151
MENCARI JATI DIRI PENDIDIKAN ISLAM (Analisis Pemikiran Pendidikan Abu A’la al-Maududi) Oleh: Nurhayati Dosen Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Email:
[email protected]
Abstrak Menurut Maududi, manusia merupakan hamba Allah yang diciptakan dengan dibekali berbagai potensi (kemampuan dan sifat dasar) yaitu al-sama‟ (pendengaran), al-bashar (penglihatan), dan al-fuad (akal pikiran). Sistem pendidikan yang benar haruslah berdaarkan al-Qur‟an dan al-Sunnah. Sedangkan nilai-nilai fundamental yang harus dijadikan acuan dasar sistem pendidikan Islam adalah meliputi; tauhid dan amar ma‟ruf nahi munkar. Tujuan pendidikan Islam haruslah selaras dengan tujuan risalah Islam, harus bersifat universal dan selalu aktual dalam segala zaman, Maududi mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dalam dua bagian, yaitu ilmu diniyyah dan ilmu dunyawiyyah. Ilmu diniyyah dipelajari berdasarkan al-Qur‟an dan al-Sunnah, sedangkan ilmu duniawiyyah dicapai berdasarkan kecerdasan dengan pendekatan ekperimental, observasi dan aplikasi. Maududi juga mengungkapkan ada tiga lembaga dalam pendidikan yang paling kompeten dan bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam, yaitu: keluarga, masyarakat dan pemerintah Kata Kunci : mencari jati diri, pendidikan Islam
Abstract According to Mawdudi, man is a servant of God who created and comes with a variety of potential (ability and nature), al-sama' (hearing), al-assad (vision), and al-fuad (mind). Good education system should base on al-Qur‟an and al-sunnah. While the fundamental values that should be used as a basic reference system of Islamic education is to include; monotheism and doing well and avoiding evil. The purpose of education should be aligned with the goals of Islamic message of Islam, should be universal and always actual in any age, Mawdudi classifies knowledge into two sections, namely; sciences of diniyyah and dunyawiyyah. Diniyyah sciences studied by the al-Qur'an and al-Sunnah, while science is based
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurhayati 152 intelligent of dunyawiyyah achieved with an experimental approach, observation and application. Mawdudi also revealed there are three educational institutions in the most competent and responsible for the successful implementation of Islamic education, namely: family, community and government. Keywords: finding identity, Islamic education A. Pendahuluan Pendidikan merupakan peradaban umat manusia untuk membangun masa depan umat yang berperadaban. Kontribusi pendidikan bagi pembentuk corak dan kualitas masa depan peradaban umat manusia tidaklah dapat dipungkiri. Pendidikan, hingga hari ini tetap diyakini sebagai wahana strategis untuk membuka wawasan dan memberikan informasi yang paling berharga mengenai makna dan tujuan hidup serta norma-norma yang harus dipeganginya, pendidikan juga membantu peserta didik dalam mempersiapkan berbagai kebutuhan yang esensial untuk menghadapi tantangan perubahan-perubahan pada masa depan dalam menciptakan keseluruhan visi kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan, apabila Islam, sebagai sistem ajaran yang komprehensif, sangat mengedepankan bidang pendidikan dalam kancah pergumulan dakwahnya. Secara historis, pendidikan Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M). Dalam periodesasi sejarah Islam, inilah periode yang disebut dengan era keemasan peradaban Islam (the golden age). Pada periode ini lembaga-lembaga pendidikan lahir bagaikan jamur di musim hujan demikian juga dengan lembaga-lembaga penterjemah yang diikuti dengan tersedianya perpustakaan-perpustakaan yang begitu menakjubkan sehingga melahirkan banyak tokoh dan karya monumental dalam dunia Islam. Pasca Abbasiyah, peradaban Islam memperlihatkan grafik yang menurun, bahkan, pasca kekhalifahan Turki Usmani, dunia Islam satu persatu jatuh dalam imperialisme Barat yang materialistik, kapitalistik dan eksploitatif. Negara-negara Islam benar-benar dalam posisi “terpimpin”, sehingga banyak sekali tata kehidupan masyarakat muslim dipengaruhi oleh imperialisme tersebut, dan bahkan diadopsi dari peradaban Barat yang sering kali dianggap modern. Apa yang dicapai dunia Barat dewasa ini memang memperoleh kemajuan yang mengagumkan secara kuantitatif, namun secara kualitatif ternyata sangat dangkal, gersang bahkan tandus dari nilai-nilai yang hakiki. Pengaruh peradaban Barat-modern yang sekular ini melanda berbagai segi kehidupan umat manusia, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Ringkasnya, dunia pendidikan Islam dilanda krisis. Pada satu sisi, sistem pendidikan tradisional terlihat kurang efektif untuk menghasilkan output yang siap bersaing dalam kancah dunia yang semakin
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
153 Mencari Jati Diri Pendidikan Islam kompetitif, dan pada sisi lain, sistem pendidikan Barat yang diadopsi begitu saja jelas tidak sesuai dengan dasar-dasar filsafat pendidikan Islam. Melihat kondisi obyektif dunia pendidikan Islam yang dilanda krisis tersebut, para tokoh pemikir muslim, baik secara kolektif maupun individual, berusaha untuk mencari solusinya dan berikhtiar mengadakan perbaikan-perbaikan di sana-sini dalam menemukan dan memformulasikan sistem pendidikan yang bisa menghasilkan sosok individu dan masyarakat muslim yang beriman, berakhlak berakhlak mulia, sehingga terwujud kehidupan umat manusia yang sejahtera di dunia dan di akhirat kelak. Untuk mencari solusi permasalahan di atas salah seorang tokoh pemikir muslim kontemporer menawarkan pemikiran alternatif untuk mengatasi krisis dalam dunia pendidikan Islam, yang berusaha mengembalikan dunia pendidikan yang serba kuantitas, ke dunia pendidikan Islam yang berkualitas dan membawanya ke nuansa-nuansa spritual. Tokoh tersebut adalah Abu al-A‟la Maududi, pendiri dan pemimpin benua India ini lebih dikenal dalam wacana dan diskursus politik. Akan tetapi, bukan berarti ia tidak memiliki gagasan-gagasan segar dalam bidang pendidikan. Untuk itu, pertanyaan yang ingin dicari jawabannya adalah bagaimanakah pemikiran Abu A‟la al-Maududi dalam mencari jati diri pendidikan Islam? Data-data yang mendukung jawaban atas pertanyaan inilah yang hendak penulis kemukakan dalam pembahasan ini, yang penulis tuangkan dalam sebuah judul penelitian yaitu “Mencari jati diri pendidikan Islam (analisis pemikiran pendidikan Abu A‟la Al-Maududi) B.
Pembahasan 1. Kehidupan dan Karya Abu A’la al-Maududi Abu A‟la Al-Maududi lahir di Aurangabad, India Tengah, pada 25 September 1903 M/ 3 Rajab 1321 H, dan meninggal pada 23 September 1979 M di New York, Amerika Serikat. Menurut Munawir Sadzali (1993:157-158) Maududi adalah keturunan syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) dari Delhi yang bermukim di Deccan dan keturunan wali sufi besar Tarekat Chishti yang turut berjasa dalam menyebarkan Islam di bumi India. Maududi berasal dari keluarga agamis yang taat menjalankan syari‟at Islam. Ayah Maududi, Sayyid Ahmad Hasan, meskipun pernah masuk Sekolah Tinggi Anglo-Oriental Muslim-nya Sayyid Ahmad Khan di Aligarh dan juga seorang pengacara, tetapi sangat menyukai tasawuf dan berusaha menciptakan lingkungan yang religius dan zuhud bagi pendidikan anak-anaknya. Pendidikan Maududi dimulai dari pendidikan keluarga yang kental dengan kultur syarif dan menerapkan sistem pendidikan klasik. Sejak kecil Maududi belajar membaca teks agama dan sastra kepada ayahnya. Setelah memperoleh pendidikan dasar di rumah, maka, pada usia sebelas tahun, Maududi mengikuti ujian masuk ke sekolah lanjutan Aurangabad, dan di sinilah ia, untuk pertama kalinya, mendapatkan pendidikan modern, khususnya sains, seperti ilmu kimia, ilmu alam, matematika dan sebagainya.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurhayati 154 Al-Maududi selain aktif dalam bidang jurnalistik, juga aktif dalam bidang pendidikan, politik praktis dan tulis-menulis. Di antara karya tulis Maududi adalah a. Risalah-I Diniyat b. Tafhim Al-Qur‟an (memahami Al-Qur‟an) c. Al-Jihad fi al-Islam d. Manhaj Jadid al-Tarbiyah wa al-Ta‟lim 2. Pokok-pokok Pemikiran Pendidikan Abu A’la al-Maududi Kendatipun Maududi telah menulis buku kecil tentang pembaruan sistem pendidikan dan pengajaran, Manhaj Jadid al-Tarbiyah wa al-Ta‟lim, namun pokok-pokok pikirannya tentang pendidikan tampak masih belum tertata secara sistematis, dan agaknya, gagasan-gagasannya mengenai persoalan-persoalan pendidikan Islam dapat ditemukan dalam beberapa karyanya yang lain. Oleh karena itu, pertama sekali harus disadari bahwa Maududi bukanlah tokoh pemikir ataupun ahli pendidikan Islam yang baik, yang mampu memformulasikan sistem pendidikan secara sistematis-teoritis seperti diisyaratkan dalam sebuah ilmu. Berikut ini hendak diuraikan pemikiran pendidikan Maududi dan hal-hal yang berkaitan dengannya dengan merujuk pada karyanya Manhaj Jadid alTarbiyah wa al-Ta‟lim dan tulisan-tulisannya yang lain, atau tulisan para candekiawan yang mengkaji pemikirannya serta tulisan para tokoh pendidikan Islam yang lain. Ini dilakukan untuk menjadi gambaran yang jelas dan utuh tentang konsep Maududi mengenai pendidikan Islam. a. Manusia dan Pendidikan Maududi tidak pernah memberikan definisi, baik secara etimologis maupun terminologis, tentang istilah pendidikan Islam, apalagi menjelaskan faktorfaktor pendidikan secara terperinci. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna pendidikan menurut Maududi, terlebih dahulu harus dikaji pandangan Maududi terhadap manusia. Sebab, sifat atau ciri yang sesungguhnya dari sistim pendidikan (Islam) dan perbedaannya dari sistim-sistim pendidikan lainnya hanya dapat dilihat dan dipahami secara semestinya apabila hakekat wujud manusia yang mendasarinya dianalisis secara cermat (Ali Ashraf,1986:51). Menurut Maududi, manusia merupakan hamba Allah yang diciptakan dengan dibekali berbagai potensi (kemampuan dan sifat dasar) yaitu al-sama‟ (pendengaran), al-bashar (penglihatan), dan al-fuad (akal pikiran) (Q.S. 17: 37). Ketiga istilah tersebut tidaklah berarti sekedar bisa melihat, mendengar dan berpikir. Menurut Maududi, al-sama‟ di sini berarti memelihara pengetahuan yang telah diperoleh dari orang lain. Al-bashar berarti mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian dan pengkajian, dan alfuad bermakna membersihkan ilmu dari segala keraguan dan memurnikannya (Maududi,1991:17-18).
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
155 Mencari Jati Diri Pendidikan Islam Lebih lanjut menurut Maududi, bila ketiga potensi tersebut diaktualisasikan dan difungsikan dengan maksimal, maka manusia akan mencapai derajat yang tinggi, mampu “menciptakan” bermacam-macam ilmu pengetahuan, sehingga mampu dan layak untuk menjadi pemimpin, dan oleh karena itulah, manusia, oleh Allah, diangkat sebagai wakil-Nya di muka bumi ini sebagai khalifatullah fi al-ardl. Untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya, manusia sangat membutuhkan bimbingan dan bantuan dari orang lain yang lebih mampu, atau bahkan bimbingan dari Tuhannya. Bimbingan dan bantuan yang seperti inilah yang disebut sebagai pendidikan. Dengan demikian, pada hakekatnya pendidikan adalah proses sekaligus upaya membimbing, membantu dan mengarahkan peserta didik agar mampu mengaktualisasikan kemampuan yang dimilikinya sehingga ia mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifatullah fi al-ardl. Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdikan dirinya kepada Allah, Penciptanya, dan sebagai khalifah-Nya, manusia diberi tugas untuk mengelola dan memakmurkan dunia. Secara lebih rinci, Maududi menjelaskan fungsi manusia sebagai berikut: Pertama, melakukan ibadah kepada Allah sebagai wujud penghambaan diri kepada Khaliqnya, baik ibadah umum maupun ibadah khusus, berupa pengamalan rukun Islam (Maududi,1988:105-107). Kedua, bertindak sebagai khalifah fi al-ardl. Berdasarkan bukti Qur‟ani manusia ditetapkan sebagai khalifah di bawah kondisi-kondisi tertentu. Pemegang jabatan ini praktis fungsinya bukan untuk melepaskan dirinya dari pengawasan Allah (Abdurrahman S.A, 1990: 50). Oleh karena itu, manusia sebagai khalifah harus mengakui Allah sebagai Tuhannya dan harus mengikuti petunjuk-petunjukNya dalam segala segi kehidupan, dan sikap yang bertentangan dengan petunjukNya niscaya akan membawa ke jurang kesesatan (neraka). Ketiga; sebagai khalifah, manusia bertugas membentuk sistem masyarakat dalam semua aspek kehidupan untuk menjembatani segala kebutuhan antar sesamanya, sekaligus sebagai manifestasi kesadaran manusia yang berada di bawah bimbingan Tuhan (Fazlurrahman,1885:16). Tegasnya, menurut Maududi, Islam mensyari‟atkan bahwa alam semesta ini, termasuk di dalamnya manusia, pada hakekatnya adalah milik Allah. Apabila manusia dengan segala bentuk dan fitrahnya mau menyadari bahwa kelahiran dirinya adalah sebagai hamba milik Allah dan berada di bawah kekuasaan-Nya, niscaya ia taat kepada-Nya. Dan oleh karena itu, manusia tidak memiliki hak untuk menentukan sendiri cara hidup dan kewajibannya melainkan harus mengikuti petunjuk-Nya berupa wahyu yang dibawakan para rasul-Nya. Figur manusia yang diharapkan dapat memenuhi kriteria tersebut hanya mampu dihasilkan melalui sistem pendidikan yang berdasarkan al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah (Maududi,1984:22-27).
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurhayati 156 b. Dasar pendidikan Menurut Maududi, sistem pendidikan yang benar haruslah berdasarkan alQur‟an dan al-Sunnah. Sedangkan nilai-nilai fundamental yang harus dijadikan acuan dasar sistem pendidikan Islam adalah meliputi tauhid dan amar ma‟ruf nahi munkar. Essensi tauhid terkandung dalam kalimat: La ilaha illa Allah, tiada Tuhan kecuali Allah. Di sini, kata ilah dapat diartikan menyerahkan atau menitipkan diri supaya selamat dan terjamin. Sedangkan untuk mendapatkan keselamatan dan jaminan itu ada imbalannya (Maududi,1981: 2). Dengan menyitir kitab al-Hadlarah al-Islamiyah karya Maududi, Abdurrahman al-Nahlawy menjelaskan bahwa pentingnya iman sebagai salah satu dasar pendidikan Islam, antara lain karena; a) beriman menurut bahasa seperti mengendapnya sesuatu dalam benak seseorang lalu membenarkan dan meyakininya. Jika terjadi pengendapan, pengendapan dan keyakinan ia tidak akan khawatir disusupi oleh hal yang bertentangan dengan keyakinannya; b) jika iman sudah kuat maka perilaku manusia akan berdasar pikiran yang telah dibenarkan dan diyakininya. Pendidikan yang didasarkan pada tauhid dan keimanan lebih uatama dibanding dengan pendidikan yang tidak didasarkan darinya. Bahkan, pendidikan Islam tidak akan ada artinya apabila dasar tauhid itu hilang dari tempatnya (AlNahlawy,1989:118-119). Dasar pendidikan Islam kedua adalah amar ma‟ruf nahi munkar. Hakekat tujuan pendidikan Islam adalah untuk membimbing manusia agar mentaati syari‟at Allah. Menurut Maududi, tujuan utama dari syari‟at Allah ialah membangun kehidupan manusia berdasarkan ma‟rufat (kebijakan) dan membersihkannya dari munkarat (kejahatan). Syari‟at memberikan suatu pandangan yang jelas tentang ma‟rufat dan munkarat inilah yang dinyatakannya sebagai norma-norma yang kepadanya perilaku seseorang dan masyarakat harus disesuaikan, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan (Al Maududi,1983:21-22). Dari sini, apabila ditarik dalam perspektif pendidikan Islam, maka dalam seluruh proses pendidikan mulai dari penyusunan program, teori, kurikulum, metodologi serta praktik di lapangan serta dan proses evaluasi pendidikan, harus mencerminkan pengejawantahan konsep ma‟rufat dan munkarat yang terintegrasi dalam konstruk ahkam al-khamsah. c. Tujuan Pendidikan Pada prinsipnya tujuan pendidikan Islam haruslah selaras dengan tujuan risalah Islam, sejalan dengan tujuan syari‟at Islam harus bersifat universal dan selalu aktual dalam segala zaman, sebagaimana selalu aktualnya ajaran Islam, sehingga tujuan syari‟at Islam yang hendak mewujudkan rahmatan li al-alamin benar-benar dapat direalisasikan. Bertolak dari surah an-Nur ayat 35, Maududi memberikan paparan yang cukup singkat tetapi jelas tentang inti tujuan pendidikan Islam, yaitu berusaha untuk membimbing peserta didik agar mampu memahami cahaya Allah, baik yang
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
157 Mencari Jati Diri Pendidikan Islam berupa wahyu Ilahi (al-Qur‟an dan Sunnah Nabi; ayat-ayat Qur‟aniyah) maupun Sunatullah (hukum alam; ayat-ayat Kauniyah), sebagai jembatan menuju suksesnya misi kekhalifahan manusia di muka bumi (Maududi,1985:186). Dari sini dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan, menurut Maududi adalah membentuk kepribadian manusia (peserta didik) yang sanggup dan mampu menjadikan pemimpin, menjadi khalifah Allah di bumi ini. Kriteria pribadi manusia yang berhak dan mampu menjadi khalifah Allah adalah manusia yang memahami hukum-hukum Allah, baik yang tertulis dalam Al-Qur‟an dan Hadis Sahih maupun yang terpancar pada Sunnatullah. Pemahaman terhadap Al-Qur‟an dan Hadis melahirkan berbagai jenis “ilmu agama” sedangkan pemahaman terhadap Sunnatullah melahirkan bermacam-macam ilmu pengetahuan modern, “ilmu umum”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan (Islam), menurut Maududi adalah membentuk sosok pribadi muslim yang berwawasan modern, yaitu muslim yang beriman, bertaqwa, dinamis dan kreatif dalam mewujudkan tata kehidupan masyarakat, serta berakhlak mulia. Sosok pribadi yang demikian inilah yang menurut Maududi dipandang mampu mempengaruhi tata kehidupan sosial masyarakatnya menuju terwujudnya masyarakat yang Islami, yaitu masyarakat yang penuh kesadaran taat menjalankan syari‟at Islam. Terwujudnya masyarakat Islami inilah sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari kegiatan pendidikan Islam secara keseluruhan. d. Kurikulum Pendidikan Material utama pendidikan adalah ilmu pengetahuan. Menurut Maududi, tujuan utama manusia mencari ilmu pengetahuan adalah untuk taat kepada Allah SWT. Dengan ilmu tersebut manusia dapat memahami mana jalan yang benar untuk mengharap ridha Allah, serta mana jalan yang salah dan sesat untuk mendatangkan murka Allah. Menyadari begitu pentingnya ilmu bagi kehidupan muslim, maka pencarian dan penerimaan ilmu pengetahuan bagi manusia hendaknya mampu mencapai derajat keyakinan dan kepastian, sehingga dapat mendatangkan iman yang sebenarnya, dimana konsekuensi dari iman ini adalah hendaknya manusia menjadi muslim, yaitu tunduk dan patuh pada peraturan Allah. Oleh karena itu, pencarian ilmu yang digunakan oleh akal manusia tidak boleh lepas dari, dan harus berada dalam, bimbingan wahyu Tuhan, sebab kebenaran yang dicapai akal manusia hanyalah relatif, hanya mencapai derajat dan, dugaan saja. (Maududi, 1991:26-27) Dengan demikian, Maududi membenci dan menolak rasionalisme murni. Sebab, paham semacam ini sangat berbahaya dan semakin sepaham dengan peradaban Barat yang serba empirik dan materialistik. Maududi mengkritik Barat dengan mengatakan bahwa Barat tidak mengikuti direksi rasionalisme maupun kepastian-kepastian yang ditetapkan secara logis dan berdasarkan hati nurani, tetapi justru mengikuti kesimpulan-kesimpulan yang dibuat berdasar materialism-empiris
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurhayati 158 dan menjadikannya sebagai tolak ukur kebenaran segala sesuatu, kemudian mencampakkan inspirasi natural dan petunjuk-petunjuk yang diberikannya untuk kemudian mengikuti kepentingan materialistik dalam semua aspek kehidupan. (Maududi, 1985:145-146). Maududi mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dalam dua bagian, yaitu ilmu Diniyyah dan ilmu Dunyawiyyah. Ilmu Diniyyah dipelajari berdasarkan AlQur‟an dan Sunnah. Kandungan ilmu pengetahuan dalam al-Qur‟an, menurut Maududi, dibagi dalam dua bagian, pertama; berdasarkan persoalan yang berada di luar jangkauan akal, yaitu hal yang tidak mungkin kita tetapkan benar-tidaknya secara pasti, dan untuk ini al-Qur‟an menyampaikan seruan pada manusia agar beriman pada hal-hal ghaib, kedua; berkaitan dengan persoalan yang berada pada jangkauan akal, yaitu hal-hal seputar prinsip filsafat, pensucian jiwa, dan tata tertib kehidupan umat manusia dalam Islam. Sedangkan ilmu Dunyawiyyah dicapai berdasarkan kecerdasan dengan pendekatan ekperimental, observasi dan aplikasi. Kedudukan ilmu-ilmu Dunyawiyyah ini memperkokoh kekafahan Islam yang rahmatan li al-„alamin (Maududi, 1985:167). Kendatipun Maududi membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu Diniyyah dan ilmu Dunyawiyyah, namun Maududi tidak memisahkan kedua ilmu tersebut. Sebab, menurutnya semua ilmu yang dicapai oleh seseorang , pelajar, mahasiswa atau yang lainnya, adalah ilmu Allah semata (Maududi, 1991: 45). Lebih lanjut Maududi menjelaskan bahwa sesungguhya pembagian ilmu menjadi “ilmu agama” dan “ilmu umum” (keduniaan) adalah didasarkan pada pemikiran yang sengaja memisahkan antara dunia dan agama. Pemikiran semacam ini benarbenar sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, agama menurut pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dengan dunia. Dan alam semesta ini adalah milik Allah, dan manusia yang hidup di dalamnya harus hidup sesuai dengan kehendak dan ajaran-ajaran-Nya. (Maududi,1991:43-44). Dalam pada itu, untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang dicitacitakannya, yaitu membentuk pribadi muslim yang sanggup menjalankan tugas khalifah fi al-ardl, Maududi menawarkan format dan struktur kurikulum yang boleh dikatakan yang sangat ideal, yaitu kurikulum yang menyatukan ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum (modern), atau ilmu Diniyyah dan ilmu Dunyawiyyah, dan bukan sekedar mendampingkan dua jenis ilmu yang selama ini dipisahkan itu (Maududi,1991:43). Penting untuk ditegaskan pula bahwa “ilmu umum” atau ilmu Dunyawiyyah yang dimasukkan dalam kurikulum yang ditawarkan Maududi bukanlah ilmu-ilmu umum yang “diciptakan” Barat, yang selama ini diadopsi begitu saja oleh para ahli dan praktisi pendidikan Islam. Menurut Maududi, ilmuilmu umum yang diciptakan Barat itu bersifat sekular, tidak didasarkan pada prinsip bahwa pencipta, pemilik dan pengatur alam semesta ini adalah Allah, tidak mengakui bahwa semua kejadian di alam semesta ini adalah bukti adanya kekuasaan dan kehendak Allah, sehingga ilmu-ilmu tersebut tidak dapat membekali dan mengarahkan pesrta didik untuk bertauhid (Maududi,1991:45-47). Oleh karena
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
159 Mencari Jati Diri Pendidikan Islam itu, menurut Maududi lebih lanjut, ilmu-ilmu umum yang diajarkan di lembagalembaga pendidikan Islam adalah ilmu-ilmu umum yang telah “diislamisasikan”, yaitu dengan mengganti atau merubah paradigm Barat dengan paradigm Islami, yakni cara berpikir dan cara pandang yang didasarkan pada konsep tauhid. Ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum seperti yang disebutkan di atas itulah yang disusun dan diformulasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, dan secara gradual diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam mulai dari lembaga pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Dalam karyanya berjudul Nahnu wa al-Hadlrah al-Gharbiyyah, Maududi menyebutkan materi pokok yang harus dimasukkan dalam kurikulum lembaga menengah dan tinggi. Untuk pendidikan menengah, minimal harus membuat materi: aqidah, akhlak, bahasa Arab, tarikh Islam, dan al-Qur‟an. Materi pokok yang harus diberikan pada tingkat akademi mencakup: al-Qur‟an, bahasa Arab, kapita selekta Islam. Sedangkan materi pokok pendidikan tingkat universitas meliputi: al-Qur‟an, Hadis, yurisprudensi, sejarah Islam, teologi, ekonomi, politik, perbandingan agama, bahasa Arab, dan bahasa asing lainnya, seperti Jerman, Perancis, Inggris dan lainlain (Maududi,1985:313-315). Kurikulum pendidikan yang dirancang Maududi tersebut tidak bisa disebut sekular ataupun juga tidak religius dalam pengertian yang sempit. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghasilkan sarjana-sarjana muslim yang berwawasan luas, yang mampu mendakwahkan ajaran Islam dalam pengertian modern. Dan mampu melaksanakan dan mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam tata kehidupan social masyarakat yang dinamis. Pokok pikiran penting lainnya yang juga dikemukakan Maududi dalam kaitannya dalam kurikulum ini adalah gagasannya tentang spesialisasi keilmuan. Maududi sangat menonjolkan spesialisasi keilmuan (Maududi,1991:49). Dengan spesialisasi itulah manusia dapat diketahui jati diri maupun potensi yang sebenarnya. Spesialisasi ini mendapat tempat yang terhormat dalam Islam. Spesialisasi juga menunjukkan tingkat keterbatasan manusia dalam menguasai ilmu Allah yang tidak terbatas. Apabila dalam prakteknya pendidikan formal dilaksanakan oleh lembaga sekolah yang berjenjang dari tigkat dasar, menengah, dan tinggi, maka menurut Maududi, bahwa kepada siswa sekolah dasar dan menengah hendaknya diberi pelajaran ilmu-ilmu agama, dan sebagian ilmu-ilmu umum yang telah dikonstruk sesuai dengan paradigma Islam. Misalnya, para siswa belajar hal-hal yang penting mengenai sejarah manusia dan kehidupannya, bumi dan alam semesta yang ditinjau dari sudut Islam. Juga diajarkan bahasa nasional, bahkan mereka harus sudah fasih berbicara dengan bahasa nasionalnya. Mereka juga harus belajar bahasa asing seperti bahasa Arab dan Inggris, guna menopang studinya dimasa mendatang (Maududi, 1991:49-50). Selanjutnya, pada pendidikan tinggi yang memrlukan waktu enam atau tujuh tahun, para mahasiswa harus sudah mulai diarahkan pada jurusan studi tertentu sesuai dengan pilihannya sndiri. Dengan demikian, pada akhirnya mereka
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurhayati 160 benar-benar memiliki keahlian dalam bidang ilmu tertentu. Misalnya, jurusan filsafat, jurusan sejarah filsafat, jurusan ilmu social dan kemasyarkatan , jurusan ilmu alam, dan lain-lain. Pada jurusan filsafat, misalnya, para mahasiswa sudah mulai mempelajari Al-Qur‟an agar dapat memanfaatkan sarana-sarana yang bisa digunakan untuk menyingkap hal-hal yang masih tersembunyi, agar mengetahui batas kemampuan akal, dan seterusnya. (Maududi,1991:50-57) e. Lembaga Pendidikan Mengenai siapa dan lembaga-lembaga manakah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan, Maududi mengungkapkan bahwa ada tiga lembaga yang paling kompeten dan bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam. Ketiga lembaga tersebut saling terkait: 1). Keluarga Keluarga merupakan lembaga yang paling siap bertanggung jawab mempersiapkan generasi berbakti kepada Allah dan taat kepada tata peradaban manusia dan melaksanakan kewajiban yang jujur, hidmat, dan penuh semangat. Lembaga keluarga tidak hanya membentuk kader-kader yang sanggup memlihara peradaban Islam, tetapi juga mengembangkannya. Dengan demikian, ada harapan bahwa generasi yang akan menggantikannya pada masa depan kan lebih baik dari generasi mereka sendiri. 2). Masyarakat Tujuan asasi dari pendidikan masyarakat ini bukanlah untuk suksesnya masyarakat dan ksejahteraannya, tetapi untuk suksesnya individu (anak didik). Oleh karena itu, ukuran yang sebanarnya dari suatu sistem sosial ialah sampai sebatas manakah sistem sosial itu mampu mendorong individu dan memupuk bakat serta kecakapan pribadi mereka. Jadi, tanggung jawab masyarakat adalah bagaimana masing-masing anggota masyarakat itu mampu menciptakan sistem masyarakat sehingga mendororng masing-masing anggota masyarakat untuk mendidik dirinya sendiri dan agar bersedia mendidik anggota masyarakat lainnya. (Syahminan, 1986:138-139). 3). Pemerintah Menurut Maududi, pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam pendidikan, sebab pemerintahlah yang membuat undang-undang pendidikan serta segala kebijakan pelaksanaan pendidikan, yang semua itu pengaruhnya sangat kuat dan luas serta menentukan sistem pendidikan yang diberlakukan. Maka pemerintah harus benar-benar menekankan pentingnya pemberian pendidikan moral terutama pada lembaga-lembaga yang menyediakan pegawai-pegawai pemerintah, seperti lembaga yang khusus melatih tentara, anggota polisi atau pegawai sipil, agar dalam menjalankan tugas mereka selalu diwarnai oleh etika Islam yang telah menyatu dengan pribadi mereka. Sehingga dengan demikian
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
161 Mencari Jati Diri Pendidikan Islam mereka takut melakukan pelanggaran, karena selalu merasa diawasi oleh Yang Maha Mengetahui. (Maududi. 1965:16) C. Penutup Konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Maududi banyak terkesan idealis, bahkan cenderung utopis. Namun demikian, gagasan dan langkah-langkah yang ditawarkannya sangat menarik untuk didiskusikan dan ditindaklanjuti dalam praktek nyata. Misalnya, pemikiran Maududi mengenai perlunya islamisasi ilmuilmu umum, yang selama ini di adopsi dari Barat, yang hendak dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Islam, adalah sebuah gagasan besar yang untuk mengkonkritkannya membutuhkan pemikiran dan tenaga yang jauh lebih besar. Menyikapi pemikiran-pemikiran Maududi tersebut, penulis selalu berpandangan bahwa pemikiran seseorang adalah merupakan produk sejarah, seorang tokoh adalah anak zamannya. Oleh karena itu, produk-produk pemikiran yang dihasilkannya, juga pemahaman atas produk pemikiran tersebut, tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan konteks zamannya, konteks sosio-historis yang melingkupinya. Begitu halnya dengan pemikiran pendidikan Maududi. Boleh jadi pemikiran yang ditawarkannya sudah cukup tepat dan efektif untuk mengatasi krisis dan memajukan pendidikan Islam di negaranya pada ketika itu. Pertannyaan yang mungkin diajukan adalah, realistis dan cukup efektifkah pemikiran-pemikiran Maududi tersebut diterapkan dan dijadikan solusi untuk mengatasi persoalanpersoalan pendidikan Islam di Negara kita (Indonesia), atau mungkin di Negaranegara Islam lainnya? Agaknya masih sangat diperlukan diskusi atau lokakarya untuk menemukan jawabannya.
Daftar Pustaka Al-Nahlawy, Abdurrahman. (1989). Prinsip-prinsip Dasar Metode Pendidikan Islam. terjemahan H.M. Dahlan, Bandung: Diponegoro. Ashraf, Ali. (1986). The Crisis of Islamic Education. terjemahan R. Astuti, Bandung Risalah. Fazlurrahman. (1985). Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual. terjemahan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka. Hasan, Ibrahim. (1965). Tarikh al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdhah alMishriyyah, 1965. K. Hitti, Philip. (1968). History of The Arabs. London: The Macmillan Press Ltd. Maududi, Abu al-A‟la. (1991). Manhaj Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta‟lim, alih bahasa Judi al-Falasani, Pembaharuan Sistem Pendidikan dan Pengajaran, Solo: Rahmadani. -------. (1981). Bagaimana Memahami Al-Qur‟an. terjemahan Abdullah Said Surabaya: al-Ikhlas.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurhayati 162 -------. (1983). Islamic Way of Life. terjemahan Mashuri Sirajudin. Bandung: Sinar Baru. -------. (1984). Mujaz Tarikh Jajdid al-Din wa Ihyaih. terjemahan Dadang Kahmad, Bandung: Pustaka. -------. (1985). Nahnu wa al- Hadlarah al-Gharbiyyah. terjemahan Afif Muhammad, Bandung: Pustaka. -------. (1985). Peranan Pelajar dalam Membangun Masa Depan Dunia Islam. terjemahan A. Munajat, Banten: al-Ham. --------. (1998). Principles of Islam. terjemahan A. Suhaili. Bandung: al-Ma‟arif. Rahnema Ali (Editor). (1995). Pioneers of Islamic Revival. Terjemahan Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan. S.A., Abdurrahman. (1990). Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur‟an. terjemahan H.M. Arifin Jakarta: Rineka Cipta. Syadzali, Munawir. (1993). Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press Syalaby, Ahmad. (1978). Mausu‟ah al-Tarikh al-Islam wa al-Hadlarat alIslamiyah. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah. Zaeni, Syahminan. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta Kalam Mulia.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
163
SYNTACTIC DIFFERENCE BETWEEN DINAMIC AND STATIVE VERBS IN ENGLISH Oleh: Zainuddin Hasibuan Dosen Prodi Bahasa Inggris Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Email
[email protected] Abstrak Penelitian ini berjudul tentang „perbedaan sintaksis antara kata kerja dinamik dan kata kerja statif dalam bahasa inggris‟ dan ini merupakan penelitian pustaka berupa peneletian kualitatif yang hasilnya bisa dibuktikan dengan sejumlah pembahasan dengan menggunakan bahasa sebagai alat pembuktiannya. Ada beberapa alasan mengapa si penulis melakukan penulisan ini: penulis menganngap topik ini sangat menarik untuk dibahasa karena kata kerja dinamik dan kata kerja statif memiliki peranan yang sangat penting dalam struktur kalimat bahasa Inggris dan mereka memiliki fungsi yang berbeda dalam kalimat. Kemudian topik ini belum pernah di bahas oleh peneliti bahasa Inggris sebelumnya sehinnga penulis memiliki kesempatan untuk menelitinya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada berapa perbedaan sintaksis penggunaan kata kerja dinamik dan kata kerja statif dalam bahasa Inggris dan bagaimana pula perbedaan bentuk sintaksis kata kerja dinamik dan kata kerja stative itu dalam kalimat. Adapun hasil penelitian yang ditemukan setelah melakukan penelitian yaitu bahwa kata kerja dinamik bisa digunakan dalam kalimat progressive sedangkan kata kerja statif tidak bisa digunakan, kata kerja dinamik bisa digunakan dalam kalimat pasif sedangkan kata kerja statif tidak bisa, kata kerja dinamik bisa digunakan pada kalimat yang menyatakan mencoba dan kata kerja statif tidak bisa, kata kerja dinamik bisa diikuti oleh kata keterangan dan kata kerja stativf tidak bisa, kata kerja dinamik bisa menyatakan kegiatan dan kata kerja statif tidak bisa, kata kerja dinamik bisa menyatakan proses dan kata kerja statif tidak bisa, kata kerja dinamik bisa menyatakan kejadian tapi kata kerja statif tidak bisa, kata kerja dinamik menyatakan perasaan tapi kata kerja statif menyatakan inertia, dan kata kerja statif menyatakan proses hubungan sedangkan kata kerja dinamik tidak. Jadi sekali lagi penelitian ini sangat penting sekali untuk dilakukan. Kata kunci: syntactic, kinds of verbs, dinamic verb, stative verb, sentences.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Zainuddin Hasibuan
164
Abstract This research is entitled about „Syntactic differences between dinamic and stative verb in English‟ (A Library Research). There are some reasons why the writer chooses the topic as the subject matter of this research: The writer is interested in the topic because of its significant in English structure as dinamic verbs and stative verbs have opposite functions. The topic has never been analysed by any other researcher of English departement as the points of their researches, and therefore, it is an opportunity for him to take it up as the subject matter of his research. The objective of the research that the writer took based on the problem of the research are as follow: To know the syntactic difference between dinamic and stative verbs in English language.To find out many kinds of syntactic differences between dinamic and stative verbs in English. The result of the research constitutes the main chapter which analysis syntactic differences between dinamic and stative verbs in English. The writer have found ten differences between dinamic verb and stative verb. Firstly, DV can be used in the progressive form but SV cannot. Secondly, DV can be used in passive but SV cannot. Thirdly,DV can be used with try to construction but SV cannot. Fourthly, DV can be modified by such adverbs as purposely, carefully, slowly, etc. but SV cannot.Fifthly, DV indicates activity but SV does not. Sixthly, DV implies a process but SV does not. Seventhly, DV indicates transitional event but SV does not. Eightly, DV indicates momentary event but SV does not. Ninethly, DV indicates keeness but SV indicates inertia.The last one, SV indicates relational process but DV does not. Keywords: syntactic, kinds of verbs, dinamic verb, stative verb, sentences. I. INTRODUCTION A verb is a „doing‟ word – a word that expresses an action (Todd, Loreto. 1987:55). A verb is a word that tells or asserts sometrhing about a person or thing (Wren an Martin. 1990:55). A verb is a word used to say something about some person, place, or thing. The property of verb is quite vast, and therefore, the discussion in this thesis focuses only on a syntactic differences between dinamic verb and stative verb in English. But distinctions between verbs need to be drawn not only in relation to object–and complement–types but also in relation to whether they themselves admit the aspectual contrast of „progressive‟ and „non-progressive‟. Thus it is possible to say John carefully searched the room. Or John was carefully searching the room. (sentence 1). And the sentence It rained steadily all
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
165 Syntactic Difference Between Dinamic And Stative Verbs In English day. or It was raining steadily all day. (sentence 2). But it is not possible to use the progressive in The girl likes soup become *The girl is liking soup (sentence 3). And the sentence John knew the answer become *John was knowing the answer (sentence 4). When verbs ( either habitually or in certain uses ) will not admit the progressive, as in (3) and (4), they are called stative. When they will admit it, as in (1) and (2), they are called dinamic. It is normal for verbs to be dinamic and only a few of them are stative. This topic is very significant to analyse, because dinamic verbs and stative verbs have opposite functions. The topic is absolutely interesting to analyse and important for students of English departement to understand as it covers a large number of syntactic aspects. There are some reasons why the writer chooses the topic as the subject matter of this research.The writer is interested in the topic because of its significant in English structure as dinamic verbs and stative verbs have opposite functions.To improve the writer‟s knowledge, the writer will try to research such a clear description of syntactic differences between dinamic verb and stative verb in English supported by some examples as found in this research.The topic has never been analysed by any other researcher of English departement as the points of their researches, and therefore, it is an opportunity for him to take it up as the subject matter of his research. The major purpose of this sudy is to provide as clear as possible various forms of verb, and the differences between dinamic verb and stative verb in English. Furthermore, this thesis can hopefully be used as a reference for thosewho want to learn the matter more. This study is also expected to motivate other students to discuss other topics in the field of linguistics and translation. Another purpose of this study is to give contribution to the literature of linguistics and translation so that the learners of English may take some advantages from this work, in terms of various problems and aspects found in dinamic verb and stative verb in English. Finally, the writer really hopes that this research will be able to serve as a source of information for all learners of the English departement especially for those who are interested in the study of English structure. II. Description About Dinamic Verb and Stative Verb In English A. Dinamic Verb Dinamic verbs describe things that happen within a limited time, things which have a definite beginning and end. Come, bring, buy, get, learn, listen and watch would all be examples of dinamic verbs. These verbs may be used in both progressive and simple forms. So, a verb is said to be dinamic if it admits the progressive and the passive forms. Verb and adverb can be equally naturally characterized as „dinamic‟: Most abviously verbs which are fitted (by their capacity to show tense and aspect, for example) to indicate action, activity, and temporary or changing conditions. The progressive occurs only with dinamic verb (or more accurately, with verbs in
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Zainuddin Hasibuan
166
dinamic use). The dinamic verbs fall into five classes. They are activity verbs, process verbs, verbs of bodily sensation, transitional event verbs, and momentary verbs. A dinamic predicate reports a situation that will continue if there is a continual input of energy, but it ceases when energy is no longer expended. Dinamic verbs include those that express some form of physical movement: come, drift, float, go, hop, jump, pound, rotate, run, swim, turn, vibrate, walk. Verbs of communication: argue, complain, discuss, explain, invite, question, report, say, shout, talk, translate, whisper, write.Verbs of perception that involve doing something: fell, listen, look at, look for, smell, sniff, taste, watch. Therefore, based on the explanation above we may say that the dinamic verbs fall into five classes. They are activity verbs, process verbs, verbs of bodily sensation, transitional event verbs, and momentary verbs. Both activity and process verbs are frequently used in progressive aspect to indicate incomplete event in progress. B. Stative verb A stative verb is one that asserts that one of its arguments has a particular property (possibly in relation to its other arguments). Statives differ from other aspectual classes of verbs in that they are static; that is, they have undefined duration. Verbs that are not stative are often called dinamic verbs. Stative verbs describe states or conditions which continue over a period of time, so like, love, hate, want, need, hear and see would all be examples of stative verbs. These verbs are not normally used in the progressive form. A stative predicate, according to Comrie (1976):49), reports a state that requires no expenditure of energy and that continuous untill energy is expended to change that state. A stative predication relates a situation that does not change during the time when the predication is valid. Verbs that express feeling: abhor, adore, desire, enjoy, envy, fear, hate, like, long for, mind, prefer, regret, want, wish. Verbs that express other mental states: believe, doubt, expect, intend, interest, know, suppose, suspect, think, understand.Verbs that express a relation between two entities: belong, consist, contain, costs, deserve, equal, fit, include, involve, keep, lack, matter, mean, need, owe, own, remain, require, resemble.Verbs that express a physical stance or position: kneel, lean, lie, sit, stand.Verbs that express non-action: remain, stay, wait. Stative verb is a verb which is associated with state not dinamic activity and such a verb cannot be used in passive or progressive tense. They are called stative. Broadly speaking, nouns and adjectives can be characterized naturally as „stative‟: thus, noun referring to entities that are regarded as stable, whether these are concrete (physical) like house, table and paper, or abstract (of the mind) like hope, botany, and length. The stative verbs which disallow the progressive, can be seen as belonging to one of two classes.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
167 Syntactic Difference Between Dinamic And Stative Verbs In English III. Data Analysis and Research Finding A. Data Analysis In this chapter, the researcher tried to describe the research analysis and research finding that has been found in it. There are ten syntactic differences between dinamic and stative verbs found in this analysis. They are as the following table 1.1. NO.
Syntactic forms of Dinamic Verbs (DV)
Syntactic Forms of Stative Verbs (SV)
1
DV can be used in the progressive form.
SV cannot be used in the progressive form.
2
DV can be used in passive form.
SV cannot be used in passive form.
3
DV can be used with try to construction.
SV cannot be used with try to construction.
4
DV can be modified by such adverbs.
SV cannot be modified by such adverbs.
5
DV indicates activity.
SV does not indicate activity.
6
DV implies a process.
SV does not imply a process.
7
DV indicates transitional event.
SV does not indicate transitional event.
8
DV indicates momentary event.
SV does not indicate momentary event.
9
DV indicates keeness
SV indicates inertia.
10
DV does not indicate relational process.
SV indicates relational prosess.
Based on the table 1.1 above we may say that there are ten syntactic difference between dinamic and stative verbs in English. To know more about the description about it the writer will explain as the following:
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Zainuddin Hasibuan
168
1. DV can be used in the progressive form but SV cannot. As described in chapter two, DV can be used in the progressive form but SV cannot. A verb is said to be dinamic if it admits the progressive and the passive forms. The progressive occurs only with dinamic verbs (or more accurately, with verbs in dinamic use). The present progressive refers to a future happening anticipated in the present time. Its basic meaning is „fixed arrangement, plan, or programme‟. The dinamic verbs fall into five classes. They are activity verbs, process verbs, verbs of bodily sensation, transitional event verbs, and momentary verbs. Both activity and process verbs are frequently used in progressive aspect to indicate incomplete event in progressive aspect to indicate incomplete event in progress. Thus it is possible to say 1) a.Herman slowly asked his mother. Or b.Herman was slowly asking his mother. 2) a.The beautiful girl changed my position. Or b.The beautiful girl was changing my position. But it is not possible to use the progressive in 3) a.My mother loves my younger sister. b.*My mother was loving my younger sister. 4) a.John possesses much money. b.*John was possessing much money. When they will admit the progressive, as in (1) and (2), they are called dinamic. When verbs (either habitually or in certain uses) do not admit the progressive, as in (3) and (4), they are called stative. It is because, stative verb is a verb which is associated with state not dinamic activity and such a verb cannot be used in passive or progressive tense. Broadly speaking, nouns and adjectives can be characterized naturally as „stative‟; Thus, noun referring to entities that are regarded as stable, whether they are concrete (physical) like house, table, and paper, or abstract (or the mind) like hope, botany, and length. The stative verbs which disallow the progressive, can be seen as belonging to one of two classes. They are verbs of inert perception and cognition, and relational verbs. 2. DV can be used in passive but SV cannot. The active voice is used when the agent ( i,e. doer of the action), or actor, is to be made prominent; the passive, when the thing acted upon is to be made prominent. Hence the passive voice may be used when the agent is unknown, or when we do not care to name the agent. A sentence in the active form can be changed into the passive form, and vice versa:-
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
169 Syntactic Difference Between Dinamic And Stative Verbs In English 1) a.Brutus stabbed Caesar. b.Caesar was stabbed by Brutus. 2) a.The people will make him a king. b.He will be made a king by the people. 3) a.Who taught you grammar? b.By whom were you taught grammar? By whom was grammar taught to you? 4) a.He likes coffe. b.*Coffe is liked by him. 5) a.They have many friends. b.*Many friends are had by them. When verbs (either habitually or in certain uses) do not admit the passive forms, as in (4b.) and (5b.), they are called stative verbs. When they admit the passive forms, as in (1), (2) and (3), they are called dinamic verbs. 3. DV can be used with try to construction but SV cannot. Verbs expressing a volitional act can be used in the try to construction as: 1) a.Imran tried to make the table. b.Tina tried to answer the questions. c.Husni tried to solve the problem. On the contrary, verbs that does not express a volitional act cannot be used in the same construction, as: 2) a.*He will try to belong to a famous club. b.*Hana tried to resemble her beautiful sister. The verbs belong to in (2a.) and resemble in (2b.) cannot be used in the construction because they do not express a volitional act. The verbs also fail to participate in the passive construction such as in the following: 3) a.He belongs to a famous club. b.*A famous club is belonged to by him. 4) a.Hana resembled her beautiful sister. b.*Her beautiful sister was resembled by Hana DV can be used with try to construction but SV cannot. It is because, DV expresses a volitional act, as in (1), while SV cannot be used with try to construction because they do not express a volitional act as in (2a.), and (2b.), and this kind of verb also fails to participate in the passive such as in (3b.), and (4b.).
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Zainuddin Hasibuan
170
4. DV can be modified by such adverbs as purposely, carefully, noisily, etc. But SV cannot. A word that modifies the meaning of a verb, an adjective, or another adverb is called an adverb, the words quickly, very, and quite are therefore adverbs (Wren & Martin 1990). DV can be modified by such adverbs as purposely, carefully, slowly, etc. Consider now the fact that the adverbial carefully can be replaced by many other adverbs, making acceptable sentences. For example:
carefully slowly 1) John carefully searched the room
noisily sternly Purposely
But if these same adverbials are inserted in sentences which have stative verbs, the sentences will become unacceptable.
*carefully 2)The girl resembles her mother..
*slowly *noisily *sternly *Purposel y
*carefully 3)Budi knew the answer...
*slowly *noisily *sternly *Purposel y
Therefore, SV cannot be modified by such adverbs as purposely, carefully, slowly, etc.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
171 Syntactic Difference Between Dinamic And Stative Verbs In English 5. DV indicates activity but SV does not. Verbs that is used in passive is a transitive verb which indicates activity. (Wren & Martin, 1990), state that transitive verb is a verb that denotes an action which passes over from the doer or subject to an object, for examples: 1) a.The boy held the cake. b.The cake was held by the boy. c.The bag holds many books. d.*Many books are held by the bag. 1) a.The sailor shortened the sail. b.The sail was shortened by the sailor. c.The road shortened 15 miles. d.*15 miles were shortened by the road. 2) a.He weighed the stones. b.The stones were weighed by him. c.The fat man weighed 120 kilos. d.*120 kilos were weighed by the fat man. Sentences in (1b.), (2b), and (3b) are possible because the verbs which are used in the context are transitive verbs which indicate activity (DV indicates activity). While, the same verbs when used with the absence of the sense of activity may lead to ungrammatical construction such as in (1d.), (2d.), and (3d.). SV does not indicate activity because when SV is used with the absence of the sense of activity, it may lead to ungrammatical construction, such as: 3) a.It does not concern me. b.*I am not concerned by it. 4) a.Whisky contains a large percentage of alcohol. b.*A large percentage of alcohol is contained by whiskky. The sentences in (4) and (5) do not indicate activity. They also cannot be used in passive and progressive forms. The verbs in (4) and (5) cannot be used in the passive form because they do not express an activity. Activity verbs: abandon, ask, beg, call, drink, eat, help, learn, listen, look at, play, rain, read, say, slice, throw, whisper, work, write, etc. 6. DV implies a process but SV does not. Process verbs: change, deteriorate, grow, mature, slow down, widen, etc. Both activity and process verbs are frequently used in progressive aspect to indicate incomplete events in progress. The example are as follows: 1) a.His health deteriorated rapidly. b.His health was deteroriating rapidly. 2) a.Her hair grows. b.Her hair is growing.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Zainuddin Hasibuan
172
The verbs deteriorated in (1) and grows in (2) implied a process, deteroriated means to become worse in condition of his health, and grows means to increase in size of her hair. SV does not imply a process, for example: 3) a.I tend to go to bed early during the winter. b.*I am tending to go to bed early during the winter. 4) a.She requires some assistance. b.*She is requiring some assistance. The verbs tend in (3), and requires in (4) do not imply a process, but indicate a relational process, tend means to care for or look after something, to be likely to behave in certain way or to have a certain characteristic or influence. While, requires means to need or defend on something. They also cannot be used in progressive forms. 7. DV indicates transitional event but SV does not. Transitional event verbs (arrive, die, fall, land, leave, lose, etc), occur in the progressive but with a change of meaning compared with simple aspect. The progressive implies inception, or the approach to the transition, for example: 1) a.We landed at Boston. b.We were landing at Boston. 2) a.He arrived in Sibuhuan at 9 p.m. b.He was arriving in Sibuhuan at 9 p.m. 3) a.My watch loses several minutes a day. b.My watch is losing several minutes a day. 4) a.He leaves a wife and five children. b.He is leaving a wife and five children. The verbs landed in (1), arrived in (2), loses in (3), and leaves in (4) indicate transitional event. SV does not indicate transitional event. SV only indicates inertia and relational process, as: 5) a.He adores his wife and children. b.*His wife and children are adored by him. 6) a.The news astonished everyone. b.*Everyone is astonished by the news. 7) a.The poem contains the world of beauty. b.*The world of beauty is contained by the poem. 8) a.She deserves some rewards for her efforts. b.*Some rewards are deserved by her for her efforts.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
173 Syntactic Difference Between Dinamic And Stative Verbs In English The verbs adores in (5), and astonished in (6) indicate inertia. They cannot be used in passive because the verbs in the sentences are stative in nature, and cannot indicate transitional event. The sentences above in (7), and in (8) indicate relational process. They do not indicate transitional process because the verbs in the two sentences are stative verbs, and therefore, cannot be passivized. 8. DV indicates momentary event but SV does not. Momentary verbs (hit, jump, kick, knock, nod, tap, etc.), have little duration, and thus the progressive aspect powerfully suggests repetition, such as: 1) a.My parents never hit me. b.I was never hit by my parents. 2) a.She nodded her head in agreement. b.Her head was nodded by her in agreement. The verbs hit in (1), and nodded in (2) indicate momentary event because the verbs in the two sentences are dinamic. SV does not indicate momentary event because SV may show relational process. They are as follows: 1) a.These chairs cost Rp 40.000 each. b.*Rp 40.000 each is costed by these chairs. 2) a.Training will fit him to be a good tennis player. b.*He will be fitted by training to be a good tennis player. The verbs cost in (3), and nodded in (4) does not indicate momentary event because the verbs in the two sentences are stative. They cannot be passivized and they also fail to participate in progressive form. SV does not indicate momentary event because SV may show relational process. 9. DV indicates keenness but SV indicate inertia. Keenness refers to verb of bodily sensation (ache, feel, hurt, itch,etc.) which can have either simple or progressive aspect with little difference in meaning. The verbs hurt and itch in the following two sentences indicate keeness because the two verbs are dinamic. 1) a.You hurts me. b.You are hurting me. 2) a.I itch to go with you. b.I am itching to go with you. 3) a.He detests having to get up early. b.*He is detesting having to get up early.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Zainuddin Hasibuan
174
4) a.We can only guess at the murder‟s real motive. b.*We are only guessing at the murder‟s real motive. The verbs hurts in (1) and itches in (2) indicate keenness because the two verbs of the sentences are dinamic. While the verbs detests in (3a.), and guess in (4a.) are stative and so they cannot be used in the progressive form. Verbs of inert perception and cognition: abhor, adore, astonish, believe, desire, detest, dislike, doubt, feel, forgive, guess, hate, hear, imagine, impress, intend, know, like, love, mean, mind, perceive, please, prefer, presuppose, realize, recall, recognize, regard, remember, satisfy, see, smell, suppose, taste, think, umderstand, want, wish, etc. 10. SV indicates relational process but DV does not. Relational process is one of the major types of process. Relational process is the process of being; a relation is between two saparate entities. There are subdivision of relational process: attributive and identifying. In attributive mode, there is an entity having some quality attributed to it, named attribute and the entity to which it is ascribed as carrier. Attribute is typically indefinite and has either an adjective or a common noun as a head, and appropriately with an indefinite article. It cannot be a proper noun or pronoun. The verbs realizing this mode are be, become, go, need, cost, concern, feel, seem, taste, sound, smell, etc. 1) The title Carrier
is attributive
very interesting. Attribute
2) The baby Carrier
weighs attributive
twenty-one pounds. Attribute
3) She Carrier
looks attributive
pretty good. Attribute
In identifying mode, the identifier is the entity which serves as identity, and the identified is the entity which is to be identified. Identifier is typically definite: it has a common noun as a head; with a specific determiner, or else a proper noun or pronoun, the adjective as a head is the superlative. The verbs realizing this mode are be, become, constitute, show, symbolize, cause, stand, for, etc. Identifying mode is reversible, except the natural be. Identifying mode selects for choice: if the clause is active the subject is token, if the clause is passive the subject is value.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
175 Syntactic Difference Between Dinamic And Stative Verbs In English 4) Ray carrier (token)
is attributive
the cleverest. attribute (value)
5) Nabila carrier (token)
plays attributive
Gertrude. attribute (value)
6) Gertrude carrier (token)
is played attributive
by Nabila. attribute (value)
Here is a list of relational verbs: apply to (everyone), be, belong to, concern, consist of, contain, cost, depend on, deserve, equal, fit, have, include, involve, lack, matter, need, awe, own, posses, remain (a bachelor), require, resemble, seem, sound, suffice, tend, etc. B. Research Finding After having analysed the syntactic differences between dinamic and stative verbs above. The writer have found many differences between dinamic verb and stative verb as the following explanation below: Firstly, DV can be used in the progressive form but SV cannot. DV can be used in the progressive form it is becuse of the progressive occurs only with dinamic verbs (or more accurately, with verbs in dinamic use). The sentences may happen in the present progressive which refers to a future happening anticipated in the present time. Its basic meaning is „fixed‟ arrangement, plan, or programme. While SV cannot be used in the progressive form it is because of stative verb is a verb which is associated with state not dinamic activity and such a verb cannot be used in passive or progressive tense. Secondly, DV can be used in passive but SV cannot. DV can be used in passive because the verbs in dinamic use admit the passive forms while SV cannot be used because if we force to change the form of stative verbs in active structure into passive form the meaning of the sentences will be meaningless. Thirdly, DV can be used with try to construction but SV cannot. DV can be used with try to construction it is because of DV can express a volitional act whether volitional act means in here is talking about the idea related our desire. While SV cannot be used with try to construction because SV do not express a volitioanal act and even this kinds od verb also fails to particpate the passive form. Fourthly, DV can be modified by such adverbs as purposely, carefully, slowly, etc. but SV cannot. The appearance of adverbial can even make the sentences more perfectly because adverbial have a function to modify a verb, an adjective and another adverb. However, if we inserted the adverbials in sentences
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Zainuddin Hasibuan
176
which have stative verb the sentences will be unacceptable. So, SV cannot be modified by such adverb as carefully, slowly, noisily, etc. Fifthly, DV indicates activity but SV does not. The sentences which are used in transitive verbs which indicate activity are possible to become a correct sentences because the activity can be developed and changed based on its developement. While, the sative verbs used with the absence of the sense of activity may lead to ungrammatical construction. They also cannot be used in passive and progressive forms. Sixthly, DV implies a process but SV does not. Both activity and process verbs are frequently used in progressive aspect to indicate incomplete events in progress. So, the verbs imply a process can be categorized as dinamic verbs because the verbs are talking about the condition and the changing. SVS does not imply a process but SV can indicate a relational process which has a meaning to care for or look after something, to be likely to be have in a certain way or to have a certain charactericstics or influence (the meaning of a verb „tend‟). Seventhly, DV indicates transitional event but SV does not. Transitional event verbs occur in the progressive but with a change of meaning compared with simple aspect. The progressive implies inception, ot the approach to the transition. So, the verbs can be used in the progressive forms. While, SV does not indicate transitional event, SV only indicates inertia and relational process which can be used in active form. They cannot be used in passive because the stative verbs are stative in nature, and cannot indicate transitioal event. Eightly, DV indicates momentary event but SV does not. Momentary event verbs have little duration, and thus the progressive aspect powerfully suggests repetition and momentary event verbs are dinamic verbs. While, SV does not indicate momentary event because SV may show relational process. The verbs only show the relational process and cannot be passivized. If we forced the verbs into passivized the meaning wil be unsuitable. Ninethly, DV indicates keeness but SV indicates inertia. Keeness refers to verbs of bodily sensation which can have either simple or progressive aspect with little difference in meaning and the verbs are dinamic. SV indicates inertia which refers to verbs show a relational process and the verbs usually talk about a temporary observation because the stative verbs are stative in nature which cannot be changed or developed into another forms. The last one, SV indicates relational process but DV does not. Relational process is one of the major types of process. Relational process is the process of being; a relation is between two saparate entities. There are subdivisions of relational process: attributive, and identifying. SV indicates relational process because the verbs used in the sentences are stative in nature which has a relation between subject , predicate, and object of the sentences. They cannot be used in the passive and progressive form. While, DV does not indicate relational process because the verbs which are used appearing in dinamic use forms and they can indicate activity and transitional event.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
177 Syntactic Difference Between Dinamic And Stative Verbs In English IV. Conclusion Having analyzed the syntactic differences between dinamic verb and stative verb in English, the writer feels necessary to give some conclusion as given below: a. A verb is said to be dinamic if it admits the progressive and the passive forms. The progressive occurs only with dinamic verbs (or more accurately, with verbs in dinamic use). The dinamic verbs fall into five classes. They are activity verbs, process verbs, verbs of bodily sensation, transitional event verbs, and momentary verbs. b. Stative verb is a verb which is associated with state not dinamic activity and such a verb cannot be used in passive or progressive tense. The stative verbs which disallow the progressive, can be seen as belonging to one of the two classes. They are verbs of inert perception and cognition, and relational verbs. c. After having analysed the syntactic differences between dinamic and stative verbs above. The writer have found ten differences between dinamic verb and stative verb.Firstly, DV can be used in the progressive form but SV cannot. Secondly, DV can be used in passive but SV cannot. Thirdly, DV can be used with try to construction but SV cannot. Fourthly, DV can be modified by such adverbs as purposely, carefully, slowly, etc. but SV cannot.Fifthly, DV indicates activity but SV does not. Sixthly, DV implies a process but SV does not. Seventhly, DV indicates transitional event but SV does not. Eightly, DV indicates momentary event but SV does not. Ninethly, DV indicates keeness but SV indicates inertia.The last one, SV indicates relational process but DV does not. REFERENCES Asiselem, Strans. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta:Pustaka Belajar. A.S. Hornby.1995 Oxford Advanced Learner‟s Dictionary. New York: Oxford University Press. Chomsky N. (1957). Syntactic structures. The Hague: Mouton. Comrie, Bernard. 1976. An Introduction to the Study of Verbal Aspect and Related Problems, Cambridge: Cambridge University Press. Curzan, Anne and Michael Adams. 2006. How English work, „A linguistic Introduction‟ New York: Pearson. Frank, Marcella. 1972. Modern English „A Practical Reference Guide‟.Surabaya:Erlangga. Haliday, M.A.K.. 1994. An Introduction to Functional Grammar, London:Edward Arnold.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Zainuddin Hasibuan
178
Herbert, Martin. 1990. Planning A Research Project. London: Cassel. Kreidler, W. Charles. 1998. Introducing English Semantic, Great Britain: Cornwall Printed. Nordquis, Richard. 2012. Ten-types-of-Verbs, http://grammar.about.com/od/irregular verbs.htms. accessed on August 25th. Sugiono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta. Todd, Loreto. 1987. An Introduction to Linguistic, Singapore: Longman York Press. Wren and Martin. 1990. High School English Grammar and Composition, New Delhi, S. Chand and Company ltd.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
179
UPACARA ADAT PEUTRON ANEUK DAN PEUCICAP DALAM MASYARAKAT ACEH (Kajian Tradisi Lisan) Oleh: Nurlaila Dosen Jurusan Tarbiyah Program Studi Tadris Bahasa Inggris STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Email:
[email protected]
Abstrak Peucicap dan peutron aneuk adalah dua peristiwa yang berbeda namun dilakukan secara bersamaan. Istilah ini tidak asing lagi dalam masyarakat Aceh karena kebanyakan orang Aceh melakukan upacara adat ini ketika usia bayi yang baru lahir terutama pada usia tujuh sampai empat puluh empat hari. Di satu tempat dan tempat lainnya memilki adat peutron aneuk dan peucicap yang berbeda. Adat ini memiliki banyak arti dan simbol yang terkandung di dalamnya. Secara umum, adat ini sudah terbentuk dan sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh hampir semua kalangan atau komunitas yang ada di Aceh yang bertujuan untuk menginjakkan pertama kalinya kaki seorang bayi ke tanah dan mencicipkan makanan yang ada disekitar dan juga yang merupakan peunajoh Nabi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses peutron aneuk dan peucicap dan juga makna serta simbol yang terkandung dalam upacara adat tersebut terutama yang dilakukan di Kecamatan Peusangan, Matangglumpangdua. Jenis penelitian ini kualitatif yang datanya terdiri dari dua jenis yaitu data utama yang diperoleh dari pengalaman penulis serta hasil observasi dan wawancara dengan narasumber dan data kedua diperoleh dari hasil membaca dan menggali berbagai informasi dari buku dan hasil browsing internet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap proses dari tradisi tersebut memiliki makna dan simbol khusus dalam kehidupan dan ada beberapa tradisi lisan yang terkandung dalam upacara adat tersebut yang umumnya mengandung nilai-nilai keagamaan terutama Islam. Hal tersebut dapat kita lihat pada awal sampai akhir upacara adat ini, yang diawali dengan membaca basmalah serta ucapan puji syukur kepada Allah, pada saat proses peutron aneuk dan peucicap berlangsung para tetamu bershalawat kepada Rasulullah dan upacara ini diakhiri dengan do‟a. Tradisi ini mengandung nilai-nilai moral dan etika yang
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurlaila
180
berfungsi memelihara nilai-nilai tradisi masyarakat lokal. Nilainilai dasar yang terkandung dalam upacara ini memiliki makna dalam dunia pendidikan yang berasal dari nilai utama yaitu Islam yang dapat digunakan sebagai dasar dalam membentuk pribadi yang tangguh. Abstract Peucicap and peutron aneuk are two different events that were done simultaneously. This term is not strange in Acehnese society since most of Acehnese do this ceremony when the age of the new born baby especially at the age of seven till fourty four days. Different places would have different ways of celebrating peucicap. This custom had many means and also symbols contained in it. In general, this custom had been formed as habitual action by most of Acehnese community to make the baby born for the first time to step on the ground, and to introduce the new baby to the society especially to relatives and family. This research was done to know the process of peucicap ceremony and also the meaning and symbols used in this custom usually done in North Aceh and to find out what oral tradition could be found in this ceremony in the society of Peusangan, Matangglumpangdua. The kind of the research is qualitative research that consists of two kinds of data, they are primary data that was gotten from the result of observation and interview and secondary data was gotten from the result of reading and browsing some information from book and internet. Research result showed that in every process of the tradition has specific meaning and symbol in life and there are some oral tradition found in this finding that mostly contain the religious value especially Islam. It could be seen from the beginning till the end of the ceremony. It started from reading basmalah and in the process people do shalawat to Rasulullah and ended with doa‟. This tradition contains moral and ethic value that function to maintain the values contain in that tradition in local society. The basic strength found in peutron aneuk dan peucicap tradition has more meaning to education that was from basic values, those ones rich which Islamic value that can be used as a basic to form the strong personality. A. Pendahuluan Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk, maknanya adalah masyarakat yang memiliki berbagai macam kebudayaan khusus. Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Sinar mengatakan bahwa membangun kembali nilai-nilai budaya, etika dan agama perlu
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
181 Upacara Adat Peutron Aneuk Dan Peucicap Dalam Masyarakat Aceh dilakukan dengan usaha membangun moral bangsa, kepribadian, karakter bangsa, intelektual, sosial, emosi, etis, dan faktor-faktor pendukung lainya. Kunci utama membangun kepribadian dan jati diri bangsa dapat dilakukan melalui pendidikan dan pembelajaran yang berkarakter agama dan budaya. Pembelajaran seorang insane dimulai sejak dalam kandungan sampai dewasa. (Sinar; 2012:6). Ada banyak upacara adat yang terdapat dalam masyarakat Aceh. setiap kabupaten atau kota memiliki perbedaan dan variasi masing- masing. Hal ini dapat dilihat pada upacara-upacara perkawinan, kelahiran bayi, turun ke sawah, turun ke laut, peusijuk (tepung tawar), kenduri maulid (maulid Nabi), Nuzulul Quran (17 Ramadhan) dan lain-lain. Pada saat peucicap yang dilakukan oleh tengku atau orang yang dituakan di kampung diundang untuk melakukan upacara ini. Tengku tersebut berdoa dalam bahasa Arab dan bahasa Aceh dengan menggunakan ujaranujaran kalimat khusus. Sewaktu dicicipkan buah kurma misalnya, ujaran atau peutuah yang diucapkan adalah: “Nyoe boh kurma, makanan peunajoh Nabi, beutrok tajak u tanoh suci, tajak ziarah kubu Nabi”.(Ini buah kurma, makanan Nabi, semoga ada langkah ke tanah suci, berziarah ke kuburan Nabi) Berdasarkan beberapa ujaran tersebut diatas, maka dapat kita katakan bahwa upacara tersebut bagian dari tradisi lisan. Sutrisno (2005:312) mengatakan bahwa hampir dapat dipastikan terdapat karya-karya sastra dan tradisi lisan yang dapat digunakan sebagai penyadaran terhadap generasi muda. Untuk itulah sosialisasi tentang kearifan lokal kepada masyarakat perlu dilakukan sehingga transformasi budaya ini dijadikan suatu gerakan nasional. Menyangkut kearifan lokal tersebut, Rahyono dalam Sinar (2012:167) mengatakan bahwa kearifan budaya lokal selayaknya dihayati dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat secara berkesinambungan. Kearifan yang terus menerus ditumbuhkembangkan dan diterapkan dalam kehidupan menjadikan martabat peradaban bangsa meningkat dan menuju ke kesempurnaan. Masyarakat Aceh sebagai umat Islam, amat kuat memegang kepribadian Aqidah Islam dalam kehidupan, sebagai asas pokok dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Wawasan budaya itu sangat sesuai dengan karakter suku Aceh dimana aspek kultural, idiologi dan struktural bersenyawa dengan adat dan agama Islam. Hal tersebut dapat kita lihat pada upacara adat peutron aneuk dan peucicap bayi juga dilantunkan ayat-ayat suci al-quran yang sesuai dengan event tersebut dan juga bersalawat kepada Rasulullah sepanjang prosesi upacara adat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa masalah diantaranya yaitu: 1). Bagaimanakah proses upacara pelaksanaan dan makna serta simbol yang digunakan dalam upacara adat peutron aneuk dan peucicap yang biasa dilakukan di kecamatan Peusangan? 2). Tradisi lisan apa yang terkandung dalam upacara peutron aneuk dan peucicap dalam masyarakat tersebut? Penelitian ini sangat bermanfaat untuk menambah khasanah pengetahuan tentang tradisi lisan yang selama ini sudah hampir punah dikalangan masyarakat Aceh terutama daerah perkotaan. Mengingat saat ini masih sangat sedikit
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurlaila
182
ditemukan tulisan ilmiah tentang peutron aneuk yang didasarkan pada hasil penelitian, maka tulisan ini akan dapat membantu temuan baru mengenai prosesi uparaca peutron aneuk terutama pada saat turun tanah bayi dikalangan masyarakat Aceh. Disamping itu, penelitian ini dapat memberikan masukan dan pertimbangan bagi penentu kebijakan terutama yang berkaitan dengan kebudayaan daerah, dan membuka wawasan masyarakat terhadap perkembangan tradisi lisan upacara adat peutron aneuk dan peucicap pada masyarakat Aceh. B. Pengertian Kearifan Lokal Tradisi Lisan Banyak orang yang hanya memahami tradisi lisan hanya sebatas dongeng, legenda, mitos atau semacamnya. Istilah “tradisi lisan” belum familiar di telinga kita. Padahal, tradisi lisan dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber utama yang penting dalam pembentukan identitas dan membangun peradaban. Tradisi lisan merupakan salah satu deposit kekayaan bangsa untuk dapat menjadi unggul dalam ekonomi kreatif. Dalam seminar internasional Lisan VIII di Tanjungpinang akhir Mei lalu, Robert Sibarani, guru besar Antropolinguistik Universitas Sumatera Utara, menyatakan bahwa persoalan yang dihadapi bangsa ini ternyata tidak dapat diselesaikan dengan hanya mengandalkan teknologi modern dan kemajuan ilmu pengetahuan yang datang dari dunia Barat dengan sumber-sumber tertulis. Dengan permasalahan di seputar hilangnya kedamaian di tengah-tengah masyarakat dan jauhnya rakyat dari kesejahteraan dibutuhkan pendekatan budaya yang berasal dari tradisi budaya sebagai warisan leluhur dengan sumber-sumber lisan, yang disebut dengan tradisi lisan. Namun realitanya posisi tradisi lisan masih terpinggirkan, potensinya masih terabaikan, dan masih banyak yang menganggap bahwa tradisi lisan hanyalah peninggalan masa lalu yang hanya cukup menjadi kenangan manis belaka. Tradisi lisan seolah-olah tidak relevan lagi dengan kehidupan modern yang semakin melaju sangat cepat selama ini. Kemajuan teknologi ternyata tidak disikapi secara arif sehingga semakin meminggirkan posisi tradisi lisan. Tradisi lisan berupa dongeng, legenda, mitos dan sebagainya sering kali dianggap fiktif, padahal sangat terbuka kemungkinan besar untuk membuktikan bahwa dongeng, mitos, dan legenda itu merupakan fakta yang kebetulan tidak dituliskan. Pembuktian semacam itu tidak mungkin dilakukan ketika ilmuwan dan peneliti Indonesia apriori terhadap kebenaran tradisi lisan secara ilmiah. Dibutuhkan dekonstruksi sikap tentang status tradisi lisan dalam khazanah dunia ilmiah Indonesia. Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan (non-verbal). Dengan pengertian ini, kata Sibarani, tradisi lisan berbeda dari tradisi kelisanan karena tradisi kelisanan adalah tradisi menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi lisan, sedangkan tradisi lisan adalah tradisi kegiatan tradisional yang disampaikan secara lisan seperti kebiasaan menari dan
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
183 Upacara Adat Peutron Aneuk Dan Peucicap Dalam Masyarakat Aceh bermain gendang atau yang menggunakan media lisan seperti kebiasaan mendongeng. Penegasan diarahkan pada tradisi lisan yang merupakan warisan dimasa lampau. Seperti yang ditegaskan oleh Sibarani (2012:2) bahwa bangsa Indonesia memiliki kekayaan tradisi lisan yang luar biasa, yang tersebar di ratusan etnik di Indonesia sebagai warisan budaya masa lalu. Kekayaan tradisi lisan ini menjadi sumber kekayaan pengetahuan lokal yang dapat diterapkan dalam mengatasi secara arif persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa sekarang ini demi mempersiapkan masa depan generasi penerus bangsa. Itulah sebabnya tema besar yang perlu diusung dalam membicarakan tradisi lisan atau tradisi budaya adalah remembering the past, understanding the present, and preparing the future “mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan”. C. Pengertian Peutron Aneuk/Peucicap Istilah peutron aneuk merupakan istilah yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat Aceh yang dalam istilah bahasa Indonesianya adalah turun tanah. Sebagian orang Aceh menyebut salah satu dari upacara masa bayi tersebut dengan sebutan Adat Peutron Aneuk. Adat ini memiliki banyak pengertian dan maknamakna yang terkandung didalamnya. Secara umum pengertian Adat Peutron Anuek ialah kebiasaan masyarakat membawa anak turun ke tanah, upacara ini adalah upacara memperkenalkan seorang bayi untuk pertama kalinya kepada lingkungan masyarakat luas baik di lingkungan itu sendiri seperti sanak saudara maupun masyarakat luar. Upacara adat ini dilaksanakan ketika bayi berumur tujuh hari, dua puluh satu hari atau bahkan empat puluh empat hari. Berbagai upacara adat yang terdapat pada suku Aceh, pelaksanaanya selalu dipengaruhi atau diiringi dengan nilai-nilai agama Islam. Demikian pula halnya dengan upacara Peutron Aneuk pada masyarakat Aceh. Agama Islam yang dianut tidak sampai pula menjadikan masyarakat Aceh bersifat fanatik bahkan membenarkan terus berlangsungnya tradisi-tradisi setempat namun selalu berpedoman kepada ajaran-ajaran Islam. D. Tradisi Peutron Aneuk Tradisi Peutron aneuk di daerah Aceh Utara dilakukan oleh hampir semua kalangan, baik masyarakat yang high class atau ekonomi menengah keatas, masyarakat ekonomi kelas menengah dan atau menengah kebawah. Besar kecilnya acara tersebut juga sangat tergantung pada kemampuan ekonomi orangtua si bayi. Ada yang melakukannya secara besar-besaran sampai memotong satu lembu dan ada juga yang hanya kenduri kecil-kecilan saja yang penting upacara itu ada dilaksanakan. Setiap upacara adat yang ada di Aceh selalu di dahului oleh adat peusijuk atau yang sering di sebut dengan tepung tawar dalam istilah bahasa Indonesia. Demikian juga halnya dengan adat peucicap/peutron aneuk ini. Abdullah dkk. (1986: 53-54) mengatakan bahwa setelah upacara peusijuek dan peucicap selesai dikerjakan, menyusul upacara berikutnya yaitu pencukuran
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurlaila
184
rambut bayi. Upacara pencukuran rambut itu dipimpin oleh dukun beranak, yaitu yang mengawali pencukurannya kemudian dilanjutkan oleh nenek-neneknya dan wanita kerabat dekat lainnya. Rambut yang sudah dicukur itu dimasukkan ke dalam buah kelapa, lalu ditimbang dan dilanjutkan dengan pemberian sedekah kepada fakir miskin atau anak yatim berdasarkan ukuran nilai emas seberat rambut yang telah dicukur itu. Upacara pokok yang lain adalah peutron/peugidong tanoh. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatatif yang menggambarkan bagaimana prosesi peutron aneuk dan peucicap dan proses berlangsungnya upacara adat Aceh tersebut. Penelitian kualitatatif adalah pendekatan penelitian yang analisis datanya lebih berfokus pada penggunaan kata-kata dalam memaparkan hasil temuan dan tidak menggunakan angka-angka atau statistik. 2. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang dapat berupa kalimat, kata-kata ataupun ungkapan. Selain itu dalam penelitian ini juga menggunakan dua sumber data, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengalaman pribadi penulis, observasi di lapangan dan wawancara dengan informan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari catatan atau dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti termasuk hasil penelitian yang telah lebih dulu didokumentasikan dan dipublikasikan maupun referensi lainnya, seperti jurnal, monografi, dan berbagai makalah yang relevan sebagai penunjang data primer. 3. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data merupakan cara kerja, terkait dengan apa yang harus diperbuat dan bagaimana berbuat dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Sehubungan dengan itu maka teknik yang digunakan dalam pengumpulan data terdiri atas: 1) observasi, 2) wawancara, dan 3) studi dokumen. Observasi tujuannya adalah untuk mendapatkan data yang akurat di lapangan. Peneliti mengikuti rangkaian upacara peutron aneuk dan peucicap dikecamatan Peusanagan untuk memperoleh gambaran tentang rangkaian upacara serta ungkapan-ungkapan yang digunakan sebagai bagian dari tradisi lisan. Wawancara mendalam dilakukan pada informan terpilih untuk memperoleh data primer yang diambil di lapangan. Teknik ini bertujuan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sedangkan studi dokumen merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang digunakan yang berfungsi menunjang pelaksanaan penelitian. Pengumpulan datanya dapat berupa bacaan dan teks yang berupa rekaman audio atau audio visual, sesuai dengan fokus permasalahan yang dibahas.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
185 Upacara Adat Peutron Aneuk Dan Peucicap Dalam Masyarakat Aceh 4. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung, yang dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Maka peneliti melakukan proses pengumpulan dan analisis data sepanjang rangkaian kegiatan penelitian dituangkan dalam penulisan hasil penelitian. Jadi, analisis data dalam penelitian ini mengikuti model Miles and Huberman dalam Sugiono (2009: 337) yaitu melalui tiga tahapan utama yaitu data reduction, data diplay, dan conclusion drawing/verification atau melakukan penyederhanaan data yang terkumpul, yang selanjutnya diolah, ditafsirkan, dan melakukan pemaknaan terhadap data yang telah terkumpul tersebut, kemudian disajikan secara sistematis. F. Pembahasan dan Temuan Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dipaparkan pada bagian awal, maka pada bagian ini peneliti memaparkan secara mendalam tentang proses pelaksanaan, makna yang terkandung serta bahan-bahan apa saja yang digunakan pada upacara tersebut. Disamping itu peneliti mendiskripsikan tentang tradisi lisan apa yang terkandung dalam upacara peutron aneuk dan peucicap yang biasa dilaksanakan dalam masyarakat Aceh terutama kecamatan Peusangan. 1. Pemaparan Proses Pelaksanaan Serta Makna Upacara Peutron Aneuk Masyarakat Aceh, sebagaimana masyarakat lainnya di Indonesia, mempercayai bahwa masa peralihan dari kehidupan seseorang (dari kelahiran sampai kematian) adalah masa-masa yang krisis. Usaha untuk menetralkannya perlu dilakukan agar apa yang dilakukan dalam mengarungi hidup mendapatkan kemudahan dan berkah dari sang pencipta. Wujud dari usaha itu adalah berbagai bentuk upacara di lingkaran hidup individu, seperti upacara: kehamilan, kelahiran, turun tanah, perkawinan dan kematian. Dalam pembahasan laporan hasil penelitian ini hanya akan diuraikan salah satu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Aceh, yaitu upacara peutron aneuk dan peucicap. Uraian meliputi: asal-usul, peralatan, tata laksana, dan nilai budaya atau tradisi lisan yang terkandung dalam upacara turun tanah. Bayi yang telah berumur tujuh hari atau ada juga pada usia empat puluh empat hari tersebut diturunkan kehalaman rumah oleh seseorang yang terpandang baik perangai maupun budi pekerti yang sudah lebih dulu diinginkan oleh orang tua si bayi dengan tujuan agar si anak kelak mengikuti jejak orang tersebut. Bayi diturunkan dengan dipayungi ija batek (kain gendong berukir batik) dan kaki anak tersebut diinjakkan ke tanah (peugilho tanoh). Pada saat upacara ini berlangsung, ada prosesi yang unik yang memiliki symbol khusus yaitu diatas kepala si anak di belah buah kelapa dengan alas kain putih yang dipegang empat orang dengan tujuan agar si bayi tidak takut terhadap suara petir dan juga tahan akan semua cobaan yang kan dihadapi sewaktu sianak dewasa kelak. Upacara ini juga biasanya
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurlaila
186
diiringi dengan mengayunkan si bayi/anak dalam gendongan sambil bershalawat kepada Nabi dan sekaligus pemberian nama kepada si bayi. Bagi setiap pasangan suami istri, kelahiran seorang bayi baik laki-laki maupun perempuan merupakan anugerah dan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Semenjak kelahiran si bayi, setiap orang tua selalu mempunyai harapanharapan tertentu apabila si anak kelak menjadi dewasa. Pengharapan-pengharapan orang tua terhadap anak-anaknya dituangkan dalam bentuk upacara adat. Dalam upacara tersebut adakalanya dipotong hewan sembelihan, terutama bagi keluarga yang mampu secara ekonomi. 2. Perlengkapan yang Digunakan pada Adat Peutron Aneuk dan Peucicap. Peralatan yang diperlukan dalam upacara turun tanah pada masyarakat Aceh adalah: tangga, sehelai kain putih, sebuah kelapa, pulut kuning, madu lebah, buah-buahan, bahan peusijuk, cangkul, parang, sapu, tampi dan gunting rambut. Tangga digunakan untuk menurunkan anak yang akan diturun-tanahkan. Sehelai kain putih digunakan untuk memayungi anak dengan cara dipegangi oleh empat orang yang setiap orang memegangi sudutnya. Sebuah kelapa untuk dipecahkan di atas tudung. Pulut kuning digunakan untuk menutupi daun telinga anak. Madu lebah digunakan untuk mengolesi bibir sang anak. Cangkul digunakan untuk mencangkul tanah, parang untuk mencincang batang pisang, sapu untuk menyapu halaman, tampi unuk menampi beras, serta gunting digunakan untuk menggunting rambut anak yang akan diturun-tanahkan. Khusus untuk peucicap, Abdullah dkk. (1986: 53) menyatakan bahwa bahan yang disediakan untuk peucicap meliputi berbagai jenis buah-buahan yang mudah diperoleh di wilayah pemukiman mereka dan memiliki rasa yang manis, seperti jeruk bali, sawo, pisang, mangga, nangka, dan madu lebah serta buah kurma yang dapat dibeli di pasar. Antara satu daerah dan daerah lainnya di daerah Aceh memiliki adat yang berbeda namun ada kemiripan satu sama lainnya. 3. Tata Laksana Upacara Pada pelaksanaan upacara adat ini, banyak pihak yang terlibat misalnya keluarga ibu dan ayah sang bayi serta para tetangga. Pelaksanaannya dilakukan oleh seorang yang baik budi pekertinya (terpandang) dan seorang alim ulama yang biasanya memimpin jalannya prosesi upacara tersebut. Untuk itu, sebagai persiapan, semua yang akan terlibat diminta kehadirannya untuk menyaksikan dan sekaligus mendoakan bayi yang akan diturun-tanahkan. Selain itu, pihak keluarga juga mempersiapkan bahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam upacara tersebut. Mewah atau sederhananya upacara bergantung pada kemampuan pihak keluarga si bayi. Biasanya anak pertama, baik laki-laki maupun perempuan, diperlakukan secara khusus dibandingkan dengan anak kedua atau ketiga, sehingga pelaksanaannya seringkali disertai dengan penyembelihan sapi atau kambing yang sekaligus untuk Aqiqah.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
187 Upacara Adat Peutron Aneuk Dan Peucicap Dalam Masyarakat Aceh Upacara diawali dengan penggendongan bayi (anak) oleh seorang yang terpandang dalam masyarakatnya. Anak tersebut dibawa ke sebuah tangga yang dibuat khusus untuk upacara ini, kemudian diturunkan dari anak tangga yang satu ke anak tangga lainnya. Ketika penurunan dilakukan, anak tersebut dipayungi dengan sehelai kain yang setiap sudutnya dipegangi oleh seseorang. Lalu, sebuah kelapa dibelah di atasnya. Maksud yang terkandung dalam makna simbolik dari pembelahan kelapa ini adalah agar anak di kemudian hari tidak takut terhadap suara petir dan juga berbagi tantangan hidup lainnya. Kelapa yang telah dibelah tersebut, sebelah diberikan kepada pihak orang tua suami dan sebelah lagi diberikan kepada pihak orang tua si istri, dengan tujuan supaya kedua belah pihak tetap kekal dalam persatuan, rukun damai, kompak dan teguh dalam persaudaraan. Lain jenis kelamin, lain pula cara yang yang ditempuh berikutnya. Misalnya, jika anak yang akan diturun-tanahkan itu adalah perempuan, maka salah seorang anggota keluarganya bergegas menyapu tanah dan salah seorang anggota keluarga lainnya menampi beras. Menyapu tanah dan menampi beras adalah simbol dari kerajinan. Artinya, anak perempuan yang diturun-tanahkan itu kelak menjadi seorang perempuan yang rajin, ringan tangan, tidak bermalas-malasan serta mau membantu orangtuanya terutama ibunya dalam menyiapkan makanan untuk keluarga setiap harinya. Namun, jika yang diturun-tanahkan adalah anak laki-laki, maka seorang anggota keluarganya bergegas mencangkul tanah dan salah seorang anggota keluarga lainnya mencincang batang pisang atau batang tebu. Makna simbolik dari ritual itu adalah kesatriaan. Artinya, kelak anak lelaki itu dapat menjadi seorang lelaki yang bermoral kesatria, memiliki tanggungjawab terhadap keluarganya dalam mencari nafkah karena dalam budaya Aceh laki-laki adalah orang yang mencari rezeki dan perempuan menunggu di rumah dan memasak apa yang dibawa suaminya. Ketika penurunan anak sudah sampai ke tanah, maka anak tersebut dibiarkan sejenak di atas tanah, kemudian dibawa keliling rumah. Ketika akan memasuki rumah, teungku yang melakukan upacara adat tersebut mengucapkan salam dengan ucapan: Assalamualaikum yang dijawab oleh semua handai taulan yang ada dalam rumah yang sedang menghadiri upacara adat tersebut. Hal ini memiliki makna simbolik agar kelak sianak setiap memasuki rumah harus mengucapkan salam agar memperoleh rahmat dan kesejahteraan sepanjang hidup anak tersebut. Dengan masuknya anak ke dalam rumah, maka berakhirlah upacara turun tanah ini. Sejak saat itu anak sudah diperbolehkan dibawa main keluar dan sudah boleh menginjak tanah. Umumnya upacara ini diawali dengan pembacaan doa dan shalawat kepada Nabi besar Muhammad Saw, yang dipimpin oleh seorang Imam. Isi doa itu pada dasarnya adalah memohon kepada Allah agar anak berumur panjang, banyak rezeki, dan menjadi seorang yang taqwa. Setelah pembacaan doa, anak dipangku oleh ibunya. Kemudian, daun telinganya dilekati pulut kuning dan bibirnya diolesi dengan madu lebah serta buah-buahan lainnya disertai dengan ucapan: beu malem, beu kaya/beumudah raseuki, beuselamat (iman), beu seujahtra, beujroh keu agama
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurlaila
188
dan bangsa. Pada saat prosesi peucicap tersebut para hadirin diharuskan untuk bershalawat kepada Rasulullah secara bersamaan. Upacara ini kadang dimeriahkan pula dengan permainan rebana, tari-tarian, dan permainan kesenian lainnya. Makna yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan yang diucapkan teungku imum dalam melakukan upacara adat peucicap ini agar anak kelak menjadi orang yang banyak ilmu, mudah rezekinya, selamat iman, serta baik tingkah lakunya dan berguna bagi agama nusa dan bangsa. Upacara turun tanah atau peutron aneuk atau juga peucicap, istilah yang digunakan pada sebagian masyarakat adalah salah satu upacara adat tradisional masyarakat Aceh. Jika diperhatikan secara seksama, maka dapat kita lihat dengan jelas tradisi lisan yang terkandung di dalam proses upacara adat tersebut adalah mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan, baik di dunia maupun akhirat. Nilai-nilai itu, antara lain: kerajinan, kesatriaan, keberanian, dan ketaqwaan. Nilai kerajinan tercermin dalam makna simbolik dari ritual menyapu halaman dan menampi beras yang dilakukan oleh dua orang kerabat sang bayi. Nilai kesatriaan tercermin dari ritual mencangkul tanah dan mencincang batang pisang atau batang tebu. Kemudian, nilai keberanian tercermin dari pemecahan buah kelapa. Nilai ketaqwaan tercermin dari pelekatan pulut kuning pada telinga anak dan pengolesan bibir dengan madu lebah yang disertai dengan ucapan: Mudahlah rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama. Disamping itu, peutron aneuk dan peucicap merupakan suatu ritual yang tujuannya adalah orang tua menginginkan anaknya agar sesuai dengan yang diharapkan, seperti dengan bercukur, bercermin supaya cantik bagi bayi perempuan dan ganteng bagi bayi laki-laki, memberikan madu dengan meletakkan dibibir, agar sianak menjadi manis baik rupa maupun tingkah laku. Dalam ilmu antropologi, masa-masa dalam lingkaran hidup individu (dari kelahiran hingga kematian) dianggap sebagai masa-masa krisis karena mengandung banyak bahaya yang dapat mengancam keselamatan individu. Untuk itu, sebagian besar suku bangsa di Indonesia selalu mempunyai usaha-usaha untuk menetralkannya dalam bentuk suatu upacara, agar individu yang mengalaminya dapat terbebas dari segala mara bahaya. G. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan data yang ditemukan di lapangan pada saat penelitian, dapat diungkapkan berbagai fakta yang menyangkut dengan proses pelaksanaan upacara turun tanah anak pada masyarakat Aceh. Fakta-fakta menunjukan bahwa upacara turun tanah anak memiliki nilai keagamaan yang sangat tinggi terutama agama Islam. Hal ini dapat kita lihat pada pelaksanaannya dari awal hingga akhir. Yang diawali dengan doa dan juga shalawat kepada Rasul, dimana itu menunjukkan bahwa adat dan sifat seperti hukum dan agama. Tradisi tersebut mengandung aspek-aspek moral dan etika. Aspek moral dan etika,
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
189 Upacara Adat Peutron Aneuk Dan Peucicap Dalam Masyarakat Aceh berfungsi untuk menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi yang melekat pada masyarakat lokal. Penyampaian pendapat melalui komunikasi verbal dengan menggunakan dapat menumbuhkan sikap santun dan penghargaan terhadap orang, selain itu juga dapat mempertahankan kecermatan berbahasa. Analisis makna adat atau tradisi lisan peutron aneuk, dapat dikemukakan bahwa kekuatan dasar, yaitu kekuatan bermakna edukasi yang berlandaskan nilainilai, di mana nilai-nilai sangat kaya dengan keyakinan-keyakinan yang dapat dijadikan titik tolak untuk membentuk pribadi yang kuat. Untuk itu proses inovasi terus dilakukan untuk dapat mempertahankan nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi lisan sehingga membuka peluang pemahaman warisan tradisi masa lalu yang mampu menjawab persoalan kekinian. Upacara peutron aneuk dan peucicap, mengandung makna dan simbol, serta harapan dari orangtua, agar anak itu kelak menjadi anak yang patuh terhadap kedua orangtuanya, taat pada agama, dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral suku dan bangsanya. Namum hal yang terpenting adalah bagaimana cara agar sang anak tetap berada dalam kasih sayang orangtuanya. Anak merupakan titipan Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan oleh kedua orangtuanya kepada yang menciptakannya. Harapan kita bahwa masyarakat dapat melestarikan budaya seperti ini dalam berkehidupan, mampu mempertahankan identitas budaya dan merespon berbagai akses yang kurang menguntungkan dan bertentangan dengan budaya Nanggroe Aceh kita yang tercinta ini. 2. Saran Mencermati realitas budaya peutron aneuk atau peucicap adalah sebuah adat yang sudah turun temurun dilaksanakan dalam masyarakat Aceh. Adat tersebut memiliki nilai-nilai antara lain: kerajinan, kesatriaan, keberanian, dan ketaqwaan. Hasil dari kajian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi semua pihak yang terkait untuk dapat membangkitkan kembali dan melestarikan warisan budaya lokal yang sangat sarat dengan pesan-pesan filosofis, moral, dan sosial. ini hendaknya mampu diterapkan oleh pihak-pihak yang merasa berkompeten. Saran yang dapat diberikan kepada pihak masyarakat: 1. Seyogyanya pemerintah memikirkan secara arif, terencana dan sistematis langkah-langkah yang diperlukan untuk melestarikan budaya-budaya lokal, seperti tradisi lisan, yang sudah semakin dilupakan masyarakat pendukungnya dengan tetap bertumpu pada prinsip berkeadilan. Pelestarian selama ini hanya bertumpu pada produk-produk budaya dan wilayah-wilayah yang secara finansial memberikan manfaat bagi sektor keuangan pemerintah. 2. Para pelaku kebudayaan dan pemerintah harus mengantisipasi secara komprehensif terhadap memudarnya apresiasi masyarakat terhadap keberadaan tradisi lisan dan memikirkan langkah-langkah strategis dalam menguatnya kembali sikap apresiatif masyarakat. Hal ini sangat krusial karena perkembangan produkproduk budaya global begitu cepat dan langsung diserap masyarakat. Langkah-
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nurlaila
190
langkah ini diharapkan mampu mendorong timbulnya kesadaran budaya akan pentingnya peran yang diemban warisan budaya lokal.
Daftar Pustaka Abdullah, Adnan dkk. 1986. Kedudukan dan Peranan Wanita Pedesaan Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Burhan, Bungin. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu sosial lainnya. Jakarta: Prenada Media Group. Endraswara, Suwardi. 2005. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Foklore: Konsep, Toeri, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Hidayah, Z. 1996. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Syamsuddin, T. dkk. 1994. Adat Istidat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sulaiman, Nasryuddin dkk. 2000. Pakaian dan Perhiasan Pengantin Etnis Aceh. Aceh: Departemen Pendidikan Nasional. Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik atau Linguitik Antropologi. Medan: Penerbit Poda. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta Selatan: ATL. Sinar, T Silvana. 2012. Kearifan Lokal Berpantun dalam Perkawinan Adat Melayu Batubara. Medan: USU Press Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. http://www.aamcatering.com/menuadat/71-aceh [httphttp://lunnakireina.blogspot.com/2010/10/pernikahan-adat-aceh.html] http://www.iannnews.com/ensiklopedia.php?page=budaya&prov=3&id=318 http://henrinurcahyo.wordpress.com/2012/06/26/tradisi-lisan-yang-diabaikan/ http://www.atjeharts.com/index.php/Resam/peutron-aneuk-dalam-adat-aceh.html
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
191
EDUCATIONAL VALUE TAUGHT BY A FATHER REFLECTED IN ANAK SEJUTA BINTANG: PERJALANAN PANJANG PENUH CAHAYA WRITTEN BY AKMAL NASERY BASRAL Oleh: Jumat Barus Dosen Prodi Bahasa Inggris Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Email:
[email protected]
Abstrak Studi ini bertujuan menunjukkan, mengelaborasi atau menganalisa nilai-nilai pendidikan khususnya nilai pendidikan moral, sosial dan keagamaan yang diajarkan oleh seorang ayah yang tergambar dalam novel tersebut. Dalam melakukan kajian tersebut, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Dalam kajian ini, penulis mencari, dan mendeskripsikan serta menganalisa nilai-nilai dimaksud yang terkandung di dalam novel dengan mengaplikasikan prosedur penelitian, membuang data yang tidak relevan, mendisplay data yang relevan, dan memberikan kesimpulan sebagai hasil dari kajian ini. Sebagai hasilnya, penulis menyimpulkan bahwa novel tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan moral, keagamaan, dan sosial yang diceritakan secara baik, menghibur dan gaya bahasa yang menarik. Contoh-contoh yang diberikan melalui cerita kejadian di dalam keluarga melalui peran seorang ayah, kerja keras, kedisiplinan, keuletan, bisa menjadi sebuah contoh yang positif bagi orang tua dalam mendidik anak untuk mencapai kesuksesannya pada masa akan datang, sehingga novel ini dianggap sangat cocok dibaca oleh para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka khususnya pada usia kanak-kanak. Kata kunci: nilai pendidikan, pendidikan moral, pendidikan sosial, pendidikan keagamaan Abstract The study was aimed to show, elaborate or analyze the educational values especially religious, social and moral education taught by a father reflected in the novel. In conducting the research, the researcher applied qualitative approach by using descriptive method. In this research, the researcher pursued, described and analyzed the values existed in the novel by applying the procedure
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Jumat Barus
192
of reducing, displaying data and drawing conclusion or verification as the result of problems formulated. As a result, he concluded that the novel contained the values, especially moral, social, and religious educations which were well presented through fresh and entertaining stories with attractive way. The exemplary in the family, especially towards a father, hard work, diligence and perseverance can be a positive provision in the development of children to achieve success in the future, so it may be a proper novel of basic teaching for parents in educating their children, especially in their infancy. Keywords: educational value, moral education, social education, religious education A. Background of the Research Tarigan (2011: 11) stated that literature has roles and very important values that can be given to its readers or audiences. The literature does not only have intrinsic value but also extrinsic value. Children will experience growth either on the intrinsic or extrinsic side. To the children, literature intrinsically gives pleasure, increases the power of imagination, provides experience, opens insight into behavior, shows universality and literary heritage. On the other hand, extrinsically literature helps the children to gain language, cognitive, personality, and social development. It can be concluded that the literature values have significant roles on human development. Based on a brief description of the benefits provided by literature, it is known that education cannot only be done in school by a teacher who gives the teachings to his students. Education can also be done in various ways and levels. There are many things that affect a man's life from his childhood to adulthood. The most important and very influential thing is the family and communities. Family environment especially parents have important role in leading the development of their children. As Purwanto (2004: 15) explained, that educating children is not establishing or forming children but leading their development. This is because children are not a lump of clay that can be molded based on the educators‟ will. Education is said as a leader, because children are active and developed themselves, but they should be assisted and led in making activity. In family, all parents want their children to be successful both in terms of behavior as well as economic matter. But in the glorious hope, the parents, consciously or not, often do wrong ways that finally it constructs bad things for children‟s development. When parents expect their children to be successful, then they should provide good education and parenting in good ways anyway. Related to parenting, novel Anak Sejuta Bintang writen by Akmal Nasery Basral gives a good overview and upbringing of children. In it the writer describes an effort of a family to educate their children in good way, not authoritative,
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
193 Educational Value Taught encouraging children to always do the best, and proper to be used as a reference for parents. We know that every human being experiences his childhood. Childhood story is the most impressive thing about the fond memories especially of a child to his parents. Family plays a major role in developing a child's personality. Therein began the process of acculturation, which gave birth to the good person, noble character, and religious. Our family has also lead us to be good citizens, and appreciate diversity as a source of civilization. The novel contains the noble values that need to be learned by the next generation, in order to be virtuous and dutiful son to both parents. In the study, the writer adopted the theory of education proposed by Purwanto (2004: 151-174), who classified educational aspects into physical and spiritual education. On this occasion, the writer only presented parts of spiritual education which have much relationship with the study concerned, they are: religious education, moral education, and social education. a) Religious Education teaches children about how to deal with the creator and with other creatures. It is not just the knowledge of the divine but rather the most important thing is to get children obedient and dutiful worship and behave in life in accordance with the norms set out in their respective religions. b) Moral Education is closely related to religious education. It talks norms of decency, it will turn out how close the relationship between the two terms of education is. Morality arises in and as a society. Decency is always growing and evolving based on the progress and development of society. c) Social Education teaches about the relationship between a man and other social creatures. Since the baby was born he has already involved in a small community namely family. In the family there are unwritten rules or regulation which are adhered by members of the family. Community within the larger scope is a collection of families in which there are also laws and rules both written and unwritten. In conducting the research, the researcher used qualitative research, whereby research findings were not presented through statistical procedures, and it was used because the research aims more toward the effort of exploring the educational values contained in a literary work. To analyze the data, the researcher adopted Miles and Huberman‟s theory which was cited by Sugiono (2007: 92), that qualitative analysis has three stages, namely data reduction, data display, and data conclusion/ verification. B. Data Analysis After doing a careful reading on the novel concerned, at this stage the researcher comes to the next stage, that is displaying and analyzing obtained data after doing the first process, reducing data which does not fit with the field of
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Jumat Barus
194
study. In the novel, the researcher found there was a significant role of a father in teaching moral, religious, and social values to his son, Ical. In the novel, Bakrie was a householder who was the husband of Roosniah and the father of three children namely Ical, Odi and Iwan. Bakrie was a successful businessman although still at a young age. His success made possible through diligence, perseverance and hard work he had done since young. In making efforts, Bakrie was not grown weary. In addition, he was diligent and tenacious in making decisions about the steps he should take. Although he came from a prosperous family, he would not just stand idly by and rely on the wealth owned by his parents. His persistence in trying was very suitable to be adopted by any child, because without a strong effort it would be very difficult to achieve success. Bakrie‟s persistence in doing useful things and producing something useful had been done since he was in primary school, as stated in the story below: ......Karena sekolah dimulai jam delapan, maka sejak jam enam papa sudah mencari kemiri dan gambir yang jatuh, lalu papa kumpulkan. Papa melakukan itu sekitar satu jam, setiap hari....” “.......Tapi papa sangat senang karena bisa mendapatkan uang sendiri....Biasanya papa dekati sopir bus tujuan Menggala atau Kalianda dan titip jual. Kalau papa beli roti sepuluh sen, dijual sebelas sen. Untungnya kecil hanya satu sen, tapi ada rasa puas yang sangat besar karena para sopir melihat papa bukan sebagai anak kecil lagi.” (Basral, 2012: 145-147) In the quotation, if we compare with the work done by the children of his age at this time, young Bakrie had done incredible things. In a very young age, he even took time for trading before going to school. When other people were still sitting at home, he had to go looking for sustenance to find hazelnut and gambier for sale. Once sold, the money he earned he still spent on buying bread that would be resold if only to gain a slight advantage. In selling his wares, he was also in touch with people who were much older than Bakrie himself, as it was rarely done by kids on his age. Although he was at about seven years old, his way of thinking like an adult. Before going to school in the morning, he found time to do things to find the money himself. A person who wanted to succeed must strive diligently, resiliently, and fight with unyielding spirit. People would not get success without struggle and high spirits. It could be concluded that the tenacity and perseverance was the main capital for a person to get success. As the person who was one of the richest in this country, Bakrie was always tenacious and diligent in the trial, so that was very good to be emulated by young children.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
195 Educational Value Taught As a successful businessman, Bakrie was a person who liked to help others, because he was convinced that helping each other was something that should be done by every human being, and the attitude would bring blessings to open the doors of sustenance. This attitude of helping each other can also be seen in one part of the story as stated below: “Tidak apa-apa. Tolong menolong itu sama pentingnya dengan keuletan dan ketekunan, Soes. Tolong menolong tanpa pandang bulu, asal-muasal, atau hubungan kekerabatan.” Bakrie masuk ke kamar dan tak lama berselang keluar sembari menenteng sebuah jas terbungkus semacam plastik. Alangkah girang hati Soesilo........Bakrie tersenyum. “Terkadang rezeki datang dengan cara tak terduga, Letnan.” (Basral, 2012: 131) In the brief quotation above, Bakrie gave a very nice suit to Soes, a lieutenant who would continue his studies in the Netherlands. The Lieutenant Soesilo was a son-in-law of Bakrie‟s friend. Viewed from the closeness of kinship or friendship, the relationship among them was not so close, just because the relationship between Soes‟ father-in-law and him. But he did not consider it at all, he helped anyone regardless of their close relationship. In this case, there was a good principle to be emulated by any people, that helping each other was the same with perseverance and tenacity. The attitude of helping each other was also demonstrated by Bakrie in other part of the novel. In helping people, he was willingly without expecting something in return from the people he pleased. In fact, he deliberately wanted to hide it from other people, because he was very confident that everyone who came to his house, either just for establishing friendships or to ask for help would surely bring blessings. Therefore, he was very happy when he or his family could help others. .....”Tadi anak-anak kampung datang kesini, Pa....” “Kamu kasih sedekah?” Ical mengangguk lemah. “Iya, Pa. Tapi......” “Memberi sedekah itu tidak boleh ada kata tetapi, harus rela, harus ikhlas. Tangan kanan memberi, tangan kiri merahasiakan.” .......... “Papa tidak marah?” tanya Ical lagi. Bakrie menarik Ical ke dalam pelukan. “Untuk apa Papa marah? Setiap orang yang datang ke rumah kita, pasti membawa berkah. Mungkin sekarang, mungkin nanti. Kalau mereka minta bantuan dan kita sedang bisa membantu, bantulah!” (Basral, 2012: 272-273) In the quotation above, we can see that in helping others, Bakrie really did it sincerely. When he knew that his son gave something to the poor even without asking for his prior permission, Bakrie was not angry, he even proudly gave moral
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Jumat Barus
196
support to their children in order to always help others if he could. In addition, he taught his son not to expect anything in return when he helped any people, even made the other people know, as stated that the right hand to give but the left hand to keep. Things that had been taught by Bakrie to his son were very meaningful and well attended especially by any children. Because nowadays we know the attitude of mutual help and sincerity had begun fade from our social life. Many people did not care about the lives of others. The rich did not want to help and even do not care about the poor people around them. Many high officials did not want to care about the subordinates, and even the people who had the power often oppressed the weak. If those people read it and took lessons from what had been taught by Bakrie to his son, the bad things which had been done by a lot of people would not be happen in our society anymore, because people who had the sincerity and loved helping other people would not do poor things to those around him. On the other part, this novel also presented an excellent educational value to be emulated by the parents. Bakrie made himself accustom to communicate well with his children, especially sons. For him, chatting with his sons was a must to get them used to express their opinions and not to accustom them to use their hand power in conveying their wish. Roosniah muncul sambil menggendong Iwan dan Odi yang mengikuti. “Aduh ini ayah-anak kalau sudah ngobrol berdua, lupa segalanya.” “Anak laki-laki harus sering diajak ngobrol supaya terbiasa mengemukakan pendapat,” ujar Bakrie. “Kalau tidak, mereka akan terbiasa menggunakan tangan untuk menyampaikan keinginan.” (Basral, 2012: 149) In a piece of the above story we got something useful for the development of children, as described by Ormrod (2009: 94) that parents who always give explanations why a behavior may (or may not) be accepted, enforce family rules consistently and involve children in making decision will make children have an effective social skills and respect the needs of others. In the story, the researcher could conclude that in educating his children, Bakrie always invited them to talk about something, involved them in decisions, and provided an opportunity for them to express their opinions. In making decisions related to the family or children, he always did warm dialogue to ask the opinion of his wife and his sons. He did not show the attitude of an arrogant or authoritarian father as described by Ormrod (2009: 95) that authoritarian parents expected their children obeyed the rules without question and just a bit of space for children to engage in dialogue with parents. Parents like this will tend to provide a bad development for them.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
197 Educational Value Taught Despite having abundant wealth, Bakrie did never educate his children to always feel right and could assure something. As a good father he always educated his children to be ready to face failure. He taught them to believe that something would happen according to the will of the Almighty. Because even though the business had been done as much as possible, something would not be necessarily going to gain maximum results anyway, without the pleasure of Allah SWT. “Kita tidak boleh memastikan sesuatu, Cal. Nabi Muhammad mengajari kita mengatakan Insya Allah.....” “Artinya?” “Jika Allah mengizinkan. Sebagai manusia, kita hanya bisa merencanakan. Yang bisa memastikan semuanya cuma Allah.” (Basral, 2012: 213) In the short quotation above, Bakrie showed that as a creature, he believed in Allah and His prophets. He also taught it to his son, Ical. In promising or deciding something, Bakrie taught his children not to ensure something, humans could not be confirm something because human beings could only plan but the Almighty God who decides anything, therefore Bakrie taught his children to say as it was taught by Prophet Muhammad SAW. There were so many people who had done maximum effort to achieve or gain something, but it was not like what he hoped and even he was often failed. On the other hand, there were those who did not do the maximum efforts, but he got more than what he expected before. From the fact seen in reality, we could take the lesson that something happened not only because of the efforts done but there was the determinant, Allah the Almighty. Bakrie did not only teach his sons to do good behaviour to fellow human beings, but he also educated his children to always worship God as seen in the following quote: “.....selama bulan Ramadhan kita harus banyak beribadah.” “Bulan lain bagaimana, Pa?” timpal Ical, “Ibadah seadanya saja?” Bakrie menarik napas dalam-dalam. Lalu ia berkata, “Bulan lain juga kita harus banyak beribadah. Cuma, bulan ini special, bulan khusus. Jadi, ibadah kita harus lebih banyak.” “Betul, Pa,” tukas Odi, “Guru ngaji juga bilang kita harus rajin ibadah.” (Basral, 2012: 266) In the above quotation, Bakrie showed religious attitude, it was known that he was frequently doing worship not only in the month of Ramadhan. As we know there were a lot of people who just do worship in the month of Ramadhan, fasting, performing tarawih prayers and other sunnah worship, but all the worships would be abandoned when the month had gone. While, Bakrie taught his children to perform the worship not only in Ramadan but also in other months.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Jumat Barus
198
In the other section, there was other educational value which was taught excellently by Bakrie. The following quote was a piece of story happened when Ical felt very sad to know that he was not in the first rank at the sixth grade. Ical experinced incredible sadness, because since he was in the first upto the fifth grade at folk school (SR) he was used to learn hardly and always got the first rank. No one had beaten him in the classroom, but at the final year of the school in SR Perwari he was defeated by his friend. Therefore, he felt very sad and punished himself, kept away from his siblings, moody, and felt his life was meaningless. He used to be keen, diligent and tenacious in learning so that he was always being the best in the class. However, Ical never prepared to accept defeat. “Ical minta maaf karena telah mengecewakan Papa dan Mama,” katanya dengan mata berkaca-kaca. “Siapa bilang Papa dan Mama kecewa?” sahut Bakrie. “Papa tahu kamu sudah belajar keras, Mama sering menceritakan keuletan dan ketekunanmu. Kamu sudah berusaha sekuat daya, itulah yang sesungguhnya membanggakan dan membahagiakan hati Papa.” “Betul, Cal,” imbuh Roosniah. “Mama tidak kecewa.” “Ingat, Nak, ada kekuatan di luar diri kita yang lebih menentukan,” kata Bakrie sambil menoleh kepada Ical. (Basral, 2012: 389) In the above quotation, in the last year he studied at the Perwari school Ical got the second rank in his class. During his study there, he studied hard so that every semester he always got the first rank. In the sixth grade he was also doing the same effort in learning, but as the result he was posited in the second rank. At that moment he felt a tremendous sadness, and he apologized to his parents for not getting the first rank. All parents feel proud when their children have the best performance in their class, but some of the parents do not prepare themselves to accept the reality when his son suffered degradation in his performance. Almost all parents want their child to remain and even expect better performance than the previous one. When his performance decreased, almost those parents blame the child, he got low achievement because he was lazy to learn, too much playing, lack of concentration, and so forth. It was indeed humane. When the condition happens, those parents should not blame and punish the child excessively, but revived his spirits so he could re-gain the spirit he had before. When Ical apologized to his parents for not being the best in the sixth grade, Bakrie and Roosniah were not going upset at all. On the contrary they consoled him by saying that he had done his best, so far he had given pride and joy to his parents. Bakrie explained him that there was the real power in addition to his efforts. Bakrie taught Ical to always be sure of the power of God. Humans could only plan and seek, but to determine is Allah SWT.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
199 Educational Value Taught In such conditions, Bakrie had a very good way to embrace his son in order not to get swept up in feelings of guilt and sadness. He tried his best to throw Ical‟s feeling guilt and reawakened the spirit he had during the time. “Sekarang Papa mau Tanya Cal, satu pertanyaan saja. Tapi, coba Ical pikirkan baik-baik sebelum menjawab. .......”Dengan semua bintang yang sudah menerangi hidupmu Selama ini, dan banyak dari bintangbintang yang luar biasa itu tak sempat dinikmati cahayanya oleh anakanak lain di negeri ini, pertanyaan Papa, apakah kamu masih merasa pantas untuk bersedih hati berlama-lama?” (Basral, 2012: 397-398) Understanding Ical sadness, his father began to cheer and persuade him so that he was not too long immersed in his sorrow. At that time, Bakrie guided his child to imagine good things he had during the time. So far, lots of fun things had been experienced by Ical, which never happened to most of children. Therefore, Ical was led to imagine all of that and at the same time Bakrie asked him a question whether he should still be sad when he only got the second rank position in his class. Bakrie did not just stop there, he still attempted to provide insights into Ical so that he immediately returned to the cheerfulness as usual. ......Bukan kesedihan yang menguasai dirinya, tapi dirinya yang harus bisa menguasai kesedihan. Sedih itu boleh, manusiawi, tapi jangan terlalu lama. Kalau kita anggap suasana gembira itu seperti siang hati yang cerah dan terang, maka kesedihan adalah suasana gelap. Kita tidak boleh terlalu lama berada di dalam gelap, Cal. Kamu tahu mengapa?” Ical kembali menggeleng. “Karena kalau kita berdiri terlalu lama di dalam gelap, bayangan kita pun akan pergi meninggalkan kita.” (Basral, 2012: 394-395) In the above quotation, Bakrie showed a very good way to bring back Ical who was almost losing spirit for he could not reach the first rank in the last year. There was no word to blame his son for his decreased performance. He comforted him with very softly words, took his son to reflect on what he previously got that could not be got by most of kids. He led him to think logically with acceptable reason for kids age. He stated that feeling sad was human nature, but he should not be sadly prolonged. He said that a man was a leader and courageous, as a leader of spirited protector, he would not let himself to be controlled constantly. Sadness would not overtake him, but he was the one must master the sense of sadness. Sadness was described as a dark part of life so we should not be complacent in the
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Jumat Barus
200
dark because people who were too long in the dark, his shadow would also be disappeared. C. Conclusion and Findings After analyzing the data by applying the technique of reducing, displaying and verifying data as had been done in the previous section, the researcher found some findings. The educational values found in the novel concerned with the religious, moral and social education. As the theory presented by Tarigan that literary works contain many useful educational values for readers. The novel Anak Sejuta Bintang written by Akmal Nasery Basral contained many educational values that fitted to be emulated especially by parents in educating their children to deal with the problems they experience in everyday life. Value of moral education in social interaction was a caring attitude towards others and sincerely in helping others. Bakrie cared the society very much, and in providing some help to other people he did not expect anything in return. He did so because he had strong belief that it would open the door of unexpected sustenance and giving something he loved very much to other people would always make him and his family happy. One excellent lesson that was recounted in the novel is trying to be the best, preparing to accept the defeats and believed in the power of God as a determinant of everything. In trying, everyone would expect success but it is rare to find people who are ready to accept a worst thing, defeat. Humans are only able to plan and trying to make it happen, but the actual outcome is determined by the Almighty. In other words, man is obliged to believe in the power of Allah the Almighty. The last thing which could be served as a very useful lesson for parents was parenting style as it was done by Bakrie in guiding his son. In educating his son, Bakrie performed it with great affection and always gave his son opportunity to make a dialogue. When something unexpected happened, Bakrie invited Ical to think logically so that he would not be complacent in deep sorrow. According to Bakrie, sorrow is the dark side of life, and those who for too long in the dark will be abandoned by his own shadow. References Bakrie & Brothers, Anak Sejuta Bintang Perjalanan Panjang, Cinta dan Tantangan, http://www.bakrie-brothers.com/commitment/detail/1638/ aburizal_anak_sejuta_bintang_perjalanan_ panjang_cinta_dan_tantangan, accessed on September 8th, 2013. Basral, Akmal Nasery. 2012. Anak Sejuta Bintang: Perjalanan Panjang Penuh Cahaya. Jakarta: Expose.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
201 Educational Value Taught Bennet, Andrew and Royle, Nicholas. 2004. Introduction to: Literature, Criticism and Theory. Great Britain: Pearson Education Limited. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS. Jeffferson, Ann and Robey, David. 1993. Modern Literary Theory. A Comparative Introduction. London: B.T. Batsford Ltd. Mudyaharjo, Radja. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. News, Viva, Anak Sejuta Bintang, Bukan Novel Politik, http://politik.news.viva.co.id/news/ read/298311-anak-sejuta-bintang-bukan-novel-politik, accessed on August 29, 2013. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ormrod, Jeanne Ellis. 2009. Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Purwanto, M. Ngalim. 2004. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa. Sinha, Manindranath. 1985. A Handbook of the Study of Literature. India: Prakash Book Depot. Sugiono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suryabrata, Sumadi. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Susanto, Emi. Analisis Gaya Bahasa Novel Anak Sejuta Bintang karya Akmal Nasery Basral, (Tanjung Pinang: FKIP Umrah, 2013) http://jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/ 2013/08/Emi-Susanto080320717056.pdf accessed on September 8th, 2013 Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan: Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Syuropati, Mohammad A. & Soebachman, Agustina. 2012. 7 Teori Sastra Kontemporer & 17 Tokohnya: Sebuah Perkenalan. Yogyakarta: IN AzNa Books. Tarigan, Henry Guntur. 2011. Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Tilak, Raghukul. 2002. History and Principles of Literary Criticism. New Delhi: Rama Brothers. Waugh, Patricia. 2006. Literary Theory and Criticism. New York: Oxford University Press. Widi, Restu Kartiko. 2010. Asas Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Yasa, I Nyoman. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung: Karya Putra Darwati.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
202
POLA PENYELESAIAN CERITA DALAM CERPEN HASYIM KS Oleh: Novi Diana Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang struktur alur dan penyelesaian cerita dalam cerpen Hasyim K.S. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan struktural. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan mendeskripsikan struktur alur cerpen satu per satu, menabulasikan bagan alur keseluruhan cerpen, dan menentukan pola penyelesaian cerita. Sumber data penelitian ini adalah cerpen-cerpen Hasyim K.S yang diterbitkan oleh dewan kesenian Aceh, Banda Aceh, tahun 1996. Cerpen-cerpen ini dimuat dalam kumpulan yang berjudul “11 Cerpen Hasyim K.S. Hasil analisis menggambarkan bahwa cerpen-cerpen Hasyim K.S menggunakan beberapa jenis alur. Pertama, cerpen yang menggunakan alur maju berjumlah 7 cerpen dan yang menggunakan alur mundur berjumlah 4 cerpen. Kedua, secara kualitatif, cerpen-cerpen yang beralur erat berjumlah 4 cerpen dan yang beralur longgar berjumlah 7 cerpen. Ketiga, secara kuantitatif, semua cerepen yang terkumpul menggunakaan alur tunggal. Ditinjau daari penyelesaian masalah, cerpen Hasyim K.S tergolong dalam penyelesaian tertutup yang berjumlah 9 cerpen dan penyelesaian terbuka hanya 2 cerpen. Cerpen-cerpen Hasyim K.S cenderung berakhir dengan kesedihan. Cerpen-cerpen tersebut berjumlah 9 cerpen. Cerpen-cerpen yang berakhir dengan kebahagiaan hanya 2 cerpen. Kata kunci : pola penyelesaian, cerita, cerpen
Abstract The goal of this research has the description about the structure of plot and method of finishing story in Hasyim K.S‟s short story which is used in the research is descriptive method with structural approach. The steps that to do are described the plot of structure one by one, tabulated the part of whole short story, and determined the pattern of finishing story. The source of this research data are Hasyim K.S‟s Short Story which published with Art council of Aceh, Banda Aceh, 1996. These short stories are contained in by
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
203 Pola Penyelesaian Cerita Dalam Cerpen Hasyim Ks gathering in “eleven collection Hasyim K.S‟s short stories” the result of analysis are described that short stories of Hasyim K.S have many kind of pattern. First, the short story which used chronological plot numbers seven short stories and the stories that used reverse chronology are numbers four short stories. Second, in qualitative approach, these short stories which have a fast plot are numbers four short stories and the story which has lax plot are numbers by seven short stories. Thirdly, by quantitative approach, all short stories are gathering by using a single plot. And the observation from the finishing problem short stories of Hasyim K.S that included from close completion are nine short stories and from open completion just two short stories. These short stories of Hasyim K.S constantly ended by sadness ending. And these short stories which ended by sadness are nine stories. And only two stories are ended in happily. Key words : the pattern of finishing, short story A. Pendahuluan Sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang diciptakannya dengan kata-kata yang indah guna memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan, kebebasan dan keagungan dalam melukiskan daya imaji pada suatu bentuk karya sastra. Melalui karya sastra manusia mengembangkan dan menanamkan nilal-nilai kehidupan karena dengan sastra manusia bisa menemukan nilai positif dan negatif yang kemudian dibandingkan dengan kehidupannya sendiri. Keahlian pengarang dalam memainkan kata melahirkan banyak bentuk karya sastra prosa seperti cerpen, novel, dan novelet. Akan tetapi, dari ketiga bentuk karya sastra prosa ini hanya cerpen dan novel yang lebih disenangi para pembaca. Kedua bentuk ini banyak dimuat dalam media cetak seperti surat kabar dan majalah yang mendukung berkembangnya bentuk karya ini. Cerpen merupakan karya sastra yang berbentuk fiksi. Cerpen dapat dibaca dalam waktu yang relatif singkat karena yang diceritakan di dalamnya menyangkut masalah-masalah kehidupan manusia secara singkat dan padat. Nasution (1997: 87) mengatakan bahwa cerita pendek (cerpen) ialah karangan (cerita rekaan) berbentuk prosa yang menceritakan suka duka kehidupan seseorang secara singkat yang dikemukakan secara padat; suatu konfllik dialami dengan perubahan watak/nasib tokoh. Sebagaimana diketahui bahwa unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang mempengaruhi cerpen dari dalam. Melalui unsur ini pembaca dapat mengetahui tema, amanat, alur, gaya bahasa, dan penokohan. Dewasa ini terlihat bacaan yang
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Novi Diana
204
diminati pembaca adalah cerpen dan novel. Baik cerpen maupun novel dibangun dengan komponen yang dalam sastra disebut unsur intrinsik. Salah satu unsur yang terkandung dalam sebuah cerpen adalah plot atau alur: Alur dalam cerpen adalah jalinan peristiwa demi peristiwa yang disajikan dengan urutan tertentu. Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot, cerpen haruslah mengandung bagian awal (beginning), bagian tengah (middle). Bagian akhir (end). Ketiga bagian ini saling berkaitan dan tidak terpisahkan. Untuk menyudahi sebuah cerpen, pengarang dapat raja rnclakukannya dengan jalan tiba- tiba (seketika) tanpa ada alasan yang dapat diterima oleh pembaca sehingga pembaca merasa belum puas dengan penyelesaian cerita itu, dan masalah yang dipaparkan kemungkinan belum terpecahkan. Ini makin membuat pembaca merasa rugi karena belum memperoleh manfaat dari bacaan tersebut dan timbullah rasa penasaran. Keadaan seperti ini sering terjadi pada akhir alur dalam cerpen maupun novel. Mengenai penyelesaian cerita, Nurgiantoro (1995: 147) mencatat sebagai berikut. Penyelesaian cerita yang masih menggantung masih menimbulkan tanda tanya, tak jarang menimbulkan rasa penasaran atau bahkan rasa ketidakpuasan pembaca. Hal itu terutama terjadi jika harapan pembaca belum (atau tidak) terpenuhi. Tak sedikit pembaca Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini hari, dan Jentera Bianglala yang masih penasaran karena akhir cerita ini masih menimbulkan tanda tanya. Akhir alur yang merupakan penyelesaian masalah kadang kala belum saatnya ditutup dan dibiarkan menggantung. Mungkin inilah pola penyelesaian yang merupakan ketentuan dan ciri khas pengarang dalam mengakhiri cerita. Pengarang membiarkan ceritanya menggantung untuk memberi kesempatan kepada pembaca untuk ikut memikirkan penyelesaian dalam cerita itu. Pola-pola penyelesaian cerita itu ada yang dinamakan dengan pola penyelesaian terbuka dan penyelesaian tertutup atau cerita yang berakhir dengan kesedihan atau kebahagiaan. Beberapa penyelesaian ini sering dijumpai dalam cerpe Pola penyelesaian merupakan kata lain dari akhir alur dalam sebuah cerita. Pola penyelesaian ini dilakukan pengarang saat memecahkan masalah terakhir atau menentukan akhir sebuah cerita dalam cerpen. Pengakhirannya dalam hal ini dikaitkan dengan bagaimana nasib tokoh-tokoh dalam cerita itu. Penyelesaian sebuah cerita pada intinya dapat dikategorikan ke dalam dua golongan: penyelesaian terbuka dan penyelesaian tertutup. Menurut Aristoteles (Nurgiantoro, 1995: 146) penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan: kebahagiaan (Happy and) an kesedihan (Sad and).
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
205 Pola Penyelesaian Cerita Dalam Cerpen Hasyim Ks Pengkajian pola penyelesaian cerita dalam cerpen karya Hasyim K.S, digunakan teori yang diajukan oleh Sudjiman, Nurgiantoro dan Aristoteles. Hasyim K.S merupakan seorang sastrawan yang dikenal oleh masyarakat di Aceh. Banyak cerpen yang dihasilkannya baik yang dimuat dalam media cetak maupun yang sudah terkumpul dalam bentuk buku yang berjudul "11 cerpen Hasyim K.S" Kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh Dewan Kesenian Aceh sebagai bahan pengadilan sastra. Cerpen-cerpen ini merupakan hasil kreasinya sebagai pengarang. Sejak umur 15 tahun sampai sekarang ia gemar menulis karya sastra, baik di bidang cerpen maupun puisi. Bagaimana pengarang menetapkan struktur alur dan pola penyelesaian sebuah cerpen yang digunakan penulis merupakan masalah yang penulis paparkan dalam tulisan ini. B.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif dengan pendekatan struktural. Metode ini penulis maksudkan agar dalam melaporkan hasil penelitian lebih sistematis dan terarah. Metode deskriptif diterapkan untuk memperoleh gambaran tentang sesuatu masalah atau keadaankeadaan. Selain itu, pendekatan struktural digunakan untuk menganalisis unsur-unsur pembentuk cerpen. Pendekatan ini terbatas pada analisis karya sastra secara otonom, yang berarti menganalisis karya sastra berdasarkan unsur intrinsik karya itu. Sumber data dalam penelitian ini adalah cerpen-cerpen Hasyim K.S yang terkumpul dalam 11 cerpen Hasyim K.S,". yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Aceh. Cerpen ini berjumlah 11 cerpen, namun yang diambil hanya 5 cerpen, yaitu ' Mesin Tulis dan Gadis itu, Bukan Sebuah Pertemuan Pertama, Di Mulut Lorong, Lewat Meulaboh dan Nyonya An Liang. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini ialah teknik dokumenter. Cara pengumpulan data yang peneliti gunakan melalui teknik dokumenter hanya mengumpulkan data berupa cerita berbentuk cerpen. Selain itu, data-data tersebut ditambah dengan pendapat para ahli sastra sebagai pedoman penulisan teori dalam penelitian ini. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penganalisisan secara langsung unsur intrinsik cerita. Untuk lebih terarah, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: (1) mendeskripsikan struktur alur cerpen satu per satu, (2) menabulasi bagan alur keseluruhan cerpen, dan (3) menentukan pola penyelesaian.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Novi Diana
206
C. Hasil Penelitian Berdasarkan uraian-uraian tentang struktur alur dalam cerpen-cerpen Hasyim K.S. di atas, maka dapat diambil simpulan atas pola penyelesaian cerita, baik yang tergolong dalam penyelesaian terbuka atau penyelesaian tertutu atau cerpen yang mengandung kebahagiaan dan kcsedihan pada akhir cerita. Di bawah ini akan diuraikan satu per satu mengenai pola penyelesaian cerita dalam cerpencerpen karya Hasyim K.S. 1. Pola penyelesaian cerita dalam cerpen "Mesin Tulis dan Gadis Itu" Cerpen MTGI dimulai dengan deskri si tentang tokoh atau tahap pengenalan tokoh. Pencerita yang merangkap sebagai okoh aku menggambarkan kehidupan tokoh seorang pensiunan mayor atau panggilannya mayor. Tokoh mayor mempunyai seorang istri dan beberapa orang anak. Anak-anaknya ada yang berada di luar kota. Anak yang bungsu bernama Zuraidah. Pada bagian tengah timbul perasaan bahwa tokoh aku ingin meminjam mesin tulis untuk mengetik naskah cerpen Namun, "Aku" merasa terganggu oleh Zuraidah yang selalu bertanya. Dua minggu kemudian "Aku" datang lagi ke rumah itu. Sebelumnya "Aku" ikut sandiwara keliling tapi pencerita tidak menceritakannya. Hal itu bukan suatu kilas balik. "Aku" datang lagi ke rumah mayor dengan maksud yang sama yaitu meminjam mesin tulis. "Aku" disambut oleh Zuraidah. Karena malam itu malam minggu, Zuraidah mempunyai maksud lain. Zuraidah ingin malam itu "Aku" mau mengajaknya bicara. Kemudian pembicaraan beralih pada ulang tahun Zuraidah yang dua hari lalu "Aku" tidak menghadirinya. Dilihat dari sikapnya, Zuraidah mempunyai sikap yang agresif. Secara diam-diam Zuraidah menyukai "Aku". "Aku" meladeninya juga. Kemudian timbul niat pada diri "Aku" untuk memberi hadiah pada Zuraidah sebagai hadiah ulang tahun, tapi tokoh Zuraidah tidak begitu mengharapkan. Zuraidah ingin mereka duduk-duduk saja malam itu. "Aku" mempunyai keinginan untuk memberi hadiah dengan cara lain, karena melihat Zurai duduk di sampingnya dan memejamkan mata, "Aku" mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu. Lalu "Aku" mendekati Zurai dan menciumnya. Zuraidah tidak bereaksi apa-apa sehingga "Aku" melakukan lebih dari itu. Zuraidah menjadi marah dan menolak tubuh "Aku". Zuraidah akan mengadukan hal itu kepada ayahnya (mayor). Akhirnya "Aku" dan Zuraidah berpisah. Keesokan hari "Aku" berjumpa dengan mayor yang tidak mengetahui persoalan itu. Cerita MTGI berakhir dengan kesedihan pada diri "Aku" atau Zuraidah. Penyelesaian cerita ini tergolong dalam penyelesaian terbuka, artinya cerita belum sampai pada penyelesaian atau pemecahan masalah. Mungkin cerita ini memberi
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
207 Pola Penyelesaian Cerita Dalam Cerpen Hasyim Ks kesempatan kepada pembaca untuk mengisi bagian yang kosong itu. Memang cerita ini sudah selesai tetapi masalah masih menggantung tanpa pemecahan, bagaimana nasib "Aku" dan Zuraidah selanjutnya tidak dikemukakan dalam cerita karena cerita diakhiri begitu saja. 2. Pola penyelesaian cerita dalam cerpen "Bukan Sebuah Pertcmuan Pertama" Cerpen BSGI diawali dengan pertemuan "Aku" dengan scorang gadis. Identitas "Aku" dan gadis kurang dijelaskan pada awal ccrita (bagian paparan) ini. Demikian pula pertemuan yang dipapar pada peristiwa pcrtama terasa bukanlah pertemuan pertama mereka, karena dari kalimat pertama dinyatakan bahwa sebelumnya mereka pernah bertemu. Agar lebih jelas dapat dilihat pada kalimat yang menjadi awal cerita ini "semenjak tadi memang, kami duduk di bawah pohon jambu di sudut pekarangan rumah itu". Kalimat ini menjelaskan seakan akan "Aku" sudah bertemu dengan gadis sebelumnya. Mungkin ada peristiwa awal yang belum diberikan oleh pengarang sehingga pertemuan itu belum jclas bagi pembaca. Cerpen BSPP bertemakan tentang pertemuan. Penecritaan berlangsung maju tanpa ada kilas balik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dari awal sampai bagian tengah merupakan konflik-konflik kecil dan tidak ada suatu ketegangan yang berupa rumitan. Alur cerita lebih banyak digunakan untuk orang-orang yang tidak berperan sebagai tokoh hanya sebagai latar ccrita saja. Permasalahan yang diceritakan oleh pencerita dikaburkan oleh pelukisan latar sehingga apa yang menjadi pokok masalah yaitu tentang pertemuan menjadi tidak jelas. Persoalan yang merupakan dasar cerita ini muncul kembali pada bagian kedua, yaitu bagian rangsangan (peristiwa 10), saat gadis mau pamit pulang pada 'Aku". Dari pembicaraan yang mereka tuturkan, antara "Aku" dan gadis mempunyai rasa suka yang sama hanya tidak diungkapkan dalam kata-kata tapi terungkap dari perbuatan mereka (peristiwa 11). Gadis menganggap pertemuan mereka adalah yang pertama dan yang terakhir. "Aku" dan gadis berpisah karena gadis sebulan lagi akan menikah. "Aku" merasa sedih. Dapat diambil simpulan bahwa cerpen BSPP mengandung kesedihan di akhir cerita. Penyelesaian cerita dalam cerpen ini tergolong dalam penyelesaian tertutup karena pencerita telah mengatur bagaimana kedudukan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan peran yang disandang. 3. Pola penyelesaian cerita dalam cerpen "Di Mulut Lorong" Cerpen DML berakhir dengan kesedihan. Bagian awal cerita dilatari oleh sebuah mulut lorong yang gelap. Seorang laki-laki berdiri dengan sebilah belati
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Novi Diana
208
yang terselip di pinggangnya. Laki-laki itu sangat tegang saat menunggu sescorang yang mungkin akan dibunuh. Laki-laki membayangkan kelakuan istrinya (Mariamah) tang buruk . Dia begitu cemburu terhadap Matrokan dan istrinya. Malam itu lakiaki itu menunggu Matrokan. Pada bagian tengah cerita tokoh Dia teringat akan masa lalu. Waktu itu ia menerima Mariamah sebagai istri. Ayah Mariamah menerima lamaran laki-laki itu sebagai calon suami anaknya. Pada hal waktu itu Mariamah lebih mencintai Matrokan, tetapi ayahnya tidak menyetujuinya. Ayah Mariamah lebih memilih laki-laki itu karena laki-laki itu seorang pegawai, sedangkan Matrokan hanya seorang jagoan pasar loak yang tidak jelas kehidupannya. Ayah Mariamah tidak salah memilih laki-laki itu sebagai calon suami anaknya. Menjelang akhir cerita laki-laki itu disadarkan kembali oleh kedatangan seseorang yang ditunggunya beberapa lama. Pada saat orang itu sampai di depan pintu rumah, laki-laki itu langsung menikam orang tersebut dari belakang. Setelah membunuh, laki-laki itu langsung lari ke kantor polisi dengan sebuah becak. Dalam peristiwa ini keadaan semakin tegang. Polisi menjelaskan bahwa yang terbunuh adalah ayah Mariamah, bukan Matrokan. Akhir cerita demikian itu sangat mengejutkan pembaca yang menyangka Matrokan telah terbunuh. Anggapan tersebut sangat keliru karena yang terbunuh adalah mertua laki-laki itu sendiri. Dalam hal ini pengarang berhasil mengelabui pembaca. Sesuai dengan tuntutan cerita, maka tokoh-tokoh yang berperan harus menerima nasib sebagai mana yang diemban. Penyelesaian cerita ini tergolong dalam penyelesaian tertutup. Sesuai dengan perbuatannya, laki-laki itu dipenjarakan karena membunuh orang. Demikian juga orang yang menjadi objek dalam bayangan laki-laki itu jugs dipenjara karena membuat onar di pasar loak. Penyelesaian cerita tidak menggantung karena pemecahan masalah telah ada seperti yang dilakukan oleh laki-laki itu adalah kesalahan besar karena harus membunuh. 4. Pola penyelesaian cerita dalam cerpen "Lewat Meulaboh" Bagian awal cerpen LM dimulai dengan deskripsi latar. Dalam cerpen LM mengisahkan tentang "Aku" yang akan pergi ke Aceh Barat dengan menumpang bus yang menuju ke sana. "Aku" duduk dengan seorang gadis. "Aku" dan gadis berkenalan dan selanjutnya membicarakan tentang rambut gondrong. Bagian tengah alur cerita beralih mengenai transportasi jalan ke Meulaboh dan pelebaran jalan yang merugikan masyarakat. Bagian akhir cerita, "Aku" sudah sampai ke tujuan dan gadis melanjutkan kembali perjalanannya ke Tapaktuan. "Aku" menunggu keberangkatan gadis.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
209 Pola Penyelesaian Cerita Dalam Cerpen Hasyim Ks Setelah berpisah, keesokan harinya "Aku" bertemu dengan pemilik hotel yang ditempatinya. Pemilik hotel mengatakan bahwa bus yang ditumpangi "Aku" malam itu masuk ke jurang, semua penumpang tewas, kecuali dua orang kernet yang berhasil menyelamatkan diri. "Aku" merasa sedih dengan kejadian yang menimpa gadis. Penyebab kejadian ini kembali pada masalah transportasi daerah bagian barat yang rusak dan perlu perhatian pemerintah. Fokus permasalahan yang berat dalam cerpen tersebut terletak pada alat transportasi. Cerpen ini mengandung protes sosial terhadap pemerintah untuk itu perlu adanya perhatian dari instansi terkait. Cerpen LM tergolong dalam penyelesaian tertutup. Tokoh-tokoh cerita sudah menerima nasibnya seperti gadis yang tewas karena kecelakaan itu. Cerita ini berakhir dengan kesedihan. 5. Pola penyelesaian cerita dalam cerpen "Nyonya An Liang" Cerpen NAL dimulai dengan deskripsi tokoh dan latar kehidupan tokoh sebelumnya. Bagian paparan merupakan penjelasan tentang kehidupan Nyonya An Liang. Cerpen ini diperankan oleh dua orang tokoh, yaitu tokoh Nyonya An Liang dan Udin Santosa. Nyonya An Liang adaiah seorang istri yang selalu merasa kesepian bila ditinggalkan oleh suaminya. Sepeninggal om Andi nyonya An Liang selalu ditemani oleh Udin Santosa. Bagian tengah cerita masuk pada tahap tikaian, mereka berbicara tentang anak. Nyonya An Liang terkejut ketika Udin membicarakan tentang anak. Sebenarnya pada saat itu nyonya An Liang ingin membicarakan sesuatu pada Udin bahwa sebenarnya, is akan mempunyai anak dari perselingkuhan mereka selama ini. Nyonya An Liang sangat menginginkan anak tersebut seperti wanita-wanita lain. Sekarang nyonya An Liang telah mendapatkan anak tersebut tapi bukan dari suaminya sendiri. Udin mengkhawatirkannya Selanjutnya nyonya An Liang tidak menghendaki kedatangan Udin ke rumahnya lagi. Pada bagian akhir cerita, nyonya An Liang bunuh diri di rumahnya. Udin datang ke rumah itu dengan perasaan sedih karena kematian nyonya An Liang. Cerita ini dapat dikatakan berakhir dengan kesedihan. Jika ditinjau dari segi pemecahan masalah dan melirik pada peristiwa bagian tengah cerita terasa waktu itu pencerita memberitahukan pembaca bahwa nyonya An Liang sangat menginginkan anak tersebut. Tapi mengapa tiba-tiba nyonya An Liang bunuh diri, apakah karena anak itu hasil perselingkuhannya dengan Udin Santosa atau karena takut pada suarninya. Jika keinginan/hasrat untuk membunuh anak itu ada, mengapa pada bagian sebelumnya tidak dijelaskan penyebab nyonya An Liang harus bunuh diri. Tetapi nyonya An Liang menyambut positif terhadap kehadiran
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Novi Diana
210
anak tersebut saat di depan tokoh Udin Santosa. Mungkin pencerita sengaja tidak memberitahukan kepada pembaca tentang tanda-tanda atau apa yang menjadi suatu alasan sampai nyonya bunuh diri. Terasa pada bagian penyelesaian masalah terdapat suatu kejanggalan. Bagian akhir cerita tidak diberi alasan yang jelas mengenai kematian tokoh. Cerpen ini mengandung kesedihan pada akhir cerita dan dapat digolongkan ke dalam penyelesaian tertutup. D. Penutup 1. Kesimpulan Pola penyelesaian merupakan cara pengarang dalam menyudahi cerita yang telah mengalami suatu konflik berupa masalah-masalah yang terkadang membutuhkan penyelesaian. Hal itu sering dijumpai dalam cerpen atau novel yang menuntut adanya suatu penyelesaian pada akhir cerita. Dari hasil penellitian menggambarkan bahwa cerpen-cerpen Hasyim K.S menggunakan beberapa jenis alur. Pertama, cerpen yang menggunakan alur maju dan alur mundur. Kedua, secara kualitatif, cerpen-cerpen beralur erat dan beralur longgar. Ketiga, secara kuantitatif, semua cerepen yang terkumpul menggunakaan alur tunggal. Ditinjau dari penyelesaian masalah, cerpen Hasyim K.S tergolong dalam penyelesaian tertutup yang berjumlah 3 cerpen dan penyelesaian terbuka hanya 2 cerpen. Cerpen-cerpen Hasyim K.S cenderung berakhir dengan kesedihan. 2. Saran Bagi peminat sastra atau pembaca perlu membaca dan memanfaatkan karya sastra berbentuk cerpen karena melalui cerpen manusi bias memperoleh pengalaman, ide-ide baru, dan nilai-nilai luhur kehidupan manusia. DAFTAR PUSTAKA Eneste, Pamusuk. 1983. Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta: Gramedia. Hadimadja, Aoh K. 1981. Seni Mengarang. Jakarta: Pustaka Jaya. Hasyim. 1996. 11 Cerpen Hasyim K.S. Banda Aceh: Dewan Kesenian Aceh. Keraf, Gorys. 2010. Narasi dan Argumentasi. Jakarta: Gramedia. Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Gajah Mada University Press. Pradopo, Rahmat Djoko. 1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Gajah Mada University Press. Sumardjo dan Saini. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Bandung: Sinar Baru. Suryabrata, Sumadi. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Wali. Sudjiman. Panuti. 2006. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
211 Pola Penyelesaian Cerita Dalam Cerpen Hasyim Ks Sayuti, Suminto A. 1998. Apresiasi Prosa Fiksi. Depdikbud. Ramlan, M. 1990. Bahasa Indonesia yang Salah dan yang Benar. Yogyakarta: Andi Offset. Wildan, dkk. 1998. Struktur Sastra Lisan Tamiang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
212
PENDIDIKAN NILAI PADA MASA RASULULLAH SAW Oleh : Fauzan Dosen Ilmu Pendidikan pada Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe E-mail:
[email protected] Abstrak Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik kearah yang lebih baik.Rasul adalah contoh pendidik sejati yang patut di ikuti dan dicontoh teladani dalam mengemban tugas pendidikan, karena dalam masa yang relatif singkat Beliau telah mampu mengubah keyakinan masyarakat Arab terhadap dewa-dewa menjadi manusia beriman kepada Allah swt.sertamampu mengubah karakter yang keras dan sikap aniaya menjadi manusia yang lembut dan akhlak yang mulia.Keberhasilan Rasul karena beliau tidak hanya menjadi pengajar tetapi juga Beliau menjadi pembimbing dan pendidik dalam menanamkan nilai-nilai tauhid dan moral kepada para sahabat dan masyarakat Arab. Kata kunci: Pendidikan, nilai Abstract Education is a conscious and deliberate effort to develop all its potential learners towards the better. The Apostle is an example of a true educator should be followed and emulated look up in the task of education, because of the relatively short time he has been able to change the beliefs of Arab society of the gods became men believe in Allah swt. and be able to change the character and attitude of harsh persecution human being gentle and noble spirit. Apostle success because he is not only a teacher but he is also a mentor and educator in instilling values and morals of monotheism to his Companions and Arab communities. Key words: education, value. A. Pendahuluan Pendidikan dalam Islam memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan secara utuh dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat atau keseimbangan materi dan religius spiritual. Salah satu ajaran nabi Muhammad saw adalah intelektualisasi total, yakni proses penyadaran kepada umat dalam berbagai dimensi teladan yang baik (mau‟idhah hasanah).Dari segi pendidikan
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
213 Pendidikan Nilai Pada Masa Rasulullah Saw nabi mendidik para sahabat untuk lepas dari belenggu jahiliyah, kegelapan spiritual dan intelektual yang mencakup culture of silence dan structural poverty.Dari segi politik Nabi mengajarkan kemerdekaan bagi umatnya yang tertindas. Nabi mengingatkan hak-hak serta tanggung jawab mereka menjadi umat yang tidak buta terhadap politik hingga mereka menjadi umat yang senantiasa berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar mereka menjadi umat yang kuat dan hak-haknya tidak dirampas. Dalam dimensi kultural, Nabi mengajarkan umat untuk membebaskan diri dari tradisi taklid buta, yakni meniru tradisi nenek moyang tanpa menggunakan akal kritisnya. Di sini Nabi mengajarkan tradisi baru yang berupa sunnah Rasul. Dalam tradisi baru ini Rasul mengenalkan akal sebagai inti keberagamaan seseorang (Abdurrahman Mas‟ud: 2001: 8).Terobosan yang dilakukan oleh Rasul ini telah membawa perubahan besar pada paradigma berpikir di kalangan bangsa Arab. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam memberikan pengajaran dan pendidikan kepada para sahabat dan masyarakat Arab umumnya adalah penanaman nilai terhadap pengajarannya.Penanaman nilai-nilai tersebut beliau terapkan melalui perilaku dan juga contoh nyata dalam kehidupan seharihari.Tulisan inibertujuan menjelaskan tentang pengertian pendidikan nilai, serta mencari, menelaah dan mengungkap tabir keberhasilan Rasul sebagai sosok pendidik sejati yang telah berhasil menanamkan nilai-nilai Qurani terhadap para sahabat dan masyarakat Arab pada umumnya sehingga terjadinya perubahan yang signifikan dalam keyakinan dan kehidupan sosial. B.
Hakikat Pendidikan Nilai pada Pada Masa Rasulullah saw. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (2003: 10) tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan petensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Sementara menurut Muhammad Fadhil al-Jamali (1986: 3), pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan. Hasan Langgulung (1989: 22) menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan polapola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik. Setiap suasana pendidikan mengandung tujuan-tujuan, maklumat-maklumat berkenaan dengan pengalaman-pengalaman yang dinyatakan sebagai materi, dan metode yang sesuai untuk mempersembahkan materi itu secara berkesan kepada anak.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Fauzan
214
Kata Value, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Nilai, berasal dari bahasa latin Valere atau bahasa Francis kuno Valoir. Sebatas arti denotatifnya Valere, Valoir, Value, atau Nilai dapat dimaknai sebagai harga, namun ketika kata itu sudah dihubungkan dengan satu objek atau dipersepsikan dalam sudut pandang tertentu, maka harga yang terkandung didalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam. Ada harga menurut ilmu Ekonomi, Psikologi, Sosiologi, Politik dan Agama. Zakiyah Daradjat (1971: 13) mendefinisikan nilai sebagai apa yang disuruh Allah, itulah nilai yang lebih baik dan apa yang dilarang-Nya itulah yang tidak baik dan juga harus dijauhi segala perbuatan, perkataan dan cara hidup seorang muslim harus seuai dengan ajaran agama Islam. Sedangkan menurut Sidi Gazalba (1978: 16), nilai adalah setiap sesuatu yang dipandang baik dan berharga yang melekat pada suatu objek tertentu.Adapun dalamKamus Bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwadarminta: 1976: 667) nilai diartikan dengansifat-sifat ( hal-hal ) yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Adapun nilai-nilai yang diajarkan dan diintegrasikan Rasul kepada para sahabat dan masyarakat Arab dalam masa 10 di Mekkah dan 13 tahun di Madinah diantaranya adalah: 1.
Penanaman Nilai-nilai Tauhid Pola pendidikan nilai yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw dalam membentuk masyarakat yang bertauhid dimulai dari membangun masyarakat Arab Jahiliyah di Mekah sebagai basis pertama periode kerasulan. Sesuai dengan karakteristiknya, fokus pembinaan masyarakat dan pribadi pertama sekali adalah pemahaman yang kuat terhadap masalah tauhid atau akidah.Pada saat itu masyarakat Arab yang jahiliyah masih berkembang sistem politeisme, dalam situasi seperti ini ada beberapa nilai luhur yang terus dipertahankan oleh Rasul dan ada juga beberapa nilai yang diupayakan untuk dihilangkan. Salah satu karakteristik pendidikan nilai yang dibawa oleh rasul adalah tetap mempertahankan nilai-nilai luhur masyarakat Arab.Menurut Ahmad Amin (1975: 77), nilai-nilai tersebut adalah 1) semangat dan keberanian; 2) kedermawanan; dan 3) kebaktian terhadap suku.Di samping itu ada juga nilai-nilai yang tidak baik yang sudah mengakar dalam masyarakat Arab yaitu: 1) politeisme dan penyembahan berhala; 2) pemujaan terhadap ka‟bah secara berlebihan; 3) perdukunan dan kurafat; dan 4) mabuk-mabukan (Hasan Ibrahim Hasan: 1967: 196), dihilangkan oleh nabi dengan cara menanamkan nilai-nilai yang luhur. Umar Shihab(2004: 62) menjelaskan bahwa petunjuk-petunjuk Alquran yang menjadi sandaran Rasul dalam bertindak dan berbuat ditambah dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dimilikinya rasul telah mampu mengubah segisegi negatif dari adat istiadat masyarakat jahiliyah tersebut dalam waktu yang
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
215 Pendidikan Nilai Pada Masa Rasulullah Saw sangat singkat sehingga pada akhirnya generasi mereka menjadi khairul qurn (sebaik-baik generasi). Rasulullah sebagai guru bagi para sahabat dan masyarakat jahiliyah dalam menerapkan nilai-nilai positif pertama sekali adalah dengan menampilkan performan atau sikap yang baik.Sikap ini telah beliau tunjukkan jauh sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Mengapa rasul sangat dicintai oleh masyarakat jahiliyah, tidak lain kecuali karena sikap dan perangai beliau yang selalu sesuai dengan ucapan dan tindakan. Beliau tidak pernah berdusta, sehingga beliau diberi gelar oleh masyarakat dengan sebutan al-amin artinya orang yang tidak pernah berdusta atau dapat dipercaya.Dengan modal inilah rasul mencitrakan dirinya sebagai agen perubahan yang diamati secara langsung oleh masyarakatnya. Untuk mengetahui secara rinci bagaimana rasulullah melalui bimbingan wahyu memberikan fondasi pendidikannya dengan nilai-nilai positif untuk menggantikan nilai-nilai negative dalam kehidupan masyarakat Arab sebagaimana tersebut diatas adalah: a. Penyembahan terhadap berhala dan politeisme Dalam usaha menghilangkan adat dan kebiasaan masyarakat Arab jahiliyah yang bertuhan banyak (politeisme) dan penyembah berhala adalah dengan mengenalkan prinsip nilai-nilai tauhid. Pola piker dan tingkah laku yang sudah sangat mengakar dan turun temurun ini secara perlahan dan pasti diarahkkan kepada prinsip tauhid.Keesaan tuhan bukanlah suatu konsep ditengah-tengah berbagai konsep. Akan tetapi ia merupakan prinsip lengkap yang menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khasanah fundamental keimanan dan akal manusia (Muhammad Fazlur Rahman Anshari: 1984: 141). Keesaan berisi satu inti dipusatnya dan sejumlah orbit unisentris di sekililingnya. Pada orbit-orbit itulah keesaan mengejewantahkan diri dalam tingkah yang berbeda-beda. Dari keesaan Tuhan dan kepada keesaan-Nya terpancar kesatuan-kesatuan lainnya. Seperti kesatuan alam semesta dalam penciptaan, eksistensi dan tujuannya, kesatuan kehidupan duniawi dan ukhrawi, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu dalam berbagai disiplin ilmunya dengan amal, kesatuan iman dan realitas, kesatuan asal manusia dan kesatuan-kesatuan lainnya. Nilai-nilai itulah yang dihayati oleh masyarakat Islam pada masa awal sehingga berubah secara total sikap, pola piker, dan ttingkah laku mereka. Dengan kata lain, Rasul melalui bimbingan wahyu mengubah mereka dengan menggunakan nilai-nilai dan prinsip tauhid. Setiap sikap, pola pikir dan tingkah laku yang berkaitan secara langsung dengan pandangan tauhid atau yang bertentangan dengannya, dihadapinya dengan penolakan tegas dan tanpa kompromi secara dini dan langsung pula.Politeisme dengan segala manifestasinya, seperti penyembahan berhala, sesajian, semuanya itu ditolak oleh rasul sejak awal-awal wahyu pertama.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Fauzan
216
b. Pemujaan terhadap Ka‟bah yang berlebihan Terhadap masalah ini, strategi yang dilakukan oleh Rasul adalah dengan melakukan ibadah haji sesuai denan tuntunan Alquran.Perlu diketahui bahwa, ritual penyembahan terhadap Ka‟bah merupakan ritual tahunan yang sudah berjalan secara turun-temurun. Pada awalnya kegiatan ini sesuai dengan millah Ibrahim, akan tetapi karena lama tidak mendapat bimbingan dari Nabi, masyarakat Arab mencampur-adukkan kegiatan ibadah ini dengan hal-hal maksiat, yaitu dengan bertelanjang ketika melakukan tawaf pada sekitar mesjid. Melihat hal ini, Rasul dengan tegas menolak semua ritual tersebut, dan menggantikannya dengan ibadah haji yang sesuai dengan tuntunan Alquran. c. Perdukunan dan kurafat Untuk menghilangkan kebiasaan masyarakat Arab Jahiliah yang suka menyembah kubur dan berkurban untuk para berhala, Rasulullah segera melakukan srategi pendidikan nilai dengan memasukkan unsure tauhid di dalamnya.Pada awalnya kegiatan berqurban untuk berhala merupakan kehormatan bagi setiap suku, hal ini diganti dengan berqurban hanya untuk Allah semata-mata sebagaimana dilakukan oleh nabi Ibrahim as. ` Perilaku kurafat dalam ziarah kubur diganti oleh rasul diganti dengan perilaku yang sesuai dengan Alquran dan beliau sendiri yang mencontohkan bagaimana cara berziarah kubur yang baik dan sesuai dengan syariat. Artinya penanaman nilai-nilainya pada pengingatan akan kematian ketika melakukan ziarah kubur dan mendoakan keampunan serta curahan rahmat terhadap ahli kubur, bukan meminta berkah dari kubur seperti yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah. d. Kebiasaan mabuk-mabukan Langkah strategis yang dilakukan oleh rasul melalui bimbingan wahyu menggantikan kebiasaan mabuk-mabukan adalah dengan memberikan pendekatan persuasif.Artinya pelarangan dilakukan secara bertahap. Hal ini berbeda dengan ketika rasul melarang perilaku musyrik, ia dengan tegas menolak segala bentuk kemusyrikan, tetapi untuk masalah minuman khamar, rasulullah melalui bimbingan wahyu memberikan pencegahan secara gradual. Pada awalnya diberi pengertian dan pemahaman bahwa dalam khamar terdapat manfaat yang dapat diambil, tetapi manfaatnya jauh lebih kecil daripada mudharatnya.Setelah pemahaman ini dapat diterima oleh masyarakat, kemudian secara tegas rasul melalui bimbingan wahyu memberikan peringatan bahwa “barang siapa yang sedang mabuk dilarang mendekati shalat”. Rupanya pelan tapi pasti para sahabat sudah bisa memahami bagaimana jadinya kalau shalat dlam keadaan mabuk, maka bacaannya pasti tidak akan dapat dipahami oleh mereka yang shalat dalam keadaan mabuk. Setelah hal ini dipahami secara mantap dan berkenan di hati, langkah terakhir yang dilakukan rasul untuk mencegah perilaku mabuk-mabukan adalah dengan turunnya ayat yang menerangkan bahwa mabuk-mabukan dan judi adalah
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
217 Pendidikan Nilai Pada Masa Rasulullah Saw perilaku syaithan, maka jauhilah karena termasuk najis.Di sinilah tampak prinsip tegas yang telah diperlihatkan oleh rasulullah, ia memberikan pelarangan secara tegas dan seketika untuk perilaku atau sikap ini, sampai pada akhirnya terbentuk kesadaran pribadi terhadap setiap perbuatan. Seperti telah dikemukakan di atas, rasul menghadapi masyarakat dengan pola pikir, tingkah laku dan sikap yang sedikit atau banyak berbeda dengan apa yang dikehendaki. Langkah yang ditempuh rasul dalam menghadapi perbedaan tersebut adalah apabila perbedaan itu berekaitan dengan akidah maka rasul menghadapinya dengan ketegasan dan adakalanya dengan bimbingan secara bertahap pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial. Sebagai contoh adalah sikap yang suka menanam hidup-hidup anak-anak wanita yang dilakukan oleh beberapa kabilah atas dorongan kekhawatiran akan kemiskinan dan kehinaan, dinilai bertentangan dengan tauhid serta melanggar nilainilai kemanusiaan. Rasul mengajarkan sikap optimisme, memerintahkan bekerja untuk memperoleh rezeki yang dijamin oleh Allah melalui dihamparkannya alam raya. Demikian pula halnya dengan kebohongan; keangkuhan, tirani dan sebagainya.Oleh karena itu sejak dini,rasul telah berusaha membentuk iklim baru,dari segi pola pikir yang berbeda dengan pola pikr jahiliyah. Adapun sikap dan tingkah laku yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan tidak langsung berkaitan dengan akidah(tauhid),ia menghadapi bimbingan secara bertahap. Minuman keras, zina, riba, perbudakan dan lain-lain yang tidak lagi merupakan tingkah laku perorangan, tetapi telah membudaya dan menjadi bagian dari pandangan masyarakat, dihadapi dengan cara kedua ini sambil menjelaskan segi-segi negatifnya. Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan di atas tentang mempertahankan nilainilai luhur yang juga turut mengakar di masyarakat, rasul dengan bimbingan Alquran semakin memperjelas kedudukan dan fungsi perilaku yang terpuji yang sudah mengakar tersebut.Adapun perilaku tersebut adalah: 1. Semangat dan keberanian. Untuk mengasuh nilai-nilai tersebut yang sudah lama mengakar dimasyarakat jahiliyah, rasulullah memberikan penegasan dan tujuan yang mulia.Diantaranya yaitu dengan mengarahkannya pada jihad di jalan Allah.Semangat dan keberanian terus dipupuk oleh rasul dan digunakan untuk membela kepentingan dan dakwah Islam. Sebelum Islam semangat dan keberanian ditujukan untuk mempertahankan harga diri dari serangan kabilah lain. Semangat tersebut tetap dipertahankan dengan mempertajam tujuan mulia di dalamnya yaitu dengan semangat jihad dn keberanian melawan musuh Islam. 2. Kedermawanan Sikap kedermawanan merupakan salah satu sikap positif yang tetap mengakar di masyarakat. Sikap ini ditunjukkan terutama dalam hal melayani jamaah haji yang berkunjung ke kota Mekkah pada tiap
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Fauzan
218
tahunnya.Para kabilah dengan penuh semangat berusaha memberikan fasilitas dan bantuan akomodasi terhadap para tamu tersebut.Melihat keadaan ini, rasul segera memberikan penegasan dan kemuliaan tujuan sikap kedermawanan.Rasulullah mencontohkan secara langsung sikap kedermawanan.Rasul tidak pernah menolak setiap orang yang hendak meminta pertolongan.Di samping itu, dengan bimbingan wahyu dan peringatan yang beliau sampaikan tentang prinsip-prinsip kedermawanan yaitu dengan ungkapannya “tidak beriman seseorang diantara kamu yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya tidak bisa tidur karena menahan lapar.Jadi ada nilai-nilai tauhid yang ditanamkan berkaitan dengan sikap kedermawanan. 3. Kebaktian terhadap suku Sikap setia terhadap suku atau kabilah merupakan salah satu karakteristik masyarakat jahiliyah.Sikap ini senantiasa bertahan dan berkembang sejalan dengan perkembangan Islam.Rasul memandang baik sikap tersebut sepanjang tidak ashabiyah.Oleh karena itu rasul segera memberikan nilainilai terhadap rasa setia terhadap kabilah dengan nilai-nilai tauhid. Rasul mengajarkan bahwa setiap muslim adalah saudara yang harus dibela kehormatannya, tidak peduli dari suku yang sama atau dari suku lain. Rasulullah menerapkan prinsip persaudaraan berdasarkan akidah yang ditanamkan kepada para sahabat dan masyarakat Arab. Selain penanaman nilai-nilai tauhid di atas, rasul juga mengajarkan bagaimana cara memahami nilai-nilai Alquran.Karena pada masa awal yang banyak dibicarakan Alquran juga masalah akidah. Jadi dengan mempelajari Alquran para sahabat dapat memberikan pengajaran kepada keluarga dan juga masyarakat Arab pada umumnya. Pesan-pesan yang terdapat dalam Alquran selain mudah dimengerti juga sarat dengan nilai-nilai tauhid yang hakiki. Salah satu nilai tauhid dalam pendidikan melalui Alquran adalah pengenalan nama Allah.Pertama-tama rasul dalam rangka memberikan pendidikan tauhid ini mengajak umatnya untuk membaca, memperhatikan dan memikirkan kekuasaan dan kebesaran Allah. Kemudian beliau mengajarkan cara merealisasikan pengertian tauhid tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Semua kebiasaan kehidupan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan pengertian tauhid,, diubah dan diluruskan secara berangsur-angsur sehingga sesuai dengan ajaran dan nilainilai tauhid (Zuhairini, dkk; 1997: 26). Kalau selama ini, masyarakat jahiliyah dalam memulai pekerjaan dengan menyebut nama berhala, maka rasul memulai pekerjaan selalu menyebut nama basmalah.Kemudian rasul mengajarkannya kepada mereka sehingga secara berangsur-angsur menjadi kebiasaan para sahabat.Kebiasaan orang Arab membaca syair-syair yang indah yang berisi puji-pujian terhadap tuhan-tuhan mereka, diganti oleh rasul dengan membaca Alquran.Setiap turun wahyu rasul memerintahkan para
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
219 Pendidikan Nilai Pada Masa Rasulullah Saw sahabat untuk membaca dan menghafalnya, sehingga Alquran menjadi bacaan mereka sehari-hari menggantikan kebiasaan membaca syair-syair. Kalau mereka semua mempunyai kebiasaan memuja dan menyembah berhala-berhala, maka rasul mengganti kebiasaan tersebut dengan mengagungkan dan menyembah Allah dengan shalat dan berdoa kepadanya yang dimulai dengan takbir.Rasul memberikan contoh bagaimana melaksanakan shalat, kemudian memerintahkan para sahabat untuk menirukannya. Mahmud Yunus (1995: 5) menyimpulkan pola pendidikan rasul pada periode Mekkah ada empat pokok, yaitu: 1. Pendidikan keagamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan dipersekutukan dengan nama berhala karena nama Tuhan itu Maha Besar dan Maha Pemurah, sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jauhnya. 2. Pendidikan akliyah dan ilmiyah yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan demikian itu kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya, sedangkan mereka dahulu belum mengetahuinya. Untuk mengetahui hal itu haruslah dengan banyak membaca dan menyelidiki serta memakai pena untuk mencatat. 3. Pendidikan akhlak dan budi pekerti, rasul mengajarkan sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid. 4. Pendidikan jasmani (kesehatan) yaitu meningkatkan kebersihan pakaian, badan, dan tempat kediaman. 2.
Penanaman Nilai-nilai Sosial Kalau nilai-nilai tauhid mulai ditanamkan rasul ketika beliau masih berada di Mekkah, maka penanaman nilai-nilai sosial baru bisa berjalan ketika rasul sudah hijrah ke Madinah. Pada periode Mekkah fokus pendidikan adalah pada persoalan tauhid atau akidah, maka pada periode Madinah bertambah luas yaitu sudah memasuki fase pembinaan bermasyarakat yang lebih baik. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Mekkah. Diantara pendidikan yang dilakukan rasul pada periode Madinah ini yaitu sebagai berikut: 1. Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru Pertama sekali yang dilakukan oleh rasul dalam rangka membangun masyarakat baru adalah dengan mendirikan masjid sebagi pusat kegiatan ibadah dan kegiatan sosial kemasyarakatan.Dari sinilah rasul meletakkan dasar-dasar terbentuknya masyarakat yang bersatu padu secara intern. Oleh karena itu menurut Haekal (1972: 30-31) dalam masa pembinaan ini rasul
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Fauzan
220
memberikan pendidikan nilai pada masalah kemasyarakat dengan langkahlangkah sebagai berikut: a. Rasul mengikis habis sisa-sisa permusuhan dan pertentangan antar kabilah yaitu dengan jalan mengikat tali persaudaraan diantara mereka. dalam hal ini langkah yang dilakukan rasul adalah mempersaudarkan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar. b. Rasul juga menganjurkan kepada umatnyauntuk bekerja keras sesuai dengan keahlian masing-masing untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi yang biasa berdagang, maka rasul menganjurkan untuk berdagang, dan bagi yang biasa bertani rasul juga menganjurkan untuk meningkatkan usaha pertanian. c. Untuk menjalin kerjasama dan tolong menolong dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur, rasul memerintahkan umatnya untuk membayar zakat bagi yang mampu sebagai bagian dari tanggung jawab sosial. d. Untuk meningkatkan ukhwah di antara umat, rasul menganjurkan pelaksanaan shalat berjamaah di masjid, dan juga turunnya perintah shalat jumat berjamaah sebagai sarana komunikasi berdasarkan tuntunan keimanan. 2. Pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan Materi pendidikan soial dan kewarganegaraan Islam pada masa awal adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam piagam Madinah. Pada piagam ini disebutkan bahwa setiap kelompok dan individu wajib bekerja sama dalam membela kedaulatan negara apabila diserang musuh, tanpa memandang status dan keyakinan yang ada. Artinya semua elemen masyarakat harus bahu membahu dalam mempertahankan kedaulatan negara. Di antara langkah rasul dalam pembinaan sosial politik dan kewarganegaraan adalah: a. Pendidikan ukhuwah antar kaum muslimin b. Pendidikan kesejahteraan sosial c. Pendidikan kesejahteraan keluarga dan kaum kerabat 3. Pendidikan anak-anak dan remaja Anak atau keturunan adalah generasi penerus yang akanmenerima warisan nilai dan budaya dari generasi sebelumnya, dan yang akan mengembangkan warisan-warisan tersebut menjadi lebih berdaya guna. Oleh karena itu menurut Mahmud Yunus (1995: 5), dalam rangka mempersiapkan anak-anak muda agar mampu menerima warisan Islam dan bertanggung jawab untuk mengemban tugas untuk pengembangan dakwah,
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
221 Pendidikan Nilai Pada Masa Rasulullah Saw maka sejak anak-anak rasul memerintahkan untuk belajar membaca dan menulis serta menghafal Alquran. Dalam hal ini Rasul mendirikan kuttab yang berfungsi sebagai tempat anak-anak membaca dan menghafal Alquran yang disebut Darul Quran. 4. Pendidikan hankam dakwah Islam Setelah berlakunya piagam Madinah, maka kaum muslimin secara resmi menjadi satu kesatuan sosial politik atau masyarakat yang berdaulat sendiri, diakui kedaulatannya oleh masyarakat sekelilingnya. Oleh karena itu, Rasul juga memberikan pembinaan kepada umatnya tentang cara mempertahankan kedaulatan Negara demi tegaknya dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat. Sebagai bukti peran Rasul yang sangat penting adalah keikut sertaannya dalam setiap peperangan.Rasul selalu mengajarkan sikap kepahlawanan dan sikap kesatria dalam membela agama dan kepentingan umat Islam. C. Penutup Pendidikan nilai pada masa Rasul telah ditanamkan sedemikian rupa, sehingga hasilnya sangat signifikan dalam kurun waktu lebih kurang 23 tahun. Suatu prestasi yang luar biasa, bagaimana masyarakat yang dulunya jahiliyah dan jauh dari nilai-nilai tauhid, berkat dari keuletan dan kegigihan Rasul dalam membina masyarakat, akhirnya dapat dijumpai suatu masyarakat yang bermartabat dan bertauhid sampai pada hari ini. Daftar Kepustakaan Amin, Ahmad. 1975. Fujrul Islam. Kairo: Maktabah an-Nadhdhah al-Misriyyah. Derajat, Zakiayah. 1971. Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia,Jakarta: Bulan Bintang. Fazlur Rahman Anshari, Muhammad. 1984. The Quranic Foundation and Strukture of Muslim Society, terj. Juniarso, dkk, Konsep Masyarakat Islam Modern Bandung: Risalah. Ghazalba, Sidi. 1978. Azas-azas Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang. Haekal.1972.Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Tintamas. Ibrahim Hasan, Hasan. 1967.Tarikhul Islam. Kairo:Maktabah an-Nadhdhah al`Misriyyah. Langgulung, Hasan. 1989. Manusia dan Pendidikan; suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna. Mas,ud, Abdurrahman. 2001.Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, dalam “Paradigma Pendidikan Islam” ed. Ismail SM, Nurul Huda dan Abdul Khalik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Fauzan
222
Muhammad Fadhil al-Jamali, Falsafah pendidikan dalam Alquran.Surabaya: Bina Ilmu, 1986. Poerwadarminto, W.J.S.1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: P.N.Balai Pustaka. Shihab, Umar. 2004. Kontekstualitas Alquran; Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Alquran.Jakarta: Pena Madani. Tim Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Perundang Undangan RI tentang Sistem Pendidikan Nasional, Cet II. Bandung: Nuansa Aulia, 2009. Yunus, Mahmud. 1995. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung. Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
223
THE INFLUENCE OF READING ALOUD AT THE CLASS IN DEVELOPING PRONUNCIATION ABILITY (An experimental Teaching at Darul Ulum) By: Muhamamd Iqbal (Head of International Relation of Ubudiyah Foundation and English lecturer in STIMIK and STIKes Ubudiyah Banda Aceh Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahuai apakah membaca besar di dalam kelas dapat meningkatkan kemampuan siswa pada pengucapan atau tidak dan juga untuk menemukan keefektifitas dari metode membaca besar untuk pengajaran Bahasa Inggris. Dalam pengumpulan data, penulis melakukan penilitian lapangan dan perpustakaan. Penelitian lapangan di lakukan pada siswa kelas 1 MAN Darul Ulum banda Aceh dalam sebulan. Penulis melakukan pre dan post-test dan juga mendistribusikan kuesioner. Penganalisaan dan proses data melalui analisa deskriptif. Hasil penilitian menunjukan bahwa kebanyakan siswa MAN Darul Ulum mendapatkan kemajuan setelah penulis mengajarkan metode membaca besar dan pengucapan siswa juga mengalami kemajuan, hal ini bisa dilihat bagaimana hasil post test mereka lebih tinggi dari pre testnya. Kata kunci: Pengaruh, membaca besar, dan pengucapan Abstract The aims of this study are to know whether reading aloud in class can develop or not students‟ ability in pronunciations and to find out the effectiveness of reading aloud method in teaching reading. In gathering the data, the writer conducted field and library research (experimental teaching) to the first year students of MAN Darul Ulum Banda Aceh for a month. To get the result of teaching, the writer gave Pre-test and Post-test. Also, the writer distribute questionnaires to them. The writer analyzed and processed the data by using descriptive analysis. The final result of the test showed that most of the students of MAN Darul Ulum Banda Aceh got much improvement after the writer taught reading aloud method and the students‟ pronunciation got much improvement too, it could be seen that the score of Post Test is higher than PreTest. Key words: Influence, Reading aloud, and pronunciation
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Muhamamd Iqbal
224
A. Introduction a. Background of Study Reading is one of the most important aspects in the teaching English. The teaching of English covers fours language skills: Listening, Speaking, Writing and Reading. As one of the four language skills, reading is the most necessary for the students to gain access to further knowledge. As Levered said that, “ Reading we are told, can be a golden key to open golden door”. Reading is one of basic competences that should be mastered by students who want to develop and to improve their pronunciation. It is expected that through reading, the students will learn how to pronounce English words correctly. Reading aloud is an important part of the total reading program. By reading aloud the students can increase and develop their pronunciation. Reading aloud can be an excellent means of teaching reading skill, such as good phrasing, use of punctuation, reading with expression, and fluent reading hesitations or repetition. Each student has his/her own way in reading English passages. Most students tend to read many English reading texts by themselves (reading silently). It means, the students rarely read the text loudly. Consequently, they cannot develop and improve their pronunciation properly. Reading process has two methods, silent and oral reading (Henry Guntur Tarigan, 1979). Reading is an active process not a passive process. Oral reading (reading aloud) suggest the students to be active, because in this method the students have to recognize the symbol, the sign and have to know how to spell and to pronounce English symbols properly. This method can used to measure the student‟s ability in pronunciation, word recognition and fluency. Unfortunately, in using oral reading, the students frequently make mistakes and errors. As Tarigan says that: Oral reading is a difficult and complex skill, with its complication. First of all, it demands for understanding of letter on print and other, and then for understanding of appropriate and meaningful sound. Remember, that oral reading is actually an oral matter. Consequently, especially in teaching foreign language, oral reading activity is closed or directed to pronunciation rather than comprehension. So that, reading material should be chosen which has relatively understandable language content. For the student of first grade of MAN Darul Ulum, oral reading is the important activity during the English language subject. Unfortunately, most of English teachers very rarely use this method in class so that the students can not develop their pronunciation. That is why, the writer wants to apply teaching about reading aloud method in teaching reading in order to know how this method influence students‟ ability to pronounce English words correctly. b. The Aim of Study The purposes of this research are:
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
225 The Influence Of Reading Aloud At The Class 1. 2. 3.
To know whether reading aloud in class can develop or not students‟ ability in pronunciation. To find out the effectiveness of reading aloud method in teaching reading. To compare the result of pronunciation ability between students who read loudly with students who read silently in class.
c. Hypothesis 1. Reading aloud will help students to improve their pronunciation ability. 2. There are difference results of pronunciation between the students who read loudly with students who read silently in class. d. Population and Sample The population of this study is all the first year students of MAN Darul Ulum Banda Aceh in academic year 2005/2006. Since the population is too many, the writer took 20 % as the sample in this study by using accidental sampling. Based on rules that subject less that 100, it is good to take all of them. The sample in this study is 20 % from students of MAN Darul Ulum by choosing one class that consists of 31 students. B. Methodology Each research requires techniques to collect data concerning certain problems that being investigated. In collecting data for this thesis, the writer conducted for one month library research and field research. a. Library research To obtain the data needed in the field, the writer read some books, magazines, articles, and other resource of lesson from libraries such as form IAIN library, UNSYIAH library, public library od Universitas Islam Jakarta, and tarbiyah library of Universitas Islam Jakarta. b. Field Research To write this research, the writer needed to collect data by carrying out a field research. In this case, it was focused in teaching reading aloud. The writer decided to use two ways that are considered suitable to the technique in order to obtain complete data and information. Those are: a. Experimental Teaching To know whether reading aloud can be used effectively to develop pronunciation skill, the writer accomplished the experimental teaching to the first grade students in MAN Darul Ulum Banda Aceh. The writer taught for six meetings, the writer observed whether reading aloud can help the students‟ to improve their pronunciation or not. The writer practiced his teaching reading with allocating time for each meeting was 2x45 minutes. b. Test The test is used to get data and information in the research. The writer conducted some kinds of test such as pre-test and post-test. Pre test was given in
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Muhamamd Iqbal
226
the second meeting. In the pre-test, the writer gave some articles for students to be read aloud in class. The writer wanted to see the students; pronunciation ability when they read the passage. Post-test was given in the last meeting. The purpose of giving the post-test is to evaluate the students‟ reading capability after teaching reading aloud. In this case the writer wants to compare the result of students‟ pronunciation after teaching reading aloud process occurred in class. c. Questionnaire The questionnaires were given at the first meeting. The write gave some questions to be answered by students. The questionnaire was used for investigating students‟ problem in reading aloud. Therefore, the alternative form of questionnaire used was open-ended questions. The questionnaires were formulated into nine questions. Students could answer as long as they could, based on their opinion. C. The Result of Research To obtain the result of research, the writer data that has been collected, which are; the result of pre test, the result of post-test, and analysis of questionnaires. a. The result of pre-test 1. The result of pre test indicated that students get the highest score is 70 and the lowest score is 45. To find the range of the data, the writer use formula of R = H-L. Range for the range of the score. H is for the highest score and L for the lowest score. By using that formula, we know that the range data of students from pre-test is 70-45= 25. 2. To find out of the amount of the interval class by using the formula K=1+(3,3) Log n, where K: amount of the internal class, and n: the number of class. By using that formula we get the amount of the interval class is 5,79. 3. To find out of the space of interval class by using I= Range Amount of Interval class
Where: I: Interval class. By using that formula we the space of interval class is 5,35. 4. To find out Mean, the writer use formula of M= Σ 𝑓𝑥 N Where M: Mean, Σ: the sum of fx, F: frequency, x: the middle of interval class, N: the number of the students. By using that formula, the mean is 59,7.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
227 The Influence Of Reading Aloud At The Class b. The result of Post Test 1. The result of post-test indicated that students get the highest score is 80 and the lowest score is 50. To find the range of the data, the writer use formula of R = H-L. Range for the range of the score. H is for the highest score and L for the lowest score. By using that formula, we know that the range data of students from pre-test is 80-50= 32. 2. To find out of the amount of the interval class by using the formula K=1+(3,3) Log n, where K: amount of the internal class, and n: the number of class. By using that formula we get the amount of the interval class is 5,91. 3. To find out of the space of interval class by using I= Range Amount of Interval class Where: I: Interval class. By using that formula we the space of interval class is 5,35. 4. To find out Mean, the writer use formula of M= Σ 𝑓𝑥 N Where M: Mean, Σ: the sum of fx, F: frequency, x: the middle of interval class, N: the number of the students. By using that formula, the mean is 64.09. Based of the result mean of pre-test (59,7) and mean of post-test (64,09) above, we can see that all students at MAN Darul Ulum got improvement during teaching experimental, where the mean score of post test is higher than the mean of pre-test. The writer concludes that teaching reading aloud during teaching experiment gave the better result for the students and the achievement of the student MAN Darul Ulum Banda Aceh will become good if the study hard. D. The Analysis of Questionnaire The writer gives 5 questions for students. The first question is the students‟ purposes in applying reading aloud method. From that question the writer can analyze that 41,9 % students said that they read aloud because they want to increase their pronunciation in reading aloud. 9, 6 % of students answer that they read aloud because they like to do it. 32, 2 % of students read loud because through reading can clear their pronunciation, and about 16, 1 % of students reading aloud because easy to remember the words. The second question in questionnaire is the students‟ opinion about applying reading aloud in the class. The writer can analyze that 64,5 % students (20 students) are interested in reading aloud in class. The students get many beneficial in reading aloud, unfortunately the English teacher in the class rarely ask students to read aloud. And from 31 students only 11 students (35,48 %) do not like reading aloud in the class.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Muhamamd Iqbal
228
The third question is the students‟ obstacles while applying reading aloud method. From that question, the writer can analyze that only 15 students (48, 3 %) said that they get problem in spelling the new words. 29 % (9 students) said that they are unconfident (ashamed). It may be caused by their consistency in reading aloud. And 3 students or 9,6 % said that meaning as the problem. When they do not know they meaning, they pronounce the word incorrectly. 4 students (12,9) said that they are afraid of making a mistake. From the statement above, it can be concluded, most of students get problem in reading aloud because it is hard to spell the new word. The fourth question is the student‟s opinion about using the reading aloud method in each reading many English texts. From that question, the writer found that 80, 6 % of students agree using reading aloud in reading all many English texts. 6 of 31 students might have said that they disagree (19,3). E. Conclusion After obtaining a valid data, the writer concludes that: a. Reading aloud is a very effective way for students in developing the pronunciation ability. Students know his/her mistakes while applying reading aloud method in front of class. b. Reading aloud not only can improve the students‟ pronunciation, but also can develop their others skill, such as listening skill. While one student reads loudly in front of class, other students must listen the words his/her friend‟s pronunciation. Besides that, the students can develop the speaking skill ability. c. Some students face many difficulties in class, such as; they rare read aloud in class, the felt shy if they made a mistake in reading aloud, they hard to pronounce the new words, for these cases the reading aloud can help the student to develop and increase pronunciations. BIBLIOGRAPHY Council for Exceptional Children. (2004). “Reading aloud for Children,” dalam http://www.readingaloudforchildren.go.id . Diakses 15 Juli. Hyatt, A. V. (1998). The Place of Oral Reading in the School Program. New York: Columbia University. Osborn, Jeans. (2000). Reading Education: foundation for a literature. America Tarigan, Guntur Henry. (1997). Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
229
POLITIK PENDIDIKAN DI INDONESIA (Sertifikasi Guru dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan dan Profesionalisme) Oleh: Sri Astuti A. Samad Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ar-Raniry
Abstrak Tulisan ini membahas mengenai masalah politik pendidikan di Indonesia yang difokuskan kepada sertifikasi guru berpengaruh atau tidak terhadap kesejahteraan dan profesionalisme. Sertifikasi guru terapkan oleh pemerintah sejak 2007 bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru yang selanjutnya akan meningkatkan mutu pembelajaran, dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan dan berkelanjutan. Tidak dapat dipungkiri dengan sertifikasi tersebut guru mendapatkan kesejahteraan secara ekonomi karena telah mampu memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Pada sisi lain sertifikasi juga dapat meningkatkan kemampuan profesionalisme guru karena guru diwajibkan menyelesaikan pendidikan sarjana (S1), sehingga wawasan keilmuan guru semakin luas. Namun demikian berbagai hal masih menjadi persoalan dilapangan terkait dengan sertifikasi tersebut misalnya; jumlah jam pelajaran yang kurang, pemotongan dan keterlambatan pembayaran. Kata Kunci: Sertifikasi, Guru, Kesejahteraan, Profesionalisme Abstract This article discusses regarding the political education in Indonesia focusing toward whether teachers‟ certification will influence toward welfare and professionalism or nor. Teachers‟ certification has been applied since 2007 aimed to increase teacher‟s qualities that also improve the quality of learning in order to improve the quality of education overall and sustainable. With that certification, teachers willgain welfare economically because they are able to fill the premier and secondary needs. In other sides, certification might increase the professionalism of teachers because teachers are obliged to finish their study in bachelor level so that their knowledge of education and pedagogy become wider. However, there are so many cases found regarding
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Sri Astuti A. Samad
230
this issue; the number of hours reduced, cutting off and the lateness of payment. Keyata Kunci: Certification, Teacher, Welfare, Professionalism A. Pendahuluan Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik Negara maju maupun berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat Negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian ilmuan (M. Sirozi, 1985: 1). Plato dan Aristoteles, dua filosof Yunani dan pemikir politik lainnya telah memberikan perhatian yang cukup intens kepada masalah ini. Kenyataan ini misalnya ditegaskan dengan ungkapan “sebagaimana negara, seperti itulah sekolah (as is the state, so is the school)”, atau “apa yang anda inginkan dalam negara, harus anda masukkan ke sekolah (what you want in the state, you must put in to the school)” (Azyumardi Azra, 2002: 61. Di dunia Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Abdurrasyid mengakui bahwa lembaga pendidikan merupakan slah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid dan madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku. Salah satu contohnya adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad, Iraq pada tahun 457 H/1064. Madrasah ini didirikan oleh Perdana Menteri Dinasti Saljuk Nizam alMuluk yang bermazhab Sunni, tercatat bahwa ulama besar al-Gazali pernah menjadi guru besar dinisi. Kemudian Universitas al-Azhar di Mesir yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah (Abdurrasyid, 1994: 6). Sejalan dengan itu, Paulo Freire juga mengakui hubungan politik dan pendidikan begitu erat. Secara implisit ia mendiskripsikan betapa pentingnya politik pendidikan untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara. dilukiskan persoalan menyangkut pemberantasan buta huruf, pemeranan guru, reformasi
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
231 Politik Pendidikan Di Indonesia agraria, pemeranan pekerja sosial, pemberantasan buta politik, humanisasi pendidikan, peran gereja, dan sebagainya yang tidak terlepas dari politik pendidikan (Paulo Freire, 2002: 218). Untuk melihat realitas politik pendidikan di Indonesia, dapat diukur dari kebijakan dan praktik pendidikan yang ada. Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005-2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu; 1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata pemerintahan, akuntabilitas, dan pencitraan publik. Karena itu, kebijakan pendidikan nasional harus mampu menghadirkan pemerataan pendidikan yang bermutu pada setiap sisinya. Dalam konteks outcome, pendidikan nasional harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akhlak mulia secara seimbang (Irwan Prayitno, 2008). Pembangunan pendidikan hendaknya dapat membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai subyek yang bermutu. Membangun manusia seutuhnya berarti mengembangkan seluruh potensi manusia melalui keseimbangan hati, akal, rasa, raga, dan jiwa yang dilakukan seiring dengan pembangunan peradaban bangsa. Pemerintah Indonesia memang telah terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam realitasnya, kita menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih jauh panggang dari api. Hal ini bisa kita lihat mulai dari kemampuan mengalokasikan anggaran pendidikan, pemerataan akses dan angka partisipasi pendidikan masyarakat, kualifikasi dan mutu profesionalisme serta kesejahteraan guru, dan daya saing lulusan pendidikan di dunia kerja (Kusnandar, 2008: 1). Soal anggaran pendidikan, misalnya, tentu telah dipahami bahwa sampai sekarang ini besarnya anggaran pendidikan di negara kita tidak saja terjelek di Asia Tenggara, di Asia atau di kawasan terbatas lainnya; namun anggaran pendidikan Indonesia ternyata termasuk terjelek di dunia. Kalau mengacu publikasi badan dunia UNDP, misalnya; anggaran pendidikan lebih jelek tidak saja dari negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jerman dan Jepang; tetapi juga dari negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Brasilia, Meksiko, dan Nigeria; bahkan ternyata juga lebih jelek dari negara-negara terbelakang seperti Bangladesh, Burundi, Ethiopia, Nepal, Congo, dan sebagainya. Angka ratarata anggaran pendidikan di negara maju mencapai 5,1 persen terhadap GNP, di negara berkembang 3,8 persen dan negara terbelakang 3,5 persen. Sementara itu,
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Sri Astuti A. Samad
232
Indonesia hanya mengalokasi dana kurang dua persen terhadap GNP (Irwan Prayitno, 2008). Masalah anggaran diantara beberapa problema dalam konteks politik pendidikan juga disoroti oleh Azyumardi Azra. Ia mengatakan bahwa pendanaan masih belum memadai, karena pemerintah Indoensia sejak Soeharto sampai saat ini belum menjadikan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam membangun bangsa. Anggaran pendidikan masih jauh dari memadai, bukan hanya untuk mendukung penyediaan prasarana dan sarana pendidikan, tetapi juga untuk memberikan pendapatan (income) yang memadai bagi guru dan tenaga kependidikan. Akibatnya, kinerja mereka jauh dari memuaskan, karena mereka terpaksa memecah perhatian dan membagi waktu untuk memperoleh pendapatan tambahan daripada mencurahkan perhatian dan waktu sepenuhnya bagi anak didik mereka dan peningkatan mutu kualitas pendidikan umumnya (Azyumardi Azra, 2002: xvi). Selain itu, profesionalisme guru dan tenaga kependidikan juga menjadi masalah serius. Secara kualitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualifeid dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif (Azyumardi Azra, 2002: xvi). Tabel Rangking Indonesia Berdasarkan Human Development Index Mulai 1995 s/d 2005 No
Negara
1995
2000
2003
2004
2005
1
Thailand
58
76
74
76
73
2
Malaysia
59
61
58
59
61
3
Philipina
100
77
85
83
84
4
Indonesia
104
109
112
111
110
5
Cina
111
99
104
94
85
6
Vietnam
120
108
109
112
108
Sumber Data: Kusnandar, 2008; 6.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
233 Politik Pendidikan Di Indonesia Berdasarkan tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa tingkat Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia belum dapat bersaing dalam kancah regional Asia Tenggara apalagi, Asia dan dunia. Indeks tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan, daya saing, pendidikan, dan skill yang dimiliki oleh orang Indonesia. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing Indonesia pada tataran Asia Tenggara bahkan sampai dunia sekalipun maka kuncinya adalah revitalisasi bidang pendidikan. B. Sertifikasi Guru dalam Bingkai Politik Pendidikan Guru merupakan salah satu komponen yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan. Sebab guru berada di garda depan yang bersentuhan langsung dengan peserta didik sebagai subyek dan obyek belajar. Bagaimanapun idealnya kurikulum dan lengkapnya sarana serta prasarana pendidikan, tanpa didukung oleh kemampuan guru dalam mengimplementasikannya, mustahil tujuan pendidikan akan tercapai dengan baik. Untuk mencapai tujuan pendidikan, kualitas dan profesionalisme guru harus ditingkatkan (Wina Sanjaya, 2008: 273 dan al-Attas, 1980: 63). Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru adalah dengan diundangkannya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Latar belakang munculnya UU tersebut salah satu adalah kenyataan bahwa dari 2,76 juta guru di Indonesia, hampir setengahnya tidak memiliki kompetensi untuk mengajar di sekolah. Kemudian 15% guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian dan bukan bidangnya (Kompas, 9 Desember 2005). Hal tersebut disebabkan rendah kompetensi guru, karena mayoritas guru di Indonesia belum meraih sarjana, terutama guru SD/MI yaitu, 1.321.911 (91.99%) dan TK/RA 136.986 (91.54 %) (Balitbang dan Ditjen PMPTK Kementerian Pendidikan Nasional, 2006). Selanjutnya, UU tersebut menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Sedangkan profesional adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU No. 14 Tahun 2005 tentang Sertifikasi Guru dan Dosen). Menindaklanjuti UU tersebut Kementerian Pendidikan Nasional menyelenggarakan Program Sertifikasi Guru dalam Jabatan sejak 2007. Sertifikasi guru diharapkan dapat meningkatkan kualitas guru yang selanjutnya akan meningkatkan mutu pembelajaran, dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan dan berkelanjutan. Sertifikasi guru dilakukan
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Sri Astuti A. Samad
234
melalui penilaian portofolio terhadap guru berpendidikan minimal S1/D4, baik PNS maupun non-PNS tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK swasta dan negeri. Guru yang dinyatakan lulus, baik lulus langsung dari penilaian portofolio maupun setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG), akan memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi guru, dan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Pada 2007 telah dilaksanakan sertifikasi terhadap 225.211 guru sasaran, 200.450 melalui Kementerian Pendidikan Nasional dan 24.761 melalui Kementerian Agama (Hastuti, 2009: vii). Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikasi pendidik guru yang telah memenuhi persyaratan sertifikasi tertentu, yaitu memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan yang layak (Masnur Muslich, 2007: 2). Sertifikasi guru telah lama dilakukan oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat yang dilakukan oleh lembaga independen yaitu, The American Association of Colleges for Teacher Education (AACTE), badan ini yang berwenang memberikan ijazah yang memiliki calon pendidik layak atau tidak. Sedangkan Negara Asia, seperti Jepang telah dilakukan sejak 33 tahun yang lalu yaitu 1974, Cina 2001, begitu juga Malaysia dan Filipina juga mensyaratkan kualifikasi akademik minimum dan standar kompetensi bagi guru (Masnur Muslich, 2007: 4). Pelaksanaan sertifikasi guru disertai dengan pemberian tunjangan profesi. secara normatif akan meningkatkan penghasilan guru yang telah lulus sebesar satu kali gaji pokok yang diperhitungkan setiap bulan. Jika tunjangan tersebut sudah diterima maka rata-rata guru PNS akan menerima tambahan penghasilan di atas 1 juta rupiah sehingga secara total penghasilan antara 3 juta rupiah hingga 5 juta rupiah dalam sebulan (Hastuti, 2009: 46). Karena itu dapat dipahami bahwa tujuan sertifikasi sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk peningkatan mutu guru dan peningkatan kesejahteraan. Dengan sertifikasi guru diharapkan menjadi pendidik yang professional yaitu yang berpendidikan minimal S1/D4 dan berkompetensi sebagai agen pembelajaran yang dibuktikan dengan pemilihan sertifikat pendidik setelah dinyatakan lulus uji kompetensi. Atas kompetensi dan profesionalisme tersebut, guru berhak mendapatkan imbalan (reward) berupa tunjangan profesi dari pemerintah sebesar satu kali gaji pokok (Masnur Muslich, 2007: 7). Sertifikasi juga bertujuan untuk, 1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional; 2) meningkatkan proses dan mutu
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
235 Politik Pendidikan Di Indonesia hasil pendidikan; 3) meningkatkan martabat guru; 4) meningkatkan profesionalisme guru (Winarsih, 2008: xlv dan Syafruddin Nurdin, 2005: 13). Sedangkan manfaat sertifikasi dapat adalah; 1) melindungi profesi guru dari praktek-praktek yang tidak kompoten, yang dapat merusak citra profesi guru; 2) melindungi masyarakat dari praktek-praktek pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional; 3) menjadi wahana penjaminan mutu bagi LPTK, dan control mutu dan jumlah guru bagi pengguna layanan pendidikan; 4) menjaga lembaga penyelenggara pendidikan (LPTK) dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku; 5) Memperoleh tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi (Winarsih, 2008: xlii). Tunjangan profesi yang diberikan kepada guru akan meningkatan kesejahteraannya secara ekonomi, juga akan mengurangi beban kehidupan mereka. Keberadaan tunjangan profesi juga telah menjadi pendorong utama guru untuk mengikuti sertifikasi. Dengan meningkatnya kesejahteraan maka guru akan dapat lebih konsentrasi pada tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidikan dan lebih mempersiapkan diri serta meningkatkan kualitas mengajarnya sehingga betul-betul menjadi guru yang profesional (Winarsih, 2008: 46). Meskipun demikian, tidak selamanya ada korelasi antara sertifikasi dan profesionalisme. Karena mutu pembelajaran tidak dipengaruhi secara langsung oleh sertifikasi, tetapi banyak dipengaruhi oleh profesionalisme guru. Sedangkan profesionalisme guru sangat berkorelasi kuat dengan mutu pembelajaran (Deni Koswara, 2009). Sertifikasi guru merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang secara yuridis sangat kuat karena didukung oleh UU No. 14 Tahun 2005, kemudian dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 18 Tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan. Kebijakan pemerintah tersebut muncul disebabkan karena fakta yang terjadi bahwa kesejahteraan guru secara ekonomi masih memperihatinkan, juga kualitas profesionalisme masih dipertanyakan. Terkait dengan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan nasional masih mengacu pada; a) popularisasi pendidikan, b) sistematisasi pendidikan, c) profilerasi pendidikan dan politisasi pendidikan. Empat paradigma tersebut merupakan dasar dari pengembangan pendidikan nasional. Dengan berdasar pada keempat indikator sistem pendidikan nasional yaitu popularisasi, sistematisasi, profileralisasi dan politisasi pendidikan nasional. Politik pendidikan yaitu komitmen politik dari masyarakat dan pemerintah untuk membebaskan pendidikan sebagai alat penguasa. Meningkatkan harkat profesi pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidikan syarat-syarat serta pemanfaatan tenaga profesional,
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Sri Astuti A. Samad
236
disertai dengan meningkatkan renumerasi profesi pendidikan yang memadai secara bertahap (H.A.R. Tilaar, 2000: 77-79). Diskursus mengenai kebijakan pemerintah atau kebijakan publik telah banyak diperbincangkan dalam dunia pendidikan. Carl Friedrick menyebutkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Solichin Abdul Wahab, 1997: 3). Chandler dan Plano mengatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik dan pemerintah (Yeremias Keban, 2004: 56) Kebijakan publik tersebut mengandung makna, 1) kebijakan yang dibuat oleh badan pemerintah bukan swassta; 2) kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah (Subarsono, 2005: 2). Sedangkan Carter V. Good menyatakan, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan dapat dicapai (Ali Imron, 2002: 18). Pada konteks yang lebih jelas Margharet S. Archer sebagaimana dikutip oleh M. Sirozi mengakui bahwa kebijakan pemerintah dalam pendidikan dapat disebut sebagai upaya sadar dan terorganisir untuk mempengaruhi input, proses, dan out put pendidikan, baik melalui legislasi, kelompok penekan atau aksi kelompok, eksperimentasi, investasi pribadi, transaksi lokal dan inovasi internal atau propaganda (M. Sirozi, 39). Mengacu pada beberapa pandangan tersebut di atas jika dikaitkan dengan program sertifikasi guru yang dilakukan oleh pemerintah dapat dikatakan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh pemerintah melalui legislasi sebagai termaktub dalam UU No. 14 Tahun 2005. Hal ini dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional untuk mempengaruhi input, proses dan out put pendidikan. Pada konteks input, proses dan out put pendidikan peran guru sangat sentral, karena guru merupakan salah satu komponen dan faktor pendidikan yang cukup fundamental untuk mewujudkan keberhasilan pendidikan. C. Sertifikasi dan Kesejahteraan Guru Menurut laporan Bank Dunia tahun 1994 bahwa pelaksanaan pembangunan di Indonesia, terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
237 Politik Pendidikan Di Indonesia masih memprihatinkan. Bank Dunia menilai bahwa subsidi untuk kesehatan dan pendidikan ternyata lebih dinikmati oleh orang mampu dan kaya. Oleh sebab itu, tidaklah beralasan jika subsidi diberikan untuk pendidikan tinggi, mengingat jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi dan universitas, pada umumnya adalah orang-orang yang berada atau golongan mampu dari segi ekonomi (Darmaningtyas, 2004: 187). Mengenai masalah pendidikan, perhatian pemerintah masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, guru kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Demikian juga dengan kasuskasus korupsi dan manipulasi yang secara jelas menenggelamkan dunia pendidikan. Selanjutnya, persoalan sertifikasi di mana gaji per bulannya cukup besar. Sehingga para guru PNS yang telah sertifikasi sekarang ini tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari melainkan kebutuhan yang lain. Misalnya melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) dengan biaya sendiri, menunaikan ibadah haji, dan membeli mobil walaupun bekas. Meskipun adanya anggapan kenaikan gaji guru PNS menyebabkan kemalasan untuk mengajar. Kemalasan bukan karena naiknya gaji, melainkan tergantung pada pribadi, psikologi, budaya, dan organisasi masing-masing guru. Pada sisi lain, di atas kertas kesejahteraan naik, namun terkadang tunjangan sertifikasi guru terlambat dibagikan. Bahkan, ada dugaan pemotongan terhadap tunjangan tersebut. Sehingga para guru berharap ada pembenahan yang dilakukan pemerintah untuk lancarnya pembayaran tunjangan serifikasi guru setiap bulannya (Republika, Edisi, 4 Desember 2012). Program sertifikasi guru jelas memberikan pengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi guru. Penambahan sekali gaji pokok untuk setiap bulannya membuat guru mampu dan mapan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi ditengah kenaikan harga barang yang terus meningkat. Kebutuhan ekonomi guru tidak hanya untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari seperti sembako, akan tetapi juga untuk kebutuhan dasar seperti rumah, kendaraan (motor), pakaian dan yang paling penting juga adalah biaya pendidikan anak-anaknya. D. Sertifikasi dan Profesionalisme Guru Jika kompetensi dan profesionalisme guru tinggi maka proses dan out put pendidikan akan berjalan dengan baik pula. Dalam program sertifikasi seorang guru dituntut memiliki kualifikasi akademik (S1/D4), kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Sri Astuti A. Samad
238
tujuan pendidikan nasional. Sedangkan kompetensi atau kemampuan ada empat macam, yaitu 1) kompetensi pedagogik; 2) kompetensi kepribadian; 3) kompetensi sosial; dan 4) kompetensi profesionalisme yang diperoleh melalui pendidikan profesi (UU No. 14 Tahun 2005 tentang Sertifikasi Guru dan Dosen). Di samping itu, guru juga harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini, guru dituntut untuk kreatif, profesional dan menyenangkan dengan mempersiapkan diri. Karena itu Yelon dan Weinsten sebagaimana dikutip oleh (E. Mulyasa, 2005: 37-64) mengatakan bahwa guru dapat melakukan perannya sebagai berikut; 1. Guru sebagai pendidik 2. Guru sebagai Pengajar 3. Guru sebagai Pembimbing 4. Guru sebagai Pelatih 5. Guru sebagai Penasehat 6. Guru sebagai Pembaharu (inovator) 7. Guru sebagai Model dan teladan 8. Guru sebagai Pribadi 9. Guru sebagai Peneliti 10. Guru sebagai Pendorong kreativitas 11. Guru sebagai Pembangkit Pandangan 12. Guru sebagai Pekerja Rutin 13. Guru sebagai Pemindah Cerita 14. Guru sebagai Aktor 15. Guru sebagai Emansipatoris 16. Guru sebagai Evaluator 17. Guru sebagai Pengawet 18. Guru sebagai Kulminator Karena itu, dapat dipahami bahwa sertifikasi guru dilakukan oleh pemerintah disebabkan oleh keinginan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme, kesejahteraan guru. Diharapkan dengan program sertifikasi kompetensi dan profesionalisme guru akan semakin meningkat seiring dengan keinginan guru untuk mendapatkan sertifikat pendidik sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan sertifikasi tersebut. Pada saat yang bersamaan guru akan meningkat kesejahteraannya selanjutnya akan mempengaruhi mutu pendidikan.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
239 Politik Pendidikan Di Indonesia E. Penutup Sertifikasi guru sebagai bagian dari kebijakan dalam konteks politik pendidikan di Indonesia jelas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan dan profesionalisme guru. Sertifikasi guru menjadikan guru mampu memenuhi kebutuhan primer dan sekunder bahkan tersier. Demikian pula secara profesional sertifikasi memberikan ruang yang luas bagi guru untuk meningkatkan kemampuan dalam mengajar terutama jenjang pendidikan sarjana (S1) menjadi sebuah kewajiban. Pendidikan sarjana akan menambah wawasan keilmuan guru dalam mendidik siswa menuju pada tujuan pendidikan nasional seperti yang dikehendaki bersama oleh semua pihak. Pada sisi lain, agaknya telah menjadi realitas yang kerap kali terjadi pada sebuah kebijakan akan memunculkan beberapa persoalan yang menjadi kendala pada implementasinya. Akan halnya sertifikasi guru tersebut menimbulkan berbagai problematik misalnya; jumlah jam bagi guru mata pelajaran pada satu sekolah harus mencapai 24 jam. Bagi kepala dan wakil kepala tidak menjadi masalah, akan tetapi guru biasa terkadang tidak mencapai jumlah jam apalagi jika sekolah jumlah kelasnya sedikit, terkadang guru tidak mendapat tunjangan sertifikasi meskipun ia telah mendapat sertifikat sertfikasi. Begitu juga dengan masalah sejumlah guru yang telah berulang kali melakukan ujian sertifikasi tapi belum juga lulus karena kemampuan penggunaan teknologi seperti komputer dan lap top serta internet yang belum merata terutama guru dari daerah pedalaman. Seyogyanya sebelum ujian semacam ini diperlukan sosialisasi atau workshop bagi guru bagaimana menggunakan media seperti komputer dan internet. Senada dengan itu, problem yang lain ada pembayaran tunjangan sertifikasi dibayar melalui Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama sarat dengan penyelewengan bahkan di beberapa daerah terjadi pemotongan dan keterlambatan pembayaran. Ke depan diharapkan pemerintah melalui kementerian pendidikan melakukan evaluasi dan monitoring agar kendala dan problema kebijakan sertifikasi guru tersebut dapat diatasi dan diselesaikan sedini mungkin. Karena berhasil tidaknya program setifikasi guru tersebut akan memberikan dampak bagi kemajuan pendidikan di Indonesia secara umum.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Sri Astuti A. Samad
240
DAFTAR PUSTAKA Abdurrasyid. (1994). Madrasah Nizamiyah: Studi tentang Hubungan Pendidikan Islam dan Politik, Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, (Thesis tidak dipublikasi). Al-Attas, Sayed Naquib. (1980). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: Muslim Youth Men of Malaysia ABIM. Azra, Azyumardi. (2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Kompas. Azra, Azyumardi. (2002). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos. Darmaningtyas. (2004). Pendidikan Yang Memiskinkan, Yogyakarta: Galang Press. Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln, (2009). Handbook of Qualitative Research, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Freire, Paulo (2002). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hastuti (et. al). (2009). Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan 2007: Studi Kasus di Provinsi Jambi, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat, Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Imron, Ali. (2002). Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara. Keban, Yeremias. (2004). Enam Dimensi Strategis Admistrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu, Yogyakarta: Gayamedia. Kompas. (2005). Edisi 9 Desember. Koswara, Deni. (2009). Studi Dampak Program Sertifikasi Guru Terhadap Peningkatan Profesionalisme dan Mutu Pendidikan di Jawa Barat, Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. (Tesis Tidak Diterbitkan). Kusnandar. (2008). Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: Rajagrafindo Persada. Moleong, Lexy J. (1997). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya. Muslich, Masnur. (2007). Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik, Jakarta: Bumi Aksara. Nurdin, Syafruddin (2005). Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta: Quantum Teaching. Prayitno, Irwan. (2008). Pendidikan dalam Perspektif Politik, Makalah Seminar dalam rangka Dies Natalis Universitas Tidar Magelang, 16 Mei. Republika. (2012). [Kesejahteraan Guru Honorer dengan PNS Beda Jauh], Edisi, 4 Desember. Sanjaya, Wina (2008). Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Kencana.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
241 Politik Pendidikan Di Indonesia Sirozi, M. (1985). Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada. Subarsono. (2005). Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar,Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tilaar, H.A.R. (2000). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sertifikasi Guru dan Dosen. Wahab, Solichin Abdul. (1997). Analisa Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara. Winarsih, (2008). Implementasi Sertifikasi Guru Sekolah Dasar: Studi Kasus di Kabupaten Semarang, Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
242
KONSEP TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM POLA PEMBENTUKAN MASYARAKAT BELAJAR Oleh: Susi Yusrianti Dosen Prodi PAI Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lahokseumawe Email:
[email protected] Abstrak Teknologi pendidikan merupakan disiplin keilmuan yang lahir karena adanya beberapa postulat yaitu: Lingkungan yang senantiasa berubah baik yang direkayasa ataupun tidak, Jumlah penduduk yang semakin bertambah yang perlu belajar sepanjang hayatnya, Sumber belajar yang semakin terbatas, dan masyarakat yang berbudaya teknologi, oleh karena itu perlu adanya suatu usaha dalam membentuk sebuah pola masyarakat belajar. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pembentukan masyarakat belajar melalui konsep teknologi pendidikan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) karena penelitian ini menganalisis data dari buku-buku teknologi pendidikan, makalah, serta literatul lainnya. Hasil penelitian yang ditemukan adalah bahwa desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian adalah lima kawasan teknologi pendidikan yang dapat diterapkan dalam pembentukan masyarakat belajar. Desain sistem pembelajaran yang dimaksud disini adalah adanya perencanaan terhadap sistem pembelajaran yang ingin diterapkan pada masyarakat belajar seperti sistem pendidikan diluar sekolah, dimana sistem ini memiliki materi yang telah didesain terlebih dahulu dengan modifikasi berbagai macam strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik pemelajar yang bervariasi baik dari tingkat umur maupun tingkat motivasi belajarnya. Selain pendidikan luar sekolah, juga perlu adanya perpustakaan digital, perpustakaan maya, perpustakaan keliling dan adanya rumah baca serta buklet dan tabloid yang dapat mempermudah dan memperlancar terbentuknya masyarakat belajar. Kata Kunci: Teknologi pendidikan, belajar, masyarakat belajar
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
243 Konsep Teknologi Pendidikan Abstract Educational technology is a discipline of scientific which appeared because there are some postulat, the following are: unstable environment, engineer or not. The increases in population which need to learn all of life. The limited of the source to study, and also the society with cultural technology. Based on that reasons, it need an effort to establish a model of studying society. The purpose of this research is to know the model of establishment of studying society by using the concept of educational teachnology. The methodology of the the reseach which is used in this research is library research, becaused this research analyzed the data of educational technology book, paper, and also other literatures. The result which is found that designing, developing, benefit, organizing and value are five areas of educational technology which is applied in establishment of studying society. The design of the studying system which is meaned in this research is planning of studying system which is wanted to apply in studying society such as the out-school educational system, where is this system has material which is designed at first with the modification of various of model learning strategy which is suitable with characteristic of learners, age or motivation to study. Beside that, it also need digital library, transparancy library, mobile library and then reading house, and also catalog and magazine which can make the establishment of easily and fluently. Keyword: Educational technology, learning, learning society A. PENDAHULUAN Berbagai kecenderungan telah diramalkan oleh Bishop G. (1989) dalam Miarso (Miarso, 2004: 666), bahwa pendidikan masa mendatang akan bersifat lebih luwes (flexible), terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja yang memerlukannya tanpa pandang factor jenis usia, maupun pengalaman pendidikan sebelumnya. Hal ini tentu menimbulkan beberapa konsekuensi, peluang dan tantangan berkenaan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat, tekanan perkembangan ekonomi, persoalan pemerataan dan perluasan akses serta tantangan untuk meningkatkan mutu dan relevansi dan daya saing dalam pembentukan masyarakat belajar. Masyarakat belajar yang dimaksudkan disini adalah masyarakat yang mampu belajar lebih mandiri dengan adanya ketersediaan informasi yang melimpah di dunia internet, Interaksi antara masyarakat yang lebih beragam, tidak hanya melalui komunikasi langsung tetapi juga melalui berbagai alat komunikasi yang tersedia, mau mengakses berbagai informasi dimanapun dan kapanpun ia berada. Masyarakat belajar adalah masyarakat yang mau mengembangkan diri dan menyadari pentingya arti sebuah pembelajaran. Menyadari bahwa belajar tidak
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Susi Yusrianti
244
hanya pada pendidikan normal saja, tetapi belajar adalah mengumpulkan pengalaman dari manapun, kapanpun dan oleh siapapun sumber belajar itu diperoleh. Masyarakat belajar adalah masyarakat yang mau dan mampu mengajak masyarakat lainnya untuk sevisi dan semisi dalam mewujudkan dunia belajar seutuhnya. Masyarakat belajar adalah masyarakat yang memiliki sejumlah indikator sebagai berikut: a. Cara berpilkir yang rasional dan realistik b. Kebiasaan membaca yang tinggi c. Kemampuan mengembangkan dan menyerap ilmu pengetahuanyang banyak dan cepat d. Terbukanya untuk inovasi, bahkan selalu berusaha mencari hal-hal baru e. Pandangan hidup yang berdimensi lokal, nasional dan universal f. Mampu memprediksi dan merencanakan masa depan g. Teknologi yang senantiasa berkembang dan digunakan Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya konsep teknologi pendidikan yaitu berdasarkan pada definisi AECT 1994 yang berbunyi “Teknologi Pendidikan adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar.”Meski dirumuskan dalam kalimat yang lebih sederhana, definisi ini sesungguhnya mengandung makna yang dalam. Definisi ini berupaya semakin memperkokoh teknologi Pendidikan sebagai suatu bidang dan profesi, yang tentunya perlu didukung oleh landasan teori dan praktek yang kokoh. Definisi ini juga berusaha menyempurnakan wilayah atau kawasan bidang kegiatan dari teknologi Pendidikan. Di samping itu, definisi ini berusaha menekankan pentingnya proses dan produk. Secara konseptual teknologi pendidikan didefinisikan: teori dan praktik dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan penelitian proses, sumber, dan sistem untuk belajar. Definisi tersebut megandung pengertian adanya empat komponen dalam teknologi pembelajaran, yaitu:
Teori dan prktik Desain, pengemabngan, pemanfaatan, penelitian Proses, sumber, dan sistem Untuk belajar
pengelolaan,
penilaian,
Untuk lebih jelas definisi tersebut digambarkan pada gambar berikut:
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
dan
245 Konsep Teknologi Pendidikan
B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini jika dilihat dari tujuannya atau bagaimana hadirnya variabel, maka penelitian ini termasuk penelitian deskriptif karena penulis hanya ingin mengetahui konsep teknologi pendidikan dalam pembentukan masyarakat belajar. Jika dilihat dari cara hadirnya pengumpulan data penelitian atau dari cara menganalisis data, maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif karena hanya memiliki satu variabel. Jika dilihat dari obyek atau tempat penelitian, maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kepustakaan (library research) karena penelitian ini menganalisis data dari buku-buku teknologi pendidikan, makalah, serta literatul lainnya. Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu buku-buku teknologi pendidikan, dan data sekunder, yaitu data penunjang atau pendukung yang bersumber dari buku-buku lain sebagai pendukung, makalah dan berbagai literatur yang berkenaan dengan penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara menelaah konsep teknologi pendidikan dan makalah yang ada kaitannya dengan masalah yang penulis teliti. Pertama-tama penulis mencari dan mengumpulkan data-data atau konsep seperti yang telah disebutkan di atas, kemudian data yang telah terkumpul selanjutnya dibaca kembali, lalu dipahami, dan dianalisis secara mendalam, sehingga mendapat kesimpulan pokok dari topik yang dikaji.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Susi Yusrianti
246
C.
POLA PEMBENTUKAN MASYARAKAT BELAJAR MELALUI KONSEP TEKNOLOGI PENDIDIKAN 1. Pola Pembentukan Masyarakat Belajar Dalam Lima Kawasan Teknologi Pendidikan Desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian adalah lima kawasan teknologi pendidikan yang dapat diterapkan dalam pembentukan masyarakat belajar. a. Kawasan Desain Dalam kawasan desain terdiri dari empat komponen yang harus diperhatikan yaitu desain sistem pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran dan karakteristik pemelajar. Desain sistem pembelajaran yang dimaksud disini adalah adanya perencanaan terhadap sistem pembelajaran yang ingin diterapkan pada masyarakat belajar seperti sistem pendidikan diluar sekolah, dimana sistem ini memiliki materi yang telah didesain terlebih dahulu dengan modifikasi berbagai macam strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik pemelajar yang bervariasi baik dari tingkat umur maupun tingkat motivasi belajarnya. b. Kawasan Pengembangan Pada kawasan pengembangan ini, sudah mulai dirancang berbagai media atau sumber belajar yang tepat. Salah satu sumber belajar yang dimaksudkan disini adalah adanya perpustakaan digital, perpustakaan maya, perpustakaan keliling dan adanya rumah baca serta buklet dan tabloid. c. Kawasan Pemanfaatan Pada kawasan pemanfaatan ini, berbagai model perpustakaan tersebut dan media-media lain yang telah dirancang sudah dapat digunakan sesuai dengan desain sebelumnya yaitu pada penerapan sistem belajar luar sekolah. Selanjutnya perlu adanya inovasi baru untuk perbaikan dan penyempurnaan kearah yang lebih baik. d. Kawasan Pengelolaan Kawasan pengelolaan memperhatikan manajemen dari proyek, sumber, sistem penyampaian dan informasi. Hal ini sangat berperan pada kelangsungan program yang dilaksanakan sehingga akan mudah diatur dan lebih tertata rapi sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
247 Konsep Teknologi Pendidikan 5. Kawasan Penilaian Kawasan penilaian inilah yang nantinya akan memberikan keputusan apakah program yang dirancang dapat dilanjutkan atau perlu adanya perbaikanperbaikan. 2. Pola Pembentukan Masyarakat Belajar Dalam Program Pendidikan Luar Sekolah (Penerapan konsep Teknologi Pendidikan) Program pendidikan luar sekolah (PLS) ditujukan untuk menyediakan pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal dan putus sekolah untuk dapat mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan ketrampilan, potensi pribadi dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Selain itu program PLS diarahkan pula untuk memberikan pengetahuan dasar dan keterampilan berusaha secara profesional sehingga warga belajar mampu mewujudkan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan anggota keluarganya. Sasaran yang direncanakan untuk dicapai Program Pendidikan Luar Sekolah adalah (1) menurunkan angka buta aksara latin, angka buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar pada penduduk usia 10-44 tahun, (2) menyediakan pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal termasuk anak usia dini, serta (3) pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada peningkatan keterampilan dan kemampuan kewirausahaan. Peningkatan partisipasi pendidikan melalui pendidikan luar sekolah diharapkan dapat meningkatkan proporsi penduduk melek aksara. Berbagai kegiatan dilakukan untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang tidak atau belum sempat mengikuti pendidikan persekolahan. Selama kurun waktu 2000 sampai dengan 2004 telah dilakukan pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang tidak atau belum sempat mengikuti pendidikan formal melalui keaksaraan fungsional, Kejar Paket A Setara SD, Paket B Setara SMP dan Paket C Setara SMA serta pemberian beasiswa bagi peserta magang/kursus. Upaya untuk meningkatkan mutu tenaga pengelola pendidikan luar sekolah juga telah dilakukan. Hal ini mengingat perlu adanya penyatuan persepsi tentang pentingnya PLS dalam mencerdaskan bangsa, para pengelola tersebut akan diberikan orientasi yang berkaitan dengan substansi program PLS yakni dalam hal merencanakan, memprogramkan dan mengevaluasi program-program PLS di wilayah kerjanya. 3.
Pola Pembentukan Masyarakat Belajar Dalam Program Pemanfaatan Perpustakaan dan Media lainnya (Penerapan konsep Teknologi Pendidikan) a. Pengembangan Perpustakaan Digital (Modernisasi Perpustakaan) Koleksi buku tak perlu tersedia di perpustakaan secara fisik, tetapi dapat diperoleh ketika dibutuhkan. Dalam peranannya sebagai mediator ini, perpustakaan
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Susi Yusrianti
248
dituntut untuk menyediakan hubungan-hubungan dengan para ahli ataupun pusatpusat informasi dengan cara mencari, mengumpulkan, bekerjasama, baik secara gratis maupun berlangganan pangkalan data yang sesuai agar dapat diakses oleh pengguna dari mana saja dan kapan saja secara fleksibel. Penyediaan sarana jaringan maupun terminal komputer menjadi suatu kebutuhan dalam memberikan layanan pada suatu institusi secara fleksibel. Layanan dapat saja diberikan tanpa batasan tempat, waktu ataupun golongan pengguna, bahkan dapat diberikan secara customized. Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi maupun jumlah informasi, makin berkembang pula jenis informasi maupun media untuk menyimpan informasi. Pada masa lalu masyarakat mengenal informasi yang dituangkan dan diperoleh dalam bentuk teks yang cukup tersimpan dalam bentuk/media cetakan. Seiring dengan perkembangan, informasi dalam bentukbentuk lain seperti grafis/ gambar, suara, animasi maupun video mulai dikembangkan. Informasi-informasi jenis ini tentunya memerlukan media penyimpanan lain yang lebih tepat, seperti kaset, video, film, slide dan sebagainya. b. Virtual Library (Perpustakaan Maya) Perpustakaan Maya merupakan sebuah perpustakaan atau suatu jaringan dari beberapa perpustakaan yang menghubungkan sumber informasi dan layanan dengan pengguna serta memberikan kesempatan untuk dapat diakses dari mana saja dan oleh siapa saja. Koleksi, layanan maupun pengguna dapat saja tersebar atau terpisah oleh jarak dan waktu, namun tetap dapat terhubung satu sama lain dengan memanfaatkan jaringan antar perpustakaan dan teknologi informasi . Melalui pembentukan jaringan Perpustakaan Maya, perpustakaan dapat menyediakan akses informasi yang lebih luas dan terbuka dalam hal jenis, bentuk dan jangkauan layanan serta hubungan yang lebih cepat antar perpustakaan anggota jaringan, antara jasa layanan sumber informasi dengan jaringan informasi global yang ada. Dengan adanya jaringan ini perpustakaan dapat menawarkan layanan informasi dalam bentuk yang baru dan inovatif, mengurangi biaya penulusuran serta penyebaran informasi, sekaligus meningkatkan efisiensi dan produktivitas dari jasa layanan informasi perpustakaan itu sendiri. c. Perpustakaan Keliling Perpustakaan keliling merupakan sebuah perpustakaan yang ditempatkan dalam sebuah kendaraan yang mendatangi pembaca atau sekedar ingin menarik minat baca. Dengan adanya perpustakaan keliling, ibu-ibu yang sedang tidak berkegiatan di rumah bisa sejenak keluar dan membaca buku-buku yang mereka
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
249 Konsep Teknologi Pendidikan sukai. Bisa berupa resep masakan, majalah wanita, koran, atau bahkan buku-buku ilmu pengetahuan umum. Pasar dari perpustakaan keliling sebenarnya tidak terbatas pada kaum ibu saja, tetapi lebih luas kepada masyarakat luas yang tidak mempunyai waktu berkunjung ke perpustakaan. Bisa juga perpustakaan keliling mendatangi objek-objek wisata, alun-alun, maupun tempat umum lainnya. Intinya tujuan diadakan perpustakaan keliling ini adalah, dimanapun seseorang itu singgah maka disitu ada buku. Diharapkan dengan kemudahan akses mendapatkan bacaan maka minat baca masyarakat dapat bertambah. Mereka tidak usah repot-repot membeli buku, tinggal datang ke perpustakaan ini, mendaftar lalu bisa membaca buku yang disediakan. Pengaturan dan penjadwalan perpustakaan keliling dapat diatur sesuaidengan kondisi dan situasi masyarakat setempat. Dalam hal ini penulis mempunyai gagasan bahwa tidak setiap hari perpustakaan keliling singgah di tempat yang sama. Akan tetapi perlu adanya penjadwalan, maksudnya pada tanggal sekian dan sekian maka perpustakaan ini akan berada di alun-alun, tanggal berikutnya akan berada di jalan ”A” dan seterusnya. Pada perpustakaan keliling, tentu saja pembaca tidak bisa membawa pulang buku-buku yang mereka pinjam. Buku-buku tersebut hanya bisa di baca di tempat. Untuk itu pengelola haruslah cerdik, maksudnya bisa memikirkan bagaimana pembaca bisa membaca dengan nyaman. Mereka bisa membawa beberapa kursi, meja, karpet, atau apa saja yang bisa mempernyaman pembaca. d. Rumah Baca Perlahan tapi pasti minat belajar terutama baca-tulis masyarakat Indonesia sudah mulai tumbuh. Sayangnya, pertumbuhan baca-tulis itu tak didukung akses dan fasilitas untuk memperlancar aktifitas tersebut. Tak heran, bila hingga saat ini jarak antara masyarakat terutama kelas bawah dengan ilmu pengetahuan masih sangat jauh. Kebutuhan ilmu pengetahuan seseorang tidak hanya terbatas ketika mereka bersekolah. Saat bermain, bepergian, makan malam di kafe dan sebagainya terkadang muncul keinginan untuk mengetahui sesuatu. Oleh karena itu keberadaan rumah baca perlu ditumbuhkembangkan. Masyarakat bisa mendapatkan hal baru yang tidak diduga-duga sebelumnya. Kesenangan mereka akan lebih memotifasi untuk lebih banyak membaca, banyak belajar, dan banyak mencari ilmu pengetahuan. Buku yang dimaksud tentunya bukanlah ilmu pengetahuan murni yang berisi teori-teori yang menmbutuhkan banyak pemikiran, akan tetapi yang sudah dibungkus dengan humor, permainan, tips dan sebagainya.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Susi Yusrianti
250
Selain itu keberadaan taman baca akan membantu masyarakat strata bawah karena mereka bisa mendapatkan informasi, pengetahuan, dan sebagainya dengan cara yang murah, bahkan gratis. Untuk pergi ke toko buku ataupun meminjam buku di perpustakaan mereka enggan sebab tidak adanya anggaran yang mencukupi untuk membeli buku atau waktu mereka yang hanya digunakan untuk bekerja. Akan tetapi dengan keberadaan taman baca tentu mereka tidak usah berpikir panjang untuk mendapat sesuatu yang berharga. Seorang tukang becak misalnya sambul menunggu penumpang ia bisa meminjam buku ke taman baca. Seperti kita ketahui bersama bahwa kesempatan mendapatkan ilmu bukan hanya hak orang mampu saja, akan tetapi hak semua warga negara tanpa terkecuali. e. Penyebaran Bukled dan Tabloid Penyebaran bokled dan tabloid dapat dilakukan oleh siapa saja asal diikuti rasa tanggung jawab. Ini bisa berisi pengetahuan ringan, tips, info aktual, dan sebagainya. Sasaran kegiatan ini adalah masyarakat golongan bawah yang tentu kesulitan memperoleh informasi. Kesan edukatif haruslah diutamakan, memang tujuan utama dari kegiatan ini adalah memberikan informasi kepada masyarakat berkenaan dengan issu aktual yang terjadi, bagaimana menyikapinya, dan apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi hal tesebut. Akan tetapi perlu diingat, dalam tulisan yang ada hendaknya perlu dihindari kesan profokatif sehigga akan menimbulkan gejolak di masyarakat. D. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas, maka diperoleh kesimpulan bahwa desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian adalah lima kawasan teknologi pendidikan yang dapat diterapkan dalam pembentukan masyarakat belajar. Desain sistem pembelajaran yang dimaksud disini adalah adanya perencanaan terhadap sistem pembelajaran yang ingin diterapkan pada masyarakat belajar seperti sistem pendidikan diluar sekolah, dimana sistem ini memiliki materi yang telah didesain terlebih dahulu dengan modifikasi berbagai macam strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik pemelajar yang bervariasi baik dari tingkat umur maupun tingkat motivasi belajarnya. Selain pendidikan luar sekolah, juga perlu adanya perpustakaan digital, perpustakaan maya, perpustakaan keliling dan adanya rumah baca serta buklet dan tabloid yang dapat mempermudah dan memperlancar terbentuknya masyarakat belajar.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
251 Konsep Teknologi Pendidikan 2. Saran a. Diharapkan kepada seluruh elemen masyarakat agar lebih memperhatikan penanaman minat belajar, sehingga terbentuknya masyarakat belajar yang produktif b. Masyarakat diharapkan mampu menciptakan suasana yang kondusif sebagai peran serta mendukung penciptaan masyarakat belajar. c. Menambah jumlah sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan membaca bagi masyarakat. d. Pemerataan sarana belajar sampai dengan pelosok-pelosok desa, sehingga konsep setiap warga negara memperoleh hak yang sama dalam proses pembelajaran dapat tercapai. e. Kepada para praktisi teknologi pendidikan, diharapkan dapat lebih memperluas jaringan dan memperbanyak inovasi-inovasi belajar dan sumber belajar yang dapat mempermudah terbentuknya masyarakat belajar f. Diharapkan penelitian ini dapat dilanjutkan dalam bentuk penelitian lapangan agar penelitian ini lebih lengkap dan sempurna
DAFTAR KEPUSTAKAAN Barbara B. Seels and Rita C. Richey, (2004) terjemahan Dewi, S. Prawiradilaga, Teknologi Pembelajaran, Definisi dan Kawasannya, Jakarta: UNJ. Dewi Salma Prawiradilaga, (2004) Mozaik Teknologi Pendidikan , Jakarta: UNJ. Jerome S. Arcaro,(2007), Pendidikan Berbasis Mutu Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan ke-4. John V. Dempsey, (2002) Trends and Issues in Instructional Design and Technology, Pearson Education, New Jersey. Muhibbinsyah, (2003), Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Nurkolis. (2002) .Reformasi Kebijakan Pendidikan Luar Biasa. http://www.artikel pendidikan/network (diakses 20 september 2013). Parsono, dkk. (1990), Landasan Kependidikan. Jakarta: Karunia Purwanto, et.al, (2005), Jejak langkah Perkembangan Teknologi Pendidikan di Indonesia , Jakarta: Pustekkom-Depdiknas Rahardjo, Arlinah I.(tanpa tahun) Proyek Jaringan Virtual Perpustakaan Universitas Kristen di Indonesia: InCU-VL. http://www.virtual-library.org (diakses 20 september 2013). Sharon E. Smaldino, (2005), Instructional Technology and Media For Learning, Pearson Education, New Jersey.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Susi Yusrianti
252
Sulistyowati. (2004).KBK dan Minat Baca. http://www.pikiran rakyat.com (diakses 20 september 2013). Sutarno. N.S. (2003),Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wawan Wardiana, (2002) Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia, Bandung: Unikom. Yusufhadi Miarso, (2004), Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: UNJ.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
253
KONSEP MA’RIFATULLAH DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER MUSLIM MENURUT AL-GHAZALI Oleh : Aisyah Maawiyah .Dosen Prodi PAI Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Email:
[email protected]
Abstrak Tujuan penulisan ini adalah untuk mengimplementasikan konsep ma‟rifatullah menurut Al- Ghazali dalam membentuk karakter muslim dalam kehidupan. Karena umat Islam dalam hidup ini harus mengenal dirinya dan Tuhannya,baik di dunia maupun di akhirat, sehingga akan menumbuhkan dalam dirinya kecintaan terhadap Allah swt. dengan mengetahui dunia dan mengenal akhirat akan menimbulkan rasa rindu terhadap akhirat, sehingga dapat mengantarkan mereka kepada keridhaan dan rahmat Allah swt dan segala yang bermanfaat untuk hidup di akhirat. Ma‟rifat menurut al-Ghazali adalah suatu ilmu atau pengetahuan untuk mengenal dan mengetahui Sang Pencipta alam ini, yaitu Allah Swt. Mengenal Allah Swt merupakan dasar utama dalam agama Islam, sebab dengan mengenal dan mengetahui-Nya secara benar, manusia akan melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk yang telah diciptakan oleh-Nya. Yang menjadi kesimpulan dalam penulisan adalah untuk berma‟rifat kepada Allah swt harus dengan ilmu pengetahuan karena ilmu adalah cara menempuh untuk menuju keridhaan Allah dan dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya, serta menjauhkan seseorang muslim dari segala larangan –Nya.Yaitu dengan melaksanakan ibadah, shalat, puasa, zakat, ikhlas,jujjur,sabar,Optimis dan intergritas dan lain –lainnya . Demikian juga menghindari dari pada penyakit hati seperti riya, ujub, tamak dan takabur, sehingga tidak merusakkan ibadah seseorang muslim. Dengan demikian akan terbentuk karakter muslim yang baik dalam kehidupan sehari – hari Oleh karena demikian kedudukan karakter dalam kehidupan manusia menempati tempat yang tertinggi, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada karakter manusia. Apabila karakter manusia baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya apabila karakter manusia rusak, maka rusaklah lahir dan batinnya. Kata Kunci : Konsep Ma‟rifatullah, Karakter Muslim
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Aisyah Maawiyah
254
Abstract The objective of the study to implement the ma‟rifatullah concept according to Al- Ghazali in forming the moslem character in his/her life. Because umat Moslem must know him/her self and their god in their life,as well in the world and hereafter, so it will grow love to Allah Swt in her/his life. By knowing the world and know the here after also will raise the feeling of deep longing to the hereafter, so, it could send them to Allah swt favor and blessing that all have benefit for life in hereafter. Ma‟rifatullah ccording to al-Ghazali is a science or knowledge to know and recognize our creature of nature that is, Allah Swt. To know Allah Swt is a fundamental in Islam, because by knowing Allah truly, the human will implement or apply their obligation as the creature that has been created by Allah. The conclusion in this writing is to know or “berma‟rifat” to Allah swt must be with knowledge because knowledge is the way to get and to reach Allah favor and could make some one close to Allah, also to make a moslem far away from all prohibitions of Allah Swt. That is by praying, fasting and paying for zakat, willingness or “ihklas”, honest, patient optimist and integrated and others. And also to avoid from the hearth disease like “riya”, “ujub”, greedy and arrogant, so, it will not break or destroy a moslem praying. Thus, it will be formed a good moslem character in daily life. Because of that position of character in human life placed the highest place as individual or community and nation, Cause of collapsing of a nation and community are depend on the human character. If the human character is good, so they will live welfare in their physic and spiritual, and if the human character is broken so it will be broken their physic and spiritual life. Kata Kunci : Ma‟rifatullah Concept, Moslem character A. Pendahuluan Al-Ghazali dalam hidupnya sangat besar perhatiannya terhadap ilmu dan pendidikan maupun keyakinannya yang sangat kuat bahwa pendidikan yang baik merupakan suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. (Fathiyah Hasan Sulaiman, 1993),Ghazali menggariskan tujuan pendidikan harus sesuai dengan pandangan
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
255 Konsep Ma‟rifatullah Dalam Pembentukan Karakter Muslim hidupnya serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya. Untuk itu al-Ghazali menempuh jalan ma‟rifat dalam tasaufnya. Ma‟rifat menurut al-Ghazali adalah suatu ilmu atau pengetahuan untuk mengenal dan mengetahui Sang Pencipta alam ini, yaitu Allah Swt. Mengenal Allah Swt merupakan dasar utama dalam agama Islam, sebab dengan mengenal dan mengetahui-Nya secara benar, manusia akan melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk yang telah diciptakan oleh-Nya. Adapun yang dimaksud dengan ilmu ma‟rifat menurut al-Ghazali, seseorang harus mengenal empat perkara (AlGhazali, 2003) mengenal Dirinya mengenal TuhannyaMengenal Dunia Mengenal Akhirat Mengenal dirinya maksudnya, merasa bahwa dirinya adalah hamba Allah yang lemah dan membutuhkan kepada Allah swt.. Artinya mengenal Allah ialah, mengetahui dengan sebenar-benarnya dan yakin bahwa hanya Allah yang berhak disembah, yang agung dan yang berkuasa. selanjutnya ia merasa bahwa dunia ini hanyalah padang pengembara menuju tempat kembali yakni akhirat dan jauh dari nafsu binatang. Sebagai seorang Muslim ia harus mengenal Tuhannya, tetapi perasaan itu tidak akan pernah ada jika ia tidak mengenal dirinya.maka orang muslim harus mencari petunjuk dari Allah Swt baik petunjuk-petunjuk tentang keadaan diri, keagungan Allah, dan setiap orang akan mengoreksi dirinya dari kesalahan-kesalahan dalam hidupnya. Apabila manusia dalam hidupny telah mengenal diri dan Tuhannya,baik di dunia maupun di akhirat, sehingga akan menimbul dalam dirinya kecintaan terhadap Allah, hal tersebut adalah hasil ma‟rifat kepada-Nya. dengan mengenal akhirat akan menimbulkan rasa rindu terhadap akhirat. dengan mengetahui dunia, seseorang tidak akan tertarik olehnya. kemudian bagi mereka, yang terpenting adalah segala yang dapat mengantarkan mereka kepada keridhaan dan rahmat Allah dan segala yang bermanfaat untuk hidup di akhirat. Senada dengan hal tersebut, maka ma‟rifat telah terbentuk di dalam hati manusia, maka niatnya dalam segala amar akan menjadi baik. ,niat untuk menempuh jalan akhirat. maka niatnya dan terjauh dari berbuat kesalahan. Karena yang merusak niatnya adalah ghurur yang tumbuh dari kecenderungan terhadap dunia, kemegahan dan harta. Permasalahan terjadi secara emperis sebagian besar umat Islam sangat diperbudak oleh teknologi canggih dan dirugikan oleh waktu yang berputar selama 24 jam / hari . Juga nyaris disibukan dengan urusan duniawi. dalam waktu 24 jam / hari tanpa tersita waktu untuk berma‟rifah kepada Allah swt, sehingga lupa akan akhirat padahal akhirat tempat yang paling kekal abadi bagi manusia itu sendiri dalam mempertanggung jawabkan amal perehidupan sehari-
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Aisyah Maawiyah
256
haribuatannya ketika di dunia ini. Maka dalam hal ini terbentuk karakter umat Islami yang tidak baik, terutama dihadapan Allah swt juga sesama manusia dalam kehidupan sehari- hari. B. Pembahasan 1. Pengertian Ma”rifatullah Ma‟rifatullah adalah ma‟rifat yang pertama dan paling utama bagi manusia adalah kepada pemahaman, dan yang paling mudah adalah akal pikiran. dan sesungguhnya manusia hanya melihat Allah Swt melalui apa yang telah diciptakan oleh-Nya, manusia dapat memahami melaui contoh dan contoh itu adalah bahwa apabila kita melihat seorang manusia menulis atau menjahit umpamanya niscaya adalah manusia itu orang yang hidup di sisi yang paling nyata. (Al-Ghazali, 1993 ) Mengenai wujud Allah Swt manusia mengetahuinya melalui asma-asmaNya dan sifat-sifat-Nya seperti sifat qudrahnya. Sifat-sifat Allah swt yang bisa dilhat oleh manusia dengan pasti setiap apa yang kita saksikan di alam ini. Manusia mengetahuinya dengan panca indra seperti batu, lumpur, tumbuh-tumbuhan, pohon, hewan, langit, bumi, binatang, lautan, api, udara, benda dan barang, yang selain emas perak. bahkan, yang pertama kita saksikan adalah diri kita sendiri. Pengkajian dan pengembangan pemikiran ma‟rifat inilah yang sangat menarik perhatian al-Ghazali untuk menjelaskan secara mendetil. Menurut alGhazali ma‟rifat merupakan sumber dan puncak kelezatan beribadah yang dilakukan oleh seorang manusia di dunia ini. Lebih jauh lagi ia memberi pandangan yang luas tentang kebahagiaan dan kelezatan bagi manusia untuk mencapai ma‟rifatullah. Mengenal dan mencintai Sang Pencipta dengan sepenuhnya. Dengan demikian manusia akan memperoleh kesenangan yang luar biasa dari yang lainnya. Ma‟rifat kepada Allah adalah merupakan sifat yang termulia dalam membentuk karakter masyarakat muslim. Tujuan Ma’rifatullah Untuk berma‟rifat kepada Allah maka harus dengan ilmu, karena ilmu adalah cara menempuh jalan menuju keridhaan Allah dan yang dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya, serta segala yang menjauhkan seseorang kepada-Nya. disamping itu, mengetahui pula halangan-halangan, tingkatan-tingkatan, dan bahaya dalam perjalanan tersebut.Selanjutnya, perlu diketahui pula mengenai ibadah lahir, yaitu shalat, puasa, zakat dan sebagainya. semua itu berhubungan dengan ibadah batin yang akan memperbaiki atau merusak ibadah lahir. Seperti ikhlas misalnya, ikhlas menjadikan ibadah lahir itu baik. Sedangkan riya merusak ibadah lahir juga ujub dan sebagainya. Barangsiapa yang tidak mengetahui ibadah batin dan pengaruhnya terhadap ibadah lahir serta cara-cara menjahuinya, sedikit sekali di antara mereka yang 2.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
257 Konsep Ma‟rifatullah Dalam Pembentukan Karakter Muslim selamat, dan mereka kehilangan pahala ibadah lahir dan batin. mereka hanya akan mendapat kecelaan dan kesulitan, dan yang demikian itu merupakan kerugian yang nyata. Tanda bahwa ilmu tidak dapat menimbulkan rasa takut kepada Allah adalah orang yang tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya pasti tidak takut terhadap-Nya, tidak dapat mengagungkan Allah dan melaksanakan perintah-Nya. Hanya dengan ilmu seseorang bisa mengenal dan mengagungkan dengan sebenarbenarnya.Jadi, ilmu yang diberkati Allah akan membuahkan ketaatan dan mampu mencegah perbuatan maksiat. juga tidak ada lagi yang dituju dalam beribadah selain menjalankan segala perintah-Nyadan menjauhi segala larangan-Nya. Aktualitas keislaman manusia itu ditentukan oleh diri sendiri dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, sehingga pilihannya itu ada yang mengarah kepada pilihan baiknya dan ada pula yang mengarah pada pilihan buruknya. Untuk itu, pendidikan Islam harus dijadikan sebagai salah satu tema sentral pemikiran pendidikan Islam ke depan. sebab, ia merupakan “jantung” yang berdenyut memompakan spirit pembaruan ke seluruh bagian tubuh bangunan pemikiran Islam, agar mampu tumbuh berkembang secara dinamis-progresif., Pendidikan Islam ( Muhammad Arif: 2008 ) dengan kata lain, kemajuan umat Islam tidak akan bisa diwujudkan manakala tidak ditopang oleh kemajuan pendidikannya. Pendidikan Islam bisa diwujudkan dengan mengamalkan dan implikasi dalam kehidupan sehari-sehari agar pendidikan Islam bisa menjadi pendidikan yang rahmatan lil „alamin. Untuk itu ma‟rifatullah adalah satu ilmu yang sangat penting dipelajari bagi umat muslim di dalam kehidupannya. 3.
Pengertian Character Edution Character education adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan yang bijak dan mempratekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungan nya. (Ratna Megawangi, 2004). Asep jihat dan M. Muclas Rawi menjelaskan tentang karakter yaitu nilainilai yang unik , baik, tahu nilai kebaikan, mau berbuatbaik dan nyata berkehidupan baik yang terdapat dalam diri dan dalam perilaku,karakter secara kohoren memancar dari hasil olah pikir, hati, olah rasa dan karsa, serta olah seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. (Asep Jihad,M.Muchlas Rawi Kamaruddin: 2011)
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Aisyah Maawiyah
258
Abu Ahmadi dalam bukunya Spikologi umum juga turut mendefinisi kan maksud dari character education atau karakterologis dalam istilah belanda berasal dari kata”karakter”, yang berarti watak. Kata karacter juga berasal dari bahasa yunani charassein, yang artinya (mula-mula) coretan atau goresan kemudian berarti sptempel atau gambaran yang di tinggalkan stempel itu,jadi disini kita menganggap bahwa tingkah laku manusia itu ilmi, ilmu itu telah lama sekali dikenal oleh manusia. Berdasar penjelasan tersebut penulis menjelaskan bahwa character education adalah suatu system penanaman nilai-nilai karakter atau kebiasaan kepada peserta didik yang melingkupi aspek pengetahuan,kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk mengamalkan nilai-nilai tersebut sehingga tindakan atau perilaku yang keluar nantikan menjadi sebuah kebiasaan atau karakter yang melekat pada dirinya dan bahkan melakukannya secara spontan tanpa pemikiran dan pertimbangan. 4.
Tujuan Pembinaan Karakter Untuk mencapai kebahagian, manusia mencari jalan menuju ke tempat tujuan, yaitu kebahagian dengan segala upaya dan sarana yang ada pada masingmasing manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Sesuai dengan fitrah manusia ia mencari jalan menuju kebahagiaan yang universal pada masa kini dan nanti, maka Allah yang memberikan apa yang dicari oleh manusia, yaitu sesuatu jalan yang lurus. Apabila dijalani sesuai aturan, ia dapat sampai ke tempat tujuannya, jalan itu adalah agama (Ad- Din Al-Islam). Nabi Saw menyuruh umatnya untuk memiliki karakter ( akhlāq ) yang agung, suri teldan yang baik. Berakhlak Islamiah berarti melaksanakan ajaran Islam dengan jalan yang lurus terdiri dari iman, Islam, dan ihsan, dengan mohon taufik dan hidayah-Nya.maka manusia diberi pedoman yaitu Al-Qur‟an dan hadīth Nabi Saw agar tidak keliru dalam menjalaninya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur‟an surat Al-Ahzab, ayat 21 yang berbunyi:
Artinya:”Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
259 Konsep Ma‟rifatullah Dalam Pembentukan Karakter Muslim Dalam hal ini Akhlaq al-Karimah identik dengan karakter yang merupakan puncak dari pilar –pilar Islam . maka orang taqwa adalah manusia dengan kualitas moral yang tinggi. Di sini ada korelasi yang kuat antara iman dan taqwa dengan keluhuran budi pekerti seseorang tidak dapat dikatakan beragam bila ia tidak berakhlak agama harus melahirkan keluhuran budi pekerti dan al-Akhlaq al-Karimah. Sehingga agama dapat mendatangkan kebaikan dan berpengaruh secara moral dan sosial dalam kehidupan Senada hal tersebut dalam UUD RI No: 20 tahun 2003 pada Bab II pasal 3 yang menjelaskan tentang pendidikan Nasional yang berbunyi: “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang yang bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi menusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berahkaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (1Sisdiknas, Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional : 2003 ) Konsep Ma’rifatullah Dalam Membentuk Karakter Muslim Ma‟rfatullah untuk membentuk karakter Muslim yang luhur dan mulia. Seorang muslim yang berkarakter senantiasa bertingkah laku yang terpuji, baik ketika berhubungan dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, makhluk lainnya, dan lingkungannya. Oleh karena itu perwujudan dari muslim berbudi pekerti yang luhur merupakan tindakan yang nyata menjadi tujuan juga dalam kehidupan manusia. Dengan berma‟rif manusia akan terhindar dari perbuatan yang hina dan tercela. Perbuatan keji dan mungkar Tanpa karakter yang baik, manusia akan mudah melakukan perbuatan yang terlarang didukung oleh syetan. Oleh sebab itu perbuatan terlarang, baik berupa pencurian, korupsi, pembunuhan dan lain sebagainya sering dilakukan oleh orang bodoh saja, akan tetapi juga di lakukan oleh orang-orang ynag pandai, bahkan orang yang mengerti perbuatan yang ialakukan itu terlarang. Tujuan yang lain dari karakter yang baik adalah: melahirkan ucapan dan perbuatan yang sesuai, penghayatan dan pengalaman, antara teori dan praktek. Gerak-gerik hati atau tindakan batin dan tindakan lahir merupakan lapangan yang di atur oleh karakter. Tindakan hati tidak akan terjadi jika tidak di dahului oleh gerak-gerik hati. Jadi, gerak-gerik hati dan tindakan batin harus dikendalikan serta dikuasai agar menjadi muslim yang berkarakter. Dalam ajaran Islam ada tiga komponen yang merupakan tiang utama bagi kekokohan keberagamaan seseorang, ketiga komponen tersebut adalah Islam, iman 5.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Aisyah Maawiyah
260
dan ihsan. Islam adalah ajaran yang di dalamnya terdapat lima pokok ajaran yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, sedangkan iman adalah sebuah ajaran yang berhubungan dengan keyakinan hati, di dalamnya terdapat enam inti ajaran yaitu kepercayaan terhadap Allah, malaikat, para rasul, kitab-kitab, hari akhir, qada dan qadar. Adapun ihsan adalah sebuah ajaran yang menekankan adanya kemurnian dan ketulusan dalam merealisasikan penyembahan dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta. Kemurnian dan ketulusan ini berangkat dari jiwa yang memiliki nilainilai karakter, dalam Islam termasuk kategori tujuan pembentukan akhlak Islam. Dengan demikian, ajaran Isanm ada hubungannya dengan akhlak, yakni sebuah keadaan yang tertanam pada jiwa manusia.Dalam Islam, akhlak menempati posisi yang sangat penting, karena kesempurnaan Islam seseorang sangat tergantung kepada kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Manusia yang dikehendaki Islam adalah manusia yang memiliki akhlak mulia, manusia yang memiliki akhlak mulialah yang akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Oleh karena hal tersebut di atas, dalam al-Quran banyak mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan akhlak, baik berupa perintah untuk berakhlaq yang baik, maupun larangan berakhlaq yang buruk serta celaan dan dosa bagi orang yang melanggarnya. Hal ini membuktikan betapa pentingnya akhlak dalam ajaran Islam dan juga dalam kehidupan manusia, karena karakter yang baik ( Akhlaq mahmudah) akan membawa kemasalahatan dan kemuliaan kehidupan. Oleh sebab itu, bagi yang menginginkan kehidupan akhirat, akan mendahulukan menuntut ilmu sebelum mengerjakan urusan lainnya. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita, karena sesungguhnya Allah Maha Memberi dan Maha Pemurah. Perlu diketahui, ilmu dan ibadah adalah dua mata rantai yang saling terkait. Karena pada dasarnya segala yang kita lihat, kita dengar, kita pelajari adalah untuk ilmu dan ibadah. Untuk itu kita harus membekali diri dengan ilmu. Sebab beribadah tanpa bekal ilmu adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal dari segala perbuatan. (Al-Ghazali) Jadi perintah untuk mengenal Allah Swt adalah perintah langsung dariNya, oleh sebab itu manusia sebagai ciptaan Allah Swt wajib mengetahui hal itu, jika diabaikan dan berpaling dari perintah tersebut, maka sangat merugi bagi manusia, karena manusia tidak mengenal Allah secara benar yang pada akhirnya manusia tidak mengamalkan perintah-Nya. Tetapi apabila manusia dapat mengenal Allah secara benar, maka manfaatnya sangatlah besar, yakni memperoleh kebahagiaan, keselamatan, kenikmatan dan ketenangan jiwa raga yang tiada tara, baik di dunia maupun di akhirat nantinya. (Sayid Sabiq, 2010)
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
261 Konsep Ma‟rifatullah Dalam Pembentukan Karakter Muslim Menurut al-Ghazali hati (qalb) memang perlu disucikan karena ia media untuk men dapatkan ilmu pengetahuan .hati memiliki dua pintu salah satunya menghadap keluar dan yang lainnya menghadap ke dalam pintu yang menghadap kedua luar dapat menangkap pengetahuan melalui panca indra .sementara pintu yang menghadap kedalam akan menangkap pengetahuan –pengetahuan yang berasal dan alam ghaib berupa nur ilahi .dimana hati bisa seperti cermin apabila berasil disucukan dari kotoran –kotoran duniawi sehingga mampu menangkap cahaya ilahi atas dasar inilah al-Ghazali mengeluarkan stateme
من عر ف قلبه فقد عرف نفسه و من عر ف نفسه فقد عر ف ربه Menurutnya al-Ghazali ma‟rifah adalah tujuan akhir yang harus dicapai manusia sekalipun merupakan kesempurnaan tertinggi yang mengandung kebahagian hakki. .Ma‟rifah bikan hanya sekedar perkenalan biasa,tetapi berupa ilmu yang tidak dirugukan kebenarannya atau al-„ilma al-yaqin ilmu yang meyakini sehingga dengannya dapat diketahui rahasia Allah dan peraturanperaturannya tentang segala yang ada. Oleh karena demikian berma‟rifat kepada Allah harus dengan ilmu, karena ilmu adalah cara menempuh untuk menuju keridhaan Allah dan yang dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya, serta segala yang menjauhkan seseorang kepada-Nya. disamping itu, mengetahui pula halangan-halangan, tingkatantingkatan, dan bahaya dalam perjalanan tersebut. . Untuk itu kita harus membekali diri dengan ilmu. Sebab beribadah tanpa bekal ilmu adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal dari segala perbuatan. Karena umat Islam dalam hidup ini harus mengenal dirinya dan Tuhannya,baik di dunia maupun di akhirat, sehingga akan menimbul dalam dirinya kecintaan terhadap Allah swt. dengan mengetahui dunia dan mengenal akhirat akan menimbulkan rasa rindu terhadap akhirat., sehingga dapat mengantarkan mereka kepada keridhaan dan rahmat Allah swt dan segala yang bermanfaat untuk hidup di akhirat. Untuk berma‟rifat kepada Allah swt harus dengan ilmu pengetahuan karena ilmu adalah cara menempuh untuk menuju keridhaan Allah dan dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya, serta menjauhkan seseorang muslim dari segala larangan –Nya. Yaitu dengan melaksanakan ibadah, shalat, puasa, zakat , ikhlas,jujjur,sabar,Optimis dan intergritas dan lain –lainnya . Demikian juga menghindari dari pada penyakit hati seperti riya, ujub, tamak dan takabur, sehingga tidak merusakkan ibadah seseorang muslim. Dengan demikian akan terbentuk karakter muslim yang baik dalam kehidupan sehari – hari.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Aisyah Maawiyah
262
Oleh karena demikian kejayaan seseorang terletak pada karakter yang baik, karakter yang baik selalu membuat seseorang menjadi aman, tenang, dan tidak adanya perbuatan yang tercela. Seseorang yang berkarakter mulia selalu melaksanakan kewajiban–kewajibannya, baik terhadap Āllah, dirinya sendiri, maupun kepada orang lain. Seseorang yang karakter buruk menjadi sorotan bagi sesamanya, contoh: melanggar norma-norma yang berlaku dalam kehidupan, penuh dengan sifat-sifat tercela, tidak melaksanakan kewajiban yang seharusnya dikerjakan secara objektif, maka yang demikian ini menyebabkan kerusakan susunan sistem lingkungan. Kedudukan karakter dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana karakternya. Apabila karakter nya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya, apabila karakter rusaknya, maka rusaklah lahir dan batinnya. C. Kesimpulan Untuk berma‟rifat kepada Allah maka harus dengan ilmu, karena ilmu adalah cara menempuh menuju keridhaan Allah dan yang dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya, serta segala yang menjauhkan seseorang kepada-Nya. disamping itu, mengetahui pula halangan-halangan, tingkatan-tingkatan, dan bahaya dalam perjalanan tersebut. Justru itu kita harus membekali diri dengan ilmu. Sebab beribadah tanpa bekal ilmu adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal dari segala perbuatan. Karena umat Islam dalam hidup ini harus mengenal dirinya dan Tuhannya,baik di dunia maupun di akhirat, sehingga akan menimbul dalam dirinya kecintaan terhadap Allah swt. dengan mengetahui dunia dan mengenal akhirat akan menimbulkan rasa rindu terhadap akhirat., sehingga dapat mengantarkan mereka kepada keridhaan dan rahmat Allah swt dan segala yang bermanfaat untuk hidup di akhirat. Untuk berma‟rifat kepada Allah swt harus dengan ilmu pengetahuan karena ilmu adalah cara menempuh untuk menuju keridhaan Allah dan dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya, serta menjauhkan seseorang muslim dari segala larangan –Nya. Yaitu dengan melaksanakan ibadah, shalat, puasa, zakat , ikhlas,jujjur,sabar,Optimis dan intergritas dan lain –lainnya . Demikian juga menghindari dari pada penyakit hati seperti riya, ujub, tamak dan takabur, sehingga tidak merusakkan ibadah seseorang muslim. Dengan demikian akan terbentuk karakter muslim yang baik dalam kehidupan sehari – hari. kejayaan seseorang terletak pada karakter yang baik, karakter yang baik selalu membuat seseorang menjadi aman, tenang, dan tidak
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
263 Konsep Ma‟rifatullah Dalam Pembentukan Karakter Muslim adanya perbuatan yang tercela. Seseorang yang berkarakter mulia selalu melaksanakan kewajiban–kewajibannya, baik terhadap Āllah, dirinya sendiri, maupun kepada orang lain. Seseorang yang karakter buruk menjadi sorotan bagi sesamanya, contoh: melanggar norma-norma yang berlaku dalam kehidupan, penuh dengan sifat-sifat tercela, tidak melaksanakan kewajiban yang seharusnya dikerjakan secara objektif, maka yang demikian ini menyebabkan kerusakan susunan sistem lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
1991. Character, and Civic Education in the Elementary School. New York: Teachers College Press. Al-Ghazali. 2003. Minhajul Abidin Wasiat Imam al-Ghazali. Terj. Zakaria Adham, --------. 1993. Ihya‟Ulumiddin, Jilid Ke-8, Terj. Mohd. Zuhri dkk, Semarang: Darul Ulum Press. --------. 2003. Minhajul Abidin; (Wasiat Imam al-Ghazali). Terj. Zakaria Adham, Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. Cet Ke- 1. Yogyakarta: LKis Asy Syifa‟. Fagan, P.F. 1995. The real root causes of violent crime: the breakdown ofmarriage, family and komonity.Washington, D.C.: Heritage foundation. Bennett, W.J. Moral Litercy and the Formatio of Charater. In J.S. Benninga(ed),Moral Jihad, Asep dan Muchlas Rawi Kamaruddin, M. 2010. Pendidikan Karakter Teori dan Aplikasi. Jakarta:Kemetrian Pendidikan Nasional. Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta:Indonesia Heritage Fondation. Nata, Abuddin. 2010. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan: Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy. Cet. Ke- 4, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Quraish Shihab, M. 1998. Menyingkap Tabir Ilahi, Cet. Ke-1. Jakarta: Lentera Hati. Rathomy, Bandung: Diponegoro. Sabiq, Sayid. 2010. Aqidah Islam Pola Hidup manusia Beriman, Terj. Moh. Abdai SinarGrafika. Schikendanz, J. 1995. .Family socialization and Akademic Achievement. Boston University Press. Sisdiknas. 2003. Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
264
ENVIRONMENT -ORIENTED CURRICULUM DEVELOPMENT Oleh: Elhafizh Dosen Prodi Bahasa Inggris Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Email:
[email protected] Abstrak Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan kajian kepustakaan. Penelitian ini berbicara tentang pendisainan dan penggembangan kurikulum berbasis kepada kebutuhan lingkungan. Kurikulum ini dikembangkan untuk menjawab tantangan kebutuhan-kebutuhan yang ada di lingkungan luar sekolah. Lingkungan luar sekolah yang dimaksud adalah dunia kerja. Kurikulum ini memiliki dua elemen yaitu elemen dalam dan elemen luar. Elemen dalam terdiri dari tujuan, isi, dan evaluasi, . Kemudian pengguna tamatan sekolah adalah elemen luar yaitu lapangan industri, pemerintah, perusahaan, rumah -sakit, dan sector-sektor sosial lainya. Guru, Dosen, Ilmuan, ahli media, dan pengguna tamatan dikelompokan sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum. Kata Kunci: Kurikulum Berorientasi Lingkungan, Pemilihan Materi Berorientasi Lingkungan, Evaluasi Berorientasi Lingkungan dan Sekolah Abstract This is kind of qualitative research with library study. The environment -oriented curriculum is a curriculum that is oriented to answer the needs of environment out of the school. It is built by two elements, namely internal elements and external elements. The first consists of purpose (aim, goal, and objective), content, and evaluation and the second one are executor and user. The users refer to individuals, organizations, and people out of the school that employs or uses graduations : factory, industry, company, hospital, and so on. Then teacher, lecturer, curriculum maker, school committee, student, media expert, scientist, users of graduations, and so on can be classified as the executor of the curriculum, who run and establish it. Key Words: Environment -Oriented Curriculum, environment- oriented material selection, and school and environment -oriented evaluation.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
265 Environment -Oriented Curriculum Development A. Background of Problem This paper talks about Environment -Oriented Curriculum Development. The reasons of choosing this area are 1) to know and to the nature of school, 2) to know and to describe the nature of curriculum, 3) and to know and to describe the elements of curriculum. This kind of library research in which the writer only did some readings related to some relevant sources regarding curriculum development. Talking or discussing with colleague, professional teachers, education experts, students, lectures , and others parties is also the way to enrich this paper qualitatively. The writer wishes that this paper will increase his knowledge, insight, and experience in designing and establishing school curriculum. for teachers and students who are engaged in education as their own major subject , this paper will help them to understand the nature of curriculum in real context. For those who are going to do a research this paper can be their own reference to enrich the research as well. B.
The Nature of School Taba ( in Anshar, 1989: 4) states that “ school is established to teach students knowledge, behavior, value, including life techniques needed by them to live in a society. Then they are hoped to be responsible with the development of culture of a society. This means that the nature of school is the place to empower students to have cognitive aspect (knowledge) , psychomotor aspect ( skill) , and the affective aspect ( value ) . Because those fundamentally are the tools that will back up them to live in a environment. Then the school has also the function to reintroduce students the forms of cultural values that exist in a society , to guide them to establish sense of belonging to the culture , and to push them to maintain and to establish it. Sanjaya ( 2005 : 21 ) confirms that school is not only the place to plant and to heritage knowledge, but also to establish character. This quotation signs that the social function of the school are the place to establish character building and to establish the values of culture through learning experience. Tyler( in Anshar, 1989:17 ) commends that learning experience is the experience gained by student and experienced by himself as the outcome of learning and that of interaction between content and learning activities . Based on the statement, the result of learning activities is experience in which content is the sources of it. This process happens in school. Then Anshar ( 1989: 15 ) states that school is the agent of knowledge and value reproduction the next young generation. The role of school according to him here are the place where value ( cultural aspects ) and knowledge reproduction occur. Taylor ( in Ratna, 2007:5) defined that culture is the totality of man „s activities, including knowledge, belief, art, moral, law, custom, and others. Departure from this point of view, what the student learn in school are anything that exist , produced , and believed by people in their society, such as law, religion, Knowledge, art, custom, and e.t.c Those are the values of civilization.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Elhafizh
266
The civilization itself is the higher form of the culture. Ratna ( 2007: 7) sees that …culture is limited to the higher shape of the values of culture , such as art and knowledge. If it does it can be noted that the social function of school empower students to form a society with a good civilization. In conclusion the function of school are the place to help man to form and establish any potencies they have, to establish character and self-values, to give them knowledge and skill, to reintroduce environment, to build sense of belonging to the existing culture, to maintain and to establish the values of culture, and to reach a civilization. C. The Nature of Curriculum Anshar (1989:17) confirms that curriculum is the blue print , must be empty into giving experience designed and executed correctly . Based on this statement, curriculum is considered a collection of experience that is going to be delivered to students. For example, history, math, biology, economy, politic, technology, literature, and so on are the example of the experience collections. Those are the names of disciplines as the result of learning experience . So the content of curriculum can be considered as the things that exist in man‟s environment. That is why a student coming to school and taste some lessons that means , in the same strain , he also maintains and establishes the culture of his own people. Or it means that what the student learns from a curriculum must be what he has seen and found in his environment. Lunenburg and Ornstein ( 2000: 433) define curriculum is a plan for action , or written document, which include strategies, for achieving desired goals or ends. Then Caswell and Campbell ( In Lunenburg and Ornstein , 2000: 433) view that curriculum was all experiences students under the guidance of the teacher. Both quotations sign that curriculum can be seen as a complete system to process materials or contents to become experience. The experience wants to be achieved can be considered as the goal of curriculum. The process involves certain method, ethic, technique, strategies, and timetable to reach end. It also needs administrator, curriculum maker , teacher, expert, and other related parties to design and establish it and to carry out the curriculum‟s vision and mission. A teacher , for example, has a social function to spread and deliver materials or content, and to handle or aid or guide the students to earn knowledge, skill, and value. It can be said that a curriculum as a system has its own sub-systems. Subsystems mean here are anything that helps a curriculum work well to produce outcome. The example of sub-systems meant are teacher, administrator , expertise, curriculum maker, principle, method, strategy, technique, and so on. In conclusion, the nature of curriculum is the collection of experience in form of materials that come from the environment of people themselves that are delivered to student systematically. A good curriculum development must be
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
267 Environment -Oriented Curriculum Development based on anything that exists in a society, including fixed with the situation, cultural value, natural resource, human resource, and condition of it. So what students learn must deals much with the values that exist in their own environment. Then it also can be seen that curriculum is a systematic programs dedicated to produce experience for students that are quipped by certain supporting tool to reach end , namely in technique, method, materials, and a living system called teacher, administrator, expert, and the like. Kind of the curriculum that is oriented to find, to establish, to innovate, and to use the values of culture : economy, technology, religion, politics, language, art, and so on is named the environmentoriented curriculum development. C. Elements of Curriculum 1. Internal Elements of Curriculum a. Aim, Goal, and objective Aim deals much with the main reference of education development in certain country. It is a philosophical reference and commonly used as a reference before creating goal and objectives. In Indonesia , for example , the aim of national education is stated in Indonesia‟s the national constitution or UDD 1945. Aim is more general and the outcome of it is only can be gained after the process of education in a formal or non formal school ends. Or the outcome can be seen only in the future. Ornstein (1988: 146) confirms that aim serves the crucial function of guiding education but they can not be directly observed and evaluated. Then Anshar ( 1989: 93 ) also confirm aim or the aim of national education does not has a direct connection with the outcome of learning and teaching processes in the classroom. The target of aim outcome is away from the atmosphere of school. The outcome can be gained when school is over . Such as sense of responsibility for the country, the use of spiritual values in real life , being a real man, and so on. To reach an aim, so that, it needs goal. Goal is more specific than aim. Anshar (1989: 93 ) explains that the position of goal is between aim and objective. Goal is more general than objectives, and does not have a direct outcome from the result of learning in the classrooms. To reach it must have objectives . Then Miller and Seller (in Anshar, 1989: 94) also emphasize that objective is the outcome gained or reached from the result of learning in the classrooms. So , based on this statement , objective has the direct outcome from any activities executed in the classroom. Based on his opinion , an objective can be associated as the objective of curriculum in certain school or that of institutional. Zais ( in Anshar, 1989:103 ) proposes that:
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Elhafizh
268
There are three categories ( fact, skil, and behavior ) that can be used to arrange the goal and the objectives of curriculum before establishing goal and objectives ( instructional ). Fact can be defined as assimilation in form of data, opinion, and complex concepts. Skill means the ability of executing something , including process such as reading, writing, thinking, communicating, and other kinds of functional skills. Then behavior means required manner, or sense of enjoying something that stem from various stimulation, desire or not, and like or dislike. The outcome of the curriculum are learning about facts, skill, and behavior. In line with this , the fact can be placed in the cognitive domain, skill refer to psychometric domain, and the behavior is in the area of affective. Fact, skill , and behavior are the product of learning experience. So experience covers fact, skill, and behavior. Based on those point of view above aim, goal, and objectives designing and establishing must refer to the three main areas of education ( cognitive, psychomotor, and affective ) because those will help them to answer the need of their society and global change, to establish social skill, self integrity and accountability, and even the life-skill ( skills for life ) . So aim as the main and more general reference before designing and establishing goal and objective must not be out of the three aspects just mentioned. If one ignored means there will be no experience produced. b. Content Mulyasa ( 2009: 160 ) explains that content is something that comprises some instructional activities that are based on special desire like educative film, map, book, graphic , and anything related to instructional media, and the common material ; such as the documentation of the general election for president. From this quotation, it can be said that material classifies into two forms: based on special desire and common material . Special desire may be defined as the primary materials or something must be presented to produce learning experience, and the common material is the secondary materials to enrich or to back up the primary content. So it seems the contents of curriculum can be filled by two kinds of character of content, namely primary content and secondary content ( additional materials ) . For example, an English student who his own field is linguistic backed up by the materials out of his own field to add his experience , particularly , in skill like knowing and mastering computer. The most popular trend for it is extracurricular. In short, two kinds of contents are very useful for students and the environment out of school. Schubert ( in Anshar, 1989: 119) that the selections of curriculum materials must but useful for 1) Student, 2) School, and 3) People.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
269 Environment -Oriented Curriculum Development Saylor and Alexander ( in Anshar, 1989:106) also assert that materials or contents cover fact, observation, data, classification , design, and problem solving that stems from experience and the product of well-arrangement man‟s thought in form of idea, concept, principle, conclusion, plan and solution. Then Anshar ( 1989: 116) explains that content or material is the records of knowledge, ( such as symbols, graphic, note , and so on) . Both quotations confirm that contents may consist value, information, knowledge, idea, solution, concept, value , and so on. Those basically stem from the result of learning activities or better-known as experience. According to Anshar ( 11989: 118 ) that there a few things that must be concerned in material selection: 1. Significance This criteria refers to determine in what part of knowledge must be included or emphasized, example, the fundamental concepts and principles of each disciplines must become a priority. 2. Social need Curriculum content must be established to form students being a mature in the future and to prepare them to play social roles in workplace, household, and other posts. 3. Usefulness Content or curriculum material must be useful for students themselves , school, and society. In line with this school must be able to establish or content or material in form of skill, knowledge, and value that needed by students for their own future. 4. Desire Material or content of a curriculum must be based on the need of students, so that, the curriculum is relevant with audience or students. This means material or selection is based on students‟ desire or talent. 5. Man building This concern deals much with the social functions of school is not merely the reflection of society , but also the media to sharpen and to build man for social change. Man development meant here is the development of every individual and that of the whole children as well in a society.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Elhafizh
270
6. The structure of discipline knowledge Brunner (in Anshar, 1989: 120 ) confirms that this criteria is used based on an assumption that every discipline of knowledge has it owns structure . Furthermore, the curriculum materials must include presentation that is enabling the children to understand the structure of the certain discipline. Kind of curriculum, established based on this quotation, is knowledge -oriented curriculum. The main target of it is all graduations can be scientist, researcher, expert , knowledge producer , and not merely to be the consumer of knowledge . Based on all explanations above it can be concluded the term content or material must also cover the aspects that establish man or student to possess knowledge ,skill, and value. Knowledge can be at the level of knowing concepts of knowledge, skill can be associated with the ability of using concepts in real action, and values refer to norm, rule, behavior, attitude, ethic, and spirituality. Then contents or materials selection must be fruitful for student and the environment out of school: factory, industry sector, oil and company , natural resource, and so on. Or it can be said that the better selection for establishing materials is by taking them from the needs of environment. So the content selection must be fixed with the needs of environment around the school or environment- oriented material selection. c. Evaluation. Evaluation can be seen as a process of earning data or information about students, school environment, learning process , facility, teacher, the needs of school, and so on. Interview, test, questionnaire, respondent, academic, portfolio, observation, and others are the tools that can be used to dig out the fundamental issues about educational problems or even progress and anything related to it . The final target of it is improvement in all lines of educational sectors. It means evaluation is the way to answer all complicated problems related to school, curriculum, students, and environment out of school, facility, atmosphere, and teacher. It also talks about the achievement been reached by a school, student, teacher, staff, and other related parties that also must be maintained and increased. Or in short, the outcome of evaluation is essentially dedicated to make a precise decision based some pivotal considerations to improve and increase the quality of student , lecturer, teacher, administrator, curriculum makers, and the curriculum itself. The decisions made are also targeted to increase the welfare of teacher, administrator, students, and other parties as the executors of the curriculum and even the creator of the curriculum, and to improve the quality of curriculum itself. As stated by Witrook ( in Israwati, 2005:5) that : Evaluation reaches three area , namely 1) School environment, 2) students , 3) learning processes. Evaluation dedicated to learning environment are to
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
271 Environment -Oriented Curriculum Development evaluate the quality and the quantity of place in which teaching and learning process occurs, to evaluate the availability of media, to evaluate facilities, to evaluate the situation or the atmosphere of the school, and anything related to learning environment. This evaluation to the whole aspects of education has very great impact in increasing the quality of education. Then the evaluation focusing on students is dedicated to know the students‟ problem and achievement. When their poorness can be identified , the problem solving can be made and when they are able to reach achievement, the action of improving it must be extended. Meanwhile , the teacher evaluation has the same purpose as done to student and school environment. In line with the explanation above then Scriven ( in Anshar, 1989: 134 ) classifies evaluation into two qualities: formative and summative. The first one refers to curriculum and instructional itself. The main target of this are to improve the programs of education and teaching or learning process. And the last one refers to seeing the use of programs globally, the final result of programs at the end of the course, both taken from the school and out of school. Based on this quotation, it can be outlined that summative evaluation assesses the degree to which instructional have been achieved at the end of the course, and it does not talk about or investigate the sources that cause a problem coming up in a program . Then Sanjaya ( 2005: 36 ) also confirms that ….two functions of evaluation , namely normative function and summative function. Normative function is to improve the teacher „s performance . It means that the product of test is used to improve learning activities done by a teacher. Summative function is carried out to measure the achievement of student after finishing the course. Anshar ( 1989: 132) states that the significant sense of evaluation are 1) To know the achievement of students, 2) To improve program and learning and teaching process , and 3) To measure the level of achievement of the educational objectives that it ,then, can be used to revise any existing programs when the poorness of them are met as the result of evaluation. These explanations show that evaluation informs the fundamental issues about students achievement, the weakness of programs in a curriculum, the poorness of instructional and teaching process, and what decision must be made to solve the various problems. Sanjaya ( 2005 : 34 ) classifies that evaluation consist of two steps 1) Collecting information as the outcome of student‟s learning activities, and 2) Decision made related to instructional outcome based on information gained. This mean evaluation refers to an activity to get some fundamental information about students problem during the course and then goes to the activity of overcoming any existing problems . Essentially evaluation can involve organizations from different sectors out of the school itself. Such as company, factory, government, tourism industry , or non -government institution, hospital, lawyer associations, and so on. So the evaluation done is not merely limited to the school itself. This step is very important to enrich the contents of curriculum and anything related to education implantation in a school. Such organizations have a great impact to establish a
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Elhafizh
272
curriculum like contributing contents or materials that are in line with the characters of each school. Such as a vocational school ( SMK ) that has a mechanic program. The school can get information much more from car factory as for instance, and hold an interview with the manager of the company about the problems of the school‟ s graduations who work for the company. It may be about their poorness and goodness and then all information about them can be clubbed as the things that must be considered . The interview may reach the needs of the company in the future as well, talk about what skills that the students must cover to compete in car factory, talk about the advanced- machine technology, and even give the school some-problem solving. Therefore, the areas of evaluation are not only focused in the internal of school. Kind of this evolution can be named as school and environment -oriented evaluation. This means the evaluation related to the poorness and goodness of curriculum, school, teacher, students, and so on is carried out in two areas, namely school itself and the environment around or out the school. This type of evaluation will give much information than the evaluation that is merely done in the internal of the school. So the information is limited to what happen in that school itself only. In conclusion , an school and environment-oriented evaluation is done to get the information about the poorness and the goodness of students, teacher, curriculum, content, task learning, method, place ( facility) , and school environment. From information gained it will help to determine a proper decision to improve and to enrich curriculum before redesigning and redeveloping curriculum . Improving the welfare of teacher, students, expert, curriculum maker, administrator , and related parties as the creator, developer, and executor of curriculum is also the main target of an evolution, for the progress and the quality of the outcome of education can not be separated from the degree of their welfare . In short, the main target of evaluation in education is the improvement of welfare, achievement, and quality. 2.
External elements of curriculum ( Executor and User ) The external elements of curriculum are the users and the executor of curriculum . The term users are a group of people or organizations out of the school who use the graduations. For example, industry sector, car or oil factory, government, bank, company, health department, hospital, police and army institutions, non-government organization, and so on. The term executors, also playing the role as designer, planner, developer, and evaluator, are those who run, execute, or establish anything related to curriculum. They are teacher, lecturer, administrator, student, media expertise, student, school committee, curriculum maker, headmaster, and other related parties. A teacher, as a closer example , does not only play his own role as the individual who has direct involvement in teaching process in the classroom, but he also can be a programmer, planner, designer, budgeter, developer, and evaluator of a curriculum. Then media expert,
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
273 Environment -Oriented Curriculum Development administrator, curriculum maker, and others may also have such the role conversely . They may have multi- roles. It depends much on their competence and quality. Even the users may have too. As mentioned above users are a group of people from different sectors who directly or indirectly need and employ the graduations of school or university for their interest. Otherwise, users has also a great impact in designing and establishing a representative curriculum (curriculum based on the need of society : both local and international scale ). This term means the curriculum that is able to answer the global changes: social changes and even technological changes. The establishment of such the curriculum stems from a cooperation between school as educational organization and organization out of the school. Therefore, the users may come from formal and informal organization. Users who come various organizations can provide curriculum‟s contents, materials, or information about the needs of their own organization. Then the school‟ s parties as the executor: teachers, media expertise, curriculum maker, education -technology expert, scientist, administer, and others processes all information to become learning experience in form of curriculum taken from the needs of the environment out of school. In an ideal form of education development, the progress of school is also the responsibility of all elements of nation. For example, the implantation of curriculum in school must be backed by people and is not limited to government‟s responsibility only. People who are engaged in formal and informal organizations out of school can give their own contribution. It may be in form of idea, information, material or contents , problem solving, fund, scholarship, and the like. So that is why the term education for all comes to appear. This means all people have responsibility to back up education development. In some modern countries, the companies from various fields sponsor the implementation of curriculum in a school. It may be form of fund, materials, training, scholarship, infrastructure, technology, facility, and so on because they realize that they are the user of the outcome of a school, namely graduation. In conclusion, a good curriculum establishment is when it can accommodate the needs of organizations out of school . The implication of this are the graduations can compete in the real world after finishing their study or are ready to use and even they can produce job opportunity for themselves and others . The popular term for such graduations are the independent man. That is why the elements of curriculum comprise two fundamental elements: internal elements and external elements. Internal elements are purpose ( aim, goal, and objective ), content, and evaluation. Then users and executers are the external elements of curriculum. so the curriculum that is oriented or dedicated to prepare students to answer the needs of environment out of school is called environment-
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Elhafizh
274
oriented curriculum. This curriculum also establishes the learners to be exploratory society. D. Conclusion From all explanations above it can concluded that a representative curriculum is a curriculum fixed to the needs of organizations out of the school. Experience supplied to learners from the curriculum is based on what exists in the environment out of the school. Then the elements of a representative -curriculum itself consist of two kinds: internal element and external element. Internal elements are purpose ( aim, goal, and objective), content, and evaluation and the external one are user and executor. User is organizations: industry sectors , car factory, hospital, hotel, and so on that are out of school . Those employ and use the graduations for their own interest directly or indirectly , and then the executor itself is defined as individuals and organizations that run, design, establish, watch, control, evaluate, plan, budget, and execute the curriculum. The examples of the executor are teacher, lecturer, non-government organization, education department, school, college, university, curriculum maker, expert, media expert, cientist, school committee, and even user. Based on these explanation, the curriculum that is designed and established by seeing or orienting the needs of environment out of the schools can be named as the environment-oriented curriculum. LITERATURE Ansyar, Muhammad. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta. Departemen Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan. Israwati. 2005. Evaluasi Pengajaran. Banda Aceh. Universitas Syiah Kuala: Fakultas Ilmu keguruan dan Pendidikan. Lunenburg, Fred C and Ornstein, Allan C. Educational Administration Concept and Practice ( Third Edition). USA. Wadsworth/Thomson Leraning. Muhaimin. Et al. 2008. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) pada Sekolah Dasar & Madrasah. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. Mulyasa. 2009. Kurikulum Yang Disempurnakan. Bandung .PT Remaja Rosdakarya Ratna, Kutha Nyoman. 2007. Sastra dan Cutural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta. PT. Fajar Interpratama.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
275
PENERAPAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN SIKAP SISWA SMP a)
Oleh: Nur Azmia, Rahmah Joharb, Jarnawi Afgani, Dc Magister Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala b) Fakultas Pendidikan Matematika Universitas Syiah Kuala c) Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika realistik dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Desain penelitian ini berbentuk pre-test post-test control group design, dengan populasi seluruh siswa kelas VII SMP Negeri Paya Bakong, pengambilan sampel melalui teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan dua jenis instrumen yaitu tes dan non tes. Tes meliputi kemampuan pemecahan masalah matematis, dan non-tes berupa angket sikap terhadap pembelajaran matematika realistik. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif untuk menyajikan data dan statistik inferensial ANOVA dua jalur. Dari nilai pre test dan post test kemampuan pemecahan masalah matematis ditentukan nilai N_gain. Sebelum ANOVA dua jalur digunakan data N_gain terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas dan normalitas dan dilanjutkan dengan uji-t dengan taraf signifikan 5%. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa 1)Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional; 2) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi dan rendah lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan awal sedang; (3)Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kemampuan awal yang dimiliki siswa(4) Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika realistik memberi respon positif. Kata Kunci: Pembelajaran Matematika Realistik, Pemecahan Masalah Matematis, Sikap siswa.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nur Azmi, Rahmah Johar, Jarnawi Afgani. D
276
Abstract This research aimed at studying the differences of students‟ ability improvement in mathematical problem solving between students who were involved in realistic mathematics education and those who were involved in conventional learning class. This research is categorized as quantitative research by using descriptive and inferential statistics. The research design is pre-test post-test control group design, where the population was through purposive sampling technique. Data collection was conducted by using two kinds of instruments, i.e., test and non-test. The test instrument included the ability of mathematical problem solving, while non-test instrument was questionnaire of attitudes toward realistic mathematics learning. Statistical tests applied in this research are descriptive statistics to present data and inferential statistics of two-way ANOVA. Based on the value of pre test and post test of mathematical problem solving ability N_gain specified value. Before ANOVA used two lines of data N_gain first tested for normality and homogeneity and followed by t-test with a significance level of 5%. The research resulted in some points: (1) the improvement of mathematical problem solving ability of students who were involved in realistic mathematics education exceed the students who were involved in conventional learning; (2) the improvement of mathematical problem solving ability of students with high and low initial abilities was better compared to those with average initial ability; (3) There is no interaction found between learning approach and initial ability of students; (4) Students‟ attitudes toward realistic mathematics education are positive. Keywords:
Realistic Mathematics Education, Mathematical problem solving, students‟ attitudes
PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu ilmu yang memiliki peran sangat penting untuk membekali setiap manusia dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Dengan menguasai matematika akan mengantarkan manusia untuk menemukan ide-ide baru yang berguna bagi perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan pada masa yang akan dating. Karena salah satu tujuan dari pelajaran matematika itu sendiri disebutkan dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2006 yaitu : Mampu memecahkan masalah dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan sehari – hari.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
277 Penerapan Pendekatan Matematika Realistik Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu tujuan matematika yang terpenting yang harus dimiliki siswa. Kemampuan pemecahan masalah merupakan inti dari matematika bahkan jantungnya matematika(Afgani:2011:4.31). Namun kenyataanya dilapangan menunjukkan bahwa kegiatan pemecahan masalah dalam proses pembelajaran matematika belum dijadikan sebagai kegiatan utama dalam pembelajaran matematika. Penelitian (Suherman 2003:89) menemukan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis dianggap penting baik oleh guru maupun siswa di semua tingkatan pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai SMU. Akan tetapi hal tersebut masih dianggap sebagai bagian yang paling sulit dalam matematika baik bagi siswa yang mempelajarinya maupun guru dalam mengajarkannya. Kemampuan pemecahan masalah dalam matematika adalah kemampuan siswa mengatasi masalah-masalah matematika yang non rutin dan tidak bisa diselesaikan dengan cara sederhana oleh siswa. Selama ini sebagian besar siswa hanya mampu menyelesaikan soal-soal yang serupa dengan apa dicontohkan guru, dan siswa menghindari soal-soal non rutin dimana soal-soal non rutin adalah bagian dari kemampuan pemecahan masalah matematika. Dalam sebuah penelitian di Belanda Kolovou (2009) menemukan bahwa rendahnya hasil belajar siswa dalam menyelesaikan soal-soal non rutin, ketika diteliti 6 buku ajar matematika ternyata beberapa buku diantaranya tidak memuat masalah-masalah non rutin yang menuntut siswa menganalisis cepat masalah matematika. Keterbatasan kemampuan guru mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dalam belajar matematika menjadikan salah satu faktor rendahnya kemampuan siswa dalam menguasai matematika. Diantara faktor lain yang berpengaruh besar bagi siswa dalam menguasai matematika adalah metode pembelajaran yang digunakan guru dalam menyajikan dan menyampaikan materi kepada siswa. Selama ini guru lebih banyak menggunakan metode konvensional dimana siswa hanya dijadikan penerima informasi pasif dari tidak diberi kesempatan mengkaji sendiri informasi yang didapatkan. Pembelajaran seperti ini tidak melatih siswa untuk berpikir siswa sehingga kemampuan pemecahan masalah tidak dapat dikembangkan dari dalam diri siswa. Penggunaan pembelajaran yang tepat akan berdampak positif terhadap kemampuan matematika siswa yang ingin dicapai. Disamping metode pembelajaran yang diterapkan ada baiknya guru memperhatikan bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran yang diterapkan. Menurut Ruseffendi (1991:115) salah satu faktor siswa bersikap positif terhadap matematika disebabkan siswa dapat melihat kegunaan matematika, tidak hanya untuk dihafal serta lingkungan dan orang yang menguasai matematika itu banyak dibutuhkan. Oleh karena itu untuk menguasai matematika ada baiknya matematika dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal tersebut menjadikan siswa bersikap positif terhadap matematika karena kegunannya. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa dalam belajar matematika akan lebih menarik bila diawali dengan mengajukan masalah-masalah
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nur Azmi, Rahmah Johar, Jarnawi Afgani. D
278
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, yang dikenal dan dialami disekitar lingkungan kehidupan siswa. Menurut Afgani (2011:4.29) “Pendekatan pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah diawali dengan menghadirkan siswa pada masalah dari dunia nyata (riil) yang sesuai dengan pikiran anak atau masalah dalam konsep matematika”. Hal senada juga sesuai dengan ungkapan Suryadi (2012:25) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan menyelesaikan masalah dalam konteks matematika atau kehidupan sehari-hari dengan tujuan agar siswa terbiasa menghadapi masalah serupa dan menerapkan suatu prosedur matematika dalam konteks yang baru dihadapi. Jadi dengan memberikan masalah yang tidak asing bagi siswa akan menumbuhkan rasa ingin tahu siswa terhadap materi yang dipelajari, sehingga siswa tertarik dan tertantang untuk memecahkan masalah yang diberikan. Dewasa ini telah banyak berkembang berbagai pendekatan pembelajaran dengan keungulan dan keunikan masing- masing, yang semata bertujuan untuk menjadikan matematika itu bermakna dan menarik untuk dipelajari. Salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan kegunaan matematika dalam kehidupan adalah pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik atau disingkat dengan PMR. Melalui pendekatan PMR siswa akan terlatih dan terbiasa dengan masalah, karena dalam PMR pembelajaran dimulai dari sesuatu masalah nyata yang ada dalam kehidupan siswa sehingga siswa dapat terlibat dalam proses pembelajaran secara bermakna, peran guru hanya sebagai pembimbing dan juga fasilitator yang mendukung aktif mengkonstruksi pengetahuan siswa. Penelitian Widjaja (2010) menemukan bahwa penerapan PMR dapat meningkatkan daya pikir siswa dan proses diskusi siswa, pengunaan masalah nyata mampu memunculkan ide siswa dengan menkonstruk sendiri pengetahuannya. Penelitian Azmi (2012) juga mengungkapkan pembelajaran PMR menjadikan siswa tertantang menyelesaikan masalah matematika yang diberikan, dengan PMR menjadikan siswa termotivasi serta dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab dalam menyumbangkan ide-ide demi kepentingan bersama. Maka belajar matematika seperti ini diharapkan dapat meningkatnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa menjadi lebih baik serta menjadikan siswa termotivasi dan menyukai pelajaran matematika. METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri Paya Bakong Kelas VII terdiri dari 196 siswa. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan purposive sampling kelas VII1 sebagai kelas eksperimen dan kelas VII2 sebagai kelas control. Penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian eksperimen semu (quasi experiment). Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pretes Posttest Control Group Design. Adapun prosedur pengumpulan data pada penelitian ini adalah, menyiapkan perangkat tes kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan kisi-kisinya. Selanjutnya pelaksanaan penelitian diawali dengan memberikan soal pretest dan dilanjutkan
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
279 Penerapan Pendekatan Matematika Realistik dengan pelaksanaan pendekatan matematika realistik pada kelas eksperimen dan pendekatan konvensional pada kelas kontrol selama lima kali pertemuan, ditambah satu hari pelaksanaan postest. Instrumen dan perangkat pembelajaran divalidasi isi oleh dosen dan guru bidang studi matematika yang paham dengan Pendekatan Matematika Realistik. Selanjutnya diujicobakan, ujicoba RPP dan LAS dilaksanakan pada kelas VII6 SMP Paya Bakong diluar subjek penelitian dengan materi luas persegi dan persegi panjang. Tes kemampuan pemecahan masalah siswa diujicobakan pada kelas VIII6 SMP Paya Bakong. Hasil validasi tes menunjukkan bahwa lima butir tes kemampuan pemecahan masalah valid dan reliabilitasnya 0,95. Daya beda kelima butir soal sedang, untuk tingkat kesukaran soal nomor 1 tergolong soal sedang, soal nomor 2 tergolong sedang, soal nomor 3 dan 5 tergolong sedang sedangkan soal nomor 4 tergolong sukar. Data peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika dilakukan analisis sebagai berikut: 1. Menghitung gain ternormalisasi dengan rumus: Indeks Gain (g) g = Nilai Postes - Nilai Pretes (Hake. 1999) Nilai Ideal - Nilai Pretes
Dalam penelitian ini, gain ternormalisasi digunakan untuk menentukan peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa, Setelah hasil gain ternormalisasi terkumpul, tahap selanjutnya adalah menguji normalitas dan homogenitas sebagai prasyrat untuk uji statistik parametrik. 2. Menguji normalitas Uji normalitas diperlukan untuk menguji apakah sebaran data berdistribusi normal atau tidak. Bila data berdistribusi normal maka di uji dengan uji parametrik (uji t atau uji t‟). Bila tidak tidak normal digunakan uji non parametrik. 3. Uji Homogenitas Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel ini berasal dari populasi dengan varians yang sama sehingga hasil penelitian ini berlaku untuk populasi. 4. Analisis data interaksi siswa Untuk melihat apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dilihat dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah) maka dilakukan analisis statistik inferensial ANOVA dua jalur.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nur Azmi, Rahmah Johar, Jarnawi Afgani. D
280
5. Menguji keseluruhan hipotesis. Bila uji pra syarat telah terpenuhi maka langkah selanjutnya yaitu pengujian hipotesis. Adapun langkah-langkah yang digunakan yaitu: a) Menentukan Hipotesis Hipotesis 1 : H0 :(Tidak terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diajarkan dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik dibanding dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional) Ha: (Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diajarkan dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik lebih baik dibanding dengan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional) Hipotesis 2 H0 : Tidak terdapat interaksi antara penerapan pendekatan pembelajaran kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah) siswa meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Ha : Terdapat interaksi antara penerapan pendekatan pembelajaran kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah) siswa meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Hipotesis 2 H0 : Tidak terdapat interaksi antara penerapan pendekatan pembelajaran kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah) siswa meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Ha : Terdapat interaksi antara penerapan pendekatan pembelajaran kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah) siswa meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
dengan dalam dengan dalam
dengan dalam dengan dalam
HASIL Hasil tes dan perhitungan statistik inferensial kemampuan pemecahan masalah matematis siswa menunjukkan bahwa: 1. Berdasarkan hasil perhitungan perbedaan rata-rata menggunakan uji-t , nilai signifikan ( 2 – taliled) t test untuk data nilai gain pemecahan masalah sebesar 0,0015 yang lebih kecil dari 0,05, maka tolak Ho. Ini bahwa rata-rata gain kemampuan pemecahan masalah matematis pada kelas eksperimen lebih baik dari rata – rata gain kelas kontrol. Adapun hasil perhitungan dengan
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
281 Penerapan Pendekatan Matematika Realistik menggunakan software SPSS 16.0 Statistics untuk uji beda rata-rata nilai gain terhadap pembelajaran PMR dan konvensional dapat dilihat pada tabel berikut: t-test for Equality of Means
T
Nilai_Gain
Df
Sig. (2-tailed)
Equal variances assumed
3,160
58
,003
Equal variances not assumed
3,160
56,951
,003
Secara jelas perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat digambarkan dalam diagram berikut: 0,8 0,6
0,64 0,53 Pemb. PMR
0,4 0,130,12
0,2 0 Mean
Pemb. Konvensional
Simp. Baku
2. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan faktor kemampuan awal: nilai signifikan diperoleh sebesar 0,019 yang lebih kecil dari α = 0,05, maka Ho: μtinggi=μsedang=μrendah ditolak. Berarti peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa berbeda dilihat dari faktor kemampuan, Awal siswa.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nur Azmi, Rahmah Johar, Jarnawi Afgani. D
0,70
282
0,66 0,56
0,60
0,54
0,50 0,40 Mean
0,30 0,20
0,11
Simp. Baku
0,12
0,10
0,03
0,00 Tinggi Sedang Rendah
Adapun perbedaannya dapat dilihat pada tebel berikut: (I) KAM Tinggi Sedang
Rendah
(J) KAM Sedang Rendah
Mean Difference (I-J) ,09658(*)
Std. Error ,036435
,11922(*)
,044122
Tinggi
Sig. ,037 ,033
-,09658(*)
,036435
,037
Rendah
,02264
,038296
,840
Tinggi Sedang
-,11922(*)
,044122
,033
-,02264
,038296
,840
Berdasarkan tabel di atas hanya nilai signifikan dari kemampuan awal sedang dengan rendah sebesar 0,84 lebih yang lebih besar dari 0,05, hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata peningkatan pemecahan masalah matematis antara siswa berkemampuan sedang dan kemampuan rendah. 3. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan faktor Interaksi: Nilai signifikan interaksi antara pembelajaran dan kemampuan awal sebesar 0,07 lebih besar dari 0,05, ini menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis pembelajaran dengan kemampuan awal siswa. Demikian pembelajaran PMR tepat diberikan kepada siswa berkemampuan tinggi, sedang maupun rendah. Adapun tafsiran bahwa pembelajaran PMR sesuai untuk semua tingkat kemampuan matematika siswa baik itu tinggi, sedang maupun rendah terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat dilihat pada diagram berikut:
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
283 Penerapan Pendekatan Matematika Realistik
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian ini secara keseluruhan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pendekatan PMR lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan PMR berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Hasil temuan ini diperkuat dengan temuan Widjaja (2010) menemukan bahwa dengan pembelajaran matematika realistik pembelajaran dikelas akan meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dengan demikian, dengan PMR guru dapat mengatur proses pembelajaran melalui proses berpikir siswa dari masalah nyata sebagai model of sampai ke bentuk model matematika formal (model for). Hal senada juga sejalan dengan temuan Azmi (2012) bahwa dengan PMR siswa lebih termotivasi menyelesaikan masalah yang diberikan guru, melalui kontruksi dan kontribusi siswa akan menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kebersamaan yang tinggi dalam menemukan ide-ide matematika sehingga kelas matematika menjadi aktif dan tidak membosankan. Pembelajaran matematika realistik yang dilaksanakan peneliti dengan membagi dalam beberapa kelompok secara acak dan heterogen, pembelajaran berbentuk diskusi yang terlaksana dengan baik. Perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematis yang diperoleh siswa melalui proses belajar sendiri tanpa harus ada transfer ilmu dari guru secara langsung, dalam PMR siswa mengkonstruk sendiri pengetahuannya dari masalah kontekstual yang diajukan guru sampai siswa menemukan konsep formalnya dalam bentuk model matematika yang mereka pelajari, dengan demikian siswa bukan hanya sekedar menghafal konsep yang ada, tetapi siswa melakukannya dengan cara menemukan dan menyimpan konsep sehingga memperkuat daya ingat siswa.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nur Azmi, Rahmah Johar, Jarnawi Afgani. D
284
Pembelajaran matematika realistik bukan hanya suatu pembelajaran yang menyajikan masalah kemudian siswa menggunakan rumus tertentu untuk menyelesaikannya, masalah yang disajikan dalam PMR bukan sebagai aplikasi dari rumus matematika itu sendiri, akan tetapi pembelajaran matematika realistik yang diawali dengan pengajuan masalah dimana masalah yang membutuhkan suatu solusi dan penyelesaian sehingga muncul dalam benak dan pikiran siswa bagaimana menyelesaikannya. Adapun gambaran pembelajaran matematika realistik yang dilaksanakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada ice birg (gunung es PMR) sebagai berikut:
Berdasarkan ice birg di atas terlihat bahwa pembelajaran matematika realistik diawali mengajukan masalah realistic berupa suatu masalah dimana seseorang ingin memberi karpet dan kain penutup jendela maka apa yang harus dilakukan. Disini siswa akan mencari solusi dari hal yang diajukan guru dengan menentukan bagaimana menemukan rumus sehingga luas karpet dan kain penutup jendela dapat diketahui. Melalui diskusi dan kontribusi siswa dalam kelompok hal ini bisa diperoleh dengan menyusun karton berpetak di atas meja sehingga siswa menemukan sendiri konsep luas dan bagaimana mencari luas. Dan selanjutnya langkah yang ditempuh siswa yaitu membangun konsep formal (Building Stone) sehingga konsep formalnya yaitu rumus yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan dapat ditemukan. Dengan demikian pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa yang akan berdampak pada pengetahuaan pemecahan masalah matematis siswa menjadi lebih baik. Masalah nyata. (real contect) dalam matematika realistik tidak selamanya bersifat nyata dan ada disekeliling kehidupan siswa, namun bisa juga sesuatu yang
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
285 Penerapan Pendekatan Matematika Realistik bisa dibayangkan dan masuk akal sesuai dengan perkembangan kognitif siswa. Sehingga masalah dalam realistik yang diberikan akan memacu keaktifan siswa dalam memcari dan berusaha mendapatkan informasi dari apa yang dipelajari dalam kelompoknya, pada PMR juga siswa lebih terampil dalam menggunakan pemodelan. Sedangkan pada kelas kontrol, terlihat siswa setelah mendapatkan masalah kontekstual, mereka sulit dalam mengkonstruk model-model yang mungkin dalam penyelesaian masalah yang diberikan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. Maka pendekatan pembelajaran PMR akan mampu memperkuat siswa yang pada awalnya mempunyai kemampuan rendah ke arah yang lebih baik, meningkatnya minat dan motivasi memecahkan masalah matematika karena ketermaknaan dari apa yang dipelajari, dan bagi siswa yang mempunyai kemampuan sedang dan tinggi secara perlahan akan mampu memotivasi dan berkontribusi dengan kawannya yang berkemampuan rendah demi kepentingan kelompok. Dengan demikian keaktifan siswa rendah pada kelas PMR terlihat lebih baik dibandingan dengan siswa rendah pada kelas pembelajaran konvensional. Masalah realistik memberikan dampak yang positif bagi siswa, hal ini terlihat dari persentase angket skala sikap siswa yang rata-rata di atas 80% memberi tanggapan yang positif, Sikap siswa yang dianalisis meliputi indikator: Minat siswa terhadap pembelajaran matematika realistik, kegunaan/Pentingnya belajar matematika dalam kehidupan, strategi belajar kelompok yang diterapkan, Sarana dan prasarana belajar yang tersedia, masalah realistik yang menantang SIMPULAN Simpulan dari temuan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik lebih baik dari pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. Tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah). Dengan demikian, pembelajaran matematika realistik sesuai diterapkan pada tingkat kemampuan matematika siswa yang berbeda (tinggi, sedang dan rendah). 3. Sikap siswa terhadap pendekatan pembelajaran matematika realistik memberi respon positif. Dengan PMR siswa menyukai matematika, siswa merasa tertantang dan termotivasi untuk menyelesaikan masalah matematika.
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
Nur Azmi, Rahmah Johar, Jarnawi Afgani. D
286
SARAN Dari hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan, dikemukakan beberapa saran berikut: 1. Pembelajaran matematika realistik merupakan salah satu alternatif bagi guru matematika dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan matematika khususnya pada siswa SMP. 2. Bagi guru yang ingin menerapkan pembelajaran matematika realistik ini hendaknya memperhatikan efektivitas waktu mengingat pada pelaksanaannya pebelajaran tidak sesuai dengan yang sudah direncanakan apalagi disekolah tersebut sebelumnya tidak pernah diterapkan pembelajaran matematika realistik 3. Pada pembelajaran matematika realistik siswa didorong untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui masalah realistik yang ada pada bahan ajar atau Lembar Aktifitas Siswa (LAS), Oleh karena itu guru hendaknya mempersiapkan dan merancang LAS seoptimal mungkin. DAFTAR PUSTAKA Afgani, J. (2011) . Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta : Uiversitas Terbuka Akdon. (2008). Aplikasi Statistika Dan Metode Penelitian Untuk Administrasi Dan Manajemen. Bandung: Dewa Ruchi. Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Azmi, N (2012). Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pada Materi Persamaan Linier Dua Variabel pada Siswa Kelas VII di SMP Negeri 2 Lhokseumawe. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapan. Medan BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta. Erman, H. (2003) Evaluasi Pembelajaran Matematika.Bandung : UPI Hake. 1999. Analyzing Change/Gain Scores, (online), (http://www.physics. indiana. edu/~sdi/ AnalyzingChange-Gain.pdf, diakses 20 November 2012) Kolovou, A., Van Den Heuvel-Panhuiz., & Bakker,A. (2009). Non – Rutine Problem Solving Tasks in Primary School Mathematic Tebooks – A Needle in a Hay Stack. Mediterranean en, M Journal for Research in Mathematics Education, 8 (2), 31 – 69 Ruseffendi. (1991) Penilaian Pedidikan dan Hasil Kerja Siswa Khususnya Dalam Pengajaran Matematik Bandung Ruseffendi. (1993) Statistika untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Suherman, E, H. dkk (2003) Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung : JICA
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
287 Penerapan Pendekatan Matematika Realistik Sundayana, R,H. (2012) Statistika Penelitian Pendidikan. Garut: STKIP Garut Press Suryadi, D. (2012) Membangung Budaya Baru dalam Berpikir Matematika, Bandung: Rizkqi Press Sutawidjaja, A.& Afgani, J. (2011) Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka Uyanto, S, S. (2009) Pedoman Analisis Data dengan SPSS, Yogyakarta: Graha Ilmu Widjaja, W. (2010). The Role of Contexts and Teacher‟s Questioning to Enhane Students‟ thinking. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia 2010, Vol.33 No.2, 168 – 186 Wijaya, A. (2011) Pembelajara Matematika Realistik. Graha Ilmu : Yogyakarta Wilis, D, R. (1996) Teori – Teori Belajar, Jakarta : Erlangga Kompasiana. Pendekatan-pembelajaran-konvensional. http://Edukasi. di akses 10 desember 2012 Pendekatan Pembelajaran Matematika Realisti., [Online]. Tersedia: www.PMR/Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik.htm diakses 12 desember 2012
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
288
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013
289 Daftar Isi Daftar Isi ............................................................................................................... iii Mencari Jati Diri Pendidikan Islam (Analisis Pemikiran Pendidikan Abu A’la al-Maududi), Oleh: Nurhayati............................................................. 151 Syntactic Difference Between Dinamic And Stative Verbs In English, Oleh: Zainuddin Hasibuan ................................................................................... 163 Upacara Adat Peutron Aneuk Dan Peucicap Dalam Masyarakat Aceh (Kajian Tradisi Lisan), Oleh: Nurlaila ............................................................... 179 Educational Value Taught By A Father Reflected In Anak Sejuta Bintang: Perjalanan Panjang Penuh Cahaya Written By Akmal Nasery Basral, Oleh: Jumat Barus ...................................................................... 191 Pola Penyelesaian Cerita Dalam Cerpen Hasyim Ks, Oleh: Novi Diana ......... 202 Pendidikan Nilai Pada Masa Rasulullah Saw, Oleh : Fauzan .......................... 212 The Influence of Reading Aloud at the Class in Developing Pronunciation Ability (An experimental Teaching at Darul Ulum), By: Muhamamd Iqbal............................................................................................ 223 Politik Pendidikan Di Indonesia (Sertifikasi Guru dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan dan Profesionalisme), Oleh: Sri Astuti A. Samad ..................................................................................... 229 Konsep Teknologi Pendidikan Dalam Pola Pembentukan Masyarakat Belajar, Oleh: Susi Yusrianti ................................................................................ 242 Konsep Ma’rifatullah Dalam Pembentukan Karakter Muslim Menurut al-Ghazali, Aisyah Maawiyah ............................................................. 253 Environment -Oriented Curriculum Development, Elhafizh ........................... 264 Penerapan Pendekatan Matematika Realistik Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dan Sikap Siswa SMP, Nur Azmi, Rahmah Johar, Jarnawi Afgani. D ....................................................... 275
Itqan, Vol. 1V, No. 2, Juli-Desember 2013