Mengkritisi RUU Ormas dan Potensi Pelanggaran HAM* Oleh Fransisca Fitri Proses revisi UU Ormas dan campur tangan asing
Sekitar Oktober 2007, Pemerintah—dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri/ Kemdagri berupaya mendesakkan draf RUU Ormas kepada Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Namun berkat tiga lembar kertas fakta yang memuat tanya-jawab seputar Tolak UU Ormas yang disodorkan oleh PSHK, YAPPIKA, ELSAM, ICW, GAPRI, PKM, KONTRAS, WALHI, KPI, IMPARSIAL dan UPC, Baleg menolak draf RUU Ormas versi Pemerintah tersebut. Dengan demikian upaya Pemerintah merevisi UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Ormas) semenjak 2006 kandas sementara waktu. Terhitung sejak tahun 2006, Pemerintah gencar menggolkan RUU Ormas yang ternyata mendapat dukungan beberapa agensi asing yang berkepentingan terhadap pengontrolan organisasi masyarakat sipil. Tercatat ada tiga agensi asing yang terlibat memfasilitasi proses revisi UU Ormas. Pertama adalah UNDP melalui Program Civic Engagement in Democratic Governance Project atau CIVED, yang memfasilitasi Kemdagri untuk menyusun peraturan perundang-undangan secara partisipatif. Dukungan kedua diberikan oleh Charity Commission , sebuah komisi dari Pemerintah Kerajaan Inggris dengan tujuan untuk membuat kode etik bagi LSM. Lepas dari Charity Commission , Kementerian selanjutnya difasilitasi oleh GTZ (sekarang bernama GIZ), sebuah agensi dari Pemerintah Jerman. Keberadaan agensi asing dalam proses revisi terlihat sangat mewarnai substansi draf RUU Ormas Pemerintah, termasuk judul rancangan undang-undangnya sendiri. Judul RUU Ormas sebelumnya dinamai RUU Lembaga Masyarakat dan RUU Organisasi Masyarakat Sipil. Di dalamnya termuat ide untuk membuat Komisi Organisasi Masyarakat yang bertujuan untuk mewujudkan kredibilitas, kemandirian, transparansi, dan akuntabilitas organisasi masyarakat.[1] Pernah pula muncul ide tentang Forum/Dewan Nasional Lembaga Masyarakat yang berfungsi melakukan koordinasi dan membangun sinergi antar lembaga masyarakat, dan antara lembaga masyarakat dan Pemerintah.[2] Revisi UU Ormas ini masuk menjadi agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) semenjak 2005-2009, meski tidak pernah dilakukan pembahasan. Lantas mengapa sekarang ini Pemerintah bersama DPR terlihat sangat cepat ingin menyelesaikan pembahasan RUU Ormas?
1/8
Setelah hampir satu dekade Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) menjadi leading sector revisi UU Ormas, tiba-tiba pada penghujung 2010 DPR “mengambil alih” tugas ini. Baleg pun kemudian menyiapkan RUU Organisasi Masyarakat. Di tingkat DPR, Dewan membentuk Pansus RUU Ormas pada 3 Oktober 2011 yang diketuai oleh Abdul Malik Haramain, politikus dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mantan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Benarkah UU Ormas dan proses revisinya kita butuhkan? Apa sebenarnya alasan di balik revisi ini? Kebutuhan mendesak apa yang harus diatasi dengan merevisi UU Ormas? Untuk menjawab pertanyaan ini, seringkali DPR dan Pemerintah mengatakan bahwa alasan revisi UU Ormas dibutuhkan sebagai dasar untuk menindak pelaku kekerasan oleh kelompok ormas. Tentu saja tidak akan ada yang menyangkal alasan ini. Alasan lain adalah kecurigaan para ultranasionalis terhadap ‘bantuan asing’ untuk tindakan terorisme atau pencucian uang atau menyetir ormas yang akan mengakibatkan terganggunya kesatuan NKRI. Dengan alasan tersebut Pemerintah memerlukan UU Ormas baru untuk menjaga stabilitas NKRI. Namun apakah benar kita membutuhkan UU Ormas baru dengan menerima begitu saja alasanalasan tersebut? Pelaku kekerasan entah yang bertameng dalam sebuah ormas atau tidak, sudah pasti harus ditindak. Apalagi para pelaku kekerasan tersebut dapat dengan gamblang dilihat wajahnya di televisi. Oleh karena itulah, revisi UU Ormas sebagai sebuah keharusan untuk menyelesaikan persoalan kekerasan, terasa dan terdengar sangat tepat. Tidak dilakukannya penegakan hukum pada pelaku kekerasan tidak berkaitan dengan UU Ormas maupun proses revisinya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum. Jika revisi UU Ormas dikaitkan dengan kecurigaan terhadap dampak ‘bantuan asing’, maka undang-undang ini sesungguhnya berbenturan dengan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme serta UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sementara proses awal revisi UU Ormas ini jelas-jelas Pemerintah sendiri mendapat dukungan dan fasilitasi dari ‘bantuan asing’. Pemerintah juga sempat berdalih butuh UU Ormas sebagai alat pendorong transparansi dan akuntabilitas ormas yang berbadan hukum yayasan. Padahal kita telah memiliki UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan yang mengatur mekanisme akuntabilitas dan transparansi keuangan yayasan. Jika memang hendak mendorong akuntabilitas dan transparansi yayasan, selain dasar hukum yayasan yang sudah diatur, Pemerintah dan DPR juga telah mengesahkan dan melaksanakan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU ini menetapkan organisasi nonpemerintah termasuk badan publik nonpemerintah yang harus transparan kepada publik.
2/8
Mengapa UU Ormas diciptakan oleh Orde Baru? UU Ormas lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika organisasi masyarakat. Disahkan pada 17 Juni 1985, UU Ormas merupakan bagian dari Paket Undang Undang Politik bersama dengan RUU Pemilu, RUU Parpol, RUU MPR, DPR, dan DPRD, dan RUU Referendum. Sementara UU lainnya telah direvisi seiring dengan iklim demokrasi Indonesia yang terus berkembang, substansi UU Ormas justru memburuk. Perlu kita ingat, bentuk Ormas diciptakan karena kebutuhan rezim Orde Baru untuk menerapkan konsep “wadah tunggal” dan “azas tunggal”. Ini sebuah konsep yang dipaksakan untuk mengekang kemerdekaan berserikat dan berkumpul masyarakat. Konsep dari sebuah pemerintah otoritarian yang takut pada warganya sendiri sehingga perlu untuk menempatkan organisasi sejenis dalam satu wadah sehingga mudah dikontrol dan diawasi. Dua tahun setelah UU Ormas disahkan tahun 1985, Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berasaskan Islam dan Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) yang berasaskan Marhaenisme dibubarkan oleh Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam dengan alasan menolak menyesuaikan diri dengan UU Ormas baru itu. Babak baru pelanggaran kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai cara yang ‘sah’ dan ‘legal’ dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru. Pasal pembekuan dan pembubaran organisasi yang represif tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang menjadi instrumen pelanggaran HAM oleh Pemerintah. Berbagai pemikiran yang dianggap tidak sesuai dengan Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, dan NKRI menjadi ancaman yang harus dilenyapkan dengan paksa. Bentuk “Ormas” sendiri tidak jelas posisinya dalam kerangka hukum yang benar. Kerangka hukum yang ada untuk organisasi kemasyarakatan di Indonesia terbagi menjadi dua jenis. Untuk organisasi tanpa anggota, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Yayasan yang diatur melalui UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, seperti telah disinggung di muka. Sementara untuk organisasi yang berdasarkan keanggotaan, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Perkumpulan yang masih diatur dalam peraturan Stb. 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen) yang dikeluarkan pada 28 Maret 1870. Mengingat hal ini, Pemerintah semestinya bukan merevisi UU Ormas tetapi seharusnya mencabutnya. Tidak seperti UU Yayasan dan Stb. 1870-64 yang memberikan status badan hukum, UU Ormas hanya memberikan status terdaftar melalui Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) di Kementerian Dalam Negeri. SKT ini ibarat ‘stempel sah’ ijin operasi sebuah ormas yang sewaktu-waktu dapat dibekukan atau dicabut oleh Pemerintah.
3/8
Ancaman pelanggaran HAM melalui substansi RUU Ormas Pemerintah menargetkan 14 Desember 2012 akan mengesahkan RUU Ormas dalam Rapat Paripurna. Pemerintah tampak sangat memaksakan untuk ‘mengganti baju’ UU Ormas agar lebih cocok dengan iklim demokrasi saat ini. Namun Pemerintah dan DPR gagal menyadari bahwa bukan bajunya yang menjadi akar persoalan pelanggaran HAM tetapi keberadaan undang-undang inilah yang bermasalah. Mencopot baju UU Ormas tetap tidak akan membongkar gagasan pengekangan kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang melekat lewat pengontrolan Ormas. Berbagai substansi yang jelas-jelas melanggar HAM diloloskan oleh anggota Pansus yang berasal dari partai-partai yang dulunya merupakan sasaran UU ini. Sangat ironis, mereka yang dahulu menjadi masyarakat korban sekarang menjadi elit penguasa yang membangkitkan kembali instrumen pelanggar HAM masyarakat. Pada Pasal 2 RUU Ormas versi November 2012 misalnya, tentang asas Ormas adalah Pancasila dan UUD 1945, serta dapat mencantumkan asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Rumusan pasal ini seolah tidak mengandung persoalan, namun mengandung nasionalis semu. Pada saat penghargaan terhadap pluralitas Indonesia sangat rendah saat ini, persoalan akan terletak pada tingkat pelaksanaan. Mari kita simulasikan. Kelompok LGBT atau kelompok aliran kepercayaan akan menghadapi kesulitan menjalankan kemerdekaannya untuk berserikat dan berekspresi karena dianggap tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pasal 50 memuat berbagai larangan bagi Ormas yang potensial menjadi pasal karet bagi pelanggaran HAM masyarakat.[3] Organisasi seperti Pemuda Papua yang menolak penembakan warga sipil bisa saja menerima stigma sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan atau keselamatan RI, karena dianggap membela organisasi separatis. Organisasi buruh atau mahasiswa yang melakukan aksi mendapatkan represi dari aparat kemudian melakukan perlawanan bisa saja dianggap sebagai organisasi yang melakukan kekerasan atau mengganggu ketertiban umum. Organisasi antikorupsi yang mencoba menjerat pejabat korup bisa saja dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Bahkan dalam sidang Pansus RUU Ormas, secara gamblang mengemuka beberapa contoh organisasiyang dikategorisasikan sebagai organisasi yang dapat membahayakan keselamatan negara antara lain organisasi ICW, Kontras, WALHI, Greenpeace. Maka kepada organisasi-organisasi ini sangat mungkin menjadi organisasi terlarang karena melakukan kegiatan yang dilarang dalam UU Ormas. Organisasi yang menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerja sama internasional, badan PBB, funding agency, secara kelembagaan atau perorangan, bisa saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Organisasi sosial keagamaan akan dilarang untuk menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Hal ini berpotensi menyulitkan organisasi sosial keagamaan yang biasa menerima donasi tanpa identitas jelas.
4/8
Ketentuan tentang pendirian Ormas pun berimplikasi menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul menjadi hanya berbentuk “Ormas” (Pasal 8). Organisasi berbadan hukum Yayasan dan Perkumpulan, maupun organisasi yang tidak berbadan hukum, semua wajib daftar sebagai Ormas dan memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kementerian Dalam Negeri (Pasal 16), yang dapat diperpanjang, dibekukan, atau dicabut. ‘Penggantian baju’ RUU Ormas ini memberikan implikasi tekanan dan kerumitan administratif bagi pelaksanaan hak berserikat dan berkumpul. Pasal 16 mengatur pendaftaran bagi Ormas tidak berbadan hukum. Adanya pasal ini akan mengakibatkan sebuah kelompok pengajian ibuibu harus mendaftar ke Bupati/Walikota atau struktur pemerintahan di bawah Kemdagri demi untuk memenuhi kebutuhan melakukan pengajian bersama secara rutin. Mendaftar juga bukan perkara gampang. Serangkaian persyaratan harus dipenuhi mulai dari memiliki Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga atau akte pendirian yang dikeluarkan oleh notaris, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama kelompok pengajiannya, surat pernyataan bukan merupakan organisasi sayap partai politik, surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan, baru bisa mendapatkan SKT. Itupun jika kelompok pengajian tersebut lolos verifikasi. Apa yang bisa terjadi pada kelompok pengajian tersebut jika tidak memiliki SKT tapi tetap menjalankan kegiatan pengajian rutinnya? Kelompok tersebut akan mendapatkan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga dari pemerintah daerah setempat. Jika tidak diindahkan, pemerintah daerah bisa membekukan sementara tanpa melalui pengadilan. Jika pada masa pembekuan, kelompok tetap melakukan kegiatan maka pemerintah daerah bisa mengajukan pembubaran kepada Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung tergantung pada kedudukan kelompok tersebut. Sementara pada April 2012, Pemerintah telah menerbitkan Permendagri No. 33/2012 tentang Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan (Orkemas) dalam Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah sebagai turunan dari UU Ormas yang sedang direvisi. Isi Permendagri tak kalah mengerikan dengan RUU Ormas yang sedang dibahas oleh Pansus. Pengekangan ranah pemikiran melebar ke pemikiran yang dianggap kiri seperti marxisme, atheisme, dan sosialisme hingga pemikiran yang dianggap kanan yaitu kapitalisme. Permendagri ini juga terlihat mulai memaksakan ‘wajib SKT’ bagi Organisasi Masyarakat Sipil di berbagai kabupaten/kota. Ada kesan kuat Peraturan Mendagri ini menjadi payung hukum pengontrolan masyarakat sipil jika RUU Ormas tak jadi disahkan. Cara ini adalah metode lama untuk menjadikan hukum, terutama peraturan yang dikeluarkan oleh eksekutif, sebagai alat untuk melegitimasi pengontrolan kebebasan berserikat. RUU Ormas harus dicabut, bukan direvisi. Tidak seharusnya Pemerintah dan DPR memelihara rasa takut pada daya kritis masyarakat sehingga memaksakan pengaturan yang berpotensi melanggar HAM. Pengaturan sektor masyarakat harus dikembalikan pada kerangka hukum 5/8
yang benar, yaitu berbasis non anggota dengan UU Yayasan, dan berbasis anggota dengan RUU Perkumpulan yang saat ini telah berada dalam daftar Prolegnas.
Fransisca Fitri, Direktur Eksekutif YAPPIKA/Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat
6/8