MENCARI JATI DIRI URANG SUNDA (Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya WAHANA, Vol. 2 No. 3 Tahun 2008, ISSN 0854-5876)
Oleh:
Yuyus Rustandi
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PAKUAN BOGOR 2008
MENCARI JATI DIRI URANG SUNDA Berdasarkan latar belakang
mandiri yang terbebas dari pengaruh
sejarah, jati diri urang Sunda telah
kekuasan politik suku atau bangsa
terpengaruh dua politik kekuasaan,
lain.
yaitu kekuasaan feodalisme Mataram
kerajaan-kerajaan Sunda bertahta.
dan kolonialisme Belanda. Ke dua
Bukti-bukti
politik
dipahami
kekuasaan
tersebut
telah
Masa
atau
hal
zaman
tersebut
dalam
ketika
dapat
peninggalan-
memporak-porandakan jati diri urang
peninggalan seperti prasasti, carita
Sunda, serta begitu mendominasi
pantun, dan babad-babad lama yang
seluruh tatanan kehidupan termasuk
memuat wangsit, pandangan, dan
terhadap sikap dan perilaku selama
ajaran
beberapa
merupakan cerminan kepemimpinan
generasi.
Indikasi
hal
Kaprabon
Sunda
tersebut tampak bahwa hingga saat
panutan
ini urang Sunda bersikap ngelehan
sesungguhnya bukan kekuasaan yang
maneh
dipuja.
(mengambil
mengalah),
hal
demikian
langka adalah
berkat tempaan selama berabad-abad dari politik kekuasaan feodalisme dan kolonialisme.
(2001)
jati
diri
sesungguhnya masyarakat
Dalam
urang
nampak
Sunda
hidup
Sunda,
salah
satu
dan
carita
pantun, Prabu Siliwangi berkata kepada para mantrinya yang setia pada
Menurut Saikin Suriawidjaja
urang
yang
saat
jatuhnya
kritis
di
kerajaan
penghujung Pajajaran.
Sunda
Perkataan Sang Prabu menunjukan
sewaktu
sikap dan keteguhan dalam hal
secara
kehormatan
dan
kepahlawanan
walaupun
dalam
pemerintahan.
keadaan Hal
kritis
Berdasarkan tutur kata Prabu
tersebut
Siliwangi, pemimpin itu merupakan
merupakan gambaran ksatria yang
“pemanggul”
bertanggung jawab dan berani mati
dipimpin adalah yang “dipanggul”.
demi kehormatan, daripada harus
karakteristik
menyerah kepada siapapun.
memiliki
dua
kekuatan
jasmani
Sebagaimana seorang
Raja,
negara
Prabu
halnya
dalam
sifat
memimpin
Siliwangi
lebih
demokratis dan tidak feodalistis. Prabu Siliwangi merupakan cermin kepemimpinan,
bukan
cermin
kekuasaan. Walaupun seorang Raja, tetapi
sebagai
yang
pemaggul
harus
kekuatan, dan
yaitu
kekuatan
rohani. Sebagai seorang pemanggul yang memiliki jasmani lemah tentu tidak mungkin dapat memanggul sesuatu. Demikian pula pemimpin yang memiliki kelemahan rohani, akan kehilangan wibawa.
beliau
Ilustrasi
memiliki kekuasaan yang sangat
mengisyaratkan
terbatas. Kekuasaan tersebut dibatasi
kepribadian Prabu Siliwangi adalah:
oleh kekuasaan yang Maha Kuasa,
kesatria dan kepahlawanan, teguh
yang menguasai langit dan bumi
pendirian, harga diri yang tinggi,
serta
Beliau
penuh tanggung jawab, sepi ing
menjalankan tugas sebagai seorang
pamrih, jembar hati tidak pendendam
pemimpin
dan “sirik pidik”, serta sangat besar
segala
manusia
sementara
isinya.
diaplikasikan
dalam
bekerja tanpa pamrih, bukan bekerja demi
keagungan
pribadi
bahwa
di
atas
sifat-sifat
rasa kemanusiaan.
untuk
dipuja-puja rakyat dan banyak orang.
tersebut
Dari sifat-sifat kepribadian yang
ditunjukan
oleh
Prabu
Siliwangi
melambangkan
dipinang Prabu Hayam Wuruk untuk
kepemimpinan panutan urang Sunda.
dipersunting menjadi permaisurinya,
Oleh karena panutan-panutan urang
ketika
Sunda sangat ideal, maka sifat jati
Wuruk
diri urang Sunda dapat ditentukan
datang malah Patih Gajah Mada
sebagai
dan
dengan pasukan yang sangat lengkap
pendirian,
bermaksud membawa Diah Pitaloka
berikut:
kepahlawanan, harga
diri
ksatria
teguh
yang
tinggi,
penuh
untuk
menunggu
Prabu
menjemput
diserahkan
tetapi
kepada
Hayam yang
Prabu
tanggung jawab, sepi ing pamrih,
Hayam Wuruk. Tidak ayal Prabu
jembar hati tak dendam dan sirik
Wangi menolak menyerahkan Diah
pidik, besar rasa kemanusiaan, jujur
Pitaloka bagaikan “upeti”. Terjadilah
dan adil, arif dan bijaksana.
pertempuran yang tidak seimbang,
Dalam bahwa
sifat
kepahlawanan
sejarah
tergambar
ksatria
dan
Kaprabon
Sunda
tampak dalam pertempuran di Bubat atau “Perang Bubat” (1357M), ketika Prabu Wangi (Prabu Galuh) beserta seluruh
pengiringnya
yang setia
gugur bertempur demi kehormatan melawan pasukan Patih Gajah Mada yang lebih besar dan kuat. Prabu Wangi dan putrinya Citraresmi atau Diah Pitaloka yang pada saat itu
karena Prabu Wangi datang tidak untuk berperang, melainkan untuk melangsungkan pernikahan putrinya. Walau dengan persiapan seadanya Prabu
Wangi
beserta
seluruh
pengiring setianya bertempur “biar hancur jadi lebu, biar lantak jadi tanah” daripada harus menyerah kepada Patih Gajah Mada. Dalam pertempuran tersebut Diah Pitaloka ikut gugur bersama ayahnya dengan cara bunuh diri.
Dalam
pantun
diceritakan
susunan
pemerintahannya
pada saat burak Pajajaran atau
feodal.
“ngahiyang”,
Sunda
sangat mutlak, rakyat harus tunduk
kehilangan pemimpin panutan yang
kepada segala perintahnya. Budaya
menjadi pemersatu. Pemerintahan
feodalisme Mataram menempatkan
para Bupati masing-masing berdiri
penguasa pada puncak piramida
sendiri, tidak bersatu membentuk
kekuasaan, yang selalu harus diturut
pemerintahan
dan diagung-agungkan.
urang
pusat
yang
kokoh
untuk menjadi suatu kesatuan politis dalam bentuk suatu negara. Bupati Sumedang menjadi Wadana Bupati, yaitu kepala para Bupati walaupun kedudukannya
hanya
sebagai
“sesepuh” dan tidak melambangkan figur kepala pemerintahan.
Kekuasaan
para
sangat Bupati
Dengan semakin meresapnya budaya feodalisme Mataram, maka sifat dan perilaku budaya urang Sunda
menjadi
kental
dengan
formalitas feodalisme hingga ke jabatan.
Dengan
jabatan
yang
disandangnya seseorang mendapat
Oleh karena tidak adanya
status yang terhormat. Jabatan jadi
pemimpin panutan untuk dijadikan
idaman dan dambaan. Tidak heran
sosok pemersatu, maka para Bupati
kalau sekarang seseorang menjadi
berkiblat dan menyerap kekuasaan
sangat “kokoro manggih mulud”
feodalisme Mataram. Para Bupati
(mangpang-meungpeung) memegang
bertindak seperti halnya Raja yang
jabatan.
berkuasa, daerah kekuasaannya yaitu Kabupaten sebagai
disulap
tak
kerajaan-kerajaan
ubahnya kecil,
Dalam
menjalankan
pemerintahannya, Hindia Belanda melakukan
politik
paternalistik,
mengawinkan
kolonialisme
dan
jujur.
Kaum
menak
berprinsip:
Dari
“mangan karena halal, pake karena
kelas
suci, ucap, tekad, lampah sabenere;
“menak” (priyayi) yang menjadi
haram ngadahar duit anu henteu
pemasok birokrat kolonial. Kelas
kagawean sacukupna”. Jadi kelas
menak
kaum menak itu haram korupsi.
feodalisme perkawinan
gaya
Mataram.
tersebut
tersebut
lahir
keberadaannya
sangat eksklusif, menganggap kelas
Sifat-sifat
luhur
super, lebih tinggi dari “somah”
tersebut
sangat
(rakyat
terjadilah
terpengaruh sikap feodal dan hanya
undak-unduk basa dan tatakrama
diperuntukan bagi kalangan sendiri,
gaya
sikap dan perilaku terhadap kaum
jelata).
feodal
Maka
Mataram
untuk
membedakan menak dan somah.
kaum
menak
disayangkan
somah begitu berbeda.
Namun demikian sifat-sifat
Leluhur urang Sunda kiranya
kepribadian menak Sunda diuraikan
sudah mempunyai ketentuan tentang
oleh Dr. Nina H. Lubis dalam
manusia
Sunda
yang
disebut
karangannya:
“Manusia
Sunda
Ideal”
tersebut
“Kehidupan
Kaum
Menak Priangan”. Menak tersebut
dengan wangsitnya yang dituturkan
memiliki tabiat luhur, yaitu “teu loba
dalam Pantun, sebagai berikut: Hade
tingkah, teu adigung kumagungan,
laku lampahna, Rancage hatena,
hade basa, arif, adil, bersih hate dan
Surti lantip pikirna, Weruh semu nu
sinatria”. Seorang menak bersifat
saestuna, Ngarti kana wangi nu
sungguh-sungguh, tidak mau menang
sajatina.
sendiri,
tidak
mempertengkarkan
yang lurus, yang benar dan yang
DAFTAR PUSTAKA
Burger, D.H. Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Bharata Karya Aksara. 1983 Boeke, J.H. Pra Kapitalisme di Asia. Jakarta: Sinar Harapan. 1983 Edi S. Ekajati. Sunda, Nusantara, dan Indonesia. Pengkuhan Guru Besar di Universitas Pajajaran Herman Suardi. Respons Masyarakat Pedesaan Terhadap Modernisasi Produksi Pertanian, Terutama Padi. Yogjakarta: Gajah Mada University Press. 1976 Herman Suardi. Roda Berputar, Dunia Bergulir. Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung: Bakti Mandiri. 1999 Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: 1983 Karna Yudibrata. Bagbagan Makena Basa Sunda. Baandung: Rahmat Cijulang, 1990 Konferensi Internasional Budaya Sunda I, “Pewarisan Budaya Sunda di Tengah Arus Globalisasi”, Gedung Merdeka, Bandung, 22-25 Agustus 2001 Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia Widiasarana, 1993 Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia Widiasarana, 1994 Saini K.M. Pola-Pola Teater Dramatis Jawa Barat. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta, 1980 Umar Kayam. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan, 1981