The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
MENJADIKAN PLURALITAS AGAMA SEBAGAI MEDIA INTEGRASI SOSIAL (Ikhtiar Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa) Oleh: Amir Tajrid, M.Ag. (Dosen STAIS Kutai Timur dan STAIN Samarinda)
I.
Latar Belakang Masalah Realitas dunia adalah plural. Pluralitas ini mewujud dalam bentuk budaya, bangsa, suku, agama, serta lainnya. Kesadaran manusia akan realitas dunia yang plural ini terus berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Realitas dunia yang plural ini dalam perjalanan selanjutnya kemudian berkembang menjadi sebuah pluralisme, sebuah paham yang mengakui adanya kemajemukan. Dalam konteks agama-agama inilah kajian pluralisme agama menjadi sangat relevan. Berangkat dari paham tentang kemajemukan agama ini, kesadaran akan pluralitas agama dapat dijadikan medium dialog antar budaya (termasuk di dalamnya agama) bukan sebaliknya sebagai Clash of Civilization? sebagaimana tesis yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington. Kesadaran pluralitas agama yang mengalami peningkatan dewasa ini, dalam kenyataannya, masih mengalami banyak problem dan tantangan yang cukup serius. Secara fungsional agama-agama dalam perspektif sejarah sosial bangsa-bangsa di dunia dapat menjadi faktor disintegrasi dan disharmoni tatanan sosial yang berlaku pada masyarakat, negara, dan bangsa tertentu. Bukti-bukti sejarah dapat digunakan untuk mendukung adanya ketegangan, konflik, perang antar agama, karena alasan agama. Pada abad pertengahan, misalnya, telah terjadi perang salib antara Islam dengan kristen yang menjadi noda hitam bagi hubungan keduanya. Memasuki abad modern, perang ini pun sesungguhnya hingga kini masih terjadi, walaupun mengambil bentuk yang berbeda. Pluralitas agama masih dipandang sebagai barang haram dan belum diterima secara total oleh umat beragama. Hal ini ditandai oleh beberapa hal. Pertama, masih adanya toleransi basa-basi antar pemeluk agama seperti dapat dilihat pada penampilan pemimpin dan tokoh agama pada acara formal ketika meredam konflik yang terjadi di masyarakat akar rumput. Ia masih sebatas ceremonial, bersifat pemikiran, belum menyentuh pada tindakan faktual, dan masih dalam taraf usaha untuk melakukan penyamaan persepsi dikalangan elit agama. Kedua, masih adanya konflik atau bahkan perang antar agama. Banyak contoh mengenai fenomena ini, seperti konflik etnik di negara eks Yugoslavia dan Albania, Irlandia Utara, di Lebanon antara milisi Syi’ah dan Druz, pertentangan masyarakat Persia di Iran dan masyarakat Arab di Saudi Arabia di zaman Ayatullah Ruhullah Khomaini, penindasan suku Aborijin oleh warga kulit putih Australia, sengketa yang terjadi antara pemerintah Philipina dengan muslim Moro, dan pertentangan kultural antara suku Kreol dan budaya Perancis di Amirika Laten. Contoh tersebut mengukuhkan anggapan bahwa dalam sejarah umat manusia, agama sering dijadikan alasan untuk menindas bahkan memerangi kelompok lain yang seagama maupun tidak seagama. Drama konflik agama ini terjadi dalam setiap kehidupan umat beragama. Bahkan di abad modern ini, perang Amirika-Irak, dapat dipahami sebagai perang atas nama agama, karena dalam pidatonya, George W. Bush, menyebutnya dengan istilah “Crusade”, perang suci atas nama agama. Ketiga, adanya klaim kebenaran (truth claim). Inilah problem terberat umat beragama dalam menampilkan diri di tengah-tengah pluralitas agama yang juga menjanjikan jalan kebenaran dan keselamatan yang seringkali memunculkan truth claim. Ajith Fernando menyatakan: ”Other relegions are false paths that mislead their followers” (B.M. Rahman, 2001: 34). Hugh Goddard dalam Christians & Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding (1995), menyimpulkan bahwa dalam seluruh sejarah hubungan Kristiani-Islam: apa yang telah membuat hubungan itu berkembang menjadi kesalahpahaman dan saling menjadi ancaman diantara keduanya adalah suatu kondisi adanya standar ganda (Double Standars). Standar ganda ini pada akhirnya memunculkan prasangkaprasangka teologis dan memperkeruh hubungan diantara keduanya. Anggapan ada-tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan ini. Standar itu adalah bahwa agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedang agama lain adalah hasil pemikiran manusia. Kalaupun berasal dari Tuhan, tetapi telah dipalsukan oleh manusia. Melalui standar ganda inilah dapat disaksikan perang klaim kebenaran dan janji penyelamatan yang berlebihan dari suatu agama atas agama yang lain terus berjalan hingga sekarang. Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Kecenderungan umat beragama melakukan klaim kebenaran sendiri-sendiri dan bersifat sepihak ini dijelaskan dalam al-Qur’an, seperti ayat: Q.S., 2 : 111, Q.S., 2 : 111, Q.S., 3 : 85, Q.S., 2 : 120. Masih dipandangnya pluralitas agama sebagai barang haram seperti telah diungkapkan di atas tentu sangat bertentangan dengan pesan universal yang disampaikan al-Qur’an sendiri dan pada saat yang bersamaan juga mengabaikan pluralitas dan inklusifitas yang digagas oleh al-Qur’an dan telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW pada periode Madinah. Atas dasar itu, tulisan ini akan berusaha untuk menelusuri dan sekaligus memetakan sikap dan pandangan umat beragama terhadap adanya pluralitas agama dan usaha menjadikannya sebagai media integrasi sosial. sehingga salah-pengertian antar umat beragama dapat dihindarkan. Pluralitas agama bukan menjadi momok yang menakutkan tetapi sebaliknya dapat dijadikan sebagai media integrasi sosial sebagai ikhtiar memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa kita, Indonesia. Selanjutnya untuk mempermudah pemahaman dalam menangkap ide dan gagasan yang disampaikan, maka makalah ini ditulis dengan sistematika sebagaimana berikut, yaitu: latarbelakang masalah; pluralitas agama, realitas sosial, dan toleransi; pluralitas agama dan konflik kekerasan di Indonesia; menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial; dan kesimpulan.
II. Pluralitas Agama, Realitas Sosial, dan Toleransi Ragam agama dengan berbagai kitab suci yang dimilikinya baik yang bersifat ardhi maupun samawi merupakan bukti empiris adanya pluralitas agama. Pluralitas agama ini kemudian mewujud menjadi realitas sosial yang menyejarah dalam kehidupan umat manusia. Karena itu, secara historis dikenal banyak umat agama dan kepercayaan seperti: Sabi’ah, Yahudi, Nasrani, Islam, Budha, Hindu, Konghucu, Sinto, dan lainnya. Eksistensi pluralitas agama sebagai sebuah realitas sosial dengan demikian menjadi nalar baku yang harus diterima oleh setiap umat agama manapun. Menolak nalar baku berarti menolak realitas dan ini berarti lari dari kenyataan hidup, lari dari ayat-ayat kawniyah yang diberikan oleh Tuhan, Sang Pencipta pluralitas itu sendiri. Juga berarti menegasikan eksistensi kemanusiaannya sendiri, yakni sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Dalam hidup seseorang tidak mungkin terlepas dari interaksi dengan orang lain. Karena itu, bagi umat agama manapun, pluralitas agama harus dikaji dan dimanfaatkan dalam konteks mengkaitkan secara positif realitas teologis dengan realitas sosial. Pengalaman spiritual kita seringkali membuktikan ketika kedua realitas itu tidak mampu disatukan maka akan mudah sekali memicu terjadinya konflik antar umat beragama. Dalam konteks demikian, kemampuan dalam memposisikan dan memanfaatkan kedua realitas tersebut sebagai bagian obyektif dari pemenuhan kebutuhan dan kepentingan menjadi keharusan bagi setiap umat agama. Dengan metode ini setiap umat agama senantiasa mampu mengantisipasi cara terbaik untuk hidup bersama dalam keberagaman secara rukun dan damai. Kemampuan mengkaitkan secara positif realitas teologis dengan realitas sosial dalam bingkai pluralitas agama menjadi sangat penting (urgent), sebab hubungan manusiawi biasanya sulit dilakukan antar individuindividu yang berlainan keyakinan vertikalnya. Keberadaan agama biasanya merupakan variabel penyebab munculnya beragam rintangan komunikasi antar sesama umat manusia dalam melakukan interaksi sosial. Kenyataan di lapangan memperkuat asumsi ini, seperti kasus kekerasan yang menimpa Islam Ahmadiyah dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang masih hangat dalam ingatan kita, kasus Ketapang, Kupang, Ambon, dan daerah lain di Indonesia serta kasus kekerasan yang menimpa suku Uighur, Xinjiang, China, beberapa bulan yang lalu. Ketidakmampuan umat beragama mengakui kedua realitas tersebut mendorong pelembagaan dan pembudayaan sikap serta perilaku individual dan sosial untuk melakukan pembenaran terhadap kepentingan keyakinan keagamaannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan umat agama lain. Akibatnya terbentuk sikap individual dan sosial yang tidak siap menerima kehadiran umat dan agama lain yang bukan termasuk kelompok dan agamanya. Sikap seperti ini akan merusak pranata sosial, politik, serta merobek-robek pluralitas, yang bila dicermati secara mendalam akan melahirkan sikap toleransi terhadap sesama umat beragama. Bila kesadaran akan pluralitas agama naik, maka naik pula sikap toleransi yang dimiliki umat beragama. Demikian juga sebaliknya, bila kesadaran akan pluralitas agama turun, maka turunlah sikap toleransi tersebut. Kurangnya sikap toleransi terhadap sesama umat beragama akibat melemahnya kesadaran akan pluralitas agama ini menjadi pemicu banyaknya konflik agama di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Hal ini memperkuat asumsi bahwa sikap toleransi dan relegiusitas bangsa ini sesungguhnya baru berada pada kulit luarnya saja belum menyentuh kesadaran terdalamnya. Andai telah menyentuh kesadaran terdalamnya tentu tidak akan terjadi konflik di negeri ini. Negeri yang beragam agama dan realitas sosialnya. III. Pluralitas Agama dan Konflik Kekerasan di Indonesia Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Indonesia merupakan negara potensial karena pluralitas suku, agama, ras, golongan, dan bahasa yang dimilikinya. Pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut dapat bernilai positif bila rakyat dan pemerintah Indonesia mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam perbedaan dan keragaman. Di sini pulralitas agama dapat menjadi perekat bagi umat beragama bila penghayatan dan pengamalan nilainilai ajaran yang terkandung di dalamnya dilakukan secara bertanggungjawab. Mengingat agama manapun tidak ada yang mengajarkan permusuhan. Tetapi sebaliknya, pluralitas tersebut dapat berubah menjadi potensi konflik dahsyat bagi negara dan bangsa ini bila tidak mampu mengelolanya dengan baik. Di sini salah satu faktor pemicunya adalah bila agama ditafsirkan sesuai dengan kehendak segelintir manusia yang ingin mendapatkan keuntungan dan kekuasaan dengan menggunakan media agama. Ingat! Belajar dari tradisi postkolonial, teks, termasuk di dalamnya tafsir agama, tidak hanya bersifat gendered, tetapi juga classed, racialised, dan seterusnya (Yasir Alimi, 2002:viii-ix). Sebagai bangsa yang relegius, kita dituntut untuk mempunyai kemampuan mengelola pluralitas agama menjadi perekat seluruh warga negaranya. Ia telah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Secara historis nenek moyang bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang percaya adanya kekuatan yang ada di luar dirinya. Sebelum datang agama baru, nenek moyang bangsa ini telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dasar kepercayaan ini memudahkan agama baru tersebut masuk, diterima secara damai, berkembang dengan subur tanpa ada perlawanan dan kekerasan. Pluralitas agama di negeri ini terjadi akibat beragamnya keyakinan yang dianut oleh bangsa Indonesia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan Islam bahwa Allah menciptakan makhluknya dalam kondisi beragam. Banyak ayat yang mendukung pernyataan ini. Ia memang sengaja membuat mereka berbeda (heterogen) dan tidak seragam, bukan karena Ia tidak mampu untuk membuatnya seragam (homogen), tetapi Ia ingin menguji siapa diantara mereka yang terbaik dalam menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi sebagaimana kontrak premordial yang telah disepakati oleh keduanya. Heterogenitas oleh Tuhan tidak dilihat sebagai bencana, tetapi justeru diberi ruang untuk saling bekerjasama agar tercipta suatu sinergi. Tetapi ingat! Saling bekerjasama tidak akan pernah terjadi begitu saja tanpa ada usaha. Ia dapat terwujud bila tercipta kondisi saling mengenal, menghormati, dan menerima. Saling mengenal artinya adalah lebih dalam dari sekedar tahu, tetapi berlanjut kepada mengerti, saling menghargai, memberi ruang dan peluang yang proporsional dalam kerangka pemenuhan kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk sosial. Kondisi demikian harus selalu diusahakan, baik oleh individu maupun lembaga, termasuk juga pemerintah. Namun sayang, pesan agung tersebut sering terabaikan. Manusia cenderung memilih homogenitas dan pengelompokan (polarisasi) demi untuk membedakan dirinya dengan yang lain. Heterogenitas, dengan demikian, adalah sunnatullah. Ia menjadi medan implementasi fastabiq alkhayrat yang memerlukan pembuktian secara nyata oleh umat beragama, bukan sekedar menjadi slogan kosong tanpa makna. Perbedaan dan keberagaman adalah rahmat bukan bencana. Karena itu, pluralitas agama sebagai bagian dari wujud heterogenitas yang dianut oleh manusia harus dimaknai sebagai realitas vertikal yang mengatur hubungan antara makhluk dengan Khaliq dan realitas horisontal yang mengajarkan hubungan antar sesamanya. Agama sebagai jembatan penghubung antara ’abid dengan ma’bud dan pengatur cara hidup sesamanya. Secara teoritis, setiap agama mengajarkan sikap toleran, penghormatan, dan pengakuan atas eksistensi agama-agama lain. Dalam konteks pluralitas agama, empat belas abad yang lalu, Islam telah menegaskan toleransi, penghormatan, serta pengakuannya terhadap agama lain sebagaimana ditegaskan sendiri oleh alQur’an: ... Lakum dinukum waliadin. Islam juga mengajarkan toleransi dan penghormatan terhadap bentuk perbedaan amaliah furu’iyah dikalangan intern umatnya dengan prinsip Lana a’maluna walakum a’malukum. Tetapi secara praktis, pluralitas agama ini belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia yang multi etnis dan multi agama. Mereka masih enggan menerimanya secara total. Kecenderungan homogenitas dalam arti sebenarnya masih tampak dimana-mana. Masih banyak kesulitan melakukan dialog diantara kelompokkelompok yang ada. Andaikan ada dialog, hal itu masih bersifat ceremonial-formalistik yang belum menyentuh pada core probleIm yang dihadapi. Kecenderungan homogenitas menimbulkan anggapan dan bahkan pandangan: in group lawan out group, nahnu lawan hau-ulaa’; kami atau mereka, aku atau dia. Pandangan ini dalam banyak hal mumudahkan timbulnya peruncingan-peruncingan yang mengarah pada konflik serta tindakan kekerasan Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
(violence) dan akan memperoleh lahannya secara luas ketika diantara mereka terjadi kompetisi dalam memperebutkan hal-hal yang bersifat prinsipil, strategis, dan perspektif. Dalam kondisi seperti itu, mereka umumnya ingin mengutamakan pihaknya lebih awal. Dalam kerangka kompetisi itu pula muncul kondisi negatif, seperti: prasangka, penolakan, dan saling membenci. Di sini pula rendahnya kesadaran pluralitas agama sering menghadirksn persikapan dan perlakuan yang mengarah kepada timbulnya konflik dan tindakan kekerasan dari satu penganut agama kepada penganut agama lain. Drama konflik dan tindakan kekerasan akibat rendahnya kesadaran pluralitas agama terus menghiasi lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia yang konon sangat toleran dan akomodatif hingga hari ini. Drama tersebut dapat di saksikan di Indonesia dan daerah-daerah yang semula masuk wilayahnya (Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia: 53, 227; Profetika, 1999: ii-iii). Kekerasan demi kekerasan di negeri ini dengan mengatasnamakan agama terus diputar oleh kelompok agama tertentu. Masyarakat menjadi terkotak-kotak dan integarsi sosial masyarakat kian melemah sementara pemilahan masyarakatsemakin menguat. Dan ini tentu akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
IV. Menjadikan Pluralitas Agama Sebagai Media Integrasi Sosial Dengan melihat paparan mengenai kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang ternyata menganut banyak agama, ada satu pertanyaan yang dapat dimunculkan di sini: Bagaimana menjadikan pluralitas agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia sebagai media integrasi sosial agar tercipta kehidupan yang harmonis dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu harus diketahui gambaran keberagamaan yang ditampilkan oleh umat beragama. Mengingat sikap keberagamaan menentukan bagaimana pandangan mereka terhadap umat agama lain. Setidaknya keberagamaan yang dapat disebutkan di sini, yaitu: sikap eksklusivisme, inklusivisme, (B.M.Rahman, 2001: 44).
mengenai sikap tersebut sangat ada tiga sikap dan paralelisme
Pertama, sikap eksklusif. Sikap anti pluralitas. Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut sampai saat ini. Agama saya-lah yang paling benar, sedangkan agama lain. Bagi agama Islam inti pandangan ini adalah bahwa agama yang paling absah dan diterima di sisi Tuhan (Allah) adalah Islam. Diantara ayat yang dipakai sebagai ungkapan eksklusifitas Islam adalah Q.S.3:85, 3:19, 5:3. Sedangkan bagi agama Kristen, Yesus merupakan satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan (Yohanes 14:6). Kedua, sikap inklusif. Pandangan ini membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelematan dan aktivitas Tuhan dalam Yesus Kristus. “Menjadi inklusif berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada Kristus”. Teolog terkemuka yang menganut pandangan ini adalah Karl Rahner. Ia memunculkan satu pertanyaan: Bagaimana terhadap orang-orang yang hidup sebelum dokumen Konsili Vatikan II yang memuat pandangan inklusif itu hadir, atau orang-orang yang sesudahnya tetapi tidak pernah tersentuh injil? Untuk menjawabnya ia memunculkan istilah inklusif, the anonymous christian, yaitu orang-orang non Kristiani. Dalam pandangannya, mereka selamat, sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, karena karya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar kabar baik. Tetapi pandangan ini dikritik oleh pandangan pluralis, karena membaca agama lain dengan kacamata agama sendiri. Sementara kalangan Islam inklusif berpandangan bahwa agama semua Nabi adalah satu. Mereka adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu. Kalangan ini menganut pandangan alQur’an tentang adanya titik temu agama-agama (Q.S. 3:64), dimana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah dan minhaj. Menurut kalangan ini, Allah tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisisme). Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba dalam kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan itu (Q.S. 5:48). Ketiga, sikap paralelisme. Pandangan ini percaya bahwa setiap agama (di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap eksklusif), Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis. Tokoh utama yang mengemukakan pandangan pluralis ini adalah John Harwood Hicks dalam karyanya, God and the Universe Faiths [1973](B.M. Rahman, 2001: 48) Sementara Islam Pluralis adalah pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Banyak upaya yang ditempuh untuk mengembangkan paham ini. Misalnya perbedaan antara Islam dan Kristen serta agama lain diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara perumusan iman dan pengalaman iman. Menurut kalangan Islam pluralis, seperti: Frithjof Schuon dan Sayed Husein Nasr, setiap agama pada dasarnya distruktur oleh keduanya. Hanya saja setiap agama selalu menganggap yang satu mendahului yang kedua. Persis dalam pembedaan ini, sikap pluralis bisa diterima, karena misalnya antara Islam dan Kristen perbedaannya terletak dalam menaruh mana yang lebih penting antara keduanya. Islam mendahulukan perumusan iman (tawhid) dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sementara Kristen, mendahulukan pengalaman iman (pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang tersimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan keduanya hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. Jadi pada dasarnya pandangan pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama. Sebab gagasan mengenai pluralisme agama berdiri diantara pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik, seperti kata Raimundo Panikkar. Berdasarkan klasifikasi tersebut, sikap dan pandangan keberagamaan masyarakat Indonesia masuk dalam kategori sikap dan pandangan eksklusif. Karena nalar yang dikembangkan adalah nalar agama yang tidak toleran, tidak akomodatif terhadap segala perbedaan, lebih suka mencari titik perbedaan, dan menegasikan integrasi sosial. Pengkategorian ini didasarkan pada fakta empiris, seperti: ketegangan, konflik, kekerasan, memberikan fonis sesat terhadap kelompok lain, sampai pengkafiran terhadap saudara sesama agama. Beberapa kasus ketegangan dan konflik-kekerasan berjumlah puluhan kasus. Untuk kasus pengkafiran telah dilakukan FUI terhadap saudara U.A. Abdalla, Koordinator JIL, yang dianggap murtad, kafir, dan melenceng dari ajaran Islam sehingga darahnya halal ditumpahkan. Selain itu ada buku yang ditulis oleh Hartono A. Jaiz yang intinya menuduh ada pemurtadan di IAIN. Kecenderungan keberagamaan yang monolitik seperti itu saat ini semakin gencar disuarakan oleh mereka yang bersikap dan berpandangan eksklusif yang memancing kerusuhan, keonaran, dan bahkan memakan korban. Peledakan hotel JW. Marriot dan Ritz Carlton baru-baru ini juga akibat sikap dan pandangan keberagamaan model ini. Akibat dari sikap dan pandangan keberagamaan model ini, pluralitas agama akhirnya menjadi sesuatu yang terkorbankan. Mestinya ia menjadi inspirasi bagi setiap pemeluk agama berlomba menampilkan kualitas amal terbaiknya dan menjadi media integrasi sosial. Bukan menjadi momok yang manukatkan bagi setiap umat beragama kerena menjadi sumber perpecahan, konflik, dan kekerasan. Kondisi demikian, berimplikasi terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kasatuan masyarakat semakin lama semakin melemah atau bahkan hilang sama sekali. Tidak hanya antar umat beragama saling curiga, umat seagama pun juga melakukan hal yang sama. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, terpilah-pilah ke dalam kelompok yang saling berhadap-hadapan dan mudah tersulut amarahnya. Harmonisasi kehidupan menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini dan bila ini biarkan, maka bangsa dan negara ini ada diambang kehancuran. Untuk menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka harus ada upaya merubah sikap dan pandangan yang semula eksklusif menjadi sikap dan pandangan keberagamaan yang pluralis. Sikap dan pandangan ini cocok untuk dijadikan sebagai alat dalam menyikapi pluralitas agama untuk kemudian dikelola menjadi media integrasi sosial masyarakat bangsa Indonesia. Diantara upaya tersebut adalah pertama, kaharusan menggunakan metode dan pendekatan yang beragam dalam melakukan studi agama. Selama ini studi agama lebih banyak dilakukan dengan hanya menggunakan metode dan pendekatan tertentu, seperti: pendekatan teologis. Pendekatan teologis adalah pendekatan yang normatif, subyektif terhadap agama, yang bisa dilakukan oleh seorang penganut suatu agama dalam memahami agama orang lain dengan perspektif agama yang dianutnya (Z.Darajat, at.al., 1996, II:73). Kajian pendekatan teologis model seperti ini, menurut Amin Abdullah mengarah kepada keberpihakan pada agama tertentu, lebih bersifat eksoteris, tertutup, dan final-kongkrit (M. Amin Abdullah, Ulumul qur’an No.5, VII/1997:56-57). Imbas masih menonjolnya pendekatan teologis dalam Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
studi agama di Indonesia ini, sangat wajar bila kemudian menimbulkan truth claim oleh penganut agama tertentu, tidak toleran, apologis, dan tidak terbuka, seperti yang terjadi hingga hari ini. Selain pendekatan di atas, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Hidayat mengenai visi al-Qur’an tentang metode dan pendekatan studi agama-agama, setidaknya masih ada delapan pendekatan. Kedelapan pendekatan itu adalah pendekatan historis, kritik, rasional intuitif, psikologis, sosiologis, dialogis, falsafi, dan perbandingan (S. Hidayat, Profetika No.1, I/1999:136). Kedua, keharusan mengintensifkan dialog antar agama secara terstruktur dan terjadwal dengan baik. Tidak hanya sekedar melakukan dialog ketika telah terjadi ketegangan dan bentrokan antar pengikut agama. Dialog antar agama dilakukan umumnya ketika sudah dalam kondisi tersebut. Kondisi ini mengingatkan saya pada suatu peristiwa yang terjadi di Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 antara etnis Dayak dan Bugis yang hampir saja terjadi pertumpahan darah, saat melakukan penelitian mengenai integrasi sosial masyarakat Kalimantan Timur. Beruntung pertumpahan darah batal terjadi berkat dialog yang diprakarsai semua pihak termasuk tokoh agama dan aparat penegak hukum di sana. Berdasarkan investigasi yang saya lakukan terhadap penduduk di sana ternyata memang dialog antar penganut agama jarang/tidak pernah terjadi sebelum ketegangan tersebut terjadi. Pemimpin agama kurang berperan dalam membangun kesadaran akan pluralitas agama. Baru setelah ketegangan itu terjadi penggalakan dialog antar umat agama dilakukan secara intensif. Peran FKUB harus terus ditingkatkan. Selama ini, keberadaannya lebih bersifat ceremonial dan secara praksis masih terbatas pada daerah kota/kabupaten, serta belum menyentuh masyarakat pedesaan yang secara kultur masih berwawasan sempit sehingga mudah dipengaruhi, digiring, dimobilisasi, untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Melalui forum tersebut, dapat disampaikan berbagai pandangan mengenai kemajemukan yang menjadi bagian dari realitas masyarakat dunia, yakni masyarakat yang beraneka ragam, baik agama, suku, daerah, adat kebiasaan dan sebagainya. Dalam suasana kemajemukan seperti ini diharapkan tumbuh sikap saling menerima sebagaimana adanya, komunikasi semakin intensif, tumbuh sikap bersama yang sehat, mengakui segi-segi kelebihan orang lain dan mendorong sama-sama melakukan kebajikan dalam masyarakat. Perbedaan yang ada diterima dalam kerangka perbedaan atau setuju dalam perbadaan. Pluralitas dipandang sebagai sesuatu yang wajar. Tidak ada hidup tanpa pluralitas dalam arti antar ummat, kecuali kota tertentu seperti Vatikan dan Makkah. Ketiga, penanaman sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala perbedaan, dan pluralis, harus ditanamkan sejak usia dini melalui lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Ini menjadi tugas orang tua dan pemerintah dengan cara melakukan reevaluasi proses pendidikan dan pengajaran akidah baik ditingkat sekolah dasar, menengah, maupun perguruan tinggi, menyangkut materi, guru, dan dosen yang mengampu mata pelajaran/kuliah tersebut. Guru dan dosen harus benar-benar mempunyai wawasan yang luas dan keahlian dibidang tersebut. Guru dan dosen diwajibkan dapat membentuk sikap sebagaimana dimaksud bagi siswa/mahasiswa yang diajar dan dididiknya. Reevaluasi ini sangat penting mengingat selama ini telah terjadi kesalahan dalam proses pendidikan dan pengajarannya sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam membentuk sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala perbedaan belum sepenuhnya berhasil. Misalnya guru mata pelajaran akidah adalah lulusan syari’ah bukan lulusan ushuludin dengan konsentrasi akidah filsafat. Menurut saya ini juga termasuk dari kesalahan kebijakan Departemen Agama sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Mestinya perekrutan guru itu harus terbuka, yang diterima mendaftar tidak hanya lulusan tarbiyah, tetapi juga lulusan syari’ah, dakwah, dan ushuluddin, sesuai dengan keahlian masing-masing. Karena mata pelajaran agama Islam banyak jumlahnya. Jika ini dilakukan, maka harus ada kebijakan baru mengenai perekrutan tenaga pengajar dan kurikulum yang di ajarkan di fakultas-fakultas yang ada di lingkup Perguruan Tinggi Agama, yakni dengan menambah mata kuliah tentang kependidikan di fakultas selain selain tarbiyah. Sehingga lulusan selain tarbiyah juga mempunyai wawasan tentang kependidikan dan kepengajaran yang baik. Menurut saya, guru/dosen ilmu tauhid di perguruan tinggi harus doktor sedangkan di sekolah dasar/menengah harus magister, sebagai parameter mereka ahli dibidangnya dan mempunyai kemampuan untuk mantransformasikan sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala perbedaan, kepada peserta didiknya. Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Keempat, membuka forum kajian mengenai agama-agama yang melibatkan semua agama yang diakui dan berhak hidup dan berkembang di negeri ini. Dalam forum ini dapat dikembangkan kajian mengenai teologi agama-agama di dunia yang selama ini mungkin masih dianggap tabu, karena sudah masuk dalam ranah dasar agama. Dengan adanya dialog teologi ini para pengikut agama semakin memahami dan mengerti konsep dasar teologi agamanya sendiri dan pada saat yang sama juga mengenal dan memahami konsep dasar teologi agama lainnya. Dengan cara ini sikap saling pengertian dan hormat menghormati semakin bertambah.
V. Kesimpulan Berdasarkan ulasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagaimana dijelaskan di bawah ini. Kesadaran umat beragama tentang pluralitas agama masih rendah, dengan bukti, pertama, masih terjadinya toleransi basa-basi antar pemeluk agama. Kedua, masih adanya konflik dan perang antar agama. Ketiga, adanya klaim kebenaran. Pluralitas agama masih dipahami sebagai sumber bencana, konflik, serta anti integrasi sosial. Pluralitas agama harus diyakini sebagai bagian dari realitas dunia dan sosial. Ia menjadi nalar baku yang harus diterima oleh setiap umat agama manapun. Menolak nalar baku berarti menolak realitas dan berarti lari dari kenyataan hidup dan ayat-ayat kawniyah Tuhan, Sang Pencipta pluralitas itu sendiri. Juga berarti menegasikan eksistensi kemanusiaannya sendiri, yakni sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Dalam hidup seseorang tidak mungkin terlepas dari interaksi dengan orang lain. Karena itu, pluralitas agama harus dikaji dan dimanfaatkan dalam konteks mengkaitkan secara positif kedua realitas tersebut. Ketidakmampuan mengelola kedua realitas tersebut mendorong pelembagaan dan pembudayaan sikap serta perilaku individual dan sosial untuk melakukan pembenaran terhadap kepentingan keyakinan keagamaannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan umat agama lain. Akibatnya muncul sikap tidak toleran dan tidak siap menerima kehadiran yang lain. Sikap demikian menjadi pemicu konflik agama di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Sikap dan pandangan keberagamaan masyarakat Indonesia masuk kategori sikap dan pandangan eksklusif dengan indikasi adanya nalar agama yang tidak toleran, tidak akomodatif terhadap segala perbedaan, serta lebih suka mencari titik perbedaan, yang lebih cenderung menegasikan integrasi sosial. Akibatnya, pluralitas agama menjadi sesuatu yang terkorbankan. Untuk menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka harus dilakukan upaya kongkrit untuk merubah sikap dan pandangan keagamaan masyarakat Indonesia yang semula eksklusif menjadi pluralis. Pertama, kaharusan menggunakan metode dan pendekatan yang beragam dalam melakukan studi agama. Kedua, keharusan mengintensifkan dialog antar agama secara terstruktur dan terjadwal dengan baik. Tidak hanya sekedar melakukan dialog ketika telah terjadi ketegangan dan bentrokan antar pengikut agama. Dialog antar agama yang selama ini dilakukan umumnya ketika sudah dalam kondisi tersebut. Ketiga, penanaman sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala perbedaan, serta pluralis, harus ditanamkan sejak usia dini melalui lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Tugas ini menjadi kuwajiban orang tua dan pemerintah dengan cara melakukan reevaluasi terhadap materi akidah ditingkat pendidikan dasar, menengah, maupun kurikulum perguruan tinggi, proses pendidikan dan pengajaran, dan perekrutan tenaga pengajar serta keahliannya. Keempat, membuka forum kajian mengenai agama-agama yang melibatkan semua agama yang diakui dan berhak hidup dan berkembang di negeri ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Surakarta, 2-5 November 2009