Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized
56348 v2
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia Menuju terciptanya pekerjaan yang lebih baik dan jaminan perlindungan bagi para pekerja
KANTOR BANK DUNIA, JAKARTA Gedung Bursa Efek Indonesia Tower II/Lantai12 Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12910 Tel: (6221) 5299-3000 Faks: (6221) 5299-3111 Situs web: www.worldbank.org/id BANK DUNIA 1818 H Street N.W. Washington, D.C. 20433, U.S.A. Tel: (202) 458-1876 Fax: (202) 522-1557/1560 Situs web: www.worldbank.org Dicetak Juni 2010 Desain sampul dan buku: Hasbi Aisuke (
[email protected]) Foto sampul dan bab oleh: Copyright © JiwaFoto Agency di halaman 73, 131, dan 173 (Sinartus Sosrodjojo), halaman 43 dan 117 (Josh Estey), halaman 143 (Roy Rubianto), dan halaman 101 (Toto Santiko Budi). Foto di halaman 27 dan 55 oleh Josh Estey, dan telah diizinkan untuk digunakan oleh Mercy Corps. Foto di halaman 159 dan 11 (Kristen Thompson), serta halaman 89 berasal dari koleksi foto MDF/JRS Bank Dunia. Semua hak dilindungi undang-undang. Laporan Lapangan Kerja Indonesia dibuat oleh staf Bank Dunia. Temuan, penafsiran, dan kesimpulan yang disampaikan di dalamnya tidak mencerminkan pandangan Dewan Direksi Bank Dunia ataupun Pemerintah yang diwakili Bank Dunia. Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data dalam laporan ini. Perbatasan, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditampilkan pada peta apa pun dalam laporan ini tidak menyiratkan penilaian apa pun dari Bank Dunia mengenai status hukum teritori mana pun, atau dukungan atau penerimaan terhadap perbatasan tersebut. Jika ada pertanyaan apa pun mengenai laporan ini, silakan hubungi Vivi Alatas (
[email protected]), David Newhouse (dnewhouse@ worldbank.org), dan Edgar Janz (
[email protected]).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia Menuju terciptanya pekerjaan yang lebih baik dan jaminan perlindungan bagi para pekerja
Kata Pengantar
Kata Pengantar Selama empat puluh tahun terakhir, Indonesia telah menikmati manfaat demografis seiring pertumbuhan populasi usia kerja yang lebih cepat daripada kenaikan populasi anak-anak dan lanjut usia. Hal ini merupakan peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan, asalkan seiring dengan diciptakan pekerjaan yang lebih banyak – dan lebih baik – untuk mempekerjakan angkatan kerja yang akan bertambah kira-kira 20 juta orang dalam sepuluh tahun berikutnya. Sayangnya, peluang demografis ini akan tertutup dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan karena pertumbuhan populasi lanjut usia mulai melampaui pertumbuhan angkatan kerja, sehingga menambah beban terhadap jaminan penghasilan para pekerja. Inilah sebabnya mengapa sepuluh tahun ke depan adalah masa yang kritis bagi Indonesia untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan memanfaatkan sebaik-baiknya peluang ini. Saat ini, pembuat kebijakan di Indonesia menghadapi tantangan strategis dalam mengidentifikasi kebijakan dan program yang dapat mendorong penciptaan pekerjaan yang baik dan secara bersamaan memastikan para pekerja memperoleh perlindungan yang lebih baik terhadap berbagai risiko yang mengancam jaminan penghasilan mereka. Keputusan mengenai kebijakan ketenagakerjaan sangat sulit diambil karena keputusan ini berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan pekerja, baik formal maupun informal, dan terhadap perusahaan yang menjadi mesin utama pertumbuhan lapangan kerja. Persaingan di antara berbagai kepentingan yang berbeda tersebut turut berperan menimbulkan kebuntuan yang saat ini menjebak pekerja dan perusahaan dalam keadaan “sama-sama rugi”. Data empiris yang kuat dapat memberikan masukan bagi perdebatan di seputar reformasi ketenagakerjaan. Laporan Lapangan Kerja Indonesia, yang disusun oleh Bank Dunia melalui kerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan mitra peneliti lokal, merupakan kajian yang paling lengkap dalam sepuluh tahun terakhir mengenai pasar tenaga kerja di Indonesia. Laporan ini menggunakan data terkini untuk mengkaji kinerja pasar tenaga kerja, perubahan pasokan pekerja, dan pengaruh dari kebijakan ketenagakerjaan. Berbagai temuan yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi arah kebijakan masa depan, dan membantu dalam pengambilan keputusan berbasis pembuktian. Untuk mendorong pertumbuhan pekerjaan yang lebih baik, pendekatan dari berbagai segi sangat diperlukan. Laporan ini merekomendasikan beberapa reformasi penting terhadap program dan kebijakan ketenagakerjaan. Tetapi di samping itu, yang tidak kalah penting adalah reformasi untuk mempercepat penciptaan lapangan kerja melalui perbaikan infrastruktur dan iklim investasi, bersamaan dengan reformasi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Keberhasilan akan bergantung pada kemitraan antara pemerintah, asosiasi pemberi kerja, serikat pekerja, dan kelompok masyarakat madani lainnya, dengan dukungan dari lembaga penelitian di Indonesia dan mitra pembangunan internasional. Kami berharap dengan sepenuh hati bahwa laporan ini akan membantu membangkitkan kembali dialog mengenai penciptaan lapangan kerja dan jaminan bagi pekerja. Dengan belajar dari pengalaman serta praktik-praktik terbaik internasional, Indonesia akan lebih siap mencari jalan untuk memperoleh solusi “sama-sama untung” yang dapat mempercepat penciptaan pekerjaan yang lebih baik tanpa mengorbankan perlindungan yang memadai bagi pekerja.
Joachim von Amsberg Direktur Bank Dunia untuk Indonesia
ii
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ucapan Terima Kasih
Ucapan Terima Kasih Laporan Lapangan Kerja Indonesia dibuat oleh Poverty Team, sebuah unit di bawah kelompok Poverty Reduction and Economic Management (PREM) dari kantor Bank Dunia Jakarta. Tim yang dipimpin Vivi Alatas ini memberikan nasihat teknis dan kebijakan berdasarkan riset empiris dan analisis yang mendalam kepada Pemerintah Indonesia guna membantu tercapainya sasaran pengurangan kemiskinan nasional. Dukungan yang sangat bernilai bagi pembuatan laporan ini telah diberikan oleh Bank Dunia dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia. Laporan ini disusun oleh tim inti yang dipimpin oleh Vivi Alatas (Ekonom Senior, EASPR) dan David Newhouse (Ekonom Ketenagakerjaan, HDNSP). Manajemen proyek harian dipimpin oleh Edgar Janz. Tim penulis yang turut berkontribusi dalam pembuatan laporan ini termasuk: Vivi Alatas, Vera Brusentsev, Emanuela Di Gropello, Edgar Janz, Lina Marliani, David Newhouse, Ari Perdana, Maria Laura Sanchez-Puerta, Kurnya Roesad, Ramya Sundaram, Daniel Suryadarma, dan Wayne Vroman. Milda Irhamni dan Peter Milne turut memberikan kontribusi tambahan. Makalah latar belakang yang sangat bagus juga berkontribusi dalam persiapan pembuatan laporan. Armida Alisjahbana menyusun empat makalah penelitian mengenai undang-undang perlindungan kerja dan fleksibilitas pasar, ketidakcocokan antara pendidikan dan keahlian, pemberian pelatihan oleh sektor swasta dan publik, serta pendidikan kejuruan dan teknis. Hari Nugroho menulis makalah mengenai penyelesaian perselisihan melalui sistem pengadilan hubungan industrial. Makalah oleh Ana Revenga dan Jamele Rigolini, serta makalah oleh Wayne Vroman, mendiskusikan tentang reformasi pembayaran pesangon di Indonesia dan pengalaman internasional. Emanuela Di Gropello dan Berly Martawardaya memberikan temuan awalnya dari publikasi Bank Dunia yang akan datang, yaitu Survei Keahlian Indonesia. Kami juga berterima kasih kepada Sean Granville-Ross dari Mercy Corps yang telah memberikan izin untuk menggunakan kisah dan foto dari buku Nineteen yang bercerita tentang kehidupan pekerja di sektor informal Indonesia. Riset dan analisis data yang sangat bernilai telah diberikan oleh: Peter Brummund, Fitria Fitrani, Milda Irhamni, Lina Marliani, David Newhouse, Ari Perdana, Ririn Salwa Purnamasari, Ramya Sundaram, dan Daniel Suryadarma. Bantuan analisis tambahan juga diberikan oleh: Amri Illma dan Hendratno Tuhiman. Laporan ini semakin disempurnakan berkat masukan yang bernilai dari Kajian Rekanan Sebaya (Peer Review) oleh: Gordon Betcherman (University of Ottawa), Chris Manning (Australia National University), dan Pierella Paci (Manajer Sektor, PREM-GR). Kami juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berbaik hati memberikan masukannya selama pembuatan laporan ini. Dari Pemerintah Indonesia, masukan dan wawasan yang sangat bermanfaat diberikan oleh: Myra Hanartani (Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Rahma Iryanti (Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional), Bambang Widianto (Deputi Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Masyarakat) dan Prasetijono Widjojo (Deputi Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional). Selain itu, kami juga berterima kasih kepada pribadi berikut atas masukannya yang berharga: Wiebe Anema, Shubham Chaudhuri, Dandan Chen, John Giles, Javier Luque, Peter Rosner, William Wallace, dan Matthew Pierre Zurstrassen. Laporan ini mendapatkan manfaat besar dari penyuntingan yang dipimpin oleh Edgar Janz dan dibantu oleh Mia Hyun, Peter Milne, dan Marcellinus Jerry Winata. Bantuan logistik dan produk yang sangat berarti
iii
Ucapan Terima Kasih
juga diberikan oleh Deviana Djalil, Myra Fitrianti, dan Dinni Prihandayani. Kami pun mengucapkan terima kasih kepada Hendrayatna Tafianoto yang telah menerjemahkan laporan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, dan Hasbi Akhir yang telah merancang tata letak laporan akhir. Laporan ini dibuat di bawah panduan umum dari: Vikram Nehru (Direktur Sektor, EASPR), Shubham Chaudhuri (Ekonom Kepala, EASPR) dan William Wallace (Penasihat Senior, EASPR). Panduan strategis dan masukan kunci juga diberikan oleh Joachim von Amsberg, Direktur Negara Bank Dunia untuk Indonesia.
iv
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Daftar Isi
Daftar Isi Kata Pengantar Ucapan Terima Kasih Daftar Isi Singkatan dan Akronim
ii iii v x
Ringkasan Eksekutif I. Menegosiasikan Kesepakatan Besar II. Mengembangkan Strategi Pelatihan Keahlian yang Menyeluruh III. Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja IV. Mendukung Pembuatan Kebijakan Berbasis Bukti
13 16 20 24 27
Bab 1 Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia I. Pendahuluan II. 1990-1997: Bertumbuh Pesat III. 1997-1999: Jatuh dan Bertahan di Tengah Krisis IV. 1999-2003: Pertumbuhan Ekonomi tanpa Peningkatan Lapangan Kerja (Jobless Growth) V. 2003-2007: Pemulihan Lapangan Kerja VI. 2007-08: Tanda-tanda optimisme VII. Kesimpulan
31 32 34 40 42 44 47 47
Bab 2 Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia I. Pendahuluan II. Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan pekerjaan: Membandingkan Indonesia dengan tetangganya di Asia Timur III. Pertumbuhan jobless growth: Memahami lemahnya penciptaan lapangan non-pertanian selepas krisis keuangan 1997 IV. Pemulihan parsial: Mengapa transformasi struktural kembali terjadi, namun dengan laju yang lebih lambat selama 2003-2007? V. Kesimpulan
49 50
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja I. Pendahuluan II. Segmentasi di Sektor Formal III. Sektor Informal III. Kesimpulan
63 65 66 69 80
Bab 4 Peraturan Perekrutan & Pemberhentian I. Pendahuluan II. Kekakuan dalam Peraturan Perekrutan dan Pemberhentian III. Kekakuan Peraturan dan Penciptaan Lapangan Kerja IV. Perlindungan Karyawan V. Rekomendasi
83 85 86 90 92 94
Bab 5 Upah Minimum I. Pendahuluan II. Pendekatan internasional terhadap upah minimum III. Tren upah minimum dan perubahan kebijakan IV. Efek upah minimum terhadap pasar tenaga kerja V. Rekomendasi
52 54 58 61
101 102 103 105 107 113
v
Daftar Isi
Bab 6 Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa I. Pendahuluan II. Serikat Pekerja III. Perundingan Bersama IV. Penyelesaian Sengketa dan Pengadilan Tenaga Kerja V. Sistem P4D/P4P VI. Sistem Penyelesaian Sengketa yang Telah Direformasi VII. Mengkaji Sistem Penyelesaian Sengketa yang telah Direformasi VIII. Rekomendasi
115 116 117 120 121 123 124 127 131
Bab 7 Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian I. Pendahuluan II. Memperbesar Jumlah Pekerja yang Berpendidikan lebih Tinggi III. Premium Upah Pekerja yang Berpendidikan lebih Tinggi IV. Memahami Premium Upah yang Masih Tetap Tinggi V. Mutu Pendidikan & Persoalan Ketidaksesuaian
133 135 135 138 140 142
Bab 8 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian (Bagian I) I. Pendahuluan II. Pendidikan Menengah Atas di Indonesia III. Kebijakan Ekspansi Pendidikan Kejuruan IV. Mengkaji Keberhasilan Lulusan di Pasar Tenaga Kerja V. Rekomendasi
149 150 151 152 155 158
Bab 9 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian(Bagian II) I. Pendahuluan II. Pelatihan di Indonesia III. Program Pelatihan Keahlian IV. Kerangka Kerja Kualifikasi Nasional V. Rekomendasi
163 164 166 168 175 179
Bab 10 Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja I. Pendahuluan II. Mendeteksi Guncangan dan Memahami Bagaimana Guncangan Tersebut Mempengaruhi Pekerja III. Kebijakan dan Program untuk Melindungi Pekerja dari Guncangan IV. Rekomendasi
181 183
Lampiran Referensi
197 235
184 187 194
Gambar Gambar 1: Gambar 2: Gambar 3: Gambar 4: Gambar 5: Gambar 6: Gambar 7: Gambar 8: Gambar 9: Gambar 10:
vi
Komposisi angkatan kerja aktif menurut sektor, 2007 Pangsa lapangan kerja di sektor formal dan non-tani (persen) Tingkat pesangon, 1996-2003 Biaya memberhentikan (dalam gaji mingguan) Penerimaan uang pesangon sesuai laporan pekerja Pekerja yang memenuhi syarat namun melaporkan tidak menerima pesangon (persen) Segmentasi – Distribusi angkatan kerja aktif menurut status pekerjaan Perbandingan upah bulanan (rata-rata log) menurut status pekerjaan Pendaftaran sekolah kejuruan, 1992-2007 Pendaftaran ke sekolah menengah atas menurut jenisnya
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
14 14 16 16 18 18 19 19 20 20
Daftar Isi
Gambar 11: Gambar 12: Gambar 13: Gambar 14: Gambar 15: Gambar 16: Gambar 17: Gambar 18: Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3 Gambar 1.4 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 3.9 Gambar 3.10 Gambar 3.11 Gambar 3.12 Gambar 3.13 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 6.1 Gambar 6.2
Biaya pendidikan kejuruan negeri (Rp) 21 Biaya yang dikeluarkan sendiri untuk pendidikan (Rp) 21 Pilihan jurusan SMK menurut jenis kelamin 22 Pekerja yang lulus SMA atau lebih tinggi, menurut sektor (juta) 22 Upah riil median (Rp) 24 Jobless growth - pangsa pekerjaan non-tani (persen) 24 Upah minimum dan lapangan kerja formal 25 Upah minimum dan ketidakpatuhan 25 Indikator tren tenaga kerja, menurut periode 36 Pangsa lapangan kerja non-pertanian vs. upah karyawan rata-rata 43 Tingkat pertumbuhan pangsa lapangan kerja non-pertanian (persen), 1993-2004 44 Tingkat pertumbuhan pangsa lapangan kerja formal (persen), 2004-2007 46 Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja Non-Tani 51 Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja Non-Tani 51 Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja 51 Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja 51 Pangsa pekerjaan non-pertanian, menurut negara (1990-2004)) 52 Elastisitas lapangan kerja sektor jasa 58 Rata-rata perubahan upah per tahun 58 Elastisitas lapangan kerja sektor jasa di Indonesia 59 Rata-rata perubahan upah per tahun di Indonesia 59 Distribusi pekerja menurut sektor 65 Persentase pekerja yang memiliki usaha sendiri dan pekerja keluarga di berbagai Negara 65 Distribusi pekerja aktif menurut status pekerjaan 66 Rata-rata penghasilan bulanan pekerja menurut status pekerjaan 66 Distribusi karyawan menurut status kontrak 67 Tunjangan non-upah yang diterima sesuai laporan karyawan, menurut status kontrak 67 Perbedaan perkotaan-pedesaan dalam distribusi pekerjaan informal 69 Persentase populasi dalam jenis pekerjaan menurut usia 71 Tingkat penghasilan menurut jenis pekerja (Rp/jam) 72 Status kesejahteraan pekerja informal menurut sektor 72 Akses terhadap asuransi dan pensiun 75 Tingkat ketidakpuasan yang dilaporkan sendiri menurut jenis pekerja (persen) 76 Status saat ini bagi pekerja formal yang telah diberhentikan 79 Indeks kesulitan mempekerjakan dan memberhentikan karyawan, perbandingan berbagai negara 85 Tingkat pesangon, 1996-2003 87 Pajak Perekrutan (dalam gaji mingguan) 87 Peraturan mengenai pesangon dan uang penghargaan masa kerja 89 Penerimaan uang pesangon, sesuai laporan pekerja yang diberhentikan 92 Pekerja yang memenuhi syarat namun melaporkan tidak menerima pesangon (persen) 92 Lamanya FTC, sesuai laporan karyawan 94 Rata-rata upah minimum bulanan dan rata-rata upah penerima gaji (2007 Rp) 105 Upah minimum dan ketidakpatuhan 108 Upah minimum dan lapangan kerja 109 Upah minimum dan lapangan kerja industri 110 Upah minimum dan lapangan kerja formal 111 Ketidakpatuhan terhadap upah minimum 112 Jumlah serikat pekerja di Indonesia (1996-2006) 118 Keanggotaan serikat pekerja menurut negara 119
vii
Daftar Isi
Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5 Gambar 6.6 Gambar 6.7 Gambar 6.8 Gambar 7.1 Gambar 7.2 Gambar 7.3 Gambar 7.4
Jumlah pekerja penerima tunjangan non-upah menurut keanggotaan serikat pekerja Distribusi pekerja menurut ukuran perusahaan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pekerja Melalui P4D/P4P Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial hasil Reformasi Lamanya Waktu Proses Pengadilan di PHI Jakarta (n=100) Hasil keputusan dalam kasus yang diajukan pemberi kerja dan karyawan Investasi pendidikan di negara yang sekawasan Tingkat partisipasi pendidikan tinggi di kawasan (persen) Populasi pekerja menurut tingkat pendidikan Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut jenis kelamin Gambar 7.5 Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut lokasi di perkotaan atau pedesaan Gambar 7.6 Jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut sektor (dalam juta) Gambar 7.7 Apakah persyaratan keahlian di perusahaan Anda telah meningkat dalam 2 tahun terakhir? Gambar 7.8 Apakah persyaratan keahlian di perusahaan Anda masih akan meningkat dalam sepuluh tahun ke depan? Gambar 7.9 Premium upah menurut sektor Gambar 7.10 Skor kinerja matematika dan ilmu pengetahuan (TIMSS) dari berbagai negara Gambar 7.11a Persentase Ketidaksesuaian Pekerjaan Lulusan Universitas, Dibandingkan dengan Keseluruhan Pekerja Gambar 7.11b Persentase Ketidaksesuaian Pekerjaan di antara Lulusan Diploma 1997-2006 Gambar 8.1 Sekolah menengah atas menurut jenisnya Gambar 8.2 Partisipasi ke sekolah menengah atas menurut jenisnya Gambar 8.3 Partisipasi sekolah kejuruan, 1992-2007 Gambar 8.4 Efek pendidikan kejuruan negeri terhadap upah Gambar 8.5 Pilihan jurusan kejuruan Gambar 8.6 Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk pendidikan (Rp) Gambar 8.7 Biaya yang dikeluarkan sendiri untuk pendidikan (Rp) Gambar 9.1 Tingkat pendidikan tertinggi yang pernah diikuti, usia 16-18 menurut kuintil penghasilan Gambar 9.2 Profil peserta pelatihan menurut status pekerjaan Gambar 10.1 Perubahan kuartalan dalam kondisi pasar tenaga kerja dan kesukaran rumah tangga, menurut provinsi Gambar 10.2 Perubahan jam kerja mingguan (kepala rumah tangga) Gambar 10.3 Kesulitan memenuhi biaya konsumsi yang dilaporkan (persentase responden survei)
120 120 125 126 130 136 137 137 139 139 141 142 142 142 143 144 144 152 152 153 157 157 159 159 165 167 185 186 186
Tabel Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 1.3 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 3.1 Tabel 3.2
viii
Indikator tren tenaga kerja, pertumbuhan menurut periode Ringkasan Survei Sakernas Ringkasan Survei IFLS Kinerja dan pertumbuhan upah non-pertanian menurut negara (1999-2003) Pemilahan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia, 1999-2003 Kinerja dan pertumbuhan upah non-pertanian menurut negara (2003-06) Pemilahan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia, 2003-07 Definisi BPS untuk sektor formal dan informal Definisi yang disederhanakan, sektor formal dan informal
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
37 38 39 53 56 59 60 70 70
Daftar Isi
Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.6 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 6.1 Tabel 6.2 Table 6.3 Tabel 7.1 Tabel 7.3 Tabel 8.1 Tabel 8.2
Jam kerja dan tingkat setengah pengangguran menurut gender dan sektor pekerjaan 76 Tingkat peralihan ke pekerjaan formal tahunan, 2000-2007 77 Mobilitas dari sektor informal ke formal 79 Peraturan kontrak dengan jangka waktu tertentu di negara Asia Timur 88 Opsi reformasi pembayaran pesangon 96 Upah minimum dan PDB per kapita dalam dolar Amerika yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli (2002/2004) 104 Perbandingan efek upah minimum terhadap lapangan kerja dengan perubahan saat krisis112 Jumlah Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama 121 Kasus sengketa pekerja dan pemutusan hubungan kerja, 2001 – 2006 122 Komposisi kasus yang ditangani oleh Pengadilan Hubungan Industrial di Jakarta 127 Tingkat partisipasi bersih sekolah (persen) 137 Status pekerjaan populasi orang dewasa menurut tingkat pendidikan 140 Peta langkah pengembangan pendidikan teknik kejuruan 153 RRasio aplikasi versus yang diterima 154
Boxes Kotak 1: Kotak 2: Kotak 1.1 Kotak 1.2: Kotak 1.3 Kotak 2.1 Box 2.2 Kotak 3.1 Kotak 3.2 Kotak 3.3 Kotak 3.4 Kotak 4.1 Kotak 5.1 Kotak 6.1 Kotak 6.2 Kotak 7.1 Kotak 7.1 Kotak 8.1 Kotak 8.1 Kotak 8.2 Kotak 9.1 Kotak 9.2 Kotak 9.3 Kotak 9.3 Kotak 9.4 Kotak 9.5 Kotak 10.1 Kotak 10.1 Kotak 10.2 Kotak 10.3 Kotak 10.4
Opsi Reformasi Pesangon Program Jóvenes: Praktik terbaik dalam pelatihan keahlian Apa indikator terbaik untuk kinerja pasar tenaga kerja? Sumber data tenaga kerja di Indonesia Para pekerja bertahan menghadapi krisis ekonomi Apa yang dimaksud dengan ‘jobless growth’? Mencari biang keladi jobless growth Mendefinisikan sektor informal Terjebak dalam Informalitas Memilih Informalitas Menapaki Jenjang Informal Bantuan Pengangguran di Estonia Perkembangan hukum utama mengenai kebijakan upah minimum Pemogokan pekerja Justica do Trabalho: Pengadilan Tenaga Kerja di Brasil Inovasi Mengatasi Ketidaksesuaian Lanjutan Pengalaman Korea Selatan: perluasan pendidikan kejuruan mungkin bukan jawaban yang tepat Lanjutan SMK yang Boleh Menjadi Contoh: Sekolah Kejuruan Analis Kimia di Bogor Rencana Nasional untuk Pendidikan Profesi, PLANFOR (Brasil) Menjalin Hubungan (Make a Connection - MAC) di 17 negara di seluruh dunia Program Jóvenes (kawasan Amerika Latin) Lanjutan ALMP yang inovatif: Subsidi upah terarah bagi pekerja muda (Afrika Selatan) Belajar dan Berlatih Seumur Hidup (Argentina) Memperbaiki Sistem Pemantauan Guncangan: Indonesia dan Krisis Keuangan Global Lanjutan Pekerjaan Umum: Belajar dari Afrika Selatan Belajar dari Pengalaman Indonesia dengan Pekerjaan Umum Menargetkan Mereka yang Paling Membutuhkan melalui Pekerjaan Umum
18 23 33 38 41 51 56 70 75 77 78 98 107 122 130 145 146 154 155 161 169 171 172 173 174 177 185 186 188 189 191
ix
Singkatan dan Akronim
Singkatan dan Akronim
x
BAN-PNF
Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal
BAPPENAS
Badan Perencanaan Dan Pembangunan Nasional
BLK
Balai Latihan Kerja
BNSP
Badan Nasional Sertifikasi Profesi
BPPD
Balai Pengembangan Produktivitas Daerah
BPS
Badan Pusat Statistik
CDD
Community Driven Development (Pembangunan Berbasis Masyarakat)
CLA
Collective Labor Agreement (Kesepakatan Kerja Bersama)
CMRS
Crisis Monitoring and Response System (Sistem Pemantauan dan Respon terhadap Krisis)
CPI
Consumer Price Index (Indeks Harga Konsumen)
CR
Company Regulations (Peraturan Perusahaan)
Depnaker
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Disnaker
Departemen Tenaga Kerja
DJSN
Dewan Jaminan Sosial Nasional
EPL
Employment Protection Legislation (Perundangan Perlindungan Pekerja)
FTC
Fixed-Term Contract (Kontrak dengan Jangka Waktu Tertentu)
GDP
Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto)
IFLS
Indonesia Family Life Survey (Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga)
ILO
International Labour Organization
IRC
Industrial Relations Courts (Pengadilan Hubungan Keindustrian)
Jamsostek
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JPS
Jaring Pengaman Sosial
KFM
Kebutuhan Fisik Minimum
KHL
Kebutuhan Hidup Layak
KHM
Kebutuhan Hidup Minimum
LDS
Labour Dispute Settlement (Penyelesaian Sengketa Pekerja)
LSP
Lembaga Sertifikasi Profesi
MoMT
Ministry of Manpower & Transmigration (Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
MoNE
Ministry of National Education (Kementrian Pendidikan Nasional)
NGO
Non-Government Organization (Lembaga Swadaya Masyarakat)
NQF
National Qualification Frameworks (Kerangka Kualifikasi Nasional)
NSS
National Social Security (Sistem Jaminan Sosial Nasional)
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Singkatan dan Akronim
OECD
Organisation for Economic Co-operation and Development
P4D
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
P4P
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
PK
Padat Karya
PKH
Program Keluarga Harapan
PNPMMandiri
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Podes
Potensi Desa
PPK
Pusat Peluang Karya
PPP
Purchasing Power Parity (Tetap tidak diterjemah kan)
PT ASKES
Asuransi Kesehatan
Sakernas
Survei Angkatan Kerja Nasional
SD
Sekolah Dasar
SJSN
Sistem Jaminan Sosial Nasional
SKKNI
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
SMA
Sekolah Menengah Atas
SME
Small and Medium Enterprise
SMK
Sekolah Menengah Kejuruan
SMP
Sekolah Menengah Pertama
STM
Sekolah Teknik Menengah
Susenas
Survei Sosial Ekonomi Nasional
UI
Universitas Indonesia
VHS
Vocational High Schools (Sekolah Menengah Kejuruan)
xi
Ringkasan Eksekutif
Gambar 1:
Komposisi angkatan kerja Gambar 2: aktif menurut sektor, 2007
Industri Informal 7%
Jasa Formal 23%
Sumber: Sakernas
1990 -1997
60
1997 -1999
2003 -2008
1999 -2003
55
Jasa Informal 17%
Industri Formal 12%
Pertanian Informal 37%
Pangsa lapangan kerja di sektor formal dan non-tani (persen)
50 45
Lap
an
k gan
erja
n on
-tan
i
40
Pertanian Formal 4%
35
Lapa
n
ke gan
rja fo
rma
l (lam
a)
Lapangan kerja formal (baru)
30
1990
1992
1994
1997
1999
2001
2003
2005
2007
Sumber: Sakernas
Indonesia belum menciptakan pekerjaan yang baik dalam jumlah memadai agar para pekerja dapat merasakan sepenuhnya manfaat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pekerjaan adalah salah satu dari sedikit aset yang dimiliki kalangan miskin. Jika mereka memperoleh pekerjaan yang baik, maka mereka akan berkesempatan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk keluar dari kemiskinan. Sayangnya, Indonesia mengalami jobless growth yang signifikan dari tahun 1999 sampai 2003, hal lain yang juga memberikan kontribusi terhadap keadaan saat ini, adalah dari 104,5 juta populasi Indonesia yang bekerja, mayoritas masih bekerja di sektor informal dan pertanian (Gambar 1).1 Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, penurunan kemiskinan berlangsung lebih lambat daripada yang diharapkan, sebagian karena kurangnya peluang bagi pekerja miskin untuk pindah ke pekerjaan yang lebih baik di sektor formal dan non-tani (Gambar 2). Guncangan ekonomi juga dapat mengurangi laju penciptaan lapangan kerja dan, jika guncangan tersebut cukup serius, dapat menjadi ancaman yang mendorong Indonesia kembali ke masa jobless growth. Peraturan ketenagakerjaan yang kaku telah menghambat penciptaan lapangan kerja dan gagal memberikan perlindungan bagi pekerja, terutama pekerja yang paling rentan. Peraturan perekrutan dan pemberhentiandi Indonesia telah diperketat tahun 2003 dengan disahkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003) yang bertujuan meningkatkan perlindungan pekerja. Kebijakan ini tidak memberikan manfaat baik bagi pemberi kerja maupun mayoritas pekerja sehingga keduanya terjebak dalam keadaan “sama-sama rugi”. Peraturan yang ketat menghambat penciptaan lapangan kerja dengan mengurangi minat investasi dan menghambat produktivitas, serta membatasi kemampuan pemberi kerja untuk mengurangi karyawan demi bertahan selama kemerosotan ekonomi. Namun, berlawanan dengan tujuannya, berbagai peraturan ini hanya memberikan sedikit perlindungan nyata bagi pekerja formal yang dikontrak. Karyawan yang paling rentan – mereka yang berupah rendah dan pekerja perempuan – berpeluang paling kecil untuk mendapat manfaat dari peraturan yang ada saat ini. Hal yang juga memprihatinkan adalah bahwa kebijakan saat ini menyisihkan mayoritas pekerja “luar” yang terdiri atas karyawan yang bekerja tanpa kontrak dan mereka yang bekerja di sektor informal. Mereka sama sekali tidak dilindungi oleh peraturan yang ada saat ini dan sulit menemukan pekerjaan yang lebih baik. Pada saat yang bersamaan, hanya ada sedikit program tenaga kerja aktif yang dirancang untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan memberi kesempatan bagi pekerja informal dan pekerja yang menganggur. Upaya reformasi ketenagakerjaan telah menemui kebuntuan dan menghambat kemampuan Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan masa depan. Perdebatan seputar reformasi undang-undang ketenagakerjaan sangat sengit dan terutama terfokus pada peraturan
1
14
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Februari 2009.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
perekrutan dan pemberhentianyang kontroversial. Demi meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, pemerintah telah berupaya mereformasi peraturan tersebut pada tahun 2006 dan 2007, namun keduanya gagal. Akibatnya, peraturan ketenagakerjaan Indonesia masih merupakan salah satu yang paling kaku di kawasannya. Kebuntuan ini menghambat kemampuan Indonesia untuk mempercepat laju penciptaan pekerjaan yang ‘baik’ dan laju pengurangan kemiskinan. Setelah memperoleh mandat politik yang baru, pemerintah saat ini berkesempatan untuk memecah kebuntuan reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang saat ini merugikan pekerja dan pemberi kerja. Kebijakan dan program ketenagakerjaan Indonesia dapat dirancang dengan lebih baik untuk mendorong pertumbuhan lapangan kerja, sekaligus melindungi pekerja yang rentan. Pemerintah baru berkesempatan menggunakan waktu lima tahun ke depan untuk memperkenalkan kebijakan dan program baru yang menguntungkan pekerja dan pemberi kerja, terfokus pada empat prioritas berikut ini. Yang pertama, menegosiasikan kesepakatan besar mengenai reformasi peraturan. Kebuntuan reformasi pesangon saat ini telah merusak daya saing pasar tenaga kerja Indonesia dan hanya menawarkan sedikit perlindungan bagi sebagian besar pekerja. Perlu diupayakan pemecahan yang “sama-sama untung” dengan menyederhanakan dan mengurangi tingkat pesangon yang terlalu tinggi, dan pada saat yang bersamaan, memberikan tunjangan pengangguran untuk melindungi pekerja formal dengan lebih efektif. Sistem tunjangan pengangguran adalah komponen inti dari sistem Jaminan Sosial Nasional di masa depan, sebuah institusi kunci di banyak negara lain yang berpenghasilan menengah. Yang kedua, mengembangkan strategi pelatihan keahlian menyeluruh untuk melengkapi pekerja supaya dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Perlindungan pekerja tidak cukup hanya dengan mengandalkan peraturan ketenagakerjaan. Sebagian besar peraturan tersebut tidak relevan bagi pekerja informal yang merupakan angkatan kerja mayoritas. Pemerintah dapat membantu lebih banyak pekerja dengan menerapkan sejumlah strategi, baik formal maupun informal, untuk pengembangan keahlian. Dalam hal pendekatan formal, membatalkan moratorium pembangunan sekolah menengah atas umum akan membantu memenuhi permintaan. Selanjutnya, perluasan sekolah menengah atas kejuruan seharusnya adalah untuk menanggapi permintaan pasar tenaga kerja sesungguhnya, bukan sekadar memenuhi kuota. Memperbaiki mutu pendidikan kejuruan untuk memenuhi permintaan yang besar akan pekerja berpendidikan lebih tinggi. Pada saat bersamaan, memperkenalkan strategi pelatihan keahlian non-formal sebagai pelengkap untuk menargetkan mayoritas pekerja di Indonesia yang tidak mampu mengakses pendidikan formal. Yang ketiga, meluncurkan program tenaga kerja aktif yang dirancang untuk melindungi mereka yang paling rentan. Para pekerja sering menjadi korban dalam guncangan, seperti yang terjadi ketika krisis keuangan 1997. Tanpa adanya jaring pengaman, para pekerja umumnya bertahan dengan mencari kerja di sektor informal dan pertanian. Ancaman krisis keuangan global baru-baru ini telah menyoroti betapa perlunya Indonesia mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk menghadapi guncangan di masa depan. Indonesia dapat bersiap menghadapi guncangan lapangan kerja dan upah di masa depan dengan memperkenalkan program jaring pengaman tenaga kerja demi melindungi pekerja yang paling rentan. Persiapan dapat diawali dengan pekerjaan umum yang merupakan jaring pengaman penting yang dapat dipakai secara efektif untuk menargetkan pekerja miskin dan berupah rendah. Yang terakhir, berinvestasi dalam riset untuk mendukung pembuatan kebijakan berbasis bukti. Banyak perdebatan mengenai kebijakan dan program pasar tenaga kerja yang tidak didasarkan pada bukti empiris. Diperlukan peningkatan mutu dan pendalaman riset kebijakan ketenagakerjaan untuk membantu pemerintah baru dalam menjalankan agenda reformasi yang didukung hasil analisis dan bukti kuat. Fasilitas penelitian, think tank lokal, dan Biro Pusat Statistik, semuanya berperan penting menghasilkan data dan melakukan riset tenaga kerja bermutu untuk memenuhi kebutuhan pembuat kebijakan.
15
I. Menegosiasikan Kesepakatan Besar Meningkatkan tunjangan pengangguran dan menyetujui penurunan tingkat pesangon Undang-Undang Ketenagakerjaan telah menjadikan peraturan ketenagakerjaan Indonesia sangat kaku. Undang-undang tersebut menaikkan nilai pesangon bagi pekerja dengan masa kerja tiga tahun atau lebih dan menambah lagi pembayaran sebesar 15 persen sebagai uang pengganti hak (Gambar 3). Dengan kenaikan ini, uang pesangon diperkirakan setara dengan “pajak perekrutan” (hiring tax) senilai kirakira sepertiga dari upah tahunan pekerja.2 Selain menyebabkan pemberi kerja lebih sulit memberhentikan atau melakukan realokasi karyawan, undang-undang tersebut juga memperketat penggunaan karyawan sementara oleh perusahaan. Penggunaan kontrak dengan jangka waktu tertentu (Fixed-Term Contracts – FTC) dan layanan alih daya dibatasi hanya untuk posisi non-inti dan batas maksimum untuk kontrak sementara dikurangi dari lima menjadi tiga tahun. Undang-undang tersebut juga membawa beberapa perubahan baik. Proses penetapan upah minimum diperbaiki dengan mereformasi penggunaan survei harga dan memperkuat peran dewan pengupahan lokal. Peraturan perekrutan dan pemberhentiandi Indonesia saat ini adalah salah satu yang paling kaku di Asia Timur dan di dunia. Dalam sebuah survei tahun 2009 yang membandingkan kekakuan peraturan ketenagakerjaan di berbagai negara, Indonesia menempati urutan ke-157 dari 181 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara tetangga yang menjadi pesaing di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menempati urutan ke-23 dari 24 negara.3 Tidak ada negara sekawasan lain yang biaya memberhentikan karyawannya setinggi biaya di Indonesia (Gambar 4). Meskipun kebanyakan ekonomi Asia membatasi penggunaan FTChanya bagi kegiatan tertentu dan menentukan baik lamanya kontrak maupun persyaratan untuk perpanjangan kontrak, Indonesia, bersama-sama dengan Kamboja, Filipina, dan Vietnam, termasuk kelompok negara yang mengatur FTCdengan lebih ketat.4 Gambar 3:
Tingkat pesangon, 1996-2003
Nilai pesangon dalam bulan gaji
30
Biaya memberhentikan (dalam gaji mingguan)
120
UU 1996 25
Gambar 4:
UU 2000
100
UU 2003
20
80
15
60
10
40 20
5 0
0 <1
3
5
10
20
Max
Cina
Filipina
Masa kerja (dalam tahun)
Sumber: UNPAD, 2004
2
3 4
16
Sumber: Doing Business, 2009
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, nilai pesangon diperkirakan setara dengan “pajak perekrutan” sebesar 4,1 bulan upah, meningkat dari rata-rata 2 bulan pada tahun 1996 dan 3,4 bulan pada 2000. (Laboratorium Penelitian, Pengabdian Pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E), Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran. “Indonesia’s Employment Protection Legislation: Swimming Against the Tide?” 2004. Disusun untuk GIAT, proyek USAID/Pemerintah Indonesia). Bank Dunia 2009a Doing Business .. Catatan: Laporan ini didasarkan pada temuan survei yang mengukur secara kuantitatif berbagai peraturan mempekerjakan pekerja di 181 ekonomi. Untuk perincian, lihat www.doingbusiness.org. Berdasarkan peraturan yang spesifik pada setiap ekonomi Asia, yang diperoleh dari ILO (pangkalan data on-line LABORSTA, 2008) mengenai jangka waktu kontrak sementara dan dalam kondisi apa kontrak sementara diperbolehkan.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Negara berkembang dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku menghadapi kesulitan lebih besar dalam menciptakan pekerjaan sehingga memperburuk kondisi ketenagakerjaan bagi pekerja. Bukti empiris mengenai dampak semakin kakunya penciptaan lapangan kerja belum tersedia di Indonesia karena data mengenai pembayaran pesangon dan status kontrak belum dikumpulkan secara konsisten. Tetapi, penelitian internasional secara konsisten mendapati bahwa negara berkembang yang peraturan ketenagakerjaan sangat memberatkan juga mengalami tingkat investasi, produktivitas, dan investasi dalam manufaktur yang lebih rendah.5 Peraturan ketenagakerjaan yang kaku menghambat pertumbuhan lapangan kerja dengan membatasi manfaat keterbukaan perdagangan dan mengurangi minat para pengusaha wiraswasta untuk memulai bisnis baru. Hal ini berdampak langsung dan negatif terhadap pekerja. Negara berkembang dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku berpeluang lebih besar mengalami keikutsertaan (laki-laki) dalam angkatan kerja yang lebih rendah, tingkat lapangan kerja yang lebih rendah, dan tingkat pengangguran yang tinggi – terutama di antara perempuan dan kaum muda.6 Sebuah studi terhadap 74 negara menyimpulkan bahwa jika Indonesia memaksimalkan fleksibilitas peraturan ketenagakerjaannya, tingkat pengangguran akan menurun 2,1 persen, sedangkan tingkat pengangguran kaum muda akan menurun 5,8 persen.7 Kebuntuan saat ini menjebak para pekerja dan pemberi kerja dalam keadaan “sama-sama rugi” yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan tidak memberi perlindungan yang cukup bagi karyawan. Tingginya tingkat pesangon yang diwajibkan secara hukum di Indonesia telah menghalangi investasi asing dan mengurangi minat para pengusaha wiraswasta untuk menciptakan usaha baru. Aturan yang rumit mengenai perhitungan pesangon dan sistem “pasca bayar” saat ini menimbulkan masalah tambahan karena menyulitkan perusahaan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja. Tingkat pesangon yang tinggi tidak hanya merugikan pemberi kerja, tetapi juga karyawan. Peraturan tersebut tidak efektif melindungi karyawan yang diberhentikan dan menghadapi pengangguran. Dari antara semua karyawan yang diberhentikan dalam dua tahun terakhir dan memenuhi syarat untuk menerima pesangon, hanya 34.4 persen yang menerima uang pesangon (Gambar 5). Dari antara karyawan yang menerima uang pesangon, 78.4 persen menerima pesangon lebih kecil daripada nilai yang menjadi hak mereka secara hukum. Ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut justru paling banyak dialami oleh pekerja yang paling membutuhkan perlindungan penghasilan: perempuan, staf sementara, dan karyawan berupah rendah (Gambar 6). Perusahaan kecil mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk tidak patuh karena berukuran terlalu kecil untuk membentuk serikat pekerja dan berada di bawah ambang batas pengawasan inspektur tenaga kerja. Dengan menegosiasikan kesepakatan besar – menurunkan tingkat pesangon, dan sebagai gantinya, memperkenalkan tunjangan pengangguran – pemerintah dapat meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja sambil meningkatkan perlindungan bagi karyawan. Masih ada harapan untuk menemukan jalan keluar “sama-sama untung” yang dapat diterima oleh pemberi kerja maupun karyawan. Pertama-tama, penyederhanaan perhitungan pesangon dan penurunan nilainya akan menyetarakan Indonesia dengan standar regional, meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan daya saing global. Pada saat yang bersamaan, memperkenalkan sistem tunjangan pengangguran untuk melengkapi tingkat perlindungan bagi karyawan yang diberhentikan. Beralih menggunakan pendekatan “pendekatan kontribusi bulanan” – yaitu kontribusi bulanan oleh perusahaan ke sebuah rekening yang dikelola secara terpusat dengan pengawasan pemerintah – akan meningkatkan kemudahan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja tanpa mempengaruhi keputusan perekrutan dan pemberhentian perusahaan. Hal ini juga akan meningkatkan kepatuhan pemberi kerja sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap Pengadilan
5 6 7
Djankov, Simeon, dan Rita Ramalho. 2008. Ibid. Feldmann, 2008.
17
Hubungan Industrial yang kini menghadapi kasus pemberhentian kerja yang kian menumpuk.8 Hal ini akan membebaskan karyawan dan pemberi kerja dari proses penyelesaian perselisihan yang berbiaya tinggi dan sangat menghabiskan waktu. Terdapat serangkaian sistem tunjangan pengangguran yang dapat dipertimbangkan dan dikaji untuk dimasukkan dalam sistem Jaminan Sosial Nasional di masa depan. Indonesia telah siap mengikuti langkah negara berpenghasilan menengah lain untuk menerapkan sistem tunjangan pengangguran. Terdapat serangkaian opsi reformasi yang dapat meningkatkan kemudahan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja dan memberikan kompensasi tingkat pesangon yang lebih rendah bagi pekerja. Opsi ini termasuk dana bersama (pooled fund) yang dapat ditarik oleh karyawan yang diberhentikan, sistem pesangon dengan rekening individual, atau program bantuan pengangguran berupa tunjangan tetap (Kotak 1). Setiap opsi memiliki kelebihan dan kekurangan, serta memiliki tingkat kerumitan kelembagaan yang beragam dalam mengelola program. Gambar 5:
Penerimaan uang pesangon sesuai laporan pekerja
Kepatuhan parsial: Karyawan menerima nilai lebih kecil dari pada haknya
27% Tidak patuh: Karyawan sama sekali tidak menerima pesangon 7% Patuh: Karyawan menerima 66% nilai penuh sesuai haknya atau lebih besar
Gambar 6:
Pekerja yang memenuhi syarat namun melaporkan tidak menerima pesangon (persen)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Laki-laki Perempuan <250 Jenis kelamin
Sumber: Sakernas 2008
Kotak 1:
250-500
500 1,000
1,000 15,000
>15,000
Upah Bulanan (dalam ribuan Rupiah)
Sumber: Sakernas 2008
Opsi Reformasi Pesangon
Opsi Satu: Dana Pesangon: Perusahaan menyetorkan pembayaran pesangon secara rutin ke dalam sebuah dana bersama yang dikelola oleh lembaga pemerintahan pusat atau oleh perusahaan swasta. Karyawan yang diberhentikan menerima pesangon sesuai lamanya masa kerja. Dapat dibuat satu dana bersama untuk satu perusahaan, atau satu dana bersama yang dapat dipakai oleh semua perusahaan yang berkontribusi. Opsi Kedua: Rekening individual: Pemberi kerja dan karyawan secara rutin menyetorkan kontribusi ke rekening individual yang dikelola dan disalurkan oleh lembaga pusat. Kontributor yang menganggur dapat menarik dana dari rekening mereka sendiri setelah status penganggurannya terkonfirmasi. Opsi Ketiga: Bantuan pengangguran berupa tunjangan tetap: Menciptakan dana yang dapat ditarik oleh pekerja yang memenuhi syarat, yang sedang menganggur. Dana tersebut dikelola dan disalurkan oleh lembaga yang ditunjuk, bukan oleh pemberi kerja. Pekerja yang menganggur memperoleh tunjangan kecil untuk jangka waktu tertentu yang diambil dari dana bersama. Pekerja memenuhi syarat atau tidak ditentukan berdasarkan keaktifan mencari kerja dan ketersediaan pekerjaan yang cocok. Dimungkinkan untuk menguji terlebih dahulu (means test) apakah penghasilan keluarga membutuhkan bantuan pengangguran. Sumber: Revenga dan Rigolini, 2007, serta Vroman, 2007.
8
18
Nugroho, 2008.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Proses reformasi dapat dimulai dengan melakukan analisis yang diperlukan guna mengidentifikasi opsi apa yang paling cocok bagi Indonesia. Studi simulasi diperlukan untuk mengkaji dampak yang diperkirakan akan terjadi akibat sistem alternatif dan implikasi serta kebutuhan kelembagaan yang terkait dengan masing-masing opsi reformasi. Berdasarkan model yang paling cocok, diperlukan peta langkah reformasi sebagai dasar bagi sistem di masa depan yang selayaknya dikaitkan dengan masa depan sistem jaminan sosial nasional yang diwajibkan oleh Undang-Undang No. 41/2004. Kebuntuan saat ini paling merugikan pekerja informal dan pekerja tanpa kontrak. Reformasi diperlukan untuk meningkatkan peluang mereka memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Reformasi peraturan saja belum cukup untuk menjangkau mayoritas angkatan kerja Indonesia yang sangat informal. Pasar tenaga kerja Indonesia sangat tersegmentasi berdasarkan sektor dan status kontrak. Peraturan ketenagakerjaan saat ini paling menguntungkan karyawan yang memiliki kontrak permanen (di bawah 3 persen dari angkatan kerja) dan karyawan anggota serikat pekerja (11,2 persen dari karyawan penerima upah). Sayangnya, peraturan tersebut tidak relevan bagi 92,1 persen dari keseluruhan pekerja, baik yang dipekerjakan tanpa kontrak, maupun yang bekerja di sektor informal (Gambar 7). Mengurangi kekakuan peraturan saat ini akan menguntungkan para pekerja “luar” melalui penciptaan lebih banyak peluang kerja di sektor formal. Jika berhasil memperoleh pekerjaan yang lebih baik di sektor formal, mereka akan berpenghasilan 20 persen lebih besar dan akan lebih berpeluang menerima tunjangan non-upah seperti tunjangan kesehatan (Gambar 8). Namun demikian, tetap saja masih banyak pekerja yang terjebak di sektor informal dan hanya mempunyai sedikit peluang untuk meningkatkan status pekerjaan mereka dalam beberapa waktu ke depan. Karena alasan inilah, reformasi peraturan saja belumlah cukup untuk memperbaiki prospek kebanyakan pekerja di Indonesia. Diperlukan strategi tambahan untuk memberdayakan dan melindungi para pekerja Indonesia yang rentan dan tersisih. Gambar 7:
Segmentasi – Distribusi angkatan Gambar 8: kerja aktif menurut status pekerjaan Karyawan kontrak permanen 3% Karyawan kontrak jangka waktu tetap 3%
Pemberi kerja 2%
Pertanian informal 27%
Non-tani informal 27%
Sumber: Sakernas 2008
Karyawan tanpa kontrak 38%
Perbandingan upah bulanan (rata-rata log) menurut status pekerjaan
8,2 8 7,8 7,6 7,4 7,2 7 Karyawan permanen & Pemberi kerja
Karyawan kontrak jangka waktu tetap
Karyawan tanpa kontrak
Non-tani informal
Pertanian informal
Sumber: IFLS 2007
19
II. Mengembangkan Strategi Pelatihan Keahlian yang Menyeluruh Gambar 9:
Pendaftaran sekolah kejuruan, 1992-2007
1,700,000
Sumbu kiri Jumlah siswa sekolah kejuruan
1,600,000
Sumbu kanan Persentase siswa sekolah kejuruan terhadap keseluruhan siswa menengah atas
1,500,000 1,400,000 1,300,000
2006
2007
2004 2005
2002 2003
2001
1999 2000
1998
1996 1997
1995
1992
1,100,000
1993 1994
1,200,000
38 36 34 32 30 28 26 24 22 20 18
Gambar 10:
Pendaftaran ke sekolah menengah atas menurut jenisnya
7,000,000
Siswa SMK swasta
6,000,000 5,000,000
Siswa SMA swasta
4,000,000 3,000,000
Siswa SMK negeri
2,000,000 1,000,000
Siswa SMA negeri
0 2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007
Sumber: Newhouse dan Suryadarma, 2009 (berdasarkan Susenas) Sumber: Sakernas dan perhitungan Bank Dunia
Melengkapi pekerja yang rentan dengan keahlian yang mereka perlukan agar dapat berhasil di pasar tenaga kerja Strategi utama pemerintah untuk meningkatkan keahlian angkatan kerja adalah melalui perluasan sekolah menengah atas kejuruan, baik negeri maupun swasta. Pada tahun 2005, Kementerian Pendidikan Nasional meluncurkan kebijakan “70:30” yang kontroversial dengan tujuan agar pada tahun 2015, 70 persen dari semua siswa sekolah menengah atas terdaftar di SMK negeri maupun swasta.9 Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada angka saat ini, yaitu 46 persen dari siswa sekolah menengah atas terdaftar di sekolah kejuruan pada tahun ajaran 2008-09 (Gambar 9). Pemerintah menggunakan tiga strategi umum guna meraih target rasio tersebut: membekukan pembangunan SMA baru, mempercepat pembangunan SMK baru, dan mengubah sekolah umum yang telah ada menjadi sekolah kejuruan. Proses perubahan ini telah dimulai. Dari 2006-07 sampai 2008-09, telah dibangun 1.211 sekolah kejuruan baru, sedangkan 375 sekolah umum telah ditutup.10 Perluasan tersebut telah membuat siswa yang belajar di SMK saat ini lebih banyak hampir 1,2 juta orang daripada di tahun 2002-03 (Gambar 10). Kebijakan ini bertujuan menurunkan angka pengangguran kaum muda dengan memberikan keahlian spesifik terkait pekerjaan bagi siswa sekolah menengah atas. Namun demikian, pendidikan di sekolah menengah kejuruan tidak memberi keunggulan yang jelas bagi lulusannya saat memasuki angkatan kerja. Berlawanan dengan tujuan kebijakan “70:30”, pendidikan kejuruan negeri ternyata tidak lebih baik daripada sekolah umum negeri dalam hal meningkatkan peluang lulusannya untuk memperoleh pekerjaan. Pendidikan kejuruan telah meningkatkan prospek lulusan laki-laki untuk memperoleh pekerjaan formal, namun keunggulan ini tak lagi terlihat pada kelompok lulusan barubaru ini. Meskipun lulusan perempuan SMK negeri menikmati upah premium, hal ini pun semakin berkurang seiring waktu. Keadaan ini semakin parah bagi laki-laki yang baru saja lulus dari SMK negeri karena mereka menghadapi penalti upah yang terus meningkat sampai 30 persen tahun 2000 dan 43 persen tahun 2007.11
9
10 11
20
Kementerian Pendidikan Nasional, 2006a. Catatan: sekolah kejuruan pada tingkat menengah atas disebut Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sekolah menengah atas umum disebut SMA. Jenis sekolah ketiga pada tingkat menengah atas, sekolah Islam Madrasah Aaliyah, tidak dimasukkan dalam analisis bab ini. Hal ini karena jumlah siswa menengah atas yang terdaftar pada sekolah Islam sangat kecil jika dibandingkan dengan SMK atau SMA. Kemendiknas, www.depdiknas.go.id. Newhouse, David, dan Daniel Suryadarma, 2009.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Laki-laki yang berprestasi tinggi di sekolah akan menghadapi penalti upah besar jika tidak memiliki ijazah SMA negeri. Merekalah yang paling dirugikan akibat kebijakan pemerintah untuk memperluas sekolah kejuruan. Sekolah kejuruan, terutama sekolah kejuruan swasta, berperan penting dalam melayani siswa berprestasi akademis rendah karena golongan siswa ini akan memperoleh tingkat upah yang sama saja meski mereka lulus dari sekolah umum. Tanpa adanya perbaikan kondisi ketenagakerjaan secara jelas, ekspansi sekolah kejuruan yang dilakukan secara meluas saat ini tidak akan hemat biaya, baik bagi pemerintah maupun para orang tua. Biaya pengoperasian dan juga biaya untuk belajar di sekolah kejuruan, lebih mahal daripada di sekolah umum. Mengingat biaya tahunan per siswa untuk SMK negeri diperkirakan 37 persen lebih tinggi daripada SMA negeri, kebijakan 70:30 akan membutuhkan tambahan anggaran kira-kira Rp 5 triliun per tahun pada saat target telah tercapai (Gambar 11). Sekolah kejuruan juga mahal bagi orang tua. Biaya yang dikeluarkan sendiri oleh orang tua lebih tinggi 36,9 persen untuk SMK negeri jika dibandingkan dengan SMA negeri. Sementara itu, SMK swasta biayanya lebih tinggi 31,4 persen daripada biaya untuk SMA swasta (Gambar 12). Gambar 11:
Biaya pendidikan kejuruan negeri Gambar 12: (Rp)
Sumber: Ghozali dan World Bank
Biaya yang dikeluarkan sendiri untuk pendidikan (Rp)
Sumber: Susenas, 2006
Pendidikan menengah atas semestinya diperluas untuk memenuhi permintaan yang besar akan pekerja berpendidikan lebih tinggi, sambil mengamati sinyal dari pasar tenaga kerja untuk menentukan komposisi jenis sekolah yang tepat. Permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi masih tetap besar meskipun jumlah pekerja seperti itu di Indonesia sudah jauh lebih banyak. Akses terhadap sekolah menengah atas perlu diperluas untuk memenuhi permintaan angkatan kerja dan memungkinkan lebih banyak lulusan memperoleh manfaat dari besarnya premium upah bagi pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Membatalkan pembekuan pendirian SMA negeri baru tidak hanya merupakan cara yang hemat biaya untuk memperluas akses, tetapi juga dapat memastikan bahwa para siswa berprestasi akademis akan berada di posisi terbaik untuk memperoleh pekerjaan berupah tinggi. Meskipun pendidikan kejuruan berperan penting untuk memperluas jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi, terutama bagi siswa yang lemah secara akademis, tidak semestinya ditetapkan kuota untuk meningkatkan pendaftaran ke sekolah kejuruan. Sebaliknya, pasokan SMK seharusnya fleksibel agar dapat menanggapi perubahan permintaan dari pemberi kerja dengan lebih baik. Saat ini sedang terjadi peralihan menuju keahlian yang lebih berorientasi jasa daripada keahlian teknis dan industri. Hal ini menguntungkan bagi lulusan perempuan yang cenderung memilih jurusan di sektor jasa yang sedang berkembang (Gambar 13 dan 14). Untuk mencari komposisi yang tepat di masa depan, perubahan jenis keahlian yang dibutuhkan pemberi kerja perlu dipantau dan ditanggapi dengan kebijakan pendidikan yang sesuai.
21
Gambar 13:
Pilihan jurusan SMK menurut jenis Gambar 14: kelamin 30
Perempuan 3,71
56,04
28,93
11,32
Pekerja yang lulus SMA atau lebih tinggi, menurut sektor (juta) Pertanian
Industri
Jasa
25 20 15
Laki-laki
63,84
15,56
16,68 3,92
10 0%
20%
Teknis dan industri
40%
60%
Manajemen bisnis
80% Pariwisata
100% Lain-lain
5 0 2003
Sumber: Susenas, 2006
2004
2005
2006
2007
Sumber: Susenas, 2006
Peningkatan mutu sekolah negeri umum maupun kejuruan dapat membantu untuk memenuhi permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Keberhasilan dalam menambah jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi belum diikuti dengan bertambahnya mutu pendidikan. Kinerja pendidikan di Indonesia masih tetap tertinggal dari negara lain sekawasan. Keadaan ini kemungkinan turut menyebabkan bertambahnya kesenjangan upah antara siswa yang berprestasi akademis dan siswa yang lemah secara akademis. Saat ini, sebagian besar SMK berada di bawah standar nasional sehingga untuk memperbaiki mutu pendidikan kejuruan, sebuah standar minimum bagi SMK perlu dibuat dan ditegakkan. Hal penting lainnya yang juga perlu dilakukan untuk memperbaiki hasil pendidikan kejuruan adalah membangun hubungan yang lebih kuat dengan pemberi kerja, memastikan tersedianya sumber daya keuangan yang memadai, dan meningkatkan mutu pengajar.12 Meskipun semakin berkurang, ketidaksesuaian masih menjadi masalah; hampir seperempat dari lulusan pendidikan tinggi bekerja pada bidang di luar bidang keahlian mereka. Program pencocokan yang inovatif, seperti yang dipakai di sekolah kejuruan dan universitas terkemuka, dapat membantu lulusannya melewati masa peralihan dari pendidikan ke angkatan kerja. Pelatihan keahlian sebagai pelengkap dibutuhkan untuk memberi kesempatan kedua bagi pekerja yang tidak dapat mengakses pendidikan menengah atas. Mengingat baru seperempat dari angkatan kerja yang telah lulus SMA – angka yang rendah, bahkan menurut standar kawasan – maka strategi keahlian yang hanya berfokus pada pendidikan formal belum cukup. Strategi pelengkap dibutuhkan untuk membangun keahlian para pekerja tak terdidik melalui pelatihan non-formal. Sayangnya, Balai Latihan Kerja (BLK) tidak siap memenuhi permintaan ini.Hanya terdapat sekitar 162 BLK di seluruh Indonesia yang melatih pekerja dalam jumlah kecil (42.500 orang pada tahun 2003-04).13 Meskipun sesungguhnya ditargetkan bagi pencari kerja dan wiraswasta di bidang usaha kecil dan pertanian, sebagian besar BLK justru menawarkan layanan pelatihan bagi pekerja yang telah dipekerjakan oleh perusahaan klien. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengkaji kondisi BLK pada 2004 dan 2006, dan mendapati bahwa kira-kira 60 persen dari BLK berada dalam kondisi yang buruk dari segi fasilitas, peralatan, dan sumber daya manusia.14 Perlu diperkenalkan program pelatihan keahlian nasional yang menyeluruh dan dirancang dengan baik demi meningkatkan kondisi ketenagakerjaan pekerja yang rentan. Masih terdapat kekurangan dalam upaya memberikan keahlian bagi para penganggur atau pekerja yang baru memasuki pasar tenaga
12 13 14
22
Wicaksono, 2008. Alisjahbana et al., 2008. Ibid.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
kerja. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa intervensi melalui pelatihan, seperti program Jóvenes di Amerika Latin (Kotak 2), telah berhasil meningkatkan kondisi ketenagakerjaan bagi peserta pelatihan.15 Berbagai program tersebut tak sekadar memberikan pelajaran berbasis ruang kelas, tetapi juga serangkaian layanan lebih luas yang mencakup: magang, bantuan pencarian kerja atau pelatihan sambil bekerja, serta subsidi upah. Kurikulumnya tidak sekadar mencakup pelatihan keahlian teknis, tetapi juga keterampilan sosial dan keterampilan hidup yang semakin diperlukan calon pemberi kerja di Indonesia. Kotak 2:
Program Jóvenes: Praktik terbaik dalam pelatihan keahlian
Program Jóvenes memberikan pelatihan bagi kaum muda dan miskin dalam hal keahlian profesi dan keterampilan hidup yang disusul dengan magang di tempat kerja. Didasarkan pada proyek percontohan di Cile pada awal 90-an, pelatihan dengan pendekatan menyeluruh ini telah menyebar ke seluruh kawasan Amerika Latin dan masingmasing negara menyesuaikan program dengan kebutuhannya. Kaum muda yang mengalami ketertinggalan diidentifikasi dengan cara-cara seperti statistik pengangguran, data sosioekonomi, dan pemetaan kemiskinan. Perusahaan swasta, LSM, lembaga publik, dan lembaga pelatihan non-formal yang memenuhi persyaratan berkompetisi untuk memberikan pelatihan. Penyedia pelatihan diharuskan untuk mengatur magang bagi peserta pelatihan dan memastikan keahlian seperti apa yang dibutuhkan pemberi kerja lokal sebelum menerima dana untuk mengadakan pelatihan. Dengan cara ini, kegiatan magang akan memberikan informasi mengenai keahlian yang sedang dibutuhkan. Pelatihan keterampilan hidup secara intensif berfokus terutama pada keahlian memecahkan masalah, perilaku tempat kerja yang benar, mengelola konflik, teknik pencarian kerja, dan membangun kepercayaan diri. Programa Jóvenes en Acción. Uji coba versi Kolombia dari program ini dimulai pada bulan Mei 2001 dengan menawarkan kursus pelatihan pekerjaan bagi 100.000 laki-laki dan perempuan yang menganggur dan menempati dua tingkat pendapatan terendah. Program dilaksanakan di tujuh kota dengan investasi keseluruhan senilai 17,6 juta dolar Amerika. Program pelatihan ini adalah bagian dari Jaringan Dukungan Sosial (Red de Apoyo Social) yang juga mencakup pekerjaan umum secara darurat untuk menciptakan penghasilan dan pendidikan keluarga serta tunjangan kesehatan untuk keluarga pedesaan miskin. Kaum muda berusia antara 18 dan 25 tahun menerima tunjangan dan voucher pelatihan yang dapat mereka gunakan untuk mendaftar pada kursus pelatihan pilihan mereka dari daftar penyedia pelatihan yang dipilih secara kompetitif. Pelatihan pekerjaan berlangsung sekitar tiga bulan dan diikuti dengan magang tiga bulan di sebuah perusahaan atau organisasi. Penerima manfaat juga menerima tunjangan makan dan transportasi. Program ini dikelola oleh kelompok yang terdiri atas lembaga pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan swasta. Evaluasi terhadap program Jovenes en Acción memperlihatkan hasil mengesankan berikut ini: Tingkat lapangan kerja yang lebih tinggi: Bagi perempuan, pelatihan telah meningkatkan peluang mereka untuk memperoleh pekerjaan, lamanya hari dan jam bekerja, serta peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan kontrak tertulis. Dampak yang serupa, namun lebih terbatas juga dirasakan laki-laki. Kenaikan upah: Dampak yang paling signifikan dari program ini adalah peningkatan besar pada upah: upah perempuan meningkat 35 persen, sementara upah laki-laki meningkat 18 persen. Hemat biaya: Program ini menciptakan perolehan bersih yang besar, terutama bagi perempuan. Bahkan dengan menggunakan perhitungan efektivitas biaya yang paling konservatif sekalipun, ada isyarat bahwa manfaat bersih dari program ini lebih dari cukup untuk menjustifikasi pelaksanaannya dan kemungkinan perluasannya. Tingkat pengembalian investasi (IRR) terendah adalah 13,5% untuk perempuan dan 4,5% untuk laki-laki. Sumber: Attanasio, Orazio, Adriana Kugler, dan Costas Meghir. 2007.
Indonesia memerlukan program pelatihan keahlian yang baru dan memiliki cakupan memadai untuk menjangkau mereka yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal atau fasilitas pelatihan publik. Program pelatihan menyeluruh yang baru ini dapat menjadi komponen kedua dalam
15
Puerto dan Fares, 2008.
23
strategi nasional untuk melengkapi pekerja dengan keahlian yang relevan bagi pekerjaannya. Berbeda dengan BLK yang ada saat ini, program masa depan tersebut harus membantu para pekerja yang rentan dan kurang beruntung, terutama para pekerja informal yang berusia muda dan miskin, yang akan memperoleh manfaat paling besar dari kesempatan kedua. Penyedia layanan yang dikontrak (baik dari sektor swasta maupun LSM) dapat dipakai untuk mengujicobakan program. Kementerian Tenaga Kerja sebaiknya memimpin di depan dalam perencanaan strategis dan pemantauan kinerja lembaga pelaksana. Dukungan bagi kemitraan swasta-publik akan membantu terbangunnya hubungan dengan calon pemberi kerja dan memastikan bahwa penyedia pelatihan telah melakukan survei terhadap pemberi kerja lokal guna memastikan kebutuhan pasar tenaga kerja lokal. Namun, pelatihan saja tidak dapat melindungi pekerja yang rentan dari risiko yang mereka hadapi. Diperlukan upaya tambahan untuk melindungi mereka jika terjadi guncangan lapangan kerja dan upah.
III. Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja Melindungi pekerja yang rentan terhadap guncangan lapangan kerja dan upah Tanpa adanya sistem perlindungan sosial bagi pekerja, pasar tenaga kerja informal dan pertanian berfungsi sebagai jaring pengaman selama terjadinya guncangan lapangan kerja dan upah. Krisis keuangan Asia Timur tahun 1997 berdampak sangat berat bagi pekerja Indonesia. Upah riil median anjlok sampai 31 persen dalam satu tahun dan banyak pekerja sektor formal yang kehilangan pekerjaannya (Gambar 15). Tingkat lapangan kerja yang stabil menyembunyikan realokasi pekerja secara besar-besaran ke sektor informal dan pertanian yang berfungsi sebagai jaring pengaman karena tidak adanya sistem perlindungan dari pemerintah. Pembalikan transformasi struktural ini merupakan langkah mundur bagi banyak pekerja dan juga bagi pembangunan Indonesia. Gambar 15:
Upah riil median (Rp)
Gambar 16:
Jobless growth - pangsa pekerjaan non-tani (persen) Masa pemulihan pascakrisis (1999-2003)
90
5000
80
4500
70
4000
Indonesia Malaysia Thailand
Cina Filipina Vietnam
60
3500 50
3000 40
2500 1990 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2006 2007
30
20 1990
Sumber: Sakernas
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
Sumber: Sakernas
Tanggapan pemerintah berupa kebijakan untuk meningkatkan upah minimum besar-besaran, gagal melindungi pekerja berupah rendah setelah krisis dan menyebabkan semakin tersisihnya pekerja informal. Selepas krisis keuangan 1997 dan peralihan Indonesia menuju demokrasi, upah minimum di Indonesia meningkat pesat untuk membantu karyawan pulih dari krisis upah. Upah minimum yang tinggi digunakan sebagai mekanisme penentu upah bagi pekerja tanpa keahlian dan turut menimbulkan kenaikan
24
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
upah rata-rata.16 Kenaikan upah minimum menimbulkan akibat yang tidak diharapkan, yaitu berkurangnya ketersediaan pekerjaan formal dan non-tani (Gambar 17). Keadaan ini terutama mempengaruhi sektor jasa yang sedang berkembang sehingga sektor ini menjadi tak lagi sepadat karya dahulu akibat kenaikan upah pesat selama periode pemulihan krisis tahun 1999-2003. Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan yang mengalami jobless growth selama periode tersebut dan gagal memperluas peluang kerja di sektor formal dan non-tani (Gambar 16). Gambar 17:
Upah minimum dan lapangan kerja formal
Gambar 18:
60
4.000
50
3.000
40
2.000
30
1.000
20
0
Upah minimum dan ketidakpatuhan
2007
2005
2006
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1997
1998
1996
1993
1994
1992
1991
1990
Pangsa lapangan kerja formal (%, sumbu kiri) Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan)
Sumber: Sakernas 2006 dan Bank Dunia
Persentase karyawan penerima gaji
60 50 40 30 20 10 0 Terbawah
Kedua
Ketiga
Keempat
Teratas
Kuintil Perkiraan Konsumsi Per Kapita
Sumber: Sakernas 2006 dan Bank Dunia
Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan upah minimum juga gagal memberikan jaring pengaman yang efektif bagi pekerja berupah rendah. Karyawan miskin menarik manfaat paling kecil dari kenaikan upah minimum karena mereka berpeluang lebih besar untuk bekerja pada pemberi kerja yang tidak patuh terhadap aturan upah minimum, yang cenderung merupakan usaha kecil dan menengah yang berada di bawah ambang batas pengawasan inspektur tenaga kerja (Gambar 18). Selama terjadinya kemerosotan ekonomi, pekerja yang berisiko kehilangan pekerjaannya hanya memiliki sedikit jaring pengaman yang dapat diandalkan. Meskipun Indonesia berhasil melewati kemerosotan ekonomi global yang terjadi baru-baru ini, banyak yang mempertanyakan kesiapan pemerintah untuk melindungi pekerja yang diberhentikan dan membutuhkan penghasilan stabil untuk membiayai keluarganya. Uang pesangon dan dana pensiun tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi pekerja yang kehilangan pekerjaannya.17 Peningkatan upah minimum pekerja pun sama sekali tidak akan membantu pekerja yang telah kehilangan pekerjaan. Bahkan sebaliknya, menaikkan biaya tenaga kerja selama terjadinya krisis dapat membuat Indonesia jatuh kembali dalam jobless growth. Tanpa adanya sistem perlindungan sosial bagi pekerja, mereka akan kembali ke pekerjaan di sektor informal dan pertanian skala kecil sebagai jaring pengaman, meskipun pekerjaan tersebut hanya memberikan upah kecil dan tidak memberikan jaminan penghasilan. Meningkatkan frekuensi pengumpulan dan menambah kelengkapan data ketenagakerjaan dapat membantu mendeteksi guncangan dengan cepat dan mengetahui dengan akurat pekerja yang terpengaruh. Untuk melindungi pekerja dari guncangan, diperlukan pengumpulan informasi terkini dan penentuan dengan tepat daerah dan rumah tangga yang paling terkena dampaknya. Saat ini, survei tenaga kerja hanya dilakukan dua kali setahun dengan ukuran sampel yang besar. BPS dapat meningkatkan keterkinian data dan sekaligus mengurangi biaya dengan menerapkan pendekatan survey kuartalan atau
16 17
Saget, 2006. Vroman, 2007.
25
terus-menerus yang dapat menghasilkan data ketenagakerjaan per kuartal atau per bulan. Selain itu, ada pula kebutuhan untuk memperluas pertanyaan survei untuk memantau dengan lebih baik kerentanan di antara para pekerja. Fasilitas penelitian dan think tank lokal, yang didukung dengan bantuan teknis dan pembangunan kapasitas, dapat menggunakan data ini untuk melacak perubahan di pasar tenaga kerja dan mendiagnosis bagaimana guncangan dirasakan oleh pekerja sehingga mekanisme tanggapan dapat dirancang dengan lebih baik. Keterlambatan penyaluran tanggapan program dapat berdampak sangat mahal bagi para pekerja yang rentan dan keluarga mereka. Data ini dapat dimasukkan ke dalam sistem pemantauan yang mampu mendeteksi guncangan di masa depan, termasuk guncangan upah dan lapangan kerja. Jaring pengaman darurat tidak akan efektif atau tepat waktu jika tidak disertai dengan sistem pemantauan dan tim siaga yang bertanggung jawab memeriksa data yang tersedia (termasuk laporan dari lapangan) untuk mendeteksi krisis yang sudah di depan mata. Sistem Pemantauan dan Respon terhadap Krisis (Crisis Monitoring and Response System - CMRS) bertindak sebagai prototipe bagi sistem pemantauan dan tanggapan masa depan yang dapat dibuat berkesinambungan sehingga guncangan di masa depan dapat dipantau dan diatasi begitu muncul. Informasi yang diperoleh melalui pemantauan dapat menjadi masukan bagi rancangan sistem tanggap darurat di masa depan, yang mengatur kapan dan bagaimana jaring pengaman bagi pekerja akan disalurkan untuk mengantisipasi serangkaian kemungkinan guncangan. Sistem harus mengidentifikasi pemicu yang dapat membenarkan penyaluran bantuan sementara melalui berbagai jalur program. Untuk mengembangkan sistem ini, perlu disiapkan terlebih dahulu pedoman yang mengantisipasi tanggapan terhadap skenario tertentu, termasuk rincian mengenai identifikasi penerima, besarnya dan jenis paket bantuan (misalnya tunai atau berupa barang, pekerjaan umum), dan kapan bantuan diakhiri. Rancangan sistem tanggapan juga harus menjelaskan bagaimana berbagai lembaga akan bekerja sama untuk melakukan perancangan, aktivasi, pembiayaan, dan penyaluran demi tersedianya bantuan dengan secepat dan seefisien mungkin. Salah satu pilar sistem nasional untuk menanggapi guncangan semestinya berupa kerangka kerja pekerjaan umum. Kerangka kerja ini mengatur kapan, di mana, dan bagaimana proyek penciptaan lapangan kerja akan disalurkan untuk mengantisipasi serangkaian kemungkinan guncangan. Hal ini termasuk mengidentifikasi pemicu yang akan meluncurkan proyek pekerjaan umum atau meningkatkan alokasi bagi program padat karya yang sudah ada. Sebagai contoh, PNPM-Mandiri dapat menyalurkan dana untuk mendukung proyek pembangunan padat karya yang telah diidentifikasi masyarakat setempat di area pedesaan, sebuah langkah yang telah berhasil mengurangi angka pengangguran. Selain itu, perlu diidentifikasi proyek atau jalur untuk memberikan bantuan sementara kepada pekerja di area perkotaan saat dibutuhkan. Pada saat bersamaan, sistem tanggapan dapat diisi daftar siaga mengenai proyek infrastruktur yang sedang direncanakan dan sudah berjalan, yang dapat dengan cepat menyerap pekerja selama terjadinya guncangan baik di area pedesaan maupun perkotaan. Belajar dari masa lalu dan berpegang pada “praktik terbaik” internasional akan memastikan bahwa bantuan dapat menjangkau pekerja yang paling memerlukannya. Berbagai praktik terbaik tersebut mencakup: menunjuk satu lembaga di tingkat pusat yang bertanggung jawab memimpin strategi keseluruhan dan memantau pelaksanaan program; menggunakan penetapan target geografis secara sistematis untuk menentukan lokasi program; menetapkan upah di bawah tingkat pasaran bagi pekerja tanpa keahlian sehingga para pekerja tersebut akan terseleksi mandiri ke dalam program; mendorong keikutsertaan perempuan dengan mengubah elemen rancangan program; dan memilih proyek padat karya yang telah diidentifikasi oleh masyarakat atau mendukung proyek infrastruktur yang telah dimasukkan dalam strategi pengembangan akan membantu memastikan bahwa proyek pekerjaan umum dapat berguna dan produktif.
26
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
IV. Mendukung Pembuatan Kebijakan Berbasis Bukti Mendorong kemajuan dengan mengisi kekurangan pengetahuan di pasar tenaga kerja Membangun basis empiris bagi perdebatan sengit di seputar kebijakan ketenagakerjaan. Meskipun peningkatan frekuensi pengumpulan data dapat membantu pembuat kebijakan untuk memberi tanggapan “tepat waktu”, perlu diperhatikan juga jenis data seperti apa yang dikumpulkan. Sakernas semestinya dirancang untuk mengumpulkan data yang dapat menjawab pertanyaan paling mendesak dari para pembuat kebijakan. Sebagai contoh, modul mengenai pesangon perlu dilanjutkan untuk mengetahui dampak peraturan pesangon terhadap kondisi ketenagakerjaan para pekerja. Pengumpulan data mengenai status kontrak sangatlah penting untuk melacak seberapa jauh telah terjadi segmentasi di pasar tenaga kerja. Upaya ini akan menjadi masukan saat menentukan kebijakan dan program apa yang diperlukan untuk menargetkan sub-kelompok pekerja tertentu. Dapat pula dipertimbangkan untuk melaksanakan studi pelacakan kondisi ketenagakerjaan yang terkait dengan perbedaan pendidikan dan pengalaman pelatihan. Memantau dan mengevaluasi dengan ketat program dan lembaga yang sudah ada untuk mempelajari mana yang memberikan hasil dan mana yang tidak berguna. Tidak banyak yang diketahui mengenai kinerja berbagai lembaga ketenagakerjaan yang sudah ada karena berbagai lembaga tersebut tidak dipantau atau dievaluasi dengan teliti. Kajian kualitatif dan kuantitatif dapat mengidentifikasi jenis SMK negeri mana dan pusat pelatihan non-formal mana yang memberikan hasil lebih baik. Memantau dan mengkaji kinerja proses penyelesaian perselisihan dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang baru dibentuk untuk memperoleh data yang diperlukan guna memperbaiki tingkat keberhasilan mekanisme penyelesaian pra-sidang dan mengurangi kemacetan di PHI sehingga meningkatkan kecepatan dan menghemat biaya proses penyelesaian. Membuat dasar bagi arah yang baru dengan melakukan uji coba terhadap pendekatan baru.Masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk mengkaji sistem alternatif yang dapat memberikan tunjangan pengangguran, seperti misalnya simulasi dan kajian kelembagaan. Berinvestasi dalam analisis menyeluruh dan belajar dari pengalaman negara lain yang berpenghasilan menengah sebagai masukan bagi rancangan mekanisme jaminan sosial masa depan agar terhindar dari kesalahan yang mahal. Demikian pula perlu dilakukan pengujian terhadap program baru, seperti program pelatihan keahlian menyeluruh, dengan melakukan uji coba pendekatan tersebut pada area tertentu sebelum diperluas ke skala nasional. Untuk program yang berpotensi menjadi besar dan ambisius dari segi fiskal, perlu memasukkan pengacakan (randomization) dalam rancangan proyek untuk mengukur dampak dan penghematan biaya secara lebih akurat. Melakukan evaluasi dampak yang ketat terhadap program pelatihan dan pekerjaan umum di masa depan untuk mengetahui apakah pendekatan yang diambil sudah hemat biaya dan dapat meningkatkan kondisi ketenagakerjaan bagi pekerja. Memperkuat jaringan fasilitas riset dan lembaga penelitian (think tank) di Indonesia. Pembuat kebijakan dan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas program ketenagakerjaan sangat bergantung pada analisis yang tepat untuk mengambil keputusan. Hal ini membutuhkan berfungsinya tiga komponen yang saling berkaitan. Yang pertama, Kementerian Tenaga Kerja harus memastikan tersedianya data tenaga kerja paling baru secara umum. Yang kedua, lembaga pemerintah perlu memahami cara mengajukan pertanyaan yang tepat dan mengadakan proyek riset yang dapat memberikan jawabannya. Yang terakhir, membangun kemampuan teknis peneliti di berbagai think tank dan fasilitas riset universitas untuk melaksanakan riset kebijakan ketenagakerjaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis.
27
Laporan Lapangan Kerja Indonesia: Matriks Ringkasan Rekomendasi Kebijakan
Pelatihan Keahlian
Reformasi Peraturan
Bidang Kebijakan
Persoalan & Hambatan Utama
Langkah Spesifik
Jangka Waktu & Urutan Pelaksanaan
Pembayaran pesangon dengan nilai kecil menyebabkan kebanyakan karyawan tidak terlindungi dalam hal pemberhentian kerja.
Memperkenalkan sistem tunjangan pengangguran (dana pesangon bersama, sistem rekening pesangon individual, atau bantuan pengangguran berbentuk tunjangan tetap) sebagai pelengkap sistem Jaminan Sosial Nasional.
Sistem “post-pay” menciptakan ketidakpastian bagi pemberi kerja dan mengurangi peluang pekerja yang diberhentikan untuk menerima pesangon.
Mengadopsi sistem pendekatan kontribusi bulanan agar perusahaan memberikan kontribusi pesangon bulanan ke sebuah rekening yang dikelola oleh pihak ketiga.
Jangka pendek: Memulai proses reformasi dengan mengadakan studi simulasi mengenai sistem alternatif dan mengadakan kajian untuk menentukan sistem mana yang paling cocok dalam konteks kelembagaan Indonesia.
Aturan yang rumit dan tingkat pesangon tinggi yang diwajibkan secara hukum akan mengurangi minat wiraswasta untuk memulai bisnis baru dan menghambat potensi investasi asing.
Menyederhanakan aturan penentuan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Menurunkan tingkat pesangon agar sesuai dengan standar kawasan.
Permintaan akan pekerja berpendidikan lebih tinggi masih besar, tetapi pembangunan sekolah menengah atas umum telah dibekukan.
Menghapus kebijakan untuk membekukan pembangunan sekolah menengah atas umum.
Target saat ini untuk perluasan SMK tidak memberikan perbaikan yang jelas terhadap kondisi ketenagakerjaan dan tidak hemat biaya.
Mengganti kebijakan “70:30” dengan pendekatan berbasis pasar untuk menentukan komposisi sekolah kejuruan dan sekolah umum yang tepat. Mengembangkan strategi untuk memperbaiki mutu sekolah kejuruan dan mendorong hubungan yang lebih kuat dengan calon pemberi kerja.
Pusat pelatihan publik tidak cukup untuk memenuhi permintaan dan umumnya hanya memberi manfaat bagi pekerja yang telah memiliki pekerjaan.
28
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Memperkenalkan program pelatihan keahlian nasional yang menyeluruh untuk menargetkan pekerja muda, miskin, dan informal. Mengimplementasi program melalui penyedia layanan swasta dan NGO, dengan pengawasan dari pemerintah.
Jangka menengah: Memfasilitasi negosiasi multi pihak untuk mengurangi tingkat pesangon dan, sebagai gantinya, menerapkan sistem tunjangan pengangguran terpilih. Mengembangkan peta langkah reformasi yang terkait dengan reformasi sistem Jaminan Sosial Nasional.
Jangka pendek: Melakukan studi pelacakan kondisi ketenagakerjaan siswa dari berbagai jenis sekolah. Meneliti berbagai opsi untuk program pelatihan keahlian non-formal. Melakukan kunjungan pertukaran ke berbagai program Jovenes di negara Amerika Latin tertentu. Jangka menengah: Mendukung sekolah kejuruan untuk mengadakan survei terhadap pemberi kerja di daerah mereka untuk mengidentifikasi keahlian yang dibutuhkan. Melakukan percontohan dan uji coba sebuah program pelatihan keahlian menyeluruh nonformal di area terpilih dengan peserta acak.
Riset Kebijakan Ketenagakerjaan
Jaring Pengaman bagi Pekerja
Ringkasan Eksekutif
Tanpa adanya data terbaru, sulit menentukan daerah dan kelompok pekerja yang mengalami dampak guncangan lapangan kerja dan upah agar dapat dibuatkan program tanggapan.
Mengkonversi Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menjadi pendekatan terusmenerus sehingga dapat memberikan data tiap bulan atau tiap triwulan sambil tetap menghemat biaya.
Tidak ada jaring pengaman yang dapat digunakan secara efektif untuk melindungi pekerja miskin dan berupah rendah selama terjadinya guncangan lapangan kerja dan upah.
Mengembangkan program pekerjaan umum nasional untuk menargetkan kaum miskin yang bersedia bekerja dan membayarkan upah di bawah harga pasar bagi pekerja tanpa keahlian. Menggunakan program seperti PNPM sebagai mekanisme untuk pendaftaran peserta dan menyalurkan dana bagi proyek padat karya.
Data yang dikumpulkan dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) belum cukup untuk menjawab pertanyaan mendesak mengenai kebijakan.
Memperluas pengumpulan data yang terkait dengan pertanyaan kunci mengenai kebijakan. Melanjutkan modul pesangon dalam Sakernas dan mengumpulkan data mengenai status kontrak.
Belum ada cukup banyak riset kebijakan ketenagakerjaan bermutu tinggi, terutama studi kuantitatif, sebagai masukan bagi pengembangan kebijakan.
Memastikan bahwa Biro Pusat Statistik dapat menyediakan data pasar tenaga kerja kepada masyarakat umum secara tepat waktu. Membangun kapasitas lembaga pemerintah untuk merumuskan pertanyaan riset dan memulai proyek. Meningkatkan kapasitas teknis berbagai lembaga penelitian untuk mengadakan riset kebijakan ketenagakerjaan kuantitatif.
Jangka pendek: Menentukan ukuran sampel yang optimal untuk melakukan Sakernas triwulan dan implikasi anggarannya. Jangka menengah: Membentuk tim teknis untuk mengembangkan rencana strategis bagi terciptanya program pekerjaan umum permanen. Hal yang perlu dimasukkan: tujuan, fitur rancangan, mekanisme penyaluran, pengaturan kelembagaan, dan peta langkah demi langkah.
Jangka pendek: Mengadakan lokakarya bersama Kementerian Tenaga Kerja, BPS, dan Bappenas untuk mengidentifikasi data ketenagakerjaan yang dibutuhkan dan mengusulkan perubahan terhadap Sakernas. Mengembangkan perangkat yang dapat digunakan peneliti untuk melacak dan menganalisis tren ketenagakerjaan. Jangka menengah: Mengembangkan dan mendukung program pelatihan bagi peneliti ketenagakerjaan. Memberikan bantuan keuangan bagi jaringan peneliti kebijakan ketenagakerjaan.
29
Bab 1
Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia Dari 1990 sampai 2008
Bab 1 Ringkasan Pengamatan terhadap evolusi pasar tenaga kerja Indonesia akan membantu kita untuk lebih memahami situasi ketenagakerjaan saat ini. Selama dua puluh tahun terakhir, Indonesia telah merasakan guncangan dan penyesuaian ekonomi besar, mengalami perubahan politik secara radikal, dan memperbarui kebijakan ketenagakerjaan nasionalnya. 1990 – 1997: Pertumbuhan Pesat. Sebelum terjadinya krisis keuangan, kombinasi dari pertumbuhan ekonomi yang kuat, meningkatnya lapangan kerja perkotaan, dan angkatan kerja yang berpendidikan lebih tinggi telah memperkuat pasar tenaga kerja Indonesia. Semakin banyak pekerja yang memperoleh pekerjaan lebih baik dengan upah lebih tinggi. Ketimpangan upah pun berkurang seiring banyaknya pekerja – terutama pekerja dari pedesaan dan pekerja berpendidikan lebih rendah – yang meninggalkan pertanian dan memperoleh pekerjaan di sektor industri dan jasa yang sedang tumbuh pesat. Pekerja miskin juga meninggalkan pekerjaan pertanian dan masuk ke sektor formal, sehingga turut mengurangi kemiskinan dalam jumlah berarti. 1997 – 1999: Bertahan di Tengah Krisis. Meskipun Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product(GDP) riil menurun tajam, jumlah pekerjaan secara mengejutkan tetap stabil selama krisis. Sektor pertanian dan informal mampu menyerap pekerja yang diberhentikan dan kaum perempuan memasuki angkatan kerja dalam jumlah besar. Namun demikian, para pekerja tetap merasakan pahitnya krisis akibat pemotongan upah yang menyebabkan banyak pekerja hampir miskin (near-poor) jatuh kembali dalam kemiskinan. Meskipun semua pekerja merasakan akibat krisis, penurunan upah di antara petani pedesaan yang memiliki lahan sendiri dapat diredam oleh kenaikan harga beras yang tinggi. 1999 – 2003: Pertumbuhan tanpa penciptaan Pekerjaan. Bersamaan dengan peralihan menuju demokrasi, terjadi pula pembaruan legislatif, termasuk pemberlakuan dua undang-undang penting: Undang-Undang Serikat Pekerja (No. 21/2000) dan Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 21/2000). Pekerja yang menerima gaji – terutama pekerja di perkotaan dan pekerja tidak miskin – diuntungkan karena kenaikan upah yang besar dan pesangon yang diwajibkan undang-undang selama masa pemulihan ekonomi, demokratisasi, dan reformasi legislatif ini. Ketersediaan pekerjaan formal menurun karena peningkatan upah dan pengurangan besar-besaran jumlah Pegawai Negeri Sipil. Masih ada pekerja yang terpaksa kembali ke pertanian, namun hal ini terjadi pada laju yang lebih rendah daripada periode krisis. Pekerja yang miskin, berada di pedesaan, dan berpendidikan lebih rendah adalah yang paling rentan terdesak ke pekerjaan informal dan pertanian. 2003-2008: Pemulihan Lapangan Kerja. Secara riil, upah menurun drastis tahun 2005 dan stagnan sampai sekarang, kecuali untuk pekerja dengan upah tinggi. Penurunan upah ini membuka jalan bagi penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak. Semakin banyak pekerja yang memperoleh pekerjaan formal dan semakin banyak pula pekerja, terutama pekerja miskin, yang mendapatkan pekerjaan di luar pertanian. Data pasar tenaga kerja terbaru memperlihatkan tanda-tanda positif bagi periode 2007-08. Lapangan kerja terus bertambah dan semakin banyak perempuan mendapatkan pekerjaan. Semakin banyak pekerja yang meninggalkan sektor pertanian dan memasuki pasar tenaga kerja formal, terutama di kalangan laki-laki dari pedesaan. Upah mulai naik kembali, namun hal ini lebih dirasakan oleh pekerja berpenghasilan besar dan kaum perempuan, terutama mereka yang berpendidikan lebih tinggi dan tinggal di wilayah perkotaan.
I.
Pendahuluan
Dengan melihat evolusi pasar tenaga kerja Indonesia, kita dapat lebih memahami situasi saat ini. Selama dua puluh tahun terakhir, Indonesia telah merasakan guncangan dan penyesuaian ekonomi besar, mengalami perubahan politik secara radikal, dan memperbarui kebijakan ketenagakerjaan nasionalnya. Setiap fenomena ini mengubah jalannya pasar tenaga kerja menjadi lebih baik maupun lebih buruk. Dengan mengkaji secara saksama sejarah pasar tenaga kerja selama dua puluh tahun terakhir, dapat ditemukan sejumlah faktor yang telah memperkuat, maupun memperlemah, kemampuan Indonesia untuk menghasilkan lapangan kerja lebih baik bagi angkatan kerja yang terus bertambah.
32
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1 Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
Bab 1 mengkaji tren pasar tenaga kerja di Indonesia sejak 1990. Untuk mengkaji tren dalam tiga indikator inti pasar tenaga kerja – lapangan kerja, struktur tenaga kerja, dan upah (Kotak 1.1) – periode waktu tersebut dapat dibagi menjadi empat era. Masing-masing era memiliki kombinasi unik antara pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan pengembangan kebijakan ketenagakerjaan sehingga ada yang diuntungkan maupun dirugikan. Bab ini mengkaji masing-masing aspek tersebut dalam empat era: Yang pertama mencakup periode 1990-97 pada masa-masa akhir Orde Baru sebelum terjadinya krisis keuangan. Yang kedua mengkaji pengaruh krisis keuangan di Asia terhadap pasar tenaga kerja Indonesia pada 1997-99. Yang ketiga berfokus pada periode pascakrisis, 1999-2003, saat ekonomi mulai tumbuh lagi tetapi hanya menciptakan sedikit lapangan kerja. Yang keempat menelaah periode 2003-2007 ketika lapangan kerja formal mulai tumbuh lagi. Bagian kelima dan terakhir memberikan informasi terkini mengenai pasar tenaga kerja dengan menggunakan data terbaru dari 2007-08. Meskipun belum diketahui dengan jelas apakah hal ini merupakan kelanjutan era sebelumnya atau merupakan awal yang baru, namun tampak tanda-tanda masa depan yang lebih baik. Kotak 1.1
Apa indikator terbaik untuk kinerja pasar tenaga kerja?
Meskipun tingkat pengangguran dan setengah pengangguran sering kali digunakan, keduanya dapat menyesatkan jika dipakai sebagai indikator kesehatan pasar tenaga kerja. Media dan politisi biasanya menggunakan tingkat pengangguran untuk menilai kinerja pasar tenaga kerja. Istilah ‘penganggur’ mencakup dua kelompok orang: mereka yang tidak punya pekerjaan, tetapi masih aktif mencari kerja (80 persen dari jumlah penganggur tahun 2007); dan pekerja patah semangat (discouraged worker) yang tidak lagi berharap untuk mendapatkan pekerjaan. Pengangguran terbuka (under employment) juga merupakan indikator populer yang mengukur proporsi populasi yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu dan bersedia menerima pekerjaan lain. Namun, pengangguran dan pengangguran terbuka tak hanya ditentukan oleh ketersediaan pekerjaan. Kedua indikator ini juga bergantung pada faktor sosioekonomi rumah tangga termasuk: tingkat penghasilan anggota rumah tangga yang lain; bantuan non-pasar yang diterima oleh rumah tangga tersebut; status si pekerja dalam rumah tangga tersebut (kepala rumah tangga akan merasakan tekanan lebih kuat untuk mengambil pekerjaan informal); preferensi mengenai keikutsertaan perempuan dalam angkatan kerja; dan beda upah antara sektor formal dan informal. Berbagai faktor sosioekonomi rumah tangga tersebut menyebabkan sulitnya menafsirkan perubahan tingkat pengangguran dan pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran dan pengangguran terbuka telah terbukti kurang dapat diandalkan sebagai sinyal kinerja pasar tenaga kerja di Indonesia. Pengkajian sejarah pasar tenaga kerja di Indonesia memperlihatkan ketidakcocokan antara tingkat pengangguran dan kinerja pasar tenaga kerja. Sebagai contoh, naiknya pengangguran pada 1990-97 bukan merupakan indikasi atas pasar yang memburuk. Kenaikan ini lebih disebabkan karena bertambahnya jumlah pekerja berpendidikan (yang sedang mencari pekerjaan), sementara pertumbuhan ekonomi yang kuat menyebabkan pengangguran tidak terlalu memberatkan. Demikian pula saat krisis keuangan Asia, tingkat pengangguran secara mengejutkan tetap stabil. Banyak pekerja perkotaan yang memiliki keahlian harus kehilangan pekerjaannya, namun hal ini tidak tercermin dalam tingkat pengangguran karena perempuan miskin mulai memasuki angkatan kerja dalam jumlah besar.
33
Laporan Lapangan Kerja Indonesia bergantung pada tiga jenis indikator untuk menilai kinerja pasar tenaga kerja. a.
Lapangan kerja: Populasi orang dewasa usia kerja terbagi menjadi dua kategori: mereka yang berada di dalam angkatan kerja dan mereka yang berada di luar angkatan kerja. Indikator primer lapangan kerja adalah rasio lapangan kerja, yang didefinisikan sebagai perubahan persentase orang dewasa di dalam angkatan kerja yang memiliki pekerjaan. Indikator sekunder mencatat bahwa mereka yang berada di dalam angkatan kerja, namun tidak memiliki pekerjaan, termasuk pekerja yang menganggur dan pekerja patah semangat. Meskipun tingkat pengangguran paling banyak mendapat perhatian, rasio lapangan kerja dapat dipandang sebagai indikator yang lebih andal karena berbagai alasan yang telah dijelaskan sebelumnya.
b.
Struktur pasar tenaga kerja: Kinerja pasar tenaga kerja juga dapat diukur dengan menelaah jenis-jenis pekerjaan yang dimiliki para pekerja. Dua indikator utama yang dipakai untuk melacak perubahan struktural pasar tenaga kerja adalah: Pangsa lapangan kerja non-pertanian: Pangsa lapangan kerja sektoral (pertanian, industri, atau jasa) adalah indikator penting karena mudah diukur, dapat dibandingkan antar negara, dan memberikan informasi mengenai produktivitas pekerja dan status pekerjaan. Secara umum, pekerjaan non-pertanian relatif lebih disukai dibandingkan dengan pekerjaan pertanian karena sektor pertanian dinilai kurang produktif, mempekerjakan lebih banyak pekerja tak dibayar atau pekerja lepas, dan memiliki persentase terendah dalam mempekerjakan pekerja berpendidikan . Indikator ini diukur dalam perubahan persentase pangsa pekerja yang bekerja di bidang non-pertanian (misalnya pekerjaan sektor industri dan jasa). Pangsa lapangan kerja formal: Indikator yang lain adalah perubahan persentase dalam pangsa pekerja yang memiliki pekerjaan formal. Pekerja di sektor formal menerima gaji berkala dan berhak memperoleh tunjangan sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003. Secara umum, pekerjaan di sektor formal relatif lebih disukai daripada pekerjaan di sektor informal.18
c.
Upah rata-ratadan kesetaraan upah: Dari sudut pandang pekerja, hal terpenting yang menentukan kualitas pekerjaan yang mereka miliki mungkin adalah kompensasi total yang mereka peroleh untuk jerih payah mereka, yaitu nilai upah ditambah tunjangan. Perubahan persentase upah dinyatakan secara riil dan perubahan distribusi pekerja dikategorikan melalui kuintil upah. Sayangnya, sumber data tidak lengkap, serta tidak ada data mengenai nilai tunjangan yang diterima oleh semua pekerja dan data mengenai laba yang diperoleh sebagian besar pekerjan wiraswasta.
Perubahan ketiga jenis indikator ini memberikan gambaran jelas mengenai kekuatan dan kelemahan dalam pasar tenaga kerja. Selama periode pertumbuhan pesat (1990-97) keempat indikator di atas meningkat sesuai dengan harapan, sementara selama krisis ekonomi (1997-98) semuanya menurun. Karena alasan inilah beberapa indikator tersebut lebih dapat diandalkan daripada hanya bergantung pada tingkat pengangguran dan pengangguran terbuka.
II.
1990-1997: Bertumbuh Pesat 18
Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan yang besar dari tahun 1990 sampai 1997. PDB riil tumbuh pesat pada tingkat 7 persen per tahun. Pertumbuhan ini dengan cepat
18
34
Lihat Bab 3 untuk mendapat penjelasan mengapa pekerjaan sektor formal lebih disukai daripada pekerjaan sektor informal.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1 Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
menurunkan tingkat kemiskinan sebanyak 0,5 persen per tahun sehingga tinggal 11,3 persen tahun 199619. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi meningkatkan kondisi lapangan kerja bagi pekerja di Indonesia.
Perubahan Politik dan Kebijakan Kebijakan tenaga kerja selama periode ini dicirikan oleh upaya perbaikan penghasilan angkatan kerja secara proaktif. Diciptakannya program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, atau Jamsostek, yaitu dana pensiun yang wajib diikuti dan dikelola negara bagi pekerja di sektor formal, menandai perubahan ini. Ditetapkannya upah minimum provinsi pada awal tahun 90-an bahkan dapat dikatakan sebagai perubahan yang lebih penting lagi. Upah minimum naik drastis pada tahun 1993-95 sebagai tanggapan terhadap tiga perkembangan utama.20 Yang pertama, lonjakan manufaktur non-migas yang dimulai pada pertengahan 80-an telah mendorong permintaan akan angkatan kerja yang lebih besar dan berpendidikan lebih tinggi, yang terkonsentrasi pada sektor industri di sekeliling Jakarta dan Bandung. Yang kedua, upah riil telah stagnan sejak tahun 80-an sehingga memicu aksi protes buruh yang sering terjadi pada paruh pertama tahun 90an. Yang ketiga, deregulasi ekonomi juga disertai dengan keterbukaan politik sehingga media dan aktivis buruh dapat menyoroti nasib para pekerja dalam industri manufaktur ‘baru’. Indonesia juga mendapat tekanan internasional saat pemerintah Amerika Serikat mengumumkan bahwa hak GSP (General System of Preferences) untuk Indonesia akan diperbarui dengan syarat terjadi kemajuan dalam penegakan hak buruh di Indonesia. Meskipun rezim Suharto mendorong dilakukannya perjanjian buruh kolektif, pelaksanaannya masih terbatas dan hubungan buruh masih represif. Pekerja hanya dapat bergabung dengan satu organisasi serikat pekerja yang dikendalikan dengan ketat oleh pemerintah. Sengketa perburuhan ditekan, biasanya dengan keputusan yang menguntungkan perusahaan dan dilaksanakan dengan keras, dengan bantuan militer dan polisi.
Lapangan kerja Jika dilihat di permukaan saja, secara keseluruhan lapangan kerja tidak berubah banyak selama tahun-tahun tersebut. Hanya ada kenaikan kecil dalam pengangguran yang bertambah sedikit demi sedikit sebesar 0,1 persen per tahun (Tabel 1.1).21 Hal ini menimbulkan penurunan rasio lapangan kerja — yang didefinisikan sebagai persentase orang dewasa yang memiliki pekerjaan — sebesar 0,2 persen per tahun, dari angka 64,6 persen tahun 1990 yang turun menjadi 63,2 persen tahun 1997. Namun demikian, perubahan agregat yang kecil ini menyamarkan perluasan lapangan kerja yang signifikan di area perkotaan, yang menyebabkan rasio lapangan kerja naik sampai 0,5 persen per tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Kontras dengan data tersebut, lapangan kerja bagi laki-laki di area pedesaan mengalami sedikit penurunan, sementara perempuan di pedesaan beramai-ramai meninggalkan angkatan kerja.
19
20 21
Pada tahun 1996 Badan Pusat Statistik (BPS) merubah metodologi pengukuran tingkat kemiskinan. Laporan Lapangan Pekerjaan Indonesia (Indonesia Jobs Report) menggunakan tingkat kemiskinan untuk periode tahun 1990-97 yang dihitung dengan menggunakan metode pengukuran lama. Periode berikutnya menggunakan tingkat kemiskinan yang dihitung dengan menggunakan Manning, 1998. Lihat Lampiran I.1 untuk rangkuman indikator tren menurut sub-kelompok. Catatan: laporan ini menggunakan definisi ‘lama’ mengenai pengangguran inti yang dipakai secara resmi sampai 2001. Definisi yang ‘baru’ dan lebih luas mengenai pengangguran, yang dipakai secara resmi sejak 2001, mencakup pekerja patah semangat (bagian dari populasi yang tidak lagi bekerja dan tidak lagi berharap memperoleh pekerjaan), sedangkan laporan ini membahasnya secara terpisah. Angka pengangguran tahun 1992 sampai 1997 diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) karena Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) sebelum tahun 1994 menggunakan masa referensi pencarian kerja yang lebih pendek. Kecuali bila dinyatakan lain, data yang disampaikan dalam Bab 1 didasarkan pada Sakernas.
35
Gambar 1.1
Indikator tren tenaga kerja, menurut periode 1990 -1997
1997 -1999
1999 -2003
2003 -2007
65 64 63 62
Tingkat Lapangan Kerja, 61 Persen 60 59 58
1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 8 7 6
Pengangguran (data Susenas)
5
Tingkat Pengangguran, 4 Persen
Pengangguran inti
3 2 1 0
1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
65 60 55
Pangsa Lapangan Kerja Non-Tani, 50 Persen 45 40
1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 50 45
Pangsa Lapangan 40 Kerja Sektor Formal, Persen 35 30
1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 4500 4000
Upah Karyawan Median per Jam, Persen
3500 3000 2500 2000
1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Sumber: Sakernas; Susenas untuk tingkat pengangguran 1992-97.
36
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1 Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
Tabel 1.1 Indikator Inti Lapangan Kerja Struktur Tenaga Kerja Upah
Indikator tren tenaga kerja, pertumbuhan menurut periode Rasio pertumbuhan lapangan kerja Pertumbuhan pengangguran Pertumbuhan pangsa lapangan kerja nonpertanian Pertumbuhan pangsa lapangan kerja formal Pertumbuhan upah rata-rata
1990-97 -0,2 0,1
1997-99 -0,1 0,8
1999-2003 -0,4 -0,2
2003-07 -0,1 0,5
2,1
-1,3
-0,8
1,3
1,5 7,1
-0,9 -11,0
-0,3 8,9
1,2 -3,8
Sumber: Sakernas; Susenas untuk tingkat pengangguran 1992-97.
Struktur Tenaga Kerja Urbanisasi angkatan kerja telah ikut membantu terjadinya peningkatan dramatis kualitas pekerjaan yang tersedia. Perubahan struktural yang cepat telah menarik para pekerja dari pertanian untuk pindah ke pekerjaan sektor formal yang lebih produktif. Pangsa lapangan kerja di bidang pertanian turun dari 55 menjadi 41 persen dalam jangka tujuh tahun. Semakin banyak pekerja pertanian tertarik pada sektor jasa sehingga pangsa lapangan kerja di sektor tersebut bertambah 1,3 persen per tahun, dari 30,9 persen tahun 1990 menjadi 40,3 persen tahun 1997. Sektor industri juga tumbuh 0,8 persen per tahun dan mencapai 19,1 persen dari angkatan kerja tahun di 1997. Akibat perubahan struktural ini, lapangan kerja sektor formal melonjak 1,5 persen per tahun selama periode ini (dari 34,7 persen tahun 1990 menjadi 44,9 persen tahun 1997).
Upah Para pekerja tidak hanya berpindah ke pekerjaan yang lebih formal, tetapi gaji karyawan pun lebih tinggi. Upah riil rata-rata karyawan, , tumbuh pesat sebesar 7,1 persen per tahun.22 Peningkatan upah tersebut juga disertai dengan penurunan dramatis dalam ketimpangan upah. Rasio persentil ke-90 terhadap persentil ke-10 dari upah— ukuran yang kerap dipakai untuk menghitung ketimpangan — turun dari 7,8 menjadi 6,5 karena upah buruh pada desil terbawah tumbuh 50 persen lebih cepat daripada karyawan pada desil teratas.23 Banyak kemajuan dalam kondisi ketenagakerjaan yang terjadi karena perubahan komposisi angkatan kerja. Pekerja yang memasuki pasar tenaga kerja semakin tinggi pendidikannya (pangsa pekerja yang telah tamat Sekolah Menengah Atas meningkat dari 13 menjadi 20 persen) dan tinggal di perkotaan (pangsa pekerja perkotaan meningkat dari 31 menjadi 39 persen). Empat puluh persen dari kenaikan upah rata-rata ditimbulkan oleh perubahan karakteristik pekerja, sedangkan 60 persen sisanya disebabkan oleh perubahan dalam kondisi pasar tenaga kerja yang mereka hadapi. Demikian pula, meningkatnya taraf pendidikan dan urbanisasi angkatan kerja juga telah menyebabkan turunnya lapangan kerja bidang pertanian sampai 60 persen.24
Yang Diuntungkan dan Dirugikan Pekerja pedesaan dan buruh kasar memperoleh manfaat terbesar dari perluasan sektor formal. Lapangan kerja di sektor formal bagi buruh kasar meningkat 1,1 persen per tahun, sementara bagi pekerja yang
22 23 24
Catatan: Upah hanya dicatat untuk karyawan penerima gaji, yang jumlahnya kurang dari sepertiga angkatan kerja. Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas dan Sakernas. Perhitungan staf Bank Dunia.
37
memiliki keahlian, jumlah lapangan kerja formal masih tetap sama. Pekerja pedesaan juga menikmati kenaikan pangsa lapangan kerja formal sebesar 1,2 persen per tahun, sementara pekerja perkotaan hanya menikmati tingkat kenaikan 0,4 persen. Pekerja miskin juga diuntungkan karena memperoleh pekerjaan yang lebih baik, seiring pergerakan cepat mereka dari pekerjaan pertanian ke sektor formal. 25 Karena penghasilan rumah tangga meningkat, anggota keluarga rumah tangga miskin yang terpaksa bekerja pun berkurang jumlahnya. Konsekuensinya, perempuan miskin meninggalkan angkatan kerja dengan laju 2 persen per tahun dari 1994 sampai 1997. Meskipun semakin banyak pekerja miskin dapat memperoleh pekerjaan formal, mereka yang sebelumnya telah bekerja di sektor formal tidak mendapatkan banyak manfaat. Pekerja miskin di sektor formal tidak menerima kenaikan upah yang signifikan, sementara upah pekerja tidak miskin tumbuh lebih dari 10 persen per tahun. Kotak 1.2:
Sumber data tenaga kerja di Indonesia
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) adalah survei pasar tenaga kerja dan penghasilan nasional yang dilakukan oleh BPS. Sejak diadakan pertama kalinya tahun 1976, survei tersebut telah mengalami serangkaian perubahan yang mempengaruhi cakupan, frekuensi pelaksanaan survei, jumlah rumah tangga yang dijadikan sampel, dan jenis informasi yang dikumpulkan. Sakernas adalah sumber data lapangan kerja terbesar dan paling mewakili di Indonesia. Sebuah modul khusus ditambahkan pada tahun 2007 untuk mengajukan pertanyaan mengenai pencarian kerja, pelatihan, keanggotaan serikat pekerja, pekerja kontrak, dan pembayaran pesangon, demi mendapatkan pemahaman lebih jelas mengenai penghambat utama dalam penciptaan lapangan kerja. Tabel 1.2 Periode
Ringkasan Survei Sakernas Cakupan Frekuensi
Ukuran survei Rumah tangga
25
38
Individu
1976
Nasional
Tahunan
95.400
290.000
1977-78
Nasional
Tahunan
71.550
250.000
1986-93
Nasional
Tahunan
65.490
200.000
1994-97
Provinsi
Tahunan
70.000
250.000
1998-2001
Provinsi
Tahunan
40.000
150.000
2002-04
Provinsi
Tahunan
70.000
200.000
2005-06
Provinsi
Enam bulanan (Februari dan Agustus)
68.000
200.000
2007-08
Provinsi
Februari
68.000
220.000
Kabupaten
Agustus
286.000
900.000
Catatan: Data konsumsi rumah tangga tidak dikumpulkan dalam Sakernas. Untuk laporan ini, rumah tangga miskin dan hampir miskin ditentukan berdasarkan perkiraan konsumsi per kapita. Rumah tangga pada kuintil terbawah perkiraan konsumsi per kapita dianggap sebagai rumah tangga miskin; yang berada pada kuintil kedua perkiraan konsumsi per kapita dianggap hampir miskin. Rumah tangga pada kuintil ketiga, keempat, dan kuintil terkaya diklasifikasikan sebagai tidak miskin. Konsumsi per kapita diperkirakan dalam Susenas dengan menggunakan variabel demografi yang lazim dipakai dalam kedua survei tersebut: besarnya rumah tangga; pendidikan kepala rumah tangga dan pasangannya; umur, jenis kelamin, dan status pernikahan kepala rumah tangga, dan; peubah boneka (dummy variable) untuk wilayah pedesaan dan perkotaan di setiap kabupaten. Hasil regresi kemudian digunakan untuk menyusun perkiraan konsumsi per kapita dalam Susenas. Setiap tahun, regresi yang dipakai sebagai perkiraan dapat menjelaskan antara 55 dan 65 persen variasi dalam log konsumsi per kapita, sehingga memastikan bahwa perkiraan konsumsi tersebut dapat menjadi indikator yang berarti mengenai status ekonomi sebuah rumah tangga.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1 Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga (Indonesia Family Life Survey - IFLS) adalah survei rumah tangga longitudinal yang mengumpulkan informasi terperinci mengenai individu dan rumah tangga, termasuk mengenai kondisi ketenagakerjaan dan migrasi. Survei telah dilakukan empat kali: 1993, 1997, 2000, dan 2008. Pada tahun 1998, dilakukan sub-survei terhadap seperempat dari rumah tangga yang pernah disurvei untuk mendapat gambaran mengenai pengaruh krisis ekonomi Indonesia dengan mengumpulkan data mengenai siapa saja yang terpengaruh krisis dan strategi yang diambil untuk mengurangi dampak krisis. Survei gelombang pertama mewawancarai kira-kira 7.200 rumah tangga di 13 provinsi dari keseluruhan 27 provinsi, mewakili sekitar 83 persen dari populasi Indonesia. Pada gelombang keempat, jumlah rumah tangga yang disurvei telah bertambah sampai kira-kira 13.000 seiring upaya survei untuk mewawancarai kembali peserta survei sebelumnya yang telah membentuk atau bergabung dengan rumah tangga baru. Secara umum, 87,6 persen dari rumah tangga yang ikut serta dalam gelombang pertama dapat diwawancarai kembali dalam ketiga gelombang survei berikutnya. Tingkat keberhasilan dihubungi kembali ini sama tinggi, atau lebih tinggi, daripada studi longitudinal di Amerika Serikat atau Eropa, sehingga ikut mendukung kualitas data dengan mengurangi risiko bias akibat perubahan populasi survei secara takacak (nonrandom attrition). Laporan Lapangan Kerja Indonesia bergantung pada Sakernas untuk data tenaga kerja manakala mungkin. Namun dalam beberapa kasus, sumber data yang lebih disukai adalah IFLS. Sebagai contoh, IFLS digunakan sebagai sumber data utama pada Bab 3 karena, tidak seperti Sakernas yang hanya mengajukan pertanyaan mengenai penghasilan di sektor formal yang berupa upah atau gaji, IFLS juga mengajukan pertanyaan mengenai penghasilan mereka yang berwiraswasta. IFLS juga mengumpulkan informasi terperinci mengenai karakteristik responden dan rumah tangga yang berguna untuk mengontrol karakteristik tersebut dalam analisis regresi. Tabel 1.3 Gelombang
Ringkasan Survei IFLS Periode Ukuran Survei Survei Rumah Tangga
Pelaksana
Tingkat Keberhasilan Dihubungi/Dihubungi Kembali
Individu
1
Agustus 7.224 1993 – Juni 2004
+30.000
RAND, Lembaga Demografi (Universitas Indonesia).
93% dari rumah tangga terpiliih dapat dihubungi.
2
Juni – November 1997
7.619
33.934
94% dari rumah tangga IFLS1 dapat dihubungi kembali.
2+
Akhir 1998
2.066 (25% subsampel di 7 provinsi)
RAND, UCLA, Lembaga Demografi (Universitas Indonesia).
3
Juni – November 2000
10.435
43.649
RAND, Pusat Penelitian Kependudukan (UGM).
95,3% dari rumah tangga IFLS1 dapat dihubungi kembali.
4
November 2007 – April 2008
13.535
44.103
RAND, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (UGM), Survei METRE.
93,6% dari rumah tangga IFLS1 dapat dihubungi kembali.
94% dari individu yang tidak ikut IFLS2; 96% dari responden IFLS2.
Sumber: Rand Corporation, Family Life Surveys (www.rand.org/labor/FLS/IFLS)
39
III. 1997-1999: Jatuh dan Bertahan di Tengah Krisis Pertumbuhan dan Pengurangan Kemiskinan Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran luar biasa selama krisis keuangan Asia. Pada tahun 1998, nilai tukar jatuh sampai empat kali lipat dan PDB riil terpangkas 13 persen. Meskipun PDB naik sedikit pada tahun 1999, kemiskinan bertambah rata-rata 2 persen per tahun antara 1996 sampai 1999, dan mencapai angka tertingginya pada 23 persen dari populasi Indonesia.
Perubahan Politik dan Kebijakan Pergerakan buruh sebagai kekuatan politik mulai bangkit kembali di tengah krisis ekonomi dan politik. Hal ini mencapai puncaknya dengan ratifikasi empat konvensi ILO inti pada periode ini: Konvensi 87 mengenai Kebebasan Berserikat (diratifikasi tahun 1998), Konvensi 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa (1999), Konvensi 111 mengenai Diskriminasi (1999), dan Konvensi 138 mengenai Usia Minimum (1999).26 Berbagai serikat pekerja pun bermunculan di tingkat nasional, regional, dan pabrik pada periode ini.
Lapangan kerja Tingkat lapangan kerja secara mengejutkan tetap stabil selama krisis. Rasio lapangan kerja hanya turun 0,1 persen per tahun. Lapangan kerja untuk orang dewasa berusia 25 tahun ke atas naik sedikit karena perempuan dari pedesaan — terutama yang miskin — memasuki kembali angkatan kerja dalam jumlah besar (lihat Kotak 1.3). Ketersediaan pekerjaan di area pedesaan telah membantu mencegah memburuknya pengangguran. Pengangguran meningkat 0,8 persen per tahun, dan setengah dari kenaikan ini diakibatkan oleh melonjaknya pengangguran di kalangan muda, yang meningkat dari 15,5 persen tahun 1997 menjadi 19,8 persen tahun 1999.
Struktur Tenaga Kerja Pergeseran struktural Indonesia menjauhi sektor pertanian menjadi berbalik karena krisis memaksa pekerja formal untuk kembali ke sektor pertanian dan informal. Pada tahun 1998, pangsa pekerja di sektor formal turun drastis, dengan penurunan sampai 3,2 persen per tahun, sebelum akhirnya membaik sedikit pada tahun 1999 dengan pangsa 43,2 persen. Selama periode yang sama, lapangan kerja di sektor jasa turun sampai 0,7 persen per tahun. Para pekerja di sektor industri kehilangan pekerjaan mereka pada tingkat yang hampir sama. Yang berbeda hanya di sektor manufaktur: setelah turun tajam sebesar 1,5 persen pada tahun 1998, pangsa pekerja di sektor manufaktur pulih kembali ke tingkat pra-krisis pada tahun 1999. Pekerja sektor formal yang kehilangan pekerjaannya terpaksa kembali ke pertanian sehingga pangsa lapangan kerja pertanian naik 1,3 persen per tahun antara 1997 dan 1999. Pekerja tidak miskin, dan laki-laki muda usia serta berpendidikan lebih rendah, adalah kelompok yang memiliki kemungkinan terbesar untuk pindah ke pekerjaan pertanian.
26
40
Pada tahun 2000, konvensi inti terakhir ILO – No. 182 mengenai Bentuk Terburuk dari Buruh Anak – diratifikasi oleh Indonesia. Dengan demikian, Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang telah meratifikasi seluruh konvensi inti ILO yang jumlahnya delapan. (ILO, 2004).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1 Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
Kotak 1.3
Para pekerja bertahan menghadapi krisis ekonomi
Sampai dengan April 1998, 2 juta pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka karena krisis ekonomi. Saat itu diperkirakan bahwa masih ada 4-6 juta pekerja lagi yang akan kehilangan pekerjaannya sebelum akhir tahun.29 Ternyata perkiraan ini terlalu pesimis karena rasio lapangan kerja masih relatif stabil. Turunnya penghasilan keluarga pun tidak seekstrim yang diperkirakan. Meskipun upah sektor formal turun drastis sampai 60 persen di area pedesaan dan 55 persen di area perkotaan, rata-rata penghasilan rumah tangga termasuk produksi sendiri (home production) turun 21 persen dan 43 persen, masing-masing di area pedesaan dan perkotaan — penurunan yang serius, namun tidak separah krisis upah. Mengapa tingkat lapangan kerja tetap stabil selama krisis ekonomi dan hal apakah yang mencegah penghasilan rumah tangga turun lebih dalam lagi? Meskipun banyak pekerja kehilangan pekerjaannya selama krisis, banyak pula orang yang memasuki lapangan kerja dalam bentuk baru. Lebih dari 3 pekerja di antara 10 pekerja laki-laki, dan hampir 4 pekerja di antara 10 pekerja perempuan, berganti sektor antara tahun 1997 dan 1998. Sebagian besar dari pekerja tersebut diserap oleh pertanian. Para petani pemilik lahan tertolong oleh kenaikan relatif harga beras dan hasil panen untuk ekspor lainnya sehingga penghasilan riil rata-rata mereka hanya turun sedikit. Laki-laki mulai banyak yang berwiraswasta dan, dalam taraf yang lebih kecil, bekerja di lahan pertanian milik keluarga. Namun, perubahan terbesar terjadi pada lapangan kerja perempuan. Baik di area perkotaan maupun pedesaan, terjadi kenaikan besar dalam pangsa tenaga kerja perempuan yang memasuki angkatan kerja sebagai pekerja tak dibayar dalam usaha dan pertanian milik keluarga (3,8 persen), atau sebagai wiraswasta (3,9 persen). Karena perempuan yang berpendidikan lebih tinggi kebanyakan bekerja di sektor formal dan mengalami penurunan lapangan kerja sebanyak 4,2 persen, naiknya lapangan kerja perempuan ini didorong oleh para perempuan yang berpendidikan lebih rendah. Keikutsertaan perempuan miskin dalam angkatan kerja melonjak dari 52 menjadi 59 persen antara tahun 1997 dan 1999. Mereka memainkan peran kunci dalam menambah penghasilan keluarga supaya tidak tergerus lebih jauh oleh penurunan gaji. Yang terakhir, para anggota keluarga saling membantu untuk meringankan dampak krisis. Ukuran rumah tangga rata-rata meningkat 5 persen, menandakan bahwa anggota keluarga memutuskan untuk tinggal bersama supaya dapat memanfaatkan skala keekonomian dan meningkatkan penghasilan rumah tangga. Sumber: Smith et al, 2000; Thomas et al, 2000. 27
Upah Dampak krisis terbesar yang dirasakan para pekerja adalah anjloknya upah riil. Upah riil rata-rata terpangkas sampai 31 persen antara tahun 1997 dan 1999. Namun demikian, penurunan upah di kalangan para pekerja di pedesaan dan yang berusaha sendiri sedikit lebih baik. Kelompok ini lebih terlindung dari penurunan upah karena devaluasi rupiah yang dramatis telah meningkatkan nilai ekspor pertanian dan kekeringan yang terjadi saat itu telah menaikkan harga beras. Kondisi ini relatif menguntungkan para penghasil dan eksportir beras, yang cenderung merupakan pekerja pedesaan hampir miskin dan petani pemilik lahan.
Yang Diuntungkan dan Dirugikan Tidak ada yang diuntungkan selama krisis. Semua jenis pekerja merasakan akibat dari anjloknya upah, berkurangnya kesempatan bekerja di sektor formal, dan turunnya lapangan kerja sektor industri dan jasa. Pekerja perempuan miskin mengalami kenaikan lapangan kerja yang besar — mencapai 3,5 persen per tahun — tetapi hal ini terjadi karena mereka terpaksa mencari tambahan demi menambal penghasilan rumah tangga yang menurun. Pekerja miskin dan hampir miskin juga tak lepas dari pengaruh krisis. Meskipun
27
Bank Dunia, 1998.
41
demikian, upah riil mereka turun lebih sedikit daripada kelompok yang lain (masing-masing -10,8 dan -9,4 persen untuk kelompok miskin dan hampir miskin, dibandingkan -11,9 persen untuk kelompok tidak miskin) karena kelompok miskin dan hampir miskin mencakup juga pekerja pedesaan yang memiliki lahan sendiri sehingga penurunan upah dapat tertolong oleh kenaikan harga beras.
IV. 1999-2003: Pertumbuhan Ekonomi tanpa Peningkatan Lapangan Kerja (Jobless Growth) Pertumbuhan dan Pengurangan Kemiskinan Setelah peralihan menuju demokrasi yang penuh gejolak, ekonomi Indonesia pulih dengan cukup baik. Pertumbuhan PDB tahunan kembali terjadi tahun 2000 dengan rata-rata sebesar 4,7 persen antara 1999 dan 2003. Kemiskinan turun dengan cepat sebesar 1,5 persen per tahun seiring pulihnya rumah tangga dari tekanan krisis.
Perubahan Politik dan Kebijakan Bersamaan dengan peralihan menuju demokrasi, terjadi pula pembaruan legislatif, termasuk pemberlakuan dua undang-undang penting: Undang-Undang Serikat Pekerja (No. 21/2000) dan Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003). Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan perubahan besar dalam kebijakan tenaga kerja karena menjabarkan perlindungan dan hak pekerja dengan lengkap, serta memberikan pedoman mengenai perjanjian kerja bersama. Beberapa aspek dari Undang-Undang Ketenagakerjaan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha, terutama pasal-pasal mengenai pesangon, kontrak jangka waktu tetap, dan pengalihdayaan (outsourcing). Bersamaan dengan kenaikan upah minimum yang sangat cepat saat itu, berbagai aturan tersebut dipandang semakin meningkatkan biaya tenaga kerja, terutama di sektor manufaktur yang sedang mengalami kesulitan.
Lapangan kerja Pemulihan ekonomi tidak disertai dengan penciptaan lapangan kerja. Pangsa pekerja yang memiliki pekerjaan turun sebesar 0,4 persen per tahun, dari 62,9 persen tahun 1999 menjadi 61,3 persen tahun 2003. Turunnya lapangan kerja ini seluruhnya disebabkan oleh turunnya keikutsertaan dalam angkatan kerja; di sisi lain, pengangguran turun sedikit, yaitu 0,2 persen. Turunnya keikutsertaan dalam angkatan kerja antara tahun 2001 dan 2003 disebabkan oleh naiknya jumlah pekerja patah semangat. Perempuan, terutama perempuan miskin, keluar dari angkatan kerja dalam jumlah besar seiring ekonomi yang mulai membaik. Keikutsertaan dalam angkatan kerja turun 1 persen per tahun untuk perempuan, sementara untuk laki-laki, secara umum masih konstan.28 Keluarnya perempuan dari angkatan kerja tampaknya terjadi secara sukarela karena tren dalam indikator pengangguran inti dan pekerja patah semangat tampak serupa bagi laki-laki maupun perempuan. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek pemulihan: perempuan yang membantu menambah pemasukan saat krisis dapat keluar lagi dari angkatan kerja karena peningkatan upah yang besar telah mengangkat taraf penghasilan rumah tangga.
28
42
Keikutsertaan dalam angkatan kerja didasarkan pada definisi pengangguran pra-2001 yang tidak memperhitungkan para pekerja patah semangat dalam angkatan kerja.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1 Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
Gambar 1.2
Pangsa lapangan kerja non-pertanian vs. upah karyawan rata-rata
Struktur Tenaga Kerja
Semakin banyak pekerja yang terpaksa memasuki sektor 58 pertanian. Lapangan kerja di sektor 4.000 jasa — yang menjadi penggerak 56 ekspansi pra-krisis — mengalami 3.000 kontraksi 0,8 persen per tahun. 54 Lapangan kerja pertanian juga Pangsa lapangan kerja non-tani meningkat sebesar 0,8 persen, 2.000 52 laju yang lebih rendah daripada Upah Karyawan Median yang terjadi selama krisis. Sampai 50 1.000 dengan tahun 2003, 46,4 persen 1999 2000 2001 2002 2003 angkatan kerja bekerja di pertanian, Sumber: Sakernas angka yang setara dengan kondisi tahun 1994. Tetapi, para pekerja memasuki sektor pertanian bukan karena gaji dan keuntungan yang lebih tinggi. Meskipun karyawan di sektor industri dan jasa menikmati kenaikan upah yang besar, upah dan keuntungan bagi karyawan sektor pertanian tumbuh pada tingkat yang konstan selama periode ini (Gambar 1.2). Kondisi ini mengisyaratkan bahwa para pekerja mengambil pekerjaan pertanian bukan karena tertarik, tetapi karena terpaksa. 5.000
Persen
Rp/jam
60
Lapangan kerja formal sedikit menurun, rata-rata sebesar 0,3 persen per tahun, dari 43,2 persen tahun 1999 menjadi 42 persen tahun 2003.29 Penurunan ini akan lebih parah lagi jika saja tidak diimbangi dengan masuknya pekerja perkotaan yang berpendidikan lebih tinggi ke dalam angkatan kerja. Jika karakteristik pekerja tetap konstan, maka lapangan kerja formal akan turun sampai 0,7 persen per tahun. Penurunan lapangan kerja formal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pengurangan signifikan di sektor publik yang terutama memangkas pekerjaan pegawai negeri sipil dengan keahlian rendah. Akibatnya, pangsa lapangan kerja di sektor publik turun 0,5 persen per tahun, angka yang cukup besar untuk menjelaskan penurunan lapangan kerja formal selama periode ini.
Upah Upah riil untuk karyawan penerima gaji meningkat pesat. Karyawan merasakan kenaikan upah riil rata-rata sebesar hampir 9 persen per tahun yang lebih besar daripada kenaikan 7 persen per tahun pada periode pra-krisis. Kenaikan ini terjadi secara seragam di seluruh distribusi upah karena ketimpangan upah hanya naik sedikit di antara pekerja penerima gaji.30 Perubahan karakteristik pekerja memainkan peran penting, meskipun tidak dominan, dalam kenaikan upah; sekitar 25 persen dari kenaikan upah rata-rata dapat dijelaskan melalui perubahan karakteristik pekerja menjadi lebih ahli dan tinggal di perkotaan. Semua pekerja yang masih dipekerjakan sebagai karyawan penerima gaji mendapat manfaat dari besarnya kenaikan upah, meskipun pekerja berupah tinggi memperoleh kenaikan yang sedikit lebih besar. Kenaikan upah yang merata ini, dikombinasikan dengan transfer informal di antara keluarga dan masyarakat untuk berbagi risiko, menjadi penjelasan sebagian mengapa kemiskinan terus menurun drastis.
29
30
Pada tahun 2001, Sakernas memperkenalkan dua kategori baru dalam status pekerjaan: pekerja lepas pertanian dan pekerja lepas non-pertanian. Sebelum tahun 2001, pekerja lepas di bidang pertanian dan pekerja lepas di industri konstruksi diklasifikasikan sebagai pekerja yang dipekerjakan dan menerima gaji sehingga termasuk dalam sektor formal. Supaya konsisten, kami mempertahankan definisi lama ini saat membahas perubahan upah dan sektor formal antara 1999 dan 2003. Lihat Bab 5 untuk diskusi mengenai mengapa kenaikan upah minimum tidak hanya berpengaruh bagi pekerja berupah rendah, tetapi juga bagi seluruh distribusi upah.
43
Gambar 1.3
Tingkat pertumbuhan pangsa lapangan kerja nonpertanian (persen), 1993-2004
Yang Diuntungkan dan Dirugikan
3
Semua pekerja penerima gaji menerima manfaat dari besarnya 2 kenaikan upah; karyawan 1,54 perkotaan dan yang lebih 1,12 berkecukupan memperoleh 0,81 1 kenaikan terbesar. Kenaikan upah 0,30 0,24 mencapai rata-rata 9,3 persen per tahun untuk karyawan tidak miskin 0 dan hanya 6 persen per tahun untuk karyawan miskin dan hampir miskin. Namun, pekerja semakin sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Berkurangnya pekerjaan Lokasi Kekayaan Pendidikan formal terjadi paling besar di Sumber: Sakernas kalangan pekerja pedesaan, tanpa keahlian, dan miskin. Yang paling mencolok adalah meningkatnya pekerjaan pertanian di kalangan para pekerja yang kurang beruntung ini. Di antara para pekerja miskin, pangsa lapangan kerja di pertanian meningkat pesat, sementara pangsa lapangan kerja di sektor industri anjlok. Hal serupa juga terjadi pada pekerja pedesaan dan tanpa keahlian yang semakin terdesak keluar dari industri ke pertanian. Di sisi lain, kebanyakan pekerja tidak miskin aman dari desakan kembali ke pertanian. Bagi kalangan ini, pekerjaan pertanian hanya meningkat sedikit, sedangkan pekerjaan di sektor industri meningkat dua setengah kali. Berpendidikan lebih tinggi
Berpendidikan lebih rendah
Tidak miskin
Miskin
Pedesaan
Perkotaan
2,21
V. 2003-2007: Pemulihan Lapangan Kerja Pertumbuhan dan Pengurangan Kemiskinan Pertumbuhan ekonomi terus melaju. Pertumbuhan PDB tahunan masih cukup kuat dengan rata-rata 6,3 persen antara 2003 dan 2007, meskipun masih di bawah tingkat pertumbuhan pra-krisis. Tingkat kemiskinan naik dari 16 menjadi 17,8 persen pada tahun 2006, terutama akibat kenaikan harga beras, sebelum turun kembali tahun 2007.
Perubahan Politik dan Kebijakan Tiga undang-undang ketenagakerjaan yang penting disahkan selama periode ini, yaitu: Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2/2004, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional 40/2004, dan Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri 39/2004. Dua hukum yang pertama menambah kekhawatiran investor mengenai naiknya biaya mempekerjakan dan memecat karyawan. Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memperkenalkan pengadilan hubungan industrial di semua provinsi sebagai mekanisme baru untuk menyelesaikan perselisihan tenaga kerja. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional 40/2004 memandatkan disatukannya skema asuransi sosial yang ada saat itu di bawah lembaga jaminan sosial nasional yang baru, yaitu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Selain itu, undang-undang tersebut juga bertujuan memperluas asuransi sosial yang bersifat wajib termasuk untuk pekerja sektor informal. Namun, undangundang tersebut tidak menjelaskan dengan spesifik mengenai aspek tata kelola dan pembiayaan sistem
44
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1 Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
baru sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan fiskal dan potensi biaya tambahan bagi perusahaan untuk mempekerjakan karyawan. Keprihatinan mengenai penciptaan lapangan kerja formal yang berjalan lambat, terutama di manufaktur – yang disuarakan oleh sektor swasta dan terlihat dalam survei iklim investasi – mendorong pemerintah untuk mengutamakan reformasi hukum ketenagakerjaan dalam agenda politiknya. Pada awal 2006, pemerintah mengedarkan daftar proposal untuk merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan fokus pada masalah pesangon, kontrak jangka waktu tetap, upah minimum, dan outsourcing. Tetapi berbagai serikat pekerja menentang perubahan ini dan mengadakan demonstrasi skala besar selama bulan April-Mei 2006 sehingga pemerintah terpaksa menghentikan upaya reformasi tersebut.
Lapangan kerja Meskipun terdapat tanda-tanda positif, lapangan kerja secara keseluruhan stagnan selama periode ini. Rasio lapangan kerja turun 0,1 persen per tahun. Tingkat pengangguran inti tidak berubah, sementara semakin tersedianya pekerjaan formal menyebabkan turunnya jumlah pekerja patah semangat. Kontras dengan periode sebelumnya, lapangan kerja berkurang untuk laki-laki dan bertambah untuk perempuan. Berkurangnya lapangan kerja terjadi paling besar bagi laki-laki pedesaan dan bertambahnya lapangan kerja terjadi paling besar bagi perempuan perkotaan. Hal ini mencerminkan fakta bahwa perempuan memasuki kembali angkatan kerja sebagai tanggapan atas semakin banyaknya kesempatan kerja di luar pertanian dan mungkin pula karena turunnya penghasilan rumah tangga akibat upah yang lebih rendah. Pengangguran Terbuka (persentase pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu dan bersedia menerima pekerjaan lain jika ada tawaran) yang angkanya relatif konstan pada periode sebelumnya, meningkat dari 14,6 persen menjadi 17,4 persen. Angka ini meningkat bukan karena semakin banyak pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam, melainkan karena semakin banyak pekerja yang memang sudah tergolong menganggur terbuka bersedia menambah lagi dengan pekerjaan lain. Hal ini mungkin dapat dijelaskan oleh meningkatnya kesempatan kerja di sektor formal bersamaan dengan mandeknya pertumbuhan upah.
Struktur Tenaga Kerja Meskipun lapangan kerja secara keseluruhan tidak meningkat, kualitas pekerjaan mengalami kemajuan dan telah pulih ke tingkat pra-krisis. Lapangan kerja di sektor pertanian turun tajam. Para pekerja meninggalkan pertanian rata-rata 1,3 persen per tahun selama periode ini dan lapangan kerja pertanian turun sampai 41,2 persen tahun 2007, tingkat terendah sejak 1997. Perbaikan lapangan kerja non-pertanian ini tidak banyak berhubungan — kaitannya hanya kurang dari sepertiga — dengan terus meningkatnya taraf pendidikan para pekerja. Lapangan kerja formal dan non-pertanian bertambah dengan cepat selama periode ini. Lapangan kerja formal tumbuh sebesar 1,2 persen per tahun — hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat pertumbuhan pra-krisis yang mencapai 1,5 persen per tahun. Dengan menggunakan definisi baru yang lebih akurat pun lapangan kerja formal masih tumbuh cukup kuat sebesar 0,8 persen per tahun.31 Tetapi, peningkatan lapangan kerja formal ini belum menyentuh pekerjaan yang kualitasnya paling rendah. Persentase pekerja yang merupakan pekerja lepas harian justru meningkat, dari 8,5 persen tahun 2003 menjadi 10,4 persen tahun 2007.
31
Hal ini merujuk pada tingkat pertumbuhan dengan menggunakan definisi resmi yang baru, yang mengklasifikasikan dengan tepat pekerja lepas di pertanian dan konstruksi sebagai informal.
45
Upah Untuk pertama kalinya sejak krisis, terjadi penurunan upah riil rata-rata. Upah karyawan selama periode ini turun 14,2 persen — rata-rata sebesar 3,8 persen per tahun. Penurunan upah ini seluruhnya dapat dijelaskan dengan anjloknya upah sejak Agustus 2004 sampai November 2005, ketika upah rata-rata turun sampai 14 persen.32 Semua jenis pekerja mengalami penurunan upah riil yang tajam pada tahun 2005, tetapi pekerja berupah tinggi telah pulih sepenuhnya sejak 2007. Upah di persentil ke-90 tumbuh sedikit antara tahun 2003 dan 2007, sedangkan upah di persentil ke-10 dan ke-50 turun lebih dari 3,5 persen per tahun, kemungkinan karena masuknya pekerja berpendidikan lebih rendah.
Yang Diuntungkan dan Dirugikan Pekerja pedesaan dan berpendidikan lebih rendah memiliki kemungkinan tertinggi untuk meninggalkan lapangan kerja pertanian dan mengambil pekerjaan di sektor formal. Lapangan kerja sektor formal meningkat sampai 1,3 persen per tahun di area pedesaan dibandingkan dengan peningkatan di area perkotaan yang hanya 0,2 persen.33 Pekerja yang berpendidikan lebih rendah juga mengalami kenaikan serupa. Mereka menikmati kenaikan lapangan kerja formal hampir 1 persen per tahun, sementara lapangan kerja formal bagi pekerja yang berpendidikan lebih tinggi malah turun sedikit. Gambar 1.4
Tingkat pertumbuhan pangsa lapangan kerja formal (persen), 2004-2007
Meskipun pekerja miskin juga meninggalkan pertanian, mereka 2.49 kurang berhasil dalam memasuki sektor formal. Lapangan kerja 2 pertanian di antara kalangan 1.11 miskin melaju turun dengan cepat 0.88 0.87 1 0.68 0.63 — hampir 4 persen per tahun — dari angka 69 persen pada tahun 0 2003 menjadi 58 persen tahun 2006. Angka ini kontras dengan lapangan kerja pertanian bagi kalangan hampir miskin yang hanya turun 1,3 persen per tahun dan konstan bagi kalangan tidak Sumber: Sakernas miskin. Namun demikian, dari antara kalangan miskin yang meninggalkan pertanian, hanya sebagian kecil yang memperoleh pekerjaan di sektor formal. Walaupun mereka berbondong-bondong meninggalkan pertanian, lapangan kerja sektor formal bagi kalangan miskin hanya naik 0,8 persen dan konstan bagi kalangan hampir miskin.34 Hal ini menandakan bahwa, tidak seperti pada masa pra-krisis, pekerja miskin dan hampir miskin cenderung keluar dari pekerjaan pertanian untuk mengambil pekerjaan informal.
32
33 34
46
Berpendidikan lebih tinggi
Berpendidikan lebih rendah
Tidak miskin
Miskin
Pedesaan
Perkotaan
3
Akibat kenaikan tajam harga bahan bakar tahun 2005, Sakernas ditunda sampai bulan November tahun itu. Karena itu, tidak mungkin untuk membedakan dengan akurat antara pengaruh pengumpulan data pada bulan yang berbeda dan tren yang memang terjadi saat membandingkan tahun 2005 dengan 2004 atau 2006. Ini adalah definisi baru yang lebih benar karena tidak memperhitungkan pekerja lepas di pertanian dan konstruksi. Berdasarkan definisi baru mengenai lapangan kerja sektor formal.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1 Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
VI. 2007-08: Tanda-tanda optimisme Lapangan kerja Antara bulan Februari 2007 dan Februari 2008, rasio lapangan kerja meningkat 1,7 persen untuk perempuan dan hanya meningkat sedikit untuk laki-laki. Peningkatan lapangan kerja ini berasal dari penurunan tajam persentase perempuan yang masuk kategori pekerja patah semangat, dan juga kenaikan jumlah perempuan yang memasuki angkatan kerja.
Struktur Tenaga Kerja Kualitas pekerjaan juga terus membaik. Tingkat lapangan kerja formal masih terus tumbuh dengan kuat selepas periode 2003-07 dan mengalami kenaikan satu persen antara 2007 dan 2008. Laki-laki pedesaan mendapatkan manfaat terbesar dari meningkatnya kualitas pekerjaan. Tingkat lapangan kerja formal melonjak 1,6 persen untuk laki-laki, dibandingkan hanya 0,7 persen untuk perempuan. Hal ini dipicu oleh kenaikan besar di area pedesaan. Keadaan ini terjadi bersamaan dengan semakin banyaknya pekerja yang meninggalkan pertanian sehingga persentase lapangan kerja pertanian turun hampir 2 persen antara 2007 dan 2008.
Upah Membaiknya lapangan kerja ini terjadi di tengah peningkatan kecil upah rata-rata. Peningkatan upah ini terpusat pada bagian atas distribusi upah; upah meningkat 7 persen bagi mereka yang berpenghasilan paling besar di persentil ke-90, sementara upah turun 5 persen bagi mereka yang berpenghasilan paling kecil di persentil ke-10. Meskipun upah rata-rata bagi perempuan meningkat 5 persen, kenaikan upah ini terjadi paling besar bagi perempuan berpendidikan lebih tinggi dan tinggal di perkotaan.
VII. Kesimpulan Indonesia belum menciptakan sejumlah memadai pekerjaan yang layak agar para pekerja dapat merasakan sepenuhnya manfaat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Tenaga adalah satu dari sedikit sumber daya produktif yang dimiliki kalangan miskin. Jika mereka memperoleh pekerjaan yang baik, mereka akan berkesempatan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk keluar dari kemiskinan. Sayangnya, Indonesia mengalami pertumbuhan tanpa penciptaan pekerjaan yang signifikan dari tahun 1999 sampai 2003, hal yang turut berkontribusi terhadap keadaan saat ini, yaitu dari 104,5 juta populasi Indonesia yang bekerja, mayoritas masih bekerja di sektor informal dan pertanian.1 Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, penurunan kemiskinan berlangsung lebih lambat daripada yang diharapkan, sebagian karena kurangnya peluang bagi pekerja miskin untuk pindah ke pekerjaan formal dan non-pertanian yang “lebih baik”. Sepanjang sepuluh tahun terakhir, para pembuat kebijakan di Indonesia terpaksa harus mengambil pilihan sulit antara meningkatkan upah dan memperbanyak pekerjaan yang baik. Sebelum terjadinya krisis keuangan, pasar tenaga kerja Indonesia menyediakan lebih banyak pekerjaan dengan upah lebih tinggi bagi pekerja. Kualitas pekerjaan meningkat seiring semakin banyaknya pekerja yang meninggalkan pertanian untuk mengambil pekerjaan formal dan non-pertanian. Selepas krisis, tren pasar tenaga kerja bergantian antara peningkatan upah dan pertambahan pekerjaan. Para pembuat kebijakan terpaksa
47
mengambil pilihan sulit. Selama periode 1999-2003, upah meningkat tetapi sektor formal mengalami kontraksi sehingga memaksa semakin banyak pekerja untuk kembali ke pekerjaan pertanian. Kemudian, selama 2003-07, lapangan kerja formal dan non-pertanian bertambah, namun upah tidak lagi meningkat. Sejak terjadinya krisis, kualitas pekerjaan menjadi sangat sensitif terhadap perubahan upah, terutama bagi pekerja miskin yang paling terkena dampak perubahan tersebut. Mengapa pasar tenaga kerja Indonesia tidak mampu menciptakan lebih banyak pekerjaan berkualitas dan meningkatkan upah secara bersamaan? Sejauh ini, kinerja Indonesia masih mengecewakan dalam menciptakan pekerjaan berkualitas sesudah pulih dari krisis keuangan Asia 1997. Bab berikutnya akan mengkaji perubahan hakikat pertumbuhan ekonomi Indonesia, bagaimana perubahan tersebut telah mempengaruhi penciptaan lapangan kerja, dan apakah perubahan tersebut hanya terjadi di Indonesia atau merupakan karakteristik tren di kawasan asia timur yang lebih luas.
48
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2
Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia Belajar dari Masa Lampau untuk Mempromosikan Pertumbuhan melalui Lapangan Kerja 49
Bab 2 Ringkasan Sebelum krisis 1997, Indonesia mampu mengalihkan pekerjanya ke pekerjaan non-pertanian dengan laju lebih cepat daripada negara tetangga. Tetapi, krisis keuangan 1997-1998 menghantam Indonesia lebih berat daripada negara lain dan memaksa banyak pekerja untuk kembali ke sektor pertanian. Sementara negara lain telah pulih selama 1999-2003, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi tanpa peningkatan lapangan kerja atau dikenal juga dengan istilah jobless growth. Sejak 2003, pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia telah pulih, namun masih tertinggal jauh dari Cina dan Vietnam yang tumbuh pesat. Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasannya yang mengalami jobless growth selama periode pemulihan pasca krisis keuangan yang mendesak para pekerja terdesak kembali ke sektor pertanian. Dua per tiga dari penyebab lambatnya penciptaan pekerjaan non-pertanian adalah sektor jasa yang gagal menciptakan pekerjaan antara tahun 1999 sampai 2003, padahal pertumbuhan ekonomi cukup kuat. Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasannya yang pertumbuhan sektor jasanya tidak lagi padat karya sehingga kurang berhasil menciptakan pekerjaan. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh kenaikan upah yang sangat cepat sehingga mengurangi elastisitas sektor jasa, mirip dengan apa yang terjadi di Cina, tetapi jauh lebih terasa di Indonesia. Meskipun telah mengalami pemulihan yang mengagumkan, pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia masih belum kembali ke taraf seperti periode tahun 1990-97. Hal ini terutama disebabkan oleh sektor jasa – terlebih di bidang jasa perdagangan – yang tidak lagi sepadat karya dahulu sehingga hanya mampu menciptakan lebih sedikit pekerjaan. Keadaaan ini bukanlah sesuatu yang hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dialami negara tetangga lainnya.
I.
Pendahuluan
Mengapa Indonesia mengalami ‘jobless growth’ setelah krisis keuangan 1997 dan mengapa pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian belum benar-benar pulih? Penciptaan pekerjaan non-pertanian adalah salah satu indikator utama pasar tenaga kerja yang sehat.35 Tetapi, laju penciptaan pekerjaan non-pertanian di Indonesia masih terus menurun selama periode pemulihan 1999-2003 meskipun pertumbuhan ekonomi cukup baik, sehingga menciptakan keadaan ‘jobless growth’ (Kotak 2.1). Sejak 2003, Indonesia telah pulih dari jobless growth, tetapi lapangan kerja non-pertanian belum sepenuhnya pulih ke taraf tahun 90-an. Dengan memahami faktor penghambat yang menyebabkan jobless growth setelah krisis 1997 dan menyulitkan penciptaan lapangan kerja non-pertanian sejak saat itu, maka kita akan dapat mengidentifikasi kebijakan tenaga kerja mana saja yang akan menunjang penciptaan lebih banyak pekerjaan berkualitas. Bab 2 ditujukan untuk memahami berbagai faktor penyebab melambatnya pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia. Bab ini terdiri atas empat bagian: Bagian pertama membandingkan kinerja pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia dengan lima negara tetangga di Asia Timur – Cina, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam – untuk mengetahui apakah perlambatan pertumbuhan lapangan kerja adalah fenomena regional atau hanya dialami oleh Indonesia. Bagian kedua mengkaji berbagai kemungkinan yang menyebabkan lemahnya penciptaan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia sejak 1999 sampai 2003. Bagian ketiga menyelidiki mengapa penciptaan lapangan kerja non-pertanian sejak tahun 2003 tidak mampu pulih kembali ke taraf sebelum krisis keuangan. Bagian keempat dan terakhir memaparkan kesimpulan bab ini.
35
50
Sektor non-tani merujuk pada sektor industri maupun jasa. Masing-masing sektor tersebut selanjutnya dibagi lagi menjadi beberapa subsektor yang mencakup berbagai pekerjaan non-tani seperti: Industri: pertambangan dan penggalian; industri (manufaktur); kelistrikan, gas dan air; konstruksi. Jasa: perdagangan, rumah makan dan perhotelan; transportasi, pergudangan, dan komunikasi; lembaga keuangan, real estat, usaha penyewaan dan jasa perusahaan; jasa masyarakat, sosial, dan individual.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2 Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
Kotak 2.1
Apa yang dimaksud dengan ‘jobless growth’?
Jobless growth, sesuai definisi dalam Laporan ini, merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang gagal menciptakan lapangan kerja non-pertanian. Lapangan kerja non-pertanian biasanya meningkat seiring pertumbuhan ekonomi. Tingkat lapangan kerja non-pertanian yang lebih tinggi berkaitan positif dengan pertumbuhan PDB, baik di Indonesia (Gambar 2.1) maupun di tingkat kawasan (Gambar 2.2). Tetapi dalam kasus tertentu, pertumbuhan bisa saja gagal menciptakan pekerjaan dengan upah lebih tinggi, yang umumnya merupakan pekerjaan di sektor non-pertanian. Hal ini terlihat dari menurunnya elastisitas lapangan kerja nonpertanian (persentase perubahan lapangan kerja non-pertanian yang berkaitan dengan satu persen perubahan pertumbuhan PDB) – sebuah ciri dari jobless growth. Gambar 2.1
Pertumbuhan PDB dan Perubahan Gambar 2.2 Lapangan Kerja Non-Tani
Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja Non-Tani
Negara: Indonesia 4 Perubahan Lapangan Kerja (persentase)
Perubahan Lapangan Kerja (persentase)
4 2 0 -2
2
0 -2
-4
-4 -2
0
2
4 6 8 Pertumbuhan PDB
10
12
-2
14
0
2
4 6 8 10 Pertumbuhan PDB
12
14
Mendefinisikan jobless growth berdasarkan lapangan kerja non-pertanian lebih disukai daripada definisi berdasarkan lapangan kerja keseluruhan. Meskipun jobless growth adalah istilah yang sering dipakai, istilah ini jarang didefinisikan dengan jelas. Biasanya istilah ini merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang gagal menambah jumlah pekerjaan secara keseluruhan atau persentase orang dewasa yang bekerja. Hal ini menimbulkan masalah karena pertumbuhan ekonomi sering memungkinkan pekerja untuk meninggalkan pekerjaan berkualitas rendah dan keluar dari angkatan kerja. Sebagai contoh, selama periode pertumbuhan pesat dari 1990 sampai 1997, rasio lapangan kerja di Indonesia justru menurun 0,2 persen per tahun karena perempuan di pedesaan sudah cukup mampu meninggalkan pekerjaan berkualitas rendah dan keluar dari angkatan kerja. Berfokus pada lapangan kerja keseluruhan akan menghasilkan kesimpulan yang salah bahwa keadaan tersebut adalah jobless growth, padahal banyak pekerjaan non-pertanian yang diciptakan pada periode tersebut. Pertumbuhan sering kali gagal meningkatkan lapangan kerja keseluruhan. Hubungan antara pertumbuhan PDB dan perubahan rasio lapangan kerja dari 1990 sampai 2006 (kecuali pada tahun utama krisis, 1998) terbilang lemah dan tidak konsisten, baik di Indonesia (Gambar 2.3) maupun di negara sekawasan yang menjadi pembanding (Gambar 2.4). Pertumbuhan ekonomi yang pesat antara 8 sampai 10 persen justru sering terkait dengan pertumbuhan lapangan kerja keseluruhan yang kecil atau malah stagnan. Karena alasan inilah, Laporan Lapangan Kerja Indonesia berfokus pada ketidakmampuan menciptakan pekerjaan yang relatif lebih baik, yaitu di sektor non-pertanian. Gambar 2.3
Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja
Gambar 2.4
Negara: Indonesia
Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja
4 Perubahan Lapangan Kerja (Persentase)
Perubahan Lapangan Kerja (Persentase)
4
2
0 -2 -4
2
0
-2
-4 -2
0
2
4 6 8 10 Pertumbuhan PDB
12
14
-2
0
2
4 6 8 10 Pertumbuhan PDB
12
14
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dari Neraca Nasional, Sakernas, CEIC
51
II. Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan pekerjaan: Membandingkan Indonesia dengan tetangganya di Asia Timur Gambar 2.5
Pangsa pekerjaan non-pertanian, menurut negara (1990-2004))
90
Lapangan kerja di sektor industri dan jasa (persen)
80
Indonesia Cina Malaysia Filipina Thailand Vietnam
70
Masa pemulihan pascakrisis (1999-2003)
60
50
40
30
20 1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
Sumber: Sakernas, Indikator Pembangunan Duni (World Development Indicatorts - WDI), CEIC
Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi yang diikuti perluasan lapangan kerja non-pertanian terjadi di seluruh kawasan Asia Timur. Dari awal sampai pertengahan 90-an, kawasan ini mengalami pertumbuhan pesat dengan rata-rata 7,5 persen per tahun untuk Indonesia dan lima negara tetangga utamanya.36 Efek pertumbuhan ini kurang terlihat jika diamati melalui perubahan lapangan kerja secara keseluruhan. Lapangan kerja total, yang diukur sebagai persentase dari orang dewasa usia kerja, turun rata-rata 0,2 persen per tahun di keenam negara tersebut. Pertumbuhan di kawasan ini, terutama di Indonesia, justru tercermin dari perluasan lapangan kerja non-pertanian. Meskipun tingkat pertumbuhan Indonesia masih kalah pesat dibandingkan dengan Cina, Malaysia, dan Vietnam, lapangan kerja non-pertanian di Indonesia bertambah 2,1 persen per tahun – lebih cepat dari kelima negara tetangganya.
Indonesia dan Thailand merasakan akibat terparah dari krisis keuangan 1997, namun pengaruh krisis terhadap pasar tenaga kerja kedua negara tersebut sangat berbeda. Selama krisis antara 1997 sampai 1999, hanya dua dari enam negara yang diperbandingkan yang mengalami perlambatan ekonomi. PDB Indonesia mengalami kontraksi 6,4 persen per tahun, sedangkan Thailand mengerut 3,3 persen per tahun. Meskipun tingkat lapangan kerja total di Thailand juga ikut mengalami kontraksi, tingkat lapangan kerja di Indonesia tetap stabil karena sektor pertanian dan informal mampu menyerap lebih banyak pekerja. Sesungguhnya, jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia adalah negara dengan persentase pekerja terbesar yang terpaksa kembali ke pertanian akibat krisis. Di Thailand, lapangan kerja non-pertanian sempat turun tipis pada 1998 sebelum pulih kembali tahun 1999 seiring membaiknya ekonomi. Malaysia juga mengalami kenaikan lapangan kerja pertanian sebagai akibat dari krisis, namun besarnya tidak sebanding dengan taraf pembalikan transformasi struktural yang terjadi di Indonesia.
36
52
Lampiran II.1.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2 Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
Tabel 2.1
Kinerja dan pertumbuhan upah non-pertanian menurut negara (1999-2003)
Tingkat rata-rata
Indonesia
Cina
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
Pertumbuhan PDB
4,7
8,9
4,8
4,5
4,3
7,0
Pertumbuhan upah
11,2
13,6
N/A
-0,1
-5,7
4,6
Perubahan tahunan pada lapangan kerja non-pertanian total
-0,1
1,6
4,1
3,5
3,7
7,0
Sektor industri
Pertumbuhan lapangan kerja
-0,1
-0,4
0,1
-0,1
0,6
1,8
Pertumbuhan PDB
4,2
10,1
5,2
3,5
5,9
10,1
Elastisitas
0,3
-0,1
0,6
0,7
0,9
1,6
Pertumbuhan lapangan kerja
-0,7
3,2
4,7
3,9
3,0
2,3
Pertumbuhan PDB
5,4
10,0
4,5
5,0
3,5
6,1
Elastisitas
-0,1
0,3
1,1
0,8
0,8
0,4
Sektor jasa
Sumber: Sakernas, CEIC, WDI.
Selama periode pemulihan 1999-2003, hanya Indonesia yang mengalami fenomena jobless growth. Antara 1999 sampai 2003, pertumbuhan PDB Indonesia telah pulih dengan tingkat rata-rata 4,7 persen per tahun. Tingkat pertumbuhan ini relatif lemah, sedikit di atas Thailand dan Filipina, tetapi masih kalah dari Malaysia, Vietnam, dan Cina (Tabel 2.1). Selain itu, pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia juga mengecewakan. Bahkan setelah pulih dari krisis pun, para pekerja di Indonesia masih terus kembali ke pekerjaan pertanian sehingga lapangan kerja pertanian tumbuh 0,8 persen per tahun, hampir sama dengan tingkat pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian pada periode krisis moneter. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan negara lainnya yang telah kembali mengalami transformasi struktural dan mengalami peningkatan pesat lapangan kerja non-pertanian. Sejak 2003, penciptaan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia telah meningkat, namun masih belum mencapai taraf periode sebelum krisis. Tingkat pertumbuhan PDB tahunan Indonesia sebesar 5,4 persen antara 2003 sampai 2006 sedikit lebih tinggi daripada Thailand, tetapi masih tertinggal dari Cina dan Vietnam. Meskipun pertumbuhan ekonominya hanya sedang saja, tetapi catatan lapangan kerja Indonesia lebih baik dari kebanyakan negara tetangganya. Lapangan kerja total sedikit menurun; hanya Cina dan Malaysia yang mengalami penurunan lebih besar. Namun, yang mencolok adalah pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia. Jumlah pekerja yang memiliki pekerjaan non-pertanian melonjak sampai 3,5 persen per tahun. Walaupun pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian ini lebih baik dari beberapa negara tetangganya, laju pertumbuhannya belumlah sebanding dengan tingkat pertumbuhan 6,3 persen per tahun pada masa sebelum krisis. Perbandingan riwayat lapangan kerja terkini Indonesia dengan negara tetangganya menimbulkan dua pertanyaan. Yang pertama, mengapa Indonesia mengalami jobless growth yang jauh lebih parah daripada negara tetangganya? Yang kedua, mengapa sejak 2003 transformasi struktural Indonesia meninggalkan sektor pertanian masih tetap terjadi dalam taraf yang lebih rendah daripada sebelum krisis? Bagian berikut ini akan meninjau beberapa kemungkinan penjelasan terhadap kedua pertanyaan tersebut berdasarkan perbandingan antara Indonesia dan negara tetangga sekawasan.
53
III. Pertumbuhan jobless growth: Memahami lemahnya penciptaan lapangan non-pertanian selepas krisis keuangan 1997 Ada dua penjelasan umum mengenai jobless growth pada tahun 1999-2003. Yang pertama, rendahnya pertumbuhan PDB telah membatasi penciptaan pekerjaan non-pertanian. Yang kedua, turunnya tingkat pertumbuhan sektor industri, terutama manufaktur, telah memperlambat penciptaan lapangan kerja nonpertanian. Bagian ini akan mengkaji dan menilai kedua teori tersebut, kemudian mengusulkan penjelasan alternatif.
Apakah melambatnya pertumbuhan PDB Indonesia menyebabkan jobless growth? Pertumbuhan ekonomi umumnya mendorong penciptaan lapangan kerja non-pertanian, tetapi hubungan ini bergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut mencakup seberapa besar pertumbuhan yang terjadi pada sektor padat karya, biaya mempekerjakan pekerja, lembaga dan peraturan yang mengatur bagaimana mempekerjakan dan memberhentikan pekerja, serta preferensi dan karakteristik pekerja yang masih menganggur. Berbagai faktor tersebut dapat sangat bervariasi dari negara ke negara, dan bahkan pada periode yang berbeda di satu negara. Hal ini menyebabkan hubungan yang sangat bervariasi antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan pekerjaan non-pertanian, baik di Indonesia maupun di kawasan.37 Pertumbuhan yang melambat hanya menjelaskan sebagian kecil dari anjloknya pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia. Sejak 1999 sampai 2003, pertumbuhan PDB tahunan pulih ke 4,7 persen, angka yang masih cukup jauh dari 7,4 persen yang dinikmati Indonesia dari 1990 sampai 1997. Hubungan yang terbatas, namun teramati antara pertumbuhan PDB dan lapangan kerja non-pertanian seperti terlihat dari (Gambar 2.1 dan 2.2) memberikan perkiraan kasar mengenai efek melambatnya pertumbuhan. Data tersebut menyiratkan bahwa naiknya pertumbuhan PDB Indonesia dari tingkat 4,5 persen yang dicapai tahun 1999-2003 menjadi 7,5 persen seperti pada masa sebelum krisis kemungkinan dapat meningkatkan lapangan kerja non-pertanian antara 0,5 sampai 1 persen per tahun. Perkiraan ini memang hanya angka kasar saja, apalagi jika mempertimbangkan beragamnya pengalaman masing-masing negara, namun angka ini mungkin saja betul. Namun demikian, meskipun kenaikan lapangan kerja non-pertanian sebesar 0,5 sampai 1 persen merupakan kenaikan yang cukup besar, pangsa lapangan kerja non-pertanian tumbuh 2,1 persen per tahun selama 1990-1997 dan turun 0,8 persen selama 1999-2003. Karenanya, pertumbuhan ekonomi yang melambat tampaknya hanya menjelaskan sebagian kecil dari penurunan pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia yang secara keseluruhan mencapai tiga persen. Selain itu, hanya berpegang pada pertumbuhan ekonomi yang melambat saja tidak dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia jauh lebih buruk daripada di Malaysia dan Thailand. Seperti halnya Indonesia, pertumbuhan PDB Malaysia dan Thailand antara 1999 dan 2003 turun drastis jika dibandingkan dengan sebelum krisis. Pertumbuhan PDB tahunan Indonesia jatuh dari 7,4 persen per tahun selama 1990-1997 menjadi 4,7 persen per tahun selama 19992003. Sementara itu, pertumbuhan Thailand turun dari 7,3 menjadi 4,3 persen per tahun dan Malaysia
37
54
Lihat Gambar 2.1 dan 2.2. Bervariasinya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan lapangan kerja non-tani terlihat dari besarnya dispersi di sekitar kurva.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2 Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
terpuruk dari 9,2 menjadi 4,8 persen. Meskipun demikian, anjloknya pertumbuhan lapangan kerja nonpertanian di Indonesia jauh lebih parah daripada kedua negara tetangganya. Pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia anjlok 3 persen per tahun, dari yang tadinya naik 2,1 persen per tahun menjadi turun 0,8 persen per tahun. Thailand hanya mengalami penurunan pangsa lapangan kerja non-pertanian sebesar 1 persen dan Malaysia bahkan mengalami peningkatan. Karena itu, tampaknya ada sesuatu yang unik di Indonesia – bukannya penurunan pertumbuhan ekonomi – yang mendorong penurunan dramatis lapangan kerja non-pertanian selama masa tersebut. Peranan pertumbuhan ekonomi yang terbatas juga terlihat saat membandingkan Vietnam dengan Malaysia dan Thailand. Antara 1999 sampai 2003, Vietnam mampu terus tumbuh 7 persen per tahun, sementara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina hanya tumbuh kurang dari 5 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi pesat Vietnam mempunyai efek yang kentara walau terbatas pada lapangan kerja non-pertanian seiring naiknya pangsa lapangan kerja non-pertanian Vietnam hanya sebesar 1,3 persen per tahun. Tetapi, angka ini hanya sedikit lebih besar daripada pertumbuhan serupa di Malaysia dan Thailand yang masing-masing tumbuh 1,0 dan 0,8 persen per tahun.
Apakah melambatnya pertumbuhan industri menyebabkan jobless growth? Ada persepsi bahwa jobless growth setelah krisis terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan di sektor industri. Dari tahun 1999 sampai 2003, sektor industri di Indonesia hanya tumbuh 5 persen per tahun setelah sebelumnya tumbuh 9,3 persen per tahun dari 1990 sampai 1997. Hal ini terjadi persis pada saat yang sama ketika pangsa lapangan kerja pertanian melonjak seiring mandeknya pertumbuhan lapangan kerja formal dan non-pertanian. Karena alasan inilah pertumbuhan industri yang melambat sering dikutip sebagai penyebab terjadinya jobless growth di Indonesia. Pertumbuhan industri yang melambat bukanlah faktor utama di balik jobless growth di Indonesia pada masa tersebut. Agar jobless growth pada masa tersebut dapat lebih dipahami, maka perlambatan hebat pada pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian, dari periode 1990-1997 sampai 1999-2003, dipilahpilah ke dalam dua sektor utama – industri dan jasa – untuk melihat sektor manakah yang bertanggung jawab memperlambat pertumbuhan lapangan kerja (Kotak 2.2). Di dalam dua sektor tersebut, pertumbuhan lapangan kerja yang lebih lambat dapat terjadi akibat pertumbuhan sektor yang menurun, atau karena lapangan kerja di sektor tersebut tidak lagi begitu tanggap terhadap pertumbuhan. Hanya 28 persen dari perubahan ini berkaitan dengan sektor industri (Table 2.2). Pertumbuhan industri yang melambat hanya bertanggung jawab atas 12 persen dari penurunan pertumbuhan non-pertanian di Indonesia, sedangkan 16 persen sisanya dapat dijelaskan oleh menurunnya kemampuan sektor industri untuk mengubah pertumbuhan menjadi penciptaan lapangan kerja. Biang keladi utama di balik melambatnya penciptaan pekerjaan non-pertanian adalah sektor jasa yang tidak lagi begitu padat karya. Sebagian besar penurunan pertumbuhan lapangan kerja nonpertanian – 72 persen – berasal dari melambatnya pertumbuhan lapangan kerja sektor jasa. Meskipun sektor jasa tumbuh 5,4 persen per tahun selama 1999-2003, jumlah total pekerja sektor jasa justru turun tipis, sedangkan pangsa lapangan kerja sektor jasa turun drastis. Hasilnya, elastisitas lapangan kerja sektor jasa di Indonesia menjadi negatif pada masa ini. Di antara enam negara dan tiga periode non-krisis, inilah satu-satunya kasus dimana elastisitas lapangan kerja sektor jasa menjadi negatif.
55
Box 2.2
Mencari biang keladi jobless growth
Untuk menganalisis pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian, bab ini memperkenalkan sebuah kerangka kerja guna membantu memahami bagaimana pertumbuhan jobless growth dapat terjadi. Kerangka kerja ini menganalisis perbedaan tingkat pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di antara dua periode. Pekerjaan nonpertanian menjadi fokus karena alasan yang telah dijelaskan pada Kotak 2.1. Kerangka kerja ini mengkaji peranan dari perubahan pertumbuhan lapangan kerja, dibandingkan dengan perubahan dalam elastisitas lapangan kerja, baik di sektor jasa maupun industri. Langkah pertama yang dilakukan adalah memilah-milah pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian menurut dua sektor non-pertanian utama: industri dan jasa. Dengan demikian, akan diketahui berapa persen dari perubahan pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian berasal dari sektor industri dan berapa persen dari sektor jasa. Langkah kedua adalah memilah-milah lagi pertumbuhan lapangan kerja pada masing-masing sektor menjadi bagian yang diakibatkan perubahan tingkat pertumbuhan sektor tersebut dan bagian yang diakibatkan perubahan elastisitas lapangan kerja sektor tersebut. Setelah melaksanakan kedua langkah di atas, kita dapat memilah-milah perubahan dalam penciptaan lapangan kerja non-pertanian ke dalam bagian-bagian yang diakibatkan oleh perubahan empat komponen: pertumbuhan sektor jasa, elastisitas lapangan kerja sektor jasa, pertumbuhan sektor industri, elastisitas lapangan kerja sektor industri. Membandingkan temuan tersebut (Tabel 2.2) untuk periode yang berbeda dan di antara negara tetangga regional dapat menjelaskan mengapa penciptaan pekerjaan non-pertanian di Indonesia sulit dilakukan sejak krisis keuangan 1997 dan masih terus ketinggalan jika dibandingkan dengan sejumlah negara tetangganya yang tumbuh cepat.
Tabel 2.2
Pemilahan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia, 1999-2003 Indonesia (1990-97)
Cina
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
A. Pertumbuhan tahunan lapangan kerja non-pertanian (persen) Negara pembanding
6,3
1,6
4,1
3,5
3,7
7,0
Indonesia (1999-2003)
-0,1
-0,1
-0,1
-0,1
-0,1
-0,1
Selisih
6,4
1,7
4,2
3,6
3,8
7,1
B. Persentase selisih yang disebabkan oleh: Pertumbuhan industri
12%
14%
4%
-2%
9%
28%
Elastisitas industri
16%
-49%
15%
9%
28%
47%
Pertumbuhan jasa
6%
15%
-6%
-3%
-11%
1%
Elastisitas jasa
66%
120%
87%
96%
73%
24%
Sumber: Perhitungan Bank Dunia
Di sisi lain, lapangan kerja non-pertanian di Malaysia, Thailand, dan Filipina tumbuh lebih cepat karena sektor jasa di negara tersebut mampu menciptakan pekerjaan. Pertumbuhan PDB Indonesia mirip dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina. Tetapi, ketiga negara itu memiliki pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian yang jauh lebih tinggi daripada Indonesia. Jumlah karyawan yang bekerja di luar pertanian tumbuh hampir 4 persen di ketiga negara tersebut, sementara di Indonesia malah turun tipis. Sebagian besar selisih pada pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian diakibatkan oleh elastisitas sektor jasa yang bervariasi antara 0,8 sampai 1,1 di antara negara-negara tersebut, sementara di Indonesia nilainya hanya
56
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2 Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
-0,1.38 Rendahnya elastisitas sektor jasa di Indonesia menjadi penyebab terbesar pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian yang mengecewakan jika dibandingkan dengan ketiga negara tersebut: 87 persen jika dibandingkan dengan Malaysia, 73 persen jika dibandingkan dengan Thailand, 96 persen jika dibandingkan dengan Filipina. Demikian pula dengan lapangan kerja non-pertanian di Cina yang tumbuh karena sektor jasa mampu menciptakan lebih banyak pekerjaan bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Tingkat pertumbuhan Cina meningkat pesat pada periode ini dan mencapai 9 persen per tahun. Meskipun tingkat pertumbuhan sektor industrinya sangat pesat, tidak ada pekerjaan baru yang diciptakan oleh sektor industri Cina menurut indikator pembangunan dunia dari Bank Dunia. Elastisitas lapangan kerja industrinya sangat rendah, hanya -0,05 saja pada periode ini. Bila elastisitas lapangan kerja sektor industri di Cina dapat sampai setinggi 0,3 seperti di Indonesia, keunggulan Cina dalam penciptaan lapangan kerja nonpertanian dapat meningkat sampai 50 persen. Namun secara keseluruhan, Cina diuntungkan oleh sektor jasa yang mampu menciptakan pekerjaan sehingga dapat menutupi ketidakmampuan sektor industri untuk menciptakan pekerjaan. Elastisitas lapangan kerja sektor jasa di Cina yang besarnya 0,3 jauh lebih besar daripada Indonesia yang hanya -0,1. Hal ini adalah faktor utama yang dapat menjelaskan lajunya tingkat pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Cina. Vietnam adalah satu-satunya negara yang diuntungkan oleh pertumbuhan sektor industri dan meningkatnya pekerjaan padat karya di sektor ini. Selama periode tersebut, Vietnam menikmati pertumbuhan PDB tahunan sebesar 7 persen dan mampu mengalihkan pekerja ke pekerjaan non-pertanian sebesar 1,3 persen per tahun, angka yang bahkan lebih cepat daripada periode sebelum krisis. Sektor industri Vietnam yang sedang tumbuh pesat menjadi faktor penting dengan pertumbuhan 10,1 persen per tahun, lebih dari dua kali lipat pertumbuhan Indonesia yang hanya 4,2 persen. Perbedaan ini saja sudah menyebabkan 31 persen dari perbedaan pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di antara kedua negara. Namun, faktor yang lebih besar lagi adalah kemampuan Vietnam untuk mengubah pertumbuhan industri menjadi pekerjaan. Pada periode tersebut, elastisitas lapangan kerja Indonesia di sektor industri hanya 0,3, sedangkan Vietnam mencapai 1,6. Selisih elastisitas lapangan kerja yang begitu besar ini menyebabkan Indonesia tertinggal 47 persen jika dibandingkan dengan Vietnam dalam hal pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian.
Mengapa sektor jasa tidak lagi sepadat karya dahulu? Kenaikan upah di Indonesia dan Cina tampaknya telah menghambat kemampuan sektor jasa untuk mengubah pertumbuhan menjadi pekerjaan. Dari 1999 sampai 2003, upah riil rata-rata meningkat sampai 11 persen per tahun di Indonesia karena upah minimum riil naik 10 persen per tahun (Tabel 2.1). Hanya Cina yang mengalami pertumbuhan upah lebih besar lagi sampai 15 persen per tahun. Keadaan ini bertolak belakang dengan upah riil rata-rata di Thailand yang turun tipis pada periode tersebut, sementara upah di Filipina tetap konstan. Sektor jasa di Indonesia tidak mampu menciptakan pekerjaan sehingga lapangan kerja di sektor tersebut menurun, padahal pertumbuhannya cukup bagus. Sektor jasa juga sulit menciptakan pekerjaan di Cina karena elastisitas lapangan kerjanya relatif rendah. Tetapi, sektor jasa di Thailand dan Filipina yang tidak mengalami kenaikan upah lebih berhasil menciptakan pekerjaan.
38
Lampiran II.2.
57
Gambar 2.6
Elastisitas lapangan kerja sektor jasa
Gambar 2.7 14
1.60 1.39
1.40
0.89
6
0.62
%
0.60
8
0.78 0.84
0.80 0.44
0.40
4.95 5.34 3.18
2
0.20 1990-1997
- 0.13
1999-2003
-2
- 0.40
1990-1997
1999-2003
-4
Indonesia
Sumber: Sakernas, WDI, CEIC
-2.05
-0.41
0
0.00 - 0.20
4.38 4
0.37
0.32
10.07
10.03
10
1.05 0.87
11.90 12.22
12
1.21
1.20 1.00
Rata-rata perubahan upah per tahun
Cina
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
Sumber: Sakernas, WDI, CEIC
Perbandingan antara tren di Indonesia dan di Thailand juga mengisyaratkan bahwa pertumbuhan upah di Indonesia telah mengurangi lapangan kerja sektor jasa. Membandingkan Indonesia dengan Thailand memberikan pelajaran penting karena kedua negara mengalami tren pertumbuhan ekonomi yang mirip, tetapi tren upah yang sangat berbeda. Di kedua negara, pertumbuhan PDB menurun dari sekitar 7 sebelum krisis menjadi sekitar 4,5 persen dari 1999 sampai 2003. Pertumbuhan upah tahunan rata-rata di Indonesia melaju dari pertumbuhan sebesar 3 persen sebelum krisis menjadi 11 persen dari 1999 sampai 2003. Sementara itu, pertumbuhan upah di Thailand malah terbalik – setelah tumbuh 3,5 persen sebelum krisis, upah malah turun 5,5 persen selama 1999-2003. Bertolak belakangnya pertumbuhan upah kedua negara tercermin pada elastisitas sektor jasa. Di Indonesia, elastisitas sektor jasa turun tajam, sementara di Thailand angkanya nyaris konstan.
IV. Pemulihan parsial: Mengapa transformasi struktural kembali terjadi, namun dengan laju yang lebih lambat selama 2003-2007? Sama seperti negara lain di kawasannya, Indonesia belum mampu mencapai kembali tingkat pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian seperti sebelum krisis keuangan 1997. Sejak 2003, pangsa lapangan kerja non-pertanian di Indonesia telah tumbuh cepat sebesar 1,3 persen per tahun seiring turunnya upah rata-rata sampai 3,8 persen per tahun (Tabel 2.3). Namun demikian, meski terjadi penurunan upah dan semakin banyak pekerja keluar dari pertanian, pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian sejak 2003 masih saja jauh di bawah tingkat sebelum krisis 1997, ketika pertumbuhannya mencapai 2,1 persen per tahun. Ketidakmampuan Indonesia untuk pulih kembali ke taraf pertumbuhan lapangan kerja nonpertanian sebelum krisis sebetulnya serupa dengan masalah yang dialami Malaysia, Filipina, dan Thailand. Pangsa lapangan kerja non-pertanian nyaris tidak berubah di Malaysia dan Filipina antara 2003 sampai 2007, sedangkan di Thailand tumbuh 1,2 persen per tahun. Hanya Vietnam dan Cina, yang laju pertumbuhan ekonominya tetap kencang, yang mampu menumbuhkan lapangan kerja non-pertanian di atas tingkat pertumbuhan sebelum krisis.
58
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2 Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
Gambar 2.8
Elastisitas lapangan kerja sektor jasa di Indonesia
Gambar 2.9
Rata-rata perubahan upah per tahun di Indonesia
15.00 1.00
11.90 0.87
10.00
0.80 5.00
4.38
0.60
-2.57
-15.17
0.51 0.00 1990-1997
0.40
1997-1999
1999-2003
2003-2006
-5.00 0.20 -10.00 0.00
- 0.01
- 0.13
1997-1998
1999-2003
-15.00 - 0.20
1990 -1997
2003-2006 -20.00
Sumber: Neraca Nasional, Sakernas
Tabel 2.3
Kinerja dan pertumbuhan upah non-pertanian menurut negara (2003-06)
Tingkat pertumbuhan rata-rata
Indonesia
Cina
Pertumbuhan PDB
5,4
10,3
6,1
Pertumbuhan upah
-2,0
11,7
N/A
Lapangan kerja non-pertanian
1,3
2,1
-0,1
0,1
1,2
1,6
Sektor industri
Pertumbuhan lapangan kerja
0,4
1,2
N/A
-0,4
0,3
N/A
Pertumbuhan PDB
4,5
11,8
7,8
4,5
6,6
10,2
Sektor jasa
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
5,5
5,2
8,1
-1,8
-1,8
0,4
Elastisitas
0,6
0,5
-0,3
-0,1
0,5
0,9
Pertumbuhan lapangan kerja
1,1
1,0
N/A
0,5
0,9
N/A
Pertumbuhan PDB
7,8
10,3
6,2
7,3
5,9
7,3
Elastisitas
0,5
0,4
0,2
0,4
0,8
0,9
Sumber: Sakernas
Pemulihan parsial diakibatkan oleh berlanjutnya ketidakmampuan sektor jasa untuk mengubah pertumbuhan menjadi pekerjaan. Pemilahan yang dilakukan sebelumnya diterapkan pula pada periode 2003-07 untuk memeriksa dengan lebih saksama mengapa pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan transformasi struktural yang sangat pesat selama 199097 (Tabel 2.4). Pertumbuhan lapangan kerja yang lebih rendah di sektor industri dan jasa masing-masing menyumbangkan sekitar setengah dari total ketertinggalan pertumbuhan lapangan kerja. Sektor jasa tumbuh lebih cepat selama 2003-06 daripada selama periode 1990-97. Tetapi, elastisitas lapangan kerja sektor jasa masih tetap berada di bawah tingkat sebelum 1997 meskipun telah lebih banyak dari periode 1999-2003. Karena sektor jasa mempekerjakan lebih dari dua kali lipat jumlah pekerja di sektor industri, maka ketertinggalan yang moderat dalam elastisitas lapangan kerja ini pun tetap saja berpengaruh besar dan menjadi penyebab 69 persen dari total ketertinggalan dalam lapangan kerja non-pertanian.
59
Tabel 2.4
Pemilahan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia, 2003-07 Indonesia (1990-97)
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
A. Pertumbuhan tahunan lapangan kerja non-pertanian (persen) Negara
6,3
1,2
2,2
4,4
7,3
Indonesia (2003-2006)
3,5
3,5
3,5
3,5
3,5
Selisih
2,8
-2,3
-1,3
0,9
3,8
32%
-6%
0%
-34%
21%
B. Persentase selisih yang disebabkan oleh: Pertumbuhan industri Elastisitas industri
14%
72%
241%
4%
12%
Pertumbuhan jasa
-16%
8%
-12%
80%
-12%
Elastisitas jasa
69%
26%
-128%
50%
79%
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia
Penurunan elastisitas sektor jasa terutama diakibatkan oleh subsektor perdagangan, sebuah fenomena yang terjadi di seluruh kawasan. Elastisitas perdagangan menurun dari 0,45 sebelum krisis menjadi 0,3 pada periode 2003-07. Hal ini berarti kenaikan 10 persen pada pertumbuhan perdagangan hanya akan meningkatkan lapangan kerja sebesar 3 persen, bukannya 4,5 persen. Penurunan elastisitas pada sektor jasa publik dan swasta juga cukup berarti sampai sebesar 28 persen, tetapi sektor jasa transpor dan keuangan mengalami penurunan elastisitas yang jauh lebih kecil. Situasi ini tak hanya terjadi di Indonesia. Sektor jasa di seluruh kawasan tidak lagi sepadat karya sebelumnya sehingga hanya menciptakan lebih sedikit pekerjaan. Selama periode 1999-2003, elastisitas sektor jasa yang negatif di Indonesia merupakan yang terendah di antara negara tetangganya, namun elastisitas sektor jasa di Indonesia telah pulih sehingga kini berada di posisi tengah. Ketidakmampuan elastisitas sektor jasa untuk mencapai kembali taraf 199097 terjadi di seluruh kawasan. Berbeda dengan periode sebelumnya, pertumbuhan upah tidak dapat menjelaskan lambatnya pertumbuhan lapangan kerja sektor jasa. Selama 2003-07, pertumbuhan upah ratarata bahkan turun 2 persen di Indonesia dan 1,8 persen di Malaysia dan Filipina (Tabel 2.3). Sesungguhnya, elastisitas lapangan kerja sektor jasa mengalami penurunan di seluruh kawasan. Sebuah kemungkinan penjelasan untuk penurunan yang terjadi secara universal ini adalah bahwa perbaikan pada teknologi informasi dan komunikasi telah membuat sektor jasa tidak lagi sepadat karya sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi sektor industri yang lebih lambat juga merupakan faktor penting yang dapat menjelaskan melambatnya pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian, baik di Indonesia maupun negara tetangganya. Sepertiga dari ketertinggalan ini, jika dibandingkan dengan era sebelum krisis, dapat dijelaskan oleh pertumbuhan lapangan kerja industri yang lebih lambat, yang anjlok dari tingkat pertumbuhan 9 persen per tahun sebelum krisis menjadi hanya 4,5 persen selama 2003-07. Kira-kira setengah dari penurunan pertumbuhan industri diakibatkan oleh subsektor manufaktur yang pertumbuhannya melambat dari tingkat 5,4 persen sebelum krisis menjadi 3,1 persen pascakrisis. Pertumbuhan konstruksi dan pertambangan juga turun cukup besar dan menyumbangkan setengah lagi dari penurunan pertumbuhan industri. Meskipun pertumbuhan sektor industri Indonesia mengalami penurunan paling parah, dari 9 menjadi 4,5 persen per tahun, kebanyakan negara juga tidak mampu mencapai kembali tingkat pertumbuhan industri sebelum krisis. Sebagai contoh, pertumbuhan industri di Malaysia melambat dari 11 menjadi 7,8 persen, sedangkan pertumbuhan industri di Vietnam turun dari 8,8 menjadi 6,6 persen. Cina dan Vietnam yang sedang berkembang pesat pun mengalami penurunan pertumbuhan industri, meskipun penurunannya terjadi dari posisi yang sebelumnya sangat tinggi. Meskipun demikian, Indonesia berhasil menghindari anjloknya pertumbuhan lapangan kerja industri yang menjadi masalah besar di Malaysia dan Filipina. Indonesia dan Filipina mempunyai
60
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2 Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
tingkat pertumbuhan industri yang paling rendah di kawasannya, yaitu sebesar 4,5 persen per tahun, sedangkan tetangga yang lain mengalami tingkat pertumbuhan sektor industri yang bervariasi antara 6,5 sampai 11 persen. Meskipun demikian, elastisitas lapangan kerja sektor industri di Indonesia masih lebih tinggi daripada negara tetangganya dan hanya kalah dari Vietnam. Hal ini mengisyaratkan bahwa sektor industri di Indonesia mampu menciptakan pekerjaan dengan cukup cepat, terutama jika dibandingkan dengan Malaysia dan Filipina yang elastisitas lapangan kerja sektor industrinya negatif.
V. Kesimpulan Indonesia telah pulih dari jobless growth, tetapi kenaikan tinggi pada biaya tenaga kerja formal, terutama selama 1999-2003, telah menghambat penciptaan pekerjaan non-pertanian. Masa terburuk jobless growth terjadi pada periode 1999-2003. Keadaan ini didorong oleh penurunan drastis pada elastisitas lapangan kerja sektor jasa, kondisi yang hanya terjadi di Indonesia. Pada saat bersamaan, upah di Indonesia meningkat lebih cepat daripada negara tetangganya meski pertumbuhan ekonominya sedang saja, sehingga menyebabkan terhambatnya penciptaan pekerjaan non-pertanian. Pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia belum mampu mencapai tingkat sebelum krisis karena perubahan teknologi di sektor jasa dan persaingan industri dari Cina dan Vietnam. Pertumbuhan pekerjaan non-pertanian telah pulih sebagian pada periode 2003-07 seiring melambatnya pertumbuhan upah, namun belum sampai ke taraf sebelum krisis. Dua per tiga dari ketinggalan ini disebabkan oleh elastisitas sektor jasa yang lebih rendah, sebuah fenomena yang melanda kawasan dan kemungkinan diakibatkan oleh perubahan teknologi. Faktor utama lain yang dapat menjelaskan ketertinggalan ini adalah pertumbuhan industri yang lebih lambat karena produksi beralih ke Cina dan Vietnam yang sedang tumbuh pesat. Keberhasilan mereka menghindari turunnya pertumbuhan industri telah memungkinkan mereka untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian sama seperti sebelum krisis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami penghambat penciptaan pekerjaan nonpertanian, terutama faktor yang menurunkan elastisitas lapangan kerja di sektor jasa yang sedang tumbuh. Bab ini mengemukakan pemikiran bahwa kenaikan tinggi pada upah kemungkinan menjadi faktor kunci yang mempengaruhi pemberi kerja di sektor jasa untuk mempekerjakan lebih sedikit pekerja sehingga sektor ini hanya mampu menciptakan sedikit pekerjaan baru. Studi lebih lanjut dapat mengkaji dampak perubahan pada peraturan tenaga kerja, upah, dan lembaga hukum dalam menarik investasi asing ke sektor industri dan jasa demi menciptakan pekerjaan non-pertanian. Riset juga dapat memperdalam pemahaman kita mengenai perubahan sektor jasa yang sedang terjadi di kawasan ini, yang menyebabkan sektor jasa tidak lagi sepadat karya dahulu. Bab selanjutnya akan mengkaji salah satu akibat dari lambatnya pertumbuhan pekerjaan nonpertanian: pasar tenaga kerja yang sangat tersegmentasi. Bab ini mengkaji pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di seluruh kawasan, bukan tingkat formalitas, karena lapangan kerja pertanian didefinisikan dengan konsisten dan datanya mudah diperoleh untuk berbagai negara di kawasan ini. Tren pada lapangan kerja non-pertanian, seperti yang tampak pada Bab 1, umumnya sama dengan tren pada lapangan kerja sektor formal. Karena itu, kebijakan yang mengurangi pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian juga akan mengurangi peluang bagi pekerja untuk bekerja di sektor formal. Bab 3 mengamati bagaimana penjatahan pekerjaan di sektor formal dan non-pertanian semakin mengkotak-kotakkan angkatan kerja dan menciptakan kelompok-kelompok ‘orang dalam’ dan ‘orang luar’ yang diuntungkan ataupun dirugikan oleh kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan saat ini.
61
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga Kerja Di Sektor Formal dan Informal
Bab 3 Ringkasan & Rekomendasi Meskipun akhir-akhir ini tren tenaga kerja telah membaik, sebagian besar penduduk Indonesia masih banyak yang bekerja di sektor informal. Sejak tahun 2003, tren ketenagakerjaan di pasar tenaga kerja Indonesia perlahan-lahan telah mengalami perkembangan positif. Namun demikian, angkatan kerjanya masih banyak di sector informal. Hampir seperempat dari angkatan kerja aktif bekerja secara informal di sektor jasa dan industri, sedangkan lebih dari sepertiganya bekerja secara informal di pertanian. Tingkat informalitas di Indonesia mencapai 63 persen, jauh melebihi negara lain yang sekawasan. Meskipun sebagian orang lebih menyukai pekerjaan informal, namun penghasilan pekerja sektor informal lebih kecil dan mereka tidak memperoleh tunjangan yang layak dikaitkan dengan pekerjaan di sektor formal. Berwiraswasta di sektor informal memang memungkinkan sejumlah pekerja – terutama pekerja yang berpendidikan lebih tinggi dan lebih berpengalaman –memperoleh penghasilan lebih besar daripada di sektor formal. Hal lainnya, terutama perempuan, mungkin lebih menyukai pekerjaan informal karena lebih fleksibel. Tetapi secara rata-rata, pekerja di sektor informal menerima penghasilan jauh lebih kecil daripada pemberi kerja atau karyawan di sektor formal. Mereka pun tidak menerima tunjangan non-upah yang biasanya diterima pekerja formal, seperti tunjangan kesehatan, transpor, atau akses terhadap kredit. Mengingat peralihan dari pekerjaan informal ke pekerjaan formal bukanlah hal yang umum, informalitas tampaknya lebih merupakan perangkap daripada batu loncatan menuju pekerjaan yang lebih baik. Walaupun demikian, pekerjaan di sektor formal tidak selalu lebih baik daripada pekerjaan di sektor informal. Terdapat tiga kategori karyawan di sektor formal: i) karyawan dengan kontrak permanen, ii) mereka yang dipekerjakan untuk sementara dengan kontrak jangka waktu tetap, dan iii) mereka yang bekerja di sektor formal tanpa kontrak. Karyawan permanen lebih terjamin penghasilannya daripada pekerja sementara. Namun, karyawan tanpa kontrak (81 persen dari angkatan kerja formal), mengalami kondisi terburuk dan hanya memperoleh penghasilan yang kurang lebih sama dengan pekerja pertanian atau non-tani di sektor informal. Mereka memiliki peluang lebih kecil untuk menerima tunjangan non-upah yang lazim diperoleh pekerja sektor formal, termasuk uang pesangon, pensiun, kredit, dan tunjangan transpor. Jika terjadi perselisihan dengan pemberi kerja, karyawan tanpa kontrak juga berada dalam posisi yang dirugikan. Tanpa adanya dokumentasi kerja yang dapat digunakan sebagai bukti pekerjaan, mereka akan kesulitan mengakses jalur penyelesaian perselisihan di pengadilan hubungan industrial. Rekomendasi Dengan angkatan kerja yang tersegmentasi seperti di Indonesia, pembuat kebijakan harus berfokus untuk mempercepat penciptaan pekerjaan yang ‘lebih baik’ sambil tetap melindungi pekerja yang rentan. Tanpa adanya peningkatan kesempatan di sektor formal dan sector non-pertanian, mayoritas pekerja Indonesia akan tetap menjadi pekerja informal. Karena pekerja informal cenderung lebih miskin, pertumbuhan lapangan kerja formal yang stagnan juga akan memperlambat laju pengurangan kemiskinan di Indonesia. Sebab itu, tantangan yang dihadapi pemerintah baru adalah mengidentifikasi dan mendukung kebijakan bagi kepentingan mayoritas pekerja yang mencari pekerjaan lebih baik, sambil memastikan bahwa pekerja yang telah memiliki kontrak kerja tetap terlindungi. Masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk mendalami pilihan kebijakan di area berikut: Memahami bagaimana meningkatkan akses kredit bagi pengusaha mikro dan usaha kecil menengah (UKM), serta mengurangi hambatan birokrasi bagi kelompok tersebut demi merangsang penciptaan lapangan kerja. Membuka akses informasi sehingga pekerja informal dapat mencari pekerjaan yang lebih baik, dan mendalami strategi untuk menghubungkan pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak dengan calon pemberi kerja. Mengidentifikasi layanan pelatihan, serta tunjangan seperti tunjangan kesehatan dan sistem pensiun, yang dapat dirancang untuk mendukung dan melindungi pekerja informal.
64
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Pendahuluan Distribusi pekerja menurut sektor Gambar 3.2
Asia Timur
Sumber: Sakernas, 2007
Mexico
Cile
Brazil
Pertanian Informal; 37,2%
Argentina
Jasa Formal; 22,5%
Formal 38.7%
Usaha sendiri Pekerja keluarga
Vietnam
Informal Industri Informal; 61.3% 6,6%
Industri Formal; 12,2%
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Thailand
Jasa Informal; 17,5%
Persentase pekerja yang memiliki usaha sendiri dan pekerja keluarga di berbagai Negara
Filipina
Pertanian Formal; 4,1%
Malaysia
Gambar 3.1
Indonesia
I.
Amerika Latin
Sumber: ILO LABORSTA
Penciptaan lapangan kerja yang lambat semakin mengukuhkan angkatan kerja yang sebagian besar diisi pekerja informal dan pertanian. Tren ketenagakerjaan di pasar tenaga kerja Indonesia perlahanlahan mengalami perkembangan positif sejak berakhirnya periode jobless growth pada tahun 2003. Meski demikian, mayoritas angkatan kerja aktif di Indonesia – sekitar 100 juta pekerja – masih tetap bergantung pada pekerjaan di sektor informal dan pertanian (Gambar 3.1). Tingkat informalitas Indonesia yang mencapai 63 persen dari angkatan kerja yang memiliki pekerjaan, jauh lebih tinggi daripada kebanyakan negara tetangganya dan negara berkembang lain yang menjadi pembanding (Gambar 3.2).39 Akibatnya, angkatan kerja Indonesia sangat tersegmentasi dan kebanyakan pekerja tidak memiliki jaminan penghasilan. Status kontrak adalah faktor kunci yang mempengaruhi jaminan penghasilan para pekerja di sektor formal. Pemberi kerja dan karyawan yang memiliki kontrak permanen (baik di sektor swasta maupun publik) memiliki penghasilan terbesar. Tetapi, persentase mereka kira-kira hanya 5 persen dari angkatan kerja aktif (Gambar 3.3). Karyawan sementara dengan kontrak jangka waktu tetap memperoleh penghasilan yang jauh lebih sedikit, namun jumlah mereka tetap saja hanya 3 persen dari angkatan kerja. Mayoritas pekerja selain kedua kategori di atas menghadapi ketidakpastian penghasilan yang jauh lebih besar. Kalangan ini termasuk karyawan sektor formal yang bekerja tanpa kontrak (38 persen dari angkatan kerja), dan pekerja yang memiliki usaha sendiri serta pekerja keluarga yang tidak dibayar (54 persen) di sektor pertanian dan non-tani yang informal. Para pekerja ini rata-rata berpenghasilan lebih rendah daripada pekerja kontrak di sektor formal dan tidak mendapatkan tunjangan non-upah yang lazim diperoleh jika memiliki kontrak (Gambar 3.4). Pada saat yang sama, undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan cenderung tidak melindungi para pekerja ini sehingga mereka terpaksa berjuang sendirian.
39
Karena definisi tingkat informalitas berlainan di berbagai negara, dua kategori pekerja, pekerja yang memiliki usaha sendiri (baik dengan atau tanpa dibantu pekerja lain) dan pekerja keluarga, digunakan untuk mewakili tingkat informalitas. Perwakilan seperti ini cukup akurat. Analisis data Sakernas (2008) mendapati bahwa dari antara keseluruhan pekerja informal, lebih dari setengahnya merupakan pekerja yang memiliki usaha sendiri, dengan 32 persen di sektor pertanian dan 24 persen di sektor non-tani. Sekitar seperempatnya bekerja sebagai pekerja yang tidak dibayar dalam bisnis keluarga dan sisanya merupakan pekerja lepas.
65
Distribusi pekerja aktif menurut status pekerjaan Karyawan kontrak permanen 3% Karyawan kontrak jangka waktu tetap 3%
Pemberi kerja 2%
Pertanian informal 27%
Karyawan tanpa kontrak 38%
Non-tani informal 27%
Sumber: IFLS, 2007
Gambar 3.4
Rata-rata penghasilan bulanan pekerja menurut status pekerjaan
400.000 350.000 300.000
Rupiah
Gambar 3.3
250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0 Karyawan permanen & Pemberi kerja
Karyawan kontrak jangka waktu tetap
Karyawan tanpa kontrak
Non-tani informal
Pertanian informal
Sumber: IFLS, 2007
Keberhasilan seseorang di pasar tenaga kerja tidak seluruhnya ditentukan oleh keikutsertaannya di sektor formal atau status pekerjaannya. Kategori agregat menutupi beragamnya pengalaman pekerja Indonesia. Tidak semua pekerjaan di sektor informal merupakan pekerjaan yang ‘jelek’. Bahkan sejumlah pekerja lebih sejahtera di sektor informal daripada di sektor formal. Demikian pula tidak semua pekerjaan di sektor formal dapat dianggap sebagai pekerjaan yang ‘bagus’. Bab 3 mengkaji segmentasi di pasar tenaga kerja Indonesia dengan mengamati situasi pekerja di sektor formal dan informal. Para pembuat kebijakan di sebuah negara dengan pasar tenaga kerja yang sangat tersegmentasi menghadapi tantangan unik. Mereka tak hanya perlu memperkuat perlindungan bagi pekerja yang memiliki kontrak kerja dan tercakup dalam peraturan ketenagakerjaan, tetapi juga perlu mendorong penciptaan lapangan kerja agar semakin banyak pekerja informal dan tanpa kontrak dapat memiliki jaminan penghasilan dan akses terhadap tunjangan non-upah. Karena itu, sangatlah penting bagi para pembuat kebijakan untuk tak sekadar memahami segmentasi secara umum di pasar tenaga kerja, tetapi sekaligus memahami segmentasi di berbagai sektor formal dan informal. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian: Yang pertama mendalami mengenai segmentasi di sektor formal berdasarkan status kontrak karyawan. Yang kedua mengamati tingkat informalitas di Indonesia dan mengkaji empat kemungkinan yang menjadi alasan mengapa orang bekerja di sektor informal: pilihan kerja, terjebak, batu loncatan, atau jaring pengaman. Bagian terakhir mengidentifikasi tantangan yang saat ini dihadapi pembuat kebijakan dalam upaya mereka mempercepat laju penciptaan pekerjaan yang “lebih baik”.
II. Segmentasi di Sektor Formal Kualitas pekerjaan di sektor formal sangat bergantung pada status kontrak. Terdapat tiga jenis kesepakatan kerja di sektor formal. Kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut: Kontrak tanpa batas waktu yang mempekerjakan pekerja secara permanen. Kontrak jangka waktu tertentu yang mempekerjakan pekerja untuk jangka waktu tertentu. Termasuk
66
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
dalam kategori ini adalah jasa yang dialihdayakan (outsourced), yaitu pekerja yang dipekerjakan oleh agensi penempatan kerja untuk memberikan pelayanan bagi perusahaan klien. Tidak ada kontrak resmi yang mendefinisikan hubungan ketenagakerjaan.40 Walaupun sekitar sepersepuluh karyawan di Indonesia melaporkan bahwa mereka bekerja dengan kontrak jangka waktu tetap, mayoritas melaporkan bahwa mereka tidak memiliki kontrak kerja. Hanya sekitar 20 persen dari pekerja di sektor formal yang mengatakan bahwa mereka mempunyai kontrak kerja. Sekitar 8,7 persen dari karyawan penerima upah dan gaji di sektor formal dipekerjakan secara permanen dan sekitar 10,2 persen memiliki kontrak jangka waktu tetap.41 Perbandingan regional tidak tersedia, namun kejadian kontrak jangka waktu tetap di Indonesia berada dalam rentang negara OECD, yaitu antara 5 sampai 17,5 persen.42 Mayoritas karyawan sektor formal bekerja tanpa kontrak resmi. Terdapat indikasi bahwa persentase karyawan dengan kontrak di Indonesia berada di bawah negara lain dengan tingkat penghasilan serupa.43 Pekerja dengan kontrak jangka waktu tetap berusia lebih muda dan berpendidikan lebih tinggi; mereka cenderung bekerja di perusahaan yang lebih besar, terutama di bidang manufaktur. Usia rata-rata karyawan dengan kontrak jangka waktu tetap adalah 28,9 tahun, jauh lebih muda daripada karyawan permanen (35,6 tahun) atau pekerja tanpa kontrak (34,2 tahun).44 Karyawan yang minimal telah tamat SMA mencapai 80,7 persen dari karyawan permanen dan 81,0 persen dari karyawan dengan kontrak jangka waktu tetap, jauh tinggi daripada karyawan tanpa kontrak resmi yang hanya 52,6 persen. Perusahaan yang lebih besar di area yang lebih maju cenderung banyak menggunakan kontrak jangka waktu tetap, kemungkinan sebagai proses penyaringan karyawan baru. Mereka sering kali bekerja di sektor manufaktur dan jasa sosial, serta cenderung terkonsentrasi di kawasan industri: Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Gambar 3.5
Distribusi karyawan menurut Gambar 3.6 status kontrak
Tunjangan non-upah yang diterima sesuai laporan karyawan, menurut status kontrak
70% 9%
Kontrak permanen/Pemberi kerja Kontrak jangka waktu tetap Tanpa kontrak
60% 10%
Karyawan permanen
50%
Kontrak jangka waktu tetap (karyawan langsung atau alih daya)
40% 30%
Karyawan tanpa kontrak resmi 20%
10% 81%
0% Pesangon Pensiun Kesehatan
Sumber: IFLS, 2007
40 41
42 43 44
Kredit
Transpor
Makan
Sumber: IFLS, 2007
Kategori karyawan yang demikian disebut sebagai karyawan tanpa kontrak dalam laporan ini. IFLS, 2007. Kecuali jika dinyatakan lain, IFLS (2007) adalah sumber data semua statistik dan analisis deskriptif mengenai status kontrak. Pertanyaan terkait yang diajukan kepada pekerja adalah “Apakah Anda mempunyai kontrak kerja?” Tiga kemungkinan jawabannya adalah “Tidak”, “Ya, tanpa jangka waktu”, dan “Ya, dengan jangka waktu” OECD, 2007b. Berdasarkan perkiraan komparatif Bank Dunia menggunakan data dari Indikator Pembangunan Dunia (WDI) untuk populasi dan PDB riil per kapita, serta data pangsa upah dan gaji pekerjaan dari Eurostat, ILO, dan OECD. Lampiran III.1 memberikan profil lengkap karyawan, pekerjaan, dan karakteristik kualitas pekerjaan menurut status kontrak.
67
Pekerja dengan kontrak jangka waktu tetap menghadapi ketidakpastian penghasilan yang lebih besar daripada pekerja permanen. Hal ini karena mereka yang dipekerjakan dengan kontrak sementara untuk memperoleh upah lebih rendah daripada pekerja permanen (Gambar 3.4) dan jumlah minggu kerja per tahunnya lebih sedikit.45 Mereka pun melaporkan bahwa mereka mendapatkan lebih sedikit tunjangan daripada pekerja permanen, termasuk dalam hal tunjangan kesehatan, pensiun, dan uang pesangon. Selain itu, pekerja dengan kontrak jangka waktu tetap memiliki kemungkinan lebih kecil untuk berserikat sehingga lebih jarang menikmati manfaat yang diperoleh anggota serikat pekerja.46 Tetapi, karyawan yang bekerja tanpa kontrak-lah yang menghadapi ketidakpastian terbesar. Tidak adanya kesepakatan dalam bentuk kontrak di sektor formal mungkin merupakan masalah yang lebih serius daripada pemakaian kontrak jangka waktu tetap. Bekerja sebagai karyawan di sektor formal tanpa adanya kontrak akan merugikan pekerja karena empat hal berikut. Yang pertama, karyawan tanpa kontrak menghadapi ketidakpastian penghasilan yang lebih besar daripada karyawan permanen atau sementara. Meskipun secara rata-rata jumlah minggu kerja per tahun mereka lebih tinggi daripada staf sementara, mereka menerima upah yang paling rendah: 25 persen lebih rendah daripada karyawan dengan kontrak permanen dan 11 persen lebih rendah daripada staf dengan kontrak jangka waktu tetap. Yang kedua, meskipun karyawan tanpa kontrak menjalani pekerjaan yang paling menuntut kemampuan fisik dan rawan cedera, mereka berpeluang paling kecil untuk mendapatkan tunjangan kesehatan dari pemberi kerja. Yang ketiga, mereka pun berpeluang paling kecil untuk memperoleh pelatihan. Yang terakhir, karyawan tanpa kontrak akan dirugikan saat mengakses lembaga pengadilan formal – seperti pengadilan hubungan industrial – karena mereka tidak memiliki dokumentasi pekerjaan yang dapat dipakai sebagai bukti. Kondisi ini banyak dirasakan karyawan yang lebih tua dan berpendidikan lebih rendah, yang bekerja di perusahaan yang lebih kecil, karena merekalah yang mempunyai kemungkinan paling besar untuk bekerja tanpa kontrak. Rata-rata karyawan tanpa kontrak berusia lebih tua daripada karyawan dengan kontrak jangka waktu tetap, namun berusia sama dengan karyawan permanen.47 Karyawan tanpa kontrak resmi juga menempuh masa pendidikan formal yang lebih singkat. Meskipun lebih dari setengahnya telah lulus SMA, hanya 19,8 persen yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi, lebih rendah bila dibandingkan dengan 38,4 persen untuk karyawan permanen dan 27,5 persen untuk karyawan dengan kontrak jangka waktu tetap. Karyawan tanpa kontrak memiliki kemungkinan lebih besar untuk bekerja di perusahaan dengan karyawan di bawah 20 orang jika dibandingkan dengan karyawan permanen maupun karyawan kontrak jangka waktu tetap. Mereka terkonsentrasi di sektor jasa: sekitar sepertiganya bekerja di sektor jasa sosial, seperempatnya bekerja di sektor manufaktur, dan seperlimanya di sektor perdagangan. Karyawan tanpa kontrak paling banyak berada di kawasan Indonesia yang tingkat industrialisasinya masih rendah. Keadaan pekerja tanpa kontrak layak mendapat perhatian lebih besar dalam implementasi kebijakan. Meskipun karyawan tanpa kontrak mendominasi sektor formal, namun mereka tidak mampu bersuara banyak untuk mempengaruhi kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan. Pembuat kebijakan di Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk mewakili perhatian dan minat para pekerja ini melalui perbaikan prospek pekerjaan dan jaminan penghasilan mereka. Tetapi pada saat yang sama, para pembuat kebijakan pun harus memperhatikan mayoritas angkatan kerja – bagi mereka yang terkonsentrasi di sektor informal. Bagian berikutnya menjelaskan siapa saja yang termasuk pekerja informal dan mendalami alasan mengapa mereka bekerja di sektor informal.
45
46 47
68
Lampiran III.2. Lampiran tersebut memperlihatkan perbandingan kondisi ketenagakerjaan (intensitas kerja, upah, dan tunjangan non-upah) antara karyawan permanen dan karyawan kontrak jangka waktu tetap dengan karyawan yang bekerja tanpa kontrak. Telah dilakukan kontrol terhadap serangkaian luas karakteristik, termasuk jenis kelamin, usia, tingkat pencapaian pendidikan, ukuran perusahaan, sektor pekerjaan (dua digit) dan lokasi geografis menurut kawasan. Lihat diskusi mengenai keuntungan menjadi anggota serikat pekerja pada Bab 6. Lampiran III.1.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
III. Sektor Informal Siapa saja yang termasuk pekerja informal? Mayoritas pekerja informal tinggal di area pedesaan; mereka cenderung miskin dan umumnya memiliki usaha sendiri. Dari antara semua pekerja informal, lebih dari 70 persen tinggal di area pedesaan. Enam puluh tiga persen dari pekerja informal pedesaan ini tergolong miskin atau hampir miskin, dan 73 persen hanya memiliki pendidikan setingkat SD atau kurang.48 Kebanyakan pekerja informal memiliki usaha sendiri. Sebagian besar pekerja informal di pedesaan merupakan pekerja yang memiliki usaha sendiri sebagai petani, nelayan, dan peternak. Meskipun mayoritas tinggal di Jawa dan Sumatera, mereka terkonsentrasi di area terpencil yang lebih sedikit menjadi tempat operasi perusahaan dan sumber penghidupan utamanya adalah pertanian. Pekerja di Indonesia timur berpeluang 2,3 kali lebih besar untuk menjadi pekerja informal daripada pekerja dengan karakteristik serupa di kawasan barat Indonesia. Pekerja informal di area perkotaan cenderung berpendidikan lebih tinggi, tidak begitu miskin, dan umumnya bekerja di bidang penjualan dan transpor. Pekerja informal perkotaan sangat berbeda dengan pekerja informal di area pedesaan. Sebagian besar pekerja pedesaan bergantung pada pertanian, sedangkan pekerja informal di area perkotaan yang bergantung pada sektor pertanian tidak sampai 25 persen (Gambar 3.6). Mayoritas bekerja di bidang penjualan, transportasi, jasa domestik, dan buruh bangunan. Pekerja informal perkotaan juga berpendidikan lebih tinggi: 25 persen berpendidikan SMA atau lebih tinggi; bandingkan dengan di area pedesaan yang hanya 9 persen.49 Karena berbagai alasan tersebut, mereka pun memiliki penghasilan lebih tinggi. Lebih dari 82 persen pekerja informal perkotaan dapat digolongkan tidak miskin. Gambar 3.7
Perbedaan perkotaan-pedesaan dalam distribusi pekerjaan informal Pedesaan
Perkotaan
2% 0%
1%
9%
35%
13% 7% 34% 76% 23%
Profesional
Jasa
Buruh
Tenaga penjualan
Pekerja pertanian
Sumber: Sakernas, 2008.
48 49
Sakernas 2008 Sakernas 2008
69
Kotak 3.1
Mendefinisikan sektor informal
Tidak ada definisi standar baku untuk sektor informal. Definisi yang umum merujuk pada kegiatan ekonomi yang berada di luar aturan dan lembaga legal sebuah negara. Di negara maju, hal ini sering kali merujuk pada bisnis tak terdaftar yang tidak membayar pajak atau memberikan tunjangan bagi pekerjanya. Pendekatan tersebut kemungkinan tidak cocok bagi negara berkembang yang masih lemah dalam hal pencatatan kegiatan bisnis dan kepatuhan hukum. Sebuah definisi alternatif, yang juga dipakai di Indonesia, didasarkan pada status pekerjaan – sebuah kondisi yang mewakili jaminan penghasilan dan definisi pertama. Definisi resmi mengenai kegiatan sektor formal dan informal yang diterapkan oleh BPS pada 2001 menggunakan kombinasi antara status pekerjaan dan jenis pekerjaan utama (Tabel 3.1). Semua karyawan dan pemberi kerja yang mempekerjakan karyawan permanen didefinisikan sebagai formal. Demikian pula semua kalangan profesional atau pekerja di posisi manajer dianggap sebagai pekerja formal, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan sebagai pekerja keluarga, namun jumlah golongan terakhir ini sangat sedikit. Semua kombinasi yang lain dianggap informal, kecuali mereka yang memiliki usaha sendiri dengan pekerja dari keluarga. Definisi yang disederhanakan akan dipakai saat menangani data yang tidak mempunyai informasi mengenai jenis pekerjaan utama, sebuah informasi yang dibutuhkan pada definisi resmi (Tabel 3.2). Dalam kondisi tersebut, definisi alternatif menggunakan kombinasi status pekerjaan dan klasifikasi pertanian/non-tani. Menurut definisi ini, semua pekerja keluarga dan pekerja yang memiliki usaha sendiri tanpa dibantu pekerja keluarga, merupakan pekerja informal. Sementara itu, mereka yang memiliki usaha sendiri dengan dibantu pekerja keluarga dianggap formal jika bekerja di bidang non-tani, tetapi dianggap informal jika bekerja di bidang pertanian. Semua pemberi kerja dan karyawan dianggap formal. Versi yang disederhanakan ini sesuai dengan definisi resmi untuk lebih dari 99 persen pekerja. Laporan Ketenagakerjaan Indonesia menggunakan kedua definisi ini tergantung pada data yang tersedia. Laporan ini menggunakan definisi resmi BPS manakala memungkinkan. Definisi alternatif yang disederhanakan hanya digunakan jika data mengenai kategori pekerjaan tidak tersedia atau bermasalah. Kondisi ini terjadi saat menganalisis data Sakernas periode 1990-93 dan 2000, serta semua data IFLS. Karena kesesuaian antara kedua definisi ini sangat baik, pemakaian keduanya tidak menimbulkan masalah serius dalam hal akurasi atau keandalan. Tabel 3.1
Definisi BPS untuk sektor formal dan informal
Status
Memiliki usaha sendiri Memiliki usaha sendiri dengan pekerja keluarga Pemberi kerja dengan pekerja permanen Karyawan Karyawan lepas, pertanian Karyawan lepas, non-tani Pekerja keluarga
Tabel 3.2
Jenis pekerjaan Pekerja Produksi, Transpor, Pertanian Tak ahli
Profesional, Direktur, Manajer
Penjual, Buruh
Formal Formal
Informal Formal
Informal Informal
Informal Formal
Informal Informal
Formal
Formal
Formal
Formal
Formal
Formal Formal Formal Informal
Formal Informal Informal Informal
Formal Informal Informal Informal
Formal Informal Informal Informal
Formal Informal Informal Informal
Definisi yang disederhanakan, sektor formal dan informal
Status Pekerja keluarga Memiliki usaha sendiri Memiliki usaha sendiri dengan pekerja sementara Pemberi kerja atau karyawan
70
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Industri Non-Tani Informal Informal Formal Formal
Pertanian Informal Informal Informal Formal
Lainnya
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Gambar 3.8
Persentase populasi dalam jenis pekerjaan menurut usia 100
% populasi berusia 15 tahun ke atas
% populasi berusia 15 tahun ke atas
100
80
60
40
80
60
40
20 20
0 0
15-18
15-18
19-24 Informal
25-34
35-49 Formal
50-64
19-24
25-34
35-49
50-64
>=65
>=65
Tidak bekerja
Usaha sendiri, pertanian
Usaha sendiri, non-tani
Pekerja lepas
Pekerja tak dibayar
Sumber: Sakernas, 2008.
Pekerja informal berpendidikan lebih rendah; semakin lama orang bersekolah, semakin besar peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan formal. Dari antara semua pekerja informal, 91 persennya belum menyelesaikan SMA.50 Analisisa multivariat memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan berperan penting dalam menentukan sektor mana yang akan dimasuki pekerja. Jika dua orang pekerja mempunyai karakteristik serupa kecuali pada tingkat pendidikan mereka, pekerja yang lulus dari SMP berpeluang dua kali lebih besar untuk memiliki pekerjaan formal daripada pekerja yang hanya lulus SD. Menamatkan SMA akan meningkatkan lagi peluang ini sampai lebih dari dua kali lipat. Mereka yang memiliki gelar universitas atau diploma kejuruan mempunyai kemungkinan paling kecil untuk bekerja di sektor informal51. Mereka yang berusia muda menggunakan sektor informal sebagai titik awal, sementara pekerja yang lebih tua mempunyai kemungkinan lebih besar memasuki sektor informal demi menjalankan usahanya sendiri. Banyak pekerja beralih masuk dan keluar dari pasar tenaga kerja, serta masuk dan keluar dari sektor informal. Kebanyakan pemuda tidak memiliki pengalaman atau pendidikan yang diperlukan untuk memperoleh pekerjaan formal. Karena itu, mereka umumnya memasuki pasar tenaga kerja dengan bekerja secara informal, baik dengan bekerja tanpa bayaran pada usaha keluarga atau bekerja sebagai pekerja lepas (Gambar 3.7, Panel a). Setelah mengumpulkan pengalaman dan aset, para pekerja di usia produktifnya memiliki peluang lebih besar untuk memasuki sektor formal atau menjadi wiraswasta. Pekerja yang berusia di atas 50 tahun mempunyai peluang jauh lebih besar untuk memiliki usaha non-tani sendiri, sebuah keadaan yang mengisyaratkan bahwa beberapa pekerja informal mampu meningkatkan kesejahteraannya sambil tetap berada di sektor informal. Perempuan berpeluang lebih besar untuk menjadi pekerja informal daripada laki-laki. Peluang perempuan untuk bekerja di sector informal 24 persen lebih besar daripada laki-laki.52 baik perempuan maupun laki-laki dengan pekerjaan informal terkonsentrasi pada pekerjaan pertanian. Di luar pertanian, kebanyakan laki-laki yang bekerja informal mempunyai pekerjaan di bidang transportasi, sedangkan 60 persen dari perempuan yang bekerja informal mengambil bidang eceran rumah tangga dan pedagang bahan pangan.
50 51 52
Sakernas 2008 Lampiran III.3. Lampiran III.3.
71
Gambar 3.9
Tingkat penghasilan menurut jenis pekerja (Rp/jam)
Gambar 3.10 Status kesejahteraan pekerja informal menurut sektor 70%
5.000
60% 50%
4.000
40% 30%
3.000
20% 10% 2.000 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
0% Miskin
Formal
Non-tani informal
Hampir Miskin Non-tani informal
Sumber: Sakernas, berbagai tahun
Tidak Miskin
Pertanian informal Pertanian informal
Sumber: Sakernas, 2006
Terdapat kesenjangan penghasilan yang besar antara pekerja formal dan informal. Pada 2001, upah median pekerja formal 14 persen lebih tinggi daripada penghasilan per jam rata-rata untuk pekerja informal. Kesenjangan ini bertambah menjadi 33 persen pada 2003, namun mulai berkurang sedikit pada 2006 (Gambar 3.9). Kesenjangan ini semakin besar bagi pekerja informal di sektor pertanian dan tinggal di area pedesaan. Mereka tak hanya memperoleh penghasilan lebih kecil daripada pekerja informal di sektor nontani, tetapi juga cenderung lebih miskin (Gambar 3.10). Bahkan kenyataannya, setengah dari pekerja informal pedesaan berasal dari rumah tangga miskin atau hampir miskin, sementara pekerja informal perkotaan yang berasal dari rumah tangga serupa hanya 18 persen.
Mengapa orang bekerja di sektor informal? Terdapat empat kemungkinan yang menjadi alasan mengapa orang bekerja secara informal. Pekerja informal cenderung miskin, tanpa keahlian, dan terkonsentrasi pada pekerjaan pertanian di pedesaan. Tetapi, tidak begitu jelas apakah mereka memilih sendiri untuk bekerja informal ataukah mereka tersisih dari pasar tenaga kerja formal. Bagian ini berusaha mengungkap alasan mengapa pekerja tetap bertahan di sektor informal dan mengapa mereka berpindah dari dan ke pekerjaan formal dan informal. Meskipun motivasi dan pilihan orang berbeda-beda dan mungkin pula tumpang tindih, pekerja informal terbagi dalam empat kategori besar.
72
i)
Pekerja yang terjebak di sektor informal. Informalitas sering dipandang sebagai perangkap bagi mereka yang tidak dapat memperoleh pekerjaan formal dan terpaksa bekerja secara informal tanpa gaji teratur dan tunjangan. Pasar tenaga kerja tersegmentasi menjadi sektor informal yang ‘kurang menguntungkan’ dan sektor formal yang ‘lebih disukai’ karena pekerja memperoleh upah lebih tinggi dan tunjangan yang lebih baik. Meskipun ingin beralih ke sektor formal, para pekerja ini tidak sanggup keluar dari informalitas.
ii)
Pekerja yang lebih menyukai pekerjaan informal. Ketika dihadapkan pada sebuah kesempatan, para pekerja akan berhitung untung rugi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk beralih ke sektor formal. Keputusan akan diambil berdasarkan upah, tunjangan, jam kerja, lokasi, dan lingkungan kerja. Setelah mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya, sebagian orang lebih memilih pekerjaan sektor informal. Beberapa orang memperoleh penghasilan lebih besar di sektor informal, sementara yang lain bersedia melepaskan penghasilan lebih besar demi jam kerja lebih fleksibel yang dapat diperoleh melalui pekerjaan di sector informal.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
iii)
Pekerja yang menggunakan informalitas sebagai batu loncatan ke pekerjaan yang lebih baik. Pekerjaan di sector informal kemungkinan menjadi titik awal bagi mereka yang ingin meraih pekerjaan lebih baik. Kaum muda terutama memandang pekerjaan di sektor informal sebagai cara memperoleh pengalaman dan membangun jaringan yang akhirnya mengarah ke pekerjaan sektor formal. Pekerja yang memiliki pengalaman juga dapat menggunakan pekerjaan informal sebagai cara mengumpulkan aset supaya kelak dapat memulai usahanya sendiri. Beberapa pekerja informal yang lain terus bekerja demi memperoleh pekerjaan informal yang lebih baik.
iv)
Pekerja yang menghadapi guncangan dengan memanfaatkan sektor informal sebagai jaring pengaman. Pekerjaan informal sering dipakai sebagai mekanisme untuk menghadapi guncangan, seperti misalnya diberhentikan dari pekerjaan formal. Hal ini dapat terjadi dalam skala besar ketika terjadi guncangan makroekonomi atau resesi yang mengakibatkan perusahaan gulung tikar atau mengurangi jumlah karyawan demi mempertahankan kelangsungan usaha.
Apakah orang ingin bekerja di sektor informal? Pekerja informal menghadapi penalti upah lebih dari 30 persen bila dibandingkan dengan pekerja di sektor formal. Jika dua orang memiliki kualifikasi dan karakteristik serupa (tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, dan lokasi yang sama), dan hanya berbeda pada sektor pekerjaan mereka, orang yang bekerja di sektor formal akan memiliki penghasilan 31 persen lebih besar daripada orang yang bekerja informal.53 Upah yang lebih besar, dan juga jaminan pekerjaan yang lebih baik serta tunjangan sektor formal menyebabkan kebanyakan pekerja informal lebih menyukai pekerjaan sektor formal. Pekerja informal yang berhasil beralih ke sektor formal antara 2000 sampai 2007 memperoleh penghasilan 23,4 persen lebih besar daripada mereka yang tetap bekerja di sektor informal.54 Sektor informal lebih banyak menjadi perangkap bagi pekerja Indonesia. Pendekatan lain untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan membandingkan upah sesungguhnya pekerja informal dengan upah yang dapat mereka peroleh pada pekerjaan formal berdasarkan kualifikasi dan karakteristik mereka. Dengan asumsi bahwa preferensi pekerjaan didasarkan pada upah potensial, dapat diperkirakan berapa banyak pekerja yang lebih suka tetap di sektor informal dan berapa banyak yang lebih menginginkan pekerjaan formal. Pekerja dianggap terjebak dalam informalitas jika penghasilan aktual mereka lebih kecil daripada upah yang diperkirakan dapat mereka peroleh di sektor formal berdasarkan kualifikasi dan karakteristik mereka. Dengan definisi tersebut, saat ini 44,3 persen pekerja yang berada di sektor informal antara 2000 sampai 2007 dapat dikategorikan terjebak dan akan memperoleh penghasilan lebih banyak jika mereka mendapatkan pekerjaan formal (Table 3.3). Keadaan ini berbeda dengan pada 90-an ketika informalitas tidak menjadi perangkap dan kebanyakan pekerja informal bertahan di sektor informal karena mereka dapat memperoleh penghasilan lebih besar.
53
54
Lampiran III.4. Berdasarkan analisis regresi upah standar menggunakan data IFLS4 dan setelah dilakukan kontrol terhadap jenis kelamin, lokasi, usia, pendidikan, dan wilayah. Penalti upah bahkan lebih besar lagi bagi pekerja informal yang berpendidikan minimal sekolah menengah; mereka memperoleh penghasilan 62 persen lebih kecil daripada pekerja dengan karakteristik identik di sektor formal. Marcouiller, Ruiz de Castilla, dan Woodruff (1995), mendapati bahwa premium untuk sektor formal besarnya sekitar 30% di El Salvador dan 20% di Peru. Perlu dicatat bahwa para penulis menggunakan metode yang sedikit berbeda, yaitu dekomposisi Oaxaca (Oaxaca decomposition), dan definisi informalitas yang dipakai juga kemungkinan berbeda dengan di Indonesia. Namun demikian, angka yang diperoleh dapat memberikan perbandingan kasar mengenai premium upah yang terkait dengan sektor formal.
73
Tabel 3.3 Kategori pekerja formal dan informal55 1993-2000
2000-2007
Awalnya Informal Tetap Informal Beralih ke Formal
Terjebak
30,5%
44,3%
Hasil yang diharapkan
41,4%
30,1%
Batu loncatan
13,0%
15,8%
Tidak beruntung
15,2%
9,8%
100,0%
100,0%
Tidak optimal
28,2%
15,7%
Hasil yang diharapkan
44,6%
49,1%
Batu loncatan
14,1%
13,7%
Total Awalnya Formal Tetap Formal Beralih ke Informal
Jaring pengaman Total
13,1%
21,5%
100,0%
100,0%
Sumber: IFLS 1993, IFLS 2000, IFLS 2007.
Pekerja informal tidak hanya berupah lebih kecil, tetapi juga hanya sedikit mendapatkan asuransi, uang pensiun, dan pelatihan. Sekitar seperlima dari pekerja formal mempunyai akses terhadap asuransi kesehatan atau jiwa.56 Tetapi, hanya 2,3 persen dari pekerja informal yang mempunyai asuransi sendiri atau memiliki akses terhadap asuransi kesehatan atau jiwa melalui anggota keluarganya. Begitu pula dalam hal tunjangan pensiun karena 8 persen dari pekerja formal memiliki tunjangan semacam itu, namun hanya 2,5 persen dari pekerja informal yang memilikinya. Selain itu, kurang dari 3 persen pekerja informal pernah menerima pelatihan formal, sedangkan angka ini mencapai 10 persen untuk pekerja formal. Kurangnya akses terhadap pelatihan formal kemungkinan menjadi penghambat lain bagi pekerja informal untuk memasuki pasar tenaga kerja formal. Pekerja informal di sektor pertanian cenderung mengalami kondisi yang paling buruk (Gambar 3.11).
55
56
74
Kategori pekerja formal dan informal yang digunakan dalam ringkasan ini adalah: a) Pekerja yang terjebak adalah mereka yang tetap menjalani pekerjaan informal, namun berdasarkan kualifikasi dan karakteristik mereka, penghasilan mereka akan lebih besar jika bekerja di sektor formal; b) Hasil yang diharapkan merujuk pada pekerja di sektor formal atau informal yang memperoleh penghasilan terbanyak sesuai harapan mereka; c) Pekerja yang menggunakan batu loncatan telah beralih dari pekerjaan berupah rendah di satu sektor ke pekerjaan dengan upah lebih tinggi di sektor lain; d) Tidak beruntung adalah pekerja sektor informal yang berhasil mendapatkan pekerjaan formal namun akan memperoleh penghasilan lebih besar kalau saja mereka tetap berada di sektor informal; e) Terakhir, pekerja sektor formal yang beralih ke pekerjaan informal sebagai jaring pengaman dan mengalami penurunan upah sebagai akibatnya. Angkanya berbeda dengan Tabel 4 karena sampel orangorang yang beralih di Tabel 6 dipilah-pilah menjadi mereka yang awalnya berada di sektor formal dan sektor informal. Pegawai negeri tercakup dalam ASKES yang diberikan pemerintah, sedangkan sebagian karyawan swasta tercakup dalam Jamsostek atau asuransi swasta lain yang diberikan oleh perusahaan, sebagian lagi mempunyai akses terhadap asuransi kesehatan swasta karena inisiatif mereka sendiri atau anggota keluarganya.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Gambar 3.11 Akses terhadap asuransi dan pensiun 30%
20%
10%
0% Punya asuransi Forma
Non-tani informal
Punya pensiun Pertanian informal
Sumber: Sakernas, 2008
Kotak 3.2
Pekerja informal mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk merasa puas dengan pekerjaannya daripada pekerja formal. Kemungkinan pekerja informal untuk merasa tidak puas dengan pekerjaannya 3,3 persen lebih besar daripada pekerja formal.57 Ketidakpuasan mereka tampaknya dipicu oleh upah lebih rendah yang mereka peroleh; begitu kami melakukan kontrol terhadap upah, tidak tampak lagi adanya perbedaan antara pekerja formal dan informal dalam memandang pekerjaannya. Jika dikombinasikan dengan perbandingan upah yang telah dilakukan sebelumnya, keadaan ini mengisyaratkan bahwa mayoritas pekerja sektor informal lebih menyukai pekerjaan di sektor formal.
Terjebak dalam Informalitas
Kebanyakan pekerja informal memperoleh penghasilan lebih kecil dan mendapatkan tunjangan lebih sedikit daripada jika mereka bekerja di sektor formal. Sejumlah pekerja, seperti Dasuki, merasa terjebak dalam pekerjaan informal. Mereka lebih menginginkan pekerjaan formal, tetapi kesulitan mendapatkannya di tengah kerasnya persaingan pasar tenaga kerja dengan pekerja yang lebih ahli dan peluang yang semakin sedikit. Dasuki awalnya datang ke Jakarta tahun 1992 dengan ijazah SMA dan diploma ilmu komputer. Ia memperoleh pekerjaan pertamanya sebagai pengajar komputer di sebuah SMP dan kemudian bekerja sebagai operator mesin di pabrik. “Dulu, cari kerja itu jauh lebih gampang. Cuma lulus SD saja bisa dapat kerja di pabrik.” Dasuki kehilangan pekerjaannya. Kini ia dan istrinya, Della, berjualan gado-gado dan nasi uduk di warungnya di Jakarta. Keuntungan bersih bulanan mereka sekitar Rp 800.000, hanya cukup untuk membayar kebutuhan dasar mereka. “Sekarang makin banyak orang berijazah SMA, padahal pekerjaan makin sedikit,” kata Dasuki. “Umur saya sudah 33 tahun, terlalu tua untuk kerja di pabrik. Nggak ada yang mau terima, kecuali kalau saya punya keahlian khusus. Sekarang ini kalau sampai di-PHK, susah dapat pekerjaan baru.” Sumber: Mercy Corps. 2008
Pekerja lepas mengalami ketidakpuasan terbesar dari antara semua pekerja informal. Meskipun pekerja lepas memperoleh penghasilan 42 persen lebih tinggi daripada pekerja pertanian yang memiliki usaha sendiri dan hampir sama besar dengan pekerja non-tani yang memiliki usaha sendiri, para pekerja lepas ini tidak puas dengan keadaan mereka (Gambar 3.12). Hal ini kemungkinan karena buruh lepas mempunyai ciri-ciri jaminan kerja yang rendah, hanya memperoleh sedikit atau malah tidak mendapat tunjangan, serta status sosial yang rendah. Meski pekerja lepas memperoleh bayaran tinggi jika dihitung per jam, penghasilan mereka dapat berfluktuasi sangat besar sepanjang tahun, kondisi yang menggerus keuntungan upah tinggi tersebut. Jika punya kesempatan, kebanyakan pekerja lepas lebih suka beralih ke posisi formal atau pekerjaan informal yang lebih baik.
57
Untuk menganalisis tingkat kepuasan kerja, kami menggunakan multinomial logit terhadap kepuasan individual dengan data IFLS 2007 dan kontrol terhadap jenis kelamin, lokasi, usia, pendidikan, wilayah, dan beberapa informasi terkait dengan pekerjaan sebelumnya.
75
Namun demikian, tidak semua pekerja informal merasa terjebak; pekerja pertanian yang memiliki usaha sendiri 35 mempunyai kepuasan kerja yang serupa 30 dengan pekerja formal. Jika dibandingkan 25 dengan pekerja formal, pekerja informal yang 20 memiliki usaha sendiri di luar pertanian dan 15 pekerja lepas menghadapi penalti upah 10 masing-masing sebesar 28 persen dan 25 5 persen. Penalti ini bahkan lebih tinggi lagi 0 untuk pekerja informal yang memiliki usaha Tani Non-tani Tani Non-tani Pekerja sendiri di bidang pertanian, yaitu 57 persen. Semua Semua keluarga pekerja pekerja Usaha sendiri Pekerja lepas tak Walaupun demikian, ketika ditanya, pekerja formal informal dibayar pertanian yang memiliki usaha sendiri mempunyai kepuasan kerja yang sama seperti Sumber: IFLS2007 dengan pekerja formal.58 Semua pekerja informal yang lain memiliki kepuasan kerja lebih rendah daripada pekerja formal, bahkan jika tingkat penghasilan yang dilaporkan dipertahankan konstan. Gambar 3.12 Tingkat ketidakpuasan yang dilaporkan sendiri menurut jenis pekerja (persen)
Beberapa faktor dapat menjelaskan mengapa pekerja pertanian yang memiliki usaha sendiri puas dengan pekerjaannya. Mengapa petani, tak seperti pekerja informal yang lain, merasa puas dengan pekerjaan mereka meskipun penghasilannya lebih kecil daripada yang dapat mereka peroleh di pekerjaan formal? Kebanyakan petani dilahirkan di tengah masyarakat pertanian dan tumbuh besar di lingkungan pertanian, sebuah tren yang cenderung konstan dari generasi ke generasi. Mereka mewarisi keahlian bertani yang lebih cocok untuk pekerjaan tani daripada pekerjaan di sektor lain. Mereka mungkin juga memperoleh penghasilan lebih besar daripada yang mereka perkirakan atau laporkan, atau mereka sangat menghargai manfaat non-upah seperti jam kerja yang fleksibel atau mempertahankan jaringan sosial dengan tinggal di tengah masyarakat asal mereka. Terakhir, petani mungkin hanya memiliki informasi terbatas mengenai pasar tenaga kerja di bidang lain dan merasa puas dengan satu-satunya penghidupan yang mereka pahami. Beberapa kelompok pekerja berpeluang lebih besar untuk memperoleh upah lebih tinggi di sektor informal daripada di sektor formal. Termasuk dalam Laki-laki Perempuan kelompok ini adalah pekerja berusia Jam kerja median 48 45 separuh baya antara 35-64 tahun. Pekerja Formal yang lebih tua mungkin telah Setengah pengangguran 0,82% 0,79% mengumpulkan modal dan jaringan untuk Jam kerja median 41 30 Informal memulai usaha informal dan mereka Setengah pengangguran 2,26% 0,76% kemungkinan akan lebih sejahtera dengan Sumber: Sakernas, 2007 memiliki usahanya sendiri. Kelompok lain termasuk pekerja bergelar pendidikan tinggi yang mampu memperoleh gaji lebih besar daripada mereka yang berpendidikan lebih rendah, yang secara positif mengambil pilihan untuk bekerja di sektor informal. Selain itu, ada pula para pekerja sektor konstruksi, perdagangan, dan transportasi, serta pekerja lepas non-tani. Tabel 3.4
58
76
Jam kerja dan tingkat setengah pengangguran menurut gender dan sektor pekerjaan
Berdasarkan hasil multinomial logit terhadap kepuasan individual menggunakan data IFLS 2007 seperti di atas.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Kotak 3.3
Memilih Informalitas
Tidak semua pekerja berusaha mendapatkan pekerjaan sektor formal. Sebagian memilih pekerjaan informal yang menawarkan gaji lebih baik daripada yang dapat mereka peroleh di sektor formal. Pekerja yang lain lagi, seperti halnya Eni, tertarik karena manfaat non-upah seperti jam kerja yang lebih pendek atau lebih fleksibel. Eni menjajakan jamu kepada para pekerja di sekitar galangan kapal dan dermaga di Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Jika sedang mujur, ia mampu menjual 50-100 bungkus jamu dan 20-30 butir telur dengan penghasilan Rp 200.000300.000 untuk pekerjaan selama empat jam. Dalam sebulan, ia mampu memperoleh penghasilan sampai Rp 2,2 juta. Sebelumnya, ia bekerja di pabrik pengolahan ikan sebagai operator mesin. “Penghasilannya lumayan juga,” kata Eni. “Tak beda jauh dengan penghasilan dari berjualan jamu, tapi saya harus kerja dari pagi sampai malam.” Eni memilih pekerjaan ini karena lebih fleksibel dan ia tidak sendiri. “Hampir semua penjual jamu sudah punya anak,” kata Eni. “Nyaris semuanya ganti kerja berjualan jamu setelah menikah supaya punya lebih banyak waktu untuk keluarga. Banyak juga yang tadinya punya pekerjaan bagus di kantor. Saya kenal beberapa penjual jamu yang sudah sarjana dan pernah kerja di perusahaan besar di kota. Perempuan berjualan jamu supaya lebih fleksibel mengurus suami dan anak, bukan karena tidak mampu melakukan yang lain.” Sumber: Mercy Corps. 2008
Perempuan mungkin lebih menyukai pekerjaan informal karena menawarkan fleksibilitas. Lakilaki yang bekerja secara informal mempunyai kemungkinan 5 persen lebih besar untuk merasa tidak puas dibandingkan dengan laki-laki yang menjadi pekerja formal. Hal ini berbeda dengan perempuan yang lebih betah di sektor informal; tingkat ketidakpuasan mereka hanya 1 persen lebih tinggi daripada rekannya yang bekerja di sektor formal. Hal ini mungkin karena perempuan lebih menyukai jam kerja fleksibel pekerjaan informal yang memungkinkan mereka untuk bekerja sambil tetap merawat anak-anak dan orang tua yang lanjut usia. Selain itu, perempuan mungkin memiliki harapan yang lebih rendah, baik pada pekerjaan sektor formal maupun informal. Perempuan yang bekerja formal memiliki jam kerja per minggu yang sama banyaknya dengan laki-laki, sedangkan perempuan yang bekerja di sektor informal memiliki jam kerja 20 persen lebih sedikit. Mereka pun lebih mungkin merasa puas bekerja dengan jam kerja lebih singkat. Perempuan di sektor formal mempunyai kemungkinan tiga kali lebih kecil daripada laki-laki untuk mencari pekerjaan baru atau bersedia menerima pekerjaan baru (Tabel 3.4).59 Tabel 3.5
Tingkat peralihan ke pekerjaan formal tahunan, 2000-2007 Usaha sendiri di pertanian
Usaha sendiri non-tani
Pekerja keluarga tak dibayar
Total
1,4
3,8
1,9
Perkotaan
2,6
4,3
3,3
Pedesaan
1,3
3,2
1,4
Laki-laki
1,6
4,5
3,4
Perempuan
1,0
3,1
1,3
Muda
0,0
7,9
3,4
Dewasa
1,5
3,7
1,7
Sumber: IFLS 4 [2007]
59
Apakah informalitas merupakan batu loncatan atau perangkap? Beberapa pekerjaan di sektor informal berfungsi sebagai batu loncatan menuju pekerjaan formal bagi mereka yang ingin meningkatkan penghasilan. Petani yang memiliki usaha sendiri dan pekerja keluarga yang tidak dibayar kemungkinan besar akan tetap bekerja informal. Di sisi lain, pekerja yang memiliki usaha sendiri di sektor nontani mempunyai kemungkinan dua kali
Setengah pengangguran didefinisikan sebagai mereka yang bekerja selama 35 jam atau kurang per minggu, dan sedang mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan baru.
77
lebih besar untuk beralih ke sektor formal (Tabel 3.5). Pekerja berusia muda memanfaatkan jalan ini untuk meraih pekerjaan yang lebih baik: mereka mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar untuk pindah dari usaha sendiri non-tani ke pekerjaan formal bila dibandingkan dengan pekerja dewasa yang lebih tua. Mereka umumnya keluar dari informalitas demi memperoleh upah yang lebih besar. Saat ditanya mengapa mereka beralih ke pekerjaan formal, banyak pekerja menjawab bahwa motivasi mereka adalah karena alasan keluarga dan bisnis yang gagal. Namun, yang menjadi alasan utama tampaknya adalah urusan keuangan. Jika dibandingkan dengan pekerja informal yang bertahan dalam informalitas, mereka yang beralih ke sektor formal antara 2000 sampai 2007 menerima kenaikan upah cukup besar sampai sekitar 24 persen, tanpa memandang alasan melakukan peralihan dan setelah dilakukan kontrol terhadap karakteristik pekerja. Kotak 3.4
Menapaki Jenjang Informal
Pekerjaan informal terkadang memberi peluang bagi pekerja untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mereka menggunakan pekerjaan informal untuk memperoleh pengalaman dan mengumpulkan modal agar mereka kelak dapat memperoleh pekerjaan yang lebih menghasilkan. Beberapa di antara mereka, seperti Heri Sianto, menggunakan pekerjaannya sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan informal yang lebih baik. Jika berhasil, ia mungkin dapat memasuki sektor formal di kemudian hari dengan berekspansi dan mempekerjakan karyawan. Heri Sianto dulunya berjualan tahu dan susu kedelai di pasar, kemudian bekerja di Bakmie Raos, perusahaan waralaba yang menjual bakmi dengan gerobak dorong di seluruh Indonesia. “Kalau kita bekerja dengan sistem komisi, semua kebutuhan kita disediakan perusahaan. Mereka memasang harga satu mangkuk mie Rp 6.000 dan komisi yang kita dapat Rp 1.500 per mangkuk.” Ia mampu menjual sekitar 50 mangkuk mie dalam sehari dan mempunyai penghasilan Rp 1,65 juta per bulan. “Saya salah satu penjual yang paling sukses,” kata Heri. “Saya baru saja mengambil kemitraan (skema waralaba selain komisi). Kita harus membeli sendiri semuanya: bahan mentah, BBM, gerobaknya, pokoknya semua. Kita bisa dapat lebih banyak uang dari kemitraan, tapi risikonya juga lebih besar.” Heri kini mampu memperoleh penghasilan sampai Rp 2,75 juta per bulan. “Sejak mulai menjual Bakmie Raos, saya pindah dari rumah orang tua supaya bisa lebih dekat tempat kerja. Sekarang saya punya uang untuk mencari tempat tinggal yang lebih besar. Saya akan tetap berjualan Bakmie Raos sampai menemukan peluang usaha yang lebih baik.” Sumber: Mercy Corps. 2008
Meskipun ada iming-iming jaminan penghasilan, setiap tahunnya hanya ada kurang dari 3 persen pekerja informal yang beralih ke sektor formal. Antara 1993 dan 2000, hanya ada 2,6 persen pekerja informal yang beralih ke sektor formal setiap tahun. Angka tersebut menurun menjadi 2,2 persen per tahun pada periode 2000-07 (Tabel 3.6). Pertumbuhan sektor formal yang lambat telah membatasi ketersediaan pekerjaan. Pendatang baru di pasar tenaga kerja cenderung berpendidikan lebih tinggi dan lebih banyak tinggal di perkotaan. Pekerja informal yang berusia muda, tinggal di perkotaan, dan berjenis kelamin laki-laki adalah golongan yang paling berhasil dalam memasuki pasar tenaga kerja formal. Yang lebih umum terjadi adalah pekerja formal yang beralih ke pekerjaan informal. Dari 2000 sampai 2007, rata-rata 4,4 persen pekerja formal beralih ke pekerjaan informal setiap tahun, lebih tinggi daripada tingkat peralihan pada 1993-2000. Pekerja formal di area pedesaan yang berpendidikan lebih rendah mempunyai kemungkinan lebih besar untuk beralih ke sektor informal daripada mereka yang tinggal di perkotaan dan berpendidikan lebih tinggi. Perempuan memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk bekerja di sektor informal, sedangkan laki-laki memiliki peluang sedikit lebih besar untuk beralih dari pekerjaan formal ke informal. Beralih ke pekerjaan formal tidak selalu merupakan pilihan yang tepat. Antara 2000 dan 2007, hanya 15,8 persen dari pekerja informal yang berhasil memperoleh upah lebih tinggi dengan beralih ke pekerjaan formal, sedikit lebih baik daripada periode sebelumnya (Tabel 3.3). Namun, 10 persen pekerja informal lain yang beralih ke pekerjaan formal mendapati bahwa pekerjaan lama mereka ternyata lebih baik (dikategorikan sebagai pekerja “tidak beruntung”). Peralihan yang paling umum terjadi adalah pekerja formal yang memasuki sektor informal dan mengalami penurunan penghasilan, sebuah tren yang terus berkembang dan kini mencakup lebih dari seperlima dari semua pekerja formal pada 2000-07.
78
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Tabel 3.6
Mobilitas dari sektor informal ke formal 1993-2000
2000-2007
>7 tahun
per tahun
>7 tahun
per tahun
Total
19,8
2,6
16,4
2,2
Perkotaan
29,3
3,7
26,3
3,4
Pedesaan
17,8
2,4
12,3
1,7
Laki-laki
20,0
2,6
19,0
2,5
Perempuan
13,8
1,9
13,5
1,8
Muda
23,3
3,0
24,8
3,2
Dewasa
16,7
2,2
16,1
2,2
Sumber: IFLS1, IFLS 3 & IFLS 4
Apakah informalitas merupakan jaring pengaman bagi pekerja formal? Sementara banyak orang kehilangan pekerjaannya selama krisis, banyak pekerja formal yang mampu bertahan dari guncangan dengan beralih ke pekerjaan informal. Lebih dari 3 di antara 10 pekerja lakilaki berganti sektor antara tahun 1997 dan 1998, sedangkan hampir 4 di antara 10 pekerja perempuan juga berganti sektor. Kebanyakan pekerja ini diserap oleh sektor pertanian. Bagi laki-laki, terjadi peningkatan pekerjaan usaha sendiri dan, dalam jumlah yang lebih kecil, pekerjaan di pertanian milik keluarga. Baik di area perkotaan maupun pedesaan, terjadi kenaikan besar dalam pangsa tenaga kerja perempuan yang memasuki angkatan kerja sebagai pekerja tak dibayar dalam usaha dan pertanian milik keluarga (3,8 persen), atau sebagai wiraswasta (3,9 persen). Keikutsertaan perempuan miskin dalam angkatan kerja melonjak dari 52 menjadi 59 persen antara tahun 1997 dan 1999. Para perempuan ini berperan penting dalam menambah penghasilan keluarga supaya tidak tergerus lebih jauh oleh penurunan penghasilan rumah tangga. Gambar 3.13 Status saat ini bagi pekerja formal yang telah diberhentikan
Tidak bekerja
20.6% Pertanian informal
Formal
8.2% Non-tani informal
19.6%
51.5%
Kebanyakan karyawan yang beralih dari sektor formal menggunakan informalitas sebagai jaring pengaman setelah kehilangan pekerjaannya. Antara 2000 dan 2007, pekerja beralih ke pekerjaan informal karena berbagai alasan. Sebagian berdalih karena alasan keluarga (14 persen), yang lain karena mencari upah lebih tinggi (14 persen), sedangkan sebagian lagi menginginkan lingkungan kerja yang lebih baik (4 persen). Tetapi, 43 persen dari antara karyawan yang beralih dari pekerjaan formal ke informal dalam periode tersebut kehilangan pekerjaan sektor formalnya tidak secara sukarela.
Informalitas hanya menawarkan jaminan parsial bagi pekerja yang meninggalkan pekerjaan formal. Antara 2000 dan 2007, bila dibandingkan dengan pekerja formal yang masih tetap di sektor formal, mereka yang beralih ke sektor informal menghadapi penurunan upah 32 persen, setelah dilakukan kontrol terhadap karakteristik pekerja. Dua puluh delapan persen dari antara pekerja formal yang diberhentikan memilih untuk mengambil pekerjaan informal (Gambar 3.12). Dengan mengambil Sumber: IFLS 4
79
jalan ini, mereka menghadapi penurunan upah 20 persen. Namun demikian, sebagian besar pekerja sektor formal yang diberhentikan cenderung mencari pekerjaan formal pula sebagai pengganti. Kenyataannya, kebanyakan berhasil memperoleh pekerjaan dengan penghasilan lebih besar, rata-rata 11 persen lebih besar daripada pekerjaan formal yang lama.
III. Kesimpulan Dengan angkatan kerja yang tersegmentasi seperti di Indonesia, pembuat kebijakan harus berfokus untuk mempercepat penciptaan pekerjaan yang ‘lebih baik’ sambil tetap melindungi pekerja yang rentan. Tanpa adanya peningkatan kesempatan di sektor formal dan non-tani yang lebih disukai, mayoritas pekerja Indonesia akan tetap menjadi pekerja informal. Karena pekerja informal cenderung lebih miskin, pertumbuhan lapangan kerja formal yang stagnan juga akan memperlambat laju pengurangan kemiskinan di Indonesia. Sebab itu, tantangan yang dihadapi pemerintah baru adalah untuk mengidentifikasi dan mendukung kebijakan yang memperluas kesempatan kerja di sektor formal, sambil memperbaiki cakupan kebijakan bagi pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak. Memperluas manfaat perlindungan sosial dapat mengurangi kerentanan yang dikaitkan dengan informalitas. Karena tunjangan seperti perawatan kesehatan dan pensiun sering kali disediakan melalui pemberi kerja, para pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak umumnya tidak tercakup. Indonesia telah mengambil langkah awal untuk memperluas cakupan medis dengan meluncurkan Askes (Asuransi Kesehatan) yang nantinya akan diperluas lagi. Di sisi lain, skema pensiun, hanya mencakup karyawan sektor formal dan pegawai negeri. Meskipun Undang-Undang No. 40/2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional telah menjabarkan aspirasi nasional untuk memberikan cakupan jaminan sosial yang universal, belum ada rencana yang jelas mengenai cara membangun sistem nasional yang selaras dan dapat dijalankan. Banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan untuk mengembangkan program asuransi sosial generasi kedua yang dapat dipertanggungjawabkan secara fiskal. Pembuat kebijakan pertama-tama harus mengkaji implikasi dari cakupan yang lebih luas dan menjelaskan reformasi kelembagaan yang diperlukan demi memberikan program asuransi sosial. Reformasi tersebut harus dilakukan secara bertahap guna memastikan bahwa sistem asuransi sosial yang diperluas merupakan sistem yang jelas, dapat dijalankan, dan terjangkau. Tantangan utama yang dihadapi pemerintah adalah mengidentifikasi dan mendukung kebijakan yang akan memberikan kesempatan lebih banyak bagi pekerja untuk mendapatkan pekerjaan yang “lebih baik”. Ekspansi sektor formal akan memberikan lebih banyak peluang bagi pekerja untuk beralih ke pekerjaan yang menawarkan jaminan penghasilan lebih tinggi dan cakupan tunjangan yang lebih baik. Namun, masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk mencari cara meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan menghubungkan pekerja dengan calon pemberi kerja yang menawarkan pekerjaan. Bidang yang perlu menjadi fokus termasuk: Memahami cara memperbaiki akses terhadap kredit bagi pengusaha mikro dan usaha kecil menengah (UKM), serta mengurangi hambatan birokrasi bagi kelompok tersebut demi merangsang penciptaan pekerjaan. Memperbaiki aliran informasi sehingga pekerja informal dapat mencari pekerjaan yang lebih baik, dan mendalami strategi untuk menghubungkan pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak dengan calon pemberi kerja. Mengidentifikasi layanan pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian pekerja informal dan pekerja tanpa kontrak supaya mereka dapat lebih memenuhi syarat untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus.
80
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Pada saat yang sama, reformasi kebijakan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Di tengah perdebatan saat ini mengenai reformasi ketenagakerjaan, berbagai serikat pekerja berfokus pada perbaikan kesejahteraan pekerja melalui penegakan peraturan mempekerjakan dan memberhentikan karyawan. Diperkuatnya penegakan aturan tersebut akan memberikan jaminan penghasilan yang lebih baik bagi pekerja dengan kontrak permanen atau sementara, yang memang lebih berpeluang memperoleh tunjangan seperti uang pesangon dan pensiun. Tetapi, pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak akan lebih memperoleh manfaat dari kebijakan yang mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor formal dan non-tani. Sebagai contoh, pemberi kerja kemungkinan akan dapat mempekerjakan lebih banyak pekerja kontrak permanen jika reformasi ketenagakerjaan memangkas biaya untuk mempekerjakan atau memberhentikan karyawan. Pembuat kebijakan harus menyeimbangkan antara kepentingan kalangan kecil dan kepentingan sebagian besar pekerja yang tidak mampu bersuara banyak untuk mempengaruhi kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan. Bab berikutnya akan memberikan rekomendasi lebih lanjut mengenai bagaimana kebijakan, lembaga, dan program ketenagakerjaan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan dapat menyiapkan pekerja yang tertinggal dengan lebih baik agar berhasil di pasar tenaga kerja.
81
Bab 4
Peraturan Perekrutan & Pemberhentian Menyeimbangkan Penciptaan Lapangan Kerja dan Perlindungan Karyawan
Bab 4 Ringkasan & Rekomendasi Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003) telah menjadikan peraturan ketenagakerjaan Indonesia sangat kaku dan merupakan salah satu peraturan yang paling ketat di kawasan Asia Timur. Undang-undang tersebut menaikkan nilai pesangon bagi pekerja dengan masa kerja tiga tahun atau lebih dan ditambah dengan pembayaran sebesar 15 persen sebagai kompensasi. Dengan kenaikan ini, uang pesangon diperkirakan setara dengan “pajak perekrutan” (hiring tax) senilai kira-kira sepertiga dari upah tahunan pekerja. Biaya pemberhentian pekerja di Indonesia lebih tinggi dari semua Negara sekawasan. . Meskipun kebanyakan perekonomian di kawasan Asia membatasi penggunaan kontrak dengan jangka waktu tertentu (Fixed-Term Contracts – FTC) hanya bagi kegiatan tertentu dan menentukan baik lamanya kontrak maupun persyaratan untuk perpanjangan kontrak, Indonesia termasuk kelompok negara yang mengatur kontrak jangka waktu tetap dengan lebih ketat. Upaya untuk mereformasi peraturan perekrutan dan pemberhentian terus mengalami kebuntuan sehingga menghambat kemampuan Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja di sektor formal. Perdebatan seputar reformasi undang-undang ketenagakerjaan sangat sengit dan terfokus pada peraturan perekrutan dan pemberhentian yang kontroversial. Demi meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, pemerintah telah berupaya mereformasi peraturan tersebut pada tahun 2006 dan 2007, namun keduanya gagal. Kebuntuan ini menghambat kemampuan Indonesia untuk mempercepat laju penciptaan pekerjaan yang ‘baik’. Hal ini selanjutnya menghambat pencapaian target nasional pengurangan kemiskinan karena terbatasnya peluang bagi kaum miskin untuk memperoleh penghasilan yang dapat membantu mereka keluar dari kemiskinan. Kebuntuan saat ini menjebak para pekerja dan pemberi kerja dalam keadaan “sama-sama rugi” yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan tidak memberi perlindungan yang cukup bagi karyawan. Tingginya tingkat pesangon yang diwajibkan secara hukum di Indonesia telah menghalangi investasi asing dan mengurangi minat para pengusaha untuk menciptakan usaha baru. Aturan yang rumit mengenai perhitungan pesangon dan sistem “pasca-bayar” saat ini menimbulkan masalah tambahan karena menyulitkan perusahaan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja. Tingkat pesangon yang tinggi tidak hanya merugikan pemberi kerja, tetapi juga karyawan. Peraturan tersebut tidak efektif dalam melindungi karyawan yang diberhentikan dan menghadapi pengangguran. Diantara semua karyawan yang diberhentikan dalam dua tahun terakhir dan memenuhi syarat untuk menerima pesangon, hanya 34 persen yang menerima uang pesangon. Diantara karyawan yang menerima uang pesangon, 78,4 persen menerima pesangon lebih kecil daripada nilai yang menjadi hak mereka secara hukum. Ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut justru paling banyak dialami oleh pekerja yang paling membutuhkan perlindungan penghasilan: perempuan, staf sementara, dan karyawan berupah rendah. Rekomendasi Berupaya mencari pemecahan “sama-sama untung” dengan menegosiasikan kesepakatan besar – menurunkan tingkat pesangon dan, sebagai gantinya, memperkenalkan tunjangan pengangguran. Pertama-tama, penyederhanaan kerumitan hukum dalam peraturan pesangon saat ini dan penurunan nilai pesangon akan menyetarakan Indonesia dengan standar kawasan. Hal ini akan meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja dan daya saing global. Pada saat bersamaan, memperkenalkan sistem tunjangan pengangguran dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi karyawan yang diberhentikan. Dengan menggunakan pendekatan kontribusi bulanan akan mempermudah perusahaan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja dan memisahkan pembayaran tunjangan dari keputusan pemberi kerja dalam menerima dan memberhentikan pekerja. Hal ini juga akan meningkatkan kepatuhan pemberi kerja sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap Pengadilan Hubungan Industrial yang menghadapi kasus pemberhentian kerja yang kian menumpuk. Proses reformasi dapat dimulai dengan melakukan analisis yang diperlukan guna mengidentifikasi opsi apa yang paling cocok bagi Indonesia. Studi simulasi diperlukan untuk mengkaji dampak yang diperkirakan akan terjadi akibat sistem alternatif dan implikasi serta kebutuhan kelembagaan yang terkait dengan masingmasing opsi reformasi. Berdasarkan model yang paling cocok, diperlukan peta langkah reformasi sebagai dasar bagi sistem di masa depan yang selayaknya dikaitkan dengan masa depan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diwajibkan oleh Undang-Undang No. 40/2004.
84
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4 Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
I.
Pendahuluan
Hukum tentang perekrutan dan pemberhentian pekerja di Indonesia telah diperketat tahun 2003 dengan disahkannya Undang-Undang 140 Ketenagakerjaan (No. 13/2003). Undangundang tersebut menjadi inti dari Indeks Kesulitan Memberhentikan 120 Perundangan Perlindungan Pekerja (Employee Indeks Kesulitan Mempekerjakan Protection Legislation - EPL /) di Indonesia yang 100 mengatur praktik perekrutan dan 80 pemberhentian karyawan, serta penetapan upah minimum. Selain itu, undang-undang 60 tersebut juga mencakup serangkaian persoalan ketenagakerjaan lainnya termasuk 40 peluang yang sama (equal opportunity), pelatihan, perencanaan dan penempatan 20 tenaga kerja, pedoman dasar bagi perjanjian 0 kerja bersama, tenaga kerja anak, dan kondisi Cina Indonesia Malaysia Filipina Thailand Vietnam kerja.60 Melalui undang-undang ini, para wakil 61 rakyat bermaksud meningkatkan Sumber: World Bank. 2009a. Doing Business. perlindungan karyawan dengan memperbesar pesangon bagi karyawan yang diberhentikan dan memperketat penggunaan kontrak dengan jangka waktu tertentu ( FTC) oleh pemberi kerja. 61 Gambar 4.1
Indeks kesulitan mempekerjakan dan memberhentikan karyawan, perbandingan berbagai negara
Peraturan perekrutan dan pemberhentian di Indonesia adalah salah satu yang paling kaku di antara Asia Timur dan di dunia. Dalam sebuah survei yang membandingkan kekakuan peraturan ketenagakerjaan di berbagai negara, Indonesia menempati urutan ke-157 dari 181 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara tetangga yang menjadi pesaing di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menempati urutan ke23 dari 24 negara.62 Tidak ada negara sekawasan yang memiliki biaya pemberhentian karyawannya setinggi Indonesia (Gambar 4.1). Nilai pesangon di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan (Gambar 4.2), sedangkan peraturan penggunaan kontrak sementara juga merupakan salah satu yang paling ketat. Karena berbagai alasan tersebut, survei iklim investasi mengidentifikasi kekakuan peraturan ketenagakerjaan sebagai salah satu penghambat terbesar untuk meningkatkan investasi di Indonesia.63 Upaya mereformasi peraturan perekrutan dan pemberhentian terus mengalami kebuntuan sehingga menghambat kemampuan Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja di sektor formal. Perdebatan seputar reformasi undang-undang ketenagakerjaan sangat sengit dan terutama difokuskan
60
61
62 63
Undang-undang tersebut berisi 18 bab, 193 pasal, dan sekitar 500 ketentuan. Selain itu, berbagai petunjuk pelaksanaan (juklak) telah diterbitkan sejak disahkannya undang-undang tersebut pada tahun 2003. Undang-undang ini, bersamaan dengan empat undang-undang lainnya yang juga terkait dengan ketenagakerjaan, mengatur pasar tenaga kerja di Indonesia: Undang-Undang Serikat Pekerja (No. 21/2000), Undang-Undang Mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (No. 2/2004), UndangUndang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (No. 39/2004), dan Undang-Undang Jaminan Sosial (No. 40/2004). Indeks kekakuan ketenagakerjaan adalah rata-rata dari 3 sub-indeks: indeks kesulitan mempekerjakan, indeks kekakuan jam kerja, dan indeks kesulitan memberhentikan. Nilai semua sub-indeks berkisar dari 0 sampai 100, nilai yang semakin tinggi menunjukkan peraturan yang semakin kaku. LIhat www.doingbusiness.org untuk perincian lebih lanjut. Doing Business, 2009a. Laporan yang dikompilasi oleh Bank Dunia ini didasarkan pada temuan survei yang mengukur secara kuantitatif berbagai peraturan mempekerjakan pekerja di 181 ekonomi. Survei investasi termasuk “Investment Climate Survey” (Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia, 2005) dan berbagai survei yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Survei oleh LPEM terdiri atas tiga babak survei antara tahun 2005 sampai 2007 yang merupakan proyek pemantauan iklim investasi. Hasil survei memperlihatkan bahwa persentase perusahaan yang melaporkan turunnya daya saing akibat peraturan ketenagakerjaan telah meningkat selama periode tersebut dari 30 menjadi 35 persen. Hanya sepertiga dari perusahaan yang disurvei menganggap peraturan ketenagakerjaan bukan hambatan serius.
85
pada peraturan perekrutan dan pemberhentianyang kontroversial. Demi meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, pemerintah telah berupaya mereformasi peraturan tersebut pada tahun 2006 dan 2007, namun keduanya gagal. Akibatnya, peraturan ketenagakerjaan Indonesia masih merupakan salah satu yang paling kaku di kawasannya. Kebuntuan ini menghambat kemampuan Indonesia untuk mempercepat laju penciptaan pekerjaan yang ‘baik’. Hal ini selanjutnya menghambat pencapaian target nasional pengurangan kemiskinan karena terbatasnya peluang bagi kaum miskin untuk memperoleh penghasilan yang dapat membantu mereka keluar dari kemiskinan. Bab 4 mengkaji sejauh mana peraturan perekrutan dan pemberhentian karyawan dapat memberi perlindungan nyata bagi karyawan dan pengaruhnya terhadap penciptaan lapangan kerja. Perdebatan seputar peraturan perekrutan dan pemberhentian karyawan belum didasarkan pada bukti empiris mengenai seberapa baik peraturan tersebut melindungi pekerja dan berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja. Keadaan ini telah menghalangi terjadinya kemajuan nyata untuk memecah kebuntuan dalam dialog kebijakan. Bab ini dimaksudkan untuk memberikan bukti empiris kepada pemerintah, serikat pekerja, dan perusahaan guna memulai kembali dan mendasari negosiasi tripartit mengenai reformasi hukum ketenagakerjaan. Bab ini terdiri atas empat bagian: Yang pertama mengamati perubahan dalamperaturan perekrutan dan pemberhentian di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Hukum Ketenagakerjaan. Yang kedua mengkaji pengaruh meningkatnya kekakuan terhadap penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Yang ketiga mengamati seberapa baik peraturan perekrutan dan pemberhentian saat ini dalam memberikan perlindungan nyata bagi karyawan. Bagian terakhir memberikan rekomendasi bagi reformasi kebijakan untuk mencari pemecahan “samasama untung” yang dapat mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor formal, dan sekaligus meningkatkan perlindungan bagi karyawan.
II. Kekakuan dalam Peraturan Perekrutan dan Pemberhentian Tingkat pesangon di Indonesia yang dulunya rendah, mulai meningkat sejak pertengahan 90-an. Hampir sepanjang era Orde Baru, biaya mempekerjakan dan memberhentikan – termasuk uang pesangon – relatif rendah jika dibandingkan dengan standar internasional. Biaya tersebut tetap terhitung rendah meskipun terjadi kenaikan sampai lebih dari 50 persen pada tahun 1996. Kecilnya nilai pesangon dan kepatuhan yang rendah menghasilkan pasar tenaga kerja yang sangat fleksibel. Tetapi, di bawah rezim politik yang represif, fleksibilitas ini sering kali mengorbankan kondisi kerja dan hak para pekerja.64 Keadaan berubah setelah 1998 ketika pemerintah yang pro-reformasi dan serikat pekerja yang semakin berani bersuara, meningkatkan tekanan kepada perusahaan untuk patuh pada hukum ketenagakerjaan. Nilai pesangon bagi pekerja dengan masa kerja 10 tahun atau lebih telah dinaikkan pada tahun 2000, bersamaan dengan uang penghargaan masa kerja bagi semua pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela. Tingkat pesangon Indonesia saat ini terhitung tinggi, baik menurut standar regional maupun internasional. Undang-Undang Ketenagakerjaan semakin memperbesar nilai pesangon bagi pekerja dengan masa kerja 3 tahun atau lebih dan menambahkan uang pengganti hak senilai 15 persen dari semua pembayaran pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebagai kompensasi atas hilangnya tunjangan perumahan dan perawatan kesehatan.65 Akibat kenaikan tersebut, uang pesangon diperkirakan setara
64 65
86
Manning 1998, Suryahadi, Widyanti, dan Sumarto 2003. Lampiran IV.1. Peraturan yang terkait dengan tingkat pesangon adalah: Peraturan Menteri No. 4/1986, Peraturan Menteri No. 3/1996, Keputusan Menteri No. 150/2000, dan Pasal 156 – 172 Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 (LP3E FE UNPAD dan GIAT, 2004).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4 Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
dengan “pajak perekrutan” senilai 4,1 bulan gaji per karyawan atau 34 persen dari upah tahunan pekerja. Nilai “biaya mempekerjakan” ini meningkat dari rata-rata 2 bulan pada tahun 1996 dan 3,4 bulan pada 2000.66 Uang pesangon maksimum dalam hal PHK akibat alasan ekonomi kini mendekati 30 bulan gaji (Gambar 4.2).67 Setelah kenaikan tersebut, tingkat pesangon di Indonesia kini terhitung tinggi menurut standar internasional dan menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Timur (Gambar 5.5).68 Kerumitan dalam penentuan pesangon dan uang penghargaan masa kerja menyebabkan biaya untuk mempekerjakan pekerja di Indonesia tidak dapat diperkirakan. Undang-Undang Ketenagakerjaan menggunakan serangkaian aturan yang rumit untuk menentukan apakah pekerja yang diberhentikan akan menerima kompensasi dan berapa nilai yang berhak mereka peroleh, berdasarkan alasan pemberhentian (Gambar 4.4). Banyaknya variasi paket total yang berhak diperoleh pekerja yang diberhentikan menyulitkan pemberi kerja untuk mengantisipasi semua biaya staf. Sebagai contoh, pemberhentian kerja akibat masalah ekonomi di luar kendali karyawan akan berakibat mahal bagi pemberi kerja: paket kompensasinya bernilai dua kali biaya pesangon berdasarkan lamanya masa kerja, ditambah dengan uang penghargaan masa kerja. Variasi ini dapat mempengaruhi keputusan bisnis pemberi kerja. Jika sebuah perusahaan terpaksa mengurangi jumlah staf ketika terjadi kemerosotan ekonomi, perusahaan kemungkinan akan lebih menghemat biaya dengan menyatakan diri bangkrut dan tutup, daripada mengurangi karyawan dan harus membayar pesangon dua kali lipat bagi setiap pekerja yang diberhentikan. Pemberi kerja juga diwajibkan memberikan pembayaran tambahan untuk tunjangan kesehatan, medis, dan perumahan, serta tunjangan lain dengan merujuk pada kontrak karyawan. Gambar 4.2
Tingkat pesangon, 1996-2003
Gambar 4.3
Pajak Perekrutan (dalam gaji mingguan)
Nilai pesangon dalam bulan gaji
30 25 UU 1996 UU 2000
20
UU 2003
15 10 5 0 <1
3
5
10
20
Max
Cina
Filipina
Masa kerja (dalam tahun)
Sumber: LP3E, 2004
66
67 68
Sumber: Doing Business, 2009a
LP3E FE UNPAD dan GIAT, 2004. Pajak Perekrutan (hiring tax) mengukur diskonto perkiraan biaya, pada saat mulai mempekerjakan seorang pekerja, yang akan dikeluarkan di masa depan untuk memberhentikan pekerja atau jika pekerja mengundurkan diri. Biaya ini memperlihatkan nilai pesangon yang diperkirakan harus dibayar oleh pemberi kerja di masa depan jika ia mempekerjakan seorang pekerja baru. Perhitungan ini didasarkan pada probabilitas pekerja baru untuk berhenti pada tahun tertentu dan penyebab pemberhentian, karena penyebab pemberhentian yang berbeda mempunyai nilai pesangon yang berlainan (mengundurkan diri, diberhentikan karena pelanggaran ringan, atau akibat masalah ekonomi). Lihat pula Alihsjahbana, 2007. Tingkat pembayaran pesangon maksimum mengacu pada pesangon yang dibayarkan kepada pekerja dengan masa kerja lebih dari 24 tahun. Rumus dasarnya adalah dua kali pesangon ditambah uang penghargaan masa kerja. Doing Business, 2009a. Laporan yang dikompilasi oleh Bank Dunia ini menggunakan indikator biaya perampingan karyawan yang mengukur biaya persyaratan pemberitahuan di muka, uang pesangon, dan penalti yang perlu dibayar ketika memberhentikan pekerja yang terkena perampingan dan telah bekerja di perusahaan selama 20 tahun. OECD juga membuat peringkat kekakuan hukum perlindungan tenaga kerja dengan skala angka yang berkisar dari nol (yang paling tidak kaku) sampai 6 (yang paling kaku). Skala Perundangan Perlindungan Pekerja (Employment Protection Legislation – EPL) EPLuntuk uang pesangon didasarkan pada terpenuhinya persyaratan untuk tiga tingkat masa kerja: sembilan bulan, empat tahun, dan 20 tahun. Indeks untuk uang pesangon di Indonesia adalah 4,33, serupa dengan indeks untuk Bangladesh (4,67), Korea (4,00), Nepal (4,67), Filipina (4,67), dan Republik Rakyat Cina (4,67).
87
Pada saat bersamaan, Undang-Undang Ketenagakerjaan juga memperketat penggunaan kontrak sementara. Sebelumnya, kontrak sementara atau kontrak dengan jangka waktu sementara (FTC) diperbolehkan untuk maksimum lima tahun. Hal ini berubah dengan disahkannya UndangUndang Ketenagakerjaan yang membatasi kesepakatan tenaga kerja dan menghambat keputusan untuk mempekerjakan.69 Di bawah undang-undang tersebut, FTC hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang: bersifat sementara, dengan waktu terbatas (misalnya pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam tiga tahun), bersifat pekerjaan musiman atau eksperimental.70 Namun, masih tersisa kerancuan mengenai posisi apa saja yang termasuk dalam kategori tersebut. Demikian pula pengalihdayaan (outsourcing) dibatasi hanya untuk kegiatan non-inti di sebuah perusahaan.71 Dalam kedua kasus, kontrak sementara dibatasi maksimum tiga tahun. Peraturan untuk FTC di Indonesia lebih kaku jika dibandingkan dengan negara tetangganya. Kebanyakan negara Asia membatasi penggunaan FTC hanya bagi kegiatan tertentu dan menentukan baik lamanya kontrak maupun persyaratan untuk perpanjangan kontrak. Jepang, Korea, Malaysia, dan Thailand mempunyai peraturan kontrak jangka waktu tetap yang paling fleksibel di kawasan. Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang mengatur FTC dengan lebih ketat, sama seperti Kamboja, Filipina, dan Vietnam (Tabel 4.1). Tabel 4.1
Paling fleksibel
Sedang
Paling ketat
Peraturan kontrak dengan jangka waktu tertentu di negara Asia Timur Negara
Peraturan
Jepang
Jangka waktu dibatasi (3 tahun; 5 tahun untuk karyawan dengan pekerjaan yang sangat khusus); dapat diperpanjang beberapa kali; pengecualian diperbolehkan untuk proyek tertentu.
Korea
Jangka waktu dibatasi (2 tahun); pengecualian diperbolehkan untuk proyek atau tugas tertentu.
Malaysia
Jangka waktu tidak dibatasi; kontrak harus tertulis jika jangka waktunya lebih lama daripada satu bulan.
Thailand
Tidak ada pembatasan; peraturan mencakup semua perusahaan yang mempekerjakan setidaknya 20 orang karyawan.
Singapura
Pekerjaannya atau jangka waktunya harus tertentu.
Cina
Hampir semua hubungan kerja bersifat permanen; kontrak untuk tugas yang telah ditentukan harus tertulis.
Kamboja
Jangka waktu dibatasi (2 tahun); tugas telah ditentukan; kontrak harus tertulis.
Indonesia
Jangka waktu dibatasi (3 tahun); tidak ada perpanjangan; hanya untuk pekerjaan sementara.
Filipina
Hanya untuk proyek khusus; jangka waktu dibatasi tergantung pada kategori yang telah ditetapkan; tidak ada perpanjangan.
Vietnam
Jangka waktu dibatasi (1-3 tahun); dapat diperpanjang 36 bulan; hanya untuk pekerjaan tertentu atau musiman.
Sumber: Berdasarkan ILO, 200772
69 70 71
72
88
FTC diatur dalam pasal 59-60 Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 dan Keputusan Menteri No. 100/2004. Peraturan sebelumnya didasarkan pada Peraturan Menteri yang dikeluarkan tahun 1993. Alisjahbana, 2007. Pengalihdayaan atau subkontrak mengacu pada tiga jenis kegiatan. Yang pertama, sebuah perusahaan dapat mengalihdayakan komponen produksi tertentu. Yang kedua, sebuah perusahaan dapat menyewa jasa khusus seperti jasa boga atau jasa kebersihan. Yang ketiga, pengalihdayaan dapat mencakup pengalihdayaan tenaga kerja dan kegiatan agensi penempatan kerja (Manning dan Roesad, 2007). Tabel 4.1 meringkaskan peraturan yang spesifik pada setiap ekonomi Asia dengan informasi dari ILO (pangkalan data on-line LABORSTA, 2008) mengenai jangka waktu kontrak sementara dan dalam kondisi apa kontrak sementara diperbolehkan.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lain-lain: Perlakuan buruk dari pemberi kerja, tidak dibayar, kerja di luar kontrak, pekerjaan berbahaya yang tidak diperkirakan sebelumnya Pasal 169
Pensiun dan perusahaan tidak berkontribusi bagi dana pensiun Pasal 167
Pensiun dan perusahaan berkontribusi bagi dana pensiun
Cacat permanen akibat kecelakaan di tempat kerja Pasal 172
Sakit berkepanjangan Pasal 172
Alasan pengunduran diri:
Tidak
Perusahaan mengalami merger/akuisisi/perubahan pemilik?
Mengundurkan diri
Ya
Dipailitkan Pasal 165
Rasionalisasi perusahaan Pasal 164 (3)
Force majeur Pasal 164 (1)
Rugi 2 tahun berturut-turut Pasal 164 (1)
Alasan penutupan:
Ya
Tidak
Alasan pemberhentian:
2 x Pesangon 1 x UPMK
1 x Pesangon 1 x UPMK
1 x Pesangon 1 x UPMK
1 x Pesangon 1 x UPMK
Perusahaan ditutup?
Dipecat/diberhentikan
STOP
Tidak
Pekerja melakukan pelanggaran ringan/berkinerja buruk Pasal 161 & 168 (3)
Pelanggaran kriminal yang dilakukan di luar tempat kerja atau dilaporkan oleh perusahaan Pasal 160 (3 & 5)
Pekerja melakukan pelanggaran berat di tempat kerja Pasal 158
Pasal 164 (3)
Merger/akuisisi/perubahan pemilik Pasal 163 (2)
Mengundurkan diri atau ganti kerja selama 2 tahun terakhir
Peraturan mengenai pesangon dan uang penghargaan masa kerja
0 x Pesangon 1 x UPMK
0 x Pesangon 1 x UPMK
0 x Pesangon 0 x UPMK
2 x Pesangon 1 x UPMK
2 x Pesangon 1 x UPMK
Sumber: Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003). Catatan: UPMK merujuk pada uang penghargaan masa kerja. Selain menerima pesangan dan/atau uang penghargaan masa kerja, pekerja juga berhak menerima pembayaran untuk cuti tahunan yang belum diambil, biaya transportasi ke tempat perekrutan, kompensasi atas hilangnya tunjangan perumahan, tunjangan medis dan kesehatan, serta kompensasi lain yang telah ditentukan dalam kontrak (Pasal 156).
2 x Pesangon 1 x UPMK
2 x Pesangon 1 x UPMK
0 x Pesangon 0 x UPMK
2 x Pesangon 2 x UPMK
2 x Pesangon 2 x UPMK
1 x Pesangon 1 x UPMK
Ya Pasal 163 (1)
Gambar 4.4
Bab 4 Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
89
Tanpa memandang adanya perubahan kondisi apa pun, banyak perusahaan yang belum mengubah persepsinya mengenai berusaha di Indonesia. Kenyataannya, indeks kekakuan Perundangan Perlindungan Pekerja (Employment Protection Legislation – EPL) EPLyang dibuat OECD memperlihatkan bahwa peringkat Indonesia tidak berubah, meskipun telah terjadi perubahan batas waktu maksimum FTC dari 72 menjadi 36 bulan.73
III. Kekakuan Peraturan dan Penciptaan Lapangan Kerja Tingkat pesangon yang tinggi dan peraturan yang kaku mengenai penggunaan kontrak sementara telah memicu perdebatan mengenai perlindungan pekerja versus efisiensi ekonomi. EPL, termasuk mengenai uang pesangon dan peraturan kontrak sementara, diperkenalkan demi melindungi karyawan dengan meningkatkan jaminan pekerjaan dan mempertahankan kestabilan penghasilan bagi karyawan yang telah diberhentikan dan keluarga mereka. Tetapi, EPL juga menimbulkan biaya ekonomi. Beban tambahan dalam bentuk kenaikan biaya mempekerjakan dan memberhentikan dapat menyebabkan perusahaan membatasi jumlah staf yang dipekerjakan, terutama dengan kontrak permanen. Perbedaan pandangan mengenai efisiensi ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan perlindungan karyawan telah memicu perdebatan panjang di seputar aturan perlindungan karyawan dalam hukum ketenagakerjaan. Bagian ini mengkaji sejauh mana peraturan perekrutan dan pemberhentian telah memberikan perlindungan nyata bagi pekerja atau menghambat penciptaan lapangan kerja. Tingginya tingkat pesangon yang diwajibkan secara hukum di Indonesia telah menghalangi investasi asing dan mengurangi minat para wiraswasta untuk menciptakan usaha baru. Pemberi kerja mengkhawatirkan biaya tinggi untuk berbisnis di Indonesia dan kondisi ini mengurangi minat berbagai perusahaan untuk mempekerjakan pekerja secara permanen.74 Masyarakat bisnis di Indonesia berpendapat bahwa peraturan nilai pesangon yang terlalu besar telah membatasi penciptaan lapangan kerja karena memperburuk iklim investasi dan mengurangi minat untuk menciptakan bisnis baru, terutama di sektor yang padat karya. Tingkat pesangon yang tinggi juga mempengaruhi keputusan pemberhentian untuk menanggapi kondisi perekonomian, terutama ketika terjadi kemerosotan. Demikian pula, aturan yang rumit mengenai perhitungan pesangon dan sistem “pasca bayar” saat ini menimbulkan masalah tambahan karena menyulitkan perusahaan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja. Tingkat pesangon yang tinggi mengurangi minat perusahaan untuk mempekerjakan karyawan baru secara permanen. Untuk mencegah terjadinya biaya tinggi akibat pemberhentian karyawan permanen, berbagai perusahaan semakin mengandalkan FTC, termasuk staf sementara dan karyawan alih daya yang berpeluang kecil untuk memenuhi syarat memperoleh uang pesangon dan pensiun dari pemberi kerja. Sebuah survei tahun 2004 terhadap 86 perusahaan di perkotaan besar melaporkan bahwa telah terjadi kenaikan penggunaan kontrak jangka waktu tetap sebesar 8 persen sebagai bagian dari upaya restrukturisasi perusahaan.75 Selain itu, juga ada persepsi kuat dalam masyarakat bahwa pekerjaan sementara merupakan
73
74
75
90
OECD memanfaatkan berbagai komponen EPL untuk membuat skala angka yang berkisar dari nol (yang paling tidak kaku) sampai 6 (yang paling kaku). Dalam konteks ini, EPL merujuk pada segala jenis langkah perlindungan karyawan, baik yang ditentukan melalui undang-undang, keputusan pengadilan, perjanjian kerja bersama hasil perundingan bersama, atau praktik yang telah umum (OECD, 1999: 50). LP3E FE UNPAD dan GIAT, 2004. “Di tengah kondisi bisnis yang penuh gejolak dan tidak menentu, banyak perusahaan merasa bahwa peraturan pesangon yang berlebihan semakin menambah tekanan [bagi pemberi kerja]… untuk mengurangi jumlah pekerja dan [telah] mengurangi minat perusahaan untuk memperkerjakan pekerja secara permanen," (hal. viii). LP3E FE UNPAD dan GIAT, 2004. Lihat Gambar 5.5. Perlu diperhatikan bahwa mayoritas perusahaan yang ikut serta dalam studi ini melakukan kegiatan manufaktur.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4 Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
hal yang umum di Indonesia dan semakin banyak terjadi. Kondisi ini merupakan bagian dari tren global peningkatan pemakaian kontrak sementara, yang porsinya masih kecil dalam hubungan ketenagakerjaan di seluruh dunia, namun semakin umum dilakukan. Penggunaan kontrak sementara perlahan-lahan semakin meningkat pada dua per tiga negara anggota OECD; angka rata-ratanya meningkat tipis dari 13,9 persen tahun 2000 menjadi 14,6 persen tahun 2007.76 Namun demikian, pembatasan penggunaan kontrak sementara berpeluang semakin membatasi penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Meskipun biaya pemberhentian yang tinggi mengurangi minat perusahaan untuk mempekerjakan staf permanen, peraturan FTC yang kaku juga turut mengurangi minat perusahaan untuk mempekerjakan staf sementara. Para pelaku bisnis beralasan bahwa pembatasan penggunaan kontrak jangka waktu tetap telah mengurangi fleksibilitas mereka dalam proses produksi dan menghalangi mereka untuk menanggapi fluktuasi permintaan produk. Semakin kakunya peraturan mempekerjakan karyawan mengurangi kemampuan perusahaan untuk menyediakan peluang kerja formal bagi pekerja yang tadinya dipekerjakan tanpa kontrak atau berada di sektor informal. Perusahaan berpendapat bahwa penggunaan FTC dapat mendorong kenaikan efisiensi dengan memungkinkan kecocokan yang lebih baik antara pekerja dan perusahaan, serta dengan memberikan insentif yang lebih besar bagi pekerja sementara untuk bekerja keras saat masih di bawah kontrak.77 Negara berkembang dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku menghadapi kesulitan lebih besar dalam menciptakan pekerjaan sehingga memperburuk kondisi ketenagakerjaan bagi pekerja. Bukti empiris mengenai dampak meningkatnya kekakuan terhadap penciptaan lapangan kerja, belum tersedia di Indonesia karena data mengenai pembayaran pesangon dan status kontrak belum dikumpulkan secara konsisten. Tetapi, riset internasional secara konsisten mendapati bahwa negara berkembang yang peraturan ketenagakerjaan sangat memberatkan juga mengalami tingkat investasi, produktivitas, dan investasi dalam manufaktur yang lebih rendah.78 Peraturan ketenagakerjaan yang kaku menghambat pertumbuhan lapangan kerja dengan membatasi manfaat keterbukaan perdagangan dan mengurangi minat para wiraswasta untuk memulai bisnis baru. Hal ini berdampak langsung dan negatif terhadap pekerja. Negara berkembang dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku berpeluang lebih besar mengalami keikutsertaan (laki-laki) dalam angkatan kerja yang lebih rendah, tingkat pengerjaan yang lebih rendah, dan tingkat pengangguran yang tinggi – terutama di antara perempuan dan kaum muda.79 Sebuah studi terhadap 74 negara menyimpulkan bahwa jika Indonesia memaksimalkan fleksibilitas peraturan ketenagakerjaannya, tingkat pengangguran akan menurun 2,1 persen, sedangkan tingkat pengangguran kaum muda akan menurun 5,8 persen.80
76 77
78 79
80
OECD.Stat, 2008. Lihat http://stats.oecd.org/wbos/default.aspx. Hanya sedikit data yang tersedia mengenai status kontrak di Indonesia atau di negara berkembang lain di Asia. Meskipun teori ekonomi dasar berfokus pada peroleh efisiensi melalui penggunaan kontrak jangka waktu tetap, teori yang lebih canggih mengenali potensi kehilangan efisiensi. Efisiensi ekonomi dapat terganggu apabila perusahaan kurang berinvestasi dalam melatih pekerja kontrak, atau jika pekerja tidak dapat memperkirakan dengan akurat peluang mereka untuk dipekerjakan kembali saat memutuskan untuk mengambil pekerjaan dengan kontrak jangka waktu tetap. Djankov, Simeon, dan Rita Ramalho. 2008. Ibid. Masih ada kontroversi mengenai persoalan ini. Ringkasan 24 studi empiris mengenai pengaruh EPL terhadap lapangan kerja dan pengangguran mendapati hasil yang ambigu atau tidak pasti. Tetapi, studi tersebut hanya terbatas pada negara maju yang menjadi anggota OECD serta negara Amerika Selatan yang lebih maju sehingga dan program pesangon pun sudah lebih lazim (Addison and Teixeira, 2001). Dua studi yang lain mengkonfirmasikan bahwa kekakuan berpengaruh negatif terhadap komposisi lapangan kerja. Studi tersebut mendapati bahwa peraturan jaminan pekerjaan mempunyai kaitan dengan lapangan pekerjaan yang lebih rendah bagi pekerja kaum muda, perempuan, dan pekerja tanpa keahlian (Pagés dan Montenegro, 1999; Montenegro dan Pagés, 2004). Feldmann, 2008.
91
IV. Perlindungan Karyawan Serikat pekerja berpendapat bahwa peraturan perlindungan ketenagakerjaan yang kuat perlu ditegakkan demi melindungi karyawan dan memastikan perlakuan yang adil. Uang pesangon melindungi karyawan terhadap pemberhentian sewenang-wenang dan memberikan jaminan penghasilan kepada karyawan. Serikat pekerja juga berpendapat bahwa karena pekerjaan permanen adalah kesepakatan standar di sektor formal, maka pemberi kerja tidak semestinya terus-menerus menggunakan kontrak sementara sebagai celah untuk menghindari biaya yang terkait dengan karyawan permanen. Namun demikian, salah satu kekhawatiran terbesar adalah tingginya tingkat ketidakpatuhan perusahaan yang merusak tujuan awal Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bagian ini mengkaji apakah peraturan yang ada saat ini sudah efektif dalam melindungi karyawan dan memberikan jaminan penghasilan bagi mereka. Dua per tiga dari semua karyawan yang diberhentikan dan memenuhi syarat untuk menerima pesangon, melaporkan bahwa mereka tidak mendapatkannya. Kebanyakan perusahaan tidak mematuhi peraturan pesangon. 14,6 persen dari antara karyawan yang diberhentikan dari pekerjaannya memenuhi kriteria untuk menerima uang pesangon. Dari jumlah tersebut, 65,6 persen melaporkan bahwa mereka sama sekali tidak menerima uang pesangon dari pihak pemberi kerja (Gambar 4.5).81 Karyawan yang paling rentan mengalami dampak terburuk dari ketidakpatuhan tersebut. 69,97 persen dari perempuan yang memenuhi syarat tidak memperoleh pesangon jika dibandingkan dengan 63,22 persen dari laki-laki yang memenuhi syarat (Gambar 4.6). Para pekerja yang muda (di bawah usia 25 tahun), mempunyai masa kerja pendek (kurang dari 4 tahun), dan karyawan berupah rendah (dengan nilai di bawah Rp 1 juta per bulan) juga berpeluang lebih kecil untuk menerima pesangon. Ironisnya, nilai pesangon mereka sebetulnya lebih kecil daripada rekan kerja yang sudah bekerja lebih lama dan berupah lebih tinggi, yang lebih berpeluang menerima uang pesangon. Perusahaan menengah dan besar (yang mempekerjakan lebih dari 20 orang) lebih berpeluang untuk mematuhi aturan daripada perusahaan kecil. Gambar 4.5
Penerimaan uang pesangon, sesuai laporan pekerja yang diberhentikan
Tidak patuh: 27% Karyawan sama sekali tidak menerima pesangon
Kepatuhan parsial: Karyawan menerima nilai lebih kecil daripada haknya
Patuh:
7% Karyawan menerima
66%
nilai penuh sesuai haknya atau lebih besar
Gambar 4.6
Pekerja yang memenuhi syarat namun melaporkan tidak menerima pesangon (persen)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Laki-laki
Perempuan <250
Jenis kelamin
Sumber: Sakernas, 2008
81
92
250-500
500 1,000
1,000 15,000
>15,000
Upah bulanan (dalam ribuan Rupiah)
Sumber: Sakernas, 2008
Lampiran IV.2. Catatan: semua analisis mengenai uang pesangon berdasarkan Sakernas (2008) dan IFLS (2007). Bab ini menyampaikan temuan hanya dengan data Sakernas mengenai penerimaan uang pesangon, yang hanya didasarkan pada pekerja penerima gaji yang mengalami pemberhentian kerja 2 tahun sebelum survei. Temuan dari IFLS secara umum konsisten dengan Sakernas.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4 Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
Kebanyakan pekerja yang diberhentikan dan menerima pesangon melaporkan bahwa mereka menerima nilai lebih kecil daripada hak mereka. 78,4 persen karyawan yang menerima pesangon melaporkan bahwa mereka tidak memperoleh nilai penuh sesuai hak mereka secara hukum.82 Pemberi kerja yang membayarkan pesangon rata-rata hanya membayarkan 69,6 persen dari nilai yang berhak diterima karyawan.83 Dari antara pekerja yang menerima pesangon lebih kecil dari haknya, perempuan menerima persentase nilai pembayaran yang lebih besar daripada laki-laki, meskipun perempuan juga berpeluang lebih besar untuk tidak memperoleh pesangon sama sekali. Walaupun karyawan berupah rendah berpeluang lebih besar untuk tidak memperoleh pesangon sama sekali, tetapi jika pemberi kerja membayarkan pesangon, mereka berpeluang lebih besar untuk menerima pesangon secara penuh. Perusahaan menengah dan besar dengan kepatuhan parsial rata-rata membayar masing-masing 61,7 dan 87,7 persen dari nilai yang menjadi hak karyawan. Kepatuhan merupakan masalah yang jauh lebih besar di antara perusahaan kecil yang hanya membayarkan 23,2 persen dari nilai yang menjadi hak karyawan, jika dibayarkan. Banyaknya ketidakpatuhan kemungkinan dapat menjelaskan mengenai kenaikan uang pesangon tidak menyebabkan kekakuan pekerjaan. Tren tingkat pengangguran dan pemberhentian kerja – keduanya merupakan indikator kekakuan pekerjaan – tampaknya tidak terpengaruh oleh kenaikan besar dalam nilai pesangon yang diperkenalkan tahun 2000 dan sekali lagi pada tahun 2003. Pengaruh perubahan nilai pesangon kemungkinan tidak begitu besar karena hanya sedikit orang yang terpengaruh, atau karena perubahan yang telah diundangkan tidak diterapkan di lapangan. Peraturan pesangon saat ini tidak melindungi pekerja yang paling merasakan ketidakpastian penghasilan. Kira-kira 8 persen dari angkatan kerja Indonesia melaporkan bahwa mereka pernah mengalami pemberhentian dalam dua tahun terakhir.84 Dari antara pekerja tersebut, lebih dari seperempatnya (27,9 persen) mengalami pemberhentian bukan atas keinginan sendiri namun akibat pengurangan karyawan dan kebangkrutan usaha. Para pekerja inilah yang paling membutuhkan perlindungan penghasilan tingkat dasar sampai mereka mendapatkan pekerjaan baru. Namun demikian, dari antara mereka yang mengalami pemberhentian kerja, hanya 47,1 persen yang merupakan pekerja penerima upah dan gaji (karyawan formal). Mayoritas dari pekerja yang diberhentikan – 64,2 persen – bekerja tanpa kontrak resmi dan merupakan pekerja yang paling rentan di sektor formal.85 Karyawan melaporkan bahwa sejumlah perusahaan tidak mematuhi pembatasan dalam penggunaan FTC. Sebagai tanggapan terhadap tingginya biaya pemberhentian, para pemberi kerja beralih mempekerjakan lebih banyak staf sementara (atau alih daya). Namun, sejumlah perusahaan kemungkinan memanfaatkan penegakan aturan yang masih lemah dan mempekerjakan staf dengan FTC secara terusmenerus untuk menghindari membayar pekerja sesuai hak mereka. Kira-kira 15 persen dari karyawan sementara telah berada di posisinya lebih lama daripada 3 tahun, batas maksimum yang diperbolehkan oleh undang-undang bagi FTC (Gambar 4.7).86
82 83 84 85 86
Lampiran IV.2. Lampiran IV.2. Sakernas, 2008. Lihat Bab 3. Data mengenai status kontrak dikumpulkan dalam skala besar untuk pertama kali di Indonesia pada tahun 2007. IFLS mengajukan pertanyaan kepada responsen mengenai status kontrak untuk pertama kali pada tahun 2007. Meskipun data ini belum cukup untuk menganalisis tren status kontrak, temuan yang diperoleh dapat memberikan pemahaman mengenai penggunaan kontrak – sementara maupun permanen – di Indonesia.
93
Gambar 4.7
Lamanya FTC, sesuai laporan karyawan
Kerumitan dan ambiguitas dalam UndangUndang Ketenagakerjaan kemungkinan turut menyebabkan ketidakpatuhan dan menyulitkan karyawan yang ingin mengetahui nilai yang menjadi hak mereka. Kerumitan 15% Undang-Undang Ketenagakerjaan dalam menentukan nilai pesangon dan uang 5% 36% penghargaan masa kerja menyulitkan karyawan untuk memahami berapa sesungguhnya nilai 9% yang menjadi hak mereka. Ketika diminta untuk mengidentifikasi tunjangan yang diberikan oleh pemberi kerjanya, hanya 14,8 persen dari antara karyawan sektor publik dan swasta yang menyatakan bahwa uang pesangon merupakan 35% salah satu tunjangan yang ditawarkan oleh pemberi kerja.87 Keadaan ini semakin diperparah < 1 tahun 1 tahun 2 tahun kenyataan bahwa banyak kontrak resmi tidak menyatakan secara eksplisit persyaratan dan > 3 tahun (tidak patuh) 3 tahun ketentuan pekerjaan. Selain itu, terjadi pula Sumber: IFLS, 2007 ambiguitas mengenai jenis pekerjaan apa yang tidak termasuk pekerjaan inti dan dapat dialihdayakan atau diisi oleh pekerja dengan kontrak sementara, serta pekerjaan apa yang dianggap inti dan harus diisi oleh pekerja dengan kontrak permanen.
V. Rekomendasi Kebuntuan reformasi peraturan pesangon saat ini mencerminkan keberatan baik dari pemberi kerja maupun pekerja. Beberapa negosiasi mengenai uang pesangon belakangan ini telah gagal atau menemui jalan buntu. Serikat pekerja dan karyawan tidak bersedia mendukung penurunan tingkat pesangon karena mereka akan kehilangan satu-satunya sumber perlindungan penghasilan saat menganggur. Tetapi, tanpa adanya fleksibilitas, perusahaan beralasan bahwa mereka kesulitan menanggapi fluktuasi pasar sehingga akan kehilangan efisiensi. Akibatnya, perusahaan lebih memilih untuk mempekerjakan lebih sedikit karyawan atau beralih dari kontrak permanen ke FTC. Dalam banyak kasus, perusahaan tidak membayarkan pesangon kepada karyawan yang telah diberhentikan sesuai hak mereka, kondisi yang semakin mengurangi jaminan penghasilan para pekerja. Upaya reformasi perlu difokuskan pada jalan keluar “sama-sama untung” bagi perusahaan dan serikat pekerja, sambil memastikan bahwa pekerja yang rentan terlindung dengan lebih baik. Masih ada harapan untuk menemukan jalan keluar “sama-sama untung” yang dapat diterima pemberi kerja maupun karyawan. Bagian ini menyampaikan opsi reformasi yang dapat dipertimbangkan dalam upaya mencapai kesepakatan yang mendamaikan pemberi kerja dan karyawan. Berbagai opsi reformasi ini disampaikan tak hanya dari kacamata kepentingan pemberi kerja dan serikat pekerja, tetapi juga suara para pekerja yang rentan, yang tersisih dari perdebatan ini. Meskipun pekerja miskin dan berpenghasilan rendah – terutama mereka yang bekerja di perusahaan kecil – merupakan yang paling rentan terhadap guncangan akibat pengangguran, merekalah yang berpeluang paling kecil dilindungi oleh sistem saat ini. Asosiasi pemberi kerja dan serikat pekerja mewakili para anggotanya di meja perundingan, namun kedua
87
94
Sakernas, 2008.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4 Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
organisasi itu belum mewakili para pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak yang akan memperoleh manfaat dari kebijakan yang memperluas penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Dengan menegosiasikan kesepakatan besar – menurunkan tingkat pesangon, dansebagai gantinya, memperkenalkan tunjangan pengangguran – pemerintah dapat meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja sambil meningkatkan perlindungan bagi karyawan. Yang pertama, penyederhanaan kerumitan hukum dalam peraturan pesangon saat ini dan penurunan nilai pesangon akan menyetarakan Indonesia dengan standar regional. Hal ini tak hanya meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, tetapi juga akan memperbaiki iklim investasi di Indonesia dan daya saing global. Pada saat yang sama, perlu pula upaya untuk menyederhanakan perhitungan pesangon demi mempermudah karyawan untuk memahami nilai yang menjadi hak mereka dan mempermudah perusahaan untuk mengetahui nilai pembayaran yang menjadi tanggung jawabnya. Tetapi, masih diperlukan program baru sebagai pelengkap untuk memberikan perlindungan efektif sebagai kompensasi berkurangnya tingkat pesangon bagi pekerja sektor formal yang menganggur. Terdapat serangkaian sistem tunjangan pengangguran yang dapat dipertimbangkan dan dikaji untuk dimasukkan dalam sistem Jaminan Sosial Nasional di masa depan. Indonesia telah siap mengikuti langkah negara berpenghasilan menengah yang lain untuk menerapkan sistem tunjangan pengangguran. Terdapat serangkaian opsi reformasi yang dapat meningkatkan kemudahan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja dan mengkompensasikan tingkat pesangon yang lebih rendah bagi pekerja. Opsi ini termasuk dana bersama (pooled fund) yang dapat ditarik oleh karyawan yang diberhentikan, sistem pesangon dengan rekening individual, atau program bantuan pengangguran berupa tunjangan tetap. Suatu hari nanti, Indonesia akhirnya akan dapat beralih menuju program asuransi pengangguran secara penuh, seperti yang ada di negara maju saat ini. Setiap opsi memiliki kelebihan dan kekurangan, serta bervariasi dalam hal tingkat kerumitan kelembagaan dalam mengelola program (Tabel 4.2). Rancangan sistem tunjangan pengangguran dapat mengacu pada daftar pertimbangan berikut ini.88
88
Rekomendasi diadaptasi dari Revenga dan Rigolini, 2007; serta Vroman, 2007.
95
Tabel 4.2
Opsi reformasi pembayaran pesangon89 90
Opsi Reformasi
Kekurangan
Mengurangi tingkat pesangon: Mempertahankan sistem saat ini berupa pembayaran pesangon oleh pemberi kerja, tetapi mengurangi besarnya pesangon yang terhitung tinggi di kawasan (tetapi tidak tinggi jika dilihat dari standar internasional).
Investasi lebih besar: Penurunan tingkat pesangon dapat menarik lebih banyak investor ke Indonesia. Peningkatan produktivitas: Karena penyesuaian angkatan kerja dapat lebih fleksibel, perusahaan dapat meningkatkan produktivitas. Kepatuhan yang lebih baik: Perusahaan yang tidak mengalami kendala likuiditas memiliki kemungkinan lebih besar untuk membayar jika nilainya lebih rendah.
Penegakan yang lemah: Jika pemerintah tidak memperbaiki penegakan aturan, tidak ada insentif bagi perusahaan untuk patuh, sekalipun nilainya lebih rendah. Risiko ketidakpatuhan: Pembayaran bergantung pada kesediaan dan kemampuan perusahaan untuk membayar pesangon. Perusahaan yang mengalami kendala likuiditas tetap berpeluang kecil untuk membayar.
Memodifikasi Jamsostek: Memperingan ketentuan bagi penarikan dini dalam kasus pengangguran (saat ini terbatas bagi pekerja yang sudah memberikan kontribusi selama lima tahun dan telah menganggur lebih dari enam bulan).
Kemudahan kelembagaan: Tidak perlu menciptakan lembaga baru karena Jamsostek sudah ada.90 Hanya diperlukan modifikasi. Preseden regional: Dana pensiun di Singapura, Sri Lanka, dan Thailand memiliki ketentuan untuk penarikan dini yang dapat digunakan saat menganggur.
Cakupan yang rendah: 60 persen pekerja penerima upah dan gaji tidak berkontribusi secara aktif ke Jamsostek. Jaminan penghasilan yang lemah: Tingkat kontribusi gabungan dari pemberi kerja/karyawan hanya 5,7 persen selama 2000-04, jauh di bawah negara lain yang sekawasan dengan rentang dari 20,0 sampai 33,8 persen. Bahaya moral/penipuan: Perlu memverifikasi keadaan menganggur; jika tidak, dapat timbul risiko kontributor yang menarik dana untuk alasan lain.
Menciptakan dana pesangon: Perusahaan menyetorkan pembayaran pesangon secara rutin ke dalam sebuah dana bersama yang dikelola oleh lembaga pemerintahan pusat atau oleh perusahaan swasta.
Efisiensi yang lebih baik: Keputusan perusahaan untuk mengurangi karyawan tidak lagi terkait dengan pembayaran pesangon. Kepatuhan yang lebih baik: Mengurangi insentif bagi perusahaan untuk menghindari pembayaran karena pembayaran tidak dilakukan sekaligus dan perusahaan tidak bertanggung jawab menyalurkan pesangon.
Tuntutan kelembagaan: Jika tidak mengontrak perusahaan swasta sebagai pengelola, maka perlu dibentuk lembaga baru. Risiko kepatuhan yang rendah: Sistem ini masih bergantung pada kepatuhan perusahaan untuk mengirim pembayaran pesangon secara rutin kepada lembaga/perusahaan pengelola. Kekurangan dana: Perusahaan kemungkinan akan lebih sering mengurangi pekerja yang dapat menyebabkan kekurangan dana. Mungkin membutuhkan bantuan pembiayaan dari pemerintah.
Dana bersama: Memodifikasi dana pensiun atau menciptakan dana pesangon yang mengumpulkan pembayaran dari perusahaan dan memberikannya kepada pekerja yang diberhentikan.
89 90
96
Kelebihan
Berdasarkan Revenga dan Rigolini, 2007, serta Vroman, 2007. Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) adalah program perlindungan sosial bagi sektor swasta yang tujuan utamanya adalah memberikan bantuan penghasilan bagi orang yang telah pensiun.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4 Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
Opsi Reformasi
Kelebihan
Kekurangan
Bantuan pengangguran: Menciptakan dana yang dapat ditarik oleh pekerja yang memenuhi syarat, yang sedang menganggur. Dana tersebut dikelola dan disalurkan oleh lembaga yang ditunjuk, bukan oleh pemberi kerja. Pekerja yang menganggur memperoleh tunjangan kecil untuk jangka waktu tertentu yang diambil dari dana bersama. Pekerja memenuhi syarat atau tidak ditentukan berdasarkan keaktifan mencari kerja dan ketersediaan pekerjaan yang cocok. Dimungkinkan untuk menguji terlebih dahulu (means test) apakah penghasilan keluarga membutuhkan bantuan pengangguran.
Penentuan target yang pro-rakyat miskin: Kondisi pemenuhan syarat dan tunjangan bernilai kecil dapat meningkatkan cakupan bagi pekerja yang miskin dan berupah rendah. Perbaikan jaminan penghasilan: Tidak bergantung pada perusahaan untuk membiayai pesangon karena dana bantuan pengangguran bertanggung jawab menyalurkan pembayaran pesangon. Meningkatkan efisiensi perusahaan: Karena perusahaan telah membayar, maka keputusan untuk mengurangi karyawan tidak lagi dibayang-bayangi urusan pesangon.
Biaya administrasi tinggi: Akibat tingginya tingkat pergantian dan besarnya volume keputusan per kasus, biaya per rupiah pembayaran manfaat akan lebih tinggi daripada sistem berbasis pensiun. Tantangan keuangan: Membutuhkan pembiayaan dari penghasilan pajak secara umum, pajak upah secara khusus, atau kombinasi keduanya. Tuntutan kelembagaan: Memerlukan kantor tenaga kerja yang berfungsi baik untuk memantau kegiatan pencarian kerja dan pembayaran tunjangan.
Rekening individual: Pemberi kerja dan karyawan secara rutin menyetorkan kontribusi ke rekening individual yang dikelola dan disalurkan oleh lembaga pusat. Kontributor yang menganggur dapat menarik dana dari rekening mereka sendiri.
Peningkatan jaminan penghasilan: Tidak bergantung pada perusahaan untuk membiayai pengurangan karyawan; pihak dana bertanggung jawab menyalurkan pembayaran pesangon. Lebih transparan: Setiap pekerja tahu pasti berapa banyak yang telah ia kontribusikan dan berapa banyak yang dapat ia terima. Pembiayaan mandiri: Didanai sepenuhnya oleh kontribusi dari pemberi kerja dan pekerja; tidak rawan masalah kekurangan dana karena pembayaran dilakukan sebelum pemberhentian.
Biaya administrasi tinggi: Lebih tinggi daripada sistem pensiun dengan rekening individual saat ini. Kerumitan kelembagaan: Lembaga pengelola harus memiliki kemampuan untuk melacak kontribusi, saldo rekening, dan pembayaran tunjangan individual pada tingkat mikro. Cakupan yang rendah: Berdasarkan pengalaman dengan Jamsostek, tingkat kontribusi kemungkinan akan rendah sehingga banyak pekerja penerima upah dan gaji yang tetap tidak terlindungi.
Asuransi pengangguran: Memberikan pembayaran sebagai bantuan bagi orang yang ingin bekerja namun tidak dapat memperoleh pekerjaan. Pembayaran dikaitkan dengan tingkat penghasilan orang yang bersangkutan sebelum ia menganggur.
Jaminan penghasilan: Karena pembayaran dikaitkan dengan tingkat penghasilan, maka peserta akan memperoleh jaminan penghasilan terbesar.
Kerumitan kelembagaan: Gaji harus dilacak untuk dikaitkan dengan pembayaran. Pemakaian sumber daya yang intensif: Skema berbiaya mahal yang tidak cocok bagi tingkat perkembangan ekonomi Indonesia.
97
“Tunjangan pemberhentian kerja” dapat memberikan perlindungan penghasilan yang lebih besar daripada pembayaran pesangon yang dilakukan secara sekaligus oleh pemberi kerja. Proposal untuk menurunkan tingkat pesangon akan dapat lebih diterima jika dibuat sebuah sistem baru untuk memperbaiki jaminan penghasilan bagi karyawan. Mempertahankan tingkat pesangon yang tinggi dalam sistem saat ini tidak diharapkan jika kepatuhan tetap rendah dan hanya sedikit karyawan yang memperoleh jaminan penghasilan. Estonia memberikan contoh bagaimana program bantuan pengangguran yang memberikan tunjangan tetap dapat memberikan jaminan penghasilan bagi lebih banyak pekerja (Kotak 4.1). Kotak 4.1
Bantuan Pengangguran di Estonia
Pengangguran merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi Estonia setelah memperoleh kemerdekaannya dari Uni Soviet pada tahun 1991. Rata-rata tingkat pengangguran selama tahun 90-an adalah 10,6 persen; ratarata pengangguran yang tercatat berkisar antara 25 sampai 72 persen dari total pengangguran, seperti yang diperkirakan oleh survei angkatan kerja. Antara 1991 sampai 2002, Estonia menerapkan sistem kompensasi pengangguran yang memberikan tunjangan tetap. Agar memenuhi syarat untuk memperoleh tunjangan, orang yang mengajukan klaim harus mendaftar ke kantor tenaga kerja lokal dan harus pernah bekerja sekurangnya enam bulan dalam 12 bulan terakhir. Si pendaftar juga harus memberikan bukti bahwa penyebab pemberhentiannya memenuhi persyaratan untuk menerima bantuan (misalnya, ia bukan mengundurkan diri atau bukan dipecat karena pelanggaran). Meskipun sistem tunjangan tetap ini hanya memberikan tunjangan bernilai kecil, sistem ini berhasil melayani cukup banyak penganggur di Estonia. Sistem ini membayarkan tunjangan bernilai kecil kepada pekerja penganggur yang memenuhi syarat sampai paling lama enam bulan. Secara rata-rata, antara 1994 sampai 2002, tunjangan ini setara dengan 6-10 persen dari gaji bulanan pekerja dalam periode 4,2 dan 5 bulan. Kira-kira 29 persen dari semua penganggur telah menerima tunjangan. Pembayaran tunjangan yang dibiayai melalui anggaran umum rata-rata mencapai 0,25 persen dari pengeluaran negara untuk gaji. Sistem tunjangan tetap dapat dimodifikasi untuk ditargetkan pada pekerja berupah rendah yang rentan. Persyaratan untuk menerima tunjangan dapat dipatok pada penghasilan keluarga, namun memerlukan kemampuan penentuan target yang akurat oleh kantor tenaga kerja. Sebagai alternatif, dengan mempertahankan nilai tunjangan yang rendah, calon peserta dapat menentukan sendiri apakah mereka akan mendaftar untuk mendapatkan tunjangan atau tidak. Sumber: Vroman, 2007.
Beralih menggunakan pendekatan kontribusi bulanan yaitu kontribusi bulanan oleh perusahaan ke sebuah rekening yang dikelola secara terpusat dengan pengawasan pemerintah. Pemindahan tanggung jawab pembayaran pesangon dari pemberi kerja ke lembaga pusat dapat meningkatkan peluang pekerja untuk menerima hak mereka setelah diberhentikan. Pembayaran akan lebih berpeluang terjadi jika perusahaan bertanggung jawab memberikan kontribusi pesangon rutin, alih-alih pembayaran penuh secara sekaligus. Jika perusahaan membayar secara rutin ke dalam dana (secara efektif merupakan penundaan keputusan), perusahaan nantinya tidak akan terbebani oleh pembayaran pesangon pada saat betul-betul harus mengurangi karyawan sehingga dapat meningkatkan kemudahan untuk memperkirakan biaya operasi perusahaan. Namun demikian, cara ini dapat mengakibatkan semakin banyaknya pemberhentian, bahkan pemberhentian karyawan yang terlalu banyak (over-firing), dan beban yang lebih tinggi. Kelemahan ini dapat diatasi dengan menerapkan tambahan “pajak pemberhentian” yang kecil atau meningkatkan jumlah yang harus dibayar perusahaan kepada dana pesangon. Kepatuhan yang lebih baik oleh pemberi kerja juga dapat mengurangi ketergantungan terhadap Pen-
98
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4 Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
gadilan Hubungan Industrial yang kini menghadapi bertumpuknya kasus pemberhentian kerja.91 Hal ini akan membebaskan karyawan dan pemberi kerja dari proses penyelesaian perselisihan yang berbiaya tinggi dan sangat menghabiskan waktu. Memastikan perlindungan lebih besar bagi pekerja yang rentan tanpa menyisihkan pekerja bergaji tinggi. Pekerja yang rentan – perempuan, kaum muda, dan pekerja jangka pendek serta berupah rendah – tersisih dari manfaat yang diberikan sistem saat ini dan paling terpengaruh oleh hilangnya penghasilan akibat pemberhentian. Meningkatkan biaya pemberhentian dapat menyebabkan mereka semakin tersisih. Demikian pula skema yang menyisihkan pekerja bergaji tinggi dapat mengakibatkan efek negatif karena naiknya biaya pekerja bergaji rendah dan selanjutnya menyebabkan turunnya lapangan kerja formal. Menyiapkan strategi peralihan dengan teliti dan menerapkan reformasi secara bertahap. Akan timbul kesenjangan antara sistem saat ini dan sistem masa depan yang telah direformasi, terutama dalam hal tanggung jawab mengenai beban pesangon masa lalu dan meningkatnya pemberhentian pekerja yang dapat mengakibatkan kekurangan dana pada skema jaminan penghasilan. Karena Indonesia memiliki sektor formal yang kecil serta tingkat pengangguran dan pekerjaan informal yang tinggi, sistem bantuan penghasilan apa pun berpeluang menimbulkan biaya tinggi sehingga perlu diterapkan secara bertahap. Program percobaan dapat diperkenalkan dan dievaluasi. Seperti rekomendasi sebelumnya, program percobaan bantuan pengangguran harus dipantau dengan teliti, serta dievaluasi efisiensi dan efektivitasnya. Selain itu, pembelajaran dari negara dengan lembaga dan tingkat pembangunan yang serupa dapat membantu untuk merancang sistem yang paling cocok bagi konteks Indonesia. Pengalaman negara lain, seperti Barbados, memberikan contoh bagaimana dana bersama mengumpulkan pembayaran dari karyawan dan menyalurkan pembayaran pesangon kepada pekerja. Proses reformasi dapat dimulai dengan melakukan analisis yang diperlukan guna mengidentifikasi opsi apa yang paling cocok bagi Indonesia. Studi simulasi diperlukan untuk mengkaji dampak yang diperkirakan akan terjadi akibat sistem alternatif dan implikasi serta kebutuhan kelembagaan yang terkait dengan masing-masing opsi reformasi. Berdasarkan model yang paling cocok, diperlukan peta langkah reformasi sebagai pondasi bagi sistem di masa depan yang selayaknya dikaitkan dengan masa depan sistem Jaminan Sosial Nasional yang diwajibkan oleh Undang-Undang No. 40/2004. Pada saat bersamaan, mendorong penggunaan kontrak resmi untuk memastikan bahwa karyawan menyadari hak-haknya dan dapat menerima pesangon serta tunjangan pengangguran. Karyawan tanpa kontrak adalah pekerja sektor formal yang paling rentan dan mereka kebanyakan bekerja di perusahaan dengan jumlah karyawan kurang dari 20 orang. Memformalkan kesepakatan kerja mereka akan menghasilkan perbaikan langsung jika disertai dengan peningkatan pengetahuan mengenai hak karyawan di bawah Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) lokal dan pemangku kepentingan yang relevan dapat bekerja sama untuk menyediakan sejumlah perangkat bagi UKM, seperti misalnya contoh kontrak bagi staf, demi mendorong penggunaan kontrak. Pada saat bersamaan, Disnaker dan pemangku kepentingan lainnya dapat mempertimbangkan untuk meluncurkan kampanye media bersama, yang terutama ditargetkan bagi karyawan UKM, mengenai kontrak, manfaat kontrak, dan bagaimana cara meminta bantuan untuk memformalkan kesepakatan kerja jika tidak ada serikat pekerja tingkat pabrik.
91
Nugroho, 2008.
99
Pengumpulan data dan riset lebih jauh diperlukan untuk mengkaji dampak pesangon, program bantuan pengangguran di masa depan, dan penggunaan kontrak sementara. Data yang tersedia mengenai pesangon dan penggunaan kontrak sementara di Indonesia, masih terbatas. IFLS mengumpulkan data mengenai pesangon untuk pertama kali tahun 2007, sedangkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengumpulkan data pesangon untuk pertama kali tahun 2008. Karena data tidak dikumpulkan secara sistematis setelah 2007, analisis terhadap tren atau dampak pesangon tidak mungkin dilakukan. Demikian pula data survei mengenai status kontrak dikumpulkan untuk pertama kali di Indonesia melalui IFLS. Meskipun pemberi kerja diwajibkan untuk melaporkan jumlah staf dan jenis kontrak ke Disnaker melalui laporan perencanaan tenaga kerja rutin, pertanyaan mengenai status kontrak belum dimasukkan ke dalam Sakernas. Pertanyaan mengenai pesangon dan status kontrak semestinya dimasukkan ke dalam survei pasar tenaga kerja rutin supaya peneliti dapat memiliki data yang diperlukan untuk melakukan riset empiris lebih jauh mengenai persoalan tersebut. Dengan analisis tersebut, pembuat kebijakan akan berada dalam posisi yang lebih kuat untuk memahami untung-rugi dalam perdebatan reformasi ketenagakerjaan dan mengidentifikasi kebijakan yang dapat memaksimalkan penciptaan lapangan kerja tanpa mengorbankan perlindungan karyawan. Mengurangi kekakuan peraturan saat ini dapat mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor formal, tetapi strategi pelengkap masih diperlukan. Bahkan jika dilakukan reformasi peraturan ketenagakerjaan besar-besaran, masih tetap banyak pekerja yang dipekerjakan tanpa kontrak resmi atau berada di sektor informal untuk beberapa waktu ke depan. Karena alasan inilah, meski reformasi peraturan perlu dilakukan, reformasi saja belumlah cukup untuk memperbaiki prospek kebanyakan pekerja di Indonesia. Sebab itu, diperlukan strategi tambahan untuk memberdayakan dan melindungi para pekerja Indonesia yang rentan dan tersisih. Tiga bab berikutnya mengkaji pasokan pekerja di Indonesia dan cara meningkatkan keahlian mereka agar mereka dapat mengakses pekerjaan yang lebih baik dan meningkatkan jaminan penghasilan mereka.
100
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5
Upah Minimum Laporan Ketenagakerjaan Indonesia
Bab 5 Ringkasan & Rekomendasi Secara internasional, ada tiga pendekatan utama terhadap kebijakan upah minimum. Yang pertama adalah memanfaatkan upah minimum sebagai jaring pengaman untuk melindungi pekerja yang rentan. Pendekatan yang kedua adalah mengaitkan batas upah terendah dengan tunjangan perlindungan sosial lainnya. Pendekatan yang ketiga adalah memanfaatkan upah minimum sebagai mekanisme penentu upah untuk meningkatkan kesejahteraan semua pekerja yang hanya memiliki sedikit saluran untuk bernegosiasi. Upah minimum yang relatif tinggi mengisyaratkan bahwa Indonesia cenderung mengikuti pendekatan ketiga. Tren upah minimum terbagi dalam empat periode, masing-masing dipengaruhi oleh lembaga yang dominan dan konteks politik pada periode tersebut. Upah minimum riil yang relatif rendah mulai meningkat selama Orde Baru karena pertumbuhan ekonomi dan desakan politik, tetapi anjlok kembali ketika terjadi krisis keuangan. Demokratisasi dan menjamurnya serikat pekerja membuat upah minimum tumbuh lagi dengan pesat dari tahun 1999 sampai 2003. Setelah reformasi ketenagakerjaan tahun 2003, pertumbuhan upah minimum riil mulai melambat dan kini malah menurun. Upah karyawan akan meningkat jika upah minimum dinaikkan, tetapi secara bersamaan, ketidakpatuhan terhadap aturan upah minimum pun akan ikut naik sehingga mengurangi manfaat yang diharapkan. Meskipun kenaikan upah minimum tampaknya tidak mempengaruhi tingkat lapangan kerja secara keseluruhan, namun kenaikan tersebut mempengaruhi keputusan pemberi kerja sektor formal untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja. Kenaikan upah minimum mengakibatkan realokasi pekerja, terutama pekerja perempuan, dari sektor industri ke pertanian yang terjadi secara perlahan-lahan, namun dalam jumlah besar. Kenaikan upah minimum juga mengakibatkan semakin banyak pekerja di semua tingkatan yang beralih menjadi pekerja sektor informal. Kaum miskin cenderung menjadi pekerja informal atau bekerja pada pemberi kerja yang tidak mengikuti aturan upah minimum sehingga mereka sering kali tidak merasakan manfaat kenaikan upah minimum. Kenaikan upah minimum sering dikaitkan dengan kenaikan upah yang besar, baik bagi pekerja dengan upah rendah maupun tinggi, sehingga terkesan bahwa di Indonesia, upah minimum digunakan sebagai mekanisme penentu upah, bukan sebagai jaring pengaman sosial. Upah minimum semestinya murni dijalankan sebagai jaring pengaman bagi mereka yang berupah rendah. Perusahaan dan serikat pekerja lebih baik mengandalkan negosiasi di tingkat pabrik untuk menetapkan upah bagi pekerja, daripada bergantung pada kenaikan upah minimum sebagai mekanisme penentu upah. Berbagai dewan pengupahan sebaiknya tetap berhati-hati dalam menaikkan upah minimum untuk menghindari sejumlah masalah yang terkait dengan kebijakan penetapan upah minimum yang tinggi. Penegakan aturan upah minimum yang telah berlaku harus diperkuat lagi untuk meningkatkan jaminan penghasilan bagi mereka yang berupah rendah.
I.
Pendahuluan
Upah minimum adalah permasalahan yang pelik karena mengharuskan pembuat kebijakan untuk mencari keseimbangan antara keadilan dan efisiensi. Perdebatan mengenai kebijakan upah minimum tidak berbeda jauh dengan perdebatan mengenai peraturan perekrutan dan pemberhentian.92 Serikat pekerja berpendapat bahwa pembuat kebijakan semestinya memanfaatkan upah minimum sebagai sarana untuk meningkatkan upah dan memperbaiki kesejahteraan pekerja di sektor formal. Sementara itu, prioritas utama perusahaan adalah menghasilkan laba yang kemungkinan akan turun jika biaya tenaga kerja meningkat. Dalam hal ini, pembuat kebijakan perlu memperhatikan bagaimana upah minimum mempengaruhi keadilan dan efisiensi bagi semua orang. Efisiensi akan menjadi permasalahan penting jika kenaikan upah minimum mendorong upah pekerja jauh di atas harga pasar sehingga perusahaan bereaksi
92
102
Lihat Bab 4 untuk diskusi mengenai peraturan mempekerjakan dan memecat.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5 Upah Minimum
dengan mempekerjakan lebih sedikit pekerja. Hal ini tak hanya mengurangi keuntungan perusahaan, tetapi juga merugikan pekerja tanpa keahlian dan pekerja informal karena menambah lagi hambatan bagi mereka untuk memasuki sektor formal. Pemerintah menghadapi tantangan dalam mencapai keseimbangan antara kepentingan pekerja sektor informal dan karyawan yang menerima gaji, dan sasaran untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Efek upah minimum yang lebih tinggi terhadap keadilan dan efisiensi di Indonesia belum sepenuhnya dipahami. Pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana kenaikan upah minimum mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan dan jenis rumah tangga yang diuntungkan oleh kenaikan upah minimum, dapat membantu pembuat keputusan dalam mencari keseimbangan antara keadilan dan efisiensi. Cukup banyak penelitian telah dilakukan mengenai efek upah minimum di Indonesia. Tetapi, berbagai penelitian tersebut menggunakan sumber daya dan pendekatan metodologi yang berbeda-beda. Akibatnya, penelitian yang telah dilakukan tersebut tidak memberikan jawaban yang jelas untuk sejumlah pertanyaan mendasar seperti efek kenaikan upah minimum terhadap lapangan kerja dan jenis lapangan kerja. Bab 5 meninjau perubahan tingkat upah minimum dan mengkaji efek perubahan tersebut terhadap kondisi ketenagakerjaan. Siapakah yang diuntungkan dan yang dirugikan karena kenaikan upah minimum? Perdebatan yang mengikuti pertanyaan ini sering kali berfokus pada kepentingan pemberi kerja maupun serikat pekerja. Bab ini memberikan perhatian khusus untuk kepentingan pekerja miskin dan informal yang cenderung terlupakan dalam debat mengenai kebijakan upah minimum, namun tetap merasakan pengaruh perubahan kebijakan. Bab ini dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama menyoroti dasar pemikiran kebijakan upah minimum dari sudut pandang teoritis maupun internasional. Yang kedua mengkaji tren upah minimum dalam konteks kebijakan Indonesia. Yang ketiga menilai efek kebijakan upah minimum terhadap upah dan lapangan kerja. Bagian keempat yang merupakan penutup memberikan rekomendasi mengenai kebijakan upah minimum dan proses penetapan upah.
II. Pendekatan internasional terhadap upah minimum Sejumlah negara berkembang memanfaatkan kebijakan upah minimum untuk menetapkan batas upah terendah demi melindungi pekerja yang rentan. Dengan pendekatan ini, upah minimum yang sangat rendah berfungsi sebagai jaring pengaman sosial. Tujuannya adalah untuk melindungi kelompok yang paling rentan, misalnya pekerja tanpa keahlian, pensiunan lanjut usia, atau difabel, dan menjamin penghasilan mereka pada tingkat paling dasar. Sebuah pendekatan alternatif yang mengaitkan batas upah terendah dengan tunjangan perlindungan sosial dapat berpengaruh buruk terhadap kondisi fiskal. Sejumlah negara mengaitkan upah minimum dengan berbagai tunjangan seperti tunjangan keluarga, tunjangan pengangguran, tunjangan lanjut usia, dan tunjangan kesehatan, yang dibayarkan sebagai persentase dari upah minimum rendah yang lazim.93 Banyak negara Amerika Latin yang menerapkan praktik ini pada tahun 80-an dan 90an. Berdasarkan model ini, sejumlah negara mengaitkan upah dan tunjangan sektor publik dengan upah minimum sehingga menimbulkan tekanan fiskal terhadap anggaran negara ketika inflasi sedang tinggi. Akibat keterbatasan fiskal, tingkat upah minimum terpaksa ditetapkan sangat rendah. Misalnya saja, upah
93
Saget, 2008.
103
minimum di Uruguay ditetapkan pada tingkat yang relatif rendah, yaitu 21 persen dari upah rata-rata tahun 2003. Berbagai reformasi telah dilakukan dengan fokus untuk memutus kaitan tersebut dan menetapkan kembali upah minimum murni sebagai jaring pengaman untuk melindungi pekerja yang paling rentan. Konsekuensinya, pendanaan bagi tunjangan perlindungan sosial lainnya dilakukan melalui sistem jaminan sosial yang terpisah dengan perhitungan dasar yang berbeda.94 Pendekatan lain lagi adalah memanfaatkan upah minimum sebagai mekanisme utama dalam penetapan upah antara serikat pekerja dan perusahaan. Di berbagai negara dengan sistem perundingan bersama (collective bargaining) yang lemah, pembuat kebijakan dan serikat pekerja memandang kebijakan upah minimum sebagai salah satu dari sedikit jalur yang tersedia untuk memperbaiki kesejahteraan semua pekerja. Upah minimum yang relatif tinggi (jika dibandingkan dengan upah rata-rata) dinegosiasikan supaya mencakup sebanyak mungkin pekerja sektor formal, bukan hanya mereka yang berupah rendah. Kenaikan upah diterapkan merata bagi semua pekerja tanpa menghiraukan tingkat upah mereka. Sebagai contoh, Filipina menetapkan upah minimum yang nilainya cukup dekat dengan upah rata-rata.95 Tetapi, upah minimum yang tinggi berisiko meningkatkan ketidakpatuhan terhadap aturan tersebut karena pemberi kerja semakin enggan membayar sesuai ketetapan upah minimum. Lagipula, kebijakan tersebut dapat menimbulkan inefisiensi dengan menghambat pekerja informal yang ingin masuk ke sektor formal karena perusahaan tidak mampu atau tidak bersedia membayar upah minimum lebih tinggi sesuai aturan, padahal para pekerja tersebut bersedia menerima upah lebih rendah. Tabel 5.1
Upah minimum dan PDB per kapita dalam dolar Amerika yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli (2002/2004)96
Negara Indonesia
Upah minimum bulanan PDB per kapita per bulan
Rasio
184,42
280,37
0,66
103,40
808,00
0,13
Negara tetangga Malaysia Thailand
259,95
631,69
0,41
Cina
227,50
416,27
0,55
Vietnam
153,14
207,49
0,74
Filipina
322,45
360,09
0,90
55,07
221,52
0,25
Sri Lanka
89,84
314,71
0,29
Ekuador
173,36
306,96
0,56
Bolivia
136,43
212,21
0,64
Mesir
227,94
329,15
0,69
India
177,06
242,41
0,73
Maroko
392,82
334,32
1,17
Lesotho
386,88
220,45
1,75
Negara dengan tingkat PDB per kapita serupa Honduras
Sumber:Saget, 2008.
94 95 96
104
Ibid. Ibid. Catatan:Upah minimum dalam dolar Amerika yang telah disesuaikan dengan PPP. PDB per kapita dalam dolar Amerika yang telah disesuaikan dengan PPP, diambil dari Indikator Bank Dunia tahun 2003.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5 Upah Minimum
Upah minimum yang relatif tinggi mengisyaratkan bahwa upah minimum di Indonesia lebih dimanfaatkan sebagai mekanisme penentu upah daripada untuk melindungi mereka yang paling rentan. Salah satu cara membandingkan tingkat upah minimum dari berbagai negara adalah dengan menghitung rasio upah minimum terhadap PDB per kapita. Dengan menggunakan metode ini untuk membuat peringkat negara berupah minimum rendah dan tinggi, ditemukan bahwa Indonesia termasuk negara dengan rasio upah minimum terhadap PDB per kapita yang relatif tinggi di Asia (Tabel 5.1), sebuah isyarat bahwa upah minimum dimanfaatkan sebagai mekanisme penentu upah bagi semua karyawan.97 Namun demikian, rasio ini tidak sampai berlebihan jika dibandingkan dengan negara lain yang mempunyai tingkat PDB per kapita serupa.
III. Tren upah minimum dan perubahan kebijakan Meskipun para pembuat kebijakan pada periode sebelum krisis ekonomi 1997-1998 telah memperlihatkan kehati-hatian dalam memanfaatkan upah minimum sebagai alat kebijakan penting, upah minimum mengalami peningkatan seiring pertumbuhan ekonomi. Sebelum tahun 90-an, kebijakan upah minimum jarang dilaksanakan walaupun aturannya telah dibuat. Akibatnya, upah sangatlah rendah dan berada di bawah titik keseimbangan pasar.98 Pemerintah tidak campur tangan dalam kebijakan upah; tekanan oleh serikat pekerja pun tidak banyak karena hanya ada satu serikat pekerja yang diizinkan untuk beroperasi secara legal. Pada awal 90-an, pemerintah mulai menanggapi desakan dari dalam negeri dan internasional yang meminta diperbolehkannya partisipasi gerakan buruh yang lebih besar dan kenaikan upah minimum demi meningkatkan standar hidup para pekerja. Dari tahun 1990-1996, bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi, upah minimum riil meningkat rata-rata 20 persen per tahun (Gambar 5.1). Upah rata-rata pun meningkat meskipun lajunya tidak secepat upah minimum. Gambar 5.1
Rata-rata upah minimum bulanan dan rata-rata upah penerima gaji (2007 Rp)
98
2006
2007
2004
2005
2003
2002
2000
2001
1998
1999
1997
1995
1996
1994
1991
97
1993
Rata-rata upah karyawan (2007 Rp)
Rata-rata upah minimum (2007 Rp)
Selama tahun-tahun krisis pada 1997-99, kejatuhan ekonomi dan lonjakan inflasi 7,000 3,500 menyebabkan anjloknya upah 6,000 3,000 minimum. Krisis keuangan Asia 5,000 2,500 berdampak besar terhadap 4,000 2,000 Indonesia karena menimbulkan kejatuhan ekonomi dan lonjakan 3,000 1,500 inflasi. Lonjakan ini didorong oleh 2,000 1000 ambruknya nilai Rupiah dan 1,000 5,00 suntikan modal demi 0 0 menyelamatkan sejumlah bank. Lonjakan inflasi kemudian menyebabkan anjloknya upah Rata-rata upah Rata-rata upah minimum minimum riil dan upah riil; keduanya turun sampai sekitar 30 Sumber:Perkiraan Bank Dunia berdasarkan Sakernas. persen. Anjloknya upah riil bersamaan dengan realokasi pekerja ke pertanian memungkinkan angka lapangan kerja total bertahan relatif stabil.
PDB per kapita dibandingkan berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP. Analisis tersebut juga menggunakan PDB per pekerja dan upah rata-rata untuk dibandingkan dengan upah minimum. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan ketiga indikator tersebut, lihat Saget (2008): hal 28. Rama, 1996.
105
Upah minimum kembali meningkat dan tumbuh dengan cepat selama tahun 1999-2003 bersamaan dengan pulihnya demokrasi dan menjamurnya serikat pekerja. Dari tahun 1999 sampai 2003, upah minimum riil tumbuh rata-rata 9,6 persen per tahun. Hal ini mencerminkan reformasi demokrasi dan diakuinya hak kebebasan berserikat sehingga serikat buruh berkembang pesat, dan selanjutnya meningkatkan tekanan politik untuk menaikkan tingkat upah minimum.99 Seiring naiknya daya tawar serikat pekerja, naik pula upah minimum riil. Tuntutan upah juga mencerminkan upaya para pekerja untuk memperoleh kembali tingkat upah mereka sebelum krisis, yang tercapai pada tahun 2002. Upah minimum masih terus meningkat dengan laju yang sedikit lebih tinggi daripada upah rata-rata, sampai tahun 2005. Kenaikan upah minimum mulai melambat setelah pengesahan Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003) dan sejak tahun 2005, upah minimum tumbuh lebih lambat daripada upah ratarata. Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia mengubah proses penetapan upah minimum melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan (lihat Kotak 5.1). Menyusul langkah ini, pertumbuhan upah minimum riil melambat sampai rata-rata 1,9 persen per tahun selama 2004-2007. Perlambatan ini kemungkinan tidak sepenuhnya terkait dengan pengesahan undang-undang baru. Dewan pengupahan, yang telah dibentuk sejak 2001, kemungkinan berperan lebih besar dalam membatasi pertumbuhan upah minimum riil dengan menegosiasikan kenaikan upah minimum yang kecil berdasarkan survei harga, bukan perundingan. Selain itu, pihak yang terlibat dalam diskusi tripartit tampaknya telah belajar dari pengalaman sehingga para pihak dapat merundingkan upah minimum secara lebih konstruktif dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi yang lebih luas. Perdebatan saat ini berfokus pada aspek kelembagaan dan teknis kerangka kerja penetapan upah minimum. Pada tingkat teknis, pengukuran standar hidup yang layak telah menjadi pusat perhatian dalam diskusi antara serikat pekerja dan asosiasi bisnis. Serikat pekerja menginginkan supaya tingkat upah minimum setidaknya dapat memenuhi kriteria Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan pertumbuhannya sebanding dengan inflasi. Sementara itu, pemberi kerja berpendapat bahwa pembuat kebijakan menjalankan upah minimum bukan sebagai batas upah terendah atau jaring pengaman sosial, tetapi lebih sebagai proses penetapan upah yang menetapkan upah awal relatif tinggi pada perusahaan besar sehingga tidak mewakili biaya bagi semua pekerja. Pemberi kerja beralasan bahwa pengukuran dan survei KHL yang mendasari negosiasi upah sesungguhnya menghasilkan perkiraan harga makanan dan non-makanan yang terlalu tinggi.100 Intervensi lewat kebijakan yang dilakukan baru-baru ini bertujuan memberi kelonggaran bagi pemerintah lokal untuk membatasi upah minimum demi menghadapi turunnya permintaan yang diperkirakan akan terjadi akibat krisis ekonomi global. Pada bulan Oktober 2008, Kementerian Dalam Negeri, Perdagangan, Perindustrian, dan Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang mengimbau pemerintah lokal dan propinsi untuk membatasi kenaikan upah minimum agar tidak memberatkan kemampuan keuangan perusahaan dan menjaga agar kenaikannya sebanding dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, SKB tersebut juga mengimbau forum tripartit dan dewan pengupahan tingkat nasional dan daerah untuk menetapkan kenaikan upah minimum dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi keseluruhan yang sedang mengalami kesulitan. Terjadi sejumlah demonstrasi pekerja yang memprotes SKB tersebut dan menuntut agar kenaikan upah minimum mengikuti pedoman KHL dan setidaknya sebanding dengan tingkat inflasi.101
99 100
101
106
Lihat Bab 6 untuk diskusi lebih jauh mengenai pertambahan jumlah serikat pekerja selama proses demokratisasi di Indonesia. Sebagai contoh, pada tahun 2005, Bappenas mengadakan survei terhadap perusahaan, asosiasi pemberi kerja, serikat pekerja, dan pekerja di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Bappenas mendapati bahwa sekitar 70 persen perusahaan meyakini bahwa upah minimum sebesar Rp 500.000 – 700.000 yang saat itu berlaku di ketiga propinsi tersebut sudah cukup. Tetapi, para pekerja dalam jumlah persentase yang sama menjawab bahwa nilai upah tersebut tidak mencukupi. Demikian pula sejumlah besar perusahaan berpandangan bahwa KHL bukanlah ukuran yang cocok untuk menetapkan upah minimum, sementara kebanyakan serikat pekerja dan pekerja justru meyakini hal yang sebaliknya (Bappenas, 2006). Lihat Keputusan Bersama Empat Menteri mengenai Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global yang dikeluarkan tanggal 27 Oktober 2008
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5 Upah Minimum
Kotak 5.1
Perkembangan hukum utama mengenai kebijakan upah minimum
Sebelum tahun 1998, dewan pengupahan propinsi memberi rekomendasi upah minimum kepada gubernur. Gubernur kemudian memberi rekomendasi upah minimum propinsi kepada Menteri Tenaga Kerja yang selanjutnya mengambil keputusan akhir mengenai penetapan upah minimum setiap propinsi. Sebelum tahun 1995, dasar untuk berbagai rekomendasi tersebut adalah Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), sebuah daftar barang konsumsi, baik makanan maupun non-makanan, yang ditentukan oleh Kementerian Tenaga Kerja (Keputusan Menaker No. 81/1995) dan dipandang penting bagi penghidupan seorang pekerja. Sebuah peraturan dari Kementerian Tenaga Kerja (No. 1/1999) memperluas daftar ini dan mengganti namanya menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Pada tahun 2000, penetapan upah minimum didesentralisasikan ke tingkat propinsi. Menteri Tenaga Kerja menerbitkan keputusan (No. 226/2000) yang memberi wewenang kepada gubernur, walikota, dan bupati untuk menetapkan tingkat upah minimum. Penetapan tersebut akan didasarkan pada rekomendasi dari forum tripartit lokal dan propinsi, serta dewan pengupahan. Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003) adalah undang-undang pertama yang membentuk kerangka kerja komprehensif bagi penetapan upah minimum. Undang-undang ini memasukkan sebagian besar substansi dan arah kebijakan dari keputusan dan peraturan sebelumnya, sekaligus menambahkan prinsip pemandu secara umum. Elemen utama proses penetapan upah minimum adalah: Propinsi dan kabupaten menetapkan upah minimum secara tahunan. Gubernur menetapkan upah minimum setelah mempertimbangkan rekomendasi dari dewan pengupahan propinsi dan kabupaten (Peraturan No. 107/2004), serta bupati dan walikota. Upah minimum juga dapat ditetapkan berdasarkan sektor. Dewan pengupahan mendasarkan rekomendasi mereka mengenai tingkat upah minimum pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). KHL, yang diwajibkan oleh keputusan menteri (No. 17/2005), biasanya ditentukan melalui survei yang dilakukan di pasar tradisional oleh dewan pengupahan tripartit terhadap harga 49 barang dalam daftar KHL. Dalam dewan pengupahan juga termasuk perwakilan dari kantor lokal Biro Pusat Statistik (BPS). Upah minimum berfungsi sebagai batas upah terendah sehingga upah minimum kabupaten atau kota tidak boleh lebih rendah dari tingkat yang telah ditentukan di propinsi. Tetapi berlawanan dengan prinsip tersebut, keputusan menteri selanjutnya (No. 231/103 pasal 90) secara tersirat mengakui bahwa upah minimum bukanlah batas upah terendah karena keputusan tersebut memungkinkan perusahaan yang tidak mampu segera menerapkan upah minimum untuk menunda pembayaran penuh selama jangka waktu tertentu dan/ atau menyesuaikan upah dengan standar KHL dengan mengikuti prosedur tertentu.
Tetapi, perdebatan kebijakan ini tidak memberi kejelasan mengenai siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan upah minimum. Meskipun perdebatan yang terjadi belakangan ini berfokus pada aspek teknis proses penetapan upah minimum, masih ada sejumlah perbedaan mendasar dalam pendekatan terhadap upah minimum. Permasalahan utama berkisar pada siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan ketika upah minimum meningkat. Sementara serikat pekerja dan asosiasi bisnis dapat mewakili kepentingan mereka sendiri, para pekerja miskin dan informal tak mampu bersuara banyak secara politis dan tidak terwakili dalam perdebatan saat ini. Bagian selanjutnya memeriksa bukti empiris mengenai efek upah minimum terhadap pekerja dengan penekanan khusus pada pekerja miskin dan informal.
IV. Efek upah minimum terhadap pasar tenaga kerja Efek upah minimum terhadap upah Upah karyawan akan meningkat jika upah minimum dinaikkan. Upah minimum memiliki hubungan yang positif, namun terbatas, dengan upah karyawan. Analisis regresi berdasarkan variasi perubahan upah minimum propinsi memperlihatkan bahwa kenaikan upah minimum sebesar 10 persen berkaitan dengan
107
kenaikan upah rata-rata sebesar 3 persen pada tahun yang sama.102 Efeknya masih tetap positif sampai setidaknya dua tahun setelah kenaikan, namun arah hubungan sebab akibatnya tidak jelas. Upah karyawan mungkin saja terdongkrak oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi dan keadaan ini kemudian memicu kenaikan upah minimum. Karyawan tidak memperoleh manfaat penuh dari kenaikan upah minimum akibat tren ketidakpatuhan yang semakin meningkat. Ketidakpatuhan (didefinisikan sebagai persentase pekerja yang melaporkan penghasilan lebih rendah daripada upah minimum yang berlaku) kini semakin meningkat di Indonesia. Pada tahun 1991, tingkat ketidakpatuhan adalah 22 persen, tetapi pada tahun 2007, angkanya mencapai 40 persen. Tampaknya tren ketidakpatuhan ini mengikuti pola upah minimum, tetapi ada sedikit jeda (Gambar 5.2). Analisis regresi berdasarkan data yang mencakup periode dari tahun 1991 sampai 1997 memperlihatkan bahwa kenaikan 10 persen berkaitan dengan naiknya tingkat ketidakpatuhan sebesar 2,6 persen pada tahun berikutnya. Gambar 5.2
Upah minimum dan ketidakpatuhan 4,000
50 40
Efek upah minimum terhadap lapangan kerja
3,000
Penelitian sebelumnya mengenai efek upah minimum 20 terhadap lapangan kerja tidak menghasilkan kesimpulan yang 1,000 10 pasti, tetapi mengisyaratkan adanya efek negatif terhadap 0 0 lapangan kerja formal. Dua penelitian mengkaji efek kenaikan upah minimum terhadap Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan) Tingkat ketidakpatuhan (%, sumbu kiri) lapangan kerja di perusahaan Sumber:Perhitungan Bank Dunia berdasarkan Sakernas menengah dan besar pada tahun 90-an.103 Masing-masing menemukan bahwa kenaikan upah minimum sebesar 10 persen mengurangi lapangan kerja sampai 1,5 persen, meskipun perkiraannya tidak selalu benar. Studi berbasis perusahaan itu juga menemukan bahwa efek tersebut lebih kuat pada perusahaan yang lebih kecil dan pekerja produksi tanpa keahlian. Beberapa penelitian yang lain menggunakan data rumah tangga untuk mengkaji hubungan antara kondisi ketenagakerjaan dan upah minimum di tingkat propinsi. Penelitian awal memperlihatkan adanya efek negatif, meskipun kecil, terhadap lapangan kerja perkotaan dengan elastisitas antara 0 sampai -0,07.104 Studi yang lain lagi menemukan efek yang lebih besar, terutama terhadap pekerja yang muda, tanpa keahlian, dan perempuan, baik pada masa sebelum maupun sesudah krisis.105 Penelitian baru-baru ini mendapati bahwa 30
103 104 105
108
2007
2005
2006
2003
200 4
2001
200 2
2000
1998
1999
1996
199 7
1994
199 5
19 93
1990
102
1991
2,000
Lihat Lampiran V.1. Dalam regresi tersebut, dilakukan kontrol terhadap karakteristik kabupaten yang tertinggal dan karakteristik pekerja yang telah ditentukan (predetermined worker characteristic) Karakteristik kabupaten tertinggal termasuk: Karakteristik kapupaten tertinggal termasuk upah minimum propinsi, pangsa penduduk pada dua kuintil terbawah untuk perkiraan konsumsi, dan rata-rata kabupaten untuk indikator pasar tenaga kerja berikut: Upah karyawan, persentase lapangan kerja di bidang pertanian dan industri, persentase lapangan kerja menurut jenis pekerjaan, dan tingkat pekerjaan serta pengangguran. Karakteristik pekerja pratertentu termasuk: Jenis kelamin; umur dan kuadratnya, tingkat pencapaian pendidikan, keikutsertaan pada pendidikan kejuruan, lokasi (kota/desa), dan tahun. Alatas dan Cameron, 2003, serta Harrison dan Scorse, 2004. Rama, 1996 Suryahadi et al, 2003.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5 Upah Minimum
upah minimum mempunyai efek yang lebih kecil terhadap lapangan kerja.106 Cukup banyak dari antara penelitian tersebut juga mempertimbangkan efek upah minimum terhadap lapangan kerja formal, dan hasilnya lagi-lagi kurang pasti. Satu studi tidak berhasil menemukan dampak negatif yang berarti dari upah minimum terhadap lapangan kerja formal.107 Tetapi, tiga studi lain yang dilakukan kemudian mendapati bahwa kenaikan upah minimum berkaitan dengan naiknya tingkat informalitas.108 Lampiran V.4 meninjau sumber data dan kesimpulan dari sebagian besar studi tersebut. Laporan ini menyampaikan perkiraan baru mengenai efek upah minimum yang mungkin dapat memperbaiki studi sebelumnya. Perkiraan apa pun mengenai efek upah minimum terhadap kondisi ketenagakerjaan harus mengatasi dahulu sebuah masalah mendasar, yaitu bagaimana memisahkan antara efek kenaikan upah minimum dan efek kondisi ekonomi lokal yang dapat menimbulkan kenaikan upah minimum. Kerumitan ini terjadi karena sulitnya mengidentifikasi berbagai faktor yang digunakan dewan pengupahan propinsi dan para pemimpin kabupaten ketika menegosiasikan upah minimum. Sebagai contoh, propinsi akan lebih mungkin menaikkan upah minimum ketika terjadi pertumbuhan ekonomi. Tetapi, pertumbuhan ekonomi yang pesat dapat menutupi efek negatif upah minimum terhadap lapangan kerja. Karena permasalahan ini, dan juga karena kesimpulan yang tidak pasti dari studi sebelumnya, kami menghitung kembali perkiraan efek kenaikan upah minimum terhadap pasar tenaga kerja. Meskipun metodologi yang dipakai dalam Laporan Lapangan Kerja gagal memisahkan efek kenaikan upah minimum dengan efek kondisi ekonomi lokal, metodologi ini menggunakan dua inovasi yang mungkin dapat mengurangi masalah tersebut. Yang pertama, efek kenaikan upah minimum propinsi dikaji pada tingkat individu, bukan tingkat propinsi, sambil melakukan kontrol terhadap karakteristik individu seperti pendidikan dan usia. Yang kedua, perkiraan tersebut mengkaji efek kenaikan upah minimum terhadap kondisi ketenagakerjaan pada tahun berikutnya. Hal ini akan merekam efek kenaikan upah minimum dengan lebih baik jika perusahaan melakukan penyesuaian praktik mempekerjakan karyawan dalam jangka waktu beberapa bulan. Gambar 5.3
Upah minimum dan lapangan kerja
70
4,000
3,000 65 2,000 60 1,000
0
Tingkat lapangan kerja (%, sumbu kiri)
2006
2007
2005
2003
2004
2002
2001
1999
2000
1998
1997
1 996
1994
1993
1 991
1992
1 990
55
Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan)
Sumber:Perhitungan Bank Dunia berdasarkan Sakernas
106 107 108
Kenaikan upah minimum tidak menimbulkan efek yang nyata terhadap tingkat pekerjaan dan pengangguran secara keseluruhan. Perbandingan tren upah minimum dengan tingkat pekerjaan agregat sejak tahun 1999 mengisyaratkan bahwa kenaikan upah minimum kemungkinan dapat menurunkan lapangan kerja (Gambar 5.3). Tetapi, hal ini tidak didukung oleh analisis regresi berdasarkan variasi kenaikan upah minimum dari berbagai propinsi. Kenaikan upah minimum pada tahun tertentu tidak menimbulkan efek yang tampak jelas terhadap kondisi lapangan kerja pada tahun
Pratomo, 2008 Islam dan Nazara, 2000. Bird dan Manning, 2002, Comola dan de Mello, 2008, serta Pratomo, 2008
109
berikutnya. Meskipun demikian, perkiraan ini bukanlah hal yang pasti dan tidak menafikan kemungkinan adanya efek yang substansial.109 Dalam beberapa kasus, upah minimum yang lebih tinggi berkaitan dengan penurunan kecil dalam tingkat pengangguran satu atau dua tahun kemudian. Tetapi, efek ini tidak signifikan secara statistik dan diperkirakan relatif kecil karena kenaikan upah minimum riil 10 persen hanya terkait dengan turunnya pengangguran 0,2 persen dua tahun kemudian. Hal ini terjadi untuk semua pekerja, tanpa memandang jenis kelamin, tingkat pendidikan, atau lokasi.110 Kenaikan upah minimum berkaitan dengan pergeseran substansial dari pekerjaan industri menjadi pekerjaan pertanian. Bab 2 laporan ini mengidentifikasi kenaikan pesat tingkat upah sebagai faktor penting yang berpeluang ikut menyebabkan pertumbuhan tanpa pekerjaan (pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai tumbuhnya lapangan kerja sektor formal atau non-pertanian) pada periode 1999-2003 di Indonesia. Perbandingan tren antara upah minimum dan struktur tenaga kerja tidak memperlihatkan adanya hubungan yang jelas antara upah minimum dan lapangan kerja industri (Gambar 5.4). Namun, hal yang berbeda ditemui melalui pengamatan terhadap efek kenaikan upah minimum yang bervariasi menurut propinsi, dalam satu kesatuan model regresi. Perkiraan tersebut mengisyaratkan bahwa kenaikan 10 persen pada upah minimum tahun sebelumnya berkaitan dengan penurunan 1 persen pada lapangan kerja industri dan kenaikan 0,6 persen pada pertanian.111 Berbagai efek tersebut tidak tampak jelas jika dilihat pada tahun yang sama dengan tahun dinaikkannya upah minimum, tetapi akan menjadi jelas saat dilihat pada tahun berikutnya. Kenaikan upah minimum tampaknya memiliki 30 4,000 kemungkinan lebih besar untuk mendesak perempuan ke 3,000 pekerjaan pertanian dan 20 pekerja yang memiliki keahlian untuk keluar dari industri. Jika 2,000 dibandingkan dengan laki-laki, 10 upah minimum memiliki efek 1,000 yang lebih besar terhadap peluang perempuan untuk bekerja di 0 0 sektor industri. Selain itu, perempuan juga memiliki kemungkinan lebih besar untuk pindah ke pekerjaan pertanian Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan) ) Pangsa pekerja sektor industri (%, sumbu kiri) menyusul kenaikan upah Sumber:Perhitungan Bank Dunia berdasarkan Sakernas 2006 minimum. Bagi perempuan, kenaikan 10 persen pada upah minimum tampaknya mengakibatkan penurunan lapangan kerja industri sebesar 1,2 persen pada tahun berikutnya, dan kenaikan lapangan kerja pertanian 1 persen. Sebaliknya bagi laki-laki, kenaikan yang sama mengakibatkan penurunan lapangan kerja industri sebesar 0,9 persen dan kenaikan lapangan kerja pertanian 0,5 persen. Sementara itu, kenaikan 10 persen pada upah minimum meningkatkan kemungkinan pekerja yang memiliki keahlian untuk masuk ke sektor pertanian sampai 1 persen, sementara kemungkinan tersebut hanya meningkat 0,5 persen untuk pekerja tanpa keahlian. Kenyataan bahwa upah minimum menyebabkan
109 110
111
110
2007
2005
2006
2004
2003
2001
2002
1999
2000
1998
1997
1994
1996
1993
1991
Upah minimum dan lapangan kerja industri
1992
1990
Gambar 5.4
Lihat Lampiran V.2. Tidak adalah sub-kelompok pekerja – dikategorikan berdasarkan pendidikan, gender, atau desa/kota – yang mengalami penurunan lapangan kerja atau kenaikan pengangguran setelah upah minimum meningkat. Variabel kontrol sama seperti yang tertulis pada lampiran V.1 dan catatan kaki 9. Lampiran V.2
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5 Upah Minimum
penurunan lapangan kerja industri yang lebih berat bagi pekerja yang memiliki keahlian daripada pekerja tanpa keahlian, mencerminkan peran upah minimum sebagai mekanisme penentu upah di seluruh bagian distribusi upah. Perubahan dalam struktur tenaga kerja akibat kenaikan 4,000 60 upah minimum menyebabkan ekspansi sektor informal. Tren 3,000 50 yang terjadi mengisyaratkan bahwa upah minimum dan tingkat 2,000 40 informalitas memiliki keterkaitan. Seiring meningkatnya upah minimum riil, terutama dari tahun 1,000 30 1999 sampai 2003, pangsa pekerja yang dipekerjakan di sektor formal 0 20 mengalami kontraksi (Gambar 5.5). Hasil regresi mengkonfirmasikan hal ini dan Pangsa lapangan kerja formal (%, sumbu kiri) Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan) memperlihatkan bahwa, secara rata-rata, kenaikan 10 persen pada Sumber:Perhitungan Bank Dunia berdasarkan Sakernas upah minimum mengakibatkan penurunan 1 persen, baik untuk pekerjaan formal maupun industri, pada tahun berikutnya. Efek ini memang telah diduga akan terjadi karena pergeseran keluar dari sektor industri ke pertanian adalah pergeseran yang tipikal dari pekerjaan formal ke informal. Sama seperti efek terhadap lapangan kerja pertanian dan industri, efek tersebut hanya dirasakan pada tahun berikutnya menyusul kenaikan upah minimum. 2007
2006
2005
2003
2004
2002
2001
1999
2000
1998
1997
1994
1996
1993
Upah minimum dan lapangan kerja formal
1992
1990
1991
Gambar 5.5
Kenaikan upah minimum ternyata tidak memiliki efek yang jauh lebih berat terhadap pekerja yang muda, berada di perkotaan, atau miskin. Meskipun para pekerja yang muda, berada di perkotaan, dan miskin terkadang dipandang sebagai yang paling rentan terhadap kenaikan upah minimum, ternyata kelompok ini tidak lebih terpengaruh daripada keseluruhan pekerja terhadap efek dari kenaikan upah minimum pada kedua sektor pekerjaan dan kerja formal. Selain itu, kenaikan upah minimum mengurangi peluang mendapat pekerjaan formal secara sama rata untuk semua jenis pekerja, termasuk perempuan dan pekerja yang memiliki keahlian. Efek kenaikan upah minimum terhadap jenis pekerjaan sangat kuat setelah satu tahun, tetapi jauh lebih lemah setelah dua tahun. Kenaikan 10 persen pada upah minimum berkaitan dengan penurunan 1 persen pada lapangan kerja industri dan formal, serta kenaikan 0,6 persen pada pertanian setahun kemudian. Tabel 5.2 membandingkan berbagai nilai tersebut dengan perubahan yang dialami Indonesia pada masa terburuk krisis keuangan dari tahun 1997 sampai 1998. Efek dari kenaikan 10 persen pada upah minimum terhadap struktur tenaga kerja sangatlah besar, dengan rentang antara 15 sampai 35 persen dari perubahan yang dialami selama krisis. Tetapi, efek upah minimum ini jauh lebih lemah setelah dua tahun. Efek upah minimum terhadap lapangan kerja sektoral hilang sepenuhnya setelah dua tahun, dan efeknya terhadap kerja formal berkurang sampai setengah. Salah satu penjelasan yang mungkin untuk hal ini adalah bahwa kenaikan upah minimum cenderung terjadi pada propinsi yang prospek pertumbuhan jangka menengahnya kuat. Setelah dua tahun, pertumbuhan jangka menengah yang kuat dapat menghapus efek negatif sementara dari kenaikan upah minimum.
111
Tabel 5.2
Perbandingan efek upah minimum terhadap lapangan kerja dengan perubahan saat krisis
Perubahan pangsa lapangan kerja (dalam persentase)
Tahun krisis (1997-1998)
Kenaikan upah minimum 10 persen Tahun berikutnya
Dua tahun kemudian
Formal
-3,3
-1,0
-0,5
Pertanian
4,2
0,6
0,0
Industri
-2,8
-1,0
-0,2
Sumber:Sakernas
Efek upah minimum terhadap distribusi Rumah tangga yang lebih miskin hanya memperoleh manfaat yang relatif kecil dari kenaikan upah minimum. Hal ini terjadi karena dua alasan: Yang pertama, kebanyakan pekerja miskin tidak bekerja di bidang yang membayarkan gaji dan upah sehingga mereka tidak memperoleh manfaat dari aturan upah minimum. Dari semua pekerja yang menerima gaji, hanya 22 persen saja yang berada di dua kuintil pengeluaran konsumsi terendah, sedangkan hampir 62 persen yang lain berada di kuintil atas. Kedua, kalau pun pekerja miskin memiliki pekerjaan yang membayarkan gaji, mayoritas bekerja dengan bayaran di bawah upah minimum. Hampir 55 persen dari pekerja penerima upah dan gaji yang berada di kuintil termiskin perkiraan konsumsi per kapita, melaporkan bahwa penghasilan mereka lebih kecil dari upah minimum (Gambar 5.6).112 Karena banyak pekerja miskin mempunyai pekerjaan yang membayar di bawah upah minimum, maka penghasilan tersebut menjadi bagian besar dari penghasilan rumah tangga. Dari keseluruhan penghasilan rumah tangga miskin yang berasal dari gaji, lebih dari setengahnya berasal dari gaji pekerjaan di bawah upah minimum (Gambar 5.7). Hal ini kontras dengan penghasilan dari pekerjaan di atas upah minimum (100-150 persen dari upah minimum) yang hanya menyumbangkan 26 persen terhadap keseluruhan penghasilan rumah tangga miskin pada tahun 2006. Gambar 5.6
Ketidakpatuhan terhadap upah minimum
60 Persentase karyawan penerima gaji
50 40 30 20 10 0 Bawah
Kedua
Ketiga
Keempat
Kuintil Perkiraan Konsumsi Per Kapita
Atas
Upah minimum di Indonesia tampaknya lebih dipakai sebagai mekanisme penentu upah daripada jaring pengaman sosial. Upah minimum bukanlah jaring pengaman yang efektif bagi pekerja miskin dan berupah rendah karena mereka cenderung tidak merasakan manfaat perubahan kebijakan. Tingkat upah minimum cukup dekat dengan upah rata-rata karyawan, sebuah isyarat bahwa kebijakan upah minimum dimanfaatkan sebagai mekanisme penentu
Sumber:Sakernas tahun?
112
112
Penghasilan dari upah bisa jadi dilaporkan lebih rendah dalam survei rumah tangga sehingga mengakibatkan tingkat ketidakpatuhan ditaksir terlalu tinggi. Meski demikian, ketidakpatuhan kemungkinan tetaplah besar.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5 Upah Minimum
upah dengan memberikan sinyal tingkat upah yang diharapkan bagi semua pekerja sektor formal. Dugaan ini diperkuat oleh masalah lain yang berkaitan dengan pemanfaatan upah minimum sebagai mekanisme penentu upah: turunnya tingkat kepatuhan, pertambahan pekerjaan sektor formal yang lebih lambat, dan manfaat upah yang hanya dirasakan secara terbatas oleh pekerja miskin. Kenaikan upah minimum menimbulkan masalah terutama dalam konteks penetapan upah karena kenaikan ini tak hanya meningkatkan upah bagi mereka yang bayarannya paling kecil, tetapi juga bagi semua pekerja dalam spektrum upah sehingga mengakibatkan pemberi kerja untuk mempekerjakan lebih sedikit pekerja.
V. Rekomendasi Memanfaatkan upah minimum murni sebagai jaring pengaman bagi mereka yang berupah rendah, bukan sebagai mekanisme penentu upah. Perundingan bersama seharusnya tetap lebih fokus pada inflasi (indeks harga konsumen, IHK) sebagai rujukan utama bagi negosiasi upah dan mengurangi penggunaan aturan upah minimum sebagai rujukan utama bagi negosiasi gaji. Selain IHK, sistem perundingan bersama yang lebih kuat juga dapat memanfaatkan informasi mengenai upah pekerja yang setara, dan informasi terbuka mengenai keuntungan perusahaan. Hal ini akan memungkinkan kenaikan upah masing-masing pekerja untuk mencerminkan perubahan pada nilai pekerjaan mereka, bukannya menggunakan hasil perkiraan komite teknis untuk kenaikan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Negosiasi dua pihak di tingkat pabrik seharusnya menjadi mekanisme pilihan bagi penetapan upah. Perbaikan koordinasi tawar-menawar antara pemberi kerja dan pekerja seharusnya difokuskan pada mekanisme negosiasi dua pihak, bukannya pada tingkat daerah atau propinsi berdasarkan upah minimum. Untuk dapat melakukan negosiasi upah dua pihak dengan baik, diperlukan hubungan yang kuat dengan perusahaan. Pertemuan dua pihak yang saat ini dilakukan antara asosiasi pemberi kerja dan serikat pekerja untuk menyelesaikan perselisihan dan persoalan tenaga kerja, dapat menjadi langkah pertama ke arah tersebut. Tetap bersikap hati-hati dalam menaikkan upah minimum untuk menghindari sejumlah masalah yang terkait dengan kebijakan penetapan upah minimum yang tinggi. Beberapa masalah ini sudah tampak di Indonesia: tingkat ketidakpatuhan yang tinggi, pertambahan pekerjaan formal yang lambat ketika upah minimum naik, dan pekerja miskin yang tidak beranjak dari ekonomi informal. Sejak 2003, dewan pengupahan propinsi telah memperlihatkan kehatian-hatian dengan menaikkan upah minimum pelanpelan. Kenaikan upah minimum yang melebihi tingkat inflasi IHK sebaiknya tetap dihindari karena berbagai alasan berikut: Pekerja informal memperoleh penghasilan tiga puluh persen lebih kecil daripada pekerja formal, tetapi upah mereka akan naik senilai itu pula begitu mereka pindah ke pekerjaan formal.113 Penjelasan yang paling mungkin atas hal ini adalah bahwa upah minimum telah ditentukan di atas tingkat upah pasaran sehingga merugikan pekerja informal yang tersisih dari sektor formal. Kebanyakan karyawan yang menerima upah sama dengan atau di atas upah minimum bukanlah kaum miskin, baik karena karyawan yang menerima upah cenderung tidak miskin, dan juga karena ketidakpatuhan terhadap aturan upah minimum masih tinggi. Kenaikan upah minimum tampaknya terkait dengan realokasi dari industri ke pertanian yang cukup besar, namun sementara saja, serta dampak yang bertahan lebih lama berupa penurunan tingkat formalitas.
113
Lihat Bab 3.
113
Menanggapi kemerosotan ekonomi melalui penurunan upah seperti yang dilakukan Indonesia tahun 1998, alih-alih melalui pengurangan lapangan kerja, dapat membantu supaya dampaknya ditanggung lebih banyak orang dan dapat mempertahankan efisiensi. Pemulihan Indonesia yang terjadi relatif cepat, paling dari sisi indikator sosial, mengisyaratkan bahwa efek penurunan upah drastis pada tahun 1998 tidak menimbulkan akibat buruk dalam jangka panjang. Pada akhirnya, jika kenaikan upah minimum dibatasi, pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi sehingga menyebabkan kenaikan upah rata-rata dan menjadikan upah minimum lebih sebagai batas upah terendah. Hal ini tak hanya akan memperbaiki kepatuhan secara mekanisme, tetapi juga mendorong timbulnya kepatuhan dari berbagai perusahaan yang kemungkinan tidak akan patuh pada tingkat upah minimum lebih tinggi. Memperkuat penegakan aturan upah minimum yang telah ada melalui perbaikan pemantauan oleh kantor Dinas Tenaga Kerja lokal dan pemangku kepentingan yang relevan. Pekerja berpenghasilan rendah akan lebih diuntungkan oleh penegakan aturan upah minimum yang telah ada dengan lebih tegas, daripada menaikkan lagi upah minimum. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan sistem perundingan bersama dan meningkatkan sumber daya Dinas Tenaga Kerja untuk memantau dan menegakkan kepatuhan.
114
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6
Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa Serikat Buruh dan Pengadilan Hubungan Industri
Bab 6 Ringkasan & Rekomendasi Setelah Indonesia mengalami redemokratisasi dan kebebasan berserikat diakui, jumlah serikat pekerja di tingkat pabrik dan nasional terus bertambah. Serikat Pekerja kini mewakili sepersepuluh dari semua pekerja, angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan standar regional. Anggota serikat pekerja cenderung bekerja di perusahaan besar dan berasal dari rumah tangga yang mampu. Mereka menikmati upah yang nilainya 18 persen lebih tinggi dan berpeluang lebih besar untuk memperoleh tunjangan non-upah daripada pekerja non-anggota. Sebagian besar perusahaan di Indonesia tidak mendokumentasikan syarat dan ketentuan pekerjaan, baik melalui peraturan perusahaan maupun perjanjian bersama, seperti yang diwajibkan oleh Undang-undang Ketenagakerjaan. Sementara itu, perusahaan yang patuh cenderung mengandalkan peraturan perusahaan yang dibuat secara sepihak daripada menegosiasikan perjanjian kerja bersama dengan serikat pekerja. Hal ini kemungkinan besar karena keanggotaan serikat pekerja yang terbatas, lemahnya keahlian negosiasi serikat pekerja tingkat pabrik, dan preferensi perusahaan. Indonesia melakukan reformasi sistem penyelesaian sengketa industri pada tahun 2004. Negosiasi tiga pihak masih diwajibkan jika negosiasi dua pihak gagal menghasilkan kesepakatan, namun negosiasi tiga pihak tetap saja tidak efektif untuk menyelesaikan sengketa. Berbagai sengketa, yang umumnya berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja, sering kali dibawa ke pengadilan hubungan industrial (PHI) yang baru dibentuk. Pengkajian awal atas sejumlah contoh kasus di PHI yang berpusat di Jakarta memperlihatkan bahwa keterlambatan dan penumpukan kasus telah memperlambat proses penyelesaian sengketa dan menciptakan ketidakpastian bagi pemberi kerja maupun karyawan. Masalah ini kemungkinan besar terjadi akibat terbatasnya kapasitas dan sumber daya manusia pada sistem pengadilan. Meskipun tidak ada bukti bahwa pengadilan memiliki bias sistematis, para pekerja mengalami kesulitan dalam membiayai proses litigasi dan memahami kerumitan sistem hukum. Rekomendasi: Memperkuat perundingan bersama dan penyelesaian sengketa dua pihak pada tingkat pabrik untuk menghindari proses penyelesaian yang panjang dan mahal melalui PHI. Sebuah pedoman perilaku atau perangkat perundingan bersama yang baku dapat menjadi titik awal. Meningkatkan kesadaran hukum pekerja serta keahlian hukum dan negosiasi serikat pekerja. Memantau kinerja dan efektivitas serikat pekerja dan PHI melalui pengumpulan dan analisis data yang lebih baik. Menggunakan informasi ini untuk menunjang perbaikan berkelanjutan di pengadilan hubungan industrial.
I.
Pendahuluan
Lembaga ketenagakerjaan memainkan peran kunci untuk memastikan bahwa kesepakatan kerja antara pemberi kerja dan karyawan mengikuti standar aturan yang telah ditetapkan. Lembaga semacam ini termasuk serikat pekerja yang memantau kepatuhan terhadap aturan tenaga kerja, seperti aturan mempekerjakan dan memberhentikan, serta aturan upah minimum. Namun, serikat pekerja juga berperan lebih luas dalam berhubungan dengan pemberi kerja atas nama anggotanya untuk menegosiasikan upah dan tunjangan di atas batas minimum yang ditetapkan peraturan. Jika upah minimum dijadikan jaring pengaman bagi mereka yang berupah paling rendah sesuai rekomendasi pada Bab 5, dan bukannya dijadikan mekanisme penentu upah bagi semua karyawan, maka sangatlah penting untuk memperbaiki efektivitas negosiasi dua pihak antara serikat pekerja tingkat pabrik dan perusahaan. Lembaga penengah diperlukan ketika standar tenaga kerja minimum tidak diikuti dan negosiasi dua pihak gagal menyelesaikan sengketa. Di Indonesia, lembaga utama yang bertanggung jawab
116
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6 Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
menyelesaikan sengketa tenaga kerja adalah Dinas Tenaga Kerja lokal dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Kedua lembaga ini telah mengalami perubahan besar dalam sepuluh tahun terakhir. Dinas tenaga kerja telah didesentralisasikan dan kini tak lagi berada di bawah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sedangkan pengadilan tenaga kerja yang baru didirikan tahun 2004 telah menggantikan proses penyelesaian sengketa yang dulunya dikendalikan Departemen Tenaga Kerja. Bab 6 mengkaji bagaimana hubungan pemberi kerja-karyawan dikelola melalui kedua lembaga penengah tenaga kerja ini: serikat pekerja dan pengadilan tenaga kerja. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian. Yang pertama mengamati cakupan keanggotaan serikat pekerja di Indonesia dan memberi gambaran profil anggota serikat pekerja. Yang kedua mendiskusikan perundingan bersama di Indonesia dan kelebihan yang dinikmati anggota serikat pekerja jika dibandingkan dengan pekerja non-anggota serikat pekerja. Yang ketiga menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa sebelumnya dan saat ini, serta menyampaikan temuan dari kajian awal mengenai pengadilan tenaga kerja di Jakarta. Bagian keempat dan terakhir memberikan rekomendasi untuk memperkuat hubungan pemberi kerjakaryawan melalui perbaikan perundingan bersama dan penyelesaian sengketa.
II. Serikat Pekerja Para pekerja merasakan kebebasan yang lebih besar untuk berserikat sejak redemokratisasi Indonesia. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 98 mengenai Hak Berserikat dan Perundingan Bersama pada tahun 1956, kebebasan berserikat selama tahun 90-an hanya terjadi di atas kertas. Selama masa Orde Baru, pemerintah mengendalikan satu-satunya serikat pekerja yang diizinkan berdiri. Negara beserta aparat militernya mencampuri semua aspek hubungan industrial dan penyelesaian sengketa, tanpa menyisakan ruang untuk perundingan bersama secara terbuka antara perusahaan dan pekerja. Hal ini berubah seiring jatuhnya Orde Baru dan proses demokrasi yang membuka jalan bagi reformasi hubungan industrial. Pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, yang diikuti dengan pengesahan tiga undang-undang utama yang mengatur hubungan industrial: Undang-Undang No. 21/2000 mengenai Serikat Pekerja, UndangUndang Ketenagakerjaan (No. 13/2003), dan Undang-Undang No. 2/2004 mengenai Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial. Undang-Undang Serikat Pekerja mendefinisikan peran serikat pekerja dan menetapkan aturan pembentukannya. Menurut Undang-Undang No. 21/2000, serikat pekerja mewakili pekerja yang menjadi anggotanya dalam tiga peran utama: menyuarakan kepentingan pekerja, menyusun perjanjian bersama, dan menyelesaikan sengketa industrial, termasuk mengatur pemogokan kerja. Terdapat tiga tingkatan serikat pekerja: Serikat pekerja tingkat pabrik dapat dibentuk oleh paling sedikit sepuluh pekerja dalam sebuah perusahaan. Perannya adalah menyampaikan hal yang menjadi sorotan anggotanya kepada pimpinan perusahaan dan mewakili anggotanya dalam negosiasi dua pihak.114 Sebuah federasi serikat pekerja dapat dibentuk oleh paling sedikit lima serikat pekerja. Federasi biasanya dibentuk berdasarkan sektor atau jenis pekerjaan (misalnya Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia atau Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara), tetapi kadang-kadang dapat pula berdasarkan
114
Simanjuntak, 2004.
117
ideologi atau minat politik (misalnya Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia). Federasi tersebut dapat memberikan bantuan hukum atau bantuan jenis lain kepada anggota serikat pekerja tingkat pabrik. Sebuah konfederasi serikat pekerja dapat dibentuk oleh paling sedikit tiga federasi.115 Peran utama konfederasi adalah mewakili anggotanya dalam forum dan negosiasi tiga pihak, di tingkat daerah maupun nasional. Gambar 6.1 Jumlah serikat pekerja di Indonesia (1996-2006) a. Tingkat nasional b. Tingkat pabrik 20,000
100 90 83
80 70
86
87
90
66
60
60
12,000
40
8,000
11,464
21
20 11
0
11,444
6,309
6,000
30
18.352
16,347 15,750
14,000 10,000
10
15,750
16,000
50 36
18,352
18,000
4,000 2,000
2,839
0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Sumber : ILO, 2006
Jumlah serikat pekerja, baik di tingkat pabrik maupun nasional, tumbuh pesat sejak demokratisasi. Sejak dilaksanakannya kebebasan berserikat pada tahun 1998, segera terbentuk sepuluh serikat pekerja tingkat nasional yang baru, beriringan dengan satu serikat pekerja yang memang telah ada sejak Orde Baru. Pertumbuhan serikat pekerja baru, baik di tingkat pabrik maupun nasional, mencapai puncaknya pada tahun 2001, dan kemudian mulai melambat sampai tahun 2005 (Gambar 6.1). Terjadi penurunan drastis jumlah serikat pekerja tingkat pabrik pada tahun 2006 yang kemungkinan terkait dengan naiknya kasus pemberhentian karyawan selama 2005-2006.116 Fragmentasi serikat pekerja di tingkat pabrik jarang menjadi masalah di Indonesia.117 Serikat pekerja mewakili kira-kira sepersepuluh dari semua karyawan di Indonesia, angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga. Meskipun terjadi kenaikan jumlah serikat pekerja dengan cepat, hanya 3,2 juta pekerja yang mengaku sebagai anggota serikat pekerja pada tahun 2007, sebuah angka yang mewakili 11,2 persen dari keseluruhan pekerja.118 Angka ini jauh lebih rendah daripada klaim serikat pekerja dalam bentuk jumlah anggota yang tercatat, yaitu 8,2 juta pekerja pada tahun 2002 (30 persen dari keseluruhan karyawan), yang juga menjadi angka resmi yang dipublikasikan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Keanggotaan serikat pekerja di Indonesia sebenarnya sedang saja jika dilihat dari standar internasional, tetapi angka ini cukup tinggi untuk ukuran kawasan. (Gambar 6.2). Kurangnya data yang berasal dari survei menyebabkan tren keanggotaan serikat pekerja seiring waktu tidak
115 116 117
118
118
Saat ini ada tiga konfederasi yang mewakili pekerja di forum tiga pihak nasional: Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI). Nugroho, 2008. Fragmentasi serikat pekerja adalah keberadaan lebih dari satu serikat pekerja di satu perusahaan. Perwakilan APINDO menyatakan bahwa serikat pekerja berganda hanya terjadi di sekitar 9.000 dari seluruhnya 110.000 perusahaan (berdasarkan wawancara dengan Bank Dunia). Laporan penelitian yang lain menyatakan bahwa dari 47 perusahaan yang diteliti di wilayah Jabodetabek, 39 memiliki serikat pekerja dan hanya 3 yang melaporkan keberadaan lebih dari satu serikat pekerja (Rahayu dan Sumarto, 2003). Sakernas, 2007. Karyawan didefinisikan sebagai pekerja penerima upah dan gaji yang dipekerjakan oleh perusahaan swasta atau pemerintah. Angka ini sedikit lebih rendah daripada perkiraan IFLS tahun 2007 (16 persen dari semua karyawan) atau Laporan Daya Saing Global tahun 2005 dari Forum Ekonomi Dunia (14 persen).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6 Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
dapat dipastikan. Namun, ada kekhawatiran bahwa tingkat keanggotaan serikat pekerja mungkin sedang menurun akibat semakin tingginya ketergantungan pada pekerja kontrak jangka tetap dan pekerja alih daya (outsourced worker).119 Serikat pekerja berhasil menegosiasikan upah yang lebih tinggi dan tunjangan lainnya bagi anggota mereka. Karyawan anggota serikat pekerja memperoleh upah yang lebih tinggi daripada non-anggota. Secara rata-rata, anggota serikat pekerja mendapat upah lebih tinggi 18 persen daripada non-anggota.120 Para anggota pun berpeluang lebih besar untuk menerima tunjangan non-upah seperti uang pesangon, pelatihan, uang pensiun, tunjangan kesehatan, , jika dibandingkan dengan non-anggota (Gambar 6.3). Serikat pekerja cenderung mewakili pekerja di perusahaan besar, sementara karyawan yang bekerja di perusahaan kecil dan berasal dari rumah tangga miskin memiliki kemungkinan terbesar untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja.121 Keanggotaan serikat pekerja terkonsentrasi secara tidak seimbang di perusahaan besar. Dari seluruh anggota serikat pekerja, 43 persen di antaranya bekerja di perusahaan besar (perusahaan dengan jumlah karyawan di atas 100 orang), namun jumlah tersebut hanya mencapai kurang dari 15 persen total karyawan non-pemerintah. Undang-Undang mengenai Serikat Pekerja (No. 21/2000) yang mewajibkan paling sedikit 10 pekerja agar dapat membentuk serikat pekerja, secara otomatis telah menutup peluang 26 persen dari total pekerja untuk berserikat karena mereka bekerja di perusahaan kecil yang mempekerjakan terlalu sedikit staf untuk memenuhi syarat (Gambar 6.4). Karyawan dari rumah tangga miskin juga berpeluang lebih kecil untuk bergabung dengan serikat pekerja. Meskipun 34 persen dari semua karyawan berasal dari rumah tangga pada dua kuintil terbawah, hanya 26 persen anggota serikat pekerja yang berasal dari kategori ini.122 Hal ini kemungkinan besar karena pekerja yang lebih miskin cenderung bekerja di perusahaan kecil. Gambar 6.2
Keanggotaan serikat pekerja menurut negara
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Sumber: Forum Ekonomi Dunia, Indeks Daya Saing Global, 2008.
119
120
121 122
Survei bulan Agustus 2007 bertanya kepada responden yang mengaku sebagai pekerja penerima upah dan gaji tentang apakah mereka menjadi anggota serikat pekerja. Ini adalah pertama kalinya survei mengajukan pertanyaan mengenai keanggotaan serikat pekerja. Tetapi, karena survei Sakernas berikutnya tidak lagi mengajukan pertanyaan tersebut, maka tren keanggotaan serikat pekerja tidak tersedia untuk Indonesia. Berdasarkan regresi logistik upah per jam menggunakan data IFLS 2007 terhadap karakteristik individu, ukuran perusahaan, sektor, upah sebelumnya, dan kegiatan pasar tenaga kerja sebelumnya. Lihat Lampiran VI.2. Sebagai perbandingan, koefisien untuk upah yang lebih besar bagi anggota serikat pekerja di Brazil bervariasi dari 15 sampai 20 persen antara 1986 dan 1999 (Bank Dunia, 2002). Berdasarkan data dari IFLS 2007 Lihat Lampiran VI.1 untuk regresi determinan keanggotaan serikat pekerja, dan Lampiran VI.2 untuk distribusi keanggotaan serikat pekerja menurut karakteristik.
119
Gambar 6.3
Jumlah pekerja penerima tunjangan nonGambar 6.4 upah menurut keanggotaan serikat pekerja
Distribusi pekerja menurut ukuran perusahaan
100%
Uang pesangon Pensiun
80%
Tunjangan transpor
60%
Makan di tempat kerja
40%
Tunjangan kesehahatan 20%
Pelatihan
0%
10%
20%
Anggota Serikat Pekerja
30% Non-anggota
Sumber: IFLS, 2007.
40%
0% Semua karyawan < 20 pekerja
Anggota serikat pekerja
20 -100 pekerja
100+ pekerja
Sumber: IFLS, 2007.
III. Perundingan Bersama Syarat dan ketentuan pekerjaan dijelaskan dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, setiap perusahaan yang paling sedikit memiliki sepuluh pekerja harus menetapkan syarat dan ketentuan pekerjaan, termasuk hak dan kewajiban pemberi kerja dan pekerja, melalui peraturan perusahaan atau PKB. Kedua dokumen tersebut sama-sama menjelaskan syarat dan ketentuan yang biasanya termasuk gaji, hari libur, ketentuan pensiun, jam kerja, serta lembur pada akhir pekan dan hari kerja. Tetapi, kedua dokumen tersebut tercipta melalui proses yang berbeda. Pemberi kerja biasanya membuat peraturan perusahaan secara sepihak, meskipun UndangUndang Ketenagakerjaan menyarankan untuk mempertimbangkan pula rekomendasi dari pekerja. Di sisi lain, PKB adalah produk dari kesepakatan antara pemberi kerja dan serikat pekerja, dan terikat waktu selama dua atau tiga tahun. Hanya diperbolehkan satu PKB untuk satu perusahaan dan PKB harus dinegosiasikan oleh serikat pekerja yang mewakili mayoritas pekerja atau didukung oleh lebih dari 50 persen karyawan anggota maupun non-anggota. Banyak perusahaan cenderung mengandalkan peraturan perusahaan daripada menegosiasikan perjanjian kerja bersama. Sebagian besar perusahaan tidak mematuhi Undang-Undang Ketenagakerjaan dan sama sekali tidak mengeluarkan peraturan perusahaan atau menegosiasikan PKB.123 Hanya sejumlah kecil perusahaan yang mengeluarkan peraturan perusahaan; kira-kira 36.000 peraturan semacam itu didaftarkan setiap tahun, dari tahun 2001 sampai 2006 (Tabel 6.1). Jumlah perusahaan yang menegosiasikan PKB dengan serikat pekerja bahkan lebih kecil lagi. Setiap tahun, hanya ada sekitar 9.000 perusahaan yang menegosiasikan PKB dengan serikat pekerja. Meskipun jumlah PKB sejak 2001 meningkat setiap tahun karena naiknya jumlah serikat pekerja, pemakaian peraturan perusahaan berkembang lebih cepat.124
123
124
120
Pada tahun 2006 hanya ada 45.878 peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama (PKB) yang didaftarkan dan dilaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun pada tahun yang sama, Sensus Ekonomi 2006 mencatat keberadaan 166.000 perusahaan dengan karyawan di atas 20 orang. Setiap perusahaan ini memiliki kewajiban hukum untuk membuat peraturan perusahaan atau PKB. Jumlah perusahaan yang tidak patuh sebenarnya lebih tinggi lagi karena aturan hukum tersebut diwajibkan bagi perusahaan dengan karyawan di atas 10 orang. Nugroho (2008)
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6 Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
Tabel 6.1
Jumlah Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama Tahun
Peraturan Perusahaan
Perjanjian Kerja Bersama
2001
36.030
8.997
2002
36.152
9.081
2003
36.174
9.102
2004
36.339
9.131
2005
36.483
9.154
2006
36.710
9.168
Sumber: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007, disalin dari Palmer, 2008.
Perundingan bersama di tingkat pabrik masih lemah karena terbatasnya cakupan serikat pekerja, lemahnya keahlian negosiasi, dan preferensi perusahaan. Ada tiga alasan mengapa perusahaan yang mematuhi peraturan lebih mungkin mengeluarkan peraturan perusahaan daripada menegosiasikan PKB dengan serikat pekerja. Yang pertama, terbatasnya cakupan serikat pekerja menyebabkan jumlah serikat pekerja tidak memadai untuk menegosiasikan PKB di semua perusahaan menengah dan besar. Sebagai contoh pada tahun 2006, dari 166.000 perusahaan, hanya ada kurang dari 20.000 perusahaan yang memiliki serikat pekerja.125 Kedua, daya tawar serikat pekerja tingkat pabrik mungkin terbatas karena lemahnya keahlian negosiasi atau asimetri kekuatan. Studi sebelumnya memperlihatkan bahwa PKB sering kali hanya menyebutkan kembali tunjangan yang telah ditetapkan dalam undang-undang ketenagakerjaan, sebuah tanda lemahnya negosiasi dengan perusahaan.126 Ketiga, banyak pemberi kerja lebih suka mengeluarkan peraturan perusahaan secara sepihak daripada bernegosiasi dengan serikat pekerja. Peraturan perusahaan biasanya telah disiapkan terlebih dahulu dan cukup diserahkan kepada perwakilan pekerja untuk ditandatangani. Sejumlah serikat pekerja telah mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai komitmen dan itikad baik pihak perusahaan dalam menegosiasikan PKB.127
IV. Penyelesaian Sengketa dan Pengadilan Tenaga Kerja Sengketa terjadi saat proses dua pihak gagal menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima perusahaan dan pekerja. Cakupan serikat pekerja yang rendah dan rendahnya keahlian negosiasi di tingkat pabrik membatasi kemampuan menyelesaikan sengketa melalui proses perundingan bersama dan negosiasi dua pihak. Hal ini terlihat dari laporan jumlah sengketa pekerja yang meningkat, terutama selama 2001-07 (Tabel 6.2), bersamaan dengan berkurangnya jumlah serikat pekerja tingkat pabrik. Kebanyakan sengketa pekerja yang dilaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terkait dengan kasus pemutusan hubungan kerja. Jika mekanisme dua pihak gagal menyelesaikan konflik semacam ini, ada risiko bahwa pekerja yang berserikat akan mogok kerja (lihat Kotak 6.1). Jika itu tidak terjadi, pemberi kerja dan karyawan memiliki jalan keluar lain melalui lembaga penengah yang diciptakan untuk menyelesaikan sengketa industrial.
125 126
127
Sensus Ekonomi, 2006; Sakernas, 2007. Total perusahaan mencakup perusahaan dengan karyawan di atas 20 orang. Quinn, 2003. Penelitiannya menganalisis sampel berupa 109 PKB dari lima provinsi. Analisis ini membandingkan PKB dengan standar hukum dasar mengenai enam hal: gaji, hari libur, Jamsostek, jam kerja, dan lembur pada akhir pekan dan hari kerja. Pada setiap topik kecuali Jamsostek, lebih dari setengah PKB berisi ketentuan yang sama dengan standar hukum. Kira-kira 60 persen dari PKB berisi ketentuan mengenai uang transpor dan uang makan yang tidak ditentukan secara hukum, tetapi biasanya tercakup dalam negosiasi. Palmer, 2008.
121
Kasus sengketa pekerja dan pemutusan hubungan kerja, 2001 – 2006128
Tabel 6.2
Tahun
Kasus pemutusan hubungan kerja
Sengketa jenis lain
Jumlah kasus
Jumlah pekerja
2001
2.160
85.989
81
2002
2.445
114.933
101
2003
2.394
128.191
105
2004
2.386
123.929
63
2005*
1.784
66.604
92
2006
5.615
67.782
188
2007
3.252
28.317
190
Sumber: ILO dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Catatan: *Sampai dengan Oktober 2005
Kotak 6.1
Pemogokan pekerja129130
Mogok kerja masih menjadi salah satu cara pekerja dalam upaya mereka mengubah syarat dan ketentuan pekerjaan, atau tindakan tidak adil dari pemberi kerja. Terjadi tren penurunan perlahan-lahan dalam jumlah pemogokan di Indonesia dari tahun 2000 sampai 2005. Tren ini bisa jadi mengisyaratkan adanya perbaikan karena dilembagakannya penyelesaian sengketa melalui perundingan bersama menyusul semakin berkembangnya serikat pekerja.129 Tetapi, taktik pemogokan dapat langsung dipakai kembali saat diperlukan. Misalnya saja, terjadi lonjakan insiden pemogokan pada tahun 2006 sampai ke tingkat tertinggi dalam 10 tahun terakhir sebagai tanggapan terhadap rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.130
Jumlah Peristiwa Mogok Kerja di Indonesia (1990-2006) 700
30 0
600
25 0
500
20 0
400 15 0 300 200
10 0
100
50 0
0
97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 19 19 19 20 20 20 20 20 20 20 20
Workers involved (000 workers); left axis No. of strikes, right axis Sumber: ILO 1997-2007
Panitia Penyelesaian Sengketa Perburuhan dulunya merupakan lembaga utama yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa pekerja. Panitia ini ada di tingkat kabupaten (P4D) dan nasional (P4P). Tetapi sistem ini banyak dikritik karena dua alasan utama. Yang pertama, proses tersebut tidak efisien dalam menyelesaikan sengketa dengan cepat. Kedua, proses tersebut dipandang tidak imparsial karena
128
129
130
122
Perlu dicatat bahwa klasifikasi data dibuat secara resmi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengikuti klasifikasi dalam Undang-Undang No. 2/2004. Undang-undang tersebut mengkategorikan pemutusan hubungan kerja sebagai sengketa khusus yang berbeda dengan sengketa pekerja lainnya, termasuk sengketa mengenai hak, kepentingan, dan sengketa antar serikat pekerja. Bertambahnya pelaksanaan perundingan bersama juga berkaitan dengan bertambahnya serikat pekerja. Jumlah serikat pekerja dan perjanjian kerja bersama, dua indikator penanda kemajuan dalam perundingan bersama, mengalami kenaikan tajam setelah disahkannya kebebasan berserikat melalui Undang-Undang No. 21/2000. Kenaikan drastis pemogokan kerja pada tahun 2006 terjadi sebagai reaksi atas meningkatnya pemutusan hubungan kerja, pemakaian pekerja kontrak dan alih daya (outsource), serta tanggapan terhadap rencana revisi Undang-Undang No. 13/2003. Pemogokan terbanyak terjadi pada bulan April dan Mei 2006. (Kompas, 6 April 2006; 27 April 2006; Kompas, 2 Mei 2006; 4 Mei 2006; Nugroho, 2007).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6 Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
berbagai panitia itu adalah bagian dari birokrasi pemerintah dan bertanggung jawab kepada dinas tenaga kerja di daerah dan Kementerian Tenaga Kerja. Dengan demikian, pemerintah dapat campur tangan dan menguntungkan salah satu pihak dalam proses penyelesaian sengketa.131 Dewan Perwakilan Rakyat memperkenalkan mekanisme baru pada tahun 2004 untuk menyelesaikan sengketa industrial dengan menciptakan sistem pengadilan hubungan industrial (PHI). Undangundang mengenai penyelesaian sengketa hubungan industrial (No. 2/2004) dirancang untuk memperbaiki lembaga dan mekanisme penyelesaian sengketa antara pemberi kerja dan karyawan. Hal terpenting dari reformasi tersebut adalah diciptakannya pengadilan hubungan industrial yang independen dan berada di bawah cabang yudikatif. Serikat pekerja mengkhawatirkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan pengadilan akan sulit diakses, mudah terimbas masalah korupsi dalam sistem pengadilan, dan tidak memiliki kapasitas untuk menangani bertumpuknya kasus. Di sisi lain, asosiasi pemberi kerja memandang sistem baru ini lebih dapat diandalkan dan memberikan kepastian dalam menyelesaikan sengketa industrial antara pemberi kerja dan karyawan.
V. Sistem P4D/P4P Pada sistem sebelumnya, Dinas Tenaga Kerja akan berusaha menyelesaikan konflik melalui arbitrasi dan mediasi jika negosiasi dua pihak gagal. Dalam proses penyelesaian sengketa yang lama (Gambar 6.5), salah satu atau kedua pihak yang berselisih dapat mengajukan kasus tersebut kepada Disnaker jika negosiasi dua pihak gagal.132 Hal ini akan memulai mekanisme tiga pihak; Dinas Tenaga Kerja pertamatama akan menawarkan opsi arbitrasi oleh arbiter pihak ketiga yang berlisensi, dengan keputusan yang final dan mengikat secara hukum. Jika salah satu atau kedua pihak tidak setuju mengikuti arbitrasi, maka prosesnya otomatis berubah menjadi mediasi.133 Mediator yang ditunjuk oleh pejabat Dinas Tenaga Kerja akan membantu mencarikan solusi yang dapat diterima kedua belah pihak dan memberikan rekomendasi yang tidak mengikat. Jika kedua pihak menerima keputusan mediator, maka rekomendasi tersebut akan tercermin dalam kesepakatan bersama. Jika mekanisme tiga pihak gagal, kasus tersebut akan diajukan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D). Jika kasus tidak dapat diselesaikan melalui mediasi atau salah satu pihak mengajukan banding, maka kasus akan dikirim ke P4D yang berada di kantor Dinas Tenaga Kerja tingkat kabupaten atau kota. Keputusan P4D mengikat secara hukum, tetapi salah satu pihak dapat mengajukan banding kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di Jakarta. Untuk kasus yang melibatkan lebih dari sembilan orang atau perusahaan yang berlokasi di lebih dari satu daerah, maka kasus tersebut dapat langsung dibawa ke P4P. Sistem ini tidak menentukan berapa lama (dalam hari) waktu maksimum untuk penyelesaian kasus. Sistem P4D/P sering dikritik karena tidak efisien. Diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahuntahun, untuk menyelesaikan sengketa melalui sistem P4D/P karena tidak ada ketentuan batas waktu untuk setiap tahapan proses.134 Negosiasi biasanya memerlukan rapat mingguan minimal tiga kali. Tetapi, jika pemberi kerja tidak kooperatif atau kantor Dinas Tenaga Kerja tidak mempunyai kinerja optimal, negosiasi dapat berlangsung jauh lebih lama. Meskipun keputusan P4D/P mengikat secara hukum dan harus dilaksanakan dalam 14 hari, prosesnya dapat berlangsung sangat panjang, terutama jika diajukan banding
131 132 133 134
Palmer, 2008. Berdasarkan Undang-Undang No. 22/1957 dan No. 12/1964. Simanjuntak, 2004. Nugroho, 2008, berdasarkan wawancara dengan perwakilan pekerja dan pemberi kerja.
123
ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap keputusan P4D atau P4P. Sistem ini juga mengandung ketidakpastian hukum karena Menteri dapat memveto keputusan panitia.135
VI. Sistem Penyelesaian Sengketa yang Telah Direformasi Proses penyelesaian sengketa yang telah direformasi masih dimulai dengan mekanisme tiga pihak. Dalam sistem yang telah direformasi (Gambar 6.5), para pihak yang berselisih dirujuk ke salah satu dari dua mekanisme awal tiga pihak: a) arbitrasi pihak ketiga yang menghasilkan keputusan yang mengikat secara hukum, atau b) langkah ciptaan baru berupa konsiliasi pihak ketiga yang mengeluarkan rekomendasi tidak mengikat. Pilihan mekanisme yang akan dipakai sebagian tergantung pada jenis sengketa pekerja yang disampaikan. Jika salah satu atau kedua pihak menolak arbitrasi atau konsiliasi, maka secara otomatis mereka memasuki proses mediasi. Si mediator, pejabat Dinas Tenaga Kerja dengan mandat khusus untuk melakukan mediasi sengketa, dapat menangani jenis sengketa apa pun, tetapi sama seperti konsiliator, rekomendasinya tidak mengikat. Kasus yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme tiga pihak akan diteruskan ke pengadilan hubungan industrial yang baru diciptakan. Pihak eksekutif tidak lagi memegang kendali penuh atas proses penyelesaian sengketa. Setelah negosiasi tiga pihak, pihak yang berselisih tak lagi dibawa ke P4D atau P4P (keduanya telah dibubarkan), tetapi diserahkan ke PHI. Lembaga bentukan baru ini berada di setiap ibu kota provinsi dan berupa pengadilan khusus yang menggunakan prosedur sama seperti pengadilan perdata. Pihak yang berselisih akan menyampaikan bukti sesuai prosedur administratif kepada majelis hakim yang kemudian memberikan putusannya. Masing-masing pihak dibantu oleh penasihat hukum, bisa pengacara atau perwakilan serikat buruh, yang bertanggung jawab membantu pendaftaran dan pembelaan klaim.136 Salah satu pihak kemudian dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.137 Berbeda dengan sistem sebelumnya, hukum yang baru menetapkan batas waktu yang jelas pada setiap tahap proses penyelesaian sengketa.
135 136 137
124
Peraturan ini memungkinkan Menteri Tenaga Kerja untuk menunda atau membatalkan sebuah keputusan karena “alasan yang berkaitan dengan mempertahankan ketertiban umum atau melindungi kepentingan Negara” (Quinn, 2003:21). Undang-Undang juga menyebutkan bahwa serikat pekerja dapat bertindak sebagai penasihat hukum. Kasasi adalah pembatalan keputusan yang dibuat oleh pengadilan di tingkat lebih rendah.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6 Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
Gambar 6.5
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pekerja Melalui P4D/P4P Berdasarkan Undang-Undang No. 22/1957 dan Undang-Undang No.12/1964 Sengketa Pekerja
Negosiasi Dua pihak
7 hari setelah terima pemberitahuan
Negosiasi Tiga pihak : Mediasi/Konsiliasi/Arbitrasi
Selisih Selesai
Selisih Selesai
14 hari setelah terima keputusan di P4D
P4P Kasus yang melibatkan lebih dari 9 orang dapat langsung diajukan ke P4P 3 bulan setelah terima keputusan dari P4P Veto oleh Menteri Tenaga Kerja
P4D Selisih Selesai Banding ke PTUN
Kasasi ke Mahkamah Agung
Selisih Selesai Selisih Selesai
Selisih Selesai
Sumber: Nugroho, 2008
125
Gambar 6.6
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial hasil Reformasi Berdasarkan Undang-Undang No. 2/2004 Sengketa Hubungan Industrial Selisih tentang Hak Selisih tentang Kepentingan Selisih tentang PHK Selisih antar Serikat Pekerja
Jika gagal, kasus diajukan ke Dinas Tenaga Kerja lokal (maks. 14 hari)
Tawaran pertama dari mekanisme penyelesaian (diberikan oleh Disnaker lokal)
Tawaran kedua dari mekanisme penyelesaian jika tawaran pertama tidak ditanggapi (dalam 7 hari)
Negosiasi Berhasil
Negosiasi Dua pihak (ma ks. 30 hari )
Kesepakatan Bersama Arbitrasi (maks. 30 hari kerja) Selisih tentang Kepentingan Selisih antar Serikat Pekerja
Konsiliasi (maks. 30 hari kerja) Selisih tentang Kepentingan Selisih tentang PHK Selisih antar Serikat Pekerja
Sengketa Selesai
Mediasi (maks. 30 hari kerja) Selisih tentang Hak Selisih tentang Kepentingan Selisih tentang PHK Selisih antar Serikat Pekerja Pendaftaran Kesepakatan Bersama
Pengadilan Hubungan Industrial (
Putusan
Putusan maks. 30 hari
50 hari kerja )
Kasasi diajukan maks. dalam 14 hari kerja
Kasasi ke Mahkamah Agung Hanya untuk Selisih tentang Hak Selisih tentang PHK
Pendaftaran ke Pengadilan
Sumber: Nugroho, 2008
Kebanyakan kasus yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industri berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja. Dari sampel berbagai kasus di pengadilan tenaga kerja di Jakarta, 84 persen kasus yang diajukan berhubungan dengan pemutusan hubungan kerja (Tabel 6.3). Pengadilan daerah juga memperlihatkan kecenderungan yang sama. Pengadilan Hubungan Industrial Jawa Barat pada tahun 2007
126
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6 Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
menangani total 196 kasus, 88,8 persen di antaranya adalah kasus pemutusan hubungan kerja.138 Karena PHK sering terjadi akibat sengketa yang sudah ada sebelumnya, kebanyakan kasus PHK mungkin diawali oleh persoalan lain seperti masalah kebebasan berserikat atau pelanggaran hak. Table 6.3
Komposisi kasus yang ditangani oleh Pengadilan Hubungan Industrial di Jakarta
Jenis Kasus Sengketa hak: Sengketa akibat tidak dipenuhinya hak dasar sesuai ketentuan hukum akibat perbedaan pelaksanaan atau penafsiran undang-undang, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Jumlah
%
21
5,55
318
84,13
5
1,32
Sengketa mengenai kepentingan: Sengketa dalam hal hubungan pekerja akibat ketidaksetujuan dalam pembuatan dan/atau pengubahan aturan kerja sesuai ketentuan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
16
4,24
Jenis sengketa yang lain
18
4,76
378
100,0
Pemutusan Hubungan Kerja: Sengketa akibat ketidaksetujuan dari salah satu pihak mengenai PHK. Gabungan sengketa hak dan pemutusan hubungan kerja
Total Sumber: Nugroho, 2008.
VII. Mengkaji Sistem Penyelesaian Sengketa yang telah Direformasi Mekanisme tiga pihak dari pihak ketiga yang berupa arbitrasi dan konsiliasi jarang dipakai. Ketika sebuah kasus diajukan ke kantor Dinas Tenaga Kerja, para pihak yang berselisih ditawarkan opsi untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrasi dan konsiliasi. Opsi ini jarang diambil. Sebagai contoh, di Jakarta Pusat dan Serang (Jawa Barat), tidak ada satu pun kasus yang diajukan ke kantor Disnaker pada tahun 2007 dirujuk kepada arbiter atau konsiliator.139 Hal ini mungkin hanya mencerminkan tidak adanya kesepahaman di antara kedua belah pihak, sehingga mediasi menjadi pilihan satu-satunya. Selain itu, para pihak yang berselisih mungkin kekurangan informasi mengenai opsi alternatif selain mediasi atau tidak yakin bahwa arbitrasi dan konsiliasi akan menghasilkan solusi yang dapat diterima para pihak. Mekanisme mediasi tiga pihak pun tidak berhasil dalam menyelesaikan sengketa pada tahapan sebelum masuk pengadilan. Sebagai contoh adalah kantor Disnaker Jakarta Pusat yang menangani 2030 kasus setiap bulan selama 2008. Berbagai kasus ini terdiri dari kasus baru dan juga kasus lama yang dilanjutkan dari bulan sebelumnya. Mediator telah memberikan rekomendasi untuk sekitar setengah dari kasus yang ada setiap bulan. Tetapi, rekomendasi tersebut hanya diterima dalam tidak lebih dari tiga kasus per bulan; terkadang malah tidak ada rekomendasi yang diterima.140 Tingkat keberhasilan mediasi yang rendah mungkin bukan akibat rendahnya kapasitas mediator, atau dalam kasus ini, kantor Disnaker. Wawancara dengan perwakilan dari konfederasi serikat pekerja dan juga asosiasi pemberi kerja mengisyaratkan bahwa, dalam kebanyakan kasus, para pihak yang berselisih memandang tahap tiga pihak sebagai formalitas belaka yang harus dijalani supaya kasusnya dapat diajukan ke PHI.
138 139 140
Pengadilan Hubungan Industrial Jawa Barat, 2007, sesuai kutipan dalam Nugroho, 2008. Berdasarkan wawancara Bank Dunia dengan Disnaker di Jakarta Pusat dan Serang. Jika kedua belah pihak menerima rekomendasi tersebut, maka rekomendasinya dapat dijadikan Perjanjian Kerja Bersama, namun hal ini tidak selalu dilakukan.
127
Gambar 6.7
Lamanya Waktu Proses Pengadilan di PHI Jakarta (n=100)144
16% 38%
Tepat waktu (< 51 hari) Lambat (51-90 hari) Sangat lambat (> 90 hari)
46%
Sumber: PHI Jakarta (2007), dikutip dari Nugroho (2008).
PHI didirikan untuk memberikan layanan hukum yang tepat waktu, adil, sesuai, dan hemat biaya. Keempat dimensi tersebut menentukan mutu layanan hukum yang ditawarkan pengadilan. Namun, tanpa indikator yang jelas atau pengumpulan data yang sistematis, kinerja PHI tidak mungkin dinilai. Penelitian terhadap 100 sampel kasus dari lima pengadilan tenaga kerja di Jakarta memberikan tinjauan awal terhadap kinerja pengadilan. Temuan ini tidak mewakili kinerja pengadilan di luar Jakarta.
PHI tidak berjalan tepat waktu dan memerlukan waktu rata-rata lebih dari dua bulan sebelum menyampaikan putusan. Menurut undang-undang, putusan harus disampaikan dalam waktu kurang dari lima puluh hari. Namun dalam praktiknya, putusan jarang disampaikan tepat waktu. Berdasarkan sampel di Jakarta, pengadilan memerlukan waktu rata-rata 77 hari untuk menyelesaikan satu kasus (Gambar 6.7).141 Kasus yang dapat diselesaikan tepat waktu hanya 16 persen, sedangkan mayoritas kasus diselesaikan antara 51 sampai 90 hari. Lebih dari sepertiga kasus memerlukan waktu di atas tiga bulan untuk mencapai putusan. Sebagian besar keterlambatan ini diakibatkan oleh proses litigasi yang panjang, yang memerlukan dokumentasi terperinci dan prosedur rumit yang terutama menyulitkan pekerja dan serikat pekerja karena mereka cenderung kurang terbiasa dengan proses hukum jika dibandingkan dengan penasihat hukum pemberi kerja.142 Sebagian juga mengeluhkan bahwa prosesnya semakin lambat akibat keterlambatan administratif dalam menerbitkan surat keputusan.143 144 Tumpukan kasus kasasi di Mahkamah Agung menambah ketidakpastian dan biaya. Untuk kasus yang berkaitan dengan sengketa mengenai hak dan pemutusan hubungan kerja, salah satu pihak yang berselisih dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun hal ini tidak sering dilakukan. Pada sampel dari Jakarta, sekitar 8 persen dari semua putusan PHI diajukan ke Mahkamah Agung pada tahun 2007.145 Proses kasasi di Mahkamah Agung telah menuai keluhan mengenai proses yang panjang dan tanpa kepastian.146 Bagi pemberi kerja, hal ini menciptakan ketidakpastian dalam rencana produksi, terutama jika kasusnya melibatkan pekerja dalam jumlah besar. Bagi pekerja, keterlambatan dapat menciptakan ketidakpastian mengenai status pekerjaan, kestabilan penghasilan, dan biaya urusan hukum yang semakin besar.
141
142 143 144 145 146
128
Lamanya waktu proses pengadilan hanya merujuk pada periode antara penyerahan klaim dan putusan akhir. Masih ada langkah lanjutan, yaitu penerbitan surat keputusan dan penyampaian surat keputusan kepada para pihak yang berselisih. Pedoman untuk proses ini tidak dirinci dalam undang-undang. Serikat pekerja menyoroti bahwa penyampaian surat keputusan tersebut kepada pihak yang berselisih dapat memakan waktu sampai berbulan-bulan, terutama jika perusahaan berada di daerah terpencil. Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta pada tahun 2007 menangani 271 kasus sengketa yang melibatkan 4.834 pekerja dan 84,13% di antaranya merupakan kasus pemutusan hubungan kerja (lihat Tabel 6.3 dan 6.4). Namun, tidak ada data yang tersedia untuk mengkonfirmasi atau menyangkal berbagai keluhan tersebut. Lamanya waktu merujuk pada masa sejak penyerahan klaim sampai tanggal keputusan akhir. Nugroho, 2008. Pangaribuan, 2008. Dan juga wawancara Bank Dunia dengan dua hakim ad hoc pada tanggal 13 Mei 2008 & 27 Mei 2008, serta wawancara dengan pejabat OPSI dan SPKEP Bekasi pada tanggal 16 April 2008.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6 Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa melalui PHI ditengarai berbiaya tinggi, terutama bagi pekerja. Proses litigasi lebih menekankan pada pemberian bukti hukum seperti kontrak atau daftar gaji karyawan. Semua bukti yang diserahkan harus dilegalisir, sebuah proses yang membutuhkan biaya. Bagi pekerja yang tidak mempunyai dukungan keuangan, seperti misalnya pekerja bergaji rendah atau mereka yang telah mengalami PHK, biaya tersebut nilainya cukup berarti. Transportasi menambah lagi biaya yang ditanggung pekerja. Sistem P4D/P berada di kantor kabupaten dan kota terdekat, sedangkan PHI berada di ibu kota provinsi yang bisa jadi sangat jauh dari lokasi sengketa sehingga biaya transportasi dapat menjadi pengeluaran yang cukup besar bagi pekerja yang datang dari tempat jauh. Keterlambatan dalam proses, akibat salah satu pihak tidak siap atau tidak hadirnya perwakilan dari pemberi kerja atau hakim, akan semakin menambah biaya transportasi.147 Proses ini juga berbiaya tinggi bagi pemberi kerja, meskipun hal ini terutama terkait dengan biaya jasa pengacara yang akan meningkat tajam dalam kasus rumit atau yang berurusan dengan pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Hasil keputusan tidak mengisyaratkan adanya bias sistematis terhadap salah satu pihak, tetapi mungkin akan merugikan pekerja yang memiliki perwakilan hukum lemah. Dilihat dari komposisi kasus menurut pihak yang mengajukan kasus dan putusannya, tidak ada pola sistematis yang mengisyaratkan bias mendukung atau melawan pemberi kerja atau karyawan (Gambar 6.8).148 Sebagian besar petisi yang diajukan pekerja di Jakarta menghasilkan keputusan yang memenangkan mereka. Namun, seperlima dari kasus yang dilaporkan akhirnya dibatalkan karena berhasil dinegosiasikan atau buktinya tidak memadai. Hal ini bisa jadi menandakan kesulitan yang dihadapi pekerja dalam PHI, yaitu bahwa sistem hukum kemungkinan mempunyai bias melawan pihak yang tidak memiliki akses (atau tidak dapat membayar) penasihat hukum, atau tidak memahami cara mengumpulkan bukti hukum dan menyampaikan kasus mereka dengan meyakinkan di pengadilan. Jika serikat pekerja yang mewakili pekerja tidak memiliki anggota dengan latar belakang dan/atau pengalaman hukum, maka pekerja akan lebih sulit menang saat menghadapi pengacara profesional yang mewakili pemberi kerja. Keterlambatan dan masalah lainnya kemungkinan diakibatkan oleh masalah kapasitas dan pasokan sumber daya manusia bagi PHI. Ada tiga hakim yang bertugas di setiap pengadilan hubungan industrial; satu orang hakim karir dan dua hakim ad hoc yang mewakili dan diusulkan oleh asosiasi pemberi kerja dan serikat pekerja. Hakim karir memiliki pengalaman bertugas di pengadilan umum, tetapi mereka belum tentu memahami kasus sengketa industrial. Pasokan hakim juga menjadi masalah. Sebagai contoh, hanya ada empat hakim karir di PHI Jakarta yang bertanggung jawab menangani tumpukan kasus sengketa industrial yang telah menggunung, tetapi mereka masih diwajibkan untuk menangani tugas lain di pengadilan umum. Karena itu, hakim ad hoc-lah, bukan hakim karir, yang mengambil peran strategis dalam proses dengan mempelajari substansi kasus. Selain itu, beberapa hakim mengklaim bahwa batas waktu 50 hari untuk memproses satu kasus menimbulkan kesulitan bagi hakim karena tidak memberikan waktu yang cukup untuk mengumpulkan informasi valid dan objektif demi memberikan putusan yang adil dan objektif.149 Dalam sistem P4D/P4P, panel mempunyai waktu lebih banyak untuk mengajukan pertanyaan, serta mengumpulkan informasi dan bukti yang diperlukan untuk memberikan putusan.
147
148
149
Biaya penyelesaian sengketa di pengadilan tenaga kerja sesungguhnya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan sistem P4. Namun akan menjadi lebih mahal apabila proses memakan waktu panjang atau klaim yang diajukan melibatkan banyak pekerja (Nugroho, 2008, wawancara dengan hakim ad hoc pada tanggal 27 Mei 2008). Kebanyakan kasus diajukan oleh karyawan, bukan pemberi kerja. Ada beberapa alasan mengapa demikian. Yang pertama, jumlah pelanggaran hukum ketenagakerjaan oleh pemberi kerja masih tinggi seperti yang tampak pada bab sebelumnya terkait tingkat kepatuhan yang rendah dalam pembayaran uang pesangon dan upah minimum. Kedua, pemberi kerja masih enggan menggunakan pengadilan tenaga kerja untuk menyelesaikan sengketa karena biayanya dan rumitnya proses penyelesaian sengketa, sehingga lebih menyukai negosiasi dua pihak (Nugroho, 2008, wawancara dengan hakim ad hoc yang diajukan oleh asosiasi pemberi kerja pada tanggal 13 dan 27 Mei 2008). Wawancara Bank Dunia dengan hakim ad hoc pada tanggal 27 Mei 2008.
129
Gambar 6.8
Hasil keputusan dalam kasus yang diajukan pemberi kerja dan karyawan Diajukan pekerja (92 kasus)
Dimenangkan pemberi kerja 37%
Diajukan pemberi kerja (8 kasus)
Petisi dibatalkan 21%
Dimenangkan pemberi kerja 62% Dimenangkan pekerja 38%
Dimenangkan pekerja 42%
Sumber: PHI Jakarta (2007), dikutip dari Nugroho (2008).
Kotak 6.2
Justica do Trabalho: Pengadilan Tenaga Kerja di Brasil
Justica do Trabalho adalah sistem pengadilan tenaga kerja di Brasil. Pengadilan di Brasil memberikan konsiliasi, arbitrasi, dan keputusan hukum, berbeda dengan Indonesia yang membagi-bagi peran tersebut kepada kantor Disnaker lokal dan PHI. Kebanyakan kasus berkaitan dengan sengketa mengenai hak, biasanya mengenai uang lembur, gaji ke-13, dan uang pesangon setelah pemutusan hubungan kerja. Pekerja dapat mengajukan lebih dari satu klaim, dan biasanya memang mengajukan lebih dari satu klaim, dan mereka dapat mengajukan kasus dalam jangka waktu sampai lima tahun setelah PHK. Karena pekerja hanya perlu mengeluarkan biaya yang relatif rendah untuk membawa sengketa ke pengadilan, Justica do Trabalho menjadi salah satu pengadilan tenaga kerja yang paling sibuk di dunia. Setiap tahun, pekerja dari seluruh Brasil mengajukan sekitar 2 juta tuntutan hukum terhadap pemberi kerjanya saat ini atau sebelumnya. Sekitar 6 persen dari semua karyawan yang menerima gaji mengajukan kasus ke pengadilan setiap tahunnya. Selama sepuluh tahun terakhir, tuntutan hukum yang terkait dengan masalah tenaga kerja telah meningkat 60 persen. Pekerja menerima rata-rata 40 persen dari nilai klaim mereka. Seringnya tuntutan telah mendorong pekerja dan pemberi kerja untuk mengambil tindakan strategis. Karena biayanya relatif kecil bagi pekerja, mereka mendapat insentif untuk melakukan tuntutan sesering mungkin dan menggelembungkan klaim mereka karena menyadari bahwa mereka akan menerima sebagian dari jumlah yang diklaim. Di sisi lain, pemberi kerja mendapat insentif untuk tidak membayarkan hak pekerja pada saat pemutusan hubungan kerja dan menunggu sampai diperintah pengadilan untuk membayar. Pada akhirnya pekerja dan pemberi kerja mencapai keseimbangan yang tidak optimal. Pemberi kerja berhati-hati dalam mempekerjakan pekerja baru karena biaya yang tidak dapat dipastikan untuk membayar gaji, denda, dan biaya hukum di masa depan. Pemberi kerja pun akan meningkatkan upaya penyaringan untuk menghindari mempekerjakan pekerja yang lebih berpeluang menuntut mereka. Meskipun tidak ada bukti sistematis yang tersedia, sejumlah pihak beranggapan bahwa kondisi ini menjadi penyebab meningkatnya pengangguran, tingkat informalitas, dan kesepakatan kontrak tidak resmi. Sumber: Bank Dunia (2002), “Brazil Jobs Report – Volume I and II” (Report No. 24408-BR), Washington, D.C.
130
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6 Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
VIII. Rekomendasi Mencari cara untuk memperkuat perundingan bersama dan penyelesaian sengketa dua pihak di tingkat pabrik. Negosiasi yang lebih kuat antara pemberi kerja dan karyawan di masing-masing perusahaan diperlukan untuk menghindari ketergantungan terhadap upah minimum yang dipakai sebagai penentu upah (lihat Bab 5) dan menghindari penyelesaian sengketa yang panjang dan mahal melalui PHI.150 Berikut adalah beberapa gagasan yang dapat ditindaklanjuti dalam diskusi antara pemerintah, perusahaan, dan serikat pekerja: Pedoman perilaku. Dasar bagi perundingan bersama adalah saling percaya. Sejumlah serikat pekerja telah memperkenalkan gagasan pedoman perilaku sukarela untuk membantu membangun budaya saling percaya antara pemberi kerja dan pekerja. Perangkat perundingan bersama yang baku. Hal ini dapat membantu pekerja dan pemberi kerja menghindari negosiasi berkepanjangan atas berbagai klausul dalam perjanjian kerja bersama (PKB). Perangkat semacam ini pun dapat berguna terutama bagi serikat pekerja yang baru terbentuk atau serikat pekerja yang belum pernah menegosiasikan PKB dengan pemberi kerja. Bekerja sama untuk mendorong kesadaran hukum para pekerja dan kapasitas serikat pekerja tingkat pabrik. Supaya mutu negosiasi dua pihak dapat ditingkatkan dan penyelesaian sengketa melalui PHI dapat lebih adil, diperlukan informasi yang lebih baik dan keahlian yang lebih tinggi. Para pekerja memerlukan lebih banyak informasi mengenai hak dan opsi penyelesaian sengketa. Karena terbatasnya cakupan serikat pekerja, akses terhadap informasi bagi pekerja perlu ditingkatkan lagi. Sebagian besar pekerja berada dalam posisi rentan dan tidak menguntungkan selama penyelesaian sengketa karena mereka tidak memiliki kontrak dan tidak diwakili oleh serikat pekerja. Para pekerja ini membutuhkan lebih banyak informasi mengenai hak mereka agar dapat memantau dan melaporkan ketidakpatuhan. Mereka perlu memahami persyaratan yang diwajibkan PHI, serta cara mengakses dan memelihara dokumen, demi memperkuat posisi mereka jika terjadi tuntutan hukum. LSM kemungkinan ada di posisi terbaik untuk memberikan layanan informasi karena pekerja mungkin enggan berurusan langsung dengan pemerintah dan donor. Kantor Disnaker dapat menawarkan pelatihan dan informasi bagi LSM yang menangani para pekerja tak terwakili. Membangun kapasitas serikat pekerja tingkat pabrik. Perbaikan kapasitas dapat membantu proses negosiasi supaya lebih seimbang, tidak hanya pada saat tahap awal penyelesaian sengketa, tetapi terutama di PHI. Bidang yang membutuhkan keahlian antara lain adalah teknik negosiasi, pemahaman dasar mengenai bahasa hukum dan perusahaan, serta keahlian organisasi. Mulai memantau dan mengkaji Pengadilan Hubungan Industrial untuk meningkatkan kinerjanya. Kinerja PHI sulit dikaji karena lemahnya pengelolaan data. Selain itu, untuk saat ini masih terlalu awal untuk mengkaji efektivitas PHI karena sistem dan pemangku kepentingannya masih dalam periode peralihan. Saat ini, PHI harus menangani banyak kasus dengan sumber daya terbatas sehingga mengalami tumpukan kasus dan membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan kasus daripada ketentuan undangundang. Pemantauan kinerja pengadilan dapat mengidentifikasi tahap yang mengalami kemacetan dan memperbaikinya sehingga pengadilan semakin cepat selesai dan semakin tanggap terhadap kebutuhan pekerja dan pemberi kerja. Memperbaiki pengumpulan data di bidang yang terkait dengan perundingan bersama dan penyelesaian sengketa. Data yang tersedia mengenai kedua topik tersebut hanya sedikit sehingga
150
Untuk mempelajari Pengadilan Tenaga Kerja Brazil, lihat Bank Dunia (2002: vol. I:27-8, 37-8; vol. II:120-30).
131
membatasi dalamnya dan luasnya cakupan analisis. Tiga langkah yang perlu segera dilakukan untuk memperbaiki masalah tersebut: Di tingkat nasional, BPS harus terus mengumpulkan informasi mengenai keanggotaan serikat pekerja dari responden survei Sakernas. Hal ini akan membantu meningkatkan pemahaman kita mengenai tren keikutsertaan dalam serikat pekerja dan pengaruhnya. Data tambahan dapat juga diperoleh dari laporan wajib seperti yang diminta oleh Compulsory Workforce Report Act (No. 7/1981) dan the Undang Undang Ketenagakerjaan (No. 21/2000). Di tingkat lokal, dibutuhkan data untuk melacak berapa banyak negosiasi dua pihak tingkat pabrik dan bagaimana hasilnya. Hal ini memerlukan penelitian kuantitatif dan kualitatif untuk mengkaji model negosiasi dua pihak yang efektif. Mewajibkan pemberi kerja untuk melaporkan hasil negosiasi dua pihak kepada kantor Disnaker lokal dapat menjadi langkah pertama. Pengadilan Hubungan Industrial memerlukan sistem terkomputerisasi untuk pengumpulan data. Kajian yang benar mengenai efektivitas dan efisiensi PHI tak akan dapat dilakukan tanpa adanya data mengenai jumlah kasus, jenis kasus, hasil keputusan, biaya, dan waktu proses. Pengumpulan data dan sistem pengelolaan yang baik sangatlah penting jika kinerja PHI memang menjadi perhatian serius Mahkamah Agung.
132
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7
Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian Laporan Lapangan Kerja Indonesia
Bab 7 Ringkasan & Rekomendasi Penduduk usia kerja di Indonesia akan bertambah sekitar 20 juta orang selama sepuluh tahun ke depan atau sekitar 2 juta orang per tahun. Untuk memanfaatkan semaksimal mungkin peluang demografi yang jangka waktunya terbatas ini, Indonesia perlu memastikan bahwa para pekerjanya memiliki kemampuan agar dapat berhasil di pasar tenaga kerja. Peningkatan investasi publik selama tiga puluh tahun terakhir membuat Indonesia memiliki semakin banyak sekolah dengan tingkat partisipasi yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan bertambahnya jumlah orang dewasa terdidik dan mendorong terbentuknya angkatan kerja yang berpendidikan lebih tinggi. Peningkatan taraf pendidikan pekerja yang paling besar terjadi di area pedesaan dan di antara perempuan. Meskipun jumlah pekerja Indonesia yang lulus SMA dan lulus pendidikan tinggi terus bertambah, Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan negara tetangga sekawasan. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk melanjutkan perbaikan tingkat pendidikan di seluruh angkatan kerja. Pekerja yang berpendidikan lebih tinggi – mereka yang paling tidak lulus SMA – secara rata-rata memperoleh penghasilan 66 persen lebih besar daripada pekerja yang berpendidikan lebih rendah. Premium penghasilan ini semakin mencolok bagi pekerja yang lulus pendidikan tinggi, yaitu sampai 105 persen. Meskipun pasokannya terus bertambah, pekerja yang berpendidikan lebih tinggi mengalami kenaikan premium upah dari 2003 sampai 2007. Permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi terus bertambah, terutama di sektor jasa yang sangat memerlukan pekerja dengan tingkat keahlian lebih tinggi, sampai-sampai mendorong kenaikan premium upah. Namun demikian, pertambahan pasokan ini juga diimbangi dengan makin banyaknya persentase pekerja yang berpendidikan lebih tinggi, terutama laki-laki, yang keluar dari angkatan kerja untuk tinggal di rumah atau melanjutkan sekolah. Meskipun jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi terus meningkat di Indonesia, masih ada keprihatinan mengenai mutu pendidikan mereka. Standar mutu pendidikan belum banyak meningkat dibandingkan dengan negara lain dan kondisi ini mungkin merupakan penyebab semakin besarnya ketimpangan upah di antara para pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Selain itu, permintaan akan pekerja yang tak hanya berpendidikan lebih tinggi, namun juga terdidik dengan lebih baik, tampaknya semakin besar. Masalah ketidaksesuaian, yaitu kesulitan mendapatkan pekerjaan yang cocok dengan latar belakang pendidikan, masih terus menjadi persoalan bagi pekerja yang berpendidikan lebih tinggi sehingga menimbulkan inefisiensi di pasar tenaga kerja berkeahlian. Bagaimanapun, masalah ketidaksesuaian ini semakin berkurang dan kini terdapat banyak jalur bagi pemberi kerja untuk mencari pekerja dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang tepat. Rekomendasi: Karena permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi masih tetap besar, maka peluang masih terbuka untuk menambah pasokannya agar perusahaan dapat memperoleh keahlian yang mereka perlukan dan semakin banyak pekerja dapat memetik manfaat dari premium upah yang tinggi. Hal ini dapat dicapai dengan melanjutkan ekspansi pendidikan formal, terutama di tingkat SMA dan pendidikan tinggi. Melakukan riset untuk mengidentifikasi penyebab ketidaksesuaian dan mengidentifikasi cara agar pekerja dapat dicocokkan dengan calon pemberi kerja secara lebih efisien. Mencari strategi untuk mendorong mobilitas pencari kerja dan memberi mereka informasi mengenai pekerjaan yang tersedia sesuai keahlian dan pengalaman mereka. Memperkuat fokus terhadap mutu pendidikan demi meningkatkan daya saing Indonesia di kawasannya, terutama di sektor jasa dan manufaktur.
134
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7 Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
I.
Pendahuluan
Pasar tenaga kerja di Indonesia bergantung pada pekerja dan keahlian yang mereka tawarkan bagi pasaran. Beberapa bab terdahulu telah mengkaji kebijakan dan lembaga ketenagakerjaan Indonesia, serta cara menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan perlindungan sosial bagi pekerja. Tiga bab berikutnya akan berfokus pada pekerja – tulang punggung pasar tenaga kerja. Penduduk usia kerja di Indonesia akan bertambah sekitar 20 juta orang selama sepuluh tahun ke depan atau sekitar 2 juta orang per tahun.151 Untuk memanfaatkan semaksimal mungkin peluang demografi yang jangka waktunya terbatas ini, Indonesia perlu memastikan bahwa para pekerjanya memiliki kemampuan untuk berhasil di pasar tenaga kerja. Tingkat pendidikan dan keahlian para pekerja di Indonesia terus meningkat setelah investasi publik selama sepuluh tahun. Pemahaman mengenai bagaimana perbaikan ini dapat mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan para pekerja akan membantu mengarahkan kebijakan pendidikan formal dan non-formal di masa depan supaya semakin banyak pekerja dapat mengakses pekerjaan yang lebih baik dan pemberi kerja dapat menemukan keahlian yang mereka cari. Bab ini memberikan garis besar mengenai pasar pekerja berkeahlian melalui kajian tren, baik dari segi pasokan maupun permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Bab ini dibagi menjadi empat bagian. Yang pertama mengkaji bagaimana investasi pada sektor pendidikan telah memberikan sumbangsih terhadap perbaikan tingkat pendidikan angkatan kerja Indonesia. Yang kedua menyelidiki tren premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan rekan mereka yang pendidikannya lebih rendah.152 Yang ketiga mempelajari alasan di balik peningkatan premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi, meskipun pasokannya terus bertambah selama 2003-2007. Bagian keempat dan terakhir mengkaji bagaimana perubahan ekonomi telah menciptakan permintaan yang lebih besar akan pendidikan bermutu tinggi.
II. Memperbesar Jumlah Pekerja yang Berpendidikan lebih Tinggi Investasi yang lebih tinggi di bidang pendidikan telah meningkatkan jumlah sekolah negeri, terutama di area perkotaan. Fokus pada perbaikan tingkat pendidikan dimulai sejak akhir 70-an, saat Pemerintah Indonesia meluncurkan program besar yang menghasilkan pembangunan lebih dari 60.000 sekolah dasar. Perluasan dan peningkatan pendidikan masih merupakan sasaran penting strategi pembangunan pemerintah. Pada tahun 2003, DPR telah mengesahkan undang-undang pendidikan yang mewajibkan belanja pendidikan untuk mencapai setidaknya 20 persen dari keseluruhan pengeluaran pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.153 Langkah ini telah meningkatkan belanja nasional riil
151 152
153
Bank Dunia. 2009c. “Menembus Badai,” Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia. Juni 2009. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, tingkat Sekolah Dasar (SD) mencakup tahun pertama sampai keenam. Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) mencakup tahun ketujuh sampai kesembilan, sedangkan Sekolah Menengah Atas (SMA) mencakup tahun kesepuluh sampai kedua belas. Bab ini merujuk pada ketiga tingkat pendidikan tersebut masing-masing dengan akronim SD, SMP, dan SMA. “Berpendidikan lebih tinggi” adalah istilah yang digunakan dalam laporan ini untuk merujuk pada orang dewasa yang paling tidak telah lulus SMA. “Berpendidikan lebih rendah” merujuk pada orang dewasa yang tingkat pendidikannya di bawah SMA. Lihat Bank Dunia (2007) untuk diskusi mengenai aturan 20 persen tersebut.
135
di bidang pendidikan dari Rp 42 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 78 triliun pada 2007. Meski demikian, tingkat pengeluaran ini masih kalah jika dibandingkan dengan negara tetangga (Gambar 7.1).154 Walau bagaimanapun, kenaikan belanja pendidikan telah meningkatkan jumlah sekolah negeri. Dari tahun 2000 sampai 2005, jumlah SMP negeri bertambah 35,4 persen dan jumlah SMA negeri naik 66,6 persen.155 Pertambahan ini lebih terkonsentrasi di area perkotaan. Perluasan jangkauan sekolah telah memperbaiki tingkat 27 25 partisipasi, terutama bagi 25 perempuan dan kaum muda 20 yang tinggal di pedesaan. 16 14 Antara 1995 sampai 2005, tingkat 15 partisipasi bersih SMP melonjak 10 dari 51 menjadi 63 persen, sedangkan tingkat partisipasi 5 bersih SMA meningkat lebih 0 pelan dari 33 menjadi 41 persen, Malaysia Thailand Indonesia Filipina dan tingkat partisipasi pendidikan Sumber: EdStats. Semua data untuk 2003, kecuali Thailand yang untuk 2005 tinggi naik tipis dari 6 menjadi 8 Meskipun persen.156 pembangunan sekolah terpusat di area perkotaan, partisipasi sekolah melonjak jauh lebih tinggi di area pedesaan. Partisipasi SMP di pedesaan naik lima kali lipat lebih cepat daripada di area perkotaan dan partisipasi SMA di pedesaan naik tiga kali lebih cepat (Tabel 7.1). Tingkat partisipasi perempuan naik lebih cepat daripada laki-laki. Pada tahun 1995, tingkat partisipasi bersih SMP, baik perempuan maupun laki-laki, adalah sekitar 51 persen. Namun pada 2005, tingkat partisipasi bersih perempuan telah naik menjadi 64 persen, sedangkan laki-laki hanya pada 61 persen. Hal serupa juga terjadi pada tingkat partisipasi bersih SMA. Tahun 1995, tingkat partisipasi bersih laki-laki adalah 34 persen, lebih tinggi daripada perempuan yang 32 persen. Tetapi tahun 2005, tingkat partisipasi bersih SMA sama-sama sebesar 41 persen.157 Persen dari Belanja Pemerintah
Gambar 7.1
Investasi pendidikan di negara yang sekawasan
30
Tabel 7.1
Tingkat partisipasi bersih sekolah (persen) SMP
Perkotaan Pedesaan Perempuan Laki-laki Total
1995 66,5 42,7 51,2 50,7 51,0
SMA 2005 70,1 57,5 64,1 61,3 62,7
1995 50,0 20,8 31,7 33,5 32,6
2005 52,8 30,8 40,6 40,7 40,7
Pendidikan Tinggi 1995 2005 13,1 13,3 1,3 2,4 5,9 7,9 6,7 7,5 6,3 7,7
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas.
154
155 156 157
136
Tetapi di sisi global, kinerja Indonesia semakin meningkat. Dalam sebuah perbandingan lebih luas yang mencakup 23 negara berkembang, peringkat Indonesia telah meningkat dari posisi ke-13 pada tahun 2003 menjadi posisi kelima pada 2008 seiring naiknya porsi belanja pendidikan dalam pengeluaran total pemerintah dari 16 menjadi 20 persen. Perbaikan peringkat ini mengasumsikan bahwa 22 negara berkembang yang lain masih mempertahankan persentase pengeluaran pendidikan terhadap pengeluaran total pada tingkat tahun 2003. Lihat Bank Dunia, 2007 (hal. 11, Gambar 2.2) untuk mengetahui daftar semua negara berkembang yang diperbandingkan. Sumber: Data Podes dari berbagai tahun. Lihat Lampiran VII.1. Sumber: Susenas. Selain tingkat partisipasi yang semakin tinggi, tingkat transisi dari SMP ke SMA pun ikut naik. Sekitar 30 persen dari kohor (cohort) yang masuk kelas 1 SD tahun 1986/1987, lulus SMP pada tahun ajaran 1994/1995 (MoNE, 2007). Tetapi, hanya sekitar 25 persen dari kohor (cohort) tersebut yang mendaftar ke SMA, yang berarti sekitar 83 persen dari lulusan SMP melanjutkan ke SMA. Menurut Susenas, dari antara mereka yang masuk kelas 1 SD tahun 1997/1998, tingkat kelanjutan dari SMP ke SMA mencapai 94 persen.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7 Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
Gambar 7.2
Tingkat partisipasi pendidikan tinggi di kawasan (persen) 50
46
40 28
30 21 17
20 10 0 Sumber: EdStats, 2006.
Tetapi secara keseluruhan, tingkat partisipasi bersih pendidikan menengah di Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain yang sekawasan. Secara keseluruhan, tingkat partisipasi bersih pendidikan menengah di Indonesia adalah 59 persen pada 2006, dibandingkan dengan 60 persen di Filipina pada 2006, 61 persen di Vietnam pada 2000, 69 persen di Malaysia pada 2005, dan 71 persen di Thailand pada 2006. Tingkat partisipasi pendidikan tinggi pun masih rendah jika dibandingkan secara kawasan dan jauh tertinggal di belakang Filipina dan Thailand (Gambar 7.2). Tingkat partisipasi yang lebih tinggi telah menghasilkan kenaikan mengesankan dan konsisten pada jumlah orang dewasa yang berpendidikan lebih tinggi. Meski demikian, masih banyak perbaikan yang dapat dilakukan. Partisipasi sekolah yang semakin tinggi telah menambah jumlah pelajar yang menyelesaikan pendidikan pada taraf yang lebih tinggi. Jumlah orang dewasa yang berpendidikan lebih rendah meningkat secara stabil dan perlahan selama 17 tahun terakhir dengan kenaikan rata-rata 1 persen per tahun selama 2003-07 (Gambar 7.3). Sebaliknya, jumlah orang dewasa yang berpendidikan lebih tinggi meningkat pesat, rata-rata 7 persen per tahun pada periode yang sama. Tetapi secara keseluruhan, komposisi angkatan kerja masih didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan di bawah SMA. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk membalik rasio tersebut. Gambar 7.3
Populasi pekerja menurut tingkat pendidikan 180 160
Orang dewasa berpendidikan SMA atau lebih tinggi Orang dewasa berpendidikan di bawah SMA
140
Juta
120 100 80 60 40 20 0 1990
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
Sumber: Sakernas, 1990-2007
137
Tabel 7.2 Tingkat pendidikan tertinggi di antara pekerja (persen) SMP
SMA
Pendidikan Tinggi
1990
2007
1990
2007
1990
2007
Perkotaan
15,79
21,23
27,44
33,53
5,99
11,27
Pedesaan
8,12
20,13
6,03
11,80
0,58
2,71
Perempuan
6,86
18,38
8,84
17,65
1,50
7,21
Laki-laki
12,13
21,86
13,19
22,55
2,26
5,67
Total
10,08
20,59
11,50
20,75
1,97
6,23
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas.
Pasokan yang semakin besar telah menghasilkan angkatan kerja yang berpendidikan lebih tinggi, terutama bagi pekerja perempuan dan pekerja di pedesaan. Persentase pekerja yang lulus SMP, SMA, dan perguruan tinggi telah meningkat pesat sejak 1990. Pekerja yang lulus SMA telah berlipat ganda dari 12,3 persen tahun 1990 menjadi 24,7 persen tahun 2007 (Tabel 7.2). Meskipun angka ini masih terhitung rendah, persentase pekerja yang lulus pendidikan tinggi berlipat tiga dari 2,1 persen tahun 1990 menjadi 6,2 persen tahun 2007.158 Kenaikan jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi terjadi secara dramatis di area pedesaan dengan peningkatan persentase pekerja yang lulus SMP dan SMA hampir dua kali lipat antara 1990 sampai 2007. Sementara itu, kenaikan jumlah pekerja yang berpendidikan tinggi bahkan lebih hebat lagi – sampai lima kali lipat pada periode yang sama. Kenaikan ini terjadi lebih besar di antara perempuan, terutama pada tingkat pendidikan tinggi. Persentase pekerja laki-laki yang lulus pendidikan tinggi meningkat dari 2 menjadi 6 persen, sedangkan perempuan yang lulus pendidikan tinggi melonjak lebih dari lima kali lipat dari 1,4 menjadi 7,2 persen.
III. Premium Upah Pekerja yang Berpendidikan lebih Tinggi Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi nilainya cukup besar dan terus meningkat sejak 2003.159 Tingkat pendidikan pekerja berdampak besar terhadap penghasilannya di masa depan. Pekerja yang paling tidak telah lulus SMA secara konsisten mendapatkan upah lebih tinggi daripada mereka yang pendidikannya lebih rendah. Pada 2007, sebagai contoh, pekerja lulusan SMA memiliki penghasilan yang rata-rata lebih besar 67 persen daripada pekerja dengan berpendidikan lebih rendah.160 Premium upah ini sedikit menurun pada periode tahun 1990-2003 seiring bertambahnya pasokan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Namun secara mengejutkan, premium upah ini meningkat 2 persen per tahun selama 2003-07 meski pasokan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi masih terus bertambah. Premium tersebut semakin besar bagi perempuan dan pekerja di perkotaan yang berpendidikan lebih tinggi. Pekerja perempuan yang minimal telah lulus SMA menikmati premium upah tertinggi. Selama 1990-2007, rata-rata penghasilan mereka mencapai dua kali lipat penghasilan perempuan yang berpendidikan lebih rendah, padahal laki-laki yang berpendidikan lebih tinggi rata-rata hanya menikmati premium 57 persen dibandingkan laki-laki yang berpendidikan lebih rendah. Namun demikian, premium
158 159
160
138
Sumber: Sakernas. Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi adalah ukuran seberapa besar penghasilan pekerja dengan tingkat pendidikan minimal SMA relatif terhadap pekerja dengan tingkat pendidikan di bawah SMA, jika karakteristik yang lain dipertahankan konstan. Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas, 2007. Lihat Lampiran VII.2.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7 Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
untuk laki-laki yang berpendidikan lebih tinggi tumbuh 1,9 persen per tahun selama 2003-07, lebih dari empat kali lipat pertumbuhan premium perempuan yang hanya 0,4 persen per tahun (Gambar 7.4). Selama 1990-2007, pekerja yang berpendidikan lebih tinggi di perkotaan menikmati premium 75 persen, sementara di pedesaan premiumnya hanya 67 persen, meskipun tingkat pertumbuhan premium di pedesaan lebih cepat daripada di perkotaan (Gambar 7.5). Kenaikan premium upah yang terjadi beberapa tahun belakangan sangat dirasakan oleh lulusan pendidikan tinggi. Pada tahun 2003, pekerja lulusan SMA berpenghasilan 47 persen lebih besar daripada pekerja yang berpendidikan lebih rendah. Sampai 2007, premium upah tersebut masih besar meskipun tidak bertambah. Hal ini berbeda dengan premium upah pekerja lulusan pendidikan tinggi yang naik dari 97 persen menjadi 105 persen lebih besar jika dibandingkan dengan upah pekerja yang berpendidikan lebih rendah. Gambar 7.4
Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut jenis kelamin 1,3 1,2 1,1
Persen
1,0 Semua Laki-laki Perempuan
0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 1990
1993
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas.
Gambar 7.5
Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut lokasi di perkotaan atau pedesaan 1,7 1,5
Persen
1,3 Pedesaan 1,1
Perkotaan
0,9 0,7 0,5 1990
1993
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas.
139
IV. Memahami Premium Upah yang Masih Tetap Tinggi Tabel 7.3
Status pekerjaan populasi orang dewasa menurut tingkat pendidikan SMA ke atas
angkatan kerja
bukan angkatan kerja
SMP ke bawah
2003
2007
2003
2007
61,9
58,5
61,1
61,7
Tidak kerja & sedang cari kerja
9,1
10,9
2,2
3,0
Pekerja patah semangat
1,8
0,6
2,3
0,8
Lain-lain
0,5
0,4
0,6
0,2
Sekolah
8,4
10,0
7,4
7,9
14,9
16,1
21,0
20,7
Bekerja
Pekerjaan rumah tangga Lain-lain Total
3,5
3,5
5,3
5,7
100,0
100,0
100,0
100,0
Meningkatnya premium pekerja berkeahlian antara tahun 2003 sampai 2007 merupakan hal yang mengherankan. Secara umum, naik-turunnya upah dan peluang kerja bagi para pekerja yang berpendidikan lebih tinggi semestinya mencerminkan interaksi antara pasokan dan permintaan akan pekerja berkeahlian. Pasokan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi – persentase orang dewasa dengan tingkat pendidikan minimal SMA – terus meningkat dengan pesat. Peningkatan ini semestinya menurunkan premium bagi pekerja berkeahlian seiring naiknya jumlah pekerja berkeahlian yang memiliki pekerjaan, namun yang terjadi malah sebaliknya. Premium bagi pekerja berkeahlian justru naik dari 60 persen pada 2003 menjadi 67 persen pada 2007. Bagian ini berupaya mengungkap berbagai faktor dari sisi pasokan dan permintaan yang turut memberikan sumbangsih terhadap tren meningkatnya premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi.
Pasokan Pekerja yang Berpendidikan lebih Tinggi Meskipun pasokan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi terus meningkat, akibat dari kenaikan pasokan ini teredam karena bertambahnya persentase pekerja dari kalangan ini yang tidak bekerja. Antara 2003 sampai 2007, jumlah orang dewasa yang berpendidikan lebih tinggi meningkat dengan cepat. Namun demikian, persentase orang dewasa dari kalangan ini yang kegiatan utamanya adalah bekerja, justru menurun (Tabel 7.3). Penurunan ini diakibatkan oleh semakin banyaknya pekerja yang berpendidikan lebih tinggi yang melakukan pekerjaan rumah tangga dan melanjutkan sekolah. Secara mengejutkan, penurunan ini tampak paling jelas di kalangan laki-laki berkeahlian. Penurunan rasio lapangan kerja laki-laki berkeahlian (dari 74 menjadi 40 persen) lebih cepat daripada laki-laki tanpa keahlian (dari 76,6 menjadi 74,9 persen) atau perempuan berkeahlian (dari 38,8 menjadi 37,4 persen). Persentase laki-laki berpendidikan lebih tinggi yang kegiatan utamanya adalah pekerjaan rumah tangga melonjak dari 1,5 menjadi 3,5 persen – tingkat tertinggi selama periode 1990-2007. Tampaknya laki-laki yang berpendidikan lebih tinggi bukan tersisih dari angkatan kerja, melainkan menarik diri secara sukarela. Menurunnya rasio lapangan kerja bagi laki-laki yang lebih ahli menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka tersisih dari angkatan kerja karena berkurangnya ketersediaan pekerjaan pada tingkat upah saat ini. Namun, penurunan jumlah pekerja patah semangat mengisyaratkan bahwa
140
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7 Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
mereka bukanlah tersisih.161 Antara 2003 sampai 2007, persentase pekerja yang patah semangat turun dari 2,2 persen menjadi 0,8 persen.162 Kelompok laki-laki berkeahlian juga mengalami penurunan persentase pekerja patah semangat dari 1,7 menjadi 0,8 persen yang mengisyaratkan bahwa kelompok ini pun tertarik memasuki kembali angkatan kerja karena ketersediaan pekerjaan yang meningkat. Bertolak belakang dengan penurunan jumlah pekerja patah semangat, tingkat pengangguran inti mengalami peningkatan.163 Tetapi, seperti halnya tingkat pekerja patah semangat, kenaikan ini sama besarnya untuk laki-laki berkeahlian dengan kelompok yang lain.
Permintaan akan Pekerja yang Berpendidikan lebih Tinggi Permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi masih terus meningkat. Walaupun peningkatan pasokan orang dewasa yang berpendidikan lebih tinggi dalam angkatan kerja agak terhambat, hal ini tidak dapat menjelaskan mengapa premium upah masih tetap besar. Tampaknya, permintaan akan pekerja dengan tingkat pendidikan dan keahlian yang lebih tinggi kini telah melebihi pasokan sehingga premium upah yang dinikmati oleh pekerja yang berpendidikan lebih tinggi masih tetap besar. Gambar 7.6
Jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut sektor (dalam juta) Jasa
Industri
Pertanian
30 25
Juta
20 15 10 5 0 2003
2004
2005
2006
2007
Sumber: Sakernas, 2003-07.
Persyaratan keahlian pekerja terus meningkat, terutama di sektor jasa, dan tren ini diperkirakan masih berlanjut. Pemberi kerja di sektor manufaktur, dan terutama di sektor jasa, kini mempekerjakan semakin banyak pekerja dengan tingkat keahlian yang lebih tinggi daripada sebelumnya (Gambar 7.6), serta melaporkan bahwa persyaratan keahlian yang mereka tentukan telah meningkat selama dua tahun terakhir (Gambar 7.7).164 82 persen dari perusahaan yang disurvei baru-baru ini mengklaim bahwa persyaratan
161 162 163 164
Pekerja patah semangat (discouraged worker) adalah mereka yang tidak bekerja dan tidak lagi berharap untuk mendapatkan pekerjaan. Sumber: Sakernas. Tingkat pengangguran inti didefinisikan sebagai persentase orang yang berada dalam angkatan kerja yang tidak bekerja dan aktif mencari pekerjaan. Bank Dunia, Employer Skill Survey, 2008. Survei ini dilaksanakan oleh Human Development unit dari Bank Dunia di 500 perusahaan berukuran sedang dan besar, serta terhadap 200 orang karyawan di sektor manufaktur dan jasa di Indonesia, dengan tujuan memastikan tren dalam hal permintaan keahlian pada tingkat pemberi kerja dan karyawan, serta faktor pendorongnya. Survei ini difokuskan pada lima provinsi yang menjadi pusat pembangunan ekonomi, dan di dalam lima provinsi tersebut, pada sampel yang mewakili perusahaan manufaktur dan jasa pada tingkat signifikansi 5%.
141
keahlian pekerja di perusahaan mereka terus naik karena standar mutu produk dan jasa juga semakin tinggi. 76 persen mengatakan bahwa persyaratan keahlian terus meningkat karena lingkungan bisnis yang semakin bersaing.165 Tren ini kemungkinan akan terus berlanjut. 80 persen dari perusahaan yang disurvei memperkirakan bahwa tren naiknya persyaratan keahlian akan terus terjadi, baik di sektor manufaktur maupun jasa (Gambar 7.8). Apakah persyaratan keahlian di perusahaan Anda telah meningkat dalam 2 tahun terakhir?
60 Manufakturing
50
Jasa 40 30 20 10 0 Ya
Tidak
Tidak tahu
Sumber: Indonesia Skills Survey (Akan datang)
Gambar 7.8
Persen dari perusahaan yang disurvei
Persen dari perusahaan yang disurvei
Gambar 7.7
Apakah persyaratan keahlian di perusahaan Anda masih akan meningkat dalam sepuluh tahun ke depan?
90 80
Manufakturing
70
Jasa
60 50 40 30 20 10 0 Ya
Tidak
Tidak tahu
Sumber: Indonesia Skills Survey (Akan datang)
Meningkatnya persyaratan keahlian telah 0,90 mempertahankan besarnya 0,80 premium upah yang diminta oleh pekerja yang 0,70 berpendidikan lebih tinggi, Pertanian 0,60 terutama di sektor jasa. Dari sisi Industri Jasa premium upah, para pekerja 0,50 sektor jasa yang berpendidikan 0,40 lebih tinggi jauh mengalahkan mereka yang bekerja di sektor 0,30 industri atau pertanian. Selama 0,20 2003-07, premium upah rata-rata 1990 1993 1996 1998 2000 2002 2004 2006 bagi pekerja sektor pertanian dan Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas. industri yang berpendidikan lebih tinggi berturut-turut adalah 32,4 persen dan 44,1 persen (Gambar 7.9). Bandingkan dengan premium di sektor jasa yang mencapai 73,6 persen. Premium upah menurut sektor
Persen
Gambar 7.9
V. Mutu Pendidikan & Persoalan Ketidaksesuaian Keberhasilan menambah jumlah orang dewasa yang berpendidikan lebih tinggi belum disertai dengan peningkatan mutu. Standar mutu pendidikan masih tertinggal dari negara tetangga. Dari 38 dan 45 negara yang ikut serta dalam penilaian untuk perbandingan internasional, berturut-turut pada tahun
165
142
Lampiran VII.3.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7 Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
1999 dan 2003, Indonesia berada di peringkat ke-34 pada kedua kesempatan tersebut.166 Meskipun penilaian bidang matematika meningkat, kinerja Indonesia di bidang ilmu pengetahuan menurun dua tingkat antara 1999 dan 2003, dari posisi 32 menjadi 34. Gambar 7.10 Skor kinerja matematika dan ilmu pengetahuan (TIMSS) dari berbagai negara 1999
2003
Rata-rata Internasional
Indonesia
600 500 400 300 200 100
TIMSS Matematika
Rata-rata Internasional
Thailand
Filipina
Malaysia
Thailand
Filipina
Malaysia
Indonesia
0
TIMSS Sains
Sumber: International Association for the Evaluation of Educational Assessment
Pentingnya mutu pendidikan dapat tercermin dari meningkatnya ketimpangan upah di antara pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Sebuah pertanda semakin pentingnya mutu pendidikan adalah meningkatnya ketimpangan penghasilan yang tampak paling jelas di antara pekerja berkeahlian. Bagi pekerja yang berpendidikan lebih rendah, upah di bagian atas distribusi turun tipis 0,3 persen per tahun, sementara mereka yang berada di bagian bawah distribusi turun 5,6 persen.167 Namun, perbedaan lebih besar terjadi pada upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi karena upah di bagian atas distribusi naik tipis 1,6 persen, sedangkan upah di bagian bawah distribusi mengalami penurunan berarti sampai 6,1 persen per tahun. Meningkatnya ketimpangan upah di antara pekerja yang berpendidikan lebih tinggi mungkin disebabkan sebagian oleh variasi mutu pendidikan. Sejak 2003, lingkungan bisnis di Indonesia makin bersaing; ekonomi semakin digerakkan oleh sektor jasa dan bergantung pada teknologi. Berbagai faktor tersebut kemungkinan mendorong kenaikan pendapatan sehingga mereka yang berpenghasilan tinggi kini pendapatannya semakin besar dibandingkan dahulu. Tetapi, ada pula kemungkinan bahwa meningkatnya perbedaan pendapatan diakibatkan oleh variasi mutu pendidikan: sejumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi menerima gaji lebih besar karena mereka lulus dari sekolah yang lebih baik dan lebih unggul daripada siswa yang lain. Namun demikian, upaya untuk memilah-milah perbedaan akibat kedua penjelasan ini akan menemui hambatan karena sulitnya mengamati mutu pendidikan secara langsung.
166
167
Studi Tren Matematika dan Ilmu Pengetahuan Internasional (The Trends in International Mathematics and Science Study – TIMSS) adalah penilaian internasional terhadap kinerja matematika dan ilmu pengetahuan siswa kelas 4 dan kelas 8 (kelas 2 SMP) dari seluruh dunia. TIMSS dikembangkan oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Pencapaian Pendidikan (International Association for the Evaluation of Educational Achievement – IEA). Perhitungan staf Bank Dunia.
143
Gambar 7.11a Persentase Ketidaksesuaian Pekerjaan Lulusan Universitas, Dibandingkan dengan Keseluruhan Pekerja 40 35
Gambar 7.11b Persentase Ketidaksesuaian Pekerjaan di antara Lulusan Diploma 1997-2006 40
32,7
31,6
33,5
32,5
35
28,3
30
28,1 25
29
30
26,3 23,1
25
34 31
32
33
33
31 27
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
31
0 1997
1998
1999
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1997
1998
1999
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber: Alisjahbana 2008, berdasarkan Sakernas.
Permintaan akan siswa bermutu tinggi dan berpendidikan lebih tinggi masih terus meningkat. Semua siswa di Indonesia mengikuti ujian nasional setelah lulus SD dan setelah lulus SMP. Siswa diklasifikasikan sebagai berkinerja tinggi jika nilai ujian SMP mereka berada di posisi sepertiga teratas tahun tersebut, berkinerja rata-rata jika berada di posisi sepertiga kedua, dan berkinerja rendah jika berada di posisi sepertiga terbawah. Sejak tahun 2000, premium upah yang diperoleh siswa berkinerja tinggi setelah mereka mengikuti pendidikan yang lebih tinggi meningkat dari 53 menjadi 75 persen. Sementara itu, premium upah yang diperoleh siswa berkinerja rata-rata turun dari 57 menjadi 42 persen dan premium upah yang diperoleh siswa berkinerja rendah masih sama. Peningkatan premium pendidikan yang terjadi sejak tahun 2000 ini juga dirasakan lulusan SMA dan perguruan tinggi yang berkinerja tinggi. Di samping mutu pendidikan, masih ada tantangan lain, yaitu menyesuaikan lulusan pendidikan tinggi dengan pemberi kerja yang memerlukan keahlian mereka. Ketidaksesuaian pekerjaan didefinisikan sebagai perbedaan antara latar belakang pendidikan pekerja dengan spesifikasi pekerjaan mereka. Ketidaksesuaian mengisyaratkan bahwa perusahaan mengalami kesulitan mencari pekerja yang memiliki keahlian yang dibutuhkan. Hal ini juga menjadi masalah bagi lulusan baru yang semestinya memiliki keunggulan komparatif jika mereka dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian mereka. Riset baru-baru ini mengisyaratkan bahwa masalah ketidaksesuaian bagi pekerja yang lulus pendidikan tinggi masih saja tinggi, terutama bagi laki-laki.168 Dampak masalah ini lebih dirasakan oleh lulusan bergelar diploma kejuruan daripada lulusan universitas (Gambar 7.11a dan b).169 Masalah ketidaksesuaian semakin berkurang sehingga upah semakin membaik. Jumlah lulusan pendidikan tinggi yang pekerjaannya tidak sesuai telah menurun dari 32,7 persen pada tahun 1997 menjadi 23,1 persen pada 2006.170 Hal ini mungkin karena bertambahnya peluang kerja atau karena inovasi yang dilakukan lembaga pendidikan dan pemberi kerja untuk menyesuaikan lulusan dengan pekerjaan yang tepat. Tren ini menguntungkan pemberi kerja yang membutuhkan keahlian tertentu. Hal tersebut juga menguntungkan lulusan yang sedang mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka. Dari tahun 1999 sampai 2006, lulusan yang bekerja di bidang yang tidak sesuai memperoleh upah nominal sedikit
168
169 170
144
Berdasarkan “Education and Skills Mismatch,” sebuah laporan yang ditulis oleh Armida Alisjahbana (2008a). Riset ini membuat indikator ketidaksesuaian dengan menggunakan matriks yang memperlihatkan sembilan kategori jurusan bagi pekerja bergelar universitas dan diploma kejuruan, serta 63 kategori yang menghubungkan sektor bisnis dengan jenis pekerjaan. Ketidaksesuaian teridentifikasi jika jenis pekerjaan maupun sektor bisnis tidak sesuai dengan jurusan yang dipelajari di universitas atau pendidikan diploma kejuruan. Alisjahbana, 2008a. Ibid.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7 Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
lebih tinggi daripada lulusan yang bekerja di bidang yang sesuai. Namun saat ini, lulusan yang bekerja di bidang yang sesuai memperoleh upah nominal lebih besar hampir di setiap sektor bisnis.171 172 Kotak 7.1
Inovasi Mengatasi Ketidaksesuaian
Perusahaan yang Melakukan Penjangkauan kepada Mahasiswa: PT Astra International Didirikan pada tahun 1957, PT Astra International (Astra) memiliki catatan prestasi dalam memperkenalkan berbagai praktik keorganisasian dan manajemen, baik gaya Jepang maupun Barat, serta dalam melatih kader manajer profesional. Hasilnya, perusahaan ini sering disebut-sebut sebagai salah satu perusahaan Indonesia yang pengelolaannya paling baik.172 Kebijakan inovatif ini telah memungkinkan Astra untuk berkembang dari perusahaan dagang kecil menjadi kelompok usaha terdiversifikasi yang mempunyai enam bisnis inti: otomotif, jasa keuangan, peralatan berat, agribisnis, teknologi informasi, dan infrastruktur. Kelompok usaha terdiversifikasi ini kini memiliki lebih dari 130 anak perusahaan yang mempekerjakan sekitar 120.000 staf. Kelompok usaha ini menyerap sekitar 1.000 orang lulusan baru setiap tahun melalui Recruitment and Career Development yang mengelola perekrutan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia. Program ini disebut Astra goes to Campus (AGTC) dan menggunakan serangkaian strategi perekrutan untuk membantu mengurangi ketidaksesuaian. Pameran/Bursa Kerja: Astra turut serta dalam bursa kerja yang diselenggarakan pihak universitas dan juga mengadakan sendiri bursa kerja universitas yang disebut “Astra Days”. Astra Days memungkinkan perusahaan untuk menjangkau pemirsa sasarannya, yaitu mahasiswa S1 dan S2 yang sedang mencari kerja. Kegiatan kampus yang dilakukan Astra merupakan bagian terpenting dari strategi perekrutannya yang telah menghasilkan 39 persen dari keseluruhan karyawan baru pada 2008. Astra Workshop Program (AWP): Program lokakarya ini dirancang untuk mengembangkan perangkat keahlian para mahasiswa yang diseleksi dari universitas terpilih berdasarkan prestasi mereka. Lokakarya tiga hari ini berisi pengembangan keterampilan sosial seperti kerja sama tim dan kepemimpinan, serta kegiatan pembimbingan dan konseling. Peserta yang berhasil dapat mengikuti rekrutmen jalur cepat di Astra setelah mereka lulus universitas. Magang: Program ini terdiri atas tiga jenis magang yang memberi kesempatan bagi mahasiswa tingkat akhir untuk memperoleh pengalaman kerja secara langsung. (i) Di tingkat korporat, mahasiswa universitas diberi kesempatan magang untuk posisi tertentu. (ii) Mahasiswa universitas mendapat kesempatan magang secara umum untuk mendapat pengalaman memanfaatkan pengetahuan mereka dalam lingkungan kerja sungguhan. (iii) Kesempatan magang bagi pelajar sekolah kejuruan, biasanya oleh anak perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur seperti PT. Astra Honda Motor dan PT. Toyota Astra Motor. Magang kejuruan ini lebih sering diselenggarakan dan melibatkan kelompok besar (antara 30-50 pelajar per kelompok). Pada saat bersamaan, Astra memberikan masukan dan sinyal kepada lembaga penyedia pendidikan mengenai mutu dan perangkat keahlian yang diperlukan para lulusan. Kegiatan ini termasuk: Lokakarya bagi dosen: Lokakarya bagi dosen dimaksudkan untuk memperkaya materi kuliah yang diberikan oleh dosen universitas. Para dosen dari sejumlah universitas terkemuka diundang untuk ikut serta dalam lokakarya tersebut dan belajar mengenai aspek teknis atau manajemen produksi. Mereka juga akan mendapat materi yang kelak dapat digunakan saat memberi kuliah. Kuliah tamu: Kegiatan ini dimaksudkan sebagai program penjangkauan melalui kuliah tamu oleh staf Astra di universitas mengenai berbagai topik, mulai dari praktik manajemen hingga proses perekrutan. Kunjungan perusahaan: Kegiatan ini ditujukan supaya mahasiswa dapat memahami operasi Astra. Program ini menyesuaikan jadwal kunjungan untuk berbagai jurusan. Tergantung pada fokusnya, mahasiswa mungkin akan mengunjungi pabrik untuk mempelajari berbagai mesinnya atau berdiskusi dengan manajer senior mengenai praktik terbaik manajemen.
171
172
Ibid. Penulis melaporkan adanya pengecualian di antara lulusan dari jurusan pendidikan, matematika, dan komputer karena upah nominal bagi lulusan yang bidang kerja tidak sesuai justru tumbuh lebih cepat daripada lulusan yang bidang kerjanya sesuai. Sebagai contoh, The Wall Street Journal, 9-11 Mei 2008.
145
Kotak 7.1
Lanjutan
Layanan Karir dari Universitas: Menghubungkan Pencari Kerja dengan Pemberi Kerja Universitas Indonesia (UI) adalah salah satu universitas paling bergengsi di Indonesia yang mempunyai 12 fakultas dan setiap tahunnya mewisuda sampai 2.000 orang lulusan baru. UI mendirikan Career Development Center (CDC UI) pada tahun 2005 sebagai perantara yang menghubungkan pemberi kerja dengan lulusan S1 dan S2 yang sedang mencari kerja, sehingga membantu mahasiswa agar dapat berhasil di tengah persaingan pasar tenaga kerja yang semakin berat. Dulunya, sebuah lembaga informal, Pusat Peluang Karya (PPK), mengisi peran sebagai perantara sebelum kemudian digabungkan dengan CDC UI. Selain CDC UI di tingkat pusat, beberapa fakultas juga memiliki CDC-nya sendiri. Meskipun ada kerja sama antara CDC pusat dan fakultas, CDC fakultas difokuskan pada pasar tenaga kerja yang khusus bagi lulusan fakultas tersebut. Saat ini CDC UI mempunyai sekitar 4.000 orang anggota, baik mahasiswa S1 maupun S2, yang membayar iuran Rp 50,000 untuk bergabung dengan CDC UI selama satu semester dan mengambil manfaat dari tiga layanan intinya, yaitu: Penyelenggaraan UI Career Expo: CDC mengundang calon pemberi kerja untuk ikut serta dalam sebuah pameran yang diadakan dua kali dalam setahun. Berbagai perusahaan menyewa tempat di lokasi pameran di kampus untuk mencari lulusan baru guna mengisi lowongan yang tersedia. Acara tersebut kini semakin dikenal dan menarik sehingga semakin banyak diikuti oleh pemberi kerja dan mahasiswa. Career Expo pertama yang diadakan tahun 2006 diikuti 10 perusahaan dan 500 mahasiswa pencari kerja, namun sampai Career Expo yang diadakan tahun 2008, keikutsertaan telah meningkat menjadi 58 perusahaan dan 6.500 pencari kerja. Menurut CDC, 20-30 persen dari mahasiswa yang menghadiri acara tersebut berhasil memperoleh pekerjaan. Number of companies participating ini UI Career Expo (2006-2008) 70
Number of participating ini UI Career Expo (2006-2008) 10.000 9.000
60
8.000
50
7.000
40
6.000 5.000
30
4.000
20
3.000 2.000
10
1.000
0
0
Career Expo I Career Expo II Career Expo III Career Expo IV Career Expo V (2006) (2006) (2007) (2007) (2008)
Career Expo I Career Expo II Career Expo III Career Expo IV Career Expo V (2006) (2006) (2007) (2007) (2008)
Mengadakan Proses Perekrutan: Proses perekrutan perusahaan dilakukan setidaknya satu kali sebulan, tergantung pada permintaan dari perusahaan yang menjadi mitra. Selain itu, tergantung pada jenis kerja samanya, CDC UI dapat melakukan penyaringan awal kandidat dan mengadakan wawancara jika dibutuhkan. Menyelenggarakan Seminar/Pelatihan: Seminar dan pelatihan diadakan setidaknya dua kali dalam sebulan dan ditujukan untuk membantu lulusan UI agar dapat bersaing dengan lebih efektif di pasar tenaga kerja. Setiap seminar/pelatihan dihadiri oleh 50-100 orang peserta, sedangkan fokusnya tergantung pada keahlian yang menjadi sorotan berbagai perusahaan karena dianggap kurang dimiliki pencari kerja. Yang sering ditekankan dalam pelatihan adalah keterampilan sosial seperti kerja sama tim dan kepemimpinan. Dalam beberapa kasus, perusahaan mengadakan pelatihan sebagai bagian dari proses perekrutan sehingga para peserta yang berhasil lulus dan memenuhi syarat akan direkrut. Kebanyakan pelatihan diberikan cuma-cuma kepada anggota CDC UI, tetapi non-anggota juga dapat mengikuti pelatihan dengan membayar.
146
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7 Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
VI. Rekomendasi Meneruskan alokasi sumber daya untuk memperbanyak SMA dan lembaga pendidikan tinggi. Karena premium bagi pekerja yang lulus SMA masih tinggi, pasar masih mampu menyerap lebih banyak lagi pekerja lulusan SMA dan pendidikan tinggi. Penambahan SMA diperlukan untuk memenuhi permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Namun demikian, premium masih terus meningkat untuk pekerja lulusan pendidikan tinggi. Investasi untuk menambah lembaga pendidikan tinggi dapat menghasilkan manfaat yang lebih luas dan juga memenuhi permintaan yang terus meningkat akan pekerja berkeahlian tinggi. Mengadakan riset untuk mengidentifikasi penyebab ketidaksesuaian dan bagaimana caranya supaya pekerja dapat dicocokkan dengan calon pemberi kerja dengan lebih efisien. Upaya dari pemberi kerja dan universitas untuk mencari kecocokan antara lulusan baru dan calon pemberi kerja merupakan hal yang menggembirakan dan perlu dilanjutkan lebih jauh. Namun, masih terdapat banyak penghambat yang menyulitkan pekerja untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian mereka atau pekerja yang terkena PHK untuk mencari pemberi kerja lain yang sesuai. Perlu dikaji sejumlah strategi untuk mendorong mobilitas pencari kerja dan memberi mereka informasi mengenai pekerjaan yang tersedia, sesuai dengan keahlian dan kemampuan mereka. Secara bersamaan, perlu pula dilakukan berbagai langkah untuk memperbaiki mutu pendidikan pada setiap tingkatan. Pasar tenaga kerja menuntut tingkat keahlian yang semakin tinggi karena lingkungan bisnis yang semakin bersaing. Perbaikan mutu pendidikan juga dapat disertai dengan sejumlah langkah untuk meningkatkan keahlian pekerja melalui program pelatihan publik, topik yang akan dibahas dalam Bab 9. Rekomendasi ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana pemerintah semestinya memperluas pasokan pekerja yang berkeahlian dan berpendidikan lebih tinggi untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat dari para pemberi kerja? Ada beberapa jenis SMA dan lembaga pendidikan tinggi yang dapat ditingkatkan dalam reformasi untuk memperluas pendidikan. Bab berikutnya akan mengkaji perdebatan kebijakan saat ini mengenai apakah SMA ataukah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dapat memastikan supaya angkatan kerja masa depan berada di posisi terbaik untuk mendapat manfaat dari permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi.
147
Bab 8
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian (Bagian I) Melengkapi Pekerja Masa Depan Melalui Pendidikan Formal
Bab 8 Ringkasan & Rekomendasi Sistem pendidikan menengah atas di Indonesia terbagi menjadi empat jenis sekolah: umum negeri, kejuruan negeri, umum swasta, dan kejuruan swasta. Tingkat partisipasi sekolah terus naik karena pertambahan jumlah sekolah umum negeri. Keadaan ini mulai berubah setelah diluncurkannya kebijakan pertambahan sekolah kejuruan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan sasaran membalikkan rasio sekolah kejuruan terhadap sekolah menengah atas umum menjadi 70:30 pada tahun 2015. Telah dilakukan moratorium pembangunan sekolah umum, sementara sekolah kejuruan kini berkembang pesat dan menyerap lebih banyak siswa. Sampai dengan 2007, kirakira seperempat dari semua siswa terdaftar di sekolah kejuruan, angka yang masih jauh dari target kuota. Dilihat dari kinerja beberapa generasi lulusannya, jalur pendidikan kejuruan dan umum menghasilkan kondisi ketenagakerjaan yang sama, kecuali dalam hal tingkat formalitas laki-laki yang lebih tinggi. Keberhasilan lebih bergantung pada apakah lulusan yang bersangkutan memiliki ijazah sekolah negeri daripada apakah lulusan yang bersangkutan belajar di sekolah umum atau kejuruan. Namun demikian, kinerja lulusan laki-laki dari sekolah kejuruan terus menurun seiring waktu dan kini mereka dihadapkan pada penalti upah yang ketat. Persoalan ini mungkin disebabkan oleh kecenderungan laki-laki memilih jurusan teknik dan industri yang kini semakin tidak relevan di pasar tenaga kerja karena pergeseran ke sektor jasa. Sementara itu, perempuan lebih memilih jurusan yang berorientasi pelayanan dan kini menikmati kondisi yang lebih baik. Siswa dengan kemampuan akademis lebih tinggi akan terkena dampak terbesar pelaksanaan kebijakan “70:30”. Akses yang semakin kecil terhadap sekolah umum negeri akan memaksa lebih banyak siswa untuk belajar di sekolah kejuruan. Siswa laki-laki yang berprestasi secara akademis akan menghadapi penalti upah besar jika mereka lulus dari sekolah kejuruan daripada sekolah umum negeri. Meski demikian, sekolah kejuruan sebetulnya efektif untuk membantu siswa laki-laki yang lebih lemah secara akademis dalam memasuki pasar tenaga kerja. Tanpa adanya perbaikan kondisi ketenagakerjaan atau pengurangan tingkat pengangguran secara jelas, kebijakan “70:30” tidak dapat menjustifikasi biaya pendidikan kejuruan yang lebih tinggi yang akan dibebankan kepada negara dan juga orang tua melalui biaya sendiri yang lebih besar. Pembatalan moratorium sekolah umum negeri dapat membantu memenuhi kebutuhan akan pekerja berpendidikan lebih tinggi yang efektif dari segi biaya. Sekolah kejuruan masih berperan dalam mendidik pekerja masa depan, tetapi diperlukan perbaikan mutu dan relevansi keahlian yang diajarkan. Hal ini dapat dilakukan dengan membina hubungan yang lebih kuat dengan calon pemberi kerja, serta mengadopsi dan menerapkan standar layanan minimum. Perbandingan jenis sekolah yang tepat dapat dicari dengan mengikuti permintaan akan keahlian di pasar tenaga kerja, bukannya dengan memasang target tertentu.
I.
Pendahuluan
Pekerja dengan tingkat pendidikan dan keahlian kerja spesifik yang lebih tinggi sangat dibutuhkan oleh pemberi kerja. Permintaan yang besar ini menyebabkan premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi tetap mahal, meskipun jumlah pekerja dari golongan ini bertambah dengan cepat. Meskipun tingkat partisipasi SD sudah hampir 100 persen di Indonesia, persentase angkatan kerja yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi masih sangat rendah. Pada 2007, sekitar seperlima dari pekerja adalah lulusan SMA, dan hanya sekitar 6 persen yang lulus pendidikan tinggi.173 Karena itu, untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerja, sangat dibutuhkan penambahan jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Pendidikan para pekerja masa depan dimulai dengan perluasan akses terhadap pendidikan formal, terutama sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
173
150
Sakernas. Lihat Bab 7, Tabel 7.2.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan saat ini adalah mengidentifikasi cara terbaik untuk meningkatkan pasokan pekerja berkeahlian di masa depan. Perhatian para pembuat kebijakan terfokus pada perluasan kesempatan belajar di sekolah menengah atas. Namun, perencanaan perluasan ini menjadi rumit karena adanya berbagai jenis sekolah menengah di Indonesia: umum dan kejuruan, negeri dan swasta, sekuler dan berbasis agama. Kementerian Pendidikan Nasional memilih untuk memprioritaskan penambahan sekolah menengah kejuruan (SMK) supaya pekerja masa depan memiliki keahlian kerja spesifik. Kebijakan ini telah menimbulkan perdebatan mengenai pendidikan menengah atas manakah yang paling baik untuk menyiapkan siswa supaya berhasil di pasar tenaga kerja saat ini. Bab 8 mengkaji jenis sekolah menengah atas manakah yang paling baik menyiapkan lulusannya agar berhasil di pasar tenaga kerja. Sejauh ini, perdebatan mengenai kebijakan untuk memperluas pendidikan menengah atas berlangsung tanpa disertai analisis menyeluruh. Riset baru-baru ini mengenai efek jenis sekolah terhadap kondisi ketenagakerjaan yang disampaikan dalam bab ini, dapat mendukung pembuatan kebijakan berbasis bukti dan mendorong kebijakan yang akan membantu lulusan di masa depan supaya berhasil di pasar tenaga kerja. Bab ini terdiri atas empat bagian: Yang pertama menjelaskan sistem pendidikan menengah atas di Indonesia. Yang kedua menjelaskan kebijakan pemerintah baru-baru ini untuk mendorong pendidikan kejuruan di tingkat menengah atas dan dampaknya terhadap pendaftaran siswa. Yang ketiga mengkaji kondisi ketenagakerjaan lulusan menengah atas untuk menilai jenis sekolah manakah yang memberi kesempatan terbaik bagi siswa agar berhasil mendapat pekerjaan. Bagian yang keempat dan terakhir memberikan rekomendasi untuk memperluas pendidikan menengah atas dan memperbaiki mutu pendidikan.
II. Pendidikan Menengah Atas di Indonesia Sistem pendidikan menengah atas di Indonesia, baik di sekolah negeri maupun swasta, dibagi menjadi jalur umum dan kejuruan. Sistem pendidikan menengah di Indonesia dibagi menjadi sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, masing-masing diikuti selama tiga tahun sebelum lulus. Indonesia juga memiliki dua sistem sekolah yang berbeda, yaitu sekuler dan Islam, meskipun kurang dari 10 persen anak usia sekolah belajar di sekolah Islam.174 Dalam sistem sekolah sekuler, siswa yang lulus dari sekolah menengah pertama memiliki pilihan untuk mendaftar ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Sekolah Menengah Atas (SMA).175 Berbagai sekolah tersebut dibagi lagi berdasarkan kepemilikan, yaitu sekolah negeri atau sekolah swasta. Hanya ada sedikit kesamaan di antara jalur pendidikan kejuruan dan jalur pendidikan umum. Kurikulum kedua jenis sekolah menengah atas ini sangat berbeda dan mata pelajaran yang sama hanya sedikit, seperti bahasa Inggris dan Indonesia. SMA umumnya tidak menawarkan subjek kejuruan seperti pertukangan kayu atau permesinan, sedangkan sekolah kejuruan hampir hanya berfokus pada keahlian pekerjaan dan dibagi menurut jenis jurusan yang mencakup: manajemen bisnis; keahlian teknis seperti permesinan dan teknologi informasi; pertanian dan kehutanan; kesejahteraan masyarakat; pariwisata; kesenian dan kerajinan; kesehatan, dan kelautan. Selain itu, terdapat pula SMK kejuruan yang sangat khusus
174 175
Newhouse dan Suryadarma, 2009. Pada tahun 2007, Susenas memperlihatkan bahwa hanya 8,4% anak usia sekolah terdaftar pada sistem sekolah Islam. Karena alasan tersebut, diskusi dan analisis Bab 8 hanya mengkaji sistem sekolah sekuler. Bab ini menggunakan istilah SMK dan SMA, berturut-turut untuk merujuk pada sekolah menengah atas kejuruan dan sekolah menengah atas umum. Jenis sekolah ketiga pada tingkat menengah atas, sekolah Islam Madrasah Aaliyah, tidak dimasukkan dalam analisis bab ini. Hal ini karena jumlah siswa menengah atas yang terdaftar pada sekolah Islam sangat kecil jika dibandingkan dengan SMK atau SMA. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2007, hanya 8,4 persen anak usia sekolah yang terdaftar pada sistem sekolah Islam.
151
yang berfokus pada penerbangan atau pembuatan kapal. Bidang yang paling diminati adalah manajemen bisnis dan teknis/industri karena mencakup 88 persen dari semua SMK yang ada.176 Kenaikan tingkat partisipasi terutama didorong ekspansi sekolah umum negeri. Akses terhadap sekolah menengah atas semakin baik sehingga tingkat partisipasipun meningkat. Tren ini terutama didorong oleh pembangunan lebih banyak sekolah negeri sehingga kaum muda memiliki kesempatan lebih besar untuk sekolah (Gambar 8.1 dan 8.2).177 Sebelumnya, jumlah siswa yang belajar di sekolah swasta lebih banyak daripada di sekolah negeri, tetapi sejak tahun 2006-07, pembagiannya sudah berimbang antara sekolah negeri dan swasta. Antara tahun 2002 sampai 2007, sekolah umum yang dibangun setiap tahunnya lebih banyak daripada sekolah kejuruan sehingga mampu menyerap mayoritas siswa baru setiap tahun. Gambar 8.1
Sekolah menengah atas menurut Gambar 8.2 jenisnya
20,000
8,000,000
15,000
6,000,000
10,000
4,000,000
5,000
2,000,000
Partisipasi ke sekolah menengah atas menurut jenisnya
0
0 2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007
Public SMK Schools
2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007
Private SMA Schools
Private SMK Schools
Sumber: Kemendiknas, www.depdiknas.go.id
III. Kebijakan Ekspansi Pendidikan Kejuruan Pemerintah meluncurkan rencana ekspansi sekolah kejuruan demi memotong tingkat pengangguran kaum muda. Sesuai rencana strategis 2005-09, Kementerian Pendidikan Nasional berencana menempatkan 70 persen siswa menengah atas di sekolah kejuruan dan 30 persen sisanya di sekolah umum pada tahun 2015.178 Kebijakan “70:30” ini dimaksudkan untuk mengurangi pengangguran kaum muda dan menyiapkan lulusan supaya dapat segera bekerja dengan dibekali keahlian siap pakai.179 Justifikasi untuk kebijakan ini adalah keyakinan bahwa lulusan SMK lebih berpeluang diserap pasar tenaga kerja, sebab secara historis tingkat pengangguran lulusan SMK kurang dari setengah tingkat pengangguran lulusan SMA.180 Untuk mencapai target ini, pihak kementerian membangun banyak sekolah kejuruan dan telah menetapkan moratorium pembangunan sekolah umum baru. Target kebijakan Kementerian
176
177 178 179 180
152
Sekolah menengah atas kejuruan untuk bidang bisnis dan manajemen dikenal sebagai Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), sedangkan untuk bidang teknik dan industri dikenal sebagai Sekolah Teknik Menengah (STM). Pada 2005-06, dari keseluruhan 6.025 SMK, 39 persen di antaranya merupakan STM dan 49 persen yang lain adalah SMEA. (Alisjahbana, 2008c). Lampiran VIII.1. Alisjahbana, 2008c; Rencana Strategis Departemen Pendidikan National Tahun 2005-2009 (Kementerian Pendidikan Nasional, 2006a). Kebijakan “70:30” bertujuan meningkatkan jumlah SMK, baik negeri maupun swasta. Alisjahbana, 2008c. Kementerian Pendidikan Nasional, 2006b.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Pendidikan Nasional adalah mencapai rasio 50:50 dalam perbandingan sekolah kejuruan dengan sekolah umum pada tahun 2010 (Tabel 8.1) dan mencapai rasio 70:30 pada tahun 2015. Kementerian menggunakan tiga strategi umum guna mencapai rasio tersebut: membekukan pembangunan SMA baru, mempercepat pembangunan SMK baru, dan mengubah sekolah umum yang telah ada menjadi sekolah kejuruan. Rencana kementerian juga menguraikan tiga tujuan tambahan yang berkaitan dengan pendidikan kejuruan, yaitu pendirian 441 SMK internasional sampai dengan tahun 2010; revitalisasi peralatan pendidikan di SMK, dan; pengembangan program kewirausahaan bagi siswa kejuruan.181 Tabel 8.1
Peta langkah pengembangan pendidikan teknik kejuruan
Target
2005/06
2006/07
2007/08
2008/09
2009/10
Rasio siswa: SMK terhadap SMA
35:65
37:63
38:62
43:57
50:50
Jumlah SMK
6.000
6.150
6.300
6.500
6.600
2,1
2,4
2,9
3,5
4,3
94.000
110.000
138.000
174.000
216.000
Jumlah siswa SMK (juta) Jumlah guru SMK Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional182
Kebijakan ini sudah berjalan dan kini semakin banyak siswa mendaftar ke sekolah kejuruan. 1.211 sekolah kejuruan tambahan telah didirikan dari 2006-07 sampai 2008-09. Dalam periode yang sama, 375 sekolah umum ditutup.183 Keadaan ini membalikkan tren penurunan jangka panjang dalam pendaftaran sekolah kejuruan (Gambar 8.3). Sampai dengan 2007, semakin banyak siswa telah mendaftar di sekolah kejuruan. Sebagian besar dari peningkatan tersebut merupakan pendaftaran di sekolah kejuruan swasta yang menyerap lebih banyak siswa laki-laki daripada perempuan.184 Meskipun terjadi pertambahan, kecil kemungkinan bahwa Kementerian dapat mencapai target 50:50 pada 2010 atau target 70:30 lima tahun kemudian. Pada tahun 2007 saja, siswa SMK baru mencapai 24 persen dari total siswa menengah atas, jauh dari target yang ditetapkan dalam peta langkah. Gambar 8.3
Partisipasi sekolah kejuruan, 1992-2007 Sumbu Kiri Jumlah siswa sekolah kejuruan Sumbu Kanan Persentase siswa sekolah kejuruan terhadap keseluruhan siswa menengah atas (%)
1,700,000
38 36
1,600,000
34 32
1,500,000
30 1,400,000
28 26
1,300,000
24 22
1,200,000
20 1,100,000
18 1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Sumber: Newhouse dan Suryadarma, 2009 (berdasarkan Susenas)
181 182 183 184
Ibid. Alisjahbana, 2008c. Lampiran VIII.1. Newhouse dan Suryadarma, 2009.
153
Tabel 8.2
RRasio aplikasi versus yang diterima
Jenis sekolah
Rasio
Umum (SMA)
1,44
Negeri
1,57
Swasta
1,22
Kejuruan (SMK)
1,26
Negeri
1,53
Swasta
1,13
Namun demikian, pergeseran ini tidak sesuai dengan keinginan orang tua. SMK merupakan pilihan kedua bagi sebagian besar orang tua. Keinginan orang tua, yang diukur melalui rasio aplikasi versus yang diterima, sedikit lebih tinggi untuk SMA daripada SMK, tanpa memandang apakah sekolah tersebut merupakan sekolah swasta atau negeri (Tabel 8.2).185 Preferensi ini bahkan lebih kuat lagi pada orang tua yang berpendidikan lebih tinggi; kecil kemungkinan bahwa mereka bersedia mendaftarkan anak mereka ke sekolah kejuruan, apalagi di SMK swasta.186
Kebijakan “70:30” dijalankan tanpa analisis empiris menyeluruh. Bukti internasional tentang manfaat pendidikan kejuruan masih belum pasti. Beberapa studi mendapati bahwa lulusan kejuruan memperoleh upah lebih tinggi, tetapi studi yang lain tidak menemukan perbedaan, baik dari sisi kondisi ketenagakerjaan maupun upah, jika dibandingkan dengan lulusan umum.187 Korea Selatan pernah berusaha melaksanakan kebijakan ekspansi kejuruan pada tahun 90-an untuk meningkatkan ketersediaan pekerja berkeahlian. Namun, kebijakan tersebut gagal dan tingkat partispasi sekolah menengah kejuruan justru menurun antara 1995 sampai 2005 (Lihat Kotak 8.1). Meski demikian, kebijakan “70:30” ini tetap diluncurkan tanpa adanya bukti empiris kuat yang dapat menjustifikasi kebijakan. Baru setelah kebijakan diluncurkan, dilakukan sejumlah studi untuk mengkaji hasil yang diperoleh lulusan sekolah kejuruan di Indonesia.188 Bagian berikutnya mengisi kekurangan bukti tersebut dan mengkaji seberapa baik kinerja berbagai jenis pendidikan menengah atas dalam menyiapkan lulusan agar berhasil di pasar tenaga kerja. Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional
Kotak 8.1
Pengalaman Korea Selatan: perluasan pendidikan kejuruan mungkin bukan jawaban yang tepat
Mengingat pemerintah Indonesia berminat memperluas pendidikan kejuruan, pengamatan terhadap pengalaman negara lain yang telah menjalankan kebijakan serupa di masa lalu akan sangat membantu. Salah satu contohnya adalah Korea Selatan yang menerapkan kebijakan ekspansi kejuruan pada awal 90-an. Penurunan pendidikan kejuruan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Korea Selatan pada tahun 60-an dan 70-an telah mendorong permintaan terhadap pekerja dan teknisi berkeahlian. Rasio partisipasi ke sekolah kejuruan terhadap sekolah umum meningkat dari 40 persen pada 1965, menjadi 45 persen pada 1980. Namun sejak tahun 80-an, persentase siswa kejuruan mulai menurun, dari tingkat tertinggi sebesar 45 persen pada 1980, menjadi hanya 35 persen pada 1990. Penurunan ini disebabkan oleh kenaikan pesat tingkat partisipasi ke pendidikan tinggi.
185 186 187 188
154
Luque, 2009. Newhouse dan Suryadarma, 2009. Ibid. Bank Dunia baru-baru ini menghasilkan tiga laporan mengenai efek pendidikan kejuruan. Lihat Chen (2009) dan Luque (2009). Bab 8 didasarkan pada temuan Newhouse dan Suryadharma (2009) yang memperkirakan efek keberagaman jenis sekolah pada berbagai kelompok kemampuan skolastik, usia, dan latar belakang keluarga, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Mereka menggunakan panel rumah tangga yang mencakup jangka waktu 14 tahun sehingga memungkinkan mereka untuk membedakan antara efek usia dan efek kohor, serta mengkaji perubahan pada hasil yang diperoleh dari pendidikan kejuruan seiring berjalannya waktu. Kalaupun timbul bias akibat adanya karakteristik yang berpengaruh namun tidak teramati, asalkan bias tersebut konstan sepanjang waktu, maka hal ini tetap akan memberikan perkiraan yang akurat mengenai perubahan pada hasil yang diperoleh seiring berjalannya waktu.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Kotak 8.1
Lanjutan
Kebijakan “50:50” untuk perluasan kejuruan. Pemerintah Korea Selatan berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus diperluas untuk mengatasi kekurangan pekerja berkeahlian dan mengurangi permintaan berlebihan akan pendidikan tinggi. Karena itu, pada awal 90-an, pemerintah Korea Selatan mengadopsi “Kebijakan 50:50” untuk meningkatkan persentase siswa sekolah menengah kejuruan sampai 50 persen pada tahun 1998. Pemerintah segera bertindak mengubah sekolah menengah atas umum menjadi sekolah menengah kejuruan dan membangun sekolah kejuruan baru untuk mendorong kenaikan tingkat pendaftaran. Tetapi, kebijakan tersebut gagal: meskipun pendaftaran sekolah kejuruan sempat meningkat sampai 42 persen pada tahun 1995, rasionya kemudian terus menurun sampai akhinya tinggal 29 persen pada tahun 2005 – jauh di bawah target awal. Mengapa kebijakan tersebut gagal. Terdapat dua alasan utama yang menyebabkan kegagalan itu. Yang pertama, orang tua tidak percaya bahwa siswa lulusan sekolah menengah atas umum dan lulusan pendidikan tinggi akan menghadapi peluang kerja yang lebih buruk, dan karenanya, menolak kebijakan tersebut. Yang kedua, bertolak belakang dengan analisis pemerintah, kebutuhan akan pekerja berkeahlian tidak harus dipenuhi dengan menambah siswa sekolah menengah kejuruan. Teknologi penghemat tenaga kerja (seperti mesin otomatis) telah menggantikan banyak pekerjaan repetitif dan berulang yang tadinya dilakukan oleh lulusan sekolah kejuruan. Penelitian juga mendukung pandangan orang tua bahwa pendidikan umum lebih baik. Penelitian barubaru ini sepertinya membenarkan pandangan orang tua bahwa hasil pendidikan di sekolah menengah atas umum akan lebih baik daripada pendidikan di sekolah menengah atas kejuruan. Analisis data panel untuk 200106 mendapati bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kondisi ketenagakerjaan lulusan sekolah menengah umum dibandingkan dengan lulusan sekolah menengah kejuruan, sedangkan upah bulanan rata-rata lulusan sekolah menengah umum sekitar 10 persen lebih tinggi daripada lulusan sekolah kejuruan. 189 Pelajaran yang dapat ditarik bagi pengembangan sekolah kejuruan di Indonesia. Pengalaman Korea Selatan mengisyaratkan dua hal. Yang pertama, kebijakan ekspansi sekolah kejuruan akan gagal, kecuali jika kebijakan tersebut mampu menjawab permintaan yang belum terpenuhi dan sesuai dengan perkembangan kondisi pasar. Yang kedua, riset mendalam perlu dilakukan dahulu untuk menguji hipotesis yang mendasari ekspansi sekolah. Kajian mengenai perubahan jangka panjang dalam hal kebutuhan akan keahlian dan perbedaan kondisi ketenagakerjaan antara lulusan sekolah umum dan kejuruan, serta analisis lebih baik mengenai kebutuhan sosial akan pendidikan umum dan pendidikan tinggi haruslah dilakukan dulu sebelum kebijakan ekspansi dapat diterima dan dilaksanakan. Sumber: “VET Provision and Expansion: Korean Experiences,” oleh Sung Joon Paik, Spesialis Senior Bank Dunia bidang Pendidikan, yang dipresentasikan tanggal 16 Mei 2008 dalam lokakarya ESA di Bogor, Indonesia. 189
IV. Mengkaji Keberhasilan Lulusan di Pasar Tenaga Kerja Berdasarkan kinerja lulusan selama dua puluh tahun terakhir, jalur pendidikan kejuruan maupun umum menghasilkan kondisi ketenagakerjaan yang hampir sama. Perempuan lulusan sekolah
189
Korea Research Institute for Vocational Education and Training (KRIVET), 2008. Data ini merupakan hasil perbandingan antara lulusan pendidikan diploma yang sebelumnya lulus dari sekolah umum dan yang sebelumnya lulus dari sekolah kejuruan, dan hasil tersebut tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan secara statistik. Tidak ada perbedaan upah antara lulusan umum dan kejuruan yang segera memasuki pasar tenaga kerja setelah lulus sekolah menengah atas. Akhirnya perlu diingat bahwa hasil studi ini mungkin mengalami bias seleksi dalam pemilihan jenis sekolah menengah atas.
155
kejuruan memiliki kondisi ketenagakerjaan yang sama dengan perempuan lulusan sekolah umum negeri.190 Penghasilan, tingkat pengangguran, dan tingkat lapangan kerja formal, tidak berbeda antara lulusan SMK (negeri maupun swasta) dan lulusan SMA negeri. Demikian pula laki-laki yang lulus dari sekolah kejuruan mempunyai peluang yang sama seperti lulusan sekolah umum untuk menjadi penganggur, dan jika bekerja, tingkat penghasilan mereka pun akan serupa.191 Namun, ada keuntungan bagi laki-laki yang lulus dari SMK negeri karena mereka lebih berpeluang untuk mendapat pekerjaan di sektor formal. Keberhasilan lulusan lebih bergantung pada apakah mereka lulusan sekolah negeri daripada apakah mereka belajar di sekolah umum atau kejuruan. Perbedaan kondisi ketenagakerjaan antara lulusan sekolah negeri dan sekolah swasta tampak lebih jelas. Laki-laki yang lulus dari sekolah swasta mempunyai penghasilan jauh di bawah lulusan sekolah negeri. Hal ini terjadi merata tanpa memandang apakah mereka lulus dari sekolah umum negeri atau dari sekolah kejuruan negeri. Kondisi serupa juga dialami perempuan yang lulus dari sekolah umum swasta karena keikutsertaan mereka dalam angkatan kerja lebih rendah dan tingkat lapangan kerja formal mereka juga berada di bawah lulusan tiga jenis sekolah menengah atas yang lain. Siswa berlatar belakang kurang beruntung yang belajar di sekolah swasta memiliki peluang kerja yang buruk. Tingkat pendidikan ayah dapat mewakili latar belakang keluarga; mereka yang ayahnya berpendidikan paling tinggi sekolah menengah pertama dikategorikan ‘kurang beruntung’, sedangkan mereka yang ayahnya berpendidikan minimal sekolah menengah atas dikategorikan ‘beruntung’. Di antara para pekerja laki-laki yang kurang beruntung, mereka yang lulus dari sekolah swasta memiliki peluang kerja paling buruk dan penalti upah yang relatif besar jika dibandingkan dengan lulusan sekolah negeri.192 Karena itu, laki-laki dari latar belakang kurang beruntung akan memperoleh manfaat terbesar dari pendidikan kejuruan di sekolah negeri dan menghadapi penalti upah terbesar jika belajar di sekolah swasta. Efek ini pun terjadi pada perempuan. Di antara para pekerja perempuan yang kurang beruntung, lulusan sekolah umum swasta mengalami dampak paling buruk karena merekalah yang keikutsertaannya paling kecil dalam angkatan kerja dan mempunyai tingkat formalitas kerja terendah. Tetapi baru-baru ini, kinerja lulusan laki-laki dari sekolah kejuruan negeri pun telah menurun dan kini menjadi penalti. Laki-laki yang baru saja lulus dari SMK negeri kini tak lagi mempunyai peluang lebih besar untuk dipekerjakan di sektor formal.193 Yang lebih memprihatinkan lagi, telah terjadi penurunan upah secara dramatis di antara kaum muda laki-laki yang baru lulus dari SMK negeri. Dulunya, laki-laki berusia 25 tahun lulusan SMK negeri akan memperoleh upah yang besar, namun mereka kini menghadapi penurunan upah yang besar dan bertambah terus seiring waktu (Gambar 8.4a). Perkiraan penurunan upah bagi kelompok laki-laki termuda mencapai 30 persen pada tahun 2000 dan 43 persen pada 2007.
190
191
192 193
156
Lampiran VIII.3 dan Lampiran VIII.4. Lampiran VIII.3 memperlihatkan kondisi ketenagakerjaan pada berbagai subkelompok lulusan sekolah menengah atas. Tetapi, seleksi non-acak dalam pekerjaan dapat menimbulkan bias pada perkiraan efek jenis sekolah terhadap tingkat formalitas dan upah jika determinan tak teramati pada jenis sekolah berkaitan dengan peluang berbagai jenis lulusan memperoleh pekerjaan yang dipilihnya. Karena itu, perlu dilakukan kontrol terhadap sebanyak mungkin karakteristik pratertentu (predetermined) atau eksogen. Lampiran VIII.4 memperlihatkan kondisi ketenagakerjaan setelah dilakukan kontrol terhadap sebanyak mungkin karakteristik teramati untuk mengisolasi efek dari berbagai jenis sekolah menengah atas. Berbagai variabel tersebut termasuk: pendidikan orang tua, baik orang tua yang tinggal bersama maupun yang tidak tinggal bersama; tinggi badan; luas tempat tinggal yang dilaporkan sendiri pada usia 12 tahun; pengulangan kelas saat SD atau SMP; tingkat kehadiran saat SMP; bekerja saat bersekolah di SD atau SMP, dan tahun wawancara. Selain itu, efek tetap dari daerah kelulusan SMP perlu memperhatikan keragaman pasokan pendidikan, karakteristik masyarakat, dan efek rekan sebaya di berbagai daerah. Upah individu yang menjadi wiraswastawan dihitung menggunakan keuntungan per jam rata-rata. Indeks harga perkotaan dari Statistik Indonesia digunakan untuk mengurangi upah tahun 1993, sedangkan indeks harga IFLS digunakan untuk tahun-tahun selanjutnya (Newhouse dan Suryadarma, 2009). Lampiran VIII.5. Lampiran VIII.7.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Gambar 8.4 a. Laki-laki
Efek pendidikan kejuruan negeri terhadap upah194 b. Perempuan
Kohor tua
Kohor tengah
Kohor muda
Kohor tua
Kohor tengah
Kohor muda
40 Usia rata-rata
50
0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 -0.10 -0.20 -0.30 -0.40 -0.50
0.60 0.40 0.20 0.00 -0.20 -0.40 -0.60 20
30
40 Usia rata-rata
50
20
60
30
60
Sumber: Perhitungan Bank Dunia, berdasarkan IFLS 1993, 1997, 2000, 2007
Turunnya kinerja lulusan laki-laki dari sekolah kejuruan kemungkinan diakibatkan oleh perubahan struktur ekonomi. Sejak krisis keuangan 1998, ekonomi semakin bergantung pada sektor jasa untuk menghasilkan pertumbuhan.195 Pertumbuhan tahunan sektor industri menurun drastis, sementara pertumbuhan tahunan sektor jasa masih tetap kuat. Dari 2003 sampai 2007, lapangan kerja sektor jasa tumbuh lebih cepat daripada lapangan kerja sektor industri. Perubahan struktur ini kemungkinan berdampak negatif terhadap lulusan laki-laki dari sekolah kejuruan karena mereka cenderung memilih jurusan teknik dan industri daripada jurusan yang berorientasi jasa (Gambar 8.5). Gambar 8.5
Pilihan jurusan kejuruan Teknik dan industri
Manajemen bisnis
Pariwisata
Lain-lain
Perempuan
Laki-laki
0%
20%
40%
60%
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas, 2006
194
195 196
80%
100%
Di sisi lain, perempuan cenderung memilih jurusan yang berorientasi jasa di sekolah kejuruan dan kini meraih hasil yang lebih baik. Perempuan cenderung memilih jurusan yang sesuai dengan sektor jasa sehingga diuntungkan karena nilai upah yang lebih tinggi.196 56 persen perempuan mengambil jurusan manajemen bisnis dan 28,9 persen mempelajari pariwisata (Gambar 8.5). Karena mereka mengambil sektor jasa, perempuan dari
Newhouse dan Suryadarma, 2009. Untuk mengkaji efek usia, sampel dibagi menjadi tiga kohor: tua (mereka yang lahir antara 1940 sampai 1962), sedang (1963-1972), dan muda (1973-1980). Catatan: Setiap titik memperlihatkan efek yang diperkirakan dari sekolah kejuruan relatif terhadap sekolah umum untuk kohor dan tahun tertentu. Sumbu horizontal menunjukkan usia rata-rata kohor yang bersangkutan pada tahun tersebut. Lihat Bab 2 untuk diskusi mengenai perubahan ekonomi dan efek yang ditimbulkan terhadap penciptaan lapangan kerja sektoral. Lihat Bab 7 untuk informasi lebih jauh mengenai hasil dari pendidikan jika dipilah menurut sektor lapangan kerja.
157
sekolah kejuruan kemungkinan akan memperoleh hasil yang lebih baik. Terdapat indikasi awal bahwa hal ini telah terjadi. Kelompok termuda dari perempuan yang lulus dari SMK negeri kemungkinan akan mengalami peningkatan upah, mulai pada usia 30 tahun (Gambar 8.4b).197 Pelaksanaan kebijakan “70:30” kemungkinan akan berdampak negatif bagi siswa dengan kemampuan akademis lebih tinggi. Siswa yang unggul secara akademis, yang berada di sepertiga peringkat teratas ujian terstandardisasi, memiliki kemungkinan jauh lebih besar untuk belajar di sekolah umum.198 Kebijakan ekspansi kejuruan – dan penutupan sekolah umum untuk diubah menjadi sekolah kejuruan – akan memaksa lebih banyak siswa berprestasi akademis untuk memasuki jalur kejuruan. Mereka inilah yang paling terancam dirugikan akibat investasi dalam pendidikan kejuruan ketika kondisi ekonomi justru semakin menghargai pekerja berpendidikan umum dan mempunyai keahlian kognitif. Mereka akan menghadapi penurunan upah 41 persen dengan belajar di sekolah kejuruan negeri dan 49 persen jika belajar di sekolah kejuruan swasta.199 Seperti halnya laki-laki, perempuan berprestasi akademis juga mengalami penurunan besar jika bersekolah di SMK. Perempuan berprestasi akademis yang lulus dari sekolah kejuruan negeri dan swasta, berturut-turut mengalami penurunan upah 16 dan 32 persen. Namun demikian, sekolah kejuruan sama efektifnya dengan sekolah umum dalam menyiapkan siswa laki-laki dengan kemampuan akademis lebih rendah untuk memasuki pasar tenaga kerja. Siswa dengan orang tua yang berpendidikan lebih rendah dan siswa yang kemampuan akademisnya lebih rendah mempunyai kemungkinan jauh lebih besar untuk mendaftar di SMK swasta.200 Meskipun belajar di SMK swasta membawa penurunan upah besar bagi siswa berprestasi akademis, siswa yang kemampuan akademisnya lebih rendah mengalami kondisi yang lebih baik. Laki-laki dan perempuan berkemampuan akademis lebih rendah yang belajar di sekolah kejuruan swasta akan meraih pendapatan serupa dengan yang belajar di sekolah umum atau sekolah kejuruan negeri.201 Tetapi, perempuan yang lulus dari SMK swasta berpeluang lebih besar untuk menganggur dan berpeluang lebih kecil menjadi pekerja formal. Karena itu, pendidikan kejuruan swasta hanya berguna bagi siswa laki-laki yang lemah secara akademis; peluang mereka untuk dipekerjakan dan memiliki pekerjaan formal sama saja seperti jika mereka lulus dari jenis sekolah yang lain. Laki-laki dengan kemampuan akademis rendah yang lulus dari sekolah kejuruan negeri tak hanya memperoleh penghasilan sama besar dengan mereka yang lulus dari sekolah umum negeri, tetapi mereka juga berpeluang lebih kecil untuk menjadi penganggur. Hal ini bertolak belakang dengan perempuan yang kemampuan akademisnya lebih rendah karena peluang mereka untuk menjadi penganggur justru lebih besar jika mereka lulus dari sekolah kejuruan negeri.
V. Rekomendasi Kebijakan “70:30” yang dijalankan saat ini tidak akan mencapai sasarannya untuk mengurangi tingkat pengangguran secara keseluruhan. Meskipun maksud kebijakan ini adalah mengurangi tingkat pengangguran, kebanyakan lulusan sekolah kejuruan berpeluang sama besar dengan lulusan sekolah umum untuk menjadi penganggur. Satu-satunya subkelompok yang berpeluang lebih kecil untuk menjadi penganggur hanyalah laki-laki dengan kemampuan akademis lebih rendah yang lulus dari sekolah kejuruan negeri. Lulusan dari kedua jenis sekolah juga berpeluang sama besar mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Keunggulan upah dan tunjangan pekerjaan formal yang dulunya dirasakan oleh lulusan laki-laki
197 198 199 200 201
158
Lampiran VIII.7. Catatan: peningkatan premium upah bagi kohor perempuan termuda nilainya cukup besar, tetap efeknya tidak signifikan secara statistik. Lampiran VIII.6. Lampiran VIII.9. Lampiran VIII.6. Lampiran VIII.9.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
dari sekolah kejuruan telah berkurang dan belakangan ini malah menjadi penurunan upah. Siswa laki-laki dengan kemampuan akademis lebih tinggi akan menjadi kelompok yang paling dirugikan jika kesempatan untuk belajar di sekolah umum negeri semakin berkurang dan mereka terpaksa belajar di sekolah kejuruan. Tanpa adanya perbaikan kondisi ketenagakerjaan secara jelas, ekspansi sekolah kejuruan yang dilakukan secara meluas saat ini tidak akan efektif secara biaya. Sekolah kejuruan lebih mahal daripada sekolah umum. Biaya tahunan per siswa untuk SMA negeri diperkirakan sebesar Rp 3,5 juta (Gambar 8.6).202 Sementara itu, biaya tahunan per siswa untuk SMK negeri diperkirakan lebih tinggi 37 persen, yaitu sebesar Rp 4,8 juta. Kebijakan ekspansi kejuruan akan membutuhkan tambahan anggaran kira-kira Rp 5 triliun per tahun begitu target 70:30 telah tercapai.203 Ini adalah peningkatan yang sangat besar, setara dengan 65 persen dari keseluruhan anggaran untuk sekolah menengah atas yang diperkirakan sebesar Rp 8,9 triliun pada 2009.204 Biaya yang dikeluarkan sendiri oleh orang tua pun akan lebih tinggi 36,9 persen untuk SMK negeri jika dibandingkan dengan SMA negeri (Gambar 8.7).205 Demikian pula dengan biaya untuk SMK swasta akan lebih tinggi 31,4 persen daripada biaya untuk SMA swasta. Tetapi, konversi sekolah umum menjadi sekolah kejuruan akan membatasi pilihan orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah menengah atas. Keadaan ini terutama akan berdampak bagi keluarga miskin karena golongan inilah yang paling banyak menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta dan terpaksa mengeluarkan biaya sendiri yang lebih besar. Gambar 8.6
Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk pendidikan (Rp)
Negeri Sumber: Ghozali
Gambar 8.7
Biaya yang dikeluarkan sendiri untuk pendidikan (Rp)
Swasta
Negeri
Swasta
Sumber: Susenas, 2006
Membatalkan moratorium sekolah menengah atas umum demi memenuhi kebutuhan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi yang efektif dari segi biaya. Meskipun persentase pekerja lulusan sekolah menengah atas terus naik, masih ada banyak ruang untuk menambah jumlahnya supaya pekerja yang masih muda memperoleh manfaat dari tingginya upah bagi tenaga kerja yang berpendidikan lebih tinggi. Sekolah umum negeri adalah cara paling efektif dari segi biaya bagi pemerintah untuk menyiapkan siswa agar dapat berhasil di tempat kerja. Orang tua juga lebih menyukai pendidikan di sekolah negeri, terutama SMA, karena lebih murah daripada sekolah swasta dan memberi peluang terbaik agar anak mereka
202 203 204 205
Ghozali, 2006. Angka-angka tersebut mewakili biaya dalam nilai Rupiah tahun 2003, yang dibayarkan melalui belanja pemerintah, tidak termasuk biaya rumah tangga yang dikeluarkan untuk pendidikan. Perkiraan staf Bank Dunia. Angka dalam nilai Rupiah tahun 2003. Bank Dunia, 2007. Lampiran VIII.2 (Luque, 2009). Survei rumah tangga IFLS2000 memperoleh hasil berbeda dan dilaporkan bahwa sekolah umum swasta adalah yang paling mahal, diikuti oleh sekolah kejuruan swasta dan kemudian sekolah kejuruan negeri. Yang biayanya termurah adalah sekolah umum negeri (Newhouse dan Suryadarma, 2009).
159
berhasil di pasar tenaga kerja. Jika akses terhadap sekolah umum negeri tidak diperluas, ada risiko bahwa siswa dengan kemampuan akademis lebih baik, terutama laki-laki, tidak akan memperoleh manfaat dari premium upah yang sesungguhnya dapat diperoleh jika mereka lulus dari SMA negeri. SMK masih berperan penting mendidik pekerja masa depan, namun diperlukan perbaikan mutu dan relevansi keahlian. Meskipun ekspansi sistem pendidikan sebaiknya berfokus pada sekolah umum yang lebih hemat biaya, sekolah kejuruan tetap berperan penting memperbaiki kondisi ketenagakerjaan pekerja masa depan. Sekolah kejuruan sama baiknya dengan sekolah umum dalam melatih siswa laki-laki yang lemah secara akademis; malah jika siswa-siswa tersebut belajar di sekolah kejuruan negeri, kemungkinan mereka menjadi penganggur akan berkurang. Namun demikian, semakin turunnya hasil yang diperoleh laki-laki dari pendidikan kejuruan mengisyaratkan bahwa mutu dan kesesuaian sekolah kejuruan perlu diperbaiki. Kementerian Pendidikan Nasional pun menyetujui hal ini dan telah menyatakan bahwa sebagian besar SMK di Indonesia saat ini berada di bawah standar nasional.206 Kajian kualitatif mengisyaratkan bahwa sekitar setengah dari seluruh SMK kekurangan fasilitas teknik untuk mendukung cara belajar yang efektif dan peralatan yang dipakai sering kali berbeda dengan praktik dalam industri. Memperbaiki mutu pendidikan kejuruan dengan membina hubungan dengan perusahaan, sambil mengadopsi dan melaksanakan standar layanan minimum. Riset baru-baru ini yang mengkaji model sekolah kejuruan di Indonesia memperlihatkan bahwa membina hubungan yang lebih kuat dengan dunia industri, memastikan adanya sumber daya keuangan yang memadai, dan memperbaiki mutu guru adalah kunci mencapai keberhasilan (lihat Kotak 9.2).207 Melalui kerja sama dengan pemimpin industri, Kementerian Pendidikan Nasional dapat memastikan bahwa kurikulum kejuruan relevan dengan kebutuhan angkatan kerja saat ini dan memberikan kesempatan pelatihan di lokasi industri bagi siswa. Standar minimum juga dapat membantu menyetarakan mutu pendidikan di berbagai sekolah yang berbeda dan memastikan perbaikan pada sekolah swasta. Daripada menetapkan target tertentu untuk pendaftaran sekolah kejuruan, lebih baik mencari perbandingan jenis sekolah yang tepat dengan mengikuti permintaan keahlian di pasar tenaga kerja. Penetapan kuota bukanlah pendekatan terbaik untuk memastikan tingkat pendaftaran sekolah. Pasokan pendidikan semestinya fleksibel sehingga dapat menanggapi perubahan permintaan dengan lebih baik dan mengikuti fluktuasi pasar tenaga kerja. Riset dapat dilakukan untuk mengetahui keahlian kejuruan mana yang paling dicari pekerja. Pertama, lakukan studi pelacakan kondisi ketenagakerjaan siswa dari berbagai jenis sekolah dan jurusan kejuruan yang berbeda untuk mengetahui bidang mana yang premium upahnya tinggi. Kedua, mengadakan survei regional pemberi kerja untuk mengetahui keahlian mana yang dicari oleh calon pemberi kerja. Hasil dari riset semacam itu dapat menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kebijakan ekspansi sekolah. Terakhir, mengembangkan strategi menyeluruh bagi pendidikan kejuruan yang mencakup lembaga formal maupun non-formal. Sekolah menengah atas kejuruan bukanlah satu-satunya cara untuk memberikan keahlian yang relevan dengan pekerjaan bagi angkatan kerja masa depan. Program pelatihan keahlian mempunyai peran yang lebih penting lagi, terutama mengingat kebanyakan angkatan kerja Indonesia belum lulus dari pendidikan menengah atas. Karena itu, bab berikutnya akan melihat bagaimana program pelatihan keahlian dapat memberikan kesempatan kedua bagi pekerja yang belum mendapatkan pendidikan menengah atas atau pendidikan tinggi.
206 207
160
Wawancara Bank Dunia dengan Kementerian Pendidikan Nasional, 2008. Saat ini terdapat lebih dari 7.000 SMK di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 290 di antaranya dikategorikan berkinerja tinggi, sementara sekitar 3.500 berada di bawah standar. Wicaksono, 2008.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Kotak 8.2
SMK yang Boleh Menjadi Contoh: Sekolah Kejuruan Analis Kimia di Bogor 208
Sekolah Menengah Kejuruan Analis Kimia Bogor, atau lebih dikenal sebagai SMAK Bogor, adalah SMK di bawah tanggung jawab Kementerian Perindustrian. Sekolah ini adalah salah satu dari hanya tiga sekolah kejuruan di seluruh Indonesia yang mencetak analis laboratorium kimia, sebuah profesi yang semakin dibutuhkan. SMAK Bogor diakui sebagai model bagi SMK di Indonesia dan hal ini telah dikonfirmasikan melalui keberhasilan para lulusannya. Lulusan sekolah ini mampu bersaing dengan mahasiswa bergelar Sarjana atau Diploma. Sebagai contoh, di PT Sucofindo – sebuah perusahaan pemeriksaan yang dimiliki negara – sekitar 80 persen posisi analis kimia diisi oleh lulusan SMAK, sedangkan pemegang gelar Sarjana hanya 15 persen dan Diploma 5 persen saja.208 Menurut salah seorang pimpinan Sucofindo, perusahaan mencari lulusan SMAK karena mereka lebih cepat beradaptasi dengan peralatan laboratorium canggih jika dibandingkan dengan lulusan dari pendidikan tinggi. Catatan prestasi dan reputasi SMAK Bogor tidak terlepas dari tiga faktor keberhasilan berikut: Hubungan dengan industri. SMAK Bogor memiliki kurikulum tersendiri yang inovatif sesuai dengan upayanya memenuhi permintaan calon pemberi kerja dari industri. Alih-alih pendidikan standar tiga tahun, siswa SMAK membutuhkan empat tahun untuk menyelesaikan program pendidikannya sehingga mereka punya lebih banyak waktu untuk mata pelajaran yang bersifat praktik. Sekolah juga memanfaatkan jaringan yang telah dibangun dengan perusahaan dan alumni untuk mencari tahu kebutuhan spesifik pasar tenaga kerja. Program magang yang tak hanya diikuti oleh siswa, tetapi juga oleh guru, adalah bagian dari pelatihan. Penggalangan dana secara kreatif. Dukungan keuangan yang diterima SMAK Bogor dari pemerintah untuk membayar gaji guru dan fasilitas sekolah, tidak mencukupi bagi operasinya. Hal ini memaksa pihak sekolah untuk mencari sumber dana tambahan secara kreatif. Sekolah mengumpulkan sumbangan dari sektor swasta dan mendirikan cabang berorientasi laba yang menawarkan layanan komersial kepada masyarakat. Dengan pemasukan tambahan ini, SMAK dapat berinvestasi lebih jauh dalam pelatihan guru dan peningkatan keahlian. Siswa dan guru yang memenuhi syarat. SMAK Bogor mampu mempertahankan standar pengajaran yang tinggi karena sekolah ini diminati oleh siswa dan guru yang memenuhi syarat. Pendaftaran ke sekolah ini sangat kompetitif dan pelajarannya cukup berat. Siswa tahun pertama yang gagal melanjutkan ke tahun kedua harus keluar dari sekolah. Sementara itu, sekolah mempekerjakan guru berkualifikasi dari Balai Industri, sebuah lembaga riset yang dioperasikan oleh Kementerian Perindustrian, dan dosen universitas. Sekolah juga mengajak guru tamu dari perusahaan agar siswa dan guru dapat menarik manfaat dari profesional berpengalaman. Sumber: Wicaksono, 2008; Chatab 2008.
208
Nevizond Chatab, “Kinerja Lulusan Pendidikan Menengah Kejuruan SMAK di SUCOFINDO”, makalah yang dipresentasikan pada Seminar Terbatas Strategi Peningkatan Relevansi Pendidikan Menengah, Jakarta, 30 Juni 2008.
161
Bab 9
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian(Bagian II) Program Pelatihan Keahlian Pekerjaan NonFormal
Bab 9 Ringkasan & Rekomendasi Meskipun pendidikan formal adalah salah satu cara terbaik untuk membantu kaum muda meraih keberhasilan di pasar tenaga kerja, kaum muda yang lulus dari Sekolah Menengah Atas masih relatif sedikit. Karena itu, program pelatihan keahlian pekerjaan dan sertifikasi keahlian berperan penting memberikan kesempatan kedua bagi pekerja yang beresiko tertinggal. Fasilitas pelatihan publik di Indonesia masih terbatas dan cenderung hanya membantu pekerja yang telah memiliki pekerjaan, terutama di sektor formal. Fasilitas semacam itu kurang berhasil menjangkau orang-orang yang akan memperoleh manfaat terbesar dengan mendapat kesempatan kedua: pengangguran, pekerja informal, dan kaum miskin. Berbagai program tersebut kebanyakan berbasis ruang kelas. Namun, pengalaman internasional memperlihatkan bahwa intervensi melalui pelatihan lebih berpeluang meningkatkan kondisi ketenagakerjaan pesertanya apabila pelatihan tersebut memberikan rangkaian layanan lebih luas yang mencakup: magang, bantuan pencarian kerja atau pelatihan sambil bekerja, keterampilan sosial dan hidup, serta subsidi upah. Kebijakan “3 in 1” yang baru-baru ini dilakukan Indonesia adalah langkah ke arah yang tepat, tetapi masih dibutuhkan upaya lanjutan untuk mewujudkan manfaat pendekatan yang menyeluruh terhadap pelatihan keahlian. Lembaga sertifikasi profesi nasional juga memainkan peran penting untuk mengurangi hambatan dalam pencarian kerja, terutama bagi kaum miskin yang peluangnya lebih kecil untuk mengecap pendidikan formal. Meskipun Indonesia telah mendirikan lembaga semacam itu pada tahun 2004, kerangka kerja kualifikasi nasional secara keluruhan masih belum terpadu karena berbagai kementerian pemerintah masih menetapkan standar kompetensinya sendiri-sendiri. Rekomendasi: Memperkenalkan program baru untuk pelatihan keahlian secara menyeluruh guna mengisi kekurangan dalam kesempatan pelatihan. Mengadopsi model yang mengikuti pengalaman Jóvenes, termasuk keterampilan sosial yang semakin dibutuhkan perusahaan Indonesia dan rangkaian layanan pelengkap seperti magang, bantuan pencarian kerja atau pelatihan sambil bekerja, dan subsidi upah. Menargetkan pelatihan bagi pekerja yang paling membutuhkan kesempatan kedua: pekerja yang muda dan miskin, serta yang masih dipekerjakan di sektor informal. Mengontrakkan layanan pelatihan kepada penyedia layanan swasta dan LSM. Dinas Tenaga Kerja memainkan peran kunci dalam memberikan pedoman strategis dan memantau kinerja penyedia layanan. Menciptakan lingkungan kelembagaan yang menunjang berkembangnya program pelatihan, termasuk peraturan yang menciptakan lebih banyak kesempatan kerja dan lembaga sertifikasi profesi yang terpadu dan terpusat.
I. Pendahuluan Meskipun pendidikan formal adalah salah satu cara terbaik untuk membantu kaum muda meraih keberhasilan di pasar tenaga kerja, kaum muda yang lulus dari Sekolah Menengah Atas masih relatif sedikit. Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam hal akses terhadap pendidikan selama tiga puluh tahun terakhir. Hampir semua anak-anak kini dapat mengecap Sekolah Dasar. Namun demikian, akses yang terbatas terhadap pendidikan berkualitas pada tingkat Sekolah Menengah Atas dan pendidikan tinggi masih terus menjadi hambatan bagi kaum muda. Masalah ini paling dirasakan oleh calon pekerja masa depan yang berasal dari rumah tangga miskin, yang peluangnya lebih besar untuk putus sekolah (Gambar 9.1).209 Hal ini merugikan mereka di pasar tenaga kerja karena mereka akan lebih sulit mendapatkan pekerjaan yang lebih disukai di sektor formal dan non-pertanian.
209
164
Lihat pula Ridao-Cane dan Filmer, 2004.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Program pelatihan keahlian pekerjaan dan sertifikasi keahlian 100 m e m b e r i k a n kuintil terkaya 90 kesempatan kedua bagi pekerja yang 80 beresiko tertinggal. 70 Keikutsertaan dalam 60 pendidikan formal 50 m e m b e r i k a n 40 kesempatan pertama bagi pekerja untuk 30 kuintil termiskin mengembangkan 20 keahlian yang relevan 10 dengan pekerjaan. 0 Namun, bagi mereka 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan Kelas formal atau tidak Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2008. mempunyai keahlian yang relevan dengan pekerjaan, program pelatihan dapat memberikan kesempatan alternatif untuk mengembangkan keahlian yang dibutuhkan pemberi kerja. Berbagai program tersebut juga dapat diarahkan kepada kelompok yang sangat rentan seperti kaum miskin yang sangat memerlukan integrasi ke dalam pasar tenaga kerja demi meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, kerangka kerja kualifikasi keahlian juga memberikan kesempatan kedua dengan memungkinkan pekerja untuk dinilai berdasarkan keahlian dan kompetensi mereka, tanpa memandang latar belakang pendidikan atau bagaimana mereka memperoleh keahliannya tersebut. Tingkat pendidikan tertinggi yang pernah diikuti, usia 1618 menurut kuintil penghasilan
Persen
Gambar 9.1
Bab 9 meninjau bagaimana intervensi melalui pelatihan keahlian dapat dirancang untuk mengatasi hambatan pasar tenaga kerja di Indonesia, terutama bagi kaum miskin dan rentan. Program Aktif Ketenagakerjaan (Active Labor Market Programs - ALMP) telah dilaksanakan di berbagai negara untuk mengatasi kegagalan pasar tenaga kerja yang turut menyebabkan risiko pengangguran lebih tinggi, masa pengangguran lebih lama, atau penghasilan lebih sedikit. Bab ini mengkaji pelatihan pekerjaan di Indonesia dan kemudian memberikan rekomendasi dengan menarik pelajaran dari praktik-praktik intervensi terbaik yang dilaksanakan di negara berekonomi menengah dan maju. Bab ini dibagi menjadi empat bagian: Yang pertama memberikan garis besar mengenai berbagai layanan pelatihan yang ada di Indonesia saat ini dan gambaran mengenai siapa saja yang cenderung memperoleh manfaat dari pelatihan di sektor pendidikan non-formal. Yang kedua meninjau program pelatihan keahlian teknis dan non-teknis dalam mengatasi hambatan memperoleh pekerjaan melalui berbagai kategori berikut: a) pelatihan kejuruan di ruang kelas; b) pelatihan keterampilan sosial dan keterampilan hidup, serta; c) program yang mengadopsi pendekatan menyeluruh. Tinjauan ini menyoroti ciri utama setiap pendekatan dan juga kondisi awal, faktor pendukung keberhasilan, serta relevansinya terhadap konteks di Indonesia. Yang ketiga berfokus pada kerangka kerja kualifikasi nasional yang dapat mengatasi hambatan pencarian kerja melalui sinyal yang lebih baik kepada calon pemberi kerja. Yang keempat, dan merupakan bagian terakhir, memberikan rekomendasi bagi Indonesia dengan penekanan khusus pada perbaikan kondisi ketenagakerjaan bagi kelompok miskin dan rentan.
165
II. Pelatihan di Indonesia Fasilitas pelatihan keahlian publik masih terbatas. Balai Latihan Kerja (BLK), pusat pelatihan kejuruan publik, adalah lembaga utama yang bertanggung jawab memberikan layanan pelatihan keahlian di Indonesia. Pusat-pusat ini ditujukan untuk melayani pencari kerja dan wiraswasta di bidang usaha kecil dan pertanian. Selama tahun 2003-04, kira-kira 42.500 orang telah memperoleh pelatihan di 162 BLK yang tersebar di seluruh Indonesia.210 Selain BLK, terdapat pula 18 Balai Pengembangan Produktivitas Daerah (BPPD) yang memberikan pelatihan keahlian publik. Beberapa kementerian terkait – seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan – juga memberikan program pelatihan, namun cakupannya cenderung lebih kecil. Di sisi lain, layanan pelatihan swasta berkembang pesat. Mayoritas pusat pelatihan di Indonesia dioperasikan oleh sektor swasta dan kelompok masyarakat lokal. Pusat pelatihan swasta tumbuh pesat dalam sepuluh tahun terakhir dan jumlah pusat yang terdaftar mencapai 25.000 pada tahun 2005. Sebagai bagian dari sistem pendidikan non-formal lokal, pusat-pusat tersebut patuh pada aturan pemerintah lokal dan membutuhkan izin operasi dari dinas pendidikan kabupaten/kota. Namun, penyedia pelatihan swasta pun harus memenuhi standar nasional. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN_PNF), yang terdiri atas perwakilan dari Kementerian Pendidikan Nasional, asosiasi profesi, dan perusahaan sektor industri, memberikan akreditasi bagi semua pusat pelatihan. 211 Layanan pelatihan cenderung membantu kalangan yang telah memiliki pekerjaan, bukannya para pengangguran. Sebagian besar peserta pelatihan adalah orang-orang berusia antara 19 dan 34 tahun. Tetapi, banyak dari antara peserta pelatihan tersebut tidak berada dalam angkatan kerja sehingga mengisyaratkan bahwa banyak orang mengikuti kursus pelatihan karena minat pribadi atau hanya sebagai hobi.212 Pada tahun 2003, hanya 6 persen dari peserta kursus pelatihan yang saat itu sedang menganggur.213 Selain itu, para peserta cenderung telah bekerja di sektor formal. Hanya sedikit pekerja dari sektor informal yang mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keahlian mereka. Meskipun BLK pada awalnya diarahkan kepada pencari kerja yang miskin, saat ini semakin banyak BLK yang menyediakan layanan pelatihan komersil / dengan biaya kepada perusahaan untuk memperoleh penghasilan. Pelatihan berdasarkan permintaan perusahaan meningkat dari 20 persen portofolio BLK pada tahun 1999/94 menjadi 45 persen pada tahun 2003. Pergeseran ini kemungkinan dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan tambahan demi menutupipembiayaan yang terbatas dari pemerintah kepada BLK. Pemerintah pusat mengalokasikan dana rata-rata Rp 250-300 juta bagi setiap BLK pada tahun 2006, di luar dana dekonsentrasi senilai Rp 45 miliar yang dialokasikan bagi berbagai BLK di 33 provinsi.214
210 211 212
213 214
166
Berdasarkan laporan berjudul “Public and Private Training Provision,” yang ditulis oleh Alisjahbana bulan Maret 2008b dan laporan LP3ES bulan Desember 2006 berjudul “Mapping Exercise: Situational Analysis for Youth Employment and Enterprise Creation”. Ibid. Secara keseluruhan, 40 persen peserta kursus pada tahun 2003 tidak ikut serta dalam angkatan kerja, kecuali pada kursus otomotif dan perdagangan yang hanya 20 persen dari pesertanya tidak ikut serta dalam angkatan kerja, namun kebanyakan pesertanya adalah laki-laki. Alisjahbana, Maret 2008b. Alisjahbana, Maret 2008b. Ibid.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Gambar 9.2
Profil peserta pelatihan menurut status pekerjaan
450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
wiraswasta
wiraswasta dengan pekerja sementara
wiraswasta dengan pekerja permanen
karyawan
pekerja lepas
pekerja keluarga tidak dibayar
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2008.
Layanan pelatihan juga tidak berhasil menjangkau kaum miskin yang paling membutuhkan kesempatan kedua. Secara teoritis, pelatihan non-formal memberikan kesempatan kedua bagi pekerja miskin yang hanya memiliki sedikit peluang untuk meningkatkan keahlian dan kelayakannya untuk dipekerjakan melalui sistem pendidikan formal. Pusat pelatihan lebih jarang ditemukan di kabupaten yang lebih miskin.215 Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila individu yang mengikuti kursus pelatihan cenderung berasal dari keluarga yang lebih mampu. Pada tahun 2000, rata-rata 50 persen peserta pelatihan berasal dari rumah tangga pada kuintil terkaya dibandingkan dengan 5 persen yang berasal dari kuintil termiskin.216 Masalah ini tidak sepenuhnya diakibatkan oleh biaya pelatihan yang memang dapat menjadi hambatan bagi keluarga miskin. Bahkan kursus yang diberikan tanpa pungutan pun gagal menarik individu miskin. Pada tahun 2000, hanya 11 persen peserta kursus gratis yang berasal dari kuintil termiskin dibandingkan dengan 37 persen yang berasal dari kuintil terkaya.217 Hal ini mungkin diakibatkan oleh kurangnya informasi di daerah miskin atau adanya biaya non-pendidikan (seperti transpor dan tempat tinggal) yang membuat pelatihan gratis sekalipun masih terlalu mahal bagi individu miskin.
215
216 217
Ibid. Penulis mendapati bahwa keberadaan pusat pelatihan mempunyai hubungan positif dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi berdasarkan indeks kesejahteraan desa yang disusun dengan menggunakan data PODES dari tahun 2000 dan 2003. Ibid. Ibid.
167
III. Program Pelatihan Keahlian Program pelatihan keahlian adalah intervensi yang paling umum dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pekerja, tetapi pelaksanaannya sangat bervariasi di setiap negara. Studi menyeluruh mengenai program pasar tenaga kerja aktif menyoroti popularitas program pelatihan jika dibandingkan dengan langkah-langkah pasar tenaga kerja aktif lainnya, termasuk layanan pekerjaan, subsidi upah/ pekerjaan, pekerjaan umum, dan skema kewiraswastaan. Beberapa program pelatihan keahlian tersebut dan hasil studi mengenai dampaknya terangkum pada Lampiran IX.1. Penghitungan global yang dilakukan baru-baru ini mengenai skema lapangan kerja bagi kaum muda mendapati bahwa program pelatihan keahlian adalah jenis intervensi yang paling umum, mencapai hampir 38 persen dari semua program yang terdokumentasi.218 Berbagai program pelatihan tersebut, meskipun bertujuan sama, mempunyai metode yang berbeda-beda. Bagian ini mengkaji tiga kategori umum intervensi melalui pelatihan publik: i) pelatihan kejuruan di ruang kelas; ii) pelatihan keterampilan sosial dan keterampilan hidup, dan; iii) pelatihan dengan pendekatan menyeluruh. Ketiga pendekatan ini dapat saling melengkapi; pelatihan menyeluruh memasukkan pula unsur-unsur dari pelatihan di ruang kelas dan pelatihan keterampilan sosial.
Pelatihan Kejuruan di Ruang Kelas Pendekatan yang kerap dilakukan sejak dahulu adalah pelatihan di ruang kelas dengan penekanan kejuruan. Pendekatan ini ditujukan supaya peserta pelatihan memperoleh keahlian dan pengalaman yang akan meningkatkan peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan dan sekaligus menanggapi kebutuhan pasar tenaga kerja. Program dalam kategori ini bisa saja mempunyai tujuan yang lebih spesifik dan terarah. Sebagai contoh, tujuan utama PLANFOR, sebuah program pelatihan di Brasil, adalah untuk perlahan-lahan membangun fasilitas pelatihan kejuruan permanen guna melatih atau memberikan pelatihan ulang bagi minimal 20 persen dari populasi yang aktif secara ekonomi setiap tahun. Program pelatihan kejuruan berbeda dalam hal jenis keahlian yang diberikan. Meskipun populasi yang menjadi sasaran sangat beragam, program tersebut terutama melayani individu yang menganggur dan mengalami ketertinggalan dari berbagai kelompok umur. Meskipun keberhasilan program pelatihan kejuruan di ruang kelas tidak merata secara internasional, ada metode-metode yang dapat dilakukan supaya program tersebut menjadi lebih efektif. Evaluasi memperlihatkan bahwa program pelatihan terkadang tidak memberikan hasil yang diinginkan. Peluang keberhasilan dapat ditingkatkan dengan mengadopsi sejumlah praktik terbaik berikut ini: Pastikan kondisi awal yang tepat bagi program. Selain berbagai faktor karakteristik dan penyusunan program yang inheren dalam program tersebut, tiga kondisi berikut ini sangat penting untuk memastikan keberhasilan: 1) sumber daya pemerintah yang cukup untuk pelatihan; 2) penyedia pelatihan berkualitas tinggi yang dipasok dalam jumlah memadai (penyedia pelatihan merujuk pada lembaga maupun pengajar, baik publik atau pun swasta); dan 3) unit pengawasan dan pengelolaan teknis yang cakap untuk memastikan transparansi dan kualitas dalam lingkungan yang ‘kompetitif’. Merancang strategi yang sesuai untuk penentuan sasaran supaya dapat menghasilkan dampak positif bagi populasi yang menjadi sasaran. Kebanyakan program Jóvenes di Amerika Latin mengadakan kampanye besar-besaran untuk mengiklankan kursus di semua kota terpilih. Pemilihan calon peserta pelatihan dimulai dengan akreditasi kaum muda yang berminat ikut serta. Pendaftar yang telah diakreditasi kemudian diwajibkan datang ke kantor tenaga kerja lokal untuk mengisi kuesioner dan/atau diwawancarai. Kuesioner tersebut dirancang untuk mengetahui status sosioekonomi calon peserta dan
218
168
Betcherman et al, 2007. Program pelatihan keahlian mencapai 111 dari 289 ALMP. Selain itu, 45 dari 87 studi evaluasi dampak ALMP yang dianalisis pada tahun 2004 berkaitan dengan pelatihan (Betcherman et al, 2004).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
kelayakan mereka untuk mengikuti program. Wawancara dilakukan untuk memeriksa apakah pendaftar memenuhi profil sasaran program. Memperkenalkan proses penawaran kompetitif untuk layanan pelatihan. Brasil (PLANFOR), Republik Dominika (Juventud y Empleo) dan Panama (Procajoven) adalah contoh program yang mengadopsi mekanisme efektif untuk memastikan layanan pelatihan yang relevan dan berkualitas tinggi dari lembaga yang kompeten dengan harga yang kompetitif. Kotak 9.1
Rencana Nasional untuk Pendidikan Profesi, PLANFOR (Brasil)
PLANFOR adalah program pelatihan kejuruan yang diperkenalkan tahun 1996 di Brasil. Program tersebut diarahkan bagi pekerja muda dan dewasa yang terpinggirkan, mereka yang menganggur, berisiko kehilangan pekerjaan akibat restrukturisasi perusahaan dan/atau kebijakan makroekonomi, pengusaha kecil, atau pewiraswasta. Tujuan utama PLANFOR adalah untuk perlahan-lahan mendirikan fasilitas pelatihan kejuruan permanen guna melatih atau memberikan pelatihan ulang bagi 20 persen dari populasi yang aktif secara ekonomi setiap tahun. Antara tahun 1996 dan 1998, program ini telah melatih total 1,5 juta pekerja berusia 15-21 tahun. Tujuan sekunder program ini adalah meningkatkan kelayakan populasi yang menjadi sasaran untuk dipekerjakan. PLANFOR adalah program yang berdasarkan kebutuhan dan memberikan pelatihan keahlian dasar yang dibutuhkan untuk bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Rata-rata kursusnya berlangsung selama 103 jam bagi setiap penerima manfaat dengan menggunakan kurikulum yang telah dikembangkan dengan baik. Komite tripartit pemerintah dan perusahaan menjadi pengawas dana yang digunakan untuk membiayai program. Program juga mengalihdayakan (outsource) kegiatan pelatihan melalui proses penawaran yang disponsori pemerintah. Evaluasi dampak PLANFOR mendapati berbagai hasil berikut: Pengaruh terhadap pekerjaan: Dengan tingkat pekerjaan kira-kira 48 persen, setengah dari peserta pelatihan mendapatkan pekerjaan di sektor informal. Namun, di Pernambuco, kursus pelatihan tidak meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Hasil evaluasi dampak di Rio de Janeiro dan Fortaleza menunjukkan bahwa program pelatihan mempunyai dampak yang positif dan signifikan secara statistik terhadap pengangguran: mereka yang dapat mengakses pelatihan berpeluang 3-4 persen lebih besar untuk dipekerjakan enam sampai dua belas bulan kemudian. Manfaat upah: Di Minas Gerais, kursus dengan lama pengajaran 50 jam menghasilkan kenaikan upah kira-kira 64 real Brasil. Tetapi, di Rio de Janeiro dan Fortaleza, tidak ada dampak terhadap upah bagi mereka yang telah memperoleh pekerjaan. Efektivitas biaya: Biaya program mencapai kira-kira 110 dolar Amerika per orang, dengan biaya rata-rata per jam diperkirakan sebesar 2,13 dolar Amerika. Program tersebut efektif dari sisi biaya; analisis manfaat terhadap biaya memperlihatkan bahwa peserta pelatihan perlu bertahan di pekerjaan barunya selama lebih dari 17 bulan supaya program tersebut menghasilkan manfaat positif bersih. Sumber: Barros et al., n/d; Rios-Neto dan Oliveira, 1998.
Pelatihan kejuruan di ruang kelas adalah jenis pelatihan publik yang paling umum di Indonesia, namun kualitas pelatihannya masih dipertanyakan. Belum ada evaluasi yang ketat terhadap kondisi ketenagakerjaan dari lulusan BLK. Tetapi, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah melakukan pengkajian kondisi BLK pada tahun 2004 dan 2006. Depnakertrans menemukan bahwa kira-kira 60 persen dari BLK berada dalam kondisi yang buruk dari segi fasilitas, peralatan, dan sumber daya manusia.219 Sebagian besar pengajarnya adalah lulusan Sekolah Menengah Atas, tetapi hanya sedikit yang telah mengecap pendidikan tinggi. Pemerintah lokal mengendalikan 94 persen dari BLK. Pusat pelatihan yang terdesentralisasi ini cenderung berada dalam kondisi yang lebih buruk, terutama di Indonesia bagian tengah dan timur.
219
Alisjahbana, Maret 2008b.
169
Pelatihan Keterampilan Sosial dan Keterampilan Hidup Unsur pelatihan keahlian pekerjaan yang penting dan semakin diakui nilainya adalah pembekalan keterampilan sosial dan keterampilan hidup.220 Intervensi melalui pelatihan dengan fokus pada keterampilan sosial dan keterampilan hidup ditujukan untuk memberikan pelatihan dalam hal komunikasi, kepemimpinan, kerja sama tim, motivasi, dan disiplin. Pelatihan semacam ini diarahkan terutama bagi kelompok pengangguran dan kelompok tertinggal, seperti misalnya kaum muda dari lingkungan yang tertinggal secara ekonomi dengan berbagai masalahnya: penyalahgunaan obat-obatan, kejahatan, kehamilan remaja, dan rendahnya pengembangan keahlian pendidikan, sosial, dan kejuruan.221 Program semacam itu dapat dibiayai dan dikelola oleh pemerintah (seperti program Youth Build di Amerika Serikat), atau oleh sektor swasta dan nirlaba (atau melalui kemitraan antara keduanya, lihat Kotak 9.2). Keterampilan hidup dapat dimasukkan dalam kurikulum formal berbasis ruang kelas atau diadopsi dalam program eksperimental, seperti proyek pengembangan dan layanan masyarakat secara tim, serta upaya pelatihan kepemimpinan. Keberhasilan program keterampilan hidup bergantung pada kondisi awal dan faktor keberhasilan kunci untuk memperoleh hasil positif. Meskipun belum tersedia evaluasi dampak mengenai intervensi melalui pelatihan keterampilan sosial dan keterampilan hidup, saat ini sudah dilakukan beberapa kajian terhadap program dan hasil evaluasi.222 Secara umum, pendekatan holistik – termasuk rangkaian luas strategi dan layanan untuk menjawab kebutuhan peserta yang beragam – diperlukan untuk memastikan bahwa semua aspek program telah ditargetkan secara efektif. Hasil temuan utama dirangkumkan sebagai berikut: Pastikan bahwa kondisi awal telah dipersiapkan. Empat kondisi awal perlu dipersiapkan untuk memastikan pelaksanaan yang efektif: i) dukungan keuangan, bimbingan, dan pengawasan, sering kali dari organisasi internasional; ii) pengajar yang telah terlatih dengan sesuai dan memadai; iii) pembangunan kapasitas dan standar kinerja yang memadai, dan; iv) dinas lokal, provinsi, dan nasional yang efektif sebagai lembaga individual dan memiliki kapasitas untuk bekerja sama dengan efektif. Pastikan bahwa faktor kualitas pelaksanaan diprioritaskan. Kinerja program dapat ditingkatkan jika pelaksana program memperhatikan hal-hal berikut: memberikan waktu persiapan awal yang memadai; mengkomunikasikan sasaran dengan jelas; memastikan sumber daya yang cukup, tepat waktu, dan berkelanjutan; memberikan kepemimpinan yang kuat di tingkat nasional, provinsi, dan lokal; mendukung pengembangan staf secara profesional, dan; menggunakan data dengan efektif. Sediakan pelatih berkualitas. Orang dewasa yang penuh perhatian dan punya pengetahuan luas seperti guru, penasihat, mentor, pekerja sosial, dan direktur program yang memahami kebutuhan peserta sangatlah penting bagi keberhasilan program. Mereka harus punya pengetahuan luas dan sangat terlatih serta berpengalaman, dan juga mampu memperlihatkan, melalui waktu dan perhatian yang diberikan, bahwa mereka memiliki komitmen terhadap kesejahteraan dan masa depan peserta. Fokus pada peserta maupun anggota masyarakat. Standar dan harapan yang tinggi terhadap peserta akan memberikan sumbangsih bagi keberhasilan program. Keberhasilan program tak hanya berguna bagi peserta semata. Keikutsertaan anggota masyarakat seperti orang tua dan pemberi kerja dapat memberi dukungan tambahan bagi operasi program yang efektif.
220
221 222
170
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization - WHO) mendefinisikan keterampilan hidup sebagai: “kemampuan untuk berperilaku positif dan melakukan penyesuaian yang memungkinkan individu untuk menangani tuntutan dan tantangan hidup sehari-hari dengan efektif. Secara khusus, keterampilan hidup adalah kumpulan kompetensi psiko-sosial dan keahlian antar-pribadi yang membantu orang untuk mengambil keputusan matang, memecahkan masalah, berpikir secara kritis dan kreatif, berkomunikasi dengan efektif, membangun hubungan yang sehat, berempati dengan orang lain, dan menghadapi serta mengelola hidup mereka dengan cara yang sehat dan produktif.” Sesuai evaluasi oleh Forum Kebijakan Pemuda America (American Youth Policy Forum) (Batlle, 2006). Hahn, Leavitt, dan Lanspery (2006) telah mengkaji beberapa program yang berfokus pada pelatihan keterampilan hidup dan mencari tahu kondisi awal yang dibutuhkan sebelum melaksanakan program yang berhasil. Selain itu, Glenda L. Partee di American Youth Policy Forum telah mengkaji evaluasi hasil dari kira-kira 100 program untuk memperoleh pembelajaran.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Kotak 9.2
Menjalin Hubungan (Make a Connection - MAC) di 17 negara di seluruh dunia223
Diperkenalkan pada tahun 2000, Menjalin Hubungan (Make a Connection - MAC) adalah program keterampilan hidup yang didanai oleh Nokia dan dikelola oleh International Youth Foundation. Program ini bertujuan meningkatkan peluang pendidikan dan keterampilan hidup kaum muda yang dibutuhkan agar dapat berhasil dalam masyarakat. Program MAC beroperasi di 17 negara: Brasil, Kanada, Cina, Republik Ceko, Finlandia, Jerman, Hongaria, Korea Selatan, Meksiko, Peru, Filipina, Polandia, Rusia, Afrika Selatan, Thailand, Turki, dan Inggris. Program MAC ditargetkan pada 12 keterampilan hidup yang sangat penting: komunikasi, penyelesaian konflik, memberikan sumbangsih, kerja sama, berpikir kreatif, berpikir kritis, pengambilan keputusan, empati, mengelola emosi, penghormatan, tanggung jawab, dan kepercayaan diri. Pelatihan ke-12 keahlian ini dilakukan melalui beragam metode, mulai dari upaya layanan masyarakat sampai proyek seni digital. Pilot program ini menggunakan Sistem Pengukuran Hasil (Outcomes Measurement System - OMS) untuk mengukur hasil program.223 Meskipun hasil yang diperoleh ini barulah hasil awal, namun dapat memperlihatkan efektivitas program yang menekankan pada keterampilan hidup: Keterampilan hidup: 95 persen peserta di 12 negara menyatakan bahwa keterampilan hidup mereka meningkat setelah mengikuti program. Secara khusus, kerja sama, kepercayaan diri, dan berpikir kreatif adalah tiga keterampilan hidup yang paling sering dinyatakan semakin meningkat oleh peserta. Program MAC tampaknya telah memberikan sumbangsih dalam meningkatkan kepercayaan diri peserta mengenai masa depan mereka; di 10 negara, rata-rata 74 persen dari peserta menyatakan bahwa proyek yang mereka ikuti “hebat sekali” atau “sangat baik” dalam membantu mereka mempersiapkan diri untuk kehidupan yang lebih baik, sedangkan 66 persen menyatakan bahwa proyek “hebat sekali” atau “sangat baik” dalam memberi mereka kepercayaan diri untuk menangani situasi yang menantang. Setelah menyelesaikan pelatihannya, 72 persen peserta program yang menekankan pada sifat sukarelawan masih tetap ikut serta dalam berbagai proyek yang membutuhkan sukarelawan. Hasil bidang pendidikan: Di sembilan negara, rata-rata 43 persen dari murid sekolah melaporkan bahwa nilai mereka meningkat. Di sepuluh negara, rata-rata 50 persen dari murid sekolah melaporkan bahwa mereka semakin rajin belajar untuk sekolah. Di sebelas negara, rata-rata 66 persen dari peserta program melaporkan bahwa mereka kini merasa mampu meraih tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Para peserta mengatakan bahwa kemajuan semacam itu terjadi karena keikutsertaan mereka dalam program. Sumber: Hahn, A., Lanspery, S., dan Tom Leavitt. 2006.
Meskipun pelatihan di Indonesia berfokus pada keahlian spesifik terkait pekerjaan, berbagai perusahaan semakin menyadari pentingnya keterampilan sosial dan keterampilan hidup. 85 persen dari perusahaan yang mengikuti Survei Keahlian yang Diinginkan Pemberi Kerja (Employer Skills Survey) melaporkan bahwa keahlian spesifik terkait pekerjaan adalah yang terpenting.224 Tetapi, 80 persen dari perusahaan juga mengatakan bahwa keterampilan sosial inti semakin dibutuhkan dan secara khusus merujuk pada keahlian perilaku, berpikir, kerja sama tim, dan negosiasi. Selain itu, berbagai perusahaan tersebut juga mengidentifikasi keahlian perilaku – termasuk kemandirian, komunikasi, negosiasi, kerja sama tim, dan pengelolaan waktu – sebagai kelemahan terbesar dari pekerja ahli (pekerja bidang produksi, administrasi, dan penjualan) yang mereka pekerjakan selama dua tahun terakhir.
223
224
Sistem Pengukuran Hasil (Outcomes Measurement System - OMS) ini terdiri atas tiga komponen: 1) 11 program ikut ambil bagian dalam studi prospektif dengan melakukan survei kepada peserta di tiga titik berbeda dalam program (pada saat program dimulai, pada saat program selesai, dan beberapa bulan setelah program selesai atau setelah keikutsertaan lebih lanjut dalam program); 2) 7 program melakukan survei tunggal kepada peserta yang telah menyelesaikan program atau telah mengikuti program dalam jangka waktu lama, dan; 3) 2 program mengikuti studi mendalam untuk mencari tahu informasi melalui kunjungan, analisis konteks mendalam, dan upaya khusus seperti wawancara dengan manager mengenai pelaksanaan program. Bank Dunia, Employer Skills Survey, 2008.
171
Pelatihan dengan Pendekatan Menyeluruh Seiring perkembangannya, pendekatan yang paling banyak dipakai dalam pelatihan kejuruan di ruang kelas telah diperluas dengan memasukkan layanan menyeluruh. Layanan tambahan ini mencakup pelatihan sambil bekerja, magang, dan berbagai langkah pasar tenaga kerja aktif lainnya, seperti subsidi upah dan pekerjaan umum. Selain itu, komponen pelatihan keterampilan hidup dan keterampilan sosial pun kerap diikutsertakan. Studi menyeluruh yang dilakukan baru-baru ini mengenai intervensi melalui pelatihan di seluruh dunia mengungkapkan terjadinya transisi pelatihan kejuruan di ruang kelas menjadi pelatihan kejuruan yang menyeluruh.225 Transisi ini tampak paling jelas di Amerika Latin dan Karibia yang telah bergeser dari pelatihan yang diadakan oleh lembaga publik di ruang kelas dan didasarkan padafaktor ketersediaan, menjadi pelatihan yang diadakan oleh berbagai penyedia layanan dan didasarkan pada kebutuhan. Negara-negara Anglo-Saxon yang tergabung dalam OECD pun tampak semakin bergantung pada pendekatan menyeluruh seiring berjalannya waktu. Di sisi lain, negara-negara Eropa Kontinental baru saja mulai memasukkan layanan yang lebih luas, termasuk bantuan pencarian kerja dan langkah-langkah lain supaya pasar tenaga kerja berjalan lebih baik.
Kotak 9.3
Program Jóvenes (kawasan Amerika Latin)
Program Jóvenes memberikan pelatihan bagi kaum muda dan miskin dalam hal keahlian profesi dan keterampilan hidup yang disusul dengan magang di tempat kerja. Didasarkan pada proyek percontohan di Cile pada awal 90an, pelatihan dengan pendekatan menyeluruh ini telah menyebar ke seluruh kawasan Amerika Latin dan masingmasing negara menyesuaikan program dengan kebutuhannya. Kaum muda yang mengalami ketertinggalan diidentifikasi dengan cara-cara seperti statistik pengangguran, data sosioekonomi, dan pemetaan kemiskinan. Perusahaan swasta, LSM, lembaga publik, dan lembaga pelatihan non-formal yang memenuhi persyaratan berkompetisi untuk memberikan pelatihan. Penyedia pelatihan diharuskan untuk mengatur magang bagi peserta pelatihan dan memastikan keahlian seperti apa yang dibutuhkan pemberi kerja lokal sebelum menerima dana untuk mengadakan pelatihan. Dengan cara ini, kegiatan magang akan memberikan informasi mengenai keahlian yang sedang dibutuhkan. Pelatihan keterampilan hidup secara intensif berfokus terutama pada keahlian memecahkan masalah, perilaku tempat kerja yang benar, mengelola konflik, teknik pencarian kerja, dan membangun kepercayaan diri. Programa Jóvenes en Acción, Colombia Pelaksanaan program percontohan Jovenes en Acción di Kolombia dimulai pada bulan Mei 2001 dengan menawarkan kursus pelatihan pekerjaan bagi 100.000 laki-laki dan perempuan yang menganggur dan menempati dua tingkat pendapatan terendah. Program dilaksanakan di tujuh kota dengan investasi keseluruhan senilai 17,6 juta dolar Amerika. Program pelatihan ini adalah bagian dari Jaringan Dukungan Sosial (Red de Apoyo Social) yang juga mencakup pekerjaan umum secara darurat untuk menciptakan pekerjaan dan pendidikan keluarga serta tunjangan kesehatan untuk keluarga pedesaan miskin. Kaum muda berusia antara 18 dan 25 tahun menerima tunjangan dan voucher pelatihan yang dapat mereka gunakan untuk mendaftar pada kursus pelatihan pilihan mereka dari daftar penyedia pelatihan yang dipilih secara kompetitif. Pelatihan pekerjaan berlangsung sekitar tiga bulan dan diikuti dengan magang tiga bulan di sebuah perusahaan atau organisasi. Penerima manfaat juga menerima tunjangan makan dan transportasi. Program ini dikelola oleh kelompok yang terdiri atas lembaga pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan swasta.
225
172
Puerto dan Fares (2008) mempelajari 345 studi mengenai program pelatihan yang dilaksanakan di 90 negara di seluruh dunia sejak akhir 50-an.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Kotak 9.3
Lanjutan
Evaluasi terhadap program Jovenes en Acción memperlihatkan hasil mengesankan berikut ini: Pengaruh terhadap pekerjaan: Program berhasil meningkatkan lapangan kerja bagi laki-laki maupun perempuan. Bagi perempuan, pelatihan telah meningkatkan peluang mereka untuk memperoleh pekerjaan, lamanya hari dan jam bekerja, serta peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan kontrak tertulis. Dampak yang serupa, namun lebih terbatas juga dirasakan laki-laki. Manfaat upah: Dampak yang paling signifikan dari program ini adalah peningkatan besar pada upah: upah perempuan meningkat 35 persen, sementara upah laki-laki meningkat 18 persen. Efektivitas biaya: Program ini menciptakan perolehan bersih yang besar, terutama bagi perempuan. Bahkan dengan menggunakan perhitungan efektivitas biaya yang paling konservatif sekalipun, yang mengabaikan manfaat dari peluang lebih tinggi untuk dipekerjakan di sektor formal dan memungkinkan manfaatnya didepresiasikan seiring waktu, ada isyarat bahwa manfaat bersih dari program ini lebih dari cukup untuk menjustifikasi pelaksanaannya dan kemungkinan perluasannya. Tingkat pengembalian investasi (IRR) terendah adalah 13,5% untuk perempuan dan 4,5% untuk laki-laki. Intervensi jangka pendek di negara berkembang dapat memberikan hasil yang lebih berarti daripada di negara maju. Hal ini mungkin karena meningkatnya pelatihan keahlian dalam jumlah relatif besar di tengah konteks tingkat pendidikan yang sangat rendah, sekaligus juga karena peran lembaga pelatihan sebagai perantara yang memberikan informasi kepada kedua sisi pasar tenaga kerja. Meskipun hasilnya positif, ada pula perbedaan dampak di antara berbagai negara, kemungkinan karena kondisi awal yang berbeda-beda (seperti misalnya peraturan pasar tenaga kerja dan pertumbuhan makroekonomi), proses pelaksanaannya, atau perbedaan pada jenis peserta pelatihan. Sumber: Attanasio, Orazio, Adriana Kugler, dan Costas Meghir. 2007.
Intervensi melalui pelatihan yang telah mengadopsi pendekatan menyeluruh lebih berhasil daripada program kejuruan tradisional yang berbasis ruang kelas. Diperkenalkannya layanan tambahan seperti komponen pelatihan sambil bekerja dan magang telah meningkatkan kinerja program pelatihan di ruang kelas.226 Berbagai komponen tersebut, selain pengajaran berbasis ruang kelas, memungkinkan proses pelatihan yang lebih holistik dan pengembangan beragam keahlian dan kompetensi (termasuk keterampilan hidup dan keterampilan sosial) dalam keadaan yang bervariasi. Evaluasi terhadap program pelatihan di seluruh dunia menggarisbawahi sejumlah faktor penunjang keberhasilan berikut ini: Memastikan bahwa isi pelatihan didasarkan pada kebutuhan. Peserta pelatihan akan berpeluang lebih besar untuk mendapatkan hasil positif apabila mereka memperoleh keahlian dan kompetensi yang sangat dibutuhkan atau sulit dicari di pasar tenaga kerja. Sebagai contoh, Programa Juventud y Empleo di Republik Dominika ditujukan untuk melatih 37.500 orang pemuda yang mengalami ketertinggalan dan memberi mereka keahlian di bidang yang relevan dengan sektor produktif supaya mereka lebih berpeluang mendapatkan pekerjaan.227 Memberikan insentif keuangan bagi pemberi kerja dan karyawan. Penggantian upah bagi pemberi kerja akan semakin menambah efektivitas dan meningkatkan keikutsertaan pemberi kerja dalam pelatihan para peserta. Program yang telah menggunakan penggantian upah dengan efektif termasuk Employability Improvement Program di Kanada dan New Deal for the Young Unemployed di Inggris. Sebuah pendekatan baru yang menjanjikan juga sedang dikaji di Afrika Selatan.
226
227
Quintini dan Martin (2006) juga menekankan keunggulan intervensi menyeluruh dalam mengatasi hambatan kelayakan untuk dipekerjakan di negara OECD. Kedua penulis mengisyaratkan bahwa perpaduan berbagai layanan menjadi paket gabungan menyeluruh tampaknya akan lebih berhasil daripada jika diberikan terpisah. Card et al., 2006.
173
Kotak 9.4
ALMP yang inovatif: Subsidi upah terarah bagi pekerja muda (Afrika Selatan)
Pengangguran di Afrika Selatan telah hampir berlipat ganda sejak berakhirnya apartheid dan dimulainya transisi menuju demokrasi pada tahun 1994. Tingkat pengangguran (dengan menggunakan definisi standar ILO) pada tahun 2005 mencapai kira-kira 27 persen, meningkat dari angka 16 persen pada tahun 1995. Pengangguran terutama banyak terjadi di kalangan muda dan orang-orang yang hanya lulus pendidikan dasar atau lebih rendah.228 Sebuah tim ahli ekonomi internasional yang menjadi penasihat pemerintah Afrika Selatan mengenai kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi telah mengkaji data pengangguran Afrika Selatan dengan teliti.229 Para ahli tersebut mendapati bahwa diperolehnya pekerjaan pertama pada masa transisi dari sekolah ke bekerja merupakan titik penting yang menjadi hambatan. Begitu seorang pelajar memperoleh pekerjaan di sektor formal, ia cenderung akan tetap bekerja di sektor formal, meskipun tidak selalu dalam pekerjaan yang sama.230 Tim penasihat ini mengusulkan pelaksanaan suatu subsidi upah terarah untuk melancarkan transisi dari sekolah ke bekerja yang merupakan masa sulit bagi para lulusan. Subsidi ini dipadukan dengan masa percobaan singkat yang memperbolehkan perusahaan untuk memberhentikan pekerja yang disubsidi tanpa alasan tertentu. Setiap orang warga negara Afrika Selatan yang mencapai usia 18 tahun akan menerima kartu magnetik dengan saldo awal senilai 5.000 rand Afrika Selatan (kira-kira setara dengan setengah dari penghasilan tahunan karyawan baru yang berpendidikan tingkat dasar). Saldo tersebut dapat digunakan untuk membayar sampai dengan setengah dari upah si pemegang kartu di berbagai perusahaan yang terdaftar. Jika pada saat mencapai usia 18 tahun si pemegang kartu masih ingin terus bersekolah, saldo pada kartu akan mendapatkan bunga sebagai insentif untuk menambah tingkat pendidikan. Pemberi kerja memiliki hak memberhentikan si pekerja selama masa percobaan 10 minggu. Setelah itu, peraturan standar mengenai jaminan pekerjaan akan diberlakukan.231 Gagasan inovatif ini memperlihatkan bagaimana pemerintah dapat bereksperimen dengan program terarah untuk membantu populasi berisiko tinggi atau rentan. Program ini cukup menjanjikan, namun beberapa dampak buruk dapat terjadi dalam pelaksanaannya. Yang pertama, program ini berisiko menciptakan inefisiensi atau tingginya biaya anggaran bagi pemerintah yang menjadi sponsor. Yang kedua, perusahaan dapat saja mencurangi sistem dengan memberhentikan pekerja yang disubsidi sebelum berakhirnya masa percobaan 10 minggu, lalu menggantinya dengan pekerja lain yang juga disubsidi.232 Pengkajian mendalam mengenai program percontohan subsidi upah akan membantu menentukan apakah model tersebut dapat digunakan bersamaan dengan intervensi tradisional melalui pelatihan untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan kaum muda. 228 229 230 231 232
Memberikan layanan bantuan keuangan bagi peserta. Bantuan keuangan – dalam bentuk tunjangan, penggantian, atau voucher transpor – dapat membantu peserta selama jangka waktu program. Pendekatan ini telah digunakan dalam berbagai program termasuk: Program Pekerjaan dan Pelatihan untuk Anak Muda semasa Musim Panas (Summer Youth Employment and Training program - SYETP) dan Kesatuan Pekerjaan (Job Corps) di Amerika Serikat; Program Perbaikan Layak Kerja (Employability Improvement Program) di Kanada; Juventud y Empleo di Republik Dominika, dan; Proyecto Joven di Argentina. Bekerja sama dengan calon pemberi kerja. Hubungan tersebut dapat membantu untuk memastikan bahwa isi pelatihan didasarkan pada kebutuhan, sekaligus meningkatkan kemungkinan untuk dipekerjakan setelah menyelesaikan program. Program menyeluruh yang berhasil termasuk: Projoven di
228 229 230 231 232
174
Banerjee, Abhijit V., Galiani, Sebastian, Levinsohn, James A., McLaren, Zoe dan Woolard, Ingrid. 2007. Rincian proyek dapat dilihat di http://www.cid.harvard.edu/southafrica/ Levinsohn, Mei 2008a. Levinsohn, Mei 2008b. Levinsohn dan Rodrik, 2008.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Peru yang pelatihannya sebagian besar diadakan oleh perusahaan yang setuju untuk mempekerjakan 80 persen dari peserta pelatihan yang telah menyelesaikan masa pelatihan sambil bekerja, dan; New Deal for the Young Unemployed di Inggris yang pada tahun 2000 telah memperoleh persetujuan dari 60.000 pemberi kerja untuk memberi peluang pekerjaan bagi peserta program. Berkoordinasi dengan lembaga publik. Koordinasi antara pemerintah, layanan tenaga kerja nasional, dan semua pemain terkait, diperlukan bagi pelaksanaan program yang efektif dan efisien. Sebagai contoh, Proyecto Joven di Argentina memiliki prosedur yang sebagian besarnya dipusatkan di Buenos Aires sehingga kantor tenaga kerja lokal di seantero negeri tidak memiliki wewenang administratif untuk mengambil keputusan penting, menyetujui, atau menolak proyek. Sentralisasi yang berlebihan ini menghambat kecepatan proses penawaran untuk memilih penyedia pelayanan dan menyebabkan penundaan pelaksanaan kursus dan magang.233 Indonesia pun telah mulai bergeser ke arah layanan pelatihan kejuruan menyeluruh dengan diperkenalkannya kebijakan “3 in 1” baru-baru ini. Pada tahun 2007, Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi memperkenalkan kebijakan “3 in 1” untuk meningkatkan kualitas pelatihan dan penempatan pekerja di posisi yang cocok dengan bidang kompetensi mereka. Kebijakan ini mengadopsi pendekatan tiga arah yang memadukan pelatihan teknis, sertifikasi keahlian, dan layanan penempatan kerja. Pelaksanaan kebijakan ini masih dalam tahap awal dan belum ada evaluasi formal yang dilakukan. Namun, terdapat indikasi bahwa kebijakan tersebut belum dilaksanakan dengan cara yang dapat mencapai potensi terbaiknya. Pengkajian awal program tersebut di Bandung mendapati bahwa program kurang mendapat pendanaan, tidak memiliki staf yang memadai, dan lemah dalam koordinasi antar-lembaga.234
IV. Kerangka Kerja Kualifikasi Nasional Sertifikasi keahlian semakin penting bagi pasar tenaga kerja sebagai mekanisme jaminan kualitas untuk mengakui dan memastikan keahlian dan kompetensi seseorang. Faktor inheren bagi keberhasilan sistem pelatihan bergantung pada kemampuan peserta pelatihan untuk memberi isyarat mengenai keahlian yang telah mereka miliki kepada pemberi kerja. Sertifikasi keahlian, yang sering kali disebut sebagai sertifikasi berbasis kompetensi, menjalankan peran ini dalam tiga cara. Yang pertama, sertifikasi memungkinkan diakuinya keahlian dan kompetensi tanpa memandang bagaimana keahlian dan kompetensi tersebut diperoleh. Yang kedua, sertifikasi memungkinkan keahlian individual untuk dibandingkan di pasar tenaga kerja tanpa memandang latar belakang pendidikan. Yang terakhir, sertifikasi berperan menghubungkan keahlian yang diperoleh melalui pelatihan atau cara lain, dengan keahlian yang dibutuhkan untuk suatu pekerjaan.235 Sertifikasi keahlian memberi insentif bagi individu yang belum menyelesaikan sekolah umum dan/ atau belajar dengan cara non-formal. Pendidikan formal umumnya memberikan cara standar untuk mengukur tingkat keahlian. Di sisi lain, sertifikasi keahlian memberikan cara yang lebih fleksibel dan beragam agar keahlian seseorang diakui di pasar tenaga kerja meskipun orang yang bersangkutan tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal. Meskipun sertifikasi keahlian tidak ditujukan bagi populasi tertentu, sertifikasi memberikan manfaat lebih banyak bagi pekerja yang belum mengecap pendidikan formal. Hal ini terutama
233 234 235
De Moura Castro, 1999. Alisjahbana, Maret 2008b. Catatan: BLK bertanggung jawab atas pelatihan, Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) bertanggung jawab atas sertifikasi, dan Dinas Tenaga Kerja lokal bertanggung jawab atas layanan penempatan kerja. Bouder et al., belum diterbitkan. Selain itu, manfaat sertifikasi lainnya yang tidak begitu mendesak namun sama pentingnya mencakup: meningkatkan kemudahan berpindah kerja, mendorong kemauan belajar seumur hidup, dan memungkinkan analisis perbandingan secara internasional dan antar-generasi (Bouder et al. belum diterbitkan, Bank Dunia 2008, dan Armstrong et al. belum diterbitkan).
175
sangat relevan bagi kaum miskin yang peluangnya lebih kecil untuk meraih tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas atau pendidikan tinggi. Kerangka Kualifikasi Nasional (National Qualification Framework - NQF) memastikan agar sertifikasi keahlian dipakai dalam sistem yang terkoordinasi dan konsisten. Suatu NQF didefinisikan sebagai sebuah instrumen tunggal, koheren, dan menyeluruh untuk menggolongkan kualifikasi menurut seperangkat kriteria guna menentukan tingkat pembelajaran yang telah dicapai. NQF bertujuan memadukan dan mengkoordinasikan subsistem kualifikasi nasional dan memperbaiki transparansi, akses, peningkatan, dan mutu kualifikasi dalam hubungannya dengan pasar tenaga kerja dan masyarakat madani.236 Ciri-ciri utama yang membedakan NQF dengan sistem lain menyiratkan bahwa kualifikasi:237 Dapat dicapai melalui akumulasi seiring berjalannya waktu (akumulasi dan transfer kredit). Dapat ditransfer karena unsur dari sebuah kualifikasi dapat digunakan untuk kualifikasi yang lain. Transparan karena pelajar tahu persis hasil pembelajaran seperti apa yang harus mereka perlihatkan untuk meraih sebuah kualifikasi. Bebas dari persyaratan harus mengikuti program belajar tertentu terlebih dahulu. Karena sebagian besar kerangka kerja dan mekanisme sertifikasi keahlian yang telah mapan dilaksanakan di negara OECD, maka pendanaannya terutama dilakukan oleh pemerintah negara masing-masing. Namun, seiring semakin banyaknya negara berkembang yang bergeser ke arah pengembangan kerangka kerja dan mekanisme sertifikasi, terjadi peningkatan jumlah pendanaan oleh donor dalam bidang reformasi pendidikan ini.238 Memastikan adanya kondisi awal yang tepat akan membantu untuk meningkatkan peluang keberhasilan pelaksanaan program. Pengalaman mengenai NQF menyoroti pentingnya kondisi berikut: (i) kemauan politik pemerintah negara; (ii) dasar legislatif untuk kerangka kerja kualifikasi239; (iii) minat dan kerja sama berbagai pemangku kepentingan, terutama komite perencanaan tripartit yang terdiri atas pemberi kerja, penyedia pelatihan, dan pesertanya240; (iv) departemen pemerintah yang kompeten dan saling membantu untuk berbagi tanggung jawab dalam pelaksanaan NQF, terutama lembaga yang terlibat dalam pendidikan dan pelatihan, serta kebijakan pasar tenaga kerja241; (v) unit/lembaga pengelolaan teknis dan penilaian yang cakap untuk memastikan kompetensi penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan; (vi) kepercayaan antara penyedia layanan dan pengguna NQF yang dibangun seiring berjalannya waktu dan memberi kredibilitas bagi kualifikasi242; dan (vii) komunikasi yang efektif kepada masyarakat umum demi keberhasilan operasi dan pelaksanaannya.243
236 237 238
239 240 241 242 243
176
Coles, 2008. Young, 2005. Sebagai contoh, kerangka kerja kualifikasi nasional di Afrika Selatan sebagian besar didanai oleh Uni Eropa dengan dukungan tambahan dari pemerintah Kanada (Allais 2007). Program Chile Califica didanai oleh pemerintah Cile sendiri (50%) dan Bank Dunia 50%). OECD, 2007a. Grubb, 2007. OECD, 2007a. Young, 2005. Berbagai kondisi awal tersebut harus dipertimbangkan dengan matang dalam konteks politik dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Perlu disadari bahwa kondisi awal yang baru disebutkan adalah kunci bagi keberhasilan NQF pada ekonomi yang telah maju seperti di Skotlandia, Selandia Baru, dan Irlandia; negara-negara tersebut juga secara geografis dan demografis tergolong kecil dan berbudaya homogen (Young 2005).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Kotak 9.5
Belajar dan Berlatih Seumur Hidup (Argentina)
Proyek Belajar dan Berlatih Seumur Hidup di Argentina adalah proyek Bank Dunia dengan tujuan meningkatkan kelayakan dipekerjakan dan peluang jenjang karir melalui perbaikan belajar seumur hidup dan sistem pelatihan berbasis kompetensi bagi orang dewasa yang mengalami ketertinggalan. Meskipun belum dievaluasi, proyek ini telah memperlihatkan dengan cukup jelas betapa rumitnya penciptaan standar dan kerangka kerja kualifikasi berbasis kompetensi. Proyek ini terdiri atas empat komponen utama: 1. Komponen utama proyek ini melibatkan perluasan dan penguatan sertifikasi dan pelatihan berbasis kompetensi. Hal ini memerlukan diadakannya sertifikasi berbasis kompetensi pada 30 sektor utama dalam lima tahun ke depan dengan mendaftarkan 300 standar berbasis kompetensi dalam kira-kira 120 jenis pekerjaan. 2. Proyek ini juga mendorong “kegiatan normalisasi kompetensi” oleh organisasi sektoral yang ikut serta dengan: a) memastikan dan memantau proses yang mengarah pada definisi, pengesahan, dan pendaftaran standar berbasis kompetensi bagi jenis pekerjaan terpilih; b) melatih dan mensertifikasi para pengevaluasi, dan; c) mendaftarkan Pusat Penilaian yang akan mengukur dan menilai pencapaian individu melalui standar berbasis kompetensi. 3. Sub-komponen ketiga mendorong permintaan yang efektif dan pengembangan kapasitas bagi pelatihan, penilaian, dan sertifikasi berbasis kompetensi. 4. Sub-komponen terakhir mencakup pendaftaran dan akreditasi terhadap Organisasi Sertifikasi yang akan memberikan sertifikat yang diakui bagi individu, dan juga mengakreditasi Pusat Penilaian. Selain menciptakan sertifikasi berbasis kompetensi, proyek ini juga berusaha menyelaraskan pelatihan dengan pendekatan berbasis kompetensi dan memperkuat lembaga pelatihan profesi. Proyek Belajar dan Berlatih Seumur Hidup juga bertujuan membantu pelatihan, penilaian, dan sertifikasi pekerja sesuai dengan standar berbasis kompetensi.
Pengalaman internasional memberikan pembelajaran bagi keberhasilan pelaksanaan NQF. Berbagai pembelajaran ini didasarkan baik pada praktik terbaik maupun kesulitan yang ditemui dalam pelaksanaan kerangka kerja bersangkutan.244 Mengadopsi pendekatan setahap demi setahap. Kerangka kerja parsial dapat digunakan sebagai blok pembangun untuk menciptakan kerangka kerja yang lebih luas dan menyeluruh di masa depan. Perubahan radikal tidak memungkinkan praktisi dan pemain lain yang terlibat untuk membandingkan dan menguji prinsip baru tersebut dengan pengalaman mereka. Sesungguhnya, pendekatan setahap demi setahap akan sangat membantu mencegah timbulnya polarisasi.245 Membangun konsensus dan siap berkompromi. Kualifikasi hanya dapat dilaksanakan jika dilandasi oleh kepercayaan. Karena itu, proses konsultasi seperti yang dilakukan pada NQF Irlandia dan persetujuan kompromi seperti di Selandia Baru sangatlah penting. Jika proses yang demikian tidak dilakukan, semua gagasan NQF bisa saja kehilangan kredibilitas publik dan profesi. Sebagai contoh, kompromi yang dipaksakan mengenai kualifikasi kejuruan nasional di Inggris justru telah menghambat kualifikasi tersebut menghasilkan kemajuan besar dalam pengembangan kerangka kerja nasional yang lebih luas. Mengembangkan pendekatan bersama melalui berbagi pengalaman dan pemakaian, bukan melalui definisi yang ditentukan dengan ketat. Perbedaan cara menentukan standar, unit, dan
244 245
Diadaptasi dari Young, 2005. Sebuah contoh pendekatan setahap demi setahap adalah Kerangka Kualifikasi Skotlandia (Scottish Qualification Framework) yang dikembangkan melalui serangkaian reformasi yang saling terkait, tanpa adanya prosedur penentuan standar yang rumit atau pengembangan kualifikasi baru.
177
tingkat yang dipakai untuk mendefinisikan kriteria dapat menyebabkan masalah teknis dan profesi jika diterapkan untuk kualifikasi yang sangat berbeda. Kesulitan lebih lanjut akan timbul dari perbedaan dalam menilai pembelajaran dan pengetahuan. Untuk meminimalkan masalah tersebut, perlu disadari bahwa perbedaan dalam cara penentuan dan pendekatan penilaian tidak dapat dihindarkan dan perlu diberikan jangka waktu yang memadai untuk mengembangkan pendekatan bersama. Memperluas cakupan kebijakan. Berbagai kondisi seperti ketersediaan sistem penilaian, pelatihan (atau pelatihan ulang) guru yang memadai, keberadaan organisasi sektoral yang mapan, dan kemitraan baru, adalah hal-hal penting yang memberikan sumbangsih bagi pelaksaksanaan dan operasi sebuah NQF. Menyadari kesulitan politik dan administratif yang terkait dengan pelaksanaan NQF. Ketegangan politik dapat terjadi karena tanggung jawab atas NQF tidak ditempatkan pada satu lembaga pemerintah saja, namun terbagi-bagi antara sejumlah lembaga.246 Seiring cakupan kerangka kerja yang semakin menyeluruh, kerangka kerja tersebut justru mulai mengancam berbagai lembaga yang menetapkannya. Kesulitan administratif juga dapat diakibatkan oleh ketidakpastian yang dihadapi lembaga baru berkaitan dengan tanggung jawab atas jaminan kualitas, penetapan standar, dan penilaian. Kesulitan dalam merekrut personel dengan keahlian yang sesuai dapat memperlambatkan pendirian sebuah NQF, dan berpotensi menurunkan kepercayaan terhadap kualifikasi baru. Berhati-hati dalam pelaksanaan NQF untuk menjembatani kesenjangan antara praktik standar dan praktik yang sesungguhnya. Kesulitan yang sering terjadi saat pelaksanaan NQF, seperti lazimnya pada kerangka kerja berbasis hasil, adalah kesenjangan antara proses seperti penentuan standar dan penilaian, dan para individu yang bertanggung jawab atas pengajaran, pelatihan, pemilihan, dan penilaian. Hal ini terutama relevan bagi negara berkembang yang sistem pendidikannya masih lemah. Dibutuhkan bentuk kemitraan baru antar lembaga untuk mengelola proses yang sulit dalam hal menyelaraskan pengetahuan dan keahlian dengan indikator kinerja yang dapat diukur, tanpa menimbulkan gangguan yang berarti terhadap program pelatihan yang sedang berlangsung.247 Indonesia menciptakan sebuah lembaga sertifikasi profesi nasional pada tahun 2004. Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), lembaga sertifikasi independen Indonesia, didirikan tahun 2004 dan mulai beroperasi tahun 2005.248 Lembaga ini menerbitkan lisensi bagi institusi tersertifikasi pada setiap profesi (Lembaga Sertifikasi Profesi, LSP). Institusi tersebut, yang biasanya merupakan BLK, bertanggung jawab menguji dan mensertifikasi keahlian dan kompetensi teknis bagi pekerja seperti tukang las, operator mesin, apoteker, atau pekerja laboratorium. Pengujian dan sertifikasi didasarkan pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang ditentukan secara terpusat oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Di masa depan, setiap profesi akan diwakili oleh sebuah institusi tersertifikasi. Dalam beberapa kasus, BNSP berkoordinasi dengan lembaga sertifikasi profesi terkait untuk menerbitkan sertifikat yang diakui secara internasional, termasuk untuk Certified Public Accountant dan Certified Financial Analyst. Pengembangan standar kompetensi membutuhkan koordinasi yang lebih kuat di antara kementerian pemerintah. Sampai dengan tahun 2008, Kementerian Tenaga Kerja telah membuat sekitar 14 standar dalam kerja sama dengan wakil dari industri dan sektor swasta; sedangkan 80 standar yang lain masih dalam proses pengembangan.249 Namun, sasaran untuk menciptakan sistem nasional yang terpadu
246
247 248 249
178
Perselisihan antar lembaga terjadi di Selandia Baru antara Otoritas Kualifikasi dan Kementerian Pendidikan mengenai siapa yang berhak menentukan kurikulum sekolah. Hal menimbulkan kesadaran diperlukannya sejumlah pembedaan karena prinsip kesamaan tidak dapat mencakup semua jenis pembelajaran. Young, 2005. BNSP didirikan tahun 2004 melalui PP No. 23/2004. (Alisjahbana, Maret 2008a). Alisjahbana, Maret 2008a.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
masih mengalami kesulitan karena kurangnya koordinasi antara berbagai kementerian (Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi) yang sampai sekarang masih menentukan standarnya sendiri-sendiri. Setiap kementerian mempertahankan standar kompetensi dan birokrasinya masing-masing sehingga menyebabkan sistem yang terpecah-pecah, tumpang tindih, dan masih menyisakan sejumlah kekurangan.
V. Rekomendasi Lakukan percontohan dan uji coba sebuah program pelatihan keahlian menyeluruh yang bersifat nasional dan dirancang dengan baik. Dalam bentuknya saat ini, jumlah BLK tidak memadai bagi pekerja di Indonesia. BLK hanya mampu menjangkau sejumlah kecil pekerja, dan banyak dari antara pekerja tersebut telah memiliki pekerjaan di perusahaan yang mengontrak BLK. Ada kekurangan dalam upaya memberikan keahlian bagi para penganggur atau pekerja yang baru memasuki pasar tenaga kerja. Perlu diperkenalkan pendekatan baru mengenai pelatihan keahlian untuk mengisi kekurangan tersebut. Program Jóvenes, terutama dari Kolombia, memberikan model yang paling menjanjikan untuk ditiru. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa pendekatan pelatihan semacam ini telah berhasil meningkatkan kondisi ketenagakerjaan peserta pelatihan. Pendekatan ini mungkin dapat lebih berhasil mencapai sasaran yang dijabarkan dalam kebijakan “3 in 1” pemerintah. Memasukkan keterampilan sosial dan keterampilan hidup dalam kurikulum pelatihan di masa depan, terutama di bidang yang telah diidentifikasi dalam Employer Skill Survey. Mengawali dengan program percontohan dan mengujinya dengan ketat sebelum mempertimbangkan untuk memperluas skala program secara nasional. Mengikuti contoh program Jóvenes di Kolombia, mempertimbangkan pelaksanaan program bersamaan dengan berbagai program pengurangan kemiskinan seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan dana tunai secara bersyarat. Mengarahkan program bagi pekerja yang rentan dan mengalami ketertinggalan, yang paling membutuhkan kesempatan kedua. Pelatihan tidak dapat menjangkau semua pekerja yang rentan karena besarnya angkatan kerja di Indonesia. Karenanya, terdapat kebutuhan untuk merancang program dan kebijakan pelatihan keahlian yang dapat menjangkau pekerja yang paling rentan secara efektif. Dengan demikian, program di masa depan seharusnya diarahkan bagi pekerja yang masih muda, miskin, dan saat ini bekerja di sektor informal. Kelompok-kelompok ini, yang peluangnya paling kecil untuk menyelesaikan pendidikan formal, akan mendapatkan manfaat terbesar jika memperoleh kesempatan kedua. Mengontrakkan layanan pelatihan kepada penyedia layanan swasta dan LSM agar pemerintah dapat memainkan peran yang lebih strategis. Kementerian Tenaga Kerja semestinya memimpin pembuatan rencana strategis nasional untuk pengembangan keahlian. Namun, implementasi rencana tersebut sebaiknya diserahkan kepada penyedia layanan yang dikontrak (baik penyedia layanan dari sektor swasta maupun LSM). Pemilihan penyedia layanan melalui proses penawaran yang transparan dan kompetitif dapat membantu untuk memastikan bahwa layanan pelatihan yang diberikan akan berkualitas tertinggi. Tanggung jawab memantau kinerja lembaga pelaksana dipegang sepenuhnya oleh Dinas Tenaga Kerja lokal. Baik Dinas Tenaga Kerja lokal maupun pusat dapat mempertimbangkan untuk memberikan insentif bagi penyedia layanan yang mampu menjangkau dengan efektif para pekerja yang rentan dan mengalami ketertinggalan. Mendukung kemitraan swasta-publik untuk membangun hubungan dengan calon pemberi kerja. Dinas Tenaga Kerja lokal harus bekerja sama erat dengan penyedia pelatihan untuk melakukan survei terhadap pemberi kerja lokal guna memastikan kebutuhan pasar tenaga kerja lokal. Mendengarkan saran perusahaan mengenai cara meningkatkan kualitas layanan pelatihan. Berbagai perusahaan mengisyaratkan bahwa program pendidikan non-formal, termasuk pusat pelatihan kejuruan, dapat ditingkatkan dengan memastikan kendali mutu, mendorong hubungan dengan industri, memberikan kurikulum yang lebih baik,
179
dan jam operasi yang lebih panjang.250 Sebagai contoh, Balai Besar Pengembangan dan Latihan Kerja Dalam Negeri telah berhasil mengembangkan hubungan pendanaan dengan perusahaan swasta. Yang terakhir, memelihara kondisi yang dapat membantu berkembangnya program pelatihan. Selain berbagai faktor karakteristik dan penyusunan program yang sangat penting untuk memastikan keberhasilan, perlu pula memperhatikan kondisi awal yang dibutuhkan bagi keberhasilan pelaksanaan program. Kondisi awal tersebut termasuk: sumber daya pemerintah yang cukup untuk pelatihan; penyedia pelatihan berkualitas tinggi yang dipasok dalam jumlah memadai (penyedia pelatihan merujuk pada lembaga maupun pengajar, baik publik atau pun swasta); sebuah lembaga sertifikasi profesi yang terpadu dan dikoordinasi secara terpusat, dan; unit pengawasan dan pengelolaan teknis yang cakap untuk memastikan transparansi dan kualitas dalam lingkungan yang ‘kompetitif’. Selain itu, keberhasilan juga bergantung pada seberapa fleksibelnya peraturan pasar tenaga kerja di negara bersangkutan. Bukti dari negara OECD mengisyaratkan bahwa aturan jaminan kerja yang ketat akan menghambat masuknya kaum muda ke dalam pasar tenaga kerja.251 Penghitungan skema lapangan kerja bagi kaum muda (Youth Employment Inventory) juga mendukung temuan ini dengan memperlihatkan bahwa negara yang peraturan pasar tenaga kerjanya lebih fleksibel cenderung memperoleh hasil lebih baik dari program pekerjaan untuk kaum muda.252
250 251 252
180
Bank Dunia, Employer Skills Survey, 2008. OECD, 2004. Sebuah meta-analisis mengenai program pekerjaan untuk kaum muda mengungkapkan koefisien yang negatif, meskipun sangat kecil, antara indeks kekakuan aturan ketenagakerjaan (ukuran yang menggabungkan aturan mempekerjakan, mengontrak, dan memberhentikan), dan peluang memperoleh dampak positif di pasar tenaga kerja dari ALMP bagi kaum muda. Semakin tinggi indeks tersebut, semakin kaku aturan ketenagakerjaan dan semakin rendah peluang memperoleh dampak positif (Puerto, 2007b).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10
Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja Melindungi Pekerja yang Rentan terhadap Guncangan Lapangan Kerja dan Upah
Bab 10 Ringkasan Indonesia menghadapi tantangan dalam upayanya mendeteksi guncangan yang dapat mengacaukan pasar tenaga kerja dan mencari cara untuk memberikan tanggapan dengan cepat dan tepat. Meskipun pasar tenaga kerja Indonesia tampaknya berhasil menghadapi krisis ekonomi global dan kemerosotan ekonomi, masih ada kekhawatiran mengenai kesiapan Indonesia dalam melindungi pekerja dari pengaruh guncangan. Data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dikumpulkan dua kali dalam setahun dan baru tersedia bagi pembuat kebijakan berbulan-bulan setelah dikumpulkan. Hal ini menghambat kemampuan mereka untuk mendeteksi guncangan upah dan lapangan kerja, menganalisis secara akurat bagaimana pekerja terpengaruh oleh guncangan, dan menentukan mekanisme tanggapan yang paling tepat untuk menyalurkan bantuan bagi pemberi kerja atau pekerja pada saat paling dibutuhkan. Kemampuan untuk menanggapi guncangan upah dan lapangan kerja membutuhkan kebijakan dan pendekatan baru yang dirancang untuk melindungi baik pemberi kerja maupun pekerja. Peraturan ketenagakerjaan Indonesia yang kaku membatasi kelenturan pasar tenaga kerja dan gagal melindungi pekerja yang rentan selama terjadinya guncangan. Tanpa adanya jaring pengaman, para pekerja umumnya bertahan dengan mencari kerja di sektor informal dan pertanian. Karena itu, diperlukan kebijakan alternatif untuk lebih melindungi baik pemberi kerja maupun pekerja. Terdapat tiga kategori intervensi yang dapat digunakan sebagai tanggapan terhadap guncangan: 1) kebijakan dan program yang mendorong permintaan tenaga kerja; 2) program yang mempertahankan penghasilan pekerja yang telah diberhentikan, dan; 3) kebijakan yang dirancang untuk membantu penghasilan pekerja. Program pekerjaan umum cukup efektif dalam menciptakan peluang kerja bagi pekerja yang berupah rendah dan pekerja yang menganggur. Salah satu program yang membantu mendorong permintaan tenaga kerja adalah pekerjaan umum. Indonesia menerapkan program pekerjaan umum jangka pendek, Padat Karya, sebagai tanggapan terhadap krisis keuangan tahun 1997, namun program tersebut gagal melindungi para pekerja yang paling rentan karena kelemahan mendasar dalam rancangan program. Upah yang dibayarkan program melebihi upah di pasaran sehingga menarik pekerja yang sebetulnya sudah memiliki pekerjaan untuk bersaing dengan pekerja pengangguran yang menjadi target program. Namun demikian, program pekerjaan umum yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik telah terbukti efektif. Evaluasi telah memperlihatkan bahwa program pekerjaan umum yang berkinerja tinggi dapat menjangkau pekerja miskin dan mencegah kemiskinan jangka pendek. Rekomendasi Bersiap menghadapi guncangan lapangan kerja dan upah di masa depan dengan memperkenalkan program jaring pengaman tenaga kerja demi melindungi pekerja yang paling rentan. Meningkatkan frekuensi data tenaga kerja untuk melacak perubahan dengan cepat dan mengembangkan sistem pemantauan kerentanan dan guncangan yang siaga untuk menentukan dengan akurat daerah yang terpengaruh dan memahami bagaimana dampaknya terhadap pemberi kerja dan pekerja. Merancang sistem tanggap darurat yang siaga untuk segera dipakai memicu jaring pengaman demi melindungi pekerja yang rentan. Pendekatan yang menyamaratakan semua keadaan tidak akan dapat menghadapi semua guncangan. Pemanfaatan tanggapan program harus disesuaikan dengan jenis guncangan dan bagaimana dampaknya dirasakan. Sebagai salah satu tanggapan program, mengembangkan kerangka kerja nasional untuk pekerjaan umum yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memicu pelaksanaan program yang menciptakan peluang kerja sementara bagi pekerja, baik di area pedesaan maupun perkotaan. Menargetkan pekerja yang paling membutuhkan bantuan dengan menetapkan upah di bawah pasaran dan memastikan bahwa proyeknya padat karya serta memberikan infrastruktur dan layanan yang berguna. Salah satu program yang sudah ada, yang dapat menyalurkan dana pekerjaan umum adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri), yang telah memperlihatkan keberhasilannya dalam mengurangi tingkat pengangguran di area pedesaan.
182
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10 Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
I.
Pendahuluan
Pasar tenaga kerja Indonesia pernah menghadapi berbagai guncangan upah dan lapangan kerja yang serius. Krisis keuangan Asia Timur tahun 1997 merupakan krisis upah yang sangat parah bagi pekerja. Akibat krisis, nilai tukar mata uang Indonesia menukik tajam pada tahun 1998 dan PDB riil terpangkas sampai 13 persen hanya dalam satu tahun. Para pekerja merasakan dampaknya sebagai krisis upah: upah riil anjlok sampai 31 persen dalam satu tahun. Angka kemiskinan meningkat karena pekerja miskin tak lagi memiliki penghasilan untuk keluar dari kemiskinan. Pada saat yang sama, para pekerja juga mengalami krisis lapangan kerja yang serius. Tingkat lapangan kerja yang stabil menyembunyikan realokasi pekerja secara besar-besaran dari sektor formal dan non-pertanian. Transformasi struktural selama sepuluh tahun terakhir mulai berbalik karena pekerja yang diberhentikan memilih untuk mencari kerja di sektor informal dan pertanian. Meskipun guncangan semacam ini hanya terjadi sesaat, namun pemulihan pasar tenaga kerja cenderung bertahap dan lambat. Walaupun ekonomi dapat pulih dengan cepat setelah terjadi guncangan, diperlukan waktu jauh lebih lama bagi pasar tenaga kerja untuk pulih sehingga pekerja masih terus mengalami efek negatif guncangan jauh setelah guncangan tersebut berakhir. Setelah krisis 1997, pasar tenaga kerja masih terus mengalami masalah peningkatan pengangguran (jobless growth) meskipun ekonomi sudah tumbuh kembali. Lapangan kerja di sektor formal dan non-pertanian baru mulai berkembang kembali pada tahun 2003, meskipun lajunya masih lebih lambat daripada tahun 90-an. Peralihan pekerja dari sektor formal ke sektor informal dan pertanian, merusak kemajuan pasar tenaga kerja dan berakibat buruk bagi keluarga yang bergantung pada gaji dari pekerjaan. Kemungkinan terjadinya guncangan lebih jauh telah menimbulkan kekhawatiran mengenai kesiapan Indonesia dalam melindungi pekerja di masa depan. Krisis ekonomi global yang baru saja terjadi telah menimbulkan kekhawatiran bahwa guncangan upah atau lapangan kerja yang lain dapat menghantam pasar tenaga kerja Indonesia seperti yang dialami banyak negara lain di seluruh dunia. Hilangnya pekerjaan sektor formal dicemaskan dapat menghambat kemajuan Indonesia dalam penciptaan lapangan kerja dan memaksa pekerja untuk kembali ke sektor informal dan pertanian. Indonesia tampaknya telah berhasil menghadapi krisis ekonomi global dan kemerosotan ekonomi karena pasar tenaga kerja tidak mengalami guncangan seperti yang ditakutkan.253 Namun, ancaman krisis telah menimbulkan kekhawatiran mengenai kesiapan Indonesia dalam melindungi pekerja dari pengaruh guncangan. Yang pertama, Indonesia tidak memiliki sistem peringatan untuk mendeteksi guncangan, memahami pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja, dan mengidentifikasi pekerja yang paling rentan. Hal ini mengurangi kemampuan pembuat kebijakan untuk memberi tanggapan yang akurat dan sesuai. Yang kedua, tidak ada sistem cepat tanggap yang disiagakan untuk segera menyalurkan bantuan yang sesuai bagi pekerja yang rentan. Bab 10 mengkaji bagaimana pemerintah dapat melindungi pemberi kerja dan pekerja dari guncangan dengan lebih baik. Pasar tenaga kerja Indonesia tentu akan menghadapi guncangan lagi di masa depan. Karena itu, perlu dikaji bagaimana pemerintah dapat memanfaatkan kesempatan saat ini ketika ekonomi maupun pasar tenaga kerja sedang kuat, untuk bersiap menghadapi guncangan di masa depan. Bab ini, yang mendalami bagaimana Indonesia dapat lebih siap menghadapi guncangan pasar tenaga kerja, dibagi menjadi tiga bagian: Yang pertama mengkaji serangkaian kebijakan dan program yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan memahami guncangan yang mempengaruhi pasar tenaga kerja. Yang kedua mempelajari kebijakan dan program yang dapat melindungi pemberi kerja dan pekerja dengan: a) mendorong permintaan tenaga kerja; b) mempertahankan penghasilan pekerja yang
253
Bank Dunia. 2009d. “Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia: Kembali Melaju?” Desember 2009.
183
diberhentikan, dan; c) meningkatkan kelayakan pekerja untuk dipekerjakan dan penghasilannya. Bagian kedua memberikan rekomendasi bagaimana pemerintah dapat lebih siap menghadapi guncangan pasar tenaga kerja di masa depan.
II. Mendeteksi Guncangan dan Memahami Bagaimana Guncangan Tersebut Mempengaruhi Pekerja Pembuat kebijakan membutuhkan data yang cepat dan andal untuk memantau pasar tenaga kerja dan mendeteksi guncangan upah dan lapangan kerja. Sakernas merupakan sumber data yang sangat lengkap dan dapat digunakan untuk menganalisis tren pasar tenaga kerja serta pengaruh kebijakan dan program ketenagakerjaan. Namun, manfaat survei ini hanya terbatas ketika terjadi guncangan dan krisis karena frekuensinya yang hanya dua kali dalam setahun dan baru tersedia bagi pembuat kebijakan berbulanbulan setelah dikumpulkan. Hal ini menghambat kemampuan mereka untuk mendeteksi guncangan upah dan lapangan kerja, menganalisis secara akurat bagaimana pekerja terpengaruh oleh guncangan, dan menentukan mekanisme tanggapan yang paling tepat untuk menyalurkan bantuan bagi pemberi kerja atau pekerja pada saat paling dibutuhkan. Perlindungan pekerja dimulai dengan pembuatan sistem pemantauan yang dapat mendeteksi guncangan dengan segera (real-time). Krisis keuangan global yang terjadi dengan begitu cepat menggarisbawahi betapa sulitnya mendeteksi guncangan yang mempengaruhi rumah tangga (Kotak 10.1). Krisis juga telah menekankan perlunya dikembangkan sebuah sistem pemantauan dan tanggapan yang siap dipakai pemerintah untuk membantu rumah tangga yang terpengaruh guncangan serius dengan cepat dan tepat. Dibuatnya sistem semacam itu akan memungkinkan pemantauan indikator kerentanan dan guncangan dengan cepat, sehingga pemerintah dapat memahami bagaimana sebuah krisis, baik ekonomi maupun bencana alam, dirasakan rumah tangga, apa saja mekanisme yang mereka terapkan untuk menghadapi krisis, dan dampak krisis terhadap indikatorsosial-ekonomi. Pengalaman internasional menawarkan pelajaran yang jelas mengenai cara membangun dan melembagakan sistem pemantauan negara yang berhasil. Indonesia dapat belajar dari negara lain yang telah mendirikan sistem pemantauan. Meskipun tidak ada model tertentu yang harus diikuti dalam membuat sistem pemantauan, sejumlah kisah keberhasilan mempunyai karakteristik yang serupa.254 Diperlukan sebuah lembaga pemerintah yang memimpin proses perancangan, pengembangan, dan pada akhirnya, pengelolaan sistem. Pada saat bersamaan, pengalaman di berbagai negara menggarisbawahi perlunya membangun mekanisme yang andal untuk mengumpulkan, mengelola, dan berbagi data yang dibutuhkan oleh sistem pemantauan. Selain itu, sangat diperlukan sejumlah personel yang terlatih dengan baik untuk mengelola dan mengawasi sistem pemantauan, sehingga dibutuhkan pelatihan untuk membangun kapasitas personel yang bertanggung jawab atas fungsi-fungsi tersebut. Akhirnya, diperlukan pula pengguna data untuk menganalisis data dan memberikan nasihat kepada pembuat kebijakan yang bertanggung jawab menanggapi guncangan melalui program dan kebijakan, yang akan dibahas di bagian berikutnya.
254
184
Mackay, 2007.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10 Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
Kotak 10.1
Memperbaiki Sistem Pemantauan Guncangan: Indonesia dan Krisis Keuangan Global
Pengaruh krisis keuangan global terhadap ekonomi Indonesia mulai tampak pada akhir 2008 ketika nilai ekspor kuartal keempat turun drastis. Akibatnya, pertumbuhan PDB pun melambat pada kuartal keempat 2008 dan masih terus melambat pada kuartal pertama 2009. Seiring pulihnya ekspor selama 2009, ekonomi Indonesia juga perlahan-lahan ikut pulih. Konsumsi dalam negeri yang kuat membantu makroekonomi Indonesia untuk mengatasi badai masalah. Tetapi, pengaruh krisis terhadap rumah tangga kemungkinan terjadi lebih lambat daripada pemulihan ekonomi dan baru tampak jelas berbulan-bulan setelah penurunan output. Selain itu, berbagai kalangan dan daerah mungkin mengalami guncangan yang berbeda dan pulih dengan kecepatan yang berbeda pula. Karena itu, indikator kunci pada rumah tangga perlu dipantau agar dapat lebih memahami bagaimana keluarga terpengaruh oleh guncangan seperti krisis ekonomi global dan apakah mereka sudah mengalami pemulihan. Pemerintah Indonesia mendirikan Sistem Pemantauan dan Respon terhadap Krisi (Crisis Monitoring and Response System - CMRS) untuk memahami bagaimana guncangan mempengaruhi rumah tangga, bagaimana rumah tangga menanggapi guncangan tersebut, dan seperti apa kondisi sosial-ekonomi mereka. Inisiatif ini dilaksanakan oleh Bappenas dan BPS dalam kemitraan dengan Bank Dunia, dan dengan dukungan keuangan dari Australian Agency for International Development (AusAID). CMRS melakukan survei baru terhadap rumah tangga (CMRSS) yang dilakukan bulan Agustus dan November 2009. Dua survei pertama tersebut memperlihatkan bahwa selama pertengahan 2009, sejumlah rumah tangga mengalami penurunan jam kerja yang berdampak buruk terhadap penghasilan rumah tangga. Mereka berupaya mengatasinya dengan mengkonsumsi makanan yang lebih murah atau bermutu lebih rendah. Pada akhir 2009, jam kerja sudah pulih sebagian dan keluarga yang terpengaruh tidak lagi melaporkan kesulitan memenuhi biaya konsumsi. Berbagai daerah merasakan guncangan yang berbeda (Gambar 10.1) dan mungkin pulih dengan kecepatan yang berbeda. Perubahan dalam pola kerja dan pengeluaran rumah tangga kemungkinan adalah konsekuensi krisis ekonomi global, namun dapat pula terjadi karena penyebab lain yang timbul bersamaan (misalnya dampak musiman atau peristiwa seperti pemilu).
Gambar 10.1 Perubahan kuartalan dalam kondisi pasar tenaga kerja dan kesukaran rumah tangga, menurut provinsi
Sumber: CMRSS dan analisis Bank Dunia
185
Kotak 10.1
Lanjutan
Hasil CMRS memperlihatkan bahwa angka pengangguran atau tingkat keikutsertaan kepala rumah tangga dalam angkatan kerja nyaris tidak berubah. Upah formal dan informal pun masih sama bagi kebanyakan pekerja. Namun, para pekerja mengalami pengurangan jam kerja. Jam kerja mingguan untuk kepala rumah tangga turun ratarata 1,3 jam antara Mei dan Agustus 2009, baik bagi rumah tangga miskin maupun tidak miskin. Area pedesaan mengalami penurunan yang lebih besar jika dibandingkan dengan area perkotaan. Rata-rata jam kerja mingguan secara nasional untuk kepala rumah tangga dalam CMRSS Agustus 2009 juga lebih rendah 0,8 jam jika dibandingkan dengan rata-rata nasional dari survei Sakernas bulan Agustus 2008. Data Sakernas juga memperlihatkan bahwa jam kerja bagi kepala rumah tangga tidak banyak berubah antara Februari dan Agustus 2009 (hanya berbeda 0,2 jam), sedangkan antara Februari dan Agustus 2008 terjadi kenaikan 0,8 jam. Penurunan jam kerja terkait dengan berkurangnya penghasilan pedesaan sampai hampir 5 persen, dengan asumsi tingkat upah yang konstan. Akibatnya, sejumlah rumah tangga melaporkan bahwa mereka mengalami kesulitan besar memenuhi biaya konsumsi. Persentase rumah tangga yang melaporkan kesulitan semacam itu meningkat 3 persen dari April sampai Juli 2009, sedangkan di kalangan miskin, persentase tersebut meningkat 6 persen. Gambar 10.2
Perubahan jam kerja mingguan (kepala rumah tangga)
Gambar 10.3
Triwulanan
Semesteran
0,70
MeiAgustusAgustus November 2009 2009
MeiNovember 2009
0,65
Kesulitan memenuhi biaya konsumsi yang dilaporkan (persentase responden survei)
0,60 0,55
Nasional
-1,3
0,6
-0,8
0,50
Pedesaan
-1,5
1,1
-0,5
0,45
Perkotaan
-1,1
0,0
-1,1
0,40
Tidak miskin
-1,3
0,3
-1,0
0,35
Miskin
-1,5
1,8
0,3
0,30 0,25
Kepala keluarga: Laki-laki
-1,4
0,4
-1,0
Perempuan
-1,1
2,4
1,2
Sumber: CMRSS
0,20
Apr 09 Nasional
Jul 09 Pedesaan
Perkotaan
Okt 09 Tidak miskin
Miskin
Sumber: CMRSS
Hasil dari survei CMRS tahap kedua mengisyaratkan bahwa keadaan rumah tangga telah membaik. Jam kerja meningkat 0,6 jam antara Agustus dan November 2009, sehingga mengkompensasi sebagian dari penurunan yang terjadi sebelumnya. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan pulih lebih cepat. Kepala rumah tangga perempuan memperoleh kembali lebih banyak jam kerja dibandingkan kepala rumah tangga laki-laki selama periode ini; jam kerja mingguan mereka telah melebihi tingkat bulan April. Keadaan ini telah memperbaiki tingkat penghasilan rumah tangga. Persepsi rumah tangga mengenai kesulitan dalam memenuhi biaya konsumsi sudah kembali lagi ke tingkat kuartal bulan April, demikian pula dengan tren substitusi makanan. Sumber: Bank Dunia.“Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia: Menjaga Momentum.”Maret 2010. Berdasarkan“Indonesia’s Crisis Monitoring and Response System – First and Second Round Summary Report.” Bank Dunia Maret 2010 (Mimeo).
186
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10 Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
III. Kebijakan dan Program untuk Melindungi Pekerja dari Guncangan Dalam menanggapi guncangan, diperlukan paket kebijakan menyeluruh yang dirancang untuk melindungi baik pemberi kerja maupun pekerja. Pasar tenaga kerja perlu dipantau dalam waktu nyata atau “real time” untuk mendeteksi guncangan dan memahami bagaimana dampaknya dirasakan pekerja. Yang kedua, sistem tanggapan terkait dapat memasukkan tiga kategori intervensi berikut: 1) kebijakan dan program yang mendorong permintaan tenaga kerja; 2) program yang mempertahankan penghasilan pekerja yang telah diberhentikan, dan; 3) kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan kelayakan pekerja untuk dipekerjakan dan penghasilannya.255 Mekanisme tanggapan tunggal kemungkinan tidak akan cukup karena guncangan eksternal mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap berbagai golongan populasi dan dirasakan dengan cara yang berbeda-beda pula. Karena itu, sistem tanggapan haruslah cukup fleksibel dan mencakup serangkaian program yang dapat dijalankan dengan cepat untuk membantu pekerja yang rentan dan komunitas mereka. Program tersebut dapat dijalankan bersama-sama dengan program jaring pengaman sosial yang lebih luas cakupannya, seperti misalnya bantuan langsung tunai yang dapat membantu mengurangi pengaruh krisis terhadap pekerja miskin.
A. Kebijakan dan Program yang Mendorong Permintaan Tenaga Kerja Program pekerjaan umum cukup efektif dalam menciptakan peluang kerja bagi pekerja yang berupah rendah dan pekerja yang menganggur. Program pekerjaan umum, yang juga disebut sebagai workfare, merupakan program yang bertujuan memberikan pekerjaan sementara bagi pekerja sambil memberikan kontribusi bagi pengembangan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat ini biasanya adalah proyek infrastruktur, tetapi juga dapat mencakup layanan seperti pemeliharaan bangunan atau infrastruktur. Program pekerjaan umum dijalankan di lebih dari 40 persen negara berpenghasilan rendah dan sangat cocok dilaksanakan selama terjadinya guncangan ekonomi. Evaluasi telah memperlihatkan bahwa program pekerjaan umum, jika dirancang dengan baik, akan efektif menjangkau pekerja miskin dan mencegah kemiskinan jangka pendek.256 Indonesia melaksanakan program pekerjaan umum jangka pendek sebagai tanggapan terhadap krisis keuangan 1997. Program Padat Karya terdiri atas lebih dari selusin program penciptaan lapangan kerja yang dipandang sebagai bagian dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang lebih luas. Program Padat Karya dapat dikategorikan ke dalam empat jenis proyek257: i) perancangan ulang program investasi dan infrastruktur supaya lebih padat karya; ii) hibah langsung kepada masyarakat lokal dengan sejumlah persyaratan pemanfaatan dana hibah, termasuk untuk pekerjaan umum; iii) proyek padat karya khusus termasuk proyek perhutanan dan pelatihan ulang para pekerja yang diberhentikan, dan; iv) program “makanan untuk kerja” atau “food for work”. Program ini ditujukan bagi para pekerja yang telah kehilangan pekerjaan dan mereka yang tidak mempunyai penghasilan permanen. Tetapi, program ini gagal melindungi para pekerja yang paling rentan karena kesalahan mendasar dalam perancangan program. (Kotak 10.2). Program akhirnya dihentikan beberapa tahun setelah krisis.
255 256 257
Kategori dan penjelasan mengenai opsi tanggapan yang diringkaskan dalam bab ini merupakan adaptasi dari “How Should Labor Market Policy Respond to the Financial Crisis.” April 2009. Bank Dunia 2009b. Bank Dunia, 2008c. “Labor Market Programs that Make a Difference in Times of Crisis.” Sumarto, Suryahadi, dan Pritchett. 2000. Bank Dunia.
187
Kotak 10.2
Pekerjaan Umum: Belajar dari Afrika Selatan258 259 260 261
Pemerintah Afrika Selatan melancarkan Perluasan Program Pekerjaan Umum (Expanded Public Works Program EPWP) pada Growth and Development Summit tahun 2003. Program tersebut menyediakan kesempatan kerja dan pelatihan bagi lebih dari satu juta orang per tahun untuk memberikan peluang kerja sementara bagi para penganggur.258 Program ini dikelola oleh Departemen Pekerjaan Umum, namun melibatkan semua kementerian dan berbagai bagian pemerintahan. EPWP membantu proyek infrastruktur dengan metode padat karya untuk memperbaiki jalan di desa dan kota, perpipaan di kota, dan saluran pembuangan air hujan. Selain infrastruktur tradisional, program juga menghasilkan pekerjaan melalui kegiatan sosial dan ekonomi. Kesempatan kerja diciptakan melalui proyek perbaikan lingkungan untuk masyarakat (termasuk rehabilitasi lahan, pembersihan garis pantai, dan proyek daur ulang), proyek sosial untuk masyarakat (seperti perawatan kesehatan di rumah dan pekerja yang membantu tumbuh kembang balita), serta pengembangan usaha kecil dan koperasi. Rata-rata lamanya keikutsertaan berkisar antara empat bulan hingga lebih dari satu tahun sehingga pesertanya dapat memperoleh penghasilan rutin. Kebanyakan penganggur yang berminat mengikuti program adalah pekerja tanpa keahlian yang bersedia bekerja dengan upah minimum. Program ini memperkenalkan komponen tambahan untuk meningkatkan kemampuan para pekerja tanpa keahlian agar dapat memperoleh penghasilan sendiri begitu mereka selesai mengikuti program.Pelatihan, pendidikan, atau pengembangan keahlian juga diberikan bersamaan dengan kesempatan kerja untuk meningkatkan kelayakan mereka dipekerjakan di sektor yang sangat membutuhkan pekerja. Ratarata lamanya pelatihan bervariasi antara 10 hari di sektor lingkungan sampai 30 hari bagi mereka yang ikut serta dalam kegiatan sosial. Evaluasi terhadap EPWP mendapati bahwa partisipasi dalam program tersebut mempunyai efek yang positif dan signifikan secara statistik dari segi persentase anggaran yang dihabiskan untuk tenaga kerja, jumlah hari kerja yang diciptakan, dan jumlah pelatihan yang dilakukan.259 Secara umum, para peneliti mendapati bahwa EPWP mengurangi biaya penciptaan lapangan kerja dan biaya untuk memberikan penghasilan bagi kaum miskin. Program ini tampaknya berhasil meningkatkan persentase lapangan kerja bagi perempuan, meskipun program juga menghadapi tantangan dalam mencapai target untuk perempuan dan daerah miskin. Pedoman proyek mempunyai sasaran tingkat keikutsertaan perempuan sampai 40 persen, namun hanya 23 persen dari lapangan kerja yang diciptakan yang diisi oleh perempuan.260 Sebagian distrik dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi sama sekali tidak mendapat proyek pekerjaan umum, sementara distrik lain yang tingkat kemiskinannya rendah mendapatkan beberapa proyek. Hal ini kemungkinan terjadi karena area yang miskin lebih sukar diakses dan lebih sulit dijadikan tempat kerja.261 Sumber: del Ninno, Subbarao, dan Milazzo, 2009.
258 259
260 261
188
Untuk perincian program EPWP, lihat situs web Pemerintah Afrika Selatan di: http://www.epwp.gov.za/. Adato dan Haddad, 2001. Kajian dampak dapat menjelaskan endogenitas keikutsertaan. Variabel dependen termasuk persentase anggaran proyek yang dihabiskan untuk tenaga kerja, log jumlah hari kerja yang diciptakan, dan log jumlah pelatihan yang dilakukan. Dampak yang dihasilkan cukup besar dan tetap terlihat meski spesifikasi model divariasikan dan kovariat lain dimasukkan. Ibid Ibid
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10 Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
Kotak 10.3
Belajar dari Pengalaman Indonesia dengan Pekerjaan Umum 262 263 264 265 266 267 268
Program Padat Karya berhasil menciptakan lapangan kerja di berbagai wilayah Indonesia. Selama fase kedua, program ini menciptakan sekitar 225 juta hari kerja-orang dari April 1998 sampai Desember 1999. Selama periode ini, program dilaksanakan bagi sekitar 40 persen dari seluruh masyarakat di Indonesia. 61,3 persen masyarakat perkotaan melaporkan adanya program Padat Karya di wilayah mereka, dibandingkan dengan hanya 44,6 persen di area pedesaan.262 Sayangnya, program ini tidak efektif menarget kaum miskin. Sampai dengan Februari 1999, program PK hanya menjangkau 8,3 persen dari rumah tangga miskin. 70 persen peserta program PK merupakan rumah tangga tidak miskin.263 Rasio sasaran ini hampir sama dengan program anti-kemiskinan lainnya selama periode tersebut, termasuk program subsidi beras (raskin), beasiswa pendidikan, dan kartu sehat. Kegagalan program untuk memberikan jaring pengaman yang efektif bagi pekerja miskin diakibatkan oleh tiga kesalahan rancangan yang mendasar: a. Program Padat Karya merupakan program yang terpecah-pecah dan dilaksanakan secara terpisah oleh berbagai kementerian. Skema pekerjaan umum memasukkan sampai 16 jenis program sebagai bagian dari keseluruhan program saat pertama kali diluncurkan. Selain Departemen Pekerjaan Umum, berbagai departemen yang lain, seperti Departemen Kehutanan dan Departemen Agama pun mulai melaksanakan program pekerjaan umum meski tidak memiliki catatan rekam kerja dalam memberikan bantuan sosial. Berbagai lembaga pelaksana ini mendapat kritikan dari media karena perencanaan yang buruk dan terburuburu, pemantauan dan pengawasan yang lemah, serta jarang berkonsultasi dengan publik. 264 b. Program ini menimbulkan perpindahan pekerja karena upah yang ditetapkan lebih tinggi dari upah di pasaran. Nilai upah ditentukan oleh pusat untuk 4 kawasan besar. Namun, upah median program ini ditetapkan relatif tinggi bagi pekerja tanpa keahlian – rata-rata pada persentil ke-40 upah di pasaran.265 Karena upahnya lebih tinggi dari upah di pasaran, permintaan untuk pekerjaan ini pun melebihi pasokan. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) serta ketua RT dan RW berperan kunci dalam mengidentifikasi penerima pekerjaan dengan dibantu kepala desa dan stafnya. Hal ini menimbulkan tuduhan bahwa para pejabat tersebut melakukan nepotisme dan hanya memberikan pekerjaan bagi keluarga, teman, dan rekan mereka. Selain itu, upah yang lebih tinggi juga memberikan insentif bagi para pekerja yang telah memiliki pekerjaan untuk beralih pekerjaan dan bersaing dengan para penganggur yang semestinya menjadi sasaran program. 266 c. Program Padat Karya ternyata tidak sepadat karya yang diharapkan. Alokasi upah untuk berbagai proyek diharapkan mencapai 70 persen. Kenyataannya, hanya 50 persen dari anggaran proyek yang dialokasikan untuk upah. 267 Menurunnya intensitas tenaga kerja mengakibatkan turunnya jumlah pekerjaan yang tersedia dan membuat permintaan pekerjaan semakin tinggi karena upah yang relatif besar. Selain itu, tingkat keikutsertaan perempuan juga rendah karena sifat pekerjaan yang berat dan menuntut kemampuan fisik. Sebanyak 81 persen dari penerima manfaat program adalah laki-laki, jauh lebih banyak daripada perempuan yang hanya 19 persen. 268
Kerangka kerja siaga untuk pekerjaan umum dapat membantu pemerintah untuk menciptakan peluang kerja jangka pendek ketika dibutuhkan. Kerangka kerja semacam ini dapat menjalankan dua fungsi utama: a) menentukan daerah mana saja yang membutuhkan penciptaan lapangan kerja, dan; b)
262 263 264 265 266 267 268
Strauss et al. 2001. Indonesian Living Standards. (Berdasarkan IFLS 2000). Suharso, Sumarto, dan Suryahadi. 2005. SMERU. (Berdasarkan data dari Modul Khusus Susenas). Perdana dan Maxwell, 2004. Strauss et al. 2001. Indonesian Living Standards. (Berdasarkan IFLS3). Grosh et al. 2008. For Protection and Promotion: The Design and Implementation of Effective Safety Nets. Denganmengutip Sumarto, Suryahadi, dan Pritchett, 2000. Strauss et al. 2001 (Berdasarkan data IFLS3 dari sisi masyarakat). Perdana dan Maxwell, 2004.
189
memicu tanggapan program untuk menciptakan peluang kerja jangka pendek bagi pekerja, baik di area pedesaan maupun perkotaan. Pengalaman internasional mengenai pekerjaan umum menjadi pelajaran untuk membuat program pekerjaan umum yang efektif. Masalah yang timbul dalam program pekerjaan umum sebelumnya dapat dihindari dengan berpegang pada prinsip praktik terbaik berikut269: Menciptakan program yang terpadu dan dikelola secara terpusat. Koordinasi yang lemah merupakan tantangan bagi program pekerjaan umum skala besar, terutama jika program dilaksanakan pada berbagai tingkat pemerintahan. Untuk menghindari masalah tersebut, perlu ditunjuk satu lembaga di tingkat pusat yang bertanggung jawab memimpin strategi keseluruhan dan memantau pelaksanaan program. Memilih proyek dengan intensitas tenaga kerja paling tinggi demi meningkatkan peluang kerja yang dihasilkan program. Intensitas tenaga kerja dalam program pekerjaan umum merefleksikan persentase biaya tenaga kerja terhadap biaya keseluruhan proyek tersebut. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, termasuk jenis aset yang diciptakan, tingkat upah, dan kemampuan lembaga pelaksana untuk menganggarkan dengan tepat biaya non-upah.270 Meskipun proyek seharusnya diupayakan mempunyai intensitas tenaga kerja yang tinggi (60 persen atau lebih), perlu dipastikan pula tersedianya sumber daya yang cukup untuk material dan peralatan supaya proyek dapat diselesaikan sesuai rencana dengan standar mutu yang diinginkan. Mendorong keikutsertaan perempuan dengan mengubah elemen rancangan program. Rancangan pekerjaan umum dapat disesuaikan untuk memungkinkan keikutsertaan perempuan. Sejumlah proyek – termasuk di Malawi (MASAF), India (SGRY), Afrika Selatan (EPWP) dan Tanzania (TASAF) – menetapkan target persentase minimum keikutsertaan perempuan dalam pedoman proyek. Menambah keragaman jenis tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mendorong keikutsertaan perempuan. Karena proyek yang membutuhkan kerja berat cenderung menyisihkan keikutsertaan perempuan, dapat dipertimbangkan berbagai jenis pekerjaan ringan seperti perawatan bangunan dan taman. Skema Jaminan Pekerjaan Maharashtra (Maharashtra Employment Guarantee Scheme - MEGS) di India mendorong keikutsertaan perempuan dengan memberikan pekerjaan dalam jarak lima kilometer dari rumah peserta, menyediakan fasilitas penitipan anak, dan menawarkan upah yang setara. Terakhir, jenis pembayaran kemungkinan berdampak terhadap keikutsertaan perempuan; upah yang dibayarkan dalam bentuk barang atau upah yang dibayarkan untuk kuantitas kerja kemungkinan dapat menarik lebih banyak perempuan daripada laki-laki ke lokasi kerja.271 Menetapkan upah di bawah tingkat pasar bagi pekerja tanpa keahlian supaya terjadi seleksi mandiri karena hanya pekerja yang paling miskinlah yang bersedia mengikuti program. Langkah ini akan memastikan bahwa programnya pro rakyat miskin sehingga dapat menarik mereka yang tak punya alternatif lain untuk mendapat penghasilan dan paling memerlukan penghasilan tambahan, sambil menyisihkan mereka yang tidak miskin dan mereka yang telah memiliki pekerjaan. Pada saat yang sama, upah rendah akan mendorong para peserta untuk melanjutkan mencari peluang kerja yang lebih baik. Bukti yang ada mengisyaratkan bahwa jika upah untuk program pekerjaan umum ditetapkan sama dengan upah minimum (di sejumlah negara, upah minimum lebih tinggi daripada upah di pasaran), maka program tak hanya cenderung sulit ditargetkan dengan tepat, tetapi juga sangat mahal untuk dibiayai pemerintah.272 Mengkonsentrasikan pekerjaan umum di area miskin dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Lembaga yang mengkoordinasi di tingkat pusat harus menentukan target geografis secara
269 270 271 272
190
Bank Dunia, 2008c. del Ninno, Subbarao, dan Milazzo, 2009. Ibid. Ibid.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10 Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
sistematis untuk menentukan lokasi program (Kotak 10.3). Mengalokasikan anggaran sesuai porsi tingkat kemiskinan di daerah akan membantu memastikan bahwa area yang paling membutuhkan akan memperoleh manfaat paling besar dari intervensi.
Kotak 10.4
Menargetkan Mereka yang Paling Membutuhkan melalui Pekerjaan Umum 273
Terdapat bukti bahwa pemakaian beragam metode penentuan target akan membuat identifikasi mereka yang paling membutuhkan semakin akurat dan menyeluruh, sehingga meningkatkan kinerja penentuan target program pekerjaan umum.273 Sebagai contoh, menggunakan seleksi mandiri saja kemungkinan tidak cukup untuk menjangkau kelompok yang rentan di area miskin atau ketika permintaan untuk ikut serta dalam program sangat tinggi sehingga diperlukan penjatahan pekerjaan. Secara umum, terdapat tiga pendekatan untuk penentuan target: (a) seleksi mandiri, (b) seleksi mandiri yang dikombinasikan dengan metode lain, dan (c) metode lain, termasuk penentuan target geografis. Di seluruh dunia, metode yang paling populer adalah kombinasi antara seleksi mandiri dan metode lain, seperti penentuan target geografis atau masyarakat. Pemetaan kemiskinan untuk penentuan target geografis dapat membantu supaya area dengan konsentrasi kemiskinan tertinggi di negara yang bersangkutan dapat menjadi fokus. Hal ini telah dilakukan di Malawi yang melakukan penentuan target untuk keikutsertaan dalam pekerjaan umum MASAF di dua tingkat. Proses diawali dengan identifikasi area geografis berdasarkan data dari Sistem Pemetaan Kerentanan (Vulnerability Assessment Mapping System - VAM) yang memperhitungkan berbagai faktor seperti ketersediaan makanan di tingkat rumah tangga, ketersediaan mekanisme untuk menghadapi krisis, dan ketersediaan lahan. Kemudian, unit pengelola MASAF bersama dengan Unit Pemantau Kemiskinan (Poverty Monitoring Unit - PMU) bertanggung jawab mengembangkan indeks yang cocok dan kriteria seleksi untuk area yang memenuhi syarat. Dalam area yang menjadi target, pada tingkat masyarakat, upah ditetapkan di bawah upah minimum untuk mendorong seleksi mandiri. Program Trabajar di Argentina juga menerapkan kombinasi antara penentuan target geografis dan seleksi mandiri dengan menawarkan tingkat upah yang awalnya ditetapkan sama dengan upah minimum (di bawah upah pasaran) dan kemudian diturunkan lagi sampai ke tingkat di bawah upah minimum tahun 2000. Sumber: del Ninno, Carlo, Kalanidhi Subbarao, dan Annamaria Milazzo. “How to Make Public Works Work: A review of the Experiences.” 2009. Makalah Diskusi Perlindungan Sosial (SP) No. 0905. Bank Dunia.
Melibatkan masyarakat dalam program pekerjaan umum untuk memilih proyek penciptaan lapangan kerja akan memberikan banyak keuntungan.274 Yang pertama, hal tersebut akan menghasilkan infrastruktur/aset yang paling dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian, pekerjaan umum akan betul-betul menjadi kegiatan yang didorong oleh permintaan. Yang kedua, hal tersebut menciptakan rasa memiliki terhadap aset yang dibuat dan kemungkinan akan menyebabkan perawatan aset yang lebih baik (seperti misalnya pada saluran air masyarakat). Yang ketiga, hal tersebut dapat mendorong pengawasan proyek oleh masyarakat sehingga mutu aset yang dibangun kemungkinan akan lebih baik. Keterlibatan masyarakat dapat dimasukkan ke dalam rancangan proyek. Karena berbagai alasan tersebut, sebuah kerangka kerja pekerjaan umum harus menggunakan program Pembangunan Berbasis Masyarakat (Community Driven Development - CDD) yang sudah ada. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) merupakan gabungan dari
273 274
Coady, Grosh, dan Hoddinott, 2004. del Ninno, Subbarao, dan Milazzo, 2009.
191
semua program pembangunan berbasis masyarakat Pemerintah Indonesia; program ini memberikan hibah langsung ke berbagai kecamatan untuk mendukung proyek pembangunan yang telah diidentifikasi masyarakat. Program ini ditingkatkan selama tahun 2007-09 dan kini telah menjangkau semua kecamatan di seluruh Indonesia. Program ini telah terbukti berhasil menciptakan lapangan kerja jangka pendek di area pedesaan dan telah terjadi penurunan tingkat pengangguran sebesar rata-rata 1,5 persen. Pemerintah juga menyalurkan dana tambahan melalui program ini untuk membiayai proyek penciptaan lapangan kerja di area yang paling terkena dampak krisis ekonomi global baru-baru ini. Tetapi, perlu berhati-hati supaya tidak merusak modal sosial yang ingin dibangun melalui program berbasis masyarakat. PNPM-Mandiri membangun modal sosial dengan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil keputusan mengenai pembangunannya sendiri. Pemilihan proyek yang didanai melalui hibah langsung dilakukan dalam rapat desa secara terbuka dan dapat dihadiri semua anggota masyarakat. Jika dana tambahan disalurkan melalui PNPM selama terjadinya guncangan lapangan kerja, proyek padat karya semestinya dipilih dari daftar yang telah diidentifikasi oleh masyarakat. Persyaratan penggunaan dana tambahan tersebut kemungkinan tetap diperlukan untuk memastikan bahwa upah program berada di bawah upah pasaran pekerja yang berkeahlian sehingga program dapat ditargetkan bagi pekerja yang paling membutuhkannya. Namun, tidak semua program PNPM-Mandiri sesuai untuk pekerjaan umum. Di area perkotaan, program ini bergantung pada sukarelawan untuk pelaksanaan proyek. Karena alasan tersebut, diperlukan jalur yang lain untuk menjangkau area perkotaan dan menciptakan lebih banyak pekerjaan sementara selama berlangsungnya guncangan lapangan kerja yang ekstrim. Selain pekerjaan umum, ada pula langkah kebijakan lain yang dapat mendorong penciptaan lapangan kerja. Berikut adalah dua contoh inisiatif yang dapat digunakan selama atau setelah terjadinya guncangan lapangan kerja: Subsidi upah sementara dapat membantu mengurangi laju hilangnya pekerjaan di sektor formal. Subsidi upah dapat mencegah pemberhentian karyawan jangka pendek dengan menurunkan biaya tenaga kerja bagi pemberi kerja tanpa mengurangi gaji pekerja. Perusahaan juga tidak akan kehilangan pekerja berkeahlian dan dapat menghemat biaya selanjutnya untuk mempekerjakan kembali pekerja setelah pulih dari guncangan. Subsidi upah dapat digunakan untuk melindungi pekerja dari kelompok yang rentan, seperti pekerja berupah rendah atau mereka yang baru memasuki pasar tenaga kerja. Tetapi, subsidi upah hanya dapat dipertahankan dari sisi fiskal jika dilaksanakan untuk jangka pendek saja. Karena alasan tersebut, subsidi upah kemungkinan bukan instrumen yang cocok untuk mengatasi pengaruh jangka panjang dari guncangan. Meningkatkan akses terhadap kredit mikro bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga dapat membantu mendorong permintaan tenaga kerja, baik di sektor formal maupun informal. Akses terhadap kredit dapat membantu calon wiraswasta untuk mendirikan usaha kecil dan menciptakan peluang kerja. Kredit juga dapat berperan penting dalam mencegah ditutupnya perusahaan yang masih layak beroperasi, dan dengan demikian, mencegah hilangnya pekerjaan di sektor produktif. Sesuai dengan tujuan tersebut, Brasil, Cina, dan India baru-baru ini telah membuat kebijakan mengenai kredit dan memberikan subsidi kepada sektor yang sangat produktif dan kepada UKM.
B. Mempertahankan Penghasilan bagi Pekerja yang Diberhentikan Peraturan ketenagakerjaan Indonesia yang kaku telah membatasi kelenturan pasar tenaga kerja dengan mengekang upaya perusahaan untuk mengatasi guncangan. Peraturan pemberhentian saat ini membatasi kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan permintaan dunia dan melakukan realokasi pekerja ke sektor yang lebih produktif. Hal ini karena perusahaan yang mematuhi aturan akan terkena kewajiban membayar pesangon dalam jumlah besar jika mereka mengurangi karyawan akibat penurunan permintaan. Bahkan menurut undang-undang, pemberi kerja baru boleh mengurangi
192
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10 Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
nilai pesangon ketika mereka bangkrut, bukan ketika mengurangi jumlah karyawan. Aturan ini tak hanya dapat memperparah hilangnya pekerjaan selama terjadinya guncangan ekonomi, tetapi juga berdampak terhadap pekerja yang diberhentikan karena kecil kemungkinan mereka akan menerima pesangon dari perusahaan yang bangkrut. Peraturan saat ini tak hanya menyulitkan pemberi kerja, tetapi juga gagal memberi perlindungan yang cukup bagi pekerja yang rentan terhadap kemerosotan kondisi pasar tenaga kerja. Berbagai peraturan, seperti misalnya aturan tentang pesangon, dirancang untuk melindungi pekerjaan, tetapi tidak banyak membantu dalam melindungi pekerja yang rentan kehilangan pekerjaannya selama krisis. Peraturan tersebut hanya sedikit melindungi, atau malah sama sekali tidak melindungi, mayoritas angkatan kerja di sektor informal. Peraturan tersebut pun tidak efektif melindungi karyawan di sektor formal karena sebagian besarnya bekerja tanpa kontrak dan tingkat kepatuhan pemberi kerja terhitung rendah, terutama di perusahaan kecil. Sistem tunjangan pengangguran adalah instrumen utama yang digunakan oleh negara berpenghasilan menengah untuk mempertahankan penghasilan bagi pekerja yang diberhentikan. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, terdapat serangkaian kebijakan yang dapat diterapkan sebuah negara untuk memberikan tunjangan pengangguran bagi pekerja sektor formal. Berbagai program tersebut dapat disesuaikan dengan beberapa cara berikut ini untuk memberikan perlindungan tambahan ketika terjadi guncangan: memperpanjang jangka waktu tunjangan; memperluas cakupan kepada subkelompok yang sebelumnya tidak tercakup; dan memberikan kompensasi parsial kepada pekerja yang mengalami pengurangan jam kerja. Meskipun Indonesia tidak memiliki sistem tunjangan pengangguran, krisis saat ini mungkin dapat memicu upaya baru untuk mendalami opsi reformasi dan menyiapkan dasar analisis bagi sistem di masa depan.275 Dana pensiun dapat memberikan perlindungan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan selama terjadinya guncangan. Beberapa negara memperbolehkan kontributor yang telah diberhentikan untuk melakukan penarikan dini dari dana pensiun. Sayangnya, dana pensiun di Indonesia (Jamsostek) tidak memberikan perlindungan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan selama terjadinya guncangan. Penarikan dini hanya diperbolehkan bagi pekerja yang telah memberikan kontribusi selama 5 tahun dan telah menganggur selama enam bulan atau lebih.276 Bahkan jika pembatasan ini dilonggarkan pun, Jamsostek hanya memberikan sedikit perlindungan bagi pekerja yang rentan. Walaupun 4 persen dari semua pekerja (dan kira-kira 27 persen dari karyawan penerima upah dan gaji) memberikan kontribusi Jamsostek, hanya 1 persen dari pekerja tersebut yang diidentifikasikan sebagai sangat rentan selama krisis saat ini. Pekerja yang akhirnya menarik dini dana pensiunnya hanya memperoleh perlindungan penghasilan yang kecil; rata-rata dana yang dapat ditarik hanya setara dengan 3,8 bulan gaji karena rendahnya nilai kontribusi.
C. Kebijakan untuk Meningkatkan Dipekerjakan dan Penghasilannya
Kelayakan
Pekerja
untuk
Program pelatihan menyeluruh dapat membantu pekerja yang menganggur untuk meningkatkan kelayakannya dipekerjakan dan penghasilannya. Layanan pelatihan menyeluruh tak hanya memberikan kesempatan kedua bagi pekerja, tetapi juga dapat menyerap pekerja yang menganggur atau mereka yang baru memasuki angkatan kerja, dua golongan yang prospeknya kurang baik selama krisis. Jika kondisi fiskal memungkinkan dan tidak ada program tunjangan pengangguran, layanan pelatihan dapat dilengkapi
275 276
Lihat Bab 4 untuk diskusi mengenai berbagai opsi untuk reformasi tunjangan pengangguran. Vroman, 2007.
193
dengan upah pelatihan untuk meningkatkan penghasilan para penganggur. Namun demikian, pusat pelatihan keahlian di Indonesia terlalu sedikit dan tidak memadai untuk mengakomodasi kebutuhan pekerja yang rentan selama terjadinya guncangan. Krisis saat ini dapat menggarisbawahi kebutuhan untuk memperluas layanan pelatihan, bukan hanya untuk meningkatkan keahlian angkatan kerja, tetapi juga sebagai bagian dari sistem tanggapan terhadap guncangan. Sistem voucher dapat membantu menyediakan pelatihan bagi mereka yang baru kehilangan pekerjaan atau baru memasuki angkatan kerja. Pekerja yang baru diberhentikan dapat diberi voucher yang dapat ditebus untuk pelatihan keahlian di pusat pelatihan yang telah dikontrak Kementerian Tenaga Kerja. Voucher juga dapat diberikan kepada mereka yang baru lulus SMA dan belum memasuki angkatan kerja. Pemberian pelatihan tambahan tak hanya mencegah para pekerja ini menjadi pengangguran, tetapi juga mengurangi kemungkinan bahwa mereka akan berusaha mengatasi guncangan lapangan kerja dengan kembali ke pekerjaan pertanian. Pelatihan tambahan dapat menyiapkan mereka untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik setelah pasar tenaga kerja pulih kembali. Tidak semua kebijakan untuk membantu penghasilan pekerja dapat berfungsi efektif sebagai jaring pengaman selama terjadinya guncangan upah. Selepas krisis keuangan 1997 dan peralihan Indonesia menuju demokrasi, upah minimum di Indonesia meningkat pesat untuk membantu karyawan pulih dari krisis upah. Namun, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan upah minimum setelah krisis gagal melindungi pekerja berupah rendah dan menyebabkan tersisihnya pekerja informal.277 Kenaikan upah minimum menimbulkan akibat yang tidak diharapkan, yaitu berkurangnya ketersediaan pekerjaan formal dan nontani. Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan upah minimum juga gagal memberikan jaring pengaman yang efektif bagi pekerja berupah rendah karena mereka memiliki kemungkinan lebih besar untuk bekerja bagi pemberi kerja yang tidak patuh terhadap aturan upah minimum (misalnya usaha kecil dan menengah yang berada di bawah ambang batas pengawasan inspektur tenaga kerja).
IV. Rekomendasi Indonesia tidak memiliki kesiapan untuk melindungi pemberi kerja maupun pekerja dari guncangan upah atau lapangan kerja. Pemerintah hanya memiliki sedikit instrumen kebijakan tenaga kerja yang dapat digunakan untuk menanggapi krisis keuangan saat ini. Karena alasan tersebut, diperlukan pengembangan program dan kebijakan yang dapat memperbaiki kelenturan pasar tenaga kerja dan memberikan perlindungan menyeluruh bagi pekerja yang paling rentan. Rekomendasi berikut memberikan dasar bagi terciptanya sistem untuk memantau dan menanggapi guncangan, yang dapat dipakai untuk menanggapi guncangan ketenagakerjaan di masa depan. Meningkatkan frekuensi pengumpulan dan menambah kelengkapan data ketenagakerjaan dapat membantu mendeteksi guncangan dengan cepat dan mengetahui dengan akurat pekerja yang terpengaruh. Untuk melindungi pekerja dari guncangan, diperlukan pengumpulan informasi terkini dan penentuan dengan tepat daerah dan rumah tangga yang paling terkena dampaknya. Saat ini, survei tenaga kerja hanya dilakukan dua kali setahun dengan ukuran sampel yang besar. BPS dapat meningkatkan keterkinian data dan sekaligus mengurangi biaya dengan menerapkan pendekatan survey kuartalan atau terusmenerus yang dapat menghasilkan data ketenagakerjaan per kuartal atau per bulan. Selain itu, ada pula kebutuhan untuk memperluas pertanyaan survei untuk memantau dengan lebih baik kerentanan di antara para pekerja. Fasilitas penelitian dan think tank lokal, yang didukung dengan bantuan teknis dan pembangunan kapasitas, dapat menggunakan data ini untuk melacak perubahan di pasar tenaga kerja dan mendi-
277
194
Lihat Bab 5 untuk diskusi mengenai kebijakan upah minimum di Indonesia.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10 Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
agnosis bagaimana guncangan dirasakan oleh pekerja sehingga mekanisme tanggapan dapat dirancang dengan lebih baik. Keterlambatan penyaluran tanggapan program dapat berdampak sangat mahal bagi para pekerja yang rentan dan keluarga mereka. Data ini dapat dimasukkan ke dalam sistem pemantauan yang mampu mendeteksi guncangan di masa depan, termasuk guncangan upah dan lapangan kerja. Jaring pengaman darurat tidak akan efektif atau tepat waktu jika tidak disertai dengan sistem pemantauan dan tim siaga yang bertanggung jawab memeriksa data yang tersedia (termasuk laporan dari lapangan) untuk mendeteksi krisis yang sudah di depan mata. Sistem Pemantauan dan Respon terhadap Krisis (Crisis Monitoring and Response System - CMRS) bertindak sebagai prototipe bagi sistem pemantauan dan tanggapan masa depan yang dapat dibuat berkesinambungan sehingga guncangan di masa depan dapat dipantau dan diatasi begitu muncul. Informasi yang diperoleh melalui pemantauan dapat menjadi masukan bagi rancangan sistem tanggap darurat di masa depan, yang mengatur kapan dan bagaimana jaring pengaman bagi pekerja akan disalurkan untuk mengantisipasi serangkaian kemungkinan guncangan. Sistem harus mengidentifikasi pemicu yang dapat membenarkan penyaluran bantuan sementara melalui berbagai jalur program. Untuk mengembangkan sistem ini, perlu disiapkan terlebih dahulu pedoman yang mengantisipasi tanggapan terhadap skenario tertentu, termasuk rincian mengenai identifikasi penerima, besarnya dan jenis paket bantuan (misalnya tunai atau berupa barang, pekerjaan umum), dan kapan bantuan diakhiri. Rancangan sistem tanggapan juga harus menjelaskan bagaimana berbagai lembaga akan bekerja sama untuk melakukan perancangan, aktivasi, pembiayaan, dan penyaluran demi tersedianya bantuan dengan secepat dan seefisien mungkin. Salah satu pilar sistem nasional untuk menanggapi guncangan semestinya berupa kerangka kerja pekerjaan umum. Kerangka kerja ini mengatur kapan, di mana, dan bagaimana proyek penciptaan lapangan kerja akan disalurkan untuk mengantisipasi serangkaian kemungkinan guncangan. Hal ini termasuk mengidentifikasi pemicu yang akan meluncurkan proyek pekerjaan umum atau meningkatkan alokasi bagi program padat karya yang sudah ada. Sebagai contoh, PNPM-Mandiri dapat menyalurkan dana untuk mendukung proyek pembangunan padat karya yang telah diidentifikasi masyarakat setempat di area pedesaan, sebuah langkah yang telah berhasil mengurangi angka pengangguran. Selain itu, perlu diidentifikasi proyek atau jalur untuk memberikan bantuan sementara kepada pekerja di area perkotaan saat dibutuhkan. Pada saat bersamaan, sistem tanggapan dapat diisi daftar siaga mengenai proyek infrastruktur yang sedang direncanakan dan sudah berjalan, yang dapat dengan cepat menyerap pekerja selama terjadinya guncangan baik di area pedesaan maupun perkotaan. Belajar dari masa lalu dan berpegang pada “praktik terbaik” internasional akan memastikan bahwa bantuan dapat menjangkau pekerja yang paling memerlukannya. Berbagai praktik terbaik tersebut mencakup: menunjuk satu lembaga di tingkat pusat yang bertanggung jawab memimpin strategi keseluruhan dan memantau pelaksanaan program; menggunakan penetapan target geografis secara sistematis untuk menentukan lokasi program; menetapkan upah di bawah tingkat pasaran bagi pekerja tanpa keahlian sehingga para pekerja tersebut akan terseleksi mandiri ke dalam program; mendorong keikutsertaan perempuan dengan mengubah elemen rancangan program; dan memilih proyek padat karya yang telah diidentifikasi oleh masyarakat atau mendukung proyek infrastruktur yang telah dimasukkan dalam strategi pengembangan akan membantu memastikan bahwa proyek pekerjaan umum dapat berguna dan produktif.
195
Lampiran
Lampiran I.1 Tren pada indikator inti pasar tenaga kerja menurut subkelompok (tingkat pertumbuhan tahunan ratarata) Indikator
1990-97
1997-99
1999-2003
2003-07
-0,2
-0,1
-0,4
-0,1
Lapangan kerja
Pertumbuhan rasio lapangan kerja (persen) Laki-laki/Perempuan
-0,1
-0,3
-0,7
0,3
0,1
-1
-0,5
0,3
Miskin/Tidak miskin
N/A
N/A
2
-0,7
-1,2
-0,1
-2,1
-0,1
Perkotaan/Pedesaan
0,5
-0,3
-0,1
0,1
0,0
-0,6
0,1
-0,3
Dewasa/Muda
-0,2
-0,6
0,0
-0,7
-0,5
-0,7
-0,2
0,2
Pendidikan lebih rendah/Pendidikan lebih tinggi
-0,3
0,3
0,2
-1,5
-0,5
-0,1
0,1
-0,8
Pertumbuhan pengangguran (persen)
0,1
Struktur Tenaga Kerja
0,5
N/A
N/A
1
0,6
-0,3
-0,1
0,4
0,6
Miskin/Tidak miskin
N/A
N/A
0
1,2
0,2
-0,4
0,8
0,3
Perkotaan/Pedesaan
N/A
N/A
1,2
0,5
-0,5
0,0
0,6
0,4
Dewasa/Muda
N/A
N/A
0,5
2,2
-0,1
-0,3
0,5
0,6
Pendidikan lebih rendah/Pendidikan lebih tinggi
N/A
N/A
0,6
1,4
-0,1
-0,7
0,3
0,7
2,1
-1,3
-0,8
1,3
Laki-laki/Perempuan
2
2
-1,7
0,7
-0,6
-1,1
1,1
1,5
Miskin/Tidak miskin
N/A
N/A
-3,4
-0,5
-2,2
-0,2
3,8
0,4
Perkotaan/Pedesaan
0,4
1,7
-1,5
-1,9
-0,8
-1,5
0,8
1,7
Dewasa/Muda
2,0
2,6
-1,0
-2,6
-0,9
-0,1
1,3
1,3
Pendidikan lebih rendah/Pendidikan lebih tinggi
1,8
0,5
-1,6
-1,3
-1,1
-0,3
1,4
0,1
Pertumbuhan pangsa lapangan kerja formal (persen)
1,5
-0,9
-0,3
1,2
Laki-laki/Perempuan
1,6
1,2
-1,4
0,1
-0,3
-0,6
1,3
1,2
Miskin/Tidak miskin
3,6
-0,1
-2,4
-0,6
-0,8
-0,2
2,1
0,7
Perkotaan/Pedesaan
0,4
1,2
-1,7
-0,9
-0,3
-0,8
0,1
1,9
Dewasa/Muda
1,4
1,9
-0,6
-1,8
-0,3
-0,2
1,2
1,3
Pendidikan lebih rendah/Pendidikan lebih tinggi
1,1
0,1
-0,8
-2,1
-0,6
0,0
1,4
-0,2
Pertumbuhan upah median (persen)
Upah
-0,2
Laki-laki/Perempuan
Pertumbuhan pangsa lapangan kerja non-tani (persen)
7,1
-11
8,9
-3,8
Laki-laki/Perempuan
6,4
10,3
-10,2 -10,4
7,9
9,7
-4,1
-3,2
Miskin/Tidak miskin
-0,2
11,1
-10,8 -11,9
6,1
9,3
-1,2
-2,3
Perkotaan/Pedesaan
5,9
7,4
-12,9
-9,5
9,6
5,6
-3,6
-2,2
Dewasa/Muda
6,5
8,8
-11,0 -12,7
7,6
10,6
-3,7
-3,7
Pendidikan lebih rendah/Pendidikan lebih tinggi
7,1
4,4
-10,9 -10,7
7,0
7,0
-3,1
-2,1
Sumber: Sakernas; Susenas untuk tingkat pengangguran 1992-97.
198
0,8
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Catatan: 1.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) hanya mengumpulkan data mengenai laba dari pekerja lepas dan wiraswasta yang bekerja sendirian; hampir separuh dari keseluruhan pengusaha wiraswasta tidak tercakup karena mereka tidak bekerja sendirian. Selain itu, sebelum tahun 2001, survei tersebut juga tidak mengumpulkan data laba dari para wiraswasta karena laba dari usaha sendiri sangat sulit untuk dihitung secara akurat, apalagi mereka yang menjalani usaha kecil dan informal sering kali tidak tahu berapa nilai laba mereka, dan nilai labanya dapat sangat bervariasi dari bulan ke bulan.
2.
Lapangan kerja di sektor non-tani (misalnya industri dan jasa) dianggap lebih baik karena sektor pertanian adalah yang paling tidak produktif, mempekerjakan proporsi tertinggi pekerja tak dibayar atau pekerja lepas, dan mempekerjakan proporsi terendah pekerja berpendidikan. Lebih sedikit informasi upah yang dapat diperoleh pada sektor ini, tetapi upah di sektor pertanian jauh lebih rendah baik bagi pekerja penerima upah maupun wiraswasta yang berusaha sendiri. Hal ini mungkin disebabkan oleh keengganan para petani untuk meninggalkan pertanian, atau adanya hambatan dalam memasuki sektor industri dan jasa yang lebih formal.
Atribut Sektor (2007)
Pertanian
Industri
Jasa
Total
Produktivitas Tahunan Rata-rata US$ per pekerja
13
99
39
40
IDR per pekerja
1.334
9.888
3.932
3.981
Status pekerjaan % pekerja lepas
14,4
16,9
3,2
10,4
% pekerja yang merupakan pekerja keluarga tak dibayar
30,7
6,8
8,3
17,3
% pekerja yang merupakan karyawan penerima gaji
5,8
52,9
39,4
28,1
Upah Upah karyawan median
3098
3688
4683
4016
Upah wiraswasta (sendiri) median
2295
2869
3031
2754
% pekerja berpendidikan SMA atau lebih tinggi
7,4
27,3
41,5
24,8
Pendidikan Pangsa angkatan kerja Menurut sektor 41,3 18,8 39,9 100 Atribut Sektor (2007) 3. Sejak tahun 2001, Sakernas mengklasifikasikan semua pekerja dalam salah satu dari enam kategori status pekerjaan berikut: Pekerja lepas, pekerja keluarga tak dibayar, wiraswasta yang berusaha sendirian, wiraswasta dengan pekerja sementara atau pekerja keluarga, wiraswasta dengan pekerja permanen, dan karyawan penerima gaji. Walaupun klasifikasi ini berisi informasi penting mengenai kualitas pekerjaan, kategorinya sangat beragam. Sebagai contoh, karyawan penerima gaji mencakup baik pembantu rumah tangga maupun dosen universitas, sedangkan wiraswasta yang berusaha sendiri mencakup baik penarik becak yang berupah rendah maupun penjual obat atau agen real estat independen yang berpenghasilan tinggi.
199
Lampiran II.1 Tren pertumbuhan dan pasar tenaga kerja di berbagai negara Periode
Negara
Indonesia Cina Pra-krisis 1990-97
Pemulihan 1999-2003
Pengangguran
Struktur Tenaga Kerja
Pertumbuhan PDB riil per tahun (%)
Pertumbuhan tahunan rata-rata pada tingkat orang dewasa (usia 15+) yang bekerja (persen)
Perubahan tahunan rata-rata pada tingkat pengangguran (inti) (persen)
Perubahan tahunan rata-rata pada pangsa pekerja di sektor non-tani (persen)
7,4
-0,2
0,1
2,1
11,5
-0,2
0,0
0,9
9,2
0,4
-0,3
1,2
Filipina
3,1
0,2
0,0
0,7
Thailand
6,8
-0,9
-0,2
2,0
Vietnam
8,4
-0,2
N/A
1,6
-6,4
-0,1
0,8
-1,3
Cina
7,7
-0,23
0,0
0,3
Malaysia
-0,8
-0,9
0,5
-0,6
Filipina
1,4
-1,8
0,8
1,3
Thailand
-3,3
-2,5
1,1
0,9
Vietnam
5,3
0,7
-0,3
0,2
Indonesia
4,5
-0,4
-0,2
-0,8
Cina
9,0
-0,4
0,1
0,9
Malaysia
4,7
0,2
0,0
1,0
Filipina
4,3
0,4
0,2
0,1
Thailand
4,8
0,3
-0,4
0,9
Vietnam
7,0
-0,2
0,0
1,3
Indonesia
5,4
-0,1
0,5
1,3
Cina Ekspansi 2003-06
Lapangan Kerja
Malaysia
Indonesia Krisis Keuangan 1997-98
Pertumbuhan
10,3
-0,4
0,0
N/A
Malaysia
6,1
-0,6
0,4
N/A
Filipina
5,5
-0,5
-0,9
0,1
Thailand
5,3
0,2
-0,1
1,2
Vietnam
8,1
-0,1
-0,3
1,8
Sumber: CEIC, ILO, Sakernas, Susenas untuk tingkat pengangguran tahun 1992-97 di Indonesia, Indikator Pembangunan Dunia.
200
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
7,7
5,51 5,25 8,13
Filipina
Thailand
Vietnam
Sumber: CEIC, GSO Vietnam, Sakernas, dan WDI.
Ekspansi 2003-06
6,1
Malaysia
10,33
5,4
Cina
7,03
Indonesia
6,63 10,22
7,36
4,49
7,79
11,77
4,47
10,10
5,89
3,51
5,15
10,06
4,15
8,01
-2,35
-0,63
-1,42
8,50
-6,33
12,44
8,82
3,30
11,04
15,64
8,95
Pertumbuhan rata-rata pada pertambahan nilai di sektor industri
9,03
3,61
-0,56
-2,35
6,14
2,54
16,40
5,14
2,42
3,04
-0,53
1,14
-9,80
-5,25
-1,68
-1,50
-0,38
-1,76
3,36
5,71
4,67
6,66
2,76
6,88
Tingkat pertumbuhan rata-rata pada jumlah karyawan industri
Pertumbuhan lapangan kerja
Sektor industri Pertumbuhan PDB
4,43
2,24
1,21
4,99
3,53
5,60
3,55
Vietnam
1,55
-0,11
3,50
8,95
Cina
4,83
4,46
Indonesia
0,10 1,31
4,26
5,27
Vietnam
Thailand
-3,32
Thailand
1,90
0,88
4,07
1,39
Filipina
0,92
-0,50
6,46
5,58
4,34
4,42
4,62
6,31
4,71
-0,84
Malaysia
-6,43
Indonesia
Cina
6,75 8,36
Vietnam
Filipina
Thailand
9,24 3,11
Malaysia
7,38 11,51
Pertumbuhan rata-rata pada jumlah orang dewasa yang bekerja di sektor non-tani
Pertumbuhan PDB riil per tahun (%)
Cina
Pertumbuhan lapangan kerja non-tani
Pertumbuhan
Indonesia
Negara
Pemulihan Malaysia 1999-2003 Filipina
Krisis Keuangan 1997-98
Pra-krisis 1990-97
Periode
0,88
0,54
-0,12
-0,30
0,52
0,57
1,62
0,87
0,69
0,59
-0,05
0,28
-1,22
2,23
2,66
1,06
-0,04
0,28
0,27
0,65
1,42
0,60
0,18
0,77
Elastisitas lapangan kerja di sektor industri
Elastisitas lapangan kerja
7,26
5,94
7,27
6,22
10,27
7,81
6,10
3,54
4,97
4,49
9,95
5,40
3,64
-4,97
3,75
-0,14
8,80
-9,07
8,45
6,36
3,51
9,98
10,59
6,95
Pertumbuhan rata-rata pada pertambahan nilai di sektor jasa
9,03
4,89
3,15
1,49
4,12
4,01
16,40
2,97
3,89
4,70
3,23
-0,71
7,20
3,22
3,26
2,48
2,07
0,09
3,36
5,67
4,23
4,39
6,55
6,04
Tingkat pertumbuhan rata-rata pada jumlah karyawan jasa
0,85
0,82
0,43
0,24
0,40
0,51
0,37
0,84
0,78
1,05
0,32
-0,13
1,98
-0,65
0,87
-17,48
0,24
-0,01
1,39
0,89
1,21
0,44
0,62
0,87
Elastisitas lapangan kerja di sektor jasa
Pertumbuhan Pertumbuhan Elastisitas PDB lapangan kerja lapangan kerja
Sektor jasa
-3,6
-1,8
-1,8
N/A
11,7
-2,0
4,6
-5,7
-0,1
N/A
13,6
11,2
N/A
-2,3
2,3
N/A
14,9
-11,1
N/A
3,5
1,5
N/A
5,8
3,3
Pertumbuhan rata-rata pada upah rata-rata
Pertumbuhan upah riil
Lampiran II.2 Tren lapangan kerja sektor non-tani dan pertumbuhannya di berbagai negara
Lampiran
201
Lampiran III.1 Karakteristik karyawan dan pekerjaan menurut status kontrak Status kontrak (dalam persentase) Tabel A: Karakteristik karyawan
Permanen
Kontrak dengan jangka waktu tertentu
Tanpa kontrak resmi
Usia 15–19 tahun
3,17
8,02
7,22
20–24 tahun
15,09
35,17
16,52
25–34 tahun
30,85
32,82
32,37
35–44 tahun
26,85
14,17
23,58
45–54 tahun
19,62
7,73
14,85
55 tahun ke atas
4,39
2,10
5,46
Usia rata-rata (tahun)
35,6
28,9
34,2
Tidak sekolah
0,28
0,37
2,03
SD
9,29
8,84
27,78
Tingkat pendidikan tertinggi
SMP
9,72
9,70
17,63
SMA
43,86
53,59
32,80
Pendidikan tinggi
36,87
27,45
19,76
Sumber: IFLS, 2007. Catatan: Subtotal menurut masing-masing karakteristik karyawan adalah 100%
Status kontrak (dalam persentase) Tabel B: Karakteristik pekerjaan
Permanen
Kontrak dengan jangka waktu tertentu
Tanpa kontrak resmi
1–4 karyawan
9,21
5,51
26,52
5–19 karyawan
34,09
24,76
32,14
20–99 karyawan
28,78
30,05
23,99
100+ karyawan
27,96
39,74
17,36
Pertanian
1,70
1,34
7,35
Pertambangan dan penggalian
2,49
1,27
1,19
Manufaktur
23,23
39,27
26,86
Utilitas
1,21
1,54
0,56
Ukuran perusahaan
Sektor
202
Konstruksi
1,52
1,38
3,67
Perdagangan
8,88
16,39
19,24
Transportasi
3,94
3,52
4,17
Jasa keuangan
5,63
10,11
4,82
Jasa sosial
50,00
23,66
30,31
Lain-lain
1,36
1,54
1,84
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Status kontrak (dalam persentase) Tabel B: Karakteristik pekerjaan
Permanen
Kontrak dengan jangka waktu tertentu
Tanpa kontrak resmi
Wilayah Bali dan Nusa Tenggara
3,77
2,11
3,79
Kalimantan
7,23
1,73
2,57
Sulawesi
1,64
1,59
2,17
Sumatera
10,08
10,47
11,89
Jakarta
13,11
12,97
6,17
Jawa Barat
15,27
26,92
24,00
8,60
7,22
16,05
Jawa
Jawa Tengah Yogyakarta
10,20
6,40
6,83
Jawa Timur
21,11
22,05
22,58
8,95
8,58
3,99
Banten Sumber: IFLS, 2007.
Tabel C: Karakteristik kualitas pekerjaan
Tingkat kesulitan pekerjaan (Skala 1 sampai 4, pekerjaan yang lebih melelahkan secara fisik diberi nilai lebih tinggi) Permanen
Kontrak dengan jangka waktu tertentu
Tanpa kontrak resmi
Usaha fisik
2,2536
2,4730
2,5415
Mengangkat beban berat
1,6209
1,7230
1,9934
Membungkuk, berlutut
2,0284
2,0196
2,3483
Penglihatan yang baik
3,0332
3,0515
2,8293
Konsentrasi intens
3,2607
3,1985
2,9751
Keahlian relasi personal
3,2156
3,2132
2,9772
Keahlian komputer
1,9100
1,7819
1,4280
Stres
1,6682
1,7475
1,5484
Sumber: IFLS, 2007. Catatan: Survey IFLS 4 meminta individu untuk menanggapi pernyataan yang ditujukan guna mengetahui persepsi mereka mengenai kualitas pekerjaan mereka. Persepsi ini digabungkan untuk menghasilkan skala ukuran bagi setiap pernyataan; nilainya diperlihatkan pada tabel di atas. Dalam membuat skala tersebut, tanggapan diberi nilai 4 untuk jawaban Selalu/Hampir selalu; 3 untuk jawaban Sering; 2 untuk jawaban Kadang-kadang; dan 1 untuk jawaban Tidak pernah/Hampir tidak pernah. Pekerjaan yang lebih melelahkan secara fisik bernilai lebih tinggi.
203
204
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
0,1
0,09
6734
(24,35)**
(26,47)** 6736
32,869
(4,70)**
-0,69 44,426
-3,179
-1,27
0,496
0,704
-0,88
Minggu per tahun
0,653
Jam per minggu
0,42
6609
(195,54)**
12,586
(3,66)**
0,112
(8,14)**
0,253
Log upah bulanan
Upah
0,06
6743
(10,60)**
0,41
-0,02
0
-1,06
-0,021
Makan
0,1
6743
(2,52)*
0,065
-0,35
0,006
-1,38
0,027
Transpor
0,27
6743
(10,51)**
0,372
(3,64)**
0,081
(7,01)**
0,156
Kesehatan
0,06
6743
(7,13)**
0,248
-1,86
-0,039
-0,23
-0,005
Kredit
Tunjangan non-upah
0,32
6743
(9,85)**
0,21
(4,17)**
-0,064
(7,39)**
0,144
Pensiun
Sumber: IFLS4 (2007) Catatan: 1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 2. Koefisien adalah efek marginal rata-rata. 3. Robust standard error dalam kurung. 4. Variabel kontrol tambahan termasuk: jenis kelamin; usia; tingkat pendidikan tertinggi; ukuran perusahaan; sektor pekerjaan (dua digit); lokasi geografis menurut wilayah.
R-kuadrat
Pengamatan
Konstan
Jangka waktu tetap
Permanen
Variabel dependen:
Intensitas kerja
0,15
6743
(2,10)*
0,062
(2,61)**
-0,052
-1,49
0,032
Pesangon
Lampiran III.2 Perbedaan dalam intensitas kerja, upah, dan tunjangan berdasarkan status kontrak (relatif terhadap pekerja tanpa kontrak)
Lampiran
Lampiran III.3 Determinan formalitas Variabel dependen: Formal = 1 Informal = 0
Variabel dependen: Log upah per jam Formal
0,311 [0,026]**
Laki-laki
0,066
Laki-laki
[0,002]** Perkotaan
0,224
Perkotaan
[0,002]** 0,066
0,393 [0,022]** 0,105 [0,023]**
Jawa
-0,226 [0,022]**
Usia (kelompok yang tidak dimasukkan: 15-18)
Usia (kelompok yang tidak dimasukkan: 15-18)
19-24
19-24
0,063
0,106
[0,006]** 25-34
0,03
[0,061] 25-34
0,349
[0,005]** 35-49
0,03
[0,058]** 35-49
0,597
[0,005]** 50-64
-0,008
[0,058]** 50-64
0,603
[0,006] 65+
-0,088
[0,062]** 65+
0,425
[0,007]**
[0,078]**
Pendidikan (kelompok yang tidak dimasukkan: tidak lulus SD) SD
0,09
Pendidikan (kelompok yang tidak dimasukkan: tidak lulus SD) SD
0,192
[0,003]** SMP
0,173
[0,048]** SMP
0,396
[0,004]** SMA
0,346
[0,055]** SMA
0,7
[0,004]** Pendidikan tinggi
0,609
[0,057]** Pendidikan tinggi
[0,002]** Kejuruan
0,051
1,44 [0,058]**
Kejuruan
[0,005]**
0,047 [0,037]
Industri (kelompok yang tidak dimasukkan: pertanian) Industri
0,289 [0,035]**
Jasa
0,195 [0,033]**
Pengamatan R-kuadrat
495.295 0,184
Sumber: Sakernas, 2007 Catatan: 1. Regresi probit 2. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 3. Koefisien adalah efek marginal yang dievaluasi pada nilai rata-rata. 4. Robust standard error dalam kurung. 5. Kontrol lainnya adalah rekaan regional (regional dummy)
Pengamatan R-kuadrat
12.782 0,24
Sumber: IFLS4 Catatan: 1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 2. Koefisien adalah efek marginal yang dievaluasi pada nilai ratarata. 3. Standar error kokoh (Robust standard error) dalam kurung.
205
Lampiran IV.1 Perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan hak dasar menurut lamanya masa kerja Pesangon
Uang Penghargaan Masa Kerja
Masa kerja (tahun)
Nilai (bulan gaji)
Masa kerja (tahun)
Nilai (bulan gaji)
Pesangon + Uang Penghargaan Masa Kerja Masa kerja (tahun)
Nilai (bulan gaji)
<1
1
3 sampai < 6
2
<1
1
1 sampai < 2
2
6 sampai < 9
3
1 sampai < 2
2
2 sampai < 3
3
9 sampai < 12
4
2 sampai < 3
3
3 sampai < 4
4
12 sampai < 15
5
3 sampai < 4
6
4 sampai < 5
5
15 sampai < 18
6
4 sampai < 5
7
5 sampai < 6
6
18 sampai < 21
7
5 sampai < 6
8
6 sampai < 7
7
21 sampai < 24
8
6 sampai < 7
10
7 sampai < 8
8
> 24
10
>8
9
7 sampai < 8
11
8 sampai < 9
12
9 sampai < 12
13
12 sampai < 15
14
15 sampai < 18
15
18 sampai < 21
16
21 sampai < 24
17
> 24
19
Pembayaran untuk hak dasar tambahan (D) (Pasal 156-4) 1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum hangus. 2. Biaya transpor bagi pekerja dan keluarganya. 3. Kompensasi kesehatan, medis, dan perumahan: 15% dari nilai pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja 4. Butir lainnya yang tercantum dalam kontrak. Sumber: Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003), Pasal 156
206
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Lampiran IV.2 Indikator ketidakpatuhan, menurut karakteristik karyawan dan pekerjaan Tabel A: Ketidakpatuhan Menurut Karakteristik Karyawan Sakernas
IFLS
Karakteristik karyawan
Indikator 1: Persentase pekerja yang memenuhi syarat namun tidak menerima pesangon
Indikator 2: Persentase pekerja yang memenuhi syarat namun menerima pesangon lebih kecil daripada haknya*
Indikator 3: Persentase rata-rata pesangon yang diterima oleh pekerja yang memenuhi syarat*
Semua karyawan
65,61
78,42
69,63
Indikator 1: Persentase pekerja yang memenuhi syarat namun tidak menerima pesangon Semua karyawan
Jender
64,54
Jender
Laki-laki
63,22
83,42
67,36
Perempuan
69,97
67,27
74,86
Usia (tahun)
Laki-laki
65,66
Perempuan
62,55
Usia (tahun)
15-19
85,27
100,00
28,74
15-18
92,56
20-24
84,61
84,36
39,03
19-24
88,43
25-34
59,80
82,59
68,10
25-34
63,94
35-44
37,56
71,09
87,51
35-49
54,15
45-54
55,89
67,44
73,09
50-64
50,73
>=55
100,00
>=65
79,44
-
-
Tingkat pendidikan tertinggi
Tingkat pendidikan tertinggi
Tidak sekolah
73,12
56,05
87,34
SD
65,53
75,87
61,42
SD
70,96
SMP
65,51
80,33
66,23
SMP
61,92
SMA
64,32
81,88
62,31
SMA
63,69
Pendidikan Tinggi
67,32
69,88
142,85
Lebih tinggi
57,93
Sumber: Sakernas, 2008 * Dari pekerja yang memenuhi syarat untuk menerima pesangon
Sumber: IFLS, 2007
207
Tabel B: Ketidakpatuhan Menurut Karakteristik Pekerjaan Sakernas
IFLS
Indikator 1: Indikator 2: Persentase pekerja Persentase yang memenuhi pekerja yang syarat namun memenuhi syarat tidak menerima namun menerima pesangon pesangon lebih kecil daripada haknya*
Karakteristik pekerjaan
Semua karyawan
65,61
Indikator 3: Persentase rata-rata pesangon yang diterima oleh pekerja yang memenuhi syarat1
78,42
69,63
Semua karyawan
Ukuran perusahaan (jumlah karyawan)
64,54
Ukuran perusahaan (jumlah karyawan)
1-4
74,37
100,00
23,18
1-4
72,90
5 - 19
71,95
81,44
54,16
5-19
71,85
20 - 100
65,08
83,11
61,73
20-99
69,64
100+
61,20
70,30
87,71
>=100
52,84
0-3 tahun
82,12
81,59
68,45
< 1 tahun
88,67
4-9 tahun
43,60
85,00
62,03
1-5 tahun
74,37
10+ tahun
38,92
65,68
81,67
Masa kerja
Masa kerja
Upah (Rp)
5-10 tahun
59,99
>10 tahun
32,03
Upah (Rp)
250,000 ribu atau kurang
86,94
0,00
145,80
250,000 ribu atau kurang
250,001 – 500 ribu
76,24
83,85
51,26
250,001 – 500 ribu
80,58
500,001 – 1 juta
67,88
85,67
63,75
500,001 – 1 juta
56,27
1.000.001 – 1,5 juta
47,04
66,76
84,20
1.000.001 – 1,5 juta
49,22
>1,5 juta
43,89
86,44
63,72
>1,5 juta
44,69
Jenis kepemilikan perusahaan
78,94
Jenis kepemilikan perusahaan
Pemerintah
100,00
Pemerintah
74,50
BUMN2
68,48
55,33
193,36
BUMN
65,25
Swasta domestik
57,39
72,04
76,35
Swasta domestik
65,41
Asing/Multinasional
53,21
3
-
-
78,24
85,12
70,79
Pemilik individu
70,64
91,04
46,16
Lain-lain
73,40
100,00
27,59
Pertanian
86,14
100,00
36,36
Pertambangan
100,00
Manufaktur
66,61
Asing/Multinasional
Sektor
Sektor
Utilitas
71,07 -
Pertanian -
82,63 -
-
Pertambangan
72,59 -
Manufaktur
63,30
Kelistrikan
52,85
Konstruksi
42,51
77,14
61,47
Konstruksi
73,65
Perdagangan
55,42
75,73
76,56
Perdagangan grosir
69,63
Transportasi
21,08
83,08
64,10
Transportasi
52,03
Jasa keuangan
83,42
100,00
57,21
Keuangan
66,11
Jasa sosial
70,29
79,64
65,84
Pegawai negeri
60,44
Lain-lain
39,07
Wilayah Kalimantan
34,14
100,00
30,15
Sulawesi
100,00
Sumatera
55,55
85,22
44,62
Jawa/Bali
66,41
77,08
73,46
-
-
Sumber: Sakernas, 2008 1 Dari pekerja yang memenuhi syarat dan melaporkan menerima pesangon. 2 Badan Usaha Milik Negara 3 Perusahaan multinasional
208
Indikator 1: Persentase pekerja yang memenuhi syarat namun tidak menerima pesangon
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Sumber: IFLS, 2007
Lampiran
Lampiran V.1 Dampak kenaikan upah minimum terhadap upah dan ketidakpatuhan Variabel dependen: Log upah pekerja penerima gaji, dan indikator bahwa upah lebih kecil daripada upah minimum.
Log upah minimum provinsi
Log upah minimum provinsi
Log upah minimum provinsi
(Tahun ini)
(Tahun sebelumnya)
(dua tahun yang lalu)
Log upah
0,30**
0,30**
0,24***
(0,12)
(0,12)
(0,08)
0,30***
0,24***
0,25***
(0,06)
(0,07)
(0,06)
Persentil ke-50
0,28***
0,29***
0,19***
(0,06)
(0,07)
(0,05)
Persentil ke-75
0,33***
0,21***
0,29***
(0,06)
(0,06)
(0,06)
Ketidakpatuhan
0,10***
0,10***
0,08**
(0,02)
(0,02)
(0,04)
Satu tahun yang lalu
Ya
Tidak
Tidak
Dua tahun yang lalu
Tidak
Ya
Tidak
Tiga tahun yang lalu
Tidak
Tidak
Ya
Kontrol pratertentu (predetermined control)
Ya
Ya
Ya
Jumlah provinsi (2007)
33
33
33
Persentil ke-25
Karakteristik kabupaten beda kala (lagged):
Jumlah tahun
13
12
11
Pengamatan
33.901
29.695
29.691
Sumber: Sakernas 1993, 1994, 1996-2007 (Agustus) Catatan: 1. Setiap sel mewakili regresi yang berbeda. Log regresi upah menggunakan Kuadrat Terkecil Biasa (OLS), regresi persentil diambil dari regresi kuantil; Kepatuhan merupakan efek marginal rata-rata dari regresi probit 2. Kontrol kabupaten beda kala (lagged) termasuk upah minimum provinsi, pangsa penduduk pada dua kuintil terbawah untuk perkiraan konsumsi, dan rata-rata kabupaten untuk indikator pasar tenaga kerja berikut: Upah karyawan, persentase lapangan kerja di bidang pertanian dan industri, persentase lapangan kerja menurut jenis pekerjaan (wiraswasta sendirian, dengan pekerja sementara, dengan pekerja permanen, dengan pekerja penerima gaji, dan pekerja keluarga), tingkat pekerjaan dan pengangguran. 3. Tambahan variabel kontrol pratertentu termasuk: Jenis kelamin; umur dan kuadratnya, tingkat pencapaian pendidikan, keikutsertaan pada pendidikan kejuruan, lokasi (kota/desa), dan tahun. 4. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 5. Robust standard error dalam kurung dan terkelompokkan menurut provinsi.
209
Lampiran V.2 Dampak kenaikan upah minimum terhadap lapangan kerja dan struktur ketenagakerjaan Variabel dependen: Status pekerjaan dan sektor pekerjaan
Log upah Log upah minimum provinsi minimum provinsi (tahun ini) (tahun sebelumnya)
Log upah Rata-rata minimum provinsi dari variabel (dua tahun yang dependen (2007) lalu)
Pekerjaan Bekerja Menganggur (lama, tergantung pada LFP) Di luar angkatan kerja
0,04*
0,003
-0,01
(0,02)
(0,04)
(0,03)
-0,04***
-0,02
-0,02*
(0,01)
(0,02)
(0,01)
-0,02
0,02
0,03
(0,02)
(0,03)
(0,02)
-0,04*
-0,10***
-0,05*
(0,02)
(0,02)
(0,03)
0,62
0,07
0,34
Sektor pekerjaan Formal Pertanian Industri Jasa
-0,01
0,06*
-0,0002
(0,02)
(0,03)
(0,03)
0,01
-0,10***
-0,02
(0,02)
(0,02)
(0,02)
-0,00
0,04
0,02
(0,01)
(0,04)
(0,03)
Tidak
Tidak Tidak
0,47 0,41 0,18 0,40
Karakteristik kabupaten beda kala (lagged): Satu tahun yang lalu
Ya
Dua tahun yang lalu
Tidak
Ya
Tiga tahun yang lalu
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Karakteristik pekerja Jumlah provinsi (2007)
33
33
33
Jumlah tahun
13
12
11
Pengamatan
175.214
152.343
150.818
Sumber: Sakernas, 1993-2007 (Agustus) Catatan: 1. Koefisien dari model probabilitas linier. 2. Karakteristik kabupaten beda kala (lagged) termasuk upah minimum provinsi, dan rata-rata kabupaten untuk indikator pasar tenaga kerja berikut: Upah karyawan, persentase lapangan kerja di bidang pertanian dan industri, persentase lapangan kerja menurut jenis pekerjaan (wiraswasta sendirian, dengan pekerja sementara, dengan pekerja permanen, dengan pekerja penerima gaji, dan pekerja keluarga), tingkat pekerjaan dan pengangguran, dan pangsa pekerja dalam 2 kuintil terendah perkiraan konsumsi. 3. Karakteristik pekerja termasuk: Jenis kelamin; umur dan kuadratnya, tingkat pencapaian pendidikan, keikutsertaan pada pendidikan kejuruan, lokasi (kota/desa), dan tahun. 4. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 5. Robust standard error dalam kurung dan terkelompokkan menurut provinsi.
210
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Lampiran V.3 Dampak kenaikan upah minimum beda kala (lagged) terhadap lapangan kerja dan struktur ketenagakerjaan, menurut jenis pekerja Log upah minimum provinsi (tahun sebelumnya) Variabel dependen:
Formalitas
Pertanian
Industri
-0,11***
0,05
-0,09***
0,04
(0,03)
(0,03)
(0,02)
(0,04)
-0,09***
0,10***
-0,12***
0,02
(0,03)
(0,03)
(0,02)
(0,04)
-0,10***
0,07*
-0,10***
0,03
(0,02)
(0,03)
(0,02)
(0,04)
Dewasa
-0,10***
0,06*
-0,10***
0,04
(0,02)
(0,03)
(0,02)
(0,04)
Berkeahlian
-0,08**
0,10*
-0,06**
-0,03
(0,04)
(0,05)
(0,02)
(0,05)
Tanpa keahlian
-0,11***
0,05
-0,11***
0,06
(0,02)
(0,04)
(0,02)
(0,04)
-0,10***
0,06
-0,10***
0,04
(0,03)
(0,04)
(0,02)
(0,04)
Pedesaan
-0,10***
0,07*
-0,10***
0,03
(0,03)
(0,04)
(0,02)
(0,04)
Miskin
-0,10***
0,06*
-0,10***
0,04
(0,02)
(0,04)
(0,02)
(0,04)
Tidak miskin
-0,10***
0,08*
-0,09***
0,01
(0,03)
(0,04)
(0,02)
(0,04)
Ya
Ya
Ya
Ya
Laki-laki Perempuan Muda
Perkotaan
Jasa
Karakteristik kabupaten beda kala (lagged) Dua tahun yang lalu Karakteristik pekerja
Ya
Ya
Ya
Ya
Jumlah provinsi (2007)
33
33
33
33
Jumlah tahun
12
12
12
12
Pengamatan
152.343
152.343
152.343
152.343
Sumber: Sakernas, 1993-2007 (Agustus) Catatan: 1. Koefisien berasal dari interaksi karakteristik pekerja dan log upah minimum beda kala (lagged) pada provinsi yang bersangkutan, berdasarkan model probabilitas linier. 2. Karakteristik kabupaten beda kala (lagged) termasuk upah minimum provinsi, dan rata-rata kabupaten untuk indikator pasar tenaga kerja berikut: Upah karyawan, persentase lapangan kerja di bidang pertanian dan industri, persentase lapangan kerja menurut jenis pekerjaan (wiraswasta sendirian, dengan pekerja sementara, dengan pekerja permanen, dengan pekerja penerima gaji, dan pekerja keluarga), tingkat pekerjaan dan pengangguran, dan pangsa pekerja dalam 2 kuintil terendah perkiraan konsumsi. 3. Karakteristik pekerja termasuk: Jenis kelamin; umur dan kuadratnya, tingkat pencapaian pendidikan, keikutsertaan pada pendidikan kejuruan, lokasi (kota/desa), dan tahun. 4. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 5. Robust standard error dalam kurung dan terkelompokkan menurut provinsi.
211
212
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Data
Tahun
Unit analisis
Variabel dependen:
Survei industri
Harrison dan Scorse (2004)
19901996
19921996
Sakernas
Sakernas
Sakernas
Sakernas
Sakernas,
Rama (1996)
Suryahadi et al, (2003)
Islam dan Nazara (2000)
Pratomo (2007)
Laporan Lapangan Kerja (2010)
19962007
19901998
1990 -1998
1988 -1999
19881995
Makalah berdasarkan Sakernas
Survei industri (Jakarta dan Jawa Barat)
Alatas dan Cameron (2007)
Dewasa
Provinsi
Provinsi
Provinsi
Provinsi
Perusahaan
Perusahaan
Probabilitas bekerja di sektor pertanian, industri, atau jasa. Probabilitas bekerja secara formal.
Variabel kontrol lainnya
Upah minimum riil
Upah minimum riil
Rasio upah minimum terhadap produktivitas rata-rata
Perubahan pada upah minimum
Upah minimum riil beda kala (lagged)
-0,05 (total) sampai -0,12 (penerima gaji di perkotaan) -0,1 (penurunan peluang bekerja di sektor industri dan formal)
Jenis kelamin, usia, dan pendidikan pekerja. Upah minimum beda kala dua kali (twice-lagged). Rata-rata kabupaten beda kala dua kali (twice-lagged): lapangan kerja pertanian dan industri, tingkat lapangan kerja, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan yang diperkirakan.
-0,05 sampai -0,1
-0,11
0,01 sampai -0,07
-0,14
-0,16
Elastisitas
Pengangguran beda kala (lagged), karakteristik provinsi, rekaan (dummy) provinsi dan tahun
Rekaan krisis (crisis dummy) dan kelompok terpulau (island group)
Efek tetap provinsi dan tahun. Populasi, kepatuhan, PDB wilayah
Efek tetap hanya pada provinsi dan tahun
Efek tetap pada provinsi
Persentase Efek tetap pada provinsi dan kenaikan pada tahun, serta nilai tambah per provinsi pekerja
Variabel upah minimum
Total lapangan kerja dan lapangan kerja bagi pekerja perkotaan penerima gaji
Lapangan kerja total
Lapangan kerja total
Persentase orang dewasa di area perkotaan yang bekerja
Lapangan kerja bagi pekerja produksi di perusahaan manufaktur berukuran sedang dan besar
Lapangan kerja bagi pekerja produksi di perusahaan manufaktur berukuran sedang dan besar di Jakarta dan Jawa Barat
Makalah berdasarkan data dari manufaktur sedang dan besar
Studi
Tidak secara keseluruhan, ya bagi non-tani dan formal
Tidak secara keseluruhan, ya bagi pekerja perkotaan penerima gaji
Ya, tetapi tidak cukup kuat
Ya, tetapi tidak cukup kuat
Sebagian besar tidak
Ya
Tidak
Upah minimum tidak berpengaruh terhadap lapangan kerja secara keseluruhan, tetapi cenderung mengurangi lapangan kerja di sektor industri dan formal.
Upah minimum mengurangi lapangan kerja formal perkotaan
Upah minimum mengurangi lapangan kerja pada sejumlah model, tetapi tidak cukup kuat.
Upah minimum mengurangi lapangan kerja
Kenaikan upah minimum memiliki dampak negatif kecil terhadap lapangan kerja perkotaan bagi pekerja penerima upah
Upah minimum yang lebih tinggi mengurangi lapangan kerja manufaktur bagi pekerja tanpa keahlian.
Tidak ada pengaruh pada perusahaan besar, pengaruh yang besar pada perusahaan lebih kecil dengan beberapa spesifikasi.
Signifikan Kesimpulan secara Statistik
Lampiran V.4 Perbandingan Berbagai Studi Mengenai Upah Minimum di Indonesia
Lampiran
Lampiran VI.1. Determinan Keanggotaan Serikat Pekerja Variabel dependen:
Sektor (Kontrol: pertanian)
anggota serikat pekerja = 1, non-anggota = 0
Pertambangan
Karakteristik pribadi Laki-laki
-0,008
Manufaktur
(0,007) Perkotaan
-0,015 0,001 0,001 (0,000)**
Jumlah pekerja pada perusahaan (Kontrol: kurang dari 20) 20-100
0,041
Konstruksi
0,118
Perdagangan, gudang, rumah makan
250-500 ribu
Transportasi
500 ribu - 2 juta 2-5 juta
0,137 (0,027)**
>5 juta
0,026 (0,021)
Pelayanan Masyarakat
0,028 (0,016)
Lain-lain
0,01 (0,025)
0,074 (0,015)**
0,034 (0,025)
Keuangan
0,029 (0,014)*
-0,003
(0,013)
(0,020)** Upah bulanan dalam Rp (Kontrol: kurang dari 250 ribu)
-0,036 (0,009)**
(0,010)** >100
0,049 (0,065)
(0,007) Usia dalam tahun
0,08 (0,019)**
Listrik
(0,008)* Jawa
0,015 (0,032)
Pengamatan
5.801
Robust standard error dalam kurung * signifikan pada 5%; ** signifikan pada 1% Sumber: IFLS 2007
0,103 (0,072)
Pendidikan SD
0,039 (0,030)
SMP
0,059 (0,042)
SMA
0,073 (0,041)
Pendidikan Tinggi
0,108 (0,061)
Kejuruan
0,01 (0,009)
213
Lampiran VI.2. Karakteristik Anggota Serikat Pekerja dalam Perusahaan Non-Pemerintah Semua karyawan
Anggota serikat pekerja
Semua Total
100,00%
100,00%
laki-laki
61,30%
60,50%
perempuan
38,70%
39,50%
Perkotaan
67,30%
70,00%
Pedesaan
32,70%
30,00%
Jenis kelamin
Lokasi
Pendidikan Tidak lulus SD
1,80%
1,30%
SD
25,60%
21,80%
SMP
16,10%
13,40%
SMA
34,90%
34,10%
Pendidikan Tinggi
21,50%
29,40%
< 20 pekerja
62,30%
30,50%
20-100 pekerja
22,80%
26,80%
100+ pekerja
14,90%
42,80%
Kuintil terbawah
16,80%
11,70%
Kuintil kedua
17,30%
14,60%
Kuintil ketiga
17,80%
20,90%
Kuintil keempat
20,30%
21,60%
Kuintil teratas
27,90%
31,20%
Ukuran perusahaan
Penghasilan RT
Upah bulanan <= Rp 250 ribu
17,60%
4,00%
Rp 250-500 ribu
24,60%
11,90%
Rp 500 ribu - 2 juta
53,20%
76,60%
Rp 2-5 juta
3,80%
6,10%
Rp >5 juta
0,80%
1,50%
Sumber: IFLS 2007
214
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Lampiran VII.1 Pertumbuhan jumlah sekolah menengah, 2000-2005 Perkotaan
Pedesaan
2000
2005
Kenaikan (%)
SMP Negeri
3.199
4.907
53,4
SMP Swasta
6.537
9.031
38,2
SMA Negeri
1.894
3.358
77,3
SMA Swasta
5.455
8.496
55,7
SMP Negeri
7.514
9.597
27,7
SMP Swasta
9.999
10.299
3
SMA Negeri
1.917
2.991
56
SMA Swasta
3.584
4.130
15,2
40.099
52.809
31,7
Total
Semua
Subtotal
Negeri
14.524
20.853
43,6
Swasta
25.575
31.956
25,0
SMA Negeri
3.811
6.349
66,6
SMP Negeri
10.713
14.504
35,4
Perkotaan
17.085
25.792
51,0
Pedesaan
23.014
27.017
17,4
Sumber: Podes, berbagai tahun. Catatan: SMA mencakup sekolah menengah atas umum maupun kejuruan; reklasifikasi desa dari pedesaan menjadi perkotaan antara tahun 2000 dan 2005 diabaikan.
215
Lampiran VII.2 Menurut pendapat Anda, alasan apa yang akan meningkatkan persyaratan keahlian di perusahaan Anda (pilih semua alasan yang sesuai dari tabel di bawah) Ya (persen perusahaan)
Tidak (persen perusahaan)
Teknologi baru yang diimpor dari luar negeri
17
83
Teknologi baru yang dikembangkan sendiri (melalui R&D)
35
65
Perubahan dalam organisasi tempat kerja (misalnya, penekanan pada keterampilan pribadi, dll)
28
72
Standar mutu yang lebih tinggi (untuk produk atau jasa dari perusahaan)
82
17
Lingkungan bisnis yang lebih bersaing
75
25
Orientasi ekspor yang lebih tinggi
15
85
Meningkatnya pasokan pekerja berkeahlian di pasar tenaga kerja
48
52
Teknologi baru yang diimpor dari luar negeri
20
80
Teknologi baru yang dikembangkan sendiri (melalui R&D)
36
64
Perubahan dalam organisasi tempat kerja (misalnya, penekanan pada keterampilan pribadi, dll)
22
78
Keseluruhan
Manufaktur
Standar mutu yang lebih tinggi (untuk produk atau jasa dari perusahaan)
90
10
Lingkungan bisnis yang lebih bersaing
68
32
Orientasi ekspor yang lebih tinggi
26
74
Meningkatnya pasokan pekerja berkeahlian di pasar tenaga kerja
42
58
Teknologi baru yang diimpor dari luar negeri
14
85
Teknologi baru yang dikembangkan sendiri (melalui R&D)
34
66
Perubahan dalam organisasi tempat kerja (misalnya, penekanan pada keterampilan pribadi, dll)
32
67
Standar mutu yang lebih tinggi (untuk produk atau jasa dari perusahaan)
78
22
Lingkungan bisnis yang lebih bersaing
78
22
Orientasi ekspor yang lebih tinggi
8
92
Meningkatnya pasokan pekerja berkeahlian di pasar tenaga kerja
52
48
Jasa
Sumber: Employer Skills Survey (2008)
216
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Lampiran VIII.1 Jumlah sekolah dan siswa menurut jenis sekolah menengah atas Tahun
SMA Negeri
SMK Negeri
SMA Swasta
SMK Swasta
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
2002/2003
3.120
1.827.046
838
598.876
4.916
1.316.684
4.105
1.500.877
2003/2004
3.203
1.886.701
899
608.411
5.035
1.371.272
4.216
1.533.133
2004/2005
3.634
2.000.241
1,159
636.064
5.265
1.402.374
4.506
1.528.004
2005/2006
3.940
2.069.243
1,298
682.796
5.377
1.428.177
4.727
1.549.131
2006/2007
4.231
2.191.985
1,483
778.076
5.661
1.382.161
4.939
1.623.656
2007/2008
-
-
-
-
-
-
-
-
2008/2009
-
-
-
-
-
-
-
-
Tahun
Total Negeri
Total Swasta
Total SMA
Total SMK
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
2002/2003
3.958
2.425.922
9.021
2.817.561
8.036
3.143.730
4.943
2.099.753
2003/2004
4.102
2.495.112
9.251
2.904.405
8.238
3.257.973
5.115
2.141.574
2004/2005
4.793
2.636.305
9.771
2.930.378
8.899
3.402.615
5.665
2.164.068
2005/2006
5.238
2.752.039
10.104
2.977.308
9.317
3.497.420
6.025
2.231.927
2006/2007
5.714
2.970.061
10.600
3.005.817
9.892
3.574.146
6.442
2.401.732
2007/2008
-
-
-
-
9.539
3.686.219
6.746
2.864.962
2008/2009
-
-
-
-
9.517
3.863.744
7.653
3.290.396
Sumber: Kemendiknas, www.depdiknas.go.id
217
218
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
94.887
1.674.608
415.000
Total
Sumber: Modul Pendidikan Susenas 2006
42.253 144.803
0 0
359.370
Lain-lain
Biaya transpor
182.447
135.881
43.728
15.411
16.242
22.492
104.719
267.017
245.358
Rata-rata
Biaya mata pelajaran
60.000 120.000
Biaya alat tulis
0
Biaya seragam 100.000
0
Materi pendukung pengajaran lainnya
Biaya buku
0 0
Biaya ujian
0
Biaya praktik
Biaya organisasi siswa
0
120.000
Uang sekolah
Biaya organisasi orang tua
15.000
Median
SMA Negeri
Biaya pendaftaran
Berbagai Biaya Sekolah
676.000
0
0
100.000
70.000
116.000
0
0
0
0
0
0
350.000
40.000
Median
2.119.763
163.200
35.771
393.965
97.307
213.113
139.257
47.870
49.243
21.622
32.167
90.057
517.393
318.799
Rata-rata
SMK Negeri
658.000
0
0
208.000
60.000
100.000
0
0
0
0
0
0
240.000
50.000
Median
2.100.265
179.670
32.504
489.015
92.778
159.836
150.298
50.369
25.015
19.417
95.368
105.154
369.459
331.383
Rata-rata
SMA Swasta
985.000
0
0
240.000
70.000
120.000
0
0
0
0
0
0
480.000
75.000
2.217.855
175.102
28.380
478.619
96.957
174.255
126.680
54.823
61.844
17.723
93.606
91.720
520.823
297.323
Rata-rata
SMK Swasta Median
Lampiran VIII.2 Biaya yang dikeluarkan sendiri untuk bersekolah (Rupiah)
Lampiran
Lampiran VIII.3 Kondisi ketenagakerjaan menurut jenis sekolah Pendidikan di SMA vs. SMK 278 Indikator kondisi ketenagakerjaan
Tingkat pengangguran (%)
Jenis sekolah
SMA
SMK
Tingkat pekerjaan (%) SMA
SMK
Di luar angkatan kerja (%) SMA
SMK
Upah median (IDR) SMA
SMK
Pekerjaan lepas278 (%) SMA
SMK
Rata-rata
4,6
3,7
72,3
76,8
24,4
20,7
6.896
5.520
6,6
7,9
Laki-laki
4,8
4,0
82,5
88,2
13,7
8,6
7.065
5.764
5,3
5,7
Perempuan
4,3
3,1
60,7
62,9
36,5
35,3
6.783
4.962
8,7
11,7
Muda
18,6
15,0
40,1
53,5
50,7
37,1
3.403
3.213
18,6
18,2
Tua
2,0
1,5
82,6
82,8
16,0
16,5
7.403
6.180
4,9
6,2
Beruntung
5,7
3,5
66,2
72,1
30,0
25,3
7.172
5.347
6,2
6,7
Kurang beruntung
3,9
3,6
75,8
77,4
21,3
20,3
6.829
5.520
7,1
8,8
Sumber: IFLS, 2007
Pendidikan menengah atas: negeri vs. swasta Indikator Ketenagakerjaan Tingkat pengangguran (%)
SMA
SMK
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
4,6
4,6
3,7
6,8
Tingkat pekerjaan (%)
72,3
72,2
76,8
68,9
Di luar angkatan kerja (%)
24,4
24,6
20,7
26,3
Upah median (IDR)
6.896
4.857
5.520
4.067
Pekerjaan lepas (%)
6,6
9,2
7,9
11
Sumber: IFLS, 2007
278
Pekerjaan lepas tergantung pada memperoleh pekerjaan atau tidak.
219
220
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
6084
Pengamatan
5931
0,171 5642
0,559
0,575
(0,020)
0,019
(0,025)
-0,042*
(0,017)
0,036**
5065
0,230
(0,064)
-0,203***
(0,062)
-0,171***
(0,056)
0,009
Upah OLS
5065
(0,057)
-0,188***
(0,045)
-0,278***
(0,044)
0,032
Upah LAD
5330
0,175
0,693
(0,034)
-0,032
(0,032)
-0,076**
(0,029)
0,023
Partisipasi angkatan kerja LPM
3452
0,232
0,045
(0,013)
0,004
(0,010)
0,016
(0,012)
-0,017
Pengangguran LPM
3288
0,584
0,566
(0,029)
0,007
(0,028)
-0,052*
(0,025)
0,032
Pekerjaan formal LPM
Perempuan
2681
0,314
(0,081)
-0,014
(0,076)
-0,047
(0,075)
0,087
Upah OLS
2681
(0,058)
-0,048
(0,064)
-0,202***
(0,049)
0,133***
Upah LAD
Sumber: IFLS1-4 Catatan: 1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan. 3. LPM adalah Model Probabilitas Linier, OLS adalah Kuadrat Terkecil Biasa, dan LAD adalah Deviasi Absolut Terkecil. 4. Dalam semua kasus, sampel disesuaikan dengan pembobotan kembali pengamatan menurut probabilitas inversi yang diperkirakan untuk mengikuti jenis sekolah mereka, selain nilai bobot individual lintas-sektoral standar. 5. Semua perkiraan didasarkan pada persamaan (2) dalam teks. Perkiraan LAD upah memasukkan efek tetap provinsi alih-alih kabupaten. Standard error untuk perkiraan LAD diperoleh dari prosedur pengulangan sampling tanpa penimbang. 6. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan heterogenitas jender.
0,090
R2
0,051
(0,012)
(0,008) 0,971
0,010
(0,008)
(0,007) 0,005
-0,003
(0,011)
(0,007) 0,013*
-0,006
Pekerjaan formal LPM
Laki-laki Pengangguran LPM
0,013*
Probabilitas SMA Negeri
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Partisipasi angkatan kerja LPM
Lampiran VIII.4 Pengaruh jenis sekolah terhadap kondisi ketenagakerjaan (gabungan sampel keseluruhan)
(3,7)
(4,4)
0,099
18,4
(5,5)
-3,5
(5,7)
-4,7
(6,0)
2,0
(4,7)
39,0
(5,7)
-2,7
(7,8)
-8,7
(6,9)
1,5
(3,8)
-5,6
(3,1)
-1,3
(4,4)
-5,3
(4,5)
-18,9***
(4,8)
-12,2**
(4,5)
-9,8**
(4,2)
-7,0*
SMK Swasta
50,6
(6,1)
3,9
(10,1)
17,2*
(6,7)
10,0
(5,6)
13,2**
(4,5)
6,7
(5,4)
1,5
(9,0)
6,1
(7,8)
-1,5
(6,6)
-5,6
(6,2)
-6,5
SMA Negeri
19,8
(5,3)
-2,6
(10,1)
7,3
(5,9)
4,7
(3,4)
-2,0
(3,5)
6,6*
(4,6)
0,2
(5,9)
-11,3*
(5,5)
-8,5
(5,3)
-8,8*
(5,3)
-4,6
0,116
17,7
(6,0)
-5,1
(7,2)
-11,4
(6,6)
-2,2
(4,9)
1,9
(3,6)
-4,6
(4,2)
-8,9**
(7,4)
7,0
(7,6)
11,0
(6,9)
8,0
(6,2)
5,8
SMA Swasta
2.260
SMK Negeri
Perempuan
11,9
(7,4)
3,9
(6,7)
-13,1**
(5,4)
-12,5**
(3,4)
-13,1***
(3,2)
-8,7***
(5,3)
7,2
(7,0)
-1,8
(6,1)
-1,0
(7,1)
6,4
(6,5)
5,3
SMK Swasta
Sumber: IFLS1-4 Catatan: 1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 2. Perkiraan regresi menggunakan probit dengan koefisien berupa efek marginal dalam persentase. 3. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan. 4. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan heterogenitas gender. 5. Tingkat pendidikan ayah digunakan untuk mewakili tingkat kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan SMA atau lebih tinggi dianggap sebagai beruntung.
2.675
R-kuadrat
30,8
(7,9)
(6,5) 12,8
7,1
(10,6)
(11,3) -0,9
-5,3
(5,0)
(6,9) 18,6*
-8,8*
5,2
7,1
(3,2)
5,8*
(4,2)
-5,2
(7,3)
12,4*
(6,1)
13,0**
(5,2)
7,4
(4,2)
4,1
SMA Swasta
Pengamatan
Probabilitas Kasus Dasar (Base Case Probability)
Ibu berpendidikan sekolah kejuruan
Ibu lulus universitas
Ibu lulus SMA
-4,5
3,0
Ibu lulus SMP
(2,5)
(3,2)
A
-4,6*
0,1
7,0 (5,5)
3,5
(4,4)
(7,7) (5,0)
-12,2***
18,7**
-6,8 (4,5)
6,0 (5,9)
-3,9 (4,1)
6,2 (5,4)
-1,3 (3,9)
4,2 (4,5)
SMK Negeri
Ibu lulus SD
Ayah berpendidikan sekolah kejuruan
Ayah lulus universitas
Ayah lulus SMA
Ayah lulus SMP
Ayah lulus SD
SMA Negeri
Laki-laki
Lampiran VIII.5 Pengaruh dari pendidikan orang tua terhadap pilihan sekolah (sampel keseluruhan)
Lampiran
221
222
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Sepertiga teratas (tercile)
Sepertiga tengah (tercile)
13,7*** (4,8) 23,6*** (6,5) 28,4
8,3* (4,2) 16,4*** (5,6) 0,3 745 0,199
-3,4 (4,6) -17,4*** (3,9) 46,1
SMA Swasta
Laki-laki SMK Negeri -18,6*** (4,2) -22,7*** (4,8) 25,3
SMK Swasta 4,7 (5,3) 19,6*** (5,9) 40,2
SMA Negeri 8,9** (4,3) 12,9*** (4,9) 10,7 771 0,218
-2,5 (5,0) -9,7** (4,6) 30,3
SMA Swasta
Perempuan SMK Negeri
-11,2*** (4,3) -22,8*** (4,2) 18,8
SMK Swasta
Sumber: IFLS1-4 Catatan: 1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 2. Perkiraan regresi menggunakan probit dengan koefisien berupa efek marginal dalam persentase. 3. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan. 4. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan heterogenitas gender. 5. Tingkat pendidikan ayah digunakan untuk mewakili tingkat kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan SMA atau lebih tinggi dianggap sebagai beruntung.
Probabilitas Kasus Dasar (Base Case Probability) Pengamatan R-kuadrat
Nilai ujian SMP
SMA Negeri
Lampiran VIII.6 Pengaruh nilai ujian terhadap pilihan sekolah (sampel keseluruhan)
1,244
1,156
0,338 979
0,647
(0,051)
0,067
(0,047)
0,023
(0,040)
0,039
Pekerjaan formal
803
0,395
(0,106)
-0,134
(0,114)
-0,180
(0,101)
-0,328***
Upah
1,363
0,275
(0,057)
-0,052
(0,064)
-0,080
(0,057)
-0,027
Partisipasi angkatan kerja
864
0,385
(0,039)
0,079**
(0,050)
0,072
(0,038)
-0,009
Pengangguran
752
0,678
(0,042)
-0,098**
(0,054)
-0,122**
(0,053)
-0,042
Pekerjaan formal
Perempuan, kohor muda
578
0,501
(0,164)
-0,222
(0,137)
-0,063
(0,142)
-0,175
Upah
Sumber: IFLS1-4 Catatan: 1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan. 3. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan heterogenitas gender. 4. Tingkat pendidikan ayah digunakan untuk mewakili tingkat kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan SMA atau lebih tinggi dianggap sebagai beruntung.
0,262
Pengamatan
0,013 (0,046)
-0,014 (0,027)
0,002 (0,045)
0,017
(0,050)
(0,030) (0,026)
-0,055
Pengangguran
Laki-laki, kohor muda
0,011
R2
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Partisipasi angkatan kerja
Lampiran VIII.7 Pengaruh jenis sekolah terhadap kondisi ketenagakerjaan (kohor muda)
Lampiran
223
224
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
4.285
4.389
Pengamatan
4.106
0,571
0,586
(0,024)
0,012
(0,027)
-0,047*
(0,021)
0,060***
LPM
Formal
3.698
0,252
(0,076)
-0,287***
(0,061)
-0,223***
(0,062)
-0,001
OLS
Upah
1,037
0,156
0,960
(0,027)
-0,009
(0,018)
0,043**
(0,013)
0,023*
LPM
LFP
999
0,323
0,068
(0,041)
0,058
(0,028)
0,003
(0,030)
0,023
LPM
Pengangguran
917
0,661
0,611
(0,064)
0,009
(0,054)
0,015
(0,047)
0,036
LPM
Formal
SMA atau lebih tinggi
799
0,434
(0,137)
-0,167
(0,164)
-0,129
(0,142)
-0,034
OLS
Upah
Sumber: IFLS1-4 Catatan: 1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan. 3. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan heterogenitas gender. 4. Tingkat pendidikan ayah digunakan untuk mewakili tingkat kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan SMA atau lebih tinggi dianggap sebagai beruntung.
0,163
0,008
0,004
0,089
(0,009)
(0,008)
R2
-0,011
0,008
Probabilitas SMA Negeri
(0,009)
(0,007)
0,045
-0,014
0,003
(0,015)
LPM
LPM
0,971
Pengangguran
(0,008)
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Laki-laki
Partisipasi Angkatan Kerja
SMP atau lebih rendah
Lampiran VIII.8 Perkiraan Pengaruh Jenis Sekolah Terhadap Lapangan Kerja dan Kualitas Pekerjaan, menurut pendidikan ayah (laki-laki dan perempuan)
2.238
3.513
Pengamatan
LPM
2.142
0,550
0,532
(0,041)
-0,027
(0,037)
-0,089**
(0,034)
0,022
1,713
0,332
(0,099)
-0,019
(0,146)
-0,200
(0,102)
0,125
OLS
Upah
1,370
0,292
0,700
(0,084)
-0,069
(0,056)
-0,053
(0,061)
0,043
LPM
LFP LPM
930
0,329
0,074
(0,033)
-0,008
(0,033)
-0,006
(0,027)
-0,032
875
0,710
0,654
(0,047)
-0,002
(0,045)
-0,037
(0,048)
0,005
LPM
Formal
SMA atau lebih tinggi Pengangguran
739
0,432
(0,165)
0,170
(0,140)
0,174
(0,146)
-0,053
OLS
Upah
Sumber: IFLS1-4 Catatan: 1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan. 3. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan heterogenitas gender. 4. Tingkat pendidikan ayah digunakan untuk mewakili tingkat kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan SMA atau lebih tinggi dianggap sebagai beruntung.
0,260
0,176
R2
0,049
(0,017)
(0,040) 0,642
0,010
(0,014)
(0,038) 0,010
0,009
(0,013)
-0,065*
(0,033)
LPM -0,014
LPM 0,064*
Formal
SMP atau lebih rendah Pengangguran
LFP
Probabilitas SMA Negeri
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Perempuan
Lampiran
225
226
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
717
Pengamatan
667
0,309 570
0,650
0,427
(0,097)
0,062
(0,082)
0,010
(0,098)
0,089
LPM
Formal
484
0,419
(0,150)
-0,127
(0,150)
-0,163
(0,191)
-0,235
OLS
Upah
705
0,282
0,944
(0,067)
0,002
(0,041)
0,014
(0,041)
0,023
LPM
LFP
Nilai tinggi
664
0,327
0,133
(0,076)
0,021
(0,050)
-0,066
(0,063)
-0,047
LPM
Pengangguran
581
0,653
0,539
(0,099)
0,067
(0,093)
-0,018
(0,066)
0,026
LPM
Formal
477
0,482
(0,187)
-0,492***
(0,153)
-0,330**
(0,157)
-0,409***
OLS
Upah
Sumber: IFLS1-4 Catatan: 1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan. 3. Nilai rendah berada di bawah median. 4. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan heterogenitas gender.
0,282
R2
0,208
(0,082)
(0,048) 0,924
-0,037
0,030
-0,041 (0,080)
0,031 (0,048)
(0,092)
(0,049)
LPM -0,176*
0,028
LPM
Nilai rendah Pengangguran
LFP
Probabilitas SMA Negeri
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Laki-laki
Lampiran VIII.9 Perkiraan Pengaruh Jenis Sekolah Terhadap Lapangan Kerja dan Kualitas Pekerjaan, menurut nilai ujian (laki-laki dan perempuan)
0,509 443
0,317 770
R2
Pengamatan
394
0,733
0,574
(0,079)
-0,193**
(0,069)
-0,132*
(0,104)
0,017
LPM
Formal
287
0,649
(0,160)
0,167
(0,259)
0,154
(0,321)
0,213
OLS
Upah
726
0,357
0,706
(0,072)
-0,040
(0,103)
-0,109
(0,064)
-0,025
LPM
LFP
Nilai tinggi
495
0,463
0,157
(0,066)
0,019
(0,066)
0,029
(0,047)
-0,026
LPM
Pengangguran
430
0,701
0,554
(0,074)
-0,023
(0,084)
-0,086
(0,086)
-0,040
LPM
Formal
350
0,522
(0,193)
-0,328*
(0,232)
0,093
(0,183)
-0,155
OLS
Upah
Sumber: IFLS1-4 Catatan: 1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen. 2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan. 3. Nilai rendah berada di bawah median. 4. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan heterogenitas gender.
0,069
(0,070)
(0,073) 0,551
0,195***
0,075
0,118* (0,069)
0,054 (0,072)
(0,076)
(0,092)
LPM 0,149**
0,075
LPM
Nilai rendah Pengangguran
LFP
Probabilitas SMA Negeri
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Perempuan
Lampiran
227
228
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Polandia
Program Pemerintah untuk Pelatihan/ Pelatihan Ulang
Populasi sasaran: Penganggur yang terdaftar.
Periode: 1995-96
Tujuan: Pelatihan ulang keahlian kerja selama maksimal 12 bulan dengan sasaran bidang yang mengalami kekurangan pekerja berkeahlian. Peserta yang mengundurkan diri sebelum menyelesaikan pelatihan harus mengganti biaya pelatihan.
Populasi sasaran: Kaum muda yang menganggur.
Periode: 1984-1997
Tujuan: Memberi peserta pekerjaan paruh waktu di perusahaan dan dilengkapi dengan pendidikan paruh waktu di pusat pelatihan publik. Lama kontrak umumnya dua tahun, tetapi dapat bervariasi antara satu sampai tiga tahun. Sebagian pelatihan bersifat umum, tetapi ada pula komponen spesifik untuk pekerjaan tertentu.
Sistem Magang
Prancis
Uraian
Program
A. Program Pelatihan Pendidikan Kejuruan Hemat Biaya
Dampak lebih besar dirasakan kelompok usia yang lebih tua, tetapi mayoritas peserta pelatihan ulang merupakan kelompok usia yang lebih muda, yang memperlihatkan dampak relatif lebih kecil. Pada saat survei, terjadi peningkatan peluang dipekerjakan pada pekerja non-subsidi sebesar 8,0% dan 9,8% untuk semua jenis pekerjaan. Meningkatkan penghasilan bulanan sebesar 5,7 zlot (Catatan: Nilai dalam mata uang Polandia, Zlot, tahun 1996) Dampak terhadap pekerjaan bertahan lama (peserta masih tetap bekerja selama masa survei).
Manfaat: Peningkatan penghasilan (671 zlot) per peserta.
Biaya operasional program per peserta (907 zlot) & biaya administrasi program per peserta (90 zlot).
Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan tetapi tidak hemat biaya
Program pelatihan yang diarahkan bagi kaum muda N/A pengangguran tidak berpengaruh terhadap upah atau peluang untuk bekerja selepas pelatihan, kecuali jika porsi pelatihannya besar. Program pelatihan sambil bekerja di sektor swasta memberi hasil yang lebih baik daripada program di sektor publik
Penilaian keseluruhan: Dampak negatif atau tidak ada dampak terhadap kondisi ketenagakerjaan
Hasil Pasar Tenaga Kerja
Hasil Kajian Program
Lampiran IX.1 Ikhtisar hasil evaluasi berbagai program pelatihan keahlian pekerjaan di sejumlah negara
Populasi sasaran: Sasarannya adalah individu yang mengikuti pelatihan untuk meningkatkan prospek mereka di pasar tenaga kerja (kelompok ini paling banyak diisi oleh mereka yang berusia muda dan menganggur), dan juga pekerja berpenghasilan menengah yang mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keahlian mereka (kelompok ini banyak diisi oleh pekerja yang lebih tua dari industri manufaktur).
Periode: 1957 – sampai sekarang
Tujuan: Memberikan pelatihan kejuruan terpadu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi, sosial, dan teknik di Kolombia.
Servicio Nacional de
Brasil
Tujuan: Perlahan-lahan mendirikan fasilitas pelatihan Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan dan kejuruan permanen guna melatih atau memberikan hemat biaya. pelatihan ulang bagi setidaknya 20 persen dari Biaya program sekitar 170 Dengan tingkat perolehan pekerjaan kira-kira 48 populasi yang aktif secara ekonomi setiap tahun. real per orang. Biaya ratapersen, setengah dari peserta pelatihan mendapatkan Dana diawasi oleh komite tripartit yang mencakup rata per jam diperkirakan pekerjaan di sektor informal. pemerintah dan perusahaan, serta mengalihdayakan sebesar 2,13 dolar Namun, di Pernambuco, kursus pelatihan tidak (outsource) kegiatan pelatihan melalui proses meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Amerika. penawaran yang disponsori pemerintah. Komponen Evaluasi yang dilakukan di Rio de Janeiro dan Fortaleza keahlian dasar yang kuat dan materi yang Peserta pelatihan perlu memperlihatkan bahwa program pelatihan telah: dikembangkan dengan baik untuk kursus (lamanya bertahan di pekerjaan Memberikan dampak yang positif dan signifikan pelatihan rata-rata mencapai 103 jam per penerima barunya selama lebih dari secara statistik terhadap pengangguran, tetapi tidak manfaat). 17 bulan supaya program berpengaruh pada penghasilan mereka yang telah dipekerjakan: mereka yang dapat mengakses pelatihan tersebut menghasilkan Periode: 1996 – 2004 manfaat positif bersih. berpeluang 3-4 persen lebih besar untuk memiliki pekerjaan enam sampai dua belas bulan kemudian. Populasi sasaran: Pekerja muda dan dewasa yang: Tidak ada dampak terhadap upah mereka yang telah (i) menganggur (terutama penerima tunjangan memiliki pekerjaan. pengangguran dan mereka yang baru pertama kali Di Minas Gerais, kursus dengan lama pengajaran 50 jam mencari kerja); (ii) pekerja yang berisiko kehilangan menghasilkan kenaikan upah kira-kira 64 real Brazil. pekerjaan akibat restrukturisasi perusahaan dan/atau kebijakan makroekonomi; (iii) pengusaha kecil, dan (iv) wiraswasta.
Hemat Biaya
Rencana Nasional untuk Pendidikan Profesional (PLANFOR)
Hasil Kajian Program
Dampak negatif terhadap penghasilan dan pengaruhnya terhadap peluang memperoleh pekerjaan sangat kecil. Dampaknya terhadap penghasilan cukup besar: upah rata-rata penerima manfaat lebih rendah 10% dari kelompok kontrol. Dampaknya terhadap peluang memperoleh pekerjaan kira-kira hanya 0,2 persen. (Dampak diperkirakan menggunakan data dari ENCV)
Biaya langsung per semester untuk satu kursus pelatihan melalui SENA diperkirakan mencapai hampir 890 dolar Amerika untuk kursus pendek dan hampir 944 dolar Amerika untuk kursus yang panjang.
Penilaian keseluruhan: Dampak negatif terhadap kondisi ketenagakerjaan.
Hasil Pasar Tenaga Kerja
Uraian
Program
Lampiran
229
230
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Populasi sasaran: Kaum muda berusia 14-21 yang kurang beruntung.
Periode: 1981-98
Tujuan: Untuk memberikan pekerjaan musim panas dan kesempatan pelatihan bagi kaum muda yang kurang beruntung. Juga memberikan bantuan keuangan jangka pendek. Program mulai memberikan layanan pendidikan remedial sejak tahun 1986.
Uraian
Populasi sasaran: Kaum muda berusia 16 – 29 tahun yang: lulus sekolah menengah atas, belum menikah dan belum mempunyai tanggungan, berasal dari rumah tangga dengan lima orang atau lebih anggota keluarga, serta berpenghasilan rendah. Program telah memberikan pelatihan bagi 19.332 pemuda, 55 persen di antaranya adalah perempuan.
Periode: 2003 – sampai sekarang
Tujuan: Program dari International Youth Foundation (IYF) untuk meningkatkan kelayakan dipekerjakannya kaum muda dari Amerika Latin dan Karibia. Peserta mengikuti program pelatihan enam bulan (640 jam) yang difokuskan pada teknologi informasi dan komunikasi. Dibiayai bersama oleh Multilateral Investment Fund dari Inter-American Development Bank. Lembaga yang menjadi mitra termasuk Microsoft Corporation, Lucent Technologies Foundation, Merrill Lynch, dan USAID.
Entra 21
Amerika Latin dan kawasan Karibia
Uraian
Program
B. Program Pelatihan Menyeluruh
Amerika Serikat
Program Pekerjaan Musim Panas bagi Kaum Muda (SYETP)
Program
Hasil Kajian Program Hemat Biaya
Hemat Biaya
SYETP menghabiskan biaya 1.362 dolar Amerika per pemuda per tahun.
Catatan: Evaluasi tidak mengandalkan perbandingan dengan kelompok kontrol sehingga dampak program kemungkinan diperkirakan lebih tinggi daripada semestinya.
Rata-rata 54 persen peserta pelatihan memperoleh pekerjaan, 80 persen di antaranya dipekerjakan dengan kontrak resmi. Efek mendapat pekerjaan ini tampaknya terbagi rata di antara para peserta, meskipun peserta laki-laki mendapatkan hasil yang lebih baik dalam beberapa konteks. 75 persen dari lulusan yang memperoleh pekerjaan juga mendapatkan tunjangan. 80 persennya memperoleh penghasilan yang minimal sama dengan upah minimum. Secara keseluruhan, 28 persen dari lulusan memperoleh penghasilan setidaknya 150 persen dari upah minimum.
Biaya unit per pemuda bervariasi dari 1,10 sampai 1,55 dolar Amerika. Rasio manfaat/ biaya memperlihatkan bahwa untuk setiap dolar Amerika yang diinvestasikan, diperoleh manfaat senilai 1,67 sampai 2,82 dolar Amerika.
Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan dan hemat biaya.
Kondisi Ketenagakerjaan
Hasil Kajian Program
Program tampaknya berhasil menambah cukup banyak lapangan kerja musim panas bagi kaum muda yang kurang beruntung di tempat-tempat yang memberikan pekerjaan. Tidak ada bukti mengenai dampak jangka panjang terhadap peluang dipekerjakan setelah peserta menyelesaikan pekerjaan musim panas.
Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan tetapi tidak ada informasi apakah hemat biaya atau tidak.
Hasil Pasar Tenaga Kerja
Amerika Serikat
Populasi sasaran: Kaum muda berusia 16 sampai 24 tahun yang tidak bersekolah dan kurang beruntung. Penerima manfaat haruslah warga negara Amerika Serikat atau penduduk resmi, memenuhi persyaratan penghasilan, dan harus siap, bersedia, dan mampu ikut serta secara penuh dalam lingkungan pendidikan.
Periode: 1964 – sampai sekarang
Program kemungkinan hemat biaya bagi pemuda yang berusia 20 sampai 24 tahun ketika mendaftar karena dampak program terhadap penghasilan mereka dapat bertahan dalam periode pascasurvei (manfaat terhadap masyarakat hanya 500 dolar Amerika lebih kecil daripada biaya program).
Penilaian keseluruhan: Dampak positif terhadap kondisi ketenagakerjaan tetapi tidak hemat biaya. Tujuan: Program pendidikan dan pelatihan kejuruan tanpa pungutan biaya yang dikelola oleh Analisis awal terhadap Tidak ada dampak positif yang signifikan secara statistik Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat. Bertujuan manfaat dan biaya terhadap penghasilan subkelompok mana pun pada untuk membantu kaum muda memperoleh yang hanya didasarkan periode pasca-survei. pekerjaan yang lebih baik, mendapatkan Kelompok berusia 20 sampai 24 tahun, yang merupakan pada data survei penghasilan yang lebih tinggi, dan mengambil mengisyaratkan bahwa seperempat dari keseluruhan peserta Korps Kerja, kendali atas hidup mereka sendiri. Para peserta manfaatnya bernilai memperoleh kenaikan penghasilan dua kali lipat lebih mendaftar untuk mengikuti kursus selama 30 17.000 dolar Amerika besar daripada perserta lainnya. minggu (secara rata-rata) untuk mempelajari suatu lebih besar daripada Kenaikan penghasilan bagi mereka yang berusia 20 keahlian, memperoleh ijazah sekolah menengah atas biaya per peserta sampai 24 tahun dan mereka yang telah berijazah atau ijazah persamaan, dan memperoleh bantuan (diasumsikan bahwa menengah atas pada saat mendaftar program, dapat untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Mereka dampak terhadap bertahan cukup lama tanpa adanya penurunan berarti. memperoleh tunjangan bulanan selama pelatihan, penghasilan selama Pada tahun 1998, tahun terakhir pengumpulan data dan juga mendapatkan konseling karir serta bantuan masa kerja rata-rata survei, mereka yang dipilih secara acak dari program masa transisi sampai dengan 12 bulan setelah lulus. peserta program dalam memperoleh penghasilan rata-rata 220 dolar Amerika Siklus yang dijalani peserta adalah: Penjangkauan periode pengamatan lebih besar daripada kelompok kontrol menurut data dan Pendaftaran (OA), Periode Persiapan Karir (CPP), dapat bertahan tanpa Social Security; 5.804 vs. 5.584 dolar Amerika. Periode Pengembangan Karir (CDP), dan Periode adanya penurunan). Transisi Karir (CTP).
Hemat Biaya
Korps Kerja (Job Corps)
Hasil Kajian Program Kondisi Ketenagakerjaan
Uraian
Program
Lampiran
231
232
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Populasi sasaran: Diarahkan bagi kaum muda perkotaan yang menganggur dan berusia 18 sampai 25 tahun.
Periode: 2001-05
Tujuan: Program pelatihan kaum muda melalui kursus dan skema magang. Mereka menerima tunjangan dan voucher pelatihan yang dapat mereka gunakan untuk mendaftar pada kursus pelatihan pilihan mereka dari daftar penyedia pelatihan yang dipilih secara kompetitif. Pelatihan pekerjaan berlangsung sekitar tiga bulan dan diikuti dengan magang tiga bulan di sebuah perusahaan atau organisasi. Penerima manfaat juga menerima tunjangan makan dan transportasi. Program ini dikelola oleh kelompok yang terdiri atas lembaga pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan swasta.
Jóvenes en Acción
Kolombia
Uraian
Program
Hasil Kajian Program Hemat Biaya
Program berhasil meningkatkan lapangan kerja bagi laki-laki maupun perempuan. Bagi perempuan, pelatihan telah menambah besar 5% peluang mereka untuk memperoleh pekerjaan, memperpanjang hari dan jam bekerja, serta meningkatkan peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan kontrak tertulis. Dampak yang serupa, namun lebih terbatas juga dirasakan laki-laki. Dampak yang paling signifikan dari program ini adalah peningkatan besar pada upah: upah perempuan meningkat 35 persen, sementara upah laki-laki meningkat 18 persen.
Tingkat pengembalian investasi (IRR) terendah adalah 13,5% untuk perempuan dan 4,5% untuk laki-laki.
Perolehan bersih yang besar, terutama bagi perempuan.
Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan dan hemat biaya.
Kondisi Ketenagakerjaan
Populasi sasaran: Kaum muda berusia 16 sampai 25 tahun yang tak lagi bersekolah, menganggur, dan kurang beruntung. Tingkat pendidikan penerima manfaat tidak boleh lebih tinggi daripada sekolah menengah.
Periode: 1999 – sampai sekarang
Kementerian Tenaga Kerja mengalihdayakan layanan pelatihan kepada lembaga swasta melalui proses penawaran yang kompetitif. Instituto Nacional de Formación Técnica Profesional (INFOTEP) bertanggung jawab melakukan evaluasi teknis terhadap proposal dari lembaga pelatihan dan mengawasi kursus pelatihan.
Tujuan: Program yang menyiapkan pesertanya memasuki pasar tenaga kerja, sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. (1) Kursus selama 3 bulan untuk mempelajari keahlian teknis dan keterampilan hidup di lembaga pelatihan yang memenuhi syarat. (2) Magang atau pelatihan sambil bekerja selama 2 bulan di perusahaan swasta. Penerima manfaat akan memperoleh tunjangan untuk memenuhi kebutuhan dasar 50 peso Dominika per hari; kira-kira 2 dolar Amerika).
Juventud y Empleo
Republik Dominika
Uraian
Program
Hasil Kajian Program Hemat Biaya
Tidak ada dampak terhadap tingkat pekerjaan atau kelayakan dipekerjakan para peserta, bahkan setelah memilah-milah hasilnya menurut usia, gender, pendidikan, dan wilayah.279 Namun demikian, perkiraan poin memberikan hasil positif dan signifikan secara ekonomi bagi kelompok usia termuda (17-19 tahun) dan bagi mereka yang tinggal di wilayah Timur dan Santo Domingo. Penghasilan total bulanan yang diperoleh penerima manfaat lebih tinggi 17 persen daripada kelompok kontrol (perkiraan ini tidak sepenuhnya tepat dan mencerminkan ukuran sampel yang kecil serta beragamnya penghasilan). Efek penghasilan ini lebih besar bagi kelompok usia yang paling muda, penduduk Santo Domingo, dan penerima manfaat yang pernah mengikuti sekolah menengah atas. Dampak sebesar 21 persen bagi mereka yang pernah mengikuti sekolah menengah atas versus dampak bersih 9 persen bagi orang-orang yang hanya berpendidikan sekolah dasar. Dampak sebesar 10 persen yang tidak terlalu signifikan pada upah per jam para peserta.
Dampak bersih rata-rata terhadap penghasilan bulanan peserta pelatihan yang dipekerjakan kirakira sebesar 38 dolar Amerika. Dengan efek lapangan kerja nol, tingkat pekerjaan sebesar 55 persen, dan tingkat diskonto sama dengan tingkat inflasi, investasi ini akan terbayar dalam 2 tahun (NPV>0 jika manfaat positif bertahan 2 tahun).
Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk program kira-kira sebesar 330 dolar Amerika per kursus per penerima manfaat. Biaya program akan terbayar oleh manfaatnya jika dampak program dapat dipertahankan setidaknya selama dua tahun.
Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan dan hemat biaya.
Kondisi Ketenagakerjaan
Lampiran
233
234
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Populasi sasaran: Inisiatif ini terbuka bagi kaum muda, umumnya sampai batas usia 30 tahun, yang tak lagi bersekolah dan sedang menganggur atau mengalami setengah pengangguran, yang secara hukum berhak untuk bekerja di Kanada.
Periode: 1998-2005
Tujuan: Tujuan program adalah: (i) memberikan pengalaman kerja nyata; (ii) belajar dan meningkatkan keahlian pekerjaan yang dapat ditransfer; (iii) mengembangkan keahlian dan kualifikasi pribadi seperti percaya diri, mencukupi diri sendiri, kepemimpinan, komunikasi, dan kerja sama tim; (iv) berkontribusi kepada masyarakat dan negara; (v) mendorong pengetahuan dan kesadaran mengenai persoalan masyarakat.
Uraian
279
279
Hasil Kajian Program Hemat Biaya
Keikutsertaan tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap penghasilan yang disetahunkan, upah mingguan, jam kerja per minggu, atau tunjangan bantuan sosial tahunan. Dalam jangka pendek, waktu yang dihabiskan peserta proyek YSC dalam angkatan kerja dan dalam pekerjaan lebih singkat daripada jika mereka tidak mengikuti YSC. Hal ini terjadi akibat peningkatan yang signifikan secara statistik pada waktu yang mereka habiskan di sekolah (untuk kebanyakan peserta muda usia) atau dalam pelatihan setelah mereka selesai mengikuti YSC. Tunjangan asuransi pekerjaan menurun 183 dolar Kanada per tahun sebagai hasil keikutsertaan dalam YSC.
Biaya program per peserta adalah 8.277 dolar Kanada, sedikit lebih tinggi daripada program lain yang serupa.
Penilaian keseluruhan: Dampak negatif terhadap kondisi ketenagakerjaan.
Kondisi Ketenagakerjaan
57 persen dari penerima manfaat versus 57 persen dari kelompok kontrol memiliki pekerjaan pada saat pelaksanaan survei lanjutan. Kelayakan dipekerjakan didefinisikan sebagai peluang memperoleh pekerjaan jika sedang menganggur, atau peluang untuk tetap dipekerjakan begitu mendapatkan pekerjaan, diperkirakan melalui model logit berkoefisien acak yang dinamis.
Sumber: Puerto, 2008; Ibarraran dan Rosas, 2008.
Kanada
Youth Service Canada (YSC)
Program
Referensi
Adato, Michelle, and Lawrence Haddad. 2001. “How Efficiently Do Public Works Programs Transfer Benefits to the Poor? Evidence from South Africa.” Discussion Paper 108. Washington, DC: I n t e r n a t i o n a l Food Policy Research Institute. Addison, J. T. and P. Teixeira. 2001. “The Economics of Employment Protection.” IZA Discussion paper No. 381. Bonn, Germany: Institute for the Study of Labour. Alatas, Vivi and Lisa Cameron. 2003. “The Impact of Minimum Wages in a Low-income Country: an Evaluation Using a Difference-in-difference Approach.” World Bank Policy Research Paper Series No. 2985. Alisjahbana, Armida S. 2007. “Employment Protection Legislation and Labor Market Flexibility: International Evidence and Lessons for Indonesia – With Special Emphasis on the Cases of Outsourcing and FixedTerm Contracts.” World Bank Office Jakarta. Mimeo. Alisjahbana, Armida S., Pipit Pitriyan, Evi Aminah Ramdhani, Viktor Pirmana, and Wiartini Citrasari. 2008. “Vocational and Technical Education.” World Bank Office Jakarta. Mimeo. Alisjahbana, Armida. 2008a. “Education and Skills Mismatch.” World Bank Office Jakarta. Mimeo. _____. 2008b. “Public and Private Training Provision.” World Bank Office Jakarta. Mimeo. _____. 2008c. “Vocational and Technical Education.” World Bank Office Jakarta. Mimeo. Armstrong, R., Beduwe, C., Germe, J., Leney, T., Planas, J., & M. Poumay. 2008. Forthcoming. “New and Emerging Issues in Vocational Education and Training Research Beyond 2010” Modernising Vocational Education and Training: Volume 2. Fourth Report on Vocational Training Research in Europe: Background Report. Cedefop Reference series. Luxembourg: EUR-OP Asia Development Bank (ABD) and World Bank. 2005 “Improving the Investment Climate in Indonesia.” Attanasio, Orazio, Adriana Kugler and Costas Meghir. 2007. “Effects of Youth Training in Developing Countries: Evidence from a Randomized Training Program in Colombia.” Mimeo. Banerjee, Abhijit V., Sebastian Galiani, James A Levinsohn, Zoe McLaren, and Ingrid Woolard. 2007. “Why Has Unemployment Risen in the New South Africa” (June 2007). NBER Working Paper No. W13167. BAPPENAS. 2006. “Laporan Akhir – Kajian Kebijakan Pasar Kerja Yang Fleksibel Untuk Meperluas Kesempatan Kerja (Survei).” Jakarta: PT. Surveyor Indonesia. Barros, Alexandre R. et al. 1997 (n/d). “Acompanhamento de Egressos do Programa Estadual de Qualificação Profissional do Estado de Pernambuco em 1997.” Recife: FADE-UFPE Batlle, Susana G. 2006. “Analysis of How to Incorporate Life Skills Within Employability Training Modules.” World Bank. Washington D.C.
235
Betcherman, Gordon, Karina Olivas and Amit Dar. 2004. “Impacts of Active Labor Market Programs: New Evidence from Evaluations with Particular Attention to Developing and Transition Countries.” Social Protection Discussion Paper 402. World Bank. Betcherman, Gordon, Martin Godfrey, Olga Susana Puerto, Friederike Rother, and Antoneta Stavreska. 2007. “Global Inventory of Interventions to Support Young Workers: Synthesis Report.” World Bank. Washington, D.C. Bird, Kelly and Chris Manning. 2002. “The Impact of Minimum Wage Policy On Employment and Earnings in the Informal Sector: The Case of Indonesia.” Paper presented at the 8th East Asian Economic Association Conference, Kuala Lumpur. Bouder, A., F. Dauty, J-L. Kirsch, & P. Lemistre. 2008. Forthcoming. “Readability of Qualifications: a Question as Old as Europe” Modernising Vocational Education and Training: Volume 2. Fourth report on vocational training research in Europe: background report. Cedefop Reference series. Luxembourg: EUR-OP Card, David et al. 2006. “Labor Market Impacts of Youth Training in the Dominican Republic: Evidence from a Randomized Program.” IADB. Chen, Dandan. 2009. “Vocational Schooling, Labor Market Outcomes, and College Entry.” Policy Research Working Paper 4814. World Bank. Coles, Mike. Powerpoint presentation on “The Growing Interest in Qualifications Systems.” January 2008. Comola, Margherita and Luiz de Mello. 2008. “How Does Decentralized Minimum Wage Setting Affect Unemployment and Informality? A Quasi-Natural Experiment For Indonesia.” OECD Economics Department Working Paper. del Ninno, Carlo, Kalanidhi Subbarao and Annamaria Milazzo. 2009. “How to Make Public Works Work: A Review of Experiences.” World Bank Social Protection Discussion Paper No. 0905. Washington, DC. de Moura Castro, Claudio and Aimee Verdisco. 1999. “Training Unemployed Youth in Latin America: Same Old Sad Story?” Inter-American Development Bank. Washington, DC. Djankov, Simeon and Rita Ramalho. 2008. “Employment Laws in Developing Countries.” World Bank. Feldmann, Horst. 2008. “Business Regulation and Labor Market Performance around the World.” Journal of Regulatory Economics, 33 (2): 201–35. Ghozali, Abbas. 2006. “Analisis Biaya Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.” Mimeo. Jakarta, Indonesia Grosh, Margaret, Carlo del Ninno, Emil Tesliuc and Azedine Ouerghi. 2008. “For Protection & Promotion: The Design and Implementation of Effective Safety Nets.” World Bank. Grubb, Norton W. 2007. “Vocational Education and Training: Issues for a Thematic Review.” Issue paper prepared for the OECD meeting of experts, 5 February, 2007. Paris. Hahn, A., Leavitt, T., and Susan Lanspery. 2006. “The Importance of Polices in Support of Life Skills Training to Assist Vulnerable Groups of Youth in the Latin America and Caribbean Region.” (Draft for review to an October 206 World Bank Policy Toolkit meeting).
236
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Hahn, A., Lanspery, S., and Tom Leavitt. 2006. “Measuring Outcomes in Projects Designed to Help Young People Acquire Life Skills: Lessons and Challenges.” Nokia-IYF Global Youth Development Initiative. Harrison, Ann & Jason Scorse. 2004. “Moving Up or Moving Out? Anti-Sweatshop Activists and Labor Market Outcomes,” NBER Working Papers 10492, National Bureau of Economic Research, Inc International Labor Organization (ILO). 2000. Core convention – No.182 on the Worst Form of Child Labor. ______. 2004. “Working Out of Poverty: An ILO Submission to the Indonesian PRSP.” ILO Jakarta Office. ______.2008. LABORSTAT Internet. Table 2D: Total employment, by status in employment http://laborsta. ilo.org/. Islam, Iyanatul and Suahasil Nazara. 2000. “Estimating Employment Elasticity for the Indonesian Economy.” Technical Note on the Indonesian Labor Market. ILO Jakarta Office. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (Institute for Social and Economic Rearch, Education & Information, LP3ES). 2006. “Mapping Exercise: Situational Analysis for Youth Employment & Enterprise Creation.” World Bank commissioned report. Jakarta Indonesia. LP3E FE UNPAD and GIAT. 2004. “Indonesia’s Employment Protection Legislation: Swimming against the tide.” Faculty of Economics, University of Padjajaran Bandung and Growth through Investment, Agriculture and Trade (GIAT) Project. Levinsohn, James. May 2008a. “Two Policies to Alleviate Unemployment in South Africa.” CID Working Paper No. 166. Center for International Development, Harvard University. Levinsohn, James. May 2008b. “Policy Brief - Policy Responses to Unemployment in South Africa.” Center for International Development, Harvard University. Levinsohn, James and Dani Rodrik. “Greasing the path to a first job” (May 19, 2008). Mail & Guardian Online (http://www.mg.co.za/article/2008-05-19-greasing-the-path-to-a-first-job). Luque, Javier. 2009. “In the Search of the Right Mix of Secondary Education.” Mimeo. World Bank Office Jakarta. MacKay, Keith Robin. 2007. How to build M&E systems to support better government. World Bank. Independent Evaluation Group. Manning, Chris. 1998. “Indonesian Labour in Transition. An East Asian Success Story?” Cambridge University Press. Manning, Chris and Kurnya Roesad. 2007. “The Manpower Law of 2003 and Its Implementing Regulations: Genesis, Key articles and Potential Impact.” Bulletin of Economic Studies, Vol 43, No.1, 2007: 59-86. Marcouiller, Ruiz de Castilla and Woodruff.1995. “Declaring Work or Staying Underground: Informal Employment in Seven OECD Countries”, 2008 edition of the OECD Employment Outlook. Mercy Corps. 2008. Nineteen: The Lives of Jakarta’s Street Vendors. Jakarta Indonesia
237
Ministry of National Education (MoNE). 2006a. “Rencana Strategis Departemen Pendidikan National Tahun 2005-2009.” Jakarta: Ministry of National Education. ------. 2006b. “Teropong Wajah Sekolah Menengah Kejuruan di Indonesia” [Getting Acquainted with Technical and Vocational Educational in Indonesia]. Jakarta: Ministry of National Education. ------. 2007. “Educational Indicators in Brief 2006/2007.” Jakarta: Ministry of National Education. Montenegro, Claudio and Carmen and Pagés. 2004. “Who Benefits from Labor Regulation? Chile 19601998,” in James Heckman and Carmen Pagés, eds., Law and Employment: Lessons from Latin America and the Caribbean. Chicago: The University of Chicago Press. Newhouse, David Locke and Daniel Suryadarma. 2009. “The Value of Vocational Education: High School Type and Labor Market Outcomes in Indonesia”. World Bank Policy Research Working Paper 5035. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1471133 Nevizond Chatab, 2008. ”Kinerja Lulusan Pendidikan Menengah Kejuruan SMAK di SUCOFINDO”, paper presented at Seminar Terbatas Strategi Peningkatan Relevansi Pendidikan Menengah, Jakarta, 30 June 2008. Nugroho, Hari (2007), “The Impact Assessment Study of The Program on the Promotion of the ILO Declaration in Indonesia”. Unpublished report prepared for the International Labour Organization. ———— (2008). “Labor Dispute Settlement Through the Industrial Court System.” Mimeo. World Bank. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 1999. “Employment Protection and Labour Market Performances.” OECD Employment Outlook, Chapter 2. Paris, France: OECD. OECD. 2004. OECD Employment Outlook 2004. OECD ______. 2007. Education and Training Policy Qualifications Systems: Bridges to Lifelong Learning. OECD Employment, Volume 2007, No. 4, April 2007. ______. 2008. OECD. Stat. http://stats.oecd.org/wbos/default.aspx Pagés, Carmen and C. Montenegro. 1999. “Job Security and the Age-composition of Employment: Evidence from Chile.” IADB Working Paper No. 398. Washington, D.C.: Inter-American Development Bank. Paik, Sung Joon. 2008. “VET Provision and Expansion: Korean Experiences.” ESA workshop, Bogor, Indonesia, 16 May 2008. Based on KRIVET. 2008. “Pre-employment Vocational Education and Training in Korea.” mimeo. Palmer, Susannah. 2008. “Freedom of Association and Collective Bargaining: Indonesian Experience 20032008.” ILO Working Paper, 2008. Pangaribuan, Juanda. 2008. ”Reformasi Pengadilan Hubungan Industrial”. A Working Paper for Labour Law Practitioners Conference in Cipayung, March 2-5, 2008, Organised by TURC. Partee, Glenda L. 2002. “Preparing Youth for Employment: Principles and Characteristics of five Leading United States Youth Development Programs”. Presentation at the International Youth Employment
238
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Summit, American Youth Policy Forum. http://www.aypf.org/publications/PreparingYouthforEmployment.pdf Perdana, Ari and John Maxwell. 2004. “Poverty Targeting in Indonesia: Programs, Problems and Lessons Learned.” March 2004. Center for Strategic and International Studies. PNPM Support Facility. 2008.”Progress Report.” National Development Planning Agency, Indonesia. Pratomo, 2008 “The Effects of Changes in Minimum Wage on Wages Employement, and Work Hour in Indonesia”, doctoral dissertation, University of Lancaster, England. Puerto, Olga S. 2007b. “Labor Market Impact on Youth: A Meta-Analysis of the Youth Employment Inventory.” World Bank. From http://go.worldbank.org/H978C6DJP1 Puerto, Olga Susana and Jean Fares. 2008. Forthcoming. “Towards Comprehensive Training.” Washington, DC: World Bank. Quinn, Patrick. 2003. “Freedom of Association and Collective Bargaining: a Study of Indonesian Experience 1998-2003.” ILO Working Paper No. WP 15. Quintini, Glenda & Martin, Sébastien. 2006. “Starting Well or Losing their Way? The Position of Youth in the Labour Market in OECD Countries.” OECD Social Employment and Migration Working Papers 39. OECD Directorate for Employment, Labour and Social Affairs. Rahayu, Sri Kusumastuti, and Sudarno Sumarto. 2003. “The Practice of Industrial Relations in Indonesia.” SMERU Working Paper. Rama, Martin. 1996. “The Consequences of Doubling the Minimum Wage: The Case of Indonesia.” World Bank Policy Paper No.1643. RAND Corporation. Family Life Surveys. www.rand.org/labor/FLS/IFLS. Revenga, Ana and Jamele Rogolini. 2007. “International Evidence on Severance Pay Reforms: Some Food for Thought for Indonesia’s Current Reform Proposal.” World Bank. Ridao-Cano, C. and D. Filmer. 2004. “Indonesia: Evaluating the Performance of SGP and SIGP: A Review of the Existing Literature and Beyond.” Human Development Sector Unit, East Asia and Pacific Region Working Paper No. 2004-3, World Bank, Washington, D.C. Rios-Neto, Eduardo and C. Oliveira. 1998. “Uma Metodologia de Avaliacacão do Plano Estadual de Qualificacão Profjssional (PEQ): O Caso de Minas Gerais” Belo Horizonte. Saget, Catherine. 2008. “Fixing Minimum Wage levels in Developing Countries. Common Failures and Remedies.” International Labour Review: Geneva. Simanjuntak, Payaman. 2004. “Industrial Relations System in Indonesia.” Jakarta: Himpunan Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia, p.23-24. Smith, James, Duncan Thomas, Elizabeth Frankenberg, and Kathleen Beegle. 2000. “Wages, Employment and Economic Shocks: Evidence from Indonesia.” RAND Corporation.
239
Strauss, John et al. 2001. “Indonesian Living Standards: Before and After the Financial Crisis.” RAND Center for the Study of the Family in Economic Development. Sumarto, Sudarno, Asep Suryahadi and Wenefrida Widyanti. 2005. “Assessing the Impact of Indonesian Social Safety Net Programmes on Household Welfare and Poverty Dynamics.” European Journal of Development Research, 17(1). March 2005. Sumarto, Sudarno, Asep Suryhadi and Lant Pritchett. 2000. “Safety Nets and Safety Ropes: Who Benefited from Two Indonesian Crisis Programs – the Poor or the Shocked?” World Bank. Suryahadi, Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira, and Sudarno Sumarto. 2003. “Minimum Wage Policy and its Impact on Employment in the Urban Formal Sector. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 39, No.1 (April 2003), pp.29-50. Thomas, Duncan, Kathleen Beegle and Elizabeth Frankenberg. 2000. “Labour Market Transitions of Men and Women During an Economic Crisis: Evidence from Indonesia.” RAND Corporation. UNESCO. 1995. “National Profiles in Technical and Vocational Education in Asia and the Pacific: Singapore.” Vroman, Wayne. 2007. “Reforming Social Protection for Workers in Indonesia.” World Bank Office Jakarta. Wicaksono, Padang. 2008. “Skill Development Strategy: The Indonesian Case Study on the Pre-Employment VET.” Presented at the Education Sector Assessment Workshop, Yogyakarta. World Bank. 1998. “The Impact of the Crisis: Anecdotal Country Facts.” Washington, D.C. World Bank. 2002. “Brazil Jobs Report – Volume I and II” (Report No. 24408-BR), Washington, D.C. World Bank. 2003. Lifelong Learning in the Global Knowledge Economy: Challenges for Developing Countries. World Bank. Washington D.C. World Bank. 2007. “Investing in Indonesia’s Education: Allocation, Equity and Efficiency of Public Expenditures.” Jakarta: World Bank. World Bank. 2008a Forthcoming. “Employer Skills Survey”. Human Development Unit. World Bank. 2008b. “PSF Progress Report.” PREM, Poverty Team. World Bank Indonesia Office World Bank. 2008c. “Labour Market Programs that Make a Difference in Times of Crisis.” World Bank. 2009a. “Doing Business.” www.doingbusiness.org. World Bank. 2009b. “How Should Labor Market Policy Respond to the Financial Crisis.” World Bank. 2009c. “Weathering the Storm.” Indonesia Economic Quarterly. June 2009. Available at www. worldbank.org/id. World Bank. 2009d. “Back on Track?” Indonesia Economic Quarterly. December 2009. Available at www. worldbank.org/id. World Bank. 2010. “Building Momentum.” Indonesia Economic Quarterly. March 2010. Available at www. worldbank.org/id. World Economic Forum. 2005. “The Global Competitiveness Report 2004-2005.” Young, Michael. 2005. “National Qualifications Frameworks: Their Feasibility for Effective Implementation in Developing Countries.” Skills Working Paper No. 22. Geneva: ILO.
240
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
241
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia Menuju terciptanya pekerjaan yang lebih baik dan jaminan perlindungan bagi para pekerja