran di tahun 1994, ketika periode yang menjadi acuan untuk pencari kerja aktif diubah dari satu minggu menjadi berapapun jumlah minggu sehingga ada lebih banyak penganggur yang tercatat (Lihat Kotak 2 dan Lampiran 1). Tingkat pengangguran 1995 tidaklah sebanding dengan tahun-tahun lain yang didasarkan atas survei lain, Supas.
57
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Pengangguran mulai meningkat sebelum krisis; tingkanya naik dari 4,4% di tahun 1994 menjadi 4,9% di 1996. Manning (2000) melaporkan bahwa durasi pengangguran adalah lama – hampir separuh dari seluruh pencari kerja muda pertama kali dan sepertiga dari mereka yang pernah bekerja telah menganggur selama 12 bulan atau lebih selama awal 1990an. Tabel 6: Tingkat Pengangguran, 1986-2007 1986
2.7
1994
4.4
2001
8.1
1987
2.6
1995
7.2
2002
9.1
1988
2.8
1996
4.9
2003
9.5
1989
2.8
1997
4.7
2004
9.9
1990
2.5
2005
11.2
1991
2.6
1998
5.5
2006
10.3
1992
2.7
1999
6.4
2007
9.8
1993
2.8
2000
6.1
Sumber: Sakernas; Supas untuk 1995
Seperti disebut di atas, tingkat pengangguran tidak meningkat signifikan selama krisis; peningkatannya hanya menjadi 6,4% di tahun 1999 dan kemudian menurun menjadi 6,1% di 2000. Tanpa sistem jaminan sosial universal, pekerja tidak sanggup tetap menganggur. Jadi, mayhoritas dari mereka yang kehilangan pekerjaan di sektor formal lari ke sektor informal. Namun, tingkat pengangguran tetap meningkat selama periode paska krisis. Peningkatan tajam dalam tingkat pengangguran sejak 2001 adalah karena perubahan definisi. Sekarang para penganggur mencakup mereka yang tidak bekerja, tetapi (a) aktif mencari pekerjaam, (b) TIDAK aktif mencari pekerjaan, (c) punya pekerjaan yang mulainya nanti, atau (d) mempersiapkan usaha. Penyesuaian untuk perubahan definisi oleh Aaron et al (2004) menghasilkan tingkat pengangguran 5,1% di tahun 2001 dan 5.8% di 2002.59 Menggunakan faktor penyesuaian yang sama, tingkat pengangguran di tahun 2007 adalah sekitar 6,0% seperti waktu tahun 2000. Gambar 2: Tingkat Pengangguran – Definisi Lama vs. Baru Tingkat Penganggurang (% Angkatan Kerja)
12 10
8 6 4
2 0 1999
2000
2001
2002
2003
Definisi Lama
2004
2005
2006
2007
Definisi Baru
Hal lain yang penting dicatat adalah bahwa perubahan-perubahan dalam tingkat pengangguran agregat tidak berkorelasi positif dengan insiden kemiskinan. Hal ini jelas dari Gambar 3. 59 Juga lihat Manning (2004).
58
Gambar 3
Tingkat kemiskinan vs tingkat pengangguran 25 20 Tingkat kemiskinan [%] 15
[%]
Tingkat pengangguran
10 5 0 1996
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Apakah ini berarti bahwa masalah pengangguran adalah semata teka-teki aritmatika dan umumnya tidak relevan?60 Haruskan para pembuat kebijakan mengkhawatirkan pengangguran? Ada beberapa kehatihatian yang dibutuhkan di sini. Pertama, jumlah absolute penting. Misalnya, tingkat yang disesuaikan yakni 6,0% akan tetap berarti hampir satu juta lebih yang menganggur di tahun 2007 dibandingkan dengan angka tahun 2000. Secara politis, hal ini mungkin tidak bisa diterima, apalagi dalam demokrasi di mana mereka yang menganggur adalah juga pemilih. Kedua, dan isu yang lebih menantang adalah karakter yang berubah dari para penganggur (lihat Tabel 7). Ini mencakup:
Struktur usia – lebih banyak orang muda menganggur (lebih dari 61% dari total penganggur)
Profil pendidikan – penganggur lebih terdidik (sekitar dua pertiga dari seluruh penganggur memiliki pendidikan menengah)
Konsentrasi lokasi/daerah – lebih banyak konsentrasi penganggur di daerah perkotaan; variasi daerah lebih luas (11 provinsi, kebanyakan yang kaya sumber daya dan terindustrialisasi telah memiliki tingkat pengangguran di atas tingkat nasional)
60 Manning (2000) mengamati, “pengangguran meningkat, namun perlahan, dan terutama karena definisi baru.” Seseorang mendapatkan kesan bahwa masalah pengangguran semata tidaklah begitu serius.
59
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Tabel 7: Profil Pengangguran (% angkatan kerja), 1990-2006 1990 Pengangguran Terbuka 2,5
1997
1998
2000
2002
2003
2004
2005
2006
4,7
5,5
6,1
9,1
9,7
9,9
11,2
10,3
Berdasar Gender Laki-laki
2,5
4,1
5,0
5,7
7,5
7,6
8,1
9,29
8,5
Perempuan
2,7
5,6
6,1
6,7
11,8
13,0
12,9
14,7
13,4
Perkotaan
6,0
8,0
9,3
9,2
11,0
12,0
12,7
14,2
12,9
Pedesaan
1,4
2,8
3,3
4,1
6,1
7,0
7,9
9,14
8,4
15-24
8,0
15,5
17,1
19,9
27,9
28,1
29,6
33,4
30,6
25-49
1,2
2,2
2,9
3,1
4,5
4,6
4,7
5,7
5,5
50 +
0,2
0,3
0,5
0,4
3,1
5,8
5,1
4,3
3,2
Dasar atau kurang
0,9
1,8
2,0
2,5
5,5
6,3
5,8
6,6
6,1
Menengah bawah
4,1
6,0
7,5
8,9
12,3
11,7
12,7
14,1
12,9
Menengah atas
11,3
13,0
14,6
13,7
16,8
16,9
17,6
19,9
17,8
Tinggi
8,0
10,4
11,0
10,4
10,6
9,7
10,7
11,9
10,2
Berdasar Lokasi
Berdasar usia
Berdasar pendidikan
Sumber: Sakernas
Perubahan di atas akan sifat penganggur dapat mengganggu secara sosial. Variasi daerah dalam hal pengangguran bisa menyebabkan peningkatan migrasi antardaerah. Hal ini bisa menjadi isu politis jika daerah-daerah dengan tingkat pengangguran rendah berusaha menciptakan hambatan bagi mobilitas pekerja, menyebabkan meningkatnya ketegangan antardaerah. Ketiga, tingkat pengangguran yang stabil meskipun pertumbuhan ekonomi lambat adalah karena para pekerja berpindah ke sektor informal. Pekerjaan-pekerjaan ini berkualitas rendah – upah rendah, tidak ada jaminan tunjangan, kurang aman, dan sebagainya serta dengan produktivitas rendah. Pertumbuhan atau kelangsungan sektor informal di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi berarti bahwa pertumbuhan tidaklah pro-miskin. Akibatnya kesenjangan meningkat. Alhasil, pengurangan kemiskinan melambat. Peningkatan dalam kesenjangan juga bisa mengganggu stabilitas sosial. Oleh sebab itu, masalah pengangguran harus diuji dari perspektif jaminan sosial dan kestabilan politik. Dengan demikian, fokusnya harus terletak pada penciptaan pekerjaan dengan menggunakan kerangka kerja akan pekerjaan yang layak. Pendekatan mekanis yang menekankan pada pengurangan sasaran dalam tingkat pengangguran terbuka agregat akan tidak tepat.
60
Box 2: Menginterpretasikan Data Angkatan Kerja dan Pekerjaan Indonesia – Beberapa Komplikasi karena Perubahan dalam Definisi Analisa data angkatan kerja Indonesia diperumit karena beberapa kekosongan dalam seri yang utama dan karena terminologi yang tidak biasa. Di Indonesia istilah ‘pengangguran terbuka’ kerap digunakan dibandingkan ‘pengangguran’ seperti dulunya didefinisikan. Hal ini mengarah pada istilah seperti ‘total pengangguran’ atau ‘pengangguran global’ yang digunakan untuk menggambarkan jumlah pengangguran dan setengah pengangguran. Konsep pengangguran terbuka (diperkenalkan di tahun 2001) mencakup pekerja yang mau bekerja, tetapi sudah menyerah untuk aktif mencari pekerjaan baru. Penggunaan ukuran ini menambah baik jumlah angkatan kerja maupun jumlah penganggur: tingkat pengangguran meningkat sekitar setengahnya, relatif dibandingkan dengan definisi yang lama. Ada kekosongan dalam tingkat pengangguran di tahun 1994 karena ada perubahan definsi lain dalam survei. Populasi usia kerja sekarang didefinisikan menjadi 15 tahun ke atas. Sebelumnya 10 tahun ke atas. Ada pula perubahan penting dalam definisi beberapa komponen pekerjaan di tahun 2001. BPS memperkenalkan dua sub-kategori baru dari pekerjaan ’informal’ yakni pekerja ’pertanian lepas’ dan ’non-pertanian lepas’. Pengantar ini berarti mendefinisikan ulang sejumlah seri, yang utamanya memengaruhi perbedaan antara pekerja ‘formal’ dan ‘informal’ (Para pekerja ‘pertanian lepas’ dulunya diklasifikasikan sebagai ‘orang upahan’, yang adalah bagian dari pekerjaan ‘formal’). Mengabaikan pendefinisian ulang ini akan mengakibatkan salah pengertian, yakni bahwa pekerjaan formal menurun drastis di tahun 2001, dan pekerjaan informal meroket. Dalam kenyataannya, setelah menyesuaikan kekosongan data, pekerjaan sektor formal dan informal hanya naik sedikit (lihat Tabel 2.5, Aaron et al, 2004). Komplikasi kecil lainnya adalah bahwa tidak ada laporan Sakernas untuk 1995. Di tahun itu, survei tahunan digantikan oleh Supas. Tingkat pengangguran yang didasarkan pada Supas sangatlah lebih tinggi, dan harus diperlakukan sebagai pengecualian (outlier).
61
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Pengangguran Kaum Muda Kira-kira 7 juta orang muda (usia 15-24 tahun) sedang menganggur di Indonesia. Ini berarti 61% dari total penganggur. Di ASEAN, hanya Malaysia yang memiliki proporsi penganggur setinggi itu di kalangan orang muda (Tabel 8). Baik pengangguran total maupun pengangguran kaum muda terus meningkat; namun, tingkat kenaikan untuk penganggur muda sedikit lebih rendah dibandingkan totalnya, sehingga ada penurunan sedikit dalam rasio pengangguran kaum muda (Gambar 4). Gambar 4: Pengangguran Kaum Muda 100
12,000,000
90 10,000,000
80 70
8,000,000
jiwa
60 6,000,000
50
%
40 4,000,000
30 20
2,000,000
10 -
1996
Total
1998
2000
Kaum muda
2002
2004
2006
% Kaum muda (of total U)
Tabel 8 menunjukkan gambaran komparatif dari pengangguran kaum muda di negara-negara ASEAN tertentu. Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam tingkat partisipasi angkatan kerja muda dari 53% di 1996 menjadi 66.6% di 2005. Jadi, kelihatannya Indonesia telah memasuki fase “hadiah demografis” dengan sejumlah besar kaum muda dalam angkatan kerja. Indonesia kini memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja muda yang tertinggi di ASEAN. Pada saat yang sama Indonesia juga punya tingkat pengangguran kaum muda yang terburuk (30,6% dari angkatan kerja muda). Namun, peningkatan terkini (Februari 06Februari 07) dalam tingkat pekerjaan telah membantu menurunkan tingkat pengangguran kaum muda dari 30,6% menjadi 25,4%. Lebih jauh lagi, data pencarian pekerjaan menunjukkan tingkat stabilitas yang luas biasa dalam pasar kerja – lihat Tabel 9. Tabel 8: Indikator Pengangguran Kaum Muda di Beberapa Negara ASEAN Tingkat Pengangguran Kaum Muda (% dari angkatan kerja muda)
Rasio tingkat pengangguran kaum muda dengan kaum dewasa
Bagian pengangguran muda dengan total penganggur (%)
Kamboja (2004)
1,5
2,5
Indonesia (2006)
30,6
Malaysia (2004)
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja muda (%) 1996
1996
61
71
71
6
61,8
52,9
52,9
11,7
8,4
68,2
49
49
Filipina (2006)
16,9
3,6
49,5
51,3
51,3
Singapura (2005)
5,2
1,3
15,5
50,3
50,3
Thailand (2005)
4,8
6,3
52,4
60,2
60,2
Sumber: ILO, KILM 4th edition; Data National Statistical Office dan UNESCAP 2007
62
Tabel 9 Rata-rata dan median waktu durasi pencarian kerja, 1992 - 2007 (bulan) Median
Perkotaan
Rata-rata 1992
1996
2001
2007
1992
1996
2001
2007
5,8
5,9
5,4
5,9
9,3
9,4
8,8
9,5
Pedesaan
4,3
4,9
4,1
4,6
7,7
7,7
6,8
7,7
Total
5,2
5,5
4,9
5,4
8,7
8,7
8,0
8,8
Sumber: Survei Tahunan Angkatan Kerja Nasional Sakernas, beragam tahun (tabulasi penulis). Kami berterimakasih kepada Dr Shafiq Dhanani yang menyediakan estimasi ini. Kesemuanya menjadi bagian dari buku yang akan terbit tentang pasar kerja Indonesia (akan diterbitkan oleh Routledge di awal 2009) di mana para penulis studi ini menulis bersama Dr Dhanani.
Pengangguran terdidik dan ketidaksesuaian keterampilan Seperti dapat dilihat dalam Gambar 5, pengangguran adalah tertinggi di antara orang-orang dengan pendidikan menengah (khususnya menengah atas), diikuti oleh orang-orang dengan pendidikan tinggi (diploma dan gelar universitas). Pengangguran tidaklah terlalu akut di antara mereka yang tidak terampil (pendidikan dasar atau kurang). Namun, sekitar 30% dari penganggur tidak memiliki lebih dari pendidikan dasar (Tabel 9). Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa kurangnya pendidikan adalah penyebab utama pengangguran mereka. Namun situasinya jauh lebih rumit. Hampir sepertiga (63%) penganggur memiliki pendidikan menengah (bawah dan atas). Tingkat pengangguran yang tinggi di antara lulusan SMA dan dominasi mereka dalam kelompok penganggur, bisa berarti tidak relevannya sistem pendidikan SMA untuk pasar kerja. Yakni bahwa para pelajar SMA tidak dibekali dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk pekerjaan, menyebabkan entah pengangguran di antara para lulusan atau ketidaksesuaian keterampilan. Situasi angkatan kerja dengan pendidikan tinggi tidaklah terlalu buruk; sekitar 10% dari mereka dengan pendidikan tinggi adalah penganggur dan mereka membentuk 6,2% dari total penganggur. Diperlukan kehati-hatian untuk tidak lompat pada kesimpulan yang mengejutkan tentang skala pengangguran pekerja terdidik. Berdasarkan data pencarian pekerjaan, yang dapat disimpulkan adalah bahwa tidak ada bukti bahwa durasi pencarian pekerjaan telah meningkat untuk pekerja terdidik secara signifikan. Pekerja terdidik rata-rata membutuhkan sekitar 9 sampai 10 bulan untuk mencari pekerjaan. Jadi, banyak dari pengangguran pekerja terdidik yang diamati bersifat transisi. Isu kebijakan yang relevan adalah untuk memperbaiki transisi pekerja-pekerja macam itu dari sistem pendidikan dan pelatihan menuju dunia kerja.
63
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Gambar 5: Pengangguran Terdidik 25
20
Pengangguran
15
10
5
0 2002
2003
Dasar atau kurang
2004
Menengah bawah
2005 Menengah atas
2006 Tinggi
Tabel 10: Pengangguran menurut pendidikan sebagai % dari total pengangguran 2002
2003
2004
2005
2006
Dasar atau kurang
35,3
35,8
32,0
30,8
30,8
Menengah bawah
23,5
24,7
26,2
26,5
25,0
Menengah atas
35,5
34,9
36,0
36,8
38,0
Tinggi
5,7
4,5
5,7
5,9
6,2
Total pengangguran
100
100
100
100
100
Total sekunder
59,0
59,7
62,3
63,3
63,0
Tabel 11 memberikan indikator lain dari ketidaksesuaian keterampilan. Hampir 157 ribu orang berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja lepas dan tidak dibayar di tahun 2006. Pada tahun yang sama hampir 400 ribu orang berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja produksi atau operator transportasi dan buruh. Di sisi lain, insiden relatif dari ‘ketidaksesuaian keterampilan’ (diekspresikan sebagai proporsi dari total pekerjaan) kecil. Jumlahnya kurang dari 1 persen. Tabel 11: Ketidaksesuaian Keterampilan Pekerja berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja lepas dan pekerja tidak dibayar Jumlah pekerja % dari total pekerjaan
2001
2002
2004
2006
153.189
54.873
70.656
156.807
0,17
0,06
0,08
0,16
Pekerja berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja produksi, operator peralatan transportasi dan buruh Jumlah pekerja % dari total pekerjaan
64
1997
2001
2002
2004
2006
266.825
364.188
372.655
448.121
382.556
0,31
0,40
0,41
0,48
0,40
Konsentrasi regional Tingkat pengangguran di 11 provinsi adalah lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional (Tabel 12). Total jumlah pengangguran di 11 provinsi ini merupakan 52% dari total pengangguran di Indonesia, sementara bagiannya adalah 39% dari total angkatan kerja dan 42% dari total populasi. Mereka adalah diantara provinsiprovinsi terkaya sumber daya dan beberapa diantaranya adalah pusat-pusat industri, dan karenanya cenderung menarik para pencari kerja dari provinsi-provinsi lain. Mungkin inilah alasan mengapa bagian dari total pengangguran lebih tinggi daripada bagian mereka di total populasi maupun total angkatan kerja. Tabel 12: Tingkat Pengangguran Provinsi 2006 Provinsi Banten Sulawesi Utara Jawa Barat
Jumlah penganggur
Tingkat pengangguran (% angkatan kerja)
754.617
18,9
141.866
14,6
2.561.525
14,6
71.854
13,7
Kalimantan Timur
177.997
13,4
Sulawesi Selatan
400.688
12,8
71.914
12,2
Maluku
Kepulauan Riau Sumatra Barat
243.525
11,9
Sumatra Utara
632.049
11,5
Jakarta
490.761
11,4
Aceh
189.169
10,4
Sulawesi Tengah
119.058
10,3
Riau
202.387
10,2
Irian Jaya Barat
31.770
10,2
Sulawesi Tenggara
89.441
9,7
Sumatra Selatan
310.851
9,3
Lampung
307.689
9,1
42.210
9,0
Nusatenggara Barat
186.259
8,9
Kalimantan Selatan
144.765
8,9
Kalimantan Barat
182.198
8,5
Jawa Timur
1.575.299
8,2
Jawa Tengah
1.356.909
8,0
Bangka Belitung
Gorontalo
30.039
7,6
Maluku Utara
28.837
6,9
Kalimantan Tengah
67.631
6,7
Jambi
78.264
6,6
Sulawesi Barat
27.820
6,4
Yogyakarta Bengkulu Bali
117.948
6,3
48.993
6,0
120.188
6,0
Papua
52.735
5,8
Nusatenggara Timur
74.744
3,6
10.932.000
10,3
Indonesia
Notes: Aceh, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur kaya akan migas. Mereka adalah dintara 5 provinsi terkaya di Indonesia. Kepulauan Riau adalah provinsi yang paling terindustrialisasi di Indonesia. Sumatera Utara adalah daerah nomor dua paling terindustrialisasi di Sumatera. Jakarta adalah ibu kota, dengan tingkat per kapita riil PDB nomor dua tertinggi di Indonesia. Banten dan Jawa Barat berlokasi di samping Jakarta; mereka adalah pusat pembangunan industrial, dan adalah diantara 3 provinsi paling terindustrialisasi di Indonesia. Sulawesi Utara adalah provinsi terkaya di Sulawesi (dalam hal perkapita riil PDB). Sulawesi Selatan adalah pusat pertumbuhan di bagian Timur Indonesia dan adalah provinsi yang terindustrialisasi di Sulawesi.
65
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Setengah pengangguran Malah pengangguran di Indonesia menjadi lebih jelas ketika kondisi setengah pengangguran (didefinisikan sebagai bekerja kurang dari 35 jam seminggu) diperhitungkan juga. Hampir sepertiga orang yang bekerja adalah setengah pengangguran (Tabel 13). Namun, tidak semua dari mereka mengalami itu tanpa diinginkan. Sekitar 14% dari semua yang bekerja adalah setengah pengangguran karena kurangnya pekerjaan penuh-waktu; mereka mau bekerja dengan jam lebih lama jika ada kesempatan. Underemployment lebih akut di antara pekerja perempuan dan orang tua (usia 50 ke atas) diikuti dengan pekerja kurang terdidik (pendidikan dasar atau lebih rendah). Lebih dari 21% pekerja berpendidikan tinggi bekerja kurang dari 35 jam seminggu.
Tabel 13: Underemployment (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) Jumlah setengah pengangguran
Total
2001
2002
30,711,028
28,868,582
2004 27,947,258
2006 29,100,749
% Setengah pengangguran (dari total pekerjaan)
2001
2002
2004 2006
33.8
31.5
29.8
30.5
Laki-laki
14,332,960
14,442,403
13,962,718
15,189,810
25.1
24.7
23.0
24.5
Perempuan
16,378,068
14,426,179
13,984,540
13,910,939
48.6
43.6
42.2
41.6
15-24
5,387,193
4,950,186
4,639,602
5,207,859
34.9
33.2
31.0
33.7
25-49
17,253,780
16,086,766
15,401,055
14,840,898
30.1
27.8
26.1
25.0
8,070,055
7,831,630
7,906,601
9,051,992
44.6
41.6
40.0
44.1
22,697,133
21,148,850
19,472,943
19,895,047
40.8
37.9
36.8
38.3
50+ Pendidikan dasar atau kurang Menengah bawah
4,119,344
4,001,985
4,602,342
4,807,960
27.3
26.1
24.8
26.2
Menengah atas
2,878,347
2,775,378
2,775,950
3,131,736
18.2
17.3
16.1
16.3
Tinggi
1,016,204
942,369
1,096,023
1,266,006
23.3
21.5
22.4
21.4
% Setengah pengangguran (dari total pekerjaan) Tidak diinginkan
12,002,836
13,418,061
13,774,867
13.1
14.3
14.4
Diinginkan
16,865,746
14,529,197
15,325,882
18.4
15.5
16.1
66
Dimensi gender dari pengangguran dan pengalaman pasar kerja Kelihatannya bahwa perempuan dalam angkatan kerja tidaklah mendapatkan yang sebaik rekan-rekan laki-lakinya sejak krisis. Tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan secara kasar hamper sama (sekitar 2,5%) di tahun 1990. Setelah krisis, di 2002, tingkat pengangguran perempuan lebih dari 4 poin persen lebih tinggi dibandingkan tingkat pengangguran laki-laki, dan kesenjangannya meningkat hingga 5 poin persen di 2006. Namun, kesenjangan laki-laki dan perempuan dalam pengangguran menurun sedikit dengan pertumbuhan pekerjaan yang menguat (selama Februari 06-Februari 07) yakni menguntungkan pekerja perempuan. Tingkat pengangguran perempuan berada di 11,8% dibandingkan dengan tingkat pengangguran laki-laki yang 8,5%. Ada pula divergensi yang tumbuh antara pengangguran laki-laki dan perempuan sejak krisis. Misalnya, di tahun 1990, tingkat pengangguran kaum muda perempuan 8,2% dibandingkan 7,8% untuk laki-laki muda. Di 2006, tingkat pengangguran perempuan muda berada di 34,7% dibandingkan 27,8% untuk laki-laki muda. Dalam menginterpretasikan tingkat pengangguran laki-laki-perempuan, seseorang dapat mencatat bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja yang spesifik gender bervariasi cukup besar. Ketika tingkat pengangguran menurut gender diekspresikan oleh populasi usia kerja, tingkat pengangguran laki-laki ternyata lebih tinggi dibandingkan tingkat pengangguran perempuan.61 Kita pun harus mencatat bahwa, berdasarkan status pekerjaan, dan bukannya tingkat pengangguran, telah terjadi sedikit perbaikan dalam posisi relatif pekerja perempuan dalam pasar kerja Indonesia. Kita dapat mengacu kembali pada Tabel 4 di mana ditunjukkan bahwa bagian pekerja perempuan dalam pekerjaan sektor formal (seperti diukur oleh mereka yang bekerja dengan upah/gaji) meningkat dari 23 persen menjadi 31 persen antara 1990 dan 2006. Hal ini mengarah pada penutupan yang cukup substansial dalam kesenjangan status pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Ada pula bukti bahwa disparitas upah antara laki-laki dan perempuan telah berkurang banyak antara 1982 dan 2006. Pendapatan perempuan meningkat dari 50 persen pendapatan laki-laki di tahun 1982 menjadi 75 persen di tahun 2006 – lihat gambar 8. Gambar 6: Tingkat Pengangguran Terbuka (%) menurut Gender, 1990-2006 16 14 12 10 8 6 4 2 1990
1997
1998
2000
Laki-laki + Perempuan
2002
2003 Laki-laki
2004
2005
2006
Perempuan
67
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Gambar 7: Tingkat Pengangguran Kaum Muda (%) menurut Gender (usia 15-24) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2002 2003 2004 2005 2006 Laki-laki + Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Gambar 862
% Gaji Perempuan/Laki-laki
Perempuan/Laki-laki
Elastisitas Pekerjaan Konsep elastisitas pekerjaan – persen perubahan dalam pekerjaan yang didapatkan dari tiap 1% peningkatan dalam keluaran riil – telah menjadi sangat popular di kalangan pembuat kebijakan ketika bicara soal pengangguran. Secara umum disepakati bahwa elastisitas pekerjaan di Indonesia telah menurun sejak krisis, dan banyak pengamat mengaitkan lambatnya pertumbuhan pekerjaan pada menurunnya elastisitas pekerjaan. Sejumlah peneliti telah berupaya untuk mengestimasi elastisitas pekerjaan untuk perekonomian Indonesia. Tabel 13 menyajikan beberapa estimasi terdahulu oleh Paauw (1991) dan Gijsberts (1992). Estimasi-
62 Gambar dengan baik hatinya disediakan oleh Dr Shafiq Dhanani.
68
estimasi ini diperoleh dengan menggunakan dua titik akhir yang umumnya disebut pendekatan ‘deskriptif’ dan dikenal sebagai elastisitas ’arc’. Seperti dapat dilihat, ada variasi yang luas dalam estimasi-estimasi tersebut tergantung dari pilihan titik akhirnya dan metode (geometrik vs. simpel) yang digunakan untuk perubahan persentase rata-rata. Jadi proyeksi pekerjaan yang diperoleh dari estimasi-estimasi ini dapat menyesatkan.63 Tabel 14: Elastisitas pekerjaan-keluaran: Pendekatan Dua poin atau Deksriptif 1971-80 Paauw/Gijsberts
1980-85 Paauw
1980-85 Gijsberts
1985-90 Gijsberts
Agrikultur Pertambangan & Penggalian Manufakturing Listrik, gas & air Konstruksi Perdagangan Transport Jasa keuangan Jasa lain
0.29 2.57 0.43 0.51 0.67 0.63 0.40 0.96 0.70
1.00 -0.47 0.55 0.07 1.46 1.84 0.64 -0.41 0.40
1.25 -1.72 0.33 0.30 1.47 1.81 0.64 -0.28 0.40
0.33 4.89 0.71 1.08 0.79 0.33 0.91 2.30 0.60
Semua sektor
0.38
1.06
0.82
0.46
Sektor
Jadi, Lim (1997) menyarankan pendekatan regresi untuk mengestimasi elastisitas pekerjaan. Beliau menspesifikasikan fungsi pekerjaan sebagai berikut: Log E(t) = log a + b log Q(t) + c log E(t-1) Log E(t) = log a + b log Q(t) + c log E(t-1) + dT
… (1) … (2)
Di mana E(t) adalah pekerjaan di periode t, Q(t) adalah keluaran di periode t, E(t-1) adalah pekerjaan di periode sebelumnya dan T adalah tren waktu. Pekerjaan periode sebelumnya dimasukkan dalam persamaan ini atas dasar bahwa keputusan pekerjaan ditentukan oleh tingkat pekerjaan yang sudah ada. Yakni, apakah para pekerja baru akan direkrut di periode berikutnya tergantung pada berapa banyak pekerja yang dipunyai perusahaan pada periode ini. Tren waktu diperkenalkan sebagai proksi untuk perubahan teknologi. Menggunakan formulasi di atas, Lim mendapatkan estimasi elastisitas pekerjaan di tingkat 3 digit untuk sektor manufaktur untuk periode 1975-89. Estimasi agregat untuk sektor manufaktur secara keseluruhan adalah 0,37 dalam kasus persamaan (1) dan 0,2 dalam kasus persamaan (2). Estimasi yang menggunakan persamaan (1) tidaklah signifikan secara statistik, namun estimasi yang diperoleh dari persamaan (2) signifikan di tingkat 5%. Menarik untuk dicatat bahwa penggunaan tren waktu untuk menangkap kemajuan teknologi membuat elastisitas menjadi signifikan. Jadi, kelihatannya kemajuan teknologi tidaklah menghemat pekerja. Namun, elastisitas yang diestimasi justru rendah untuk periode di mana pekerjaan manufaktur tumbuh cukup pesat.64 Islam dan Nazara (2000) menggunakan pendekatan deksriptif dan regresif. Estimasi mereka disajikan di Tabel 15. Sekali lagi, ada kesenjangan yang besar diantara kedua pendekatan tersebut. Pendekatan regresi secara umum menghasilkan estimasi yang lebih besar; sektor pertanian ditemukan sebagai pekerjaan yang paling elastik diikuti oleh sektor jasa dan perdagangan. Namun, elastisitas pekerjaan yang sangat tinggi 63 Lihat Lim (1997) serta Islam dan Nazara (2000) untuk diskusi tentang keterbatasan metode deskriptif untuk mengestimasi elastisitas pekerjaan. 64 Estimasi deskriptif atau dua poin dari Lim menunjukkan bahwa elastisitas pekerjaan dalam sektor manufakturing meningkat dari 0,27 untuk 1975-84 menjadi 0.46 untuk 1985-89.
69
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
tidak memberikan ruang yang cukup untuk pertumbuhan produktivitas. Elastisitas pekerjaan yang lebih dari satu dalam sektor pertanian berarti bahwa produktivitas pekerja menurun. Tabel 15: Elastisitas Pekerjaan Sektoral oleh Islam & Nazara (2000) Pendekatan deskriptif
Regresi OLS log L = a + b log Y
Agrikultur Industri Perdagangan Jasa Lain-lain
0.19 0.51 0.48 0.41 0.58
1.05 0.60 0.92 0.98 0.46
Semua sektor
0.49
0.66
Sektor (Periode 1977-1996)
Islam dan Nazara juga menggunakan faktor sisi permintaan. Yakni bahwa pekerjaan sektoral adalah fungsi dari keluaran sektoral sekaligus juga total keluaran. Secara sempit, elastisitas pekerjaan sektoral hanya boleh mempertimbangkan pertumbuhan keluaran sektoral. Teknik I-O adalah alat yang lebih baik untuk menguji dampak perubahan dalam permintaan akhir dalam keluaran dan pekerjaan sektoral.
Box 3: I-O Pengganda pekerjaan Pekerjaan Primer dan non-Primer yang dimunculkan oleh Ekspor Manufaktur, 1985-95 1985
1990
1995
353,824 (20.7)
1,219,394 (25.2)
1,253,591 (21.6)
28,612 (1.7)
240,345 (5.0)
192,647 (3.3)
854,007 (50.0)
2,332,953 (48.2)
2,503,295 (43.2)
152,954 (9.0)
336,350 (7.0)
471,139 (8.1)
317,337 (18.6)
706,818 (14.6)
1,372,236 (23.7)
1,706,734 (100.0)
4,835,860 (100.0)
5,792,908 (100.0)
Sektor primer Pemrosesan Makanan Industri ringan Industri berat & kimiawi Jasa, dll. Total Sumber: James and Fujita (2000)
Catatan: Kalkulasi didasarkan pada tabel I-O untuk 1985, 1990 dan 1995. Angka dalam kurung adalah persentase.
Sumber Pertumbuhan Pekerjaan (2000 – 2002)
Sumber pertumbuhan lapangan kerja (%)
Konsumsi rumah tangga
Konsumsi pemerintah
Investasi
Perubahan Saham
Ekspor barang
Ekspor jasa
perubahan kerja keseluruhan
378.841 (21,0)
351.067 (19,4)
757.800 (41,9)
7.335 (0,4)
280.463 (15,5)
31.404 (1,7)
1.806.910 (100,0)
Sumber: Aaron et al (2004) Catatan: Kalkulasi didasarkan pada table 2000 dan 2002 I-O. Angka dalam kurung adalah persentase.
70
Suryadarma, Suryahadi dan Sumarto (2007) mengestimasi pertumbuhan pekerjaan sebagai fungsi pertumbuhan keluaran sektoral tertimbang oleh bagian keluaran sektoral dalam PDB dan tingkat partisipasi. Mereka juga membedakan antara keluaran dan pekerjaan sektoral di perkotaan dan pedesaan. Estimasi mereka dari analisa regresi disajikan dalam Tabel 16. Yang menarik adalah bahwa pertumbuhan industri perkotaan menyebabkan penurunan pertumbuhan pekerjaan di pedesaan, sejalan dengan hipotesa Lewis. Namun sulit untuk menginterpretasikan mengapa pertumbuhan industrial perkotaan tidak punya dampak pada pekerjaan total kecuali bahwa pekerjaan perkotaan meningkat hingga 0,45% karena satu persen peningkatan dalam keluaran industrial perkotaan. Juga, pertumbuhan pedesaan tidak punya dampak pada pekerjaan perkotaan. Tambahan lagi, penggunaan tingkat partisipasi angkatan kerja dalam fungsi pekerjaan patut dipertanyakan. Dalam surplus ekonomi tenaga kerja (pengangguran), pekerjaan tidaklah ditentukan oleh suplai (tingkat partisipasi) melainkan oleh permintaan. Di sisi lain, tingkat partisipasi dapat dipengaruhi oleh pertumbuhan pekerjaan. Yakni, pertumbuhan pekerjaan yang lebih tinggi bisa mendorong banyak orang untuk masuk bergabung dengan angkatan kerja. Demikian pula pertumbuhan pekerjaan yang lambat akan mencegah banyak orang untuk melakukan hal itu. Tambahan lagi, tingkat partisipasi tenaga kerja dan perubahan dalam bagian populasi dalam provinsi, digunakan sebagai variabel kontrol, tidak punya banyak variasi dari tahun ke tahun untuk bisa membedakan keseluruhan ketepatan model.
Tabel 16: Pekerjaan dan Pertumbuhan Keluaran, Suryadarma-Suryahadi –Sumarto (2007)
Perkotaan Pertumbuhan PDB Agri Pertumbuhan PDB Industrial Pertumbuhan PDB Jasa Pedesaan Pertumbuhan PDB Agri Pertumbuhan PDB Industrial Pertumbuhan PDB Jasa
Total pertumbuhan pekerjaan
Pertumbuhan Pekerjaan Perkotaan
Pertumbuhan pekerjaan Pedesaan
0.33 0.01 0.19**
2.10** 0.45** 0.58**
-0.20 -0.11** 0.07
0.64** 0.29** 0.15
0.29 0.16 0.35
0.48* 0.36** 0.19*
71
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Estimasi Baru untuk Elastisitas Pekerjaan Karena keterbatasan estimasi yang tersedia seperti dinyatakan di atas, studi ini berupaya untuk mengestimasi elastisitas pekerjaan sektoral dari model teoretis yang lebih kuat dan dengan menggunakan metode ekonometrik yang lebih baik, yakni pendekatan regresi data panel.
Model Dalam membangun fungsi pekerjaan, diasumsikan bahwa perusahaan memimalisasi biaya tergantung dari tingkat keluaran yang ada. Jadi, fungsi ini mengikutkan dua karakteristik utama dari permintaan pekerja, yakni, diambil dari permintaan (untuk tingkat keluaran yang ada) dan pemaksimalan keuntungan (atau peminimalisasian biaya) oleh pengusaha yang merekrut pekerja dengan menimbang upah yang harus dibayarkan dibandingkan dengan harga yang diterimanya untuk produknya (yakni upah riil).65 Tambahan lagi, keputusan pekerjaan, khususnya di sektor modern, adalah keputusan marginal, yang berubah dari tingkat saat ini.66 Jadi, model ini menggambarkan bahwa pekerjaan adalah fungsi dari keluaran, upah riil dan pekerjaan terdahulu. Pekerjaan terdahulu (lagged employment) dimasukkan untuk menangkap “histeresis” atau sifat ketergantungan pada masa lampau dari pasar kerja.67 lnEit = ß0 + ß1lnYit + ß2lnRWit + ß3lnEit-1 + eit
(1)
di mana E
: jumlah pekerjaan (sektoral)
Eit-1
: pekerjaan dulu (lag employment)
Y
: Keluaran (PDB regional provinsi sektoral– RGDP)
RW
: Upah produk riil (upah nominal sektoral digembosi/dideflasi oleh deflator PDB riil sektoral)
Huruf i dan t mengacu pada provinsi dan tahun. Elastisitas pekerjaan dalam hal keluaran ditandai oleh ß1. Jadi, pekerjaan (E) akan meningkat sebesar ß1 % jika keluaran (Y) meningkat hingga 1 %. Model diestimasi untuk keseluruhan delapan sektor dalam ekonomi, yakni: pertanian, perikanan, kehutanan pertambangan, penggalian, listrik, gas, dan air manufaktur konstruksi perdagangan, hotel dan restoran transportasi dan komunikasi keuangan jasa
65 Baik minimalisasi biaya dan maksimalisasi keuntungan menghasilkan hasil yang sama dalam hal upah riil, yakni bahwa tingkat optimal pekerjaan ditentukan dari dimana produk marginal dari pekerja setara dengan upah riil, menghasilkan kemiringan permintaan yang menurun untuk kurva pekerja. 66 Sektor formal dikarakterisasi oleh pekerjaan jangka panjang dan perusahaan tidak mengambil pekerja baru di awal tiap periode produksi. 67 Jadi, fungsi pekerjaan yang diajukan di sini adalah lebih kuat secara teoretis dibandingkan estimasi-estimasi lain yang ada untuk elastisitas pekerjaan di Indonesia.
72
Data Data pekerjaan dan upah diambil dari publikasi tahunan Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional), sementara data PDB riil provinsi diambil dari terbitan rekening regional di BPS. Upah riil sektoral diperoleh dengan cara menggemboskan upah nominal sektoral dengan deflator keluaran sektoral. Unit observasinya adalah provinsi-tahun untuk tiap sektor ekonomi. Dua periode waktu dipakai, sebelum dan sesudah krisis 1998. Untuk periode pra krisis, kami punya data untuk 1993-1997, kecuali 1995 karena Sakernas tidak dilaksanakan tahun itu, dan untuk periode paska krisis, kami menggunakan periode 20002006. Sifat data kami adalah panel (kombinasi dari lintas bagian dan time series) karena kami punya pengamatan menurut provinsi dan tahun.
Metode Estimasi Dalam mengestimasi data panel, ada dua teknik varian yang umum digunakan: dampak radom (random effects/RE) dan dampak pasti (fixed effects/FE). Tes Hausman dipakai untuk melakukan tes statistik formal untuk memilih metode estimasi yang paling sesuai. Dibandingkan dengan studi-studi terdahulu tentang elastisitas keluaran pekerjaan, studi ini melakukan perbaikan berikut ini:
Menggunakan divisi sektoral yang lebih mendetil, yakni delapan sektor. Studi-studi terdahulu (Islam dan Nazara, 2000 serta Suryadarma, Suryahadi dan Sumarto, 2007, misalnya) hanya menggunakan tiga sektor.
Menggunakan upah riil produk sektoral. Yakni upah nominal dideflasi oleh deflator keluaran sektoral dan bukannya oleh CPI untuk merefleksikan keputusan rasio biaya-tunjangan dari keputusan pekerjaan. Jadi, ini memberikan kita ‘elastisitas upah’ dari pekerjaan, juga dengan elastisitas keluaran. Ini adalah studi pertama yang berusaha untuk mengestimasi elastisitas upah sektoral di Indonesia.
Menguji dua periode yang berbeda, pra dan paska 1998, untuk melihat perubahan dalam elastisitas keluaran dari pekerjaan sebelum dan sesudah krisis.
Hasil Keluaran sektoral ternyata merupakan penentu yang penting dari keluaran sektoral (Tabel 17). Pentingnya upah riil dan pekerjaan yang terdahulu (lagged employment) bervariasi antar sektor dan antar kedua periode. Secara umum pekerjaan yang terdahulu (lagged employment) adalah penting dalam sektor-sektor seperti manufaktur, di mana hubungan pekerjaan lebih bersifat jangka panjang dibandingkan di sektor-sektor seperti pertanian, di mana pekerjaan umumnya musiman. Elastisitas keluaran pekerjaan menurun di semua sektor selama periode paska krisis. Penurunannya cukup dramatis di beberapa sektor. Sektor jasa, keuangan dan perdagangan yang tumbuh dengan lebih cepat di tahun-tahun belakangan ini, memiliki elastisitas keluaran pekerjaan yang sangat rendah dibandingkan nilainya sebelum krisis. Hal ini menjelaskan pertumbuhan pekerjaan selama periode paska krisis. Namun, penurunan dalam elastisitas keluaran pekerjaan tidaklah semata-mata berita buruk asal disebabkan oleh peningkatan dalam produktivitas pekerja (lihat box 5).
73
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Tabel 17: Penentu Pekerjaan Berdasarkan Sektor (Variabel Dependen: LnEmployment) Panel A – Paska krisis (2000-2006) Sektor (1) 1. Pertanian 2. Tambang, Listrik, Gas, Air 3. Manufaktur 4. Konstruksi 5. Perdangangan, Hotel, Restoran 6. Transportasikomunikasi 7. Keuangan 8. Jasa
LnY
LnRW
(2)
(3)
LnE (lag) (4)
0.68 0.23
* ***
-0.14 -0.32
0.12 0.63 0.81
*** *** ***
-0.18 -0.10 0.20
0.48
***
-0.16
-0.07
0.67 0.17
** ***
0.09 -0.09
0.10 0.79
** *
-0.04 0.54 0.87 0.13 -0.003
*** ***
***
R2 keseluruhan (R2 dalam) (5)
Obs (6)
Metode Estimasi (7)
0.75 (0.03) 0.63
156 156
FE RE
0.94 0.71 (0.14) 0.87 (0.18)
156 156 156
RE FE FE
0.79 (0.11)
156
FE
0.73 (0.17) 0.95
156 156
FE RE
R2 keseluruhan (R2 dalam) (5)
Obs (6)
Metode Estimasi (7)
0.77 (0.18) 0.65 (0.08)
78 78
FE FE
Panel B – Sebelum krisis (1993, 1994, 1996, 1997) Sektor (1) 1. Pertanian 2. Tambang, Listrik, Gas, Air 3. Manufaktur 4. Konstruksi 5. Perdangangan, Hotel, Restoran 6. Transportasikomunikasi 7. Keuangan 8. Jasa
LnY
LnRW
(2)
(3)
LnE (lag) (4)
1.37 -0.15
*
-0.82 -0.22
***
-0.06 -0.33
0.86 1.60 2.99
*** *** ***
0.26 0.10 -0.43
*
-0.25 -0.29 -0.16
** **
0.59 (0.21) 0.49 (0.46) 0.85 (0.61)
78 78 78
FE FE FE
1.98
***
-0.09
-0.40
**
0.51 (0.37)
78
FE
0.59 0.89
***
-0.41 0.34
-0.42 -0.13
***
0.26 (0.18) 0.89 (0.52)
78 78
FE FE
*
* **
*
Catatan: ***, ** dan * masing-masing mengindikasikan tingkat signifikansi 1%, 5% dan 10%; masing-masing regresi punya nilai konstan. FE adalah dampak tetap dan RE adalah dampak random. Untuk estimasi dampak tetap, R square yang valid adalah R2 di dalam dan untuk estimasi dampak random R2 overall yang dipakai.
Bahkan, ada peningkatan yang substansial dalam produktivitas pekerja di sektor manufaktur sejak tahun 2000. Adalah wajar untuk mengamati peningkatan produktivitas pekerja setelah suatu resesi besar karena perusahaan yang efisien bertahan dan mereka mengetatkan pekerja selama masa pemulihan. Produktivitas pekerja di sektor pertanian juga telah meningkat sejak 2003, mungkin karena sejumlah pekerja yang pindah ke sektor itu selama krisis kini pindah ke kegiatan lain. Hal ini bisa juga karena sejumlah orangorang yang lebih terdidik memutuskan untuk tinggal dan terlibat dalam pertanian yang lebih modern.
74
Gambar 9: Produktivitas Pekerja di Manufaktur
Mn Rp/pekerja (pada 1993 harga tetap)
12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
0.0
Sumber: Dihitung dari data BPS
Gambar 10: Produktivitas Pekerja di Pertanian
Mn Rp/pekerja (pada 1993 haga tetap)
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
0.0
Sumber: Dihitung dari data BPS
Juga menarik untuk dicatat bahwa upah riil ternyata signifikan hanya untuk dua sektor – pertambangan dan manufaktur. Hal ini berarti penurunan upah riil tidak akan menciptakan pekerjaan baru apapun di kebanyakan sektor, apalagi di sektor padat karya seperti pertanian, jasa dan perdagangan. Di sisi lain, karena tidak ada pertambahan murni dalam pekerjaan, penurunan upah riil akan menurunkan pendapatan pekerja. Hal ini dengan demikian tidak hanya akan menciptakan lebih banyak ‘orang miskin bekerja’, tetapi juga menekan pertumbuhan permintaan agregat dan karenanya memperlambat pertumbuhan ekonomi. Jadi, bahkan dalam hal sektor manufaktur, di mana penurunan pekerjaan - elastisitas upah riil lebih besar daripada peningkatan pekerjaan – elastisitas keluaran, upah riil harus turun secara substansial demi menciptakan sejumlah besar pekerjaan baru jika pertumbuhan pekerjaan dibatasi karena pertumbuhan yang tertekan. Misalnya, untuk meningkatkan pekerjaan sektor manufaktur sebesar, misalnya 1,8% (lebih dari 200,000 pekerjaan baru di tahun 2008 untuk menyerap semua pendatang baru), upah riil harus turun sekitar 10%. Hal ini akan berdampak sangat merugikan bagi tingkat kemiskinan ketika hampir separuh penduduk rentan kemiskinan (hidup hanya di atau sedikit di atas garis kemiskinan).68
68 Suatu studi tentang Kenya yang mengasumsikan elastisitas pekerjaan-upah yang lebih tinggi yakni -0,6, menemukan bahwa untuk menciptakan 190.000 pekerjaan sektor formal tambahan, rata-rata upah riil harus turun hingga 42%. Hasil upah rata-rata akan menjadi 15% di bawah garis kemiskinan. Lihat, Robert Pollin et al [2007] “Wage Cutting in Kenya Will Expand Poverty, Not Decent Jobs” International Poverty Centre, One Pager # 46. Tersedia online di: http://www.undp-povertycentre.org/pub/IPCOnePager46.pdf. Laporan lengkap tersedia online di http://www.undp-povertycentre.org/publications/reports/Kenya.pdf
75
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Upah riil Bertentangan dengan klaim sejumlah pengamat bahwa telah terjadi peningkatan tajam biaya tenaga kerja selama masa demokrasi, data tidak menunjukkan peningkatan yang dramatis apapun dalam upah riil sejak krisis. Ada peningkatan upah riil produk antara 2000 dan 2003, dan hal ini bisa jadi hanya faktor pengejar saat ekonomi mulai pulih dari krisis seperti ditunjukkan dalam studi terkini oleh Islam dan Chowdhury (2006). Namun sejak saat itu upah riil produk di kebanyakan sektor entah mandek atau menurun (Gambar 11). Upah riil yang disesuaikan dengan CPI jatuh secara signifikan sejak 2004 mengikuti dicabutnya subsidi bahan bakar (Gambar 12). Hal ini paling mungkin merugikan standar hidup keluarga bekerja. Gambar 11: Upah Riil Produk Sektoral (dideflasi berdasarkan deflator PDB sektoral) 800,000 700,000 600,000
Rp
500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 2000
2001
2002
2003
2004
2005
1-Pertanian
3- Manufaktur
6-Perdagangan, Hotel, Restoran
7- Transportasi-Komunikasi
2006
5- Konstruksi
9- Jasa
All sector
Gambar 12: Upah Riil Konsumsi Sektoral (dideflasi berdasarkan CPI nasional) 700,000 600,000
Rp
500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 2000
76
2001
2002
2003
2004
1-Pertanian
3- Manufaktur
6-Perdagangan, Hotel, Restoran
7- Transportasi-Komunikasi 9- Jasa
2005
5- Konstruksi Semua sektor
2006
Suatu perbandingan tren dalam produktivitas pekerja dan upah riil produk mengungkapkan bahwa telah terjadi penurunan dalam unit upah pekerja sejak 2003. Jadi sulit untuk mempertahankan argumen bahwa peningkatan biaya pekerja telah menekan pertumbuhan pekerjaan. Gambar 13: Unit Biaya Pekerja di Sektor Manufaktur dan Pertanian (1993 =100)
Unit indeks kerja (1993=100)
110
100
90
80
70
60
50 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pertanian
Manufaktur
Survei berbasis perusahaan dan implikasinya Satu cara menguji klaim bahwa rezim kepatuhan standar tenaga kerja telah meningkat tajam di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini adalah dengan memfokuskan diri pada persepsi komunitas bisnis. Bagaimana mereka melihat dampak peraturan ketenagakerjaan pada iklim usaha di Indonesia? Berapa pentingkah itu dibandingkan faktor-faktor lain yang memengaruhi iklim usaha? Apakah membaik atau memburuk bersama dengan waktu dan relatif dibandingkan dengan negara lain? Kini ada sejumlah survei – tiga diantaranya bersifat global – yang memungkinkan seseorang untuk mengekplorasi isu-isu ini dengan lebih mendalam.69 Pertimbangkanlah survey ‘Doing Business’ dari Bank Dunia. Survei ini mendaftar sejumlah peraturan pasar kerja sebagai salah satu saja dari sepuluh faktor yang memengaruhi keseluruhan indeks ‘kemudahan melakukan bisnis’ di mana Indonesia ada di ranking 123 dari 178 ekonomi. Implikasi jelasnya adalah bahwa reformasi peraturan ketenagakerjaan tanpa menangani hambatan-hambatan lain hanya akan menghasilkan dampak yang marjinal dalam memperbaiki iklim usaha. Lebih penting lagi, seperti ditunjukkan Tabel 14, nilai dari indeks ‘kekakuan’ yang terkait dengan berbagai komponen untuk mempekerjakan pekerja adalah hampir konstan antara 2003 dan 2007. Jika proksi untuk variabel penjelas utama, dalam hal ini kekakuan peraturan pasar kerja, tetap tidak berubah dan bertindak pada dasarnya seperti parameter tetap, maka hal ini tidak bisa dipakai untuk menjelaskan perubahan dalam pengangguran maupun dalam struktur pekerjaan.
69 Mengejutkan bahwa mereka yang mengingatkan akan perubahan dalam peraturan ketenagakerjaan tidaklah membuat upaya serius apapun untuk menjelaskan bagaimana perubahan tersebut dapat mempengaruhi persepsi iklim usaha secara merugikan.
77
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Tabel 14 Indeks berkaitan dengan perekrutan pekerja di Indonesia, 2003-2007 2003
2004
2005
2006
2007
Indeks kesulitan merekrut
72
61
72
72
72
Kekakuan jam kerja
0
0
0
0
0
Indeks kesulitan memecat
60
60
60
60
60
Indeks kekakuan pekerjaan
44
44
40
44
44
Biaya memecat [% gaji]
10
10
10
10
10
Sumber: ‘Doing Business Survey’, Bank Dunia, tersedia di www.doingbusiness.org
Walaupun indeks yang jelas dalam hal ‘Doing Business Survey’ dari Bank Dunia tetap konstan, gambaran yang lebih optimistik muncul dari survei global lain. Dalam hal survei daya saing global yang ternama seperti yang dilaksanakan oleh World Economic Forum untuk 2007-2008, Indonesia berada di ranking ke 50 dari 131 negara – suatu perbaikan 19 tingkat dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam indeks agregat tersebut, Indonesia berada di ranking 30 dari 131 negara dalam hal ukuran ‘efisiensi pekerja’, sekali lagi menunjukkan perbaikan yang berarti dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Gambar 14 menggambarkan kemajuan Indonesia antara 2000 dan 2007 dalam hal ‘indeks daya saing global’ dari World Economic Forum’s ‘global competitiveness index’, di mana ranking Indonesia sesungguhnya diekspresikan sebagai fraksi dari keseluruhan jumlah observasi. Fraksi yang menurun ditunjukkan sebagai perbaikan dalam ranking relatif Indonesia dalam hal daya saing.70 Kenyataan bahwa kemajuan yang tetap ini terjadi meskipun ada Undang-undang Ketenagakerjaan 2003 adalah cukup mengejutkan, yakni karena tuduhan standar bahwa pasar kerja yang lebih diatur berarti bahwa lingkungan usahanya kurang kompetitif. Gambar 14 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber: Dihitung dari World Economic Forum, Global Competitiveness Index, berbagai tahun
Namun survey global lain yang diproduksi oleh Fraser Institute dapat dipakai untuk melacak apakah peraturan ketenagakerjaan telah memburuk dalam tahun-tahun belakangan ini. Tren yang muncul adalah di mana keseluruhan indeks peraturan ketenagakerjaan sebenarnya telah membaik antara 2000 dan 2005,
70 Tentu saja, ranking relatif seperti diukur di sini dapat menunjukkan perbaikan meskipun tidak ada peruahan dalam ranking absolut. Misalnya, jika suatu negara memiliki ranking 75 dari 100, posisi relatifnya akan membaik hanya karena peningkatan jumlah observasi, misalnya, 75 dari 120 negara, jika observasi tambahan diranking di bawah negara. Dalam kasus Indonesia, seseorang mengamati perbaikan dalam ranking absolut maupun relatif.
78
bersamaan dengan keseluruhan perbaikan dalam ‘Kebebasan Ekonomi’ di periode yang sama.71 Seperti dalam kasus “Survei Doing Business” dan survei WEF, peraturan tenagakerja mewakili hanya satu komponen dari banyak komponen yang memengaruhi keseluruhan indeks ‘Kebebasan Ekonomi’ seperti diklaim oleh para pengarangnya untuk memengaruhi pertumbuhan dan standard hidup. Jadi karenanya, bahkan bila ada perubahan radikal dalam peraturan ketenagakerjaan yang membuat Indonesia menjadi negara paling ‘ramah usaha’ di dunia, dampaknya ke indeks ‘Kebebasan Ekonomi’ hanya kecil saja bila komponen-komponen lain tetap tidak diubah. Gambar 15
Indonesia: Indeks Peraturan Pasar Kerja, 2000-2005
Indonesia: Indeks Peraturan Pasar Kerja, 2000-2005
Sumber: Diambil dari data yang dilaporkan di Fraser Institute, www.freetheworld.com. Catatan: Indeks ini dibuat berdasarkan data yang terkait dengan upah minimum, hambatan dalam keputusan merekrut dan memecat, biaya wajib untuk memecat, insiden negosiasi bersama (collective bargaining) yang tersentralisasi dan adanya kejadian tenaga kerja yang dipaksa. Indeks ini adalah satu dari lima sub-indeks yang membentuk indeks keseluruhan ‘kebebasan ekonomi’ dan diukur dari 10 (=nilai terbaik).
Gambar 16: Tingkat Kebebasan Ekonomi Indonesia
71 Bahan-bahan utama kebebasan ekonomi, seperti dikonseptualisasi oleh Fraser Institute adalah: pilihan personal, pertukaran pasar secara sukarela, kebebasan untuk masuk dan bersaing dalam pasar, perlindungan manusia dan properti dari agresi pihak lain. Indeks ini terdiri dari 5 sub-indeks: ukuran pemerintah; uang yang ‘sound’; struktur hokum dan jaminan hak property; perdagangan bebas, peraturan tenaga kerja, kredit dan usaha. Indeks-indeks ini memiliki nilai maksimum 10, mewakili nilai terbaik. Almarhum Nobel Laureate Milton Friedman, sesepuh neoliberal, diasosiasikan dengan karya besar institut ini.
79
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Seseorang kini dapat melihat pada survei spesifik tentang Indonesia untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan perubahan dalam iklim usaha. Survei-survei persepsi investor oleh ADB maupun Universitas Indonesia menunjukkan bahwa masalah ketenagakerjaan tidaklah merupakan kekhawatiran teratas dari para investor. Masalah tersebut biasanya menempati posisi tengah dalam daftar 12 faktor yang dilihat sebagai pengaruh utama dari iklim investasi. Survei 2007 tentang iklim investasi oleh Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa hanya sejumlah kecil perusahaan (20 persen dan kurang) mengalami masalahmasalah terkait dengan pekerja dan proporsi ini menurun antara tahun 2006 dan 2007. Lebih jauh lagi, survei yang sama menunjukkan bahwa biaya penangangan masalah pekerja tersebut meningkat sedikit dari 3,5 persen menjadi 4,5 persen dari biaya produksi total antara 2005 dan 2006, namun menurun hingga 2007 – lihat gambar 7.2.
Gambar 17 Biaya Penanggulangan Masalah Kerja (% Biaya Keseluruhan Produksi)
Persentase Responden yang mengalami Masalah Kerja 25
%
20 15 10 %
5 0 menuntut gaji lebih besar
unjuk rasa pekerja
pertengahan 2005
masalah jaminan sosial
akhir 2005
konflik dengan serikat pekerja
pertengahan 2006
mogok kerja
akhir 2007
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 pertengahan 2005
akhir 2005
pertengahan 2006
akhir 2007
Sumber: LPEM-University of Indonesia, Survey on Investment Climate Monitoring, 2007
Upah Minimum dan pekerjaan Di Indonesia, daerah-daerah diberi wewenang untuk menentukan sendiri upah minimumnya dalam ketentuan panduan nasional. Ternyata, selama tahun 2005-2006 upah minimum meningkat lebih pesat (ratarata 9.2%) di provinsi dengan konsentrasi pengangguran yang tinggi (tingkat pengangguran di atas ratarata nasional). Di provinsi dengan tingkat pengangguran yang leibh rendah, rata-rata pertumbuhan upah riil adalah 7,8%. Hal ini bisa dilihat sebagai pendukung klaim bahwa upah minimum dan biaya-biaya tenaga kerja lain, seperti pesangon dan kondisi, adalah membahayakan pertumbuhan pekerjaan. Namun, hubungan antara upah minimum dan pekerjaan lebih kompleks. Untuk memulai, tidak ada hubungan yang jelas antara upah minimum rata-rata dan upah rata-rata di sektor manufaktur, misalnya, di mana masalah seperti ini paling penting. Hubungannya tidaklah terlalu kuat ketika upah riil produk dipertimbangkan juga.
80
Gambar 18 600,000
900,000 800,000
500,000
700,000 600,000
400,000
500,000 400,000
300,000
300,000
200,000
200,000
100,000
100,000 0
-
2001
2,002
2003
Rata-rata Upah Minimum
2,004
2005
2,006
Rata-rata Upah Manufaktur
2001
2,002
2003
Rata-rata Upah Minimum
2,004
2005
2,006
Rata-rata Upah Manufaktur
Seseorang dapat berkata bahwa menggunakan bukti agregat tidaklah memadai untuk memecahkan kritik akan validitas bahwa peraturan ketenagakerjaan saat ini akhirnya merugikan kepentingan pekerja biasa. Evaluasi statistik yang kuat dibutuhkan di sini. Satu cara melaksanakan evaluasi macam itu adalah dengan mempertimbangkan beberapa studi ekonometrik yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi konsekuensikonsekuensi pekerjaan dari upah minimum. Tabel 18 merangkum penemuan ini. Meskipun mereka umumnya menunjukkan konsekuensi-konsekuensi pekerjaan yang negatif, ditemukan juga bahwa trade off antara upah minimum dengan pekerjaan tidaklah ada dalam hal perusahaan besar, pekerja terampil dan sektor ekspor. Satu studi juga mencantumkan peringatan penting bahwa dampak murni dari upah minimum pada pekerjaan tergantung pada kondisi makro ekonomi. Ekonomi yang tumbuh pesat dapat menyerap peningkatan biaya pekerja yang muncul akibat upah minimum dan faktor-faktor kelembagaan lain. Namun demikian, elastisitas ‘sebagian’ dalam hal upah minimum (atau penggantinya) di tingkat nasional biasanya cukup kecil, berkisar antara 0,1 sampai 0,03, dan beberapa di antara mereka didasarkan pada fungsi-fungsi pekerjaan yang hampir tidak lolos uji signifikansi statistik konvensional. Estimasinya, dengan demikian, entah tidak besar dalam hal besaran atau tidak cukup kuat untuk dijadikan basis yang solid untuk resep kebijakan.
81
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Tabel 18: Upah minimum dan pekerjaan: ringkasan penemuan Pengarang/Studi
Penemuan utama
Islam dan Nazara [2000] ‘Minimum Wages and the Welfare of Workers’, ILO Occasional Paper No.3, Jakarta
Penemuan statistik tentang hubungan antara upah minimum dan pekerjaan adalah ambivalen dan dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi. Elastisitas pekerjaan dalam hal pertumbuhan output biasanya jauh lebih tinggi dibandingkan elastisitas pekerjaan dalam hal upah.
Alatas dan Cameron (2003) The Impact of Minimum Wages on Employment in a Low-Income Country: An Evaluation using the Difference-in-Difference Approach’, World Bank Policy Research Working Paper No 2985, March, Washington DC: World Bank
Tidak ada dampak yang signifikan secara statistik dari upah minimum pada pekerjaan di perusahaan besar di sektor formal, namun potensi penciptaan pekerjaan di perusahaan yang lebih kecil akan terluka karena kenaikan upah minimum
SMERU (2003) ‘Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in the Indonesian Urban Labour Market’, SMERU Research Report
Peningkatan dua kali lipat upah minimum mengurangi pekerjaan secara keseluruhan hingga sekitar 10 persen, namun hal ini tidak valid untuk pekerja kerah putih. Efek pekerjaan yang negatif adalah lebih tinggi untuk pekerja yang rentan (muda, perempuan, tidak terampil/ kurang terdidik)
Widianto[2003] ‘Making the most of minimum wage policy’, BAPPENAS, Jakarta
Upah minimum mengurangi keseluruhan pertumbuhan pekerjaan. Peningkatan 15% upah minimum mengarah pada hilangnya 298.000 pekerjaan
Rama (1996) ‘The consequences of doubling the minimum wage: the case of Indonesia’, World Bank Policy Research Paper no.164Rama [2001] as cited in Sugiyarto and Enriga
Peningkatan dua kali lipat upah minimum mengurangi pekerjaan sekitar 10 persen. Hasil terbaru menunjukkan dampak yang lebih kecil (paling bagus 5%). Sekali lagi, efeknya tidak ada untuk kasus perusahaan besar.
A.Harrison dan J. Scorse [2005] ‘Improving the Conditions of Workers? Minimum wage legislation and anti-sweatshop activism’, October, UC Berkely/NBER and Monterey Institute of International Studies
Analisa tingkat perusahaan menunjukkan bahwa peraturan perundangan soal upah minimum dan anti eksploitasi‘‘antisweatshop’ mengarah pada peningkatan upah riil yang tajam di tahun 1990-1996 namun dibarengi dengan peningkatan yang besar dalam upah dan pekerjaan di sektor TFA, yang digerakkan oleh perusahaan asing berorientasi ekspor. Keseluruhan pekerjaan menurun; menurut estimasi bahwa peningkatan dua kali lipat upah minimum mengarah pada penurunan pekerjaan 12-18 %
G.Sugiyarto dan B. Enriga [2007]’Does Minimum Wage Reduce Employment and Training’, ADB and University of Philippines, Los Banos
Data di tingkat perusahaan untuk 2003-4 menunjukkan bahwa pekerjaan di sektor manufaktur menurun hingga 2,5 persen jika upah minimum dinaikkan dua kali lipat. Pelatihan yang disediakan untuk pekerja juga menurun jika upah minimum meningkat dua kali lipat. Hasil yang dilaporkan hanya valid untuk pekerja tidak terampil, dan tidak untuk pekerja terampil.
Proyeksi Pekerjaan Tujuan utama dari proyeksi pekerjaan adalah untuk mengetahui dampak pekerjaan dari kinerja pertumbuhan. Dalam hal ini, ada dua pilihan: (i) apa dampak pekerjaan jika kinerja pertumbuhan saat ini bisa dipertahankan di tahun-tahun mendatang, dan (ii) berapa tingkat pertumbuhan yang dibutuhkan (keseluruhan dan menurut sektor) untuk mencapai penurunan tertentu dalam pengangguran di titik waktu tertentu (atau untuk mencapai sasaran pekerjaan/pengangguran di suatu waktu tertentu). Proyeksi dapat dilakukan dengan dua tahapan.
82
Tahap 1: Mengestimasi keluaran elastisitas pekerjaan Tugas ini dilakukan dengan berbagai regresi. Untuk maksud proyeksi, kami menggunakan elastisitas keluaran dari pekerjaan untuk tiap sektor ekonomi di periode paska krisis, 2000-2006 (Tabel 16, Panel A, kolom 2).
Tahap 2: Simulasi Menggunakan elastisitas pekerjaan yang diangkat dari Tahap 1, kami melakukan simulasi. Untuk sampai pada dampak pekerjaan secara keseluruhan dari tingkat pertumbuhan ekonomi keseluruhan, kami mengikuti proses berikut: a)
Menghitung dampak pekerjaan dari pertumbuhan keluaran dalam tiap sektor ekonomi (menggunakan skenario pertumbuhan yang berbeda), dan dengan menjumlahkan semua sektor, kami mendapatkan keseluruhan dampak pekerjaan.
qj =
% ΔE j % ΔY j
(1)
% ΔE tj =q j .% ΔY jt
(2)
E tjn+1 = E tjn + (% ΔE tjn . E tjn )
(3) n
Total Pekerjaan dalam ekonomi =
t E all = ∑ E tj j =1
θ j adalah elastisitas output dari pekerjaan di sektor j, % ÄE j adalah persentase kenaikan dalam pekerjaan di sektor j, % ÄY j adalah persentase kenaikan dalam output di sektor j, dan t menandai
waktu (tahun).
Dan pada saat yang sama, b)
Kami menghitung total jumlah angkatan kerja menggunakan tingkat pertumbuhan angkatan kerja paska krisis (2000-2006), dengan formula berikut ini:
LFt +1 = LFt (1 + i ) t LF adalah jumlah angkatan kerja, i adalah tingkat pertumbuhan tahunan LF. Berdasarkan data Sakernas yan g sesungguhnya untuk periode 2000-2006, kami menemukan bahwa nilai i adalah 0,018, yang berarti bahwa tingkat pertumbuhan angkatan kerja tahunan adalah 1,8%. Maka, jumlah angkatan kerja untuk tahun berikut dapat dihitung. Kemudian, jumlah pengangguran adalah selisih antara jumlah angkatan kerja (nilai yang terproyeksi diambil dari (b)) dan total pekerjaan (nilai proyeksi berdasarkan (a)). Dengan membagi jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja, kami mendapatkan proyeksi tingkat pengangguran. Hasil proyeksi 1: Apa yang akan menjadi dampak pekerjaan jika kinerja pertumbuhan saat ini dapat dipertahankan hingga 2009? Berdasarkan pada Tabel 17, menurut skenario ini, tingkat pengangguran di Indonesia diproyeksikan berada pada 7,3% hingga 2009.
83
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Tabel 19: Proyeksi Pengangguran Menggunakan Tingkat Pertumbuhan Saat Ini Pertumbuhan Elastisitas Sektor Ketenagakerjaan Aktual PDB 04-06 1.Pertanian 0.68 2.8 2.Pertambangan 0.23 2.9 3.Manufaktur 0.12 4.6 4.Konstruksi 0.63 8.2 5.Perdagangan 0.81 7.3 6.Transportasi 0.48 13.3 7.Keuangan 0.67 6.2 8.Jasa lainnya 0.17 5.6 Semua sektor 5.6
Aktual (Mn) E '06 40.1 1.2 11.9 4.7 19.2 5.7 1.3 11.4
1)
Angkatan kerja Ketenagakerjaan- total Pengangguran - total Pengangguran - % 1)
106.4 95.5 10.9 10.3
Proyeksi (Mn) E '07 E '08 40.9 41.7 1.2 1.2 12.0 12.0 4.9 5.2 20.3 21.5 6.0 6.4 1.4 1.5 11.5 11.6
108.3 98.2 10.1 9.3
110.3 101.1 9.2 8.3
E '09 42.5 1.2 12.1 5.5 22.8 6.8 1.5 11.7
112.2 104.1 8.2 7.3
Proyeksi untuk angkatan kerja didasarkan pada tingkat pertumbuhan angkatan kerja tahunan pada 1,8% selama 2000-06.
Hasil proyeksi 2: Jika Indonesia ingin mencapai tingkat pengangguran 5,1% yang diinginkan di 2009, berapa tingkat pertumbuhan yang diperlukan untuk keseluruhan ekonomi dan bagaimana tingkat pertumbuhan keseluruhan yang dibutuhkan tersebut diterjemahkan dalam tingkat pertumbuhan sektoral? Berdasarkan Tabel 20, untuk mencapai target tingkat pengangguran 5,1% di 2009, keseluruhan ekonomi perlu tumbuh 7,2% per tahun dan tingkat pertumbuhan yang dibutuhkan untuk tiap sektor ekonomi tersaji dalam kolom 4. Tabel 20: Tingkat Pertumbuhan yang Dibutuhkan untuk Mencapai Tingkat Pengangguran 5,1% di 2009 Sektor 1. Pertanian 2. Pertambangan 3. Manufaktur 4. Konstruksi 5. Perdagangan 6.Transportasi 7. Keuangan 8. Jasa lainnya Semua sektor Ketenagakerjaan- total Pengangguran - total Pengangguran - % 1) Angkatan kerja 1)
84
Elastisitas Pertumbuhan Required Ketenagakerjaan Aktual PDB 20-06 GDP growth 3.6 0.68 2.8 3.7 0.23 2.9 5.9 0.12 4.6 10.5 0.63 8.2 9.3 0.81 7.3 17.0 0.48 13.3 7.9 0.67 6.2 7.2 0.17 5.6 5.6 7.2
Aktual (Mn) E '06 40.1 1.2 11.9 4.7 19.2 5.7 1.3 11.4
106.4 95.5 10.9 10.3
Proyeksi (Mn) E '07 E '08 41.1 42.1 1.2 1.2 12.0 12.1 5.0 5.3 20.7 22.2 6.1 6.6 1.4 1.5 11.5 11.6
99.0 9.3 8.6 108.3
102.7 7.6 6.9 110.3
E '09 43.2 1.2 12.1 5.7 23.9 7.2 1.6 11.8
106.6 5.7 5.1 112.2
Proyeksi angkatan kerja didasarkan pada tingkat pertumbuhan rata-rata angkatan kerja sebesar 1,8% selama 2000-06.
Box 5: Pertumbuhan Pekerjaan & Produktivitas: Apakah elastisitas pekerjaan adalah jawabnya? Elastisitas pekerjaan, e = (%ΔE / %ΔY) = (ΔE / ΔY) ( v / Ê) = (1/MP) (AP) = AP/MP
II Kisaran Produksi yang Mungkin
I
III
e<1
e>1
L0
L* e=1
MP
AP
Antara L0 dan L*, pekerjaan meningkat sejalan dengan peningkatan dalam elastisitas pekerjaan dan bersamaan dengan peningkatan dalam AP meskipun dengan tingkat yang lebih lambat. Namun setelah L*, elastisitas pekerjaan ada dalam kelebihan persatuan, namun AP menurun sejalan dengan peningkatan pekerjaan. Jadi L* menentukan batas ekspansi pekerjaan melalui peningkatan elastisitas pekerjaan. Ekspansi pekerjaan di luar E* harus datang dari pertumbuhan yang digerakkan oleh TFP, atau upgrading teknologi. Hal ini kedengaran paradoks karena teknologi biasanya dianggap menggantikan pekerja. Upgrading teknologi atau pertumbuhan yang digerakkan oleh TFP memindahkan fungsi produksi ke atas. Jadi, baik MP dan AP akan naik, memindahkan batas ekspansi pekerjaan (L*) ke kanan seperti ditunjukkan dengan garis putus-putus dalam gambar di atas. Yang menarik, pada tiap tingkatan pekerjaan, elastisitas pekerjaan paska kemajuan teknologi adalah lebih rendah daripada kemajuan sebelum teknologi. Yakni, pekerjaan dapat ditingkatkan bahkan ketika elastisitas pekerjaan menurun jika ada pertumbuhan TFP. Namun apakah pertumbuhan TFP akan cukup tinggi untuk menyerap peningkatan angkatan kerja dan juga mereka yang kehilangan pekerjaan karena kurang keterampilan untuk melakukan kegiatan yang baru? Jawabannya akan cenderung tidak, karena catatan litbang yang ada dan kualiatas pendidikan di Indonesia yang buruk.
85
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Audit Kebijakan Latihan simulasi mengindikasikan bahwa untuk mencapai target pengangguran, ekonomi perlu tumbuh lebih dari 7%, tingkat yang dialami selama era sebelum krisis. Karena keterbatasan pertumbuhan yang digerakkan oleh faktor melalui akumulasi dan kapabilitas teknologi Indonesia yang terbatas, kelihatannya tidak mungkin bahwa pertumbuhan akan melebihi tingkat sekarang yang 5-6%. Tingkat pertumbuhan yang diramalkan oleh Bank Dunia adalah 6,3% untuk 2007 dan 6,4% untuk 2008. Jadi, pemerintah perlu mengambil pendekatan aktivis yang lebih dan bukannya hanya tergantung pada pertumbuhan untuk penciptaan pekerjaan. Bagian ini menawarkan catatan singkat dari beragam inisiatif kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia.
Kebijakan Makro ekonomi Diskusi ini menawarkan catatan singkat akan kebijakan moneter dan fiskal serta implikasinya bagi penciptaan pekerjaan. Gambar 19 memberikan perspektif sejarah dari hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Seperti dapat dilihat, inflasi dan pertumbuhan ekonomi saling berhubungan secara negatif hanya ketika tingkat inflasi luar biasa tinggi seperti selama krisis ekonomi 199798. Ekonomi tumbuh rata-rata 7% bahkan ketika tingkat inflasi sekitar 10% per tahun. Gambar 19: Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (1980-2006) 90 80 70 60 50
%
40 30 20 10
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
-10
1980
0
-20 INF
Pertumbuhan Riil PDB
Seseorang dapat membuat dua pengamatan tentang tingkat suku bunga BI sekarang berdasarkan kebijakan penargetan inflasi. Pertama, di kebanyakan tahun BI gagal untuk target inflasinya. Yakni, instrument suku bunganya tidak cocok untuk jenis inflasi yang dimiliki Indonesia.72 Kedua, dalam upaya mencapai targetnya dengan instrumen yang tidak efektif, BI harus mempertahankan rezim suku bunga tinggi. Suku bunga tinggi tidak hanya memengaruhi biaya modal secara langsung, tetapi juga mendorong bank-bank komersil untuk menanamkan dananya dalam obligasi BI yang aman (SBI) dan bukannya meminjamkannya kepada bisnis. Menariknya tingkat SBI bertanggung jawab atas rendahnya rasio pinjaman-deposit (LDR), yang 50% di tahun 2004. Meskipun sejak saat itu LDR meningkat, angkanya masih rendah yakni 63,6%.73 72 Dalam update November 2007 (hal 11), Bank Dunia mencatat, “Seperti banyak…negara-negara lain, harga komoditas yang lebih tinggi telah mendorong naik harga makanan dan inflasi konsumer.” Jadi, kelihatannya inflasi di Indonesia memiliki elemen dorongan biaya yang kuat.
86
Jadi, suku bunga berdasarkan kebijakan penargetan inflasi kelihatan lebih merugikan iklim investasi daripada inflasi itu sendiri, khususnya untuk UKM yang padat karya yang umumnya sangat tergantung pada pembiayaan dari bank baik untuk modal lancar maupun ekspansinya. Kebijakan suku bunga tinggi juga mendorong masuknya modal dan dengan begitu mendorong nilai tukar naik yang merugikan sektor ekspor. Jadi, bisa dikatakan bahwa target inflasi yang lebih santai konsisten dengan pengalaman sejarah Indonesia diperlukan untuk menyerap tumbuhnya angkatan kerja. Lebih jauh lagi, kebijakan suku bunga yang tinggi untuk memberantas inflasi jenis pendorong biaya (utamanya karena harga makanan yang meninggi) secara tidak proporsional memengaruhi kaum miskin dalam populasi. Pertama, kebanyakan orang miskin adalah penghutang murni dan karenanya pembayaran bunga yang lebih tinggi atas hutang-hutangnya mendorong mereka untuk mengurangi pengeluaran atas kebutuhan penting yang lain seperti kesehatan dan pendidikan. Kedua, sektor UKM di mana kebanyakan orang miskin yang tidak terampil bekerja, merespon pada harga yang lebih tinggi dari pinjaman dengan cara menurunkan jumlah pekerjaan atau dengan mengurangi biaya upah. Dalam kasus manapun, pekerja tidak terampil yang miskin berada di posisi yang memburuk. Kebijakan fiskal juga selama ini konservatif. Segera setelah krisis, hutang pemerintah meningkat dramatis karena rekapitalisasi bank, dan hal ini membatasi kemampuan pemerintah untuk mendanai infrastruktur. Jadi, Indonesia mengalami kerusakan yang pesat dari infrastrukturnya yang kini diidentifikasi sebagai salah satu faktor teratas yang memengaruhi iklim investasi. Dalam tahun-tahun belakangan, situasi fiskal telah membaik sejalan dengan penurunan beban hutang pemerintah dari yang tertinggi hampir mendekati 80% di tahun 2000 menjadi sekitar 35% PDB di 2006. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk melonggarkan kebijakan fiskalnya sedikit; namun defisit anggaran waktu itu kurang dari satu persen PDB (0,5% di 2005 dan 0,9% PDB di 2006). Defisit diproyeksikan untuk meningkat menjadi 1,5% PDB di tahun 2007. Peningkatan yang diproyeksikan dalam defisit anggaran adalah karena keputusan pemerintah untuk menambah proyek infrastruktur besar yang tidak hanya akan menciptakan lapangan kerja, tetapi juga diharapkan memperbaiki iklim investasi. Seseorang dapat mengatakan bahwa karena uduk masalah dan perlunya penciptaan lapangan kerja melalui investasi infrastruktur publik, kedudukan fiskal tidaklah terlalu konservatif. Namun, karena faktorfaktor kelembagaan, seperti tidak sinkronnya proses anggaran dan siklus pengeluaran antara pemerintah pusat dan daerah, bahkan defisit anggaran yang kecil pun tetap tidak terwujud. Kita dapat juga menunjuk bahwa dalam usaha menyeimbangkan anggaran, pemerintah terlalu terfokus pada pemotongan anggaran. Padahal seharusnya pemerintah lebih terfokus pada peningkatan pendapatan melalui cara-cara pengumpulan pajak yang inovatif. Pajak-PDB Indonesia tergolong cukup rendah dibandingkan negara-negara ASEAN. Keseluruhan dampak dari kedudukan kebijakan makro ekonomi yang terlalu berhati-hati adalah terhambatnya pertumbuhan komponen pengeluaran agregat. Hal ini tercermin dalam surplus di current account dari balance of payments yang mencapai 9,9 milyar dollar AS di tahun 2006.74 Tambahan lagi pada surplus current account adalah surplus capital account yang dipancing oleh kebijakan suku bunga tinggi. Jadi, cadangan devisa negara meningkat hingga 50% sejak pertengahan 2005 mencapai 52,9 milyar dollar AS di akhir September 2007.75 Surplus dalam keseluruhan balance of payments menyebabkan apresiasi riil rupiah yang cukup besar yang mengikis daya saing Indonesia dalam ekspor padat karya (Gambar 20).
73 World Bank, ibid, hal 17. 74 Ini juga dikarenakan tingginya harga ekspor komoditas. 75 Akumulasi cadangan terjadi meskipun terjadi pembayaran lebih awal sebesar 7 milyar dollar AS kepada IMF di tahun 2006.
87
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Gambar 20: Nilai Tukar Efektif (Index 2005 = 100)
Sumber: Bank Dunia, Indonesia: Economic and Social Update, November, 2007, Gambar 8
Kesimpulannya, kedudukan kebijakan makro ekonomi selama ini sangat tidak kondusif untuk sektor riil ekonomi. Kami percaya bahwa kebijakan makro ekonomi seharusnya tidak semata ditujukan pada stabilitas variabel-variabel nominal seperti inflasi, defisit anggaran dan nilai tukar nominal. Kebijakan-kebijakan makro ekonomi juga harus ditujukan pada sasaran-sasaran nyata, seperti pekerjaan dan pengurangan kemiskinan. Hal ini karena, seperti telah ditunjukkan oleh pengalaman, stabilitas nominal variabel-variabel makro mungkin diperlukan tetapi tidaklah cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kelihatannya pemerintah telah menyadari hal ini dan telah mengambil sejumlah program di tahuntahun terkini untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini termasuk reformasi kebijakan dan kelembagaan, kredit tersubsidi untuk UKM serta diversifikasi pertanian (khususnya perkebunan), perluasan nasional Program Pembangunan Kecamatan dan program-program spesifik untuk penciptaan pekerjaan untuk kaum muda. Dalam sisa diskusi ini, kami akan menyoroti fitur-fitur yang menonjol dari sejumlah program ini.
Memperbaiki Iklim Investasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sedang bekerja memperbaiki iklim investasi menyusul instruksi Presiden No. 6 tahun 2007 tentang percepatan pembangunan sektor riil dan pemberdayaan perusahaan mikro dan UKM. Instruksi presiden mencakup 4 kategori kebijakan:
Perbaikan iklim investasi (50 tindakan/hasil),
Reformasi sektor finansial (40 tindakan/hasil),
Percepatan pembangunan infrastruktur (44 tindakan/hasil) serta
Pemberdayaan perusahaan berskala mikro, kecil dan menengah (34 tindakan/hasil)
UU investasi yang baru tahun 2007 memungkinkan:
Kepemilikan nama atas tanah yang lebih panjang – berkisar dari 70 tahun hingga 95 tahun (sebelumnya antara 25-35 tahun)
88
Hak penanaman di tanah milik pemerintah yang bisa dipergunakan sebagai jaminan kredit
Kesetaraan yang lebih besar antara investasi dari luar dan dalam negeri
Pembaharuan daftar investasi yang negatif
Pengurangan birokrasi yang berbelit (red tape)
Pembaharuan peraturan daerah yang tumpang tindih, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan
Insentif-insentif fiskal – pengecualian pajak untuk mesin-mesin yang diimpor; pengurangan pajak dalam perusahaan
Investasi infrastruktur publik
Anggaran infrastruktur nasional: Rp. 29 trilyun di tahun 2006; Rp 36 trilyun di 2007.
Peningkatan dua kali lipat anggaran infrastruktur 2008.
Konsentrasi pada jalan, bendungan, dan sebagainya. serta infrastruktur kesehatan dan pendidikan (gedung-gedung sekolah dan pusat kesehatan) yang padat karya.
Elastisitas pekerjaan yang diestimasikan dalam sektor konstruksi: penciptaan pekerjaan langsung sebesar 27.000 – 28.000 pekerjaan terampil & semi-terampil per Rp. 1 trilyun pengeluaran.
Wakil Presiden bertanggung jawab atas pembangunan ekonomi dan kantornya kini telah mengambil 17 proyek-proyek pembangunan strategis seperti jalan tol trans Jawa, jalan tol trans Sumatera – semuanya tidak padat karya. Namun ada juga proyek-proyek padat karya melibatkan pembangunan pertanian, khususnya perkebunan.
Kebijakan Industri dan Perdagangan Departemen Perdagangan telah mengadopsi program 10 + 10 + 3 untuk promosi
10 yang pertama: Ikan segar, kopi, minyak sawit, cokelat, karet & produk karet, tekstil & garmen, alas kaki, elektronik, komponen otomotif dan furnitur. Ini didasarkan pada nilai ekspor mereka saat ini.
10 yang kedua (potensial): kerajinan tangan, ikan & produk ikan, obat-obatan jamu, kulit & produk kulit, makanan yang sudah diproses, perhiasan, minyak esensial, rempah-rempah, alat kantor nonkertas, peralatan dan perangkat medis.
3 yang terakhir (kreatif): IT, produk desain & budaya. Pada 4 November 2007, sebagai bagian dari Zona Ekonomi Khusus, pemerintah mengumumkan
pembangunan tiga “Zona Ekonomi Bebas” di tiga pulau - Batam, Bintan dan Karimun. Pemerintah memiliki kebijakan industrial aktif yang dirancang dengan konsultasi bersama pemerintah daerah dan Kamar Dagang (KADIN).
Pemerintah daerah mengidenfikasi industri-industri yang potensial berdasarkan sumber daya alam daerah mereka. Pemerintah pusat menyediakan bantuan. Kesemuanya sebagian besar adalah UKM dan padat karya.
Dari 332 industri, yang masuk ke daftar pendek pemerintah 32 dan dari jumlah itu dipilih satu klaster terdiri dari 10 sebagai industri prioritas. Industri prioritas adalah: agro industri, industri telematik, industri transport, industri materi dasar, industri barang-barang modal, industri komponen, industri barang konsumer, sumber daya alam yang dapat diperbarui, sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui
Industri-industri prioritas ini akan menikmati sejumlah proteksi dan tetap berada di luar beragam wilayah perdagangan bebas (FTA).
Kebijakan industrial menekankan kaitan dan sinergi antara perusahaan besar dan UKM.
Ada pula fokus pada litbang
Sektor industrial diharapkan tumbuh hingga 8,56% per tahun selama 2005-2009.
Peranan industri non migas diharapkan meningkat menjadi 26% dari PDB.
89
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Pertumbuhan industri yang diharapkan selama 2010-2025 adalah 10% per tahun, menghasilkan peningkatan bagian PDBnya menjadi 35%.
Diharapkan untuk menyerap 2.635.690 pekerja atau 13,6% dari angkatan kerja, yang lebih tinggi daripada pekerjaan yang diproyeksikan sebesar 2,4 juta dalam Rencana Ketenagakerjaan Nasional 2004-2009.
Pembangunan UKM Di tahun 2005 UKM berjumlah 3,28 juta unit; menyerap 8,4 juta pekerja; barang ekspor bernilai 8,5 milyar dollar AS, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 7,5%. Targetnya adalah untuk memiliki 3,95 juta unit sampai 2009 dengan pekerjaan 10,3 juta.
Presiden meluncurkan pada 5 November 2007, program UKM dan perusahaan mikro dengan merekapitalisasi ASKRINDO dan SPU.
70% dari pinjaman mereka untuk UKM dan perusahaan mikro dijamin oleh pemerintah.
Premi yang dijamin dimasukkan dalam anggaran pemerintah.
Tingkat pinjaman maksimum adalah 16% yang berarti lebih tinggi sedikit dari tingkat untuk korporasi (sekitar 13%), namun masih lebih sedikit dibandingkan tingkat keuangan mikro di daerah (25-30%).
Sekarang ada kredit macet sekitar Rp 17 trilyun melibatkan 1,40,000 usaha UKM dan mikro – hasil langsung dari krisis. ASKRINDO & SPU akan menebus mereka. Jika 50 % dari perusahaan-perusahaan ini hidup lagi karena program tebusan itu dan jika tiap perusahaan mempekerjakan empat orang maka akan ada 280.000 (=70.000 x 4) pekerjaan baru. Maka akan ada lebih banyak pekerjaan baru melalui efek penggandaan yang biasa..
Program penciptaan pekerjaan yang spesifik Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) PNPM adalah perluasan nasional dari program pembangunan komunitas/desa, dikenal sebagai Program Pembangunan Kecamatan - Kecamatan Development Program (KDP). PNPM diperkenalkan pada bulan Agustus 2006 dengan pemerintah mengalokasikan Rp. 42 trilyun (sekitar 4,5 milyar dollar AS). Tujuannya adalah untuk mengurangi kemiskinan hingga 8,2% dan pengangguran hingga 5,1% sampai 2009. Pengujian independent dari program ini oleh Gustav Papanek (2007) menyimpulkan bahwa meskipun PNPM penting, kontribusinya untuk memecahkan masalah-masalah pengangguran dan kemiskinan terbatas karena:
Program ini menyediakan pekerjaan dan penghasilan pelengkap, bukan pekerjaan reguler penuh waktu. Paling bagus program ini akan menyediakan 60 hari kerja.
Program ini menyediakan sedikit saja pekerjaan untuk pekerja professional, teknis, atau kelas menengah. Hampir semua pekerjaannya adalah untuk pekerja tidak terampil atau rendah keterampilan.
Program ini tidak dapat membantu keluarga yang tidak punya siapapun di dalam angkatan kerja.
Program pekerjaan untuk Kaum Muda - “Prospek Mandiri”
Departemen Koperasi dan UKM bertanggung jawab atas program penciptaan wirausaha, “Prospek Mandiri”.
Program ini dimaksudkan untuk lulusan universitas muda yang sudah menganggur setidaknya satu tahun
Merekrut mereka melalui proses seleksi ujian tertulis dan wawancara untuk mengetahui perilaku mereka terhadap usaha dan pekerjaan wirausaha.
Para lulusan yang terekrut akan dikelompokkan menjadi 20 berdasarkan ketertarikan mereka dalam usaha dan wilayah (dari asal mereka dan di mana mereka tinggal)
90
Membantu mereka mengembangkan rencana usaha berdasarkan pengetahuan mereka akan pasar
setempat – pemerintah daerah juga ambil bagian dalam mengidentifikasi peluang usaha.
Memberikan benih dana sebesar Rp 200 juta – pinjaman lunak.
Namun masalahnya adalah:
Tingkah laku oportunis – tidak setia 100%; masih mencari pekerjaan lain atau lihat-lihat.
Berharap untuk akhirnya direkrut sebagai pegawai negeri
Mengharapkan gaji berkala
Kewiraswastaan Pemuda dan Industri Olah Raga
Kementerian Negara Pemuda Olah Raga bertanggung jawab atas program ini.
Bekerjasama dengan Departemen Koperasi dan UKM yang bertanggung jawab atas “Prospek Mandiri”
Mendukung orang muda menganggur untuk mendirikan usaha di daerahnya – desa dan kampung – berdasarkan sumber daya lokal yang tersedia.
Memfasilitasi akses pada dana
Membantu memasarkan produk
Membantu menghubungkan dengan kongsi pembeli besar – domestik dan internasional.
Sejauh ini telah berhasil mencapai pengakuan dari badan-badan olahraga internasional seperti FIFA untuk menyuplai barang-barang sepak bola dan olahraga.
Mengoperasikan Pusat-pusat Kewiraswastaan Pemuda dan Pusat-pusat Industri Olahraga di Desa
12 desa telah memiliki pusat-pusat industri olahraga yang mendukung usaha-usaha mikro lokal untuk barang-barang olahraga yang padat karya. Misalnya 2.500 orang terlibat dalam pembuatan bola sepak dengan menggunakan tangan untuk FIFA.
Memfokuskan diri pada desa-desa dengan pengangguran yang tinggi untuk mendirikan kompleks industri olahraga. Targetnya adalah 1 juta pekerjaan untuk kaum muda sampai 2009.
Rencana Aksi Pekerjaan Kaum Muda
Bappenas bertanggung jawab
Terhubung dengan MDG
Program pasar kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi memiliki program 3 in 1 - (a) Pelatihan, (b) Sertifikasi dan (c) Penempatan.
Revitalisasi pusat-pusat pelatihan kejuruan
Jasa informasi dan fasilitasi penempatan pekerjaan dalam pusat-pusat pelatihan – sejauh ini 2 Kios Jasa Pekerjaan (3 in 1) – satu di Cepas dan satu di Bandung
Ada 152 pusat-pusat pelatihan (BLK) di bawah pemerintah daerah dan 11 di bawah pemerintah pusat. o 85% dari pusat-pusat pelatihan kejuruan di daerah sudah kuno – o Kurang fasilitas dan anggaran o Struktur dan peralatan rusak; o Tidak dikelola dengan tepat o Tidak didasarkan atas kompetensi
Tidak ada perintah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; hanya kerjasama teknis untuk revitalisasi – pemerintah pusat (Depnakertrans) sudah memiliki 3000 instruktur terlatih untuk mendukung rekan-rekan di daerah.
91
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Subsidi pelatihan sebesar Rp. 30 milyar untuk penyedia pelatihan swasta asalkan mereka memiliki pusat pelatihan dan jasa penempatan – domestik/internasional
Badan sertifikasi independen sejak 2005 yang terdiri dari 10 anggota dari pemerintah dan 15 anggota dari sektor swasta.
12 kategori klasifikasi kompetensi.
Jumlah data tentang hasil pasar kerja yang dilatih.
Tidak ada program tertentu untuk para pekerja yang diPHK.
Tetapi Departemen Pendidikan memilki program untuk pekerja yang dikurangi jam kerjanya, yang disebut Re-tooling. Program ini diselenggarakan bersama dengan Universitas Indonesia
Kesimpulan Seperti bisa dilihat pemerintah telah mengadopsi program-program yang dimaksudkan untuk mengurangi pengangguran dan khususnya pengangguran kaum muda. Program-program ini diselenggarakan oleh lebih dari satu departemen. Hal ini menciptakan masalah koordinasi dan kadang-kadang perseteruan antardepartemen. Hasilnya, dapat terjadi duplikasi. Meskipun beberapa program, seperti yang dijalankan oleh Departemen Kewiraswastaan Pemuda dan Industri Olahraga, kelihatan cukup berhasil, tidak ada penaksiran independen tentang efektivitas dan pelacakan hasil-hasil pasar kerja dari beragam program tersebut.
92
Referensi (seperti terkait dengan appendix ini saja): Aaron, C., Kenward, L, et al (2004), Strategic Approaches to Job Creation and Employment in Indonesia, Report for the USAID, Jakarta Aswicahyono, H. and I. Maider (2003), ‘Real Sector in Indonesia: Crisis-Related and longer Term issues’, The Indonesian Quarterly, Vol. 31(2): 180-96. Bappenas (2003), Labor Policy Review, National Development Planning Agency, Jakarta. Bird, K. and C. Manning (2002), ‘The Impact of Minimum Wages on Employment and Earnings in the Informal Sector,’ Paper Presented at the 8th East Asian Economic Association, Kuala Lumpur, November 4-5. Bird, K. and C. Manning (2003), ‘Economic Reform, Labor Markets and Poverty: The Indonesian Experience’, in Trade Policy, Growth and Poverty in Asian Developing Countries, edited by Routledge Press, London. Islam, I. and S. Nazara (2000), ‘Estimating Employment Elasticity for the Indonesian Economy”, International Labour Organization, Jakarta. Manning, C. (1998), Indonesian Labour in Transition: An East Asian Success Story? Trade and Development Series, Cambridge University Press, Cambridge. Manning, C. (2000), ‘Labour Market Adjustments to Indonesia Economic Crisis: Contexts, Trends, and Implications,’ Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 36(1): 105-36 Manning, C. (2003), ‘Labor Policy and Employment Creation: An Emerging Crisis,’ Technical Report prepared by Bappenas under USAID Contract #497-C-00-98-00045-00. SMERU (2001), ‘The Impact of Minimum Wages in the Formal Urban Sector’, Jakarta. Suryahadi, A, Chen, P., and R. Tyers (2001), ‘Openness, Technological Change and Labor Demand in Pre-Crisis Indonesia’, Asian Economic Journal, Vol. 15(3): 239-274. Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira and S. Sumarto, (2003), ‘Minimum Wage Policy and its Impact on Employment in the Urban Formal Sector’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(1): 29-50. Suhaimi, U and Y. Jammal (2001), ‘Measuring Open Unemployment in Sakernas,’ Report #35 and Statistical Paper #7 in Statistical Assistance to the Government of Indonesia under USAID Contract No. PCE-I-0099-00009-00.
93
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Appendix 1: Perubahan Konsep Pengangguran di Indonesia
Tahun
Definisi Pengangguran
1986-1993
Secara aktif mencari pekerjaan dalam minggu sebelum survei – hanya satu minggu
1994-2000
U1
Secara aktif mencari pekerjaan, terlepas dari kapan itu terjadi – bisa lebih dari satu minggu
2001 -
Notasi
U2
(a) secara aktif mencari pekerjaan, (b) TIDAK secara aktif mencari pekerjaan, (c) punya pekerjaan yang akan dimulai nanti, (d) menyiapkan usaha
U3
Definisi Populasi Usia Kerja Pra- 1998
Orang10 +
LF1
1998-
Orang 15 +
LF2
Secara aritmatika, U3 > U2 > U1 LF1 > LF 2 Tingkat pengangguran (u) = U/ LF 1986-1993: u1 = U1/LF1 1994-2000: u2 = U2/ LF1 Karena U2 > U1, u2 > u1 2001-sekarang: u3 = U3/LF2 Karena U3 > U2 & LF2 < LF1, u3 adalah jauh lebih besar daripada u2
94